14
Kunang-kunang di Langit Jakarta Karya Agus Noor Ia kembali ke kota ini karena kunang-kunang dan kenangan. Padahal, ia berharap menghabiskan liburan musim panas di Pulau Galapagos—meski ia tahu, kekasihnya selalu mengunjungi pulau itu bukan karena alasan romantis, tapi karena kura-kura. Kura-kura itu bernama George. Mata Peter akan berbinar setiap menceritakannya. Ia termasuk keturunan langsung spesies kura-kura yang diamati Charles Darwin ketika merumuskan teori evolusinya pada abad ke-19. Berapa kali ia sudah mendengar Peter mengatakan itu? Kau harus melihat sendiri, betapa cakepnya kura-kura itu. Ia botak dan bermata besar. Ia tua dan kesepian memang. Namun, sebentar lagi ia akan punya keturunan. Ada benarnya juga kelakar teman- temannya. ”Kau tahu, Jane, itulah risiko punya pacar zoologist. Kamu harus lebih dulu menjadi primata yang menarik untuk membuatnya tertarik bercinta denganmu.” ”Justru itulah untungnya. Aku tak perlu cemas. Karena Peter lebih tertarik memperhatikan binatang langka ketimbang perempuan berambut pirang.” Dan ia tertawa walau sebenarnya merasa konyol bila menyadari: betapa ia mesti berebut perhatian kekasihnya, justru dengan binatang- binatang langka seperti itu. Peter pernah cerita perihal burung bulbul langka yang berhasil ditemukannya bersama rombongan peneliti Worldwide Conservation Society di perbukitan kapur dataran rendah Laos; penemuan yang menurut Peter begitu menakjubkan, karena belum pernah dalam 100 tahun terakhir ditemukan spesies baru di Asia. Kau tahu, kicau burung bulbul itu jauh lebih merdu dari burung bulbul dalam dongeng HC Andersen. Bulu-bulunya hijau mengilap. Peter pernah pula bercerita tentang kucing emas yang misterius dan tak mungkin dijumpai, tapi ia berhasil melihatnya di pegunungan Tibet, sedang melesat memanjat pepohonan dengan gerakan yang bagai terbang. Setiap saat ada kesempatan mereka bertemu—saat mereka seharusnya menghabiskan setiap menit dengan bercinta—kekasihnya justru sibuk bicara soal katak berwarna ungu yang ditemukannya di Suriname, kumbang tahi, kadal tanpa kaki, duiker merah, galago kerdil, mokole mbembe di Sungai Zambeze, sejenis tikus bermoncong panjang yang disebutnya Zanzibar, burung Akalat Ukwiva—dan entah nama-nama aneh apa lagi—sampai obsesinya menemukan spesies putri duyung yang diyakininya masih hidup di perairan Kiryat Yam, Israel. Aku akan menjadi orang kedua setelah Richard Whitbourne, kapten kapal yang pada tahun 1610 pernah melihat putri duyung di pelabuhan Newfoundland St James…. Langit mulai menggelap dan keriuhan kendaraan yang memadati Horrison Street menyelusup masuk Café Gratitude. Jane Jeniffer ingat, tujuh tahun

cerpen untuk analisis

Embed Size (px)

DESCRIPTION

contoh cerpen

Citation preview

Kunang-kunang di LangitJakartaKarya Agus NoorIa kembali ke kota ini karena kunang-kunang dan kenangan. Padahal, ia berharap menghabiskan liburan musim panas di Pulau Galapagosmeski ia tahu, kekasihnya selalu mengunjungi pulau itu bukan karena alasan romantis, tapi karena kura-kura. Kura-kura itu bernama George.Mata Peter akan berbinar setiap menceritakannya. Ia termasuk keturunan langsung spesies kura-kura yang diamati Charles Darwin ketika merumuskan teori evolusinya pada abad ke-19. Berapa kali ia sudah mendengar Peter mengatakan itu? Kau harus melihat sendiri, betapa cakepnya kura-kura itu. Ia botak dan bermata besar. Ia tua dan kesepian memang. Namun, sebentar lagi ia akan punya keturunan.Ada benarnya juga kelakar teman- temannya. Kau tahu, Jane, itulah risiko punya pacar zoologist. Kamu harus lebih dulu menjadi primata yang menarik untuk membuatnya tertarik bercinta denganmu.Justru itulah untungnya. Aku tak perlu cemas. Karena Peter lebih tertarik memperhatikan binatang langka ketimbang perempuan berambut pirang. Dan ia tertawa walau sebenarnya merasa konyol bila menyadari: betapa ia mesti berebut perhatian kekasihnya, justru dengan binatang-binatang langka seperti itu.Peter pernah cerita perihal burung bulbul langka yang berhasil ditemukannya bersama rombongan peneliti Worldwide Conservation Society di perbukitan kapur dataran rendah Laos; penemuan yang menurut Peter begitu menakjubkan, karena belum pernah dalam 100 tahun terakhir ditemukan spesies baru di Asia. Kau tahu, kicau burung bulbul itu jauh lebih merdu dari burung bulbul dalam dongeng HC Andersen. Bulu-bulunya hijau mengilap. Peter pernah pula bercerita tentang kucing emas yang misterius dan tak mungkin dijumpai, tapi ia berhasil melihatnya di pegunungan Tibet, sedang melesat memanjat pepohonan dengan gerakan yang bagai terbang.Setiap saat ada kesempatan mereka bertemusaat mereka seharusnya menghabiskan setiap menit dengan bercintakekasihnya justru sibuk bicara soal katak berwarna ungu yang ditemukannya di Suriname, kumbang tahi, kadal tanpa kaki, duiker merah, galago kerdil, mokole mbembe di Sungai Zambeze, sejenis tikus bermoncong panjang yang disebutnya Zanzibar, burung Akalat Ukwivadan entah nama-nama aneh apa lagisampai obsesinya menemukan spesies putri duyung yang diyakininya masih hidup di perairan Kiryat Yam, Israel. Aku akan menjadi orang kedua setelah Richard Whitbourne, kapten kapal yang pada tahun 1610 pernah melihat putri duyung di pelabuhan Newfoundland St James.Langit mulai menggelap dan keriuhan kendaraan yang memadati Horrison Street menyelusup masuk Caf Gratitude. Jane Jeniffer ingat, tujuh tahun lalu, saat ia menikmati house lemonade di kafe ini, ia bertemu dengan Peter Bekoff, yang muncul dengan seekor iguana di pundaknya. Karena nyaris tak ada kursi kosong, laki-laki itu mendekati mejanya.Kau tahu, kenapa aku ke sini membawa iguana? Karena kalau aku datang bersama Jennifer Lopez pasti kafe ini seketika dipenuhi paparazi, dan kau tak bisa dengan tenang menikmati house lemonade-mu ituEntahlah, kenapa saat itu, ia menganggap lucu kata-kata itu. Mungkin itulah sebabnya, sering kita kangen pada saat-saat pertemuan pertama. Kita memang ingin selalu mengulang kenangan.***Bukankah kau ingin melihat kunang-kunang?Dulu, semasa kanak, ia memang pernah terpesona dengan makhluk yang bagai hanya ada dalam buku-buku dongeng. Di San Francisco yang hiruk pikuk, tempat ia tinggal sejak kanak-kanak, ia tak pernah melihat kunang-kunang secara langsung. Ia melirik Peter yang begitu asyik memandangi kunang-kunang yang disimpannya dalam stoples. Cahaya kuning kehijauannya membias pucat.Ini kunang-kunang istimewa, bukan golongan Lampyridae pada umumnya. Para penduduk setempat percaya, kunang-kunang ini berasal dari roh penasaran. Roh para perempuan yang diperkosa.Saat menyadari Jane tak terlalu memperhatikan kunang-kunang itu dan lebih sering memandangi langit muram San Francisco yang membayang di jendela, Peter menyentuh lengannya. Percayalah, di sana, nanti kau akan menjumpai langit yang megah dipenuhi jutaan kunang-kunang. Lalu suaranya nyaris lembut, Dan kita bercinta di bawahnya.Tapi ia tak merasa kunang-kunang itu istimewa, seperti dikatakan Peter. Mungkin karena saat itu, ia memendam kekecewaan, sebab tahu bahwa pada akhirnya Peter tak akan mengajaknya menikmati kehangatan Pulau Galapagos, tetapi ke kota yang panas dan bising ini.Ini jelas bukan kota yang ada dalam daftar yang ingin dikunjunginya pada musim libur. Peter membawanya ke permukiman padat kota tua tak terawat. Banyak toko kosong terbengkalai, dan rumah-rumah gosong bekas terbakar yang dibiarkan nyaris runtuh. Di gedung-gedung gosong itulah para kunang-kunang itu berkembang biak, ujar Peter. Padahal, sebelumnya ia membayangkan hutan tropis eksotis, atau hamparan persawahan, di mana ribuan kunang-kunang beterbangan. Peter seperti abai pada kedongkolannya, sibuk mengeluarkan kamera, fotograf dan beberapa peralatan lain dari ranselnya.Ia menunggu tak jenak. Ketika senja yang muram makin menggelap, dalam pandangannya gedung-gedung yang gosong itu seperti makhluk-makhluk ganjil yang rongsok dan bongkok, menanggung kepedihan. Dan dari ceruk gelap gedung-gedung itu seperti ada puluhan mata yang diam-diam manatapnya. Seperti ada yang hidup dan berdiam dalam gedung-gedung kelam itu. Lalu ia melihat kerlip lembut kekuningan, terbang melayang-layang.Lihat, Peter menepuk pundaknya. Mereka mulai muncul. Kunang-kunang itu.Itulah detik-detik yang kemudian tak akan pernah ia lupakan dalam hidupnya. Ia menyaksikan puluhan kunang-kunang menghambur keluar dari dalam gedung-gedung gosong itu. Mereka melayang-layang rendah, seakan ada langkah-langkah gaib yang berjalan meniti udara. Puluhan kunang-kunang kemudian berhamburan seperti gaun yang berkibaran begitu anggun. Beberapa kunang-kunang terbang berkitaran mendekatinya.Pejamkan matamu, dan dengarkan, bisik Peter. Kunang-kunang itu akan menceritakan kisahnya padamu.Ia merasakan keheningan yang membuatnya pelan-pelan memejamkan mata, sementara Peter dengan hati-hati menyiapkan micro-mic, yang sensor lembutnya mampu merekam gelombang suara paling rendahmenurut Peter alat itu bisa menangkap suara-suara roh, biasa digunakan para pemburu hantu. Keheningan itu seperti genangan udara dingin, yang berlahan mendesir. Pendengarannya seperti kelopak bunga yang merekah terbuka; geletar sayap kunang-kunang itu, melintas begitu dekat di telinganya, seperti sebuah bisikan yang menuntunnya memasuki dunia mereka. Ia terus memejam, mendengarkan kudang-kunang itu bercerita.Lihatlah api yang berkobar itu. Setelah api itu padam, orang-orang menemukan tubuhku hangus tertimbun reruntuhan.Suara itu, suara itu menyelusup lembut dalam telinganya. Dan ia seperti menyaksikan api yang melahap pusat perbelanjaan itu. Menyaksikan orang- orang yang berteriak-teriak marah dan menjarah. Ia menyaksikan seorang perempuan berkulit langsat diseret beberapa lelaki kekar bertopeng. Asap hitam membubung. Beberapa orang melempar bom molotov ke sebuah toko, kemudian kabur mengendarai sepeda motor. Api makin berkobar. Perempuan itu menjerit dan meronta, diseret masuk ke dalam toko yang sudah ditinggalkan penghuninya.Lihatlah gedung yang gosong itu. Di situlah mereka memerkosa saya.Mereka begitu beringas!Mayat saya sampai sekarang tak pernah ditemukan.Roh kami kemudian menjelma kunang-kunang.Lihatlah lihatlah.Ia melihat puluhan kunang-kunang terbang bergerombol, seperti rimbun cahaya yang mengapung di kehampaan kegelapan. Puluhan suara yang lirih terus menyelesup ke dalam telinganya. Ia merasakan tubuhnya perlahan mengapung, seperti hanyut terseret suara-suara itu.Ayo, ikutlah denganku. Ayolah, biar kau pahami seluruh duka kami.Jane!!Ia dengar teriakan cemas.Jane!!Ada tangan menariknya, membuatnya tergeragap. Peter mengguncang bahunya, Jane! Kamu tak apa-apa?! Suara-suara itu, perlahan melenyap. Tapi bagai ada yang tak akan pernah lenyap dalam hidupnya. Ia menatap kosong, seakan ada sebagian dirinya yang masih ada di sana. Seakan sebagian jiwanya telah dibawa dan terikat dengan kunang-kunang itu. Lalu ia lebih banyak diam, memandang takjub pada ribuan kunang-kunang yang muncul berhamburan dari gedung-gedung yang gosong, seperti muncul dari mulut goa. Semakin malam semakin bertambah banyak kunang-kunang memenuhi langit kota. Jutaan kunang-kunang melayang, seperti sungai cahaya yang perlahan mengalir dan menggenangi langit. Langit kota dipenuhi pijar cahaya hijau kekuningan yang berdenyut lembut; seperti kerlip bintang-bintang yang begitu rendah, dan kau bisa menyentuhnya.Malam itu ia merasakan sentuhan dan pelukan Peter meresap begitu dalam. Ciuman-ciuman yang tak akan terlupakan. Ciuman-ciuman yang paling mengesankan di bawah hamparan cahaya kunang-kunang. Ciuman-ciuman yang selalu membawanya kembali ke kota ini dan kenangan.***Pertama kali, kunang-kunang itu terlihat muncul pertengahan tahun 2002, empat tahun setelah kerusuhan. Seorang penduduk melihatnya muncul dari salah satu gedung gosong itu. Makin lama, kunang-kunang itu makin bertambah banyak, terus berbiak, dan selalu muncul pertengahan tahun. Para penduduk kemudian percaya, kunang-kunang itu adalah jelmaan roh korban kerusuhan. Roh perempuan yang disiksa dan diperkosa. Orang-orang di sini memang masih banyak yang percaya, kalau kunang-kunang berasal dari kuku orang yang mati. Dari kuku orang mati itulah muncul kunang-kunang itu. Sering, orang-orang mendengar suara tangis muncul dari gedung-gedung gosong yang terbengkalai itu. Gedung-gedung itu seperti monumen kesedihan yang tak terawat.Peter menceritakan semua itu, seolah-olah ia bukan zoologist. Sering kali ilmu pengetahuan tak mampu menjelaskan semua rahasia, kata Peter, bisa menebak keraguannya. Bisakah kau menjelaskan apa yang barusan kau alami hanya dengan logika?Memang, ia hanya bisa merasakan, seperti ada yang ingin diceritakan oleh kunang-kunang itu padanya. Suara-suara gaib yang didengarnya itu seperti gema yang tak bisa begitu saja dihapuskan dari ingatannya. Ia percaya, segala peristiwa di dunia ini selalu meninggalkan gema. Seperti gema, mereka akan selalu kembali. Karena itulah ia pun kemudian selalu kembali ke kota ini. Untuk kunang-kunang dan kenangan.Ia selalu terpesona menyaksikan jutaan kunang-kunang memenuhi langit kota. Langit menjelma hamparan cahaya kekuningan. Itulah satu-satunya pemandangan termegah yang selalu ingin ia nikmati kembali. Ia dan Peter suka sekali berbaring di atap gedung, menyaksikan berjuta-juta kunang-kunang itu memenuhi langit kota. Pada saat-saat seperti itu, sungguh, kau tak akan mungkin menemukan panorama langit yang begitu menakjubkan di belahan dunia mana pun, selain di kota ini.Kelak, bila aku mati, aku akan moksa menjelma kunang-kunang. Aku akan hidup dalam koloni kunang-kunang itu. Dan kau bisa selalu memandangiku ada di antara kunang-kunang itu.Saat itu, ia hanya tertawa mendengar omongan Peter. Semua menjadi berbeda ketika telah menjadi kenangan.***Ia tengah dalam perjalanan bisnis ke Louisville ketika menerima telepon itu: Peter meninggal dunia. Tepatnya lenyap. Beberapa orang bercerita menyaksikan tubuh Peter terjun dari puncak ketinggian gedung. Mungkin ia meloncat. Mungkin seseorang mendorongnya. Tubuh Peter yang meluncur itu mendadak menyala, bercahaya, kemudian pecah menjadi ribuan kunang-kunang. Penggambaran kematian yang terlalu dramatis, atau mungkin malah melankolis! Mungkin memang benar seperti itu. Tapi mungkin benar juga desas-desus itu: Peter dilenyapkan karena berusaha menghubung-hubungkan fenomena kunang-kunang itu dengan kerusuhan yang bertahun-tahun lalu terjadi di kota ini.Dari tahun ke tahun populasi kunang-kunang itu memang makin meningkat. Kemunculan kunang-kunang yang memenuhi langit kota Jakarta menjadi fenomena yang luar biasa. Banyak yang kemudian menyebut sebagai salah satu keajaiban dunia. Menjadi daya tarik wisata. Setiap pertengahan Mei, saat jutaan kunang-kunang itu muncul dari reruntuhan gedung-gedung gosongpemerintah daerah kemudian menetapkan gedung-gedung gosong itu menjadi cagar budaya dan wisatabanyak sekali turis yang datang menyaksikan. Para penduduk lokal bahkan telah menjadikannya sebagai acara tahunan. Mereka duduk menggelar tikar, mengadakan beberapa atraksi hiburan di sepanjang jalan, sembari menunggu malam ketika kunang-kunang itu memenuhi langit kota. Para pengunjung akan bersorak gembira ketika serombongan kunang-kunang muncul, terbang meliuk-liuk melintasi langit kota, dan berhamburan bagai ledakan kembang api. Betapa megah. Betapa indah.Mata Jane selalu berkaca-kaca setiap kali menyaksikan itu; membayangkan Peter ada di antara jutaan kunang-kunang yang memenuhi langit Jakarta itu. Itulah sebabnya kunang-kunang dan kenangan selalu membuatnya kembali ke kota ini.Ia tengah memandangi langit yang penuh kenang-kunang itu dengan mata berkaca-kaca, ketika seorang pengunjung di sampingnya berkata, Keindahan memang sering membuat kita sedih.Jane tersenyum. Saya tiba-tiba ingat peristiwa yang menyebabkan kunang-kunang itu muncul. Apakah Anda ingat peristiwa itu?Orang itu menggeleng. Jane tak terlalu kaget. Orang-orang di kota ini memang tak lagi mengingat peristiwa kerusuhan itu.Jakarta, 2010-2011

Orang-orang LarenjangKarya Damhuri Muhammad1 Dari pagi ke pagi, mulut-mulut itu, satu demi satu, bagai beralih-rupa menjadi toa. Bila toa di surau mengumandangkan azan, maka toa-toa segala rupa yang terpancang seperti antena itu begitu kemaruk memancar-luaskan gunjing, asung, dan pitanah, bahkan sekali-dua melepas umpat dan makian. Gema suara mereka bagai gendang irama gambus di musim helat, begitu semarak, begitu menyentak.Ah, betapa lekas, betapa gegas, gunjing itu tersiar, bahkan jauh sebelum pantang dan larang kami langgar. Toa-toa itu bagai beranak-pinak, sambung-menyambung, balik-bertimbal, berteriak di pangkal kuping kami. Perihal beban berat yang bakal ditimpakan di pundak kami, tentang utang yang selekasnya mesti kami lunasi. Diselang-selingi pula dengan peringatan yang kadang terdengar serupa ancaman: siapa melompat siapa jatuh. Sekali lagi, jauh sebelum pantang dan larang yang disebut-sebut itu kami terabasi. Seolah-olah kami telah lengah menimbang dan menakar, bahwa bila hidung dicucuk, tentulah mata bakal berair.Toa yang terus menyala itu telah menjadi sebab paling absah menghilangnya yang terhormat pengulu kami, Bendara Gemuk. Sudah empat petang tak tampak batang hidungnya di lepau kopi, tidak pula di surau. Di usia kepala tujuh, Gemuk tentu tiada bakal pergi jauh. Sesungguhnya ia tidak pergi, hanya saja tidak pulang, dari ladang gambirnya, di rimba Cempuya. Mengingat, kerabat dekat kami, Julfahri, bersikeras hendak mempersunting Nurhusni, yang tidak lain adalah juga sanak famili kami. Dua sejoli yang sedang mabuk kepayang itu berasal dari rumpun yang sama: Larenjang. Kawin sesuku, demikian leluhur kami menukilkan sebutan bagi pantang dan larang itu. Bila dilanggar, suku kami akan terbuang. Julfahri dan Nurhusni wajib kami hapus dari ranji silsilah dan hak waris. Keduanya diharamkan menginjakkan kaki di tanah Larenjang. Mereka harus angkat kaki dan tidak akan pernah ada tempat berpulang. Sementara itu, dalam beberapa musim, akibat menerabas pantangan, orang-orang Larenjang, tanpa kecuali, akan dikucilkan dari pergaulan antarsuku. Bagi kami, tidak akan berlaku lagi, duduk sama- rendah, apalagi tegak sama-tinggi. Pucuk pimpinan yang membawahi semua wilayah persukuan akan menetapkan denda, dan hukuman yang mesti kami jalani. Pendeknya, sebagaimana Julfahri dan Nurhusni, kami pun bakal merantau, meski bermukim di kampung sendiri.Maka, bagi Bendara Gemuk, daripada hidup berkalang malu, tentulah lebih baik mati berkalang tanah. Ia bertahan di rimba Cempuya, menggelepak di dangau lapuk dengan bekal seadanya. Meski lengang dan hawa dingin menusuk-nusuk tulang tuanya, tetap saja terasa lebih baik ketimbang terus-menerus mendengar desas-desus yang tak kunjung reda.Kenapa awak mesti menghamba pada aturan usang itu? begitu Julfahri berkelit ketika Gemuk mendesaknya untuk membatalkan rencana itu.Mentang-mentang bersekolah tinggi, berani kau melanggar pantangan adat? bentak Gemuk.Kami tidak punya hubungan tali-darah, jadi kami bisa menikah! Kami siap dibuang dari Larenjang!Tapi, bagaimana dengan kami yang akan menanggung malu seumur- umur?Bila tidak berbuat salah, kenapa harus malu?Kau tidak takut akibat dari melanggar pantangan itu?Awak hanya takut melanggar ajaran Tuhan!Jaga mulutmu, Julfahri. Bisa kualat kau nanti!2 Kami tidak menutup mata, bahwa tiga dari lima pengulu di setiap suku di kampung ini lebih kerap beroleh celaan ketimbang menerima pujian. Alih-alih mencurahkan perhatian pada kemenakan, mereka lebih kerap menjadi benalu dalam suku. Betapa tidak? Tengoklah para pengulu itu, bagai berlomba-lomba mengeruk kekayaan suku, lalu hasilnya diboyong ke rumah anak-bini. Mentang-mentang berkuasa, tak segan-segan mereka menggadai- melego tanah suku, guna membangun rumah batu, untuk istri dan anak-anaknya, sementara banyak kemenakannya putus sekolah lantaran tidak ada biaya. Maka jangan heran, kalau ada pengulu yang sudah dibawa-lalu, tidak lagi diperlakukan sebagaimana pengulu. Sekali waktu, ada pengulu yang sampai babak belur setelah dihajar-digebuk oleh kemenakannya sendiri.Namun, yang terhormat Bendara Gemuk, selalu dapat kami kecualikan. Sejak dulu, belum sekali pun ia mengecewakan kami. Nyaris separuh umurnya telah habis oleh segala macam urusan kemenakan. Tak jarang ia mesti bersitegang urat leher dengan istrinya, lantaran perhatiannya lebih tercurah pada kemenakan dalam suku Larenjang. Perkara seremeh apa pun yang menimpa kami, Gemuk selalu menjadi orang yang pertama kali turun-tangan menyelesaikannya. Bahkan bila terjadi kegentingan, ia tidak gamang pasang-badan demi membela kami, para kemenakannya. Suatu hari, ketika judi sabung merajalela di kampung ini, kami tertangkap tangan dan beberapa hari harus meringkuk di sel kantor polisi. Bendara Gemuk kasak-kusuk, berupaya mencarikan jalan, agar secepatnya kami terbebas dari kurungan. Begitu pun ketika kerabat kami Julfahri bertekad hendak menjadi sarjana, meski ibu-bapaknya melarat. Gemuk pula orang yang tak bisa dilupakan jasanya. Betapa tidak? Waktu itu, di kota provinsi, ia mencarikan induk-semang bagi Julfahri. Dari sanalah ia dapat membiayai kuliah hingga tercapai juga cita-citanya. Dan, ketika tiba masanya kami menerima pembagian jatah lahan untuk berladang, Gemuk melakukan pembagian dengan cara seadil-adilnya hingga tak seorang pun dari kami yang merasa kurang, apalagi mencurigai ada yang curang. Bila ada keluarga kami yang jatuh sakit, Gemuk yang pertama kali tahu kabar itu. Apalagi bila ada di antara kami yang merasa sudah patut menikah, Gemuk mengurusnya hingga tuntas. Pokoknya, bagi kami orang-orang Larenjang yang tak sempat mengecap sekolah tinggi ini, Bendara Gemuk lebih dari sekadar pengulu. Kami menghormatinya, sebagaimana kami menghormati ayah kami. Ajaran dan nasihatnya kami patuhi sebagaimana kami menuruti ajaran ibu-bapak kami.Maka, membuat lelaki sepuh itu terluka, sama dengan melukai perasaan kami. Merendahkan martabat Gemuk berarti juga menghina kami. Melangkahi Gemuk adalah juga menampar muka kami. Oleh karena itu, siapa pun yang mendukung rencana pernikahan terlarang antara Julfahri dan Nurhusni akan berhadapan dengan kami.Bila ajal Gemuk lebih lekas lantaran menanggung malu akibat perangai gilamu itu, kau tak bakal selamat! begitu kami menggertak Julfahri.Lantaran kami tidak berpendidikan sepertimu, kami tidak pandai menyelesaikan kusut ini dengan cara berunding.Lalu dengan cara apa kalian akan menyelesaikannya? tanya Julfahri, pongah.Dengan kerat kayu. Paham kau, keparat busuk?Atau mulut besarmu itu kami sumpal dengan ketupat bengkulu! 3Di usia sepetang ini, hidup sebatangkara di tanah rantau pula tentu akan menjadi tahun-tahun penghujung yang sulit bagi lelaki ringkih itu. Selepas kematian Yanuar, ia mengira musibah bakal bersudah. Namun, suratan nasib berkata lain, tak lama berselang, Imelda, anak perempuan yang dibangga-banggakannya, mengidap kanker otak stadium puncak. Berbagai cara telah ditempuh Julfahri dan Nurhusni guna menyelamatkan satu-satunya keturunan mereka yang tersisa. Selepas menjalani operasi dengan pertaruhan hidup-mati, kondisi Imelda kian memburuk. Julfahri dan Nurhusni mulai dihantui rasa gamang pada kehilangan yang kedua. Mereka begitu waswas, begitu cemas, bilamana hidup Imelda berakhir seperti saudaranya, Yanuar. Itu berarti mereka tidak akan punya siapa-siapa lagi, selain harta-benda yang melimpah-ruah itu. Apa guna kekayaan yang bertahun-tahun ia kumpulkan, bila akhirnya ia hidup seorang diri?Sementara itu, dalam kecemasan bakal kehilangan Imelda, istrinya perlahan-lahan menunjukkan tanda-tanda orang yang kurang sehat. Badannya kurus, sorot matanya begitu sayu, tak bergairah sebagaimana dulu. Kerisauan Julfahri kian bertambah-tambah. Dan, setelah berkali-kali diperiksa, Nurhusni divonis menderita diabetes, yang akhirnya berujung pada kehilangan daya penglihatannya. Buta permanen. Hanya berselang satu tahun selepas kepergian Imelda untuk selamanya, Nurhusni, perempuan yang diperjuangkan Julfahri dengan cara melanggar pantang dan larangan adat, mengembuskan napas penghabisan.Ah, betapa lekas, betapa gegas, orang-orang dekat Julfahri pergi. Musibah yang bagai sambung-menyambung itu mengingatkan ia pada mulut orang-orang kampungnya puluhan tahun silam, yang dari pagi ke pagi, bagai bersalin-rupa menjadi toa. Memaklumatkan gunjing dan pitanah perihal orang-orang Larenjang yang bakal terbuang, bahkan sebelum pantang dan larang itu dilanggar. Kenangan usang itu pula yang membangkitkan ingatannya pada Bendara Gemuk, yang di masa itu terpaksa menyingkir dari kampung, lantaran tak sanggup menanggung malu.Kini, setelah puluhan tahun perantauannya di tanah seberang, tajam sorot mata pengulu yang separuh usianya telah terkuras oleh urusan orang-orang Larenjang itu, kerap muncul dalam lamunannya. Ia sukar melupakan jasa Bendara Gemuk yang telah mencarikan induk-semang di kota provinsi, hingga ia bisa bekerja dan membiayai kuliah, meraih cita-cita sarjananya. Dan, yang paling menghantui kesendiriannya saat ini adalah perseteruan hebatnya dengan Bendara Gemuk sebelum ia nekat melanggar pantang. Ia menyadari, betapa perbuatannya di masa lalu telah melukai hati pengulu, dan menistai keluarga besar suku Larenjang. Hingga bumi jungkir-balik pun, kesalahan fatal itu tiada bakal terampuni. Tanah orang-orang Larenjang sudah mustahil menjadi tempat ia berpulang.Dalam kesepian yang terasa semakin ganjil, kadang lelaki renta itu berangan- angan, kelak bila waktunya tiba, ia ingin dimakamkan di tanah pemakaman suku Larenjang. Pulang ke pangkal jalan. Namun, tiba-tiba saja ada yang mendenging di kupingnya, dan lekas ia batalkan niat itu. Bila menimbang pantang dan larang yang telah ia langkahi, apalagi menakar arang yang tercoreng di kening Bendara Gemuk, dan amarah orang-orang Larenjang, tanah pemakaman itu tiada bakal sudi menerima bangkainya. Tanah Baru, 2011

GerobakKarya Seno Gumira AjidarmaKira-kira sepuluh hari sebelum Lebaran tiba, gerobak-gerobak berwarna putih itu akan muncul di berbagai sudut kota kami, seperti selalu terjadi dalam bulan puasa tahun-tahun belakangan ini. Gerobak itu tidak ada bedanya dengan gerobak pemulung, atau bahkan gerobak sampah lainnya, dengan roda karet dan pegangan kayu untuk dihela kedua lengan di depan. Hanya saja gerobak ini ternyata berisi manusia. Dari balik dinding gerobak berwarna putih itu akan tampak sejumlah kepala yang menumpang gerobak tersebut, biasanya seorang ibu dengan dua atau tiga anak yang masih kecil, dengan seorang bapak bertenaga kuat yang menjadi penghela gerobak tersebut.Karena tidak pernah betul-betul mengamati, aku hanya melihat gerobak-gerobak itu selintas pintas, ketika sedang berjalan merayapi berbagai sudut kota. Dari mana dan mau ke mana? Aku tidak pernah berada di batas kota dan melihat gerobak-gerobak itu masuk kota. Mereka seperti tiba-tiba saja sudah berada di dalam kota, kadang terlihat berhenti di berbagai tanah lapang, memasang tenda plastik, menggelar tikar, dan tidur-tiduran dengan santai. Tidak ketinggalan menanak air dengan kayu bakar dan masak seperlunya. Apabila tanah lapang sudah penuh, mereka menginap di kaki lima, dengan plastik menutup gerobak dan mereka tidur di dalamnya. Tidak jarang mereka memasang juga tenda di depan rumah-rumah gedung bertingkat. Salah satu dari gerobak itu berhenti pula di depan rumah gedung kakekku.Kakek, siapakah orang-orang yang datang dengan gerobak itu Kek? Dari manakah mereka datang?Kakek menjawab sambil menghela napas.Oh, mereka selalu datang selama bulan puasa, dan nanti menghilang setelah Lebaran. Mereka datang dari Negeri Kemiskinan.Negeri Kemiskinan?Ya, mereka datang untuk mengemis.Aku tidak bertanya lebih lanjut, karena kakekku adalah orang yang sibuk. Di samping menjadi pejabat tinggi, perusahaannya pun banyak sekali, dan Kakek tidak pernah membagi pekerjaannya yang berat itu dengan orang lain. Semuanya ia tangani sendiri. Dari jendela loteng, kuamati orang-orang di dalam gerobak itu. Anak-anak kecil itu tampaknya seusiaku. Namun kalau aku setiap hari disibukkan oleh tugas-tugas sekolah, anak-anak itu pekerjaannya hanya bermain-main saja. Kadang-kadang aku ingin sekali ikut bermain dengan anak-anak itu, tetapi Kakek tentu saja melarangku.Jangan sekali-sekali mendekati kere-kere itu, kata Kakek, kita tidak pernah tahu apa yang mereka pikirkan tentang kita.Apa yang mereka pikirkan Kek?Coba saja kamu setiap hari hidup di dalam gerobak di luar sana. Apa yang akan kamu pikir jika dari kegelapan melihat lampu-lampu kristal di balik jendela, dalam kerumunan nyamuk yang berdenging-denging melihat anak kecil berbaju bersih makan es buah dan pudding warna-warni waktu berbuka puasa?Aku tertegun. Apa maksud Kakek? Apakah mereka akan menculik aku? Ataukah setidaknya mereka akan melompat masuk jendela dan merampas makanan enak-enak untuk berbuka puasa ini? Aku memang selalu mendapat peringatan dari orangtuaku untuk hati-hati, bahkan sebaiknya menjauhi orang yang tidak dikenal. Memang mereka tidak pernah menyebutkan kata-kata semacam, Hati-hati terhadap orang miskin, atau Orang miskin itu jahat, tetapi kewaspadaan Ibu memang akan selalu meningkat dan segera menggandeng tanganku erat-erat apabila didekati orang-orang yang berbaju compang-camping dan sudah tidak jelas warnanya lagi. Dari balik topi tikar pandan mereka yang sudah jebol tepinya, memang selalu kulihat mata yang menatap, tetapi tak bisa kuketahui apa yang dikatakan mata itu.Sekarang aku tahu gerobak-gerobak berwarna putih itu datang dari Negeri Kemiskinan. Di mana tempatnya, Kakek tidak pernah menjelaskan, tetapi kurasa tentunya dekat-dekat saja, karena bukankah gerobak itu dihela oleh orang yang berjalan kaki? Demikianlah gerobak-gerobak itu dari hari ke hari makin banyak saja tampaknya. Benarkah, seperti kata Kakek, mereka datang untuk mengemis? Aku tidak pernah melihat mereka mengulurkan tangan di depan rumah- rumah orang untuk mengemis. Juga tidak kulihat mereka menengadahkan tangan di tepi jalan dengan batok kelapa atau piring seng di depannya. Jadi kapan mereka mengemis?Ternyata mereka memang tidak perlu mengemis untuk mendapat sedekah. Nenek misalnya selalu mengirimkan makanan yang berlimpah-limpah kepada gerobak yang menggelar tenda di depan rumah. Ketika kemudian gerobak-gerobak itu makin banyak saja berjajar-jajar di depan rumah, gerobak-gerobak yang lain itu juga mendapat limpahan makanan pula. Tampaknya orang-orang yang dianggap berkelebihan diandaikan dengan sendirinya harus tahu, bahwa manusia-manusia dalam gerobak itu perlu mendapat sedekah. Demikian pula manusia-manusia dalam gerobak itu tampaknya merasa, sudah semestinyalah mereka mendapat limpahan pemberian sebanyak-banyaknya tanpa harus mengemis lagi. Mereka cukup hanya harus hadir di kota kami dan mereka akan mendapatkan sedekah yang tampaknya mereka anggap sebagai hak mereka.Begitulah dari hari ke hari gerobak-gerobak putih itu memenuhi kota kami, bahkan mobil Kakek sampai sulit sekali keluar masuk rumah karena gerobak yang berderet-deret di depan pagar. Di jalan-jalan gerobak itu bikin macet, dan di tepi jalan keluarga gerobak yang memasang tenda-tenda plastik seperti berpiknik itu sudah sangat mengganggu pemandangan. Manusia-manusia gerobak ini seperti bersikap dunia adalah milik mereka sendiri. Sepanjang hari mereka hanya bergolek-golek di atas tikar, tidur-tiduran menatap langit dengan santai, dan mereka seperti merasa harus mendapat makanan tepat pada waktunya. Pernah pembantu rumah tangga di rumah Kakek yang terlambat sedikit mengantar kolak untuk berbuka puasa, karena tentu mendahulukan Kakek, mendapat omelan panjang dan pendek. Tetangga-tetangga juga sudah mulai jengkel.Tenang saja, kata Kakek, sehabis Lebaran mereka akan menghilang, biasanya kan begitu.Tapi kali ini banyak sekali, mereka seperti mengalir tidak ada habisnya.Ya, tapi kapan mereka tidak kembali ke tempat asal mereka? Mereka selalu menghilang sehabis Lebaran, pulang ke Negeri Kemiskinan.Para tetangga tidak membantah. Mereka juga berharap begitu. Setiap tahun menjelang hari Lebaran gerobak-gerobak memenuhi kota, tetapi setiap tahun itu pula mereka akan selalu menghilang kembali.***Pada hari Lebaran, gerobak-gerobak itu ternyata tidak semakin berkurang. Meskipun kota kami selalu menjadi sunyi dan sepi setiap kali Lebaran tiba, kali ini kota kami penuh sesak dengan gerobak yang rupanya setiap hari bertambah dengan kelipatan berganda. Gerobak-gerobak itu masih saja berisi anak-anak kecil dan perempuan dekil, dihela seorang lelaki kuat yang melangkah keliling kota. Mereka berkemah di depan rumah-rumah gedung, mereka tidur-tiduran sambil memandang rumah-rumah gedung yang indah, kokoh, kuat, asri, dan mewah dari luar pagar tembok. Pada hari Lebaran, penghuni rumahrumah gedung itu banyak yang pulang kampung, meninggalkan rumah yang kadang-kadang dijaga satpam, dititipkan kepada tetangga, atau ditinggal dan dikunci begitu saja.Lebih dari separuh warga kota mudik ke kampungnya masing-masing pada hari Lebaran, pada saat yang sama gerobak-gerobak masuk kota entah dari mana, pasti tidak lewat jalan tol, entah dari mana, seperti hadir begitu saja di dalam kota. Apabila kemudian warga kota kembali dari kampung, kali ini gerobak-gerobak itu masih tetap di sana. Berkemah dan menggelar tikar di sembarang tempat, bahkan sebagian telah pula masuk, merayapi tembok, melompati pagar, dan hidup di dalam rumah- rumah gedung itu.Warga kota yang memasuki kembali rumah-rumah mereka terkejut, orang-orang yang datang bersama gerobak itu telah menduduki rumah tersebut, makan di meja makan mereka, tidur di tempat tidur mereka, mandi di kamar mandi mereka, dan berenang di kolam renang mereka. Apakah mereka maunya hidup di dalam rumah-rumah gedung yang selalu mereka tatap dari luar pagar dengan pikiran entah apa dan meninggalkan gerobak mereka untuk selama-lamanya?Mereka masih di sini Kek, padahal hari Lebaran sudah berlalu, kataku kepada Kakek.Lagi-lagi Kakek menghela napas.Mereka memang tidak bisa pulang ke mana-mana lagi sekarang.Bukankah mereka bisa pulang kembali ke Negeri Kemiskinan?Ya, tetapi Negeri Kemiskinan sudah terendam lumpur sekarang, dan tidak ada kepastian kapan banjir lumpur itu akan selesai.Sekarang aku mengerti kenapa orang-orang itu tampak sangat amat dekil. Rupa-rupanya seluruh tubuh mereka seperti terbalut lumpur, sehingga kadang-kadang mereka tampak seperti patung yang bisa hidup dan bergerak-gerak. Baru kusadari betapa manusia-manusia gerobak ini memang sangat jarang berkata-kata. Seperti mereka betul-betul hanyalah patung dan hanya mata mereka akan menatapmu dengan seribu satu makna yang terpancar dari sana.Mereka yang tiada punya rumah di atas bumi, di manakah mereka mesti tinggal selain tetap di bumi?Kakek merasa gelisah dengan perkembangan ini.Bagaimana nasib cucu-cucu kita nanti, katanya kepada Nenek, apakah mereka harus berbagi tempat tinggal dengan kere unyik itu?Siapa pula suruh merendam negeri mereka dengan lumpur, sahut Nenek, kita harus menerima segala akibat perbuatan kita. Heran, kenapa manusia tidak pernah cukup puas dengan apa yang sudah mereka miliki.Aku tidak terlalu paham bagaimana lumpur bisa merendam Negeri Kemiskinan. Apakah maksudnya lumpur kemiskinan? Aku hanya tahu, setelah hari Lebaran berlalu, gerobak-gerobak putih sama sekali tidak pernah berkurang. Sebaliknya semakin lama semakin banyak, muncul di berbagai sudut kota entah dari mana, menduduki setiap tanah yang kosong, bahkan merayapi tembok, melompati pagar, memasuki rumah-rumah gedung bertingkat, tidak bisa diusir dan tidak bisa dibunuh, tinggal di sana entah sampai kapan. Barangkali saja untuk selama-lamanya.Pondok Aren,Minggu, 7 Oktober 2006.