54
WATER DAN GAS CONING PADA SUMUR HORISONTAL DAN VERTIKAL Suatu Sumur yang belum diproduksikan maka fluida yang terdapat didalam reservoir yang bersangkutan berada dalam keadaan kesetimbangan statik. Perbedaan densitas antara air, minyak dan gas menyebabkan gas tetap berada diatas zona minyak dan air tetap berada dibawah zona minyak. Pada kondisi statik ini, dalam suatu reservoir homogen, bidang antar fasa minyak-air dan minyak-gas (oil-water interface dan gas-oil interface) berada dalam keadaan horisontal. Apabila sumur tersebut, yang diselesaikan secara perforasi, diproduksikan maka tekanan disekitar lubang sumur akan turun sehingga gradient alir (flowing gradient) yang ditimbulkan cendrung untuk menurunkan bidang batas gas minyak dan menaikan bidang batas minyak air disekitar lubang bor sampai dicapai kondisi kesetimbang. Pada kndisi ini dua gradient yang berlawanan, yaitu gradien tekan alir dan gradien hidrostatis (gaya gravitasi) menjadi seimbang. Jika laju produksi terlalu besar menyebabkan gradien alir yang tinggi disekitar lubang bor mengalahkan gaya gravitasi, sehingga kerucut air dan gas menjadi tidak stabil dan memasuki sumur. Suatu kerucut akan stabil bila :

Coning pada Sumur Vertikal dan Horizontal.doc

  • Upload
    selly

  • View
    117

  • Download
    40

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Coning pada Sumur Vertikal dan Horizontal.doc

WATER DAN GAS CONING PADA SUMUR

HORISONTAL DAN VERTIKAL

Suatu Sumur yang belum diproduksikan maka fluida yang terdapat

didalam reservoir yang bersangkutan berada dalam keadaan kesetimbangan statik.

Perbedaan densitas antara air, minyak dan gas menyebabkan gas tetap berada

diatas zona minyak dan air tetap berada dibawah zona minyak. Pada kondisi statik

ini, dalam suatu reservoir homogen, bidang antar fasa minyak-air dan minyak-gas

(oil-water interface dan gas-oil interface) berada dalam keadaan horisontal.

Apabila sumur tersebut, yang diselesaikan secara perforasi, diproduksikan maka

tekanan disekitar lubang sumur akan turun sehingga gradient alir (flowing

gradient) yang ditimbulkan cendrung untuk menurunkan bidang batas gas minyak

dan menaikan bidang batas minyak air disekitar lubang bor sampai dicapai

kondisi kesetimbang. Pada kndisi ini dua gradient yang berlawanan, yaitu gradien

tekan alir dan gradien hidrostatis (gaya gravitasi) menjadi seimbang. Jika laju

produksi terlalu besar menyebabkan gradien alir yang tinggi disekitar lubang bor

mengalahkan gaya gravitasi, sehingga kerucut air dan gas menjadi tidak stabil dan

memasuki sumur.

Suatu kerucut akan stabil bila :

Sumur diproduksikan pada laju yang tetap

Gradien tekanan pada daerah pengurasan adalah tetap

Gradien tekanan alir lebih kecil dari gaya gravitasi

Water dan gas coning merupakan masalah yang serius dalam produksi

minyak dilapangan baik pada sumur horisontal dan sumur vertikal. Produksi

minyak yang mengalami water dan gas coning dapat mengurangi produksi minyak

yang cukup berarti, sehingga perlu untuk meminimalkan atau paling tidak

menunda atau mencagah terjadinya coning terlalu dini. Pada reservoir dengan

dasar air, bila tidak ada gas cap, sumur vertikal secara normal casing produksi

diletakan pada bagian atas formasi produktif untuk meminimalkan atau menunda

water coning. Pada reservoir gas cap, jika tidak ada air didasar reservoir, sumur

Page 2: Coning pada Sumur Vertikal dan Horizontal.doc

vertikal di perforasi serendah mungkin sehingga interval perforasi jauh dari gas

cap untuk menunda terjadinya gas coning. Untuk reservoir yang mempunyai

kedua kondisi ini yaitu reservoir dengan dasar air dan gas cap, sumur vertikal

diperforasi di dekat pusat dari tinggi formasi produktif atau dibawah pusat dekat

formasi yang terisi air. Hal ini disebabkan karena kecendrungan coning adalah

berbanding terbalik dengan perbedaan densitas dan berbanding lurus dengan

viscositas. Perbedaan densitas antara gas dengan minyak lebih besar daripada

perbedaan densitas antara air dan minyak. Karena itu, gas lebih mempunyai

kecendrungan untuk terjadinya coning dari pada air. Viscositas gas lebih rendah

daripada viscositas air dan untuk tekanan drawdown yang sama direservoir, laju

alir gas akan lebih tinggi daripada laju alir air.

Salah satu sebab utama terjadinya coning adalah tekanan drawdown. Pada

Gambar 4.1, sumur vertikal memperlihatkan tekanan drawdown yang besar

didekat lubang sumur. Tekanan drawdown yang besar disekitar lubang sumur

yang menyebabkan terjadinya coning. Kebalikan dari itu, tekanan drawdown yang

rendah menunjukan terjadinya coning cendrung minimum. Untuk mencapai aliran

produksi yang sesuai, harus memberikan tekanan drawdown yang lebih besar

pada reservoir dengan permeabilitas rendah daripada reservoir dengan

permeabilitas tinggi. Dengan demikian reservoir dengan permeabilitas tinggi

kurang memperlihatkan kecendrungan terjadinya coning daripada reservoir

dengan permeabilitas rendah. Pada tekanan drawdown, besarnya pressure drop di

dasar sumur dengan reservoir permeabilitas tinggi lebih kecil dibandingkan

dengan reservoir dengan permeabilitas rendah. Dengan demikian reservoir dengan

permeabilitas tinggi menunjukan kecendrungan terjadinya masalah coning rendah

karena tekanan drawdown di sekitar lubang sumur kecil.

Coning dapat dikurangi dengan meminimalkan tekanan drawdown. Laju

produksi minyak sebanding dengan tekanan drawdown, dan dengan

meminimalkan tekanan drawdown untuk mencegah terjadinya coning maka hal ini

akan mengurangi laju produksi. Dengan sumur horisontal, tekanan drawdown

yang dicapai minimum. Produksi per unit panjang sumur mungkin kecil tetapi

karena pengaruh dari panjang bagian horisontalnya hal ini tidak mengurangi laju

Page 3: Coning pada Sumur Vertikal dan Horizontal.doc

produksi minyak. Dengan demikian sumur horisontal memberikan produksi yang

optimum dimana tekanan drawdown dan kecendrungan terjadinya coning dapat

diminimalkan dan laju produksi yang tinggi dapat diperoleh.

Gambar 4.1.Perbandingan Tekanan Drawdown di Lubang Sumur 16)

Horisontal dan Vertikal

4.1. Laju Alir Kritis

Beberapa eksperimen dan analisis matematika telah dilakukan untuk

menyelesaikan problem coning. Salah satu ananlisis adalah jika minyak

diproduksikan pada laju produksi rendah atau jika tekanan drawdown dikurangi

sehingga water dan gas coning dapat dihindari dan hanya minyak yang

diproduksikan. Laju produksi rendah ini disebut laju alir kritis. Dengan demikian,

laju alir kritis didefinisikan sebagai laju produksi maksimum dimana hanya

minyak yang diproduksikan (air dan atau gas tidak ikut terproduksi).

Page 4: Coning pada Sumur Vertikal dan Horizontal.doc

4.1.1. Laju Alir Kritis Pada Sumur Vertikal

Laju alir kritis tergantung pada permeabilitas minyak effektif, viscositas

minyak, perbedaan densitas antara munyak dan air atau minyak dan gas,

perbandingan penembusan sumur (hp/h), dan permeabilitas vertikal (kv). Untuk

formasi produktif dengan water-oil-contact (WOR) dan atau gas-oil-contact

(GOR), laju alir kritisnya didapat dari persamaan berikut ini :

4.1.1.1. Metode Craft dan Hawkins

Craft dan Hawkins memberikan dua persamaan, yaitu persamaan laju alir

kritis dan productivity ratio seperti berikut ini :

………………………………….. (4-

1)

…………………….…………….(4-

2)

dimana :

qo = laju alir kritis (laju produksi minyak maksimum tanpa terjadi coning),

STB/hari

PR = productivity ratio

Pws’ = tekanan statik sumur terkoreksi pada setengah interval produksi, psi

Pwf’ = tekanan alir dasar sumur pada setengah interval produksi, psi

b’ = rasio penembusan, hp/h

hp = ketebalan interval perforasi, ft

h = ketebalan kolom minyak, ft

re = jari-jari pengurasan, ft

rw = jari-jari sumur, ft

μo = viscositas minyak, cp

Bo = faktor volume formasi minyak, RB/stb

4.1.1.2. Metode Meyer, Gardner dan Pirson

Page 5: Coning pada Sumur Vertikal dan Horizontal.doc

Pada metode ini, Metode Meyer, Gardner dan Pirson memberikan

persamaan-persamaan untuk gas coning, water coning dan gas-water coning,

persaman-persamaan itu adalah sebagai berikut :

1. Persamaan untuk menghitung laju produksi bila terjadi gas coning

……………………(4-3)

dimana :

qo = laju alir kritis (laju produksi minyak maksimum tanpa terjadi gas

coning), STB/hari

ρo = densitas minyak, gm/cc

ρg = densitas gas, gm/cc

μo = viscositas minyak, cp

Bo = faktor volume formasi minyak, RB/stb

ko = permeabilitas efektif minyak, md

hp = ketebalan interval perforasi, ft

h = ketebalan kolom minyak, ft

re = jari-jari pengurasan, ft

rw = jari-jari sumur, ft

2. Persamaan untuk menghitung laju produksi bila terjadi water coning

……………………………(4-4)

3. Persamaan untuk menghitung laju produksi bila terjadi gas dan water

coning

............................ (4-5)

Page 6: Coning pada Sumur Vertikal dan Horizontal.doc

4.1.1.3. Metode Chaperon

Chaperon mengembangkan persamaan laju alir kritis pada reservoir yang

terjadi gas coning, persamaannya sebagai berikut :

………………………………………...(4-6)

dimana :

qo = laju alir kritis (laju produksi minyak maksimum tanpa terjadi coning),

STB/hari

μo = viscositas minyak, cp

Bo = faktor volume formasi minyak, RB/stb

ρo = densitas minyak, gm/cc

ρw = densitas air, gm/cc

kh = permeabilitas horisontal, md

kv = permeabilitas vertikal

h = ketebalan kolom minyak, ft

re = jari-jari pengurasan, ft

rw = jari-jari sumur, ft

Δρ = ρw – ρo, perbedaan densitas, ft

Untuk U.S. oil field units persamaan diatas menjadi :

…………………………………………. (4-

7)

variasi laju alir kritis metode chaperon untuk sumur vertikal dapt dilihat pada

Gambar 4.2. Untuk menghitung dapat dilihat pada Tabel IV-1.

Harga dapat dicari dengan persamaan berikut :

…………………………………………...

(4-8)

dimana :

Page 7: Coning pada Sumur Vertikal dan Horizontal.doc

Tabel IV.1Hubungan antara α” dan 7)

Gambar 4.2.Variasi Laju Alir Kritis Sumur Vertikal dengan Metode Chaperon 16)

4.1.1.4. Metode Schols

Pada metode ini, Schols mengembangkan persamaan laju produksi minyak

dimana reservoir terjadi water coning, persamaannya adalah sebagai berikut :

……………. (4-9)

α”

4 1,2133

13 0,8962

40 0,7676

Page 8: Coning pada Sumur Vertikal dan Horizontal.doc

dimana :

qo = laju alir kritis (laju produksi minyak maksimum tanpa terjadi coning),

STB/hari

ρo = densitas minyak, gm/cc

ρw = densitas air, gm/cc

μo = viscositas minyak, cp

Bo = faktor volume formasi minyak, RB/stb

re = jari-jari pengurasan, ft

rw = jari-jari sumur, ft

h = ketebalan kolom minyak, ft

Variasi laju alir kritis sumur vertikal dengan menggunakan Metode Schols

dapat dilihat pada Gambar 4.3.

Gambar 4.3.Variasi Laju Alir Kritis Sumur Vertikal dengan Metode Schols 16)

4.1.1.5. Metode Hoyland, Papatzacos dan Skjaeveland

Dalam metode ini Metode Hoyland, Papatzacos dan Skjaeveland

mengembangkan persamaan laju produksi kritis pada reservoir isotropic dan

anisotropic, persamaanna adalah sebagai berikut :

1. Reservoir Isotropic

Page 9: Coning pada Sumur Vertikal dan Horizontal.doc

……………….. (4-

10)

2. Reservoir anisotropic

Untuk reservoir anisotropic, laju alir kritis didapat dengan mencari laju alir

tanpa dimensi (qoD), yang diplot versus jari-jari tanpa dimensi (reD), seperti

yang terlihat pada Gambar 4.4.

Gambar 4.4.Hubungan Laju Produksi Minyak tak Berdimensi (qoD) 16)

Dengan Jari-jari tak Berdimensi (reD)

Laju alir tanpa dimensi (qoD) dan jari-jari tanpa dimensi (reD) didefinisikan

sebagai berikut :

………………………………………………. (4-11)

………………………………………………… (4-12)

dimana :

qo = laju alir kritis (laju produksi minyak maksimum tanpa terjadi coning),

STB/hari

Page 10: Coning pada Sumur Vertikal dan Horizontal.doc

μo = viscositas minyak, cp

Bo = faktor volume formasi minyak, RB/stb

ρo = densitas minyak, gm/cc

ρw = densitas air, gm/cc

hp = ketebalan interval perforasi, ft

h = ketebalan kolom minyak, ft

reD = jari-jari tak berdemensi, ft

re = jari-jari pengurasan, ft

4.1.2. Laju Alir Kritis Pada Sumur Horisontal

Pada sumur vertikal tekanan drawdown terjadi disekitar lubang sumur,

dimana tekanan drawdown yang tinggi dapat terjadi. Pada sumur horisontal,

presurre drop relatif seragam di seluruh reservoir dan bagian kecil disekitar lubang

sumur. Pressure drop ini relatif sangat kecil dibandingkan dengan sumur vertikal.

Untuk sumur horisontal dengan tekanan drawdown rendah, diharapkan

dapt memproduksi minyak yang tinggi tanpa terjadi coning. Pada reservoir

dengan dasar air dan gas pada bagian atas, kenaikan air dan pergerakan downward

gas harus dikontrol untuk mendapatkan penyapuan atau pengurasan reservoir

yang cukup baik.

4.1.2.1. Metode Chaperon

Chaperon mengembangkan persamaan laju alir kritis sumur horisontal

untuk mencegah terjadi coning sebagai berikut :

…………………………………….. (4-

13)

untuk 1 ≤ α” < 70 dan 2ye < 4L

dimana :

qo = laju alir kritis, STB/hari

L = panjang sumur horisontal, ft

ye = setengah jari-jari pengurasan, ft

μo = viscositas minyak, cp

Page 11: Coning pada Sumur Vertikal dan Horizontal.doc

Bo = faktor volume formasi minyak, RB/stb

h = ketebalan kolom minyak, ft

Δρ = ρw – ρo, perbedaan densitas, ft

ρw = densitas air, gm/cc

ρo = densitas minyak, gm/cc

α” = (ye/h) (kv/kh)0,5

F = fungsi takberdimensi,

Pada reservoir dengan tenaga pendorong air, secara normal tekanan

reservoir dipertahankan pada tekanan konstan, sehingga pseudo-steady state atau

pressure depletion state tidak terjadi. Jika reservoir mempunyai dasar air tetapi

tidak mempunyai tekanan yang cukup, tekanan reservoir akan berkurang atau

menurun sejalan dengan waktu ketika fluida mulai diproduksikan dari reservoir.

Fungsi tak berdimensi F dapat dilihat pada Tabel IV-2 berikut ini :

Tabel IV-2Hubungan antara α” dan F 7)

Harga F diatas didapat dengan persamaan sebagai berikut :

α” F

1 4,0032 4,0263 4,0834 4,1605 4,2457 4,41710 4,64013 4,8020 5,0830 5,3140 5,4870 5,74

Page 12: Coning pada Sumur Vertikal dan Horizontal.doc

F = 3,9624955 + 0,0616438 (α”) – 0,00054 (α”)2

4.1.2.2. Metode Efros

Efros mengembangkan persamaan laju produksi kritis sumur horisontal

sebagai berikut :

……………………………….. (4-14)

qo = laju alir kritis, STB/hari

L = panjang sumur horisontal, ft

2ye = spasi sumur horisontal, ft

h = ketebalan formasi produktif, ft

4.1.2.3. Metode Giger dan Karcher

Giger dan Karcher mengembangkan persamaan laju kritis untuk sumur

horisontal, sebagai berikut :

……………... (4-

15)

qo = laju alir kritis, STB/hari

L = panjang sumur horisontal, ft

2ye = spasi sumur horisontal, ft

h = ketebalan formasi produktif, ft

4.1.2.3. Metode Joshi

Joshi mengembangkan persamaan laju alir kritis untuk sumur horisontal

sebagai berikut :

……………………….. (4-

16)

dimanan :

qo,v = laju alir kritis sumur vertikal, STB/hari

Page 13: Coning pada Sumur Vertikal dan Horizontal.doc

ρo = densitas minyak, gm/cc

ρg = densitas gas, gm/cc

Iv = jarak antara permukaan minyak-gas dan perforasi atas dari sumur

vertikal, ft

kh =permeabilitas horisontal, ft

h = ketebalan kolom minyak, ft

Laju alir kritis untuk sumur horisontal, qo,h, dapat dihitung dengan

persamaan sebagai berikut ;

……………………………………..(4-17)

Ih = jarak antara sumur horisontal dan permukaan minyak-gas, ft

= jari-jari effektif radius sumur

…………………………………(4-18)

Perhitungan laju alir kritis untuk sumur horisontal mempunyai beberapa

metode yang berbeda, karena asumsi-asumsi yang digunakan berbeda tiap-tiap

metode. Metode Chaperon dan metode Joshi memperlihatkan peningkatan laju

produksi minyak kritis yang berarti pada sumur horisontal dibandingkan dengan

sumur vertikal, disamping mengurangi kecendrungan water coning. Ketuntungan

semur horisontal dibanding sumur vertikal adalah coning yang menjadi kurang

berati saat permeabilitas vertikal berkurang.

Produksi minyak pada sumur horisontal dengan laju alir kritis akan

mengakibatkan berkurangnya laju produksi minyak ketika tinggi kolom minyak

berkurang selama diproduksikan. Decline curve analisis sumur horisontal yang

diproduksikan pada laju alir kritis dapat dilihat pada Gambar 4.5.

Dalam reservoir water drive, baik sumur horisontal maupun sumur vertikal

memberikan indeks dicline sebesar b = 0,5 saat dioperasikan pada aliran kritis.

Pada sumur horisontal laju produksi kritis lebih besar dibanding sumur vertikal,

yang mengakibatkan pengurasan minyak di tempat lebih cepat tanpa terjadi water

Page 14: Coning pada Sumur Vertikal dan Horizontal.doc

coning. Dengan demikian sumur horisontal tidak hanya memungkinkan untuk

diproduksikan pada laju produksi yang tinggi tetapi juga memungkinkan untuk

pengurasan minyak yang maksimum dalam waktu yang lebih cepat, seperti

terlihat pada Gambar 4.6.

Gambar 4.5.Decline Curve Sumur Horisontal di Operasikan pada Laju Kritis 16)

Gambar 4.6Pebandingan Laju Produksi Kritis Sumur Vertikal dan Horisontal 16)

Menggunakan Metode Chaperon

Page 15: Coning pada Sumur Vertikal dan Horizontal.doc

Laju produksi kritis pada sumur horisontal selama sumur diproduksikan

dapat dicari dengan prosedur sebagai berikut:

1. Mencari laju produksi kritis sumur vertikal

……………………………….. (4-

19)

2. Laju produksi kritis sumur horisontal dapat dicari dengan persamaan

…………………………………………………(4-20)

Dimana F dapat dicari dengan persamaan di depan atau dapat diambil harga

F = 4 dan

3. Persamaan material balance digunakan untuk menghitung perubahan tinggi

kolom minyak jika sumur diproduksikan pada laju konstan (qo), untuk periode

waktu t. Tinggi kolom minyak yang baru sampai akhir periode waktu adalah

sebagai berikut :

…………………………………. (4-

21)

dimana :

Ho = tinggi kolom minyak mula-mula, ft

t = waktu produksi, hari

qo = laju minyak, STB/hari

Bo = Faktor folume formasi, RB/STB

Swc = saturasi water connate, takberdimensi

Sor = saturasi minyak residual, takberdimensi

A = luas daerah pengurasan

H = tinggi kolom minyak baru pada akhir periode waktu (t), ft

4.2. Waktu Terjadinya Water Breakthrough

Water breakthrough adalah mulai terproduksinya air di dalam reservoir

akibat diproduksikannya minyak. Minyak yang diproduksikan akan digantikan

oleh air yang ada dibawahnya, semakin lama minyak diproduksikan maka

Page 16: Coning pada Sumur Vertikal dan Horizontal.doc

semakin banyak daerah yang ditempati air, dan suatu saat air tersebut akan mulai

terproduksikan bersama dengan minyak. Breaktrough time adalah waktu yang

diperlukan dari awal diproduksikannya sumur sampai mulai terproduksinya air

formasi.

4.2.1. Water Breakthrough Pada Sumur Vertikal.

Untuk menghindari terjadinya coning biasanya sumur diproduksikan pada

laju produmsi kritis, tetapi untuk alasan ekonomi, sumur biasanya diproduksikan

pada laju produksi diatas laju produksi kritis. Ini mengakibatkan cepat

terproduksinya air. Sabocinski dan Cornelius serta Bournazel dan Jeanson

melaporkan hasil penelitian mengenai waktu terjadinya water breaktrough.

Mereka mengukur waktu yang diperlukan sampai air terproduksi (terjadinya

kerucut air) dalam sumur vertikal pada laju produksi total. Dalam percobaannya,

mereka menemukan bahwa jika tinggi kerucut vertikal tak berdimensi bernilai

rendah maka water breakthrough akan semakin cepat. Tinggi kerucut tak

berdimensi dapat dicari dengan persamaan yang telah mereka kembangkan yang

dapat dilihat pada persamaan dibawah ini.

4.2.1.1. Metode Sobocinski dan Cornelius

Metode yang mereka kembangkan adalah sebagai berikut :

………………………………… (4-22)

dimana :

kh = permeabilitas horisontal, ft

qo = laju produksi minyak, STB/hari

μo = viscositas minyak, cp

Bo = faktor volume formasi minyak, RB/STB

ρo = densitas minyak, gm/cc

ρw = densita sair, gm/cc

hp = interval perforasi, ft

h = ketebalan kolom minyak, ft

Page 17: Coning pada Sumur Vertikal dan Horizontal.doc

dan dimensionless breakthrough time , adalah sebagai berikut :

………………………… (4-23)

dimana :

tBT = breakthrough time, hari

= porositas, fraksi

M = rasio monilitas minyak air

= , dimana (kw)or adalah permeabilitas efektif untuk

air pada saturasi minyak residual dan (ko)wc adalah permeabilitas

efektif untuk minyak pada saturasi air conate.

= 0,5 untuk M < 1 ; 0,6 untuk 1 < M < 10

h = ketebalan kolom minyak, ft

Pada persamaan Sobocinski dan Cornelius, hubungan anatara tinggi

kerucut tak berdimensi dengan waktu breakthrough tak berdimensi (dimensionless

breakthrough time), dapat dilihat pada persamaan berikut ini :

……………………………………………(4-24)

Persamaan tersebut menjelaskan bahwa waktu yang diperlukan untuk

terjadinya water breakthrough akan tak terhinggga jika angka-angkanya berharga

nol, sehingga tidak akan terjadi breakthrough. Pada persamaan di atas, bila z = 3,5

atau lebih, maka tidak akan terjadi water breakthrough, yang digambarkan

sebagai:

……………………………(4-25)

Prosedur perhitungan breakthrough time menggunakan metode Sobocinski

dan Cornelius adalah sebagai berikut :

1. Menghitung tinggi kerucut tak berdimensi, z.

2. Menghitung dimensionless breakthrough time, .

Page 18: Coning pada Sumur Vertikal dan Horizontal.doc

3. Menghitung tBT (waktu terjadinya breakthrough dalam hari), dengan

menggunakan persamaan berikut :

…………………………………(4-26)

4.2.1.2. Metode Bournazel dan Jeanson

Bournazel dan Jeanson dari hasil penelitian dilaboratorium, menghitung

tinggi kerucut tak berdimensi (z) dan waktu breakthrough tak berdimensi ,

sebagai berikut :

……………………………………………………. (4-27)

Prosedur penghitungan breakthrough time menggunakan metode Bournel

dan Jeanson adalah sebagai berikut :

1. Menghitung tinggi kerucut tak berdimensi, z.

2. Menghitunga dimensionless breakthrough time, .

3. Menghitung tBT (waktu terjadinya breakthrough dalam hari), dengan

menggunakan persamaan berikut :

……………………………….. (4-28)

Pada metode Bournel dan Jeanson agar tidak terjadi breakthrough maka

harga z yang diambil adalah sebagai berikut :

………………………….. (4-

29)

Breakthrough time dapat digunakan untuk menghitung permeabilitas

efektif vertikal. Hal ini penting untuk penggembangan lapangan baru. Di lapangan

log sumur dapat mengggambarkan apakah di dalam resevoir terdapat air di dasar

formasi atau gas cap. Log sumur biasanya memperlihatkan adanya zone minyak

dan beberapa zone shale di antara minyak dan air, seperti ditunjukkan dalam

Gambar 4.7.

Page 19: Coning pada Sumur Vertikal dan Horizontal.doc

Pada sumur-sumur baru, kadang-kadang sulit untuk memperkirakan

komunikasi antara zone minyak dan air, sehingga sulit untuk memperkirakan

permeabilitas vertikal. Permeabilitas vertikal dapat dihitung dari data core yang

dapat membantu, tetapi permeabilitas vertikal aktual dapat berbeda dari yang

diperkirakan dari data core. Dalam hal ini, sumur dapat diproduksikan pada laju

produksi tertentu untuk jangka waktu tertentu. Jika water breakthrough tidak

muncul, laju produksi minyak dapat ditingkatkan dan memperkirakan waktu

terjadinya. Jika water breakthrough tidak muncul lagi, kemudian laju produksi

juga ditingkatkan sampai terjadi breakthrough. Berdasarkan waktu breakthrough

ini, permeabilitas vertikal reservoir dapat diperkirakan.

Gambar 4.7.Log Sumur yang Memperlihatkan Zone Minyak dan Zone Shale 16)

Page 20: Coning pada Sumur Vertikal dan Horizontal.doc

4.2.2. Water Breakthrough Pada Sumur Horisontal

4.2.2.1. Water Breakthrough Sumur Horizontal Dengan Tenaga Pendorong

Air

Untuk reservoir dengan tenaga pendorong air, Ozkan dan Raghavan

mengembangkan teori untuk menghitung waktu terjadinya water breakthrough

untuk sumur horisontal. Mereka mengasumsikan bahwa reservoir dengan tenaga

pendorong air dapat digambarkan sebagai batas tekan konstan, misalnya tekanan

konstan pada permukaan minyak dan air. Waktu terjadinya water breakthrough

dapat dicari dengan persamaan berikut ini :

……………………………… (4-

30)

dimana:

fd = (1 - Swc - Soir )

= efesiensi displacement mikroskopik, tak berdimensi

qo = laju minyak, STB/hari

Es = effesiensi penyapuan, tak berdimensi

Bo = Faktor folume formasi, RB/STB

Swc = saturasi water connate, takberdimensi

Soir = saturasi minyak residual, fraksi

h = ketebakan kolom minyak, ft

Grafik dari fungsi efisiensi pengurasan (Es), untuk sumur vertikal dan

horizontal dapat dilihat pada Gambar 4.8, Gambar 4.9 dan Gambar 4.10. Dalam

ketiga gambar ini, spasi sumur efektif (aD), panjang sumur tak berdimensi (LD),

rasio penembusan (b), jarak vertikal tak berdimensi (zwD), dan jari-jari sumur tak

berdimensi (rwD) didefinisikan sebagai berikut :

aD = (2xe/h) …………………………………………….. (4-31)

Page 21: Coning pada Sumur Vertikal dan Horizontal.doc

LD = L/(2h) ……………………………………………. (4-32)

b’ = hp/h …………………………………………………………. (4-33)

zwD = zw/h …………………………………………………………. (4-34)

rwD = rw/h …………………………………………………………. (4-35)

dimana :

xe = setengah spasi sumur, ft

L = panjang sumur, ft

hp = interval perforasi, ft

zw = jarak vertikal sumur horisontal dari oil-water contact saat t = 0

rw = radius sumur, ft

Untuk sumur horisontal pada Gambar 4.9 menggambarkan bahwa fungsi

efisiensi pengurasan meningkat dengan bertambahnya panjang sumur untuk spasi

sumur tetap. Ini menunjukkan bahwa penambahan panjang sumur untuk spasi

sumur tetap akan mengakibatkan penundaan terjadinya water breakthrough pada

sumur horisontal. Dengan demikian sumur yang lebih panjang akan memproduksi

lebih banyak minyak tanpa terproduksinya air untuk spasi sumur tertentu. Gambar

tersebut juga memperlihatkan bahwa jika panjang sumur tetap, dengan

peningkatan spasi sumur, dapat menunda water breakthrough. Tetapi jika telah

melebihi nilai tertentu, penambahan spasi sumur tidak akan meningkatkan waktu

terjadinya breakthrough selama panjang sumur tetap.

Page 22: Coning pada Sumur Vertikal dan Horizontal.doc

Gambar 4.8.Efisiensi Pengurasan untuk Sumur Vertikal 16)

Page 23: Coning pada Sumur Vertikal dan Horizontal.doc

Gambar 4.9.Efisiensi Pengurasan untuk Sumur Horisontal 16)

Gambar 4.10.Efisiensi Pengurasan untuk Sumur Horisontal dan Vertikal 16)

4.2.2.2. Breakthrough Sumur Horisontal Pada Reservoir Dengan Gas Cap

Atau Bottom Water

Papatzacos meneliti breakthrough time sumur horisontal yang ditempatkan

pada reservoir dengan bottom water atau gas cap. Papatzacos menyelesaikan

masalah ini dengan menggunakan metode semi analitik dengan asumsi bahwa

sumur horisontal ditempatkan pada bagian atas atau bawah dari formasi produktif

untuk meminimalkan terjadinya gas dan water coning. Penyelesaian dilakukan

dengan dua metode. Metode pertama diasumsikan bahwa gas cap atau bottom

water dapat digambarkan senagai batas tekanan konstan. Denga asumsi ini,

perhitungan breakthrough time adalah sebagai berikut :

tDBT = 1/(6qD) ……………………………………………………….. (4-36)

Page 24: Coning pada Sumur Vertikal dan Horizontal.doc

dimana :

………………………………………….. (4-37)

antara tDBT dan tBT mempunyai hubungan sebagai berikut :

………………………………………………(4-38)

Papatzacos juga telah memberikan penyelesaian semi analisis dengan

memperhatikan kesetimbangan gravity pada kerucut sebagai pengganti batas

tekanan konstan, dengan menghitung besarnya breaktrough time (tak berdimensi)

untuk qD > 0,4 adalah sebagai berikut :

………………………………………(4-39)

Untuk qD > 1, Persamaan 4-36 dan 4-39 akan memberikan hasil yang sama.

Dengan demikian breakthrough time dihitung dengan mengasumsikan

tekanan konstan pada kontak minyak-air atau dengan kesetimbangan gravity pada

kerucut akan sama. Bottom-water drive dapat disimulasikan sebagai batas tekanan

konstan untuk produksi pada laju tinggi. Papatzacos juga telah membandingkan

penyelesaian semi analitisnya dengan penyelesaian secara numerik. Perbandingan

breakthrough pada metode analitik dan numerik dapat dilihat pada Gambar 4.11

dan persentase kesalahan dua penyelesaian tersebut diperlihatkan pada Gambar

4.12. Persentase kesalahan antara dua penyelesaian ini adalah, lebih kecil pada

vikositas gas yang besar daripada vikositas gas yang rendah. Dengan demikian

penyelesaian analitik dapat digunakan pada setiap vikositas dengan qD 0,3.

untuk vikositas gas diatas 0,15 cp digunakan qD 0,6.

Page 25: Coning pada Sumur Vertikal dan Horizontal.doc

Gambar 4.11.Perbandingan Breakthrough Time dengan Numerik dan Analitik 19)

untuk Single-Cone Gas

Gambar 4.12Persentase Kesalahan antara Penyelesaian Numerik dan Analitik 19)

untuk Single-Cone Gas

Page 26: Coning pada Sumur Vertikal dan Horizontal.doc

4.2.2.3. Brekathrough Time Sumur Horisontal Pada Reservoir Dengan Gas

Cap Dan Bottom Water

Papatzacos juga memberikan penyelesaian untuk menghitung waktu

terjadinya breaktrough untuk sumur horisontal pada reservoir dengan bagian atas

terdapat gas dan air pada bagian bawah terdapat air. Prosedurnya juga dapat

digunakan untuk menentukan penempatan sumur yang optimum. Penempatan

sumur yang optimum pada bidang vertikal adalah elevasi sumur, dimana

breaktrouh minyak dan gas terjadi bersamaan.

Saat breaktrough tak berdimensi (tDBT) dan penempatan sumur yang optimum

(’opt) dapt dicari dengan Gambar 4.13 dan Gambar 4.14. Harga tDBT dan ’opt dapat

juga dihitung dengan persamaan berikut :

’opt = Co + C1U + C2U2 + C3U3 ……………………………………. (4-40)

ln(tDBT) = Co + C1U + C2U2 + C3U3 …………………………………….. (4-41)

dimana :

U = ln(qD)

dan qD dapt dicari dengan persamaan 4-37. Tabel IV-3 dan Tabel IV-4

memberikan daftar koefisien yang digunakan pada Persamaan 4-40 dan

Persamaan 4-41. Seperti terlihat pada Gambar 4.13 dan Gambar 4.14, tDBT dan

’opt tergantung dari variabel ψ, yang menunjukan perbedaan perbandingan

densitas antara minyak, air dan gas. Variabel ψ, dicari dengan persamaan berikut :

ψ = ………………………………………………………… (4-42)

dan

’opt = c’/h …………………………………………………………… (4-43)

Penampang vertikal dari pengembangan gas dan water cone pada sumur

horisontal dapt dilihat pada Gambar 4.15, dimana :

c’ = jarak dari sumur ke water-oil contact, ft

d’ = jarak dari sumur ke gas-oil contact, ft

h = ketebalan kolom minyak, (c + d’), ft

Page 27: Coning pada Sumur Vertikal dan Horizontal.doc

Gambar 4.13.Penempatan Sumur yang Optimum sebagai Fungsi 19)

Laju tak Berderdimensi (Two-Cone Case)

Gambar 4.14.Waktu tak Berdimensi untuk Breaktrough yang Simultan 19)

Pada Gas dan Water Coning (Two-Cone Case)

Page 28: Coning pada Sumur Vertikal dan Horizontal.doc

Tabel IV-3Koefisien untuk Penampang Sumur yang Optimum 19)

Koefisien untuk Persamaan 4-40

Tabel IV-4Koefisien Breaktrough Time, tDBT

19)

Koefisien untuk Persamaan 4-41

Co C1 C2 C3

0.2 0.507 - 0.0126 0.01055 - 0.0024830.4 0.504 - 0.0159 0.01015 - 0.0000960.6 0.503 - 0.0095 0.00624 - 0.0004240.8 0.502 - 0.0048 0.00292 - 0.0001481.0 0.500 - 0.0001 0.00004 0.0000091.2 0.497 0.0042 - 0.00260 0.0003841.4 0.495 0.0116 - 0.00557 - 0.0004051.6 0.493 0.0178 - 0.00811 - 0.0009211.8 0.490 0.0231 - 0.01020 - 0.0012422.0 0.488 0.0277 - 0.01189 - 0.001467

Co C1 C2 C3

0.2 - 2.9494 - 0.94654 - 0.0028369 - 0.0298790.4 - 2.9473 - 0.93007 0.016244 - 0.0496870.6 - 2.9484 - 0.9805 0.050875 - 0.0462580.8 - 2.9447 - 1.0332 0.075238 - 0.0388971.0 - 2.9351 - 1.0678 0.088277 - 0.0349311.2 - 2.9218 - 1.0718 0.091371 - 0.0407431.4 - 2.9162 - 1.0716 0.093986 - 0.0429331.6 - 2.9017 - 1.0731 0.094943 - 0.0482121.8 - 2.8917 - 1.0856 0.096654 - 0.0466212.0 - 2.8826 - 1.1103 0.10094 - 0.040963

Page 29: Coning pada Sumur Vertikal dan Horizontal.doc

Gambar 4.15Skema Penampang Vertikal dari Pengembangan 19)

Gas dan Water Cone pada Sumur Horisontal

Dari Gambar 4.13, penempang sumur optimum (’opt) bergerak mendekati water

oil contact sejalan dengan meningkatnya ψ. Gambar 4.13 juga mejelaskan bahwa

penempatan sumur optimum(’opt) adalah ditengah dari zona minyak untuk semua

harga ψ pada qD > 1. Pada Gambar 4.14, saat terjadinya breaktrouh juga sama

untuk semua harga ψ pada qD > 1.

4.3. Pengaruh Coning Pada Sumur Vertikal dan Horisontal

Masalah coning ini sering dialami pada lapangan-lapangan diamana

reservoirnya merupakan gas yang dibawahnya terdapat pula air, reservoir minyak

yang memiliki gas cap dan atau dibagian bawahnya terdapat air. Pada umumnya

reservoir minyak yang diproduksikan baik oleh sumur vertikal maupun sumur

horisontal pada laju alir kritis agar fluida yang tidak diinginkan tidak ikut

diproduksikan.

Produksi air dan gas dari suatu sumur minyak adalah peristiwa yang akan

menambah ongkos operasi produksi dan mengurangi effesiensi pendorong minyak

sehinggga akan menurunkan produktivitas sumur itu sendiri. Fenomena ini

disebabkan oleh adanya coning (cresting pada sumur horisontal). Pada sumur

konvensionsal, besarnya produktivitasnya sebanding dengan hasil kali

permeabilitas dengan ketebalan formasi produktifnya. Produktivitas yang rendah

berarti disebabkan oleh rendahnya nilai permeabilitas atau tipisnya formasi

Page 30: Coning pada Sumur Vertikal dan Horizontal.doc

produktif, atau kedua-duanya. Konsep ini juga berlaku untuk sumur horisontal,

dimana hasil kali antara permeabilitas dan panjang sumur horisontal merupakan

petunjuk besarnya produktivitas. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa sumur

horisontal mempunyai keuntungan yaitu panjang sumur horisontal merupakan

variabel yang dapat berubah atau diatur besar kecilnya tidak seperti ketebalan

formasi produktif yang tetap pada sumur vertikal. Jadi untuk mengatasi ketebalan

formasi produktif yang rendah untuk sumur horisontal dilakukan dengan

menambah panjang bagian (bidang) horisontalnya yang menembus formasi

tersebut. Hal ini berlaku juga berpengaruh terhadap coning pada terhadap sumur

vertikal dan sumur horisontal.

Sumur dalam keadaan awal atau belum diproduksi, kondisi fluida didalam

reservoir dalam keadaan kesetimbangan statik. Pada saat sumur mulai

diproduksikan maka keadaan kesetimbangan ini terganggu, yaitu tekanan disekitar

lubang sumur akan turun dan gradient alir yang ditimbulkan akan menurunkan

batas minyak-gas dan menaikan batas minyak-air. Jika laju produksi sumur

sebagai akibat penurunan tekanan dilubang sumur (pressure drawdown) lebih

besar dari gaya gravitasi maka coning akan terjadi. Gradien tekan disebabkan oleh

aliran fluida dan gaya gravitasi disebabkan oleh perbedaan densitas antara gas,

minyak dan air. Secara matematis hal tersebur diatas dapat dinyatakan dalam

persamaan berikut :

Pada kondisi setimbang :

ΔP ≤ (w - g hc …………………………………………………. (4-44)

Pada kondisi coning

ΔP ≥ (w - g hc …………………………………………………. (4-45)

Dalam satuan lapangan

ΔP ≥ 0,433 (w - o ) hc……………………………………………….. (4-46)

dimana :

ΔP = Pres – Pwell , pressure drawdown, psi

hc = tinggi kolom minyak, ft

w = spesific gravity air,

Page 31: Coning pada Sumur Vertikal dan Horizontal.doc

o = spesific gravity minyak

Pada kondisi dinamik, yaitu pada saat sumur berproduksi, parameter yang

juga berpengaruh untuk terjadinya conning adalah sifat mobilitas dari fluida

reservoir. Coning akan terjadi dengan cepat jika mobilitas air terhadapa mobilitas

minyak semakain semakin besar dimana air memiliki mobilitas yang lebih besar

akan bergerak menembus zona minyak menuju lubang sumur. Hal ini

menyebabkan waktu tembus air (breakthrough) air lebih cepat / terlalu dini.

Parameter-parameter yang mempengaruhi coning pada sumur vertikal dan

horisontal adalah sebagai berikut :

Ketinggian batas minyak-air (WOC) dan minyak-gas (GOC) awal.

Dengan laju produksi yang sama, reservoir yang memiliki jarak batas

minyak-air dan batas minyak-gas terhadap lubang sumur yang semakin besar akan

menghasilkan pergerakan batas minyak-air dan batas minyak-gas yang semakin

stabil. Hal ini disebabkan oleh tekan fluida yang diakibatkan gaya gravitasi akan

semakin besar sebanding dengan tinggi kolom minyak, disamping itu semakin

jauh batas minyak-air dan batas minyak-gas terhadap lubang bor pengaruh gaya

hisap sumur pada batas minyak-air dan batas minyak-gas semakin kecil. Untuk

sumur horisontal dan vertikal hal tersebut diatas juga berlaku. Joshi

membandingkan secara matematis pengaruh tinggi WOC dan GOC terhadap

posisi sumur horisontal dan interval perforasi sumur vertikal dengan

kecendrungan terjadinya coning, yaitu membandingkan laju produksi maksimum

antara sumur horisontal dan sumur vertikal dengan asumsi rev = reh .

Kecendrungan terjadinya gas coning

Persamaan sebagai berikut :

……………………………………. (4-47)

Menggangap sumur horisontal terletak pada puncak

perforasi sumur vertikal atau Ih = Iv . Dengan mensubsitusikan ke

Persamaan (4-47) didapat :

Page 32: Coning pada Sumur Vertikal dan Horizontal.doc

………………………………………………. (4-48)

Karena r’w sumur horisontal selalu lebih besar dari rw sumur vertikal, maka

selalu didapatkan hubungan sebagai berikut : qo,h > qo,v .

Jadi jika kedua sumur diperforasi pada jarak yang sama (Ih = Iv) dari batas

GOC maka tanpa terjadinya gas coning, sumur horisontal selalu

memberikan rate produksi yang lebih tinggi dibanding sumur vertikal

Menganggap sumur horisontal diproduksikan pada laju

yang sama dengan sumur verikal (qo,h = qo,v). Dengan mensubsitusikan ke

Persamaan (4-47) akan diperoleh :

…………………….. (4-49)

karena r’w > rw dan h > Iv dan Ih maka persamaan tersebut memberikan

hubungan Ih < Iv. Hal ini berarti, untuk memproduksikan rate yang sama

dengan sumur vertikal , sumur horisontal dapat diletakan pada jarak yang

lebih dekat dengan GOC dibandingkan dengan puncak perforasi sumur

vertikal. Jadi meskipun sumur horisontal diletakan lebih dekat dengan

GOC dibanding sumur vertikal, tetapi sumur horisontal tetap

mengeliminasi terjadinya gas coning.

Kecendrungan terjadinya water coning

Dengan persamaan sebagai berikut :

…………………………………………. (4-50)

Identik dengan analisa pada problem gas coning, maka diperoleh :

Untuk sumur horisontal terletak pada puncak perforasi

sumur vertikal atau Ih = Iv maka dari Persamaan 4-60 diperoleh hubungan

sebagai berikut :

………………………………………………. (4-51)

Page 33: Coning pada Sumur Vertikal dan Horizontal.doc

Hubungan antara qo,h dan qo,v selalu memberikan qo,h > qo,v , sehinnga

dapat dikatakan bahwa sumur horisontal memberikan laju produksi yang

lebih besar daripada sumur vertikal tanpa terjadinya water coning

mesikupun jarak perforasi (posisi sumur) dari kedua sumur dengan WOC

adalah sama (Ih = Iv).

Untuk laju produksi sumur horisontak sama dengan laju

produksi sumur vertikal (qo,h = qo,v), dengan mensubsitusikan ke

Persamaan (4-50) di dapat:

………………………………….. (4-52)

persamaan diatas dapat dibuat hubangan sebagai berikut :

atau Ih < Iv

dari persamaan tersebut terlihat bahwa untuk memproduksikan dengan

rate yang sama tanpa menyebabkan water coning, posisi sumur horisontal

dapat diletakan pada jarak yang lebih dekatat denga WOC dibandingkan

dasar perforasi sumur vertikal.

Panjang sumur horisontal dan tinggi interval perforasi.

Kelebihan sumur horisontal daripada sumur vertikal adalah panjang sumur

horisontal yang merupakan variabel yang dapat diatur besar kecilnya dan

menentukan besar kecilnya produktivitas sumur tersebut, tidak seperti sumur

vertikal yang sangat tergantung dari tebal formasi produktif. Panjang sumur

horisontal juga memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap pergerakan batas

minyak-air atau minyak-gas. Untuk laju produksi yang sama, semakin panjang

sumur horisontal akan menghasilkan penurunan tekanan (pressure drowdown)

yang semakin kecil disepanjang lubang sumur. Dengan semakin kecilnya

penurunan tekanan di sepanjang lubang sumur maka batas minyak-gas dan

minyak-air akan semakin stabil. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar

4.16.a,b. Dari gambar tersebut terlihat bahwa semakin panjang sumur horisontal

Page 34: Coning pada Sumur Vertikal dan Horizontal.doc

semakin kecil kecendrungan terjadinya water dan gas coning dibandingkan

dengan sumur vetikal dan meningkatkan recovery factor (Gambar 4.17).

Gambar 4.16.Pengaruh Panjang Sumur Horisontal terhadap 23)

(a) Gas Coning dan (b) Water Coning, di bandingkan dengan Sumur Vertikal

(a)

(b)

Page 35: Coning pada Sumur Vertikal dan Horizontal.doc

Gambar 4.17. Perbandingan Pengaruh Panjang Sumur Horisontal 23)

terhadap Recovery Factor dan Coning

Laju produksi kritis

Suatu sumur jika diproduksikan melebihi laju produksi kritisnya maka

sumur tersebut cendrung terjadinya coning. Sumur horisontal mempunyai laju

produksi yang lebih besar dari sumur vertikal, hal ini disebabkan pajang sumur

horisontal mempengaruhi luas daerah pengurasan yang dapat dilihat pada Gambar

4.18. dimana sumur vertikal sebagai pembanding.

Sumur horisontal tidak hanya meningkatkan laju produksi tetapi juga

meminimalkan pengaruh coning (water dan gas). Dengan persamaan laju alir

kritis yang telah diberikan sebelumnya bahwa panjang sumur horisontal

sebanding dengan laju kritis minyak. Ini berarti semakin panjang sumur semakin

besar laju kritisnya. Hal inilah yang membuat sumur horisontal mempunyai

perbedaan yang menyolok dari sumur vertikal. Dengan berkurangnya pengaruh

coning pada sumur horisontal hal ini juga berpengaruh terhadap oil recovery

factor (ER), dapat dilihat pada Gambar 4.19. dan Gambar 4.20. dimana sumur

vertikal dan horisontal diproduksikan dengan laju yang sama (tetap).

Page 36: Coning pada Sumur Vertikal dan Horizontal.doc

Gambar 4.18.Daerah Pengurasan Sumur Vertikal dan Horisontal 23)

(a)

(b)

Page 37: Coning pada Sumur Vertikal dan Horizontal.doc

Gambar 4.19.Perbandingan Pengaruh Gas Coning pada Sumur Vertikal dan Horisontal 23)

terhadap (a) GOR dan (b) Recovery Factor

(a)

(b)

Page 38: Coning pada Sumur Vertikal dan Horizontal.doc

Gambar 4.20.Perbandingan Pengaruh Water Coning pada Sumur Vertikal dan Horisontal 23)

terhadap (a) WC dan (b) Recovery Factor