15
TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan dan minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan dan minuman. Pangan dikelompokkan menjadi sembilan kelompok yakni : 1. Padi- padian Terdiri dari beras, jagung, terigu. 2. Makanan berpati atau umbi- umbian Terdiri dari kentang, ubi kayu, ubi jalar, sagu, talas dan umbi- umbian lain. 3. Pangan hewani Terdiri dari ikan, daging, susu, telur. 4. Minyak dan lemak Terdiri dari minyak kelapa, minyak jagung, minyak kelapa sawit dan margarin. 5. Buah dan biji berminyak Terdiri dari kelapa, kemiri, kenari, mete, dan coklat. 6. Kacang- kacang lainnya. 7. Gula Terdiri dari gula pasir, gula merah dan gula lainnya. Universitas Sumatera Utara

Chapter II

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Chapter II

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

Tinjauan Pustaka

Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik

yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan dan

minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku

pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan

atau pembuatan makanan dan minuman.

Pangan dikelompokkan menjadi sembilan kelompok yakni :

1. Padi- padian

Terdiri dari beras, jagung, terigu.

2. Makanan berpati atau umbi- umbian

Terdiri dari kentang, ubi kayu, ubi jalar, sagu, talas dan umbi- umbian lain.

3. Pangan hewani

Terdiri dari ikan, daging, susu, telur.

4. Minyak dan lemak

Terdiri dari minyak kelapa, minyak jagung, minyak kelapa sawit dan

margarin.

5. Buah dan biji berminyak

Terdiri dari kelapa, kemiri, kenari, mete, dan coklat.

6. Kacang- kacang lainnya.

7. Gula

Terdiri dari gula pasir, gula merah dan gula lainnya.

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Chapter II

8. Sayur dan buah

Adalah seluruh jenis sayur dan buah yang biasa dikonsumsi.

9. Lain- lain

Terdiri dari teh, kopi, bumbu makanan dan minuman beralkohol.

(BKP, 2010).

Kemiskinan Penentuan batas kemiskinan yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik

(BPS) mengacu pada kebutuhan minimal yang setara dengan kebutuhan energi

sebesar 2.100 kalori per kapita per hari ditambah dengan pemenuhan kebutuhan

minimum non-makanan. Patokan 2.100 kalori ditentukan berdasarkan hasil

Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi yang menyatakan bahwa hidup sehat rata-

rata setiap orang harus mengkonsumsi makanan setara 2.100 kalori per kapita per

hari (BPS Sumut, 2009).

Berdasarkan kriteria BPS dengan pendekatan kebutuhan dasar, yaitu

penduduk miskin adalah penduduk yang tidak bisa mencukupi kebutuhan

dasarnya berupa kebutuhan pangan dan kebutuhan lainnya. Penentuan dibawah

garis kemiskinan didasarkan pada pengukuran pendapatan/ pengeluaran penduduk

untuk mencukupi kebutuhan dasar yaitu berupa kebutuhan untuk konsumsi energi

sebesar 2100 kalori perkapita perhari, sehingga apabila penghasilannya ada

dibawah konversi tersebut maka termasuk pada kategori penduduk miskin.

Besaran garis kemiskinan akan berada antar waktu, antar wilayah karena adanya

tingkat kemahalan antar wilayah dan antara desa dan kota (Todaro, 2000).

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Chapter II

Konsep kemiskinan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

kemiskinan menurut Inpres nomor 12 Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Program

Raskin, dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok. Hal ini dapat dilihat dari

tingkat pengeluaran keluarga yang terdiri atas 4 anggota keluarga.

1. Golongan sangat miskin adalah mereka yang mengkonsumsi makanan senilai

sampai dengan 1.900 kalori per hari, yang senilai dengan Rp.120.000,- per

minggu atau bila disetarakan dengan pengeluaran per bulannya adalah

Rp.480.000,- per rumah tangga per bulan.

2. Golongan miskin adalah mereka yang mengkonsumsi makanan senilai sampai

2.100 kalori per hari, yang senilai dengan Rp.150.000,- per minggu atau bila

disetarakan dengan pengeluaran per bulannya adalah Rp.600.000,- per rumah

tangga per bulan.

3. Golongan hampir miskin yaitu mereka yang mengkonsumsi makanan senilai

sampai dengan 2.300 kalori per hari, yang senilai sampai dengan Rp.175.000,-

per minggu atau bila disetarakan dengan pengeluaran per bulannya adalah

Rp.700.000,- per rumah tangga per bulan (Asa’ad, 2007).

Pengeluaran Rumah Tangga

Tingkat pengeluaran terdiri atas dua kelompok, yaitu pengeluaran untuk

makanan dan bukan makanan. Tingkat kebutuhan/ permintaan (demand) terhadap

kedua kelompok tersebut pada dasarnya berbeda- beda. Dalam kondisi pendapatan

terbatas, kebutuhan makanan didahulukan, sehingga pada kelompok masyarakat

berpendapatan rendah akan terlihat bahwa sebagian besar pendapatannya

digunakan untuk membeli makanan. Seiring dengan peningkatan pendapatan,

maka lambat laun akan terjadi pergeseran pola pengeluaran, yaitu penurunan porsi

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Chapter II

pendapatan yang dibelanjakan untuk makanan dan peningkatan porsi pendapatan

yang dibelanjakan untuk bukan makanan (BKP, 2010).

Pergeseran komposisi dan pola pengeluaran tersebut terjadi karena

elastisitas permintaan terhadap makanan secara umum rendah, sedangkan

elastisitas terhadap kebutuhan bukan makanan relatif tinggi. Keadaan ini jelas

terlihat pada kelompok penduduk yang tingkat konsumsi makanannya sudah

mencapai titik jenuh, sehingga peningkatan pendapatan digunakan untuk

memenuhi kebutuhan barang bukan makanan, sedangkan sisa pendapatan dapat

disimpan sebagai tabungan (saving) atau diinvestasikan (BKP, 2010).

Uraian di atas dapat menjelaskan bahwa pola pengeluaran merupakan

salah satu variabel yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan

(ekonomi penduduk), sedangkan pergeseran komposisi pengeluaran dapat

mengindikasikan perubahan tingkat kesejahteraan penduduk (BKP, 2010).

Faktor - faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan rumah tangga

miskin:

1. Pendapatan Keluarga

Tingkat pendapatan yang tinggi akan memberi peluang yang lebih besar

bagi keluarga untuk memilih pangan dalam jumlah maupun jenisnya. Keluarga

atau masyarakat yang berpenghasilan rendah mempergunakan sebagian besar dari

penghasilannya untuk membeli makanan, dan semakin tinggi penghasilan

semakin menurun proporsi yang digunakan untuk membeli makanan. Rumah

tangga yang tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan akan

berakibat buruk pada status gizi anggota rumah tangganya. Pendapatan

mempunyai hubungan yang erat dengan perubahan dan perbaikan konsumsi

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Chapter II

pangan dimana perubahan pendapatan secara langsung dapat mempengaruhi

perubahan konsumsi pangan keluarga. Meningkatnya pendapatan berarti

memperbesar peluang untuk membeli pangan dengan kuantitas dan kualitas yang

lebih baik. Sebaliknya penurunan pendapatan akan menyebabkan penurunan

dalam hal kualitas dan kuantitas pangan yang dibeli (Hardiansyah, 1985).

Menurut Suhardjo (1989) hubungan pekerjaan dengan pendapatan

merupakan faktor yang paling menentukan terhadap kuantitas dan kualitas

makanan. Jelas ada hubungan antara pendapatan dengan gizi yang didorong oleh

pendapatan yang meningkat.

Hal tersebut juga dikemukakan oleh Berg (1986) bahwa terdapat hubungan

yang erat antara pendapatan dan gizi, dimana peningkatan pendapatan akan

memperbaiki kesehatan dan gizi. Namun pengeluaran pangan yang bertambah

tidak selalu membawa perbaikan pada susunan makanannya. Orang yang lebih

banyak membelanjakan uang yang dimiliki untuk pangan mungkin akan makan

lebih banyak, tetapi belum tentu mutu makanannya lebih baik.

Berbagai upaya perbaikan gizi biasanya berorientasi pada tingkat

pendapatan. Seiring makin meningkatnya pendapatan, maka kecukupan akan

makanan dapat terpenuhi. Dengan demikian pendapatan merupakan faktor utama

dalam menentukan kualitas dan kuantitas bahan makanan. Besar kecilnya

pendapatan rumah tangga tidak lepas dari jenis pekerjaan ayah dan ibu serta

tingkat pendidikannya (Soekirman, 2000).

Pada rumah tangga dengan pendapatan rendah, 60-80 % dari

pendapatannya dibelanjakan untuk makanan. Elastisitas pendapatan untuk

makanan yang digambarkan dari persentase perubahan kebutuhan akan makanan

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Chapter II

untuk tiap 1 % perubahan pendapatan, lebih besar pada rumah tangga yang miskin

dibandingkan pada rumah tangga kaya (Soekirman, 2000).

Pengeluaran rumah tangga sebagai proksi dari pendapatan mempengaruhi

tingkat konsumsi rumah tangga. Semakin besar pengeluaran total mengakibatkan

konsumsi energi rumah tangga juga bertambah dengan kata lain apabila

pengeluaran total rumah tangga bertambah maka pertambahan tersebut digunakan

untuk memenuhi kekurangan konsumsi energi (Arifin dan Sudaryanto,1991).

Upaya pemenuhan konsumsi makanan yang bergizi berkaitan erat dengan

daya beli rumah tangga. Rumah tangga dengan pendapatan terbatas, kurang

mampu memenuhi kebutuhan makanan yang diperlukan tubuh, setidaknya

keanekaragaman bahan makan kurang bisa dijamin karena dengan uang yang

terbatas tidak akan banyak pilihan. Akibatnya kebutuhan makanan untuk tubuh

tidak terpenuhi (Apriadji, 1986).

2. Tingkat Pendidikan Ibu

Tingkat pendidikan dapat juga dijadikan cerminan keadaan sosial ekonomi

di dalam masyarakat (Hidayat, 2005). Semakin tinggi pendidikan atau

keterampilan yang dimiliki seseorang semakin tinggi investasi yang diperlukan.

Dan tingkat pendidikan istri, disamping merupakan modal utama dalam

menunjang perekonomian keluarga juga berperan dalam penyusunan pola makan

keluarga.

Hidayat (2005) juga berpendapat bahwa pendidikan ibu merupakan faktor

yang sangat penting. Tinggi rendahnya pendidikan ibu erat kaitannya dengan

tingkat perawatan kesehatan, hygiene, kesadaran terhadap keluarga, disamping

berpengaruh pada faktor sosial ekonomi lainnya seperti pendapatan, pekerjaan,

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Chapter II

makan dan perumahan. Ibu memegang peranan penting pada pengelolaan rumah

tangga. Tingkat pendidikan ibu terutama dapat menentukan sikap pengetahuan

dan keterampilannya dalam menentukan makanan keluarga.

Soekirman (2000) mengemukakan bahwa pada bagan penyebab

kekurangan gizi oleh Unicef 1998 tercantum bahwa meski secara tidak langsung

namun tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya

kekurangan gizi. Dari sudut sosial ekonomi, tingkat pendidikan ibu rumah tangga

merupakan salah satu aspek yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat

kesejahteraan suatu rumah tangga. Tingkat pendidikan formal seorang ibu

seringkali berhubungan positif dengan peningkatan pola konsumsi makanan

rumah tangga. Hal ini termasuk upaya mencapai status gizi yang baik pada anak-

anaknya.

Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang untuk

menyerap informasi dan mengimplementasikan dalam perilaku dan gaya hidup

sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi (Atmarita, 2004).

3. Jumlah Anggota Keluarga

Anggota rumah tangga adalah semua orang yang biasanya bertempat

tinggal di suatu rumah tangga, baik berada di rumah pada saat pencacahan

maupun sementara tidak ada. Anggota rumah tangga yang telah bepergian 6 bulan

atau lebih, dan anggota rumah tangga yang bepergian kurang dari 6 bulan tetapi

bertujuan pindah atau akan meninggalkan rumah 6 bulan atau lebih, tidak

dianggap anggota rumah tangga. Orang yang telah tinggal di suatu rumah tangga 6

bulan atau lebih, atau yang telah tinggal di suatu rumah tangga kurang dari 6

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Chapter II

bulan tetapi berniat menetap di rumah tangga tersebut, dianggap sebagai anggota

rumah tangga (BPS, 2004).

Keluarga yang sangat miskin, akan lebih mudah memenuhi kebutuhan

makanan apabila anggota keluarganya kecil. Keluarga yang mempunyai jumlah

anggota besar apabila persediaan pangan cukup belum tentu dapat mencegah

gangguan gizi, karena dengan bertambahnya jumlah anggota keluarga maka

pangan untuk setiap anggota keluarganya berkurang.

Sedangkan Sanjur (1982) menyatakan bahwa besar keluarga mempunyai

pengaruh pada belanja pangan. Pendapatan perkapita dan belanja pangan akan

menurun sejalan dengan meningkatnya jumlah anggota keluarga. Nilai absolut

belanja pangan akan meningkat pada jumlah anggota keluarga yang besar tetapi

belanja pangan perkapita menurun sejalan dengan ukuran ekonomi yang ada.

Pendapatan perkapita menurun dengan meningkatnya jumlah anggota keluarga.

Pemantauan konsumsi gizi tingkat rumah tangga tahun 1995-1998 juga

menyatakan bahwa jumlah anggota rumah tangga yang semakin banyak, akan

semakin mengalami kecenderungan turunnya rata-rata asupan energi dan protein

per kapita per hari yang ditunjukkan dengan prevalensi tertinggi pada rumah

tangga yang beranggotakan diatas enam orang.

4. Jumlah Beras Raskin yang Diterima

Pada 2002, pemerintah mengganti nama OPK (Operasi Pasar Khusus)

menjadi Program Raskin agar lebih mencerminkan sifat program, yakni sebagai

bagian dari program perlindungan sosial bagi RTM (Rumah Tangga Miskin), tidak

lagi sebagai program darurat penanggulangan dampak krisis ekonomi. Penetapan

jumlah beras per bulan per RTM yang pada awalnya 10 kg, selama beberapa tahun

berikutnya bervariasi dari 10 kg hingga 20 kg, dan pada 2009 menjadi 15 kg.

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Chapter II

Frekuensi distribusi yang pada tahun-tahun sebelumnya 12 kali, pada 2006 berkurang

menjadi 10 kali, dan pada 2007 sampai sekarang ini kembali menjadi 12 kali per

tahun.

Program Raskin ini bertujuan untuk mengurangi beban pengeluaran dari

rumah tangga miskin sebagai bentuk dukungan dalam meningkatkan ketahanan

pangan dengan memberikan perlindungan sosial beras murah dengan jumlah

maksimal 15 Kg/rumah tangga miskin/bulan dengan masing-masing seharga Rp.

1600,00/Kg (Netto) (BPS,2004).

5. Jarak Rumah dengan Pasar/ Sumber Pangan

Akses fisik pangan dapat berupa jumlah maupun jarak pasar ataupun

warung, serta ketersediaan pangan secara fisik di warung/ pasar. Dan tentunya

semakin baik/ semakin dekat akses untuk mendapatkan pangan maka semakin

kecil juga pengeluaran pangan untuk mendapatkan pangan tersebut

( Anonimous, 2011 ).

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Chapter II

Landasan Teori

Teori Konsumsi John Maynard Keynes

John Maynard Keynes (1969) dalam General Theory nya membuat fungsi

konsumsi sebagai pusat fluktuasi ekonominya dan teori itu telah memainkan peran

penting dalam analisis makro ekonomi sampai saat ini. Keynes membuat dugaan

tentang fungsi ekonomi berdasarkan intropeksi dan observasi kasual.

Dugaan pertama Keynes adalah bahwa kecendrungan mengkonsumsi

marginal adalah antara nol dan satu. Ia menulis bahwa “hukum psikologis

fundamental, dengan apa kita dinisbikan untuk tergantung pada keyakinan yang

besar adalah bahwa manusia diatur, sebagai peraturan atau berdasarkan rata-rata,

untuk meningkatkan konsumsi ketika pendapatan mereka naik, tetapi tidak

sebanyak kenaikan dalam pendapatan mereka”.

Dugaan kedua, Keynes menyatakan bahwa rasio konsumsi terhadap

pendapatan yang disebut kecendrungan mengkonsumsi rata-rata turun ketika

pendapatan naik. Ia percaya bahwa tabungan adalah kemewahan sehingga ia

berharap orang kaya menabung proporsi yang lebih tinggi dari pendapatan mereka

ketimbang si miskin.

Ketiga, Keynes berpendapat bahwa pendapatan merupakan determinan

yang penting dan tingkat bunga tidak memiliki peran penting. Keynes mengatakan

bahwa pengaruh tingkat bunga terhadap konsumsi hanya sebatas teori

(Nanga, 2001).

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Chapter II

Teori Konsumsi Dengan Hipotesis Pendapatan Relatif (Relative Income Hipothesis)

Teori konsumsi dengan menggunakan hipotesis pendapatan relatif

dikemukakan oleh James Duesenberry dengan bukunya Income, Saving, and the

Theory of Consummer Behavior, bermaksud merekonsiliasi hubungan yang tidak

proporsional dan yang proporsional antara konsumsi dengan pendapatan dengan

maksud agar diperoleh gambaran mengenai alasan sebab- sebab timbulnya

perbedaan tersebut.

Di dalam teorinya, Duesenberry menggunakan dua asumsi yang digunakan

untuk mengamati faktor- faktor yang dapat berpengaruh terhadap pengeluaran

konsumsi seseorang.

a) Selera rumah tangga atas barang konsumsi adalah interdependen. Artinya,

pengeluaran konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh pengeluaran konsumsi

yang dilakukan oleh masyarakat sekitarnya (tetangga). Jadi faktor lingkungan

dapat berpengaruh terhadap pengeluaran konsumsi.

b) Pengeluaran konsumsi adalah irreversible. Artinya, pola pengeluaran pada

saat penghasilan naik berbeda dengan pola pengeluaran pada saat penghasilan

mengalami penurunan. Di dalam hal ini dikatakan bahwa pengeluaran

konsumsi seseorang dalam jangka pendek dapat dipengaruhi oleh besarnya

pendapatan relatif. Pendapatan relatif disini adalah merupakan pendapatan

tertinggi yang pernah dicapai oleh seseorang. Sebagai misal, apabila

pendapatan seseorang mengalami kenaikan maka secara otomatis konsumsi

juga mengalami kenaikan dengan proporsi tertentu, dan sebaliknya bila

pendapatan mengalami penurunan maka akan diikuti juga oleh penurunan

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Chapter II

konsumsinya. Akan tetapi, proporsi penurunannya lebih kecil dibandingkan

proporsi akibat kenaikan pendapatan tadi

(Waluyo, D. E., 2002).

Hukum Engel

Untuk komoditas pangan, peningkatan pendapatan tidak diikuti dengan

peningkatan permintaan yang progresif. Berdasarkan hal tersebut dengan asumsi

harga pangan yang dibayar rumah tangga adalah sama, maka menurut hukum

Engel pangsa pengeluaran pangan terhadap pengeluaran rumah tangga akan

semakin berkurang dengan meningkatnya pendapatan. Untuk lebih jelasnya kurva

Engel dapat dilihat pada Gambar 1 Berikut ini :

Jumlah (X)

X 2

X1

0 M1 M 2 Pendapatan (M)

Gambar 1. Kurva Engel untuk Barang Kebutuhan Pokok

Perubahan pendapatan nominal tidak berpengaruh banyak terhadap

perubahan permintaan. Bahkan jika pendapatan terus meningkat, permintaan

terhadap barang tersebut perubahannya makin kecil dibanding perubahan

pendapatan. Jika dikaitkan dengan konsep elastisitas, maka elastisitas pendapatan

Universitas Sumatera Utara

Page 13: Chapter II

dari barang kebutuhan pokok makin kecil bila tingkat pendapatan nominal makin

tinggi

(Deaton dan Muelbauer, 1980).

Kerangka Pemikiran

Tingkat kemiskinan di Indonesia dapat dilihat dari seberapa besar rumah

tangga tersebut mengeluarkan uang mereka untuk mengkonsumsi kebutuhan

makanan sebagai kebutuhan dasar untuk hidup. Banyak hal yang dapat

mempengaruhi tingkat pengeluaran suatu rumah tangga miskin untuk

mengkonsumsi makanan itu sendiri. Beberapa faktor yang memberikan pengaruh

terhadap pengeluaran untuk mengkonsumsi pangan itu sendiri dapat kita bagi

menjadi dua kelompok yaitu faktor ekonomi ( pendapatan keluarga dan jumlah

beras raskin yang diterima) dan faktor sosial (tingkat pendidikan ibu, jumlah

anggota keluarga, dan jarak rumah tangga dengan pasar/ sumber pangan). Dengan

berorientasi pada faktor-faktor tersebut diatas diharapkan dapat memberikan

gambaran mengenai hal-hal apa saja yang diperlukan kelak dalam mengurangi

tingkat kemiskinan rumah tangga terkhusus di Kecamatan Medan Belawan.

Universitas Sumatera Utara

Page 14: Chapter II

Secara skematis kerangka pemikiran dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran

Keterangan:

: Menyatakan hubungan

: Menyatakan pengaruh

Pengeluaran untuk Konsumsi

Pangan

Pangsa Pengeluaran Pangan (PP)

Faktor Ekonomi : • Pendapatan Keluarga • Jumlah Beras Raskin yang

Diterima

Faktor Sosial : • Tingkat Pendidikan Ibu • Jumlah Anggota Keluarga • Jarak Rumah Tangga

dengan Pasar/ Sumber Pangan

Rumah Tangga Miskin

Universitas Sumatera Utara

Page 15: Chapter II

Hipotesis Penelitian

1. Faktor pendapatan rumah tangga, tingkat pendidikan Ibu, jumlah anggota

keluarga, jumlah beras raskin yang diterima, dan jarak rumah dengan

pasar/sumber pangan memberikan pengaruh yang nyata terhadap

pengeluaran untuk konsumsi pangan rumah tangga miskin di Kecamatan

Medan Belawan.

2. Pangsa pengeluaran untuk konsumsi pangan rumah tangga miskin di

wilayah penelitian ≥ 60 %.

Universitas Sumatera Utara