Completing Audit Editted

Embed Size (px)

Citation preview

COMPLETING AUDITI. Menelaah Kewajiban Kontinjensi Kewajiban Kontinjensi adalah kemungkinan potensi kewajiban di masa mendatang kepada pihak ketiga untuk jumlah yang tidak diketahui sebagai akibat aktivitas yang telah terjadi. Kondisi yang menyebabkan adanya kewajiban kontinjensi: 1. Terdapat kemungkinan pembayaran di masa datang keapda pihak ketiga akibat kondisi saat ini 2. Terdapat ketidakpastian atas jumlah pembayaran dimasa datang 3. Hasilnya akan ditentukan oleh peristiwa dimasa datang Sebagai contoh, tuntutan hukum yang diajukan tetapi bleum diputuskan memenuhi ketiga kondisi tersebut. Ketidakpastian dari pembayaran masa mendatang bisa bervariasi, mulai dari sangat mungkin hingga sangat tidak mungkin. Terdapat tiga tingkat kemungkinan yaitu: 1. Tinggi (probable) peristiwa mungkin terjadi 2. Sedang (reasonably possible) kemungkinan terjadi lebih besar dari remote tetapi lebih kecil dari probable 3. Rendah (remote) kesempatan terjadinya peristiwa dimasa datang rendah Apabila potensi terjadinya peristiwa tersebut tinggi dan jumlahnya dapat diestimasi, maka persitiwa tersebut diakui dan dimasukkan dalam laporan keuangan. Pengungkapan dalam catatan kaki diperlukan kalau jumlah dari potensi peristiwa tersebut tidak dapat diestimasi dengan memadai atau kalau kemungkinan terjadinya sedang. Potensi terjadinya peristiwa rendah (remote) tidak memerlukan pengungkapan. Catatan kaki menguraikan sifat kewajiban bersyarat tersebut seluas yang diketahui dan pendapat penasehat hukum atau manajemen atas hasil yang diharapkan. Kewajiban kontinjensi yang merupakan kepentingan utama auditor adalah: 1. Pending ligitation atas pelanggaran paten, atau tindakan lain 2. Wesel tagih didiskontokan 3. Jaminan atas kewajiban pihak lain 4. Dan Lain-lain.

Standar audit dengan jelas menyatakan bahwa manajeman, bukan auditorlah yang bertanggung jawab mengidentifikasi dan memutuskan perlakuan akuntansi yang pas untuk kewajiban kontinjen. Dalam banyak audit, sulit bagi auditor untuk mengungkapkan kontinjensi tanpa kerja sama dengan auditee. Tujuan auditor dalam memverifikasi kewajiban kontinjen adalah: 1. Mengevaluasi perlakuan akuntansi dari kewajiban kontinjen yang diketahui untuk menentukan apakah auditee telah mengklasifikasikan dengan benar kontinjensi tersebut (tujuan klasifikasi, penyajian dan pengungkapan) 2. Mengidentifikasikan sampai batasan praktis, setiap kontinjensi yang belum diidentifikasikan oleh auditee (tujuan kelengkapan, dan disclosure) Untuk mencari kewajiban kontinjensi, prosedur audit yang dapat dilakukan adalah: 1. Dapatkan konfirmasi dari seluruh pengacara utama mengenai status kewajiban kontinjensi auditee Prosedur utama untuk mengungkapkan kewajiban bersyarat adalah surat konfirmasi dari penasehat hukum auditee yang memberitahukan auditor atas perkara yang tertunda atau informasi lain yang melibatkan penasehat hukum yang relevan kepada pengungkapan laporan keuangan. Sifat dari penolakan pengacara untuk memberitahukan auditor informasi yang lengkap mengenai kewajiban hukum dibagi menjadi dua kategori: a. Penolakan akibat tidak adanya pengetahuan mengenai hal yang melibatkan kewajiban bersyarat b. Penolakan untuk mengungkapkan informasi karena dipertimbangkan sebagai informasi yang rahasia Jika pengacara menolak menyediakan informasi kepada auditor mengenai tuntuan yang secara material, maka laporan audit harus dimodifikasi untuk mencerminkan tidak tersedianya bahan bukti. Surat konfirmasi standar dari pengacara harus memuat informasi sebagai berikut: a. Daftar perkara tertunda yang material, klaim atau penetapan yang telah melibatkan pengacara b. Daftar klaim material yang belum didaftarkan dan taksirannya c. Permintaan informasi mengenai perkembangan masing-masing klaim, kemungkinan hasil yang tidak menguntungkan dan estimasi jumlah potensi kerugian

d. Permintaan pernyataan bahwa daftar klien telah lengkap e. Pernyataan tanggungjawab pengacara untuk memberitahukan manajemen apabila dalam pertimbangan pengacara terdapat masalah hukum yang memerlukan pengungkapan dalam laporan keuangan f. Permintaan identifikasi dan menguraikan alasan atas adanya pembatasan jawaban pengacara 2. Tanya jawab dengan auditee (lisan atau tulisan) mengenai kemungkinan kewajiban bersyarat yang belum dicatat Dalam mengajukan pertanyaan auditor harus spesifik dalam menggambarkan berbagai jenis kontinjensi yang mungkin memerlukan pengungkapan sebagai pengingat bagi auditee untuk kemungkinan adanya kontinjensi yang mereka tidak lihat atau tidak sepenuhnya mereka pahami. Pada penyelesaian audit, auditor pada umumnya meminta auditee membuat letter of representation yang memuat pernyataan bahwa auditee menyadari akan tidak adanya kewajiban kontinjen yang tidak diungkapkan. 3. Review notulen rapat atas adanya indikasi tuntutan atau kewajiban lain 4. Analisa beban hukum untuk periode yang diaudit dan review faktur dan pernyataan dari penasehat hukum atas adanya indikasi kewajiban bersyarat khususnya tuntutan dan penetapan kewajiban yang tertunda 5. Review dokumentasi audit untuk setiap informasi yang mungkin menunjukkan potensi kontinjensi. Sebagai contoh, konfirmasi bank bisa saja menunjukkan diskonto wesel tagih. Kesimpulan adanya kewajiban bersyarat menyebabkan timbulnya tanggung jawab auditor untuk mengevaluasi signifikansi dari potensi kewajiban dan sifat pengungkapan yang diperlukan dalam laporan keuangan. Contoh Kewajiban Kontijensi Pemerintah: 1. Proyek Pembangunan Infrastruktur Risiko fiskal yang terkait dengan proyek pembangunan infrastruktur berasal dari dukungan dan/atau jaminan yang diberikan oleh pemerintah untuk penyediaan infrastruktur. Beberapa proyek yang mendapat dukungan dan/atau jaminan antara lain proyek percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik 10.000 MW Tahap I dan II, proyek pembangunan jalan tol (jalan tol Trans Jawa dan non-Trans Jawa), proyek percepatan penyediaan air minum, dan

proyek pembangunan perkeretaapian Bandara Soekarno-Hatta. Selain dukungan terhadap proyek-proyek infrastruktur tersebut, pemerintah juga memberikan dukungan bagi penyiapan proyek infrastruktur yang diadakan dengan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPS) serta infrastruktur. 2. Program Pensiun Pegawai Negeri dan Tabungan Hari Tua Pegawai Negeri Sipil Risiko fiskal yang berasal dari program pensiun pegawai negeri terutama berasal dari peningkatan jumlah pembayaran manfaat pensiun dari tahun ke tahun karena sejak tahun anggaran 2009 pendanaan pensiun pegawai negeri seluruhnya (100 persen) menjadi beban APBN. Beberapa faktor yang mempengaruhi besaran kenaikan pembayaran manfaat pensiun diantaranya, jumlah pegawai negeri yang mencapai batas usia pensiun, meningkatnya gaji pokok pegawai negeri, meningkatnya pensiun pokok pegawai negeri serta adanya pembayaran Dana Kehormatan sesuai dengan PP Nomor 24 Tahun 2008 tentang Dana Kehormatan Veteran Republik Indonesia. Berdasarkan asumsi penambahan jumlah pensiunan sebanyak 10 persen dan kenaikan pensiun pokok sebesar 10 persen setiap tahun, jumlah dana APBN yang diperlukan untuk membayar manfaat pensiun diprakirakan akan terus mengalami peningkatan, yakni sebesar Rp51,5 triliun pada tahun 2011 menjadi Rp59,0 triliun pada tahun 2012. Sementara itu, risiko fiskal yang berasal dari Program Tunjangan Hari Tua PNS, terutama berasal dari mendukung operasionalisasi lembaga-lembaga yang terkait dengan penyediaan

unfunded past service liability. PT Taspen mencatat adanya akumulasi unfunded past service liability yang timbul akibat kebijakan pemerintah menaikan gaji pokok PNS sejak tahun 2007 sampai dengan 2010. Pemerintah belum mengakui secara nominal unfunded past service liability Program THT PNS. Namun demikian, pemerintah akan bertanggung jawab penuh untuk membayar/melunasi unfunded past service liability, baik dibayar secara tunai atau dengan instrumen lain. 3. Sektor Keuangan Kewajiban kontinjensi pemerintah pada sektor keuangan terutama berasal dari kewajiban pemerintah untuk menambah modal lembaga keuangan, yaitu Bank Indonesia (BI), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), jika modal lembaga keuangan tersebut di bawah modal sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. a. Bank Indonesia. Sebagaimana diatur dalam pasal 6 ayat (i) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang BI, modal Bank Indonesia ditetapkan berjumlah sekurang-kurangnya Rp2 triliun. Dalam hal terjadi

risiko atas pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia yang mengakibatkan modal Bank Indonesia menjadi berkurang dari Rp2 triliun, sebagian atau seluruh surplus tahun berjalan Bank Indonesia dialokasikan untuk cadangan umum guna menutup risiko dimaksud. Dalam hal setelah dilakukan upaya pengalokasian surplus tahun berjalan Bank Indonesia untuk cadangan umum jumlah modal Bank Indonesia masih kurang dari Rp2 triliun, pemerintah wajib menutup

kekurangan tersebut yang dilaksanakan setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Selain dari ketentuan perundang-undangan di atas, permodalan Bank Indonesia juga diatur dalam pasal 3 ayat 2 butir (f). Kesepakatan Bersama Antara Pemerintah dan Bank Indonesia Mengenai Penyelesaian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) serta Hubungan Keuangan Pemerintah dan Bank Indonesia yang ditandatangani pada tanggal 1 Agustus 2003, menyatakan bahwa dalam hal rasio modal terhadap kewajiban moneter Bank Indonesia kurang dari 3 persen disepakati bahwa pemerintah membayar charge kepada Bank Indonesia sebesar kekurangan yang diperlukan. Namun sebaliknya apabila rasio modal terhadap kewajiban moneter Bank Indonesia mencapai di atas 10 persen, maka BI akan memberikan bagian kepada pemerintah atas surplus BI sebagaimana diatur dalam ketentuan perundangan tentang BI. Saat ini telah dilakukan pembahasan Asset Liabilities Management (ALM) antara pemerintah dan BI yang antara lain menyelesaikan klausul tentang rasio modal sebagaimana diatur dalam kesepakatan bersama antara pemerintah dan BI tersebut di atas, dalam hal usulan disepakati dan di setujui oleh DPR, kewajiban pemerintah untuk menutup kekurangan modal BI akan dikembalikan dgn mengacu kepada UU Nomor 3 Tahun 2004 pasal 6 ayat (i) sebagaimana telah disebutkan di atas. b. Lembaga Penjamin Simpanan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi UndangUndang, fungsi LPS adalah menjamin simpanan nasabah di bank dan turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai kewenangannya. Berdasaran ketentuan dalam Pasal 85 ayat (i) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang LPS, dalam hal modal LPS menjadi kurang dari modal awal, pemerintah dengan persetujuan DPR menutup kekurangan tersebut. Modal awal LPS ditetapkan sekurang-kurangnya Rp4 triliun dan sebesar-besarnya Rp8 triliun. Jumlah nilai simpanan yang dijamin oleh LPS sejak sejak tanggal 13 Oktober 2008 paling banyak Rp2,0 miliar

per nasabah per bank (sebelumnya Rp100 juta), sedangkan bank yang berada dalam penyehatan oleh LPS sejak tanggal 24 November 2008 adalah Bank Mutiara (dahulu Bank Century). Untuk menjalankan fungsinya, LPS pada awal berdiri tahun 2005 telah diberikan modal awal oleh pemerintah sebesar modal minimal LPS yaitu Rp4,0 triliun. Diperkirakan pada akhir tahun 2011, modal (ekuitas) LPS berkembang menjadi sebesar Rp16,9 triliun. Kebijakan untuk menambah modal LPS pada tahun 2012 ditentukan terutama oleh jumlah klaim atas simpanan layak bayar dan/atau jumlah biaya penyehatan atas bank gagal Mengingat yang harus dibayar LPS pada 2012.

bank gagal yang akan dicabut izin usaha oleh BI dan bank gagal yang akan

diselamatkan pada tahun 2012 tidak dapat diestimasi, maka kemungkinan pemerintah harus menyediakan dana charge untuk LPS belum dapat ditentukan. c. Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia. Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) sebelumnya bernama PT Bank Ekspor Indonesia (Persero), adalah lembaga keuangan nonbank yang berfungsi mendukung program ekspor nasional melalui penyediaan pembiayaan, penjaminan, asuransi dan jasa konsultasi bagi para eksportir. LPEI mempunyai ruang gerak pembiayaan yang relatif lebih fleksibel dibandingkan dengan Bank pada umumnya, sehingga dapat menutupi gap yang selama ini dihadapi oleh eksportir, yang pada gilirannya mampu mengakselerasi ekspor nasional. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 19 ayat (i) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, modal awal LPEI ditetapkan paling sedikit Rp4,0 triliun. Dalam hal modal LPEI menjadi berkurang dari Rp4,0 triliun, pemerintah menutup kekurangan tersebut dari dana APBN berdasarkan mekanisme yang berlaku. Pada tahun 2010 pemerintah melakukan penambahan modal pada LPEI sebesar Rp2 triliun untuk mengembangkan ekspor nasional, terutama produkproduk ekspor yang menjadi unggulan maupun yang berpotensi untuk dikembangkan. Pada tahun 2012, ekuitas LPEI diperkirakan akan mencapai Rp7,41 triliun. Modal tersebut diperkirakan cukup untuk mendukung pemberian pembiayaan ekspor sebesar Rp25,9 triliun, penjaminan sebesar Rp1,8 triliun serta asuransi ekspor sebesar Rp300 miliar. Berdasarkan proyeksi kondisi keuangan LPEI di atas, pemerintah tidak perlu menganggarkan dana tambahan modal untuk LPEI pada RAPBN 2012. 4. Tuntutan Hukum kepada Pemerintah Potensi risiko fiskal timbul dari beberapa gugatan perdata yang ditujukan kepada beberapa kementerian/lembaga. Gugatan tersebut jika telah mempunyai kekuatan hukum yang tepat

dapat menyebabkan timbulnya pengeluaran negara atau hilangnya kepemilikan aset tanah dan bangunan karena kepemilikannya dipersengketakan. 5. Keanggotaan Pada Organisasi dan Lembaga Keuangan Internasional Keanggotaan Indonesia pada organisasi dan lembaga keuangan internasional dapat menimbulkan risiko fiskal terkait dengan: a. Adanya komitmen pemerintah untuk memberikan kontribusi dan penyertaan modal kepada organisasi atau lembaga keuangan internasional tersebut. b. Adanya keterlambatan penerbitan peraturan perundang-undangan dalam hal pembayaran kontribusi dan penyertaan modal kepada organisasi atau lembaga keuangan internasional tersebut. II. Review Komitmen Jangka Panjang Hal yang berhubungan erat dengan kewajiban kontinjen adalah komitmen jangka panjang. Karakteristik yang paling penting dari komitmen adalah kesepakatan auditee untuk memberikan komitmennya pada suatu rangakain kondisi tetap di masa mendatang, tanpa memandang apa yang terjadi terhadap kondisi ekonomi secara keseluruhan. Biasanya komitmen jangka panjang diungkapkan di dalam catatan kaki yang terpisah atau menggabungkannya dengan catatan kaki yang berkaitan kontinjensi. Pencarian komitmen yang tidak diketahui biasanya dilakukan sebagai bagian dari audit setiap bidang audit. Auditor seharusnya juga waspada akan kemungkinan komitmen ketika membaca notulen, kontrak atau file korespondensi. III. Penalaahan Peristiwa Kemudian Review for subsequent events atau penalaahan peristiwa kemudian adalah prosedur audit yang memverifikasi transaksi dan peristiwa yang terjadi setelah tanggal neraca agar dapat ditentukan apakah transaksi yang muncul tersebut mempengaruhi penyajian dan pengungkapan laporan keuangan periode berjalan. Tanggung jawab auditor menelaah peristiwa kemudian terbatas pada periode awal tanggal neraca dan berakhir pada tanggal laporan audit.

Tujuan pemeriksaan Subsequent Events adalah untuk: a. Menentukan keberadaan kejadian penting sesudah tanggal neraca yang membutuhkan penyesuaian terhadap laporan keuangan atau memerlukan pengungkapan dalam catatan atas laporan keuangan agar tidak menyesatkan pengguna laporan keuangan b. Menentukan kemungkinan tertagihnya piutang c. Memastikan kebenaran cut off, misal memastikan persedian dalam perjalanan yang tercantum di neraca per tanggal neraca, betul-betul masih dalam perjalanan d. Memastikan bahwa tidak ada kewajiban perusahaan yang bleum dicatat per tanggal neraca Jenis-jenis peristiwa kemudian antara lain: 1. Peristiwa kemudian yang mempunyai dampak langsung terhadap laporan keuangan dan memerlukan penyesuaian. Peristiwa kemudian yang memerlukan penyesuaian atas saldo perkiraan dalam lapran keuangan periode berjalan jika jumlahnya material adalah: a. Pengumuman pailit debitur b. Penyelesaian perkara hukum dengan jumlah yang berbeda dari jumlah yang dicatat dalam buku c. Pelepasan peralatan yang tidak digunakan dalam operasi pada harga dibawah nilai buku saat ini d. Penjualan investasi pada harga dibawah harga perolehan yang dicatat 2. Peristiwa yang tidak berdampak langsung terhadap laporan keuangan tetapi

penggungkapannya dianjurkan.

Peristiwa ini cukup diungkapkan dengan menggunakan catatan kaki, namun bila signifikan dibuat pelengkap laporan keuangan historis berupa laporan keuangan yang

memperhitungkan dampak peristiwa tersebut seandainya telah terjadi pada tanggal neraca. Transaksi yang terjadi dalam periode berikutnya yang memerlukan pengungkapan dan bukan penyesuaian dalam laporan keuangan yaitu; a. Penurunan dalam nilai pasar atas efek-efek yang disimpan sebagai investasi sementara atau penjualan kembali efek-efek b. Penerbitan obligasi c. Kerugian persediaan yang tidak diasuransikan akibat kebakaran Untuk menelaah peristiwa kemudian dapat dilaksanakan dengan menggunakan pengujian audit: 1. Pengajuan pertanyaan kepada auditee Pengajuan pertanyaan kepada auditee mengenai peristiwa kemudian harus dilakukan dengan personel yang tepat untuk memperoleh jawaban yang berarti. Pengajuan pertanyaan ini harus mencakup pertanyaan mengenai perubahan pengendalian internal terhadap laporan keuangan yang dibuat setelah akhir periode. 2. Inquiry dengan Pengacara Auditor biasanya meminta pengacara untuk mengirimkan surat pada tanggal penyelesaian pekerjaan lapangan yang diharapkan untuk memenuhi tanggung jawab auditor terhadap peristiwa kemudian. 3. Review laporan internal yang disiapkan pada tanggal neraca 4. Review copy notulen rapat, untuk memeriksa apakah ada commitment dari instansi yang baru dipenuhi pada periode sesudah tanggal neraca 5. Review catatan yang disiapkan setelah tanggal nerca 6. Memperoleh letter of representation Contoh peristiwa kemudian (subsequent events): Contohnya Hutang Pemda yang kasusnya masih menjadi sengketa di pengadilan dimana pada tanggal neraca per 31 Desember 200X, sengketa tersebut masih berjalan dan belum ada keputusan pengadilan sehingga pemerintah tidak menyajikan jumlah utang yang masih di sengketakan tersebut dalam laporan keuangan per 31 Desember 200X, namun diungkapkan dalam dalam Catatan Atas Laporan Keuangan. Kemudian pada bulan Februari tahun berikutnya

ternyata putusan pengadilan menyatakan bahwa pemerintah kalah dalam gugatan tersebut, sehingga perlu dilakukan koreksi terhadap jumlah utang pemerintah daerah. IV. Tanggung Jawab Auditor Setelah Audit (Postaudit Responsibility) Mencakup pertimbangan atas: 1. Peristiwa kemudian yang terjadi antara tanggal neraca dan penerbitan laporan Ada kalanya auditor menemukan subsequent event yang penting terjadi setelah field work dilaksanakan tetapi sebelum audit report diterbitkan. Sumber dari informasi semacam ini pada umumnya adalah auditee atau media. Misalnya, adanya akuisisi atau merger. Dalam situasi tersebut, auditor harus memperluas pengjuian audit untuk peristiwa kemudian yang baru ditemukan untuk memastikan bahwa peristiwa tersebut diungkapkan dengan benar. Auditor dapat memilih dua alternative yaitu: a. Memperpanjang waktu field work sampai dengan tanggal subsequent event b. Diterbitkan dual-dated audit report Untuk opsi ini, tanggal pertama mencakup seluruh field work dengan sebuah specific pengecualian. Tanggal yang kedua mencakup subsequent event yang terjadi setelah tanggal field work diselesaikan 2. Penemuan fakta yang ada Auditor tidak mempunyai tanggung jawab untuk menemukan fakta yang ada setelah audit (tetapi tidak diketahui) pada tanggal laporan audit. Namun jika auditor menyadari fadanya fakta tersebut dan fakta itu mungkin mempengaruhi laporan yang telah dikeluarkan, maka auditor diwajibkan utnuk memastikan reliabilitas informasi itu. 3. Penemuan prosedur yang dihilangkan Keitka menemukan suaut prosedur yang telah dihilangkan, auditor harus menilai kepentingna hal itu sesuai kemampuannya saat ini untuk mendukung pendapat yang dinyatakan atas laporan keuangan.

V. Analisis Kewajiban Kontinjensi dan Subsequent Events pada LKPP 2008

Dalam catatan laporan keuangan LKPP 2008 disebutkan bahwa

Jenis-jenis Kewajiban Kontinjensi yang tercantum dalam CaLK LKPP 2008 adalah sebagai berikut:

Adapun subsequent events yang tercantum dalam LKPP adalah: