Contoh Perjanjian Internasional Antar Negara

Embed Size (px)

DESCRIPTION

semua nya

Citation preview

DI BALIK PERJANJIAN EKSTRADISI INDONESIASINGAPURADitandatanganinya perjanjian ekstradisi pada tanggal 28 April 2007 di Istana Tampak Siring, Bali, merupakan babak baru untuk membuka hubungan antara Indonesia Singapura setelah proses panjang penuh dinamika lebih dari 30 tahun. Sebelumnya Singapura hanya mengadakan perjanjian ekstradisi dengan negara-negara persemakmuran Inggris dan berinteraksi dengan negara-negara sekutu. Tidak hanya itu, Singapura juga hanya membina hubungan secara simbolik dengan negaranegara tetangga, bukan secara substansial. Perjanjian Ekstradisi Indonesia Singapura menjadi sebuah sinyal positif yang diberikan Singapura kepada Indonesia. Namun, melunaknya Singapura dan begitu antusiasnya Indonesia menandatangani perjanjian tersebut menjadi sebuah tanda tanya. Tidak ada satu negarapun yang ingin dirugikan dalam sebuah kesepakatan, begitupun dengan Singapura dan Indonesia yang pasti memiliki kepentingan lain. Hal tersebut menjadi isu bahasan menarik, oleh karena itu, penulis mengangkat tema Di Balik Perjanjian Ekstradisi Indonesia Singapura.

Pemberantasan korupsi merupakan salah satu program kabinet SBY. Oleh karena itulah Indonesia begitu antusias saat Singapura menandatangani perjanjian ekstradisi. Perjanjian ekstradisi tersebut menyangkut 31 jenis kejahatan antara lain terorisme, korupsi, penyuapan, pemalsuan, uang kejahatan perbankan, pelanggaran hukum perusahaan dan kepailitan. Namun, masih ada kemungkinan di masa depan ditambahkan tindak pidana lain khususnya jenis-jenis kejahatan baru. Melalui perjanjian ekstradisi, pemerintah berharap para penegak hukum baik Indonesia maupun Singapura mejadi lebih luas dalam melacak dan mengejar para tersangka khususnya tersangka kasus korupsi serta memulangkan aset-aset koruptor sejumlah 1300 triliun rupiah. Ada beberapa kalangan yang pesimis terhadap dipulangkannya aset-aset negara tersebut. Mereka menganggap perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura tidak akan menjamin pengembalian atau pemulihan aset Indonesia jika Singapura belum menandatangani konvensi PBB tahun 2003 tentang Antikorupsi yang menyatakan bahwa suatu negara yang telah berkomitmen dengan menandatangani konvensi berkewajiban membantu negara lain dalam pengembalian aset. Pada tanggal 28 April 2007, DCA (Defence Cooperation Agreement) dan MTA (Military Training Area) ikut ditandatangani sebagai timbal balik terhadap penandatanganan perjanjian ekstradisi. Salah satu isi perjanjian tersebut adalah Singapura diperbolehkan melakukan latihan militer dan dapat melaksanakan latihan bersama-sama dengan negara lain di daerah Indonesia. Singapura merupakan negara kecil yang memiliki kekuatan tempur yang besar. Ketersediaan lahan parkir seluruh armada tempur serta lahan untuk latihan militer merupakan hal yang mutlak dilakukan. Oleh karena itulah Singapura mau menandatangani perjanjian ekstradisi. Analisis lain menyebutkan bahwa ketakutan ancaman embargo pasir dan rencana pemerintah Indonesia untuk membeli kembali saham PT. Indosat Tbk dari Singapore Technologies Telemedia yang mulai dilontarkan sejak awal 2007 lalu menjadi dugaan mengapa Singapura menandatangani perjanjian Ekstradisi Ada kerugian dan keuntungan yang diperoleh oleh Indonesia dan Singapura. Indonesia memperoleh keuntungan berupa pengembalian aset-aset Negara, penangkapan koruptor tanpa prosedur yang berbelit-belit serta peningkatan ketrampilan personel TNI dalam menggunakan peralatan tempur yang canggih milik Singapura. Kerugian bagi Indonesia Singapura adalah Singapura mengetahui kelebihan dan kekurangan kondisi geografi daerah latihan TNI. Keuntungan bagi Singapura adalah dapat meningkatkan kemampuan dan ketrampilan di bidang militer. Melalui perjanjian Ekstradisi, DCA dan MTA, Indonesia maupun Singapura dapat meningkatkan kerjasama dalam hal pemberantasan korupsi dan pertahanan. Pelaksanaannya membutuhkan komitmen dan keseriusan antara kedua negara agar dapat terealisasi dengan baik. Ditandatanganinya DCA dan MTA merupakan salah satu geostrategi dan geopolitik Singapura. Geopolitik adalah ilmu bumi politik kemudian berkembang menjadi pengetahuan tentang sesuatu yang berhubungan geomorfologi suatu negara untuk membangun dan membina negara sedangkan geostrategi adalah kebijakan untuk menentukan sarana-sarana untuk mencapai tujuan politik dengan memanfaatkan konstelasi geografi. Ditinjau secara geopolitik, Singapura tidak mempunyai cukup lahan untuk melakukan latihan militer. Oleh karena itulah, melalui geostrateginya Singapura membuat perjanjian pertahanan dengan Indonesia. Apabila kekuatan militer Singapura semakin kuat, dengan mudahnya Singapura mewujudkan tujuan politiknya yaitu dapat menanamkan pengaruh politik kepada negara-negara tetangga seperti yang dilakukan Amerika Serikat saat ini. Geostrategi menjadi upaya menguasai sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui untuk tujuan kelangsungan hidup bangsa. Pemerintah sebaiknya mewaspadai geostrategi Singapura mengingat Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah. Sumber daya alam adalah seluruh kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan secara langsung maupun tidak langsung oleh manusia. Pemerintah harus mengawasi proses penempatan lahan yang dilakukan Singapura. Hal ini penting dilakukan agar tidak terjadi penyalahgunaan oleh Singapura misalnya melakukan eksploitasi SDA secara ilegal.Eksploitasi ilegal biasanya berakhir dengan kasus kerusakan lingkungan, keresahan sosial dan penurunan kuantitas SDA. Indonesia akan mengalami kerugian lebih besar bahkan mungkin akan tidak sebanding dengan pengembalian aset para koruptor. Jadi, Indonesia harus mengawasi peminjaman lahan latihan militer Singapura untuk menghindari hal- hal yang tidak diinginkan. Kepentingan nasional antara dua bangsa dapat saling berbenturan karena masing-masing dapat berbeda kepentingan. Perbedaan kepentingan yang menimbulkan pertentangan dapat menimbulkan konflik. Menghindari konflik dan kesalahpahaman, dibutuhkan keterbukaan dan komitmen antara kedua negara melalui perjanjian seperti yang dilakukan Singapura dan Indonesia melalui perjanjian ekstradisi dan pertahanan. Peminjaman lahan untuk latihan militer sebagai salah satu isi perjanjian hendaknya tidak mengancam keamanan nasional negara peminjam lahan. Keamanan nasional adalah kondisi dimana terjaga dan terlindunginya kemerdekaan dan kedaulatan negara serta terjaganya integrasi kehidupan berbangsa dan bernegara untuk mencapai tujuan nasional. Apabila mengancam keamanan nasional, spektrum konflik antar negara akan semakin meningkat bahkan dapat menimbulkan perang terbuka. Sebagai bagian dari kebudayaan dan manusia atau masyarakat, hukum selalu ada dimana masyarakat itu berada (ubi societas ibi ius). Masyarakat adalah sekelompok manusia yang telah lama bertempat tinggal di suatu daerah dan mempunyai peraturan yang mengatur tata hidup mereka untuk mencapai tujuan bersama. Keberadaan hukum tersebut di dalam masyarakat menunjukkan bahwa hukum mempunyai kedudukan sangat penting dalam kehidupan manusia dan harus ditegakkan dimana saja. Penegakkan hukum tersebut seperti yang dilakukan pemerintah Indonesia dengan menangkap koruptor. Penangkapan koruptor merupakan salah satu langkah untuk mewujudkan kesejahteraan umum karena aset-aset koruptor dapat digunakan untuk melaksanakan pembangunan. Selain itu, hal ini juga menjadi langkah awal pemerintah dalam mengembalikan citranya di mata masyarakat yang sebelumnya terkesan lamban dalam menangani kasus sejenis. PengantarSaat ini sebagian besar Negara-negara di dunia berpendapat bahwa perdagangan bebas (free trade) merupakan kebijakan yang harus mereka tempuh sebagai jalan menuju kesejahteraan. Hal yang sama dipraktekkan oleh Negara-negara di Regional Asia Tenggara, norma-norma perdagangan bebas tersebut diupayakan oleh Negara-negara Asia tenggara yang tergabung dalam organisasi regional Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) untuk segera terwujud melalui berbagai perjanjian kerjasama. Salah satu kerjasama yang dijalin oleh ASEAN dalam rangka mewujudkan perdagangan bebas tersebut adalah dengan Republik Korea (Korea Selatan). Kerjasama tersebut kemudian kita kenal dengan nama ASEAN-Korea Free Trade Area (AKFTA).

Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis kerjasama yang dilakukan oleh ASEAN dan Republik Korea tersebut. Agar lebih sistematis tulisan ini akan dibagi kedalam beberapa pokok bahasan. Pada bagian awal, saya akan mencoba mendeskripsikan sekilas tentang kerjasama ini. Yang akan dibahas adalah apa tujuan kerjasama ini dan siapa dan bagaimana kerjasama ini dimulai atau di inisiasi. Pada bagian awal ini juga penulis akan menjelaskan siapa saja aktor yang terlibat serta apa saja peran aktor-aktor tersebut dalam kerjasama ini. Pada bagian kedua, pembahasan akan fokus pada analisis terhadap kerangka legal perjanjian kerjasama ini. Yang ketiga adalah menganalisis hasil dari pelaksanaan kerjasama AKFTA tersebut. Dan dibagian akhir penulis akan memberikan kesimpulan dan beberapa saran tentang pelaksanaan kerjasama perdagangan antara ASEAN dan Republik Korea ini.

Sekilas tentang ASEAN-Korea Free Trade AreaSeperti kerjasama ekonomi lainnya yang berusaha mewujudkan perdagangan bebas, kerjasama AKFTA ini juga bertujuan untuk memperlancar arus barang dan modal. Kerjasama ini menjalankan prinsip-prinsip perdagangan internasional yang dipromosikan oleh rezim perdagangan global World Trade Organization (WTO). Ciri utama perdagangan bebas adalah menghilangkan atau mengurangi hambatan-hambatan perdagangan barang baik tarif ataupun non tarif, peningkatan akses pasar jasa, serta perubahan regulasi yang memberi keleluasaan pada modal untuk diinvestasikan.

Awal dari kerjasama ini bisa kita telusuri sejak tahun 1989 ketika pemerintah Korea Selatan dan Pemerintah Negara-negara anggota ASEAN menginisiasi sebuah forum dialog. Dari forum dialog itulah kemudian berbagai rencana kerjasama mulai dibangun hingga Korea Selatan akhirnya menjadi salah satu Negara yang menjadi partner dialog ASEAN pada tahun 1991. Kerjasama antara kedua pihak kemudian berlanjut pada pertemuan KTT ASEAN-Korea bulan Nopember 2004 di Vientiane, Laos. Para Kepala Negara/Pemerintahan ASEAN dan Korea Selatan menyepakati Joint Declaration on Comprehensive Cooperation Partnership between ASEAN and Korea, establishing ASEAN-Korea Free Trade Area sebagai landasan hukum bagi pembentukan ASEAN and Korea Free Trade Area Framework Agreement.[1]Persetujuan Penyelesaian Sengketa AKFTA selanjutnya ditandatangani para Menteri Ekonomi ASEAN dan Korea pada tanggal 13 Desember 2005 di Kuala Lumpur, Malaysia. Persetujuan Perdagangan Barang AKFTA ditandatangani pada tanggal 24 Agustus 2006 di Kuala Lumpur, Malaysia, sedangkan Persetujuan Jasa AKFTA ditandatangani pada saat KTT ASEAN di Singapura tahun 2007 dan Persetujuan Investasi ASEAN Korea ditandatangani pada KTT ASEAN Korea pada bulan Juni 2009 di Jeju Island, Korea. AKFTA telah menjadi sebuah persetujuan FTA yang komprehensif dengan telah ditandatanganinya persetujuan-persetujuan dibidang perdagangan barang, perdagangan jasa dan investasi.[2]Dalam Memorandum of Understanding (MoU) dapat kita ketahui bahwa ada banyak pihak yang terlibat dalam kerjasama ini. Secara umum, actor utamanya dapat kita klasifikasikan menjadi dua pihak saja yakni ASEAN dan Pemerintah Korea Selatan. Tetapi ketika berbicara ASEAN berarti kita akan mendefenisikan aktornya sebagai Negara-negara anggota ASEAN yakni Indonesia, Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, Vietnam, Kamboja, Laos, Filipina, dan Myanmar. Dalam jalannya kerjasama ini pemerintah Negara-negara yang disebutkan di atas adalah actor utama dalam kerjasama ini. Selain pemerintah, karena ini adalah kerjasama dalam bidang perdagangan maka peran pihak swasta yang banyak terlibat langsung dalam urusan ini juga menjadi actor yang patut dipertimbangkan dalam kerjasama ini. Pihak terakhir yang terlibat dalam kerjasama ini adalah WTO. Hal ini terjadi karena pemerintah-pemerintah yang yang menginisiasi kerjasama ini menyepakati untuk menggunakan aturan-aturan di WTO dalam pelaksanaan kerjasama ini.

Kerjasama yang telah dirintis oleh kedua pihak tersebut bertujuan untuk Memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi, perdagangan, dan investasi antara negara-negara anggota. Lebih lanjut melalui kerjasama ini kedua pihak mampu meliberalisasi secara progresif dan meningkatkan perdagangan barang dan jasa serta menciptakan suatu sistem yang transparan dan untuk mempermudah investasi. Selain kedua tujuan di atas kerjasama ini juga bertujuan untuk menggali bidang-bidang kerjasama yang baru dan mengembangkan kebijaksanaan yang tepat dalam rangka kerjasama ekonomi antara negaranegara anggota. Kerjasama ini juga diharapkan dapat memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif dari para anggota ASEAN baru (Cambodia, Laos, Myanmar, dan Vietnam) dan menjembatani kesenjangan pembangunan ekonomi diantara negara-negara anggota.[3]Dalam perjanjian kerjasama ini pula dapat kita cermati cakupan atau bidang-bidang apa saja yang akan menjadi objek kerjasama kedua pihak. Proyekproyek kerjasama dalam bidangbidang berikut ini: prosedur kepabeanan; promosi perdagangan dan investasi; usaha kecil dan menengah; manajemen dan pengembangan sumber daya manusia pariwisata; ilmu pengetahuan dan teknologi; Jasa keuangan; teknologi informasi dan komunikasi; komoditas pertanian, perikanan, peternakan, kehutanan dan perkebunan; kekayaan Intelektual; industri lingkungan; penyiaran; teknologi konstruksi; standar dan penilaian kesesuaian dan tindakantindakan sanitary and phytosanitary; pertambangan; energi; sumber daya alam; pembuatan kapal dan angkutan laut; dan perfilman.

Analisis Kerangka LegalBerhasil atau tidaknya sebuah kerjasama sangat bergantung dari derajat kerjasama dalam perjanjian internasional (legalization) yang disepakati. Legalization menjadi menjadi penting karena argument-argumen berikut, pertama, legalisasi merupakan bentuk instusionalisasi atau pelembagaan dari kerjasama tersebut. Yang kedua adalah karena Konsekuensi utama dari legalisasi bagi kerjasama internasional terletak pada efek kepatuhan terhadap kewajiban-kewajiban yang dituangkan dalam perjanjian kerjasama tersebut. Yang terakhir adalah Legalisasi menunjukkan adanya keputusan untuk menempatkan legal constrains di hadapan pemerintah-pemerintah yang telibat kerjasama.

Kuat atau lemahnya derajat perjanjian internasional bisa dilihat dari tiga hal yakni, Obligasi, Presisi, dan Delegasi. Obligasi maksudnya adalah seberapa kuat Negara atau actor yang terikat oleh aturan-aturan yang telah disepakati. Sedangkan Presisi adalah seberapa jelas aturan-aturan tersebut dijelaskan, masih multitafsir atau tidak. Dan yang terakhir adalah delegasi, yang menjadi indicator disini adalah ada tidaknya pihak ketiga yang diberi otoritas untuk menginterpretasikan aturan-aturan dan menyelesaikan sengketa. Ketiga hal tersebutlah yang akan kita gunakan untuk menganalisis kerangka legal dari perjanjian internasional ASEAN dan Republik Korea ini.

Apabila derajat perjanjian internasional ini ditinjau dari sisi obligasinya atau seberapa mengikat perjanjian ini bagi Negara-negara yang menyepakatinya maka kita harus merujuk kepada beberapa pasal dalam perjanjian ini. Ada beberapa pasal yang menunjukkan bahwa perjanian ini mengikat pihak yang terkait dengan cukup kuat, seperti pada pasal 2 tentang Perlakuan Nasional mengenai Perpajakan dan Peraturan Internal yang menyebutkan bahwa Setiap Pihak Wajib menerapkan perlakuan nasional terhadap produk-produk dari pihak lainnya sesuai dengan Pasal III GATT tahun 1994. Hal yang sama dapat kita lihat kembali pada pasal 3 tentang Pengurangan dan Penghapusan Tarif. Redaksi poin pertama pasal tersebut adalah para pihak diwajibkan agar tingkat tariff MFN dikurangi secara bertahap sedangkan pada pasal 6 perjanjian ini tentang perubahan konsesi pada poin kedua disebutkan para pihak tidak diperkenankan untuk menghilangkan atau mengurangi setiap konsesi dalam perjanjian ini, kecuali pada kasus-kasus yang disebutkan dalam persetujuan ini. Jadi secara umum, tingkat obligasi dari perjanjian ini cukup kuat dan mengikat meski ada pasal yang masih memberikan pengecualian.

Indikator selanjutnya yang digunakan untuk mengukur derajat perjanjian internasional AKFTA ini adalah Presisi atau ketepatan. Ini dapat kita ukur dengan melihat seberapa jelas aturan ini di buat, apakah masih bisa ditafsirkan berbeda oleh masing-masing pihak. Untuk indikator ini, kita dapat merujuk pada pasal 11 tentang Pengecualian Umum yang menyebutkan bahwa Tidak satupun ketentuan dalam persetujuan ini yang dapat ditafsirkan untuk mencegah suatu pihak mengambil tindakan-tindakan berikut. Dengan substansi yang sama dengan pasal 11 pasal 12 tentang Pengecualian dengan alasan keamanan dijelaskan bahwa tidak ada satupun ketentuan dalam persetujuan ini yang dapat ditafsirkan sebagai.. Pada pasal-pasal yang lain juga sebenarnya aturan-aturan dalam perjanjian ini dibuat secara jelas untuk menghindari penafsiran yang berbeda antara pihak-pihak dalam kerjasama ini. Selain itu aturan-aturan dalam pasal ini juga sangat detail seperti yang terlihat pada lampiran-lampiran pada perjanjian ini. Jadi, secara umum Presisi dari perjanjian ini cukup jelas meski tetap mewarisi masalah peraturan WTO yang masih menyisakan beberapa ruang untuk penafsiran yang berbeda pada urusan proteksi barang dengan berbagai alasan yang disebutkan dalam Article XX GATT tahun 1994.

Indikator terakhir adalah tentang Delegasi atau ada tidaknya mekanisme penyelesaian sengketa yang jelas untuk mengatasi perbedaan pendapat terkait perjanjian ini. Untuk mengetahui derajat perjanjian AKFTA ini maka kita harus merujuk pada pasal 19 perjanjian ini yang menjelaskan tentang Penyelesaian Sengketa. Pada pasal tersebut disebutkan bahwa Kecuali dinyatakan lain dalam perjanjian ini, setiap sengketa mengenai penafsiran, penerapan dan pelaksanaan persetujuan ini harus melalui mekanisme dan prosedur penyelesaian sengketa yang ditetapkan dalam persetujuan mengenai mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan persetujuan kerangka kerja. Mekanisme penyelesaian sengketa tersebut telah dijelaskan dalam pedoman mengenai mekanisme dan prosedur penyelesaian suatu sengketa tersebut telah ditandatangani oleh Menteri Perdagangan masing-masing negara pada tanggal 13 Desember 2005 di Kuala Lumpur, Malaysia.

Dalam perjanjian tentang mekanisme penyelesaian sengketa dijelaskan secara detail cara penyelesaian sengketa ini diawali dengan Jasa Baik, Konsiliasi dan Mediasi. Apabila melalui ketiga metodologi tersebut pihak-pihak yang bersengketa gagal bersepakat maka proses selanjunya akan diserahkan kepada Majelis Arbitrase. Majelis Arbitrase ini beranggotakan tiga orang anggota yang mana anggota tersebut dipilih oleh pihak yang bersengketa. Apabila pihak yang bersengketa tidak bisa menyepakati anggota Majelis Arbitrase dalam kurun waktu tertentu maka ketua dari Majelis itu akan diserahkan pemilihannya pada Direktur Jendral WTO. Dari gambaran ini dapat kita klasifikasikan bahwa perjanjian ini memiliki mekanisme penyelesaian sengketa yang jelas sehingga apabila indikatornya adalah dimensi Delegasi maka dapat diklasifikasikan sebagai perjanjian internasional yang kuat atau Hard Law.

Jadi dengan melihat indikator-indikator di atas baik Obligasi, Presisi maupun Delegasi maka secara umum perjanjian internasional ini dapat kita kategorikan sebagai model perjanjian internasional yang cukup kuat atau Hard Law. Perjanjian ini dapat dikategorikan sebagai Hard Law meski masih menyisakan beberapa pengecualian dalam dimensi Obligasi. Selain itu karena menggunakan aturan-aturan WTO maka perjanjian ini juga masih menyisakan beberapa ruang untuk penafsiran yang berbeda terutama pada tema kebijakan proteksi dengan berbagai alasan yang di atur dala Article XX GATT tahun 1994. Tetapi karena pada dimensi telah memiliki mekanisme penyelesaian sengketa yang jelas untuk mengatasi perbedaan penafsiran pihak-pihak yang menyepakati perjanjian ini maka perjanjian ini dapat kita klasifikasikan sebagai Hard Law.

Evaluasi Pelaksanaan Perjanjian ASEAN-Korea Free Trade Area (AKFTA)Keberhasilan perjanjian ini untuk mewujudkan perdagangan bebas antara kedua pihak ini dimulai dengan diratifikasinya perjanjian ini oleh masing-masing Negara dalam perjanjian ini. Konsekuensi dari ratifikasi tersebut adalah perubahan regulasi di masing-masing Negara untuk menyokong berlakunya perdagangan bebas ini. Perubahan regulasi ini mendorong actor-aktor dalam bidang perdagangan menjadi mendapat ruang yang begitu luas untuk melakukan perdagangan dengan Korea Selatan. Selain itu volume investasi antara kedua pihak juga ikut meningkat.

Sejak perjanjian ini disepakati volume perdagangan antara ASEAN dan Korea Selatan terus meneingkat setiap tahunnya. Perdagangan antara kedua kawasan tersebut sebenarnya telah meningkat hingga hampir lipat dua kali dari US$46,4 miliar pada 2004 menjadi US$90,2 miliar pada 2008. Saat ini Volume perdagangan Korea Selatan dengan negara-negara ASEAN jumlahnya telah mencapai US$ 106 miliar per Mei tahun 2011. Dengan jumlah tersebut ASEAN telah menjadi mitra dagang terbesar kedua Korea Selatan sejak empat tahun penandatanganan perdagangan pasar bebas bilateral mulai berlaku. Padahal sebelum ditandatanganinya perdagangan bebas tersebut, Juni 2007 total volume perdagangan 10 negara anggota ASEAN hanya berada diperingkat kelima. Volume perdagangan tersebut diharapkan dapat terus meningkat hingga mencapai US$150 miliar pada 2015.[4]Bagi Indonesia sendiri menurut Kementerian Perdagangan Indonesia akan mendapat manfaat dari Akses pasar ekspor Indonesia ke Korea akan meningkat pada saat implementasi perjanjian ini akibat penghapusan tarif 70% pos tarif Korea dalam Normal Track. Produk-produk yang akan dihapuskan tarifnya pada waktu implementasi, antara lain binatang hidup, ikan, sayuran, minyak sawit, produk kimia, produk kertas, tekstil dan produk tekstil, alas kaki, kulit, produk kayu dan sebagainya. Akses pasar ekspor Indonesia ke Korea pada tahun 2008 akan meningkat akibat 95% pos tariff Korea dalam Normal Track akan dihapus. Sedangkan Tahun 2010, seluruh pos tariff Korea dalam NT akan dihapuskan, Sensitive Track AKFTA mencapai 464 pos tariff (HS-6 digit) antara lain perikanan, beras, gula, wine-alcohol, produk kimia, tekstil, baja, komponen dan sebagainya.[5]Perdagangan bebas ini haruslah dilihat dalam konteks bahwa Korea Selatan berada dalam posisi yang lebih unggul dalam bidang perekonomian dibanding Negara-negara anggota ASEAN. Oleh karena itu perdagangan bebas ini pastilah memposisikan Korea sebagai pihak yang lebih banyak diuntungkan dengan terbukanya pasar regional Asia Tenggara maupun Pasar domestic Korea. Konsekuensinya adalah jumlah barang Korea akan lebih banyak masuk ke dalama pasar regional ASEAN dibandingkan jumlah barang dari Negara-negara anggota ASEAN yang masuk ke pasar Korea Selatan.

KesimpulanDari pemaparan di atas dapat kita simpulkan bahwa perjanjian internasional antara ASEAN dengan Korea Selatan yang bertujuan untuk mendorong terjadinya perdagangan bebas antara kedua pihak ini merupakan perjanjian yang dapat dikategorikan sebagai Hard Law. Indikator-indikatornya adalah aturan-aturan yang cukup jelas dan mengikat meski ada beberapa pengecualian dan potensi multitafsir pada beberapa pasal. Tetapi mekanisme untuk menyelesaikan perbedaan pendapat tersebut dalam perjanjian ini diatue dengan jelas sehingga ada forum yang punya wewenang untuk menyelesaikan sengketa antar pihak yang terlibat dalam kerjasama ini.

Karena kerangka legal perjanjian ini cukup memadai untuk mendorong terwujudnya tujuan dari kerjasama AKFTA yakni perdagangan bebas sehingga ada peningkatan volume dagang oleh kedua pihak. Setelah kesepakatan ini diimplementasikan hasilnya adalah saat ini ASEAN menjadi mitra dagang terbesar urutan kedua bagi Korea Selatan. Tetapi harus ditekankan bahwa jumlah barang yang berasal dari dan masuk ke dalam pasar regional Asia Tenggara jauh lebih besar apabila dibandingkan dengan volume barang dari Negara-negara anggota ASEAN yang masuk ke Korea Selatan. Selain itu juga perlu diteliti lebih lanjut, apakah kerjasama ini mampu menggerakkan perekonomian rakyat atau memang direncanakan untuk hanya menguntungkan segelintir pihak (baca: elit) saja.