46
66 BAB II POLA KEPEMILIKAN DAN PENGUASAAN TANAH PADA PULAU-PULAU DI WILAYAH PULAU BATAM A. Gambaran Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk melakukan penelitian ini adalah Pulau Batam, tepatnya pada 2 (dua) pulau kecil yakni Pulau Sekikir dan Pulau Bulat yang secara administratif berada di Kelurahan Pulau Setokok, Kecamatan Bulang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Pemilihan lokasi penelitian ini didasarkan pada pertimbangan bahwa Pulau Batam memiliki kedudukan yang khusus bila dibandingkan dengan daerah atau pulau lain di Indonesia, terutama dalam hal pengelolaannya yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat melalui suatu badan yang dibentuk untuk itu yakni Otorita Pengembangan Industri Pulau Batam atau lebih dikenal dengan Otorita Batam, sungguhpun dalam proses perjalanannya mengalami berbagai perkembangan dan penyebutan untuk badan yang mengelola tersebut. Namun hal yang terpenting untuk dikaji dan menjadi pertimbangan kuat untuk melakukan penelitian ini adalah aspek pertanahan yang melingkupinya, terutama mengenai status hukum dari pemilikan dan penguasaan tanah yang dilakukan oleh badan pengelola, pemerintah daerah maupun masyarakat setempat, terutama atas tanah-tanah yang ada di pulau-pulau di kawasan kepulauan Batam. 54 Universitas Sumatera Utara

Chapter II

Embed Size (px)

DESCRIPTION

aselole

Citation preview

  • 66

    BAB II

    POLA KEPEMILIKAN DAN PENGUASAAN TANAH PADA PULAU-PULAU DI WILAYAH PULAU BATAM

    A. Gambaran Lokasi Penelitian

    Lokasi yang dipilih untuk melakukan penelitian ini adalah Pulau Batam,

    tepatnya pada 2 (dua) pulau kecil yakni Pulau Sekikir dan Pulau Bulat yang secara

    administratif berada di Kelurahan Pulau Setokok, Kecamatan Bulang, Kota Batam,

    Provinsi Kepulauan Riau.

    Pemilihan lokasi penelitian ini didasarkan pada pertimbangan bahwa Pulau

    Batam memiliki kedudukan yang khusus bila dibandingkan dengan daerah atau pulau

    lain di Indonesia, terutama dalam hal pengelolaannya yang dilakukan oleh

    Pemerintah Pusat melalui suatu badan yang dibentuk untuk itu yakni Otorita

    Pengembangan Industri Pulau Batam atau lebih dikenal dengan Otorita Batam,

    sungguhpun dalam proses perjalanannya mengalami berbagai perkembangan dan

    penyebutan untuk badan yang mengelola tersebut.

    Namun hal yang terpenting untuk dikaji dan menjadi pertimbangan kuat untuk

    melakukan penelitian ini adalah aspek pertanahan yang melingkupinya, terutama

    mengenai status hukum dari pemilikan dan penguasaan tanah yang dilakukan oleh

    badan pengelola, pemerintah daerah maupun masyarakat setempat, terutama atas

    tanah-tanah yang ada di pulau-pulau di kawasan kepulauan Batam.

    54

    Universitas Sumatera Utara

  • 67

    Apalagi belakangan ini perkembangan di Pulau Batam makin menarik

    sehubungan dengan dijadikannya Pulau Batam sebagai kawasan perdagangan bebas

    dan pelabuhan bebas Batam sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun

    2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam

    menggantikan Keputusan Presiden Nomor 41 tahun 1973 tentang Daerah Industri

    Pulau Batam yang menjadikan Batam sebagai kawasan pengembangan daerah

    industri, yang dapat berimplikasi terhadap kebijakan di bidang pertanahan.

    Demikian juga dari segi penggunaannya, terdapat berbagai kegiatan usaha

    oleh berbagai kalangan dalam rangka menggunakan bidang-bidang tanah yang ada di

    Pulau Batam, maka pengaturan penggunaan tanah tersebut perlu ditelusuri lebih jauh

    keterkaitan kerja antara badan pengelola dengan pemerintah daerah setempat dalam

    membuat perencanaan penggunaan tanah untuk berbagai kepentingan, seperti untuk

    usaha industri, pariwisata, budidaya, perkotaan, pedesaan, pemerintahan, konservasi,

    fasilitas umum dan lain-lain.

    Berdasarkan catatan sejarah,52 Batam mulai dikembangkan sejak awal 1970-

    an sebagai basis logistik dan operasional untuk industri minyak dan gas bumi oleh

    Pertamina. Sungguhpun di tempat itu telah ada perkampungan tua sebagai lingkungan

    tempat tinggal penduduk asli Kota Batam sebelum tahun 1970 saat Batam mulai

    dibangun.

    Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 41 tahun 1973 tentang Daerah

    Industri Pulau Batam, pembangunan Batam dipercayakan kepada lembaga

    Universitas Sumatera Utara

  • 68

    pemerintah yang bernama Otorita Pengembangan Industri Pulau Batam atau lebih

    dikenal dengan Otorita Batam.

    Pengembangan Pulau Batam terbagi dalam beberapa periode, dengan

    penjelasan sebagai berikut :

    Periode pertama yaitu tahun 1971-1976 dikenal dengan nama Periode

    Persiapan yang dipimpin oleh Dr. Ibnu Sutowo.

    Periode kedua adalah Periode Konsolidasi (1976-1978) dipimpin oleh Prof.

    Dr. JB.Sumarlin. Setelah itu adalah Periode Pembangunan Sarana Prasarana

    dan Penanaman Modal yang berlangsung selama 20 tahun, yaitu tahun 1978-

    1998, yang diketuai Prof. Dr. BJ. Habibie.

    Kepemimpinan berikutnya dipegang oleh J.E Habibie yaitu bulan Maret s/d

    Juli 1998. Periode ini dikenal dengan nama Pembangunan Prasarana dan

    Penanaman Modal Lanjutan.

    Kemudian sejak tahun 1998 sampai 2005, di bawah kepemimpinan Ismeth

    Abdullah dan dinamakan Periode Pengembangan Pembangunan Prasarana

    dan Penanaman Modal Lanjutan dengan perhatian lebih besar pada

    kesejahteraan rakyat dan perbaikan iklim investasi.

    Selanjutnya sejak tahun 2005 sampai sekarang dikenal dengan periode

    pengembangan Batam, dengan penekanan pada peningkatan sarana dan

    52 http://www.batam.go.id/home/sejarah_ob.php

    Universitas Sumatera Utara

  • 69

    prasarana, penanaman modal serta kualitas lingkungan hidup, yang dipimpin

    oleh Mustofa Wijaya.53

    Dalam rangka mengimplementasikan tugas dan fungsi dari Badan yang

    menangani pengembangan Pulau Batam tersebut, maka dibangunlah insfrastruktur

    modern yang berstandar internasional serta berbagai fasilitas lainnya, seperti jalan

    arteri dan kolektor, bandar udara dan pelabuhan laut, penyediaan air baku dan sarana

    penunjang lainnya seperti rumah sakit dan sarana umum lainnya, sehingga menjadi

    daya tarik bari investor menanamkan modalnya di Pulau Batam.

    Apalagi Pulau Batam sejak awal dikembangkan sebagai kawasan industri.

    Bila hal itu tercapai, maka Pulau Batam tidak hanya sebagai kawasan industri juga

    suatu saat dapat dijadikan sebagai daerah pengembangan pariwisata yang diminati

    dan mampu bersaing dengan kawasan serupa Asia Pasifik. Saat ini Pulau Batam terus

    berkembang dan dapat disaksikan bahwa kegiatan industri, perdagangan, perkapalan

    dan pariwisata sedang marak di daerah ini.

    Perkembangan dan kemajuan ini dapat berdampak pada tersedianya berbagai

    lapangan usaha yang mampu menampung angkatan kerja yang berasal hampir dari

    seluruh daerah di tanah air, juga akan berakibat positif pada peningkatan penerimaan

    pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.

    53 Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam, Badan Pengusahaan Kawasan

    Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Development Progress of Batam Indonesia, Edisi Pertama 2010, halaman 5

    Universitas Sumatera Utara

  • 70

    Secara geografis Pulau Batam yang dikenal sebagai wilayah Kota Batam

    mempunyai letak yang sangat strategis yaitu jalur pelayanan internasional dengan

    jarak 12,5 mil laut dari Negara Singapura.

    Letak Pulau Batam terbentang antara 02529 s/d 11500Lintang Utara dan

    1033435 s/d 1042604 Bujur Timur dengan total wilayah darat dan wilayah laut

    seluas 3.990,00 Km2, terdiri dari daratan seluas 1.038,43 km2 dan lautan seluas

    2.951,57 km2.

    Wilayah Pulau Batam terdapat lebih dari 400 (empat ratus) pulau dan 329

    (tiga ratus dua puluh sembilan) pulau di antaranya telah diberi nama, termasuk di

    dalamnya pulau-pulau terluar di wilayah perbatasan negara, yang berbatasan dengan :

    Sebelah Utara : Negara Singapura/Malaysia

    Sebelah Timur : Kabupaten Bintan dan Tanjung Pinang

    Sebelah Selatan : Kabupaten Lingga

    Sebelah Barat : Kabupaten Karimun dan Laut internasional

    Kemudian secara administratif pemerintahan, pada awalnya Pulau Batam

    merupakan salah satu kecamatan yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Kepulaun

    Riau, berikutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 1983 dibentuk

    Kotamadya Administratif Batam terdiri dari 3 (tiga) kecamatan, yakni Kecamatan

    Belakang Padang, Kecamatan Batam Barat dan Kecamatan Batam Timur.

    Selanjutnya Kota Batam sebagai daerah otonom dibentuk berdasarkan Undang

    Undang Nomor 53 tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan,

    Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten

    Universitas Sumatera Utara

  • 71

    Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi dan Kota Batam, yang

    diikuti dengan melakukan penataan kewilayahan yakni melalui pemekaran baik

    kecamatan maupun kelurahan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan pemerintah

    Kota Batam.

    Saat ini berdasarkan Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 2 tahun 2004

    tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam Tahun 2004 2014, Kota Batam

    terdiri dari 8 (delapan) wilayah Kecamatan dan 64 (enam puluh empat) kelurahan,

    yaitu :

    a. Kecamatan Sekupang, yang mencakup :

    1. Kelurahan Sungai Harapan

    2. Kelurahan Tanjung pinggir

    3. Kelurahan Tanjung Riau

    4. Kelurahan Tanjung Uncang

    5. Kelurahan Tiban Lidah

    6. Keluahan Patam Lestari

    7. Kelurahan Tiban Asri

    8. Kelurahan Tiban Lama

    b. Kecamatan Lubuk Baja, yang mencakup

    1. Kelurahan Batu Selicin

    2. Kelurahan Lubuk Baja Kota

    3. Kelurahan Kampung Pelita

    4. Kelurahan Pangkalan Petai

    Universitas Sumatera Utara

  • 72

    5. Kelurahan Tanjung Uma

    c. Kecamatan Batu Ampar, yang mencakup

    1. Kelurahan Bukit Senyum

    2. Kelurahan Sungai Jodoh

    3. Kelurahan Batu Merah

    4. Kelurahan Kampung Seraya

    5. Kelurahan Bengkong Harapan

    6. Kelurahan Bukit Jodoh

    7. Kelurahan Harapan Baru

    8. Kelurahan Bengkong Laut

    d. Kecamatan Nongsa, yang mencakup

    1. Kelurahan Batu Besar

    2. Kelurahan Nongsa

    3. Kelurahan Kabil

    4. Kelurahan Teluk Tering

    5. Kelurahan Belian

    6. Kelurahan Baloi Permai

    7. Kelurahan Baloi

    8. Kelurahan Ngenang

    e. Kecamatan Sei Beduk, yang mencakup

    1. Kelurahan Muka Kuning

    2. Kelurahan Batuaji

    Universitas Sumatera Utara

  • 73

    3. Kelurahan Sagulung

    4. Kelurahan Tanjung Piayu

    f. Kecamatan Galang, yang mencakup

    1. Kelurahan Sijantung

    2. Kelurahan Karas

    3. Kelurahan Galang Baru

    4. Kelurahan Sembulang

    5. Kelurahan Rempang Cate

    6. Kelurahan Subang Mas

    7. Kelurahan Pulau Abang

    g. Kecamatan Bulang, yang mencakup

    1. Kelurahan Bulang Lintang

    2. Kelurahan Pulau Buluh

    3. Kelurahan Temoyong

    4. Kelurahan Batu Legong

    5. Kelurahan Pantai Gelam

    6. Kelurahan Pulau Setokok

    h. Kecamatan Belakang Padang, yang mencakup

    1. Kelurahan Belakang Padang

    2. Kelurahan Pemping

    3. Kelurahan Kasu

    4. Kelurahan Pecong

    Universitas Sumatera Utara

  • 74

    5. Kelurahan Pulau Terong

    Daerah yang dijadikan obyek penelitian adalah Kecamatan Bulang, yakni di

    Kelurahan Pulau Setokok, tepatnya berada di 2 (dua) buah pulau di daerah tersebut

    yakni Pulau Sekikir dan Pulau Bulat.

    Berdasarkan keterangan staf Lurah Setokok,54 wilayah Kelurahan Setokok

    meliputi seluas 4.700 Ha, berbatasan dengan :

    Sebelah utara : Sei Beduk

    Sebelah Selatan : Pulau Panjang Galang

    Sebelah Barat : Pulau Temoyong

    Sebelah Timur : Rempang Cate

    Kelurahan Pulau Setokok sendiri terdapat sebanyak 27 (dua puluh tujuh)

    pulau, namun yang saat ini sudah dihuni oleh penduduk sebanyak 6 (enam) pulau,

    yakni Pulau Kalo, Pulau Setokok, Pulau Teluk Air, Pulau Nipah, Pulau Akar dan

    Pulau Panjang.

    Sementara Pulau Sekikir dan Pulau Bulat yang ada di wilayah tersebut

    dikategorikan sebagai pulau yang belum dihuni oleh penduduk, sungguhpun saat

    peninjauan ke lapangan, di Pulau Sekikir dan Pulau Buat sudah ada penduduk yang

    berdiam di tempat tersebut, masing-masing 1 (satu) keluarga dan sudah ada rumah

    tempat tinggalnya.

    54 Wawancara dengan Rahmad, staf Lurah Setokok, tanggal 1 Oktober 2010

    Universitas Sumatera Utara

  • 75

    Pulau Bulat berada sekitar 1 km ke arah Barat dari Pulau Setokok, luasnya

    sekitar 2 Ha, kemudian Pulau Sekikir lebih jauh lagi sekitar 500 meter dari Pulau

    Sekikir dan luasnya sekitar 50 Ha.

    Oleh karena Pulau Sekikir dan Pulau Bulat yang berada di wilayah Pulau

    Setokok dan merupakan bagian dari wilayah Kota Batam, di dalamnya telah ada

    penduduk dan ada pemilikan dan penguasaan tanah berupa rumah tempat tinggal dan

    usaha perladangan, maka ditentukan kedua pulau tersebut sebagai lokasi penelitian,

    untuk melihat aspek pemilikan atas tanah di wilayah tersebut.

    B. Pengaturan Kepemilikan dan Penguasaan Tanah

    Pengertian pemilikan adalah kepunyaan bersifat perdata, dalam hal ini

    kepemilikan tanah adalah hubungan hukum antara orang per-orang, kelompok orang

    atau badan hukum tertentu dengan tanah tertentu sebagaimana dimaksud dalam

    Undang Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok

    Agraria.55

    Hubungan hukum tersebut ditunjukkan dengan adanya alat-alat bukti yang

    ditentukan oleh ketentuan hukum yang ada dan berlaku, baik secara tertulis,

    pengakuan dan kesaksian pihak lain maupun secara faktual yang ditunjukkan dengan

    adanya tanda-tanda pada obyek tanahnya, seperti tanda batas bidang tanah berupa

    patok, parit, pagar atau tanda batas alam seperti jalan, sungai, lembah, bukit,

    55 Pasal 1 butir 2 Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah

    Universitas Sumatera Utara

  • 76

    pepohonan dan lain-lain, maupun bentuk penguasaan atau pengusahaan secara fisik di

    lapangan.

    Berdasarkan catatan sejarah, sejak dahulu pemilikan dan penguasaan atas

    tanah menjadi faktor penting diberikan atau dilegalisasikannya hak atas tanah oleh

    penguasa kepada seseorang yang secara faktual/fisik telah menguasai bidang tanah

    tersebut dengan itikad baik.

    Sungguhpun banyak di daerah-daerah tertentu, pemilikan tanah tidak disertai

    dengan bukti alas hak secara tertulis sebagaimana sifat Hukum Adat umumnya tidak

    tertulis, bukti pemilikan tanah hanya didasarkan pada penguasaan secara fisik atas

    tanah tersebut yang juga diakui kebenarannya oleh masyarakat setempat, yang

    ditandai dengan pengakuan dari pengetua adat atau aparat desa setempat.

    Pemilikan atas tanah baik ada ataupun tidak ada bukti alas hak tertulis dapat

    dikategorikan berdasarkan Hukum Adat dan juga didasarkan pada Hukum Barat,

    khusus yang didasarkan pada Hukum Adat ditemukan karakteristik yang berbeda di

    masing-masing daerah lingkungan hukum adat sesuai dengan adat setempat

    Sebagaimana diketahui bahwa menurut Hukum Adat, pada awalnya status

    tanah-tanah di Indonesia berasal dari hak ulayat, yakni hak desa menurut adat dan

    kemauannya untuk menguasai tanah dalam lingkungan daerahnya buat kepentingan

    anggota-anggotanya atau untuk kepentingan orang lain (orang asing) dengan

    membayar ganti kerugian kepada desa, dalam hal mana desa itu sedikit banyak turut

    Universitas Sumatera Utara

  • 77

    campur dengan pembukaan tanah itu dan turut bertanggung jawab terhadap perkara-

    perkara yang terjadi di situ yang belum dapat diselesaikan.56

    Dapat juga disebutkan bahwa Hak Ulayat adalah hak atas tanah yang secara

    tradisional menurut hukum adat setempat merupakan tanah milik masyarakat secara

    bersama dalam kerajaan-kerajaan kecil yang ada di berbagai daerah di seluruh

    Indonesia.57

    Secara formal pengertian hak ulayat disebutkan dalam Pasal 1 angka 1

    Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999

    tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat ditentukan

    bahwa yang dimaksud dengan hak ulayat adalah :

    Kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh Masyarakat Hukum

    Adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan para warganya

    untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam

    wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari

    hubungan secara lahiriah dan bathiniah turun temurun dan tidak terputus

    antara Masyarakat Hukum Adat dengan wilayah yang bersangkutan.

    Selanjutnya ditentukan bahwa bagian-bagian dari hak ulayat ini dapat

    dikerjakan dan dikuasai oleh anggota masyarakat desa/masyarakat hukum adat yang

    kemudian menjadi hak perseorangan/individu. Pada umumnya hak perseorangan ini

    56 Dirman, Perundang-undangan Agraria di Seluruh Indonesia, (Jakarta : JB. Volters, 1958),

    halaman 36 57

    A. Bazar Harahap Dkk, Tanah Ulayat Dalam Sistem Pertanahan Nasional, (Jakarta : Sandipeda, 2005), halaman 4

    Universitas Sumatera Utara

  • 78

    terbatas dan tidak begitu luas, yaitu hanya diakui selama hak itu dipergunakan untuk

    penghidupan sendiri dan keluarganya.

    Apabila tanah itu tidak dikerjakan atau tidak dikuasai lagi, misalnya karena

    meninggalkan desa tersebut, maka tanah itu kembali menjadi tanah hak ulayat. Jadi

    ada hubungan timbal balik antara hak-hak bersama dengan hak-hak individu, apabila

    hak-hak individu menguat maka hak-hak bersama akan melemah, demikian

    sebaliknya.58

    Dengan demikian, menurut Hukum Adat dan dikuatkan dengan peraturan

    mengenai pendaftaran tanah, bukti pemilikan atas tanah hanya didasarkan pada

    penguasaan atas tanah secara fisik yang ditandai dengan mengerjakan tanah tersebut

    secara aktif dan terus-menerus dapat menjadi faktor pendukung dilegalkannya hak

    perorangan tersebut oleh penguasa adat, termasuk dengan memberikan bukti hak

    secara tertulis.59

    Sedang bukti pemilikan hanya didasarkan pada alat bukti lain berupa surat

    atau tanda tertentu tetapi tanahnya ditelantarkan tidak mendapat perlindungan Hukum

    Adat, bahkan dengan azas rechtsverwerking, pihak ketiga yang menguasai tanah

    dengan itikad baik dapat dilegalkan sebagai pemilik sedang orang orang terdahulu

    yang membiarkan tanahnya tidak dikerjakan selama jangka waktu terentu, dianggap

    58 Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, (Jakarta :

    Lembaga Perberdayaan Hukum Indonesia, 2005), halaman 121 59

    Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

    Universitas Sumatera Utara

  • 79

    telah melepaskan haknya dan hilanglah haknya untuk menuntut kembali tanah

    tersebut.60

    Demikian juga pada zaman penjajahan Hindia Belanda yang didasarkan pada

    Hukum Barat sebagaimana diatur dalam Pasal 1 dan 7 ayat (1) Reglement Agraria

    untuk Sumatera Barat, ditentukan bahwa pemilikan dan penguasaan atas suatu bidang

    tanah dilihat sebagai telah adanya hak atas tanah, artinya tanah yang telah dipakai

    untuk diduduki atau dikerjakan dengan kekal, dapat menjadi milik atau kepunyaan

    orang yang membuka atau yang memakai tanah itu.61

    Bahkan menurut domeinbeginsel (Stb. 1870 Nomor 118) ditentukan bahwa

    sekalipun status tanah tersebut masih merupakan pinjaman, misalnya raja

    meminjamkan tanah kepada pembesar-pembesarnya selanjutnya pembesar-pembesar

    itu meminjamkan bagiannya lagi kepada warga desa, maka warga desa yang

    meminjam dan menguasai serta mengerjakan tanah tersebut diakui sebagai pemilik

    tanah.62

    Setelah Indonesia merdeka dan disusun peraturan perundang-undangan

    tentang keagrariaan sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 5 tahun 1960 atau lebih

    dikenal dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), ternyata pemilikan atas

    60 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang Undang Pokok

    Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta : Penerbit Djambatan, Jakarta, edisi revisi, cetakan ke-9, 2003, halaman 483

    61 Dirman, 1958, op.cit.,, halaman 54

    62 Bushar Muhammad, Asas-asar Hukum Adat (Suatu Pengantar), (Jakarta : Pradnya

    Paramita, 1984), halaman 69

    Universitas Sumatera Utara

  • 80

    tanah tidak bisa dilepaskan dari faktor penguasaan tanah, bahkan pemilikan atas tanah

    diperlukan syarat mutlak penguasaan atas tanah tersebut, terutama tanah pertanian.

    Pasal 10 UUPA mengatur bahwa setiap orang atau badan hukum yang

    mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan

    atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.

    Demikian juga memiliki tanah dengan tidak menguasainya atau dengan kata

    lain menelantarkan tanahnya dengan sengaja, maka pada dasarnya telah bertentangan

    dengan ketentuan yang berlaku, yakni dapat menjadi salah satu penyebab hilangnya

    kepemilikan atau dihapuskannya hak atas tanah tersebut sesuai dengan ketentuan

    Pasal 27, 34 dan 40 UUPA.

    Pemilikan atas tanah yang didasarkan pada penguasaan tanah oleh masyarakat

    setempat atas rumah tempat tinggal yang telah dibangun sejak lama sebenarnya dapat

    dijadikan alasan formal untuk diberikan haknya, sekalipun pemilikan tanah tersebut

    tidak didukung oleh surat-surat tanahnya (data yuridis). Hal tersebut dikuatkan oleh

    ketentuan Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang

    Pendaftaran Tanah, yang mengatur sebagai berikut :

    Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian,

    pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang

    tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut

    oleh pemohon pendaftaran dan pendahuluan-pendahulunya, dengan syarat:

    Universitas Sumatera Utara

  • 81

    a. Penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh

    yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh

    kesaksian orang yang dapat dipercaya;

    b. Penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman

    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh

    masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun

    pihak lainnya.

    Dalam penjelasan pasal ini diuraikan bahwa ketentuan ini memberi jalan

    keluar apabila pemegang hak tidak dapat menyediakan bukti kepemilikan atas

    tanahnya, baik yang berupa bukti tertulis maupun bentuk lain yang dapat dipercaya.

    Dalam hal demikian pembukuan hak dapat dilakukan tidak berdasarkan bukti

    kepemilikan akan tetapi berdasarkan bukti penguasaan fisik yang telah dilakukan oleh

    pemohon dan pendahulunya.

    Faktor pemilikan tanah dengan dasar penguasaan atas tanah merupakan hal

    penting untuk mengakui kepemilikan seseorang atas tanah, sebab pengertian dari

    pemilikan atas tanah adalah seseorang yang mempunyai hubungan nyata dengan

    barang yang ada dalam kekuasaannya. Oleh karena itu sulit bagi seseorang untuk

    dapat membayangkan adanya suatu sistem hukum apabila di situ tidak dijumpai

    adanya pengakuan dan pengaturan tentang pemilikan atau penguasaan.63

    63 Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), halaman 30.

    Universitas Sumatera Utara

  • 82

    Pengakuan terhadap pemilikan tanah yang didasarkan pada penguasaan secara

    fisik bidang tanah boleh dilakukan oleh seseorang atas suatu barang merupakan

    modal yang utama agar seseorang tersebut dapat mempertahankan kehidupannya,

    sebab pada saat itu, ia tidak memerlukan pengakuan atau legitimasi lain kecuali

    pengakuan pemilikan barang yang ada dalam kekuasaannya tersebut.

    Masalah pemilikan tanah dengan dasar penguasaan secara fisik bidang tanah,

    seharusnya tidak dapat diabaikan sama sekali oleh hukum, walaupun soal pemilikan

    tersebut hanya atas dasar penguasaan bersifat faktual atau fisik saja tanpa ada bukti

    konkrit yang tertulis. Namun hukum dituntut untuk memberikan kepastian mengenai

    pemilikan tersebut. Jika hukum sudah mulai masuk, maka ia harus memutuskan

    apakah seseorang akan mendapat perlindungan pengakuan dan perlindungan terhadap

    pemilikan atau tidak.

    Jika hukum memutuskan akan mendapatkan pengakuan dan perlindungan

    terhadap pemilikan seseorang atas suatu barang, maka hukum akan melindungi orang

    tersebut dari gangguan orang lain, karena di sini hukum berhadapan dengan persoalan

    yang bersifat faktual, sehingga ukuran untuk memberikan keputusan tersebut bersifat

    faktual juga.64

    Berdasarkan argumentasi tersebut sebenarnya pemilikan atas tanah yang

    didasarkan pada penguasaan atas suatu bidang tanah sudah menjadi faktor yang

    menentukan pemilikan tanah tersebut atau dengan kata lain pemilikan tersebut dapat

    64 Ibid, halaman 31

    Universitas Sumatera Utara

  • 83

    juga sebagai permulaan adanya hak, bahkan ada yang menyebut pemilikan dengan

    dasar penguasaan tanah tersebut sudah merupakan suatu hak. Kata pemilikan atas

    dasar penguasaan menunjukkan adanya suatu hubungan antara tanah dengan yang

    mempunyainya.65

    Dengan demikian, faktor pemilikan atas dasar penguasaan atas tanah secara

    fisik merupakan hal penting dalam memberikan hak atas tanah kepada seseorang,

    bahkan sesuai dengan ketentuan Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun

    1997, sebidang tanah dapat didaftarkan apabila telah dikuasai secara fisik oleh

    seseorang selama 20 tahun berturut-turut, sekalipun itu tidak didukung oleh bukti-

    bukti tertulis mengenai penguasaan atas tanah tersebut.

    Oleh karena itu tidak cukup hanya dengan memiliki dengan cara

    menguasainya secara yuridis yaitu dengan memegang surat-surat tanahnya saja, tetapi

    harus ada kepemilikan yang didasarkan penguasaan secara fisik atas tanah.

    Selanjutnya pemilikan atas tanah sebagaimana diatur dalam UUPA, dapat dilegalisasi

    dengan pemberian hak atas tanah oleh Pemerintah. Hal tersebut diatur dalam Pasal

    22 ayat (2), Pasal 31 dan Pasal 37 UUPA mengatur bahwa terjadinya hak atas tanah

    salah satunya adalah melalui penetapan Pemerintah.

    Penetapan Pemerintah tersebut selain dilakukan terhadap obyek tanah yang

    bukti haknya merupakan hak-hak lama (baik bekas hak Barat maupun bekas Hak

    Adat) juga dilakukan terhadap obyek tanah yang statusnya berasal dari tanah yang

    65 Badan Pertanahan Nasional, Hak Hak Atas Tanah Dalam Hukum Tanah Nasional, 2002,

    halaman 18

    Universitas Sumatera Utara

  • 84

    dikuasai langsung oleh Negara. Isi dari penetapan Pemerintah tersebut adalah

    pemberian atau penetapan hak atas tanah kepada subyek hak baik perseorangan

    maupun badan hukum dengan obyek suatu bidang tanah tertentu .

    Berdasarkan ketentuan Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997

    pemberian hak atas tanah termasuk dalam kategori pembuktian hak baru. Pembuktian

    hak baru tersebut didahului dengan suatu penetapan pemberian hak atas tanah dari

    pejabat yang berwenang memberikan hak tersebut menurut ketentuan peraturan

    perundang-undangan yang berlaku. Obyek tanah yang dapat diperlakukan dengan

    proses pemberian hak dimaksud umumnya adalah atas tanah yang berasal dari tanah

    yang dikuasai langsung oleh Negara.

    Menurut Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN

    Nomor 3 tahun 1999 jo Pasal 1 angka 8 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala

    Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 tahun 1999 ditegaskan bahwa yang dimaksud

    dengan pemberian hak atas tanah adalah penetapan Pemerintah yang memberikan

    suatu hak atas tanah Negara, perpanjangan jangka waktu hak, pembaharuan hak,

    perubahan hak, termasuk pemberian hak di atas Hak Pengelolaan.

    Dalam proses penetapan Pemerintah yang wujudnya pemberian/ penetapan

    hak atas tanah tersebut, dapat dilakukan apabila terlebih dahulu dibuktikan adanya

    hubungan hukum antara orang dengan tanahnya yang merupakan bukti atau dasar

    penguasaan atas tanahnya (hak keperdataan) atau alas haknya, baik yang diterbitkan

    oleh pejabat yang berwenang maupun pernyataan yang dibuat sendiri oleh orang yang

    Universitas Sumatera Utara

  • 85

    menguasai tanah tersebut apabila sejak awal dialah yang pertama mengerjakan bidang

    tanah dimaksud.

    Bahkan dalam penetapan hak, apabila tidak ada alas hak secara tertulis, maka

    bukti penguasaan tersebut cukup dengan adanya penguasaan secara fisik sebagaimana

    ditegaskan dalam Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tersebut.

    Terhadap penguasaan tanah yang dibuktikan dengan alat bukti secara tertulis

    dapat disebut juga alas hak. Alas hak diartikan sebagai bukti penguasaan atas tanah

    secara yuridis dapat berupa alat-alat bukti yang menetapkan atau menerangkan

    adanya hubungan hukum antara tanah dengan yang mempunyai tanah, dapat juga

    berupa riwayat pemilikan tanah yang pernah diterbitkan oleh pejabat Pemerintah

    sebelumnya maupun bukti pengakuan dari pejabat yang berwenang. Alas hak secara

    yuridis ini biasanya dituangkan dalam bentuk tertulis dengan suatu surat keputusan,

    surat keterangan, surat pernyataan, surat pengakuan, akta otentik maupun surat di

    bawah tangan dan lain-lain.

    Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan

    Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997, alas hak

    tersebut diberi istilah data yuridis, yakni keterangan mengenai status hukum bidang

    tanah, pemegang haknya, dan pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya.

    Secara perdata, dengan adanya hubungan yang mempunyai tanah dengan

    tanahnya yang dibuktikan dengan penguasaan fisik secara nyata di lapangan atau ada

    alas hak berupa data yuridis berarti telah dilandasi dengan suatu hak keperdataan,

    tanah tersebut sudah berada dalam penguasaannya atau telah menjadi miliknya.

    Universitas Sumatera Utara

  • 86

    Pemilikan tanah secara yuridis selalu mengandung kewenangan yang

    diberikan hukum untuk menguasai fisik tanahnya. Oleh karena itu penguasaan yuridis

    memberikan alas hak terhadap adanya hubungan hukum mengenai tanah yang

    bersangkutan.

    Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (2) Peraturan Pemerintah Nomor 16

    Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah, penguasaan tanah adalah hubungan

    hukum antara orang-perorang, kelompok orang, atau badan hukum dengan tanah

    sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang

    Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria.

    Apabila tanahnya sudah dikuasai secara fisik dan sudah ada alas haknya, maka

    persoalannya hanya menindaklanjuti alas hak yang melandasi hubungan tersebut

    menjadi hak atas tanah yang ditetapkan dan diakui oleh Pemerintah agar hubungan

    tersebut memperoleh perlindungan hukum. Proses alas hak menjadi hak atas tanah

    yang diformalkan melalui penetapan Pemerintah disebut pendaftaran tanah yang

    produknya adalah sertipikat tanah.

    Oleh karena itu dasar penguasaan atau alas hak sebenarnya sudah merupakan

    suatu legitimasi awal atau pengakuan atas pemilikan tanah oleh subyek hak yang

    bersangkutan, namun idealnya agar pemilikan suatu bidang tanah juga mendapat

    legitimasi dari Negara, maka harus diformalkan yang dilandasi dengan suatu hak atas

    tanah yang ditetapkan oleh Negara / Pemerintah dalam hal ini Badan Pertanahan

    Nasional Republik Indonesia.

    Universitas Sumatera Utara

  • 87

    AP. Parlindungan menyatakan bahwa dasar penguasaan atau alas hak

    sebagaimana diatur dalam UUPA dapat diterbitkan haknya karena penetapan

    Pemerintah atau ketentuan peraturan perundang-undangan, maupun karena suatu

    perjanjian khusus yang diadakan untuk menimbulkan suatu hak atas tanah di atas hak

    tanah lain (misalnya Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik) dan juga karena

    ketentuan konversi hak, sedangkan ketentuan pendakuan maupun karena kadaluarsa

    memperoleh suatu hak dengan lembaga uitwijzingprocedure sebagaimana diatur

    dalam pasal 548 KUH Perdata tidak dikenal dalam UUPA, sungguhpun pewarisan

    merupakan juga salah satu alas hak.66

    Dinyatakan juga bahwa dasar penguasaan atau alas hak untuk tanah menurut

    UUPA adalah bersifat derivative, artinya berasal dari ketentuan peraturan perundang-

    undangan dan dari hak-hak yang ada sebelumnya, seperti Hak-hak Adat atas tanah

    dan hak-hak yang berasal dari Hak-hak Barat,67

    Jadi secara normatif bukti penguasaan atau pemilikan atas suatu bidang tanah

    yang diterbitkan oleh Pemerintah sebelumnya (dasar penguasaan/alas hak lama)

    masih tetap diakui sebagai dasar penguasaan atas tanah karena diterbitkan oleh

    pejabat yang berwenang dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang

    berlaku pada masa itu.

    Hak-hak Adat maupun Hak-hak Barat yang dijadikan sebagai alas hak

    tersebut ada yang sudah didaftar pada zaman Hindia Belanda dan ada yang belum

    66 AP. Parlindungan, Beberapa Masalah Dalam UUPA, Op.cit, halaman 69-70.

    67 AP. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Op.cit,

    Universitas Sumatera Utara

  • 88

    didaftar. Pendaftaran hak atas tanah pada waktu itu hanya pada hak-hak atas tanah

    yang tunduk pada KUH Perdata (BW), sungguhpun ada juga orang-orang pribumi

    yang mempunyai hak atas tanah yang berstatus Hak-hak Barat selain golongan Eropa

    dan Golongan Timur Asing termasuk golongan China setelah menyatakan dirinya

    tunduk pada Hukum Eropa .

    Untuk Golongan Bumi Putera umumnya tidak ada suatu hukum pendaftaran

    tanah yang bersifat uniform, sungguhpun ada secara sporadis ditemukan beberapa

    pendaftaran yang sederhana dan belum sempurna seperti Grant Sultan Deli, Grant

    lama, Grant Kejuran, pendaftaran tanah yang terdapat di kepulauan Lingga-Riau, di

    daerah Yogyakarta dan Surakarta dan di lain-lain daerah yang sudah berkembang dan

    menirukan sistem pendaftaran kadaster. Sebaliknya juga dikenal pendaftaran tanah

    pajak, seperti pipil, girik, petuk, ketitir, letter C yang dilakukan oleh Kantor Pajak di

    Pulau Jawa.68

    Bukti kepemilikan hak-hak atas tanah yang dapat diajukan sebagai

    kelengkapan persyaratan permohonan hak atas tanah sebagaimana diatur dalam

    Penjelasan Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan Pasal

    60 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997

    dapat dikategorikan sebagai alas hak, sungguhpun sebagaimana diuraikan di atas

    bahwa terhadap alas hak dimaksud dapat diproses pendaftaran tanahnya melalui

    konversi atau pengakuan/penegasan hak atas tanah

    68 Ibid., halaman 76.

    Universitas Sumatera Utara

  • 89

    Surat-surat yang dikategorikan sebagai dasar penguasaan atau alas hak atau

    data yuridis atas tanah pada dasarnya merupakan keterangan tertulis mengenai

    perolehan tanah oleh seseorang, misalnya saja dengan berupa pelepasan hak bekas

    pemegang hak, pernyataan tidak keberatan dari bekas pemegang hak tentunya setelah

    ada ganti rugi. Syarat ini berkaitan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Peraturan

    Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara

    Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan yang

    bunyinya "sebelum mengajukan permohonan hak atas tanah, pemohon harus

    menguasai tanah yang dimohon dibuktikan dengan data yuridis dan data fisik sesuai

    dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 69

    Selanjutnya Pasal 9 ayat (2) angka 2 dan Pasal 18 ayat (2) angka 2 Peraturan

    tersebut menegaskan bahwa alas hak atau data yuridis dapat berupa sertipikat, girik,

    surat kapling, surat-surat bukti pelepasan hak dan pelunasan tanah dan rumah dan

    atau tanah yang telah dibeli dari Pemerintah, putusan pengadilan, akta PPAT, akta

    pelepasan hak, termasuk juga akta pelepasan kawasan hutan, akta pelepasan bekas

    tanah milik adat dan surat bukti perolehan tanah lainnya.

    Berdasarkan pemilikan tanah yang ditandai dengan adanya penguasaan atau

    alas hak atau data yuridis tersebut yang ditunjukkan dengan adanya hubungan hukum

    antara orang dengan tanahnya, maka dapat ditindaklanjuti dengan memformalkan

    atau melegalisasi asetnya masyarakat.

    69 Djoko Walijatun, Persyaratan Permohonan hak, Majalah Renvoy No. 10.34.III, Maret

    2006, halaman 65.

    Universitas Sumatera Utara

  • 90

    Apabila hubungan hukum tersebut diformalkan atau dilegalisasi oleh Negara,

    sehingga Negara memberikan dan menentukan kewenangan, kewajiban dan/atau

    larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu dengan tanah yang dihakinya,

    maka pemilikan tanah tersebut dapat menjadi hak atas tanah.70

    Hak atas tanah dapat diartikan sebagai lembaga hukum jika belum

    dihubungkan dengan tanah dan subyek tertentu, juga hak pemilikan dan penguasaan

    atas tanah dapat merupakan hubungan yang konkrit (subjektief recht) jika

    dihubungkan dengan tanah tertentu dan subyek tertentu sebagai pemegang haknya.71

    Menurut Boedi Harsono, hak-hak atas tanah yang dikenal dalam Hukum

    Tanah khusunya dalam UUPA, dapat disusun dalam jenjang tata susunan atau

    hirarkhi sebagai berikut :

    1. Hak Bangsa Indonesia (Pasal 1)

    2. Hak Menguasai dari Negara (Pasal 20)

    3. Hak Ulayat masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut

    kenyataannya masih ada (Pasal 3)

    4. Hak-hak perorangan :

    a. Hak-hak atas tanah (Pasal 4) :

    70 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta : Penerbit Djambatan, 1994), halaman

    203

    71 Ibid

    Universitas Sumatera Utara

  • 91

    - Primer : Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan yang

    diberikan oleh Negara, Hak Pakai, yang diberikan oleh

    Negara dan Hak Pengelolaan (Pasal 16)

    - Sekunder: Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, yang diberikan oleh

    pemilik tanah, Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak

    Menumpang, Hak Sewa dan lain-lainnya (Pasal 37, 41 dan

    53)

    b. Wakaf (Pasal 49)

    c. Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (Undang-undang Nomor 16/1985

    tentang Rumah Susun)

    d. Hak jaminan atas tanah :

    - Hak Tanggungan (Pasal 23, 33, 39 dan 51)

    - Fidusia (Undang-undang Nomor 16 tahun 1985).72

    Khusus terhadap Hak Pengelolaan, sebenarnya tidak disebutkan secara konkrit

    dalam UUPA, tetapi hanya disebutkan sebagai hak-hak lain yang akan ditetapkan

    dengan undang-undang.73

    Bila berbicara mengenai hak hak atas tanah, maka hal tersebut merupakan

    tindak lanjut dari proses kegiatan pemerintah yang melakukan penetapan hak

    terhadap kepemilikan dan penguasaan atas tanah oleh masyarakat.

    72 Ibid., halaman 204-205

    73 Istilah Hak Pengelolaan disebutkan pertama kali dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri

    Nomor 9 tahun 1965 yang mengatur tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan atas tanah Negara. Sebelumnya dikenal dengan sebutan Hak Penguasaan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah

    Universitas Sumatera Utara

  • 92

    Dalam hal ini, kepemilikan dan penguasaan atas tanah menjadi dasar

    diberikan dan ditetapkannya hak atas tanah kepada yang memiliki dan menguasai

    tanah tersebut.

    Dengan demikian hubungan hukum antara orang dengan tanahnya melahirkan

    kepemilikan dan secara perdata pemilikan atas tanah oleh warga masyarakat cukup

    dibuktikan dengan dasar penguasaan atau alas hak secara terulis sebagaimana

    disebutkan di atas, namun dalam sistem Hukum Agraria, maka pemilikan tanah saja

    tidak cukup untuk diberikan jaminan kepastian hukum oleh Negara (Pemerintah),

    tetapi harus ditindaklanjuti dengan legalisasi hak atas tanah melalui proses penetapan

    hak dan pendaftaran tanahnya yang hasilnya sertipikat tanah.

    C. Kepemilikan dan Penguasaan Tanah di Pulau Bulat dan Pulau Sekikir

    Berdasarkan aspek pemilikan atas tanah sebagaimana diuraikan di atas, maka

    akan ditinjau pemilikan tanah di Pulau Batam, khususnya di lokasi penelitian, yakni

    Pulau Sekikir dan Pulau Bulat.

    Pada Pulau Sekikir dan Pulau Bulat secara faktual terdapat pemilikan yang

    didasarkan atas penguasaan tanah secara fisik yang dibuktikan dengan adanya rumah

    tempat tinggal yang didirikan di masing-masing pulau tersebut.

    Khusus di Pulau Bulat, ditemui satu keluarga yang menjaganya dan mendiami

    pulau tersebut sejak beberapa tahun terakhir ini yaitu Syafruddin alias Awang Puding.

    Nomor 8 tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-tanah Negara dan hak itu merupakan terjemahan dari Beheersrecht

    Universitas Sumatera Utara

  • 93

    Menurut Syafruddin,74 dia telah mendirikan rumah tempat tinggal di pulau tersebut

    dan dijadikan juga sebagai tempat peristirahatan dan tempat memancing bagi

    penduduk setempat. Rumah tersebut dibangun oleh Syafruddin sejak tahun 2005.

    Menurut Syafruddin, dari dulu Pulau Bulat dipunyai oleh satu orang saja

    yakni Bahar Dahlan, yang merupakan orangtuanya dan semula hanya digunakan

    untuk berladang. Oleh karena hanya dijadikan sebagai tempat berladang, maka

    sebagaimana dinyatakan oleh Rahmat, staf Lurah Setokok, Pulau Bulat dikategorikan

    sebagai Pulau tak berpenghuni. 75

    Pemilikan atas tanah di pulau-pulau tersebut dibuat oleh yang bersangkutan

    yang dikuatkan oleh Kepala Kelurahan atau surat-surat tanah yang dibuat oleh Kepala

    Kelurahan Setokok.

    Sedang di Pulau Sekikir, menurut penuturan Arman Dahlan, penduduk Pulau

    Setokok yang ditemui sedang berladang di Pulau tersebut, semula diusahai oleh lebih

    dari 15 (lima belas) orang penduduk Pulau Setokok dan dijadikan lahan perladangan,

    namun karena tidak diurus dengan baik, maka usaha perladangan tersebut tidak

    berkembang dan sempat ditinggalkan warga setempat beberapa tahun sehingga

    menjadi semak belukar.

    Belakangan ini, Pulau Sekikir kembali diusahai oleh penduduk setempat

    untuk usaha berladang, namun yang aktif berladang di pulau tersebut dengan

    menanami tanah miliknya hanya satu orang lagi, yakni Arman Dahlan. Di lapangan,

    74 Wawancara dilakukan pada tanggal 30 September 2010 di Pulau Setokok.

    75 Wawancara dengan Rahmad, staf Lurah Setokok, tanggal 1 Oktober 2010

    Universitas Sumatera Utara

  • 94

    ditemukan banyak tanaman pertanian baik tanaman keras seperti mangga, durian,

    kelapa dan lain-lain serta tanaman palawija seperti singkong, pepaya, cabai dan lain-

    lain sayuran.

    Khusus tanaman keras baru ditanami sekitar dua tahun ini dan belum

    menghasilkan buah-buahan, sedangkan untuk tanaman palawija, menurut Dahlan,

    telah ditanami sejak lama dan tidak terputus sejak dulu.

    Bukti pemilikan atas bidang-bidang tanah oleh masing-masing warga

    setempat di Pulau Sekikir tersebut ditandai dengan surat-surat tanah yang dibuat oleh

    Kepala Desa/Lurah Setokok.

    Menurut Rahmat, staf Lurah Setokok, secara umum warga di Kelurahan

    Setokok hanya memiliki surat-surat pemilikan tanah berupa Surat Keterangan

    Riwayat Pemilikan/Penguasaan Tanah yang ditandatangani oleh Lurah Setokok dan

    hanya satu surat lama yang pernah dijumpainya berbentuk Grant atas nama Jambul.

    Dengan adanya surat Grant tersebut, maka masyarakat di Pulau Batam yang sudah

    lama berdiam di pulau tersebut terutama di kampung-kampung tua masih

    menganggap status tanah yang dimikinya sebagai tanah adat.

    Terhadap kampung-kampung tua yang sudah ada sebelum tahun 1970 ketika

    ditetapkan Pulau Batam sebagai daerah pengembangan industri, menurut Rahmat,

    sudah ada peraturan Walikota untuk melestarikannya dan tanahnya menjadi

    disebutkan sebagai tanah adat, termasuk kampung tua yang ada di Pulau Setokok.

    Namun di luar kampung tua yang ada di wilayah Kelurahan Pulau Setokok,

    termasuk di Pulau Sekikir dan Pulau Bulat, surat-surat tanah yang ditemukan sama

    Universitas Sumatera Utara

  • 95

    dengan surat-surat tanah yang dijumpai di Pulau Setokok dan surat tanah tersebut

    dibuat di bawah tahun 2004, sebab sejak tahun 2004 telah ada larangan dari Walikota

    kepada para Camat dan Lurah untuk tidak menerbitkan surat-surat tanah warganya,

    sehingga sampai saat ini yang dipegang oleh warga sebagai bukti pemilikan tanahnya

    adalah Surat Ketarangan Riwayat Pemilikan Tanah tersebut.

    Khusus di Pulau Sekikir, ditemukan beberapa Surat Keterangan Riwayat

    Pemilikan/Pengusaan Tanah yang diterbitkan oleh Lurah Setokok pada tahun 2002

    yang diketahui Camat Bulang dengan register tanggal 12 September 2002 dan

    disaksikan oleh Ketua RT 01 dan Ketua RT 05, dengan sebagai berikut :

    Tabel 1

    Daftar Surat Tanah Warga Pulau Sekikir

    No.

    Nama Pemilik

    Luas Tanah

    (m2) Tanggal Surat Nomor Register

    Kantor Camat

    1 Arman 20.000 20 Juni 2002 No.09/CB/IX/2002

    2 Timat Rahmat 20.000 20 Juni 2002 No.10/CB/IX/2002

    3 Amir 20.000 20 Juni 2001 No.11/CB/IX/2002

    4 Kamaruddin 20.000 20 Juni 2002 No.11/CB/IX/2002

    5 Irwan 20.000 20 Juni 2002 No.12/CB/IX/2002

    6 Kemat 20.000 20 Juni 2002 No.13/CB/IX/2002

    7 Rani 20.000 20 Juni 2002 No.14/CB/IX/2002

    8 Saiful 20.000 20 Juni 2002 No.15/CB/IX/2002

    9 Ramli 20.000 20 Juni 2002 No.16/CB/IX/2002

    10 E v i 20.000 20 Juni 2002 No.17/CB/IX/2002

    11 Cahaya 20.000 20 Juni 2002 No.18/CB/IX/2002

    Sumber : Kantor Lurah Setokok, 2010

    Universitas Sumatera Utara

  • 96

    Bukti pemilikan atas tanah dengan bentuk Surat Keterangan Riwayat

    Pemilikan / Penguasaan Tanah diakui keberadaan dan kebenarannya oleh penduduk

    setempat.

    Hingga saat ini, di Kelurahan Setokok umumnya dan khususnya di Pulau

    Sekikir dan Pulau Bulat, belum ada diterbitkan sertipikat atas tanah kepada

    masyarakat. Sementara itu berdasarkan informasi yang diperoleh dari Kantor

    Pertanahan Kota Batam, di Kelurahan Setokok khususnya di Pulau Sekikir dan Pulau

    Bulat, belum ada diterbitkan sertipikat hak atas tanah kepada penduduk setempat .

    Menurut M. Rizal, Kepala Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan pada

    Kantor Pertanahan Kota Batam,76 selama ini masyarakat di daerah Pulau Batam dan

    pulau-pulau sekitarnya, termasuk pemilik dari Pulau Sekikir ada yang datang hendak

    mengajukan permohonan hak atas tanah, namun belum dapat dilayani, karena seluruh

    wilayah kepulauan Batam sudah harus diterbitkan Hak Pengelolaan sesuai dengan

    Keputusan Presiden Nomor 41 tahun 1973 dan Nomor 28 tahun 1992, jadi terlebih

    dahulu tanah yang ada di wilayah Kepulauan Batam diberikan Hak Pengelolaan

    kepada Otorita Batam, baru dapat diberikan hak atas tanah perseorangan kepada

    pihak ketiga di atas tanah Hak Pengelolaan.

    Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa secara yuridis formal,

    pemilikan tanah di wilayah kepulauan Batam termasuk di Pulau Sekikir dan Pulau

    Bulat yang didasarkan pada penguasaan fisik bidang tanahnya oleh penduduk

    76 Wawancara tanggal 30 September 2010 di Kantor Pertanahan Kota Batam

    Universitas Sumatera Utara

  • 97

    setempat diakui keberadaannya baik oleh aparat pemerintah kelurahan maupun

    masyarakat terlebih-lebih telah didukung oleh alas hak secara tertulis yang diterbitkan

    oleh aparat kelurahan setempat, sungguhpun tidak dapat dilegalkan dengan bukti

    formal melalui penerbitan sertipikat hak atas tanah oleh instansi pemerintah yang

    mengelola bidang pertanahan karena terbentur dengan aturan pengelolaan Pulau

    Batam yang ditetapkan oleh Presiden.

    D. Aturan Pengelolaan Pulau Batam

    Sebagaimana diuraikan di atas, bahwa sekalipun masyarakat di wilayah

    kepulauan Batam mempunyai bukti kepemilikan atas tanah berdasarkan penguasaan

    dan didukung oleh alas hak berupa surat tanah yang diterbitkan oleh aparat kelurahan,

    namun tidak dapat diterbitkan sertipikat karena telah ditetapkan oleh pemerintah

    sebagai obyek Hak Pengelolaan.

    Penetapan Pulau Batam sebagai wilayah pengembangan pembangunan

    sekaligus sebagai daerah obyek Hak Pengelolaan pertama kali didasarkan pada

    Keputusan Presiden Nomor 74 tahun 1971 tentang Pengembangan Pembangunan

    Pulau Batam, kemudian disempurnakan dengan Keputusan Presiden Nomor 41 tahun

    1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam.

    Setelah diteliti dari berbagai pengaturan yang ada, maka beberapa pengaturan

    dan kebijakan Pemerintah mengenai pengelolaan Pulau Batam dapat dikategorikan

    dalam beberapa hal, yakni tentang lembaga/badan pengelola, tentang wilayah

    lingkungan kerja dan tentang pengelolaan pertanahan.

    Universitas Sumatera Utara

  • 98

    1. Lembaga Badan Pengelola

    Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 41 tahun 1973 tentang Daerah

    Industri Pulau Batam, maka ditetapkan lembaga pengelola yang terdiri dari badan

    pengawas, badan otorita pengembangan dan perusahaan perseroan pengusahaan

    Daerah Industri Pulau Batam.

    Kemudian dilakukan perubahan pertama, dengan menerbitkan Keputusan

    Presiden Nomor 45 tahun 1978 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor

    41 tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam, dalam hal ini ada perubahan

    susunan badan pengawas.

    Kedua keputusan Preiden Nomor 58 tahun 1989 tentang Perubahan Keputusan

    Presiden Nomor 41 tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam sebagaimana

    telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 45 tahun 1978, dalam hal ini

    perubahan susunan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam.

    Ketiga, diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 94 tahun 1998 tentang

    Penyempurnaan Atas Keputusan Presiden Nomor 41 tahun 1973 tentang Daerah

    Industri Pulau Batam, dalam hal ini mengubah dewan pembina, otorita

    pengembangan dan perusahaan perseroan pengelola.

    Keempat, melalui Keputusan Presiden Nomor 113 tahun 2000 tentang

    Perubahan Keempat atas Keputusan Presiden Nomor 41 tahun 1973 tentang Daerah

    Industri Pulau Batam.

    Universitas Sumatera Utara

  • 99

    Kelima, dengan Keputusan Presiden Nomor 25 tahun 2005 tentang Perubahan

    Kelima atas Keputusan Presiden Nomor 41 tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau

    Batam.

    Kemudian dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1

    tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 36 tahun 2000 tentang

    Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti undang Undang Nomor 1 tahun 2000

    tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang Undang

    dan ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2007 tentang

    Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, ditentukan bahwa Otorita

    Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam diganti menjadi Badan Pengusahaan

    Kawasan Perdangaan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, berikut pengalihan asetnya.

    2. Wilayah Kerja

    Berdasarkan ketentuan Keputusan Presiden Nomor 41 tahun 1973 ditetapkan

    seluruh Pulau Batam sebagai lingkungan kerja daerah pengembangan industri.

    Selanjutnya sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 33 tahun 1974 tentang

    Penunjukan dan Penetapan Beberapa Wilayah Usaha bonded warehouse di Daerah

    Pulau Batam, maka sejumlah daerah ditetapkan sebagai kawasan berikat (bonded

    warehouse).

    Berikutnya disusul dengan penerbitan Keputusan Presiden Nomor 41 tahun

    1978 tentang Penetapan Seluruh Daerah Industri Pulau Batam sebagai wilayah

    bonded warehouse, dalam hal ini tidak ada pengeculian di wilayah Pulau Batam yang

    seluruhnya menjadi wilayah bonded warehouse.

    Universitas Sumatera Utara

  • 100

    Kemudian berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 56 tahun 1984 tentang

    Penambahan Wilayah Lingkungan Kerja Daerah Industri Pulau Batam dan

    Penetapannya sebagai wilayah Usaha bonded warehouse, dalam hal ini wilayah yang

    ditambah adalah pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Batam yaitu gugusan Pulau Janda

    Berhias, Pulau Tanjung Sauh, Pulau Ngenang, Pulau Kasem dan Pulau Moimoi.

    Berikutnya dengan Keputusan Presiden Nomor 28 tahun 1992 tentang

    Penambahan Wilayah Lingkungan Kerja Daerah Industri Pulau Batam dan

    Penetapannya sebagai wilayah Usaha Kawasan Berikat, dalam hal ini wilayah

    lingkungan kerja yang ditambah adalah Pulau Rempang dan Pulau Galang.

    Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang

    Nomor 1 tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 36 tahun 2000

    tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti undang Undang Nomor 1 tahun

    2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang

    Undang dan ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2007

    tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, ditentukan bahwa

    wilayah atau kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Batam meliputi Pulau

    Batam, Pulau Tonton, Pulau Setokok, Pulau Nipah, Pulau Rempang, Pulau Galang

    dan Pulau Galang Baru.

    Penyebutan nama-nama pulau tersebut tidak lagi mencantumkan gugusan

    pulau-pulau di sekitarnya, sehingga dapat diinterpretasikan bahwa hanya semua pulau

    yang disebutkan secara tegas yang menjadi kawasan perdagangan bebas dan

    pelabuhan bebas.

    Universitas Sumatera Utara

  • 101

    Dengan demikian hampir seluruh wilayah Kota Batam dimasukkan menjadi

    wilayah lingkungan kerja daerah industri Pulau Batam dan sekarang menjadi kawasan

    perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, hanya saja tidak diuraikan luas daerahnya

    3. Pengelolaan Bidang Pertanahan

    Khusus mengenai pengelolaan pertanahan, berdasarkan Keputusan Presiden

    Nomor 41 tahun 1973 dinyatakan bahwa seluruh areal tanah yang terletak di Pulau

    Batam diserahkan dengan Hak Pengelolaan kepada Ketua Otorita Pengembangan

    Daerah Industri Pulau Batam.

    Hak Pengelolaan tersebut memberi wewenang kepada Ketua Otorita

    Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam untuk :

    1. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah tersebut;

    2. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya;

    3. Menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dengan

    hak pakai sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 41 sampai dengan Pasal

    43 Undang Undang Pokok Agraria;

    4. Menerima uang pemasukan / ganti rugi dan uang wajib tahunan.

    Kemudian dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 tahun 1977

    tentang Pengelolaan dan Penggunaan Tanah di Daerah Industri Pulau Batam,

    diputuskan memberikan Hak Pengelolaan kepada Otorita Pengembangan Daerah

    Industri Pulau Batam atas seluruh areal tanah yang terletak di Pulau Batam termasuk

    areal tanah di gugusan Pulau-pulau Janda Berias, Tanjung Sau & Ngenang dan

    Pulau Kasem, untuk dipergunakan sebagai pengembangan daerah industri, pelabuhan,

    Universitas Sumatera Utara

  • 102

    pariwisata, pemukiman, peternakan, perikanan dan lain-lain usaha, sedang bagian-

    bagian dari tanah Hak Pengelolaan tersebut dapat diberikan kepada pihak ketiga

    dengan Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai.

    Kebijakan pemerintah berikutnya berkaitan dengan pengelolaan pertanahan di

    Pulau Batam adalah dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Negara

    Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9-VIII-1993 tanggal 13 Juni 1999

    tentang Pengelolaan dan Pengurusan Tanah di Daerah Industri Pulau Rempang, Pulau

    Galang dan pulau-pulau lain di sekitarnya.

    Dalam diktum keputusan tersebut dinyatakan kesediaan untuk memberikan

    hak pengelolaan kepada Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam atas

    seluruh areal tanah yang terletak di Pulau Rempang, Pulau Galang dan pulau-pulau

    lain di sekitarnya sebagaimana tergambar dalam lampiran Keputusan Presiden

    Nomor 28 tahun 1992.

    Diatur juga bahwa tanah yang akan diberikan dengan Hak Pengelolaan dan

    telah dilakukan pengukuran, akan diberikan dengan keputusan Kepala Badan

    Pertanahan Nasional secara bertahap (parsial) dan harus didaftarkan pada Kantor

    Pertanahan setempat untuk memperoleh tanda bukti berupa sertipikat dengan

    membayar biaya pendaftaran menurut ketentuan yang berlaku, sedangkan bagian-

    bagian dari Hak Pengelolaan yang akan diberikan kepada pihak ketiga diwajibkan

    untuk memenuhi ketentuan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun 1977.

    Sebagaimana telah ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 41 tahun

    1973 bahwa seluruh areal tanah yang terletak di Pulau Batam diserahkan dengan Hak

    Universitas Sumatera Utara

  • 103

    Pengelolaan, namun tidak dijelaskan apakah pendaftaran hak dilakukan sekaligus

    terhadap seluruh areal lokasi yang ditetapkan menjadi areal Hak Pengelolaan atau

    didaftarkan secara parsial (sebagian-sebagian), namun merujuk pada kalimat seluruh

    areal tanah yang terletak di Pulau Batam diserahkan dengan Hak Pengelolaan,

    seharusnya seluruh areal tersebut didaftarkan sekaligus dan diterbitkan satu sertipikat

    Hak Pengelolaan, namun kenyataannya, di Pulau Batam diterbitkan sertipikat Hak

    Pengelolaan secara parsial, mengikuti aturan dalam Keputusan Menteri Negara

    Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9-VIII-1993.

    Penerbitan sertipikat Hak Pengelolaan dapat dilakukan setelah terlebih dahulu

    dilakukan pengukuran untuk mengetahui luas tanah yang pasti dan didaftarkan pada

    Kantor Pertanahan setempat.

    Berdasarkan data yang diperoleh dari Kantor Pertanahan, sejak tahun 1987

    sampai dengan 2010, telah diterbitkan Sertipikat Hak Pengelolaan secara parsial

    kepada Otorita Batam sebanyak 160 (seratus enam puluh) persil, dengan uraian

    sebagai berikut :

    Tabel 2

    Jumlah Sertipikat Hak Pengelolaan Berdasarkan Tahun Terbit

    No Tahun

    Terbit

    Lokasi

    Jumlah

    Persil

    Luas

    (M2) 1 2 3 4 5

    1 1987 Tiban 1 192.500

    Universitas Sumatera Utara

  • 104

    2 1988 Lubuk Baja Kota 3 1.509.100

    3 1989 Tiban 1 1592600

    4 1990 Lubuk Baja Kota 1 2.377.900

    1. P. Buluh 1 394.410 5 1991

    2. Kabil 1 1.947.522

    1. Tiban 1 49.000

    2. Sekupang 1 2.865.000

    3. Pulau Buluh 3 2.428.765

    4. Lubuk Baja Kota 1 1.220.000 5. Lubuk Baja Timur 3 4.720.000 6. Lubuk Baja Utara 1 8.510.000 7. S. Beduk 3 1.746.430

    6 1992

    8. Nongsa 1 23.645

    1. Tiban 1 2.503.510

    2. Sekupang 1 8.045.000

    3. P. Buluh 3 6.940.045

    4. Lubuk Baja Utara 1 812.874 5. S. Beduk 3 5.198.435

    6. Nongsa 1 170.505

    7 1993

    7. Kabil 4 4.398.660

    1 2 3 4 5

    Universitas Sumatera Utara

  • 105

    1. Tiban 1 7.134.977

    2. P. Buluh 2 1.765.878

    3. Lubuk Baja Timur 1 971.841 4. S. Beduk 1 2.250.000

    8 1994

    5. Nongsa 1 1.989.575

    1. Tiban 1 9.086.251

    2. P. Buluh 1 128.181

    3. Lubuk Baja Timur 1 2.413.064 4. S. Beduk 1 6.741.992

    9 1995

    5. Nongsa 2 1.928.744

    1. Tiban 1 2.604.450

    2. P. Buluh 3 17.121.507

    3. Nongsa 1 703.220

    10 1996

    4. Kabil 1 1.938.650

    1. P. Buluh 1 1.853.500

    2. Lubuk Baja Timur 1 2.181.427 11 1997

    3. Lubuk Baja Utara

    1 141.227

    1. P. Buluh 1 4.987.858

    2. Lubuk Baja Utara 1 40.386 3. S. Beduk 4 13.202.247

    12 1998

    4. Nongsa 1 2.016.070

    13 1999 Tiban Asri

    1 768.895

    Universitas Sumatera Utara

  • 106

    1. Sagulung 1 150.931 14 2000

    2. Tanjung Riau

    1 49.613

    15 2001 Nongsa 3 1.629.257

    1. Sagulung 1 30.006 16 2002

    2. Batu Aji 2 73.659

    1. Tanjung Piayu 1 4.246.000 2. Nongsa 1 880.930

    3. Belian 2 6.211.226

    4. Tanjung Riau 1 9.532.600 5. Sagulung 3 3.958.830

    6. Sungai Harapan 1 863.600

    7. Baloi Permai 1 493.760

    8. Batu Aji 1 51.507 9. Teluk Tering 1 750.339

    17 2004

    10. Kabil 1 100.000

    1. Teluk Tering 1 1.486.390

    2. Kabil 1 74.143

    3. Tiban Asri 3 248.073

    4. Bengkong Laut 3 2.269.977

    5. Batu Aji 1 304.872

    18 2005

    6. Tanjung Uma 1 61.790

    Universitas Sumatera Utara

  • 107

    1 2 3 4 5

    1. Belian 2 204.776

    2. Sagulung 2 61.881

    3. Tiban Asri 2 232.079

    4. Kabil 1 50.000

    5. Tanjung Riau 1 23.325

    19 2006

    6. Sungai Jodoh

    1 28.001

    1. Belian 5 216.454

    2. Batu Aji 1 30.286 3. Benkong Laut 1 69.998

    4. Tiban Asri 1 24.040

    5. Muka Kuning 1 48.703

    6. Kabil 1 20.000

    20 2007

    7. Sungai Langkai 1 40.103

    1. Belian 10 1.347.169

    2. Kabil 3 83.343

    3. Tembesi 9 885.472

    4. Sungai Lekop 1 79.941

    5. Tanjung Uma 2 44.502 6. Sungai Jodoh 1 112.289

    7. Kibing 1 17.311

    21 2008

    8. Sagulung 1 100.053

    1. Tembesi 4 493.815 22 2009

    2. Bukit Tempayan 1 26.235

    Universitas Sumatera Utara

  • 108

    3. Sungai Pelunggut 1 374.575

    4. Tanjung Uma 1 10.580

    1. Batu Besar 1 51.078

    2. Tembesi 6 677.768

    3. Belian 1 10.000

    23 2010

    4. Tanjung Uncang 1 17.148 Jumlah 160 178.464.69

    Sumber : Data dari Kantor Pertanahan Kota Batam yang diolah, 2010

    Terhadap pemberian Hak Pengelolaan tersebut, baik yang diatur dan

    ditetapkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 tahun 1977 maupun

    Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor : 9-VIII-1993 ditentukan

    persyaratan antara lain apabila di atas areal tanah yang diberikan dengan Hak

    Pengelolaan masih terdapat tanah, bangunan dan tanaman milik rakyat, maka harus

    dibebaskan dengan ketentuan pembayaran ganti ruginya wajib diselesaikan terlebih

    dahulu oleh penerima hak demikian pula pemindahan penduduk ke tempat

    pemukiman baru atas dasar musyawarah.

    Dengan adanya ketentuan tersebut, maka Pemerintah masih mengakui

    pemilikan dan penguasaan tanah oleh masyarakat sekalipun di atas tanah yang sudah

    ditetapkan sebagai areal Hak Pengelolaan milik Otorita Batam, karena pada

    kenyataannya, banyak pemukiman penduduk dan juga perladangan yang sudah ada

    sebelum ditetapkannya pemberian Hak Pengelolaan tersebut.

    Universitas Sumatera Utara

  • 109

    Pada saat dilakukan pembebasan tanah yang dikuasai oleh masyarakat

    tersebut, maka pembayaran ganti ruginya juga dilakukan secara parsial sama dengan

    permohonan pengukuran dan pendaftaran Hak Pengelolaan dimaksud.

    Perkembangan yang terjadi di lapangan, menurut M. Rizal, setelah menerima

    keputusan tentang pemberian Hak Pengelolaan, pihak Otorita Batam seharusnya

    melakukan pembebasan tanah atas seluruh areal yang ditunjuk dalam surat keputusan

    pemberian Hak Pengelolaannya, namun hal tersebut tidak dilaksanakan dan pada

    kenyataanya suatu bidang tanah baru dibebaskan dari penguasaan rakyat apabila

    sudah ada investor yang hendak membelinya, bahkan ada investor yang terlebih

    dahulu membebaskan tanahnya dari penguasaan penduduk baru kemudian membeli

    tanahnya dari Otorita Batam.

    Oleh karena yang melakukan pembebasan tanah adalah investor sementara

    tanahnya tidak langsung dikuasai oleh investor karena menunggu proses pembelian

    dari Otorita Batam, maka tanah yang kosong sering digarap kembali oleh masyarakat,

    sehingga tidak jarang terjadi dua kali pembebasan tanah di suatu tempat.

    Menurut penelitian Muhammad Thamzil,77 dalam rangka pembebasan tanah

    dari penguasaan masyarakat, sebagian penduduk ada yang dipindahkan dan diberikan

    suatu lokasi yang dijadikan tempat pemukiman baru (relokasi), namun dalam

    pelaksanaannya tidak diikuti dengan pemberian kepastian status tanahnya hanya

    77 Muhammad Thamzil, Pemberian Hak Pengelolaan kepada Otorita Pengembangan Daeran

    Industri Pulau Batam (OPDIB) dan Implementasinya kepada Pihak Pengembang (developer) di Kota Batam, Tesis, Program Studi Magister Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Universitas Batam, 2010, hal.aman 51

    Universitas Sumatera Utara

  • 110

    diberikan penunjukan penetapan lokasi (PL), sehingga saat ini masih ada masyarakat

    yang ingin memperoleh sertipikat, namun tidak diproses karena tidak memenuhi

    syarat seperti tidak mempunyai surat keputusan pengalokasian dan penggunaan tanah

    dari Ketua Otorita atau tidak melakukan pembayaran Uang Wajib Tahunan Otorita

    (UWTO).

    Kemudian terhadap tanah yang berada di Pulau Rempang, Pulau Galang dan

    pulau-pulau lain di sekitarnya yang telah ditetapkan oleh Pemerintah dengan

    kesediaan untuk memberikan hak pengelolaan kepada Otorita Pengembangan

    Daerah Industri Pulau Batam, sebagaimana dinyatakan dalam Keputusan Menteri

    Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9-VIII-1993 tanggal 13

    Juni 1999, hingga saat ini belum ada bidang tanah yang diberikan sertipikat Hak

    Pengelolannya, sehingga dapat dikatakan surat keputusan tersebut belum dapat

    dilaksanakan.

    Menurut M. Rizal, keputusan tersebut tidak dapat dilaksanakan karena

    disebabkan beberapa hal, antara lain :

    1. Belum ada permohonan dari pihak Otorita Batam;

    2. Ada penguasaan tanah oleh masyarakat dan belum dilakukan

    pembebasannya;

    3. Ada areal yang masuk kawasan hutan, seperti di Pulau Rempang masuk

    kawasan hutan baru dengan surat keputusan Menteri Kehutanan tahun 1986

    ;

    Universitas Sumatera Utara

  • 111

    4. Di pulau-pulau lain juga pihak instansi kehutanan masih keberatan untuk

    diproses Hak Pengelolaan sampai ada ijin pelepasan dari kawasan hutan.

    Dengan demikian, untuk dapat diproses permohonan Hak Pengelolaan dari

    Otorita Batam, instansi Badan Pertanahan Nasional mensyaratkan harus jelas

    obyeknya, bebas dari penguasaan masyarakat dan bebas dari kawasan hutan, baru

    kemudian dapat dilakukan pengukuran, pendaftaran dan penerbitan sertipikatnya.

    Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang

    Nomor 1 tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 36 tahun 2000

    tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 tahun

    2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang

    Undang yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2007

    tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, secara substantif

    tidak lebih dari sekedar penggantian nama dari Otorita Pengembangan Daerah

    Industri Pulau Batam menjadi Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan

    Pelabuhan Bebas Batam, sedang peraturan teknis di bidang pertanahan tetap harus

    disesuaikan dengan kebijakan pertanahan nasional sehingga tidak menimbulkan

    ketimpangan peraturan.78

    78 Ny. Arie Sakanti Hutagalung dan Markus Gunawan, Op.cit., halaman 207

    Universitas Sumatera Utara