Upload
maria-virginia-melati
View
105
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
korupsi
Citation preview
MAKALAH TATA KELOLA PERUSAHAAN
Masalah Korupsi di Indonesia
“Good Public Governance”
Kelompok 7:
Dhestha Sufian Mardiana - 1306484274
Ivan Julio - 1306484633
Maria Virginia Melati - 1306484785
Sintia Resmi Januarini - 1306485352
Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia
Depok
2014
Daftar Isi
Daftar Isi 2
Statement of Authorship 3
Bab 1. Pendahuluan 4
Bab 2. Pembahasan 5
2.1 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 & UU RI Nomor 20 Tahun 2001 5
2.2 Perkembangan Korupsi di Indonesia 26
2.3 Why Don’t We Try To Be India’s Most Respected Company? 34
2.4 Kunci keberhasilan Infosys dalam mengatasi tekanan untuk terlibat korupsi dan
membalikkan situasi yang dihadapi sehingga dapat menjadi perusahaan global. 38
2.5 Hubungan CSR dan Corporate Governanve 38
\Bab 3. Kesimpulan 22
Bab 4. Daftar Pustaka 23
2
STATEMENT OF AUTHORSHIP
“Saya/kami yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa makalah/tugas
terlampir adalah murni hasil pekerjaan saya/kami sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain
yang saya/kami gunakan tanpa menyebutkan sumbernya.
Materi ini tidak/belum pernah disajikan/digunakan sebagai bahan untuk
makalah/tugas pada mata ajaran lain kecuali saya/kami menyatakan dengan jelas bahwa
saya/kami menyatakan dengan jelas menggunakannya.
Saya/kami memahami bahwa tugas yang saya/kami kumpulkan ini dapat diperbanyak
dan atau dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme.”
Mata ajaran : Tata Kelola PerusahaanJudul tugas : Masalah Korupsi di Indonesia Tanggal : 4 Desember 2014 Dosen : Desi Adhariani S.E., Ak., M.Si
Nama NPM TTD
Dhestha Sufian Mardiana 1306484274
Ivan Julio 1306484633
Maria Virginia Melati 1306484785
Sintia Resmi Januarini 1306485352
3
BAB 1
PENDAHULUAN
Tindak korupsi di Indonesia telah berkembang dari sejak pasca kemerdekaan sampai saat ini. Telah banyak regulasi dan sejumlah aturan yang dibuat untuk mengatasi hal tersebut, namun di Indonesia tindak pidana korupsi semakin menjamur. Kurangnya dukungan lembaga penegak hukum dan hukum yang ” tajam ke bawah dan tumpul ke atas” seringkali membuat sejumlah pihak ”berkerah putih” rajin dalam melakukan hal yang tidak bermoral tersebut.
4
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 & UU RI Nomor 20 Tahun 2001 :
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
I. UMUM
Sejak Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874) diundangkan, terdapat berbagai interpretasi atau penafsiran yang berkembang di masyarakat khususnya mengenai penerapan Undang- undang tersebut terhadap tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 diundangkan. Hal ini disebabkan Pasal 44 Undang-undang tersebut menyatakan bahwa Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan tidak berlaku sejak Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 diundangkan, sehingga timbul suatu anggapan adanya kekosongan hukum untuk memproses tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999.
Di samping hal tersebut, mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa. Dengan demikian, pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara yang khusus, antara lain penerapan sistem pembuktian terbalik yakni pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa.
Untuk mencapai kepastian hukum, menghilangkan keragaman penafsiran, dan perlakuan adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, perlu diadakan perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ketentuan perluasan mengenai sumber perolehan alat bukti yang sah yang berupa petunjuk, dirumuskan bahwa mengenai "petunjuk" selain diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa, juga diperoleh dari alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa
5
dengan itu tetapi tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksimili, dan dari dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Ketentuan mengenai "pembuktian terbalik" perlu ditambahkan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai ketentuan yang bersifat "premium remidium" dan sekaligus mengandung sifat prevensi khusus terhadap pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 atau terhadap penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang- undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi.
Pembuktian terbalik ini diberlakukan pada tindak pidana baru tentang gratifikasi dan terhadap tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini.
Dalam Undang-undang ini diatur pula hak negara untuk mengajukan gugatan perdata terhadap harta benda terpidana yang disembunyikan atau tersembunyi dan baru diketahui setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Harta benda yang disembunyikan atau tersembunyi tersebut diduga atau patut diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Gugatan perdata dilakukan terhadap terpidana dan atau ahli warisnya. Untuk melakukan gugatan tersebut, negara dapat menunjuk kuasanya untuk mewakili negara.
Selanjutnya dalam Undang-undang ini juga diatur ketentuan baru mengenai maksimum pidana penjara dan pidana denda bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah). Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghilangkan rasa kekurangadilan bagi pelaku tindak pidana korupsi, dalam hal nilai yang dikorup relatif kecil.
Di samping itu, dalam Undang-undang ini dicantumkan Ketentuan Peralihan. Substansi dalam Ketentuan Peralihan ini pada dasarnya sesuai dengan asas umum hukum pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
6
UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 :
TENTANG PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 20 TAHUN 2001
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 31 TAHUN 1999
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud
dengan:
1. Korporasi adalah kumpulan orang
dan atau kekayaan yang terorganisasi
baik merupakan badan hukum maupun
bukan badan hukum.
2. Pegawai Negeri adalah meliputi :
a. pegawai negeri sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang tentang
Kepegawaian;
b. pegawai negeri sebagaimana dimaksud
dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana;
c. orang yang menerima gaji atau upah dari
keuangan negara atau daerah;
d. orang yang menerima gaji atau upah dari
suatu korporasi yang menerima bantuan dari
keuangan negara atau daerah; atau
e. orang yang menerima gaji atau upah
dari korporasi lain yang mempergunakan
Pasal I
Beberapa ketentuan dan penjelasan pasal
dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
diubah sebagai berikut:
1. Pasal 2 ayat (2) substansi tetap, penjelasan
pasal diubah sehingga rumusannya
sebagaimana tercantum dalam penjelasan
Pasal Demi Pasal angka 1 Undang-undang ini.
2. Ketentuan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8,
Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12,
rumusannya diubah dengan tidak mengacu
pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana tetapi langsung menyebutkan
unsur-unsur yang terdapat dalam masing-
masing pasal Kitab Undangundang Hukum
Pidana yang diacu, sehingga berbunyi sebagai
berikut:
7
modal atau fasilitas dari negara atau
masyarakat.
3. Setiap orang adalah orang perseorangan
atau termasuk korporasi.
Pasal 5
Setiap orang yang melakukan tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 209
Kitab Undang-undang Hukum Pidana,
dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan atau denda paling
sedikit Rp
50.000.000,00 (Lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah).
Pasal 5
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada
pegawai negeri atau penyelenggara negara
dengan maksud supaya pegawai negeri atau
penyelenggara negara tersebut berbuat atau
tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang
bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri
atau penyelenggara negara karena atau
berhubungan dengan sesuatu yang
bertentangan dengan kewajiban, dilakukan
atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang menerima pemberian atau janji
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a
atau huruf b, dipidana dengan pidana yang
sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
8
Pasal 6
Setiap orang yang melakukan tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 210
Kitab Undang-undang Hukum Pidana,
dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan denda paling
sedikit Rp
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp.
750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta
rupiah).
Pasal 6
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00
(tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap
orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada
hakim dengan maksud untuk mempengaruhi
putusan perkara yang diserahkan kepadanya
untuk diadili; atau
b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada
seseorang yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan ditentukan menjadi
advokat untuk menghadiri sidang pengadilan
dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat
atau pendapat yang akan diberikan berhubung
dengan perkara yang diserahkan kepada
pengadilan untuk diadili.
(2) Bagi hakim yang menerima pemberian
atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) huruf a atau advokat yang menerima
pemberian atau janji sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan
pidana yang sama sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1).
9
Pasal 7
Setiap orang yang melakukan tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 387 atau Pasal 388 Kitab Undang-
undang Hukum Pidana, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun
dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda
paling sedikit Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan
paling banyak 350.000.000,00 (tiga ratus
lima puluh juta rupiah).
Pasal 7
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7
(tujuh) tahun dan atau pidana denda paling
sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00
(tiga ratus lima puluh juta rupiah):
a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu
membuat bangunan, atau penjual bahan
bangunan yang pada waktu menyerahkan
bahan bangunan, melakukan perbuatan curang
yang dapat membahayakan keamanan orang
atau barang, atau keselamatan negara dalam
keadaan perang;
b. setiap orang yang bertugas mengawasi
pembangunan atau penyerahan bahan
bangunan, sengaja membiarkan perbuatan
curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan
barang keperluan Tentara Nasional Indonesia
dan atau Kepolisian Negara Republik
Indonesia melakukan perbuatan curang yang
dapat membahayakan keselamatan negara
dalam keadaan perang; atau
d. setiap orang yang bertugas mengawasi
penyerahan barang keperluan Tentara
Nasional Indonesia dan atau Kepolisian
Negara Republik Indonesia dengan sengaja
10
membiarkan perbuatan curang sebagaimana
dimaksud dalam huruf c.
(2) Bagi orang yang menerima penyerahan
bahan bangunan atau orang yang menerima
penyerahan barang keperluan Tentara
Nasional Indonesia dan atau Kepolisian
Negara Republik Indonesia dan membiarkan
perbuatan curang sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana
dengan pidana yang sama sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 8
Setiap orang yang melakukan tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 415
Kitab Undang-undang Hukum Pidana,
dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan denda paling
sedikit Rp
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak 750.000.000,00
(tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 8
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat
3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00
(tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai
negeri atau orang selain pegawai negeri yang
ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum
secara terus menerus atau untuk sementara
waktu, dengan sengaja menggelapkan uang
atau surat berharga yang disimpan karena
jabatannya, atau membiarkan uang atau surat
berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh
orang lain, atau membantu dalam melakukan
perbuatan tersebut.
11
Pasal 9
Setiap orang yang melakukan tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 416
Kitab Undang-undang Hukum Pidana,
dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan denda paling sedikit Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak 250.000.000,00 (dua
ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 9
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat
1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau
orang selain pegawai negeri yang diberi tugas
menjalankan suatu jabatan umum secara terus
menerus atau untuk sementara waktu, dengan
sengaja memalsu buku-buku atau daftardaftar
yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.
Pasal 10
Setiap orang yang melakukan tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 417
Kitab Undang-undang Hukum Pidana,
dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7
(tujuh) tahun dan denda paling sedikit Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan
paling banyak 350.000.000,00 (tiga ratus
lima puluh juta rupiah).
Pasal 10
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat
2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus
lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau
orang selain pegawai negeri yang diberi tugas
menjalankan suatu jabatan umum secara terus
menerus atau untuk sementara waktu, dengan
sengaja:
a. menggelapkan, menghancurkan,
merusakkan, atau membuat tidak dapat
dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang
digunakan untuk meyakinkan atau
12
membuktikan di muka pejabat yang
berwenang, yang dikuasai karena jabatannya;
atau
b. membiarkan orang lain menghilangkan,
menghancurkan, merusakkan, atau membuat
tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau
daftar tersebut; atau
c. membantu orang lain menghilangkan,
menghancurkan, merusakkan, atau membuat
tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau
daftar tersebut.
Pasal 11
Setiap orang yang melakukan tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 418
Kitab Undang-undang Hukum Pidana,
dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan denda paling sedikit Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak 250.000.000,00 (dua
ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 11
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat
1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun
dan atau pidana denda paling sedikit Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang menerima hadiah
atau janji padahal diketahui atau patut diduga,
bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan
karena kekuasaan atau kewenangan yang
berhubungan dengan jabatannya, atau yang
menurut pikiran orang yang memberikan
hadiah atau janji tersebut ada hubungan
dengan jabatannya.
13
Pasal 12
Setiap orang yang melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 419,
Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, atau Pasal
435 Kitab Undang-undang Hukum Pidana,
dipidana dengan pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat
4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak 1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah).
Pasal 12
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah):
a. pegawai negeri atau penyelenggara negara
yang menerima hadiah atau janji, padahal
diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau
janji tersebut diberikan untuk menggerakkan
agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam jabatannya, yang bertentangan dengan
kewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara
yang menerima hadiah, padahal diketahui atau
patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan
sebagai akibat atau disebabkan karena telah
melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam jabatannya yang bertentangan dengan
kewajibannya;
c. hakim yang menerima hadiah atau janji,
padahal diketahui atau patut diduga bahwa
hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
mempengaruhi putusan perkara yang
diserahkan kepadanya untuk diadili;
d. seseorang yang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan ditentukan
menjadi advokat untuk menghadiri sidang
14
pengadilan, menerima hadiah atau janji,
padahal diketahui atau patut diduga bahwa
hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi
nasihat atau pendapat yang akan diberikan,
berhubung dengan perkara yang diserahkan
kepada pengadilan untuk diadili;
e. pegawai negeri atau penyelenggara negara
yang dengan maksud menguntungkan diri
sendiri atau orang lain secara melawan hukum,
atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya
memaksa seseorang memberikan sesuatu,
membayar, atau menerima pembayaran
dengan potongan, atau untuk mengerjakan
sesuatu bagi dirinya sendiri;
f. pegawai negeri atau penyelenggara negara
yang pada waktu menjalankan tugas, meminta,
menerima, atau memotong pembayaran
kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang lain atau kepada kas umum,
seolah-olah pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang lain atau kas
umum tersebut mempunyai utang kepadanya,
padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan
merupakan utang;
g. pegawai negeri atau penyelenggara negara
yang pada waktu menjalankan tugas, meminta
atau menerima pekerjaan, atau penyerahan
barang, seolah-olah merupakan utang kepada
dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut
bukan merupakan utang;
h. pegawai negeri atau penyelenggara negara
yang pada waktu menjalankan tugas, telah
15
menggunakan tanah negara yang di atasnya
terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan
peraturan perundangundangan, telah
merugikan orang yang berhak, padahal
diketahuinya bahwa perbuatan tersebut
bertentangan dengan peraturan
perundangundangan; atau
i. pegawai negeri atau penyelenggara negara
baik langsung maupun tidak langsung dengan
sengaja turut serta dalam pemborongan,
pengadaan, atau persewaan, yang pada saat
dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau
sebagian ditugaskan untuk mengurus atau
mengawasinya.
Belum Terbentuk Pasal 12 A
(1) Ketentuan mengenai pidana penjara dan
pidana denda sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 tidak berlaku
bagi tindak pidana korupsi yang nilainya
kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta
rupiah).
(2) Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang
nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima
juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
16
rupiah).
Belum Terbentuk Pasal 12 B
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri
atau penyelenggara negara dianggap
pemberian suap, apabila berhubungan dengan
jabatannya dan yang berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa
gratifikasi tersebut bukan merupakan suap
dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa
gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh
penuntut umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau
penyelenggara negara sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
17
Pasal 12 C
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika
penerima melaporkan gratifikasi yang
diterimanya kepada Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh
penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga
puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal
gratifikasi tersebut diterima.
(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak tanggal menerima
laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat
menjadi milik penerima atau milik negara.
(4) Ketentuan mengenai tata cara
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur
dalam Undangundang tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Belum Terbentuk Pasal 26 A
Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat
(2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk
tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh
18
dari :
a. alat bukti lain yang berupa informasi yang
diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan
secara elektronik dengan alat optik atau yang
serupa dengan itu; dan
b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau
informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau
didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau
tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang
di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas,
maupun yang terekam secara elektronik, yang
berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan,
foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang
memiliki makna.
Pasal 37
(1) Terdakwa mempunyai hak untuk
membuktikan bahwa ia tidak melakukan
tindak pidana korupsi.
(2) Dalam hal terdakwa dapat
membuktikan bahwa ia tidak melakukan
tindak pidana korupsi, maka keterangan
tersebut dipergunakan sebagai hal yang
menguntungkan baginya.
(3) Terdakwa wajib memberikan
keterangan tentang seluruh harta bendanya
Pasal 37
(1) Terdakwa mempunyai hak untuk
membuktikan bahwa ia tidak melakukan
tindak pidana korupsi.
(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan
bahwa ia tidak melakukan tindak pidana
korupsi, maka pembuktian tersebut
dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar
untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak
terbukti.
19
dan harta benda istri atau suami, anak, dan
harta benda setiap orang atau korporasi yang
diduga mempunyai hubungan dengan
perkara yang bersangkutan.
(4) Dalam hal terdakwa tidak dapat
membuktikan tentang kekayaan yang tidak
seimbang dengan penghasilannya atau
sumber penambah kekayaannya, maka
keterangan tersebut dapat digunakan untuk
memperkuat alat bukti yang sudah ada
bahwa terdakwa telah melakukan tindak
pidana korupsi.
(5) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4), penuntut umum tetap berkewajiban
untuk membuktikan dakwaannya.
Belum Terbentuk Pasal 37 A
(1) Terdakwa wajib memberikan keterangan
tentang seluruh harta bendanya dan harta
benda istri atau suami, anak, dan harta benda
setiap orang atau korporasi yang diduga
mempunyai hubungan dengan perkara yang
didakwakan.
(2) Dalam hal terdakwa tidak dapat
membuktikan tentang kekayaan yang tidak
20
seimbang dengan penghasilannya atau sumber
penambahan kekayaannya, maka keterangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
digunakan untuk memperkuat alat bukti yang
sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan
tindak pidana korupsi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana
atau perkara pokok sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal
14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai
dengan Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga
penuntut umum tetap berkewajiban untuk
membuktikan dakwaannya.
Belum Terbentuk Pasal 38 A
Pembuktian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 B ayat (1) dilakukan pada saat
pemeriksaan di sidang pengadilan.
Belum Terbentuk Pasal 38 B
(1) Setiap orang yang didakwa melakukan
salah satu tindak pidana korupsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4,
Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16
21
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-
undang ini, wajib membuktikan sebaliknya
terhadap harta benda miliknya yang belum
didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari
tindak pidana korupsi.
(2) Dalam hal terdakwa tidak dapat
membuktikan bahwa harta benda sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan
karena tindak pidana korupsi, harta benda
tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak
pidana korupsi dan hakim berwenang
memutuskan seluruh atau sebagian harta
benda tersebut dirampas untuk negara.
(3) Tuntutan perampasan harta benda
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
diajukan oleh penuntut umum pada saat
membacakan tuntutannya pada perkara pokok.
(4) Pembuktian bahwa harta benda
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bukan
berasal dari tindak pidana korupsi diajukan
oleh terdakwa pada saat membacakan
pembelaannya dalam perkara pokok dan dapat
diulangi pada memori banding dan memori
kasasi.
(5) Hakim wajib membuka persidangan yang
khusus untuk memeriksa pembuktian yang
diajukan terdakwa sebagaimana dimaksud
dalam ayat (4).
(6) Apabila terdakwa dibebaskan atau
22
dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum
dari perkara pokok, maka tuntutan perampasan
harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat (2) harus ditolak oleh hakim.
Belum Terbentuk Pasal 38 C
Apabila setelah putusan pengadilan telah
memperoleh kekuatan hokum tetap, diketahui
masih terdapat harta benda milik terpidana
yang diduga atau patut diduga juga berasal
dari tindak pidana korupsi yang belum
dikenakan perampasan untuk negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat
(2), maka negara dapat melakukan gugatan
perdata terhadap terpidana dan atau ahli
warisnya.
BAB VI A
KETENTUAN PERALIHAN
Belum Terbentuk Pasal 43 A
(1) Tindak pidana korupsi yang terjadi
sebelum Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi diundangkan, diperiksa dan diputus
berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor
23
3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, dengan ketentuan maksimum
pidana penjara yang menguntungkan bagi
terdakwa diberlakukan ketentuan dalam Pasal
5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal
10 Undang-undang ini dan Pasal 13 Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Ketentuan minimum pidana penjara dalam
Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan
Pasal 10 Undang-undang ini dan Pasal 13
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang
terjadi sebelum berlakunya Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
(3) Tindak pidana korupsi yang terjadi
sebelum Undang-undang ini diundangkan,
diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, dengan ketentuan mengenai
maksimum pidana penjara bagi tindak pidana
korupsi yang nilainya kurang dari Rp
5.000.000,00 (lima juta rupiah) berlaku
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 A ayat (2) Undang-undang ini.
24
Belum Terbentuk Pasal 43 B
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang
ini, Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal 388,
Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418,
Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425,
dan Pasal 435 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana jis. Undang-undang Nomor 1 Tahun
1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita
Republik Indonesia II Nomor 9), Undang-
undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang
Menyatakan Berlakunya Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan
Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah
Republik Indonesia dan Mengubah Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (Lembaran
Negara Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 1660) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 27 Tahun 1999
tentang Perubahan Kitab Undang-undang
Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan
Kejahatan Terhadap Keamanan Negara,
dinyatakan tidak berlaku.
2.2 Perkembangan Korupsi di Indonesia
25
A. Era Pasca Kemerdekaan
Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk Badan
Pemberantasan Korupsi – Paran dan Operasi Budhi – namun ternyata pemerintah
pada waktu itu setengah hati menjalankannya. Paran, singkatan dari Panitia Retooling
Aparatur Negara dibentuk berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya, dipimpin
oleh Abdul Haris Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin
dan Roeslan Abdulgani.
Salah satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah diharuskan
mengisi formulir yang disediakan – istilah sekarang : daftar kekayaan pejabat negara.
Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut
mendapat reaksi keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu tidak
diserahkan kepada Paran tetapi langsung kepada Presiden.
Usaha Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat berlindung di
balik Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-daerah sedang memanas
sehingga tugas Paran akhirnya diserahkan kembali kepada pemerintah (Kabinet
Juanda).
Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan
korupsi kembali digalakkan. Nasution yang saat itu menjabat sebagai
Menkohankam/Kasab ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono
Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih berat, yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke
meja pengadilan.
Lembaga ini dikenal dengan istilah “Operasi Budhi”. Sasarannya adalah perusahaan-
perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan
praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengalami hambatan.
Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan permohonan
kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara direksi yang lain
menolak diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari atasan.
Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat
diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup signifikan untuk
kurun waktu itu. Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya Operasi
Budhi dihentikan. Menurut Soebandrio dalam suatu pertemuan di Bogor, “prestise
Presiden harus ditegakkan di atas semua kepentingan yang lain”.
Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumumkan pembubaran
Paran/Operasi Budhi yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando
26
Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya
serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat
pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.
B. Era Orde Baru
A. MASA PEMERINTAHAN SOEHARTO (1965-1998)
Pemerintah menggunakan pendekatan ‘pembangunan’ di sektor ekonomi untuk
mengatasi persoalan-persoalan yang muncul di masa Orde Lama pimpinan
Soekarno. Pertumbuhan ekonomi menjadi target utama, dengan terus mengontrol
kekuasaan politik agar dapat menjalankan program pembangunan. Persoalan
kebocoran atau korupsi menjadi persoalan nomor dua.
Pemerintahan ini diwarnai oleh tiga fenomena, yakni: kerjasama antara pimpinan
militer dengan pengusaha keturunan Cina, kompetisi antara pengusaha pribumi
dengan pengusaha keturunan Cina, dan pengaruh perusahaan-perusahaan negara
yang dikontrol oleh militer melawan teknokrat yang mendukung liberalisasi dan
intervensi Barat.
Pertamina yang merupakan mesin utama pendukung kekuasaan, menjadi sarang
korupsi, patronase, dan penyedotan sumber dana sehingga BUMN ini sempat
ambruk pada tahun 1975-1976. Di bawah pimpinan Ibnu Sutowo, operasi
Pertamina tertutup bagi publik dan laporan tahunan keuangannya tidak pernah
diumumkan. Kepentingan Soeharto dan tentara sangat besar terhadap Pertamina.
Pada bulan Januari 1970 beberapa organisasi mahasiswa Indonesia turun ke jalan
untuk memprotes korupsi yang terjadi di dalam tubuh pemerintahan. Presiden
Soeharto pada saat itu segera mengumumkan pembentukan Komisi IV,
Mohammad Hatta ditunjuk sebagai penasihat presiden untuk tersebut.
Diterapkannya perangkat hukum (UU No 3 tahun 1971) tentang pemberantasan
korupsi, tidak berfungsi seperti yang diharapkan. Meskipun sistem politik
Indonesia mengenal lembaga kontrol pemerintahan, seperti DPR, BPK, ataupun
Kejaksaan Agung dan Badan Penertiban Aparatur Negara, tetapi lembaga-lembaga
tersebut tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Tahun 1990 Jendral M Yusuf sebagai Ketua BPK menyerahkan hasil pemeriksaan
tahunan yang dilakukan BPK atas APBN 1988/1989 kepada ketua DPR. Dalam
27
acara tersebut M Yusuf mengatakan bahwa lembaga yang dipimpinnya
menemukan banyak penyimpangan terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku
dalam pemakaian dana-dana pembangunan.
Begitu sektor minyak dan gas meredup, awal tahun 1980-an Indonesia berpaling
pada kehutanan sehingga muncul istilah ‘Green Gold’ atau emas hijau. Ekspor
hasil hutan menjadi penghasil devisa nomor dua setelah minyak dan gas bumi. Dua
dari lima perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) swasta terbesar
menyerahkan sebagian saham dan pengelolaan pada keluarga Soeharto, yaitu
Kelompok Barito Pasific dan Kelompok Bob Hasan.
Tahun 1997 muncul krisis ekonomi yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah
yang sarat dengan KKN serta ketergantungan pada modal asing dan utang luar
negeri. Orde Baru yang dikomandani Jenderal (Purn) Soeharto akhirnya ambruk
dengan meninggalkan sistem koruptif yang kronis.
Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967, Pj
Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas
korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu
memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke akar-
akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim
Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.
Tahun 1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti
komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes
keberadaan TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina,
Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang
korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa,
akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat beranggotakan
tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ
Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka yang utama adalah
membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust,
Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini hanya “macan ompong” karena hasil
temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.
Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Opstib
(Operasi Tertib) derigan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Kebijakan ini
28
hanya melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu
ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan Nasution.
Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara pemberantasan korupsi, Nasution
berpendapat apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi, harus dimulai dari
atas. Nasution juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar memulai dari
dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang ditiup angin tanpa
bekas sama sekali.
C. Era Reformasi
A. MASA HABIBIE (MEI 1998-SEPTEMBER 1999)
Salah satu agenda kaum reformis yang menumbangkan Orde Baru adalah
pemberantasan KKN. Pemberantasan ini bermakna mengusut praktik KKN yang
telah dilakukan oleh Soeharto dan kroninya serta menciptakan pemerintahan yang
bersih.
Beberapa perangkat hukum yang mengatur soal pemberantasan korupsi dan
menciptakan aparat pemerintahan yang bersih segera dibuat oleh Pemerintahan
Habibie. Misalnya Tap MPR No XI/MPR/1998 dan UU No 28 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN, UU No 31 tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Antikorupsi), Inpres No 30
tahun 1998 tentang Pembentukan Komisi Pemeriksa Harta Pejabat, serta gagasan
pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun Pemerintahan Habibie tidak
berhasil menyeret Soeharto ke pengadilan, justru menghentikan penyelidikan kasus
tersebut lewat Jaksa Agung Andi M Ghalib yang justru diduga kuat masyarakat
sebagai koruptor.
B. MASA ABDURRAHMAN WAHID (SEPTEMBER 1999-JULI 2001)
Segera setelah dilantik menjadi Presiden RI, Abdurrahman Wahid melalui Keppres
No 44 tahun 2000 tanggal 10 Maret 2000 membentuk Lembaga Ombudsman yang
mempunyai wewenang melakukan klarifikasi, monitoring atau pemeriksaan atas
laporan masyarakat mengenai penyelenggaraan negara.
Berdasarkan kesepakatan Letter of Intent (LoI) antara Pemerintah RI dan IMF serta
pasal 27 UU No 31 tahun 1999 maka Kejaksaan Agung membentuk Tim
29
Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Tim Gabungan ini
tidak berfungsi secara efektif karena kedudukannya di bawah Jaksa Agung dan
tidak diberikan kewenangan yang luas dalam melakukan penyidikan dan
penyelidikan kasus-kasus korupsi.
Berdasarkan pasal 10 UU No 28 Tahun 1999, Presiden membentuk Komisi
Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Muncul kontroversi karena
proses seleksi anggotanya tidak transparan dan mengabaikan partisipasi
masyarakat, sehingga muncul kesan adanya kepentingan parpol atau kelompok.
Pada tanggal 21 Mei 2001 pemerintah secara resmi mengajukan rancangan
undang-undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang (UU) Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memuat usulan
penerapan pembuktian terbalik pada pengungkapan kasus korupsi. Pembuktian
terbalik perlu diterapkan karena sistem pembuktian biasa yang selama ini
dirasakan tak efektif dan sangat memberatkan aparatur penyidik dalam melakukan
penyidikan.
Pemerintah juga menyiapkan pembentukan Komisi Antikorupsi di bawah
koordinasi Dirjen Hukum dan Perundang-undangan, Departemen Kehakimanan
dan HAM. Komisi ini diharapkan terbentuk pada bulan Agustus 2001 (berdasarkan
UU No 31 tahun 1999). Sayang, Pemerintahan Abdurrahman Wahid sudah keburu
jatuh, lagi-lagi karena tuduhan perilaku korupsi, seperti Buloggate dan Brunaigate.
Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya “korupsi” lebih banyak dilakukan oleh
kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir seluruh elemen
penyelenggara negara sudah terjangkit “Virus Korupsi” yang sangat ganas. Di era
pemerintahan Orde Baru, korupsi sudah membudaya sekali, kebenarannya tidak
terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan meluruskan dan melakukan koreksi total
terhadap ORLA serta melaksanakan Pancasila dan DUD 1945 secara murni dan
konsekuen, namun yang terjadi justru Orde Baru lama-lama menjadi Orde Lama juga
dan Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah diamalkan secara murni, kecuali
secara “konkesuen” alias “kelamaan”.
Kemudian, Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut
pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga
30
Ombudsman, Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).
Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan
dipimpin Hakim Agung Andi Andojo, Namun di tengah semangat menggebu-gebu
untuk rnemberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review
Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami
kemunduran dalam upaya. pemberantasan KKN.
Di samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian masyarakat
tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung upaya pemberantasan
korupsi. Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di luar agenda
kepresidenan bahkan di tempat-tempat yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai
presiden, melahirkan kecurigaan masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan
proses tawar-menawar tingkat tinggi.
TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31
Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya
Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK,
sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga
pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.
Pada tanggal 16 Desember 2003, Taufiequrachman Ruki, seorang alumni Akademi
Kepolisian (Akpol) 1971, dilantik menjadi Ketua KPK. Di bawah kepemimpinan
Taufiequrachman Ruki, KPK hendak memposisikan dirinya sebagai katalisator
(pemicu) bagi aparat dan institusi lain untuk terciptanya jalannya sebuah "good and
clean governance" (pemerintahan baik dan bersih) di Republik Indonesia. Sebagai
seorang mantan Anggota DPR RI dari tahun 1992 sampai 2001, Taufiequrachman
walaupun konsisten mendapat kritik dari berbagai pihak tentang dugaan tebang pilih
pemberantasan korupsi.
Menurut Taufiequrachman Ruki, pemberantasan korupsi tidak hanya mengenai
bagaimana menangkap dan memidanakan pelaku tindak pidana korupsi, tapi juga
bagaimana mencegah tindak pidana korupsi agar tidak terulang pada masa yang akan
datang melalui pendidikan antikorupsi, kampanye antikorupsi dan adanya contoh
"island of integrity" (daerah contoh yang bebas korupsi).
Pernyataan Taufiequrachman mengacu pada definisi korupsi yang dinyatakan dalam
UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. Menurutnya, tindakan preventif
(pencegahan) dan represif (pengekangan) ini dilakukan dengan "memposisikan KPK
31
sebagai katalisator (trigger) bagi aparat atau institusi lain agar tercipta good and clean
governance dengan pilar utama transparansi, partisipasi dan akuntabilitas".
B. Kesimpulan
Puluhan tahun perilaku koruptif di negeri ini tak tersentuh oleh hukum. Menurut
Romli Atmasasmita, Ketua Tim Persiapan Komisi Antikorupsi, sebenarnya ada
satu solusi yang bisa membuat koruptor jera, yaitu hukuman mati.
Wacana hukuman mati telah disepakati pemerintah dan DPR dalam UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (1999). Romli yang juga Dirjen Hukum dan
Perundang-undangan (Kumdang) Departemen Kehakiman pernah menyatakan
bahwa hukuman mati bisa diterapkan asal tidak sembarangan. “Hukuman mati bisa
dijatuhkan pada pelaku tindak pidana korupsi yang melakukan pengulangan
perbuatan (residiv), serta pelaku yang melakukan tindak pidana korupsi pada saat
bencana alam nasional, negara dalam keadaan bahaya, dan negara sedang krisis
moneter dan ekonomi,” ujarnya. Namun UU ini sulit menjadi efektif karena
banyak ditentang oleh praktisi dan ahli hukum dengan mengatasnamakan HAM.
Menanggapi hal itu pengamat hukum dari Universitas Hasanuddin (Unhas)
Makassar, Prof Achmad Ali memandang, hukuman yang berat merupakan salah
satu faktor penting dalam upaya pemberantasan korupsi. Dalam sebuah seminar di
Makassar, nominator anggota Komnas HAM ini sempat melontarkan pendapat
bahwa koruptor perlu dipotong tangannya atau dihukum mati. “Hukuman yang
maksimal itu dimungkinkan oleh undang-undang yang ada. Karena salah satu
fungsi hukum memang untuk menakut-nakuti warga masyarakat lain, sehingga
mereka tidak ikut-ikutan korupsi,” alasannya.
Achmad Ali lantas menganalogikan dengan pelaksanaan hukum potong tangan
dalam ajaran Islam. Dan terbukti, negara seperti Arab Saudi dikenal sebagai negara
yang bersih dari korupsi karena menerapkan syari’at Islam. “Hukuman potong
tangan itu tidak untuk semua pencuri, tetapi hanya untuk ‘pencuri kelas kakap’
yang namanya koruptor,” tegasnya.
Bisakah hukum Islam diterapkan di Indonesia? Achmad Ali menjawab, “Selama
hukum Islam secara konstitusional belum diberlakukan, tentu kita belum dapat
menerapkan hukuman potong tangan. Kalau rakyat memang menghendaki dan
wakil rakyat bisa memperjuangkannya secara konstitusional, kenapa tidak?
Sekarang yang penting, hukumlah seberat-beratnya!”
32
Korupsi merupakan penyakit negara yang sangat berdampak pada pembangunan,
tatanan sosial dan juga politik. Korupsi mempunyai karakteristik sebagai kejahatan
yang tidak mengandung kekerasan dengan melibatkan unsur-unsur tipu daya
muslihat, ketidakjujuran dan penyembunyian suatu kenyataan.
Korupsi merupakan suatu tindakan yang merugikan negara baik secara langsung
maupun tidak langsung dan jika ditinjau dari aspek normatif, korupsi merupakan
suatu penyimpangan atau pelanggaran. Merangkai kata untuk perubahan memang
mudah. Namun, melaksanakan rangkaian kata dalam bentuk gerakan terkadang
teramat sulit. Dibutuhkan kecerdasan dan keberanian untuk mendobrak dan
merobohkan pilar-pilar korupsi yang menjadi penghambat utama lambatnya
pembangunan ekonomi yang paripurna di Indonesia. Korupsi yang telah terlalu
lama menjadi wabah yang tidak pernah kunjung selesai, karena pemberantasan
terhadap wabah tersebut tidak pernah tepat sasaran. Sebaiknya pemerintah lebih
serius dalam menanggulagi masalah korupsi ini, karena masalah ini sungguh
merugikan masyarakat terutamanya dalam pembangunan dan ekonomi. Dan bagi
para pejabat-pejabat sebaiknya menahan diri untuk mengambil hak milik orang
lain. Sebab, jika kita mengambil hak milik orang lain, kita tak ada bedanya dengan
orang yang tak punya apa-apa.
2.3 Why Don’t We Try To Be India’s Most Respected Company?
Dimulai dari seseorang bernama N.R Narayana Murthy yang memiliki keinginan
untuk menjadi seorang entrepreneur dengan modal yang kecil. Ia membentuk
perusahaan bernama Infosys dan memberanikan diri mengembangkan sebuah
software pelayanan ekspor. Pada masa itu ketika kepemimpinan dalam bisnis secara
etika tidak familiar, Ia membuat sebuah nilai dasar perusahaan. Saat ini masyarakat
mulai marah dengan korupsi yang merajalela di india. Murthy menjelaskan bahwa
untuk menjadi perusahaan yang sukses secara financial, pemimpin harus
mencontohkan tiap nilai-nilai penting kepada pegawainya.
Ketika Murthy memustuskan berhenti dari pekerjaannya dan memulai mengelola
perusahaan software, ia menetapkan sebuah visi perusahaan yaitu untuk menjadi
perusahaan yang paling dihormati di India. Dalam prakteknya, jika perusahaan
mendapatkan respect dari shareholder maka sudah mencapai visi. Jika perusahaan
mencari respect dari pelanggan maka perusahaan harus menyampaikan apa yang
33
dijanjikan. Jika mencari respect dari pegawai, perusahaan harus melayani mereka
dengan baik. Jika mencari respect dari investor, maka perusahaan harus beroprasi
secara transparan dan dengan akuntabilitas. Jika mencari respect dari vendor
perusahaan harus bersepakat dengan vendor. Jika mencari respect dari pemerintah,
maka perusahaan harus menghindari pelanggaran hukum. Jika hal tersebut dapat
dlakukan, keuntungan dan kapitalisasi pasar akan mengikuti.
Membangun perusahaan dengan dasar nilai-nilai, visi menjadi perusahaan yang paling
dihormati di India menawarkan solusi teknologi terbaik dan mempekerjakan tenaga
professional. Fokus pelanggan, kepemimpinan dengan memberi contoh, integeritas
dan transparansi, kejujuran dan kesempurnaan terhadap semua yang dilakukan.
Sebagai perusahaan yang mencari kehormatan bukan keuntungan dibagun
berdasarkan nilai-nilai yang sudah ditanamkan dalam setiap orang sejak kecil.
Menghasilkan uang bukan suatu hal yang penting, tetapi memperoleh kehormatan
merupakan hal yang penting. Dari hal tersebut, bisnis akan datang. Ketika kau
berkomitmen pada nilai itu berarti kau akan membayarnya untuk itu, dimana bisnis
diatur oleh pemerintah secara ekstensif dan membayar suap menjadi penting untuk
mendapatkan sesuatu. Dengan kata lain, bukan sebagai perusahaan pengendali nilai-
nilai. Sebagai contoh, pada tahun 1984 perusahaannya memutuskan meng-import
mini komputer untuk memulai pengembangan software untuk pelanggan luar negeri.
Ketika mesin mendarat di Bangalore Airport, pejabat adat istiadat setempat menolak
untuk mengurusnya kecuali kita "merawatnya" - eufemisme India untuk menuntut
suap.
Hambatan dating bahkan ketika belum dimulai, Murthy mengambil keputusan untuk
mengambil alternative lain selain membayar uang suap, yaitu membayar bea cukai
135% dan kemudian memohon pengembalian dana, meskipun saat itu tidak memiliki
uang untuk membayar biaya bea cukai dan harus meminjam. Hal tersebut berdasarkan
keputusan untuk menjalankan bisnis dengan beretika.
Berbisnis seperti ini membutuhkan waktu yang panjang untuk memperoleh
keuntungan. Melibatkan karyawan dalam menetapkan keputusan nilai untuk
menumbuhkan kepercayaan diri karyawan dalam menerapkan nila-nilai yang baik,
bahkan ketika orang lain menyimpang dari nilai. Hal ini dapat mendorong antusiasme
karyawan untuk berkomitmen pada perusahaan dan lebih produktif. Hanya butuh
34
waktu yang singkat untuk pihak yang melakukan korupsi berhenti mendekati
perusahaan. Karena etika yang diterapkan pada perusahaan, pelanggan
mempercayakan perusahaan untuk mengerjakan proyek-proyek besar. Nilai-nilai
perusahaan menjadi keuntungan bagi perusahaan untuk mendapatkan pendapatak
lebih besar, lebih banyak investor, dan kehormatan dari pemerintah dan masyarakat.
Perusahaan harus selalu menawarkan rasa terimakasih yang tulus, kerja keras, dan
komitmen. Dengan begitu, akan mendapatkan nilai tambah dari pelanggan. Ketika
seorang CIO menyarankan untuk melakukan suap untuk mendapatkan sebuah kontrak
proyek, Muthy menolaknya namun sukses mendapatkan kontraknya. Kita harus
belajar untuk berdiri diatas prinsip, maka salah jika berpikir menyuap untuk
mendapatkan kesuksesan.
Pada sekitar tahun 1980 Infosys keluar dari pasar bisnis software. Pada saat itu
Infosys mengimpor dan mendistribusi paket software, pemerintah mengadakan
penyesuaian bea masuk 135% untuk import paket software, tetapi banyak perusahaan
yang memanipilasi invoice untuk menghindari pembayaran bea masuk. Hal ini
memungkinkan perusahaan pesaing menurunkan biaya software yang mana akan
meguntungkan pelanggan. Infosys tidak mengikuti praktek seperti itu, walaupun itu
sah menurut para pengacara. Infosys membutuhkan cash flow, tetapi selama
perusahaan tidak bisa beroperasi di grey area, maka tidak akan berhasil mendapatkan
kesempatan.
Perusahaan yang baik harus manaati hukum yang berlaku. Lebih dari itu, kebiasaan
beretika melebihi pemenuhan hukum : memuaskan suara hati. Ketika perusahaan
menerima pengaduan bahwa terdapat karyawan yang menyalahi nilai perusahaan,
masalah tersebut diinvestigasi, memberikan kesempatan untuk individu tersebut
menjelaskan pembelaan, lalu disimpulkan dan kemudian mengambil tindahan,
walaupun karyawan tersebut memiliki kemampuan lebih dan berguna bagi perusahaan
perusahaan tetap mengambil tindakan tegas untuk pelanggaran yang dilakukannya.
Perusahaan akan menghormati karyawannya yang berperilaku baik dan berkomitmen
dengan niali-nilai perusahaan.
Indosys pernah diisukan melanggar hukum visa US dengan mempekerjakan seseorang
yang memiliki visa pengunjung yang dinilai melanggar nilai etik.
35
Perusahaan harus jujur kepada semua shareholder kecuali untuk asymetik informasi
yang mengacu pada insider trading. Infosys telah melakukan transparansi dalam
kesepakatan dengan investor. Sebagai pengalaman pada tahun 1995 ketika menunggu
persetujuan dari Reserve Bank of India untuk membuka kantor penjualan di luar
negeri. Perusahaan memutuskan untuk melakukan sejumlah investasi di pasar saham,
berharap akan mempercepat perputaran. Sayangnya, perusahaan mengalami kerugian
pada investasinya. Berdasarkan GAAP yang diterapkan di India, Infosys harus
mengungkapkan detail kerugian kepada shareholder.
Sebagai perusahaan yang bereputasi pada nilai dasar menghadapi beberapa tekanan.
Seiring dengan perkembangan Infosys, harapan masyarakat meningkat. Orang-orang
mengharapkan Infosys menjadi perusahaan yang sadar lingkungan. Untuk memimpin
kemajuan standar tata kelola perusahaan di India.
Sebagai perusahaan yang berbisnis tidak hanya sekedar berbisnis. Memaksimalkan
kekayaan shareholder merupakan hal yang penting. Akan tetapi harus
memaksimalkannya secara legal, etis dan jujur. Indeks terbaik untuk kesuksesan
sebuah perusahaan adalah going concern, yang berasal dari hidup harmonis dengan
masyarakat. Contohnya dengan menyisihkan sebagian keuntungan untuk membangun
rumah sakit, perpustakaan, pusat rehabilitasi dan memberikan beasiswa.
Strategi adalah apa yang harus kita lakukan untuk menciptakan dan memelihara
diferensiasi berkelanjutan terhadap pesaing. Salah satu aspek diferensiasi Infosys
adalah penekanan pada nilai-nilai. Namun, nilai-nilai tidak hanya bagian dari proses
strategi; harus ada nature kedua untuk setiap orang dalam organisasi.
Mempertahankan budaya pengendalian nilai ketika perusahaan berkembang di lebih
dari 50% per tahun, operasinya yang mengglobal, dan lebih dari 30.000 orang muda
bergabung dengan perusahaan sementara 10.000 meninggalkan perusahaan setiap
tahun. Selama bertahun-tahun sistem nilai-nilai Infosys tidak tertulis dan hanya
dipraktekan, Pada tahun 1998 diputuskan untuk mendokumentasikannya. Para
pegawai datang dari berbagai golongan yang berbeda-beda jadi diperlukan
keberagaman sudut pandang dalam menerapkan etika dan nilai-nilai. Infosys memiliki
tiga tahapan proses untuk mensosialisasikan C-Life System: Komunikasi,
Keterlibatan dan Pemberdayaan.
36
Sejak memulai Infosys, Murthy menjamin karyawannya dengan tiga hal :
1. Setiap transaksi pada Infosys menaikan respect terhadap mereka dan menaikan
kehormatan mereka.
2. Perusahaan dengan sendirinya adil, transparan, dan beretika jadi mereka tidak
perlu malu akan hal itu.
3. Mereka akan belajar tiga kali lebih di Infosys disbanding di perusahaan lain.
Murthy menghadapi berbagai kesulitan untuk membuat keputusan dengan
pengorbanan, dan menyelesaikan dilemma etika dan moral.
Instrumen terbaik untuk memperoleh kepercayaan adalah kepemimpinan dengan
memberikan contoh karena shareholder dan pegawai akan mengawasi, mengkritik,
maupun meniru pimpinannya. Pemimpin harus memperhatikan benar apa yang
dikatakan dan dilakukannya. Diberlakukannya aturan dan sanksi yang sama untuk
CEO maupun bawahannya. Murthy yakin Infosys akan menjadi bisnis yang
berkelanjutan sebagai perusahaan dengan pengendali nilai-nilai dasar. Dalam setiap
keputusan harus disesuaikan dengan suara hati. Selama kepemimpinan Infosys terus
menumbuhkan lingkungan di mana karyawan merasa bertanggung jawab pada hati
nurani mereka, hal itu akan memberikan hasil.
2.4 Kunci keberhasilan Infosys dalam mengatasi tekanan untuk terlibat korupsi dan
membalikkan situasi yang dihadapi sehingga dapat menjadi perusahaan global.
Kunci keberhasilan Infosys dalam mengatasi tekanan untuk terlibat korupsi adalah
dengan membangun perusahaan dengan dasar nilai-nilai yang ditanamkan disetiap lini
perusahaan baik pemimpin maupun karyawan. Menerapkan kepemimpinan dengan
integeritas dan transparansi, kejujuran dan memberikan hasil yang terbaik terhadap
semua yang dilakukan. Infosys berusaha meyakinkan konsumen dengan berperilaku
jujur dan sesuai etika, sehingga terdapat rasa hormat dari konsumen dan memberikan
kepercayaan kepada Infosys untuk mengerjakan proyek.
2.5 Kasus Korupsi Wisma Atlet
Kasus Korupsi Wisma Atlit terbongkar setelah dilakukan penyadapan oleh tim
penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kronologis kasus tersebut sebagai
berikut:
37
Nazaruddin selaku anggota DPR RI telah mengupayakan agar PT Duta Graha Indah
Tbk menjadi pemenang yang mendapatkan proyek pembangunan wisma atlet dengan
mendapat jatah uang sebesar Rp4,34 miliar dengan nilai kontrak senilai Rp
191.672.000.000. jatah Nazarudin diberikan dalam bentuk empat lembar cek dari PT
DGI yang diberikan oleh Idris. Idris yang mempunyai tugas mencari pekerjaan
(proyek) untuk PT DGI, bersama-sama dengan Dudung Purwadi selaku Direktur
Utama PT DGI. Nazaruddin sendiri lalu bertemu dengan Sesmenpora Wafid
Muharam dengan ditemani oleh anak buahnya Rosa. Dalam pertemuan yang terjadi
sekitar Agustus 2010 di sebuah rumah makan di belakang Hotel Century Senayan itu,
Nazaruddin meminta Wafid untuk dapat mengikutsertakan PT DGI dalam proyek
yang ada di Kemenpora. Singkat cerita, setelah mengawal PT DGI Tbk untuk dapat
ikut serta dalam proyek pembangunan Wisma Atlet, Rosa dan Idris lalu sepakat
bertemu beberapa kali lagi untuk membahas rencana pemberian success fee kepada
pihak-pihak yang terkait dengan pekerjaan pembangunan Wisma Atlet. Pada
Desember 2010, PT DGI Tbk pun akhirnya diumumkan sebagai pemenang lelang
oleh panitia pengadaan proyek pembangunan Wisma Atlet. Kemudian dalam
persidangan di Pengadilan Tipikor, Mindo Rosalina Manulang, mantan direktur
marketing Permai Group, perusahaan Nazaruddin mengatakan bahwa Angelina
Shondak dan I Wayan Koster juga menerima uang suap senilai Rp 5 miliar karena
juga termasuk pihak-pihak terkait dalam pemenangan tender.
Korupsi Wisma Atlit Dalam Pandangan Konsep Kejahatan Korporasi Korupsi
Wisma Atilt merupakan kejahatan white-colar crime dimana pelaku – pelakunya
merupakan orang cerdik pandai dan bukan orang miskin. Istilah white-colar crime
pertama kali dikemukakan oleh Sutherland, yang merujuk pada pelaku kelahatan
dengan tipe pelaku berasal dari orang – orang sosial ekonomi tinggi yang melakukan
pelanggaran – pelanggaran terhadap hukum. Pengertian kreteria pelaku kejahatan,
dalam kasus korupsi Wisma Atilt nampaknya sama dengan pengertian pelaku
kejahatan white-colar crime dari Sutherland yaitu dilakukan oleh kelompok eksekutif.
Konsep kejahatan korporasi atau white-colar crime berbeda dengan kejahatan
konvensional. Dalam konsep kejahatan konvensional yang dikatakan sebagai penjahat
adalah orang yang melakukan kejahatan secara langsung, sedangkan pelaku kejahatan
dalam kejahatan korporasi adalah korporasi yang melakukan pelanggaran. Walaupun
sebetulnya pelakunya juga orang – orang dalam korporasi. Oleh karena itu, tidak
38
gampang menentukan pelaku dalam kasus tersebut, mengingat korupsi tersebut
dilakukan oleh banyak pihak, terstruktur dan melibatkan birokrasi. Selain itu hukum
pidana kita juga terbiasa hanya menjerat pelaku langsung dimana biasanya orang-
orang di belakang yang mengatur terjadinya kejahatan sulit tersentuh oleh hukum.
Korporasi yang melakukan kejahatan korupsi melakukan praktek-praktek illegal
sebagai sarana untuk melakukan korupsi, misalnya dengan melakukan penyuapan
kepada pajabat negara atau pemegang kebijakan lelang, Mark up nilai proyek,
pengurangan kwalitas produk dan sebagainya. Kejahatan – kejahatan tersebut sulit
diketahui oleh masyarakat karena memang kejahatan yang terselubung (invincible
crime) dan dibungkus dengan aturan – aturan yang bisa dicari alasan pembenarnya.
Berdasarkan sumber yang telah diperoleh, kasus korupsi Wiama Atlit dilakukan
secara terstruktur dalam wadah perusahaan dan melibatkan penyelenggara negara.
Kasus penyuapan yang terjadi merupakan upaya memuluskan agar tender jatuh
kepada perusahan tertentu.
39
BAB 3
KESIMPULAN
Pemberantasan korupsi tidak hanya mengenai bagaimana menangkap dan
memidanakan pelaku tindak pidana korupsi, tapi juga bagaimana mencegah tindak
pidana korupsi agar tidak terulang pada masa yang akan datang melalui pendidikan
antikorupsi, kampanye antikorupsi dan adanya contoh "island of integrity". Selain itu
dengan menanamkan sedini mungkin pada diri kita untuk menghindari oraktik
korupsi, akan berdampak besar pada sekitar kita untuk tidak melakukan tindak pidana
korupsi
40
BAB 4
DAFTAR PUSTAKA
- Tamara, Nasir (2002)- Harvard Business Review, Nov 2011.- UU Tindak Pidana Korupsi
41