Upload
iman-nur-satya-budi
View
3
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
oyadgbmvua,jskh,kejkmnehnkdmhld,dj
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mi Instan
Mi telah lama dikenal dan dikembangkan oleh masyarakat Cina dan
Jepang sejak 5000-an tahun yang lalu. Berdasarkan jenisnya, mi digolongkan
menjadi tiga jenis, yaitu mi basah, mi kering dan mi instan (Eep, 2006). Menurut
SNI (2000), mi instan didefinisikan sebagai produk makanan kering yang dibuat
dari adonan tepung terigu atau tepung beras atau tepung lainnya sebagai bahan
utama dengan atau tanpa penambahan bahan lainnya, siap dihidangkan setelah
dimasak atau diseduh dengan air mendidih dengan adanya penambahan bumbu.
Setiap bungkus mie instan terdapat satu sachet bumbu dan beberapa
bahan-bahan lainnya, seperti flavouring, kecap, saos, dan solid ingredient.
Flavouring yang terdapat dalam sachet bumbu mengandung MSG (Mono Sodium
Glutamat), garam, gula, bahan-bahan penggurih sperti HVP (Hydrolized
Vegetable Protein) dan yeast extract dan lain-lain. Bahan penambah rasa atau
flavour yang digunakan pada bumbu akan memberi rasa mie seperti ayam
bawang, ayam panggang, kari ayam, soto ayam, baso, sate dan sebagainya. Kecap
mengandung gula, garam, kedelai, bahan pengawet natrium benzoat dan nipagin.
Solid ingredient adalah bahan-bahan pelengkap berupa sosis, suwiran sayur,
bawang goreng, cabe kering dan sebagainya (Anonima, 2011).
Dalam proses pembuatannya, mi tidak menggunakan bahan tambahan
sebagai pengawet. Pengawetan mi instan melalui proses deep frying yaitu
penggorengan pada suhu tinggi secara kontinu dan uniform. Konfenyer
penggorengan terdiri dari mangkok-mangkok penggorengan yang memuat
potongan mi melewati fryer yang berisi minyak goreng panas. Suhu minyak dari
awal hingga akhir dibuat naik secara bertahap yaitu dari suhu 1200 C dan berakhir
pada suhu 1600
2.2 Kecap
C dalam waktu ± 2 menit (Winarno, 2002). Melalui proses
penggorengan tersebut, kadar air mi dalam mi instan hanya 2–4 % saja sehingga
tidak memungkinkan mikroba pembusuk berkembang biak. Dengan alasan
tersebut pada mi tidak perlu ditambahkan bahan pengawet makanan (Eep, 2006).
Kecap digunakan sebagai bumbu pada berbagai makanan. Menurut SNI
(1999), kecap didefinisikan sebagai produk cair yang diperoleh dari hasil
fermentasi dan atau cara kimia (hidrolisis) kacang kedelai (Glycine max L.)
dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan
makanan yang diizinkan. Proses fermentasi pembuatan kecap menggunakan
bakteri Aspergillus oryzae atau Aspergillus soyae (Ayres et al., 1980). Pada proses
pembuatannya kecap menggunakan bahan tambahan sebagai pengawet. Pengawet
yang paling umum digunakan pada kecap adalah asam benzoat dan ester dari p-
hidroksi benzoat (Chu et al., 2003).
2.3 Bahan Pengawet
Menurut peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
722/Menkes/Per/IX/1988, pengawet merupakan bahan tambahan pangan yang
mencegah atau menghambat fermentasi, pengasaman atau peruraian lain terhadap
pangan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Definisi lain bahan pengawet
adalah senyawa atau bahan yang mampu menghambat dan menghentikan proses
fermentasi, pengasaman atau bentuk kerusakan lainnya, atau bahan yang dapat
memberikan perlindungan bahan makanan dari proses pembusukan (Cahyadi,
2008).
Secara umum penambahan bahan pengawet pada pangan bertujuan
menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk pada pangan baik yang bersifat
patogen maupun tidak patogen, memperpanjang umur simpan pangan, tidak
menurunkan kualitas gizi, warna, cita rasa, dan bau bahan pangan yang diawetkan,
tidak untuk menyembunyikan keadaan pangan yang berkualitas rendah, tidak
digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah atau yang tidak
memenuhi persyaratan, dan tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan
bahan pangan (Cahyadi, 2008).
2.3.1 Jenis-Jenis Bahan Pengawet
Bahan pengawet dikelompokkan sebagai bahan pengawet organik dan
anorganik. Bahan pengawet organik yang diizinkan penggunaannya pada bahan
pangan adalah asam benzoat, asam propionat, asam sorbat, kalium benzoat,
kalium propionat, kalium sorbat, kalsium benzoat, metil-p-hidroksi benzoat,
natrium benzoat, natrium propionat, nisin, dan propil-p-hidroksi benzoat. Bahan
pengawet anorganik yang diizinkan penggunaannya pada bahan pangan adalah
belerang dioksida, kalium bisulfit, kalium metabisulfit, kalium nitrat, kalium
nitrit, kalium sulfit, natrium bisulfit, natrium metabisulfit, natrium nitrat, natrium
nitrit dan natrium sulfit (Cahyadi, 2008). Sedangkan bahan pengawet yang
dilarang penggunaanya dalam makanan adalah formalin, natrium tetraboraks,
asam salisilat dan garamnya, dietilpilokarbonat, dulsin, kalium klorat,
kloramfenikol, minyak nabati yang dibrominasi, nitrofurazon, dan kalium bromat
(Yuliarti, 2007).
2.3.2 Penggunaan Pengawet dalam Bahan Makanan
Bahan pengawet seperti benzoat digunakan untuk mengawetkan minuman
ringan, kecap, acar ketimun, margarin, sari buah, saus, dan makanan lainnya.
Nitrit sering digunakan untuk bahan pengawet daging olahan seperti sosis dan
kornet dalam kaleng (Cahyadi, 2008). Sedangkan nipagin digunakan sebagai
bahan pengawet pada kecap, sereal, minyak dan lemak, selai, sirup, minuman
kaleng, dan bumbu-bumbu kemasan (Anonimb
Pada kecap, pengawet yang paling umum digunakan adalah asam benzoat
dan nipagin (Chu et al., 2003). Asam benzoat memiliki aktivitas antimikroba yang
optimum pada pH 2,5-4,0. Sedangkan nipagin memiliki aktivitas antimikroba
yang sama seperti benzoat tetapi efektif pada rentang pH yang lebih luas.
Kombinasi dari pengggunaan asam benzoat dan nipagin sebagai pengawet dalam
makanan dapat meningkatkan daya tahan makanan karena peningkatan efek
antimikrobanya (Ponte dan Tsen, 1985).
, 2011).
2.4 Nipagin
Nipagin adalah metil ester dari p-hidroksibenzoat dengan rumus empiris
CH3(C6H4(OH)COO) dan berat molekul sebesar 152,12. Rumus bangun nipagin
dapat dilihat pada gambar berikut.
(Ditjen POM, 1995).
Nipagin berbentuk hablur kecil, tidak berwarna atau serbuk hablur, putih,
tidak berbau atau berbau khas lemah, mempunyai sedikit rasa terbakar. Kelarutan
sukar larut dalam air, dalam benzena dan dalam karbon tetraklorida; mudah larut
dalam etanol dan dalam eter (Ditjen POM, 1995).
Senyawa ester-p-hidroksi benzoat diabsorpsi oleh saluran pencernaan dan
ikatan ester dihidrolisa di hati dan ginjal, yang menghasilkan asam-p-hidroksi
benzoat yang diekskresikan bersama urin. Umumnya metabolit dari paraben ini
diekskresikan dalam 6-24 jam yang diberikan dengan dosis intravenus dan dosis
oral (Cahyadi, 2008).
Nipagin yang disebut juga sebagai metil paraben termasuk dalam bahan
pengawet makanan khususnya anti jamur yang juga digunakan secara luas sebagai
pengawet untuk obat-obatan dan kosmetika. Penggunaan nipagin diatur dalam
Codex Alimentarius commission (CAC) dengan jumlah asupan dalam tubuh per
hari (acceptable daily intake/ADI) adalah 10 miligram per kilogram berat badan
(Anonimb, 2011). Namun tidak semua negara mengizinkan penggunaan nipagin
sebagai pengawet dalam makanan, misalnya: Belgia, Prancis, Belanda dan Turki
(Ponte dan Tsen, 1985). Beberapa negara mengizinkan penggunaan nipagin dalam
batas maksimum yang bervariasi, seperti Kanada, Amerika Serikat mengizinkan
batas maksimum penggunaan nipagin sebesar 1000 mg/kg, Singapura, Brunei
Darussalam dan Taiwan mengizinkan batas maksimum sebesar 250 mg/kg dan
Hongkong sebesar 550 mg/kg (Anonimb, 2011). Menurut Badan Pengawas Obat
dan Makanan (BPOM), penggunaan nipagin di Indonesia diatur dalam Permenkes
RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/88 tentang bahan tambahan makanan yang
mengizinkan penggunaan nipagin dalam kecap dengan batas maksimum 250
mg/kg (SNI, 1999).
Penggunaan nipagin dalam jumlah yang berlebihan dalam jangka panjang
dapat menimbulkan masalah kesehatan seperti reaksi alergi pada mulut dan kulit
(Yuliarti, 2007). Dermatitis dan iritasi kulit terjadi ketika pemakaian pada kulit
individu yang sensitif terhadap nipagin (Soni et al., 2002). Sebuah studi
menemukan adanya nipagin pada jaringan kanker payudara yang menunjukkan
bahwa ester paraben tidak selalu dipecah dan dikeluarkan oleh tubuh (Darbre et
al., 2004). Ester paraben memiliki aktivitas estrogenik terutama efeknya
menimbulkan gangguan pada sistem endokrin dan berpotensi meningkatkan
resiko kanker payudara (Lemini et al., 2003).
2.5 Teknik Pemisahan dalam Analisis
Apabila pada suatu analisis ada dugaan bahwa komponen matriks akan
mengganggu penentuan dengan prosedur analisis yang telah dipilih, diperlukan
pemisahan analit dari matriksnya dengan salah satu teknik pemisahan yang paling
sesuai. Hasil pemisahan dapat berupa senyawa analit yang sudah murni, tetapi
bisa juga masih bercampur dengan komponen-komponen pengotor akan tetapi
dengan konsentrasi yang rendah dan dapat dianalisis langsung atau mungkin
masih memerlukan pemurnian lebih lanjut. Untuk memisahkan analit dari
komponen matriks yang mengganggu dapat diterapkan ekstraksi padat-cair,
ekstraksi cair-cair, teknik destilasi, dan kromatografi (Kokasih et al, 2004).
2.5.1 Ekstraksi Cair-Cair
Ekstraksi cair-cair melibatkan ekstraksi analit dari fase air ke dalam
pelarut organik yang bersifat nonpolar atau agak polar seperti heksana,
metilbenzen atau diklorometan. Analit-analit yang mudah terekstraksi dalam
pelarut organik adalah molekul-molekul netral yang berikatan secara kovalen
dengan substituen yang bersifat nonpolar atau agak polar. Sementara itu,
senyawa-senyawa polar dan juga senyawa-senyawa yang mudah mengalami
ionisasi akan tertahan dalam fase air (Rohman, 2007).
Kebanyakan ekstraksi dilakukan dengan menggunakan corong pisah dalam
waktu beberapa menit. Pelarut organik yang dipilih untuk ekstraksi pelarut adalah
mempunyai kelarutan yang rendah dalam air (<10%), dapat menguap sehingga
memudahkan penghilangan pelarut organik setelah dilakukan ekstraksi, dan
mempunyai kemurnian yang tinggi untuk meminimalkan adanya kontaminasi
sampel (Rohman, 2007).
2.6 Spektrofotometri UV-Visibel
Spektrofotometri serapan merupakan pengukuran suatu interaksi antara
radiasi elektromagnetik dan molekul atau atom dari suatu zat kimia. Teknik yang
sering digunakan dalam analisis farmasi meliputi spektroskopi serapan ultraviolet,
sinar tampak, infra merah, dan serapan atom (Ditjen POM, 1995). Keuntungan
utama dari metode spektrofotometri yaitu dapat menetapkan kadar suatu zat yang
sangat kecil (Bassett, 1991).
Spektrofotometer Ultraviolet-Visibel adalah pengukuran panjang
gelombang dan intensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang diabsorpsi
oleh sampel. Sinar ultraviolet dan cahaya tampak memiliki energi yang cukup
untuk mempromosikan elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang lebih
tinggi. Spektrofotometer Ultraviolet-Visible biasanya digunakan untuk molekul
dan ion organik atau kompleks di dalam larutan. Spektrum Ultraviolet-Visible
sangat berguna untuk pengukuran secara kuantitatif. Konsentrasi dari analit di
dalam larutan bisa ditentukan dengan mengukur absorbansi pada panjang
gelombang tertentu dengan menggunakan hukum Lambert-Beer. Sinar ultraviolet
berada pada panjang gelombang 200-400 nm sedangkan sinar tampak berada pada
panjang gelombang 400-800 nm (Dachriyanus, 2004).
Warna sinar tampak dapat dihubungkan dengan panjang gelombangnya.
Sinar putih mengandung radiasi pada semua panjang gelombang di daerah sinar
tampak. Sinar pada panjang gelombang tunggal (radiasi monokromatik) dapat
dipilih dari sinar putih. Spektrofotometer yang sesuai untuk pengukuran di daerah
spektrum ultraviolet dan sinar tampak terdiri atas suatu sistem optik dengan
kemampuan menghasilkan sinar monokromatis dalam jangkauan panjang
gelombang 200-800 nm (Rohman, 2007).
Alat Spektrofotometri pada dasarnya terdiri atas sumber sinar,
monokromator, tempat sel untuk zat yang diperiksa, detektor, penguat arus dan
alat ukur atau pencatat. Spektrofotometer dapat bekerja secara otomatik ataupun
tidak, dan dapat mempunyai sistem sinar tunggal atau ganda (Ditjen POM, 1979).
Sebagai sumber cahaya biasanya digunakan lampu hidrogen atau
deuterium untuk pengukuran UV dan lampu tungsten untuk pengukuran pada
cahaya tampak. Panjang gelombang dari sumber cahaya akan dibagi oleh pemisah
atau monokromator (Dachriyanus, 2004).
Analisis kuantitatif secara spektrofotmetri dapat dilakukan dengan metode
regresi dan pendekatan.
1. Metode Regresi
Analisis kuantitatif dengan metode regresi dengan menggunakan
persamaan garis regresi yang didasarkan pada harga serapan dan konsentrasi baku
yang dibuat dalam beberapa konsentrasi, paling sedikit menggunakan lima
konsentrasi yang meningkat yang dapat memberikan serapan linier, kemudian
diplot menghasilkan suatu kurva kalibrasi. Konsentrasi suatu sampel dapat
dihitung berdasarkan kurva tersebut (Holme and Peck, 1983).
2. Metode Pendekatan
Analisis kuantitatif dengan cara ini dilakukan dengan membandingkan
serapan baku yang konsentrasinya diketahui dengan serapan sampel. Konsentrasi
sampel dapat dihitung melalui rumus perbandingan C = As.Cb/Ab dimana As=
serapan sampel, Ab=serapan baku, Cb=konsentrasi baku, dan C=konsentrasi
sampel (Holme and Peck, 1983).
2.7 Parameter Validasi
Pensahihan adalah kerja yang dicatat dalam dokumen untuk membuktikan
bahwa prosedur analisis yang diuji akan dapat memenuhi fungsi yang sesuai
dengan tujuannya dengan konsisten dan betul-betul memberikan hasil seperti yang
diharapkan. Tujuan pensahihan adalah agar prosedur analisis tersebut diketahui
akurasi dan variabilitasnya, gangguan yang mungkin ada teridentifikasi dan
diketahui pula kespeksifikan, presisi, serta kepekaanya (limit deteksi)
(Satiadarma, dkk., 2004). Menurut Harmita (2004), parameter validasi terdiri dari
kecermatan (akurasi), keseksamaan (presisi), selektivitas (spesifisitas), linearitas
dan rentang, batas deteksi dan batas kuantitasi, ketangguhan metode (ruggedness)
dan kekuatan (robustness).
Akurasi dari suatu metode analisis adalah kedekatan nilai hasil uji yang
diperoleh dengan prosedur tersebut dari harga yang sebenarnya. Akurasi
merupakan ukuran ketepatan prosedur analisis. Presisi dari suatu metode analisis
adalah derajat kesesuaian di antara masing-masing hasil uji, jika prosedur analisis
diterapkan berulang kali pada sejumlah cuplikan yang diambil dari satu sampel
homogen. Presisi dinyatakan sebagai deviasi standar atau deviasi standar relatif
(koefisien variasi) (Satiadarma, dkk., 2004).
Kespeksifikan dari suatu metode analisis adalah kemampuannya untuk
mengukur kadar analit secara khusus dengan akurat, di samping komponen lain
yang terdapat dalam matriks sampel. Kespesifikan sering kali dinyatakan sebagai
derajat bias dari hasil analisis sampel yang mengandung pencemar, hasil
degradasi, senyawa sejenis yang ditambahkan atau komponen matriks,
dibandingkan dengan hasil uji sampel analit tanpa zat tambahan (Satiadarma,
dkk., 2004).
Linearitas adalah kemampuan metode analisis yang memberikan respon
yang secara langsung atau dengan bantuan transformasi matematik yang baik,
proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel. Rentang metode adalah
pernyataan batas terendah dan tertinggi analit yang sudah ditunjukkan dapat
ditetapkan dengan kecermatan, keseksamaan, dan linearitas yang dapat diterima
(Harmita, 2004).
Limit deteksi dari suatu metode analisis adalah nilai parameter uji batas,
yaitu konsentrasi analit terrendah yang dapat dideteksi, tetapi tidak dikuantitasi
pada kondisi percobaan yang dilakukan. Limit deteksi dinyatakan dalam
konsentrasi analit (persen, bagian per milyar) dalam sampel. Limit kuantitasi dari
suatu metode analisis adalah nilai parameter penentuan kuantitatif senyawa yang
terdapat dalam konsentrasi rendah dalam matriks. Limit kuntitasi adalah
konsentrasi analit terendah dalam sampel yang dapat ditentukan dengan presisi
dan akurasi yang dapat diterima pada kondisi eksperimen yang ditentukan. Limit
kuantitasi dinyatakan dalam konsentrasi analit (persen, bagian per milyar) dalam
sampel (Satiadarma, dkk., 2004).
Ketangguhan metode adalah derajat ketertiruan hasil uji yang diperoleh
dari analisis sampel yang sama dalam berbagai kondisi uji normal, seperti
laboratorium, analisis, instrumen, bahan pereaksi, suhu, hari yang berbeda, dan
lain-lain. Ketangguhan biasanya dinyatakan sebagai tidak adanya pengaruh
perbedaan operasi atau lingkungan kerja pada hasil uji. Ketangguhan metode
merupakan ukuran ketertiruan pada kondisi operasi normal antara laboratorium
dan antar analis (Harmita, 2004).
2.8 Analisis Nipagin dalam Kecap
Nipagin diekstraksi menggunakan eter dalam suasana asam untuk
menghidrolisis esternya. Uji kualitatif nipagin dapat dilakukan dengan
menambahkan pereaksi Millon ke dalam larutan hasil ekstraksi dan menghasilkan
warna merah rose. Namun reaksi ini tidak spesifik karena beberapa senyawa
aromatik dengan gugus hidroksil yang terikat pada inti benzen memberikan warna
dengan pereaksi Millon, misalnya asam salisilat memberikan warna orange
dengan pereaksi Millon. Pereaksi Millon kurang reprodusibel dan kurang stabil
untuk menganalisis nipagin secara kuantitatif, sehingga diusulkan untuk
menggunakan metode Lemieszek-Chodorowska, yaitu suatu metode dengan
memanaskan larutan sampel menggunakan pereaksi Deniges diikuti penambahan
larutan natrium nitrit 2% sehingga terbentuk larutan berwarna pink yang dapat
memberikan absorbansi pada daerah sinar tampak (Egan et al., 1981).
Menurut Chu et al. (2010), pemisahan dan penetapan kadar paraben (metil
paraben, etil paraben, propil paraben dan butil paraben) dalam kecap dapat
dilakukan dengan metode elektroforesis kapiler dengan deteksi amperometrik.
Kondisi optimum pemisahan diperoleh dalam waktu 16 menit dengan tegangan
16kV menggunakan larutan dapar borax konsentrasi 80 mmol/l pada pH 9,94.
Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan pelarut etanol-air-asam asetat
(70:30:0,5). Metode ini memberikan persen perolehan kembali sebesar 95-102%
dengan presisi sebesar ≤ 2,4% dan waktu migrasi ≤ 0,5% dari empat analit.
Chen et al. (2004) melakukan penetapan kadar turunan benzoat (metil
paraben, propil paraben, butil paraben dan parahidroksibenzoat) dalam kecap
menggunakan elektroforesis kapiler dan mikroekstraksi. Sampel diekstraksi
menggunakan etil asetat dalam suasana asam. Larutan hasil ekstraksi dipisahkan
menggunakan dapar borax konsentrasi 20 mM (pH 9,2) pada tegangan 10 kV.
Pemisahan diperoleh dalam waktu 10 menit dengan asam hipurat sebagai standar
internal untuk meningkatkan reprodusibilitas.
Kertadarma dkk. (2004) melakukan analisis kandungan nipagin dan
nipasol dalam beberapa jenis makanan secara kombinasi kromatografi lapis tipis
dan spektrofotometri ultraviolet. Sampel diekstraksi menggunakan eter dalam
suasana asam lalu dilakukan pemisahan secara kromatografi lapis tipis pada
lempeng silika gel menggunakan pelarut heksan:n-butanol:asam asetat (72:18:10)
sebagai pengembang. Bercak yang terbentuk dikerok dan diekstraksi dengan
etanol lalu diukur serapannya pada spektrofotometri ultraviolet.