22
 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Stres Kerja 2.1 .1. Pe nge rt ian Stres Ke rja “Stres adalah satu abstraksi. Orang tidak dapat melihat pembangkit stres (stressor ). Yang dapat dilihat ialah akibat dari pembangkit stres.” menurut Dr. Hans Selye, guru besar emiritus (purnawirawan) dari Universitas Montreal dan “penemu” stres. Spielb erg er dalam Han doy o (2001) me nye but kan bah wa stres adalah tuntu tan-tu ntuta n ekst erna l yang meng enai seseoran g, misal nya obye k-oby ek dalam lingkungan atau suatu stimulus yang secara obyektif adalah berbahaya. Stres juga biasa diartikan sebagai tekanan, ketegangan atau gangguan yang tidak menyenang kan yang berasal dari luar diri seseorang. Luthans da la m Yulianti (2000) me ndefinisikan stres se ba ga i suatu tanggapan dalam menyesuaikan diri yang dipengaruhi oleh perbedaan individu dan proses psikologis, sebagai konsekuensi dari tindakan lingkungan, situasi atau pe ris ti wa ya ng te rla lu ba nyak me ngad akan tuntut an ps ikol ogis da n fi si k seseorang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa stres kerja timbul karena tuntutan lingkungan dan tanggapan setiap individu dalam menghadapinya dapat berbeda. Menurut Ulhaq (2008) stres merupakan suatu keadaan dimana seseorang men galami keteg ang an kar ena adanya kondis i-kondisi yan g me mpengaruhi dirinya, kondisi-kondisi tersebut dapat diperoleh dari dalam maupun dari luar diri seseorang. Namun perlu diperhatikan bahwa suatu kondisi yang membuat stres kerja karyawan belum tentu akan membuat stres kerja karyawan lainnya. Konflik 8

Chapter Ii_guru Slb

Embed Size (px)

Citation preview

5/17/2018 Chapter Ii_guru Slb - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iiguru-slb 1/22

 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Stres Kerja

2.1.1. Pengertian Stres Kerja

“Stres adalah satu abstraksi. Orang tidak dapat melihat pembangkit stres

(stressor). Yang dapat dilihat ialah akibat dari pembangkit stres.” menurut Dr.

Hans Selye, guru besar emiritus (purnawirawan) dari Universitas Montreal dan

“penemu” stres.

Spielberger dalam Handoyo (2001) menyebutkan bahwa stres adalah

tuntutan-tuntutan eksternal yang mengenai seseorang, misalnya obyek-obyek

dalam lingkungan atau suatu stimulus yang secara obyektif adalah berbahaya.

Stres juga biasa diartikan sebagai tekanan, ketegangan atau gangguan yang tidak

menyenangkan yang berasal dari luar diri seseorang.

Luthans dalam Yulianti (2000) mendefinisikan stres sebagai suatu

tanggapan dalam menyesuaikan diri yang dipengaruhi oleh perbedaan individu

dan proses psikologis, sebagai konsekuensi dari tindakan lingkungan, situasi atau

peristiwa yang terlalu banyak mengadakan tuntutan psikologis dan fisik

seseorang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa stres kerja timbul karena

tuntutan lingkungan dan tanggapan setiap individu dalam menghadapinya dapat

berbeda.

Menurut Ulhaq (2008) stres merupakan suatu keadaan dimana seseorang

mengalami ketegangan karena adanya kondisi-kondisi yang mempengaruhi

dirinya, kondisi-kondisi tersebut dapat diperoleh dari dalam maupun dari luar diri

seseorang. Namun perlu diperhatikan bahwa suatu kondisi yang membuat stres

kerja karyawan belum tentu akan membuat stres kerja karyawan lainnya. Konflik

8

5/17/2018 Chapter Ii_guru Slb - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iiguru-slb 2/22

 

yang terjadi pada seorang karyawan mungkin menimbulkan stres kerja pada

seorang karyawan, namun merupakan tantangan bagi karyawan lainnya.

Berdasarkan contoh-contoh tersebut dapat dilihat bahwa kondisi yang sama belum

tentu diterima sama oleh masing-masing individu tergantung pada keadaan

individu, lingkungan dan faktor-faktor lain.

Dengan demikian secara umum dapat disimpulkan bahwa stres adalah

suatu stimulus yang berupa tekanan yang akan mempengaruhi kondisi fisik

maupun psikologi individu dimana tekanan/stimulus tersebut dapat berasal dari

luar individu.

2.1.2. Jenis-jenis Stres

Pada umumnya kita merasakan bahwa stres merupakan suatu kondisi

negatif, suatu kondisi yang mengarah ke timbulnya penyakit fisik ataupun mental,

atau mengarah ke perilaku yang tak wajar. Selve membedakan antara distress,

yang dekstruktif dan eustress, yang merupakan kekuatan positif (eustress

mengandung suku awal yang dalam bahasa Yunani berarti ‘baik’, seperti yang

terdapat dalam kata euphoria).

Stres diperlukan untuk menghasilkan prestasi yang tinggi. Stres dalam

 jumlah tertentu dapat mengarah ke gagasan-gagasan yang inovatif dan keluaran

yang konstruktif. Sampai titik tertentu bekerja dengan tekanan batas waktu dapat

merupakan proses kreatif yang merangsang. Seseorang yang bekerja pada tingkat

optimal menunjukkan antusiasisme, semangat yang tinggi, kejelasan dalam

berpikir (mental clarity) dan pertimbangan yang baik. Jika orang terlalu ambisius,

memiliki dorongan kerja yang besar atau jika beban kerja menjadi berlebihan,

tuntutan pekerjaan tinggi, maka unjuk-kerja menjadi rendah lagi. Stres menguras

9

5/17/2018 Chapter Ii_guru Slb - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iiguru-slb 3/22

 

kesehatan orangnya, kekuatannya. Tanda-tanda beban berlebih ialah mudah

tersinggung, kelelahan fisikal dan mental, ketidaktegasan, hilangnya obyektivitas,

kecenderungan berbuat salah, kekhilafan dalam ingatan dan hubungan

interpersonal yang tegang.

Stres yang meningkat sampai unjuk-kerja mencapai titik optimalnya

merupakan stres yang baik, yang menyenangkan, eustress. Dekat, sebelum

mencapai titik optimalnya, peristiwanya atau situasinya dialami sebagai tantangan

yang merangsang. Melewati titik optimal stres menjadi distress, peristiwanya atau

situasinya dialami sebagai ancaman yang mencemaskan.

Quick dan Quick (1984) mengkategorikan jenis stres menjadi dua, yaitu:

1. Eustress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat sehat, positif, dan

konstruktif (bersifat membangun). Hal tersebut termasuk kesejahteraan

individu dan juga organisasi yang diasosiasikan dengan pertumbuhan,

fleksibilitas, kemampuan adaptasi dan tingkat  performance yang tinggi.

2. Distress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat tidak sehat,

negatif dan destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut termasuk konsekuensi

individu dan juga organisasi seperti penyakit kardiovaskular dan tingkat

ketidakhadiran (absenteeism) yang tinggi, yang diasosiasikan dengan

keadaan sakit, penurunan dan kematian.

2.1.3. Tanda-tanda Stres

Everly dan Girdano (1980) mengajukan daftar ‘tanda-tanda dari adanya

distress’. Menurut mereka, stres akan mempunyai dampak pada suasana hati

(mood), otot kerangka (musculoskeletal) dan organ-organ dalam badan (visceral).

10

5/17/2018 Chapter Ii_guru Slb - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iiguru-slb 4/22

 

1. Tanda-tanda suasana hati (mood):

a. Menjadi overexcited 

b. Cemas

c. Merasa tidak pasti

d. Sulit tidur pada malam hari (somnabulisme)

e. Menjadi mudah bingung dan lupa

f. Menjadi sangat tidak enak (uncomfortable) dan gelisah (ill at ease)

g. Menjadi gugup (nervous)

2. Tanda-tanda otot kerangka (muscoskeletal)

a. Jari-jari dan tangan gemetar

b. Tidak dapat duduk diam atau berdiri di tempat

c. Mengembangkan tic (gerakan tidak sengaja)

d. Kepala mulai sakit

e. Merasa otot menjadi tegang atau kaku

f. Menggagap jika berbicara

g. Leher menjadi kaku

3. Tanda-tanda organ-organ dalam badan (visceral)

a. Perut terganggu

b. Merasa jantung berdebar

c. Banyak berkeringat

d. Tangan berkeringat

e. Merasa kepala ringan atau akan pingsan

f. Mengalami kedinginan (cold chillc)

g. Wajah menjadi ‘panas’

11

5/17/2018 Chapter Ii_guru Slb - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iiguru-slb 5/22

 

h. Mulut menjadi kering

i. Mendengar bunyi berdering dalam kuping

 j. Mengalami ‘rasa akan tenggelam’ dalam perut (sinking feeling)

2.1.4. Pembangkit Stres (Stressors)

Setiap aspek di pekerjaan dapat menjadi pembangkit stres. Tenaga kerja

yang menentukan sejauh mana situasi yang dihadapi merupakan situasi stres atau

tidak. Tenaga kerja dalam interaksinya di pekerjaan, dipengaruhi pula oleh hasil

interaksinya di tempat lain, di rumah, di sekolah, di perkumpulan dan sebagainya.

Sumber stres yang menyebabkan seseorang tidak berfungsi optimal atau yang

menyebabkan seseorang jatuh sakit, tidak saja datang dari satu macam

pembangkit stres saja tetapi dari beberapa pembangkit stres. Sebagian besar dari

waktu manusia bekerja karena itu lingkungan pekerjaan mempunyai pengaruh

yang besar terhadap kesehatan seseorang yang bekerja. Pembangkit stres di

pekerjaan merupakan pembangkit stres yang besar perannya terhadap kurang

berfungsinya atau jatuh sakitnya seorang tenaga kerja yang bekerja.

Faktor-faktor di pekerjaan yang berdasarkan penelitian dapat

menimbulkan stres dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori besar, yaitu

faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan, peran dalam organisasi, pengembangan

karir, hubungan dalam pekerjaan, serta struktur dan iklim organisasi (Hurrell dkk.

1988).

1. Faktor-faktor Intrinsik dalam Pekerjaan

Termasuk dalam kategori ini ialah tuntutan fisik dan tuntutan tugas.

Tuntutan fisik meliputi : bising, vibrasi, hygiene. Sedangkan faktor-faktor tugas

12

5/17/2018 Chapter Ii_guru Slb - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iiguru-slb 6/22

 

mencakup: kerja shift/kerja malam, beban kerja dan penghayatan dari risiko dan

bahaya.

a. Tuntutan Fisik

Kondisi kerja fisik tertentu dapat menghasilkan prestasi kerja yang

optimal. Di samping dampaknya terhadap prestasi kerja, kondisi kerja fisik juga

memiliki dampak terhadap kesehatan mental dan keselamatan kerja seorang

tenaga kerja. Kondisi fisik kerja mempunyai pengaruh terhadap kondisi faal dan

psikologis diri seorang tenaga kerja. Kondisi fisik dapat merupakan pembangkit

stres (stressor).

Bising : Bising selain dapat menimbulkan gangguan sementara atau tetap

pada alat pendengaran kita, juga dapat merupakan sumber stres yang

menyebabkan peningkatan dari kesiagaan dan ketidakseimbangan psikologis kita.

Ivancevich dan Matteson (1980) berpendapat bahwa bising yang berlebih (sekitar

80 desibel) yang berulang kali didengar untuk jangka waktu lama, dapat

menimbulkan stres.

Vibrasi (getaran): Vibrasi merupakan sumber stres yang kuat yang

mengakibatkan peningkatan taraf catecholamine dan perubahan dari berfungsinya

seseorang secara psikologikal dan neurologikal. Vibrasi atau getaran yang beralih

dari benda-benda fisik ke badan dapat memberi pengaruh yang tidak baik pada

unjuk-kerja.

 Hygiene: Lingkungan yang kotor dan tidak sehat merupakan pembangkit

stres. Para pekerja dari industri baja menggambarkan kondisi berdebu dan kotor,

akomodasi pada waktu istirahat yang kurang baik, juga toilet yang kurang

memadai. Hal ini dinilai oleh para pekerja sebagai faktor tinggi pembangkit stres.

13

5/17/2018 Chapter Ii_guru Slb - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iiguru-slb 7/22

 

b. Tuntutan Tugas

 Kerja shift/ kerja malam: Penelitian menunjukkan bahwa kerja shift 

merupakan sumber utama dari stres bagi para pekerja pabrik (Monk dan Teps

1985). Para pekerja shift  lebih sering mengeluh tentang kelelahan dan gangguan

perut daripada para pekerja pagi/siang dan dampak dari kerja shift  terhadap

kebiasaan makan yang mungkin menyebabkan gangguan-gangguan perut.

Pengaruhnya adalah emosional dan biologikal, karena gangguan ritme circadian

dari tidur/daur keadaan bangun (wake cycle), pola suhu dan ritme pengeluaran

adrenalin.

Beban Kerja: Beban kerja berlebih dan beban kerja terlalu sedikit

merupakan pembangkit stres. Beban kerja dapat dibedakan lebih lanjut ke dalam

beban kerja berlebih/terlalu sedikit ‘kuantitatif’, yang timbul sebagai akibat dari

tugas-tugas yang terlalu banyak/sedikit diberikan kepada tenaga kerja untuk

diselesaikan dalam waktu tertentu dan beban kerja berlebih/terlalu sedikit

‘kualitatif’, yaitu jika orang merasa tidak mampu untuk melakukan suatu tugas,

atau tugas tidak menggunakan keterampilan dan/atau potensi dari tenaga kerja.

2. Peran Individu dalam Organisasi

Setiap tenaga kerja bekerja sesuai dengan perannya dalam organisasi,

artinya setiap tenaga kerja mempunyai kelompok tugasnya yang harus ia lakukan

sesuai dengan aturan-aturan yang ada dan sesuai dengan yang diharapkan oleh

atasannya. Namun demikian tenaga kerja tidak selalu berhasil untuk memainkan

perannya tanpa menimbulkan masalah. Kurang baik berfungsinya (dysfunction)

peran, yang merupakan pembangkit stres, yang akan dibicarakan di sini ialah

konflik peran dan ketaksaan peran (role ambiguity).

14

5/17/2018 Chapter Ii_guru Slb - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iiguru-slb 8/22

 

a. Konflik Peran

Miles dan Perreault (1976) membedakan empat jenis konflik peran:

1. Konflik peran-pribadi: Tenaga kerja ingin melakukan tugas berbeda dari yang

disarankan dalam uraian pekerjaannya.

2. Konflik ‘Intrasender’: Tenaga kerja menerima penugasan tanpa memiliki

tenaga yang cukup untuk dapat menyelesaikan tugas dengan baik.

3. Konflik ‘Intersender’: Tenaga kerja diminta untuk berperilaku sedemikian

rupa sehingga ada orang yang merasa puas dengan hasilnya, sedangkan orang

lain tidak.

4. Peran dengan beban berlebih: Tenaga kerja mendapat penugasan kerja yang

terlalu banyak dan tidak dapat ia tangani secara efektif.

b. Ketaksaan Peran

Ketaksaan peran dirasakan jika seorang tenaga kerja tidak memiliki cukup

informasi untuk dapat melaksanakan tugasnya, atau tidak mengerti atau

merealisasi harapan-harapan yang berkaitan dengan peran tertentu.

Menurut Kahn dkk. (1964) stres yang timbul karena ketidakjelasan sasaran

akhirnya mengarah ke ketidakpuasan pekerjaan, kurang memiliki kepercayaan

diri, rasa diri tidak berguna, rasa harga diri yang menurun, depresi, motivasi

rendah untuk bekerja, peningkatan tekanan darah dan detak nadi serta

kecenderungan untuk meninggalkan pekerjaan.

3. Pengembangan Karier (Career Development )

a. Job Insecurity

Ketakutan kehilangan pekerjaan, ancaman bahwa pekerjaannya dianggap

tidak diperlukan lagi merupakan hal-hal biasa yang dapat terjadi dalam kehidupan

15

5/17/2018 Chapter Ii_guru Slb - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iiguru-slb 9/22

 

kerja. Perubahan-perubahan lingkungan menimbulkan masalah baru yang dapat

mempunyai dampak pada perusahaan. Reorganisasi dirasakan perlu untuk dapat

menghadapi perubahan lingkungan dengan lebih baik. Sebagai akibatnya ialah

adanya pekerjaan lama yang hilang dan adanya pekerjaan yang baru. Introduksi

hasil-hasil teknologi yang canggih ke dalam perusahaan juga memberikan dampak

pada jumlah dan macam pekerjaan yang ada. Dapat terjadi bahwa pekerjaan-

pekerjaan yang baru memerlukan keterampilan baru.

b. Over dan Under-promotion

Peluang yang kecil untuk promosi, baik karena keadaan tidak mengizinkan

maupun karena mungkin ‘dilupakan’, dapat merupakan pembangkit stres bagi

tenaga kerja yang merasa sudah waktunya mendapatkan promosi. Perilaku yang

mengganggu, semangat kerja yang rendah dan hubungan antarpribadi yang

bermutu rendah, berkaitan dengan stres dari kesenjangan yang dirasakan antara

kedudukannya sekarang di organisasi dengan kedudukan yang diharapkan.

Stres yang timbul karena over-promotion memberikan kondisi yang sama

seperti beban kerja berlebihan. Harga diri yang rendah dihayati oleh seorang

tenaga kerja yang mendapatkan promosi terlalu dini, atau yang dipromosikan ke

 jabatan yang menuntut pengetahuan dan keterampilan yang tidak sesuai dengan

bakatnya.

4. Hubungan dalam pekerjaan

Hubungan kerja yang tidak baik terungkap dalam gejala-gejala adanya

kepercayaan yang rendah, taraf pemberian support yang rendah dan minat yang

rendah dalam pemecahan masalah dalam organisasi. Ketidakpercayaan secara

16

5/17/2018 Chapter Ii_guru Slb - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iiguru-slb 10/22

 

positif behubungan dengan ketaksaan peran yang tinggi, yang mengarah ke

komunikasi antarpribadi yang tidak sesuai antara para tenaga kerja dan

ketegangan psikologikal dalam bentuk kepuasan pekerjaan yang rendah,

penurunan dari kondisi kesehatan dan rasa diancam oleh atasan dan rekan-rekan

kerjanya (Kahn dkk., 1964).

5. Struktur dan Iklim Organisasi

Kepuasan dan ketidakpuasan kerja berkaitan dengan penilaian dari struktur

dan iklim organisasi. Faktor stres yang terdapat dalam kategori ini terpusat pada

sejauh mana tenaga kerja dapat terlibat atau berperan serta dan pada support 

sosial.

Penelitian menunjukkan bahwa kurangnya peran serta atau partisipasi

dalam pengambilan keputusan berhubungan dengan suasana hati dan perilaku

negatif, misalnya menjadi perokok berat. Peningkatan peluang untuk berperan

serta menghasilkan peningkatan unjuk kerja dan peningkatan taraf dari kesehatan

mental dan fisik.

Studi-studi mengenai stres guru (Louden 1987, Dinham 1993, Punch dan

Tuetteman 1996, Pithers dan Soden 1999, Kyriacou 2001) menyebutkan sumber-

sumber stres guru:

1. Hubungan murid-guru yang buruk

a. Murid tidak mempunyai motivasi belajar dan rasa hormat kepada guru

b. Ada masalah tingkah laku di ruang kelas

17

5/17/2018 Chapter Ii_guru Slb - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iiguru-slb 11/22

 

c. Adanya miscommunication dan kurangnya pemahaman antara guru dan

murid disebabkan oleh perbedaan etnik, budaya dan latar belakang

2. Tekanan waktu

a. Waktu yang tidak cukup untuk persiapan

b. Tuntutan dari sekolah yang tidak realistis

c. Deadlines yang membebani

d. Adanya isu mengenai beban kerja

3. Konflik peran

a. Ada konflik antara filosofi mengajar dengan sekolah

b. Kebijakan sekolah yang menuntut perubahan dan inovasi

c. Perubahan yang diminta tidak diikuti dengan pelatihan yang tepat

d. Tuntutan administrasi dan pekerjaan yang berlebihan

4. Kondisi pekerjaan yang buruk

a. Fasilitas sarana dan prasarana yang tidak mencukupi

b. Ukuran kelas yang terlalu besar

c. Lingkungan sekolah yang bising

d. Kondisi geografis sekolah yang terisolasi

18

5/17/2018 Chapter Ii_guru Slb - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iiguru-slb 12/22

 

5. Kurangnya kontrol dan keikutsertaan dalam pengambilan keputusan yang

dapat muncul ketika:

a. Struktur birokrasi sekolah sangat hirarkis dan kekuasaan terletak pada

segelintir orang saja

b. Adanya kepemimpinan otokrasi

6. Hubungan dengan teman sekerja yang dapat muncul ketika

a. Kurangnya rasa percaya dan kerja sama antara teman sekerja

b. Adanya budaya bersaing di sekolah

7. Perasaan tidak mampu

a. Guru merasa tidak mempunyai kompetensi dan kurang terlatih

b. Guru dituntut untuk mengajar di luar kompetensi dan pelatihan mereka

c. Kurangnya pengakuan dari rekan kerja dan sekolah untuk prestasi yang

dilakukan

8. Sumber stres dari luar organisasi yang muncul ketika

a. Adanya pandangan negatif masyarakat mengenai guru dan sekolah

b. Kehidupan pribadi guru yang tidak stabil

2.2. Anak Berkebutuhan Khusus

Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) adalah anak yang dalam pendidikan

memerlukan pelayanan yang spesifik, berbeda dengan anak pada umumnya

19

5/17/2018 Chapter Ii_guru Slb - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iiguru-slb 13/22

 

karena mengalami hambatan dalam belajar dan perkembangan yang disebabkan

oleh faktor lingkungan, faktor dalam diri anak sendiri ataupun kombinasi

keduanya (UU No. 20 Tahun 2003).

2.2.1. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus

Berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan

Nasional anak berkebutuhan khusus terdiri dari :

1. Anak dengan gangguan penglihatan (Tunanetra)

2. Anak dengan gangguan pendengaran (Tunarungu)

3. Anak dengan gangguan intelektual (Tunagrahita)

4. Anak dengan gangguan gerak anggota tubuh (Tunadaksa)

5. Anak dengan gangguan berbicara (Tunawicara)

6. Anak dengan gangguan perilaku dan emosi (Tunalaras)

7. Anak dengan gangguan belajar spesifik

8. Anak lamban belajar (slow learner)

9. Anak dengan kemampuan inteligensi di atas rata-rata dan anak berbakat

10. Anak Autis

11. Anak ADHD ( Attention Deficit Hyperactivity Disorder)

20

5/17/2018 Chapter Ii_guru Slb - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iiguru-slb 14/22

 

2.2.2. Hambatan Belajar Anak Berkebutuhan Khusus

1. Hambatan Belajar Anak Tunarungu

a. Hambatan Komunikasi

Sebagai dampak langsung dari gangguan atau kehilangan pendengarannya,

anak dengan kehilangan pendengaran (terutama yang mengalami ketulian sejak

lahir) mengalami hambatan dalam berkomunikasi secara verbal, baik secara

ekspresif (bicara) maupun reseptif (memahami bahasa/bicara orang lain). Keadaan

tersebut menyebabkan anak dengan kehilangan pendengaran mengalami

hambatan dalam berkomunikasi dengan lingkungan orang mendengar yang lazim

menggunakan bahasa verbal sebagai alat komunikasi. Di samping itu, orang

mendengar sulit memahami bahasa isyarat mereka. Keadaan seperti ini

mengakibatkan interaksi antara anak tersebut dan orang-orang mendengar menjadi

terbatas, serta tidak menutup kemungkinan mereka salah menafsirkan sesuatu.

Van Uden (1977) mengemukakan bahwa dampak ketunarunguan adalah

keterbatasan dalam penguasaan bahasa secara keseluruhan. Artinya tanpa

pendidikan khusus, terlebih bagi anak tuli, mereka tidak akan mengenal lambang

bahasa atau nama suatu benda, kegiatan, peristiwa dan perasaan serta sulit

memahami aturan atau sistem bahasa yang berlaku dan digunakan oleh

lingkungannya. Oleh karena itu dari berbagai dampak yang ada akan

menimbulkan hambatan yang kompleks dan saling mempengaruhi satu sama lain.

Hambatan dalam penguasaan bahasa, merupakan hambatan utama yang

dialami anak dengan gangguan pendengaran, sedangkan penguasaan bahasa

merupakan kunci untuk menguasai ilmu-ilmu lainnya. Oleh karena itu pada awal

21

5/17/2018 Chapter Ii_guru Slb - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iiguru-slb 15/22

 

proses pendidikannya di sekolah, harus diupayakan terjadinya proses penguasaan

bahasa terlebih dahulu sebelum penyajian materi lainnya.

b. Hambatan dalam Perkembangan Kognitif

Perkembangan kognitif dipengaruhi oleh kemampuan berbahasa. Oleh

karena itu, anak dengan gangguan pendengaran terutama anak tuli, sering

menunjukkan prestasi akademik yang lebih rendah dibanding anak mendengar

seusianya. Hal tersebut senada dengan pendapat Rittenhouse (Hallahan dan

Kauffman, 1998) bahwa:’…karena anak dengan gangguan pendengaran

berprestasi sangat jauh di bawah rata-rata kelas sekolahnya, terutama di kelas

yang agak tinggi, ada kecenderungan atau anggapan bahwa mereka secara

kognitif kemampuannya kurang. Kesulitan akademik yang dihadapi anak tersebut

bukanlah karena masalah kognitif yang kurang, akan tetapi kesulitan dalam

bahasa. Dengan demikian pendidik harus berusaha mengoptimalkan kelebihan

kognitif anak tersebut.’

c. Hambatan dalam Perkembangan Emosi dan Penyesuaian Sosial

Kekurangan dalam kemampuan berbahasa verbal menyebabkan anak

tunarungu sulit mengungkapkan perasaan maupun keinginannya pada orang

mendengar, sehingga hal tersebut menimbulkan perasaan negatif yang dapat

mempengaruhi perkembangan emosi dan sosialnya. Di samping itu kekurangan

dalam pemahaman bahasa verbal menyebabkan anak tunarungu seringkali salah

menafsirkan sesuatu dan hal tersebut menjadi tekanan bagi emosinya. Hal tersebut

dapat menghambat perkembangan pribadinya dengan kecenderungan

menampilkan sikap menutup diri atau sebaliknya menampakkan kebimbangan dan

keragu-raguan.

22

5/17/2018 Chapter Ii_guru Slb - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iiguru-slb 16/22

 

Demikian juga gangguan pendengaran berdampak pada penyesuaian sosial

anak. Hambatan dalam berkomunikasi sebagai dampak langsung gangguan

pendengaran, menyebabkan anak tersebut mengalami hambatan dalam

sosialisasinya. Namun terjadinya hambatan tersebut tidak terlepas dari pengaruh

atau sikap lingkungan terhadap anak tersebut. Sikap orang tua dan masyarakat

yang kurang kondusif akan menghambat perkembangan sosial anak. Orang tua

yang menolak kehadiran anak dengan gangguan pendengaran cenderung

mengisolasi anak tersebut. Di samping itu masyarakat ada kalanya menunjukkan

sikap kurang kondusif, seperti memandang rendah anak bahkan mungkin

mencemoohkan kelainan yang disandangnya.

2. Hambatan Belajar Anak Tunagrahita

a. Hambatan dalam belajar

Hambatan dalam belajar merupakan masalah yang nyata pada anak

tunagrahita, ini disebabkan keterbatasan mereka dalam berpikir. Kesulitan belajar

pada anak tunagrahita nampak nyata ketika berhadapan dengan bidang pengajaran

akademik di sekolah, seperti berhitung, membaca, atau pelajaran lain yang

memerlukan pemikiran. Tapi bukan berarti mereka tidak dapat belajar, mereka

dapat belajar tapi harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan mereka.

Untuk mengatasi kesulitan belajar ini guru harus kreatif menciptakan kondisi

supaya anak mau untuk belajar, selain itu materi pembelajaran harus aplikatif

dalam kehidupan anak.

b. Hambatan penyesuaian diri

Penyesuaian diri ada kaitannya dengan perilaku adaptif, perilaku adaptif

digambarkan sebagai keefektifan individu dalam memenuhi standar kemandirian

23

5/17/2018 Chapter Ii_guru Slb - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iiguru-slb 17/22

 

pribadi ( personal independence) dan tanggung jawab sosial yang diharapkan dari

umurnya dan kultur setempat (Payne dan Patton 1981), dengan kata lain bahwa

perilaku adaptif seorang anak berkaitan dengan kemampuannya dan kultur atau

norma lingkungan setempat disadari atau tidak masalah perilaku adaptif atau

masalah penyesuaian diri ada kaitannya dengan sikap dan pola asuh orang tua

serta perlakuan dari orang-orang di lingkungannya. Oleh karena itu perlakuan

orang tua akan memberi warna pada pola perilaku anak tunagrahita. Ketika orang

tua mau menerima anak apa adanya maka orang tua akan berusaha untuk

memahami kekurangan anak dan mempelakukan mereka seperti anak-anak

lainnya yang tidak tunagrahita.

c. Masalah gangguan kepribadian dan emosi

Kepuasan secara fisik dan kebutuhan akan kesehatan adalah pokok untuk

kelangsungan hidup dan pertumbuhan emosi dan sosial seorang anak yang sangat

penting untuk perkembangan anak secara keseluruhan. Pertumbuhan psikososial

anak di bantu oleh perasaan dicintai dan diterima oleh orang-orang yang berada

dalam lingkungan sekitarnya. Keamanan secara emosi dan fisik memberikan dasar

untuk mengembangkan kepercayaan, yang mana mengizinkan anak untuk

mengeksplor dan menguji aspek-aspek lingkungan dan berusaha untuk

mengembangkan pemahaman terhadap diri sendiri (sense of self ). (Ericson 1968

dalam Payne dan Patton 1981).

Anak-anak tunagrahita memiliki dasar psikologis, sosial dan emosi yang

sama dengan anak-anak yang bukan tunagrahita. Tetapi sebab mereka mengalami

keunikan

24

5/17/2018 Chapter Ii_guru Slb - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iiguru-slb 18/22

 

dalam berhubungan dengan lingkungan sekitar, yang mana mereka kurang mampu

untuk mengatasinya, mereka sering mengembangkan pola-pola perilaku yang

kurang produktif (counterproduktive) untuk merealisasikan potensi mereka

sepenuhnya.

2.3. Guru

Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,

mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta

didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar

dan pendidikan menengah (UU No. 14 Tahun 2005).

Guru pendidikan khusus adalah tenaga pendidik yang memenuhi

kualifikasi akademik, kompetensi dan sertifikasi pendidik bagi peserta didik yang

memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, sosial dan/atau potensi

kecerdasan dan bakat istimewa pada satuan pendidikan khusus, satuan pendidikan

umum dan/atau satuan pendidikan kejuruan (Permendiknas No.32 Tahun 2008).

2.3.1. Klasifikasi Guru Pendidikan Khusus

Guru pendidikan khusus terdiri dari :

a. Guru Kelas TKLB

b. Guru Kelas SDLB

c. Guru Mata Pelajaran SDLB, SMPLB, SMALB

d. Guru Pendidikan Khusus pada satuan pendidikan umum dan kejuruan

2.3.2. Standar Kompetensi Guru Pendidikan Khusus

Standar kompetensi guru pendidikan khusus dikembangkan secara utuh

dari empat kompetensi guru, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi

25

5/17/2018 Chapter Ii_guru Slb - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iiguru-slb 19/22

 

kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional. Keempat kompetensi

tersebut terintegrasi dalam kinerja guru pendidikan khusus.

Standar kompetensi guru pendidikan khusus mencakup kompetensi inti

guru yang dikembangkan menjadi kompetensi guru kelas TKLB, guru kelas

SDLB, guru mata pelajaran SDLB, SMPLB, SMALB dan guru pendidikan

khusus pada satuan pendidikan umum dan kejuruan.

Kompetensi inti guru pendidikan khusus menyesuaikan kompetensi inti

guru sekolah umum sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan

Nasional Nomor 16 Tahun 2007.

1. Kompetensi Pedagogik

a. Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial,

kultural, emosional dan intelektual

b. Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik

c. Mengembangkan kurikulum yang terkait dengan mata pelajaran/bidang

pengembangan yang diampu

d. Menyelenggarakan pembelajaran/pengembangan yang mendidik

e. Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan

penyelenggaraan kegiatan pembelajaran/pengembangan yang mendidik

f. Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk

mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki

g. Berkomunikasi secara efektif, empatik dan santun dengan peserta didik

h. Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar

i. Memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan

pembelajaran

26

5/17/2018 Chapter Ii_guru Slb - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iiguru-slb 20/22

 

 j. Melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran

2. Kompetensi Kepribadian

a. Bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial dan kebudayaan

nasional Indonesia

b. Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia dan teladan

bagi peserta didik dan masyarakat

c. Menampilkan diri sebagai pribadi yang sabar, tekun, mantap, stabil,

dewasa, arif dan berwibawa

d. Menunjukkan etos kerja, tanggungjawab yang tinggi, rasa bangga menjadi

guru dan rasa percaya diri

e. Menjunjung tinggi kode etik profesi guru

3. Kompetensi Sosial

a. Bersikap inklusif, bertindak objektif, serta tidak diskriminatif karena

pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, kondisi fisik, latar belakang

keluarga dan status sosial ekonomi

b. Berkomunikasi secara efektif, empatik dan santun dengan sesama

pendidik, tenaga kependidikan, orang tua dan masyarakat

c. Beradaptasi di tempat bertugas di seluruh wilayah Republik Indonesia

yang memiliki keragaman sosial budaya

d. Berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri dan profesi lain secara

lisan dan tulisan atau bentuk lain

4. Kompetensi Profesional

a. Menguasai materi, struktur, konsep dan pola pikir keilmuan yang

mendukung mata pelajaran yang diampu

27

5/17/2018 Chapter Ii_guru Slb - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iiguru-slb 21/22

 

b. Menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata

pelajaran/bidang pengembangan yang diampu

c. Mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif

d. Mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan

tindakan reflektif

e. Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk berkomunikasi

dan mengembangkan diri

Kompetensi untuk guru pendidikan khusus dibagi-bagi lagi sesuai dengan

ABK yang ditangani. Kompetensi untuk guru tunarungu tidak sama dengan

kompetensi untuk guru tunagrahita.

Kompetensi yang harus dimiliki guru tunarungu yaitu:

1. Guru tunarungu harus menguasai pendidikan khusus anak didik.

2. Guru tunarungu harus menguasai artikulasi.

3. Guru tunarungu harus mampu mengenalkan dan mengajarkan kosa

kata kepada anak didik.

4. Guru tunarungu harus mampu mengajarkan terapi bicara.

5. Guru tunarungu harus mampu mengajarkan Bina Komunikasi Persepsi

Bunyi dan Irama (BKPBI)

6. Guru tunarungu harus mencapai target kurikulum sehingga anak didik

dapat melewati UAS BN dan melanjutkan pendidikannya di SMP inklusi.

Kompetensi yang harus dimiliki guru tunagrahita yaitu:

1. Guru tunagrahita harus mampu merancang jaring-jaring tematik sebagai

metode dalam mengajar anak didik.

2. Guru tunagrahita harus mampu mengendalikan anak didik

28

5/17/2018 Chapter Ii_guru Slb - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iiguru-slb 22/22

 

3. Guru tunagrahita harus mampu mengajarkan Program Menolong Diri

Sendiri (PMDS) atau bina diri sehingga anak didik dapat mandiri

4. Guru tunagrahita harus mengembangkan kemampuan anak didik

5. Guru tunagrahita harus mampu mengajarkan lab skill seperti memasak,

menjahit dan otomotif kepada anak didik

2.4. Kerangka Konsep

2.5 Hipoptesis Penelitian

Ha : Ada perbedaan stres kerja antara guru tunarungu dengan guru

tunagrahita di SLB-E Negeri Pembina Medan Tahun 2011.

29

Guru SLB-E NegeriPembina Medan

- Guru Tunarungu- Guru Tunagrahita

 

STRESKERJA

KarakteristikGuru SLB

- Jenis Kelamin- Umur- Pendidikan- Masa Kerja- Status

Pernikahan