Upload
mariorinaldi
View
438
Download
21
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Tatakelola perusahaan terkait dengan peran stakeholder dengan contoh kasus adalah Susno Duaji.
Citation preview
MAKALAH MATA KULIAH TATAKELOLA PERUSAHAAN
“PERAN PEMANGKU KEPENTINGAN”
OLEH :
AGATHA MAHARANI PUTRI 1106060671
GENTIGA M ZAIRIN 1106001372
JENNIFER HAKIM 1106075654
SAVIRA LYANIE SYAQIA 1106075502
SHALINA ARINDA PUTRI 1106001132
STEPHANIE SIMATUPANG 1106012161
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS INDONESIA
2014
Statement of Authorship
“Saya/kami yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa makalah/tugas
terlampir adalah murni hasil pekerjaan saya/kami sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain
yang saya/kami gunakan tanpa menyebutkan sumbernya.
Materi ini tidak/belum pernah disajikan/digunakan sebagai bahan untuk makalah/tugas
pada mata ajaran lain kecuali saya/kami menyatakan dengan jelas bahwa saya/kami
menyatakan dengan jelas menggunakannya.
Saya/kami memahami bahwa tugas yang saya/kami kumpulkan ini dapat diperbanyak
dan atau dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme.”
Mata Ajaran : Tatakelola Perusahaan
Judul Makalah : Makalah Tatakelola Perusahaan Studi Kasus Susno Duadji
Tanggal : Rabu, 7 Mei 2014
Dosen : Ipung Purwatiningsih
DAFTAR ISI
STATEMENT OF AUTHORSHIP .......................................................................................
DAFTAR ISI ..........................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................
BAB II LANDASAN TEORI ..................................................................................................
2.1 OECD CG Principle 4
2.2 Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
2.3 Peraturan Perundangan Whistleblower
2.4 Jurnal Kakabadse et.al. (2005)
BAB III PEMBAHASAN KASUS .........................................................................................
3.1 Profil Susno Duadji
3.2 Kronologis Kasus
3.3 Keterkaitan Kasus dengan Teori
3.4 Kesimpulan dan Saran
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
Perusahaan dalam kesehariannya tentu berhubungan dengan banyak pihak, mulai dari
karyawan, pemasok, pemerintah, dan sebagainya. Seluruh pihak tersebut, baik yang
berhubungan langsung maupun tidak, adalah stakeholder perusahaan yang harus diperhatikan
kesejahteraannya. Optimalisasi nilai perusahaan tidak akan dapat tercapai apabila tidak
mempertimbangkan kepentingan stakeholder dalam keputusan-keputusan perusahaan. Good
Corporate Governance (GCG) sangat erat kaitannya dengan kesejahteraan stakeholder.
Terdapat beberapa peraturan dan jurnal yang telah membahas mengenai stakeholder dan
kaitannya dengan bisnis perusahaan. Salah satu stakeholder yang memerlukan perhatian
ekstra di zaman yang penuh dengan fraudulent actions ini adalah whistleblower.
Saat ini, whistleblower menjadi isu yang banyak menarik perhatian di Indonesia.
Sistem whistleblowing sendiri merupakan salah satu bentuk dari penerapan good corporate
governance. Efektivitas implementasi dan monitoring dari GCG sangat bergantung pada
pelaporan atas tindakan ilegal atau tidak etis yang disampaikan whistleblower, yang
seringkali merupakan karyawan perusahaan. Prinsip ke-4 dari OECD Principles of Corporate
Governance menjelaskan bahwa pemegang kepentingan harus dapat secara bebas
mengkomunikasikan adanya tindakan ilegal/tidak etis di dalam perusahaan kepada board
tanpa konsekuensi kehilangan hak-haknya. Karena itu, perlindungan atas whistleblower
sangat penting bagi corporate governance.
Di Amerika Serikat, Sarbanes-Oxley Act mensyaratkan bahwa perusahaan-perusahaan
yang terdaftar di bursa saham harus menerapkan jalur pelaporan yang membantu pegawainya
untuk melaporkan masalah dalam hal akuntansi, keuangan, dan pelanggaran kode etik. Hal
ini dilakukan untuk mendorong perkembangan praktik-praktik terbaik baru dalam rangka
menciptakan GCG. Sedangkan di Indonesia, whistleblowing system merupakan sistem
pelaporan pelanggaran yang masih tergolong baru. Dalam rangka mendorong terciptanya
GCG, KNKG menerbitkan suatu pedoman yang diberi judul “Pedoman Sistem Pelaporan
Pelanggaran (SPP) atau Whistleblowing System (WBS)”. Namun, pedoman ini hanya bersifat
anjuran dan tidak wajib diikuti perusahaan. Sampai dengan tahun 2013, di Indonesia sendiri
belum ada undang-undang yang mengatur perlindungan whistleblower dan mekanisme
penerapan whistleblowing system. Karena itu, mekanisme yang ada selama ini masih
mengacu pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan
korban di samping pedoman KNKG di atas.
Karena tidak adanya peraturan yang mengikat secara hukum, whistleblower di
Indonesia sering kali mengalami pembalasan oleh pihak yang dilaporkan dan sering kali juga
seorang whistleblower justru menjadi tersangka atas tindakan yang ia laporkan dan pihak
yang dilaporkan justru dapat terbebas dari jeratan hukum. Salah satu kasus whistleblower di
Indonesia adalah mantan Kabareskrim Mabes Polri Susno Duadji yang membeberkan adanya
kasus mafia hukum di lembaga peradilan dan keterlibatan beberapa individu dalam kasus
Bank Century.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 OECD PRINCIPLES IV “THE ROLE OF STAKEHOLDERS IN CORPORATE
GOVERNANCE”
Prinsip OECD IV membahas tentang peranan Stakeholders dalam Corporate Governance.
Secara umum, prinsip ini menyatakan bahwa:
“Kerangka corporate governance harus mengakui hak stakeholders yang dicakup oleh
perundang-undangan atau perjanjian dan mendukung secara aktif kerjasama antara
perusahaan dan stakeholders dalam menciptakan kesejahteraan, lapangan pekerjaan, dan
sustainability dari kondisi keuangan perusahaan yang dapat diandalkan”.
Pada dasarnya, kerangka tata kelola perusahaan harus memasukkan unsur-unsur pemegang
kepentingan didalamnya. Kesuksesan perusahaan berasal dari kontribusi berbagai macam
pihak, termasuk juga para pemangku kepentingan seperti karyawan, kreditur, ataupun
suppliers. Memelihara dan mengoptimalkan kerjasama antara perusahaan dengan para
stakeholders-nya dapat meningkatkan keefektifan kinerja perusahaan. Salah satu caranya
adalah dengan melindungi kepentingan para stakeholders baik melalui peraturan atau
perjanjian yang berlaku ataupun dengan kesadaran perusahaan untuk memenuhi hak-hak
stakeholders-nya.
Terdapat 6 poin dalam prinsip OECD IV ini, yaitu:
A. ”Hak-hak stakeholders yang terdapat dalam perundang-undangan atau perjanjian harus
dihormati”.
Di semua negara anggota OECD, hak-hak stakeholders tercipta melalui peraturan seperti
Undang-Undang Ketenagakerjaan atau Undang-Undang Usaha dan melalui perjanjian.
Jika hak-hak stakeholders tidak tercakup dalam peraturan ataupun perjanjian di atas
banyak perusahaan yang memiliki komitmen tambahan untuk menjamin pemenuhan hak-
hak para stakeholders-nya karena memerhatikan nama baik dan kepentingan perusahaan.
B. “Jika kepentingan stakeholders dilindungi oleh undang-undang, maka stakeholders harus
memiliki kesempatan untuk menuntut secara efektif hak-hak yang dilanggar”.
Kerangka kerja dan proses hukum yang berlaku harus transparan dan tidak menghalangi
stakeholder dalam melaporkan dan memeroleh hak mereka untuk menuntut atau meminta
ganti rugi apabila terjadi pelanggaran terhadap hak-hak mereka.
C. “Mekanisme peningkatan kinerja bagi partisipasi karyawan harus diperbolehkan untuk
berkembang”.
Implementasi tingkat partisipasi karyawan dalam corporate governance sangat bervariasi
tergantung dari peraturan dan kebijakan perusahaan. Peningkatan partisipasi karyawan
dalam tata kelola perusahaan dapat memberikan manfaat baik secara langsung maupun
tidak langsung kepada perusahaan, seperti dengan adanya kesiapan karyawan dalam
menginvestasikan kemampuan yang dimilikinya dalam perusahaan. Contoh mekanisme
peningkatan kinerja perusahaan melalui partisipasi karyawan adalah: adanya perwakilan
karyawan dalam Dewan, keterlibatan karyawan dalam pengambilan keputusan, Employee
Stock Option Plan, dan dana pensiun.
D. “Jika stakeholders berpartisipasi dalam proses tata kelola perusahaan, maka stakeholders
harus memiliki akses terhadap informasi yang relevan, memadai, dan dapat diandalkan
secara tepat waktu dan berkala”.
Stakeholders harus memiliki akses atas informasi yang dibutuhkan secara akurat, tepat
waktu, dan berkala dalam rangka pemenuhan kewajibannya terhadap perusahaan.
E. “Stakeholders masuk di dalamnya karyawan dan serikat pekerja dapat secara bebas
mengomunikasikan kekhawatiran mereka terhadap praktik illegal atau unethical practices
kepada Dewan Komisaris dan pelaporan tersebut tidak boleh memengaruhi hak-hak
mereka”.
Perusahaan harus membuat system whistleblower yang melindungi hak-hak pelapora dan
yang secara efektif menanggapi laporan-laporan tersebut, Hal ini penting karena tindakan-
tindakan yang illegal atau tidak etis dapat menghancurkan reputasi perusahaan. Berkaitan
dengan whistleblower, sub prinsip OECD ini mengharuskan perusahaan atau manajemen
perusahaan untuk tidak memberikan sanksi atau mengurangi hak-hak pihak yang
melakukan complain tersebut.
F. ”Kerangka tata kelola perusahaan harus dilengkapi dengan kerangka terkait likuiditas
dalam jangka panjang serta penegakan hokum yang efektif dan efisien atas hak-hak
kreditur”.
Di negara-negara yang termasuk emerging market seperti Indonesia, kreditur merupakan
stakeholder utama. Besarnya kredit yang diberikan oleh kreditur tersebut sangat
tergantung pada hak-hak kreditur dan bagaimana enforcement dari hak-hak tersebut.
Secara umum, perusahaan yang beroperasi di negaradengan rating GCG yang baik akan
memperoleh dana yang lebih besar dan jangka waktu kredit yang lebih menguntungkan
dibandingkan dengan perusahaan yang beroperasi pada Negara dengan rating GCG yang
kurang baik.
Kreditur juga harus mendapatkan perlidungan khusus jika perusahaan mengalami
kesulitan keuangan yang berakibat kepada kemampuannya dalam memenuhi kewajiban
keuangannya (insolvensi). Implementasi kerangka insolvensi perusahaan sangat bervariasi
dibeberapanegara, contohnya adalah pada saat menghadapi kesulitan keuangan, debitur
(perusahaan) diwajibkan untuk menyediakan informasi tepat waktu tentang kesulitan
keuangan perusahaan serta solusi yang telah disepakati antara debitur dan kreditur. Ada
juga hak khusus yang disebut dengan debtor in possession, yaitu perlindungan atas
kreditur yang menyediakan dana pada saat perusahaan menghadapi kebangkrutan.
2.2 PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA YANG TERKAIT
DENGAN PERLINDUNGAN PEMANGKU KEPENTINGAN
Seperti yang kita ketahui, pemangku kepentingan memiliki peranan yang sangat penting
dalam tata kelola perusahaan. Oleh karena itu, peraturan yang melindungi kepentingan para
stakeholders sangat penting untuk dimiliki oleh suatu Negara.
Adapun peraturan perundang-undangan di Indonesia terkait dengan perlindungan pemangku
kepentingan yang akan di bahas dalam makalah ini adalah:
1. Perlindungan Ketenagakerjaan (UU No. 13 Tahun 2003)
2. Perlindungan Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999)
3. Perlindungan Saksi dan Korban (UU No. 13 Tahun 2006)
4. Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU No. 5 Tahun 1990)
Perlindungan Ketenagakerjaan
Tenaga kerja memiliki peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan
tujuan pembangunan. Oleh karena itu, diperlukan undang-undang yang jelas untuk
meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peran sertanya dalam pembangunan, serta untuk
meningkatkan perlindungan tenaga kerja. Perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan
untuk menjamin hak hak dasar pekerja dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan
yang sama untuk setiap tenaga kerja. Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
ketenagakerjaan pada dasarnya di atur dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
Pengertian tenaga kerja berdasarkan pasal 1 ayat 2 UU No. 13 tahun 2003 tentang
ketenagakerjaanadalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun
di luar hubungan kerja, guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan
sendiri maupun masyarakat. Sedangkan pengertian pekerja/buruh terdapat di pasal 1 ayat 3
UU No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, yang menjelaskan bahwa pekerja/buruh
adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Secara teoritis, perlindungan tenaga kerja dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
1. Perlindungan Sosial atau Kesehatan Kerja
Perlindungan tenaga kerja dalam bentuk jaminan kesehatan kerja, dan kebebasan
berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi. Kesehatan kerja bermaksud
melindungi atau menjaga pekerja/buruh dari kejadian atau keadaan hubungan kerja
yang merugikan kesehatan dan kesusilaannya dalam hal pekerja/buruh melakukan
pekerjaannya. Peraturan tersebut tercantum dalam Bab X UU No 13 Tahun 2003.
2. Perlindungan Teknis Atau Keselamatan Kerja
Perlindungan tenaga kerja dalam bentuk keamanan dan keselamatan kerja. Berbeda
dengan perlindungan kerja lain yang umumnya ditentukan untuk kepentingan
pekerja/buruh saja, keselamatan kerja ini tidak hanya memberikan perlindungan
kepada pekerja/buruh, tetapi kepada pengusaha dan pemerintah.
Bagi pekerja/buruh, adanya jaminan perlindungan keselamatan kerja akan
menimbulkan suasana kerja yang tentram sehingga pekerja/buruh dapat
memusatkan perhatian pda pekerjaannya semaksimal mungkin tanpa khawatir
sewaktu-waktu akan tertimpa kecelakaan kerja.
Bagi pengusaha, adanya pengaturan keselamatan kerja di dalam
perusahaannya akan dapat mengurangi terjadinya kecelakaan yang dapat
mengakibatkan pengusaha harus memberikan jaminan sosial.
Bagi pemerintah (dan masyarakat), dengan adanya dan ditaatinya peraturan
keselamatan kerja, maka apa yang direncanakan pemerintah untuk
mensejahterakan masyrakat akan tercapai dengan meningkatnya produksi
perusahaan baik kualitas maupun kuantitas.
Dasar pembicaraan masalah keselamatan kerja ini sampai sekarang adalah UU No 1
Tahun 1970 tentang keselamatan kerja
3. Perlindungan Ekonomis atau Jaminan Sosial
Perlindungan tenaga kerja dalam bentuk penghasilan yang cukup, termasuk bila
tenaga kerja tidak mampu bekerja di luar kehendaknya. Penyelenggara program
jaminan sosial merupakan salah satu tangung jawab dan kewajiban Negara untuk
memberikan perlindungan sosial ekonomi kepada masyarakat. Jaminan sosial tenaga
kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang
sebagai pengganti sebagian penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan
sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa
kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan meninggal
dunia.Indonesia, Undang-undang Jaminan SosialTenagakerja, No, 3 Tahun
1992 Pasal 10.
Dalam UU No.13 Tahun 20013, secara lebih jelas mengatur tentang perlindungan
pekerja/buruh yang termasuk di dalamnya tentang perlindungan atas hak-hak dasar
pekerja/buruh untuk berunding dengan pengusaha, perlindungan keselamatan dan kesehatan
kerja, perlindungan khusus bagi pekerja/buruh perempuan, anak, dan penyandang cacat, serta
perlindungan tentang upah, kesejahteraan, dan jaminan sosial tenaga kerja.
Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen pada umumnya diatur dalam UU No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen. Menurut Pasal 1 UU No. 8 Tahun 1999, perlindungan konsumen
adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan
kepada konsumen.Dengan adanya UU Perlindungan Konsumen beserta perangkat hukum
lainnya, konsumen memiliki hak dan posisi yang berimbang, dan mereka pun bisa menggugat
atau menuntut jika ternyata hak-haknya telah dirugikan atau dilanggar oleh pelaku usaha.
Berdasarkan Pasal 2 UU No. 8 Tahun 1999, terdapat lima asas perlindungan konsumen,
yaitu:
1. Asas Manfaat
Mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen
harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku
usaha secara keseluruhan
2. Asas Keadilan
Partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan
kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan
melaksanakan kewajibannya secara adil,
3. Asas Keseimbangan
Memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan
pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual,
4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen
Memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalarn
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau
digunakan;
5. Asas Kepastian Hukum
Baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan
dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian
hukum.
Sesuai Pasal 3 UU No. 8 Tahun 1999, perlindungan konsumen bertujuan untuk:
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi
diri;
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari
ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut
hak-haknya sebagai konsumen
4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian
hukum, keterbukaan informasi serta akses untuk memperoleh informasi;
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha, sehingga tumbuh sikap jujur dan
bertanggungjawab dalam penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas.
6. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha
produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
konsumen.
Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan
tentang hak-hak konsumen sangat penting agar setiap orang dapat bertindak sebagai
konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya adalah jika terjadi tindakan yang tidak adil
terhadap dirinya, konsumen dapat bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak dan
kewajibannya.
Berdasarkan Pasal 4 UU No. 8 Tahun 1999, hak-hak konsumen adalah sebagai berikut:
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa.
b. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan
kondisi serta jaminan yang dijanjikan .
c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang/jasa.
d. Hak untuk didengar pendapat keluhannya atas barang/jasa yang digunakan.
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut.
f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskrimainatif.
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika barang/jasa
yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Kewajiban Konsumen Sesuai dengan Pasal 5 UU No. 8 Tahun 1999 adalah:
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut
Perlindungan Saksi dan Korban
Perlindungan saksi dan korban pada umumnya diatur dalam UU No. 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban. Menurut Pasal 1 Ayat 1 UU No 13 Tahun 2006, saksi adalah
seseorang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan,
penuntutan dan peradilan suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan/atau
ia alami sendiri. Hal ini sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Saksi dinyatakan sebagai orang yang hendak memberikan keterangan guna
kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara
pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan atau ia alami sendiri. Sedangkan pengertian
korban berdasarkan Pasal 1 Ayat 2 UU No. 13 Tahun 2006, korban dinyatakan sebagai
seseorang yang mengalami penderitaan fisik maupun mental serta kerugian ekonomi yang
diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
Keterangan yang diberikan korban/saksi memainkan peran kunci bagi keberhasilan suatu
tuntutan peradilan, sehingga para pelaku kejahatan sering mencoba melakukan upaya-upaya
khusus, termasuk memberi janji-janji muluk ataupun intimidasi langsung, guna mencegah
korban memberikan kesaksiannya. Perlindungan bagi saksi dan korban harus didasarkan pada
undang-undang agar memiliki kekuatan hukum yang mengikat secara nasional.
Dengan adanya UU No. 13 Tahun 2006, Undang-Undang ini dapat memberikan perlindungan
pada saksi dan korban dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan
peradilan. Adapun perlindungan saksi dan korban berasaskan pada:
1. Penghargaan atas harkat dan martabat manusia;
2. Rasa aman;
3. Keadilan;
4. Tidak diskriminatif; dan
5. Kepastian hukum.
Perlindungan Saksi dan Korban bertujuan memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau
Korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana (Pasal 4 UU
No.13 Tahun 2006). Adapun secara spesifik, tujuan dari pemberian perlindungan khusus bagi
saksi dan korban adalah untuk:
1. Mendorong korban/saksi kekerasan untuk berperan serta dalam proses investigasi dan
penuntutan hukum melalui adanya peraturan/prosedur yang menciptakan rasa aman
secara fisik dan psikologis.
2. Mengurangi trauma yang dialami korban/saksi
3. Melindungi korban/saksi dari kekerasan, serangan pembalasan ataupun stigmatisasi.
4. Menghasilkan penghukuman bagi yang bersalah melakukan kejahatan.
Perlindungan bagi saksi/korban yang bersifat menyeluruh harus mencakup lima tahapan yang
dilalui saksi/korban, yaitu: tahap pertolongan pertama (gawat darurat), yaitu ketika peristiwa
baru saja terjadi, tahap investigasi, tahap pra persidangan, tahap persidangan serta tahap
pasca persidangan (setelah putusan akhir). Perlindungan bagi saksi/korban merupakan
tanggung jawab perangkat penegak hukum/ pemerintah maupun masyarakat.
Sistem perlindungan saksi/korban yang komprehensif mensyaratkan keterlibatan tiga pihak
yang berbeda, yaitu:
1. Negara, terutama lembaga penegak hukum
2. Lembaga penyedia Iayanan masyarakat,
3. Masyarakat di lingkungan tempat tinggal korban/saksi
Sesuai Pasal 5 UU No. 13 Tahun 2006, seorang Saksi dan Korban berhak:
a) memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta
bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah
diberikannya;
b) ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan
keamanan;
c) memberikan keterangan tanpa tekanan;
d) mendapat penerjemah;
e) bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f) mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
g) mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
h) mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
i) mendapat identitas baru;
j) mendapatkan tempat kediaman baru;
k) memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
l) mendapat nasihat hukum; dan/atau
m) memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan
berakhir
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dibentuk berdasarkan UU No 13 Tahun
2006 Berdasarkan Pasal 1 Ayat 3 UU No. 13 Tahun 2006, LPSK adalah lembaga yang
bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi
dan/atau Korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang itu. LPSK ini sendiri merupakan
lembaga yang mandiri, berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia, dan
mempunyai perwakilan di daerah sesuai dengan keperluan.
LPSK bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada Saksi
dan Korban berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
ini. (Pasal 12 UU No.13 Tahun 2006). Serta, LPSK bertanggung jawab kepada Presiden dan
LPSK membuat laporan secara berkala tentang pelaksanaan tugas LPSK kepada Dewan
Perwakilan Rakyat paling sedikit sekali dalam 1 (satu) tahun (Pasal 123 UU No. 13 Tahun
2006).
Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya
Undang-undang ini berfokus pada pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber daya
alam hayati dalam ekosistemnya secara serasi dan seimbang. Pemerintah mengharapkan
upaya ini dapat berguna bagi peningkatan kesejateraan masyarakat dan mutu kehidupan
manusia. Konservasi sumber daya alam yang dimaksud dibagi menjadi tiga yaitu:
perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan
satwa beserta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya.
Pada dasarnya, setiap pemegang hak atas tanah dan hak pengusahaan di perairan, termasuk
perusahaan, harus menjaga kelangsungan fungsi perlindungan wilayah tersebut. Sementara
kenyataannya, banyak perusahaan yang tidak mengindahkan peraturan ini dan bahkan
melakukan penebangan ilegal. Sebenarnya, terdapat prosedur penyidikan oleh aparat negara
terhadap pelanggaran konservasi sumber daya alam yang dimaksud di dalam undang-undang
tersebut. Penyidik berwenang untuk:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak
pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
c. memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan suaka alam dan kawasan
pelestarian alam;
d. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana di bidang konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
e. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan sehubungan dengan tindak
pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
f. membuat dan menandatangani berita acara;
g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana
di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Secara peraturan, undang-undang tersebut mencakup berbagai hal yang harus dilakukan
perusahaan, tetapi pada praktiknya, pelanggaran terhadapnya tidak dijatuhi hukuman berat
sehingga akhirnya perusahaan semakin semena-mena dan sumber daya alam Indonesia semakin
tergerus.
2.3 PERATURAN PERUNDANGAN WHISTLEBLOWER
Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011, Mahkamah Agung menerjemahkan
istilah whistleblower sebagai pelapor tindak pidana yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana
tertentu dan bukan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya. Hingga saat ini belum ada
peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai whistleblower di Indonesia.
Namun hal ini diatur secara eksplisit dalam UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban, yang kemudian diikuti dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang
Perlakuan terhadap Pelapor Tindak Pidana (whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama
(justice collaborator).
Undang-undang lainnya yang juga secara eksplisit mengatur whistleblower adalah Undang-Undang
Tindak Pencucian Uang dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Undang-Undang No
8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindakan Pidana Pencucian Uang, terdapat
satu bagian khusus yang membahas mengenai pelaporan dan pengawasan kepatuhan. Dalam bagian
inilah secara eksplisit diatur siapa saja yang dapat menjadi whistleblower dalam kasus pencucian
uang dan bagaimana cara pelaporannya.
Menurut UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Pasal 5
(1) Seorang Saksi dan Korban berhak:
a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta
bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah
diberikannya;
b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan
keamanan;
c. memberikan keterangan tanpa tekanan;
d. mendapat penerjemah;
e. bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
g. mendapatkan informasi mengenai keputusan pengadilan;
h. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
i. mendapat identitas baru;
j. mendapatkan tempat kediaman baru;
k. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
l. mendapat nasihat hukum; dan/atau
m. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Saksi dan/atau Korban tindak
pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK.
Pasal 10
(1) Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata
atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.
(2) Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari
tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi
kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan
dijatuhkan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap Saksi, Korban, dan
pelapor yang memberikan keterangan tidak dengan itikad baik.
Saat ini proses revisi terhadap Undang-Undang No 13 Tahun 2006 sedang berlangsung dan dalam
draft revisi tersebut telah ditambahkan beberapa poin penting yang mengatur langsung mengenai
whistleblower. Salah satu poin revisi tersebut terdapat pada Pasal 10, di antaranya adalah penambahan
poin mengenai:
Pemisahan tempat tahanan dan penjara yang berjauhan dengan tersangka dan/atau
narapidana lain yang diungkap;
Pemberkasan yang terpisah dengan terdakwa lain atas tindak pidana yang
diungkapkannya;
Dan/atau penundaan penuntutan atas tindak pidana yang diungkapkannya dan/atau tindak
pidana lain yang diakuinya;
Penundaan proses hukum atas pengaduan yang timbul karena informasi, laporan dan/atau
kesaksian yang diberikannya.
Whistleblower yang terbukti bersalah terlibat melakukan kejahatan dapat memperoleh
penghargaan berupa: keringanan tuntutan; penghapusan penuntutan; pemberian remisi
dan/atau grasi atas dasar pertimbangan khusus apabila pelapor pelaku adalah seorang
narapidana.
Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung No 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak
Pidana (Whistleblower) Dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborators) di dalam Perkara
Tindak Pidana Tertentu
8. Pedoman-pedoman yang harus ditaati dalam penanganan kasus yang melibatkan Pelapor
Tindak Pidana (Whistleblower) adalah sebagai berikut:
a. Yang bersangkutan merupakan pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana
tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini dan bukan merupakan bagian dari
pelaku kejahatan yang dilaporkannya;
b. Apabila Pelapor Tindak Pidana dilaporkan pula oleh terlapor, maka penanganan perkara
atas laporan yang disampaikan oleh Pelapor Tindak Pidana didahulukan dibanding
laporan dari terlapor.
Selain undang-undang yang telah disebutkan di atas, ada juga beberapa undang-undang yang dapat
dijadikan pedoman bagi seorang whistleblower untuk menentukan tindakan yang hendak diungkap itu
masuk kategori dilarang, bertentangan maupun membahayakan kepentingan publik, yakni:
1. Kejahatan yang diatur dalam KUHP;
2. Kejahatan yang diatur dalam UU Tindak Pidana Korupsi;
3. Kejahatan yang diatur dalam UU Tindak Pidana Narkotika;
4. Kejahatan yang diatur dalam UU Terorisme;
5. Perbuatan yang diatur dalam UU Pengelolaan Hidup;
6. Tindakan yang dilarang dalam UU Kesehatan;
7. Tindakan yang dilarang dalam UU Konsumen, dan UU lainnya yang berkaitan dengan
perlindungan kepentingan publik.
Menurut kami, hingga saat ini peraturan perundangan yang mengatur mengenai whistleblower di
Indonesia masih sangat kurang sehingga menimbulkan keraguan dalam beberapa hal. Peraturan
perundangan khusus yang mengatur mengenai whistleblower secara detail dan terpisah sangatlah
diperlukan. Dalam peraturan perundangan yang sudah ada saat ini, masih terdapat berbagai
kelemahan seperti: pengertian whistleblower yang pasti belum ada; panduan yang lengkap dan pasti
mengenai bagaimana cara pengungkapan, informasi yang dapat diungkap, dan lembaga yang
berwenang untuk menanganinya belum ada; serta mekanisme perlindungan yang tepat atas
whistleblower juga belum ada. Hal-hal ini kiranya perlu menjadi perhatian dalam membuat peraturan
perundangan mengenai whistleblower yang lebih komprehensif.
2.4 JURNAL ‘CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY AND STAKEHOLDER
APPROACH: A CONCEPTUAL REVIEW’
Jurnal yang ditulis oleh Kakabadse, Rozuel, dan Lee-Davies pada tahun 2005 ini menganalisa
kontribusi para ahli dan pebisnis dalam konsepcorporate social responsibility (CSR)untuk
kemudian menentukan elemen utama yang membentuk CSR. Selain itu, jurnal ini juga
membahas segala implikasi dari perkembangan stakeholder model melalui literatur yang ada.
Para ahli ekonomi sejak berabad-abad yang lalu telah mempelajari pola manajerial suatu
perusahaan. Adam Smith berpendapat bahwa saat perusahaan dibebaskan untuk mengejar
profit dan efisiensi, seharusnya ia menguntungkan kebaikan pihak umum. Di sisi lain,
Friedman berpendapat bahwa profit adalah tanggung jawab sosial perusahaan apabila dicapai
dengan cara yang etis dan sesuai hukum. Friedman merasa bahwa perusahaan seharusnya
melayani lingkungan sosial yang ada di sekitarnya, tapi nyatanya justru pebisnis lebih sering
merugikan daripada menguntungkan. Penyimpangan tersebut disebut ‘shareholder model’
karena dianggap hanya memusatkan bisnis pada kepentingan shareholder yang sebenarnya
hanya bagian kecil dari seluruh stakeholder.
Sepanjang tahun 1950an hingga 1970an, para ahli terus mengembangkan konsep bisnis yang
diharapkan untuk bertanggungjawab dalam melayani masyarakat dalam hal yang melebihi
obligasi. Puncak penelitian akan CSR terjadi pada tahun 1980 sehingga akhirnya timbul
Corporate Social Responsibility, stakeholder theory, dan stakeholder management model.
Perdebatan mengenai konsep-konsep tersebut terus berlangsung karena saat itu CSR
dianggap sebagai sesuatu yang menekan perlawanan atau penolakan masyarakat
dibandingkan kesadaran perusahaan untuk merespon kebutuhan stakeholder seperti
shareholder sendiri. Seiring dengan berjalannya waktu, CSR terus semakin disorot karena
para pebisnis melihat adanya hubungan positif antara CSR dengan keuntungan jangka
panjang.
Pengertian dan interpretasi dari CSR sendiri sempat menjadi permasalahan karena kurangnya
suatu dasar atau framework yang dapat digunakan. Para akademisi dan pebisnis menciptakan
begitu banyak definisi CSR dengan berbagai versi, mulai dari yang dilihat dari perspektif
sosial sampai bisnis dan yang berupa definisi praktis sampai ke managerial scope. Salah satu
contohnya adalah definisi Baker (2003), seorang akademisi yang berpendapat bahwa CSR
adalah bagimana perusahaan mengatur proses bisnisnya untuk menghasilkan dampak positif
secara keseluruhan untuk masyarakat.
CSR dikatakan memiliki konsep yang sedikit berbeda dari Corporate Philantrophy yang
didefinisikan sebagai aksi ‘giving back’ oleh perusahaan untuk masyarakat berupa sebagian
kekayaannya sebagai bentuk terima kasih atas input masyarakat. CSR adalah secara
komprehensif menilai dampaknya dalam masyarakat dan merancang rencana, kebijakan, serta
tools untuk meningkatkan performanya terhadap masyarakat. Aksi philantrophy hanyalah
sebagian kecil dari CSR.
Dari keseluruhan definisi yang disimpulkan dari puluhan bahkan ratusan literatur mengenai
CSR, Kakabadsen menyimpulkan beberapa karakteristik utama dari CSR yang membuat
konsep ini menjadi berarti dan dapat dikembangkan. Berikut adalah hasil penelitian:
1. Perspektif Jangka Panjang
CSR adalah sesuatu yang akan berguna dalam jangka panjang dan dapat menghasilkan
economic gain. Meskipun sulit untuk diukur secara finansial, CSR dapat memberikan aset
yang berharga untuk keuntungan di masa mendatang (social power).
2. Melebihi Hukum
Kegiatan CSR melebihi dari sekadar kepatuhan terhadap peraturan ekonomi, teknis, serta
legal yang berlaku bagi perusahaan, karena pada dasarnya CSR adalah sesuatu yang
bersifat sukarela untuk diterapkan. Terdapat aspek moralobligation dan prinsip normatif
yang harus diterapkan dalam CSR.
3. Accountability untuk Stakeholder
Perusahaan bertanggungjawab kepada berbagai stakeholder yang dapat diidentifikasi dan
memiliki kepentingan tertentu atas kegiatan perusahaan, baik yang diminta secara hukum
maupun yang diekspektasi secara moral.
4. Kontrak Sosial
Perspektif kontrak sosial memampukan perusahaan untuk bertindak dengan tanggung
jawab bukan untuk kepentingan komersial saja, tetapi karena hal tersebut adalah bagian
dari bagaimana masyarakat mengharapkan bisnis tersebut dalam operasionalnya. Kontrak
sosial menyelaraskan ekspektasi masyarakat dengan ekspektasi perusahaan.
5. Notion of Power
Sumber CSR didasarkan pada kekuatandan pengaruh yang dimiliki perusahaan dalam
suatu masyarakat dan menyebabkan timbulnya moral effects.Wilson (2000) mengatakan
bahwa CSR berhubungan dengan berbagai tingkat perilaku untuk memenuhi prinsip etika
yang diakui secara umum akan ‘good behavior’ serta desakan untuk mengatasi masalah
sosial yang kemungkinan dipengaruhi oleh kegiatan bisnis perusahaan. CSR adalah suatu
peraturan baru yang menjembatani kedua definisi tersebut.
6. Legitimasi Aktivitas Bisnis
Masyarakat menentukan mana yang benar dan salah, contohnya adalah kekuatan untuk
menilai. Maka dari itu, dalam jangka panjang, perusahaan yang menggunakan
kekautannya tidak sesuai dengan definisi ‘bertanggungjawab’ oleh masyarakat, akan
kehilangan legitimasinya.
7. Proses Kontekstual
CSR adalah suatu proses dibanding rangkaian outcomes. CSR tidak dapat menjadi suatu
konsep statis karena masyarakat adalah sesuatu yang dinamis. Maka dari itu, CSR menjadi
sebih proses yang berkelanjutan untuk mengawasi lingkungan dan hubungan, bukan suatu
misi tetap yang ditujukan kepada kelompok tertentu dengan prioritas yang telah ditentukan
dan tetap. Karakteristik terakhir adalah CSR dalam prakteknya merupakan sesuatu yang
sangat kontekstual, sensitif terhadap lingkungan, organisasi, dan bahkan individu tertentu.
Saat ini, CSR terus berkembang dan telah menghasilkan konsep-konsep baru yang terus
disempurnakan. Salah satu literatur yang berpengaruh adalah Wood (1991) berpendapat
bahwa CSR dikelompokkan menjadi tiga prinsip utama, yaitu: prinsip legitimasi, prinsip
tanggung jawab publik, serta prinsip individual-focused. Hal tersebut menjadi dasar bagi
definisi CSR yang lebih jelas. Konsep yang lebih baru lagi adalah Total Quality Management
(TQM) Framework yang membutuhkan ethical anchor untuk mengombinasikan permintaan
normatif dengan ekspektasi instrumental, serta bertujuan untuk mencapai performa yang
sustainable.
Salah satu konsep yang paling umum adalah pendekatan stakeholder (stakeholder approach)
yang telah dibahas dalam begitu banyak literatur hingga tentunya menimbulkan perdebatan.
Kesulitan utama dalam penerapannya adalah latar belakang penelitian yang begitu beragam.
Pada intinya, stakeholder approach adalah sesuatu yang sangat bertolak belakang dengan
shareholder approach. Jones & Wicks (1999) menyimpulkan empat hal utama dari
stakeholder theory, yaitu: (1) perusahaan memiliki hubungan dengan stakeholder, (2) proses
dan hasil dari hubungan tersebut adalah kepentingan, (3) kepentingan dari legitimate
stakeholder memiliki nilai, (4) fokus stakeholder theory adalah managerial decision-making.
Untuk merangkum, Jones (2002) berpendapat bahwa konsep stakeholder adalah ‘untuk
perform well, manajer harus memperhatikan seluruh susunan stakeholder dan manajer juga
memiliki obligasi kepada para stakeholder termasuk dengan, tetapi melebihi, shareholder.
Pada dasarnya, tujuan stakeholder approach bukanlah untuk mengalihkan tujuan perusahaan
dari profit, melainkan untuk memperluas shareholder model. Perusahaan sudah banyak yang
melakukan hal ini dengan menerapkan balanced scorecard. Terdapat dua perspektif dalam
stakeholder approach yaitu instrumental theory yang mengatakan bahwa stakeholder
approach adalah suatu instrumen untuk mencapai hasil yang diinginkan, terutama
profitability. Kedua adalah normative approach yang beranggapan bahwa stakeholder
approach adalah legitimasi utama yang etis akan tuntutan stakeholder mengenai tujuan
organisasional perusahaan.
Pada praktiknya, terdapat kritik terhadap stakeholder approach karena seringkali timbul
managerial practicality yang lemah dan seringkali tidak memberikan panduan akan
bagaimana menghadapi stakeholder secara konkret. Tetapi, hal tersebut adalah sesuatu yang
harus dilakukan untuk mendapatkan legitimasi dari masyarakat. Convergent stakeholder
theory menjembatani masalah tersebut dengan memadukan instrumental dan normative
approach.
Sebenarnya, siapakah yang dimaksud dengan stakeholder? Stakeholder adalah semua pihak
yang terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam aktivitas bisnis. Namum,
cakupan yang terlalu luas dapat menjadikan stakeholder sebagai pihak yang justru
membahayakan daripada mendukung perusahaan. Maka dari itu, perlu dilakukan stakeholder
mapping, power/interest matrix, atau stakeholder moral responsibilities’ matrix. Beberapa
pebisnis mengelompokkan stakeholder sebagai primary/secondary, eksternal/internal,
sosial/non-sosial, dan masih banyak lagi. Stakeholder yang umum adalah shareholder,
konsumen, pemasok, komunitas lokal, kompetitor, dan lain-lain.
Secara umum, tidak ada definisi dan panduan tertentu yang menentukan bentuk CSR dalam
perusahaan. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan keadaan yang dihadapi masing-masing
perusahaan. Maka dari itu, setiap manajer harus secara bijak menentukan bagaimana bentuk
CSR yang paling tepat untuk dilakukan. Kakabadse berpendapat bahwa manajemen adalah
inti atau core element dari suatu perusahaan dan diharapkan mampu menyeimbangi antara
hak (moral) dan kepentingan perusahaan. Peran kepemimpinan sangat penting untuk
membentuk dan mengarahkan iklim perusahaan agar sesuai dengan norma yang diakui secara
umum. Pemimpin harus meyakinkan seluruh karyawannya bahwa CSR adalah lebih dari
sekadar nilai dan ia harus mendorong nilai tersebut melalui perilakunya sendiri.
Walaupun CSR masih menjadi sesuatu yang kurang memiliki paradigma umum, para
pebisnis dan akademisi terus menyempurnakan untuk merancang framework dari
implementasinya. Konsep CSR dengan aktivitas bisnis telah menjadi sesuatu yang saling
bersinggungan dan dapat disimpulkan menjadi sebuah teori dan berbagai literatur. Penelitian
cenderung mendemonstrasikan bahwa individu tertentu, khususnya pemimpin perusahaan,
memegang peranan penting dalam pelaksanaan CSR. Seiring dengan semakin tingginya
kesadaran masyarakat akan tanggung jawab sosial, perusahaan harus merubah arah bisnisnya.
BAB III
ANALISIS KASUS SUSNO DUADJI
3.1 Profil Susno Duadji
Komjen Pol (Purn.) Drs. Susno Duadji, S.H, M.Sc. (lahir di Pagar Alam, Sumatera
Selatan, 1 Juli 1954; umur 59 tahun) adalah mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri
(Kabareskrim Polri) yang menjabat sejak 24 Oktober 2008 hingga 24 November 2009.
Sebelumnya, ia menjabat sebagai Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK) dan Kapolda Jawa Barat.
Lulus dari Akabri Kepolisian 1977, Susno yang menghabiskan sebagian kariernya
sebagai perwira polisi lalu lintas, dan telah mengunjungi 90 negara untuk belajar menguak
kasus korupsi. Kariernya mulai meningkat ketika ia dipercaya menjadi Wakapolres
Yogyakarta, dan berturut-turut setelah itu Kapolres di Maluku Utara, Madiun, dan Malang.
Susno mulai ditarik ke Jakarta, ketika ditugaskan menjadi kepala pelaksana hukum di Mabes
Polri dan mewakili institusinya membentuk KPK pada tahun 2003. Tahun 2004 ia ditugaskan
di Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Sekitar tiga tahun di PPATK,
Susno kemudian dilantik sebagai Kapolda Jabar dan sejak 24 Oktober 2008 menggantikan
Irjen Pol Soenarko Danu Ardanto. Ia menjadi Kepala Badan Reserse dan Kriminal Mabes
Polri menggantikan Bambang Hendarso Danuri.
Susno Duadji sempat menyatakan mundur dari jabatannya pada tanggal 5 November
2009, akan tetapi pada 9 November 2009 ia aktif kembali sebagai Kabareskrim Polri. Namun
demikian, pada 24 November 2009 Kapolri secara resmi mengumumkan pemberhentiannya
dari jabatan tersebut.
Kode sebutan (call sign) Susno sebagai "Truno 3" atau orang nomor tiga paling
berpengaruh di Polri setelah Kapolri dan Wakapolri, menjadi populer di masyarakat umum
setelah sering disebut-sebut terutama dalam pembahasan kasus kriminalisasi KPK. Meskipun
demikian, kode resmi untuk Kabareskrim sesungguhnya adalah "Tribrata 5", sedangkan
Truno 3 adalah kode untuk Direktur III Tipikor (Tindak Pidana Korupsi).
Riwayat karir Susno Duadji sebelum menjabat sebagai Kabareskrim Polri, sbb:
1. Pama Polres Wonogiri tahun 1978
2. Kabag Serse Polwil Banyumas tahun 1988
3. Waka Polres Pemalang tahun 1989
4. Waka Polresta Yogyakarta tahun 1990
5. Kapolres Maluku Utara tahun 1995
6. Kapolres Madiun tahun 1997
7. Kapolres Malang tahun 1998
8. Waka Polwitabes Surabaya tahun 1999
9. Wakasubdit Gaptid Dit Sabhara Polri tahun 2001
10. Kabid Kordilum Babinkum tahun 2001
11. Kabid Rabkum Div Binkum Polri tahun 2001
12. Kapolda Jawa Barat tahun 2008
3.2 Kronologi Kasus Whistle-blowing Susno Duadji
Secara keseluruhan, ada setidaknya empat kasus yang membuat Susno Duadji disorot
oleh media. Kasus-kasus tersebut adalah: kasus korupsi pengadaan Sistem Komunikasi Radio
Terpadu (SKRT) di Departemen Kehutanan, kasus pembunuhan yang melibatkan mantan
Ketua KPK Antasari Azhar, kasus kriminalisasi petinggi KPK, kasus dana Bail-out Bank
Century, dan kasus penggelapan pajak Gayus Tambunan. Setelah banyak berbicara di depan
umum, terutama setelah beliau mundur dari Bareskrim, ia justru dijerat kasus atas suap dan
dana pengamanan Pilkada Jawa Barat (saat ia masih menjabat Kapolda Jabar). Berikut
kronologi lengkap kasus yang melibatkan Susno Duadji baik beliau sebagai saksi, sebagai
Kepala Bareskrim ataupun sebagai tersangka.
16 Juli 2008: Yusuf Erwin Faisal, mantan ketua Komisi IV DPR, ditahan KPK karena diduga
menerima uang suap alih fungsi lahan untuk dijadikan Pelabuhan Tanjung Api-api, Musi
Banyuasin, Sumatera Selatan.
29 Juli 2008: KPK menggeledah ruang kerja Yusuf di gedung PT Masaro Radiokom di Jalan
Talang Betutu 11-A, Jakarta Pusat. Sebanyak sembilan dus dokumen disita.
30 Juli 2008: Setelah penggeledahan tersebut, KPK menemukan kasus baru, yakni dugaan
korupsi pengadaan alat Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Departemen
Kehutanan yang melibatkan Yusuf dan Direktur PT Masaro Anggoro Widjojo.
15 Agustus 2008: KPK menggeledah kantor Departemen Kehutanan, termasuk ruang Setjen
Dephut.
10 Oktober 2008: Ketua KPK Antasari Azhar bertemu dengan Anggoro di Singapura.
13 Oktober 2008: Wakil Ketua Komisi IV DPR Suswono, setelah diperiksa oleh KPK,
mengatakan proyek SKRT senilai Rp 730 miliar dengan Motorola harus dinegosiasikan
ulang.
14 Oktober 2008: Anggota Komisi Kehutanan DPR Tamsil Linrung, menyerahkan dokumen
ke KPK berisi dugaan korupsi kasus SKRT pada 2007 senilai Rp 180 miliar dan laporan audit
Badan Pemeriksa Keuangan tahun 2007 tentang pembelian alat komunikasi fiktif Rp 13
miliar.
20 Oktober 2008: Menteri Kehutanan M.S. Kaban diperiksa KPK terkait dengan kasus suap
yang melibatkan anggota Komisi Kehutanan DPR Periode 1999-2004.
7 April 2009: Kabareskrim Polri, Komjen Pol Drs Susno Duadji SH Msc mengirim surat ke
Direksi Bank Century tentang hasil klarifikasi uang milik PT Lancar Sampoerna Bestari
(perusahaan milik Boedi Sampoerna) di bank tersebut.
4 Mei 2009: Antasari Azhar ditahan di Polda Metro Jaya sebagai tersangka kasus
pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen.
16 Mei 2009: Antasari membuat testimoni tentang penerimaan uang sebesar Rp 6,7 miliar
oleh sejumlah pimpinan KPK dari balik penjara. Dia juga mengaku pernah menemui
Anggoro di Singapura.
24 Juni 2009: Anggoro ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pengadaan alat Sistem
Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Departemen Kehutanan yang melibatkan Yusuf dan
Direktur PT Masaro Anggoro Widjojo. Dia diduga menyuap Yusuf senilai 60.000 dollar
Singapura dan Rp 75 juta untuk mendapatkan proyek pengadaaan alat SKRT tahun 2006-
2007 di Departemen Kehutanan sebesar Rp 180 miliar.
30 Juni 2009: Susno merasa teleponnya disadap terkait kasus penggelapan dana bank
Century yang ditangani Mabes Polri. Saat itulah meluncur pakem Cicak Lawan Buaya.
“Masak cicak kok berani lawan buaya,” katanya merespon adanya penyadapan tersebut.
2 Juli 2009: Bibit Samad Rianto memastikan KPK hanya menyadap pihak yang terindikasi
korupsi.
6 Juli 2009: Antasari secara resmi melaporkan dugaan suap terhadap pimpinan KPK terkait
kasus yang melibatkan PT Masaro ke Polda Metro Jaya.
9 Juli 2009: KPK memasukkan Anggoro ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) dan
mengumumkannya ke seluruh jajaran kepolisian dan kejaksaan di Indonesia. Anggoro masih
berada di Singapura.
10 Juli 2009: Kabareskrim Susno Duadji menemui Anggoro di Singapura untuk
mengklarifikasi kebenaran laporan mantan Ketua KPK Antasari Azhar terkait dugaan
pemerasan/penyuapan yang dilakukan Chandra dan Bibit.
15 Juli 2009: Anggodo Widjojo (adik Anggoro) dan Ary Mulyadi membuat pengakuan
dirinya menyerahkan uang suap sebesar Rp. 5,1 miliar ke pimpinan KPK Bibit dan Chandra.
21 Juli 2009: KPK temukan surat pencabutan pencekalan palsu terhadap Anggoro.
7 Agustus 2009: Polisi memperoleh fakta adanya tindak pidana penyalahgunaan wewenang
oleh Bibit dan Chandra terkait pencekalan dan pencabutan cekal yang tidak dilakukan secara
kolektif. Chandra cekal Anggoro, Bibit cekal Joko Tjandra, lalu Chandra cabut pencekalan
terhadap Joko.
20 Agustus 2009: Ary Mulyadi mencabut pengakuannya dan menyatakan tidak pernah
memberikan uang ke pimpinan KPK, tapi menyerahkannya ke pengusaha bernama Yulianto
yang mengaku kenal dengan orang KPK. Pengakuan sebelumnya dibuat karena adanya
pesanan dengan jaminan dirinya tidak akan ditahan.
3 September 2009: Polri memanggil keempat pimpinan KPK KPK (Chandra M Hamzah,
Bibit Samad Rianto, M Jasin dan Haryono Umar) dan empat pejabat lainnya terkait testimoni
Antasari. KPK tidak penuhi panggilan Polri.
9 September 2009: Bibit mengaku KPK sedang menyelidiki keterlibatan seorang petinggi
Polri berinisial SD dalam kasus bank Century.
11 September 2009: Polisi mulai memeriksa keempat pimpinan KPK terkait dugaan
penyalahgunaan wewenang dalam pencekalan Anggoro Widjojo dan Joko Tjandra.
15 September 2009: Bibit dan Chandra ditingkatkan statusnya dari saksi menjadi tersangka
dalam kasus penyalahgunaan wewenang.
21 September 2009: Presiden mengeluarkan Keppres pemberhentian sementara Bibit dan
Chandra. Presiden juga meneken Perppu yang memungkinkan penunjukan langsung Plt
Pimpinan KPK.
25 September 2009: Kuasa hukum KPK Bambang Widjajanto mengaku tidak menerima
salinan BAP Bibit-Chandra dan curiga ada rekayasa dalam kasus ini.
2 Oktober 2009: Pengacara Bibit melaporkan dugaan penyalahgunaan wewenang oleh
Kabareskrim Mabes Polri Susno Duadji ke Presiden SBY dan Kapolri Bambang Hendarso
Danuri.
3 Oktober 2009: Berkas Bibit dan Chandra diserahkan ke Kejaksaan Agung.
5 Oktober 2009: Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum) Mabes Polri yang memeriksa
Susno mengumumkan tidak ada penyalahgunaan wewenang terkait penanganan kasus Bibit-
Chandra. Saat itu, tambahan delik pertemuan Susno-Anggoro di Singapura tidak disertakan
dalam pemeriksaan.
9 Oktober 2009: Kejagung mengembalikan berkas Chandra ke Mabes Polri karena belum
lengkap.
15 Oktober 2009: Pengacara Bibit-Chandra mengaku punya bukti kuat yang menunjukkan
adanya rekayasa kriminalisasi terhadap kliennya.
20 Oktober 2009: Kejagung mengembalikan berkas Bibit dan Chandra ke Mabes Polri
karena belum lengkap.
20 Oktober 2009: Polri menjelaskan pertemuan antara Susno dan Anggoro di Singapura
tidak melanggar hukum. Pasalnya, status Anggoro di Kepolisian bukanlah tersangka,
melainkan hanya sebagai saksi dalam kasus dugaan pemerasan/penyuapan yang dilakukan
Bibit dan Chandra.
21 Oktober 2009: Bibit mengatakan bukti rekaman percakapan pejabat Polri dan Kejagung
ada di tangan Ketua Sementara KPK.
22 Oktober 2009: Kapolri tolak berkomentar soal rekaman percakapan.
23 Oktober 2009: Transkrip rekaman rekayasa kriminalisasi KPK beredar di media massa.
Isinya percakapan antara Anggodo (adik Anggoro) dengan mantan Jamintel Wisnu Subroto
dan Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga. Percakapan pada Juli-Agustus 2009 itu
disebut-sebut merancang kriminalisasi KPK. Nama petinggi kepolisian dan RI 1 juga disebut.
29 Oktober 2009: Dalam putusan selanya, MK menunda pemberhentian pimpinan KPK yang
menjadi terdakwa sampai ada putusan akhir MK. Selain itu, MK juga meminta KPK
menyerahkan semua dokumen berupa transkrip dan rekaman.
29 Oktober 2009: Bibit dan Chandra ditahan di Markas Komando Brimob Kelapa Dua
Depok. Polisi menilai kedua tersangka melakukan tindakan mempersulit jalannya
pemeriksaan dengan menggiring opini publik melalui pernyataan-pernyataan di media serta
forum diskusi.
2 November 2009: Presiden SBY bentuk Tim Delapan (Tim Independen Klarifikasi Fakta
dan Proses Hukum Kasus Bbibt dan Chandra) yang diketuai oleh Adnan Buyung Nasution.
Anggota tim: mantan anggota Komnas HAM Koesparmono Irsan, staf khusus Presiden
bidang hukum Denny Indrayana, mantan Dekan FHUI Hikmahanto Juwana, Rektor
Universitas Paramadina Anies Baswedan, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta
Komaruddin Hidayat dan Ketua Departemen Hukum Partai Demokrat Amir Syamsudin.
2 November 2009: Kapolri meminta maaf atas munculnya istilah Cicak dan Buaya yang
menurutnya dilontarkan oleh oknum polisi. Kapolri akan mengambil tindakan tegas atas
munculnya istilah yang telah menyudutkan institusi kepolisian tersebut. Masyarakat diminta
tidak lagi menggunakan istilah “Cicak dan Buaya”.
3 November 2009: Penahanan Bibit-Chandra ditangguhkan. Keduanya keluar dari penjara
pada dini hari. Beberapa jam kemudian, Mahkamah Konstitusi memperdengarkan rekaman
sepanjang 4,5 jam dalam persidangan uji yang berisi percakapan antara Anggodo dengan
sejumlah petinggi di Kejaksaan Agung dan Mabes Polri.
3 November 2009: Pada hari yang sama, Presiden SBY mengaku terganggu dengan
maraknya penggunaan istilah cicak versus buaya. Sementara itu, Polri periksa Anggodo
Widjojo terkait rekaman pembicaraannya dengan sejumlah petinggi Polri dan Kejagung.
4 November 2009: Tim Delapan bertemu dengan Kapolri di kantor Wantimpres dan
merekomendasikan tiga hal, yaitu penangguhan penahanan Bibit dan Chandra,
pembebastugasan Susno, dan penahanan Anggodo Widjojo. Sementara itu, Ary Muladi
mendatangi kantor Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK); dan Anggodo Widjojo
ternyata tidak ditahan dan diam-diam meninggalkan Bareskrim Polri pukul 21.25.
5 November 2009: Kabareskrim Polri Susno Duadji dan Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim
Ritonga mengundurkan diri dari jabatan.
24 Maret 2010: Susno ditetapkan sebagai tersangka pencemaran nama baik dan penghinaan
Brigadir Jenderal Edmon Ilyas dan Brigadir Jenderal Raja Erizman. Sebelumnya, Susno
memaparkan keterlibatan dua jenderal bintang satu itu dalam kasus misteri dana pajak Rp 25
miliar yang dimiliki mafia pajak Gayus Tambunan.
12 April 2010: Susno ditangkap Propam Mabes Polri di Bandara Terminal II D Soekarno-
Hatta saat hendak berangkat ke Singapura untuk berobat. Dia dinilai bersalah karena pergi ke
luar negeri tanpa izin pimpinan. Proses penangkapan disiarkan secara eksklusif oleh Metro
TV.
10 Mei 2010: Susno jadi tersangka kasus penanganan perkara PT Salmah Arowana Lestari
(SAL) senilai Rp 500 miliar, dan kasus dana pengamanan Pilkada Jabar 2008 senilai Rp 8
miliar.
29 September 2010: Susno menjalani sidang pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
dengan dakwaan menerima suap untuk memperlancar kasus PT SAL, dan pemotongan serta
pengamanan Pilgub Jabar.
24 Maret 2011: Pengadilan Negeri memvonis Susno dengan hukuman 3 tahun 6 bulan
penjara, denda Rp 200 juta dan membayar kerugian negara sebesar Rp 4 miliar atau penjara 1
tahun. Susno mengajukan banding.
9 November 2011: Pengadilan Tinggi Jakarta menguatkan keputusan PN Jakarta Selatan
dalam kasus korupsi dana pengamanan Pilkada Jawa Barat, dengan menambahkan jumlah
kerugian negara yang harus dibayar menjadi Rp 4,2 miliar. Putusan ini tertuang dalam PT
DKI No.35/PID/TPK/2011/PT.DKI a.n. Drs Susno Duadji SH MH MSc.
8 Desember 2011: Tim Kuasa Hukum Susno mendaftarkan kasasi kasus penggelapan dana
pengamanan Pemilihan Umum Kepala Daerah Jawa Barat.
22 November 2012: Mahkamah Agung menolak kasasi Susno lewat putusan nomor
899K/Pid.Sus/2012.
6 Desember 2012: Susno mengatakan sangat menghormati putusan kasasi dan akan taat
hukum. “Tidak usah khawatir saya akan lari. Pengacara saya sudah beri jaminan. Kami sudah
hubungi eksekutor, Kejari Jaksel. Bahwa Susno Duadji siap setiap saat dan kalau bisa secepat
mungkin dieksekusi, asal surat resminya sudah ada. Malam ini pun siap,” tandasnya.
11 Februari 2013: Putusan kasasi diterima Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat yang langsung
melayangkan surat panggilan eksekusi pertama ke terpidana Susno Duadji. Pada saat yang
sama, Susno mengirimkan surat ke kejaksaan yang isinya: meminta petikan putusan kasasi
dan siap dieksekusi
5 Maret 2013: Pengacara Susno, Fredrich Yunadi, menolak memenuhi panggilan eksekusi
karena dalam putusan MA tidak ada perintah penahanan badan seperti diatur dalam pasal 197
ayat 1 huruf k KUHAP.
13 Maret 2013: Kejaksaan melayangkan surat panggilan kedua.
19 Maret 2013: Kejaksaan, untuk terakhir kalinya, melayangkan surat panggilan ketiga.
Susno bergeming. Dia tetap menolak dipenjara.
10 April 2013: Video pernyataan Susno ditayangkan di YouTube. Dia mengawali
testimoninya dengan menceritakan kasus-kasus besar yang dihadapi saat menjabat
Kabareskrim (Bank Century, Gayus Tambunan, Antasari Azhar), dan memaparkan alasannya
menolak dieksekusi kejaksaan.
24 April 2013: Tim kejaksaan mendatangi kediaman Susno di Bandung (Jalan Dago Pakar
Nomor 6, Ciburial, Cimenyan) sekitar pukul 10.20 WIB. Susno dan jaksa sempat bersitegang
karena Susno menolak dieksekusi. Kuasa hukum Susno, Fredrich Yunadi, dan Ketua Majelis
Syuro Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra pun mendatangi kediaman Susno. Massa
dari organisasi masyarakat juga memenuhi kediaman mantan Kapolda Jabar itu. Untuk
menghindari hal yang tidak diinginkan, Susno akhirnya dibawa ke Mapolda Jabar pada sore
harinya.
29 April 2013: Kejaksaan Agung menetapkan Susno sebagai buronan, setelah sehari
sebelumnya tidak menemukan Susno di dua rumahnya di Wijaya dan Cilandak (Jalan Wijaya
X No 1, Jakarta Selatan; Jalan Abuserin No 2b Cilandak, Fatmawati, Jakarta Selatan).
30 April 2013: Pengacara Yusril Ihza Mahendra menayangkan artikel di Kompasiana
berjudul “Mengapa Kejaksaan Tidak Konsisten?“. Dia mengkritik kejaksaan yang
membatalkan putusan PK Mahkamah Afung karena tidak karena tidak memenuhi ketentuan
Pasal 197 ayat 1 huruf d KUHAP. “Kalau Putusan Tommy Suharto tidak mememuhi
ketentuan Pasal 197 ayat (2) huruf d, sementara Putusan Susno tidak memenuhi ketentuan
yang sama huruf k KUHAP, yang menurut PS 197 ayat 2 sama-sama batal demi hukum,”
tulisnya.
1 Mei 2013: Kabiro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Ridwan Mansyur menerangkan,
penolakan kasasi oleh MA dapat dimaknai bahwa Kejaksaan harus melaksanakan Putusan
Pengadilan Tinggi. Sementara mantan Ketua Mahkamah Agung Harifin Andi Tumpa
menandaskan, tidak dicantumkannya Pasal 197 ayat 1 huruf (k) tidak membuat putusan cacat
hukum karena pasal itu bersifat alternatif, artinya tidak mutlak dan sifatnya pesistis.
2 Mei 2013: Susno menyerahkan diri dan dijemput oleh tim kejaksaan yang ditunjuk Jaksa
Agung Basrief Arief secara diam-diam (karena waktu itu Kejagung dan Polri masih
memburunya sebagai buronan). Dia lalu dijebloskan ke LP Cibinong Klas II B, persis seperti
permintaan yang disampaikan kuasa hukum keluarganya kepada Jaksa Agung, beberapa jam
sebelumnya. Kuasa Hukum Susno mengatakan akan mengajukan Peninjauan Kembali (PK).
3 Mei 2013: Presiden SBY angkat bicara. Dia meminta kasus Susno ditangani secara
profesional dan proporsional sesuai dengan asas hukum yang berlaku. Sementara itu, Yusril
Ihza Mahendra menilai langkah Susno menyerahkan diri untuk dieksekusi tidak menunjukkan
dirinya bersalah. Dia menyerahkan diri karena berhadapan dengan kekuasaan dan
pembentukan opini luar biasa yang menyalahkannya. Pada hari yang sama, KPU memastikan
akan mencoret caleg dari Partai Bulan Bintang ini dari daftar caleg 2014.
Menurut Susno, kasus yang menjeratnya merupakan hasil rekayasa Polri sebagai
pembalasan atas pengakuannya terkait kasus mafia hukum. Pada Maret 2010, Pengadilan
Negeri (PN) Jakarta Selatan menjatuhkan vonis kepada Susno penjara 3,5 tahun dan denda
Rp 200 juta dalam kasus penyuapan PT SAL. Vonis ini lebih rendah dari tuntutan jaksa yaitu
penjara 7 tahun karena Susno dianggap sebagai justice collaborator. Dalam kasus korupsi
dana pengamanan Pemilihan Pilgub Jawa Barat, pengadilan menjatuhkan vonis kepada Susno
yang terbukti melanggar Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman
hukuman 20 tahun penjara. Susno pun mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI
Jakarta. Banding Susno ditolak PT DKI Jakarta dan kasasinya juga ditolak oleh Mahkamah
Agung. Selanjutnya surat panggilan eksekusi dikirimkan kepada Susno, namun Susno
menolak memenuhinya walaupun panggilan telah dikirimkan sebanyak tiga kali dan
ditetapkan sebagai buronan. Pada Mei 2013, Susno menyerahkan diri dan dijemput oleh tim
kejaksaan secara diam-diam karena statusnya yang masih menjadi buronan.
3.3 Kaitan Kasus Susno Duadji dengan Teori Whistle-blowing
3.3.A Peraturan Perundangan Indonesia
“Perlindungan saksi dan korban pada umumnya diatur dalam UU No. 13 Tahun 2006
Tentang Perlindungan Saksi dan Korban”. Menurut Pasal 1 Ayat 1 UU No 13 Tahun 2006,
Susno Duadji dapat dikatakan sebagai saksi karena beliau dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan peradilan atas perkara pidana kasus
pajak PT Arwana, penyelewengan dana pengamanan Pilgub Jabar dan mafia hukum.
Keterangan yang Susno yang memainkan peran kunci bagi keberhasilan suatu tuntutan
peradilan, sehingga menyebabkan intimidasi langsung berupa penuduhan kasus penerimaan
gratifikasi, guna mencegah Susno memberikan kesaksian lebih.
"Surat keputusan LPSK tanggal 24 Mei 2010 menyatakan bahwa Susno Duadji adalah
seorang whistle blower". Menurut SK LPSK, Susno berhak dilindungi dari intimidasi,
ancaman atau lainnya meski beliau di dalam penjara. Tidak melindungi secara fisik, namun
perlindungan prosedural, termasuk permohonan kepada hakim untuk meringankan hukuman.
Bukti nyata yaitu hukuman 7 tahun penjara kepada Susno atas kasus penerimaan gratifikasi
menjadi 3,5 tahun.
3.3.B OECD Principles IV “The Role of Stakeholders in Corporate Governance”
“Jika kepentingan stakeholders dilindungi oleh undang-undang, maka stakeholders harus
memiliki kesempatan untuk menuntut secara efektif hak-hak yang dilanggar”
Berdasarkan kasus diatas dapat dilihat bahwa Susno Duadji telah menuntut haknya sebagai
pengungkap kasus untuk dilindungi termasuk dari tuduhan kasus penerimaan gratifikasi.
Namun menurut kuasa hukumnya, bantuan dari komisi HAM dan LPSK tidak optimal dan
cenderung terlambat. Bahkan bantuan LPSK pun tidak dapat membebaskan Susno Duadji
dari jeratan vonis penjara.
3.4 Kesimpulan dan Saran
Kasus Susno Duadji menunjukan potret buram perlindungan negara terhadap seorang whistle
blower. Vonis yang dijatuhkan atas Susno lebih rendah dari tuntutan jaksa yaitu penjara 7
tahun karena Susno dianggap sebagai justice collaborator. Tuntutan tersebut adalah hasil dari
keterlibatan Susno dalam kasus lain. Namun peraturan belum memberikan gambaran jelas
mengenai apakah boleh seorang whistle blower menerima keringanan hukuman atas tindak
pidana yang dilakukan terlepas dari kasus yang ia ungkap.
Berdasarkan hal ini, LPSK sudah cukup tanggap menyikapi kasus ini hanya berdasarkan
peraturan dan undang-undang yang sudah ada, namun UU tentang perlindungan saksi dan
korban ini tetap perlu di amandemen agar lebih rinci terkait jika terjadi kasus khusus seperti
yang dialam Susno Duadji dimana ia merupakan whistleblower namun terbukti menjadi
tersangka korupsi juga. Adanya pengurangan hukuman penjara Susno pun diputuskan belum
berdasarkan peraturan yang jelas, sehingga perlu dibuat ketentuan terhadap sanksi dan
penyikapan pada kasus seperti ini. Kebijakan lembaga yurisdiksi sebagai penegak hukum
sangat diperlukan pada kasus-kasus whisteblowing seperti kasus Susno Duadji ini agar tidak
menimbulkan moral hazard pada para pelapor atau informan.
QUESTIONS & ANSWERS
Tania: Bagaiman kaitan kasus dengan OECD Principle 4? Apa saran penyelesaian
untuk kasus ini?
Kaitan kasus ini mengacu pada poin “Jika kepentingan stakeholders dilindungi oleh undang-
undang, maka stakeholders harus memiliki kesempatan untuk menuntut secara efektif hak-
hak yang dilanggar”. Secara hukum di Indonesia, sebagai whistleblower Susno Duadji dapat
menuntuk hak perlindungan karena ia dianggap sebagai justice collaborator. Tetapi, di sisi
lain Susno Duadji juga terlibat dalam tindak pidana kasus lain yang menyebabkan ia harus
menanggung akibatnya, yaitu hukuman penjara. Hukum di Indonesia dapat meringankan
lama hukuman penjara Susno Duadji menjadi 3,5 tahun.
Raisa: Bagaimana peranan CSR dalam sustainability perusahaan? Apa contoh CSR
sebagai competitive advantage perusahaan? Apa cara yang dapat digunakan agar
whistleblowing tidak digunakan sebagai cara untuk menjatuhkan nama orang lain?
Dampak dari CSR yang dilakukan perusahaan adalah ‘win the people’s heart’. Maka dari itu,
walaupun perusahaan tidak mendapatkan manfaat langsung setelah melakukan CSR, dalam
jangka panjang image yang melekat di masyarakat biasanya tidak akan cepat hilang. Hal
tersebut sangat berguna bagi sustainability perusahaan karena masyarakatlah yang
menciptakan hal mana yang benar dan yang salah (Jurnal Kakabadse). CSR yang dilakukan
Aqua menjadi competitive advantage karena secara jangka panjang akan menciptakan suatu
brand image, walaupun hal tersebut bukanlah satu-satunya tujuan dari CSR.
Agar whistleblowing tidak digunakan sebagai cara untuk menjatuhkan nama orang lain, maka
undang-undang khusus mengenai whistleblowing harus diciptakan agar tidak menimbulkan
moral hazard bagi orang yang memiliki informasi dan juga menghalangi orang-orang yang
memberikan informasi palsu. Tetapi, pada kenyataannya sangat jarang orang yang
menjatuhkan nama orang melalui whistleblowing karena nama pelapor pun akan ikut
diselidiki—dengan argumentasi bagaimana ia tahu banyak kalau ia sendiri tidak terlibat?.
Undang-undang yang jelas perlu diterapkan mengingat sistem law enforcement Indonesia
yang masih buruk.
Cynthia: Kasus Susno akhirnya ditangani oleh siapa?
Kasus Susno Duadji pada akhirnya ditangani oleh KPK dan diselesaikan di Kejaksaan Agung
atas perintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2013.
Fabiola: Mana yang dimaksud dengan primary dan secondary stakeholder? Siapa yang
kekuatan dan interest-nya paling besar?
Primary stakeholder POLRI seharusnya adalah masyarakat, tetapi pada kenyataannya adalah
aparat kepolisian itu sendiri beserta pimpinan-pimpinannya. Sedangkan secondary
stakeholder adalah masyarakat yang memiliki interest paling besar atas pergerakan kegiatan
POLRI. Kekuatan yang paling besar dipegang oleh pimpinan-pimpinan POLRI karena
adanya rasa hormat yang terlalu besar terhadap para atasan POLRI, sampai terkadang
melebihi kewajibannya untuk melindungi masyarakat.
Rifa: Bagaimana perspektif jangka panjang tercapai apabila perusahaan hanya
melakukan CSR untuk kewajiban? Apa yang membedakan CSR dengan marketing?
Pada dasarnya, belum ada peraturan yang mewajibkan perusahaan-perusahaan di Indonesia
untuk melakukan CSR (terkecuali BUMN). Maka dari itu, perusahaan seringkali melakuka
CSR sebagai sarana untuk mengharumkan namanya di mata masyarakat. Hal tersebut
sebenarnya bukanlah sesuatu yang tidak etis, karena tujuan perusahaan pada akhirnya adalah
mendapat profit tanpa menyakiti pihak-pihak tertentu. Apabila perusahaan-perusahaan di
Indonesia melakukan CSR, maka manfaat jangka panjangnya adalah peningkatan
kesejahteraan masyarakat sekitar. Contohnya, ada perusahaan yang menyalurkan air di daerah
terbelakang, ada yang mendirikan sekolah informal untuk anak-anak tidak mampu, dan
sebagainya. Pada akhirnya, manfaat jangka panjang dapat dirasakan oleh masyarakat.
Perbedaan yang mendasar dengan marketing adalah saat perusahaan melakukan CSR ia tidak
mengharapkan timbal balik secara material, melainkan dengan marketing ia mengharapkan
penjualan perusahaan akan naik.
Windy: Apakah CSR wajib untuk perusahaan? Bagaimana parameter
keberhasilannya?
CSR dianggap sebagai komitmen perusahaan untuk berperan serta dalam pembangunan
ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang
bermanfaat. CSR diwajibkan hanya untuk BUMN dan perseroan yang menjalankan kegiatan
usahanya di bidang yang berkaitan dengan sumber daya alam (UU PT Pasal 1 ayat 3).
Parameter kerbehasilan bagi CSR adalah sesuatu yang diciptakan sendiri oleh perusahaan,
tergantung dengan visi yang ingin dicapai perusahaan.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber: http://hukum.kompasiana.com/2013/05/06/kronologi-susno-duadji-dari-buaya-jadi-
terpidana-557449.html diakses tanggal 22 April 2014
http://id.wikipedia.org/wiki/Susno_Duadji diakses tanggal 22 April 2014