42
25 25 BAB II LANDASAN TEORI A. KESEHATAN MENTAL 1. Definisi Kesehatan Mental Dalam mendefinisikan kesehatan mental, sangat dipengaruhi oleh kultur dimana seseorang tersebut tinggal. Apa yang boleh dilakukan dalam suatu budaya tertentu, bisa saja menjadi hal yang aneh dan tidak normal dalam budaya lain, dan demikian pula sebaliknya (Sias, 2006). Menurut Pieper dan Uden (2006), kesehatan mental adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak mengalami perasaan bersalah terhadap dirinya sendiri, memiliki estimasi yang relistis terhadap dirinya sendiri dan dapat menerima kekurangan atau kelemahannya, kemampuan menghadapi masalah-masalah dalam hidupnya, memiliki kepuasan dalam kehidupan sosialnya, serta memiliki kebahagiaan dalam hidupnya. Notosoedirjo dan Latipun (2005), mengatakan bahwa terdapat banyak cara dalam mendefenisikan kesehatan mental (mental hygene) yaitu: (1) karena tidak mengalami gangguan mental, (2) tidak jatuh sakit akibat stessor, (3) sesuai dengan kapasitasnya dan selaras dengan lingkungannya, dan (4) tumbuh dan berkembang secara positif. 1. Sehat mental karena tidak mengalami gangguan mental Orang yang sehat mentalnya adalah orang yang tahan terhadap sakit jiwa atau terbebas dari sakit dan gangguan jiwa. Vaillaint (dalam Notosoedirjo & Latipun, 2005), mengatakan bahwa kesehatan mental atau psikologis itu “as the presence of successfull adjustmet or the absence of psychopatology” dan yang Universitas Sumatera Utara

Chapter II t

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Chapter II t

25

25

BAB II

LANDASAN TEORI

A. KESEHATAN MENTAL

1. Definisi Kesehatan Mental

Dalam mendefinisikan kesehatan mental, sangat dipengaruhi oleh kultur

dimana seseorang tersebut tinggal. Apa yang boleh dilakukan dalam suatu budaya

tertentu, bisa saja menjadi hal yang aneh dan tidak normal dalam budaya lain, dan

demikian pula sebaliknya (Sias, 2006). Menurut Pieper dan Uden (2006),

kesehatan mental adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak mengalami

perasaan bersalah terhadap dirinya sendiri, memiliki estimasi yang relistis

terhadap dirinya sendiri dan dapat menerima kekurangan atau kelemahannya,

kemampuan menghadapi masalah-masalah dalam hidupnya, memiliki kepuasan

dalam kehidupan sosialnya, serta memiliki kebahagiaan dalam hidupnya.

Notosoedirjo dan Latipun (2005), mengatakan bahwa terdapat banyak cara

dalam mendefenisikan kesehatan mental (mental hygene) yaitu: (1) karena tidak

mengalami gangguan mental, (2) tidak jatuh sakit akibat stessor, (3) sesuai dengan

kapasitasnya dan selaras dengan lingkungannya, dan (4) tumbuh dan berkembang

secara positif.

1. Sehat mental karena tidak mengalami gangguan mental

Orang yang sehat mentalnya adalah orang yang tahan terhadap sakit jiwa

atau terbebas dari sakit dan gangguan jiwa. Vaillaint (dalam Notosoedirjo &

Latipun, 2005), mengatakan bahwa kesehatan mental atau psikologis itu “as the

presence of successfull adjustmet or the absence of psychopatology” dan yang

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Chapter II t

26

26

dikemukakan oleh Kazdin yang menyatakan kesehatan mental ”as a state in which

there is an absence of dysfunction in psychological, emotional, behavioral, and

sosial spheres”.

Pengertian ini bersifat dikotomis, bahwa orang berada dalam keadaan sakit

atau sehat psikisnya. Sehat jika tidak terdapat sedikitpun gangguan psikisnya, dan

jika ada gangguan psikis maka diklasifikasikan sebagai orang sakit. Dengan kata

lain sehat dan sakit itu mental itu bersifat nominal ytang dapat dibedakan

kelompok-kelompoknya. Sehat dengan pengertian ”terbebas dari gangguan”,

berarti jika ada gangguan sekialipun sedikit adanya, seseorang itu diangganb tidak

sehat.

2. Sehat mental jika tidak sakit akibat adanya stressor

Notosoedirjo dan Latipun (2005), mengatakan bahwa orang yang sehat

mentalnya adalah orang yang dapat menahan diri untuk tidak jatuh sakit akibat

stressor (sumber stres). Seseorang yang tidak sakit meskipun mengalami tekanan-

tekanan maka menurut pengertian ini adalah orang yang sehat. Pengertian ini

sangat menekankan pada kemampuan individual merespon lingkungannya.

3. Sehat mental jika sejalan dengan kapasitasnya dan selaras dengan

lingkungannya

Michael dan Kirk Patrick (dalam Notosudirjo & Latipun, 2005)

memandang bahwa individu yang sehat mentalnya jika terbebas dari gejala

psikiatris dan individu itu berfungsi secara optimal dalam lingkungan sosialnya.

Pengertian ini terdapat aspek individu dan aspek lingkungan. Seseorang yang

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Chapter II t

27

27

sehat mental itu jika sesuai dengan kapasitasnya diri sendiri, dan hidup tepat yang

selaras dengan lingkungannya.

4. Sehat mental karena tumbuh dan berkembang secara positif

Frank, L. K. (dalam Notosudirjo & Latipun, 2005) merumuskan

pengertian kesehatan mental secara lebih komprehensif dan melihat kesehatan

mental secara ”positif”. Dia mengemukakan bahwa kesehatan mental adalah

orang yang terus menerus tumbuh, berkembang dan matang dalam hidupnya,

menerima tanggung jawab, menemukan penyesuaian (tanpa membayar terlalu

tinggi biayanya sendiri atau oleh masyarakat) dalam berpartisipasi dalam

memelihara aturan sosial dan tindakan dalam budayanya.

Dari berbagai pengertian yang ada, Johada (dalam Notosoedirjo dan

Latipun, 2005), merangkum pengertian kesehatan mental dengan mengemukakan

tiga ciri pokok mental yang sehat:

(a) Seseorang melakukan penyesuaian diri terhadap lingkungan atau melakukan

usaha untuk menguasai, dan mengontrol lingkungannya, sehingga tidak pasif

menerima begitu saja kondisi sosialnya. (b) Seseorang menunjukkan kutuhan

kepribadiaanya – mempertahankan integrasi kepribadian yang stabil yang

diperoleh sebagai akibat dari pengaturan yang aktif. (c) Seseorang

mempersepsikan “dunia” dan dirinya dengan benar, independent dalam hal

kebutuhan pribadi.

Federasi Kesehatan Mental Dunia (World Federation for Mental Health)

merumuskan pengertian kesehatan mental sebagai berikut. (1) Kesehatan mental

sebagai kondisi yang memungkinkan adanya perkembangan yang optimal baik

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Chapter II t

28

28

secara fisik, intelektual dan emosional, sepanjang hal itu sesuai dengan keadaan

orang lain. (2) Sebuah masyarakat yang baik adalah masyarakat yang

membolehkan perkembangan ini pada anggota masyarakatnya selain pada saat

yang sama menjamin dirinya berkembang dan toleran terhadap masyarakat yang

lain. Dalam konteks Federasi Kesehatan Mental Dunia ini jelas bahwa kesehatan

mental itu tidak cukup dalam pandangan individual belaka tetapi sekaligus

mendapatkan dukungan dari masyarakatnya untuk berekembang secara optimal.

Dengan demikian, pengertian kesehatan mental beragam, namun demikian

merumuskan pengertian kesehatan mental secara komprehensif adalah bukan

suatu hal yang mudah dilakukan. Untuk membantu memahami makna kesehatan

mental, terdapat prinsip-prinsip yang dapat dijadikan sebagai pegangan bagi kita.

Prinsip-prinsip pengertian kesehatan mental adalah sebagai berikut:

1. Kesehatan mental adalah lebih dari tiadanya perilaku abnormal.

Prinsip ini menegaskan bahwa yang dikatakan sehat mentalnya tidak

cukup kalau dikatakan sebagai orang yang tidak megalami abnormalitas atau

orang yang normal. Karena pendekatan statistik memberikan kelemahan

pemahaman normalitas itu. Konsep kesehatan mental lebih bermakna positif

daripada makna keadaan umum atau normalitas sebagaimana konsep statistik.

2. Kesehatan mental adalah konsep yang ideal.

Prinsip ini menegaskan bahwa kesehatan mental menjadi tujuan yang amat

tinggi bagi seseorang. Apalagi disadari bahwa kesehatan mental itu bersifat

kontinum. Jadi sedapat mungkin orang mendapatkan kondisi sehat yang paling

optimal dan berusaha terus untuk mencapai kondisi sehat yang setingi-tingginya.

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Chapter II t

29

29

3. Kesehatan mental sebagai bagian dan karakteristik kualitas hidup.

Prinsip ini menegaskan bahwa kualitas hidup seseorang salah satunya

ditunjukkan oleh kesehatan mentalnya. Tidak mungkin membiarkan kesehatan

mental seseorang untuk mencapai kualitas hidupnya, atau sebaliknya kualitas

hidup seseorang dapat dikatakan meningkat jika juga terjadi peningkatan

kesehatan mentalnya.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kesehatan mental adalah

Suatu kondisi dimana kepribadian, emosional, intelektual dan fisik seseorang

tersebut dapat berfungsi secara optimal, dapat beradaptasi terhadap tuntutan

lingkungan dan stressor, menjalankan kapasitasnya selaras dengan

lingkungannya, menguasai lingkungan, merasa nyaman dengan diri sendiri,

menemukan penyesuaian diri yang baik terhadap tuntutan sosial dalam

budayanya, terus menerus bertumbuh, berkembang dan matang dalam hidupnya,

dapat menerima kekurangan atau kelemahannya, kemampuan menghadapi

masalah-masalah dalam hidupnya, memiliki kepuasan dalam kehidupan sosialnya,

serta memiliki kebahagiaan dalam hidupnya.

2. Dimensi Kesehatan Mental

Maslow dan Mittlemenn (dalam Notosoedirjo & Latipun, 2005)

menguraikan pandangannya mengenai prinsip-prinsip kesehatan mental, yang

menyebutnya dengan manifestation of psychological health. Maslow menyebut

kondisi yang sehat secara psikologis itu dengan istilah self actualization sekaligus

sebagai puncak kebutuhan dari teori hierarki kebutuhan yang disusunya.

Manifestasi mental yang sehat (secara psikologis) menurut Maslow dan

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Chapter II t

30

30

Mittlemenn tercermin dari kesebelas dimensi kesehatan mental yakni adalah

sebagai berikut:

1. Adequate feeling of security (rasa aman yang memadai). Perasaan merasa

aman dalam hubungannya dengan pekerjaan, sosial, dan keluarganya.

2. Adequate self evaluation (kemampuan menilai diri sendiri yang memadai),

yang mencakup (a) Memiliki harga diri yang memadai dan merasa ada nilai

yang sebanding antara keadaan diri yang sebenarnya (potensi diri) dengan

prestasinya, (b) Memiliki perasaan berguna akan diri sendiri, yaitu perasaan

yang secara moral masuk akal, dan tidak diganggu oleh rasa bersalah yang

berlebihan, dan mampu mengenal beberapa hal yang secara sosial dan

personal tidak dapat diterima oleh kehendak umum yang selalu ada sepanjang

kehidupan di masyarakat.

3. Adequate spontaneity and emotionality (memiliki spontanitas dan perasaan

yang memadai dengan orang lain), hal ini ditandai oleh kemampuan

membentuk ikatan emosional secara kuat dan abadi, seperti hubungan

persahabatan dan cinta, mampu mengekspresikan ketidaksukaan /

ketidaksetujuan tanpa kehilangan kontrol, kemampuan memahami dan

membagi perasaan kepada orang lain, kemampuan menyenangi diri sendiri

dan tertawa. Ketika seseorang tidak senang pada suatu saat, maka dia harus

memiliki alasan yang tepat mengapa dia tidak senang.

4. Efficient contact with reality (mempunyai kontak yang efesien dengan realitas)

kontak ini sedikitnya mencakup tiga aspek yaitu dunia fisik, sosial, dan diri

sendiri dan internal. Hal ini ditandai (a) Tiadanya fantasi (khayalan dan angan-

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Chapter II t

31

31

angan) yang berlebihan, (b) Mempunyai pandangan yang realistis dan luas

terhadap dunia, yang disertai dengan kemampuan menghadapi kesulitan hidup

sehari-hari, misalnya sakit dan kegagalan, dan (c) Kemampuan untuk merubah

diri sendiri jika situasi eksternal (lingkungan) tidak dapat dimodifikasi

(dirubah) dan dapat bekerjasama tanpa merasa tertekan (cooperation with the

inevitable)

5. Adequate bodily desires and ability to gratify them (keinginan-keinginan

jasmani yang memadai dan kemampuan untuk memuaskannya). Hal ini

ditandai dengan (a) Suatu sikap yang sehat terhadap fungsi jasmani, dalam arti

menerima fungsi jasmani tetapi bukan dikuasai oleh fungsi jasmani tersebut,

(b) Kemampuan memperoleh kenikmatan dan kebahagiaan dari dunia fisik

dalam kehidupan seperti makan, tidur, dan pulih kembali dari kelelahan, (c)

Kehidupan seksual yang wajar dan keinginan yang sehat untuk

memuaskannya tanpa rasa takut dan konflik, (d) Kemampuan bekerja, (e)

Tidak adanya kebutuhan yang berlebihan untuk mengikuti dalam berbagai

aktivitas.

6. Adequate self knowledge (mempunyai kemampuan pengetahuan yang wajar).

Termasuk di dalamnya (a) Cukup mengetahui tentang: motif, keinginan,

tujuan, ambisi, hambatan, kompetensi, pembelaan, dan perasaan rendah diri,

(b) Penilaian yang realistis terhadap diri sendiri baik kelebihan maupun

kekurangan, (c)Mampu menilai diri secara jujur (jujur pada diri sendiri),

mampu untuk menerima diri sendiri apa adanya, dan mengakui serta

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Chapter II t

32

32

menerima sejumlah hasrat atau pikiran meskipun beberapa diantara hasrat-

hasrat itu secara sosial dan personal tidak dapat diterima.

7. Integration and consistency of personality (kepribadian yang utuh dan

konsisten). Ini bermakna (a) Cukup baik perkembangan diri dan

kepribadiannya, kepandaiannya, dan berminat dalam beberapa aktivitas, (b)

Memiliki prinsip moral dan kata hati yang tidak terlalu berbeda dengan

pandangan kelompok, (c) Mampu untuk berkonsentrasi, dan (d) Tiadanya

konflik-konflik besar dalam kepribadiannya dan tidak dissosiasi terhadap

kepribadiannya.

8. Adequate of life goal (memiliki tujuan hidup yang wajar). Hal ini berarti (a)

Memiliki tujuan hidup yang sesuai dengan dirinya sendiri dan dapat dicapai,

(b) Mempunyai usaha yang tekun dalam mencapai tujuan tersebut, dan (c)

Tujuan itu bersifat baik untuk diri sendiri dan masyarakat.

9. Ability to learn from experience (kemampuan belajar dari pengalaman).

Kemampuan untuk belajar dari pengalaman hidupnya sendiri. Bertambahnya

pengetahuan, kemahiran dan keterampilan mengerjakan sesuatu berdasarkan

hasil pembelajaran dari pengalamannya. Selain itu, juga termasuk didalamnya

kemampuan untuk belajar secara spontan.

10. Ability to satisfy to requirements of the group (kemampuan memuaskan

tuntutan kelompok). Individu harus: (a) Dapat memenuhi tuntutan kelompok

dan mampu menyesuaikan diri dengan anggota kelompok yang lain tanpa

harus kehilangan identitas pribadi dan diri sendiri, (b) Dapat menerima norma-

norma yang berlaku dalam kelompoknya, (c) Mampu menghambat dorongan

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Chapter II t

33

33

dan hasrat diri sendiri yang dilarang oleh kelompoknya, (d) Mau berusaha

untuk memenuhi tuntutan dan harapan kelompoknya: ambisi, ketepatan,

persahabatan, rasa tanggung jawab, dan kesetiaan, serta (e) Berminat untuk

melakukan aktivitas atau kegiatan yang disenangi oleh kelompoknya.

11. Adequate emancipation from the group or culture (mempunyai emansipasi

yang memadai dari kelompok atau budaya). Hal ini mencakup: (a)

Kemampuan untuk menilai sesuatu itu baik dan yang lain adalah buruk

berdasarkan penilaian diri sendiri tanpa terlalu dipengaruhi oleh kebiasaan-

kebiasaan dan budaya serta kelompok, (b) Dalam beberapa hal bergantung

pada pandangan kelompok, (c) Tidak ada kebutuhan yang berlebihan untuk

membujuk (menjilat), mendorong, atau menyetujui kelompok, dan (d) Mampu

menghargai perbedaan budaya.

Carl Rogers mengenalkan konsep fully functioning (pribadi yang berfungsi

sepenuhnya) sebagi bentuk kondisi mental yang sehat (Pieper & Uden, 2006).

Secara singkat fully functioning person ditandai (1) Terbuka terhadap

pengalaman; (2) Ada kehidupan pada dirinya; (3) Kepercayaan kepada

organismenya; (4) Kebebasan berpengalaman; dan (5) Kreativitas.

Golden Allport (dalam Notosoedirdjo & Latipun, 2005) menyebut mental

yang sehat dengan maturity personality. Dikatakan bahwa untuk mencapai kondisi

yang matang itu melalui proses hidup yang disebutnya dengan proses becoming.

Orang yang matang jika: (1) Memiliki kepekaan pada diri secara luas, (2) Hangat

dalam berhubungan dengan orang lain, (3) Keamanan emosional atau penerimaan

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Chapter II t

34

34

diri, (4) Persepsi yang realistik, keterampilan dan pekerjaan, (5) Mampu menilai

diri secara objektif dan memahami humor, dan (6) Menyatunya filosofi hidup.

D.S. Wright dan A Taylor (dalam Notosoedirdjo & Latipun, 2005)

mengemukakan tanda-tanda orang yang sehat mentalnya adalah sebagai berikut:

(1) Bahagia (happiness) dan terhindar dari ketidakbahagiaan, (2) Efisien dalam

menerapkan dorongannya untuk kepuasan kebutuhannya, (3) Kurang dari

kecemasan, (4) Kurang dari rasa berdosa (rasa berdosa merupakan refleks dari

kebutuhan self-punshment), (5) Matang, sejalan dengan perkembangan yang

sewajarnya, (6) Mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungannya, (7) Memiliki

otonomi dan harga diri, (8) Mampu membangun hubungan emosional dengan

orang lain, dan (9) Dapat melakukan kontak dengan realita.

3. Prinsip dalam Kesehatan Mental

Menurut Schbeiders (dalam Notosoedirdjo & Latipun, 2005) ada lima

belas prinsip yang harus diperhatikan dalam memahami kesehatan mental. Prinsip

ini berguna dalam upaya pemeliharaan dan peningkatan kesehatan mental serta

pencegahan terhadap gangguan-gangguan mental. Prinsip-prinsip tersebut adalah

sebagai berikut:

2. Prinsip yang didasarkan atas sifat manusia, meliputi:

a. Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan atau bagian yang tidak

terlepas dari kesehatan fisik dan integritas organisme.

b. Untuk memelihara kesehatan mental dan penyesuaian yang baik, perilaku

manusai harus sesuai dengan sifat manusia sebagai pribadi yang bermoral,

intelektual, religius, emosional dan sosial.

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Chapter II t

35

35

c. Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan integrasi dan

pengendalian diri, yang meliputi pengendalian pemikiran, imajinasi,

hasrat, emosi dan perilaku.

d. Dalam pencapaian khususnya dalam memelihara kesehatan dan

penyesuaian kesehatan mental, memperluas tentang pengetahuan diri

sendiri merupakan suatu keharusan

e. Kesehatan mental memerlukan konsep diri yang sehat, yang meliputi:

peneeimaan diri dan usaha yang realistik terhadap status atau harga dirinya

sendiri.

f. Pemahaman diri dan penerimaan diri harus ditingkatkan terus menerus

memperjuangkan untuk peningkatan diri dan realisasi diri jika kesehatan

dan penyesuaian mental hendak dicapai.

g. Stabilitas mental dan penyesuaian yang baik memerlukan pengembangan

terus menerus dalam diri seseorang mengenai kebaikan moral yang

tertinggi, yaitu: hukum, kebijaksanaan, ketabahan, keteguhan hati,

penolakan diri, kerendahan hati, dan moral.

h. Mencapai dan memelihara kesehatan dan penyesuaian mental tergantung

kepada penanaman dan perkembangan kebiasaan yang baik.

i. Stabilitas dan penyesuaian mental menuntut kemampuan adaptasi,

kapasitas untuk mengubah meliputi mengubah situasi dan mengubah

kepribadian.

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Chapter II t

36

36

j. Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan perjuangan yang terus

menerus untuk kematangan dalam pemikiran, keputusan, emosionalitas

dan perilaku.

k. Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan belajar mengatasi secara

efektif dan secara sehat terhadap konflik mental dan kegagalan dan

ketegangan yang ditimbulkannya.

3. Prinsip yang didasarkan atas hubungan manusia dengan lingkungannya,

meliputi:

l. Kesehatan dan penyesuaian mental tergantung kepada hubungan

interpersonal yang sehat, khususnya didalam kehidupan keluarga.

m. Penyesuaian yang baik dan kedamaian pikiran tergantung kepada

kecukupan dalam kepuasa kerja.

n. Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan sikap yang realistik yaitu

menerima realitas tanpa distorsi dan objektif.

4. Prinsip yang didasarkan atas hubungan manusia dengan Tuhan, meliputi:

o. Stabilitas mental memerlukan seseorang mengembangkan kesadaran atas

realitas terbesar daripada dirinya yang menjadi tempat bergantung kepada

setiap tindakan yang fundamental.

p. Kesehatan mental dan ketenangan hati memerlukan hubungan yang

konstan antara manusia dengan Tuhannya.

Universitas Sumatera Utara

Page 13: Chapter II t

37

37

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Mental

Ada beberapa faktor yang berkontribusi terhadap tingkat kesehatan mental

yakni sebagai berikut:

e. Biologis

Para ahli telah banyak melakukan studi tentang hubungan antara dimensi

biologis dengan kesehatan mental. Berbagai penelitian itu telah memberikan

kesimpulan yang meyakinkan bahwa faktor biologis memberikan kontribusi

sangat besar bagi kesehatan mental. Karena itu, kesehatan manusia, khususnya

disini adalah kesehatan mental, tentunya tidak terlepaskan dari dimensi biologs

ini.

Pada bagian ini akan dijelaskan tentang hubungan tersebut, khususnya

beberapa aspek biologis yang secara langsung berpengaruh terhadap kesehatan

mental, diantaranya: otak, sistem endokrin, genetik, sensori, kondisi ibu selama

kehamilain.

1. Otak

Otak sangat kompleks secara fisiologis, tetepi memiliki fungsi

yang sangat esensi bagi keseluruhan aktivitas manusia. Diferensiasi dan

keunikan yang ada pada manusia pada dasarnya tidak dapat dilepaskan

dari otak manusia. Keunikan manusia terjadi justru karena keunikan otak

manusia dalam mengekspresikan seluruh pengalaman hidupnya. Jika

didipadukan dengan pandangan-pandangan psikologi, jelas adanya

kesesuaian antara perkembangan fisiologis otak dengan perkembangan

Universitas Sumatera Utara

Page 14: Chapter II t

38

38

mental. Funsi otak seperti motorik, intelektual, emosional dan afeksi

berhubungan dengan mentalitas manusia.

2. Sistem endokrin

Sistem endokrin terdiri dari sekumpulan kelenjar yang sering

bekerja sama dengan sistem syaraf otonom. Sistem ini sama-sama

memberikan fungsi yang penting yaitu berhubungan dengan berbagai

bagian-bagian tubuh. Tetapi keduanya memiliki perbedaan diantaranya

sistem syaraf menggunakan pesan kimia dan elektrik sedangkan sistem

endokrin berhubungan dengan bahan kimia, yang disebut dengan hormon.

Tiap kelenjar endokrin mengeluarkan hormon tertentu secara

langsung ke dalam aliran darah, yang membawa bahan-bahan kimia ini ke

seluruh bagian tubuh. Sistem endokrin berhubungan dengan kesehatan

mental seseorang. Gangguan mental akibat sistem endokrin berdampak

buruk pada mentalitas manusia. Sebagai contoh terganggunya kelenjar

adrenalin berpengaruh terhadap kesehatan mental, yakni terganggunya

“mood” dan perasannya dan tidak dapat melakukan coping stress.

3. Genetik

Faktor genetik diakui memiliki pengaruh yang besar terhadap

mentalitas manusia. Kecenderungan psikosis yaitu schizophrenia dan

manis-depresif merupakan sakit mental yang diwariskan secara genetis

dari orangtuanya. Gangguan lainnya yang diperkirakan sebagai faktor

genetik adalah ketergantungan alkohol, obat-obatan, Alzeimer syndrome,

phenylketunurine, dan huntington syndrome. Gangguan mental juga terjadi

Universitas Sumatera Utara

Page 15: Chapter II t

39

39

karena tidak normal dalam hal jumlah dan struktur kromosom. Jumlah

kromosom yang berlebihan atau berkurang dapat menyebabkan individu

mengalami gangguan mental.

4. Sensori

Sensori merupakan aspek penting dari manusia. Sensori merupakan

alat yang menagkap segenap stimuli dari luar. Sensori termasuk:

pendengaran, penglihatan, perabaan, pengecapan dan penciuman.

Terganggunya fungsi sensori individu menyebabkan terganggunya fungsi

kognisi dan emosi individu. Seseorang yang mengalami gangguan

pendenganran misalnya, maka akan berpengaruh terhadap perkembangan

emosi sehingga cenderung menjadi orang yang paranoid, yakni

terganggunya afeksi yang ditandai dengan kecurigaan yang berlebihan

kepada orang lain yang sebenarnya kecurigaan itu adalah salah.

5. Faktor ibu selama masa kehamilan

Faktor ibu selama masa kehamilan secara bermakna mempengaruhi

kesehatan mental anak. Selama berada dalam kandungan, kesehatan janin

ditentukan oleh kondisi ibu. Faktor-faktor ibu yang turut mempengaruhi

kesehatan mental anaknya adalah: usia, nutrisi, obat-obatan, radiasi,

penyakit yang diderita, stress dan komplikasi.

f. Psikologis

Notosoedirjo dan latipun (2005), mengatakan bahwa aspek psikis manusia

merupakan satu kesatuan dengan dengan sistem biologis. Sebagai subsistem dari

eksistensi manusia, maka aspek psikis selalu berinteraksi dengan keseluruhan

Universitas Sumatera Utara

Page 16: Chapter II t

40

40

aspek kemanusiaan. Karena itulah aspek psikis tidak dapat dipisahkan dari aspek

yang lain dalam kehidupan manusia.

1. Pengalaman Awal

Pengalaman awal merupakan segenap pengalaman-pengalaman

yang terjadi pada individu terutama yang terjadi pada masa lalunya.

Pengalaman awal ini dipandang sebagai bagian penting bahkan sangat

menentukan bagi kondisi mental individu di kemudian hari.

2. Proses Pembelajaran

Perilaku manusia adalah sebagian besar adalah proses belajar, yaitu

hasil pelatihan dan pengalaman. Manusia belajar secara langsung sejak

pada masa bayi terhadap lingkungannya. Karena itu faktor lingkungan

sangat menentukan mentalitas individu.

3. Kebutuhan

Pemenuhan kebutuhan dapat meningkatkan kesehatan mental

seseorang. Orang yang telah mencapai kebutuhan aktualisasi yaitu orang

yang mengeksploitasi dan mewujudkan segenap kemampuan, bakat,

keterampilannya sepenuhnya, akan mencapai pada tingkatan apa yang

disebut dengan tingkat pengalaman puncak (peack experience). Maslow

mengatakan bahwa ketidakmampuan dalam mengenali dan memenuhi

kebutuhan-kebutuhannya adalah sebagai dasar dari gangguan mental

individu.

Universitas Sumatera Utara

Page 17: Chapter II t

41

41

g. Sosial Budaya

Lingkungan sosial sangat besar pengaruhnya terhadap kesehatan mental.

Lingkungan sosial tertentu dapat menopang bagi kuatnya kesehatan mental

sehingga membentuk kesehatan mental yang positif, tetapi pada aspek lain

kehidupan sosial itu dapat pulan menjadi stressor yang dapat mengganggu

kesehatan mental. Dibawah ini akan dijelaskan beberapa lingkungan sosial

yang berpengaruh terhadap kesehatan mental adalah sebagai berikut:

1. Stratifikasi sosial

Masyarakat kita terbagi dalam kelompok-kelompok tertentu.

Pengelompokan itu dapat dilakukan secara demografis diantaranya jenis

kelamin, usia, tingkat pendidikan dan status sosial. Stratifikasi sosial ini

dapat mempengaruhi kesehatan mental seseorang, misalnya kaum

minoritas memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk mengalami

gangguan mental.

2. Interaksi sosial

Interaksi sosial banyak dikaji kaitannya dengan gangguan

mental. Ada dua pandangan hubungan interaksi sosial ini dengan

gangguan mental. Pertama teori psikodinamik mengemukakan bahwa

orang yang mengalami gangguan emosional dapat berakibat kepada

pengurangan interaksi sosial, hal ini dapat diketahui dari perilaku

regresi sebagai akibat dari adanya sakit mental. Kedua adalah bahwa

rendahnya interaksi sosial itulah yang menimbulkan adanya gangguan

mental.

Universitas Sumatera Utara

Page 18: Chapter II t

42

42

3. Keluarga

Keluarga yang lengkap dan fungsional serta mampu

membentuk homeostatis akan dapat meningkatkan kesehatan mental

para anggota keluaganya, dan kemungkinan dapat meningkatkan

ketahanan para anggota keluarganya dari gangguan-gangguan mental

dan ketidakstabilan emosional para anggotanya.

4. Perubahan sosial

Sehubungan dengan perubahan sosial ini, terdapat dua

kemungkinan yang dapat terjadi yaitu, perubahan sosial dapat

menimbulkan kepuasan bagi masyarakat karena sesuai dengan yang

diharapkan dan dapat meningkatkan keutuhan masyarakat dan hal ini

sekaligus meningkatkan kesehatan mental mereka. Namun, di sisi lain

dapat pula berakibat pada masyarakat mengalami kegagalan dalam

penyesuaian terhadap perubahan itu, akibatnya mereka

memanifestasikan kegagalan penyesuaian itu dalam bentuk yang

patologis, misalnya tidak terpenuhinya tuntutan politik, suatu

kelompok masyarakat melakukan tindakan pengrusakan dan

penjarahan.

5. Sosial budaya

Sosial budaya memiliki makna yang sangat luas. Namun dalam

konteks ini budaya lebih dikhususkan pada aspek nilai, norma, dan

religiusitas dan segenap aspeknya. Dalam konteks ini, kebudayaan

yang ada di masyarakat selalu mengatur bagaimana orang seharusnya

Universitas Sumatera Utara

Page 19: Chapter II t

43

43

melakukan sesuatu, termasuk didalamnya bagaimana seseorang

berperan sakit, kalsifikasi kesakitan, serta adanya sejumlah kesakitan

yang sangat spesifik ada pada budaya tertentu, termasuk pula adanya

gangguan mentalnya.

Kebudayaan pada prinsipnya memberikan aturan terhadap

anggota masyarakatnya untuk bertindak yang seharusnya dilakukan

dan meninggalkan tindakan tertentu yang menurut budaya itu tidak

seharunya dilakukan. Tindakan yang bertentangan dengan sistem nilai

atau budayanya akan dipandang sebagi penyimpangan, dan bahkan

dapat menimbulkan gangguan mental. Hubungan kebudayaan dan

kesehatan mental meliputi tiga hal yaitu: (1) kebudayaan mendukung

dan menghambat kesehatan mental, (2) kebudayaan memberi peran

tertentu terhadap penderita gangguan mental, (3) berbagai bentuk

gangguan mental karena faktor kultural, (4) upaya peningkatan dan

pencegahan gangguan mental dalam telaah budaya.

6. Stessor Psikososial lainnya

Situasi dan kondisi peran sosial sehari-hari dapat menjadi

sebagai masalah atau sesuatu yang tidak dikehendaki, dan karena itu

dapat berfungsi sebagai stressor sosial kontribusi ini terhadap

kesehatan mental bisa kuat atau lemah. Stressor psikososial secara

umum dapat menimbulkan efek negatif bagi individu yang

mengalaminya. Manum demikian tentang variasi stressor psikososial

Universitas Sumatera Utara

Page 20: Chapter II t

44

44

ini berbeda untuk setiap masyarakat, bergantung kepada kondisi sosial

masyarakatnya.

h. Lingkungan

Interaksi manusia dengan lingkungannya berhubungan dengan

kesehatannya. Kondisi lingkungan yang sehat akan mendukung kesehatan

manusia itu sendiri, dan sebaliknya kondisi lingkungan yang tidak sehat dapat

mengganggu kesehatannya termasuk dalam konteks kesehatan mentalnya.

B. PERILAKU RELIGIUS

1. Definisi Perilaku Religius

Steadmen, Palmer, dan Ellsworth (dalam Feierman, 2009) mendefinisikan

perilaku religius adalah seperangkat perilaku yang merupakan ekspresi dari

religiusitas seseorang yang tercakup didalamnya pelaksanan ritual agama,

pelaksanaan ibadah, dan berdoa. Sementara menurut Argyle (2000), bahwa

perilaku religius adalah perilaku yang menunjukkan seberapa sering seseorang

datang beribadah ke gereja (frekwensi menghadiri gereja), berdoa, dan derajat

keterlibatan seseorang dalam menghadiri kegiatan keagamaan.

Feierman (2009) mengatakan bahwa perilaku religius mencerminkan

keyakinan terhadap agama yang ditampilkan atau didemonstrasikan dalam bentuk

perilaku. Sias (2006) berpendapat bahwa perilaku religius adalah tingkatan sejauh

mana seseorang mengerjakan kewajiban ajaran agamanya yang dapat dilihat dari

frekwensi kehadiran dan pelaksanaan kegiatan keagaman. Koenig (2009)

memberikan batasan terhadap perilaku religius sebagai tingkatan sejauh mana

Universitas Sumatera Utara

Page 21: Chapter II t

45

45

seseorang mengerjakan kewajiban dan ritual di dalam kehidupan beragamanya.

Religius dapat dilihat dari frekwensi kehadiran dan pelaksanaan kegiatan

keagaman. Misalnya setiap hari minggu ke gereja, berdoa, sembayang, dan puasa.

Dapat disimpulkan bahwa perilaku religius adalah seperangkat perilaku

yang merupakan ekspresi dari religiusitas dan keyakinan terhadap agama yang

dapat diindikasikan dari tingkatan seberapa sering (frekwensi) seseorang

mengerjakan kewajiban ajaran agamanya, frekwensi melakukan ibadah

(sembayang), pelaksanaan ritual agama, berdoa, melaksanakan praktik religius

seperti ke gereja, ke mesjid, berpuasa, dan shalat lima waktu.

2. Jenis-Jenis Perilaku Religius

Menurut Loewenthal (2009), ada 4 jenis perilaku religius yang merupakan

cerminan dari religiusitas individu yaitu:

a. Berdoa (Prayer)

Berdoa adalah esensi (inti) atau pusat dari perilaku religius, merupakan

pusat dari kehidupan beragama dan merupakan bukti kuat yang mengindikasikan

keyakinan terhadap Tuhan. Berdoa juga merupakan bukti kualitas hidup beragama

yang memasuki alam jiwa manusia yang paling dalam sehingga merupakan dasar

dari kehidupan beragama yang dapat mempengaruhi kerangkan pikiran dan

psikologis manusia. Tanpa adanya kegiatan berdoa, maka eksistensi agama tidak

akan pernah ada (Lowenthal, 2009). Heiler (dalam Lowenthal, 2009) mengatakan

bahwa berdoa aspek yang paling penting dalam perilaku religius dan paling

berpengaruh terhadap psikologis manusia.

Universitas Sumatera Utara

Page 22: Chapter II t

46

46

Lowenthal (2009) mendefinisikan berdoa adalah permohonan hikmat dan

ucapan syukur kepada Tuhan atau objek yang disembah. Doa juga merupakan

karakteristik dasar kehidupan yang religius yang merupakan pusat dari kehidupan

beragama dibanding dengan perilaku religius lainnya.

Beberapa ajaran agama mengharuskan bahwa berdoa harus dilakukan

secara teratur dan terus menerus. Jansen, de Hart, dan den Draak (dalam

Paloutzian & Park, 2009) mengatakan bahwa doa adalah pelaksanaan kewajiban

agama yang dilakukan secara perorangan. Setiap orang memiliki cara tersendiri

dalam berdoa tergantung pada situasi dan tujuan dari berdoa tersebut. Magee

(dalam dalam Paloutzian & Park, 2009) mengatakan bahwa dalam berdoa terdiri

dari penyembahan yang didalamnya juga termasuk pujian kepada Tuhan.

Selanjutnya diikuti dengan pengakuan atas dosa dan kekurangan yang

membutuhkan pertolongan dari Tuhan.

Menurut Stouffer (dalam Loewenthal, 2009) bahwa doa memberikan

keuntungan secara psikologis terhadap seseorang tersebut dan merupakan metode

koping stress. Sementara Cinnirella dan Loewenthal (1999) berpendapat bahwa

berdoa sangat membantu seseorang mengatasi masalah hidup dan badai hidupnya.

Menurut Loewenthal (2009) ada empat fitur dalam berdoa yaitu:

1. Bevioral Features

Berdoa terlihat dari perilaku seperti menghadap ke arah tertentu, berdiri,

duduk, berlutut, atau bentuk lain dari gerakan yang digunakan dalam berdoa

seperti menari.

Universitas Sumatera Utara

Page 23: Chapter II t

47

47

2. Linguistic Features

Seseorang yang bedoa dengan menggunakan bahasa, berkata-kata (verbal

prayer). Bahasa yang digunakan bisa saja diungkapkan denga suara yang keras,

diam, atau berdoa di dalam hati (contemplative prayer).

3. Cognitive Features

Berdoa dilakukan dengan penuh dengan tujuan dan pemaknaan terhadap

doa yang diungkapkan oleh seseorang tersebut.

4. Emotional Features

Berdoa pada dasarnya diiringi oleh perasaan kedekatan dengan Tuhan, dan

disertai dengan perasaan nyaman dan tenteram.

a.1. Tipe-tipe doa

Menurut Loewenthal (2009) ada lima tipe berdoa, yakni sebagai berikut:

Petitionary prayer: adalah tipe dari berdoa dimana seseorang dengan

menangis memohon pertolongan dari Tuhan.

Intercessory prayer: adalah tipe dari berdoa dimana seseorang memohon

pertolongan dari Tuhan untuk orang lain.

Thanksgiving: adalah tipe dari berdoa dimana seseorang mengucap syukur

dan berterima kasih atas berkat dan pemberian Tuhan

Adoration: adalah tipe dari berdoa dimana seseorang mengekspresikan

rasa hormat kepada Tuhan, kekaguman kepada Tuhan, dan puji-pujian

kepada Tuhan.

Universitas Sumatera Utara

Page 24: Chapter II t

48

48

Confession, dedication, communion: adalah tipe dari berdoa dimana

seseorang berdoa supaya Tuhan membenarkan dirinya, mengaku dosa dan

menjalin hubungan yang lebih dekat dengan Tuhan.

Objective prayer: adalah tipe dari berdoa yang fokus pada penyembahan,

mengagungkan, dan memuliakan Tuhan.

Subjective prayer: adalah tipe dari berdoa yang fokus pada penyerahan diri

dan memasrahkan diri pada kuasa Tuhan, berdoa yang fokus pada

pergumulan atau permasalahan hidup, rintangan hidup dan permohonan

supaya Tuhan memimpin hidupnya.

Less mature form of prayer: adalah tipe dari berdoa dimana seseorang

mengharapkan bahwa Tuhan akan menjawab doa mereka (petitionary

prayer)

More mature form of prayer: adalah tipe dari berdoa dimana seseorang

berdoa untuk mendekatkan diri pada Tuhan dan menjalin hubungan yang

lebih erat dengan Tuhan.

b. Ritual

Paloutzian dan Park (2009), mengatakan bahwa pelaksanan ritual agama

adalah salah satu hal yang mendasar dalam kehidupan beragama seseorang.

Pelaksanaan ritual agama adalah merupakan cerminan dari keyakinan seseorang

akan ajaran agama. Ritual adalah secara fundamental merupakan pola perilaku,

dimana perilaku terstruktur yang dilakukan baik secara perorangan maupun secara

bersama-sama dengan orang lain, yang dilakukan secara berulang dan bertujuan.

Menurut Paloutzian dan Park (2009), pelaksanaan ritual agama berbeda antara

Universitas Sumatera Utara

Page 25: Chapter II t

49

49

agama yang satu dengan yang lainnya. Perilaku religius yang tercakup dalam

ritual agama adalah pelaksanaan seremonial agama.

c. Praktik Religius

Menurut James (dalam Paloutzian & Park, 2009) praktik religius

mencakup membaca kitab suci, ibadah dan berpuasa. Berikut ini akan dijelaskan

ketiga jenis praktik religius tersebut:

c.1 ibadah (sembayang)

Ibadah atau sembayang adalah praktik religius yang dilakukan oleh

seseorang baik secara individu atau dalam suatu kelompok atau grup tertentu

(melibatkan banyak orang) sehingga membentuk suatu komunitas ibadah tertentu.

Dalam pelaksanaan ibadah atau sembayang ini dapat dilakukan di gereja, di

tempat-tempat ibadah tertentu, di rumah-rumah atau dengan menonton ritual

keagamaan melalui media elektronik seperti televisi dan radio.

c.2. Membaca Kitab Suci

Membaca kitab suci adalah pelaksanaan praktik keagamaan dimana

individu komitmen untuk membaca untuk memahami ajaran agama yang

dianutnya sebagimana tercantum dalam kitab suci mereka.

c.3. Puasa

Puasa adalah salah satu jenis praktik religius, dimana individu yang

menganut agamanya memberhentikan diri dari aktivitas kesehariannya seperti

makan, minum, melakukan hubungan intim, dan dari perilaku duniawi lainnya

yang dilakukan dalam waktu temporal. Ketentuan dalam pelaksanaan puasa ini

tergantung dari ajaran agama yang mereka anut.

Universitas Sumatera Utara

Page 26: Chapter II t

50

50

Bergar (dalam Paloutzian & Park, 2009) berpendapat bahwa dalam

melakukan praktik religius seseorang mendapatkan penguat (reinforcement) sebab

dalam melakukan praktik religius ini seseorang akan mendapatkan dampak

psikologis secara positif yaitu mereka dapat mengurangi stress dan kecemasan

mereka selain itu menurut Bergar seseorang yang melakukan praktik religius

dapat melihat makna dalam hidup mereka sehingga mereka dapat menilai

kehidupan mereka secara lebih positif.

d. Social Behavior, Group and Norms

Perilaku religius seseorang tercermin dari bagaimana dia berinteraksi

dengan lingkungan sekitarnya. Perilaku religius haruslah diwujudkan dalam suatu

perkumpulan yang dinamakan kelompok religius. Sehingga kelompok religius ini

adalah identitas sosial dari seseorang dalam mendefinisikan dirinya sebagai umat

beragama (Loewenthal, 2009). Dalam konteks perilaku sosial yang religius

haruslah sesuai dengan norma-norma yang berlaku bagi budaya setempat.

Menurut Loewenthal (2009) yang termasuk dalam perilaku sosial sehubungan

dengan perilaku religius adalah:

1. Mengikuti aktivitas keagamaan dalam mengambil bagian dalam pelayanan

kegiatan kerohanian, seperti pelayanan di tempat ibadah atau organisasi sosial

kerohanian.

2. Berperan serta dalam misi pelayanan kerohanian dalam pemberitaan dan

penyiaran ajaran agama.

Universitas Sumatera Utara

Page 27: Chapter II t

51

51

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Perilaku religius

Paloutzian (2009), mengatakan bahwa perilaku religius terbentuk dalam

diri manusia sejak masa kanank-kanak melalui suatu proses dan dinamika.

Sementara Nelson (2009), berpendapat bahwa terbentuk dan berkembangnya

perilaku religius manusia adalah didasari akan pemahaman diri dan Tuhan, Piaget

(dalam Loewenthal, 2008) meyakini bahwa berkembangnya perilaku religius

dimukai sejak masa kanak-kanak seiring dengan berkembangnya kemampuan

kognitifnya. Menurut Argyle (2000) ada beberapa faktor yang mempengatuhi

perilaku religius seseorang, yakni sebagai berikut:

a. Kebudayaan

Budaya merupakan kompleks keseluruhan dimana termasuk di dalamnya

pengetahuan, keyakinan, seni, hukum, moral, adat-istiadat, dan kemampuan lain

apapun serta kebiasaan yang diperoleh oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Argyle (2000) mengatakan bahwa ada bukti yang kuat bahwa kebudayaan dimana

seseorang tersebut tinggal mempengaruhi perilaku religiusnya. Batasan dimana

perangkat budaya dalam perilaku disebut norma, yang merupakan aturan

sederhana dimana menentukan atau melarang beberapa perilaku dalam situasi

yang spesifik. Norma dalam budaya memberikan pola-pola perilaku tertentu

seperti pola kehidupan yang religius.

Selain itu, nilai budaya yang merupakan kepercayaan yang dipertahankan

dimana menguatkan apa yang diinginkan juga merupakan faktor budaya yang

membimbing manusia untuk mengadopsi perilaku religius.

Universitas Sumatera Utara

Page 28: Chapter II t

52

52

b. Pendidikan

Seseorang yang diberikan didikan agama seperti doktrin (ajaran agama)

akan mengarahkan dan membantu manusia untuk mengmbangkan perilaku

religiusnya. Didikan yang diberikan seperti belajar Alkitab, belajar Al-Quran,

teologi dan ritual agama dapat manumbuhkan perilaku religiusnya.

c. Keluarga

Keluarga adalah tempat pertama dimana seseorang belajar segala sesuatu

tentang dunia termasuk agama. Di dalam keluarga pertama sekali seorang anak

akan mengenal dan mengerti keyakinan terhadap agama. Perilaku religius seorang

anak terbentuk dalam pola bagaimana orangtua mereka bersikap dan berperilaku

terhadap anak mereka dalam kaitannya dengan keyakinan agama yang mereka

anut.

Hubungan anak dan orangtua menjadi hal yang sangat penting bagi

berkembangnya perilaku religius anak. Hood (dalam Argyle, 2000) mengatakan

bahwa perilaku religius berkembang dan mengalir dalam keluarga. Orangtua

adalah orang yang paling berpengaruh besar terhadap berkembang dan

terbentuknya perilaku religius anak. Ibu memiliki pengaruh yang lebih besar

daripada ayah terhadap pembentukan religius anak.

d. Sosial Learning

Perilaku religius dapat berkembang seiring dengan pengalaman seseorang

tersebut dalam lingkungan kehidupan sosialnya. Meniru orang lain dalam tata cara

berperilaku tertentu adalah cenderung dilakukan oleh manusia, termasuk perilaku

religius. Orangtua, nenek, tetangga, atau orang lain yang menunjukkan perilaku

Universitas Sumatera Utara

Page 29: Chapter II t

53

53

religius seperti berdoa, beribadah ke gereja, sembayang, puasa, membaca kitab

suci dapat menjadi model bagi seseorang untuk belajar menumbuhkembangkan

perilaku religiusnya.

e. Teman sebaya (peer group)

Teman sebaya adalah figur yang penting bagaimana sebuah perilaku

terbentuk. Argyle (2000), mengatakan bahwa teman sebaya adalah sumber kedua

dimana sosialisasi terbentuk dalam mengembangkan keyakinan agama dan

perilaku religius. Anak yang sering berhubungan dengan teman sebayanya yang

juga berperilaku religius, Argyle meyakini bahwa perilaku religius anak akan

semakin mengkristal. Akan tetapi terbentuknya perilaku religius lebih dipengaruhi

oleh orang tua daripada teman sebaya. Namun demikian, teman sebaya tetap

memberikan kontribusi untuk bekembangnya perilaku religius seseorang. Teman

sebaya adalah figur yang penting dalam bagaimana perilaku religius berkembang

seperti pergi beribadah ke tempat ibadah, berdoa, dan mengikuti aktivitas

keagamaan.

f. Kepribadian

Kepribadian seseorang memiliki dampak yang spesifik terhadap

terbentunya perilaku religius.

g. gender

Tamminen (dalam Argyle, 2000) mengatakan bahwa terdapat perbedaan

perilaku religius dalam kaitannya dengan gender. Perempuan lebih berperilaku

religius dalam beberapa hal. Brasher (dalam Argyle, 2000) berkesimpulan bahwa

Universitas Sumatera Utara

Page 30: Chapter II t

54

54

perempuan lebih banyak terlibat dalam aktivitas pelayanan agama daripada laki-

laki

4. Efek / Pengaruh Perilaku Religius

Leowenthal (2008) mengatakan bahwa perilaku religius seseorang

berpengaruh terhadap banyak dimensi kehidupan manusia. Sementara Nelson

(2009) meyakini bahwa perilaku religius seseorang berpengaruh terhadap

kehidupan psikologis dan fisik manusia. Berikut ini akan dijelaskan beberapa

pengaruh perilaku religius terhadap kehidupan manusia:

1. Kesehatan Fisik (physical health)

Leowenthal (2008) mengatakan bahwa perilaku religius diasosiasikan

dengan kesehatan yang lebih baik. Religius dapat melindungi individu dari

serangan penyakit dan dapat meningkatkan kesehatan individu. Levin (dalam

Leowenthal, 2008) berpendapat bahwa perilaku religius memberikan efek pada

umur yang lebih panjang dan tingkat mengalami penyakit yang lebih rendah.

Hubungan perilaku religius dengan kesehatan menurut Mueller (2002)

adalah hubungan yang kompleks. Perilaku religius menuntun individu untuk

menghindari pola hidup yang berbahaya seperti merokok, minum alkohol,

menyalahgunakan obat-obatan. Mueller juga yakin bahwa perilaku religius

individu menghindarinya dari pemikiran dan emosi negatif yang tentunya hal ini

adalah faktor yang berhubungan dengan kesehatan fisik. Strawbridge (dalam

Leowenthal, 2008) mengatakan bahwa perilaku religius individu menuntun

seseorang untuk memilih gaya hidup sehat sehingga terhindar dari beragam

penyakit seperti kanker, jantung dan penyakit kronik lainnya.

Universitas Sumatera Utara

Page 31: Chapter II t

55

55

Levin (2005) berpendapat bahwa perilaku religius memberikan efek sebagai

berikut:

Meningkatkan gaya hidup sehat

Mendukung keyakinan yang positif seperti pandangan yang positif

terhadap orang lain, optimis dan penuh dengan harapan

Memberikan atau mengarahkan individu untuk melakukan pemecahan

masalah yang lebih baik

Mengatur emosi yang yang lebih positif

2. Kesehatan mental (mental health)

Freud (dalam Nelson, 2009) mengatakan bahwa perilaku religius adalah

akibat dari pemikiran yang obsesif dan tindakan kompulsif manusia sehingga

merupakan sumber dari psikopatologi, akan tetapi Nelson mengatakan bahwa

perilaku religius memberikan efek yang positif terhadap kesehatan mental. Weltch

(dalam Nelson, 2009) mengatakan bahwa kesehatan mental juga merupakan akar

dari perkembangan perilaku religius yang baik. Perilaku religius meningkatkan

kesehatan mental karena perilaku religius melindungi individu dari perasaan

negatif, emosi yang negatif, dapat mengadapi stress, memiliki strategi pemecahan

masalah yang baik, dan merasakan kebahagiaan dalam hidup (Koenig, 2009).

Meyer (2003), berpendapat bahwa perilaku religius diasosaisikan dengan

kesehatan mental yang baik. Meyer meyakini bahwa perilaku religius individu

mengarahkannya untuk dapat mengambil makna dan tujuan hidup yang terarah.

Sementara Nelson (2009) menambahkan bahwa perilaku religius individu

melindunginya dari psychological distress, hal ini terjadi karena perilaku religius

Universitas Sumatera Utara

Page 32: Chapter II t

56

56

melindunginya dari gangguan mengalami kecemasan, depresi, dan memiliki

strategi pemecahan masalah yang baik dalam menangani masalah yang datang

sehingga individu tidak sampai mengalami masalah psikologis yang patologis.

Selain itu, perilaku religius individu membantu seseorang untuk dapat melihat

dirinya secara lebih positif, sehingga memiliki perasaan berharga, emosi yang

positif (matang secara emosi), harga diri yang tinggi dan terhindar dari rasa

bersalah dimana hal ini adalah merupakan sumber dari kesehatan mental yang

baik (Heiler, 1999).

3. Perilaku (behavior)

Argyle (2000), mengatakan bahwa perilaku religius individu

membimbingnya untuk mengembangkan pola perilaku dan gaya hidup yang

konstruktif. Koenig (2009), mengatakan bahwa perilaku religius berpengaruh

terhadap perilaku altrusime. Koenig juga berpendapat bahwa perilaku altrusime

adalah sebagai wujud kesehatan mental baik yang mengarahkan seseorang

tersebut untuk lebih peduli dengan orang lain daripada dirinya sendiri. Selain itu

perilaku religius juga memberikan efek terhadap perilaku prososial yakni tindakan

yang dinilai positif oleh masyarakat.

C. GAY

Menurut Carroll (2005), bahwa gay adalah laki-laki yang secara seksual

tertarik kepada sesama jenisnya. Sementara Kinsey (dalam Carroll, 2005)

mengatakan bahwa ketertarikan secara seksual tidak cukup dalam

mendeskripsikaan orientasi seksual. Orientasi seksual (dalam hai ini gay) meliputi

Universitas Sumatera Utara

Page 33: Chapter II t

57

57

(1). Perilaku seksual, (2). fantasi seksual, (3). Ketertarikan secara emosional, (4).

Ketertarikan secara sosial, (5). Ketertarikan gaya hidup, (6). Ketertarikan secara

seksual, dan (7). Identifikasi diri. Sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa

gay adalah laki-laki yang secara seksual tertarik kepada laki-laki, perilaku seksual

diarahkan pada laki-laki, memiliki fantasi seksual terhadap laki-laki, memiliki

ketertarikan secara emosional terhadap laki-laki, ketertarikan secara sosial

diarahkan pada laki-laki, memiliki gaya hidup yang tertarik kepada sesama jenis,

dan mengidentifikasi dirinya sebagai orang yang menyukai sesama jenisnya.

D. PERBEDAAN KESEHATAN MENTAL PADA GAY DITINJAU DARI

PERILAKU RELIGIUS

Tingginya tekanan sosial yang diterima oleh kaum gay seperti distigma,

diprasangka, didiskriminasikan, ditolak, diharamkan, dikutuk, dilecehkan, dihina,

dipermalukan, dianiaya, dibantai bahkan dibunuh menjadi sumber stres bagi kaum

gay sehingga mereka memiliki psychological distress dan ketegangan psikologis

yang tinggi hal ini menyebabkan kaum gay rentan mengalami gangguan kesehatan

mental (Meyer & Northridge, 2007).

Masalah kesehatan mental yang sering dihadapi kaum gay adalah depresi,

gangguan kecemasan (anxiety disorder), gangguan mood (mood disorder), harga

diri yang rendah, tidak puas dengan dirinya sendiri, merasa bersalah yang

berlebihan, merasa berdosa, gangguan stabilitas emosional, gangguan panik

(panic attack), dan perasaan tidak berharga (Greene, 2003; Jorm, Korten,

Universitas Sumatera Utara

Page 34: Chapter II t

58

58

Rodgers, Jacomb, & Christensen, 2002; MacDonald, 2006; McNair, 2003; Meyer

& Northridge, 2007; Paul, Korten, 2003).

Saroglou (2003), mengatakan bahwa setiap orang pasti melakukan suatu

mekanisme dalam usaha mengatasi masalah psikologisnya. Saroglou juga

mengatakan bahwa kaum gay melakukan mekanisme coping dan mencari

perlindungan diri dari psychological distress, depresi, gangguan kecemasan dan

masalah kesehatan mental seperti yang dipaparkan di atas. Adapun bentuk

mekanisme coping yang dilakukan oleh kaum gay untuk mengatasi masalah

kesehatan mental yang mereka alami adalah dengan berperilaku religius

(Arenofsky, 2000; Barker, 2001; Bei-hung, Skinner, Zhou, & Kazis, 2003;

Loewenthal, 2009; McQeeney, 2009; Meyer, 2003)

Lowenthal (2009), meyakini bahwa perilaku religius adalah penyembuh

(healer) terhadap masalah psikologis seseorang. Perilaku religius yang dimiliki

oleh kaum gay memampukan mereka dalam mengatasi masalah psikologis mereka

seperti terselesaikannya konflik internal, sedikit frustrasi, ketakutan yang rendah,

trauma psikologis yang rendah, harga diri yang tinggi, kestabilan emosional,

kesehatan fisik yang lebih baik, memiliki level energi yang lebih tinggi, dan hidup

dalam cara yang lebih baik (Davis, 2004).

Efek perilaku religius terhadap kesehatan mental pada gay datang dari

pola-pola pemikiran dan perilaku yang jernih yang akan mengarahkan kaum gay

untuk memiliki orientasi dan jalan hidup yang jelas dan terarah (Ellison, 2006;

2008). Perilaku religius berinteraksi dengan fungsi psikologis dan tingkat

kesehatan mental kaum gay (Aggleton, Hurry, & Warwick, 2000). Sementara

Universitas Sumatera Utara

Page 35: Chapter II t

59

59

Miller (dalam Ploutzian, 2009), berpendapat bahwa perilaku religius individu

merupakan pengarah dan pembimbing individu untuk mengadopsi dan

menginternalisasikan pola-pola perilaku, pikiran, perasaan, emosi dan kontrol diri

yang baik atau positif.

Koening (2009) menambahkan bahwa perilaku religius individu

berdampak terhadap bagaimana kondisi dan status emosi, kesejahteraan

psikologis, kebahagiaan, kepuasan hidup, pengharapan, optimisme dalam hidup,

makna hidup, dan memiliki tujuan hidup yang terarah. Aspek-aspek inilah yang

dapat meningkatkan kesehatan mental individu dan sekaligus merupakan faktor

proteksi (pelindung) bagi seseorang untuk mengalami gangguan mental.

Perilaku religius adalah dasar dalam membentuk perkembangan

kepribadian, mengarahkan dan membimbing seseorang untuk berusaha mencapai

esensi kehidupan dan kematangan diri dan pribadi serta mencapai aktualisasi diri

(self actualization) (Pieper & Uden, 2006). Maslow (dalam Notosoedirjo &

Latipun, 2005) mengatakan bahwa kematangan diri dan aktualisasi diri adalah

akar dari perkembangan kesehatan mental yang baik.

Maslow (dalam Notosoedirjo & Latipun, 2005) yang selanjutnya

diklarifikasi oleh Bailey (2000) menjelaskan bahwa aktualisasi diri dapat dicapai

di dalam perilaku religius sehingga dapat menghasilkan perasaan yang aman yang

memadai akan diri sendiri, aman dalam keluarga, aman dalam lingkungan,

pekerjaan dan sosial, memiliki perasaan berguna, tidak diganggu oleh rasa

bersalah yang berlebihan, kemampuan menikmati kebahagiaan dalam hidup, tidak

adanya konflik besar dalam dirinya, kemampuan membentuk ikatan emosional

Universitas Sumatera Utara

Page 36: Chapter II t

60

60

yang kuat dengan orang lain, dan kehidupan seksual yang wajar sehingga dengan

demikian, perilalu religius dapat memperbaiki tingkat kesehatan mental pada gay.

Glenn (1997), mengatakan bahwa perilaku religius diasosiasikan dengan

kesehatan mental yang baik. Perilaku religius pada gay berhubungan dengan

kepuasan hidup yang lebih besar, meningkatkan kesehatan psikologis, rendahnya

tingkat depresi, rendahnya menderita gangguan psikiatrik, dan harga diri yang

tinggi. Hasil temuan Francis (2008) memperkuat pernyataan Glenn dimana

perilaku religius memperkuat kontribusi terhadap kesehatan mental, kebahagiaan

hidup, merasa berharga, memiliki harga diri yang lebih tinggi, pengalaman emosi

yang positif, kecemasan yang lebih sedikit, dan terhindar dari ketakutan.

Wolkomir (2006) melakukan penelitian di Amerika Serikat terhadap

sejumlah kaum gay dan ditemukan bahwa 94% dari kaum gay tersebut yang

berperilaku religius seperti frekwensi kehadiran di gereja, berdoa dan melakukan

ritual agama memiliki pengalaman hidup yang lebih menyenangkan dan lebih

banyak mengalami kebahagiaan dalam kehidupan mereka, dimana hal ini

diasosiasikan dengan tingkat kesehatan mental yang lebih baik. Berperilaku

religius menjadikan kaum gay bebas dari tekanan, dan merasa bebas dalam

mengaktualisasikan dirinya akan tetapi tetap berserah kepada kuasa Ilahi, dan

dapat menikmati kehidupannya.

Argyle (dalam Pieper & Uden, 2006) juga mengetengahkan bahwa efek

perilaku religius dan kesehatan mental adalah berhubungan positif, dimana

perilaku religius kaum gay tersebut dapat memperbaiki dan meningkatkan

kesehatan mental mereka. Suatu studi yang dilakukan oleh Den Draak’s (1990)

Universitas Sumatera Utara

Page 37: Chapter II t

61

61

menyimpulkan bahwa 40% dari partisiapan penelitian yang memiliki orientasi

seksual sebagai gay memiliki kesehatan mental yang lebih baik karena memiliki

perilaku religius seperti menghadiri ibadah, berdoa, mengikuti ritual agama, dan

frekwensi kehadiran ke gereja yang lebih tinggi.

Penelitian lain yang dilakukan Batson (dalam Argyle, 2000)

menyimpulkan bahwa 75% dari partisipan penelitiannya, setelah diberikan angket

perilaku religius dan diukur kesehatan mentalnya ditemukan bahwa ada hubungan

yang signifikan bahwa perilaku religius memberikan dampak yang positif, seperti

penyakit yang diderita lebih rendah daripada yang tidak memiliki perilaku

religius, memiliki kebahagiaan dalam hidup, serta kesejahteraan psikologis yang

lebih baik.

Senada dengan pernyataan di atas, Almeida (2006) melakukan riset

terhadap 850 orang kaum gay dan memberikan kesimpulan bahwa perilaku

religius berhubungan positif dengan kesehatan mental yakni, bahwa orang yang

memiliki perilaku religius mempengaruhi kepuasan hidup, kebahagiaan, perasaan

yang positif, dan tingginya penalaran moral. Selain itu perilaku religius juga

berhubungan dengan dimensi lain dari kesehatan mental, dimana orang yang

memiliki perilaku religius berhubungan dengan rendahnya kecenderungan untuk

mengalami depresi, pemikiran untuk melakukan bunuh diri dan gangguan

perilaku. Almeida (2006) juga menambahkan bahwa perilaku religius

berhubungan dengan perilaku yang sehat, merasa memiliki dukungan sosial,

dimana dukungan sosial berhubungan dengan tingginya tingkat kesehatan mental

pada gay itu sendiri.

Universitas Sumatera Utara

Page 38: Chapter II t

62

62

Chapple (2003) melakukan studi kualitatif terhadap sejumlah gay dan

berdasarkan temuannya dapat disimpulkan bahwa dimensi perilaku religius adalah

sebagai prediktor dalam memahami kesehatan mental mereka. Temuan Lee

(2005) memperkuat hasil studi Chapple dan mengutarakan bahwa perilaku religius

berasosiasi dengan rendahnya tingkat depresi pada gay, level kecemasan yang

rendah, perasaan positif yang tinggi, dan rasa berharga serta tingkat harga diri

yang tinggi.

Ellison (2008) juga mengatakan bahwa perilaku religius adalah sebagi

indikator kesehatan mental, dimana perilaku religius menjadikan seseorang

merasa menikmati hidup, sedikit mengalami psychological distress, dan

rendahnya gejala psikiatrik seperti gangguan kecemasan umum (generalized

anxiety disorder) dan mayor depresi (major depressive).

Kehidupan yang religius tercermin dari perilaku yang religius yang dapat

mempengaruhi keyakinan dan proses kognitif seseorang, sehingga kaum gay yang

memiliki perilaku religius dapat mengatasi konflik, psychological distress,

penderitaan, dan masalah hidup mereka. Perilaku religius kaum gay menyiapkan

mereka untuk lebih menerima diri sendiri, memiliki ketahanan diri, resiliensi,

merasa damai dalam hidupnya, percaya diri, memiliki tujuan hidup, memiliki self

image yang positif, dan memaafkan diri sendiri ketika mengalami kegagalan

(Almeida, 2006).

Fredrickson (2006), berpendapat bahwa perilaku religius pada gay

berpengaruh pada bagaiman kaum gay menilai dirinya seperti merasa dirinya

berharga, menilai diri secara positif, mau menerima kekurangan dan kegagalnya

Universitas Sumatera Utara

Page 39: Chapter II t

63

63

dalam hidup. Fredrickson meyakini bahwa hal ini merupakan akar atau modal

dalam membentuk kesehatan mental yang baik. Perilaku religius berhubungan

dengan rendahnya risiko untuk mengalami gangguan kecemasan (anxiety

disorder), depresi, gangguan mood (mood disorder), dan stress (Sias 2006).

Bahkan perilaku religius individu diyakini oleh Dein (2006) sebagai coping untuk

menyelesaikan masalah gangguan mental seperti kecemasan dan depresi.

Mekanisme lain yang dilakukan oleh kaum gay dalam mengatasi masalah

psychological distress yang mereka alami adalah dengan menghindari diri untuk

berperilaku religius (Wolkomir, 2006). Dengan demikian, kaum gay menghindari

melakukan ajaran agama, ritual agama, berdoa, beribadah dan segala hal yang

berkaitan dengan kehidupan religius. Singkatnya bahwa kaum gay tidak

berperilaku religius (Barbara, 2005; Wolkomir, 2006).

Kaum gay mengabaikan kehidupan religiusnya supaya bebas dari rasa

bersalah dan bebas dari aturan-aturan agama yang mengikat sehingga mereka

dapat hidup lebih leluasa dalam mengekspresikan diri mereka sebagai

homoseksual. Namun menurut Barbara (2006) yang selanjutnya dipertegas oleh

Ellison (2008) bahwa menjauhkan diri dari kehidupan beragama merupakan faktor

risiko mengalami gangguan mental. Koenig (2009), juga berpendapat yang sama

bahwa orang yang nonreligius adalah salah satu faktor risiko untuk memiliki

gagngguan psikologis yang patologis.

Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Argyle pada tahun 2000

terhadap 1760 subjek penelitiannya, memberikan kesimpulan bahwa orang yang

tidak berperilaku religius seperti kehadiran ke gereja yang rendah dan frekwensi

Universitas Sumatera Utara

Page 40: Chapter II t

64

64

berdoa yang jarang mengalami tingkat kesehatan mental yang rendah, sementara

subjek yang memiliki perilaku religius setelah diukur tingkat kesehatan

mentalnya, mereka memiliki perbedaan yang signifikan dalam tingkat kesehatan

mental, dimana orang yang kehadiran dan frekwensi melakukan ibadah dan

berdoa yang lebih tinggi memiliki tingkat kesehatan mental yang lebih tinggi pula

(Argyle, 2000).

Individu yang tidak berperilaku religius seperti frekwensi berdoa yang

rendah, jarang melakukan ibadah atau sembayang akan memiliki kecenderungan

yang lebih besar untuk mengalami psychological distres, gangguan kecemasan

(anxiety disorder), depresi, perasaan bersalah, perasaan malu yang berlebihan,

memiliki pemikiran yang negatif terhadap diri sendiri, orang lain, dan

lingkungannya, gangguan paranoid sehingga hal ini bermuara kepada tingkat

kesehatan mental yang rendah (Sanua, 1999).

MacDonald (2008) mengatakan bahwa menghindari perilaku religius

merupakan pemicu seseorang cenderung menderita gangguan psikologis seperti

mengalami affect yang negatif, kondisi emosional yang negatif, penilaian diri

yang kurang realistik dan kondisi mood yang negatif. Pendapat lain

mengetengahkan hal yang serupa bahwa individu yang tidak berperilaku religius

cenderung mengalami ketegangan psikis dan konflik dengan dirinya sendiri,

kurang menerima diri sendiri, penilaian yang buruk terhadap kehidupannya

sehingga mereka cenderung merasa tidak bahagia dalam hidupnya, merasa rendah

diri, tidak puas dengan kehidupannya, ketidakstabilan emosional, menjadi otoriter,

dan kaku dengan diri sendiri. Intinya bahwa orang yang tidak berperilaku religius

Universitas Sumatera Utara

Page 41: Chapter II t

65

65

memiliki kecenderungan yang tinggi untuk mengalami tingkat kesehatan mental

yang rendah (Jorm, Korten, Rodgers, Jacomb, & Christensen, 2002; MacDonald,

2008).

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disusun kerangka penelitian ini

adalah sebagai berikut:

Gay

Sumber stress (STRESSOR)

Distigma, ditolak, dikecam, diprejudice, diejek, diolok-olok, dipermalukan, dilecehkan, diisolasi, diusir dari rumah, didiskriminasikan, dihina, ditekan, dikutuk, diharamkan, dihujat, dianiaya secara fisik dan verbal, dibantai, disiksa, bahkan dibunuh

Fenomena Psikologis

Universitas Sumatera Utara

Page 42: Chapter II t

66

66

E. Hipotesa Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang diajukan dan yang akan

diuji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Ho: tidak ada perbedaan kesehatan mental pada gay ditinjau dari perilaku religius

Ha: ada perbedaan kesehatan mental pada gay ditinjau dari perilaku religius

Mengalami gangguan kecemasan (anxiety disorder), kesepian, merasa terisolasi, depresi, harga diri rendah, ketidakstabilan emosional, kurang responsif secara emosional, mood disorder, hopeless, mengalami serangan panic (panic attack), mengalami generalized anxiety disorder, malu dengan diri sendiri, tidak puas dalam hidupnya, jijik dengan dirinya sendiri, mengalami gangguan kepribadian, menyalahkan diri sendiri, merasa berdosa, dan mengalami ketegangan psikologis.

Kesehatan Mental

-Healer (Penyembuh) Masalah Psikologis

-Dapat Membentuk Mentalitas yang baik

Risiko Mengalami Masalah Psikologis dan

Gangguan Mental

Berperilaku Religius Tidak Berperilaku Religius

KM Tinggi

KM Rendah

COPING MECHANISM

Universitas Sumatera Utara