Upload
sari-nurmalia-monny
View
35
Download
8
Embed Size (px)
DESCRIPTION
close fraktur
Citation preview
BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Laporan ini dibuat berdasarkan kasus yang diambil dari seseorang pasien
anak yang datang ke instalasi gawat darurat Rumah Sakit Islam Malang dengan
keluhan nyeri dan luka setelah mengalami kecelakaan lalu lintas. Pasien seorang
anak laki-laki berusia 13 tahun. KLL dialami pasien saat mengemudi sepeda
motor sendirian dengan tujuan ingin menjemput adik pasien yang berada di
karangploso. Pasien mengalami luka gores pada muka, tangan dan kaki. Saat
kejadian pasien dibantu warga sekitar dan dibawa dengan ambulan. Hasil x-ray
menunjukkan adanya diskontinuitas tulang radius ulna dextra dan pasien
direncanakan operasi pada hari tersebut.
Kecelakaan lalu lintas dan kecelakaan kerja merupakan suatu keadaan
yang tidak di inginkan yang terjadi pada semua usia dan secara mendadak. Angka
kejadian kecelakaan lalu lintas di kota Semarang sepanjang tahun 2011 mencapai
217 kasus, dengan korban meninggal 28 orang, luka berat 40 orang, dan luka
ringan sejumlah 480 orang.
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga
fisik.1 Berbagai penyebab fraktur diantaranya cidera atau benturan, faktor
patologik,dan yang lainnya karena faktor beban. Selain itu fraktur akan bertambah
dengan adanya komplikasi yang berlanjut diantaranya syok, sindrom emboli
lemak, sindrom kompartement, kerusakan arteri, infeksi, dan avaskuler nekrosis.
Komplikasi lain dalam waktu yang lama akan terjadi mal union, delayed union,
non union atau bahkan perdarahan.1 Berbagai tindakan bisa dilakukan di
antaranya rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi. Meskipun demikian
masalah pasien fraktur tidak bisa berhenti sampai itu saja dan akan berlanjut
sampai tindakan setelah atau post operasi.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah penegakan diagnosis kasus An. A?
2. Apa terapi yang diberikan pada An. A dan bagaimana kerja obat tersebut?
1
1.3 Tujuan
Laporan kasus ini disusun untuk membantu penulis mengetahui dan
memahami tentang:
1. Penegakan diagnosis fraktur et causa trauma
2. Terapi fraktur
1.4 Manfaat
Laporan kasus ini bermanfaat sebagai resume dari beberapa referensi
tentang anatomi dan fisiologi tulang serta close fraktur mulai dari definisi,
etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis dan penatalaksanaannya.
2
BAB IISTATUS PENDERITA
2.1 Identitas Penderita
Nama : An. A
Umur : 13 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Siswa
Pendidikan : SD
Nama ayah : Tn. E
Pekerjaan Ayah : Swasta
Agama : Islam
Alamat : Mt. Haryono Lowokwaru Malang
Status perkawinan : Belum menikah
Suku : Jawa
Bangsa : Indonesia
Tanggal pemeriksaan : 24 Oktober 2014
No. RM : 17.75.72
2.2 Anamnesis
Keluhan utama : luka dan nyeri
Keluhan penyerta : perdarahan
Riwayat penyakit sekarang : pasien An. A datang ke Instalasi gawat
Darurat (IGD) Rumah Sakit Islam Malang pukul 13.20 WIB dengan
diantar ibu pasien. Pasien mengalami kecelakaan lalu lintas ketika
mengendarai sepeda motor. Pasien mengalami luka pada daerah muka,
kedua ta ngan dan kedua kaki. Pasien mengeluh nyeri yang sangat pada
pergelangan tangan kanan dan pembengkakan pada kedua tangan dan kaki.
Pasien tidak mengeluh pusing, mual maupun muntah.
Riwayat penyakit dahulu
- Riwayat penyakit serupa : disangkal
- Riwayat MRS : + karena panas tinggi
3
Riwayat penyakit keluarga
- Riwayat penyakit serupa : disangkal
- Riwayat hipertensi : disangkal
- Riwayat jantung : disangkal
- Riwayat kencing anis : disangkal
- Riwayat penyakit metabolik: disangkal
- Riwayat typhoid : disangkal
- Riwayat batuk lama : disangkal
Riwayat pengobatan : disangkal
Riwayat kebiasaan
- Riwayat merokok : disangkal
- Riwayat minum kopi : disangkal
- Riwayat olahraga : futsal
- Riwayat BAK : ±6X sehari, warna jenih
- Riwayat BAB : tidak teratur, kadang 2 hari sekali
- Riwayat tidur : 8 jam sehari
Riwayat gizi : suka sayur, tempe, tahu dan telur.
Riwayat sosial ekonomi
Penghasilan keluarga bersumber dari orang tua pasien yang bekerja
sebagai penjual makanan dengan prakiraan penghasilan perbulan
Rp2.000.000. Pasien berhubungan baik dengan tetangga dan teman di
sekolah. Pasien mengikuti ekstrakurikuler sepak bola dan juga mengaji.
2.3 Anamnesis Sistem
1. Kulit
Kulit warna cokelat, kulit kering ( - ), gatal ( - ), bentol merah (-), luka
(+)
2. Kepala
Sakit kepala ( - ), pusing ( - ), rambut putih ( - ), rambut mudah rontok
( - ), luka pada kepala ( - ), benjolan pada kepala ( - ).
3. Mata
Pandangan mata berkunang-kunang ( - ), penglihatan kabur ( - ), mata
4
cowong (-)
4. Hidung
Tersumbat ( - ), mimisan ( - )
5. Telinga
Pendengaran berkurang ( - ), berdengung ( - ), keluar cairan ( - )
6. Mulut
Sariawan ( - ), mulut kering ( - )
7. Tenggorokan
Sakit menelan ( - ), serak ( - )
8. Pernafasan
Sesak nafas ( - ), batuk ( - )
9. Kardiovaskuler
Berdebar – debar ( - ), nyeri dada ( - )
10. Gastrointestinal
Mual ( - ), muntah ( - ), nyeri perut ( - ), diare ( - ), konstipasi ( - )
11. Perkemihan
Nyeri (-)
12. Neurologis
Kejang ( - ), lumpuh ( - ), kesemutan pada kedua kaki dan tangan ( - )
13. Psikiatri
Emosi stabil, mudah marah ( - )
14. Muskuloskeletal
Kaku sendi ( - ), nyeri tangan dan kaki ( - ), nyeri otot ( - ), lemas (+)
15. Ekstremitas
- Atas kanan : bengkak ( + ), sakit ( + ), luka ( + )
- Atas kiri : bengkak ( + ), sakit ( + ), luka ( + )
- Bawah kanan : bengkak ( + ), sakit ( + ), luka ( + )
- Bawah kiri : bengkak ( + ), sakit ( + ), luka ( + )
2.4 Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum
Tampak kesakitan, kesadaran composmentis, GCS 456.
5
2. Vital sign
BB : 49 Kg
TB : 150 cm
TD : 120/80 mmHg
Nadi : 78 kali/menit, regular
RR : 18 kali/menit
T : 36.5 ºC
3. Kulit
Warna coklat, sianosis ( - ), temperatur hangat, turgor menurun ( - ),
lesi: makula ( - ), papula ( - ), pustula ( - ), tumor ( - ), eritema (-),
vulnus ekskoriasi (+)
4. Kepala
Rambut : kuatitas tipis, tekstur tipis, mudah dicabut ( - ) tumor ( - ),
lesi ( - ), depresi cranium ( - )
5. Mata
Konjungtiva merah muda, sklera putih, pupil isokor ( + / + ), reflek
cahaya ( + / +), katarak ( - / - ), arkus senilis ( - / - ), eksoftalmus ( - /
- ), mata cekung (-)
6. Hidung
Nafas cuping hidung ( - ), sekret ( - / - ), epistaksis ( - / - ), deformitas
hidung ( - )
7. Mulut
Sianosis ( - ), kering (-)
8. Telinga
9. Tenggorokan
Tonsil membesar (-), faring hiperemis (-)
10. Leher
Trakea ditengah (+), pembesaran KGB (-), pembesaran kelajar tiroid
(-), lesi (-) JVP tidak meningkat, trauma servikal (-), jejas leher (-)
11. Thoraks
Simetris ( + ), bentuk normochest, retraksi intercostal ( - ), retraksi
supraklavicular ( - ), gerakan difragma simetris,
6
Jantung : dalam batas normal
Paru : wheezing (-), ronkhi (-),
12. Abdomen
Dinding perut distended (-), venektasi (-), A: peristaltik (+) normal, P:
timpani seluruh lapang perut (+), P: supel, nyeri lepas (-), nyeri tekan
(-), hepar dan lien tak teraba, trouble space (-)
13. Genitourinaria
14. Sistem collumna vertebralis
I: deformitas (-), skoliosis (-), kiphosis (-), lordosis (-), P: nyeri tekan
(-), P: nyeri ketok collumna vertebralis (-/-).
15. Ekstremitas
palmar eritema (-/-), capilari refil time ( )
akral dingin edem
- - + +
- - + +
16. Psikiatri
Penampilan : Sesuai umur, perawatan diri cukup
Kesadaran : Tidak berubah (kualitatif), composmentis
(kuantitatif)
Afek : Appropriate
Psikomotor : Normoaktif
Proses pikir : Bentuk : Realistik
Isi : Waham ( - ) , halusinasi ( - ) , ilusi ( - )
Arus : Koheren
Insight : Baik
17. Wrist dextra
Look : bengkak (+), vulnus ekskoriasi (+)
Feel : hiperemi, krepitasi (+)
Movement: gerakan pasif (+)
7
Tabel 1: Follow up
Haritanggal
S O A P
Jumat, 24/10/14
13.20 WIB
Pasien mengeluh sakit setelah mengalami kecelakaan lalu lintas. Pasien mengeluh tangan kanannya nyeri dan luka pada wajah, kedua tangan dan kedua kaki. Pasien merasa kakinya tambah besar. Tidak ada perasaan mual maupun pusing.
KU: tampak kesakitan, composmentis, BB: 49 Kg, TB: 150 cm, TD: 120/80 mmHg, Nadi: 78 kali/menit kuat, regular, RR: 18 kali/menitT: 36.5ºC,Multiple vulnus ekskoriasi (+) pada wajah, tangan dan kaki. Edema tungkai (+), krepitasi wrist dextra (+) dan gerakannya pasif.
DDx:- Close
fracture wrist dextra antebrachiic
- Multiple vulnus ekskoriasi
Tx:- Infus RL 20 tpm- Inj Ketorolac 30 mg- pasang spalk- puasa
PDx:1. Lab DL2. CTBC3. X-ray
wrist dextra APlateral
4. Konsul dr.SpBO
Jumat, 24/10/14
15.25 WIB
Nyeri (+) pada lengan kanan.
-Hb 14.6 g/dl-HCT 45.1 %-WBC10.86 ribu/ul
-Trombosit 267 ribu/ul
-RBC5.82 ribu/ul
-PDW14.8 fl-RDW-CV 12.3 %
-MPV8.83 %-PCT 0.2%-MCV77.4 fl-MCH 25.0 pg-MCHC 32.3 %
Dx:- Close
fracture radius dextra
PTx: 1) Rencana
tindakan bedah ORIF jam 19.00 WIB
2) konsul dr.SpAn
8
-Basofil 0.1 %-Eosinofil 4.6 %
-Limfosit 21.3 %
-Monosit 8.2%-LED 7-Waktu perdarahan 2’
-Waktu pembekuan 10’
-Gol. DarahB-Rhesus faktor + (Positif)
-X-ray close fracture radius dextra
Jumat, 24/10/14
18.00 WIB
Nyeri (+) lengan kanan
-TD 130/90 mmHg
-N 92 X/mnt-RR 16 X/mnt-T 36.2ºC
Dx:Close fracture radius dextra
Tx: persiapan operasi- Inj
ondansentron 4 mg
- Inj ranitidine 50 mg
Jumat, 24/10/14
23.20 WIB
Nyeri (+) -TD 110/60 mmHg
-N 88 X/mnt-RR 20 X/mnt-T 36.5ºC
Dx:Close fracture radius dextra
Tx: post op- Inj
ondansentron 4 mg
- Inj ranitidine 50 mg
- Inj Ketorolac 30 mg
Sabtu,25/10/14
05.30 WIB
Nyeri (+) -TD 110/70 mmHg
-N 72 X/mnt-RR 20 X/mnt-T 35.7ºC
Dx:Close fracture radius dextra
Tx:- Inj
Ketorolac 30 mg
Sabtu,25/10/14
06.10 WIB
Nyeri (+) -TD 110/70 mmHg
-N 72 X/mnt-RR 20 X/mnt-T 35.7ºC-Produksi urin
Dx:Close fracture radius dextra
Tx:- Inj
Ranitidin 50 mg
- Inj Ondansentr
9
50 cc/jam warna jenih
on 4 mg- Iv RL:D5
1:1 100cc/24 jam
- Iv morfin 2 mg
Sabtu,25/10/14
12.30 WIB
Nyeri (+), mual (+), muntah (+)
-TD 110/80 mmHg
-N 70 X/mnt-RR 20 X/mnt-T 35.0ºC
Dx:Close fracture radius dextra
Tx:- Inj
Ketorolac 30 mg
- Inj Ondansentron 4 mg
Sabtu,25/10/14
18.30 WIB
Nyeri (+), mual (+)
-TD 120/80 mmHg
-N 80 X/mnt-RR 20 X/mnt-T 35.5ºC
Dx:Close fracture radius dextra
Tx:- Inj
Ranitidin 50 mg
- Inj Ketorolac 30 mg
- Inj Ondansentron 4 mg
Minggu,26/10/14
Nyeri (+) minimal, mual (+)
-TD 120/70 mmHg
-N 75 X/mnt-RR 18 X/mnt-T 36ºC-Swelling (+)
Dx:Close fracture radius dextra
Tx:- Inj
Ranitidin 2X50 mg
- Inj Ketorolac 3X30 mg
- Inj Ondansentron 3X4 mg
Senin,27/10/14
Nyeri (+) minimal, mual (-)
-TD 120/80 mmHg
-N 69 X/mnt-RR 18 X/mnt-T 35.7ºC-Swelling (+)
Dx:Close fracture radius dextra
Tx:- Cefixime
2X100 mg- Na
Diklofenac 2X50 mg
Keterangan: S = subjektif, O = objektif, A = assessment, P = planning
2.5 Diagnosis Banding
- Close fracture wrist dextra antebrachiic
10
- Multiple vulnus ekskoriasi
2.6 Pemeriksaan Penunjang
1. Darah lengkap tanggal 24/10/2014, 15.25 WIB
Jumlah sel darah
Hb 14.6 g/dl (Normal)
HCT 45.1 % (Normal)
WBC 10.86 ribu/ul (Meningkat)
Trombosit 267 ribu/ul (Normal)
RBC 5.82 ribu/ul (Meningkat)
PDW 14.8 fl (Meningkat)
RDW-CV 12.3 % (Normal)
MPV 8.83 % (Normal)
PCT 0.2%
Index
MCV 77.4 fl (Menurun)
MCH 25.0 pg (Menurun)
MCHC 32.3 % (Normal)
Differential
Basofil 0.1 % (Menurun)
Eosinofil 4.6 % (Normal)
Limfosit 21.3 % (Menurun)
Monosit 8.2% (Meningkat)
LED 7
2. CT BC
Faal hemostasis-spesimen darah
Waktu perdarahan 2 menit (Normal)
Waktu pembekuan 10 menit (Normal)
Hematologi ABX pentra 60-spesimen darah
Gol. Darah B
Rhesus faktor + (Positif)
11
3. X-ray wrist dextra
Gambar 2.1 X-Ray wrist
2.7 Diagnosis
1. Diagnosis dari segi biologis : An. A menderita close fracture
radius dextra
2. Diagnosis dari segi psikologis : hubungan An. A terjalin baik antara
anggota keluarga, pasien diantar oleh ibu pasien saat berobat ke rumah
sakit. Di rumah, pasien tinggal dengan ayah, ibu dan adik.
3. Diagnosis dari segi sosial
a. Personal : nyeri dan luka karena kecelakaan lalu lintas
b. Harapan : ingin cepat sembuh
c. Kekhawatiran : takut keluhannya semakin parah
d. Klinis : close fracture radius dextra
e. Resiko internal : psikologi, usia
f. Resiko eksternal : trauma
g. Fungsional : derajat 3 (sakit berat tapi masih mampu
melakukan aktivitas ringan)
2.8 Resume
Pasien an. A datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Islam
Malang pukul 13.20 WIB dengan diantar ibu pasien. Pasien mengalami
12
kecelakaan lalu lintas ketika mengendarai sepeda motor. Pasien mengalami luka
pada daerah muka, kedua tangan dan kedua kaki. Pasien mengeluh nyeri yang
sangat pada pergelangan tangan kanan dan pembengkakan pada kedua tangan
kaki. Pasien tidak mengeluh pusing, mual maupun muntah. Dari pemeriksaan fisik
didapatkan An. A kesakitan, kesadaran composmentis, GCS 456, BB 49Kg , TB
150 cm, TD 120/80 mmHg, Nadi 78 kali/menit, regular, RR 18 kali/menit, T
36.5 ºC, edema ekstremitas inferior, multiple vulnus ekskoriasi, nyeri antebrachiin
dextra dan krepitasi (+). Hasil pemeriksaan laboratorium Hb normal, HCT
normal, WBC meningkat, Trombosit normal, RBC meningkat, CT BC normal,
golongan darah B dan pada foto x-ray didapatkan close fracture radius dextra.
2.9 Penatalaksanaan
A. Non Medikamentosa
Pasang Spalk
Puasa (pre op)
Posisi supine
Operasi
B. Medikamentosa
- Infus RL 20 tpm
- Inj ketorolac 3X30 mg
- Inj ranitidine 2X50 mg
- Inj ondancentron 3X4 mg
- Inj morfin 2 mg iv
- Cefixime 2X100 mg
- Na diklofenak 1X50 mg
2.10Karakteristik Demografi Keluarga
Nama kepala keluarga : Tn. E
Nama pasien : An. A
Alamat : Mt Haryono Lowokwaru Malang
Bentuk keluarga : nuclear family
13
Tabel 2. Daftar anggota keluarga An. A yang tinggal dalam 1 rumah
No Nama Kedu-Dukan
L/P Umur Pendidikan
Pekerjaan Pasien klinik
Ket.
1. Tn. E KK L 37 thn SMP Penjual makanan
Tidak -
2. Ny. N Istri Tn.E P 35 thn SMP Penjual makanan
Tidak -
3. An. A Anak 1 L 13 thn SMP Siswa Ya Close fracture radius dextra
4. An. D Anak 2 L 4 thn TK Siswa Tidak -
Sumber: data primer, 27 Oktober 2014
Kesimpulan:
Keluarga An. A adalah nuclear family (keluarga inti adalah
keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak) tahap 4 yang terdiri atas 4
orang yang tinggal dalam satu rumah. Terdapat anggota keluarga yang
sakit yaitu An. A, umur 13 tahun, beralamat di Lowokwaru . Diagnosis
klinis pasien adalah close fracture radius dextra. Pasien adalah anak
pertama dari dua bersaudara pasangan Tn. E dan Ny. N.
2.11 Identifikasi Fungsi Keluarga
a. APGAR Score
1. Adaptasi
Kemampuan anggota keluarga tersebut beradaptasi dengan anggota
keluarga yang lain, serta penerimaan, dukungan dan saran dari anggota
keluarga yang lain.
2. Partnership
Menggambarkan komunikasi, saling membagi, saling mengisi antara
anggota keluarga dalam segala masalah yang dialami oleh keluarga
tersebut.
3. Growth
Menggambarkan dukungan keluarga terhadap hal –hal yang dilakukan
anggota keluarga tersebut.
14
4. Affection
Menggambarkan hubungan kasih sayang dan interaksi antar anggota
keluarga.
5. Resolve
Menggambarkan kepuasan anggota keluarga tentangg kebersamaan
dan waktu yang dihabiskan bersama anggota keluarga yang lain.
Terdapat tiga kategori penilaian yaitu : nilai rata –rata ≤ 5 kurang ,
6-7 cukup dan 8-10 adalah baik.
Tabel 3. Nilai APGAR Tn. E
APGAR Tn. E Terhadap Keluarga
Sering/selalu Kadang-kadang
Jarang/Tidak
Saya puas bahwa saya dapat kembali ke keluarga saya bila saya menghadapi masalah
v
Saya puas dengan cara keluarga saya membahas dan membagi masalah dengan saya
v
Saya puas dengan cara keluarga saya menerima dan mendukung keinginan saya untuk melakukan kegiatan baru atau arah hidup yang baru
v
Saya puas dengan cara keluarga saya mengekspresikan kasih sayangnya dan merespon emosi saya seperti kemarahan, perhatian dll
v
Saya puas dengan cara keluarga saya dan saya membagi waktu bersama-sama
v
Total skor APGAR Tn. E adalah 10
Tabel 4. Nilai APGAR Ny. N
APGAR Ny. N Terhadap Keluarga
Sering/selalu Kadang-kadang
Jarang/Tidak
Saya puas bahwa saya dapat kembali ke keluarga saya bila saya menghadapi masalah
v
Saya puas dengan cara keluarga saya membahas dan membagi masalah dengan saya
v
Saya puas dengan cara keluarga v
15
saya menerima dan mendukung keinginan saya untuk melakukan kegiatan baru atau arah hidup yang baruSaya puas dengan cara keluarga saya mengekspresikan kasih sayangnya dan merespon emosi saya seperti kemarahan, perhatian dll
v
Saya puas dengan cara keluarga saya dan saya membagi waktu bersama-sama
v
Total skor APGAR Ny. N adalah 10
Tabel 5. Nilai APGAR An. A
APGAR An. A Terhadap Keluarga
Sering/selalu Kadang-kadang
Jarang/Tidak
Saya puas bahwa saya dapat kembali ke keluarga saya bila saya menghadapi masalah
v
Saya puas dengan cara keluarga saya membahas dan membagi masalah dengan saya
v
Saya puas dengan cara keluarga saya menerima dan mendukung keinginan saya untuk melakukan kegiatan baru atau arah hidup yang baru
v
Saya puas dengan cara keluarga saya mengekspresikan kasih sayangnya dan merespon emosi saya seperti kemarahan, perhatian dll
v
Saya puas dengan cara keluarga saya dan saya membagi waktu bersama-sama
v
Total skor APGAR An. A adalah 10
APGAR score keluarga An. A = (10+10+10): 3 = 10
Kesimpulan :
Fungsi fisiologis keluarga An. A baik.
b. Fungsi Patologis
16
Tabel 6. Fungsi patologis keluarga An. A
SUMBER PATHOLOGY KET
SocialPasien dan anggota keluarga tidak ikut berpatisipasi dalam kegiatan lingkungan secara aktif karena khawatir tidak memperoleh informasi dengan cepat
-
Cultural Keluarga menggunakan adat- istiadat jawa dalam kehidupan sehari-hari
-
Religius Ketaatan dan pemahaman dalam beribadah menurut ajaran islam tidak cukup dan jarang berpartisipasi dalam beberapa kegiatan keagamaan.
-
Economy Ekonomi keluarga ini yang bersumber dari suami An. A kurang
-
Education Keluarga kurang mampu memahami keadaan pasien
+
Medical Pasien dan keluarga bukan termasuk BPJS +
Kesimpulan :
Dilihat dari hasil SCREEM, keluarga An. A termasuk keluarga yang
cukup dalam segi sosial, kultural (budaya), agama dan ekonomi. Tetapi
keluargan An. A kurang dalam hal edukasi dan kesehatan. Keluarga An. A
cukup aktif dalam kegiatan disekitar tempat tinggal mereka. Keluarga
tersebut menggunakan bahasa Indonesia dan jawa dalam kehidupan sehari-
hari dan rajin beribadah. Orang tua pasien menempuh pendidikan terakhir
SMP sedangkan pasien sekarang duduk di bangku kelas 1 SMP. Keluarga
pasien bukan merupakan peserta BPJS.
c. Genogram
Bentuk keluarga : Nuclear Family
Keterangan :
= Laki-laki = Perempuan = Pasien X = Meninggal
d. Tahapan Keluarga
17
Gambar 2.2 Genogram keluarga An. A
X
= Tinggal dalam 1 rumah
Perkembangan keluarga adalah proses perubahan dari sistem
keluarga yang terjadi dari waktu ke waktu meliputi perubahan interaksi dan
hubungan di antara keluarga dari waktu ke waktu.
Kelurga An. A termasuk dalam tahap 4 yaitu: keluarga dengan anak usia
sekolah: dimulia saat anak pertama berusia 6 tahun sampai 13 tahun.
Tugas perkembangan tahap 4 adalah sebagai berikut:
a. Membantu sosialisasi anak dengan tetangga, sekolah dan
lingkungan.
b. Mempertahankan hubungan perkawinan bahagia.
c. Memenuhi kebutuhan dan biaya hidup yang semakin meningkat.
d. Meningkatkan komunikasi terbuka.
e. Denah Rumah
kamar kamar km dapur
ruang tamu ruang keluarga kamar
Gambar 2.3 Denah rumah keluarga An. A
f. Pola Interaksi Keluarga
Pola interaksi keluarga An. A
Keterangan:
18
An. A
Tn. E
Ny. N
An.D
Gambar 2.4 Pola interaksi keluarga An. A
: hubungan baik : laki-laki : perempuan
Kesimpulan :
Hubungan An. A dengan setiap anggota keluarga yang tinggal bersamanya
cukup baik.
g. Faktor Perilaku Keluarga
Menurut pendapat pasien, yang dimaksud kondisi sehat adalah suatu
kondisi dimana seseorang tidak menderita penyakit sehingga bisa melakukan
aktivitasnya dengan baik. Jika ada anggota keluarga yang sakit keluarga
segera memeriksakan dan mencari pengobatan ke dokter praktek atau rumah
sakit.
h. Faktor Non Perilaku
Keluarga An. A menggunakan rumah sakit umum/swasta sebagai
sarana untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Rumah yang dihuni keluarga
ini terletak di kota dengan pencahayaan yang cukup, menggunakan air PDAM
sebagai sumber air bersih dan ventilasi rumah cukup baik.
BAB III
19
Keluarga Ny. TKeluarga Ny. T
Gambar 2.4: Faktor perilaku dan non perilakuyang berhubungan dengan kasus An. A
Keluarga An. AKeluarga An. A
Sikap: keluarga peduli terhadap penyakit
penderita
Lingkungan : Perkampungan, padat
penduduk
Tindakan: keluarga segera mengantarkan An.
A untuk berobat
Pemahaman: keluarga memahami penyakit penderita
Keturunan : -
Pelayanan Kesehatan : An. A bukan merupakan
pasien peserta BPJS
Faktor Perilaku Faktor Non Perilaku
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Tulang
3.1.1 Anatomi
Tulang adalah jaringan yang kuat dan tangguh yang memberi bentuk
pada tubuh. Skelet atau kerangka adalah rangkaian tulang yang mendukung
dan melindungi organ lunak, terutama dalam tengkorak dan panggul. Tulang
membentuk rangka penunjang dan pelindung bagi tubuh dan tempat untuk
melekatnya otot-otot yang menggerakan kerangka tubuh. Tulang juga
merupakan tempat primer untuk menyimpan dan mengatur kalsium dan fosfat.1
Gambar 3.1 Anatomi Wrist 2
Tulang membentuk rangka penunjang dan pelindung bagi tubuh dan
tempat untuk melekatnya otot- otot yang menggerakan kerangka tubuh. Tulang
juga merupakan tempat primer untuk menyimpan dan mengatur kalsium dan
20
fosfat. Tulang rangka orang dewasa terdiri atas 206 tulang. Tulang adalah
jaringan hidup yang akan suplai syaraf dan darah. Tulang banyak mengandung
bahan kristalin anorganik (terutama garam-garam kalsium ) yang membuat
tulang keras dan kaku., tetapi sepertiga dari bahan tersebut adalah fibrosa yang
membuatnya kuat dan elastis.1 Tulang ekstremitas bawah atau anggota gerak
bawah dikaitkan pada batang tubuh dengan perantara gelang panggul terdiri
dari 31 pasang antra lain: tulang koksa, tulang femur, tibia, fibula, patella,
tarsalia, metatarsal dan falang.1
3.1.2 Fisiologi
Sistem muskuloskeletal adalah penunjang bentuk tubuh dan peran
dalam pergerakan. Sistem terdiri dari tulang sendi, rangka, tendon, ligament,
bursa, dan jaringan-jaringan khusus yang menghubungkan struktur tersebut.1
Tulang adalah suatu jaringan dinamis yang tersusun dari tiga jenis sel antara
lain : osteoblast, osteosit dan osteoklas. Osteoblas membangun tulang dengan
membentuk kolagen tipe 1 dan proteoglikan sebagai matriks tulang dan
jaringan osteoid melalui suatu proses yang di sebut osifikasi. Ketika sedang
aktif menghasilkan jaringan osteoid, osteoblas mengsekresikan sejumlah besar
fosfatase alkali, yang memegang peran penting dalam mengendapkan kalsium
dan fosfat kedalam matriks tulang, sebagian fosfatase alkali memasuki aliran
darah dengan demikian maka kadar fosfatase alkali di dalam darah dapat
menjadi indikator yang baik tentang tingkat pembentukan tulang setelah
mengalami patah tulang atau pada kasus metastasis kanker ke tulang. Ostesit
adalah sel- sel tulang dewasa yang bertindak sebagai suatu lintasan untuk
pertukaran kimiawi melalui tulang yang padat. Osteklas adalah sel-sel besar
berinti banyak yang memungkinkan mineral dan matriks tulang dapat di
absorbsi. Tidak seperti osteblas dan osteosit, osteklas mengikis tulang. Sel-sel
ini menghsilkan enzim-enzim proteolotik yang memecahkan matriks dan
beberapa asam yang melarutkan mineral tulang, sehingga kalsium dan fosfat
terlepas ke dalam aliran darah. Secara umum fungsi tulang menurut Price dan
Wilson (2006) antara lain:
1) Sebagai kerangka tubuh. Tulang sebagai kerangka yang
menyokong dan memberi bentuk tubuh.
21
2) Proteksi sistem muskuloskeletal melindungi organ- organ penting,
misalnya otak dilindungi oleh tulang-tulang tengkorak, jantung dan
paru-paru terdapat pada rongga dada (cavum thorax) yang di
bentuk oleh tulang-tulang kostae.
3) Ambulasi dan mobilisasi tulang dan otot memungkinkan terjadinya
pergerakan tubuh dan perpindahan tempat. Tulang memberikan
suatu sistem pengungkit yang digerakan oleh otot-otot yang
melekat pada tulang tersebut sebagai suatu sistem pengungkit yang
digerakan oleh kerja otot-otot yang melekat.
4) Deposit mineral sebagai reservoir kalsium, fosfor, natrium,dan
elemen-elemen lain. Tulang mengandung 99% kalsium dan 90%
fosfor tubuh.
5) Hemopoesis berperan dalam bentuk sel darah pada red marrow.
Untuk menghasilkan sel-sel darah merah dan putih serta trombosit
dalam sumsum tulang tertentu.
3.2 Fraktur
3.2.1 Definisi
Ada beberapa pengertian fraktur menurut para ahli adalah:
1) Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga
fisik.1
2) Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis
dan luasnya, fraktur terjadi jika tulang dikenai stres yang lebih besar dari
yang dapat diabsorbsinya.3
3) Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, kebanyakan fraktur akibat
dari trauma, beberapa fraktur sekunder terhadap proses penyakit seperti
osteoporosis yang menyebabkan fraktur yang patologis.4
4) Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang ditandai oleh rasa
nyeri, pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan dan
krepitasi.5
3.2.2 Etiologi
Etiologi fraktur yang dimaksud adalah peristiwa yang dapat
22
menyebabkan terjadinya fraktur diantaranya peristiwa trauma (kekerasan) dan
peristiwa patologis.
1. Peristiwa Trauma (kekerasan)
a) Kekerasan langsung
Kekerasan langsung dapat menyebabkan tulang patah pada titik
terjadinya kekerasan itu, misalnya tulang kaki terbentur bumper mobil,
maka tulang akan patah tepat di tempat terjadinya benturan. Patah tulang
demikian sering bersifat terbuka, dengan garis patah melintang atau
miring.
b) Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang di tempat
yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah
bagian yang paling lemah dalam hantaran vektor kekerasan. Contoh
patah tulang karena kekerasan tidak langsung adalah bila seorang jatuh
dari ketinggian dengan tumit kaki terlebih dahulu. Yang patah selain
tulang tumit, terjadi pula patah tulang pada tibia dan kemungkinan pula
patah tulang paha dan tulang belakang. Demikian pula bila jatuh dengan
telapak tangan sebagai penyangga, dapat menyebabkan patah pada
pergelangan tangan dan tulang lengan bawah.
c) Kekerasan akibat tarikan otot
Kekerasan tarikan otot dapat menyebabkan dislokasi dan patah
tulang. Patah tulang akibat tarikan otot biasanya jarang terjadi.
Contohnya patah tulang akibat tarikan otot adalah patah tulang patella
dan olekranom, karena otot triseps dan biseps mendadak berkontraksi.
2. Peristiwa Patologis
a) Kelelahan atau stres fraktur
Fraktur ini terjadi pada orang yang yang melakukan aktivitas
berulang – ulang pada suatu daerah tulang atau menambah tingkat
aktivitas yang lebih berat dari biasanya. Tulang akan mengalami
perubahan struktural akibat pengulangan tekanan pada tempat yang sama,
23
atau peningkatan beban secara tiba – tiba pada suatu daerah tulang maka
akan terjadi retak tulang.
b) Kelemahan tulang
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal karena lemahnya
suatu tulang akibat penyakit infeksi, penyakit metabolisme tulang
misalnya osteoporosis, dan tumor pada tulang. Sedikit saja tekanan pada
daerah tulang yang rapuh maka akan terjadi fraktur.
3.2.3 Patofisiologis
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat
patah ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga
biasanya mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat
setelah fraktur. Sel- sel darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan
peningkatan aliran darah ketempat tersebut aktivitas osteoblast terangsang dan
terbentuk tulang baru imatur yang disebut callus. Bekuan fibrin
direabsorbsidan sel- sel tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk
tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut syaraf yang
berkaitan dengan pembengkakan yang tidak ditangani dapat menurunkan
asupan darah ke ekstrimitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila
tidak terkontrol pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan tekanan
jaringan, oklusi darah total dan berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya
serabut syaraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini di namakan sindrom
kompartemen.6
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan ketidak
seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur tertutup.
Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak seperti tendon, otot,
ligament dan pembuluh darah.2 Pasien yang harus imobilisasi setelah patah
tulang akan menderita komplikasi antara lain: nyeri, iritasi kulit karena
penekanan, hilangnya kekuatan otot. Kurang perawatan diri dapat terjadi bila
sebagian tubuh di imobilisasi, mengakibatkan berkurangnyan kemampuan
prawatan diri.7 Reduksi terbuka dan fiksasi interna (ORIF) fragmen-fragmen
tulang di pertahankan dengan pen, sekrup, plat, paku. Namun pembedahan
meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Pembedahan itu sendiri
24
merupakan trauma pada jaringan lunak dan struktur yang seluruhnya tidak
mengalami cedera mungkin akan terpotong atau mengalami kerusakan selama
tindakan operasi.1
3.2.4 Klasifikasi
Fraktur dapat dibedakan jenisnya berdasarkan hubungan tulang dengan
jaringan disekitar, bentuk patahan tulang, dan lokasi pada tulang fisis.
1. Berdasarkan hubungan tulang dengan jaringan disekitar
- Fraktur tertutup ( closed)
Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar, disebut dengan fraktur bersih
(karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada
klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak
sekitar trauma, yaitu:
1) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera
jaringan lunak sekitarnya.
2) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit
dan jaringan subkutan.
3) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan
lunak bagian dalam dan pembengkakan.
4) Tingkat 3: Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak
yang nyata dan ancaman sindroma kompartement.
- Fraktur terbuka ( open/compound )
Bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia
luar karena adanya perlukaan di kulit. Fraktur terbuka terbagi atas
tiga derajat (menurut R. Gustillo), yaitu:
1) Derajat I
- Luka <1 cm
- Kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka
remuk
- Fraktur sederhana, transversal, oblik, atau kominutif
ringan
25
- Kontaminasi minimal
2) Derajat II
- Laserasi >1 cm
- Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/ avulsi
- Fraktur kominutif sedang
- Kontaminasi sedang
3) Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi
struktur kulit, otot, dan neurovaskular serta kontaminasi
derajat tinggi. Fraktur terbuka derajat III terbagi atas:
- Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat,
meskipun terdapat laserasi luas/flap/avulsi atau fraktur
segmental/sangat kominutif yang disebabkan oleh
trauma berenergi tinggi tanpa melihat besarnya ukuran
luka.
- Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulang yang
terpapar atau kontaminasi masif.
- Luka pada pembuluh arteri/saraf perifer yang harus
diperbaiki tanpa melihat kerusakan jaringan lunak.
2. Berdasarkan bentuk patahan tulang
a) Transversal
Adalah fraktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu panjang
tulang atau bentuknya melintang dari tulang. Fraktur semacam ini
biasanya mudah dikontrol dengan pembidaian gips.
b) Spiral
Adalah fraktur meluas yang mengelilingi tulang yang timbul akibat
torsi ekstremitas atau pada alat gerak. Fraktur jenis ini hanya
menimbulkan sedikit kerusakan jaringan lunak.
26
Gambar 3.2 Bentuk Patahan Tulang 8
c) Oblik
Adalah fraktur yang memiliki patahan arahnya miring dimana garis
patahnya membentuk sudut terhadap tulang.
d) Segmental
Adalah dua fraktur berdekatan pada satu tulang, ada segmen tulang
yang retak dan ada yang terlepas menyebabkan terpisahnya segmen
sentral dari suplai darah.
e) Kominuta
Adalah fraktur yang mencakup beberapa fragmen, atau terputusnya
keutuhan jaringan dengan lebih dari dua fragmen tulang.
f) Greenstick
Adalah fraktur tidak sempurna atau garis patahnya tidak lengkap
dimana korteks tulang sebagian masih utuh demikian juga periosterum.
Fraktur jenis ini sering terjadi pada anak – anak.
g) Fraktur Impaksi
Adalah fraktur yang terjadi ketika dua tulang menumbuk tulang ketiga
yang berada diantaranya, seperti pada satu vertebra dengan dua vertebra
lainnya.
h) Fraktur Fissura
Adalah fraktur yang tidak disertai perubahan letak tulang yang berarti,
fragmen biasanya tetap di tempatnya setelah tindakan reduksi.
27
3. Berdasarkan lokasi pada tulang fisis
Tulang fisis adalah bagian tulang yang merupakan lempeng
pertumbuhan, bagian ini relatif lemah sehingga strain pada sendi dapat
berakibat pemisahan fisis pada anak – anak. Fraktur fisis dapat terjadi akibat
jatuh atau cedera traksi. Fraktur fisis juga kebanyakan terjadi karena
kecelakaan lalu lintas atau pada saat aktivitas olahraga. Klasifikasi yang paling
banyak digunakan untuk cedera atau fraktur fisis adalah klasifikasi fraktur
menurut Salter – Harris:
1) Tipe I: fraktur transversal melalui sisi metafisis dari lempeng
pertumbuhan, prognosis sangat baik setelah dilakukan reduksi tertutup.
2) Tipe II: fraktur melalui sebagian lempeng pertumbuhan, timbul
melalui tulang metafisis , prognosis juga sangat baik denga reduksi
tertutup.
3) Tipe III: fraktur longitudinal melalui permukaan artikularis dan epifisis
dan kemudian secara transversal melalui sisi metafisis dari lempeng
pertumbuhan. Prognosis cukup baik meskipun hanya dengan reduksi
anatomi.
4) Tipe IV: fraktur longitudinal melalui epifisis, lempeng pertumbuhan
dan terjadi melalui tulang metafisis. Reduksi terbuka biasanya penting
dan mempunyai resiko gangguan pertumbuhan lanjut yang lebih besar.
5) Tipe V: cedera remuk dari lempeng pertumbuhan, insidens dari
gangguan pertumbuhan lanjut adalah tinggi.
3.2.5 Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,
pemendekan ekstrimitas, krepitus, pembengkakan local, dan perubahan warna.
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di
imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang di rancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen
tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung
bergerak tidak alamiah bukan seperti normalnya, pergeseran fraktur
menyebabkan deformitas, ekstrimitas yang bias di ketahui dengan
28
membandingkan dengan ekstrimitas yang normal. Ekstrimitas tidak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada
integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
4. Saat ekstrimitas di periksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
yang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan yang lainya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai
akibat dari trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini
biasanya baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.3
3.2.6 Penatalaksanan
Menurut Mansjoer (2000) dan Muttaqin (2008) konsep dasar yang
harus dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur yaitu: rekognisi, reduksi,
retensi, dan rehabilitasi.4,9
1. Rekognisi
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk
menentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat
fraktur tungkai akan terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk
yang nyata dapat menentukan diskontinuitas integritas rangka.
2. Reduksi (manipulasi/ reposisi)
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen
fragmen tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak
asalnya. Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan
reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan
sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan
elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada
kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah
mulai mengalami penyembuhan.4
3. Retensi (Immobilisasi)
29
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga
kembali seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi, fragmen
tulang harus diimobilisasi, atau di pertahankan dalam posisi kesejajaran
yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan
fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan,
gips, bidai, traksi kontinu, pin, dan teknik gips, atau fiksator eksterna.
Implan logam dapat di gunakan untuk fiksasi intrerna yang brperan
sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur. Fiksasi eksterna
adalah alat yang diletakkan diluar kulit untuk menstabilisasikan fragmen
tulang dengan memasukkan dua atau tiga pin metal perkutaneus
menembus tulang pada bagian proksimal dan distal dari tempat fraktur dan
pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan menggunakan eksternal
bars. Teknik ini terutama atau kebanyakan digunakan untuk fraktur pada
tulang tibia, tetapi juga dapat dilakukan pada tulang femur, humerus dan
pelvis.4
4. Rehabilitasi
Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk
menghindari atropi atau kontraktur. Bila keadaan mmeungkinkan, harus
segera dimulai melakukan latihan-latihan untuk mempertahankan kekuatan
anggota tubuh dan mobilisasi.4
3.2.7 Stadium Penyembuhan Fraktur
Proses penyembuhan fraktur terdiri atas lima stadium yaitu :
- Pembentukan hematom
Fraktur merobek pembuluh darah dalam medulla, korteks dan
periosteum sehingga timbul hematom.
- Organisasi
Dalam 24 jam, kapiler dan fibroblas mulai tumbuh ke dalam
hematom disertai dengan infiltrasi sel – sel peradangan. Dengan
demikian, daerah bekuan darah diubah menjadi jaringan granulasi
fibroblastik vaskular.
- Kalus sementara
30
Pada sekitar hari ketujuh, timbul pulau – pulau kartilago dan jaringan
osteoid dalam jaringan granulasi ini. Kartilago mungkin timbul dari
metaplasia fibroblas dan jaringan osteoid ditentukan oleh osteoblas
yang tumbuh ke dalam dari ujung tulang. Jaringan osteoid, dalam
bentuk spikula ireguler dan trabekula, mengalami mineralisasi
membentuk kalus sementara. Tulang baru yang tidak teratur ini
terbentuk dengan cepat dan kalus sementara sebagian besar lengkap
pada sekitar hari kedua puluh lima.
- Kalus definitif
Kalus sementara yang tak teratur secara bertahap akan diganti oleh
tulang yang teratur dengan susunan havers – kalus definitif.
- Remodeling
Kontur normal dari tulang disusun kembali melalui proses
remodeling akibat pembentukan tulang osteoblastik maupun resorpsi
osteoklastik. Keadaaan terjadi secara relatif lambat dalam periode
waktu yang berbeda tetapi akhirnya semua kalus yang berlebihan
dipindahkan, dan gambaran serta struktur semula dari tulang
tersusun kembali.
Gambar 3.3 Stadium Penyembuhan Fraktur
3.2.8 Kelainan Penyembuhan Fraktur
31
Tulang memperlihatkan kemudahan penyembuhan yang besar tetapi
dapat terjadi sejumlah penyulit atau terdapat kelainan dalam proses
penyembuhan.
1) Malunion
Kelainan penyatuan tulang karena penyerasian yang buruk
menimbulkan deformitas, angulasi atau pergeseran.
2) Penyatuan tertunda
Keadaan ini umum terjadi dan disebabkan oleh banyak faktor, pada
umumnya banyak diantaranya mempunyai gambaran hiperemia dan
dekalsifikasi yang terus menerus. Faktor yang menyebabkan penyatuan
tulang tertunda antara lain karena infeksi, terdapat benda asing, fragmen
tulang mati, imobilisasi yang tidak adekuat, distraksi, avaskularitas, fraktur
patologik, gangguan gizi dan metabolik.
3) Non union (tak menyatu)
Penyatuan tulang tidak terjadi, cacat diisi oleh jaringan fibrosa.
Kadang – kadang dapat terbentuk sendi palsu pada tempat ini. Faktor –
faktor yang dapat menyebabkan non union adalah tidak adanya
imobilisasi, interposisi jaringan lunak, pemisahan lebar dari fragmen
contohnya patella dan fraktur yang bersifat patologis.
3.2.9 Komplikasi Fraktur
a. Sindrom Emboli Lemak
Merupakan keadaan pulmonari akut dan dapat menyebabkan
kondisi fatal. Hal ini terjadi ketika gelembung – gelembung lemak
terlepas dari sumsum tulang dan mengelilingi jaringan yang rusak.
Gelombang lemak ini akan melewati sirkulasi dan dapat menyebabkan
oklusi pada pembuluh – pembuluh darah pulmonary yang menyebabkan
sukar bernafas. Gejala dari sindrom emboli lemak mencakup dyspnea,
perubahan dalam status mental (gaduh, gelisah, marah, bingung, stupor),
tachycardia, demam, ruam kulit ptechie.
b. Sindrom Kompartemen
Komplikasi ini terjadi saat peningkatan tekanan jaringan dalam
ruang tertutup di otot, yang sering berhubungan dengan akumulasi cairan
32
sehingga menyebabkan hambatan aliran darah yang berat dan berikutnya
menyebabkan kerusakan pada otot. Gejala – gejalanya mencakup rasa
sakit karena ketidakseimbangan pada luka, rasa sakit yang berhubungan
dengan tekanan yang berlebihan pada kompartemen, rasa sakit dengan
perenggangan pasif pada otot yang terlibat, dan paresthesia. Komplikasi
ini terjadi lebih sering pada fraktur tulang kering (tibia) dan tulang hasta
(radius atau ulna).
c. Nekrosis Avaskular (Nekrosis Aseptik)
Nekrosis avaskular dapat terjadi saat suplai darah ke tulang
kurang baik. Hal ini paling sering mengenai fraktur intrascapular femur
(yaitu kepala dan leher), saat kepala femur berputar atau keluar dari sendi
dan menghalangi suplai darah. Karena nekrosis avaskular mencakup
proses yang terjadi dalam periode waktu yang lama, pasien mungkin
tidak akan merasakan gejalanya sampai dia keluar dari rumah sakit. Oleh
karena itu, edukasi pada pasien merupakan hal yang penting. Perawat
harus menyuruh pasien supaya melaporkan nyeri yang bersifat intermiten
atau nyeri yang menetap pada saat menahan beban.
d. Osteomyelitis
Adalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum dan
korteks tulang dapat berupa exogenous (infeksi masuk dari luar tubuh)
atau hematogenous (infeksi yang berasal dari dalam tubuh). Patogen
dapat masuk melalui luka fraktur terbuka, luka tembus, atau selama
operasi. Luka tembak, fraktur tulang panjang, fraktur terbuka yang
terlihat tulangnya, luka amputasi karena trauma dan fraktur – fraktur
dengan sindrom kompartemen atau luka vaskular memiliki risiko
osteomyelitis yang lebih besar.
e. Gangren Gas
Gas gangren berasal dari infeksi yang disebabkan oleh bakterium
saprophystik gram-positif anaerob yaitu antara lain Clostridium welchii
atau clostridium perfringens. Clostridium biasanya akan tumbuh pada
luka dalam yang mengalami penurunan suplai oksigen karena trauma
otot. Jika kondisi ini terus terjadi, maka akan terdapat edema, gelembung
33
– gelembung gas pada tempat luka. Tanpa perawatan, infeksi toksin
tersebut dapat berakibat fatal.
3.2.10 Pencegahan Fraktur
Pencegahan fraktur dapat dilakukan berdasarkan penyebabnya. Pada
umumnya fraktur disebabkan oleh peristiwa trauma benturan atau terjatuh baik
ringan maupun berat. Pada dasarnya upaya pengendalian kecelakaan dan
trauma adalah suatu tindakan pencegahan terhadap peningkatan kasus
kecelakaan yang menyebabkan fraktur.
- Pencegahan Primer
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan upaya menghindari
terjadinya trauma benturan, terjatuh atau kecelakaan lainnya. Dalam
melakukan aktifitas yang berat atau mobilisasi yang cepat dilakukan
dengan cara hati – hati, memperhatikan pedoman keselamatan dengan
memakai alat pelindung diri.
- Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dilakukan untuk mengurangi akibat – akibat
yang lebih serius dari terjadinya fraktur dengan memberikan pertolongan
pertama yang tepat dan terampil pada penderita. Mengangkat penderita
dengan posisi yang benar agar tidak memperparah bagian tubuh yang
terkena fraktur untuk selanjutnya dilakukan pengobatan. Pemeriksaan
klinis dilakukan untuk melihat bentuk dan keparahan tulang yang patah.
Pemeriksaan dengan foto radiologis sangat membantu untuk mengetahui
bagian tulang yang patah yang tidak terlihat dari luar. Pengobatan yang
dilakukan dapat berupa traksi, pembidaian dengan gips atau dengan fiksasi
internal maupun eksternal.
- Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier pada penderita fraktur yang bertujuan untuk
mengurangi terjadinya komplikasi yang lebih berat dan memberikan
tindakan pemulihan yang tepat untuk menghindari atau mengurangi
kecacatan. Pengobatan yang dilakukan disesuaikan dengan jenis dan
beratnya fraktur dengan tindakan operatif dan rehabilitasi. Rehabilitasi
34
medis diupayakan untuk mengembalikan fungsi tubuh untuk dapat kembali
melakukan mobilisasi seperti biasanya. Penderita fraktur yang telah
mendapat pengobatan atau tindakan operatif, memerlukan latihan
fungsional perlahan untuk mengembalikan fungsi gerakan dari tulang yang
patah. Upaya rehabilitasi dengan mempertahankan dan memperbaiki
fungsi dengan mempertahankan reduksi dan imobilisasi antara lain
meminimalkan bengkak, memantau status neurovaskuler, mengontrol
ansietas dan nyeri, latihan dan pengaturan otot, partisipasi dalam aktivitas
hidup sehari-hari, dan melakukan aktivitas ringan secara bertahap.
35
BAB IVPEMBAHASAN
4.1 Penegakan Diagnosis Fraktur
1) Anamnesis
Keluhan utama berupa:
- Trauma, waktu terjadinya trauma, cara terjadinya trauma, lokasi
trauma
- Nyeri, lokasi nyeri, sifat nyeri, intensitas nyeri, reffered pain
- Kekakuan sendi
- Pembengkakan
- Deformitas
- Ketidakstabilan sendi
- Kelemahan otot
- Gagguan sensibilitas
- Hilangnya fungsi
- Jalan pincang
2) Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi (look)
- Kulit, meiputi warna kulit, tanda peradangan dan tekstur kulit
- Jaringan lunak, pembuluh darah, saraf, otot, tendon, ligament,
jaringan lemak, fasia dan kelenjar limfe
- Tulang dan sendi
- Sinus dan jaringan parut
b. Palpasi (feel)
- Suhu kulit, denyutan arteri
- Jaringan lunak, mengetahui adanya spasme otot, atrofi otot
- Nyeri tekan
36
- Tulang, perhatikan bentuk, permukaan, ketebalan, penonjolan
dari tulang
- Penilaian deformitas
3) Pemeriksaan penunjang
Dilakukan pemeriksaan rontgen, apabila fraktur pada tulang panjang
dilakukan posisi AP dan latera
4.2 Penatalaksanaan
Farmakologis 11
1. Infus RL 20 tpm
Komposisi: Na laktat 3.1 gram, NaCl 6 gram, KCl 0.33 gram, CaCl2
0.2 gram, air 1000 ml.
Indikasi: mengembalikan keseimbangan cairan pada kasus dehidrasi
Kontraindikasi: hipernatremi, kelainan hati/ginjal dan laktat asidosis
Efek samping: panas, infeksi pada tempat injeksi, thrombosis vena
dan ekstravasasi.
Dosis: sesuai kondisi penderita
Kemasan: Larutan infus 500 ml.
Alasan pemberian cairan infus ringer laktat untuk memenuhi
kebutuhan cairan dalam tubuh selama an. D tidak makan/minum.
Selain itu juga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan elektrolit yaitu
natrium, kalium dan klorida.
2. Ketorolac 30 mg
Ketorolac tromethamine merupakan suatu analgesik non-
narkotik. Obat ini merupakan obat anti-inflamasi nonsteroid yang
menunjukkan aktivitas antipiretik yang lemah dan anti-inflamasi.
Ketorolac tromethamine menghambat sintesis prostaglandin dan
dapat dianggap sebagai analgesik yang bekerja perifer karena tidak
mempunyai efek terhadap reseptor opiat.
Ketorolac tromethamine diserap dengan cepat dan lengkap
setelah pemberian intramuskular dengan konsentrasi puncak rata-rata
dalam plasma sebesar 2,2 mcg/ml setelah 50 menit pemberian dosis
37
tunggal 30 mg. Waktu paruh terminal plasma 5,3 jam pada dewasa
muda dan 7 jam pada orang lanjut usia (usia rata-rata 72 tahun).
Lebih dari 99% Ketorolac terikat pada konsentrasi yang beragam.
Farmakokinetik Ketorolac pada manusia setelah pemberian secara
intramuskular dosis tunggal atau multipel adalah linear. Kadar steady
state plasma dicapai setelah diberikan dosis tiap 6 jam dalam sehari.
Pada dosis jangka panjang tidak dijumpai perubahan bersihan.
Setelah pemberian dosis tunggal intravena, volume distribusinya rata-
rata 0,25 L/kg. Ketorolac dan metabolitnya (konjugat dan metabolit
para-hidroksi) ditemukan dalam urin (rata-rata 91,4%) dan sisanya
(rata-rata 6,1%) diekskresi dalam feses. Pemberian Ketorolac secara
parenteral tidak mengubah hemodinamik pasien.
Ketorolac diindikasikan untuk penatalaksanaan jangka pendek
terhadap nyeri akut sedang sampai berat setelah prosedur bedah.
Durasi total Ketorolac tidak boleh lebih dari lima hari. Ketorolac
secara parenteral dianjurkan diberikan segera setelah operasi. Harus
diganti ke analgesik alternatif sesegera mungkin, asalkan terapi
Ketorolac tidak melebihi 5 hari. Ketorolac tidak dianjurkan untuk
digunakan sebagai obat prabedah obstetri atau untuk analgesia
obstetri karena belum diadakan penelitian yang adekuat mengenai hal
ini dan karena diketahui mempunyai efek menghambat biosintesis
prostaglandin atau kontraksi rahim dan sirkulasi fetus.
Kontraindikasi:
- Pasien yang sebelumnya pernah mengalami alergi dengan obat
ini, karena ada kemungkinan sensitivitas silang.
- Pasien yang menunjukkan manifestasi alergi serius akibat
pemberian Asetosal atau obat anti-inflamasi nonsteroid lain.
- Pasien yang menderita ulkus peptikum aktif.
- Penyakit serebrovaskular yang dicurigai maupun yang sudah
pasti.
- Diatesis hemoragik termasuk gangguan koagulasi.
38
- Sindrom polip nasal lengkap atau parsial, angioedema atau
bronkospasme.
- Terapi bersamaan dengan ASA dan NSAID lain.
- Hipovolemia akibat dehidrasi atau sebab lain.
- Gangguan ginjal derajat sedang sampai berat (kreatinin serum
>160 mmol/L).
- Riwayat asma.
- Pasien pasca operasi dengan risiko tinggi terjadi perdarahan
atau hemostasis inkomplit, pasien dengan antikoagulan
termasuk Heparin dosis rendah (2.500–5.000 unit setiap 12
jam).
- Terapi bersamaan dengan Ospentyfilline, Probenecid atau
garam lithium.
- Selama kehamilan, persalinan, melahirkan atau laktasi.
- Pasien yang mempunyai riwayat sindrom Steven-Johnson atau
ruam vesikulobulosa.
- Pemberian neuraksial (epidural atau intratekal).
- Pemberian profilaksis sebelum bedah mayor atau intra-operatif
jika hemostasis benar-benar dibutuhkan karena tingginya risiko
perdarahan.
Dosis: Ketorolac ampul ditujukan untuk pemberian injeksi
intramuskular atau bolus intravena. Dosis untuk bolus intravena
harus diberikan selama minimal 15 detik. Ketorolac ampul tidak
boleh diberikan secara epidural atau spinal. Mulai timbulnya efek
analgesia setelah pemberian IV maupun IM serupa, kira-kira 30
menit, dengan maksimum analgesia tercapai dalam 1 hingga 2 jam.
Durasi median analgesia umumnya 4 sampai 6 jam. Dosis sebaiknya
disesuaikan dengan keparahan nyeri dan respon pasien. Lamanya
terapi : Pemberian dosis harian multipel yang terus-menerus secara
intramuskular dan intravena tidak boleh lebih dari 2 hari karena efek
samping dapat meningkat pada penggunaan jangka panjang.
39
Selain mempunyai efek yang menguntungkan, Ketorolac
tromethamine juga mempunyai efek samping, diantaranya:
- Efek pada gastrointestinal
Ketorolac tromethamine dapat menyebabkan ulcerasi peptic,
perdarahan dan perlubangan lambung. Sehingga Ketorolac
tromethamine dilarang untuk pasien yang sedang atau
mempunyai riwayat perdarahan lambung dan ulcerasi peptic.
- Efek pada ginjal
Ketorolac tromethamine menyebabkan gangguan atau
kegagalan depresi volume pada ginjal, sehingga dilarang
diberikan pada pasien dengan riwayat gagal ginjal.
- Resiko perdarahan
Ketorolac tromethamine menghambat fungsi trombosit,
sehingga terjadi gangguan hemostasis yang mengakibatkan
risiko perdarahan dan gangguan hemostasis.
- Reaksi hipersensitivitas
Dalam pemberian Ketorolac tromethamine bias terjadi reaksi
hypersensitivitas dari hanya sekedar spasme bronkus hingga
shock anafilaktik, sehigga dalam pemberian Ketorolac
tromethamine harus diberikan dosis awal yang rendah.
3. Ranitidin 2X50 mg
Ranitidine adalah suatu histamin antagonis reseptor H2 yang
menghambat kerja histamin secara kompetitif pada reseptor H2 dan
mengurangi sekresi asam lambung.
Pada pemberian i.m./i.v. kadar dalam serum yang diperlukan untuk
menghambat 50% perangsangan sekresi asam lambung adalah 36–94
mg/mL. Kadar tersebut bertahan selama 6–8 jam.
Ranitidine diabsorpsi 50% setelah pemberian oral. Konsentrasi
puncak plasma dicapai 2–3 jam setelah pemberian dosis 150 mg.
Absorpsi tidak dipengaruhi secara nyata oleh makanan dan antasida.
Waktu paruh 2 ½–3 jam pada pemberian oral, Ranitidine diekskresi
melalui urin
40
Indikasi:
- Pengobatan jangka pendek tukak usus 12 jari aktif, tukak
lambung aktif, mengurangi gejala refluks esofagitis.
- Terapi pemeliharaan setelah penyembuhan tukak usus 12 jari,
tukak lambung.
- Pengobatan keadaan hipersekresi patologis (misal : sindroma
Zollinger Ellison dan mastositosis sistemik).
- Ranitidine injeksi diindikasikan untuk pasien rawat inap di
rumah sakit dengan keadaan hipersekresi patologis atau ulkus
12 jari yang sulit diatasi atau sebagai pengobatan alternatif
jangka pendek pemberian oral pada pasien yang tidak bisa
diberi Ranitidine oral.
Dosis Ranitidine oral
- 150 mg 2 kali sehari (pagi dan malam) atau 300 mg sekali
sehari sesudah makan malam atau sebelum tidur, selama 4 –
8 minggu.
- Tukak lambung aktif 150 mg 2 kali sehari (pagi dan malam)
selama 2 minggu.
- Terapi pemeliharaan pada penyembuhan tukak 12 jari dan
tukak lambung Dewasa: 150 mg, malam hari sebelum tidur.
- Keadaan hipersekresi patologis (Zollinger - Ellison,
mastositosis sistemik) Dewasa: 150 mg, 2 kali sehari
dengan lama pengobatan ditentukan oleh dokter
berdasarkan gejala klinik yang ada. Dosis dapat
ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan masing-masing
penderita. Dosis hingga 6 g sehari dapat diberikan pada
penyakit yang berat.
- Refluks gastroesofagitis Dewasa: 150 mg, 2 kali sehari.
- Esofagitis erosif Dewasa: 150 mg, 4 kali sehari.
- Pemeliharaan dan penyembuhan esofagitis erosif Dewasa:
150 mg, 2 kali sehari.
41
- Dosis pada penderita gangguan fungsi ginjal Bila bersihan
kreatinin < 50 mL / menit: 150 mg / 24 jam. Bila perlu dosis
dapat ditingkatkan secara hati-hati setiap 12 jam atau
kurang tergantung kondisi penderita.
- Hemodialisis menurunkan kadar Ranitidine yang
terdistribusi.
Efek samping:
- Sakit kepala
- Susunan saraf pusat, jarang terjadi: malaise, pusing,
mengantuk, insomnia, vertigo, agitasi, depresi, halusinasi.
- Kardiovaskular, jarang dilaporkan: aritmia seperti
takikardia, bradikardia, atrioventricular block, premature
ventricular beats.
- Gastrointestinal: konstipasi, diare, mual, muntah, nyeri
perut. Jarang dilaporkan: pankreatitis.
- Muskuloskeletal, jarang dilaporkan : artralgia dan mialgia.
- Hematologik: leukopenia, granulositopenia, pansitopenia,
trombositopenia (pada beberapa penderita). Kasus jarang
terjadi seperti agranulositopenia, trombositopenia, anemia
aplastik pernah dilaporkan.
- Lain-lain, kasus hipersensitivitas yang jarang (contoh:
bronkospasme, demam, eosinofilia), anafilaksis, edema
angioneurotik, sedikit peningkatan kadar dalam kreatinin
serum.
4. Morfin 2 mg iv
Efek analgesik morfin timbul berdasarkan 3 mekanisme:
1) Morfin meninggikan ambang rangsang nyeri
2)Morfin dapat mempengaharui emosi, artinya morfin dapat
mengubah reaksi yang timbul di korteks serebri pada waktu persepsi
nyeri diterima oleh korteks serebri dari thalamus
3) Morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang rangsang
nyeri meningkat.
42
Efek morfin terjadi pada susunan syaraf pusat dan organ yang
mengandung otot polos. Efek morfin pada system syaraf pusat
mempunyai dua sifat yaitu depresi dan stimulasi. Digolongkan
depresi yaitu analgesia, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi
alveolar. Stimulasi termasuk stimulasi parasimpatis, miosis, mual
muntah, hiperaktif reflek spinal, konvulsi dan sekresi hormon anti
diuretika (ADH).
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat
menembus kulit yang luka. Morfin juga dapat menembus mukosa.
Morfin dapat diabsorsi usus, tetapi efek analgesik setelah pemberian
oral jauh lebih rendah daripada efek analgesik yang timbul setelah
pemberian parenteral dengan dosis yang sama. Morfin dapat
melewati sawar uri dan mempengaruhi janin. Ekskresi morfin
terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas ditemukan
dalam tinja dan keringat.
Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai:
1) Infark miokard
2) Neoplasma
3) Kolik renal atau kolik empedu
4) Oklusi akut pembuluh darah perifer, pulmonal atau coroner
5) Perikarditis akut, pleuritis dan pneumotorak spontan
6) Nyeri akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur dan nyeri
pasca bedah.
Morfin tersedia dalam tablet, injeksi, supositoria. Morfin oral
dalam bentuk larutan diberikan teratur dalam tiap 4 jam. Dosis
anjuran untuk menghilangkan atau mengurangi nyeri sedang adalah
0,1-0,2 mg/ kg BB. Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg intravena
dan dapat diulang sesuai yamg diperlukan.
5. Ondancentron 3X4 mg
Ondansetron adalah antagonis reseptor 5HT3 yang poten dan
selektif. Pemberian obat-obat kemoterapi dan radioterapi dapat
menyebabkan pelepasan 5HT3 ke dalam usus halus yang akan
43
merangsang refleks muntah dengan mengaktifkan serabut afferen
vagal lewat reseptor 5HT3. Ondansetron menghambat dimulainya
refleks ini.
Aktifasi serabut afferen vagal juga dapat menyebabkan
pelepasan 5HT3 dalam area postrema, yang berlokasi di dasar
ventrikel keempat.dan ini juga dapat merangsang emesis melalui
mekanisme sentral. Karenanya efek Ondansetron dalam penanganan
mual dan muntah yang diinduksi oleh kemoterapi dan radioterapi
sitotoksik ini mungkin disebabkan oleh antagonisme reseptor 5HT3
pada neuron yang berlokasi dl sistem saraf pusat maupun di sistem
saraf tepi. Pada percobaan psikomotor, Ondansetron tidak
mengganggu tampilan dan juga tidak menyebabkan sedasi.
Ondansetron tidak mengganggu konsentrasi prolaktin dalam plasma.
Konsentrasi puncak dalam plasma dicapai setelah 1,5 jam
pemberian Ondansetron per oral. Bioavailabilitas absolut
Ondansetron per oral mencapai 60%. Disposisi Ondansetron setelah
pemberian per oral ataupun secara intravena sama dengan waktu
paruh eliminasi terminal yang mencapai 3 jam, meskipun dapat
diperpanjang sampai 5 jam pada penderita usia lanjut.
Kemudian obat ini secara ekstensif dimetabolisme dan metabolitnya
diekskresikan ke dalam feses dan urin. Ikatan protein plasma
mencapai70-76%.
Ondansetron diindikasikan untuk penanggulangan mual dan
muntah karena kemoterapi dan radioterapi serta operasi. Tidak boleh
digunakan pada keadaan mual dan muntah karena sebab lain. Efek
samping ondansetron yang biasanya terjadi adalah sakit kepala,
sensasi kemerahan atau hangat pada kepala dan epigastrium. Efek
samping yang jarang terjadi dan biasanya hanya bersifat sementara
adalah peningkatan aminotransferase yang asimtomatik. Ondansetron
juga dapat meningkatkan waktu transit usus besar dan dapat
menyebabkan
6. Cefixim 2X100 mg
44
Cefixime memiliki spektrum antibakteri yang luas terhadap
mikroorganisme gram-positif dan gram-negative. Dibandingkan
dengan sediaan oral cephalosporin lain, cefixime khususnya memiliki
aktivitas yang poten terhadap organisme gram-positif seperti
Streptococcus sp, Streptococcus pneumoniae, dan gram-negatif
seperti branhamella catarrhalis, Escherichia coli, proteus sp,
Haemophillus influenzae. Cara kerjanya adalah sebagai bakterisidal.
Cefixime sangat stabil dan memiliki aktiitas yang baik terhadap beta-
laktamase yang dihasilkan banyak organisme.
Mekanisme kerja Cefixime dengan menghambat sintesis
dinding sel mikroorganisme. Cefixime memiliki afinitas yang tinggi
untuk pembentukan protein penicillin, dengan tempat aktivitas yang
bervariasi tergantung pada organismenya.
Farmakokinetik
Konsentrasi serum: Pemberian Cefixime secara oral dengan dosis
tunggal 50, 100, atau 20 mg pada orang dewasa sehat yang berpuasa,
konsentrasi maksimum setelah 4 jam berturut-turut adalah 0,69 ; 1,13
dan 1,95 g/mL. Waktu paruh dalam serum antara 2,3 – 2,5 jam.
Pemberian cefixime secara oral dengan dosis 1,5 ; 3,0 atau 6 mg
(potensi)/kg bb pada pasien anak-anak yang fungsi ginjal yang
normal, maksimum konsentrasi serum setelah 3-4 jam berturut-turut
adalah 1,14 ;2,01 dan 3,97 g/mL. Waktu paruh dalam serum adalah
3,2-3,7 jam.
Penetrasi terhadap jaringan: Penetrasi ke dalam air liur, tonsil,
jaringan mukosa sinus maksilaris, sekret telinga, cairan empedu, dan
jaringan kantong empedu sangat baik.
Metabolisme: tidak ditemukan metabolit antibakteri yang aktif pada
serum manusia atau urin.
Eksresi: Cefixime terutama dieksresi melalui ginjal. Peningkatan
eksresi urin (lebih dari 12 jam) setelah pemberian oral sediaan 50,
100 atau 200 mg , pada orang dewasa sehat yang berpuasa, sekitar
20-25%. Konsentrasi maksimum dalam urin berturut-turut adalah :
45
42,9 ;62,2 dan 82,7 g/mL setelah 4-6 jam. Peningkatan eksresi urin
(lebih dari 12 jam), setelah pemberian oral sediaan 1,5 ; 3,0 dan 6,0
mg/kg bb pada pasien anak-anak dengan fungsi ginjal yang normal,
sekitar 13-20%
Cefixime diindikasikan untuk pengobatan infeksi yang
disebabkan oleh miroorganisme sebagai berikut:
- Infeksi saluran urin tanpa komplikasi yang disebabkan oleh
Escherichia coli dan Proteus mirabillis
- Otitis media yang disebabkan oleh Haemophillus influenzae
(beta-laktamase strain positif dan negatif), moraxella
(Branhamella) catarrhalis (umumnya yang termasuk beta-
laktamase strain positif) dan Streptococcus pyogenes.
- Faringitis dan tonsillitis yang disebabkan oleh Streptococcus
pyogenes.
- Bronkhitis akut dan eksaserbasi akut bronkhitis kronik yang
disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae dan Haemophillus
influenzae (beta-laktamase strain negatif dan positif).
- Pengobatan demam tifoid pada anak dengan multi-resisten
terhadap pengobatan standar.
Dosis dan cara pemberian:
- Untuk orang dewasa dan anak dengan berat badan, > 30 kg :
dosis yang dianjurkan adalah 50-100 mg (potensi), 2 kali
sehari. Dosis harus disesuaikan dengan umur, berat badan dan
kondisi pasien. Pada infeksi yang berat atau dapat berinteraksi,
dosis dapat ditingkatkan menjadi 200 mg (potensi), 2 kali
sehari.
- Cefixime suspensi 100 mg (potensi) : dosis umum untuk anak-
anak adalah 1,5 - 3 mg (potensi)/kg, 2 kali sehari. Dosis harus
disesuaikan terhadap kondisi pasien. Untuk infeksi yang berat
atau dapat berinteraksi, dosis dapat ditingkatkan menjadi 6 mg
(potensi)/kg, 2 kali sehari.
46
- Pada anak-anak, otitis media harus diobati dengan sediaan
suspensi. Studi klinik pada otitis media menunjukkan bahwa
pada pemberian dosis yang sama, sediaan suspensi
memberikan hasil kadar puncak dalam darah yang lebih tinggi
dibandingkan dengan sediaan tablet. Oleh karena itu pada
pengobatan otitis media pengoabatan dengan sediaan suspensi
tidak boleh diganti dengan sediaan tablet.
- Demam tifoid pada anak-anak: 10-15 mg/kg/hari selama 2
minggu.
- Pasien dengan kerusakan fungsi ginjal memerlukan modifikasi
dosis tergantung pada tingkat kerusakan. Apabila bersihan
kreatinin antara 21-60 mg mL/min atau pasien mendapat terapi
hemodialisa, dosis yang dianjurkan adalah 75% dari dosis
standar (misalnya 300 mg sehari). Apabila bersihan kreaatinin
kuran dari 20 mL/min atau pasien mendapat terapi rawat jalan
peritonial dialisaberkelanjutan, dosis yang dianjurkan adalah
50% dari dosis standar (misalnya 200 mg perhari).
- Pada kasus overdosis
Kontraindikasi: pasien dengan riwayat syok atau hipersensitivitas
yang disebabkan oleh komponen dalam obat.
7. Na Diklofenac 2X500 mg
Gol.obat : AINS
Indikasi : Nyeri dan radang pada penyakit
reumatik ( termasuk juvenile arthritis ) dan gangguan otot skelet
lainnya , gout akut , nyeri pasca bedah .
Kontraindikasi : Pemakaian selama kehamilan tidak dianjurkan.
Dosis orang dewasa 100-150 mg : 218).
Efek samping : Efek samping yang lazim ialah mual,
gastritis, eritema kulit dan sakit kepala sama seperti semua obat
AINS. Pemakaian obat ini harus berhati-hati pada penderita tukak
lambung.
Farmakokinetik : ekskresi urin :< 1 % , ikatan di plasma : >99,5%,
47
Volume distribusi : 0,17 ± 0,11 liter / kg , waktu paruh : 1,1
±0,2 jam .
Farmakodinamik: Diklofenakdiakumulasikan untuk menjelaskan
efek terapi sendi.
Dosis : Oral 75 - 150 mg /hari dalam 2-3 dosis, sebaiknya
setelah makan.
Non Farmakologis
Tujuan dari penatalaksanaan dermatitis alergika adalah:
1. Jangka pendek : menghilangkan/menurunkan keluhan yang
dialami pasien
2. Jangka panjang : mencegah tejadi keluhan serupa
3. Cara : menurunkan faktor resiko, mengobati
keluhan pasien dengan obat-obatan
4. Kegiatan : istirahat cukupdan latihan gerak
(menggenggam)
48
BAB VPENUTUP
5.1 Kesimpulan
Diagnosis holistik An. A adalah :
a. Diagnosa biologis : close fracture radius dextra
b. Diagnosis psikologis : Hubungan An. A dengan anggota keluarganya
cukup baik.
c. Diagnosis ekonomi : Status ekonomi menengah
d. Diagnosis sosial : Hubungan dengan masyarakat sekitar baik.
5.2 Saran
1. Primer Healt Promotion : Memakai APD saat mengendarai sepeda
motor, memiliki SIM (usia>18 tahun)
2. Sekunder Prompt Treatment: rehidrasi, reduksi, retensi, recognisi dan
rehabilitasi
- Early Diagnosis: tanda, gejala, pemeriksaan fisik dan X-ray wrist
dextra
- Disability Limitation: Operasi dan pasang gips
3. Tersier Rehabilitasi: istirahat, elevasi lengan 10 cm diatas jantung,
latihan ROM aktif dan pasif.
49
DAFTAR PUSTAKA
1. Price., et al. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Ed 6. Jakarta: EGC
2. Ariana, Sinta. 2011. Anatomi sistem muskuloskeletal http://sintadotners.wordpress.com/2011/10/17/anatomi-sistem-moskuleskeletal/ diunduh pada tanggal 28 oktober 2014
3. Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth. Ed.8, Vol. 1, 2, Alih bahasa oleh Agung Waluyo(dkk). Jakarta: EGC
4. Mansjoer Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Media. Jakarta: Aesculapius FKUI
5. Doengoes, Marlyn E, Moorhouse, Mary F dan Geissler, Alice C. 2000. Rencana Keperawatan Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3, Alih Bahasa I Made Kriasa, EGC, Jakarta
6. Brunner, L dan Suddarth, D. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah (H. Kuncara, A. Hartono, M. Ester, Y. Asih, Terjemahan). Ed.8. Vol 1. Jakarta : EGC
7. Carpenito, Lynda Juall. 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 10. Alih Bahasa Yasmin Asih, S.Kp, Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta: EGC
8. Angela, Ika. 2012. Penyembuhan patah tulang. http://icha-vens.blogspot.com/2012/05/tips-penyembuhan-patah-tulang.html diunduh pada tanggal 27 oktober 2014
9. Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: EGC
10. Hanifah, Aisyah. 2010. Fracture Healing. http://aasiyahhaniifah.blogspot.com/2010/07/fraktur-healing.html diunduh pada tanggal 27 Oktober 2014
11. Anonim. 2010. ISO (Informasi Spesialite Obat Indonesia). Volume 45. Jakarta: Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia. Hal. 421-425.
50
51