Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
CORAK ADĀB AL-IJTIMĀ’I DALAM TAFSĪR AL-
IBRĪZ: MENGUNGKAP KEARIFAN LOKAL DALAM
PENAFSIRAN KH. BISRI MUSTHOFA
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (S.Ag.)
Oleh:
Mohamad Fuad Mursidi
NIM: 11150340000225
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H/2020 M
CORAK ADĀB AL-IJTIMĀ’I DALAM TAFSĪR AL-
IBRĪZ: MENGUNGKAP KEARIFAN LOKAL DALAM
PENAFSIRAN KH. BISRI MUSTHOFA
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh:
Mohamad Fuad Mursidi
Nim: 11150340000225
Pembimbing,
Dr. Hasani Ahmad Said, M.A.
NIP: 19820221 200901 1 024
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H/2020 M
i
ABSTRAK
Mohamad Fuad Mursidi
CORAK ADAB AL-IJTIMĀ’I DALAM TAFSĪR AL-IBRĪZ:
MENGUNGKAP KEARIFAN LOKAL DALAM PENAFSIRAN KH.
BISRI MUSTHOFA
Khazanah penelitian tafsir Indonesia memang sangat menarik
untuk terus dikaji, salah satunya Tafsīr Al-Ibrīz karya KH. Bisri Musthofa
(w. 1977 M). Tafsir tersebut masih menggunakan aksara Arab-Pegon Jawi
dalam menjelaskan pesan ayat-ayat al-Qur’an dan seringkali dikaitkan
dengan kondisi masyarakat di mana KH. Bisri Musthofa hidup (corak
adab al- al-ijtimā‘ī). Penelitian ini akan mengungkap kearifan lokal
sebagai bagian dari corak adab al-ijtimā‘ī, termasuk simbol-simbol
tertentu, dalam Tafsīr Al-Ibrīz. Fokus objek penelitian pada Qs. Al-
Māidah [5] ayat 3, Al-Kahfi [18] ayat 22, An-Naḥl [16] ayat 69 dan surah
Al-Ikhlāṣ, Al-Falaq, dan An-Nās.
Penelitian ini menggunakan perspektif analisis penelitian kualitatif
dengan teknik pengumpulan data penelitian kepustakaan (library
research). Sumber utama skripsi ini adalah Tafsīr Al-Ibrīz Lima’rifati
Tafsīr Al-Qur’ān Al-‘Azīz karya KH. Bisri Musthofa. Pola uraian dan
analisisnya, penulis menggunakan metode deskriptif-analisis, yaitu penulis
akan menguraikan data dari sumber utama dan data lain yang sangat
terkait dengan kearifan lokal, termasuk simbol-simbol tertentu, dalam
Tafsīr Al-Ibrīz karya KH. Bisri Musthofa. Kemudian, penulis akan
menganalisisnya dengan teknik analisis isi (content analysis), yaitu
menghubungkan menghubungkan isi ayat al-Qur’an dengan kearifan lokal
di mana KH. Bisri Musthofa hidup sebagai bagian dari kontekstualisasi
pesan ayat-ayat al-Qur’an.
Simpulan skripsi ini menunjukkan Tafsīr Al-Ibrīz karya KH. Bisri
Musthofa sarat dengan kearifan lokal yang identik dengan unsur
kedaerahannya (Jawa) sebagai bagian dari kontekstualisasi terhadap pesan
ayat al-Qur’an, khususnya di Indonesia. KH. Bisri Musthofa juga
menggunakan simbol-simbol tertentu dalam menafsirkan ayat-ayat al-
Qur’an dalam Tafsīr Al-Ibrīz. Hal ini bertujuan agar santri-santri dan
Masyarakat pada umumnya dapat memahami al-Qur’an lebih dalam.
ii
Kearifan lokal yang terdapat dalam Tafsīr Al-Ibrīz menjadikan tafsir
tersebut memiliki keunikan tersendiri bahkan tidak ditemukan pada karya
tafsir Nusantara/Indonesia lainnya.
Kata Kunci: Kearifan Lokal, KH. Bisri Musthofa, Tafsīr Al-Ibrīz
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah Swt, yang telah memberikan
limpahan rahmat, taufiq serta hidayah-Nya. Sholawat serta salam semoga tetap
terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw, sosok yang selalu kita harapkan
syafaat dan juga barokahnya.
Alhamdulillah, berkat rahmat dan inayah Allah Swt, penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini melalui usaha dan upaya yang melelahkan. Penulis
mengakui bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan, tapi paling tidak inilah
wujud dan komitmen akademis yang bisa penulis usahakan. Dengans egala
bantuan, kerjasama dan pengorbanan, penulis harus menyampaikan rasa
terimakasih kepada semua pihak atas semua dukungan dan do’anya. Dalam
kesempatan ini penulis ingin sampaikan banyak terimakasih kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Amany Lubis, MA, selaku rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Bapak Dr. Yusuf Rahman, MA, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. Eva Nugraha, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Program Studi Ilmu
Al-Qur’an dan Tafsir dan kepada bapak Fahrizal Mahdi, MIRKH., selaku
Sekertaris Jurusan Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.
4. Kepada dosen terkhusus Bapak Jauhar Azizy, M.A selaku penguji skripsi
sekaligus pembimbing kedua penulis yang selalu bersabar memberikan
ilmu dan bimbingannya selama penulis merevisi skripsi ini.
5. Kepada juga Bapak Dr. Hasani Ahmad Said, MA selaku dosen
pembimbing penulis selama dalam mengerjakan skripsi ini.
6. Bapak Drs. H. Ahmad Rifqi Muchtar, M.A. selaku penasihat akademik
yang telah membantu penulis, dan juga kepada seluruh dosen Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
iv
7. Terimakasih terkhusus kepada kedua orang tua penulis, bapak Mursyid,
Ibu Siti Hidayah yang selalu memberikan dukungan penuh baik materil
dan semangat. Motivasi kesabaran dan ketulusan doa untuk penulis selama
mengerjakan skripsi ini.
8. Kepada Ibu Nyai Hj. Lu’lu’atul Fuad, Kiai Jauharul Ma’arif, Kiai Jauharul
Mawahib, Kiai Jauharul Manasik dan seluruh pengasuh dan pengurus
pondok Pesantren Abu Darrin Al-Ridlwan Bojonegoro Jawa Timur, yang
selalu memberikan dukungan dan doa kepada penulis untuk mencari ilmu
dimanapun dan kapanpun.
9. Terimakasih kepada kawan-kawan seperjuangan di Jurusan Ilmu Al-
Qur’an dan Tafsir, Masyarakat Relawan Indonesia, Aksi Cepat Tanggap,
kawan-kawan Pondok Pesantren Abu Darrin Al-Ridlwan dan juga kawan-
kawan kos-an yang selalu memberi semangat dan memotivasi untuk
penulis segera menyelesaikan skripsi dan segera lulus.
10. Kepada semua pihak yang dengan ikhlas membantu dalam penyusunan
skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Semoga Allah Swt membalas dengan sebaik-baiknya balasan. Penulis
menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu dengan
segala kerendahan hati dan keterbatasan penulis mengharapkan saran dan kritik
konstruktif demi kesempurnaan karya ini . Akhir kata, penulis berharap semoga
karya kecil ini dapat bermanfaat dan dapat berkontribusi bagi penelitian
selanjutnya.
Jakarta, 17 Maret 2020
Mohamad Fuad Mursidi
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK………………………...………………………...................... i
KATA PENGANTAR……………...………………………...................iii
DAFTAR ISI…………………................………………………..............v
PEDOMAN LITERASI..........................................................................vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah…………………………........................1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah…………………………......5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………….........................5
D. Tinjauan Pustaka……………………………………...................6
E. Metodologi Penelitian………………………………...................8
F. Sistematika Pembahasan……………………………..................10
BAB II CORAK PENAFSIRAN DAN KEARIFAN LOKAL DALAM
TAFSIR AL-QUR’AN
A. Pengertian Corak Tafsir.......…………………………................12
B. Kemunculan dan Keberagaman Corak
dalam Penafsiran Al-Qur’an……………....................................14
C. Kearifan Lokal dalam Tafsir……………………………………19
BAB III PROFIL KH. BISRI MUSTHOFA, GAMBARAN TAFSĪR
AL-IBRĪZ SERTA SIMBOL-SIMBOL DALAM TAFSĪR AL-IBRĪZ
A. Profil KH. Bisri Musthofa…………….....................…..............27
B. Pendidikan KH. Bisri Musthofa…..............................................29
C. Pengabdian dan Karir..................................................................32
D. Gambaran Tafsīr Al-Ibrīz …………….......................................34
vi
E. Simbol-Simbol dalam Tafsīr Al-Ibrīz ………………………….38
BAB IV KEARIFAN LOKAL PENAFSIRAN KH. BISRI
MUSTHOFA DALAM TAFSIR AL IBRIZ
A. Penafsiran KH. Bisri Musthofa dalam Qs. Al-Maidah [5] ayat
3………………………………………………………………...44
B. Penafsiran KH. Bisri Musthofa dalam Qs. Al-Kahfi [18] ayat
21………….................................................................................52
C. Penafsiran KH. Bisri Musthofa dalam Qs. An-Nahl [16] ayat
69.................................................................................................57
D. Penafsiran KH. Bisri Musthofa dalam Qs. Al-Ikhlas, Al-Falaq
dan An-Nas.…………….............................................................62
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………..................66
B. Saran…………………………………………………................67
DAFTAR PUSTAKA…………………………………..........................69
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama RI dan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor: 158/1987 dan 0543
b/U/1987, Tanggal 22 Januari 1988.
A. Konsonan Tunggal
Huruf
Arab Nama
Huruf
Latin Keterangan
alif tidak dilambangkan ا
ba’ b be ب
ta’ t te ت
sa’ ṡ es (dengan titik di atas) ث
jim j je ج
ha’ ḥ ha (dengan titik di bawah) ح
kha’ kh ka dan ha خ
dal d de د
zal ż zet (dengan titik di atas) ذ
ra’ r er ر
zai z zet ز
sin سs
es
syin sy es dan ye ش
sad ṣ es (dengan titik di bawah) ص
dad ḍ de (dengan titik di bawah) ض
ta’ ṭ te (dengan titik di bawah) ط
za’ ẓ zet (dengan titik di bawah) ظ
ain ‘ koma terbalik di atas‘ ع
gain g ge غ
fa f ef ف
qaf q qi ق
kaf k ka ك
viii
lam l el ل
mim m em م
nun n en ن
wawu w we و
ha’ h ha ه
hamzah ’ apostrof ء
ya y ye ي
B. Konsonan Rangkap Karena Syaddah Ditulis Rangkap
ن ي د ق ع ت م ditulis muta‘aqqidin
ة د ع ditulis ‘iddah
C. Ta’ Marbutah
1. Bila dimatikan ditulis h
ة ب ه ditulis hibbah
ة ي ز ج ditulis jizyah
(Ketentuan ini tidak diberlakukan terhadap kata-kata Arab yang sudah
terserap ke dalam bahasa Indonesia, seperti shalat, zakat, dan
sebagainya, kecuali bila dikehendaki lafal aslinya).
Bila diikuti dengan kata sandang “al” serta bacaan kedua itu terpisah,
maka ditulis dengan h.
اء ي ل و ل ا ة ام ر ك ditulis karāmah al-auliyā
2. Bila ta’ marbutah hidup atau dengan harakat, fathah, kasrah dan
ḍammah, ditulis t
ر ط لف ا اة ك ز ditulis zakātul fitri
ix
D. Vokal Pendek
kasrah ditulis i
_____ fathah ditulis a
ḍammah ditulis u ___ۥ__
E. Vokal Panjang
fathah + alif ditulis ā
ة ي ل اه ج ditulis jāhiliyah
fathah + ya’ mati ditulis ā
ىع س ي ditulis yas` ā
kasrah + ya’ mati ditulis ī
م ي ر ك ditulis karīm
ḍammah + wawu mati ditulis ū
د و ج ditulis wujūd و
F. Vokal Rangkap
fathah + ya’ mati ditulis Ai
م ك ن ي ب ditulis Bainakum
fathah + wawu mati ditulis Au
ل و ق ditulis qaulun
G. Vokal Pendek yang Berurutan dalam Satu Kata Dipisahkan
dengan Apostrof
ditulis م ت ن أ أ a’antum
x
ditulis u‘iddat ت د ع أ
ditulis la’in syakartum م ت ر ك ش ن ئ ل
H. Kata Sandang Alif + Lam
a. Bila diikuti huruf Qamariyyah
ن أ ر لق ا ditulis al-Qur’ān
اس ي لق ا ditulis al-qiyās
b. Bila diikuti huruf Syamsiyyah ditulis dengan menggandakan huruf
Syamsiyyah yang mengikutinya serta menghilangkan huruf l (el)-
nya
اءم الس ditulis as-samā’
س م الش ditulis asy-syams
I. Penulisan Kata-kata dalam Rangkaian Kalimat
Ditulis menurut bunyi pengucapannya dan menulis penulisannya
ض و ر لف ا يو ذ ditulis żawī al-furūd
ة ن الس ل ه أ ditulis ahl as-sunnah
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak masa-masa awal Islam, Al-Qur’an telah memperoleh
perhatian yang begitu besar dari kaum muslimin. Para sahabat sejak
turunnya wahyu telah berupaya memahami isi Al-Qur’an dimana
rasulullah SAW berperan menjadi penjelas atau penafsir bagi mereka,
terutama ayat-ayat yang tidak meraka fahami. Tugas penafsiran Al-Qur’an
selanjutnya beralih secara estafet ke tangan para sahabat, tabiin, tabi’
tabi’in dan para ulama’ sampai saat ini. Hal ini terjadi dan terus
berlangsung karena Al-Qur’an sejak awal turun telah memberi stimulasi
kepada pembacanya agar seluruh pesan-pesan Al-Qur’an di eksplorasi dan
dipahami.
Kebutuhan tersebut tidak lain adalah untuk menggali petunjuk dan
hidayah Al-Qur’an, guna di aplikasikan dalam kehidupan. Dari hal
tersebut juga telah mendorong umat Islam di Indonesia untuk turut andil
bagian dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an dalam rangka
mengamalkannya dalam kehidupan. Bagi umat Islam memahami Al-
Qur’an merupakan bagian dari dimensi keagamaan terpenting karena
tujuan Al-Qur’an dihadirkan di bumi adalah sebagai petunjuk bagi
manusia, dan ini akan terwujud jika Al-Qur’an dapat di fahami dan di
realisasikan nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-hari. 1
Al-Qur’an kita yakini sebagai kitab suci yang ṣālih li kulli zamān
wa makān, maka Al-Qur’an harus kita fahami sesuai dengan konteks yang
1 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-
Modern (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2012), vii-viii.
2
terjadi sehingga bisa menyentuh kualitas kehidupan dan dinamis dalam
menjawab problematika umat. Al-Qur’an di yakini berdialog dengan
setiap generasi, dari waktu ke waktu. Ini memerintahkan kita semua
bahwa harus mempelajari dan memikirkannya terus menerus.
Membaca berbagai macam kitab tafsir, niscaya akan ditemukan
tafsir al-Qur’an yang berjenis-jenis. Keberagaman dalam tafsir tersebut di
sebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya:2
Pertama, faktor kebahasaan, dari sudut struktur kebahasaan, Al-
Qur’an telah memunculkan adanya pluralitas tafsir. Yakni sesuai dengan
disiplin keilmuan masing-masing mufassir. Seperti dalam Al-Qur’an di
temukan makna (lafadz) yang bermakna ganda, makna umum, makna
khusus, makna sulit (musykil) dan sebagainya. Model lafadz tersebut
bukan hanya memunculkan tetapi menjadi “picu utama” untuk tumbuhnya
keberagaman tafsir. Tatkala teks tersebut di baca oleh banyak orang
dengan latar belakang keilmuan, kemampuan dan keperluan yang berbeda,
maka keragaman tafsir dengan sendirinya akan muncul.
Kedua, faktor ideologi politik, faktor ini juga erat mewarnai jenis-
jenis tafsir. Seperti kelompok Mu’tazilah yang banyak melansir tafsir-
tafsir rasional. kemunculannya untuk mendukung Abbasiyah melawan
Umayyah. Maka dalam perkembangannya bisa di cermati, tafsir yang
diproduksi Muktazilah terlihat lebih rasional dibanding dengan tafsir yang
diproduksi pendukung Umayyah.
Ketiga, faktor mazhab pemikiran. Ada dua arus khazanah
pemikiran Islam utama yang mewarnai dalam penafsiran Al-Qur’an, yaitu
sunni dan Muktazilah. Pemikiran sunni memiliki karakter ortodoksi,
2 Abu Rokhmad, Telaah karakteristik Tafsir Arab Pegon. Jurnal Analisa, Vol.
XVIII, No.1 (Januari-Juni 2011): 28-29.
3
sedangkan Muktazilah cenderung rasional dan dekonstruktif. Sunni
memahami bahwa tidak seluruh teks-teks Al-Qur’an dapat dijejak dengan
logika tubuh manusia, sedangkan kaum Muktazilah sebaliknya.
Keempat, Subjektivisme penafsir, yakni adanya pra-anggapan, pra-
asumsi jenis, kelamin, lingkar spesial penafsir turut memberikan andil
warna tersendiri bagi langgam tafsir yang di gagas. Subjektivisme ini
merupakan anasir yang terus menerus menggelayut dan mengeram dalam
alam bawah sadar sang penafsir. Faktor ini merupakan yang tidak bisa di
ingkari dari seorang mufassir.
Dari hal diatas menegaskan, bahwa tafsir merupakan dialog terus
menerus antara teks suci, penafsir dan lingkungan sosial-politik-budaya
yang ada di sekitarnya. Tafsir tercipta pada ruang dan waktu yang
berbeda-beda yang mengakibatkan munculnya pemaknaan atas suatu teks
berbeda dengan yang lainnya.3
Seiring dengan itu, pemahaman tentang elemen kebudayaan dan
kearifan lokal menjadi tidak terlepas dari karya tafsir. Manusia menurut
Koentjaningrat adalah makhluk yang berbudaya. Dengan daya cipta, rasa
dan karsa, manusia memproduksi kebudayaan.4
Tafsīr Al-Ibrīz merupakan tafsir yang lahir dari rahim tanah Jawa.
Tafsir ini adalah salah satu kitab tafsir yang menggunakan aksara Jawi
(pegon) sebagai media penulisnya. Penafsiran KH. Bisri dituliskan
menggunakan jawi atau pegon sebagai upaya untuk membuka gerbang
pemahaman tafsir yang kontekstual dan bersifat kedaerahan. Sebagaimana
diungkapkan dalam Muqaddimah Tafsīr Al-Ibrīz bahwa Al-Qur’an sudah
3 Abu Rokhmad, “Telaah karakteristik Tafsir Arab Pegon”, 28-29. 4 Konjoningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan pembangunan (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2004), 5-6.
4
banyak diterjemahkan dalam bahasa-bahasa asing, untuk menambah
khidmat dan usaha yang baik, ia menghadirkan tafsir yang berbahasa jawa
dengan cara yang sederhana, ringan dan mudah dalam pemahamannya.
“Kangge nambah khidmat lan usaha ingkang sae lan mulio puniko,
dumateng ngersanipun poro mitro muslimin ingkang mangertos tembang
daerah jawi, kawulo segahaken terjemah tafsir al-Qur’an mawi coro
ingkang persojo, enteng serto gampil pemahamanipun.”5
KH. Bisri seringkali mencantumkan tradisi-tradisi masyarakat
sekitar, khususnya masyarakat Jawa, dalam memperkuat penjelasan
tafsiran terhadap al-Qur’an dalam Tafsīr Al-Ibrīz. Tambahan penjelasan
itu seperti keterangan tradisi sebagian masyarakat Jawa menggunakan
ayat-ayat al-Qur’an tertentu yang ditulis kemudian ditaruh di atas pintu
yang diyakini akan memberikan keamanan bagi penghuninya, dan
beberapa tradisi semisalnya yang cukup sering diungkapkan dalam Tafsīr
Al-Ibrīz.
Kearifan lokal seperti ini yang memberikan keunikan tersendiri
Tafsīr Al-Ibrīz hingga membuat penulis penting untuk menelitinya lebih
lanjut dalam mengungkap beberapa kearifan lokal dalam karya tafsir
tersebut. Maka penulis mewujudkan pentingnya meneliti kearifan lokal
dalam Tafsīr Al-Ibrīz dalam bentuk penelitian dengan judul “Corak Adāb
Al-Ijtimā’i Dalam Tafsīr Al-Ibrīz: Mengungkap Kearifan Lokal
dalam Penafsiran KH. Bisri Musthofa”
5 Bisri Musthofa, Tafsīr Al-Ibrīz Lima’rifati Tafsir Al-Qur’an Al- ‘Aziz (Kudus:
Menara Kudus, 1960), Muqoddimah. Untuk menambah khidmat dan usaha yang baik dan
mulia ini, kepada para saudara muslimin yang mengerti bahasa jawa, saya persembahkan
terjemah tafsir Al-Qur’an Al-Aziz dengan cara yang sederhana, ringan dan mudah untuk
di fahami.
5
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
Ada beberapa corak tafsir dalam penafsiran al-Qur’an, seperti corak
sastra-bahasa (lugawī), corak filsafat dan teologi (kalām), corak
pendidikan (tarbawī), corak tasawuf, corak adāb al-ijtimā`i. Dalam hal ini,
penulis membatasi hanya membahas corak adāb al-ijtimā`i dan
memfokuskan pada muatan kearifan lokal yang merupakan bagian dari
adāb al-ijtimā`i dan Tafsīr Al-Ibrīz.
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana
kearifan lokal yang terdapat dalam Tafsīr Al-Ibrīz karya KH. Bisri
Musthofa?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan pokok rumusan masalah di atas maka tujuan yang ingin
dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Mengetahui kearifan lokal yang terdapat dalam Tafsīr Al-Ibrīz
karya KH. Bisri Musthofa
Adapun manfaat dari penelitian ini dalam bidang studi Al-Qur’an dan
Tafsir agar:
1. Dalam konteks keilmuan Islam, pembaca dapat mengetahui bentuk
kearifan lokal yang terdapat dalam karya tafsir, khususnya karya
tafsir Indonesia;
2. Memberikan informasi tentang dinamika karya tafsir Indonesia,
khususnya karya tafsir dalam bentuk Arab-Pegon;
3. Bagi dunia akademik, hasil penelitian ini bisa menjadi bahan
rujukan di bidang studi perkembangan Tafsir Al-Qur’an Indonesia
yang kini masih sedikit sumber rujukannya.
6
D. Tinjauan Pustaka
Sesuai dengan masalah yang dirumuskan di atas, penulis menemukan
beberapa literatur yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas,
antara lain:
1. Penelitian Abu Rokhmad dalam karyanya yang berjudul “Telaah
Karakteristik Tafsir Arab Pegon Al-Ibriz” yang dipublikasikan dalam
Jurnal Analisa, Volume XVIII tahun 2011. Dalam karya ini dibahas
mengenai karakteristik yang khas dari Tafsīr Al-Ibrīz. Yaitu
menggunakan bahasa Jawa Pegon. Dalam Karya ini disebutkan bahwa
Al-Ibrīz cenderung memiliki corak kombinasi antara fiqhi, sosial-
kemasyarakatan dan shufi.
2. Mafri Amir dalam buku “Literatur Tafsir Indonesia”. Buku ini
merupakan kumpulan informasi mengenai karya-karya tafsir
Indonesia, salah satunya adalah Tafsīr Al-Ibrīz karya KH. Bisri
Musthofa. Di dalamnya dibahas beberapa hal, mulai biografi penulis
tafsir hingga dengan hal-hal yang berkaitan dengan tafsir tersebut.
3. Skripsi Luqman Chakim yang berjudul “Tafsir Ayat-ayat
Nasionalisme Dalam Tafsīr Al-Ibrīz karya KH. Bisri Musthofa”. IAIN
Walisongo Semarang 2014. Sesuai namanya dalam skripsi ini dibahas
mengenai penafsiran ayat-ayat nasionalisme dalam Tafsīr Al-Ibrīz.
Tafsīr Al-Ibrīz menurut Luqman Chakim memiliki peran dalam
membangun nasionalisme bangsa. Dan hal ini ditunjukan ketika KH.
Bisri Musthofa menafsirkan ayat-ayat nasionalisme.
4. Jurnal Ferjian Yazdajird Iwanebel yang berjudul “Corak Mistis dalam
Penafsiran KH. Bisri Musthofa (Telaah Analitis Tafsīr Al-Ibrīz)”,
Jurnal Rasail Vol.1, No. 1, 2014. Tulisan ini membahas tentang corak
penafsiran KH. Bisri Musthofa dalam tafsirnya Al-Ibrīz. Menurutnya
7
secara analitis tafsir ini dapat digolongkan tafsir adabi ijtima’i karena
menekankan aspek kebahasaan dan sosial, tergolong juga corak ilmi
karena menekankan pada aspek ilmiah tapi selain itu juga
menekankan pada aspek mistis.
5. Skripsi Muffid Muwaffaq yang berjudul “Orientasi Ilmi Dalam Tafsīr
Al-Ibrīz Karya Bisri Musthofa”, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
2015, dalam karya ini ditemukan bahwa Tafsīr Al-Ibrīz lebih
cenderung berorientasi ke Tafsir bercorak Ilmi. Hal ini ditunjukan
dengan pembacaan KH. Bisri Musthofa terhadap kitab-kitab modern,
yang sedikit banyak tentu dapat mempengaruhi pola pikir beliau
dalam melakukan penafsiran.
6. Skripsi Abdur Rahman, yang berjudul “Konsep Jihad menurut KH.
Bisri Musthofa dalam Tafsīr Al-Ibrīz”, Skripsi STAIN Kudus 2016.
Dalam skripsi di jelaskan mengenai pandangan KH. Bisri Musthofa
tentang ayat-ayat Jihad dan bagaimana implementasi dari ayat-ayat
Jihad tersebut dalam kehidupan.
7. Jurnal Lilik Faiqoh dan M Khoirul Hadi yang berjudul “Tafsir Surat
Luqman Perspektif KH Bisri Musthofa dalam Tafsīr Al-Ibrīz”, Jurnal
Maghza, Vol 2, No 1, Januari-Juni 2017. Penelitian ini menjelaskan
penafsiran KH. Bisri Musthoda dalam Qs. Luqman. KH. Bisri
memahami bahwa pengajaran Luqman sesuai dengan tata kehidupan
orang Jawa yang membentuk kehidupan harmonis. Hal ini tertuang
dalam cara menjelaskan yang mudah di pahami dan mampuu
mengaitkan isi Al-Qur’an dengan alam berfikir orang Jawa.
8. Skripsi Muh. Audi Yuni Mabruri yang berjudul “Kearifan lokal dalam
kitab Al-Ibriz lima’rifah Tafsir Al-Qur’an Al-Aziz karya KH. Bisri
Musthofa”, IAIN Tulungagung 2018. Skripsi ini menerangkan
kearifan lokal yang ada dalam Tafsīr Al-Ibrīz yaitu dari sisi
8
kebahasaan yang menggunakan arab pegon dan tanda-tanda kearifan
lokalnya.
9. Jurnal yang berjudul “As-Shifa’ Perspektif Tafsīr Al-Ibrīz Karya Bisri
Musthofa”, Jurnal Tribakti: Pemikiran KeIslaman, Volume 20, No 1,
Januari 2019. Dalam tulisan ini dijelaskan, bahwa Al-Qur’an
merupakan obat, bukan hanya untuk kesehatan rohani/batin saja.
Akan tetapi KH. Bisri Musthofa juga menunjukan bahwa Al-Qur’an
dapat dijadikan obat bagi kesehatan jasmani. Menurut KH. Bisri Al-
Qur’an adalah obat untuk penyakit hati yang berlarut-larut sehingga
menimbulkan penyakit jasmani, yang dikenal dengan penyakit
psikomatik.
10. Skripsi Ali Imron yang berjudul “Simbol dalam Tafsīr Al-Ibrīz
Lima’rifah Al-Qur’an Al-Aziz (Analisis Semiotika Roland Barthes)”
IAIN Tulungagung tahun 2019. Skripsi ini mengungkapkan simbol-
simbol yang ada dalam Tafsīr Al-Ibrīz dan bagaimana pemaknaan
simbol tersebut.
Dari sebagian kajian pustaka yang membahas mengenai Tafsīr Al-
Ibrīz yang dipaparkan di atas, sudah banyak telaah pustaka yang tersaji,
namun pembahasan dalam Tafsīr Al-Ibrīz tersebut terfokus pada sisi
tematis. Fokus pada penelitian ini adalah kearifan lokal dalam penafsiran
KH. Bisri Musthofa dalam Tafsīr Al-Ibrīz, mengingat tafsir ini adalah tafsr
Indonesia, sehingga nuansa kearifan lokal akan terungkap dalam tafsir ini.
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Untuk melakukan penelitian ini, penulis menggunakan perspektif
analisis penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data penelitian
kepustakaan (library research). yaitu penelitian yang berbasiskan pada
9
data-data kepustakaan baik dari berupa buku jurnal, artikel maupun bacaan
lainnya yang terkait dengan objek penelitian ini. Adapun sifat penelitian
ini adalah kualitatif, yaitu penelitian yang berasas pada kualitas dari data-
data yang telah di uraikan dan di analisis secara sistematis.
2. Sumber Data
Dalam penulisan ini, penulis akan berusaha semaksimal mungkin
untuk mencari sumber-sumber yang mempunyai relevansi dengan
penelitian yang akan penulis lakukan. Adapun sumber data yang penulis
akan gunakan pada penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder. Adapun sumber data primer yang akan penulis gunakan adalah
kitab Tafsīr Al-Ibrīz Lima’rifati Tafsīr Al-Qur’ān Al- ‘Azīz karya KH.
Bisri Musthofa.
Adapun sumber data sekunder yang penulis gunakan dalam
penelitian ini adalah buku-buku, jurnal-jurnal, skripsi, tesis dan disertasi
terdahulu yang menyinggung tema penelitian yang hendak penulis buat
ini.
3. Teknik Analisis Data
Pola uraian dan analisisnya, penulis menggunakan metode deskriptif-
analisis, yaitu penulis akan menguraikan data dari sumber utama dan data
lain yang sangat terkait dengan kearifan lokal, termasuk simbol-simbol
tertentu, dalam Tafsīr Al-Ibrīz karya KH. Bisri Musthofa. Kemudian,
penulis akan menganalisisnya dengan teknik analisis isi (content analysis),
yaitu menghubungkan menghubungkan isi ayat al-Qur’an dengan kearifan
lokal di mana KH. Bisri Musthofa hidup sebagai bagian dari
kontekstualisasi pesan ayat-ayat al-Qur’an.
10
F. Sistematika Pembahasan
Supaya dalam penulisan skripsi ini sesuai dengan judul yang telah
diajukan agar tidak rancu dalam pembahasannya, maka penulisan dalam
skripsi ini akan dituangkan terlebih dahulu dalam sistematika pembahasan,
yang dalam hal ini dibagi menjadi lima bab. Di mana masing-masing bab
mempunyai spesifikasi pembahasan mengenai topik-topik tertentu,
sistematika pembahasan tersebut adalah sebagai berikut:
Bab pertama, merupakan pendahuluan yang berisi: latar belakang
masalah yang diangkatnya tema ini, identifikasi, pembatasan masalah dan
rumusan masalah, tujuan dan manfaat yang akan diperoleh dari penelitian
ini, kemudian telaah pustaka atau bahan-bahan yang digunakan, serta
metode penelitian yang meliputi metode pengumpulan data, metode
pembahasan dan teknik penulisan. Serta memaparkan sistematika dalam
penulisan penelitian ini.
Bab kedua, merupakan penjelasan mengenai corak penafsiran al-
Qur’an. Mulai dari pengertian corak tafsir, kemunculan dan keragaman
corak dalam penafsiran al-Qur’an, dan mengulas mengenai kearifan lokal.
Bab ketiga, merupakan pembahasan tentang biografi KH. Bisri
Musthofa dan Tafsīr Al-Ibrīz, dalam hal ini meliputi riwayat hidup,
perjalanan intelektual, karya-karya KH. Bisri Musthofa, latar belakang
penulisan, corak dan metode penafsiran, khazanah isi tafsir dan
karakteristik dan simbol-simbol di dalam Tafsīr Al-Ibrīz.
Bab keempat, dalam bab ini penulis menjelaskan mengenai
aplikasi kata kunci kearifan lokal dalam Tafsīr Al-Ibrīz terhadap ayat-ayat
Al-Qur’an.
11
Bab kelima, bab terakhir yakni bab penutup, merupakan
kesimpulan dari hasil penelitian yang mencakup atas keseluruhan dari isi
karya ilmiah ini. Kemudian disertai dengan saran-saran membangun,
supaya dapat dijadikan bahan referensi dan pelajaran pada penelitian
selanjutnya.
12
BAB II
CORAK PENAFSIRAN DALAM TAFSĪR AL-IBRĪZ
A. Pengertian Corak Tafsir
Dalam Kamus Bahasa Indonesia di sebutkan bahwa kata corak
memiliki beberapa arti: Pertama, bunga atau gambar (ada yang berwarna-
warna) pada kain (tenunan, anyaman, dan sebagainya). misalnya kalimat
“Corak kain sarung itu kurang bagus”, “Besar-besar corak kain batik itu”.
Kedua, berarti berjenis-jenis warna pada warna dasar (tentang kain,
bendera, dan sebagainya) misalnya kalimat “Dasarnya putih, coraknya
merah. Ketiga berarti sifat (paham, macam, bentuk) tertentu, contohnya
kalimat “Perkumpulan itu tidak tentu coraknya.1
Jika kata corak di sambungkan dengan kata lain, maka akan memiliki
arti tersendiri, misalnya “corak bangunan” maksudnya adalah desai
bangunan, demikian juga dengan kalimat “corak kasual” maka berarti
corak yang sederhana, hal ini terlihat pada kalimat “untuk memunculkan
corak kasual, di pilih kerah yang berkancing dan berwarna”.
Kata corak dalam literatur sejarah tafsir, biasanya di gunakan sebagai
terjemahan dari kata al-laun, bahasa arab yang berarti warna. Istilah
inipula yang di gunakan Muhammad Ḥusain Aẓ-Ẓahabi dalam kitabnya
al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, berikut potongan ulasan beliau:
....الحديثوعنألوانالتفسيرفيهذاالعصر()
“Tentang corak-corak penafsiran di abad modern ini”
Corak Tafsir di artikan sebagai kecenderungan keahlian atau
spesifikasi yang dimiliki oleh seorang mufassir. Hal ini bisa di
1 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia
(Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), 294-295.
13
latarbelakangi oleh pendidikan, lingkungan maupun akidahnya.2 Oleh
sebab itu, bila mufassir adalah seorang ahli bahasa, maka dia menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an menggunakan pendekatan analisa kebahasaan, atau
biasa dikenal dengan corak lugawi. Bila mufassir merupakan pakar di
bidang ilmu pengetahuan (sains), maka kecenderungan penafsirannya
adalah lebih menggunakan pendekatan ilmiah, atau biasa di kenal dengan
istilah corak ilmi, dan begitu seterusnya. Akan tetapi, hal tersebut tidak
menyimpulkan bahwa seorang mufassir hanya memiliki satu keahlian
dalam satu cabang ilmu saja, karena dalam menafsirkan al-Qur’an di
butuhkan berbagai perangkat dan persyaratan akademis maupun
metodologis.
Sedangkan kata tafsir merupakan masdar dari kata fassara-yufassiru-
tafsiran, yang dalam kamus al-munawwir bermakna tafsiran, interpretasi,
penjelasan, komentar dan keterangan.3 Arti tafsir itu sendiri menurut
bahasa arab adalah التبيين dan الإضاح (menjelaskan atau menerangkan).4
Dalam kitab lisān al-‘arab, di jelaskan bahwa kata tafsir diambil dari
kata al-fasru berarti menjelaskan atau menyingkap sesuatu yang tertutup.
Kata tafsir juga bermakna menyikap maksud sesuatu yang sulit.5
Sedangkan tafsir secara terminologi menurut al-Zarkasyī adalah:
كت اباللهال م م ف ه به ي ع ر ف العل م ع ل ن ز الت ف سير م مدص لىالله ىن بي هل ع ل ي هو س لمو ب ي ان م ه ر اجأ ح ك ام ه و حح تخ م ع ان يه و اس
2 Anshori LAL, Tafsir bi al-Ra’yi, Menafsirkan al-Qur’an dengan Ijtihad
(Jakarta, Gaung Persada Press, 2010), 88. 3 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir (Yogyakarta: Pustaka
Progressif, 1997) 106. 4 Muhammad Ḥusain Aẓ-Ẓahabi, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn (Maktabah Mus’ab
ibn Umar al-Islamiyah, 2004), Vol.I, 12. 5 Muhammad bin Makram bin ManẒur Al-Ifriki Al-Masri, Lisān al- ‘Arab
(Kairo: Dār al-Ma‘ārif, t.th.), Jil. 5, 3412-3413.
14
“Tafsir adalah ilmu untuk memahami, menjelaskan makna, dan
mengkaji hukum-hukum serta hikmah hukum tersebut dalam kitab yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw”.6
Dari penjelasan dua kata tersebut, yakni corak dan tafsir maka bisa di
tarik pemahaman bahwa corak tafsir adalah bentuk kecenderungan dalam
menafsirkan al-qur’an yang di latari oleh kapasitas yang di miliki
mufassir.
B. Kemunculan dan Keberagaman Corak Penafsiran Al-Qur’an
Al-Qur’an memang sangat terbuka untuk di tafsirkan (multi
interpretable) dan masing-masing mufassir ketika menafsirkan Al-Qur’an
biasanya juga di pengaruhi oleh kondisi sosio-kultural di mana ia tinggal.
Bahkan situasi politik yang melingkupinya juga berpengaruh baginya.
Disamping itu, ada kecenderungan dalam diri seorang mufassir untuk
memahami Al-Qur’an sesuai dengan disiplin ilmu yang ia tekuni, sehingga
meskipun objek kajiannya tunggal (yaitu teks al-Qur’an) namun hasil
penafsirannya tidaklah tunggal, melainkan plural.7
Keberagaman corak tersebut merupakan hal yang positif yakni
menunjukan kekayaan khazanah pemikiran umat islam yang digali dari
Al-Qur’an. Keragaman tersebut dapat dikatakan sebagai corak yang
mewarnai penafsiran Al-Qur’an
Dalam menanggapi keberagaman corak yang hadir dalam penafsiran
Al-Qur’an, menurut Abdul Mustaqim, setidaknya ada dua sikap yang bisa
dan mesti diambil. Pertama, kritis dalam melihat produk-produk tafsir
tersebut, apakah ada hidden interest dibalik penafsirannya. Apakah ada
penyimpangan dan apakah penafsirannya didukung dengan argumentasi
6Muhammad bin Bahadir bin Abdullah Az-Zarkasyi, Al-Burhān fī ‘Ulum Al-
Qur’ān (Bairut: Dar al-Makrifah, 1391 H), 13. 7 Kusroni, ”Menelisik Sejarah dan Keberagaman Corak Penafsiran Al-Qur’an”.
Jurnal El-Furqania, vol.5, no.2 (Agustus 2017): 135.
15
yang kuat. Kedua, Jika argumentasi tersebut kuat, maka kita harus
menghormati pendapat tersebut, meskipun kita tidak harus mengikuti.8
Pembagian corak tafsir sangat beragam, karena dihasilkan dari usaha
penafsiran Al-Qur’an yang terus berkembang, seiring perkembangan yang
terjadi dalam kehidupan masyarakat.9 Ditambah perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang semakin maju, sehingga memungkinkan
untuk digunakan memahami ayat-ayat Al-Qur’an.
Macam-macam corak tafsir pada dasarnya dapat dikatakan muncul
dari bentuk-bentuk tafsir taḥlilī. Meskipun begitu, metode tafsir tematik
saat ini juga telah berkembang dan lebih terfokus pada satu pendekatan
yang dinilai lebih jelas mengungkapkan corak tafsir tertentu. M. Quraish
Shihab menyebutkan beberapa corak penafsiran Al-Qur’an diantaranya
sebagai berikut:10
a. Corak/Nuansa Sastra-Bahasa
M. Quraish Shihab menyebutkan bahwa corak ini muncul karena
banyaknya orang non-arab yang masuk islam pada waktu itu. Oleh karena
itu dirasa penting oleh masyarakat arab untuk menjelaskan kandungan Al-
Qur’an dari aspek sastra. Tafsir dengan corak bahasa (tafsir al-lugawī)
yang menonjol atau mendominasi biasanya adalah pembahasan tentang
naḥwu, Ṣaraf, qiraat, argumen-argumen dari bahasa arab (seperti syair)
dan uslub-uslub bahasa Arab.
Contoh karya tafsir yang tergolong dalam kategori ini adalah al-
Taḥrīr Wa al-Tanwīr karya Ibn ‘Āsyūr. Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm karya
8 Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir (Jakarta: Pustaka Pelajar,
2008), 59-60. 9 M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan), 72. 10 M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, 73.
16
M. Quraish Shihab dan memahami isi kandungan Al-Qur’an karya Ahmad
Wasil.11
b. Corak/Nuansa Filsafat dan Teologi
Corak ini disebutkan murupakan pengaruh dari adanya penerjemahan
literatur-literatur tentang filsafat, maupun adanya mufassir yang
sebelumnya datang dari non muslim lalu mencoba membandingkan isi
ajarannya. Contoh yang sering dikategorikan dalam corak ini adalah Tafsīr
Mafatiḥ al-Gayb karya Fakhruddin al-Razī.
Tafsir ini di tandai dengan adanya penjelasan-penjelasan filosofis
yang cenderung bersandar pada akal, maupun pandangan-pandangan para
filosof. Karya tafsir dalam kategori teologis ini lebih memusatkan
penjelasannya pada konteks akhlak, akidah, ketuhanan, agama dan
sebagainya.
c. Corak/Nuansa Penafsiran Ilmiah
Pendekatan melalui ilmu-ilmu eksak dalam penafsiran dikaitkan
dengan adanya ayat-ayat kauniyah dalam Al-Qur’an. Pandangan ini
memperkuat bahwa Al-Qur’an telah memberitakan tentang pengetahuan
yang baru didapat dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern saat
ini. Ilmu-ilmu tersebut seperti ilmu astronomi, kosmologi, kimia, fisika,
ilmu kedokteran, botani, geografi, dan bahkan zoologi.
Salah satu tafsir yang terkenal dengan corak ini adalah milik tantawi
Jauhari. Di Indonesia, terdapat tafsir semacam ini, seperti “Ayat-ayat
Semesta” karya Agus Puwanto dan “Metode Ayat-ayat Sains dan Sosial”
karya Andi Rosadisastra.12
d. Corak/Nuansa Fikih
11Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia (Yogyakarta: Lkis 2013), 254. 12Islah Gusmian, Khazanah Tafsir, 272-273, Lihat Juga M. Nurdin Zuhdi,
Pasarraya Tafsir Indonesia, 158-159.
17
Tafsir corak ini condong menjelaskan ayat-ayat hukum, yakni
mencoba mengeluarkan istinbat dari Al-Qur’an. Pada perkembangannya
tafsir ini juga menjelaskan tentang syariat islam dengan dasar penjelasan
madzhab fikih. Seperti Tafsīr Jami’ li Aḥkam al-Qur’ān karya al-Qurṭubi,
Tafsīr Aḥkam al-Qur’ān, Karya al-Jaṣaṣ.
Di Indonesia disebutkan beberapa karya Tafsir yang cenderung
dengan penjelasan hukum, diantaranya “Tafsir Ayat-ayat Ahkam” karya
Syibli Syarjaya dan Tafsir ayat-ayat Ahkam karya Lilik Ummi Kaltsum
dan Abd. Moqsith al-Ghazali.13
e. Corak/Nuansa Tasawuf
Penjelasan yang digunakan dalam tafsir corak ini adalah menuju
kepada makna esoterik dari ayat Al-Qur’an, sehingga banyak pendapat
yang mengatakan bahwa tafsir Isyari ini cenderung Takwil.
Salah satu ayat yang dinilai memiliki isyarat adalah QS. Al-Baqarāh
[2] ayat 45, yang berisi tentang makna shalat khusyu’ dan hubungannya
dengan tajalli dalam tradisi tasawuf. Kitab tafsir yang digolongkan corak
ini diantaranya adalah: Tafsīr al-Qur’ān al-Aẓīm karya Al-Tustarī, Ḥāqaiq
al-Tafsīr karya Al-Sulamī, dan ‘Arāis al-Bayān fi Ḥāqaiq al-Qur’ān karya
al-Syirāzi.14
f. Corak/Nuansa Sosial-Kemasyarakatan
Dari beberapa pendapat yang ada, corak sosial kemasyarakatan atau
yang dikenal sebagai corak Adāb Al-Ijtimā’i, terbagi menjadi tiga
pengertian, yaitu Adābi al-Ijtima’i, Adābi dan Ijtimā’i. Menurut pendapat
Aẓ-Ẓahabi, tafsir dengan corak Adāb Al-Ijtimā’i adalah penafsiran dengan
menganalisis dan meengkritisi ayat-ayat Al-Qur’an dengan menunjukkan
13 M. Nurdin Zuhdi, Pasarraya Tafsir Indonesia dari kontestasi metodologi
hingga kontektualisasi (Yogyakarta: Kaukaba, 2014), 150-152. 14 Ali Hasan al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Arkom
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), 56-59.
18
ketelitian kepada redaksi ayat, untuk selanjutnya dikemas dengan tutur
bahasa yang indah serta dipaadukan dengan kejadian atau permasalahan
yang ada dimasyarakat.15
Pendapat lain ada yang menggolongkan corak adabi menjadi corak
tersendiri. Corak adabi atau kesusastraan merupakan bentuk penafsiran
dengan menggunakan analisis ilmu-ilmu kebahasaan seperti menerangkan
uslub/salinan kata dalam bahasa arab, naḥwu, ṣaraf, balagah, badī’,
bayān, kinayāh untuk menunjukan keindahan sastra lainnya. Corak ini
pada hakikatnya mencakup corak lugawī, balaghī, dan bayānī. Akan tetapi
terkadang ada mufassir yang mengambil satu sisi saja, sehingga hanya
disebutkan pada bentuk lugawī, balaghī atau bayānī saja.16
Sedangkan terarkhir adalah pendapat yang menggolongkan corak
tafsir sosial atau corak ijtimā’i terlepas dari corak Adābi. Pemahaman
terhadap Al-Qur’an terbuka untuk konteks umum, baik dikaitkan dengan
problematika pada masa sekarang dan seterusnya. Hal ini al-Qur’an
memiliki kandungan ajaran yang berubah/elastis (murūnah), selain juga
memiliki sifat tetap (ṡabāt).
Corak tafsir ijtimā’i adalah pemahaman terhadap teks Al-Qur’an yang
terbuka untuk ditarik ruang lingkup permasalahan sosial, baik dari sisi
hukum maupun aspek-aspek yang langsung bersentuhan dengan
permaslahan sosial kemasyarakatan.17
Beberapa pengkaji tafsir juga menyebutkan ada beberapa corak lain
yang belum berkembang namun juga belum diterima sepenuhnya oleh
tafsir ulama’ umumnya. Seperti Tafsir Ḥarakī (pergerakan) yakni
penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an dengan menyerukan perubahan sosial yang
15 Muhammad Ḥusain Aẓ-Ẓahabi, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn (Maktabah
Mus’ab ibn Umar al-Islamiyah, 2004), 552-553. 16 Anshori, Ulumul Qur’an: Kaidah-kaidah Memahami Firman-firman Tuhan,
ed. Ulinnuha (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), 220. 17 Anshori, Ulumul Qur’an, 220.
19
harus dilakukan oleh seorang muslim. Kemudian corak tafsir Siyāsah yang
menunjukan kecenderungan golongan tertentu. Hal ini tidak menutup
kemungkinan, bahwa corak-corak tersebut akan terus berkembang seiring
dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, sosial, politik dan
budaya.
C. Kearifan Lokal dalam Tafsīr Al-Ibrīz
1. Pengertian Kearifan Lokal
Tak bisa dipungkiri, manusia adalah makluk berbudaya, yang
memiliki daya cipta, rasa dan karsa, dan dengan hal itu manusia
memproduksi budaya. Manusia lahir dan hidup dalam pluralitas ruang
budaya dan diproduksi agar saling mengenal serta saling menghargai
kehadiran masing-masing. Hal tersebut seperti yang sudah termaktub
dalam Qs. Al-Hujurat [49]: 13.
Kearifan memiliki kata dasar arif, yang artinya bijaksana, pandai dan
berilmu. Ketika mendapat imbuan “ke” dan “an”, kearifan dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia memiliki makna kebijaksanaan dan
kecendekiaan.18 Dalam tradisi filsafat, kebijaksanaan merupakan puncak
dari filsafat itu sendiri.
Sedangkan lokal, dapat diartikan sebagai kedaerahan. Kearifan lokal
dalam pengertian ini merupakan sebuah kebijaksanaan atau paham
keilmuan yang berada pada suatu daerah tertentu. Kearifan lokal dalam
arti yang luas, tidak hanya pada norma-norma dan nilai-nilai budaya,
namun juga dalam gagasan, termasuk juga berpengaruh dalam
pengembangan teknologi, pemenuhan kesehatan dan nilai keindahan.
Bisa dikatakan bahwa kearifan lokal itu tersebar keseluruh warisan
budaya, entah itu nyata atau tidak nyata (masih dalam tataran peemikiran).
18 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia
(Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), 89.
20
Kearifan tersebut bisa jadi masih berlangsung hingga saat ini atau menjadi
khazanah cerita dari suatu daerah.
Kearifan lokal juga bisa diartikan tata nilai kehidupan masyarakat
yang hadir dalam bentuk religi, adat istiadat maupun budaya adat istiadat
warisan nenek moyang. Kearifan lokal dalam pengertian ini selalu
berkembang agar dapat beradaptasi dengan lingkungan, dan menghasilkan
sebuah pengetahuan berciri khas kedaerahan. Dengan demikian, hasil
perpaduan dengan adat istiadat menjadi berguna bagi kehidupan suatu
masyarakat. 19
Dapat penulis simpulkan bahwa apa yang disebut dengan kearifan
lokal merupakan suatu tatanan dalam suatu kelompok masyarakat, dimana
masyarakat turut ikut serta dalam melanggengkan ritus kesehariannya.
Budaya dan tradisi yang berkembang merupakan bentuk akulturasi,
pertalian dan keselarasan antara masyarakat suatu daerah dalam
pembentukan tata aturan/norma, budaya, kepercayaan, bahasa, praktek
ibadah serta kebiasaan dalam menjalankan hidup sehari-hari.
Dalam kehidupam masyarakat adat, kearifan lokal dapat kita jumpai
pada, syair, puisi, lagu daerah, larangan, serta kitab-kitab yang digunakan
dalam menjalankan kehidupannya. Seperti contoh syair kidung rumekso
ing wengi karya Sunan Kalijaga. Dalam syair jawa ini Sunan Kalijaga
berdakwah dan mengajak masyarakat dengan mengiringi suatu tradisi
yang berkembang pada waktu itu. Esensi yang hendak disampaikan dapat
tersampaikan, tanpa mengubah budaya yang telah ada dalam masyarakat
adat.
19 Muh Audi Yuni Mabruri “Kearifan Lokal dalam Tafsīr Al-Ibrīz Li Ma’rifah
Tafsir Al-Qur’an Al-Aziz Karya KH. Bisri Musthofa” (Skripsi S1., Institut Agama Islam
Negeri Tulungagung, 2018, 42.
21
Edy Sedywati mengatakan bahwa setiap masyarakat mempunyai cara
tersendiri dalam mewarisakan nilai-nilai budaya mereka.20 Seperti dalam
tradisi arab dulu, kita dapat melihat praktek kearifan lokal dengan melihat
sistem patrilinial (garis bapak). Pada anak laki-laki mendapat imbuhan
ibnu atau bin, sedangkan anak perempuan akan mendapatkan imbuhan
binti. Imbuhan penamaan tersebut bagi orang arab menjadi suatu
kebanggaan identitas, selain itu juga merupakan rasa penghormatan
terhadap nenek moyang mereka.
1. Kearifan dalam Al-Qur’an dan Hadist
Perjumpaan Islam dan budaya lokal tak bisa lepas dengan proses
akulturasi budaya. Hal ini menimbulkan adanya pemahaman ekspresi
Islam yang tampil dengan beragam, bervariasi dan menyebabkan adanya
kreatifitas kultural-religius. Realitas ini merupakan resiko dan akulturasi
budaya yang tidak bisa dibendung ketika Islam memasuki wilayah baru,
termasuk dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Penyebaran agama Islam selalu menimbulkan kontak dengan budaya.
Bahkan sejak masa pewahyuan, Al-Qur’an sudah melakukan dialektika
dengan kebudayaan masyarakat penerimanya. Pada awalnya, ajaran AL-
Qur’an dibumikan di masyarakat Arab tanpa mengganti atau membuang
semua sistem sosial maupun sistem hukum yang ada, justru Al-Qur’an
menghadirkan hasil asimilasi yang menjadi model ideal bagi masyarakat
Arab.21
Al-Qur’an sendiri semasa turunnya berlangsung secara bertahap
(tadrījī) dan merespon melalui serangkaian ayat yang mengandung sebab
terhadap konteks spesifik yang melatarbelakangi turunya (sabāb an-nuzūl)
20Edy Sedyawati, Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah
(Jakarta Raja Grafindo Persada: 2006), 412. 21 Muizzatus Saadah, “Kearifan lokal dalam Tafsir Al-Azhar (Studi dalam Surat
Al Baqarah)” (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Walisongo, 2019), 26.
22
atau melalui seluruh ayatnya terhadap konteks sosio-historis umum
masyarakat Arab. Al-Qur’an memiliki daya “adaptabilitas”, daya ini hadir
karena adanya nilai-nilai permanen yang dimiliki Al-Qur’an, seperti nilai
kemanusiaan dan keadilan.
Qs. An-Nūr [24] ayat 31 ان و اي ع م ل و ن ك ا ل سن ت ه م و ا ي دي هم و ا ر ج ل ه م ب ا ه د ع ل ي هم ي و م ت ش
“Pada hari, (ketika) lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas
mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan”.
Qs. Aḥzāb [33] ayat 5 و ان ك م ف ء ه م ف اخ
ت ع ل م و ااب ل الل ف ان ا ق س ط عن د هم ه و ى ي نا د ع و ه م لب الد
ا خ ط أ ت به ع ل ي ك م ج ن اح في م ا غ ف و راق ل و ب ت ع مد ت ماو لكن و م و الي ك م و ل ي س الل ك م و ك ان
رحي ما
“Panggillah mereka (anak angkat itu) dengan (memakai) nama
bapak-bapak mereka; itulah yang adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak
mengetahui bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-
saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu jika
kamu khilaf tentang itu, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh
hatimu. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Ayat di atas merupakan ayat al-Qur’an yang penulis anggap
bersingungan dengan kearifan lokal. Dimana aplikasi atau prakteknya
disesuaikan dengan setting latar dan setting waktu suatu daerah tertentu.
Sepertihalnya memakai jilbab, beberapa ulama berbeda pendapat dalam
memberi hukum wajib untuk menutup aurat (dalam arti memakai
jilbab/kerudung).
Berjilbab/kerudung adalah keharusan dan wajib dilakukan oleh umat
muslim. Namun, tafsir tersebut akan terbantahkan ketika berada di
Indonesia, dimana walaupun seorang muslim, perempuan masih ada yang
23
tidak berjilbab/berkerudung. Bahkan ada sebagian perempuan yang masih
menggunakan sanggul dalam menjalani aktifitas sehari-hari.
Dari Abu Ishaq, dari Amir Ibn Saad, ia berkata: “Aku masuk pada
Quradah Ibn Ka’ab dan Abu Mas’ud al-Anshari di acara pernikahan, dan
di situ para budak perempuan bernyanyi, maka aku berkata; engkau
berdua sahabat Rasulullah dan orang yang ikut perang Badar, ini
dilakukan di hadapanmu? Salah satu di antara merka berdua berkata:
duduklah kalau kamu mau dan dengarkan bersama kami, dan kalau ingin
pulang pulanglah! Sesungguhnya permainan ini dimurahkan (dibolehkan)
pada acara pernikahan” (HR. Imam An-Nasa’i: 3330)22
Dari hadis diatas menegaskan dalam tradisi Nabi, terdapat kompromi
atau bahkan seruan unuk melestarikan budaya lokal. Sebagai contoh dalam
merumuskan hukum fikih. Hukum fikih merupakan hasil istimbat dari
para ulama untuk kebutuhan umat dalam masa dan tempat tertentu.
2. Bentuk dan Posisi Kearifan Lokal dalam Tafsir
Menurut koentjoningrat, unsur universal pada kebudayaan yang ada di
dunia ini, ada 7 macam. Pertama, bentuk sistem realigi dan upacara
keagamaan. Kedua, sistem dan organisasi dalam masyarakat. Ketiga,
sistem pengetahuan. Keempat, perkembangan bahasa. Kelima, kesenian
yang ada disebuah daerah. Keenam, sistem mata pencaharian hidup dan
yang Ketujuh, sistem teknologi dan peralatan.23
Kearifan lokal juga dapat ditemui dalam cerita rakyat, nyayian,
pepatah, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno. Kearifan lokal tersebut
kemudian mewujud menjadi tradisi. Tercermin dalam nilai-nilai yang
berlaku dalam suatu kelompok masyarakat tertentu.24
22 Adib Masruhan, Hadis-Hadis Kebudayan (Jakarta Selatan: Desantara Utama,
2004), 6. 23 Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2004), 2. 24 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra
Strukturalis Hingga Poststrukturalis Prespektif Wacana Naratif (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2011), 95.
24
Kearifan lokal juga dapat berwujud menjadi benda-benda nyata,
contohya adalah wayang. Wayang diakui sebagai kekayaan budaya dunia
karena memiliki nilai keindahan dan nilai etis yang melahirkan pola
keadaan suatu masyarakat, terutama masyarakat Jawa.
Bahkan cerita wayang merupakan cermin kehidupan masyarakat
Jawa itu sendiri, sehingga tidak aneh bila wayang disebut sebagai
agamanya orang Jawa. Dengan wayang, orang Jawa mencari jawaban atas
permasalahan kehidupan mereka. Dalam pertunjukan wayang juga
terdapat keindahan seni sastra, seni musik, seni suara, seni sungging dan
ajaran mistik Jawa yang bersumber dari agama-agama besar yang ada dan
hidup dalam masyarakat Jawa.
Kearifan lokal yang bisa kita lihat dari kesenian wayang adalah
seni yang dibawa sunan Kalijaga dalam berdakwah. Bagi penganut
kepercayaan agama pra islam di tanah Jawa, mereka gemar melihat
wayang. Untuk itu, melihat potensi tersebut Sunan Kalijaga menyamar
menjadi dalang dan bahkan mendapat julukan yaitu Ki Dalang Sida
Brangti.25
Membahas kearifan lokal sangat erat kaitannya dengan disiplin
keilmuan lain, seperti kebudayaan, antropologi dan juga etnografi
kebudayan adalah sebuah kategori yang aneh dan begitu luas cakupannya.
Kearifan lokal, tradisi, dan budaya sangat tipis untuk dibedakan, dan
semuanya saling berkaitan.
Berbicara mengenai kearifan lokal, seorang pasti akan mendalami
tentang budaya dan tradisi di suatu daerah, dan ketika berbicara budaya,
seorang pasti akan mencari tradisi serta kearifan lokal seperti apa yang ada
di suatu daerah tersebut.
25 Agus Sunyoto, Atlas Walisongo: (Depok: Pustaka Imam, 2016), 267-268.
25
Tafsir al-Qur’an sebagai fenomena kebudayan melahir berbagai
macam bentuk dan corak. Salah satu faktor penyebab keragaman tafsir
yaitu latar belakang sosial-budaya penafsir. Hal ini dapat dipahami
mengingat bahwa Tafsir al-Qur’an merupakan hasil karya dari pemikiran
manusia dalam menjelaskan pesan dan wahyu Tuhan yang terkandung
dalam Al-Qur’an. Tafsir tersebut dapat sesuai dengan kebutuhan
lingkungan sosial dan budaya. Dengan seluruh kompleksitas nilai-nilai
dan ajaran yang tafsir tersebut.26
Tafsir Al-Qur’an yang lahir dari proses dialog anatara pesan
wahyu suci Tuhan dengan kebudayaan lokal diantaranya adalah Tafsir
karya KH. Bisri Mustafa yaitu Tafsīr Al-Ibrīz li Ma’rifah Tafsīr al-Qur’ān
al-‘Azīz.
Tafsīr Al-Ibrīz adalah salah satu kitab tafsir yang dalam
penulisannya menggunakan bahasa Jawa atau lebih tepatnya pegon (Arab-
Jawa). Penulisan dalam tafsir ini menggunakan aksara pegon, di dalamnya
terdapat tiga bahasa. Mulai dari bahasa Jawa ngoko, Jawa kromo dan
dipadu dengan kosa kata Arab. Dimana dalam bahasa Jawa tersebut juga
terdapat makna simbolik dan ide-ide abstrak kebudayaan Jawa.
Tafsir al-Qur’an dalam bahasa Jawa merupakan bentuk cerminan
adanya dialektika budaya dengan karakteristik komunitas serta tujuan dan
fungsi yang dimaksudkan oleh para penafsir. Dari penjelasan tersebut
semakin gamblang nilai-nilai budaya jawa tercermin dalam penafsiran
pemaknaan Al-Qur’an melalui media bahasa jawa.
Bahasa mempunyai andil besar dalam unsur kebudayaan. Bahasa
menyimpan makna-makna suatu kearifan lokal dan sebagai medium
pembentuk pengetahuan tentang manusia dan tatanan sosial. Maka dari
26 Muh Audi Yuni Mabruri “Kearifan Lokal dalam Tafsīr Al-Ibrīz Li Ma’rifah
Tafsir Al-Qur’an Al-Aziz Karya KH. Bisri Musthofa” (Skripsi S1., Institut Agama Islam
Negeri Tulungagung, 2018, 52-53.
26
itu, untuk memahami suatu kebudayaan, salah satu caranya adalah dengan
meneliti bagaimana makna simbolik yang dihasilkan dari praktek-praktek
pemaknaan bahasa.27
Kearifan lokal dapat dibedakan menjadi dua yakni: Pertama,
verbal, yakni yang tercermin dalam kata-kata, frasa, klausa dan kalimat
yang bersifat metaforis. Kedua, non-verbal, yakni yang tercermin dalam
bahasa tubuh, berbagai simbol, lambang, gambar dan lainnya.28
Jika melihat kearifan lokal dalam Tafsīr Al-Ibrīz karya KH. Bisri
Musthofa, terlihat dua kearifan lokal, baik yang berbentk verbal maupun
non verbal. KH. Bisri dalam menafsirkan memasukkan kearifan lokal
yang berbentuk verbal dengan menggunakan unsur bahasa Jawa yang
menggunakan bahasa dan istilah lokal. Sedangkan non verbal juga
terdapat dalam tafsirannya dengan ditandai masuknya penjelasan yang
berkenaan dengan tradisi Jawa.
27 Muh Audi Yuni Mabruri “Kearifan Lokal dalam Tafsīr Al-Ibrīz Li Ma’rifah
Tafsir Al-Qur’an Al-Aziz Karya KH. Bisri Musthofa” (Skripsi S1., Institut Agama Islam
Negeri Tulungagung, 2018, 53. 28 Muizzatus Saadah, “Kearifan lokal dalam Tafsir Al-Azhar (Studi dalam Surat
Al Baqarah)” (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Walisongo, 2019), 25.
27
BAB III
PROFIL KH. BISRI MUSTHOFA, GAMBARAN TAFSĪR AL-
IBRĪZ SERTA SIMBOL-SIMBOL DALAM TAFSĪR AL-IBRĪZ
A. Profil KH. Bisri Musthofa
Proses awal masuknya ajaran Islam peran para ulama atau kyai (dalam
istilah jawa) sangatlah penting. Kapabilitas para ulama atau kyai dalam
mendialogkan kebudayaan dan peradaban yang berbeda menjadi penting
untung ditelaah lebih dalam. Islam di tanah Nusantara lahir tidak melalui
perang seperti pada masa Islam awal yang dibawa Nabi Muhammad,
namun melalu semangat penyatuan antarkebudayaan dan yang beragam.
Dalam kaitan ini salah satu ulama atau kyai yang berperan penting dalam
mensyiarkan ajaran Islam dengan ramah ialah KH. Bisri Musthofa.
KH. Bisri Musthofa adalah seorang kiai kharismatik pendiri pondok
pesantren Raudhatut Thalibin, Rembang-Jawa Tengah. KH. Bisri
Musthofa dilahirkan di kampung Sawahan, Gang Palen, Rembang pada
tahun 1915 M. Sewaktu kecil ia diberi nama Mashadi oleh kedua orang
tuanya yaitu Haji Zainal Musthafa dan Hajah Khatijah. Nama Bisri ia
peroleh setelah menunaikan ibadah haji pada tahun 1923 M.1
KH. Bisri Musthofa mempunyai dua saudara laki-laki seayah dan seibu
yang bernama Maksum dan Isbah serta saudara perempuan bernama
Salamah. Ayahnya sebelum menunaikan haji bernama Jayaratiban,
merupakan seorang saudagar besar yang sukses, sehingga ia sempat
menunaikan ibadah haji ke tanah suci sebanyak empat kali. Ketika ia
menunaikan ibadah haji yang ke empat kalinya seluruh anggota
1 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia (Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013), 134.
28
keluarganya dibawanya, walaupun anaknya ada yang masih berumur satu
tahun.
Dalam ibadah haji yang keempat inilah, yaitu pada tahun 1923, Haji
Zainal Musthafa jatuh sakit dan kemudian meninggal. Haji Zainal
Musthafa dimakamkan di Jeddah, sedangkan istri dan anak-anaknya
kembali ke Indonesia. Ketika sampai Indonesia KH. Bisri dan adik-adik
beliau yang belia diasuh oleh kakak tirinya KH. Zuhdi. 2
Sepak terjang KH. Bisri Musthofa lain yang juga menjadi sorotan
adalah keberhasilannya dalam bidang politik, dakwah, pendidikan, seni
budaya, ekonomi, dan perdagangan. Beliau juga dikenal sebagai ulama
atau kyai yang memperjuangkan umat dan bangsa Indonesia. KH. Bisri
Musthofa merupakan ulama atau kyai yang unik pada zamannya. Beliau
mempunyai kemampuan yang jarang dimiliki ulama atau kyai pada
umumnya.
Dari pengakuan anak sulung KH. M. Cholil Bisri, sebagai seorang
ayah, KH. Bisri Musthofa mempunyai kemampuan dalam melihat dan
mengarahkan putra-putrinya. Mbah Cholil juga menjelaskan bahwa
ayahnya tidak pernah menuntut anaknya kelak jadi apa nantinya.
Pesan yang diberikan ayahnya pada Mbah Cholil adalah “Orang tidak
perlu jenius tetapi cukup cerdas, kecerdasan itu sudah cukup. Kamu harus
yakin bahwa dengan ilmu segala sesuatu bisa dicapai”. Begitupun dalam
2Muhadi Zainuddin dan Miqdam Makfi “Semangat Kebangsaan Kiai Pesantren:
Analisa Gagasan Dan Spirit Kemerdekaan Kh. Bisri Mustofa Dalam Tafsir Al-Ibriz,”
Prosiding Seminar Nasional seri 8 “Mewujudkan Masyarakat Madani dan Lestari” Seri
8, e-ISBN: 978-602-450-321-5 (September, 2018), 170.
29
memilih pasangan, putra-putrinya hanya diberi pesan agar mencari
pasangan yang bisa diajak berjuang.3
B. Pendidikan KH. Bisri Musthofa
Sejak kecil Mashadi atau lebih akrab dikenal Mbah Bisri, telah
memperlihatkan kecerdasan yang sangat luar biasa. Di masa kecilnya,
Mbah Bisri dibimbing oleh kedua orang tuanya mengenai dasar-dasar
pendidikan Islam. Setelah ayahnya wafat Mbah Bisri mengembara untuk
mencari ilmu dari pesantren satu ke pesantren lain. Sebelum mengenal
pesantren, pasca sepeninggal ayahnya, tanggung jawab keluaga Mbah
Bisri, berganti kepada kakak tirinya yaitu, H. Zuhdi.4
KH. Bisri Musthofa memulai pergumulan intelektualnya disekolah
Ongko Loro, kemudian nyantri di pesantren Kajen, Pesantren Kasingan
Rembang dan puncaknya di Mekkah al-Munawwarah. Ia belajar membaca
kitab suci Al-Qur’an dan menulis arab kepada KH. Khalil sawangan dan
H. Zuhdi. Setelah lulus dari sekolah jawa, ia melanjutkan belajar ilmu
agama Islam di Pondok Pesantren Kasingan Rembang yang diasuh KH.
Khalil. Ia pulang seminggu sekali kerumahnya setiap seminggu sekali
untuk mengambil bekal. Hal ini berjalan selama beberapa tahun namun
hasilnya kurang memuaskan.
Pada tahun 1930, ia balik ke Pondok Pesantren Kasingan. Pada kali
kedua ini ia di bimbing oleh Kiai Suja’i mengkaji kitab Alfiyah ibn al-
Malik. Satu tahun kemudian ia belajar kitab Fath al-Mu’in (berisi fiqih
atau hukum islam). Setelah ia faham betul terhadap dua kitab tersebut, ia
belajar kitab-kitab lainnya, diantaranya : Tafsir Jalalain, Tafsir Baidhlawi,
Tafsir Munir, Tafsir Al-Mannar, Tafsir Al-Maraghi, Fath al Wahab,
3Muh. Audi Yuni Mabruri “Kearifan Lokal Dalam Kitab Al-Ibriz Li Ma’rifah
Tafsir Al-Qur’an Al-‘Aziz Karya Kh. Bisri Mustofa” (Skripsi S1., Institut Agama Islam
Negeri Tulungagung, 2018), 13. 4Muh. Audi Yuni Mabruri “Kearifan Lokal Dalam Kitab Al-Ibriz,”, 16.
30
Iqna’, Jam’ul Jawami’, Uqud al-Juman, Kitab Hadist Shahih Muslm,
Shahih Bukhari, Lathaiful Irsyad, Sullam al-Muawanah, Nuhbah al-Fikr
dan lain sebagainya.5 Setelah itu KH. Bisri Musthofa mulai mengajar dan
mendidik para santri-santri, terlebih ketika ia ditinggal wafat oleh
mertuanya (KH. Khalil) pada tahun 1939 M.
KH. Bisri Musthofa juga dikenal sebagai pribadi yang produktif dalam
menulis, karya-karyanya masih langgeng dipakai hingga saat ini
dibeberapa pesantren, khususnya dipesisir utara jawa tengah. Karya-karya
KH. Bisri pada umumnya erat kaitannya dengan problem keagamaan yang
meliputi: Ilmu tafsir dan tafsir, Ilmu hadis dan hadis, Ilmu Nahwu, Ilmu
Ṣaraf, Syariah atau fikih, Akhlak dan masih banyak lain.
Diantara karya-karyanya, KH. Bisri tidak hanya menggunakan bahasa
Arab Pegon dalam penulisan, namun juga menggunakan bahasa latin dan
juga bahasa Arab. Sepanjang perjalanannya KH Bisri menulis kurang
lebih 176 Karya.6 Tafsīr Al-Ibrīz merupakan karya yang paling
monumental diantara karya-karya KH. Bisri Musthofa.
Berikut Karya-karya KH. Bisri Musthofa yang menarik antara lain:7
1. Tafsīr Al-Ibrīz Lima’rifati Tafsīr Al-Qur’ān Al- ‘Azīz, Menara
Kudus, t.t.
2. Al-Ikṡar/ilmu tafsir, Menara Kudus, t.t.
3. Tarjamah kitab Bulug al-Maram, al-Munawwar, Semarang, t.t.
4. Tarjamah Hadis Arba’in an-Nawawī, Menara Kudus, t.t
5. Islam dan Salat, Menara Kudus, t.t.
6. Islam dan Tauhid al-Munawwar, Semarang, t.t.
5 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, 137. 6Muh. Audi Yuni Mabruri “Kearifan Lokal Dalam Kitab Al-Ibriz,”, 28. 7 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, 142-143.
31
7. Akidah Ahl Sunnah Wa al-Jamā’ah, al-Munawwar, Semarang,
t.t.
8. Al-Baiquniyāh/ ilmu hadis, Menara Kudus, t.t
9.Tarjamahan Syarah alfiyah Ibn al-Malik, al-Munawwar,
Semarang, t.t.
10. Tarjamahan Syarah al-Jurumiyah, Menara Kudus, t.t.
11. Terjemahan Syarah ‘Imriti, Menara Kudus, t.t.
12. Terjemahan Sullam al-Munawwarah, Menara Kudus, t.t.
13. Safinat as-salat, al-Munawwar, Semarang, t.t.
14. Terjemah Kitab Faraid al-Bahiyah, al-Nasyr, Surabaya, t.t.
15. Munyatu az-Zham’an, Menara Kudus, t.t.
16. Lathaif al-Irsyad, al-Munawwar, Semarang, t.t.
17. Al-Nabras, al-Nasyr, Surabaya, t.t.
18. Manasik Haji, Menara Kudus, t.t.
19. Kasykul, al-Nasyr, Surabaya, t.t.
20. Risalah al-Khashah, Menara Kudus, t.t.
21. al-Washaya li al-Aba’ wa al-Bana’, Menara Kudus, t.t.
22. Islam dan Keluarga Berencana, BKKBN Jawa Tengah, 1970.
23. Khutbah Jum’ah, Menara Kudus, t.t.
24. Cara-caranipun Ziyaroh lan Sinten Kemawon Walisongo
Puniko, Menara Kudus, t.t.
25. Al-Ta’liqot al-Mufidah li al-Qasidah al-Munfarijah, Menara
Kudus, t.t.
26. Syair-syair Rajabiyah, Menara Kudus, t.t.
27. Al-Muhahadah wa al-Riyadah, al-Munawwar, Semarang, t.t.
28. Risalah al-ijtihad wa al-Tauhid, al-Munawwar, Semarang, t.t.
32
29. al-Khabibah, Menara Kudus, t.t.
29. Al-Qawaid al-Fiqhiyah, al-Munawwar, Semarang, t.t.
30. Rawihat al-Aqwam fi Azhmi Aqidah al-Awam, Menara Kudus,
t.t.
31. Durar al-Bayan fi Tarjamati Syu’bah al-Imam. Menara Kudus,
t.t.
Koleksi hasil karya KH. Bisri Musthofa yang lengkap terdapat
pada KH. Abdullah Faqih, pengasuh pondok pesantren langitan, Babat-
Tuban, Jawa Timur.
Jika di kelompokkan karya-karya KH. Bisri Musthofa pada umumya di
tujukan pada dua sasaran. Pertama, bagi kalangan santri, yang meliputi
ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu mantiq, dan ilmu balaghah. Kedua, untuk
masyarakat pada umumnya dimana mereka giat mengikuti pengajian di
surau atau langgar.8
Sebagai ulama atau kyai karismatik, pendiri pondok pesantren
Raudhatut Tholibin di Rembang Jawa Tengah. Beliau di masa akhirnya,
ketika satu minggu hendak naik panggung dan berkampanye. Allah
ternyata berkehendak lain. KH. Bisri Musthofa meninggal hari Rabu, 17
Februari 1977 waktu ashar di Rumah Sakit Dr. Karyadi Semarang, beliau
meninggal akibat serangan jantung, tekanan darah tinggi, dan paru-paru.9
C. Pengabdian dan Karir
KH. Bisri Musthofa merupakan sosok yang multi disiplin, orator
ulung, politikus, kiai pesantren sekaligus pengarang yang sangat produktif.
8 Achmad Zaenal Huda, Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah KH. Bisri
Mustofa (Yogyakarta: LKiS, 2003), 73-74. 9 Muh. Audi Yuni Mabruri “Kearifan Lokal Dalam Kitab Al-Ibriz,” 29-30.
33
Beliau juga seorang muballigh yang mampu berbicara tentang berbagai
persoalan: agama, sosial, politik dan sebagainya.
a. Dari Zaman Pra Kemerdekaan sampai Orde Lama (1965 M)
Pada zaman pergerakan kemerdekaan republik indonesia, beliau
bersama-sama dengan para ulama’ lainnya turut serta dalam rangka
memperjuangkan indonesia merdeka. Ia ikut bergabung pada organisasi
Nahdhatul Ulama’ (NU) yang didirikan KH. Hasyim Asy’ari pada tahun
1926 M. Beliau juga turut aktif dalam organisasi ini.
KH. Bisri Musthofa mulai mengajar dan mendidik para santrinya,
terlebih ketika mertuanya (KH. Khalil Kasingan) wafat. Ketika Masyumi
(Majlis Syura Muslimin) berdiri, Ia diangkat juga menjadi ketua Masyumi
daerah Rembang.
Ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, beliau juga turut
ikut dalam tentara Hizbullah untuk mempertahankan kemerdekaan dan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan ketika terjadi pemberontakan
PKI (Partai Komunis Indonesia) di Madiun pada tahun 1948 M, beliau
ikut menumpas dan mengusirnya dari kota rembang. Dan ketika terjadi
agresi yang kedua belanda pada tahun 1949 ia mengungsi ke Sarang,
selama pengungsian itu ia sempat membuat jamu makjun (jamu kuat) dan
dijual kepada masyarakat untuk memenuhi kehidupan sehari-hari.10
b. Dari Zaman Orde Baru sampai Wafat (1966-1977 M)
Pada zaman orde baru, KH. Bisri Musthofa berperan aktif dalam
mengisi pembangunan di berbagai bidang, khususnya yang berkaitan erat
dengan bidang pembangunan mental spiritual keagamaan. Diantaranya
adalah mengajar dan mendidik para santrinya, memberikan pengajian dan
10 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, 139.
34
ceramah keagamaan di berbagai tempat dan menjadi khatib di berbagai
masjid di sekitar kota Rembang.
Pada tahun 1996 M, ia diangkat menjadi anggota MPRS dari unsur
Nahdhatul Ulama’ dan ketika tahun 1971 M, dari hasil pemilihan umum
yang kedua, beliau diangkat menjadi anggota DPR Republik Indonesia
dari Fraksi Nahdhatul Ulama’. Demikian juga dari hasil pemilihan pada
tahun 1971 M, beliau diangkat menjadi anggota DPR Fraksi Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), akan tetapi untuk yang kedua kali nya ini,
beliau menjalaninya hanya beberapa bulan saja. Karena beliau akhirnya
berpulang ke rahmatullah atau wafat pada usia 63 tahun.11
KH. Bisri Musthofa dikenal ‘alim di bidang tafsir Al-Qur’an, karena
beliau berhasil menyusun sebuah karya tafsir sebanyak 30 Juz, yang diberi
nama Tafsīr Al-Ibrīz Lima’rifati Tafsīr Al-Qur’ān Al- ‘Azīz.
D. Gambaran Tafsīr Al-Ibrīz
Tafsīr Al-Ibrīz merupakan karya yang sudah diaminkan oleh banyak
ulama jawa. Sebelum disebar luaskan karya tafsir ini terlebih dahulu di
taftisy (dikoreksi secara mendalam) oleh beberapa ulama’ terkenal, seperti
Al-‘Allamah Al-Hafidz KH. Arwani Amin, Al-Mukarram KH. Abu
‘Umar, Al-Mukarram Al-Hafidz KH. Hisyam, dan Al-Adib Al-Hafidz
KH. Sya’roni Ahmadi. Semuanya nya merupakan ulama kenamaan asal
Jawa Tengah sehingga kitab Tafsīr Al-Ibrīz ini, kandungannya dapat
dipertanggung jawabkan baik secara moral maupun ilmiah.12
KH. Bisri Musthofa tidak menyebutkan mengapa ia memberi nama
kitab tafsirnya dengan Al-Ibrīz, Kata tersebut, jika kita lihat dalam kamus
Al-Munjid berarti emas murni. Mungkinkah KH. Bisri berharap kitab
11 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, 141. 12 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, 145.
35
Tafsīr Al-Ibrīz ini menjadi emas murni yang tak lekang oleh waktu? Yang
jelas kitab al-ibriz ini sejak dikarangnya masih akrab dengan masyarakat
pesisir jawa hingga saat kini.13
Tidak disebutkan secara eksplisit mengenai alasan penulisan karya
tafsir ini. Melihat kondisi sosial keagamaan pada saat itu memeng
menunjukan bahwa umat muslim khususnya di Jawa masih kesulitan
dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an. Oleh karena itu KH. Bisri
Musthofa mencoba berkhidmat dan berjuang untuk memahamkan al-
Qur’an kepada masyarakat.
Maka di tuliskanlah terjemahan sekaligus tafsir al-Qur’an dengan
menggunakan bahasa Jawa. Bahasa Jawa yang digunakan pun bahasa yang
menjadi khas pesantren, yaitu dengan menggunakan Jawa Pegon.
Karya Tafsir 30 Juz ini oleh Howard Federspiel tidak disebutkan dalam
bukunya Kajian al-Qur’an di Indonesia, yang mengulas sejarah
perkembangan tafsir dan Ilmu Tafsir di Indonesia. Ada asumsi bahwa
Howard tidak menyebutkannya, dikarenakan yang menjadi fokus
kajiannya adalah hanya tafsir yang berbahasa Indonesia. Mau tidak mau
karya KH Bisri tersebut harus tereliminasi dari analisisnya.
Semua karya KH. Bisri yang diterbitkan Menara kudus tidak memakai
sistem royalty. Kata Yahya Staquf Naskah Tafsīr Al-Ibrīz dibayar dengan
biaya haji untuk enam orang, yakni KH. Bisri dan keluarganya. Keluarga
tidak pernah mempersoalkan royalty. Yang penting Tafsīr Al-Ibrīz bisa
menjadi sumbangsih bagi umat islam.14
13 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, 146. 14 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, 146-147.
36
Hal ini sesuai dengan keinginan dan tekat KH. Bisri Musthofa, bahwa
KH. Bisri Musthofa berniat teguh kitab Tafsīr Al-Ibrīz bisa bermanfaat
untuk seluruh kalangan, khususnya masyarakat jawa untuk memahami
kandungan ayat-ayat Al-Qur’an. Hal ini dikatakan dalam Mukaddimah
Tafsīr Al-Ibrīz:
“Dumateng ngersanipun poro mitro muslimin ingkang sami mangertos
tembung daerah jawi, kawulo segahaken terjemah tafsir al-qu’an al-aziz
mawi coro ingkang persojo, enteng serto gampil pemahamnipun”.
KH. Bisri mencoba untuk memberikan alternatif kepada masyarakat
khususnya masyarakat jawa dalam memahami maksud ayat-ayat Al-
Qur’an, beliau ingin menghadirkan penjelasan tafsir yang bahasanya
ringan dan mudah dipahami. Hal ini juga bertujuan agar masyarakat awam
yang belum mengerti bahasa arab agar mudah untuk memahami Al-
Qur’an.
KH. Bisri Musthofa dan sikap kepeduliannya terhadap masyrakat ini
juga terbukti dengan aktifnya beliau dalam pendidikan. Beliau merupakan
pendiri pondok pesantren Raudhatut Thalibin yang sampai saat ini pondok
pesantren tersebut santrinya ribuan dan diasuh oleh penerusnya salah
satunya adalah KH Musthofa Bisri.
1. Metode Penafsiran Tafsīr Al-Ibrīz
Kata metode diambil dari bahasa Yunani, yaitu methodos yang artinya
cara atau jalan. Dalam bahasa Arab, metode dikenal dengan thariqȃh.
metode dalam bahasa Indonesia berarti cara yang teratur dan terfikir baik
untuk mencapai maksud.
Metode yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah metode yang
dikaitkan dengan tafsir yang berarti pengetahuan mengenai cara yang
ditempuh dalam menelaah, membahas dan merefleksikan kesan-kesan Al-
37
Qur’an secara apresiatif berdasarkan kerangka konseptual tertentu
sehingga menghasilkan sebuah karya.15
Dalam hal metode tafsir yang cukup familier adalah Abdul Hay Al-
Farmawi, ia menyebutkan ada empat bentuk tafsir, yaitu metode tahlīlī,
ijmālī, muqāran dan maudhu’ī.16
Metode Tafsir yang digunakan oleh KH. Bisri Musthofa dalam Tafsīr
Al-Ibrīz dapat di golongkan dalam kategori metode tahlili. Hal ini dapat
dilihat ketika beliau mengungkapkan keseluruhan ayat al-Qur’an sesuai
dengan mushaf ustmani. Penafsiran ini menggunakan kalimat yang praktis
dan mudah dipahami. Bahasanya yang tanpa berbelit-belit, membuat
pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an akan segera diserap oleh
pembaca. Maka penafsiran model demikian adalah metode tahlili ijmali.17
2. Sumber Penafsiran Tafsīr Al-Ibrīz
Dalam penulisan Tafsīr Al-Ibrīz ini, KH. Bisri Musthofa mengambil
dari sumber-sumber tafsir terdahulu. Baik klasik maupun kontemporer.
Sebagaimana yang telah ia kemukakan dalam mukaddimahnya:
“Dene bahan-bahanipun terjemah tafsir ingkang kaula segahaken
punika, amboten sanes inggih naming metik saking kitab-kitab tafsir
(tafsir mu’tabarah) kados tafsir jalalain, Tafsir Baidhlowi, Tafsir Khazin
lan sapanunggalipun”.18
Selain dari itu, KH Bisri juga sebelumnya telah banyak membaca dan
menelaah banyak kitab tafsir dan seringkali mendiskusikannya dengan
murid-muridnya. Diantara kitab tersebut adalah kitab-kitab tafsir modern
15 Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah Al-Qur’an: dalam Tafsir Al-
Misbah (Jakarta: Amzah, 2015), 121. 16 Abu Hayy Al-Farmawi, Al-Bidāyah fī Al-Tafsīr Al-Maudhu’ī (Kairo: Dirasah
Manhajiyyah Maudhu’iyyah,1977), 23. 17 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, 148. 18 Bisri Musthofa, Tafsīr Al-Ibrīz Lima’rifati Tafsir Al-Qur’ān Al- ‘Azīz (Kudus:
Menara Kudus, 1960), Mukaddimah.
38
seperti Tafsir Al-Manār karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha,
Tafsīr fī Ẓilāl al-Qur’ān karya Sayyid Quṭb, Tafsir Al-Jawāhir karya
Jauhar Tanthawi, Mahasin At-Ta’wil karya Al-Qasimi, Mazaya Al-Qur’an
karya Abu Su’ud.19
KH. Bisri Musthofa terkadang menampilkan Hadist nabi apa adanya,
dengan artian tidak menyebutkan rangkaian sanadnya. Status hadisnya pun
tidak beliau sebutkan. Jelas hal ini akan menimbukan berbagai pertanyaan
dan sorotan, utamanya terkait hadist-hadist yang disebutkan dalam Tafsīr
Al-Ibrīz ini.
Dalam tafsir ini juga tidak disebutkan secara langsung, penafsiran siapa
yang dinukil. Ada asumsi bahwa KH. Bisri menukil interpretasi ala Ibn
Abbas. Oleh karena itu patut jika dikatakan tafsir ini dalam kategori Tafsir
Bi al-Ma’ṡur.
Tetapi dalam menafsirkan ayat-ayat secara dominan, KH. Bisri
Musthofa banyak menggunakan hasil olah pemikirannya, sehingga dapat
disimpulkan juga bahwa Tafsīr Al-Ibrīz masuk dalam kategori Tafsir bi
al-Ra’yī.20
E. Simbol-Simbol dalam Tafsīr Al-Ibrīz
Tafsīr Al-Ibrīz merupakan tafsir yang unik, di dalamnya menyimpan
nuansa kekhususan tersendiri, salah satunya adalah dengan adanya simbol-
simbol yang dihadirkan oleh KH. Bisri Musthofa dalam Tafsīr Al-Ibrīz.
Ada setidaknya lima simbol yang akan ditemukan ketika membaca Tafsīr
Al-Ibrīz ini, yaitu: Fāidah, Muhimmah, Tanbīh, Qiṣah Dan Ḥikayah. Ada
satu simbol yang jarang yaitu mujarrab.
19 Fejrian Yazdajird Iwanebel, Corak Mistis Dalam Penafsiran KH. Bisri
Musthofa, 30-31. 20 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, 151.
39
Menurut Ali Imron, simbol yang terdapat dalam Tafsīr Al-Ibrīz ini
memiliki makna yang mendalam, ada tiga aspek yaitu makna denotasi,
makna konotasi dan mitos. Makna denotasi merupakan makna asal yang
digambarkan oleh suatu objek, makna konotasi adalah bagaimana
menggambarkan yang menghasilkan sebuah isi. Sedangkan mitos adalah
bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek
tentang realitas atau gejala alam21.
1. Fāidah
Makna denotasi, Kata Fāidah berasal dari bahasa arab dari akar kata
fada-yafidu-faidatan yang mempunyai arti faidah, kegunaan, manfaat,
keuntungan, mengambil, memperoleh. Jika ditarik kedalam bahasa jawa
mempunyai beragam kata, misalnya adhigama; artha; pakena; pahala;
sesuatu yang berfaidah.
Jadi faidah dapat dikatakan sebagai sesuatu yang dapat mendatangkan
kegunaan, manfaat, sesuatu itu menjadi bernilai dan berharga yang
digunakan oleh manusia dalam rangka menjalankan kehidupan.22
Dari makna konotasi, kata Fāidah mengandung dua kemungkinan arti,
yaitu makna positif dan makna negatif. Makna positif dari kata faidatun
adalah memberikan gambaran pada sesuatu bahwa objek baik berupa
materi maupun harta benda yang mempunyai nilai guna, manfaat adanya
hal yang bisa diambil manfaat darinya sehingga membawa seseorang
mendapatkan suatu kebaikan dalam hidupnya. Sedangkan makna
21Ali Imron, “Simbol dalam Tafsir Al-Ibriz li Ma’rifah Al-Qur’an Al-‘Aziz
(Analisis Semiotika Roland Barthes)” (Skripsi S1., Institut Agama Islam Negeri
Tulungagung, 2019), 40. 22 Ali Imron, “Simbol dalam Tafsir Al-Ibriz”, 40-41.
40
negatifnya mengandung makna mencegah dari hal-hal yang dapat
menganggu dan merugikan dalam segala aspek kehidupan.23
Sedangkan, Fāidah dari sisi mitos ada dua kemungkinan, pertama
adalah sebagai simbol kemuliaan, kedua jika dilihat dari sisi negatifnya
mitos faidatun ialah menvegah tindakan yang tidak baik yang dapat
menyebabkan kerugian dalam tatanan kehidupan.
Fāidah disini lebih kepada nilai etis atau norma yang harus dilakukan
manusia untuk mencapai kebahagiaan hidup. Baik dalam hal pendidikan,
sosial ataupun ibadah ketika bisa melaksanakan akan mendapatkan
keuntungan dalam menjalani kehidupan.24
2. Muhimmah
Makna denotasi, kata Muhimmah berasal dari kata ahamma-yuhimmu-
muhimmatun yang berarti mempunyai arti sesuatu yang penting, yang
perlu diperhatikan. Kata muhimmatun masih berkaitan dengan kata
ihtimam yang mempunyai arti tertarik peduli, memelihara, mengurus,
memperhatikan, dan mementingkan.25
Sedangkan makna konotasi dari Muhimmah adalah gambaran sebuah
kekuatan besar yang dimiliki seseorang, simbol bagi orang yang dalam
dirinya tertanam kemauan yang keras, sikap tegar, dan mempunyai jiwa
untuk memelihara serta melindungi. Oleh sebab itu, arah dari Muhimmah
membuat orang seperti singa yang memiliki kedudukan tertinggi dalam
tatanan kehidupan di hutan. Dia memiliki kemuliaan, pandangan
23 Ali Imron, “Simbol dalam Tafsir Al-Ibriz”, 41. 24Ali Imron, “Simbol dalam Tafsir Al-Ibriz”, 42. 25Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997), 1520.
41
terhormat, disegani orang lain, dan dikenal sebagai orang yang selalu
berkemauan keras untuk mencapai tujuan.26
Dalam hal ini simbol Muhimmah itu sesuatu yang penting baik dalam
dari sosial atau dalam hal keilmuan ketika orang dapat menjalankan nilai
muhimmatun orang akan dipandangan bahwa dia memiliki kualitas yang
kuat seperti seekor singa
3. Tanbīh
Makna denotasi, kata tanbihun berasal dari kata nabbaha-yunabbihu-
tanbihun mempunyai arti peringatan, pemberitahuan, sesuatu yang perlu
diperhatian, yang membangkitkan27 Selain itu, nabbaha mempunyai arti
mengingatkan, memberi peringatan, memberi tahu dan menasehati
seseorang dari lupa akan sesuatu.28
Sedangkan makna konotasinya, kata Tanbīh ialah rambu-rambu
peringatan yang berisi pemberitahuan terhadap sesuatu yang dianggap
penting dan diharapkan bisa membangkitkan rasa orang untuk
bersemangat, membuat orang menjadi optimis, dan memiliki pandangan
ke arah masa depan. Simbol Tanbīh merupakan apresiasi nilai-nilai
sebagai dasar, tolak ukur, petunjuk jalan hidup manusia.29
4. Qiṣah
Makna denotasi, kata Qiṣah berasal dari kata Qaṣa yang terdiri dari
huruf qaf dan sad yang mempunyai makna asli sebagai mengikuti sesuatu.
Kata ini meluas, sehingga diartikan sebagai cerita, hikayat. Sedangkan
26Ali Imron, “Simbol dalam Tafsir Al-Ibriz”, 46. 27 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, 1381.
28 Muhammad bin Makram bin ManẒur Al-Ifriki Al-Masri, Lisān al- ‘Arab, Jilid
13 (Bairut: Dar Ṣadir), 546. 29Ali Imron, “Simbol dalam Tafsir Al-Ibriz”, 50.
42
dalam KBBI arti dari kisah adalah cerita, kejadian dalam kehidupan
seseorang.30
Kata Qiṣah memiliki makna konotasi sebagai sebuah riwayat atau
pemberitahuan. Jika benar isi dari sebuah riwayat dan dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya, maka disebut sebagai cerita atau
kabar yang sesuai realita (dapat diterima kebenarannya).
Kata Qiṣah membawa misi dalam cerita agar pendengar dapat
mengikuti runtutan peristiwa dari setiap cerita, seperti halnya cerita nabi
yang masih tertulis dalam hadits yaitu sanad yang bearti sandaran untuk
menyapaikan suatu kabar.31
Sedangkan makna mitos, Qiṣah dapat dikatakan alat yang baik dalam
memberikan arah mengajarkan atau memberi petunjuk atas gagasan yang
memang harus dikomunikasikan dan dibagikan pada manusia yang lain.
Dengan begitu cerita bisa menjadi media dalam sebuah pemikiran baru.
5. Ḥikayah
Makna denotasi, kata Ḥikayah berasal dari kata haka-yahki-hikayatan
yang berarti berbicara, menceritakan, mengikat, mengencangkan, menjadi
kokoh. Sedangkan Ḥikayah sendiri diartikan sebagai hikayat atau cerita32
Sedangkan hikayat dalam KBBI mempunyai arti cerita kuno (roman
klasik) yang berisi hal-hal yang bersifat khayal, sering dihiasi dengan
peperangan yang hebat, dahsyat, serta kesaktian pelakunya; riwayat;
sejarah; kisah.33
30Tim Redaksi Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Indonesia, (Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Jakarta, 2008), 729. 31Ali Imron, “Simbol dalam Tafsir Al-Ibriz”, 54. 32Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, 287. 33Tim Redaksi Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Indonesia, 523.
43
Hampir sama dengan Qiṣah, Ḥikayah menjelaskan mengenai cerita
atau kisah. Akan tetapi, konotasi dari hikayatun lebih mengarah pada
cerita fiksi atau hanya sebuah kisah yang tidak diketahui kejelasan akan
kebenarannya (dongen, legenda, fabel).
Dalam cerita fiksi ada kebenaran yang relatif dan tidak mutlak dan
cerita fiksi umumnya menyasar pada emosi dan perasaan dari pembaca,
dan mengajak pembaca untuk meyakini suatu cerita.34
Adapun makna mitos dari Ḥikayah agar dapat mengambil pesan atau
nilai-nilai dari cerita masa lampau untuk dapat diambil sisi positifnya,
nilai- nilai yang ada yaitu nilai moral, nilai agama, nilai budaya, nilai
sosial, dan nilai pendidikan atau edukasi.
Selain itu dapat dijadikan cerita tersebut sebagai acuan dalam
menjalani kehidupan yang lebih baik dan dapat merangsang pembaca atau
pendengar dalam mengenali, menghayati, menganalisis, dan merumuskan
nilai- nilai kemanusiaan.35
34Ali Imron, “Simbol dalam Tafsir Al-Ibriz”, 58. 35Ali Imron, “Simbol dalam Tafsir Al-Ibriz”, 59.
44
BAB IV
KEARIFAN LOKAL PENAFSIRAN KH. BISRI MUSTHOFA
DALAM TAFSĪR AL-IBRĪZ
A. Penafsiran KH. Bisri Musthofa dalam Qs. Al-Māidah [5] ayat 3
به الل لغ ير ا هل و م ا ن زي ر ال و لح م و الدم ي ت ة ال م ع ل ي ك م نق ة ح ر م ت و ال م و ق و ذ ة و ال م ن خ ت ق سم و او ا ن النص بع ل ىذ بح و م اذ كي ت م م االالسب ع ا ك ل و م او النطي ح ة و ال م ت د ي ة ت س
ا و اخ ش و ن ت ش و ه م ف ل دي نك م ك ف ر و امن الذي ن س ي ى ا ل ي و م فس ق ذلك م م ل ي و م بل ز ل دي ن ك م ل ك م م ل ت في ا ك دي ناف م ناض ط ر م ل ك م ال س ل و ر ضي ت نع م ت ع ل ي ك م و ا ت م ت
غ ف و ر رحي م ف انالل م م ص ةغ ير م ت ج انفل ث “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan
(daging) hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik,
yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang
buas, kecuali yang sempat kamu sembelih. Dan (diharamkan pula) yang
disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan pula) mengundi nasib dengan
azlam (anak panah), (karena) itu suatu perbuatan fasik. Pada hari ini
orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab
itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku. Pada
hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku
cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai
agamamu. Tetapi barangsiapa terpaksa karena lapar, bukan karena ingin
berbuat dosa, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”
Ayat ini merupakan penjelasan mengenai adanya larangan-larangan
Allah Swt, yakni larangan memakan bangkai, darah, daging babi, daging
hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah Swt, binatang yang
tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang diterkam binatang
buas, hewan yang disembelih untuk berhala dan mengundi nasib dengan
anak panah. KH. Bisri Musthofa memulai penafsiran ayat ini dengan
penjelasan sebagai berikut:
“Siro kabeh diharamake mangan batang lan getih, lan daging babi,
lan hayawan kang disembelih ora kerono Allah, lan hayawan kang mati
kateken, lan hayawan kang mati di pentung, lan hayawan kang mati sebab
45
tibo soko duwur, lan hayawan kang mati sebab gondongan, lan haywan
kang kafangan satwo galak, kejobo hayawan kang kacokot satwo galak,
durung mati nuli katututan siro sembelih, lan hayawan kang siro sembelih
kerono beraholo (iyo harom), lan siro kabeh diharomake amrih putusan
kelawan jemparing, koyo mengkono iku fasik. Ingdalem dino iki, wong-
wong kafir podo putus harapan saking agomo siro kabeh, mulo siro kabeh
ojo podo wedi wong-wong kafir, lan wediyo siro kabeh marang insun
(Allah). Dino iki Allah Ta’ala, wus nyempurnaake agomo iro kabeh, lan
nyempurnaake nikmat iro kabeh. Lan Allah Ta’ala ridho agomo Islam
dadi agomo kang podo siro rungkepi. Sing sopo wonge tandang dhorurot,
sahinggo upomo ora inggal mangan, biso ugo mati, deweke diparingake
mangan perkoro kang diharomake mahu, nanging sakedar kanggo nahan
metune nyowo, saktemene Allah Ta’ala iku, agung pangapurane lan agung
welase”1
Dalam ayat ini KH. Bisri Musthofa secara global menjelaskan
tentang adanya larangan-larangan, akan tetapi yang menjadi fokus KH.
Bisri Musthofa dan dituliskannya dalam simbol atau tanda “Faidatun” 2
dalam ayat ini adalah perhatiannya mengenai lafadz“ م ل ب ال ز ا و م ت ق س ت س ا ن ”و
yang artinya “dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan (anak
panah)”.
“(Faidah) Nuprih putusan kelawan jemparing iku katerangane
mengkene: wong arab ing zaman kuno iku podo nyilih jemparing akehe
pitung iji ono ing sandinge beraholo Hubal, atos kekuasaane juru kunci
1 Bisri Musthofa, Tafsīr Al-Ibrīz Lima’rifati Tafsȋr Al-Qur’ān Al- ‘Azīz (Kudus:
Menara Kudus, 1960), 281. Artinya: Diharamkan untukmu memakan bangkai, darah,
hewan babi, hewan yang disembelih bukan karena Allah SWT, hewan yang mati karena
terinjak, terpukul serta hewan yang mati sebab jatuh dari atas. Hewan yang mati
segolongannya sendiri, kecuali hewan yang tergigit segolongannya belum mati dan masih
sempat untuk disembelih, hewan yang disembelih karena berahala. Dan kalian semua
diharamkan mengambil keputusan dengan jemparing (anak panah). Demikian itu fasik.
Hari ini banyak, orang-orang kafir yang putus harapan, dari agama islam. Maka dari itu
jangan takut. Takutlah kalian kepada Allah Swt. Hari ini telah Allah ta’ala sempurnakan
agama kalian, dan telah disempurnakan nikmat kalian, dan Allah Ta’ala ridho agama
islam, menjadi agama kalian. Barangsiapa yang darurat, sehingga jika tidak memakan
sesuatu, bisa meninggal. Seperti itu diperbolehkan makan perkara yang diharamkan tadi,
akan tetapi, hanya sekedarnya saja, untuk menahan keluarnya nyawa. Sesungguhnya
Allah Swt, maha pengampun dan maha pengasih. 2 Dalam Tafsīr Al-Ibrīz terdapat beberapa keterangan tambahan dengan
menggunakan tanda atau simbol. KH. Bisri Musthofa menggunakan tanda atau simbol
tersebut untuk menjelaskan lebih jauh suatu ayat al-Qur’an tertentu.
46
Ka’bah. Zaman iku beraholo Hubal mengkene ono ing jerune Ka’bah, yen
ono womh kang arep lungo, dagang utowo liyane, atowo arep kawin oleh
si anu, wong mau nuli sowan juru kunci nuli ngaturaken hajate, kanti
bayar miturut katentuan kang di tentuake kala iku. Jemparing pitu mau
nuli ditulis, izin, ora izin sak teruse nuli jemparing pitu mau di gepeyok.
Banjur uwong sing kapentingan mau di purih anjupuk siji (mesti iyo
nganggo mantra2). Yen kabeneran yen dijupuk mau, ono tulisan (izin)
tondone yen diizini lungo, utowo nikah, yen kabeneran kang diunus mau
ono tulisan (ora izin), tondone yen ora diizini lungo utowo nikah, koyo
mengkono sakbanjure”.
Artinya: Mengambil keputusan dengan anak panah (jemparing) itu
keterangannya demikian: orang arab zaman kuno itu meminjam 7
jemparing yang berada di samping berhala Hubal, dengan kekuasaan juru
kunci Ka’bah. Zaman itu berhala Hubal bertempat didalam Ka’bah. Ketika
ada orang yang ingin bepergian, berdagang atau kegiatan lainnya, seperti
ingin kawin dengan si fulan, orang tadi akan berkunjung kepada juru kunci
dan menghturkan hajatnya, dengan membayar sesuai dengan ketentuan
yang ditentukan waktu itu.
Jemparing yang tujuh tersebut kemudian ditulis izin, dan tidak izin,
setelah itu jemparing tadi di campur. Langkah selanjutnya orang yang
memiliki kepentingan tadi di minta untuk memilih salah satu (tentu
dengan mantra-mantra yang sudah ditentukan) kalau yang di ambil tadi
bertuliskan (izin) maka pertanda bahwa berpergian, nikah itu diizinkan.
Akan tetapi jika yang diambil bertuliskan (tidak izin), maka itu pertanda
bahwa berpergiannya atau nikahnya tidak diizinkan, begitu juga dengan
kegiatan yang lainnya.
KH. Bisri memaparkan ayat ini dengan penjelasan mengenai anak
panah perjudian yang dilakukan oleh orang arab zaman kuno pada masa
dulu. Anak panah tersebut disebutnya dengan istilah yang khas yaitu
jemparing. Ritual ini merupakan bagian dari meminta petunjuk, semisal
ketika ingin melakukan perjalanan, menikah, berdagang dan aktifitas-
aktifitas lain. Ritual ini seperti ini dilakukan ketika terjadi bimbang dalam
47
mengambil keputusan. Bangsa arab zaman kuno mengenal jemparing
(anak panah) setidaknya ada tiga jenis3:
Pertama, Ada tiga anak panah yang diambil setiap orang untuk
dirinya. Pada anak panah yang pertama tertulis: Kerjakan, pada anak
panah yang kedua tertulis: Jangan Kerjakan, dan pada anak panah yang
ketiga dibiarkan (kosong) tidak ditulis apapun. Setelah itu, orang yang
memiliki hajat meletakkan ketiga anak panah tersebut dalam sebuah
kantung. Lalu memasukkan tangannya ke kantung tersebut untuk
mengambil salah satu anak panah itu. Apabila salah satu dari ketiga anak
panah tersebut keluar, maka dia akan tunduk dan menjatuhkan putusannya
sesuai dengan tulisan yang tertera pada anak panah yang keluar tadi. Tapi
jika yang keluar anak panah yang tidak ada tulisannya, maka
pengundianpun diulangi lagi.
Inilah pengundian yang dilakukan oleh Suraqah bin Malik bin
Ju’tsum, ketika dia mengikuti nabi Muhammad Saw dan Abu Bakar ketika
melakukan hijrah. Perbuatan ini juga dinamakan istiqsām (mengundi
nasib) karena meminta bagian terkait rizki dan hal-hal yang diinginkan,
sebagaimana meminta siraman hujan disebut dengan istisqā.
Kedua, tujuh anak panah yang diletakkan didekat berhala Hubal di
dalam Ka’bah. Setiap tujuh anak panah tersebut dituliskan berbagai
malapetaka yang silih berganti menimpa manusia. Misalnya, ada anak
panah yang berisi tulisan tentang penyerahan harta dalam urusan diyat,
3 Imam Al-Qurṭubi, Tafsīr Al-Jāmi’ li aḥkām Al-Qur’ān, Jilid 6, terj. Ahmad
Rijali Kadir (Jakarta: Pustaka Azzam, 2013), 143.
48
ada anak panah yang bertujuan untuk menyangsikan (menaruh keraguan)4
nasab seseorang.
Undian inilah yang dilakukan oleh Abdul Muthalib terhadap anak-
anaknya, ketika dia bernadzar untuk menyembelih salah seorang dari
mereka jika mereka telah genap berjumlah sepuluh orang. Anak panah ini
dimiliki oleh setiap dukun dan penguasa Arab, seperti yang ada di dalam
Ka’bah di dekat berhala Hubal.
Ketiga, Anak panah perjudian. Jumlahnya ada sepuluh. Tujuh
diantaranya berisi keberuntungan/nasib baik, sedang tiga lainnya tidak
berisi apapun (kosong). Orang arab kuno menggunakan kesepuluh anak
panah ini sebagai sarana perjudian demi bersenang-senang dan bermain-
main. Pada awalnya kalangan cendikiawan Arab menggunakan cara ini
untuk memberikan makanan kepada orang-orang miskin dan tidak punya
pada musim dingin dan sulit untuk bekerja.
KH. Bisri memahami perilaku yang dilakukan oleh orang-orang arab
dengan jemparing (anak panah) dalam mengambil keputusan atau
penentuan nasib tersebut hampir sama dengan yang dilakukan masyarakat
di Indonesia. Hal ini dijelaskan KH. Bisri seperti yang dilakukan
kebanyakan masyarakat indonesia dengan beragam keperluan, seperti
untuk menjaga diri, mencegah adanya maling, melihat keuntungan diri,
4 Bahwa dahulu jika orang-orang Arab menyangsikan nasab seorang di antara
mereka, maka mereka membawanya ke berhala hubal sambil membawa seratus dirham
dan beberapa ekor unta. Mereka kemudian memberikan semua itu kepada penjaga anak
panah yang akan melakukan pengundian terhadapnya. Setelah itu mereka mendekatkan
teman mereka yang hendak diketahui garis keturunannya itu. Mereka berkata “Wahai
tuhan kami, ini adalah fulan bin fulan. Kami menghendaki anu dan anu padanya. Maka
keluarlah kebenaran untuknya, setelah itu penjaga anak panah tadi melakukan
pengundian. Jika yang keluar adalah anak panah yang berisi tujuan “dari kalian” maka
orang itu adalah sekutu, dan jika yang keluar tulisan “dari selain kalian” maka ia adalah
sekutu, dan jika yang keluar adalah “tempelan” maka kedudukannya adalah tidak ada
nasab dan sekutu.
49
dan lain sebagainya. Media yang digunakan pun bisa bervariasi ada yang
menggunakan akik atau keris.
Masyarakat jawa dikenal memiliki jiwa dan karakteristik tersendiri
dalam kehidupannya. Hal ini didasarkan pada pola dan tata aturan
masyarakat jawa dalam bertindak di kehidupan sehari-hari. Adab dan tata
krama yang luhur, kesantunan dalam berkomunikasi, ramah dan tepo sliro
menjadi sesuatu yang melekat pada diri masyarakat jawa. Yang terkenal,
kehidupan orang jawa sangat kental akan tradisi dan budaya leluhur.
Tidak dipungkiri bahwasanya sebagian dari masyarakat jawa masih
kental dengan adat dan tradisi. Seperti ramalan jodoh Jawa, ada salah satu
pasangan hari yang dianggap tabu buat berjodoh. Pasangan hari tersebut
ialah Wage dan Pahing. Sehingga pasangan yang memiliki hari kelahiran
pada kedua hari tersebut, dilarang buat berjodoh dan membina rumah
tangga. Hal ini berdasar karena adanya kepercayaan bahwa manusia yang
lahir pada kedua hari Jawa tersebut memiliki dasar yang saling
berlawanan. Dengan kata lain tidak ada interaksi posistif pada aura yang
terpancar dari orang yang lahir pada hari Wage dan Pahing, oleh karena
itu pasangan tersebut dinamakan pasangan gayeng.5
Ada juga persepsi atau pandangan masyarakat terhadap adanya
primbon6 dan kalender jawa dalam menentukan hari baik untuk berbagai
aktifitas. Seperti untuk mendirikan rumah, masyarakat percaya adanya
penentuan hari baik, mempertimbangkan segala sesuatu yang dianggap
5 Adini Uyun Hikmah, “Larangan perkawinan Adat Gayeng perspektif Hukum
Islam (Studi Kasus di Desa Ngadi Kec. Mojo Kab. Kediri)” (Skripsi S1., Institut Agama
Islam Negeri Tulungagung, 2016), 22. 6 Primbon merupakan sebuah catatan yang dibukukan oleh nenek moyang berisi
tentang ramalan-ramalan tindakan manusia. Dalam primbon terdapat pemaknaan dari
simbol-simbol tradisional yang berkaitan dengan tingkah laku, angan-angan dan mimpi.
Nenek moyang jaman dahulu sangat memperhatikan segala sesuatu dengan teliti. Hal ini
bertujuan agar tidak terjadi hal buruk dikemudian hari. Lihat, 174.
50
baik bahkan sampai memberikan sesaji agar nantinya rumah yang
dibangun tersebut menjadi aman dan sejahtera bagi para penghuninya.
Hari baik didapatkan dari hitungan berdasarkan weton dari orang yang
punya hajad untuk membangun rumah. Didalam buku primbon terdapat
ramalan agar rumah kelak menjadi aman sebagai petanda untuk meminta
pertolongan dengan perhitungan neptu yaitu jumlah hari ditambah dengan
jumlah pasaran dalam kalender jawa, seperti yang dilakukan oleh
masyarakat Jiwan .7
Hal semacam inilah yang menjadi perhatian KH. Bisri Musthofa
dalam tafsirnya:
“Saiki kang dadi perhatiane al-faqir, tindakan2 kang ditindakake
deneng sakwene konco2 dewe, ngepal awak, utowo kauntungan, utowo
ngepal maling, nganggo keris utowo akik. Keris ditumpangake kuku
jempolan kiwo tengen, nuli dijapani, nuli diuneni mengkene: he sang keris
wesi aji, ingsun anjaluk pituduh saking katiyasan iro. Anggon ingsun arep
kawin iki, bagus diterusake opo ora? Yen bagus siro mubengo! Banjur
keris mubeng, srett.. Srettt.. srett...
Lamun akik yo akik e ditaleni nganggo bolah, nuli digantung di
cekeli tangan tengen, nuli dijapani lan nuli diuneni: he sang akik watu aji,
aku anjaluk fituduh saking khasiat iro, opo anggonku nyambut gawe
bakulan iki perayugo dakterusake opo ora? Yen perayoga, siro obaho!
Sang akik kang dijapani mau banjur obah: gandul gandul, gandul giweng,
lan liya2ne pertingkel maneh.”8
Artinya: “Yang menjadi perhatian al-faqir adalah tindakan-tindakan
yang dilakukan oleh saudara-saudara kita, menjaga diri atau mencari
keuntungan, menggunakan keris atau akik. Keris diletakkan di kuku
jempol kanan, kemudian diberi mantra kurang lebih demikian: he sang
keris aji, saya meminta arahan dengan perantara kamu, dengan hajat saya
ingin kawin ini, apakah bagus diteruskan atau tidak? Ketika bagus
diteruskan berputarlah kamu, kemudian keris berputar, srett.. srett.. sret..
7 Berti Fitri dan Novi Triana “Persepsi Masyarakat Desa Jiwan Terhadap
Kalender Jawa Dalam Membangun Rumah,” Jurnal Agastya, Vol 5, No.1 (Januari 2015),
178. 8 Bisri Musthofa, Tafsīr Al-Ibrīz, 281.
51
Ketika perantaranya menggunakan akik, bisa di ikat dengan tali
benang, kemudan digantung dan di pegang, di berikan mantra dan di
katakan: wahai sang akik batu aji, saya meminta arahan dengan khasiat
mu, apakah dengan pekerjaan berdagang ini bagus untuk diteruskan atau
tidak? Jika bagus, maka bergerkalah, kemudian sang akik yang sudah di
kasih mantra tadi bergerak, gandul-gandul dan berputar, dan begitu juga
dengan perkara lain”.
Mengingat semasa hidup KH. Bisri Musthofa, masih kental dengan
nuansa kejawen, Perilaku dan kegiatan seperti ini tentu seringkali
dilakukan. Mayoritas masyarakat masih mempercayai hal yang bersifat
primbon/ramalan, hal tersebut sebab sudah turun menurun dari nenek
moyang, dan merupakan pengalaman orang tua yang tidak ada salahnya
dilaksanakan. Hal ini diturunkan kepada penerusnya agar tidak terjadi lagi
halangan buruk yang menimpa. Oleh karena itu, KH. Bisri membuat
catatan panjang dalam pembahasan ini. Hal ini juga KH. Bisri Musthofa
jelaskan mengenai hukum dalam penggunaan keris dan akik dalam
menentukan nasib.
“Perhatiane al-faqir, opo koyo mengkono iku haram opo ora? al-
faqir ora wani ngarani, jalaran biso dadi haram otowo dadi sebabe murtad.
Iyo iku gumantung marang i’tiqod (kapercayaan). Nanging kang terang,
aturan kang mengkono iku, ono ing agomo Islam ora ono, mulane kito
umat Islam kudu ngati-ngati, ojo nganti kabodan deneng uwong2 kang
maksud e namung golek duwit utowo arto utowo fulus”.9
Artinya: “Perhatian al-faqir, apakah yang demikian itu haram atau
tidak? Al-faqir tidak berani untuk mengatakan, bisa jadi haram bahkan
bisa jadi sebab murtadnya seseorang. Akan tetapi hal tersebut tergantung
dengan kepercayaan masing-masing, yang jelas yang demikian didalam
agama Islam tidak ada. Oleh karena itu kita sebagai umat Islam harus
waspada, jangan sampai terlena dengan orang-orang yang bermaksud
hanya mencari materi.”
9 Bisri Musthofa, Tafsīr Al-Ibrīz, 281.
52
KH. Bisri tidak berani menentukan hukum dari beberapa tradisi
yang dilakukan oleh kebanyakan masyarakat jawa tersebut, akan tetapi ia
mengatakan bahwa hal tersebut bisa menjadikan seseorang menjadi
murtad. Dan hal semacam ini sangat bergantung kepada kepercayaan diri
masing-masing.
B. Penafsiran KH. Bisri Musthofa dalam Qs. Al-Kahfi [18] ayat 22
و ي ق و بل غ ي ب ا ر ج ل ب ه م ك س ادس ه م خ س ة و ي ق و ل و ن ل ب ه م ك رابع ه م ث لث ة ي ق و ل و ن س ل و ن
ق لي ل ال ماي ع ل م ه م تم ا ع ل م بعد رب ق ل ل ب ه م ك من ه م ب ع ة وث ت ارەس مر اءف ل ال في هم دا ن ه م ا ح ت ف تفي هم م ت س ظ اهراول
Artinya: Nanti (ada orang yang akan) mengatakan, ”(Jumlah
mereka) tiga (orang), yang ke empat adalah anjingnya,” dan (yang lain)
mengatakan, “(Jumlah mereka) lima (orang), yang ke enam adalah
anjingnya,” sebagai terkaan terhadap yang gaib; dan (yang lain lagi)
mengatakan, “(Jumlah mereka) tujuh (orang), yang ke delapan adalah
anjingnya.” Katakanlah (Muhammad), “Tuhanku lebih mengetahui jumlah
mereka; tidak ada yang mengetahui (bilangan) mereka kecuali sedikit.”
Karena itu janganlah engkau (Muhammad) berbantah tentang hal mereka,
kecuali perbantahan lahir saja dan jangan engkau menanyakan tentang
mereka (pemuda-pemuda itu) kepada siapa pun”
Ayat ini merupakan cerita dari kisah Ashabul kahfi dalam Al-
Qur’an, yaitu mengenai perbedaan pendapat mengenai jumlah ashabul
kahfi, ada yang mengatakan tiga (empat bersama anjingnya), ada yang
mengatakan lima (enam dengan anjingnya) dan tujuh (delapan dengan
anjingnya). KH. Bisri menafsirkan ayat ini sebagai berikut:
“Wong-wong kang podo ngerembuk kisahe ashabul kahfi podo
suloyo bakal ono golongan kang ngucap yen ashabul kahfi iku wong telu
nomer papate asune (dadi papat karo asune), lan ono golongan kang
ngucap limo, nenem karo asune. Karo-karone iku penyono, nyono-nyono
barang samar, lan ono golongan kang ngucap (yoiku golongan wong-wong
mukmin) pitu, wolu karo asune. Dawuho muhammad, pengeran insun
dewe kang luwih pirso itungane ashabul kahfi, ora ono kang weruh
ashabul kahfi kejobo sitik. Mulo siro ojo ambantah perkoro ashabul kahfi,
kejobo ambantah perkoro kang ora jero-jero. Lan siro ojo anjaluk fatwa
53
bab perkorone ashabul kahfi marang sopo bae sangking ahli kitab
(yahudi)”.10
Masyarakat jawa merupakan masyarakat yang religius dan penuh
simbol. Religiusitas tampak dalam perilaku dan adat istiadat yang ada
pada masyarakat jawa. Berbagai ajaran dan pesan moral sering dinyatakan
dalam bentuk simbol-simbol.11 Dalam perilaku keseharian, masyarakat
jawa masih mempercayai hal-hal yang mistis. Salah satu kepercayaan
masyarakat jawa adalah adanya kepercayaan terhadap ilmu hikmah.
Dalam berbagai faidah dan fungsinya, ilmu hikmah terbagi menjadi
tiga bentuk. Pertama, bentuk tulisan yang lazim disebut wifiq (wafaq) atau
isim, yang seringkali juga disebut azimat, yang berarti keteguhan, karena
diyakini dapat membantu mendapatkan keteguhan setelah berdoa. Isi
azimat bermacam-macam, ada yang berupa ayat Al-Qur’an, asma Allah
Swt, nama nabi, nama malaikat atau nama orang-orang sholeh, termasuk
nama tujuh pemuda yang bersembunyi di Goa Kahfi. Ada pula yang berisi
huruf atau angka-angka Arab dalam rangkaian tertentu.
Kedua, berupa bacaan. Ilmu hikmah berupa bacaan ini banyak
ragamnya, seperti ratib, yaitu rangkaian doan susunan para habib yang
masyhur sebagai waliyullah. Biasanya terdiri dari ayat-ayat Al-Qur’an dan
zikir ma’tsurat, yaitu zikir dari Rasulullah Saw yang di ijazahkan secara
umum kepada umat. Ada pula yang berupa hizib, yaitu doa perlindungan
10 Bisri Musthofa, Tafsīr Al-Ibrīz, 890. Artinya: orang-orang yang
membicarakan cerita ashabul kahfi mereka bertikai, ada yang mengatakan kalau ashabul
kahfi itu ada 3, (empat bersama dengan anjingnya), ada yang mengatakan kalau ashabul
kahfi itu ada lima, enam bersama dengan anjingnya. Keduanya adalah meraba, meraba
hal yang samar. Dan ada yang mengatakan (yaitu orang-orang mukmin) bahwa ashabul
kahfi itu tujuh, delapan dengan anjingnya. Katakanlah! Muhammad! Allah yang
mengetahui hitungan ashabul kahfi, tidak ada yang mengetahui kecuali hanya sedikit.
Maka jangan kalian membantah perkara ashabul kahfi, kecuali membantah perkara yang
tidak mendalam. Dan kalian jangan meminta fatwa perihal ashabul kahfi kepada ahli
kitab yaitu orang yahudi. 11 Syamsul Bakri “Kebudayaan Islam Bercorak Jawa (Adaptasi Islam dalam
Kebudayaan Jawa)”, Jurnal Dinika. Vol 12, No.2 (Juli-Desember 2014): 37.
54
yang berupa hizib yang disusun oleh para auliya’, seperti Hizib milik
Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili dan yang sebagainya, yang diijazahkan
secara khusus.
Adapula yang berupa asma’, yaitu zikir tawasul dengan
menyebutkan asma Allah, para nabi, orang-orang sholeh, seperti jaljalut
sayyidina Ali bin Abi Thalib, atau kutipan bait-bait burdah dan
sebagainya. Adapula ilmu hikmah yang berupa bacaan sholawat.
Ilmu hikmah yang berupa bacaan, ada yang tersusun dalam bahasa
Arab, ada yang berbahasa suryani, yaitu bahasa malaikat. Doa-doa atau
bacaan dalam ilmu hikmah tersebut sering juga disebut ruqyah, yang
secara bahasa berarti mantra atau jampi-jampi.
Bentuk ilmu hikmah yang ketiga, adalah berupa amalan. Yang
biasanya berupa puasa atau shalat sunnah, menyertai pengamalan bacaan
ilmu hikmah ata penulisan wifiq. Puasa sunnah sering diijazahkan adalah
puasa sunnah mutlak. Sedangkan sholat sunnahnya adalah sholat hajat.
Kedua macam ibadah itu diniatkan untuk taqarrub ilallah (mendekatkan
diri kepada Allah) agar hajatnya lekas terkabul.
Dalam penafsiran Qs. Al-Kahfi [18] ayat 22 ini, KH. Bisri Musthofa
mengatakan bahwa nama-nama Ashabul Kahfi mempunyai kekuatan
karomah. Menurutnya nama-nama Ashabul Kahfi jika ditulis dengan
lembaran-lembaran dan kemudian ditempelkan di pintu rumah tersebut
akan memberi kekuatan sehingga bisa terhindar dari kebakaran. Jika nama
tersebut ditulis di harta seperti uang atau pun bentuk harta benda lainnya,
maka kepercayaan yang timbul bahwa harta tersebut tidak akan hilang,
dan jika ditulis di perahu, maka perahu (kapal) tersebut tidak akan bisa
tenggelam.
“Faidatun: ashabul kahfi pitu mau, asma-asmane koyo kang kasebut
ngisor iki: (1) Maksalmina (2) Talmikha (3) Martunus (4) Nainus (5)
Sarayulus (6) Dzutuanus (7) Palyastatyunus, nuli asune aran (8) Qitmir.
55
Sakweneh ulama’ ono kang ngendika: (embuh dasare) anak-anak iro
wulangen ashabul kahfi, jalaran setengah saking khasiate, yen asma-asma
ashabul kahfi iku ditulis ono ing lawange omah, aman saking kobong,
ditulis ono ing bondo, aman soko kemalingan. Ditulis ono ing perahu,
aman soko kerem, kabeh mau bi idznillah ta’ala karomatan li ashabil
kahfi. Sedulur kang kapingin pirso jembare dak aturi mirsani ono ing
jamal tafsir ala al-jalalain juz 3 shahifah nomer 17”.12
Artinya: Ashabul kahfi tujuh tersebut, yang nama-namanya sebagai
berikut (1) Maksalmina (2) Talmikha (3) Martunus (4) Nainus (5)
Sarayulus (6) Dzutuanus (7) Palyastatyunus, kemudian anjingnya yang
bernama (8) Qitmir. Sebagian ulama’ ada yang berfatwa: (belum difahami
dasarnya) bahwa anak-anak kalian ajarkan tentang ashabul kahfi ini,
karena dengan wasilah ini ada khasiat yang bisa dihasilkan, yaitu: ketika
nama-nama ashabul kahfi ditulis dipintu rumah niscaya akan terhindar dari
kebakaran, jika ditulis di harta niscaya akan aman dari kemalingan. Jika
ditulis diperahu, niscaya akan aman dari karam tenggelam. Semua itu bi
idznillah ta’ala karomah dari ashabul kahfi.
Penafsiran KH. Bisri Musthofa tersebut tentu mempunyai fungsi
implikatif yang terkait langsung dengan masyarakat atau audiens yang
pernah dialami oleh KH. Bisri Musthofa. Dalam penafsiran beliau, bisa
digambarkan bagaimana tradisi orang Jawa yang biasa dilakukan seperti
adanya jimat, hizib, dan lain sebagainya. Sebab seperti, lembaran-
lembaran yang ditulisi nama-nama Asahabul Kahfi yang mempunyai
perumpamaan benda yang bisa mempunyai kekuatan lantaran diberi do’a
sehingga mampu menyembuhkan penyakit, atau lembaran-lembaran yang
ditulisi namanama Ashabul Kahfi bisa menjadi kekuatan yang
menghadirkan karomah sehingga mampu terhindar dari bala’ (bencana).
Ilmu-ilmu semacam ini bagi sebagian orang memang terasa asing.
Namun bagi orang-orang yang sudah mengenalnya bukan asing lagi tetapi
justru merupakan suatu ilmu tersendiri yang sangat penting dan berguna
sekali untuk kelengkapan hidup. Ilmu hikmah (rajah) merupakan ilmu
yang sangat populer di negeri Arab. Memang ilmu-ilmu ini bersumber dari
12 Bisri Musthofa, Tafsīr Al-Ibrīz, 281.
56
negeri sana, yang diciptakan oleh para ulama yang ahli dalam ilmu
hikmah.
Ilmu ini digarap dari sumber utamanya, yaitu Al Quran yang
kemudian diolah sedemikian rupa setelah disana-sini diubah, ditambah,
dikurangi atau dilengkapi menurut kepentingan masing-masing yang
bersangkutan. Tentu saja pengolahan itu bukan berarti mengubah Al
Quran, melainkan dia hanya sebagai sumber pengambilan saja yang
diambil intisarinya.13
Rajah sebagian besar terdiri dari sandi-sandi yang berupa huruf
hijaiyah, angka-angka Arab atau cuma berupa garis-garis saja. Meskipun
begitu ilmu ini mengandung kekuatan gaib yang tak kalah hebatnya bila
dibanding dengan ilmu-ilmu yang mengandalkan kekuatan jasmani dan
akal. Sebab cara pembuatannya bukan sekedar ditulis begitu saja, akan
tetapi bersamaan dengan itu para ulama yang membuatnya melakukan
berbagai tirakat seperti berpuasa, shalat malam, berdzikir, mutih
(mencegah makan makanan tertentu) dan lain sebagainya yang
kesemuanya dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah serta
memohon pertolongan kepada-Nya.
Setelah berbagai ritual itu dikerjakan, lalu diadakan tajribah atau uji
coba untuk membuktikan kemujaraban atau keampuhan wifiq, rajah,
azimat yang dibuat itu. Bila benar-benar telah berhasil memiliki
keampuhan menurut kepentingan yang bersangkutan, maka baru dapat
digunakan.
Penggunaan jimat atau rajah banyak ditemui di berbagai
kebudayaan. Khususnya masyarakat Jawa. Dalam dunia ilmu hikmah atau
13 Ahmad Khoiri, “Kepercayaan Terhadap Benda-benda Mistis Masyarakat”
(Studi Terhadap Rajah Jimat Desa Bulusari Kedungwaru Tungangung Kajian
Fenomologi Edmund Husserl” (Skripsi S1., Institut Agama Islam Negeri Tulungagung,
2019), 19.
57
ilmu kebatinan banyak sekali ilmu-ilmu yang dapat kita jumpai, dari ilmu
yang ringan sampai ilmu yang kelas berat. Demikian yang sering terjadi di
Jawa, terkadang ada yang menggunakan objek tertentu seperti, air, batu,
kain, cincin akik, benda-benda pusaka (keris), dan lain sebagainya untuk
menghadirkan kekuatan atau karomah baik menyembuhkan orang sakit
maupun terhindar dari bala’ (bencana), dan lain sebagainya.
C. Penafsiran KH. Bisri Musthofa dalam Qs. An-Naḥl [16] ayat 69
ر ب س ب ل ل كي ف اس الثم رت ك ل من ك لي ش ي ر ج ذ ل لكث ب ط و ن امن م ت لف ر اب
ر و ن ي ت ف كق و مل ي ةل ذلك في انل لناسشف اء في ها ل و ان ه“Kemudian makanlah dari segala (macam) buah-buahan lalu
tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu).” Dari perut
lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di
dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sungguh,
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi
orang yang berpikir”.
KH. Bisri dalam ayat ini, membicarakan tentang bagaimana
kekuasaan Allah Swt, dalam menciptakan kehidupan ini, Allah Swt
menciptakan lebah lalu memerintahkannya untuk memakan berbagai
macam buah, sehingga dari perut lebah-lebah tersebut keluar ramuan
(omben-omben) yaitu madu. Yang hal ini dapat dijadikan ramuan obat
untuk berbagai macam penyakit. KH menafsirkan ayat ini sebagai berikut:
“Banjur tawon didawuhi supoyo mangan saking sekabehane
wernane woh-wohan, lan supoyo nyembah dalane Allah Swt sarono
lapang. (papan kang ambal-ambal kang ora biso ditekani menungso, biso
diombah dining tawon tanpo ngerusak kiiwo tengene. Lan senajan adoh
koyo opo, tawon biso bali marang sarange) saking wetenge tawon-tawon
iku, biso metu omben-omben (yoiku madu) kang bedo-bedo wernane, ono
kang putih, kuning lan abang. Madu mau ngandung obat kanggo tambane
58
menungso, saktemene mengkunu iku cukup kanggo tando ayat kekuasaane
Allah ta’ala tumerap kaum kang gelem mikir”.14
Sebagaimana yang telah diketahui madu " م ت لف ب ط و ن اش ر اب من ي ر ج
"ا ل و ان ه adalah suatu cairan yang keluar dari perut lebah yang mempunyai
warnanya bermacam-macam. Adapun penyebutan istilah madu pada setiap
negara berbeda-beda karena bahasa yang berbeda, seperti dalam bahasa
Arab madu dikenal dengan istilah العسل dan pada penyebutan bahasa
Inggris dikenal dengan istilah honey, walau penyebutannya berbeda
maksudnya tetap sama yakni madu yang dikenal selama ini.
Kemukjizatan Al-Qur’an muncul silih berganti seiring berjalannya
waktu. Setiap hari, ilmu pengetahuan dan berbagai penelitian
memperlihatkan serangkaian fakta mencenangkan dan mukjizat-mukjizat
luar biasa di alam raya nan luas terbentang ini. Demikian pula dengan
lebah, ia adalah makluk yang lemah dan telah ditundukkan Allah Swt
untuk manusia dan hanya mengeluarkan sesuatu yang baik untuk manusia.
Perut lebah bisa menghasilkan sesuatu yang manis, yang manusia
tidak mampu menghasilkan, kecuali hanya didapatkan dengan perantara
lebah. Hal ini menunjukan bahwa manusia tidak mampu menciptakan
madu, jika sekiranya manusia itu melakukan hal yang sama dengan lebah?
Tentu tidak akan bisa. Disinilah kelebihan lebah sebagai penghasil madu
melalui jalan Allah Swt.
14 Bisri Musthofa, Tafsīr Al-Ibrīz, 805. Artinya: Lebah itu diperintahkan supaya
memakan dari berbagai macam buah-buahan, dan supaya menyembah Allah Swt dengan
lapang. Kayu yang tidak bisa didatangi manusia, diubah oleh lebah tanpa merusak kiri
dan kanannya, dan walaupun hal itu jauh, lebah masih bisa kembali kepada sarangnya.
Dan dari perut lebah tersebut akan mengeluarkan ramuan berupa madu, yang bermacam-
macam warnanya. Madu tersebut dapat menjadi obat bagi penyakit manusia,
sesungguhnya hal tersebut merupakan tanda dari kekuasaan Allah bagi orang-orang yang
mau berfikir.
59
Ayat tersebut dalam pandangan KH. Bisri Musthofa dapat kita
saksikan, merupakan konsep pengobatan tradisional. KH. Bisri Musthofa
dalam menafsirkan ayat ini, memahami bahwa ada khasiat khusus yang
telah Allah tetapkan, yaitu yang dihasilkan oleh lebah berupa madu, madu
tersebut bisa menjadi ramuan mujarab, jika dicampur dengan rempah-
rempah atau buah tertentu, bisa menjadi ramuan yang bisa dimanfaatkan
untuk kesembuhan dari berbagai macam penyakit yang diderita manusia.
KH. Bisri Musthofa mengatakan:
Faidatun: Catu anyar yen ditambani madu inshaallah enggal waras.
(Mujarrob) Madu yen dicampur karo peresan jahe keno kanggo tombo
loro weteng. Madu, samin lan endhok pitik, taker podo di adeng karo
srikoyo, biso nambah tenogo muda. Lan liya-liyane maneh.
Artinya: luka baru ketika di obati dengan madu inshaallah akan
sembuh. (Mujarrob) Madu jika di campur dengan perasan jahe bisa di
manfaatkan untuk obat sakit perut. Madu samin dan telur ayam ditakar
sama dan di campur dengan buah srikaya, bisa menjadi ramuan penambah
tenaga. Dan manfaat-manfaat lain.
Kearifan lokal bidang kesehatan merupakan suatu keunggulan dari
bangsa Indonesia yang setiap etnis yang ada memiliki kebudayaan yang
berbeda-beda dan kearifan lokal yang berbeda pula, hal ini disebabkan
oleh sumber daya alam, hewani dan nabati yang tumbuh di setiap daerah
berbeda. Kebudayaan Jawa mempunyai sistem pengetahuan pengobatan
yang sudah ratusan tahun digunakan masyarakat Jawa, yakni sebelum
masuknya teknik-teknik kedokteran modern. Sistem pengobatan
tradisional dalam kenyataannya masih tetap hidup, meskipun banyak
praktik-praktik biomedik kedokteran makin berkembang pesat. Ini
menunjukan bahwa Health Care merupakan fenomena sosial budaya yang
kompleks.15
15Bani Sudardi, “Konsep pengobatan Tradisional Menurut Primbon Jawa”
Jurnal Humaniora, Vol. XIV, No.1 (2002): 14.
60
Sebelum maraknya obat-obatan kimia seperti saat ini, ramuan seperti
yang dikatakan KH. Bisri Musthofa di tanah Indonesia dulu sangat
familiar. Masyarakat banyak menggunakan rempah atau dedaunan dalam
membuat obat untuk segala macam penyakit. Banyak hasil penelitian yang
secara klinis membuktikan bahwa memang ada manfaat positif dari
kandungan yang terdapat di dalam obat-obatan tradisional (obat herbal)
yang dipakai masyarakat.
Dalam konteks penemuan sains madu diketahui sebagai minuman
yang sangat baik bagi kesehatan manusia. Minuman yang manis dan
berbau sedap itu adalah merupakan sumbangan yang tak ternilai dari
sebangsa serangga lebah yang lemah, tetapi sangat besar jiwanya. Lebah
adalah serangga yang hidupnya berkelompok dibawah pimpinan seekor
ratu lebah yang sangat ditaati oleh rakyatnya.
Madu lebah memang diakui berkhasiat dari pandangan Islam sendiri.
Para ilmuwan akhir-akhir ini juga bergerak hatinya secara mendalam akan
khasiat madu secara ilmiah, mereka membuktikan bahwa ternyata madu
memang memiliki efek yang meguntungkan pada kondisi tertentu. Khasiat
madu semakin baik jika bunga yang diisap lebah lebih beragam, karena
kandungan-kandungan yang ada dalam madu mempunyai fungsi yang
berbeda semakin banyak jenis kandungannya makan akan semakin banyak
khasiatnya.16
Beberapa khasiat yang disebutkan oleh KH. Bisri Musthofa adalah
untuk penyembuhan luka. Madu juga bisa untuk obat sakit perut, yaitu
dengan cara mencampurnya dengan perasan jahe. Khasiat lainnya adalah
ketika madu samin dan telur ayam ditakar sama dan di campur dengan
16 Hamid Dayyat, Fenomena Temuan Medis Menurut Al-Qur’an (Jakarta: Qafah
Gemilang, 2006) 232.
61
buah srikaya, menurut KH. Bisri Musthofa dapat menjadi ramuan
penambah tenaga.
Tanaman obat tradisional tidak saja menyembuhkan tetapi juga
berkhasiat dalam mempertahankan kebugaran tubuh dan juga perawatan
tubuh. Tanaman obat tradisional atau biasa disebut “Jamu”, sudah dikenal
di Indonesia khususnya di Jawa sebagai perawatan kesehatan sehari-hari,
maupun sarana pemulihan kesehatan. Penduduk di Indonesia, dengan
kekayaan alam yang melimpah ruah, tanah yang subur, dan aneka
tumbuhan, yang dalam bahasa pewayangan disebut “Gemah Ripah Loh
Jinawi”, menggunakan ramuan (jamu) tidak hanya untuk melengkapi
makan sehat sehari-hari, namun juga digunakan sebagai sarana perawatan
kesehatan, kebugaran dan keawetan tubuh dan penampilan.
Hal ini yang juga ditunjukan oleh KH. Bisri Musthofa didalam
penjelasan tafsirnya, bahwa tanaman lokal seperti madu, jahe, madu
samin, buah srikaya dapat dijadikan obat untuk beberapa penyakit dan
juga selain itu juga dapat digunakan sebagai perawatan tubuh. KH. Bisri
semasa hidupnya juga merupakan seorang pembuat obat, diceritakan
ketika terjadi agresi yang kedua belanda pada tahun 1949 ia mengungsi ke
Sarang, selama pengungsian itu ia sempat membuat jamu makjun (jamu
kuat) dan dijual kepada masyarakat untuk memenuhi kehidupan sehari-
hari.17
17 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia (Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013), 139.
62
D. Penafsiran KH. Bisri Musthofa dalam Qs. Al-Ikḥlāṣ, Qs. Al-
Falaq, dan Qs. An-Nās ي لد ل
الصم د ا لل
ا ح د الل و ل ي و ل و ق ل ه و
له ل د ا ح د ك ف واي ك ن
Artinya: Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha Esa.
Allah tempat meminta segala sesuatu. (Allah) tidak beranak dan tidak pula
diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.”
KH. Bisri Musthofa dalam Tafsīr Al-Ibrīz menuliskan satu kisah
yang berisi anjuran dari Nabi Muhammad Saw, untuk membaca surat Al-
Ikḥlāṣ yang bermanfaat untuk melancarkan rizki atau menjadi penglaris.
Menurut KH. Bisri Musthofa hadist-hadist yang menerangkan keutamaan
surat Al-Ikḥlāṣ sangat banyak, diantaranya adalah yang menceritakan soal
kesulitan mendapatkan rizki dan kesempitan kehidupan.
“Faidatun: Hadist-hadist kang nerangaken fadhilahe surat Al-Ikḥlāṣ
iku akeh banget. Ing antarane hadist-hadist kang akeh iku, ono kang
surasane mengkene: ono siji wong kang matur, madulake rupeke pengupo
jiwo ono marang kanjeng nabi, nuli kanjeng nabi dawuh kang surasane:
seliramu yen melebu omah, menowo ing jero omah ono wong, ulukono
salam, yen ora ono yo uluksalam marang insun, nuli mocoho surat qul
huwa Allah ahad sapisan, wong mau nuli nindaake opo dawuhe kanjeng
nabi, nuli temenan, Allah Ta’ala paring luber marang rizkine, iki hadist
diceritaake saking Sahal bin Sa’ad al-Sa’idi”18
Keagungan suatu surat atau ayat Al-Qur’an sebagaimana
diungkapkan para mufassir, merupakan informasi mengenai Al-Qur’an
yang hidup (living qur’an) yang dipraktekkan semenjak masa nabi.
Praktek tersebut menunjukkan, bahwa Al-Qur’an tidak hanya ditulis,
diperdengarkan, dikaji dan diamalkan ajarannya. Namun juga telah meluas
18 Bisri Musthofa, Tafsīr Al-Ibrīz Jilid 3, 71. Artinya: Hadist-hadist yang
menerangkan fadhilah dari surat Al-Ikḥlāṣ itu banyak, diantaranya adalah cerita seperti
ini: ono siji wong kang matur, mengkonsultasikan kesusahan hidupnya kepada nabi
muhammad saw, kemudian nabi bersabda: “kalian jika masuk rumah, ketika didalam
rumah ada orannya maka hendaknya mengucap salam. Jika tidak ada, tetap salam
kepadaku”. Kemudian baca surat Al-Ikḥlāṣ satu kali. Orang tadi kemudian melakukan
apa yang diperintah nabi, kemudian terkabul, Allah Ta’ala memberikan rizki yang
berlimpah.
63
sebagai media pengobatan, terapi sampai dengan perlindungan diri dari
makhluk halus.
Penafsiran KH. Bisri dalam ayat ini menunjukan khasiat dari
membaca ayat-ayat Al-Qur’an untuk menghindari kesengsaraan hidup,
yaitu dengan membiasakan untuk mengucapkan salam jika hendak masuk
rumah baik ketika ada orang maupun tidak. Jika didalam rumah tersebut
ada orangnya, hendaknya mengucapkan salam kepadanya. Jika didalam
rumah tersebut tidak ada orang, maka tetaplah mengucapkan salam dan
ditujukkan kepada nabi, kemudian dianjurkan untuk membaca surat Al-
Ikḥlāṣ sekali.
Hal ini dilakukan oleh sahabat nabi untuk menghilangkan
kesengsaraan kehidupan (rupeke pengupo jiwo), Para sahabat
mengerjakan apa yang diperintahkan nabi dengan sungguh-sungguh,
sehingga Allah Ta’ala memberikan rizki yang berlebih. ال ف ل ق م اخ ل ق ,ق ل ا ع و ذ بر ب ش ر غ اسقاذ او ق ب و ,من ش ر ش ,من و من الن ف ثتر
ح اسد,فال ع ق د ش ر اذ اح س د و من
Artinya: Katakanlah, “Aku berlindung kepada Tuhan yang
menguasai subuh (fajar), dari kejahatan (makhluk yang) Dia ciptakan, dan
dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, dan dari kejahatan
(perempuan-perempuan) penyihir yang meniup pada buhul-buhul
(talinya), dan dari kejahatan orang yang dengki apabila dia dengki.”
Sejalan dengan itu, praktek pengobatan dan ritual dengan
menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an, khususnya dengan menggunakan surat
Al-Ikḥlāṣ, Al-Falaq dan An-Nās banyak digunakan oleh masyarakat. Hal
ini seperti yang dilakukan masyarakat ponorogo19, yakni untuk
menghilangkan atau menghindari dari gangguan jin atau makhluk halus,
19 Anwar Mujahidin, “Analisis Simbolik Penggunaan Ayat-Ayat Al-Qur’an
sebagai Jimat dalam Kehidupan Masyarakat Ponorogo”, Jurnal Studi Agama dan
Pemikiran Islam, vol 10, no 1 (Juni 2016): 50.
64
dengan menggunakan media air dan dibacakan dengan bilangan tertentu
lalu diusapkan pada anak atau orang yang terkena gangguan.
Hal ini juga yang dijelaskan oleh KH. Bisri dalam menafsirkan Qs.
Surat Al-Falaq, bahwa ayat-ayat Al-Qur’an, khususnya surat Al-Ikḥlāṣ,
Al-Falaq dan An-Nās dapat dijadikan wasilah untuk hal-hal yang bersifat
ghaib, seperti untuk menolak adanya kiriman sihir. Seperti penjelasan
dalam surat Al-Nas:
الهالناس م لكالناس الناس و اسق ل ا ع و ذ بر ب ال و س ش ر من وس ي و س الذي ال ناس
نةو الناسفي ص د و رالن ال من اس
Artinya: Katakanlah, “Aku berlindung kepada Tuhannya manusia,
Raja manusia, sembahan manusia, dari kejahatan (bisikan) setan yang
bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari
(golongan) jin dan manusia.”
Faidatun: Kanjeng nabi nate kedadeyan di sihir wong, sihire pancen
mandi banget, nuli kanjeng nabi kedawuhan maos ta’awud kang kasebut
lan ugo ta’awud ta’awud kang ono ing surat An-Nās.20
Artinya: Nabi Muhammad Saw pada suatu waktu pernah di sihir
seseorang, sihirnya sangat manjur, kemudian nabi difirmankan untuk
membaca ta’awud seperti yang sudah disebutkan, juga ta’awud yang
disebut dalam surat An-Nās.
Ayat-ayat dari surat tertentu Al-Qur’an dipercaya oleh KH. Bisri
memiliki khasiat, termasuk juga adalah ketiga surat terakhir ini, Al-Ikḥlāṣ,
Al-Falaq dan An-Nās. Ketiga surat ini juga biasanya dibacakan pada acara
tahlilan, selametan, yasinan dan berbagai kesempatan lainnya. Surat
tersebut merupakan doa untuk terhindar dari hal-hal negatif.
Di akhir penjelasan ayat KH. Bisri menambahkan, bahwa manusia
harus tegas untuk melawan segala bentuk tipu daya syaithon yaitu dengan
melakukan dzikir dan doa kepada Allah Swt, KH. Bisri menegaskan
20 Bisri Musthofa, Tafsīr Al-Ibrīz Jilid 3, 72.
65
bahwa ketika kita berhenti melakukan dzikir, syaithon akan mendekat dan
ketika kita melakukan dzikir syaithon akan lari:
“Mulo Syaithon iku disifati khonnas, kang ateges maju mundur,
jalaran syaithon iku tansah anggubel atine menungso, nanging yen
menungso dzikir marang pengeran, syaithon nuli melayu, mongko yen
leren dzikire, syaithon nuli angggubel maneh, mongko sakbanjure”21
Artinya: “Maka dari itu syaithon itu disifati khonnas, yang berarti
maju mundur, karena syaithon itu senantiasa menggelut hati manusia,
akan tetapi jika manusia senantiasa dzikir kepada Allah Swt, syaithon
akan lari, akan tetapi jika berhenti dzikirnya, syaiton akan menggelut
kembali, begitulah sebaliknya”
21 Bisri Musthofa, Tafsīr Al-Ibrīz Jilid 3, 73.
66
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Simpulan skripsi ini menunjukkan bahwa Tafsīr Al-Ibrīz karya KH.
Bisri Musthofa banyak mengandung kearifan lokal yang identik dengan
unsur kedaerahannya (Jawa) sebagai bagian dari kontekstualisasi terhadap
pesan ayat al-Qur’an. KH. Bisri Musthofa juga menggunakan simbol-
simbol tertentu dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dalam Tafsīr Al-
Ibrīz. Hal ini bertujuan agar santri-santri dan Masyarakat pada umumnya
dapat memahami al-Qur’an lebih dalam.
Adapun penafsiran ayat-ayat yang menunjukkan adanya kearifan
lokal dalam Kitab al-Ibriz antara lain:
Pertama, Penafsiran KH. Bisri Musthofa dalam Qs. Al-Māidah [5]
ayat 3, KH. Bisri memahami perilaku yang dilakukan oleh orang-orang
arab dengan jemparing (anak panah) dalam tersebut hampir sama dengan
yang dilakukan masyarakat di Indonesia, baik dalam mengambil
keputusan, penentuan nasib, atau dalam perjudian. Hal ini dijelaskan KH.
Bisri seperti yang dilakukan kebanyakan masyarakat indonesia dengan
beragam keperluan, seperti untuk menjaga diri, mencegah adanya maling,
melihat keuntungan diri, dan lain sebagainya. Media yang digunakan pun
bisa bervariasi ada yang menggunakan akik atau keris.
Kedua, Penafsiran KH. Bisri Musthofa dalam Qs. Al-Kahfi [18] ayat
22, KH. Bisri Musthofa mengatakan bahwa nama-nama Ashabul Kahfi
mempunyai kekuatan karomah. Nama-nama Ashabul Kahfi―(1)
Maksalmina (2) Talmikha (3) Martunus (4) Nainus (5) Sarayulus (6)
Dzutuanus (7) Palyastatyunus, kemudian anjingnya yang bernama (8)
Qitmir―jika ditulis dengan lembaran-lembaran dan kemudian
ditempelkan di pintu rumah tersebut akan memberi kekuatan sehingga bisa
67
terhindar dari kebakaran. Jika nama tersebut ditulis di harta seperti uang
atau pun bentuk harta benda lainnya, maka kepercayaan yang timbul
bahwa harta tersebut tidak akan hilang, dan jika ditulis di perahu, maka
perahu (kapal) tersebut tidak akan bisa tenggelam
Ketiga, Penafsiran KH. Bisri Musthofa dalam Qs. An-Naḥl [16] ayat
69, KH. Bisri Musthofa memaparkan konsep pengobatan tradisional,
sebelum mengenal/masuknya teknik-teknik kedokteran modern. Kearifan
lokal bidang kesehatan merupakan suatu keunggulan dari bangsa
Indonesia yang setiap etnis memiliki cara/kebudayaan yang berbeda-beda
dalam meracik obat. Masyarakat Jawa misalnya, mencampurkan madu
dengan perasan jahe untuk mengobati sakit perut, aneka jamu, dan lain
sebagainya. Setiap racikan ramuan senantiasa ada unsur madu.
Keempat, Penafsiran KH. Bisri Musthofa dalam Qs. Al-Ikḥlāṣ, Al-
Falaq, dan An-Nās, dapat mengindari kesengsaraan hidup, menolak
adanya kiriman sihir dan gangguan jin. Misalnya masyarakat Jawa
seringkali mengobati orang yang terkena sihir atau gangguan jin dengan
menggunakan media air dan membaca ketiga surat tersebut pada bilangan
tertentu, kemudian diusapkan pada anak atau orang yang terkena
gangguan sihir atau jin.
B. Saran
Skripsi ini hanya fokus meneliti penafsiran KH. Bisri Musthofa dalam
Tafsir Al-Ibrīz yang mengandung kearifan lokal pada beberapa ayat dan
surah, yaitu Al-Māidah [5] ayat 3, Al-Kahfi [18] ayat 22, An-Naḥl [16]
ayat 69, dan surat Al-Ikḥlāṣ, Al-Falaq, dan An-Nās. Masih banyak
penafsiran KH. Bisri Musthofa dalam Tafsir Al-Ibrīz yang mengandung
kearifan lokal maupun aspek yang lain yang luput dari penelitian penulis
dan dapat memberikan ruang kosong bagi penelitian berikutnya, baik dari
68
segi penafsiran, sejarah, bahasa, aksara, bahkan budaya yang berkembang
pada masa itu yang mempengaruhi lahirnya Kitab Tafsīr Al-Ibrīz.
Penulis sadar penelitian ini memiliki keterbatasan, maka penelitian
lebih lanjut terhadap Tafsir Al-Ibrīz karya KH. Bisri Musthofa maupun
tafsir Nusantara/Indonesia adalah sebuah keniscayaan. Penulis berharap
skripsi ini dapat menambah khazanah keilmuan kajian al-Qur’an,
khususnya literatur tafsir Nusantara/Indonesia.
69
DAFTAR PUSTAKA
Aniq, Muhammad. “Building A Contemporary Tafsir Framework: From
Tafsir Haraki (Movement Tafsir) Towards Tafsir Mujtamai
(Community Tafsir)”. Jurnal International Conference on
University-Community Enggagement, Vol. 3, No.1 (2018).
Anshori, Ulumul Qur’an: Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan.
Editor M Ulinnuha Khusnan, Jakarta: Rajawali Pers, 2016.
Anshori LAL, Tafsir bi al-Ra’yi, Menafsirkan al-Qur’an dengan Ijtihad
(Jakarta, Gaung Persada Press, 2010).
Amir, Mafri. Literatur Tafsir Indonesia. Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013.
‘Aridl (al), Ali Hasan. Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad
Arkom (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994).
Baidan, Nasruddin. Perkembangan Tafsir di Indonesia. Solo: Tiga
Serangkai, 2003. Bakri, Syamsul. “Kebudayaan Islam Bercorak Jawa (Adaptasi Islam
dalam Kebudayaan Jawa)”, Jurnal Dinika. Vol 12, No.2 (Juli-
Desember 2014).
Chakim, Luqman. “Tafsir-Tafsir Ayat Nasionalisme Dalam Tafsir Al-Ibriz
Karya KH Bisri Musthofa.” Skripsi S1., IAIN Walisongo Semarang,
2014.
Dayyat, Hamid. Fenomena Temuan Medis Menurut Al-Qur’an (Jakarta:
Qafah Gemilang, 2006).
Faizin, Hamam. “Corak-Corak Penafsiran Al-Qur’an”. Makalah Program
Doktoral Pengkajian Islam Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta (2016): 2-23.
Farmawi (Al), Abu Hayy. Al-Bidāyah fȋ Al-Tafsīr Al-Maudhu’ī. Kairo:
Dirasah Manhajiyyah Maudhu’iyyah, 1977.
Federspiel, Howard M. Kajian Al-Qur’an di Indonesia, terj. Tajul Arifin.
Bandung: Mizan, 1994.
70
Fitri, Berti & Novi Triana “Persepsi Masyarakat Desa Jiwan Terhadap
Kalender Jawa Dalam Membangun Rumah,” Jurnal Agastya, Vol 5,
No.1 (Januari 2015).
Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga
Ideologi. Yogyakarta: LkiS, 2013.
Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga
Ideologi. Jakarta Selatan: Taruju, 2003.
Hakim, Muhammad Baqir. Ulumul Qur’an, Terj. Nashirul Haq dkk.
Jakarta: Al-Huda, 2012.
Hermawan, Acep. Ulumul Qur’an: Ilmu Untuk Memahami Wahyu,
Bandung: Remaja Posdakarya, 2011.
Hikmah, Adini Uyun. “Larangan perkawinan Adat Gayeng perspektif
Hukum Islam (Studi Kasus di Desa Ngadi Kec. Mojo Kab. Kediri)”
(Skripsi S1., Institut Agama Islam Negeri Tulungagung, 2016).
Huda, Achmad Zaenal. Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah KH. Bisri
Musthofa. Yogyakarta: LKiS, 2003.
Imron, Ali. “Simbol dalam Tafsir Al-Ibriz li Ma’rifah Al-Qur’an Al-‘Aziz
(Analisis Semiotika Roland Barthes)” (Skripsi S1., Institut Agama
Islam Negeri Tulungagung, 2019.
Iwanebel, Fejrian Yazdajird. “Corak Mistis Dalam Penafsiran KH Bisri
Musthofa (Telaah Analitis Tafsir Al-Ibriz).”, Jurnal Rasail. Vol 1,
No.1 (2014): 23-40.
Iyāzi, Muhamad Ali. Al-Mufassirūn Ḥayātuhum wa Manhajuhum,
Taheran: Muassasah al-Thaba’ah wa al-Nasyr Wizarah al-Tsaqafah
wa al-Irsyad al-Islami, 1373H.
Kaltsum, Lilik Ummu & Abd Muqsith Ghazali. Tafsir Ahkam. Ciputat:
UIN Press, 2015.
Khalidi (al), Shalah Abdul Fatah. Pengantar Memahami Tafsir Fi Zilalil
Qur’an Sayyid Qutub. Terj. Salafuddin Abu Sayyid (Surakarta: Era
Intermedia, 2001.
71
Khoiri, Ahmad. “Kepercayaan Terhadap Benda-benda Mistis Masyarakat”
(Studi Terhadap Rajah Jimat Desa Bulusari Kedungwaru
Tungangung Kajian Fenomologi Edmund Husserl” (Skripsi S1.,
Institut Agama Islam Negeri Tulungagung, 2019).
Konjoningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan pembangunan (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2004).
Kusroni. ”Menelisik Sejarah dan Keberagaman Corak Penafsiran Al-
Qur’an”. Jurnal El-Furqania, vol.5, no.2 (Agustus 2017).
Lexy, Moleong J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya,
2014.
Lopa, Baharuddin. Al-Qur’an dan Hak-hak Asasi Manusia. Yogyakarta:
Dana Bhakti Prima Yasa, 1996.
Mabruri, Muh. Audi Yuni. “Kearifan Lokal Dalam Kitab Al-Ibriz Li
Ma’rifah Tafsir Al-Qur’an Al-‘Aziz Karya KH. Bisri Musthofa.”
Skripsi S1., Institut Agama Islam Negeri Tulungagung, 2018.
Mujahidin, Anwar. “Analisis Simbolik Penggunaan Ayat-Ayat Al-Qur’an
sebagai Jimat dalam Kehidupan Masyarakat Ponorogo”, Jurnal
Studi Agama dan Pemikiran Islam, vol 10, no 1 (Juni 2016).
Masri (Al), Muhammad bin Makram bin Manẓur Al-Ifriki. Lisān al-
‘Arab, Bairut: Dar Ṣadir.
Masruhan, Adib. Hadis-Hadis Kebudayan (Jakarta Selatan: Desantara
Utama, 2004).
Munawwar (al), Said Agil Husin, Masykur Hakim. I’jaz Al-Qur’an dan
Metodologi Tafsir. Semarang: Dina Utama Semarang, 1994.
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia,
Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Mustaqim, Abdul. Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an: Studi Aliran-
aliran Tafsir Dari Periode Klasik, Pertengahan Hingga Modern-
Kontemporer. Yoyakarta: Idea Press, 2016.
72
Mustaqim, Abdul. Mazahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran al-
Qur’an Periode Klasik hingga Kontemporer. Yogyakarta: Nun
Pustaka, 2003.
Mustaqim, Abdul. Pergeseran Epistemologi Tafsir, Jakarta: Pustaka
Pelajar, 2008.
Musthofa, Bisri. Tafsīr Al-Ibrīz Lima’rifati Tafsīr Al-Qur’ān Al- ‘Azīz.
Kudus: Menara Kudus, 1960.
, Sejarah Singkat KH. Bisyri Mushtafa. Rembang, Kudus:
Menara Kudus, 1977.
, Misbah Zainul, al-Iklīl fi Ma’ani at-Tanzīl. Surabaya: Toko
Kitab al Ihsan, t.th.
Muwaffaq, Muffid “Orientasi Ilmi Dalam Tafsir Al-Ibriz Karya Bisri
Musthofa.”, Skripsi S1., UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia,
Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Qattan (al), Manna Khalil. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Terj. Auunur
Rafiq. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005.
Qurṭubi (al), Imam. Tafsīr Al-Jāmi’ li aḥkām Al-Qur’ān, Jilid 6, terj. Ahmad
Rijali Kadir (Jakarta: Pustaka Azzam, 2013).
Rahman, Abdur. “Konsep Jihad Menurut KH. Bisri Musthofa Dalam
Tafsȋr Al-Ibrȋz.” Skripsi S1., Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
Kudus, 2016.
Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra
Strukturalis Hingga Poststrukturalis Prespektif Wacana Naratif
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011).
Roifa, Rifa, Rosihon Anwar & Dadang Darmawan “Perkembangan Tafsir
Di Indonesia (Pra Kemerdekaan 1900-1945).” Al-Bayan: Jurnal
Studi Al-Qur‟an dan Tafsir 2, 1 (Juni 2017): 21-36.
73
Rokhmad, Abu “Telaah Karakteristik Tafsir Arab Pegon Al-Ibriz.” Jurnal
Analisa, vol XVIII, no 1 (Januari-Juni 2011): 27-38.
Saadah, Muizzatus. “Kearifan lokal dalam Tafsir Al-Azhar (Studi dalam
Surat Al Baqarah)” (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri
Walisongo, 2019).
Said, Hasani Ahmad, Studi Islam I: Kajian Islam Kontemporer. Jakarta:
Rajawali Pers, 2016.
Said, Hasani Ahmad, Diskursus Munasabah Al-Qur’an Dalam Tafsir Al-
Misbah. Jakarta: Amzah, 2015.
Sedyawati, Edy. Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah
(Jakarta Raja Grafindo Persada: 2006).
Shalih (as), Subhi. Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Terj. Tim Pustaka
Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.
Shihab, M Quraish. Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan dan Aturan yang
Patut Anda Ketahui dalam Memahami Al-Qur’an. Tangerang:
Lentera Hati, 2013.
Shihab, M Quraish. Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 2004.
Sudardi, Bani. “Konsep pengobatan Tradisional Menurut Primbon Jawa”
Jurnal Humaniora, Vol. XIV, No.1 (2002).
Sufyan, Abu. “Deradikalisasi Penafsiran Mufassir Manhaj Haraki
Terhadap Ayat-Ayat Qital (Analisis Penafsiran Sayyid Qutb
dengan Teori Naskh Mahmud Muhammad Taha).” Skripsi 1.,
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2018.
Sunyoto, Agus. Atlas Walisongo: (Depok: Pustaka Imam, 2016).
Suyuthi, Jalaluddin. Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an. Mesir: Maktabah
Taufiqiyah, 2008.
Syarifah, Habibah. “Metodologi Tafsir Pergerakan Al-Qur’an (Analisis
Perbandingan Penafsiran Manhaj Haraki Sayyid Quthb dan Hamka
74
terhadap Surah Al-Baqarah Ayat 1-29).” Tesis., Universitas Islam
Negeri Walisongo 2016.
Syazwana, Filzah “Corak Penafsiran Kalam Muhammad Yunus dalam
Tafsir Al-Qur’an Al-Karim.” Skripsi S1., Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018.
Syibromalisi, Faizah Ali & Jauhar Azizy. Membahas Kitab Tafsir Klasik-
Modern. Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengembangan UIN
Syarif Hidayatullah, 2012.
Yahya, Muhammad Arif. “Al-Manhaj Al-Haraki dalam penulisan Sayyid
Muhammad Nuh menurut perspektif hadith: Aplikasi dalam isu-isu
semasa gerakan dakwah di Malaysia,” Thesis., University of
Malaya, 2015.
Yahya, Muhammad Arif. “Al-Manhaj Al-Haraki Dalam Penulisan Sayyid
Muhammad Nuh Menurut Perspektif Hadist: Aplikasi Dalam Isu-
Isu Semasa Gerakan Dakwan Di Malaysia”. International Journal
of Islamic Tought, Vol 5 (Juni 2014): 35-44.
ZA, Tabrani. “Menelusuri Metode Pendidikan Dalam Al-Qur’an dengan
Pendekatan Tafsir Maudhu’i” Serambi Tarbawi, Vol.2, No.1
(2014): 22-23.
Zahabi (az), Muhammad Husain. At-Tafsīr wa Al-Mufassirūn. Kairo:
Wahbah, 1995.
Zahabi (az) Muhammad Husain. Ensiklopedia Tafsir, Terj. Nabbani Idris.
Jakarta: Kalam Mulia, 2009.
Zainuddin, Muhadi dan Miqdam Makfi. “Semangat Kebangsaan Kiai
Pesantren: Analisa Gagasan Dan Spirit Kemerdekaan KH. Bisri
Musthofa Dalam Tafsir Al-Ibriz,” Prosiding Seminar Nasional seri
8 “Mewujudkan Masyarakat Madani dan Lestari” Seri 8, e-ISBN:
978-602-450-321-5 (September, 2018), 169-183.
Zarkasyi (az), Muhammad bin Bahadir bin Abdullah. Al-Burhān fī ‘Ulum
Al-Qur’ān, Bairut: Dar al-Makrifah, 1391 H.
Zuhdi, M. Nurdin. Pasarraya Tafsir Indonesia dari kontestasi metodologi
hingga kontektualisasi (Yogyakarta: Kaukaba, 2014).