Upload
r-endro-sulistyono
View
9
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN
Tinjauan Pustaka
Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik
yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan dan
minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku
pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan
atau pembuatan makanan dan minuman.
Pangan dikelompokkan menjadi sembilan kelompok yakni :
1. Padi- padian
Terdiri dari beras, jagung, terigu.
2. Makanan berpati atau umbi- umbian
Terdiri dari kentang, ubi kayu, ubi jalar, sagu, talas dan umbi- umbian lain.
3. Pangan hewani
Terdiri dari ikan, daging, susu, telur.
4. Minyak dan lemak
Terdiri dari minyak kelapa, minyak jagung, minyak kelapa sawit dan
margarin.
5. Buah dan biji berminyak
Terdiri dari kelapa, kemiri, kenari, mete, dan coklat.
6. Kacang- kacang lainnya.
7. Gula
Terdiri dari gula pasir, gula merah dan gula lainnya.
Universitas Sumatera Utara
8. Sayur dan buah
Adalah seluruh jenis sayur dan buah yang biasa dikonsumsi.
9. Lain- lain
Terdiri dari teh, kopi, bumbu makanan dan minuman beralkohol.
(BKP, 2010).
Kemiskinan Penentuan batas kemiskinan yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik
(BPS) mengacu pada kebutuhan minimal yang setara dengan kebutuhan energi
sebesar 2.100 kalori per kapita per hari ditambah dengan pemenuhan kebutuhan
minimum non-makanan. Patokan 2.100 kalori ditentukan berdasarkan hasil
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi yang menyatakan bahwa hidup sehat rata-
rata setiap orang harus mengkonsumsi makanan setara 2.100 kalori per kapita per
hari (BPS Sumut, 2009).
Berdasarkan kriteria BPS dengan pendekatan kebutuhan dasar, yaitu
penduduk miskin adalah penduduk yang tidak bisa mencukupi kebutuhan
dasarnya berupa kebutuhan pangan dan kebutuhan lainnya. Penentuan dibawah
garis kemiskinan didasarkan pada pengukuran pendapatan/ pengeluaran penduduk
untuk mencukupi kebutuhan dasar yaitu berupa kebutuhan untuk konsumsi energi
sebesar 2100 kalori perkapita perhari, sehingga apabila penghasilannya ada
dibawah konversi tersebut maka termasuk pada kategori penduduk miskin.
Besaran garis kemiskinan akan berada antar waktu, antar wilayah karena adanya
tingkat kemahalan antar wilayah dan antara desa dan kota (Todaro, 2000).
Universitas Sumatera Utara
Konsep kemiskinan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kemiskinan menurut Inpres nomor 12 Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Program
Raskin, dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok. Hal ini dapat dilihat dari
tingkat pengeluaran keluarga yang terdiri atas 4 anggota keluarga.
1. Golongan sangat miskin adalah mereka yang mengkonsumsi makanan senilai
sampai dengan 1.900 kalori per hari, yang senilai dengan Rp.120.000,- per
minggu atau bila disetarakan dengan pengeluaran per bulannya adalah
Rp.480.000,- per rumah tangga per bulan.
2. Golongan miskin adalah mereka yang mengkonsumsi makanan senilai sampai
2.100 kalori per hari, yang senilai dengan Rp.150.000,- per minggu atau bila
disetarakan dengan pengeluaran per bulannya adalah Rp.600.000,- per rumah
tangga per bulan.
3. Golongan hampir miskin yaitu mereka yang mengkonsumsi makanan senilai
sampai dengan 2.300 kalori per hari, yang senilai sampai dengan Rp.175.000,-
per minggu atau bila disetarakan dengan pengeluaran per bulannya adalah
Rp.700.000,- per rumah tangga per bulan (Asa’ad, 2007).
Pengeluaran Rumah Tangga
Tingkat pengeluaran terdiri atas dua kelompok, yaitu pengeluaran untuk
makanan dan bukan makanan. Tingkat kebutuhan/ permintaan (demand) terhadap
kedua kelompok tersebut pada dasarnya berbeda- beda. Dalam kondisi pendapatan
terbatas, kebutuhan makanan didahulukan, sehingga pada kelompok masyarakat
berpendapatan rendah akan terlihat bahwa sebagian besar pendapatannya
digunakan untuk membeli makanan. Seiring dengan peningkatan pendapatan,
maka lambat laun akan terjadi pergeseran pola pengeluaran, yaitu penurunan porsi
Universitas Sumatera Utara
pendapatan yang dibelanjakan untuk makanan dan peningkatan porsi pendapatan
yang dibelanjakan untuk bukan makanan (BKP, 2010).
Pergeseran komposisi dan pola pengeluaran tersebut terjadi karena
elastisitas permintaan terhadap makanan secara umum rendah, sedangkan
elastisitas terhadap kebutuhan bukan makanan relatif tinggi. Keadaan ini jelas
terlihat pada kelompok penduduk yang tingkat konsumsi makanannya sudah
mencapai titik jenuh, sehingga peningkatan pendapatan digunakan untuk
memenuhi kebutuhan barang bukan makanan, sedangkan sisa pendapatan dapat
disimpan sebagai tabungan (saving) atau diinvestasikan (BKP, 2010).
Uraian di atas dapat menjelaskan bahwa pola pengeluaran merupakan
salah satu variabel yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan
(ekonomi penduduk), sedangkan pergeseran komposisi pengeluaran dapat
mengindikasikan perubahan tingkat kesejahteraan penduduk (BKP, 2010).
Faktor - faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan rumah tangga
miskin:
1. Pendapatan Keluarga
Tingkat pendapatan yang tinggi akan memberi peluang yang lebih besar
bagi keluarga untuk memilih pangan dalam jumlah maupun jenisnya. Keluarga
atau masyarakat yang berpenghasilan rendah mempergunakan sebagian besar dari
penghasilannya untuk membeli makanan, dan semakin tinggi penghasilan
semakin menurun proporsi yang digunakan untuk membeli makanan. Rumah
tangga yang tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan akan
berakibat buruk pada status gizi anggota rumah tangganya. Pendapatan
mempunyai hubungan yang erat dengan perubahan dan perbaikan konsumsi
Universitas Sumatera Utara
pangan dimana perubahan pendapatan secara langsung dapat mempengaruhi
perubahan konsumsi pangan keluarga. Meningkatnya pendapatan berarti
memperbesar peluang untuk membeli pangan dengan kuantitas dan kualitas yang
lebih baik. Sebaliknya penurunan pendapatan akan menyebabkan penurunan
dalam hal kualitas dan kuantitas pangan yang dibeli (Hardiansyah, 1985).
Menurut Suhardjo (1989) hubungan pekerjaan dengan pendapatan
merupakan faktor yang paling menentukan terhadap kuantitas dan kualitas
makanan. Jelas ada hubungan antara pendapatan dengan gizi yang didorong oleh
pendapatan yang meningkat.
Hal tersebut juga dikemukakan oleh Berg (1986) bahwa terdapat hubungan
yang erat antara pendapatan dan gizi, dimana peningkatan pendapatan akan
memperbaiki kesehatan dan gizi. Namun pengeluaran pangan yang bertambah
tidak selalu membawa perbaikan pada susunan makanannya. Orang yang lebih
banyak membelanjakan uang yang dimiliki untuk pangan mungkin akan makan
lebih banyak, tetapi belum tentu mutu makanannya lebih baik.
Berbagai upaya perbaikan gizi biasanya berorientasi pada tingkat
pendapatan. Seiring makin meningkatnya pendapatan, maka kecukupan akan
makanan dapat terpenuhi. Dengan demikian pendapatan merupakan faktor utama
dalam menentukan kualitas dan kuantitas bahan makanan. Besar kecilnya
pendapatan rumah tangga tidak lepas dari jenis pekerjaan ayah dan ibu serta
tingkat pendidikannya (Soekirman, 2000).
Pada rumah tangga dengan pendapatan rendah, 60-80 % dari
pendapatannya dibelanjakan untuk makanan. Elastisitas pendapatan untuk
makanan yang digambarkan dari persentase perubahan kebutuhan akan makanan
Universitas Sumatera Utara
untuk tiap 1 % perubahan pendapatan, lebih besar pada rumah tangga yang miskin
dibandingkan pada rumah tangga kaya (Soekirman, 2000).
Pengeluaran rumah tangga sebagai proksi dari pendapatan mempengaruhi
tingkat konsumsi rumah tangga. Semakin besar pengeluaran total mengakibatkan
konsumsi energi rumah tangga juga bertambah dengan kata lain apabila
pengeluaran total rumah tangga bertambah maka pertambahan tersebut digunakan
untuk memenuhi kekurangan konsumsi energi (Arifin dan Sudaryanto,1991).
Upaya pemenuhan konsumsi makanan yang bergizi berkaitan erat dengan
daya beli rumah tangga. Rumah tangga dengan pendapatan terbatas, kurang
mampu memenuhi kebutuhan makanan yang diperlukan tubuh, setidaknya
keanekaragaman bahan makan kurang bisa dijamin karena dengan uang yang
terbatas tidak akan banyak pilihan. Akibatnya kebutuhan makanan untuk tubuh
tidak terpenuhi (Apriadji, 1986).
2. Tingkat Pendidikan Ibu
Tingkat pendidikan dapat juga dijadikan cerminan keadaan sosial ekonomi
di dalam masyarakat (Hidayat, 2005). Semakin tinggi pendidikan atau
keterampilan yang dimiliki seseorang semakin tinggi investasi yang diperlukan.
Dan tingkat pendidikan istri, disamping merupakan modal utama dalam
menunjang perekonomian keluarga juga berperan dalam penyusunan pola makan
keluarga.
Hidayat (2005) juga berpendapat bahwa pendidikan ibu merupakan faktor
yang sangat penting. Tinggi rendahnya pendidikan ibu erat kaitannya dengan
tingkat perawatan kesehatan, hygiene, kesadaran terhadap keluarga, disamping
berpengaruh pada faktor sosial ekonomi lainnya seperti pendapatan, pekerjaan,
Universitas Sumatera Utara
makan dan perumahan. Ibu memegang peranan penting pada pengelolaan rumah
tangga. Tingkat pendidikan ibu terutama dapat menentukan sikap pengetahuan
dan keterampilannya dalam menentukan makanan keluarga.
Soekirman (2000) mengemukakan bahwa pada bagan penyebab
kekurangan gizi oleh Unicef 1998 tercantum bahwa meski secara tidak langsung
namun tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya
kekurangan gizi. Dari sudut sosial ekonomi, tingkat pendidikan ibu rumah tangga
merupakan salah satu aspek yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat
kesejahteraan suatu rumah tangga. Tingkat pendidikan formal seorang ibu
seringkali berhubungan positif dengan peningkatan pola konsumsi makanan
rumah tangga. Hal ini termasuk upaya mencapai status gizi yang baik pada anak-
anaknya.
Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang untuk
menyerap informasi dan mengimplementasikan dalam perilaku dan gaya hidup
sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi (Atmarita, 2004).
3. Jumlah Anggota Keluarga
Anggota rumah tangga adalah semua orang yang biasanya bertempat
tinggal di suatu rumah tangga, baik berada di rumah pada saat pencacahan
maupun sementara tidak ada. Anggota rumah tangga yang telah bepergian 6 bulan
atau lebih, dan anggota rumah tangga yang bepergian kurang dari 6 bulan tetapi
bertujuan pindah atau akan meninggalkan rumah 6 bulan atau lebih, tidak
dianggap anggota rumah tangga. Orang yang telah tinggal di suatu rumah tangga 6
bulan atau lebih, atau yang telah tinggal di suatu rumah tangga kurang dari 6
Universitas Sumatera Utara
bulan tetapi berniat menetap di rumah tangga tersebut, dianggap sebagai anggota
rumah tangga (BPS, 2004).
Keluarga yang sangat miskin, akan lebih mudah memenuhi kebutuhan
makanan apabila anggota keluarganya kecil. Keluarga yang mempunyai jumlah
anggota besar apabila persediaan pangan cukup belum tentu dapat mencegah
gangguan gizi, karena dengan bertambahnya jumlah anggota keluarga maka
pangan untuk setiap anggota keluarganya berkurang.
Sedangkan Sanjur (1982) menyatakan bahwa besar keluarga mempunyai
pengaruh pada belanja pangan. Pendapatan perkapita dan belanja pangan akan
menurun sejalan dengan meningkatnya jumlah anggota keluarga. Nilai absolut
belanja pangan akan meningkat pada jumlah anggota keluarga yang besar tetapi
belanja pangan perkapita menurun sejalan dengan ukuran ekonomi yang ada.
Pendapatan perkapita menurun dengan meningkatnya jumlah anggota keluarga.
Pemantauan konsumsi gizi tingkat rumah tangga tahun 1995-1998 juga
menyatakan bahwa jumlah anggota rumah tangga yang semakin banyak, akan
semakin mengalami kecenderungan turunnya rata-rata asupan energi dan protein
per kapita per hari yang ditunjukkan dengan prevalensi tertinggi pada rumah
tangga yang beranggotakan diatas enam orang.
4. Jumlah Beras Raskin yang Diterima
Pada 2002, pemerintah mengganti nama OPK (Operasi Pasar Khusus)
menjadi Program Raskin agar lebih mencerminkan sifat program, yakni sebagai
bagian dari program perlindungan sosial bagi RTM (Rumah Tangga Miskin), tidak
lagi sebagai program darurat penanggulangan dampak krisis ekonomi. Penetapan
jumlah beras per bulan per RTM yang pada awalnya 10 kg, selama beberapa tahun
berikutnya bervariasi dari 10 kg hingga 20 kg, dan pada 2009 menjadi 15 kg.
Universitas Sumatera Utara
Frekuensi distribusi yang pada tahun-tahun sebelumnya 12 kali, pada 2006 berkurang
menjadi 10 kali, dan pada 2007 sampai sekarang ini kembali menjadi 12 kali per
tahun.
Program Raskin ini bertujuan untuk mengurangi beban pengeluaran dari
rumah tangga miskin sebagai bentuk dukungan dalam meningkatkan ketahanan
pangan dengan memberikan perlindungan sosial beras murah dengan jumlah
maksimal 15 Kg/rumah tangga miskin/bulan dengan masing-masing seharga Rp.
1600,00/Kg (Netto) (BPS,2004).
5. Jarak Rumah dengan Pasar/ Sumber Pangan
Akses fisik pangan dapat berupa jumlah maupun jarak pasar ataupun
warung, serta ketersediaan pangan secara fisik di warung/ pasar. Dan tentunya
semakin baik/ semakin dekat akses untuk mendapatkan pangan maka semakin
kecil juga pengeluaran pangan untuk mendapatkan pangan tersebut
( Anonimous, 2011 ).
Universitas Sumatera Utara
Landasan Teori
Teori Konsumsi John Maynard Keynes
John Maynard Keynes (1969) dalam General Theory nya membuat fungsi
konsumsi sebagai pusat fluktuasi ekonominya dan teori itu telah memainkan peran
penting dalam analisis makro ekonomi sampai saat ini. Keynes membuat dugaan
tentang fungsi ekonomi berdasarkan intropeksi dan observasi kasual.
Dugaan pertama Keynes adalah bahwa kecendrungan mengkonsumsi
marginal adalah antara nol dan satu. Ia menulis bahwa “hukum psikologis
fundamental, dengan apa kita dinisbikan untuk tergantung pada keyakinan yang
besar adalah bahwa manusia diatur, sebagai peraturan atau berdasarkan rata-rata,
untuk meningkatkan konsumsi ketika pendapatan mereka naik, tetapi tidak
sebanyak kenaikan dalam pendapatan mereka”.
Dugaan kedua, Keynes menyatakan bahwa rasio konsumsi terhadap
pendapatan yang disebut kecendrungan mengkonsumsi rata-rata turun ketika
pendapatan naik. Ia percaya bahwa tabungan adalah kemewahan sehingga ia
berharap orang kaya menabung proporsi yang lebih tinggi dari pendapatan mereka
ketimbang si miskin.
Ketiga, Keynes berpendapat bahwa pendapatan merupakan determinan
yang penting dan tingkat bunga tidak memiliki peran penting. Keynes mengatakan
bahwa pengaruh tingkat bunga terhadap konsumsi hanya sebatas teori
(Nanga, 2001).
Universitas Sumatera Utara
Teori Konsumsi Dengan Hipotesis Pendapatan Relatif (Relative Income Hipothesis)
Teori konsumsi dengan menggunakan hipotesis pendapatan relatif
dikemukakan oleh James Duesenberry dengan bukunya Income, Saving, and the
Theory of Consummer Behavior, bermaksud merekonsiliasi hubungan yang tidak
proporsional dan yang proporsional antara konsumsi dengan pendapatan dengan
maksud agar diperoleh gambaran mengenai alasan sebab- sebab timbulnya
perbedaan tersebut.
Di dalam teorinya, Duesenberry menggunakan dua asumsi yang digunakan
untuk mengamati faktor- faktor yang dapat berpengaruh terhadap pengeluaran
konsumsi seseorang.
a) Selera rumah tangga atas barang konsumsi adalah interdependen. Artinya,
pengeluaran konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh pengeluaran konsumsi
yang dilakukan oleh masyarakat sekitarnya (tetangga). Jadi faktor lingkungan
dapat berpengaruh terhadap pengeluaran konsumsi.
b) Pengeluaran konsumsi adalah irreversible. Artinya, pola pengeluaran pada
saat penghasilan naik berbeda dengan pola pengeluaran pada saat penghasilan
mengalami penurunan. Di dalam hal ini dikatakan bahwa pengeluaran
konsumsi seseorang dalam jangka pendek dapat dipengaruhi oleh besarnya
pendapatan relatif. Pendapatan relatif disini adalah merupakan pendapatan
tertinggi yang pernah dicapai oleh seseorang. Sebagai misal, apabila
pendapatan seseorang mengalami kenaikan maka secara otomatis konsumsi
juga mengalami kenaikan dengan proporsi tertentu, dan sebaliknya bila
pendapatan mengalami penurunan maka akan diikuti juga oleh penurunan
Universitas Sumatera Utara
konsumsinya. Akan tetapi, proporsi penurunannya lebih kecil dibandingkan
proporsi akibat kenaikan pendapatan tadi
(Waluyo, D. E., 2002).
Hukum Engel
Untuk komoditas pangan, peningkatan pendapatan tidak diikuti dengan
peningkatan permintaan yang progresif. Berdasarkan hal tersebut dengan asumsi
harga pangan yang dibayar rumah tangga adalah sama, maka menurut hukum
Engel pangsa pengeluaran pangan terhadap pengeluaran rumah tangga akan
semakin berkurang dengan meningkatnya pendapatan. Untuk lebih jelasnya kurva
Engel dapat dilihat pada Gambar 1 Berikut ini :
Jumlah (X)
X 2
X1
0 M1 M 2 Pendapatan (M)
Gambar 1. Kurva Engel untuk Barang Kebutuhan Pokok
Perubahan pendapatan nominal tidak berpengaruh banyak terhadap
perubahan permintaan. Bahkan jika pendapatan terus meningkat, permintaan
terhadap barang tersebut perubahannya makin kecil dibanding perubahan
pendapatan. Jika dikaitkan dengan konsep elastisitas, maka elastisitas pendapatan
Universitas Sumatera Utara
dari barang kebutuhan pokok makin kecil bila tingkat pendapatan nominal makin
tinggi
(Deaton dan Muelbauer, 1980).
Kerangka Pemikiran
Tingkat kemiskinan di Indonesia dapat dilihat dari seberapa besar rumah
tangga tersebut mengeluarkan uang mereka untuk mengkonsumsi kebutuhan
makanan sebagai kebutuhan dasar untuk hidup. Banyak hal yang dapat
mempengaruhi tingkat pengeluaran suatu rumah tangga miskin untuk
mengkonsumsi makanan itu sendiri. Beberapa faktor yang memberikan pengaruh
terhadap pengeluaran untuk mengkonsumsi pangan itu sendiri dapat kita bagi
menjadi dua kelompok yaitu faktor ekonomi ( pendapatan keluarga dan jumlah
beras raskin yang diterima) dan faktor sosial (tingkat pendidikan ibu, jumlah
anggota keluarga, dan jarak rumah tangga dengan pasar/ sumber pangan). Dengan
berorientasi pada faktor-faktor tersebut diatas diharapkan dapat memberikan
gambaran mengenai hal-hal apa saja yang diperlukan kelak dalam mengurangi
tingkat kemiskinan rumah tangga terkhusus di Kecamatan Medan Belawan.
Universitas Sumatera Utara
Secara skematis kerangka pemikiran dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran
Keterangan:
: Menyatakan hubungan
: Menyatakan pengaruh
Pengeluaran untuk Konsumsi
Pangan
Pangsa Pengeluaran Pangan (PP)
Faktor Ekonomi : • Pendapatan Keluarga • Jumlah Beras Raskin yang
Diterima
Faktor Sosial : • Tingkat Pendidikan Ibu • Jumlah Anggota Keluarga • Jarak Rumah Tangga
dengan Pasar/ Sumber Pangan
Rumah Tangga Miskin
Universitas Sumatera Utara
Hipotesis Penelitian
1. Faktor pendapatan rumah tangga, tingkat pendidikan Ibu, jumlah anggota
keluarga, jumlah beras raskin yang diterima, dan jarak rumah dengan
pasar/sumber pangan memberikan pengaruh yang nyata terhadap
pengeluaran untuk konsumsi pangan rumah tangga miskin di Kecamatan
Medan Belawan.
2. Pangsa pengeluaran untuk konsumsi pangan rumah tangga miskin di
wilayah penelitian ≥ 60 %.
Universitas Sumatera Utara