Upload
francisca-anggun-w
View
252
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN KASUS
DISLOKASI SENDI SIKU
Dokter Pembimbing :
dr. Tjahja Nurrobi, SpOT
Disusun oleh :
Francisca Anggun
030.09.097
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT BEDAH
RSAL DR MINTOHARDJO
PERIODE 24 MARET 2014 –31 MEI 2014
FAKULTAS KEDOKTERAAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA
1
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
Dislokasi Sendi Siku
Diajukan untuk memenuhi syarat kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Bedah
Periode 24 Maret 2014 – 31 Mei 2014
Di Rumah Sakit Angkatan Laut DR Mintohardjo
Disusun oleh :
Francisca Anggun
030.09.097
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
Jakarta , April 2014
Pembimbing
dr. Ari Zakaria, SpOT
KATA PENGANTAR
2
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa , karena atas berkat dan
hidayatNya, saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah laporan kasus yang
berjudul “Seorang Wanita Dengan Luka-luka Akibat Kecelakaan Lalu Lintas”.
Referat ini disusun untuk melengkapi tugas di Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Bedah Rumah Sakit Angkatan Laut DR Mintohardjo Jakarta.
Saya mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu saya
dalam penyusunan referat ini, baik secara langsung maupun tidak langung. Khususnya
saya ingin mengucapkan terimakasih banyak kepada dr. Ari Zakaria, SpOT sebagai
pembimbing dalam pembuatan laporan kasus ini.
Saya menyadari masih banyak kekurangan baik pada isi maupun format makalah
ini. Oleh karena itu, saya mengharapkan segala kritik dan saran serta semoga
makalah ini dapat bermanfaat dalam bidang kedokteran.
Jakarta, April 2014
Penyusun
BAB I
LAPORAN KASUS
3
IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. F Jenis kelamin : Wanita
Umur : 45 tahun Suku bangsa : Indonesia
Status
perkawinan
: Sudah menikah Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Pendidikan : Sarjana
Alamat : Jl. Danau Limboto,
Pejompongan
Tanggal masuk
RS
: 18 April 2014
A. ANAMNESIS
Diambil secara allo dan autoanamnesa pada hari Jumat, 18 April 2014
Keluhan utama : Pasien datang dengan luka-luka akibat kecelakaan lalu lintas.
Keluhan tambahan : Lengan kanan sulit digerakkan dan terasa nyeri, kepala terasa
pusing
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke UGD RSAL Mintohardjo diantar oleh anaknya dengan luka-luka di
tubunya setelah mengalami kecelakaan lalu lintas beberapa saat sebelum masuk
rumah sakit. Sebelumnya pasien mengendarai sepeda motor di jalan raya
berboncengan dengan anaknya, kemudian motor yang ia kendarai tertabrak oleh
sebuah mobil dari arah sebelah kiri. Pasien terjatuh ke arah kanan dengan posisi
tangan kanan terjatuh lebih dahulu mengenai aspal. Kemudian kepala pasien juga
terbentur aspal. Pasien merasakan nyeri pada lengan kanannya dan lengan kanannya
sulit digerakkan. Pasien mengatakan kepalanya terasa pusing. Mual, muntah, dan
pingsan disangkal oleh pasien. Gangguan penglihatan juga disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat trauma sebelumnya disangkal, hipertensi disangkal, dan diabetes mellitus
disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Hipertensi disangkal dan diabetes mellitus disangkal.
Riwayat Kebiasaan
Alkohol (-), merokok (-)
4
B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
Keadaan Umum
a. Kesan sakit : Tampak sakit berat
b. Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital
a. Tekanan darah : 180/100 mmHg
b. Nadi : 88x/mnt
c. Suhu : 36,0 ºC
d. Pernapasan : 18x/mnt
Kepala
Normocephali, rambut hitam distribusi merata dan tidak mudah dicabut,
terdapat luka vulnus laceratum di dahi kanan, hematom pada pipi kanan.
Mata :
Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), hematom pada kelopak mata (+/-)
Telinga :
Bentuk normal, NT auricular (-/-), secret (-/-).
Hidung :
Bentuk normal, septum deviasi (-), secret (-), pernafasan cuping hidung (-)
Mulut :
Bibir kering (-), bibir pucat (-), mukosa mulut pucat (-), darah (+)
Leher :
KGB dan tiroid tidak teraba membesar.
Thorax
a. Cor :
- Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak.
- Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V 1 cm medial LMCS
- Perkusi : Batas kanan : ICS III- V LSD
Batas kiri : ICS V 1 cm medial LMCS
Batas atas : ICS III LPSS
- Auskultasi : BJ I & II regular, murmur (-), gallop (-)
5
b. Pulmo :
- Inspeksi : Gerak dinding dada simetris saat bernafas, retraksi sela iga
(-/-)
- Palpasi : Pernapasan simetris pada kedua hemithorax.
- Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
- Auskultasi : Suara nafas vesikuler (+/+), ronki (-/-), Wheezing (-/-).
Abdomen
-Inspeksi : buncit, sagging of the flank (-), smiling umbilicus (-), venektasi (-)
-Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
-Perkusi : Timpani
-Auskultasi : Bising usus (+)
Ekstremitas
-Ekstremitas atas : akral hangat +/+, oedem -/-
-Ekstremitas bawah : akral hangat +/+, oedem -/-
2. Status Lokalis
Ekstremitas Look Feel Move
Atas Kanan Bengkak (+),
kemerahan (+),
deformitas (-),
hematom (+)
Teraba hangat (+),
nyeri tekan (+)
Keterbatasan gerak
sendi bahu baik
aktif maupun pasif
karena rasa nyeri
(+)
Atas Kiri Bengkak (-),
kemerahan (-),
deformitas (-),
hematom (-), luka
lecet (+)
Teraba hangat (+),
nyeri tekan (+)
Keterbatasan gerak
sendi bahu baik
aktif maupun pasif
karena rasa nyeri
(-)
Bawah kanan Bengkak (-),
kemerahan (-),
deformitas (-),
hematom (-), luka
lecet (+)
Teraba hangat (+),
nyeri tekan (-)
Keterbatasan gerak
sendi bahu baik
aktif maupun pasif
karena rasa nyeri
(-)
6
Bawah kiri Bengkak (-),
kemerahan (-),
deformitas (-),
hematom (-), luka
lecet (+)
Teraba hangat (+),
nyeri tekan (-)
Keterbatasan gerak
sendi bahu baik
aktif maupun pasif
karena rasa nyeri
(-)
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
D. RESUME
Seorang wanita berusia 45 tahun datang ke UGD RSAL Mintohardjo dengan luka-
luka di tubunya setelah mengalami kecelakaan lalu lintas beberapa saat sebelum
masuk rumah sakit. Sebelumnya pasien mengendarai sepeda motor di jalan raya,
kemudian motor yang ia kendarai tertabrak oleh sebuah mobil dari arah sebelah
kiri. Pasien terjatuh ke arah kanan dengan posisi tangan kanan terjatuh lebih dahulu
mengenai aspal. Kemudian kepala pasien juga terbentur aspal. Pasien merasakan
nyeri pada lengan kanannya dan lengan kanannya sulit digerakkan. Pasien
mengatakan kepalanya terasa pusing. Mual, muntah, dan pingsan disangkal oleh
pasien. Gangguan penglihatan juga disangkal.
Pemeriksaan fisik
- Keadaan Umum : Tampak sakit berat
7
- Kesadara : Compos mentis
- Tekanan Darah : 180/100 mmHg
- Frekuensi nadi : 88x/menit
- Frekuensi nafas : 18x/menit
- Suhu : 36,0 0 C
- Status lokalis :
Ekstremitas Look Feel Move
Atas Kanan Bengkak (+),
kemerahan (+),
deformitas (-),
hematom (+)
Teraba hangat (+),
nyeri tekan (+)
Keterbatasan gerak
sendi bahu baik
aktif maupun pasif
karena rasa nyeri
(+)
Atas Kiri Bengkak (-),
kemerahan (-),
deformitas (-),
hematom (-), luka
lecet (+)
Teraba hangat (+),
nyeri tekan (+)
Keterbatasan gerak
sendi bahu baik
aktif maupun pasif
karena rasa nyeri
(-)
Bawah kanan Bengkak (-),
kemerahan (-),
deformitas (-),
hematom (-), luka
lecet (+)
Teraba hangat (+),
nyeri tekan (-)
Keterbatasan gerak
sendi bahu baik
aktif maupun pasif
karena rasa nyeri
(-)
Bawah kiri Bengkak (-),
kemerahan (-),
deformitas (-),
hematom (-), luka
lecet (+)
Teraba hangat (+),
nyeri tekan (-)
Keterbatasan gerak
sendi bahu baik
aktif maupun pasif
karena rasa nyeri
(-)
Pemeriksaan Penunjang
8
E. DIAGNOSIS KERJA
Fraktur comminuted tertutup 1/3 media humerus dextra.
F. DIAGNOSIS BANDING
Dislokasi sendi bahu
G. PEMERIKSAAN ANJURAN
Rontgen kepala, CT Scan
H. PENATALAKSANAAN
Non medikamentosa
1. Rawat inap
2. Bedrest
3. Observasi keadaan umum dan tanda vital
Medikamentosa
1. analgetik
2. antibiotik
3. antiinflamasi
I. PROGNOSIS
1. Ad vitam : ad bonam
9
2. Ad functionam : dubia ad bonam
3. Ad sanationam : dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
CLOSED FRACTURE HUMERUS
10
A. ANATOMI EKSTREMITAS ATAS
Humerus (arm bone) merupakan tulang terpanjang dan terbesar dari
ekstremitas superior. Tulang tersebut bersendi pada bagian proksimal dengan
skapula dan pada bagian distal bersendi pada siku lengan dengan dua tulang, ulna
dan radius.1
Ujung proksimal humerus memiliki bentuk kepala bulat (caput humeri) yang
bersendi dengan kavitas glenoidalis dari scapula untuk membentuk articulation
gleno-humeri. Pada bagian distal dari caput humeri terdapat collum anatomicum
yang terlihat sebagai sebuah lekukan oblik. Tuberkulum majus merupakan sebuah
proyeksi lateral pada bagian distal dari collum anatomicum. Tuberculum majus
merupakan penanda tulang bagian paling lateral yang teraba pada regio bahu.
Antara tuberkulum majus dan tuberkulum minus terdapat sebuah lekukan yang
disebut sebagai sulcus intertubercularis. Collum chirurgicum merupakan suatu
penyempitan humerus pada bagian distal dari keuda tuberculum, dimana caput
humeri perlahan berubah menjadi corpus humeri. Bagian tersebut dinamakan
collum chirurgicum karena fraktur sering terjadi pada bagian ini. 1
Corpus humeri merupaka bagian humerus yang berbentuk seperti silinder
pada ujung proksimalnya, tetapi berubah secara perlahan menjadi berbentuk
segitiga hingga akhirnya menipis dan melebar pada ujung distalnya. Pada bagian
lateralnya, yaitu di pertengahan corpus humeri, terdapat daerah berbentuk huruf V
dan kasar yang disebut sebagai tuberositas deltoidea. Daerah ini berperan sebagai
titik perlekatan tendon muskulus deltoideus. 1
Beberapa bagian yang khas merupakan penanda yang terletak pada bagian
distal dari humerus. Capitulum humeri merupakan suatu struktur seperti tombol
bundar pada sisi lateral humerus, yang bersendi dengan caput radii. Fossa radialis
merupakan suatu depresi anterior di atas capitulum humeri, yang bersendi dengan
caput radii ketika lengan difleksikan. Trochlea humeri, yang berada pada sisi
medial dari capitulum humeri, bersendi dengan ulna. Fossa coronoidea merupakan
suatu depresi anterior yang menerima processus coronoideus ulna ketika lengan
difleksikan. Fossa olecrani merupakan suatu depresi posterior yang besar yang
menerima olecranon ulna ketika lengan diekstensikan. Epicondylus medialis dan
11
epicondylus lateralis merupakan suatu proyeksi kasar pada sisi medial dan lateral
dari ujung distal humerus, tempat kebanyakan tendon otot-otot lengan menempel.
Nervus ulnaris, suatu saraf yang dapat membuat seseorang merasa sangat nyeri
ketika siku lengannya terbentur, dapat dipalpasi menggunakan jari tangan pada
permukaan kulit di atas area posterior dari epicondylus medialis. 1
Berikut ini merupakan tabel tentang saraf dan otot yang menggerakkan
humerus.
Tabel Saraf dan Otot yang Menggerakkan Humerus2
Otot Origo Insertio Aksi Persarafan
Otot-Otot Aksial yang Menggerakkan Humerus
M. pectoralis
major
Clavicula,
sternum,
cartilago
costalis II-
VI,
terkadang
cartilago
costalis I-VII
Tuberculum
majus dan
sisi lateral
sulcus
intertubercul
aris dari
humerus
Aduksi dan
merotasi medial
lengan pada sendi
bahu; kepala
clavicula
memfleksikan
lengan dan kepala
sternocostal
mengekstensikan
lengan yang fleksi
tadi ke arah truncus
Nervus
pectoralis
medialis dan
lateralis
M. latissimus
dorsi
Spina T7-L5,
vertebrae
lumbales,
crista sacralis
dan crista
iliaca, costa
IV inferior
melalui
fascia
thoracolumb
alis
Sulcus
intertubercul
aris dari
humerus
Ekstensi, aduksi,
dan merotasi
medial lengan pada
sendi bahu;
menarik lengan ke
arah inferior dan
posterior
Nervus
thoracodorsalis
12
Otot-Otot Scapula yang Menggerakkan Humerus
M. deltoideus Extremitas
acromialis
dari
clavicula,
acromion
dari scapula
(serat
lateral), dan
spina
scapulae
(serat
posterior)
Tuberositas
deltoidea dari
humerus
Serat lateral
mengabduksi
lengan pada sendi
bahu; serat anterior
memfleksikan dan
merotasi medial
lengan pada sendi
bahu, serat
posterior
mengekstensikan
dan merotasi lateral
lengan pada sendi
bahu.
Nervus axillaris
M.
subscapularis
Fossa
subscapularis
dari scapula
Tuberculum
minus dari
humerus
Merotasi medial
lengan pada sendi
bahu
Nervus
subscapularis
M.
supraspinatus
Fossa
supraspinata
dari scapula
Tuberculuum
majus dari
humerus
Membantu M.
deltoideus
mengabduksi pada
sendi bahu
Nervus
subscapularis
M.
infraspinatus
Fossa
infraspinata
dari scapula
Tuberculum
majus dari
humerus
Merotasi lateral
lengan pada sendi
bahu
Nervus
suprascapularis
M. teres
major
Angulus
inferior dari
scapula
Sisi medial
sulcus
intertubercul
aris
Mengekstensikan
lengan pada sendi
bahu dan
membantu aduksi
dan rotasi medial
lengan pada sendi
bahu
Nervus
subscapularis
M. teres Margo Tuberculum Merotasi lateral dan Nervus axillaris
13
minor lateralis
inferior dari
scapula
majus dari
humerus
ekstensi lengan
pada sendi bahu
M.
coracobrachi
alis
Processus
coracoideus
dari scapula
Pertengahan
sisi medial
dari corpus
humeri
Memfleksikan dan
aduksi lengan pada
sendi bahu
Nervus
musculocutaneus
Gambar 1. Tampilan Anterior Humerus3 Gambar 2. Tampilan Posterior Humerus3
14
Gambar 3. Tampilan Anterior Saraf di Sekitar Humerus3
Gambar 4. Tampilan Lateral Saraf di Sekitar Humerus3
15
Gambar 5. Tampilan Aliran Darah di Sekitar Humerus3
Di bagian posterior tengah humerus, melintas nervus radialis yang melingkari
periosteum diafisis humerus dari proksimal ke distal dan mudah mengalami cedera
akibat patah tulang humerus bagian tengah. Secara klinis, pada cedera nervus radialis
didapati ketidakmampuan melakukan ekstensi pergelangan tangan sehingga pasien
tidak mampu melakukan fleksi jari secara efektif dan tidak dapat menggenggam.1
Gambar 6. Nervus Radialis dan Otot-Otot yang Disarafinya4
B. DEFINISI
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas dari tulang. Karena tulang dikelilingi
oleh jaringan lunak, trauma fisik dari luar yang kuat dapat menghasilkan suatu
fraktur.5
16
Patah tulang dapat dibagi menurut ada tidaknya hubungan antara patahan
tulang dengan dunia luar, yaitu patah tulang tertutup dan patah tulang terbuka yang
memungkinkan kuman dari luar dapat masuk ke dalam luka sampai ke tulang yang
patah.6 Fraktur tertutup adalah ketika tulang patah tetapi tidak ada tusukan atau
luka terbuka di kulit. Hal ini penting untuk membedakan fraktur tertutup dengan
fraktur terbuka. 7
KLASIFIKASI FRAKTUR HUMERUS
Fraktur humerus dibedakan menjadi tiga, yaitu :
1. Fraktur Proksimal Humerus8,9
Pada fraktur jenis ini, insidensinya meningkat pada usia yg lebih tua yang
terkait dengan osteoporosis. Perbandingan wanita dan pria adalah 2:1.
Mekanisme trauma pada orang dewasa tua biasa dihubungkan dengan
kerapuhan tulang (osteoporosis). Pada pasien dewasa muda, fraktur ini dapat
terjadi karena high-energy trauma, contohnya kecelakaan lalu lintas sepeda
motor. Mekanisme yang jarang terjadi antara lain peningkatan abduksi bahu,
trauma langsung, kejang, proses patologis (malignansi).
Gejala klinis pada fraktur ini adalah nyeri, bengkak, nyeri tekan, nyeri pada
saat digerakkan, dan dapat teraba krepitasi. Ekimosis dapat terlihat dinding
dada dan pinggang setelah terjadi cedera.
2. Fraktur Shaft Humerus8
Fraktur ini adalah fraktur yang sering terjadi. 60% kasus adalah fraktur
sepertiga tengah diafisis, 30% fraktur sepertiga proximal diafisis dan 10%
sepertiga distal diafisis. Mekanisme terjadinya trauma dapat secara langsung
maupun tidak langsung.
Gejala klinis pada jenis fraktur ini adalah nyeri, bengkak, deformitas, dan
dapat terjadi pemendekan tulang pada tangan yang fraktur. Pemeriksaan
neurovaskuler adalah penting dengan memperhatikan fungsi nervus radialis.
Pada kasus yang sangat bengkak, pemeriksaan neurovaskuler serial
diindikasikan untuk mengenali tanda-tanda dari sindroma kompartemen. Pada
pemeriksaan fisik terdapat krepitasi pada manipulasi lembut.
3. Fraktur Distal Humerus8,9
17
Fraktur ini jarang terjadi pada dewasa. Kejadiannya hanya sekitar 2% untuk
semua kejadian fraktur dan hanya sepertiga bagian dari seluruh kejadian
fraktur humerus.
Mekanisme cedera untuk fraktur ini dapat terjadi karena trauma langsung atau
trauma tidak langsung. Trauma langsung contohnya adalah apabila terjatuh
atau terpeleset dengan posisi siku tangan menopang tubuh atau bisa juga
karena siku tangan terbentur atau dipukul benda tumpul. Trauma tidak
langsung apabila jatuh dalam posisi tangan menopang tubuh namun posisi siku
dalam posisi tetap lurus. Hal ini biasa terjadi pada orang dewasa usia
pertengahan atau wanita usia tua.
Gejala klinis dari fraktur ini antara lain pada daerah siku dapat terlihat
bengkak, kemerahan, nyeri, kaku sendi dan biasanya pasien akan
mengeluhkan siku lengannya seperti akan lepas. Kemudian dari perabaan
(palpasi) terdapat nyeri tekan, krepitasi, dan neurovaskuler dalam batas
normal.
C. EPIDEMIOLOGI
Fraktur, baik tertutup maupun terbuka, lebih sering terjadi pada laki – laki
daripada perempuan dengan umur dibawah 45 tahun dan sering berhubungan
dengan olah raga, pekerjaan atau luka yang disebabkan oleh kendaraan bermotor.
Mobilisasi yang lebih banyak dilakukan oleh laki – laki menjadi penyebab
tingginya risiko fraktur. Di Indonesia, jumlah kasus fraktur akibat kecelakaan lalu
lintas meningkat seiring pesatnya peningkatan jumlah pemakai kendaraan
bermotor, jumlah kasus fraktur yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas 4 kali
lebih banyak terjadi pada laki – laki daripada perempuan.
D. ETIOLOGI
1. Peristiwa Trauma (kekerasan)
a. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung dapat menyebabkan tulang patah pada titik
terjadinya kekerasan itu, misalnya tulang kaki terbentur bumper mobil,
maka tulang akan patah tepat di tempat terjadinya benturan. Patah
tulang demikian sering bersifat terbuka, dengan garis patah melintang
atau miring.
18
b. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang di tempat yang
jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah
bagian yang paling lemah dalam hantaran vektor kekerasan. Contoh
patah tulang karena kekerasan tidak langsung adalah bila seorang jatuh
dari ketinggian dengan tumit kaki terlebih dahulu. Yang patah selain
tulang tumit, terjadi pula patah
tulang pada tibia dan kemungkinan pula patah tulang paha dan tulang
belakang. Demikian pula bila jatuh dengan telapak tangan sebagai
penyangga, dapat menyebabkan patah pada pergelangan tangan dan
tulang lengan bawah.
c. Kekerasan akibat tarikan otot
Kekerasan tarikan otot dapat menyebabkan dislokasi dan patah tulang.
Patah
tulang akibat tarikan otot biasanya jarang terjadi. Contohnya patah
tulang akibat tarikan otot adalah patah tulang patella dan olekranom,
karena otot triseps dan biseps mendadak berkontraksi.
2. Peristiwa Patologis
a. Kelelahan atau stres fraktur
Fraktur ini terjadi pada orang yang yang melakukan akktivitas berulang
–ulang pada suatu daerah tulang atau menambah tingkat aktivitas yang
lebih berat dari biasanya. Tulang akan mengalami perubahan struktural
akibat pengulangan tekanan pada tempat yang sama, atau peningkatan
beban secara tiba – tiba pada suatu daerah tulang maka akan terjadi
retak tulang.
b.Kelemahan Tulang
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal karena lemahnya
suatu tulang akibat penyakit infeksi, penyakit metabolisme tulang
misalnya osteoporosis, dan tumor pada tulang. Sedikit saja tekanan
pada daerah tulang yang rapuh maka akan terjadi fraktur.
E. GEJALA KLINIS
Gejala klasik pada fraktur yaitu:
19
1. Tenderness
Nyeri tekan merupakan keluhan yang paling sering dialami oleh penderita
fraktur.
2. Swelling
3. Adanya pembengkakan dapat mengindikasikan adanya robekan pembuluh
darah. Terjadinya pembengkakan membutuhkan waktu dan dapat meningkat
dalam 12-24 jam pertama. Kadang disertai dengan bula pada kulit.
Pembengkakan dihubungkan dengan hematom dan eksudasi dari sel inflamasi.
Kadang juga ada memar. Bila sendi terkena dapat terisi darah yang disebut
dengan haemarthrosis.
4. Deformity
Bisa atau tidak terdapat pada fraktur terbuka. Tulang yang terkena di
ekstremitas dapat menjadi bengkok atau lebih pendek atau ada jarak di batas
tulang atau sendi.
5. Crepitus
Merupakan bunyi ujung tulang (clicking atau rubbing) karena permukaan
tulang yang tidak rata.
6. Exposed fragmen
Terlihat ada fragmen tulang keluar.
7. False motion
Terlihat ada penekukan di tempat yang tidak semestinya, diluar letak normal
dari sendi.
8. Inability to use the limb
Adanya gangguan dari fungsi ekstremitas sehingga penderita mengalami
kesulitan dalam pergerakan sendi dan tulang.
9. Local temperature increase
Adanya peningkatan suhu pada perabaan daerah yang terkena injuri karena
proses dari inflamasi. 10,11
F. PATOFISIOLOGI
Tulang bersifat rapuh tetapi mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan.
Namun, apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap
20
tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau
terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur , periosteum dan pembuluh
darah serta saraf dalam korteks , bone marrow dan jaringan lunak yang
membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan
terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera
berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini
menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi ,
eskudasi plasma dan leukosit, serta infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang
merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang. 10
Penyembuhan Fraktur (Healing Process)6
Proses penyembuhan patah tulang adalah proses biologi alami yang akan terjadi
pada setiap patahan tulang, tidak peduli apa yang telah dikerjakan dokter pada
patahan tulang tersebut. Pada permulaan akan terjadi perdarahan di sekitar patahan
tulang, yang disebabkan oleh terputusnya pembuluh darah pada tulang dan periost.
Fase ini disebut fase hematom. Hematom ini kemudian akan menjadi medium
pertumbuhan sel jaringan fibrosis dan vaskuler hingga hematom berubah menjadi
jaringan fibrosis dengan kapiler di dalamnya. Jaringan ini yang menyebabkan
fragmen tulang saling menempel. Fase ini disebut fase jaringan fibrosis, dan
jaringan yang menempelkan fragmen patahan tulang dinamakan kalus fibrosa. Ke
dalam hematom dan jaringan fibrosis ini kemudian juga tumbuh sel jaringan
mesenkim yang bersifat osteogenik. Sel ini akan berubah menjadi sel kondroblast
yang membentuk kondroid yang merupakan bahan dasar tulang rawan, sedangkan
di tempat yang jauh dari patahan tulang yang vaskularisasinya relative banyak, sel
ini berubah menjadi osteoblast dan membentuk osteoid yang merupakan bahan
dasar tulang. Kondroid dan osteoid ini mula-mula tidak mengandung kalsium
sehingga tidak terlihat pada foto rontgen. Pada tahap selanjutnya terjadi
penulangan atau osifikasi. Kesemuanya ini menyebabkan kalus fibrosa berubah
menjadi kalus tulang. Pada foto rontgen, proses ini terlihat sebagai bayangan radio-
opak, tetapi bayangan garis patahan tulang masih terlihat. Fase ini disebut fase
penyatuan klinis. Selanjutnya, terjadi penggantian sel tulang secara berangsur-
angsur oleh sel tulang yang mengatur diri sesuai dengan garis tekanan dan tarikan
yang bekerja pada tulang. Akhirnya sel tulang ini mengatur diri secara lamellar
21
seperti sel tulang normal. Kekuatan kalus ini sama dengan kekuatan tulang biasa
dan fase ini disebut fase konsolidasi.
gambar 7. Gambaran proses penyembuhan tulang
G. DIAGNOSIS6
Diagnosis patah tulang dimulai dari anamnesis adanya riwayat trauma tertentu,
seperti jatuh, terputar, tertumbuk, dam berapa kuatnya trauma tersebut. Selain itu
ditanya pula apakah ada nyeri.
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan look, feel, move. Mula-mula
dilakukan inspeksi dan terlihat pasien kesakitan, mencoba melindungi anggota
badannya yang patah, terdapat pembengkakan, perubahan bentuk berupa bengkok,
terputar, pemendekan, dan terdapat gerakan yang tidak normal. Pada palpasi
didapatkan nyeri tekan. Kemudian dapat dinilai juga apakah ada keterbatasan
range of motion secara aktif maupun pasif pada pasien.
H. TATALAKSANA
Secara umum prinsip pengobatan fraktur ada 4:
1. Recognition, diagnosis dan penilaian fraktur
22
Prinsip pertama adalah mengetahui dan menilai keadaan fraktur dengan anamnesis,
pemeriksan klinis dan radiologis. Pada awal pengobatan perlu diperhatikan:
- Lokalisasi fraktur
- Bentuk fraktur
- Menentukan teknik yang sesuai untuk pengobatan
- Komplikasi yang mungkin terjadi selama dan sesudah pengobatan
2. Reduction, reduksi fraktur apabila perlu
Restorasi fragmen fraktur dilakukan untuk mendapatkan posisi yang dapat diterima.
Pada fraktur intraartikuler diperlukan reduksi anatomis dan sedapat mungkin
mengembalikan fungsi normal dan mencegah komplikasi seperti kekakuan,
deformitas, serta perubahan osteoartritis di kemudian hari.
3. Retention, imobilisasi fraktur
4. Rehabilitation, mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin.
Ada 2 terapi, pilihan berdasarkan banyak faktor seperti bentuk fraktur, usia penderita,
level aktivitas, dan pilihan dokter sendiri.
1. Terapi konservatif
- Proteksi
Untuk penanganan fraktur dengan dislokasi fragmen yang minimal atau
dengan dislokasi yang tidak akan menyebabkan cacat di kemudian hari.
- Immobilisasi tanpa reposisi
Misalnya pemasangan gips atau bidai pada fraktur inkomplit dan fraktur
dengan kedudukan yang baik.
- Reposisi tertutup dan fiksasi dengan gips
Ini dilakukan pada fraktur dengan dislokasi fragmen yang
berarti. Fragmen distal dikembalikan ke kedudukan semula terhadap
fragmen proksimal dan dipertahankan dalam kedudukan yang stabil dalam
gips.
- Traksi
Cara ini dilakukan pada fraktur dengan otot yang kuat. Traksi dapat untuk
reposisi secara perlahan dan fiksasi hingga sembuh atau dipasang gips
estela tidak sakit lagi. Pada anak-anak dipakai kulit (traksi Hamilton
Russel/traksi Bryant). Traksi kulit terbatas untuk 4 minggu dan beban < 5
kg, untuk anak-anak waktu dan beban tersebut mencukupi untuk dipakai
sebagai traksi definitif, bilamana tidak maka diteruskan dengan
23
immobilisasi gips. Untuk orang dewasa traksi definitif harus traksi skeletal
berupa balanced traction.
2. Terapi operatif
Terapi operatif dengan reposisi secara tertutup dengan bimbingan radiologis.
- Reposisi tertutup, fiksasi externa
Setelah reposisi berdasarkan control radiologis intraoperatif maka
dipasang fiksasi externa. Untuk fiksasi fragmen patahan tulang, digunakan
pin baja yang ditusukkan pada fragmen tulang, kemudian pin baja tadi
disatukan secara kokoh dengan batangan logam di luar kulit.
- Reposisi tertutup dengan control radiologis diikuti fiksasi interna.
Fragmen direposisi secara non operatif dengan meja traksi. Setelah
tereposisi dilakukan pemasangan pen secara operatif.
- Reposisi terbuka dan fikasasi interna /ORIF (Open Reduction and Internal
Fixation)
Fiksasi interna yang dipakai bisa berupa pen di dalam sumsum tulang
panjang, bisa juga berupa plat dengan skrup di permukaan tulang.
Keuntungan ORIF adalah bisa dicapai reposisi sempurna dan bila dipasang
fiksasi interna yang kokoh, sesudah operasi tidak perlu lagi dipasang gips
dan segera bisa dilakukan immobilisasi. Kerugiannya adalah reposisi
secara operatif ini mengundang resiko infeksi tulang.
Indikasi ORIF:
a. fraktur yang tidak bisa sembuh atau bahaya avasculair necrosis tinggi.
b. Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup
c. Fraktur yang dapat direposisi tetapi sulit dipertahankan.
d. Fraktur yang berdasarkan pengalaman memberi hasil yang lebih baik
dengan operasi, misalnya fraktur femur.
- Excisional arthroplasty
Membuang fragmen yang patah yang membentuk sendi.
- Excisi fragmen dan pemasangan endoprosthesis
Dilakukan pada fraktur kolum femur.
I.KOMPLIKASI12
Komplikasi yang dapat terjadi:
1. Kekakuan sendi bahu (ankilosis)
24
2. Paralisis m.Deltoid.
3. Cedera n.Radialis
4. Sindroma kompartemen
5. Terjepitnya a. Brakhialis yang akan menyebabkan nekrosis otot-otot dan saraf.
6. Mal union cubiti varus (carrying angle berubah).
BAB III
PEMBAHASAN
25
Pasien datang ke UGD RSAL Mintohardjo diantar oleh anaknya dengan
keluhan nyeri di tangan kanan setelah mengalami kecelakaan lalu lintas beberapa saat
sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga mengatakan bahwa tangan kanannya sulit
digerakkan. Sebelumnya pasien mengendarai sepeda motor di jalan raya, kemudian
motor yang ia kendarai tertabrak oleh sebuah mobil dari arah sebelah kiri. Pasien
terjatuh ke arah kanan dengan posisi tangan kanan terjatuh lebih dahulu mengenai
aspal. Kemudian kepala pasien juga terbentur aspal. Pasien merasakan nyeri pada
lengan kanannya dan lengan kanannya sulit digerakkan. Pasien mengatakan kepalanya
terasa pusing. Mual, muntah, dan pingsan disangkal oleh pasien. Gangguan
penglihatan juga disangkal. Dari anamnesis didapatkan adanya trauma pada bagian
tubuh kanan pasien. Kemungkinan terjadinya fraktur tertutup di dearah brachii dextra
pasien dan dapat juga terjadinya dislokasi pada sendi bahu pasien. Hal ini disebabkan
karena pasien mengeluh adanya nyeri dan kesulitan menggerakkan tangan kanannya.
Selain itu, pada pemeriksaan fisik didapatkan status lokalis pada lengan kanan pasien
didapatkan adanya keterbatasan range of motion baik gerak aktif maupun gerak pasif.
Pada pemeriksaan penunjang yang dilakukan yaitu foto rontgen, maka didapatkan
gambaran fraktur comminuted tertutup pada 1/3 media humerus dextra. Maka dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, diagnosis pasien ini
adalah fraktur comminuted tertutup 1/3 media humerus dextra.
Ada beberapa tatalaksana yang seharusnya didapatkan oleh pasien yaitu
recognition, reduction, retention, rehabilitation. Selain itu diperlukan juga tatalaksana
baik secara konservatif (proteksi, immobilisasi tanpa reposisi, reposisi tertutup dan
fiksasi dengan gips, atau traksi) maupun terapi operatif (reposisi tertutup dengan
fiksasi externa, reposisi tertutup dengan control radiologis diikuti fiksasi interna, atau
reposisi terbuka dan fikasasi interna /ORIF)
BAB IV
KESIMPULAN
26
Salah satu gangguan musculoskeletal adalah fraktur. Fraktur adalah
terputusnya kontinuitas struktur tulang yang disebabkan beberapa mekanisme. Untuk
mengetahui fraktur juga dapat diketahui dari anamnesis untuk mengetahui berapa
lama terjadinya trauma dan bagian atau daerah mana yang menunjukan manifestasi
klinik. Dari pemeriksaan fisik maupun penunjang dapat diketahui diagnosis sehingga
tatalaksana dari fraktur dapat di tentukan. Perlu diperhatikan juga komplikasi yang
dapat menjadi penyerta dari fraktur. Sehingga tingkat penyembuhan setelah dilakukan
tatalaksana dapat menghasilkan hasil yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
27
1. Tortora G.J. & Derrickson B. Principles of Anatomy and Physiology 12th
Edition. New Jersey: John Wiley & Sons, 2009, Chapter 8; The Skeletal
System: The Appendicular Skeleton.
2. Tortora G.J. & Derrickson B. Principles of Anatomy and Physiology 12th
Edition. New Jersey: John Wiley & Sons, 2009, Chapter 11; The Muscular
System.
3. Standring, S. Gray’s Anatomy 39th Edition. USA: Elsevier, 2008, Chapter 48;
General Organization and Surface Anatomy of The Upper Limb.
4. Wang, E.D. & Hurst, L.C. Netter’s Orthopaedics 1st Edition. Philadelphia:
Elsevier, 2006, Chapter 15; Elbow and Forearm.
5. Salter BR. Textbook of Disorders and Injuries of the Musculosceletal System.
3rd ed. 1999. Section III : Musculosceletal Injuries. p. 418
6. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku ajar Ilmu Bedah. Edisi 3
Jakarta:EGC;2011. P.841, 844, 847.
7. Understanding Bone Fractures, 2012; Available at : http://www.webmd.com/a-
to-z-guides/understanding-fractures-basic-information . Accessed on April 20th, 2014.
8. Egol, K.A., Koval, K.J., Zuckerman, J. D. Handbook Of Fractures.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins. 2010:p. 193-229;604-614
9. Thompson, J.C. Netter’s: Concise Otrhopaedic Anatomy 2nd ed. Philadelphia:
Elsevier Inc. 2010:p. 109-116.
10. Humes DJ, Simpson J. Clinical Review: Acute appendicitis. BMJ. 2007. 333:540-34.
11. Brunicardi FC. Schwartz’s Manual of Surgery. 8th edition. London: McGraw-Hill.
2006. p. 784-95
12. Reksoprodjo, S. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara
Publisher, 2009, Bab 9; Orthopaedi
28