Chapter II

Embed Size (px)

DESCRIPTION

n

Citation preview

  • BAB 2

    TINJAUAN PUSTAKA

    Salah satu mikroorganisme yang dapat ditemui pada saluran akar adalah jamur.

    Candida albicans merupakan jenis jamur yang paling umum ditemui pada rongga

    mulut terutama pada infeksi saluran akar maupun pada perawatan saluran akar yang

    gagal. 10-12

    2.1 Candida albicans sebagai salah satu mikroflora yang terdapat pada infeksi

    saluran akar

    Candida spp. merupakan mikroflora normal yang terdapat di dalam rongga

    mulut yang diisolasi dari plak, karies, mikroflora subgingival dan kavitas periodontal

    yang aktif. Candida spp. adalah sel ragi gram positif yang tumbuh dengan baik pada

    suhu 370 dan pada media yang sedikit asam dengan pH 6-6,5.11 Taksonomi Candida

    albicans dapat diklasifikasikan ke dalam Kingdom Fungi, Divisi Ascomycota, Filum

    Saccharomycotina, Klas Endomycetes, dan digolongkan ke dalam Famili

    Saccharomycetaceae, Genus Candida, Spesies Candida albicans.2

    Baumgartner et al., 2000 menemukan 21% Candida albicans pada sampel yang

    diambil dari saluran akar dengan menggunakan metode PCR (Polymerase Chain

    Reaction).1 Waltimo et al., 2003 juga menemukan Candida albicans sebanyak 5-20%

    pada saluran akar yang terinfeksi.2 Molander et al., 1998 cit Siquera et al., 2003

    menemukan Candida albicans pada 3 dari 68 gigi yang dilakukan pengisian saluran

    akar dengan lesi periradikular kronis dan menunjukkan adanya pertumbuhan

    mikrobial.13

    Universitas Sumatera Utara

  • Candida albicans digambarkan sebagai jamur dimorfik karena keberadaannya

    dalam bentuk blastospora dan hifa. Namun pada kenyataannya, Candida albicans

    adalah jamur polimorfik karena sering dilaporkan pertumbuhannya memperlihatkan

    beberapa morfologi seperti blastospora, kecambah, hifa, pseudohifa, dan klamidospora,

    tergantung pada kondisi lingkungannya.12,21

    Gambar 1. SEM dari Blastospora Candida albicans pada

    permukaan saluran akar in vitro. Indikator bar 10 mm.2

    Gambar 2. SEM dari penetrasi hifa Candida albicans

    ke tubulus dentin. Indikator bar 2 mm.2

    Peralihan Candida albicans dari komensal yang tidak merugikan menjadi

    organisme patogen tergantung pada jenis faktor virulensinya antara lain perlekatannya,

    Universitas Sumatera Utara

  • pembentukan hifa, tigmotropism, sekresi protease dan fenomena phenotypic switching.

    Faktor-faktor virulensi dari Candida albicans dan peranannya pada periodontitis

    apikalis diuraikan pada tabel berikut.2 (Tabel 1)

    TABEL 1. FAKTOR VIRULENSI DARI CANDIDA ALBICANS DAN PERANANNYA PADA PERIODONTITIS APIKALIS

    Faktor virulensi Peranannya pada periodontitis apikalis

    Perlekatan Kolonialisasi pada jaringan keras gigi

    Pembentukan hifa Penetrasi ke dalam tubulus dentin

    Tighmotropisme Penetrasi ke dalam tubulus

    Sekresi Protease Kemampuan bertahan hidup pada

    lingkungan dengan nutrisi yang terbatas

    fenomena phenotypic switching Adaptasi terhadap kondisi ekologi

    Tahap pertama proses infeksi Candida albicans adalah perlekatan pada sel

    inang yang merupakan tahap penting dalam kolonialisasi dan invasi ke sel host. Bagian

    pertama dari Candida albicans yang berinteraksi dengan sel host adalah dinding sel.21

    Dinding sel Candida albicans 80-90% merupakan karbohidrat yakni glukan, kitin dan

    manan, selebihnya terdiri dari 6-25% protein dan 1-7% lipid.22 Perlekatan Candida

    dihasikan dari kombinasi antara mekanisme spesifik (interaksi reseptor-ligand) dan non

    spesifik (muatan elektrostatik, kekuatan Van derWaals) yang memungkinkan Candida

    melekat pada berbagai jenis jaringan, termasuk dentin (Cotter dan Kavanagh, 2000).21

    Candida memiliki molekul pada permukaannya yang mampu melekatkannya

    ke jaringan, termasuk reseptor homolog terhadap integrin CR3 manusia, yang

    mengikat kelompok RGD (arginin, glisin dan asam aspartat) pada fibrinogen,

    fibronektin, dan laminin, serta mannosa yang mengandung protein-protein yang

    Universitas Sumatera Utara

  • mengikat molekul seperti lektin pada sel dan jaringan host (Calderone dan Brawn.,

    1991). Perlekatan Candida albicans pada protein matriks ekstraseluler, kolagen tipe 1

    dan fibronektin bergantung kepada keberadaan kaksium ekstraseluler, yang banyak

    dijumpai pada dentin (Klotz et al., 1993). Hal ini dapat membantu menjelaskan

    kolonisasi Candida albicans pada dentin yang dijumpai pada penelitian Siqueira et al,.

    2002. 12 Candida albicans dilaporkan menghasilkan enzim kolagenolitik sehingga

    dapat menurunkan jumlah kolagen dentin manusia12 yakni dengan menjadikan dentin

    sebagai sumber nutrisi.23 Maka dari itu, Candida albicans disebut juga sebagai

    mikroorganisme dentinophilic karena kemampuannya menginvasi dentin dengan

    bentuk pertumbuhan yang berbeda dan menjadikan dentin sebagai sumber nutrisi.2,4,13

    Mekanisme lain yang juga meningkatkan virulensi Candida albicans adalah

    produksi enzim hidrolitiknya yang dapat meningkatkan kerusakan jaringan

    periradikular. Enzim-enzim tersebut termasuk sekresi aspartil protease, kolagenase,

    aminopeptida, glukosaminidase, phosphatase asam dan alkali, hialuronidase, dan

    konroitin sulfatase, yang seluruh enzim tersebut memiliki efek penurunan matriks

    protein ekstraselular.13 Candida albicans juga memiliki kemampuan membentuk

    biofilm pada berbagai permukaan yang berbeda dan hal inilah yang menyebabkan

    Candida albicans menjadi jenis yang paling virulent diantara jenis Candida lainnya

    yang menghasilkan sedikit biofilm seperti C glabrata, C tropikalis, dan C parapsilosis

    (Haynes K., 2001).13 Biofilm ini berfungsi sebagai pelindung mikroba terhadap sistem

    kekebalan tubuh host.21

    Sen et al, 1997 cit Waltimo et al., 2003 menunjukkan kolonialisasi Candida

    albicans pada dentin dengan atau tanpa smear layer. Pada keadaaan dimana tidak

    Universitas Sumatera Utara

  • terdapat smear layer, terdapat cabang dari pseudohifa pada dinding dentin tetapi tidak

    terjadi pembentukan biofilm, namun pada keadaan ditemukannya smear layer, terdapat

    biofilm dengan bentuk pertumbuhan yang berbeda.2

    2.2 Bahan Dressing Saluran Akar

    Salah satu langkah penting dalam perawatan endodontik selama bertahun-

    tahun adalah dressing saluran akar. Bahan yang digunakan selama ini yakni bahan

    yang berbasis fenol, seperti formocresol, camphorated monoparachlorophenol

    (CMCP), metacresyl acetate, eugenol dan thymol. Formocresol merupakan kombinasi

    formalin dan tricresol dengan perbandingan 1:1. Formocresol serta bahan yang

    berbasis fenol lainnya memiliki daya hambat terhadap bakteri namun efeknya hanya

    beberapa waktu saja. Bahan ini tidak direkomendasikan karena dapat menimbulkan

    nekrosis dan peradangan. 6,7

    Bahan dressing paling umum dan standar yang digunakan saat ini adalah

    kalsium hidroksida (Ca(OH)2).24 Penggunaan kalsium hidroksida dalam perawatan

    endodontik diperkenalkan pertama kali oleh Hermann pada tahun 1920.25 Mekanisme

    antibakterial kalsium hidroksida disebabkan kemampuannya menciptakan lingkungan

    pH yang akan mengganggu pertumbuhan bakteri. Kalsium hidroksida yang dilarutkan

    dalam air akan berdisosiasi menjadi ion hidroksil (OH-) dan ion kalsium (Ca2+). Ion

    OH- berdifusi ke dalam tubulus dentin yang menyebabkan peningkatan pH di dalam

    tubulus dentin menghasilkan efek antibakteri.25,26 Estrela et al,. 1995 melaporkan

    bahwa reaksi kalsium hidroksida mampu menghasilkan pH tinggi karena ion hidroksil

    (OH-) yang telah berdisosiasi sehingga menghambat aktivitas enzim yang penting bagi

    pertumbuhan bakteri seperti metabolisme, pertumbuhan dan pembelahan sel. Efek dari

    Universitas Sumatera Utara

  • pH terhadap trasnportasi dari nutrisi dan bahan-bahan organik melalui membran

    sitolasma bekerja sebagai racun pada bakteri, pH yang tinggi juga mengaktifkan enzim

    hidrolitik alkaline phospatase yang penting untuk mineralisasi jaringan. Oleh karena

    itu, kalsium hidroksida memiliki dua hal dasar dari reaksi enzim, yaitu penghambatan

    enzim bakteri sebagai efek antibakteri dan pengaktifan enzim jaringan sebagai efek

    mineralisasi. Safavi dan Nichols, 1993 cit Estrela et al., 1998 mempelajari efek

    kalsium hidroksida terhadap Lippopolysaccharides (LPS) bakteri, dapat disimpulkan

    bahwa kalsium hidroksida menghidrolisis lapisan lipid dari LPS bakteri menghasilkan

    asam lemak hidroksi dalam jumlah yang banyak dan menonaktifkan enzim dalam

    membran bakteri serta mengganggu mekanisme transportasi yang mengakibatkan sel

    keracunan.25 Sifat higroskopik dari kalsium hidroksida dapat mengurangi eksudat.27

    Substansi yang berbeda (air distilasi, larutan salin, propyleneglycol, CMCP,

    khlorhexidin, gliserin, iodoform, barium sulfate, kortikosteroid-antibiotik, larutan

    anastesi, methycellulose, detergen) telah dicampurkan pada kalsium hidroksida sebagai

    vehicle untuk meninggikan efek kalsium hidroksida.25 Selain itu, penambahan pelarut

    tersebut bertujuan untuk membantu manipulasi dalam pemakaian kalsium hidroksida

    ke dalam saluran akar.26 Gomes et al.,2002 membuktikan pemakaian kalsium

    hidroksida dengan pelarut yaitu CMCP dan gliserin menunjukkan angka tertinggi

    dalam menghambat pertumbuhan bakteri saluran akar dibandingkan dengan pemakaian

    kalsium hidroksida dengan pelarut CMCP, gliserin, larutan anastesia, larutan salin dan

    air distilasi.26

    Menurut Tam et al., (1989) kalsium hidroksida memiliki beberapa kelemahan,

    diantaranya kekuatan kompresif yang rendah sehingga dapat berpengaruh pada

    Universitas Sumatera Utara

  • kestabilan kalsium hidroksida terhadap cairan di dalam saluran akar sehingga dapat

    melarutkan bahan dressing.10 Menurut Anderson et al., 2002, pemakaian pasta kalsium

    hidroksida jangka panjang dalam merawat gigi muda akan menyebabkan kerusakan

    jaringan keras gigi dan memudahkan terjadinya fraktur. Gomes et al., 2002

    beranggapan bahwa walaupun kalsium hidroksida direkomendasikan sebagai bahan

    medikasi intrakanal pada perawatan periodontitis apikalis, bukan berarti pemakaian

    kalsium hidroksida dapat digunakan secara universal karena kalsium hidroksida tidak

    menunjukkan kemampuan yang sama terhadap seluruh bakteri.26

    Penelitian Radeva et al., (2007) menunjukkan walaupun irigant endodontik

    dan medikamen intrakanal saluran akar yang terinfeksi telah dilakukan, selalu terdapat

    mikroorganisme yang tetap resisten terhadap prosedur khemis dan mekanikal.11

    E.faecalis merupakan bakteri yang paling resisten dibandingkan bakteri lain yang telah

    diuji terhadap kalsium hidroksida (Bystrom et al, 1985). Waltimo et al,.1999

    menemukan secara in vitro bahwa seluruh spesies Candida menunjukkan

    keresistenannya terhadap kalsium hidroksida.2 Haapasalo et al, 2003 menemukan di

    dalam tubulus dentin, E.faecalis dan C. Albicans terlindungi dari efek antifungal dan

    antibakterial medikamen endodontik karena efek menonaktifkan dentin dan juga

    resisten terhadap beberapa medikamen intrakanal setelah kontak langsung.23

    Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa bahan perawatan dressing saluran akar

    menggunakan bahan dressing umum dan standar yakni Ca(OH)2 memiliki efek

    antibakterial yang tinggi, tetapi mempunyai efek samping kerusakan jaringan keras

    gigi dan efek antifungal yang kurang baik. Oleh karena itu perlu dikembangkan bahan

    Universitas Sumatera Utara

  • alami yang bersifat biokompatibel dan biodegradebel terhadap saluran akar serta

    memiliki efek antifungal yaitu kitosan blangkas.

    2.3 Kitosan blangkas sebagai bahan dressing saluran akar

    Kitosan (poly--1,4-glukosamin) merupakan biopolimer alami di alam setelah

    selulosa dan merupakan hasil N-diasetilisasi dari kitin. Kitin banyak terkandung pada

    hewan laut berkulit keras seperti udang, rajungan, kepiting, blangkas, serangga,

    moluska, dan dinding jamur seperti klas zygomycetes. Bahan ini pertama kali

    ditemukan oleh Rouget pada tahun 1859. Kemudian pada tahun 1891, Rouget

    menemukan kitosan yang mempunyai derajat kereaktifan yang tinggi disebabkan

    adanya gugus amino bebas sebagai gugus fungsional.14,15,28-30 Kitosan hanya dapat

    larut dalam pelarut asam seperti asam asetat, asam formiat, asam laktat, asam sitrat dan

    asam hidroklorat. Kitosan tidak larut dalam air, alkali dan asam mineral encer kecuali

    dibawah kondisi tertentu yaitu dengan adanya sejumlah pelarut asam sehingga dapat

    larut dalam air, methanol, aseton dan campuran lainnya.15

    Kitosan memiliki muatan molekul positif (NH3+) yang dapat berikatan secara

    kimia dengan muatan negatif yang dimiliki oleh lemak, lipid, kolesterol,ion-ion metal,

    protein dan makromolekul (Li et al., 1992).17 Berikut struktur bangun kitin dan kitosan

    yang menunjukkan bahwa kandungan utama kitin dan kitosan adalah polimer

    polisakarida dan gugus amino.

    Universitas Sumatera Utara

  • CHITIN CHITOSAN

    Gambar 3. Struktur bangun kitin dan kitosan.17

    Berdasarkan viskositasnya, berat molekul kitosan terdiri atas tiga yaitu kitosan

    bermolekul rendah, kitosan bermokekul sedang dan kitosan bermolekul tinggi. Kitosan

    bermolekul rendah dengan berat molekul dibawah 400.000 Mv berasal dari hewan laut

    dengan cangkang atau kulit yang lunak misalnya udang, cumi-cumi dan rajungan.

    Kitosan bermolekul sedang dengan berat molekul 400.000-800.000 Mv dan kitosan

    dengan berat molekul 800.000-1.100.000 Mv biasanya berasal dari hewan laut

    bercangkang keras misalnya kepiting, kerang dan blangkas.15

    Kitosan blangkas merupakan kitosan yang diperoleh dari kulit blangkas

    (Limulus Polyphemus). Kitin yang diproses dari kulit blangkas didapatkan dengan

    hasil 30,60% melalui proses deasetilasi kitin dengan menggunakan larutan alkali

    (NaOH). Proses pembuatan kitosan blangkas dilakukan dengan 2 (dua) tahap yaitu

    proses deproteinasi dengan pemberian NaOH 2 M untuk mengurangi protein pada

    cangkang blangkas dan proses demineralisasi dengan pemberian HCL 2 M sehingga

    kandungan mineral CaCO3 hilang dari cangkang blangkas.15

    Universitas Sumatera Utara

  • Gambar 4. Blangkas (Limulus polyphemus)

    Dari berbagai penelitian dilaporkan bahwa di alam, kitosan bentuk polimer

    banyak digunakan di bidang medis karena berbagai sifat yang sangat istimewa yaitu

    biokompabilitas dan biodegradabilitas yang baik, tidak bersifat toksik dan bioaktif.

    Produk biodegradasi bersifat tidak toksik, tidak menyebabkan reaksi imunologi, tidak

    menyebabkan terjadi kanker (Zhu et al, 2003 cit Silva et al,.2004).16

    Koide (1998) menemukan bahwa kitin dan kitosan menunjukkan aktivitas

    antibakteri dan antijamur.17 Menurut Chung et al., 2004 daya antibakteri kitosan dapat

    diperoleh dengan menciptakan suasana asam dengan derajat deasetilasi tinggi yang

    dapat menyebabkan jumlah ion NH3+ yang bebas menjadi lebih banyak sehingga

    memudahkan penyerapan bakteri terhadap kitosan. Hal ini berdampak pada perubahan

    struktur sel dan gangguan permeabilitas membran sehingga berlanjut menjadi kematian

    sel bakteri.28 Tsai dan Su (1999) menggunakan kitosan yang diambil dari kulit udang

    untuk menguji aktivitas antimikroba terhadap bakteri E. Coli menemukan bahwa

    temperatur yang tinggi serta pH asam pada makanan dapat meningkatkan aktivitas

    antibakteri kitosan.17

    Aplikasi kitosan di bidang kedokteran gigi telah diteliti oleh Sapeii et al., 1986

    dan Muzarela et al., 1998 pada perawatan jaringan peridontal baik dengan pemakaian

    Universitas Sumatera Utara

  • kitosan powder dan kitosan membran. Penelitian Trimurni et al., (2007) kitosan

    berperan dalam dentinogenesis, dimana kitosan yang digunakan ialah kitosan blangkas

    bermolekul tinggi dan kitosan komersial sebagai bahan kaping pulpa direk pada gigi

    tikus wistar secara in-vivo. Dengan keadaan pulpa terbuka dan mengalami inflamasi

    reversibel, kitosan mampu membentuk jaringan keras osteotipic irregular yang terlihat

    pada peletakan kitosan selama 14 hari dan 1 bulan dan dapat dilihat sel-sel pulpa

    dentinoblast tersusun berlekatan dengan bahan coba.15 Ballal et al,. 2008 menunjukkan

    hasil penelitiannya secara in vitro bahwa kombinasi khlorheksidin glukonat dengan gel

    kitosan meningkatkan aktivitas antimikrobial gel klorheksidin terhadap C. albicans dan

    E.faecalis dibanding menggunakan klorheksidin 2% dan gel kitosan 2% yang tidak

    dicampurkan.23 Penelitian Banurea dan Trimurni (2008) menunjukkan bubuk kitosan

    blangkas bermolekul tinggi tanpa pelarut bereaksi positif sebagai antibakteri terhadap

    Fusobacterium Nucleatum pada konsentrasi 10%.18 Penelitian Fania dan Trimurni

    (2009) membandingkan keefektifan kitosan blangkas bermolekul tinggi yang

    diaplikasikan dengan pelarut gliserin dan VCO jika digunakan sebagai alternatif bahan

    dressing saluran akar. Hasilnya menunjukkan bahwa hanya kitosan blangkas pada

    konsentrasi 1% dan 0,5% dengan pelarut gliserin yang memiliki daya hambat terhadap

    bakteri Fusobacterium nucleatum. 19

    Universitas Sumatera Utara