62
MAKALAH TATA KELOLA PERUSAHAAN Masalah Korupsi di Indonesia Good Public Governance” Kelompok 7: Dhestha Sufian Mardiana - 1306484274 Ivan Julio - 1306484633 Maria Virginia Melati - 1306484785 Sintia Resmi Januarini - 1306485352 Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

CG PT 12

Embed Size (px)

DESCRIPTION

korupsi

Citation preview

Page 1: CG PT 12

MAKALAH TATA KELOLA PERUSAHAAN

Masalah Korupsi di Indonesia

“Good Public Governance”

Kelompok 7:

Dhestha Sufian Mardiana - 1306484274

Ivan Julio - 1306484633

Maria Virginia Melati - 1306484785

Sintia Resmi Januarini - 1306485352

Fakultas Ekonomi

Universitas Indonesia

Depok

2014

Page 2: CG PT 12

Daftar Isi

Daftar Isi 2

Statement of Authorship 3

Bab 1. Pendahuluan 4

Bab 2. Pembahasan 5

2.1 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 & UU RI Nomor 20 Tahun 2001 5

2.2 Perkembangan Korupsi di Indonesia 26

2.3 Why Don’t We Try To Be India’s Most Respected Company? 34

2.4 Kunci keberhasilan Infosys dalam mengatasi tekanan untuk terlibat korupsi dan

membalikkan situasi yang dihadapi sehingga dapat menjadi perusahaan global. 38

2.5 Hubungan CSR dan Corporate Governanve 38

\Bab 3. Kesimpulan 22

Bab 4. Daftar Pustaka 23

2

Page 3: CG PT 12

STATEMENT OF AUTHORSHIP

“Saya/kami yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa makalah/tugas

terlampir adalah murni hasil pekerjaan saya/kami sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain

yang saya/kami gunakan tanpa menyebutkan sumbernya.

Materi ini tidak/belum pernah disajikan/digunakan sebagai bahan untuk

makalah/tugas pada mata ajaran lain kecuali saya/kami menyatakan dengan jelas bahwa

saya/kami menyatakan dengan jelas menggunakannya.

Saya/kami memahami bahwa tugas yang saya/kami kumpulkan ini dapat diperbanyak

dan atau dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme.”

Mata ajaran : Tata Kelola PerusahaanJudul tugas : Masalah Korupsi di Indonesia Tanggal : 4 Desember 2014 Dosen : Desi Adhariani S.E., Ak., M.Si

Nama NPM TTD

Dhestha Sufian Mardiana 1306484274

Ivan Julio 1306484633

Maria Virginia Melati 1306484785

Sintia Resmi Januarini 1306485352

3

Page 4: CG PT 12

BAB 1

PENDAHULUAN

Tindak korupsi di Indonesia telah berkembang dari sejak pasca kemerdekaan sampai saat ini. Telah banyak regulasi dan sejumlah aturan yang dibuat untuk mengatasi hal tersebut, namun di Indonesia tindak pidana korupsi semakin menjamur. Kurangnya dukungan lembaga penegak hukum dan hukum yang ” tajam ke bawah dan tumpul ke atas” seringkali membuat sejumlah pihak ”berkerah putih” rajin dalam melakukan hal yang tidak bermoral tersebut.

4

Page 5: CG PT 12

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 & UU RI Nomor 20 Tahun 2001 :

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi

I. UMUM

Sejak Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874) diundangkan, terdapat berbagai interpretasi atau penafsiran yang berkembang di masyarakat khususnya mengenai penerapan Undang- undang tersebut terhadap tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 diundangkan. Hal ini disebabkan Pasal 44 Undang-undang tersebut menyatakan bahwa Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan tidak berlaku sejak Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 diundangkan, sehingga timbul suatu anggapan adanya kekosongan hukum untuk memproses tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999.

Di samping hal tersebut, mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa. Dengan demikian, pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara yang khusus, antara lain penerapan sistem pembuktian terbalik yakni pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa.

Untuk mencapai kepastian hukum, menghilangkan keragaman penafsiran, dan perlakuan adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, perlu diadakan perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Ketentuan perluasan mengenai sumber perolehan alat bukti yang sah yang berupa petunjuk, dirumuskan bahwa mengenai "petunjuk" selain diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa, juga diperoleh dari alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa

5

Page 6: CG PT 12

dengan itu tetapi tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksimili, dan dari dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

Ketentuan mengenai "pembuktian terbalik" perlu ditambahkan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai ketentuan yang bersifat "premium remidium" dan sekaligus mengandung sifat prevensi khusus terhadap pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 atau terhadap penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang- undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi.

Pembuktian terbalik ini diberlakukan pada tindak pidana baru tentang gratifikasi dan terhadap tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini.

Dalam Undang-undang ini diatur pula hak negara untuk mengajukan gugatan perdata terhadap harta benda terpidana yang disembunyikan atau tersembunyi dan baru diketahui setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Harta benda yang disembunyikan atau tersembunyi tersebut diduga atau patut diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Gugatan perdata dilakukan terhadap terpidana dan atau ahli warisnya. Untuk melakukan gugatan tersebut, negara dapat menunjuk kuasanya untuk mewakili negara.

Selanjutnya dalam Undang-undang ini juga diatur ketentuan baru mengenai maksimum pidana penjara dan pidana denda bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah). Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghilangkan rasa kekurangadilan bagi pelaku tindak pidana korupsi, dalam hal nilai yang dikorup relatif kecil.

Di samping itu, dalam Undang-undang ini dicantumkan Ketentuan Peralihan. Substansi dalam Ketentuan Peralihan ini pada dasarnya sesuai dengan asas umum hukum pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

6

Page 7: CG PT 12

UNDANG-UNDANG REPUBLIK

INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 :

TENTANG PEMBERANTASAN

TINDAK PIDANA KORUPSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK

INDONESIA

NOMOR 20 TAHUN 2001

TENTANG

PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG

NOMOR 31 TAHUN 1999

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud

dengan:

1. Korporasi adalah kumpulan orang

dan atau kekayaan yang terorganisasi

baik merupakan badan hukum maupun

bukan badan hukum.

2. Pegawai Negeri adalah meliputi :

a. pegawai negeri sebagaimana

dimaksud dalam Undang-undang tentang

Kepegawaian;

b. pegawai negeri sebagaimana dimaksud

dalam Kitab Undang-undang Hukum

Pidana;

c. orang yang menerima gaji atau upah dari

keuangan negara atau daerah;

d. orang yang menerima gaji atau upah dari

suatu korporasi yang menerima bantuan dari

keuangan negara atau daerah; atau

e. orang yang menerima gaji atau upah

dari korporasi lain yang mempergunakan

Pasal I

Beberapa ketentuan dan penjelasan pasal

dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

diubah sebagai berikut:

1. Pasal 2 ayat (2) substansi tetap, penjelasan

pasal diubah sehingga rumusannya

sebagaimana tercantum dalam penjelasan

Pasal Demi Pasal angka 1 Undang-undang ini.

2. Ketentuan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8,

Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12,

rumusannya diubah dengan tidak mengacu

pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang

Hukum Pidana tetapi langsung menyebutkan

unsur-unsur yang terdapat dalam masing-

masing pasal Kitab Undangundang Hukum

Pidana yang diacu, sehingga berbunyi sebagai

berikut:

7

Page 8: CG PT 12

modal atau fasilitas dari negara atau

masyarakat.

3. Setiap orang adalah orang perseorangan

atau termasuk korporasi.

Pasal 5

Setiap orang yang melakukan tindak

pidana sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 209

Kitab Undang-undang Hukum Pidana,

dipidana dengan pidana penjara paling

singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5

(lima) tahun dan atau denda paling

sedikit Rp

50.000.000,00 (Lima puluh juta rupiah) dan

paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus

lima puluh juta rupiah).

Pasal 5

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling

singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)

tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp

50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan

paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus

lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:

a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada

pegawai negeri atau penyelenggara negara

dengan maksud supaya pegawai negeri atau

penyelenggara negara tersebut berbuat atau

tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang

bertentangan dengan kewajibannya; atau

b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri

atau penyelenggara negara karena atau

berhubungan dengan sesuatu yang

bertentangan dengan kewajiban, dilakukan

atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara

negara yang menerima pemberian atau janji

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a

atau huruf b, dipidana dengan pidana yang

sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

8

Page 9: CG PT 12

Pasal 6

Setiap orang yang melakukan tindak

pidana sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 210

Kitab Undang-undang Hukum Pidana,

dipidana dengan pidana penjara paling

singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15

(lima belas) tahun dan denda paling

sedikit Rp

150.000.000,00 (seratus lima puluh juta

rupiah) dan paling banyak Rp.

750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta

rupiah).

Pasal 6

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling

singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima

belas) tahun dan pidana denda paling sedikit

Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta

rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00

(tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap

orang yang:

a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada

hakim dengan maksud untuk mempengaruhi

putusan perkara yang diserahkan kepadanya

untuk diadili; atau

b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada

seseorang yang menurut ketentuan peraturan

perundang-undangan ditentukan menjadi

advokat untuk menghadiri sidang pengadilan

dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat

atau pendapat yang akan diberikan berhubung

dengan perkara yang diserahkan kepada

pengadilan untuk diadili.

(2) Bagi hakim yang menerima pemberian

atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1) huruf a atau advokat yang menerima

pemberian atau janji sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan

pidana yang sama sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1).

9

Page 10: CG PT 12

Pasal 7

Setiap orang yang melakukan tindak

pidana sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 387 atau Pasal 388 Kitab Undang-

undang Hukum Pidana, dipidana dengan

pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun

dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda

paling sedikit Rp

100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan

paling banyak 350.000.000,00 (tiga ratus

lima puluh juta rupiah).

Pasal 7

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling

singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7

(tujuh) tahun dan atau pidana denda paling

sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta

rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00

(tiga ratus lima puluh juta rupiah):

a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu

membuat bangunan, atau penjual bahan

bangunan yang pada waktu menyerahkan

bahan bangunan, melakukan perbuatan curang

yang dapat membahayakan keamanan orang

atau barang, atau keselamatan negara dalam

keadaan perang;

b. setiap orang yang bertugas mengawasi

pembangunan atau penyerahan bahan

bangunan, sengaja membiarkan perbuatan

curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a;

c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan

barang keperluan Tentara Nasional Indonesia

dan atau Kepolisian Negara Republik

Indonesia melakukan perbuatan curang yang

dapat membahayakan keselamatan negara

dalam keadaan perang; atau

d. setiap orang yang bertugas mengawasi

penyerahan barang keperluan Tentara

Nasional Indonesia dan atau Kepolisian

Negara Republik Indonesia dengan sengaja

10

Page 11: CG PT 12

membiarkan perbuatan curang sebagaimana

dimaksud dalam huruf c.

(2) Bagi orang yang menerima penyerahan

bahan bangunan atau orang yang menerima

penyerahan barang keperluan Tentara

Nasional Indonesia dan atau Kepolisian

Negara Republik Indonesia dan membiarkan

perbuatan curang sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana

dengan pidana yang sama sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 8

Setiap orang yang melakukan tindak

pidana sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 415

Kitab Undang-undang Hukum Pidana,

dipidana dengan pidana penjara paling

singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15

(lima belas) tahun dan denda paling

sedikit Rp

150.000.000,00 (seratus lima puluh juta

rupiah) dan paling banyak 750.000.000,00

(tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 8

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat

3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas)

tahun dan pidana denda paling sedikit Rp

150.000.000,00 (seratus lima puluh juta

rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00

(tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai

negeri atau orang selain pegawai negeri yang

ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum

secara terus menerus atau untuk sementara

waktu, dengan sengaja menggelapkan uang

atau surat berharga yang disimpan karena

jabatannya, atau membiarkan uang atau surat

berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh

orang lain, atau membantu dalam melakukan

perbuatan tersebut.

11

Page 12: CG PT 12

Pasal 9

Setiap orang yang melakukan tindak

pidana sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 416

Kitab Undang-undang Hukum Pidana,

dipidana dengan pidana penjara paling

singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5

(lima) tahun dan denda paling sedikit Rp

50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)

dan paling banyak 250.000.000,00 (dua

ratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 9

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat

1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun

dan pidana denda paling sedikit Rp

50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan

paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus

lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau

orang selain pegawai negeri yang diberi tugas

menjalankan suatu jabatan umum secara terus

menerus atau untuk sementara waktu, dengan

sengaja memalsu buku-buku atau daftardaftar

yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.

Pasal 10

Setiap orang yang melakukan tindak

pidana sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 417

Kitab Undang-undang Hukum Pidana,

dipidana dengan pidana penjara paling

singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7

(tujuh) tahun dan denda paling sedikit Rp

100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan

paling banyak 350.000.000,00 (tiga ratus

lima puluh juta rupiah).

Pasal 10

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat

2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun

dan pidana denda paling sedikit Rp

100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan

paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus

lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau

orang selain pegawai negeri yang diberi tugas

menjalankan suatu jabatan umum secara terus

menerus atau untuk sementara waktu, dengan

sengaja:

a. menggelapkan, menghancurkan,

merusakkan, atau membuat tidak dapat

dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang

digunakan untuk meyakinkan atau

12

Page 13: CG PT 12

membuktikan di muka pejabat yang

berwenang, yang dikuasai karena jabatannya;

atau

b. membiarkan orang lain menghilangkan,

menghancurkan, merusakkan, atau membuat

tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau

daftar tersebut; atau

c. membantu orang lain menghilangkan,

menghancurkan, merusakkan, atau membuat

tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau

daftar tersebut.

Pasal 11

Setiap orang yang melakukan tindak

pidana sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 418

Kitab Undang-undang Hukum Pidana,

dipidana dengan pidana penjara paling

singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5

(lima) tahun dan denda paling sedikit Rp

50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)

dan paling banyak 250.000.000,00 (dua

ratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 11

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat

1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun

dan atau pidana denda paling sedikit Rp

50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan

paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus

lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau

penyelenggara negara yang menerima hadiah

atau janji padahal diketahui atau patut diduga,

bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan

karena kekuasaan atau kewenangan yang

berhubungan dengan jabatannya, atau yang

menurut pikiran orang yang memberikan

hadiah atau janji tersebut ada hubungan

dengan jabatannya.

13

Page 14: CG PT 12

Pasal 12

Setiap orang yang melakukan tindak pidana

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 419,

Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, atau Pasal

435 Kitab Undang-undang Hukum Pidana,

dipidana dengan pidana penjara seumur

hidup atau pidana penjara paling singkat

4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua

puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp

200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan

paling banyak 1.000.000.000,00 (satu

milyar rupiah).

Pasal 12

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup

atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)

tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun

dan pidana denda paling sedikit Rp

200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan

paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu

miliar rupiah):

a. pegawai negeri atau penyelenggara negara

yang menerima hadiah atau janji, padahal

diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau

janji tersebut diberikan untuk menggerakkan

agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu

dalam jabatannya, yang bertentangan dengan

kewajibannya;

b. pegawai negeri atau penyelenggara negara

yang menerima hadiah, padahal diketahui atau

patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan

sebagai akibat atau disebabkan karena telah

melakukan atau tidak melakukan sesuatu

dalam jabatannya yang bertentangan dengan

kewajibannya;

c. hakim yang menerima hadiah atau janji,

padahal diketahui atau patut diduga bahwa

hadiah atau janji tersebut diberikan untuk

mempengaruhi putusan perkara yang

diserahkan kepadanya untuk diadili;

d. seseorang yang menurut ketentuan

peraturan perundang-undangan ditentukan

menjadi advokat untuk menghadiri sidang

14

Page 15: CG PT 12

pengadilan, menerima hadiah atau janji,

padahal diketahui atau patut diduga bahwa

hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi

nasihat atau pendapat yang akan diberikan,

berhubung dengan perkara yang diserahkan

kepada pengadilan untuk diadili;

e. pegawai negeri atau penyelenggara negara

yang dengan maksud menguntungkan diri

sendiri atau orang lain secara melawan hukum,

atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya

memaksa seseorang memberikan sesuatu,

membayar, atau menerima pembayaran

dengan potongan, atau untuk mengerjakan

sesuatu bagi dirinya sendiri;

f. pegawai negeri atau penyelenggara negara

yang pada waktu menjalankan tugas, meminta,

menerima, atau memotong pembayaran

kepada pegawai negeri atau penyelenggara

negara yang lain atau kepada kas umum,

seolah-olah pegawai negeri atau

penyelenggara negara yang lain atau kas

umum tersebut mempunyai utang kepadanya,

padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan

merupakan utang;

g. pegawai negeri atau penyelenggara negara

yang pada waktu menjalankan tugas, meminta

atau menerima pekerjaan, atau penyerahan

barang, seolah-olah merupakan utang kepada

dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut

bukan merupakan utang;

h. pegawai negeri atau penyelenggara negara

yang pada waktu menjalankan tugas, telah

15

Page 16: CG PT 12

menggunakan tanah negara yang di atasnya

terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan

peraturan perundangundangan, telah

merugikan orang yang berhak, padahal

diketahuinya bahwa perbuatan tersebut

bertentangan dengan peraturan

perundangundangan; atau

i. pegawai negeri atau penyelenggara negara

baik langsung maupun tidak langsung dengan

sengaja turut serta dalam pemborongan,

pengadaan, atau persewaan, yang pada saat

dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau

sebagian ditugaskan untuk mengurus atau

mengawasinya.

Belum Terbentuk Pasal 12 A

(1) Ketentuan mengenai pidana penjara dan

pidana denda sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9,

Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 tidak berlaku

bagi tindak pidana korupsi yang nilainya

kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta

rupiah).

(2) Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang

nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima

juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1) dipidana dengan pidana penjara paling

lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling

banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta

16

Page 17: CG PT 12

rupiah).

Belum Terbentuk Pasal 12 B

(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri

atau penyelenggara negara dianggap

pemberian suap, apabila berhubungan dengan

jabatannya dan yang berlawanan dengan

kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan

sebagai berikut:

a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh

juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa

gratifikasi tersebut bukan merupakan suap

dilakukan oleh penerima gratifikasi;

b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00

(sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa

gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh

penuntut umum.

(2) Pidana bagi pegawai negeri atau

penyelenggara negara sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur

hidup atau pidana penjara paling singkat 4

(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)

tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp

200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan

paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu

miliar rupiah).

17

Page 18: CG PT 12

Pasal 12 C

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika

penerima melaporkan gratifikasi yang

diterimanya kepada Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi.

(2) Penyampaian laporan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh

penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga

puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal

gratifikasi tersebut diterima.

(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga

puluh) hari kerja sejak tanggal menerima

laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat

menjadi milik penerima atau milik negara.

(4) Ketentuan mengenai tata cara

penyampaian laporan sebagaimana dimaksud

dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi

sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur

dalam Undangundang tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Belum Terbentuk Pasal 26 A

Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat

(2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk

tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh

18

Page 19: CG PT 12

dari :

a. alat bukti lain yang berupa informasi yang

diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan

secara elektronik dengan alat optik atau yang

serupa dengan itu; dan

b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau

informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau

didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau

tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang

di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas,

maupun yang terekam secara elektronik, yang

berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan,

foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang

memiliki makna.

Pasal 37

(1) Terdakwa mempunyai hak untuk

membuktikan bahwa ia tidak melakukan

tindak pidana korupsi.

(2) Dalam hal terdakwa dapat

membuktikan bahwa ia tidak melakukan

tindak pidana korupsi, maka keterangan

tersebut dipergunakan sebagai hal yang

menguntungkan baginya.

(3) Terdakwa wajib memberikan

keterangan tentang seluruh harta bendanya

Pasal 37

(1) Terdakwa mempunyai hak untuk

membuktikan bahwa ia tidak melakukan

tindak pidana korupsi.

(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan

bahwa ia tidak melakukan tindak pidana

korupsi, maka pembuktian tersebut

dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar

untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak

terbukti.

19

Page 20: CG PT 12

dan harta benda istri atau suami, anak, dan

harta benda setiap orang atau korporasi yang

diduga mempunyai hubungan dengan

perkara yang bersangkutan.

(4) Dalam hal terdakwa tidak dapat

membuktikan tentang kekayaan yang tidak

seimbang dengan penghasilannya atau

sumber penambah kekayaannya, maka

keterangan tersebut dapat digunakan untuk

memperkuat alat bukti yang sudah ada

bahwa terdakwa telah melakukan tindak

pidana korupsi.

(5) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat

(4), penuntut umum tetap berkewajiban

untuk membuktikan dakwaannya.

Belum Terbentuk Pasal 37 A

(1) Terdakwa wajib memberikan keterangan

tentang seluruh harta bendanya dan harta

benda istri atau suami, anak, dan harta benda

setiap orang atau korporasi yang diduga

mempunyai hubungan dengan perkara yang

didakwakan.

(2) Dalam hal terdakwa tidak dapat

membuktikan tentang kekayaan yang tidak

20

Page 21: CG PT 12

seimbang dengan penghasilannya atau sumber

penambahan kekayaannya, maka keterangan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

digunakan untuk memperkuat alat bukti yang

sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan

tindak pidana korupsi.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana

atau perkara pokok sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal

14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai

dengan Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga

penuntut umum tetap berkewajiban untuk

membuktikan dakwaannya.

Belum Terbentuk Pasal 38 A

Pembuktian sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 12 B ayat (1) dilakukan pada saat

pemeriksaan di sidang pengadilan.

Belum Terbentuk Pasal 38 B

(1) Setiap orang yang didakwa melakukan

salah satu tindak pidana korupsi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4,

Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16

21

Page 22: CG PT 12

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-

undang ini, wajib membuktikan sebaliknya

terhadap harta benda miliknya yang belum

didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari

tindak pidana korupsi.

(2) Dalam hal terdakwa tidak dapat

membuktikan bahwa harta benda sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan

karena tindak pidana korupsi, harta benda

tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak

pidana korupsi dan hakim berwenang

memutuskan seluruh atau sebagian harta

benda tersebut dirampas untuk negara.

(3) Tuntutan perampasan harta benda

sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)

diajukan oleh penuntut umum pada saat

membacakan tuntutannya pada perkara pokok.

(4) Pembuktian bahwa harta benda

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bukan

berasal dari tindak pidana korupsi diajukan

oleh terdakwa pada saat membacakan

pembelaannya dalam perkara pokok dan dapat

diulangi pada memori banding dan memori

kasasi.

(5) Hakim wajib membuka persidangan yang

khusus untuk memeriksa pembuktian yang

diajukan terdakwa sebagaimana dimaksud

dalam ayat (4).

(6) Apabila terdakwa dibebaskan atau

22

Page 23: CG PT 12

dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum

dari perkara pokok, maka tuntutan perampasan

harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1) dan ayat (2) harus ditolak oleh hakim.

Belum Terbentuk Pasal 38 C

Apabila setelah putusan pengadilan telah

memperoleh kekuatan hokum tetap, diketahui

masih terdapat harta benda milik terpidana

yang diduga atau patut diduga juga berasal

dari tindak pidana korupsi yang belum

dikenakan perampasan untuk negara

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat

(2), maka negara dapat melakukan gugatan

perdata terhadap terpidana dan atau ahli

warisnya.

BAB VI A

KETENTUAN PERALIHAN

Belum Terbentuk Pasal 43 A

(1) Tindak pidana korupsi yang terjadi

sebelum Undang-undang Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi diundangkan, diperiksa dan diputus

berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor

23

Page 24: CG PT 12

3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, dengan ketentuan maksimum

pidana penjara yang menguntungkan bagi

terdakwa diberlakukan ketentuan dalam Pasal

5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal

10 Undang-undang ini dan Pasal 13 Undang-

undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(2) Ketentuan minimum pidana penjara dalam

Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan

Pasal 10 Undang-undang ini dan Pasal 13

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang

terjadi sebelum berlakunya Undang-undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi.

(3) Tindak pidana korupsi yang terjadi

sebelum Undang-undang ini diundangkan,

diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, dengan ketentuan mengenai

maksimum pidana penjara bagi tindak pidana

korupsi yang nilainya kurang dari Rp

5.000.000,00 (lima juta rupiah) berlaku

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

12 A ayat (2) Undang-undang ini.

24

Page 25: CG PT 12

Belum Terbentuk Pasal 43 B

Pada saat mulai berlakunya Undang-undang

ini, Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal 388,

Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418,

Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425,

dan Pasal 435 Kitab Undang-undang Hukum

Pidana jis. Undang-undang Nomor 1 Tahun

1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita

Republik Indonesia II Nomor 9), Undang-

undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang

Menyatakan Berlakunya Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan

Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah

Republik Indonesia dan Mengubah Kitab

Undang-undang Hukum Pidana (Lembaran

Negara Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan

Lembaran Negara Nomor 1660) sebagaimana

telah beberapa kali diubah terakhir dengan

Undang-undang Nomor 27 Tahun 1999

tentang Perubahan Kitab Undang-undang

Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan

Kejahatan Terhadap Keamanan Negara,

dinyatakan tidak berlaku.

2.2 Perkembangan Korupsi di Indonesia

25

Page 26: CG PT 12

A. Era Pasca Kemerdekaan

Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk Badan

Pemberantasan Korupsi – Paran dan Operasi Budhi – namun ternyata pemerintah

pada waktu itu setengah hati menjalankannya. Paran, singkatan dari Panitia Retooling

Aparatur Negara dibentuk berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya, dipimpin

oleh Abdul Haris Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin

dan Roeslan Abdulgani.

Salah satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah diharuskan

mengisi formulir yang disediakan – istilah sekarang : daftar kekayaan pejabat negara.

Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut

mendapat reaksi keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu tidak

diserahkan kepada Paran tetapi langsung kepada Presiden.

Usaha Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat berlindung di

balik Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-daerah sedang memanas

sehingga tugas Paran akhirnya diserahkan kembali kepada pemerintah (Kabinet

Juanda).

Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan

korupsi kembali digalakkan. Nasution yang saat itu menjabat sebagai

Menkohankam/Kasab ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono

Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih berat, yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke

meja pengadilan.

Lembaga ini dikenal dengan istilah “Operasi Budhi”. Sasarannya adalah perusahaan-

perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan

praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengalami hambatan.

Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan permohonan

kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara direksi yang lain

menolak diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari atasan.

Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat

diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup signifikan untuk

kurun waktu itu. Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya Operasi

Budhi dihentikan. Menurut Soebandrio dalam suatu pertemuan di Bogor, “prestise

Presiden harus ditegakkan di atas semua kepentingan yang lain”.

Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumumkan pembubaran

Paran/Operasi Budhi yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando

26

Page 27: CG PT 12

Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya

serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat

pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.

B. Era Orde Baru

A. MASA PEMERINTAHAN SOEHARTO (1965-1998)

Pemerintah menggunakan pendekatan ‘pembangunan’ di sektor ekonomi untuk

mengatasi persoalan-persoalan yang muncul di masa Orde Lama pimpinan

Soekarno. Pertumbuhan ekonomi menjadi target utama, dengan terus mengontrol

kekuasaan politik agar dapat menjalankan program pembangunan. Persoalan

kebocoran atau korupsi menjadi persoalan nomor dua.

Pemerintahan ini diwarnai oleh tiga fenomena, yakni: kerjasama antara pimpinan

militer dengan pengusaha keturunan Cina, kompetisi antara pengusaha pribumi

dengan pengusaha keturunan Cina, dan pengaruh perusahaan-perusahaan negara

yang dikontrol oleh militer melawan teknokrat yang mendukung liberalisasi dan

intervensi Barat.

Pertamina yang merupakan mesin utama pendukung kekuasaan, menjadi sarang

korupsi, patronase, dan penyedotan sumber dana sehingga BUMN ini sempat

ambruk pada tahun 1975-1976. Di bawah pimpinan Ibnu Sutowo, operasi

Pertamina tertutup bagi publik dan laporan tahunan keuangannya tidak pernah

diumumkan. Kepentingan Soeharto dan tentara sangat besar terhadap Pertamina.

Pada bulan Januari 1970 beberapa organisasi mahasiswa Indonesia turun ke jalan

untuk memprotes korupsi yang terjadi di dalam tubuh pemerintahan. Presiden

Soeharto pada saat itu segera mengumumkan pembentukan Komisi IV,

Mohammad Hatta ditunjuk sebagai penasihat presiden untuk tersebut.

Diterapkannya perangkat hukum (UU No 3 tahun 1971) tentang pemberantasan

korupsi, tidak berfungsi seperti yang diharapkan. Meskipun sistem politik

Indonesia mengenal lembaga kontrol pemerintahan, seperti DPR, BPK, ataupun

Kejaksaan Agung dan Badan Penertiban Aparatur Negara, tetapi lembaga-lembaga

tersebut tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Tahun 1990 Jendral M Yusuf sebagai Ketua BPK menyerahkan hasil pemeriksaan

tahunan yang dilakukan BPK atas APBN 1988/1989 kepada ketua DPR. Dalam

27

Page 28: CG PT 12

acara tersebut M Yusuf mengatakan bahwa lembaga yang dipimpinnya

menemukan banyak penyimpangan terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku

dalam pemakaian dana-dana pembangunan.

Begitu sektor minyak dan gas meredup, awal tahun 1980-an Indonesia berpaling

pada kehutanan sehingga muncul istilah ‘Green Gold’ atau emas hijau. Ekspor

hasil hutan menjadi penghasil devisa nomor dua setelah minyak dan gas bumi. Dua

dari lima perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) swasta terbesar

menyerahkan sebagian saham dan pengelolaan pada keluarga Soeharto, yaitu

Kelompok Barito Pasific dan Kelompok Bob Hasan.

Tahun 1997 muncul krisis ekonomi yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah

yang sarat dengan KKN serta ketergantungan pada modal asing dan utang luar

negeri. Orde Baru yang dikomandani Jenderal (Purn) Soeharto akhirnya ambruk

dengan meninggalkan sistem koruptif yang kronis.

Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967, Pj

Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas

korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu

memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke akar-

akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim

Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.

Tahun 1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti

komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes

keberadaan TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina,

Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang

korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa,

akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat beranggotakan

tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ

Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka yang utama adalah

membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust,

Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini hanya “macan ompong” karena hasil

temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.

Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Opstib

(Operasi Tertib) derigan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Kebijakan ini

28

Page 29: CG PT 12

hanya melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu

ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan Nasution.

Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara pemberantasan korupsi, Nasution

berpendapat apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi, harus dimulai dari

atas. Nasution juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar memulai dari

dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang ditiup angin tanpa

bekas sama sekali.

C. Era Reformasi

A. MASA HABIBIE (MEI 1998-SEPTEMBER 1999)

Salah satu agenda kaum reformis yang menumbangkan Orde Baru adalah

pemberantasan KKN. Pemberantasan ini bermakna mengusut praktik KKN yang

telah dilakukan oleh Soeharto dan kroninya serta menciptakan pemerintahan yang

bersih.

Beberapa perangkat hukum yang mengatur soal pemberantasan korupsi dan

menciptakan aparat pemerintahan yang bersih segera dibuat oleh Pemerintahan

Habibie. Misalnya Tap MPR No XI/MPR/1998 dan UU No 28 tahun 1999 tentang

Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN, UU No 31 tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Antikorupsi), Inpres No 30

tahun 1998 tentang Pembentukan Komisi Pemeriksa Harta Pejabat, serta gagasan

pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun Pemerintahan Habibie tidak

berhasil menyeret Soeharto ke pengadilan, justru menghentikan penyelidikan kasus

tersebut lewat Jaksa Agung Andi M Ghalib yang justru diduga kuat masyarakat

sebagai koruptor.

B. MASA ABDURRAHMAN WAHID (SEPTEMBER 1999-JULI 2001)

Segera setelah dilantik menjadi Presiden RI, Abdurrahman Wahid melalui Keppres

No 44 tahun 2000 tanggal 10 Maret 2000 membentuk Lembaga Ombudsman yang

mempunyai wewenang melakukan klarifikasi, monitoring atau pemeriksaan atas

laporan masyarakat mengenai penyelenggaraan negara.

Berdasarkan kesepakatan Letter of Intent (LoI) antara Pemerintah RI dan IMF serta

pasal 27 UU No 31 tahun 1999 maka Kejaksaan Agung membentuk Tim

29

Page 30: CG PT 12

Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Tim Gabungan ini

tidak berfungsi secara efektif karena kedudukannya di bawah Jaksa Agung dan

tidak diberikan kewenangan yang luas dalam melakukan penyidikan dan

penyelidikan kasus-kasus korupsi.

Berdasarkan pasal 10 UU No 28 Tahun 1999, Presiden membentuk Komisi

Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Muncul kontroversi karena

proses seleksi anggotanya tidak transparan dan mengabaikan partisipasi

masyarakat, sehingga muncul kesan adanya kepentingan parpol atau kelompok.

Pada tanggal 21 Mei 2001 pemerintah secara resmi mengajukan rancangan

undang-undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang (UU) Nomor 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memuat usulan

penerapan pembuktian terbalik pada pengungkapan kasus korupsi. Pembuktian

terbalik perlu diterapkan karena sistem pembuktian biasa yang selama ini

dirasakan tak efektif dan sangat memberatkan aparatur penyidik dalam melakukan

penyidikan.

Pemerintah juga menyiapkan pembentukan Komisi Antikorupsi di bawah

koordinasi Dirjen Hukum dan Perundang-undangan, Departemen Kehakimanan

dan HAM. Komisi ini diharapkan terbentuk pada bulan Agustus 2001 (berdasarkan

UU No 31 tahun 1999). Sayang, Pemerintahan Abdurrahman Wahid sudah keburu

jatuh, lagi-lagi karena tuduhan perilaku korupsi, seperti Buloggate dan Brunaigate.

Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya “korupsi” lebih banyak dilakukan oleh

kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir seluruh elemen

penyelenggara negara sudah terjangkit “Virus Korupsi” yang sangat ganas. Di era

pemerintahan Orde Baru, korupsi sudah membudaya sekali, kebenarannya tidak

terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan meluruskan dan melakukan koreksi total

terhadap ORLA serta melaksanakan Pancasila dan DUD 1945 secara murni dan

konsekuen, namun yang terjadi justru Orde Baru lama-lama menjadi Orde Lama juga

dan Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah diamalkan secara murni, kecuali

secara “konkesuen” alias “kelamaan”.

Kemudian, Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999

tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut

pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga

30

Page 31: CG PT 12

Ombudsman, Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).

Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan

dipimpin Hakim Agung Andi Andojo, Namun di tengah semangat menggebu-gebu

untuk rnemberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review

Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami

kemunduran dalam upaya. pemberantasan KKN.

Di samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian masyarakat

tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung upaya pemberantasan

korupsi. Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di luar agenda

kepresidenan bahkan di tempat-tempat yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai

presiden, melahirkan kecurigaan masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan

proses tawar-menawar tingkat tinggi.

TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31

Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya

Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK,

sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga

pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.

Pada tanggal 16 Desember 2003, Taufiequrachman Ruki, seorang alumni Akademi

Kepolisian (Akpol) 1971, dilantik menjadi Ketua KPK. Di bawah kepemimpinan

Taufiequrachman Ruki, KPK hendak memposisikan dirinya sebagai katalisator

(pemicu) bagi aparat dan institusi lain untuk terciptanya jalannya sebuah "good and

clean governance" (pemerintahan baik dan bersih) di Republik Indonesia. Sebagai

seorang mantan Anggota DPR RI dari tahun 1992 sampai 2001, Taufiequrachman

walaupun konsisten mendapat kritik dari berbagai pihak tentang dugaan tebang pilih

pemberantasan korupsi.

Menurut Taufiequrachman Ruki, pemberantasan korupsi tidak hanya mengenai

bagaimana menangkap dan memidanakan pelaku tindak pidana korupsi, tapi juga

bagaimana mencegah tindak pidana korupsi agar tidak terulang pada masa yang akan

datang melalui pendidikan antikorupsi, kampanye antikorupsi dan adanya contoh

"island of integrity" (daerah contoh yang bebas korupsi).

Pernyataan Taufiequrachman mengacu pada definisi korupsi yang dinyatakan dalam

UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. Menurutnya, tindakan preventif

(pencegahan) dan represif (pengekangan) ini dilakukan dengan "memposisikan KPK

31

Page 32: CG PT 12

sebagai katalisator (trigger) bagi aparat atau institusi lain agar tercipta good and clean

governance dengan pilar utama transparansi, partisipasi dan akuntabilitas".

B. Kesimpulan

Puluhan tahun perilaku koruptif di negeri ini tak tersentuh oleh hukum. Menurut

Romli Atmasasmita, Ketua Tim Persiapan Komisi Antikorupsi, sebenarnya ada

satu solusi yang bisa membuat koruptor jera, yaitu hukuman mati.

Wacana hukuman mati telah disepakati pemerintah dan DPR dalam UU

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (1999). Romli yang juga Dirjen Hukum dan

Perundang-undangan (Kumdang) Departemen Kehakiman pernah menyatakan

bahwa hukuman mati bisa diterapkan asal tidak sembarangan. “Hukuman mati bisa

dijatuhkan pada pelaku tindak pidana korupsi yang melakukan pengulangan

perbuatan (residiv), serta pelaku yang melakukan tindak pidana korupsi pada saat

bencana alam nasional, negara dalam keadaan bahaya, dan negara sedang krisis

moneter dan ekonomi,” ujarnya. Namun UU ini sulit menjadi efektif karena

banyak ditentang oleh praktisi dan ahli hukum dengan mengatasnamakan HAM.

Menanggapi hal itu pengamat hukum dari Universitas Hasanuddin (Unhas)

Makassar, Prof Achmad Ali memandang, hukuman yang berat merupakan salah

satu faktor penting dalam upaya pemberantasan korupsi. Dalam sebuah seminar di

Makassar, nominator anggota Komnas HAM ini sempat melontarkan pendapat

bahwa koruptor perlu dipotong tangannya atau dihukum mati. “Hukuman yang

maksimal itu dimungkinkan oleh undang-undang yang ada. Karena salah satu

fungsi hukum memang untuk menakut-nakuti warga masyarakat lain, sehingga

mereka tidak ikut-ikutan korupsi,” alasannya.

Achmad Ali lantas menganalogikan dengan pelaksanaan hukum potong tangan

dalam ajaran Islam. Dan terbukti, negara seperti Arab Saudi dikenal sebagai negara

yang bersih dari korupsi karena menerapkan syari’at Islam. “Hukuman potong

tangan itu tidak untuk semua pencuri, tetapi hanya untuk ‘pencuri kelas kakap’

yang namanya koruptor,” tegasnya.

Bisakah hukum Islam diterapkan di Indonesia? Achmad Ali menjawab, “Selama

hukum Islam secara konstitusional belum diberlakukan, tentu kita belum dapat

menerapkan hukuman potong tangan. Kalau rakyat memang menghendaki dan

wakil rakyat bisa memperjuangkannya secara konstitusional, kenapa tidak?

Sekarang yang penting, hukumlah seberat-beratnya!”

32

Page 33: CG PT 12

Korupsi merupakan penyakit negara yang sangat berdampak pada pembangunan,

tatanan sosial dan juga politik. Korupsi mempunyai karakteristik sebagai kejahatan

yang tidak mengandung kekerasan dengan melibatkan unsur-unsur tipu daya

muslihat, ketidakjujuran dan penyembunyian suatu kenyataan.

Korupsi merupakan suatu tindakan yang merugikan negara baik secara langsung

maupun tidak langsung dan jika ditinjau dari aspek normatif, korupsi merupakan

suatu penyimpangan atau pelanggaran. Merangkai kata untuk perubahan memang

mudah. Namun, melaksanakan rangkaian kata dalam bentuk gerakan terkadang

teramat sulit. Dibutuhkan kecerdasan dan keberanian untuk mendobrak dan

merobohkan pilar-pilar korupsi yang menjadi penghambat utama lambatnya

pembangunan ekonomi yang paripurna di Indonesia. Korupsi yang telah terlalu

lama menjadi wabah yang tidak pernah kunjung selesai, karena pemberantasan

terhadap wabah tersebut tidak pernah tepat sasaran. Sebaiknya pemerintah lebih

serius dalam menanggulagi masalah korupsi ini, karena masalah ini sungguh

merugikan masyarakat terutamanya dalam pembangunan dan ekonomi. Dan bagi

para pejabat-pejabat sebaiknya menahan diri untuk mengambil hak milik orang

lain. Sebab, jika kita mengambil hak milik orang lain, kita tak ada bedanya dengan

orang yang tak punya apa-apa.

2.3 Why Don’t We Try To Be India’s Most Respected Company?

Dimulai dari seseorang bernama N.R Narayana Murthy yang memiliki keinginan

untuk menjadi seorang entrepreneur dengan modal yang kecil. Ia membentuk

perusahaan bernama Infosys dan memberanikan diri mengembangkan sebuah

software pelayanan ekspor. Pada masa itu ketika kepemimpinan dalam bisnis secara

etika tidak familiar, Ia membuat sebuah nilai dasar perusahaan. Saat ini masyarakat

mulai marah dengan korupsi yang merajalela di india. Murthy menjelaskan bahwa

untuk menjadi perusahaan yang sukses secara financial, pemimpin harus

mencontohkan tiap nilai-nilai penting kepada pegawainya.

Ketika Murthy memustuskan berhenti dari pekerjaannya dan memulai mengelola

perusahaan software, ia menetapkan sebuah visi perusahaan yaitu untuk menjadi

perusahaan yang paling dihormati di India. Dalam prakteknya, jika perusahaan

mendapatkan respect dari shareholder maka sudah mencapai visi. Jika perusahaan

mencari respect dari pelanggan maka perusahaan harus menyampaikan apa yang

33

Page 34: CG PT 12

dijanjikan. Jika mencari respect dari pegawai, perusahaan harus melayani mereka

dengan baik. Jika mencari respect dari investor, maka perusahaan harus beroprasi

secara transparan dan dengan akuntabilitas. Jika mencari respect dari vendor

perusahaan harus bersepakat dengan vendor. Jika mencari respect dari pemerintah,

maka perusahaan harus menghindari pelanggaran hukum. Jika hal tersebut dapat

dlakukan, keuntungan dan kapitalisasi pasar akan mengikuti.

Membangun perusahaan dengan dasar nilai-nilai, visi menjadi perusahaan yang paling

dihormati di India menawarkan solusi teknologi terbaik dan mempekerjakan tenaga

professional. Fokus pelanggan, kepemimpinan dengan memberi contoh, integeritas

dan transparansi, kejujuran dan kesempurnaan terhadap semua yang dilakukan.

Sebagai perusahaan yang mencari kehormatan bukan keuntungan dibagun

berdasarkan nilai-nilai yang sudah ditanamkan dalam setiap orang sejak kecil.

Menghasilkan uang bukan suatu hal yang penting, tetapi memperoleh kehormatan

merupakan hal yang penting. Dari hal tersebut, bisnis akan datang. Ketika kau

berkomitmen pada nilai itu berarti kau akan membayarnya untuk itu, dimana bisnis

diatur oleh pemerintah secara ekstensif dan membayar suap menjadi penting untuk

mendapatkan sesuatu. Dengan kata lain, bukan sebagai perusahaan pengendali nilai-

nilai. Sebagai contoh, pada tahun 1984 perusahaannya memutuskan meng-import

mini komputer untuk memulai pengembangan software untuk pelanggan luar negeri.

Ketika mesin mendarat di Bangalore Airport, pejabat adat istiadat setempat menolak

untuk mengurusnya kecuali kita "merawatnya" - eufemisme India untuk menuntut

suap.

Hambatan dating bahkan ketika belum dimulai, Murthy mengambil keputusan untuk

mengambil alternative lain selain membayar uang suap, yaitu membayar bea cukai

135% dan kemudian memohon pengembalian dana, meskipun saat itu tidak memiliki

uang untuk membayar biaya bea cukai dan harus meminjam. Hal tersebut berdasarkan

keputusan untuk menjalankan bisnis dengan beretika.

Berbisnis seperti ini membutuhkan waktu yang panjang untuk memperoleh

keuntungan. Melibatkan karyawan dalam menetapkan keputusan nilai untuk

menumbuhkan kepercayaan diri karyawan dalam menerapkan nila-nilai yang baik,

bahkan ketika orang lain menyimpang dari nilai. Hal ini dapat mendorong antusiasme

karyawan untuk berkomitmen pada perusahaan dan lebih produktif. Hanya butuh

34

Page 35: CG PT 12

waktu yang singkat untuk pihak yang melakukan korupsi berhenti mendekati

perusahaan. Karena etika yang diterapkan pada perusahaan, pelanggan

mempercayakan perusahaan untuk mengerjakan proyek-proyek besar. Nilai-nilai

perusahaan menjadi keuntungan bagi perusahaan untuk mendapatkan pendapatak

lebih besar, lebih banyak investor, dan kehormatan dari pemerintah dan masyarakat.

Perusahaan harus selalu menawarkan rasa terimakasih yang tulus, kerja keras, dan

komitmen. Dengan begitu, akan mendapatkan nilai tambah dari pelanggan. Ketika

seorang CIO menyarankan untuk melakukan suap untuk mendapatkan sebuah kontrak

proyek, Muthy menolaknya namun sukses mendapatkan kontraknya. Kita harus

belajar untuk berdiri diatas prinsip, maka salah jika berpikir menyuap untuk

mendapatkan kesuksesan.

Pada sekitar tahun 1980 Infosys keluar dari pasar bisnis software. Pada saat itu

Infosys mengimpor dan mendistribusi paket software, pemerintah mengadakan

penyesuaian bea masuk 135% untuk import paket software, tetapi banyak perusahaan

yang memanipilasi invoice untuk menghindari pembayaran bea masuk. Hal ini

memungkinkan perusahaan pesaing menurunkan biaya software yang mana akan

meguntungkan pelanggan. Infosys tidak mengikuti praktek seperti itu, walaupun itu

sah menurut para pengacara. Infosys membutuhkan cash flow, tetapi selama

perusahaan tidak bisa beroperasi di grey area, maka tidak akan berhasil mendapatkan

kesempatan.

Perusahaan yang baik harus manaati hukum yang berlaku. Lebih dari itu, kebiasaan

beretika melebihi pemenuhan hukum : memuaskan suara hati. Ketika perusahaan

menerima pengaduan bahwa terdapat karyawan yang menyalahi nilai perusahaan,

masalah tersebut diinvestigasi, memberikan kesempatan untuk individu tersebut

menjelaskan pembelaan, lalu disimpulkan dan kemudian mengambil tindahan,

walaupun karyawan tersebut memiliki kemampuan lebih dan berguna bagi perusahaan

perusahaan tetap mengambil tindakan tegas untuk pelanggaran yang dilakukannya.

Perusahaan akan menghormati karyawannya yang berperilaku baik dan berkomitmen

dengan niali-nilai perusahaan.

Indosys pernah diisukan melanggar hukum visa US dengan mempekerjakan seseorang

yang memiliki visa pengunjung yang dinilai melanggar nilai etik.

35

Page 36: CG PT 12

Perusahaan harus jujur kepada semua shareholder kecuali untuk asymetik informasi

yang mengacu pada insider trading. Infosys telah melakukan transparansi dalam

kesepakatan dengan investor. Sebagai pengalaman pada tahun 1995 ketika menunggu

persetujuan dari Reserve Bank of India untuk membuka kantor penjualan di luar

negeri. Perusahaan memutuskan untuk melakukan sejumlah investasi di pasar saham,

berharap akan mempercepat perputaran. Sayangnya, perusahaan mengalami kerugian

pada investasinya. Berdasarkan GAAP yang diterapkan di India, Infosys harus

mengungkapkan detail kerugian kepada shareholder.

Sebagai perusahaan yang bereputasi pada nilai dasar menghadapi beberapa tekanan.

Seiring dengan perkembangan Infosys, harapan masyarakat meningkat. Orang-orang

mengharapkan Infosys menjadi perusahaan yang sadar lingkungan. Untuk memimpin

kemajuan standar tata kelola perusahaan di India.

Sebagai perusahaan yang berbisnis tidak hanya sekedar berbisnis. Memaksimalkan

kekayaan shareholder merupakan hal yang penting. Akan tetapi harus

memaksimalkannya secara legal, etis dan jujur. Indeks terbaik untuk kesuksesan

sebuah perusahaan adalah going concern, yang berasal dari hidup harmonis dengan

masyarakat. Contohnya dengan menyisihkan sebagian keuntungan untuk membangun

rumah sakit, perpustakaan, pusat rehabilitasi dan memberikan beasiswa.

Strategi adalah apa yang harus kita lakukan untuk menciptakan dan memelihara

diferensiasi berkelanjutan terhadap pesaing. Salah satu aspek diferensiasi Infosys

adalah penekanan pada nilai-nilai. Namun, nilai-nilai tidak hanya bagian dari proses

strategi; harus ada nature kedua untuk setiap orang dalam organisasi.

Mempertahankan budaya pengendalian nilai ketika perusahaan berkembang di lebih

dari 50% per tahun, operasinya yang mengglobal, dan lebih dari 30.000 orang muda

bergabung dengan perusahaan sementara 10.000 meninggalkan perusahaan setiap

tahun. Selama bertahun-tahun sistem nilai-nilai Infosys tidak tertulis dan hanya

dipraktekan, Pada tahun 1998 diputuskan untuk mendokumentasikannya. Para

pegawai datang dari berbagai golongan yang berbeda-beda jadi diperlukan

keberagaman sudut pandang dalam menerapkan etika dan nilai-nilai. Infosys memiliki

tiga tahapan proses untuk mensosialisasikan C-Life System: Komunikasi,

Keterlibatan dan Pemberdayaan.

36

Page 37: CG PT 12

Sejak memulai Infosys, Murthy menjamin karyawannya dengan tiga hal :

1. Setiap transaksi pada Infosys menaikan respect terhadap mereka dan menaikan

kehormatan mereka.

2. Perusahaan dengan sendirinya adil, transparan, dan beretika jadi mereka tidak

perlu malu akan hal itu.

3. Mereka akan belajar tiga kali lebih di Infosys disbanding di perusahaan lain.

Murthy menghadapi berbagai kesulitan untuk membuat keputusan dengan

pengorbanan, dan menyelesaikan dilemma etika dan moral.

Instrumen terbaik untuk memperoleh kepercayaan adalah kepemimpinan dengan

memberikan contoh karena shareholder dan pegawai akan mengawasi, mengkritik,

maupun meniru pimpinannya. Pemimpin harus memperhatikan benar apa yang

dikatakan dan dilakukannya. Diberlakukannya aturan dan sanksi yang sama untuk

CEO maupun bawahannya. Murthy yakin Infosys akan menjadi bisnis yang

berkelanjutan sebagai perusahaan dengan pengendali nilai-nilai dasar. Dalam setiap

keputusan harus disesuaikan dengan suara hati. Selama kepemimpinan Infosys terus

menumbuhkan lingkungan di mana karyawan merasa bertanggung jawab pada hati

nurani mereka, hal itu akan memberikan hasil.

2.4 Kunci keberhasilan Infosys dalam mengatasi tekanan untuk terlibat korupsi dan

membalikkan situasi yang dihadapi sehingga dapat menjadi perusahaan global.

Kunci keberhasilan Infosys dalam mengatasi tekanan untuk terlibat korupsi adalah

dengan membangun perusahaan dengan dasar nilai-nilai yang ditanamkan disetiap lini

perusahaan baik pemimpin maupun karyawan. Menerapkan kepemimpinan dengan

integeritas dan transparansi, kejujuran dan memberikan hasil yang terbaik terhadap

semua yang dilakukan. Infosys berusaha meyakinkan konsumen dengan berperilaku

jujur dan sesuai etika, sehingga terdapat rasa hormat dari konsumen dan memberikan

kepercayaan kepada Infosys untuk mengerjakan proyek.

2.5 Kasus Korupsi Wisma Atlet

           Kasus Korupsi Wisma Atlit terbongkar setelah dilakukan penyadapan oleh tim

penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kronologis kasus tersebut sebagai

berikut:

37

Page 38: CG PT 12

Nazaruddin selaku anggota DPR RI telah mengupayakan agar PT Duta Graha Indah

Tbk menjadi pemenang yang mendapatkan proyek pembangunan wisma atlet dengan

mendapat jatah uang sebesar Rp4,34 miliar dengan nilai kontrak senilai Rp

191.672.000.000. jatah Nazarudin diberikan dalam bentuk empat lembar cek dari PT

DGI yang diberikan oleh Idris. Idris yang mempunyai tugas mencari pekerjaan

(proyek) untuk PT DGI, bersama-sama dengan Dudung Purwadi selaku Direktur

Utama PT DGI. Nazaruddin sendiri lalu bertemu dengan Sesmenpora Wafid

Muharam dengan ditemani oleh anak buahnya Rosa. Dalam pertemuan yang terjadi

sekitar Agustus 2010 di sebuah rumah makan di belakang Hotel Century Senayan itu,

Nazaruddin meminta Wafid untuk dapat mengikutsertakan PT DGI dalam proyek

yang ada di Kemenpora. Singkat cerita, setelah mengawal PT DGI Tbk untuk dapat

ikut serta dalam proyek pembangunan Wisma Atlet, Rosa dan Idris lalu sepakat

bertemu beberapa kali lagi untuk membahas rencana pemberian success fee kepada

pihak-pihak yang terkait dengan pekerjaan pembangunan Wisma Atlet. Pada

Desember 2010, PT DGI Tbk pun akhirnya diumumkan sebagai pemenang lelang

oleh panitia pengadaan proyek pembangunan Wisma Atlet. Kemudian dalam

persidangan di Pengadilan Tipikor, Mindo Rosalina Manulang, mantan direktur

marketing Permai Group, perusahaan Nazaruddin mengatakan bahwa Angelina

Shondak dan I Wayan Koster juga menerima uang suap senilai Rp 5 miliar karena

juga termasuk pihak-pihak terkait dalam pemenangan tender.

            Korupsi Wisma Atlit Dalam Pandangan Konsep Kejahatan Korporasi Korupsi

Wisma Atilt merupakan kejahatan white-colar crime dimana pelaku – pelakunya

merupakan orang cerdik pandai dan bukan orang miskin. Istilah white-colar crime

pertama kali dikemukakan oleh Sutherland, yang merujuk pada pelaku kelahatan

dengan tipe pelaku berasal dari orang – orang sosial ekonomi tinggi yang melakukan

pelanggaran – pelanggaran terhadap hukum. Pengertian kreteria pelaku kejahatan,

dalam kasus korupsi Wisma Atilt nampaknya sama dengan pengertian pelaku

kejahatan white-colar crime dari Sutherland yaitu dilakukan oleh kelompok eksekutif.

Konsep kejahatan korporasi atau white-colar crime berbeda dengan kejahatan

konvensional. Dalam konsep kejahatan konvensional yang dikatakan sebagai penjahat

adalah orang yang melakukan kejahatan secara langsung, sedangkan pelaku kejahatan

dalam kejahatan korporasi adalah korporasi yang melakukan pelanggaran. Walaupun

sebetulnya pelakunya juga orang – orang dalam korporasi. Oleh karena itu, tidak

38

Page 39: CG PT 12

gampang menentukan pelaku dalam kasus tersebut, mengingat korupsi tersebut

dilakukan oleh banyak pihak, terstruktur dan melibatkan birokrasi. Selain itu hukum

pidana kita juga terbiasa hanya menjerat pelaku langsung dimana biasanya orang-

orang di belakang yang mengatur terjadinya kejahatan sulit tersentuh oleh hukum.

Korporasi yang melakukan kejahatan korupsi melakukan praktek-praktek illegal

sebagai sarana untuk melakukan korupsi, misalnya dengan melakukan penyuapan

kepada pajabat negara atau pemegang kebijakan lelang, Mark up nilai proyek,

pengurangan kwalitas produk dan sebagainya. Kejahatan – kejahatan tersebut sulit

diketahui oleh masyarakat karena memang kejahatan yang terselubung (invincible

crime) dan dibungkus dengan aturan – aturan yang bisa dicari alasan pembenarnya.

Berdasarkan sumber yang telah diperoleh, kasus korupsi Wiama Atlit dilakukan

secara terstruktur dalam wadah perusahaan dan melibatkan penyelenggara negara.

Kasus penyuapan yang terjadi merupakan upaya memuluskan agar tender jatuh

kepada perusahan tertentu.

39

Page 40: CG PT 12

BAB 3

KESIMPULAN

Pemberantasan korupsi tidak hanya mengenai bagaimana menangkap dan

memidanakan pelaku tindak pidana korupsi, tapi juga bagaimana mencegah tindak

pidana korupsi agar tidak terulang pada masa yang akan datang melalui pendidikan

antikorupsi, kampanye antikorupsi dan adanya contoh "island of integrity". Selain itu

dengan menanamkan sedini mungkin pada diri kita untuk menghindari oraktik

korupsi, akan berdampak besar pada sekitar kita untuk tidak melakukan tindak pidana

korupsi

40

Page 41: CG PT 12

BAB 4

DAFTAR PUSTAKA

- Tamara, Nasir (2002)- Harvard Business Review, Nov 2011.- UU Tindak Pidana Korupsi

41