41
PERSETUJUAN Proposal Penelitian/Skripsi dengan judul: Hubungan Antara Kadar Ferritin Dengan Bilirubin Pada Pasien Thalassemia di Bangsal Anak RSUD Dr. Moewardi Eko Dewi Ratna Utami, NIM: G0010067, Tahun: 2013 Telah disetujui untuk diuji di hadapan Tim Validasi Proposal Penelitian/Tim Ujian Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada Hari….., Tanggal….. 20 ……. Pembimbing Utama Prof. DR. Harsono Salimo, dr.,Sp.A(K) NIP. 19441226 197310 1 001 Penguji Utama Annang Giri Moelyo, dr.,Sp.A,M.Kes NIP.19730410 200501 1 001 Pembimbing Pendamping Dra. Dyah Ratna Budiani, M.Si NIP. 19670215 194403 2 001 Penguji Pendamping Prof. DR. Kiyatno, dr.M.Or.,PFK.,AIFO NIP. 19480118 197603 1 002 Tim Skripsi

contoh proposal

Embed Size (px)

DESCRIPTION

anak

Citation preview

Page 1: contoh proposal

PERSETUJUAN

Proposal Penelitian/Skripsi dengan judul: Hubungan Antara Kadar Ferritin

Dengan Bilirubin Pada Pasien Thalassemia di Bangsal Anak RSUD Dr.

Moewardi

Eko Dewi Ratna Utami, NIM: G0010067, Tahun: 2013

Telah disetujui untuk diuji di hadapan Tim Validasi Proposal Penelitian/Tim

Ujian Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada Hari….., Tanggal….. 20 …….

Pembimbing Utama

Prof. DR. Harsono Salimo, dr.,Sp.A(K)

NIP. 19441226 197310 1 001

Penguji Utama

Annang Giri Moelyo, dr.,Sp.A,M.Kes

NIP.19730410 200501 1 001

Pembimbing Pendamping

Dra. Dyah Ratna Budiani, M.Si

NIP. 19670215 194403 2 001

Penguji Pendamping

Prof. DR. Kiyatno, dr.M.Or.,PFK.,AIFO

NIP. 19480118 197603 1 002

Tim Skripsi

Nama

NIP.

Page 2: contoh proposal

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa dalam proposal skripsi ini tidak terdapat karya

yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan

tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang

pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu

dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta,

Eko Dewi Ratna Utami

G0010067

Page 3: contoh proposal

PROPOSAL PENELITIAN

I. Nama : Eko Dewi Ratna Utami

NIM : G0010067

II. Judul : Hubungan Antara Kadar Ferritin Dengan Bilirubin Pada

Pasien Thalassemia di Bangsal Anak RSUD Dr. Moewardi

III. Bidang Ilmu : Ilmu Kesehatan Anak

IV. Latar Belakang Masalah

Thalasemia merupakan salah satu kelainan darah herediter yang

diturunkan secara autosomal resesif. Thalassemia terjadi karena penurunan

kecepatan sintesis atau kemampuan produsi salah satu atau lebih rantai

polipeptida (-α atau -β) yang membentuk molekul hemoglobin manusia

dewasa (HbA, α2β2) (Atmakusuma dan Setyaningsih, 2009; Andriastuti et

al., 2011). Sampai saat ini, thalassemia masih menjadi permasalahan

kesehatan masyarakat dengan prevalensi tertinggi di daerah dengan

endemik malaria (WHO, 2013). Berdasarkan buletin World Health

Organization 2008, gangguan Hb (anemia sel sabit dan thalassemia)

endemik di 66% dari 229 negara, berpotensial memberi efek pada 75%

kelahiran. Sekitar 1,1 % pasangan di dunia mempunyai resiko memiliki

keturunan dengan gangguan Hb dan mempengaruhi 2,7 per 1000 konsepsi,

khusus untuk thalassemia 0,46 per 1000 konsepsi. Estimasi WHO setiap

tahun ada 332.043 konsepsi atau kelahiran yang terpengaruh. Sekitar

276.168 menderita anemia sel sabit, 42.409 thalasemia-β, dan 13.466

thalassemia-α (Modell dan Darlison, 2008).

Di Asia tenggara, thalassemia-α, thalasemia-β, Hb-E, dan HbCS

umum ditemukan (Fucharoen dan Winichagoon, 2011). Dari kesemuanya,

thalassemia-β menjadi masalah kesehatan masyarakat yang paling utama

baik di Asia tenggara maupun di Bangladesh dan Burma. Di Sri lanka,

hampir sebagian dari anak-anak dengan thalassemia yang bergantung pada

Page 4: contoh proposal

transfusi darah dipastikan menderita thalassemia-β. Di Thailand rata-rata

muncul 3.000 kasus baru setiap tahunnya (Premawardhena et al., 2005;

Olivieri et al., 2010). Sedangkan di Indonesia, angka kejadian thalassemia

terus meningkat. Data yang diperoleh dari Pusat Thalassemia Departemen

Ilmu Kesehatan Anak (IKA) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

(FKUI) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) sampai dengan akhir

tahun 2008 terdaftar 1.455 pasien yang terdiri dari 50% thalassemia-β,

48,2% thalassemia-β/ Hb-E, dan 1,8% pasien thalassemia-α (Wahidiyat,

2009). Kemudian pada bulan Juli 2010 jumlah pasien menjadi 1.544,

terdiri atas thalassemia-β 50,4%, thalassemia-β/HbE 47,1%, thalassemia-α

2%, dan sisanya lain-lain (Andriastuti et al., 2011). Sedangkan di Jawa

Tengah, berdasarkan Riskedas tahun 2007, prevalensi thalassemia di

Provinsi Jawa Tengah sebesar 0,5‰. Prevalensi tertinggi di Purworejo

(2,2‰.), terendah di Pemalang (0,3‰.) dan kota Surakarta (0,3‰)

(Depkes RI, 2008).

Salah satu pengobatan suportif bagi pasien thalassemia adalah

transfusi darah. Transfusi darah ini berguna untuk mempertahankan kadar

hemoglobin darah (Andriastuti et al., 2011). Selain itu, disebutkan oleh

Higgs, Thein, dan Wood dalam Damardjati dan Oswari (2003) bahwa

transfusi darah pada thalassemia dapat memperbaiki kondisi anemia agar

tumbuh kembang anak dapat dipertahankan secara optimal. Akan tetapi,

pada transfusi setiap satu unit darah membawa 200 mg besi ke tubuh

resipien sehingga pasien menerima 3 U setiap 4 minggu (39 U per tahun)

yang akan terakumulasi menjadi 7,8 gram dalam setahun. Padahal tubuh

tidak mempunyai mekanisme untuk mengeksresi kelebihan besi

(Cappellini et al., 2006).

Harrison dan Arosio dalam Shi et.al. (2008) menyebutkan bahwa

ferritin merupakan protein penyimpan besi yang utama. Pada keadaan

kelebihan besi, ferritin akan meningkat (Khan et al., 2009). Ketika

kapasitas penyimpanan besi telah habis, besi bebas (free iron) akan

mengkatalisis pembentukan radikal hidroksil berkonsentrasi tinggi yang

Page 5: contoh proposal

akan menyebabkan kerusakan membran dan denaturasi protein. Proses ini

akan mengakibatkan kerusakan jaringan dan akhirnya meningkatkan

morbiditas dan mortalitas (Cappellini et al., 2006). Berdasarkan data

WHO tahun 2008, banyak pasien thalassemia yang bergantung pada

transfusi darah mengalami kelebihan besi dan meninggal, dari 40.618

kelahiran dengan thalasemia-β yang mendapat pengobatan, 25.511

bergantung pada transfusi darah dan 2.988 diantaranya meninggal karena

kelebihan zat besi (Modell and Darlison, 2008).

Disebutkan oleh Takatoku et al. (2007) bahwa kelebihan besi

pada transfusi yang kronik bisa menyebabkan kerusakan pada hati. Hal

yang sama juga diungkapkan oleh Kartoyo dan Purnamawati (2003)

bahwa penimbunan besi bisa menyebabkan hemokromatosis, fibrosis,

sirosis, dan memperberat penyakit hepatitis C. Berdasarkan analisis

retrospektif selama 15 tahun ke belakang yang dilakukan oleh Perifanis et

al. (2005) didapatkan bahwa penyakit hati umum didapatkan pada pasien

thalasemia-β mayor dengan 40% nya dikarenakan oleh kelebihan besi

(Worwood, 2007).

Ttg bilirubin sebagai salah satu tes fungsi hati.

Bertolak dari latar belakang di atas, maka penelitian ini dilakukan

untuk mengetahui hubungan antara kadar ferritin dengan fungsi hati pada

pasien thalassemia. Penelitian ini dilakukan di Bangsal Anak RSUD Dr.

Moewardi.

V. Perumusan Masalah

Apakah ada hubungan antara kadar ferritin dengan bilirubin pada pasien

thalassemia?

VI. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kadar ferritin

dengan bilirubin pada pasien thalassemia.

Page 6: contoh proposal

VII. Manfaat Penelitian

1. Aspek Teoritik

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah

mengenai hubungan antara kadar ferritin dengan bilirubin pada pasien

thalassemia.

2. Aspek Aplikatif

a. Dapat dilakukan pencegahan kasus penyakit hati akibat kelebihan

besi pada pasien thalasemia yang bergantung pada transfusi darah.

b. Memberikan pengetahuan kepada pasien thalassemia dan

pendampingnya tentang efek samping transfusi berulang.

c. Dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk penelitian selanjutnya.

VIII.Tinjauan Pustaka

A. Thalassemia

Thalassemia berasal dari bahasa Yunani “thalassa” yang

berarti laut dan “haima” yang berarti darah (Galanello dan Origa,

2010). Thalassemia termasuk kelainan darah yang diwariskan dimana

terjadi perubahan kecepatan sintesis atau kemampuan produksi rantai

globin (α atau β) yang dapat menimbulkan defisiensi produksi

sebagian atau seluruh rantai globin tertentu. Jenis-jenis thalassemia:

1. Thalassemia-α

Terjadi karena defisiensi parsial (thalassemia α+) atau tidak

diproduksinya (thalassemia α0) rantai globin α.

2. Thalassemia-β

Terjadi karena defisiensi parsial (thalassemia β+) atau tidak

diproduksinya (thalassemia β0) rantai globin β.

3. Thalassemia-δβ, thalassemia-γδβ, thalassemia-αβ

Terjadi karena defisiensi parsial atau tidak diproduksinya kedua

rantai globin (α dan β).

4. Heterozigot ganda thalassemia α atau β dengan varian hemoglobin

thalassemik

Page 7: contoh proposal

Misal thalassemia-β/HbE berarti diwarisi dari salah satu orang tua

pembawa sifat thalassemia β dan yang lainnya pembawa sifat HbE

(Atmakusuma dan Setyaningsih, 2009).

1. Etiologi

Sindrom thalassemia dapat terjadi akibat kelainan pada

sekuens pengkode, transkripsi, pengolahan atau defek pada

translasi gen yang berakibat adanya gangguan atau tidak adanya

pembentukan rantai globin. Delesi keempat lokus rantai α

menyebabkan mRNA untuk sintesis rantai α hilang sama sekali

sedangkan delesi atau kelainan berat pada dua gen sedikit

mengurangi mRNA tanpa gangguan atau disertai penurunan ringan

sintesis rantai (Sacher dan McPherson, 2004a).

2. Patofisiologi

a. Patofisiologi thalssemia-β

Pada thalassemia-β terjadi penurunan produksi rantai β

dan produksi berlebihan rantai α yang berpresipitasi pada

prekursor sel darah merah dalam sumsum tulang (Galanello

dan Origa, 2010). Presipitasi ini akan menimbulkan gangguan

pada pematangan eritrosit dan eritropoiesis sehingga akan

timbul anemia. Anemia memicu terjadinya proliferasi eritroit

yang terus menerus dalam sumsum tulang, sehingga terjadi

ekspansi sumsum tulang. Hal ini akan menimbulkan deformitas

skeletal dan ganguan pertumbuhan serta metabolisme.

Kemudian anemia akan timbul kembali akibat hemodilusi

(Atmakusuma dan Setyaningsih, 2009).

b. Patofisiologi thalssemia-α

Kelainan dasar thalassemia-α sama dengan thalassemia-

β yaitu keeetidakseimbangan sintesis rantai globin. Hilangnya

gen globin-α tunggal tidak berdampak pada fenotip tapi

Page 8: contoh proposal

thalassemia-2a-α homozigot (-α/-α) atau thalassemia-1a-α

heterozigot (αα/- -) memberi fenotip seperti thalassemia-β

carrier. Kehilangan 3 dari 4 gen globin-α memberikan fenotip

tingkat penyakit berat menengah, disebut HbH disease.

Thalassemia α0 homozigot (--/--) tidak dapat bertahan hidup,

disebut sebagai Hb-bart’s hydrops syndrome (Atmakusuma dan

Setyaningsih, 2009). Pada Hb-bart’s hydrops syndrome terjadi

kematian janin intrauterus pada pertengahan kehamilan karena

janin hanya dapat bertahan hidup dengan hemoglobin

embrionik sampai trimester kedua (Sacher dan McPherson,

2004a).

Page 9: contoh proposal

Riwayat penyakit

Pemeriksaan fisik

Laboratorium darah dan sediaan

apus

Elektroforesis hemoglobin

Estimasi HbA2 dan HbF

RasRiwayat keluargaUsia awal penyakitPertumbuhan

PucatIkterusSplenomegaliDeformitas skeletalPigmentasi

Hb, MCV, MCH, retikulositGambaran darah tepi termasuk badan inklusi dalam eritrosit darah tepi atau sumsum tulangPresipitasi HbH

Adanya Hb abnormalTermasuk analisis pH 6-7 untuk HbH dan H Bart’s

Distribusi HbF intraseluler

Sintesis rantai globin

Analisis struktural Hb

varian

Untuk memastikan thalassemia-β

3. Diagnosis

Berikut adalah langkah-langkah penentuan diagnosis thalassemia:

Gambar 2.21Algoritma pendekatan diagnosis thalassemia (Lichtman, et al. 2007;

Atmakusuma, 2009).

4. Thalassemia-β

Thalassemia-β terdiri atas 3 bentuk utama, yaitu

thalassemia mayor (kadang disebut “Cooley's Anemia" dan

Page 10: contoh proposal

"Mediterranean Anemia”), thalassemia intermedia, dan thalassemia

minor (“beta-thalassemia carrier", "beta-thalassemia trait" atau

"heterozygous beta-thalassemia”). (Galanello dan Origa, 2010).

a. Thalassemia-β mayor

1) Genotip dan Fenotip

Genotipnya homozigot atau heterozigot ganda thalassemia-β.

Fenotip berupa kelainan yang berat karena penderita

bergantung pada transfusi darah untuk memperpanjang usia

(Atmakusuma dan Setyaningsih, 2009).

2) Gejala Klinis

Gejala klinis mulai muncul pada usia 6-24 bulan antara lain

susah diberi makan, diare, iritabilitas, demam, dan bisa terjadi

pembesaran abdomen yang progresif karena hepatomegali dan

splenomegali (Galanello dan Origa, 2010). Selain itu, pada

thalassemia-β mayor bisa mengalami anemia berat, anemia

mikrositik hipokromik, hepatosplenomegali, dan biasanya

memerlukan perhatian medis setelah berumur 2 tahun (Borgna-

Pignatti, 2004). Pada negara yang berkembang, karena

kurangnya perawatan dan pengobatan, gejala klinis thalassemia

mayor ditandai dengan retardasi, pucat, ikterik, pertumbuhan

otot buruk, genu valgum, hepatosplenomegali, borok di kaki,

terbentuk massa dari hematopoiesis ekstramedullar dan

perubahan skeletal karena ekspansi sumsum tulang (Galanello

dan Origa, 2010).

3) Gambaran Laboratoris

Hb 3 atau 4 g% atau < 7 g/dL. Eritrosit hipokrom, sangat

poikilositosis, termasuk sel target, sel teardrop, dan eliptosit.

MCV (Mean Corpuscolar Volume) 50-60 fL, MCH (Mean

Corpuscolar Hb) 12-20 pg. Hitung retikulosit 1-8 %.

Elektroforesis Hb menunjukkan terutama HbF, sedikit

peningkatan HbA2, HbA tidak ada sama sekali atau menurun.

Page 11: contoh proposal

Besi serum sangat meningkat, TIBC (Total Iron Binding

Capacity) normal atau sedikit meningkat, saturasi transferring

80% atau lebih, ferritin serum biasanya meningkat

(Atmakusuma, 2009; Galanello dan Origa, 2010).

b. Thalassemia-β intermedia

1) Genotip dan Fenotip

Genotipnya berupa homozigot dan heteroigot ganda

thalassemia-β+ minor atau heterozigot thalassemia-β yang

diperberat dengan faktor pemberat genetik berupa triplikasi

alfa dalam bentuk homozigot maupun heterozigot.

Fenotipnya bisa asymptomatic tapi kadang juga

memerlukan transfusi darah yang tujuannya tidak untuk

mempertahankan hidup (Atmakusuma dan Setyaningsih,

2009).

2) Gejala Klinis

Pasien mengalami anemia ringan, pembesaran hati dan

limpa, perubahan tulang yang tpikal, dan jaundice ringan-

sedang. Kadang-kadang pasien bisa asymptomatic sampai

dewasa hanya dengan anemia ringan (Weatherall dan

Clegg, 2001). Gejala klinis yang lebih berat muncul di

antara usia 2 dan 6 tahun, walaupun bisa bertahan hidup

tanpa transfusi rutin, pertumbuhan dan perkembangannya

terlambat (Galanello dan Origa, 2010).

3) Gambaran Laboratoris

Hb antara 7-10 g/dL. Morfologi eritrosit mirip thalassemia

mayor. MCV (Mean Corpuscolar Volume) 50-80 fl, MCH

(Mean Corpuscolar Hb) 16-24 pg. Elektroforesis Hb

menunjukkan HbF 2-100 %, HbA2 sampai dengan 7 %, dan

HbA 0-80 % sesuai dengan fenotip penderita

(Atmakusuma, 2009; Galanello dan Origa, 2010).

c. Thalassemia-β minor

Page 12: contoh proposal

1) Genotip dan Fenotip

Genotipnya berupa heterozigot thalassemia-β atau

thalassemia minor, fenotipnya tidak menimbulkan gejala

(asymptomatic) (Atmakusuma dan Setyaningsih, 2009).

2) Gejala Klinis

Asymptomatic, tapi terkadang mengalami anemia ringan

(Galanello dan Origa, 2010).

3) Gambaran laboratoris

MCV (Mean Corpuscolar Volume) dan MCH (Mean

Corpuscolar Hb) berkurang, sedangkan HbA2 meningkat

(Galanello dan Origa, 2010).

5. Thalassemia-α

a. Thalassemia-2-α trait (-α/ αα)

Hanya ada delesi satu rantai α(-α) yang diwarisi dari salah satu

orang tuanya, rantai α lainnya lengkap (αα) diwarisi dari orang

tuanya dengan rantai α normal. Fenotipnya tidak memberikan

gejala dan tanda (asymptomatic).

b. Thalassemia-1-α trait (-α/-α atau αα/- -)

Delesi dua loki, dapat berbentuk thalassemia-2a-α homozigot (-

α/-α) atau thalassemia-1a-α heterozigot (αα/- -). Fenotipnya

menyerupai fenotip thalassemia-β minor.

c. Hemoglobin H disease (- -/- α)

1) Genotip dan Fenotip

Ditemukan delesi tiga loki, berbentuk heterozigot ganda

untuk thalassemia-2-α dan thalassemia-1-α (--/-α).

Fenotipnya lebih berat berupa thalassemia intermedia

(Atmakusuma dan Setyaningsih, 2009).

2) Gejala Klinis

Anemia hemolitik sedang-berat dengan eritropoiesis yang

lebih ringan (Atmakusuma dan Setyaningsih, 2009).

Page 13: contoh proposal

Biasanya pasien juga mengalami splenomegali dan

terkadang terdapat komplikasi hipersplenisme. Terdapat

ikterik dalam berbagai derajat dan anak-anak biasanya

mengalami keterlambatan pertumbuhan. Komplikasi lain

meliputi infeksi, borok di kaki, batu empedu, defisiensi

asam folat dan episode hemolitik akut karena obat dan

infeksi (Weatherall dan Clegg, 2001; Laosombat, 2009).

3) Gambaran Laboratoris

Hb antara 7-10 g%, retikulosit 5-10 %. Eritrosit mikrositik

hipokromik dengan poikilositosis yang nyata termasuk sel

target (Atmakusuma, 2009).

d. Hydrops fetalis dengan Hb Bart’s

1) Genotip dan Fenotip

Ditemukan delesi 4 loki sehingga sama sekali tidak

diproduksi rantai globin α (Atmakusuma dan Setyaningsih,

2009).

2) Gejala Klinis

Terjadi asfiksia jaringan, edema (hydrops fetalis), gagal

jantung kongestif, dan meninggal dalam uterus

(Atmakusuma dan Setyaningsih, 2009). Juga terdapat

hepatosplenomegali, keterlambatan pertumbuhan otak,

deformitas skeletas dan kardiovaskular, dan pembesaran

plasenta yang mencolok. Biasanya bayi Hydrops fetalis

dengan Hb Bart’s meninggal dalam uterus (23-38 minggu)

atau sesaat setelah lahir, sedikit kasus neonatus yang hidup

diberikan terapi intensif dan transfusi darah (Harteveld dan

Higgs, 2010).

3) Gambaran Laboratoris

Pada saat lahir bayi menunjukkan anemia hipokromik

mikrositer (Atmakusuma, 2009).

Page 14: contoh proposal

6. Transfusi Darah Pada Thalassemia

Pengobatan mutakhir untuk thalassemia berat (thalassemia

mayor dan itermedia adalah transfusi darah (Sacher dan

McPherson, 2004a). Pengobatan transfusi darah ini berguna untuk

mempertahankan kadar hemoglobin darah (Andriastuti et al.,

2011). Berdasarkan Thalassemia International Federation, jika

program transfusi rutin yang mempertahankan Hb 9.5-10.5 g/dL

sudah dimulai, pertumbuhan dan perkembangan anak akan

cenderung normal sampai 10-12 tahun (Galanello dan Origa,

2010). Hal ini dudukung oleh Higgs, Thein, dan Wood dalam

Damardjati dan Oswari (2003) bahwa transfusi darah pada

thalassemia dapat memperbaiki kondisi anemia agar tumbuh

kembang anak dapat dipertahankan secara optimal. Dengan

program transfusi rutin dan terapi kelasi, pertumbuhan dan

perkembangan menjadi lebih baik dan akan memperpanjang umur

sampai dekade ke-tiga dan ke-lima (Borgna-Pignatti et al., 2004).

Borgna-Pignatti dan Galanello dalam Galanello dan Origa

(2010) memaparkan bahwa transfusi darah pada pasien thalassemia

dilakukan ketika pasien mengalami anemia yang parah (Hb<7 g/dL

lebih dari dua minggu, kecuali adanya penurunan Hb dikarenakan

proses infeksi). Pada pasien dengan Hb>7 g/dL harus

dipertimbangkan perubahan raut muka, pertumbuhan yang buruk,

ekspansi tulang, dan splenomegali yang semakin besar. Sebaiknya

pemberian transfusi tidak ditunda sampai tahun ke-dua atau ke-tiga

dikarenakan resiko terbentuknya antibodi sel darah merah dan

sulitnya mencari darah donor.

Berdasarkan Thalassemia International Federation pada

tahun 2008, jumlah darah yang ditransfusikan pada pasien

thalassemia bervariasi tergantung berat badan, target kenaikan Hb,

dan hematokrit.Umumnya jumlah RBC (Red Blood Cell) yang

ditransfusikan tidak boleh melebihi 15-20 ml/kg/hari dengan

Page 15: contoh proposal

kecepatan 5 ml/kg/jam. Untuk mengetahui keefektifan transfusi,

harus dilakukan monitoring terhadap Hb sebelum dan sesudah

transfusi, hematokrit darah, penurunan Hb setiap harinya, dan

interval transfusi (Borgna-Pignatti et al., 2004).

Setelah 1-2 tahun dimulainya transfusi, besi mulai

tertimbun di tubuh sehingga pemberian iron chelating atau kelasi

besi sangat diperlukan pada pasien transfusi berulang (Fischer et

al., 2005). Kelasi besi ini berfungsi untuk meningkatkan eksresi

besi. Pemberian kelasi besi sebaiknya dimulai ketika kadar ferritin

meningkat diatas 1.000 mg/L. Kelasi besi yang sering digunakan

adalah Deferoxamine mesylate (Desferal), Deferiprone (Ferriprox),

dan Deferasirox (Exjade) (Vermylen, 2008).

B. Ferritin

Feritin merupakan protein penting dalam metabolisme besi,

terdiri atas 24 subunit 18,5 kDa yang mengelilingi dalam bentuk misel

sekitar 3000-4500 atom feri (Murray, 2009b). Ferritin tersusun atas 2

subunit, yaitu H dan L. Subunit H merupakan hasil isolasi dari jantung,

sedangkan subunit L hasil isolasi dari hati. Rasio subunit H dan L yang

menyusun protein ferritin bervariasi tergantung pada tipe jaringan dan

tahap perkembangan (Worwood et al. dalam Wang et al., 2010).

Dalam keadaan normal ferritin berfungsi untuk menyimpan

besi yang dapat diambil kembali untuk digunakan sesuai kebutuhan

(Murray, 2009b). Sel hati mengandung protein apoferritin yang dapat

bergabung dengan besi membentuk ferritin dan disimpan dalam

bentuk ini didalam hati sampai diperlukan. Sehingga sistem

apoferritin-ferritin berfungsi sebagai penyangga besi darah dan

penyimpan besi (Guyton dan Hall, 2006).

Jumlah ferritin berhubungan dengan kadar besi sel karena

adanya sekuens spesifik yang tidak ditranslasikan pada mRNA kedua

protein (iron response element) berinteraksi dengan protein sitosol

Page 16: contoh proposal

yang peka terhadap variasi kadar besi sel. Pada kadar besi rendah

mRNA TfR distabilkan dan terjadi peningkatan sintesis reseptor,

sementara mRNA feritin disimpan dalam bentuk inaktif. Sedangkan

pada kadar besi tinggi jumlah ferritin dalam plasma sangat meningkat

karena sel menggunakan mRNA feritin simpanan untuk mensitesis

ferritin dan mRNA TfR mengalami degradasi (Murray, 2009b).

Sumber lain mengatakan bahwa kelebihan besi akan

menyebabkan kerusakan oksidatif yang akan menginduksi transkripsi

gen ferritin dengan mengubah interaksi ARE (Antioxidant Response

Element) dengan DNA transcription regulator bach. Bahkan

disebutkan sebelum besi mencapai keadaan toksik, ferritin tambahan

sudah disintesis melalui ikatan mRNA ferritin dengan ribosom (Khan

et al., 2009).

Jumlah ferritin dalam plasma dapat diukur dengan sensitif dan

spesifik oleh radioimmunoassay (RIA) (Murray, 2009b). Sedangkan

immunoradiometric assay (IRMA) mengukur ferritin dalam serum dan

plasma. Perbedaannya adalah RIA menggunakan ferritin berlabel,

sedangkan IRMA menggunakan antibodi berlabel (Worwood, 2007).

Disebutkan oleh Jacobs et al. dalam Wang et al. (2010) bahwa ferritin

serum meningkat pada pasien dengan kelebihan besi dan menurun

pada defisiensi besi.

Sampai saat ini ferritin serum masih digunakan untuk

mengetahui simpanan besi walaupun banyak sekali faktor lain yang

dapat meningkatkan ferritin serum seperti inflamasi, infeksi, dan

keganasan. Selain sebagai alat diagnosis, ferritin serum juga bisa

digunakan untuk mengevaluasi keadaan suatu penyakit antara lain

anemia defisiensi besi dan kondisi kelebihan besi yang herediter dan

didapat (misalnya hemokromatosis herediter dan terapi transfusi

kronika) (Wang et al., 2010). Berikut ini adalah tabel rata-rata dan

kisaran feritin serum normal pada bayi, anak-anak, dan remaja:

Page 17: contoh proposal

UsiaRata-rata Ferritin

Serum (μg/L)Kisaran Ferritin Serum

(μg/L)0,5 bulan 238 90-6281 bulan 240 144-3992 bulan 194 87-4304 bulan 91 37-223

0,5-15 bulan 30 7-1425-11 tahun 21 10-455-9 tahun 15 2-1076-11 tahun 29 12-6712-18 tahun 23 atau 21 10-63 atau 6-48510-19 tahun 18 atau 17 3-125 atau 2-11612-17 tahun 28 atau 25 11-68 atau 6-65

Tabel 2.1 Rata-Rata Dan Kisaran Feritin Serum Normal Pada Bayi, Anak-Anak,

Dan Remaja (Worwood, 2007)

Dari tabel tersebut diketahui bahwa konsentrasi ferritin serum normal

berkisar antara 15-300 μg/L dan lebih rendah pada anak-anak dari pada

dewasa.

Pada pasien dengan kelebihan besi karena transfusi

(transfusion-assosiated iron overload) misalnya thalasemia, ferritin

serum akan meningkat. Dari suatu penelitian observasi analitik yang

dilakukan pada pasien anak-anak dengan kelebihan besi karena

transfusi yang dipaparkan oleh Wang et al. (2010) diketahui bahwa

kadar kurang dari 1500 ng/mL mengindikasikan kelebihan besi yang

masih dapat dikompensasi, kadar lebih dari atau sama dengan 3000

ng/mL mengindikasikan kelebihan besi yang signifikan dan

berhubungan dengan liver injury.

Selain itu, ferritin serum juga merupakan marker untuk

inflamasi akut dan kronik, meningkat tidak signifikan pada penyakit

ginjal kronik (Kalantar-Zadeh et al., 2006), arthritis rheumatoid,

penyakit autoimun lain (Zandman-Goddard dan Shoenfeld, 2007),

infeksi akut, dan keganasan. Peningkatan ferritin serum ini

mencerminkan peningkatan penyimpanan besi dalam tubuh, akan

tetapi simpanan besi ini terasingkan dan tidak bisa digunakan untuk

Page 18: contoh proposal

hematopoiesis (Ganz dan Nemeth, 2009). Diterangkan oleh Cazzola et

al. dalam Wang et al. (2010) pada keganasan, peningkatan ferritin

dalam sirkulasi berhubungan dengan pergeseran susunan ferritin

menjadi lebih kaya akan subunit H.

C. Bilirubin

Bilirubin adalah sebuah pigmen kuning kehijauan dengan

struktur tetrapirol yang tidak larut air (Amirudin, 2009). Bilirubin

merupakan hasil akhir pemecahan hemoglobin sel darah merah.

Page 19: contoh proposal

Eritrosit hemolisis atau proses penuaan

Hemoglobin

Globin

Asam amino

Pool protein

Disimpan/ digunakan

lagi

Heme

ProtoporfirinCOFe

Pool besi

Disimpan/ digunakan

lagi

Bilirubin indirek

Bilirubin direk

Empedu

Feses: Sterkobilinogen

Urine: Urobilinogen

Hati

Gambar 2.1 Skema destruksi eritrosit (Hoffbrand, 2001)

Ketika sel darah merah sudah mengalamai penuaan (rata-rata

120 hari) membran selnya pecah atau rusak dan hemoglobin yang

lepas difagositosis oleh jaringan makrofag di seluruh tubuh.

Hemoglobin dipecah menjadi heme dan globin. Globin diurai menjadi

asam amino pembentuknya dan heme memasuki kompartemen besi

untuk didaur ulang. Katabolisme besi terjadi melalui suatu kompleks

enzim (heme oksigenase) yang hasilnya akan membebaskan besi feri

dan menghasilkan karbon monoksida dan terbentuk biliverdin.

Page 20: contoh proposal

Biliverdin ini akan direduksi oleh biliverdin reduktase untuk

menghasilkan bilirubin bebas yang akan mengalami metabolisme di

hati (Murray, 2009a).

Bilirubin bebas yang berikatan kuat dengan albumin dalam

perjalanannya ke hati ini disebut bilirubin indirek bilirubin tidak

terkonjugasi. Sewaktu memasuki sel hati, bilirubin dilepaskan dari

albumin plasma dan segera setelah itu berkonjugasi dengan asam

glukoronat membentuk bilirubin sulfat atau bilirubin direk (bilirubin

terkonjugasi) (Sacher dan McPherson, 2004b; Guyton dan Hall, 2006).

Bilirubin terkonjugasi akan disekresi ke dalam empedu melalui

transport aktif. Sesampainya di ileum terminal dan usus besar,

glukoronida dikeluarkan oleh enzim khusus (β-glukoronidase), pigmen

tersebut kemudian direduksi oleh flora feces menjadi sekelompok

senyawa tetrapirol tak berwarna disebut urobilinogen yang mudah

teroksidasi menjadi urobilin yang berwarna. Urobilinogen dapat

diubah menjadi sterkobilin dan dieksresikan melalui feces (Sacher dan

McPherson, 2004b; Murray, 2009a).

Bilirubin merupakan alat diagnosis penyakit darah hemolitik

dan berbagai penyakit hati (Guyton dan Hall, 2006). Apabila hati

kesulitan menyerap bilirubin dari sirkulasi atau mengkonjugasikannya,

fraksi indirek dalam serum akan meningkat dan jumlah bilirubin yang

masuk ke usus berkurang (Sacher dan McPherson, 2004b). Estimasi

bilirubin serum berdasarkan reaksi van den Bergh diazo (Sherlock dan

Dooley, 2002). Bilirubin dibedakan menjadi bilirubin direk dan indirek

berdasarkan cara pengukurannya. Reaksi langsung pada satu menit

akan memberikan estimasi kadar bilirubin terkonjugasi. Sedangkan

bilirubin indirek dihitung dari selisih antara bilirubin total dengan

bilirubin direk, hasilnya merupakan nilai kadar bilirubin tidak

terkonjugasi (Thapa dan Walia, 2007). Bilirubin total ditentukan

dengan adanya accelerator berupa kafein benzoate atau methanol

(Sherlock dan Dooley, 2002).

Page 21: contoh proposal

: diteliti: tidak diteliti

Thalassemia

Transfusi berulang

Fe (besi) meningkat (↑) Ferritin meningkat (↑)

Ditimbun di dalam jaringan

LimpaJantung KulitHati

Sintesis protein hati (↓)

Albumin ↓

Bilirubin serum ↑

Kadar bilirubin beserta interpretasinya.

Kadar bilirubin normal adalah 5-18 μmol/L. Meningkat ringan:

penyakit hati, jaundice fisiologis, hiperbilirubinemia herediter.

Meningkat sedang: EHBA, IHBA, obat-obatan, hepatitis virus,

hiperbilirubinemia herediter (Amirudin, 2009).

D. Hubungan penimbunan besi dengan bilirubin

E. Kerangka Pemikiran

Page 22: contoh proposal

F. Hipotesis

Ada hubungan positif antara kadar ferritin dengan bilirubin pada pasien

thallassemia. Semakin tinggi kadar ferritin maka semakin tinggi bilirubin.

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional

analitik, yaitu melakukan analisis hubungan antara variabel bebas

(faktor resiko) dan variabel terikat (faktor efek), dengan menggunakan

pendekatan cross sectional dimana pengumpulan data dilakukan

sekaligus pada suatu saat (point time approach) (Notoatmodjo, 2010).

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Bangsal Anak RSUD Dr.

Moewardi.

3. Subjek Penelitian

a. Populasi

Populasi penelitian ini adalah pasien thalasemia di Bangsal

Anak RSUD Dr. Moewardi.

b. Sampel

Teknik sampling yang digunakan adalah purposive

sampling. Untuk menentukan sampel dari populasi tersebut

digunakan kriteria tertentu.

Berikut kriteria inklusi yang ditetapkan kepada sampel:

1) Anak berusia <18 tahun

2) Menderita thalassemia yang mendapatkan transfusi berulang.

3) Kadar ferritin >1000 ng/mL

4) Orang tua setuju dan bersedia ikut dalam penelitian yang

dinyatakan dengan menandatangani informed consent.

Sedangkan kriteria ekslusi yang ditetapkan antara lain:

1) Infeksi akut

2) Keganasan

Page 23: contoh proposal

Pasien thalassemia

Sampel

Diperiksa kadar ferritin

Purposive sampling

Turun (↓) Normal Naik (↑)

Analisis statistik

Diperiksa bilirubin Diperiksa bilirubin Diperiksa bilirubin

3) Penyakit autoimun

4) Tidak bersedia ikut dalam penelitian.

Besar sampel adalah seluruh populasi yang memenuhi

kriteria inklusi dan ekslusi sampel (total sampling).

4. Rancangan (Desain) Penelitian

5. Identifikasi Variabel

a. Variabel bebas: Bilirubin

b. Variabel terikat: Kadar Ferritin

c. Variabel perancu

1) Terkendali: usia, pemberian kelasi besi

2) Tidak terkendali: kelebihan besi terjadi karena faktor nutrisi

6. Definisi Operasional Variabel

a. Kadar Ferritin

b. Bilirubin

Page 24: contoh proposal

7. Alat dan Bahan Penelitian

a. Lembar identitas pasien

b. Informed concent

c. Status pasien atau rekam medis

8. Cara Kerja

9. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan menggunakan uji

korelasi Pearson untuk mengetahui hubungan antara kafar ferritin

dengan bilirubin. Kemudian dilakukan uji kemaknaan hubungan

dengan Uji T.

H. Jadwal Penelitian

KeteranganMinggu ke-

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

Pembuatan proposal

Pembimbingan dan usulan proposal

Ujian proposal

Pengumpulan data

Analisis data

Pembuatan laporan

Ujian skripsi

I. Daftar Pustaka

American Academy of Pediatrics. 2004. Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics, 114:297–316.

Amirudin R. 2009. Fisiologi dan Biokimia Hati. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II. Jakarta: Interna Publishing, pp: 627-633.

Page 25: contoh proposal

Andriastuti M, Sari TT, Wahidiyat PA, Putriasih SA. 2011. Kebutuhan transfusi darah pasca-splenektomi pada thalassemia mayor. Sari Pediatri, 13(4): 44-249.

Atmakusuma D. 2009. Thalassemia: Manifestasi klinis, pendekatan diagnosis, dan thalassemia intermedia. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II. Jakarta: Interna Publishing, pp: 1387-1393.

Atmakusuma D dan Setyaningsih I. 2009. Dasar-dasar talasemia: salah satu jenis hemoglobinopati. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II. Jakarta: Interna Publishing, pp:1379-1386.

Borgna-Pignatti C, Rugolotto S, De Stefano P, Zhao H, Cappellini MD, Del Vecchio GC, et al. 2004. Survival and complications in patients with thalassemia major treated with transfusion and deferoxamine. Haematologica, 89(10):1187-93.

Cappellini MD, Cohen A, Piga A, Bejaoui M, Perrotta S, Agaoglu L, Aydinok Y, et al. 2006. A phase 3 study of deferasirox (ICL670), a once daily oral iron chelator, in patients with beta thalassemia. Blood, 107:3455–3462.

Damardjati F dan Oswari H. 2003. Hepatitis C pada thalassemia mayor: Pengaruh iron overload pada perjalanan penyakit. Sari Pediatri 5(1): 16-20.

Depkes RI. 2008. Riskesdas Jawa Tengah 2007. http://www.dinkesjatengprov.go.id/download/mi/riskesdas_jateng2007.pdf Diakses 14 Februari 2013.

Fischer R, Piga A, Harmatz P, Nielsen P. 2005. Monitoring longterm efficacy of iron chelation treatment with biomagnetic liver susceptometry. Ann N Y Acad Sci., 1054:350–357.

Page 26: contoh proposal

Fucharoen S and Winichagoon P. 2011. Haemoglobinopathies in Southeast Asia. Indian J Med Res., 134: 498-506.

Galanello R dan Origa R. 2010. Beta-thalassemia. Orphanet Journal of Rare Diseases, 5(11): 1-15.

Ganz T, Nemeth E. 2009. Iron sequestration and anemia of inflammation. Semin Hematol, 46:387-393.

Guyton AC dan Hall JE. 2006. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi ke 11. Jakarta: EGC, pp: 905-907.

Harteveld CL dan   Higgs DR. 2010. α-thalassaemia . Orphanet Journal

of Rare Diseases 5(13): 1-21 doi:10.1186/1750-1172-5-13.

Hoffbrand AV, Pettit JE, Moss PAH. 2001. Essential Hematology. 4th

Edition. Oxford: Blackwell Scientific Publication.

Kalantar-Zadeh K, Kalantar-Zadeh K, Lee GH. 2006. The fascinating but deceptive ferritin: To measure it or not to measure it in chronic kidney disease? Clin J Am Soc Nephrol., 1:S9–S18.

Kartoyo P dan Purnamawati SP. 2003. Pengaruh Penimbunan Besi Terhadap Hati pada Thalassemia. Sari Pediatri 5(1): 34 – 38.

Khan MA, Walden WE, Goss DJ, Theil EC. 2009. Direct Fe2+ sensing by iron-responsive messenger RNA × repressor complexes weakens binding. J Biol Chem, 284:30122–30128.

Laosombat V, Viprakasit V, Chotsampancharoen T, Wongchanchailert M, Khodchawan S, Chinchang W, Sattayasevana B. 2009. Clinical features and molecular analysis in Thai patients with HbH disease. Ann Hematol 2009, 88:1185-1192.

Page 27: contoh proposal

Lichtman MA, Beutler E, Kipps TJ, Seligsohn U, Kaushansky K, Prchal JT (eds). 2007. Disorders of Globin Synthesis: The thalassemia. Williams Hematology seventh edition. Mc Graw Hill.

Modell B and Darlison M. 2008. Global epidemiology of haemoglobin disorders and derived service indicators. Bulletin of the World Health Organization, 86(6): 417-496.

Murray RK. 2009a. Porfirin & pigmen empedu. Dalam: Murray RK, Granner DK, Rodwell VW. Biokimia Harper. Edisi ke 27. Jakarta: EGC, pp:288-303.

Murray RK. 2009b. Protein plasma & imunoglobulin. Dalam: Murray RK, Granner DK, Rodwell VW. Biokimia Harper. Edisi ke 27. Jakarta: EGC, pp:605-623.

Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta, pp: 37-41.

Olivieri NF, Thayalsuthan V, O’Donnell A, Premawardhena A, Rigobon C, Muraca G et al. 2010. Emerging insights in the management of hemoglobin E beta thalassemia. Ann NY Acad Sci., 1202: 155-7.

Perifanis V, Tziomalos K, Tsatra I, Karyda S, Patsiaoura K, Metaxa MA. 2005. Prevalence and severity of liver disease in patients with β thalassemia major. A single-institution fifteen-year experience. Haematologica/ The Hematology Journal, 90(8): 1136-1138.

Premawardhena A, Fisher CA, Olivieri NF, de Silva S, Arambepola M, Perera W. et al. 2005. Haemoglobin E thalassaemia in Sri Lanka. Lancet 366: 1467-70.

Sacher RA dan McPherson RA. 2004a. Anemia hemolitik. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Edisi ke 11. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, pp:

Page 28: contoh proposal

Sacher RA dan McPherson RA. 2004b. Uji Fungsi Hati. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium, Edisi ke-11. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, pp: 360–84.

Sherlock S dan Dooley J. 2002. Disease of the liver and biliary sytem. Eleventh edition. Blackwell Science Ltd.

Shi H, Bencze KZ, Stemmler TL, Philpott CC. 2008. A cytosolic iron chaperone that delivers iron to ferritin. Science, 320(5880): 1207–1210.

Takatoku M, Uchiyama T, Okamoto S, et al. 2007. Retrospective nationwide survey of Japanese patients with transfusion-dependent MDS and aplastic anemia highlights the negative impact of iron overload on morbidity ⁄ mortality. Eur J Haematol, 78:487–94.

Thapa B.R. and Walia Anuj. 2007. Liver Function Tests and their Interpretation. Indian Journal of Pediatrics, 74: 663-671.

Vermylen C. 2008. What is new in iron overload? Eur J Pediatr., 167:377–381.

Wahidiyat PAW. 2009. Faktor-faktor genetik pengubah manifestasi klinis thalassemia-β/ HbE: interaksi antara mutasi thalassemia-α, -β, polimorfisme Xmnl-Gγ, dan SNPs pada klaster gen globin-β. Jakarta, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Disertasi.

Wang W, Knovich MA, Coffman LG, Torti FM, Torti SV. 2010. Serum ferritin: Past, present and future. Biochim Biophys Acta., 1800(8): 760–769 doi:10.1016/j.bbagen.2010.03.011.

Weatherall DJ dan Clegg JB. 2001. The thalassemia syndromes. 4th Ed, Blackwell Science Ltd.

WHO. 2013. Genes and Human Disease. http://www.who.intgenomicspublicgeneticdiseasesenindex2.html Diakses 7 Februari 2013.

Page 29: contoh proposal

Worwood M. 2007. Indicators of the iron status of pupulations: ferritin. http://www.who.int/nutrition/publications/micronutrients/anaemia_iron_deficiency/9789241596107_annex2.pdf Diakses 11 Februari 2013.

Zandman-Goddard G, Shoenfeld Y. 2007. Ferritin in autoimmune diseases. Autoimmun Rev., 6:457–463.