CR anestesi syok hipovolemik

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Case report

Citation preview

KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU DENGAN SYOK HIPOVOLEMIK GRADE III

Ambarwati MS, Bustomi EC, Nasution SH, Prabowo AY.1)1)Mahasiswa Kedokteran Universitas Lampung

Abstrak

Latar Belakang. Sekitar 16% kematian akibat perdarahan dalam kehamilan dilaporkan disebabkan kehamilan ektopik yang pecah. Syok hipovolemik terjadi akibat berkurangnya volume plasma di intravaskuler. Syok ini dapat terjadi akibat perdarahan hebat, trauma dan dehidrasi berat. Kasus. Ny. N, 29 tahun, dibawa ke RS dengan keluhan nyeri perut bagian bawah disertai keluar darah dari kemaluan sejak 2 hari SMRS. Pasien tidak menstruasi sejak 2 bulan SMRS dan dinyatakan hamil berdasarkan tes kehamilan. Saat di kamar operasi, pasien kompos mentis, tekanan darah 90/50 mmHg, frekuensi nadi 134x/menit, frekuensi pernapasan 26x/menit, suhu 36,0C, BB 65 kg, TB 152 cm, konjungtiva anemis. Pemeriksaan abdomen didapatkan nyeri tekan dan nyeri lepas pada suprapubis. Pemeriksaan ginekologis tampak portio livide, oue tertutup, fluksus (+), darah tidak aktif. Pada vagina toucher didapatkan AP kanan-kiri tegang, nyeri goyang portio (+), cavum douglas menonjol, kuldosintesis (+). Ektremitas teraba dingin, turgor kurang, CRT >2 detik. Pemeriksaan penunjang didapatkan: Hb 5,5 gr/dl, Ht 15%, leukosit 24.500/ul. Pasien didiagnosa Kehamilan Ektopik Terganggu disertai Syok Hipovolemik Grade III dan diobati dengan resusitasi cairan dan laparotomi cito. Simpulan. Prognosisnya dubia ad malam dikarenakan pasien didiagnosis Kehamilan Ektopik Terganggu disertai Syok Hipovolemik Grade III dimana prognosis ditentukan dari ketepatan dan kecepatan terapi.

Kata kunci: kehamilan ektopik terganggu, resusitasi cairan, syok hipovolemik grade III.

PENDAHULUANKomplikasi kehamilan, persalinan dan nifas merupakan masalah kesehatan yang penting, bila tidak ditanggulangi akan menyebabkan angka kematian ibu yang tinggi.Kematian seorang ibu dalam proses reproduksi merupakan tragedi yang mencemaskan (Barus, 1999).World Health organization (2008) melaporkan pada tahun 2005 terdapat 536.000wanita meninggal akibat dari komplikasi kehamilan dan persalinan, dan 400 ibu meninggal per 100.000 kelahiran hidup (Maternal Mortality Ratio). Angka Kematian Ibu (AKI) di negara maju diperkirakan 9 per 100.000 kelahiran hidup dan 450 per 100.000 kelahiran hidup di negara yang berkembang, hal ini berarti 99% dari kematian ibu oleh karena kehamilan dan persalinan berasal dari negara berkembang (WHO, 2008).Jika dilihat dari golongan sebab sakit, kasus obstetrik terbanyak pada tahun 2006 adalah disebabkan penyulit kehamilan, persalinan dan masa nifas lainnya dengan proporsi 47,3 %, diikuti dengan kehamilan yang berakhir abortus dengan proporsi 31,5% (DEPKES RI, 2008). Kehamilan ektopik merupakan salah satu kehamilan yang berakhir abortus, dan sekitar 16 % kematian oleh sebab perdarahan dalam kehamilan dilaporkan disebabkan oleh kehamilan ektopik yang pecah (Chalik, 1998).Kehamilan ektopik terjadi apabila hasil konsepsi berimplantasi, tumbuh dan berkembang di luar endometrium normal. Kehamilan ektopik ini merupakan kehamilan yang berbahaya bagi wanita yang bersangkutan berhubung dengan besarnya kemungkinan terjadi keadaan gawat. Keadaan gawat ini dapat terjadi apabila Kehamilan Ektopik Terganggu (KET) dimana terjadi abortus maupun ruptur tuba. Abortus dan ruptur tuba menimbulkan perdarahan ke dalam kavum abdominalis yang bila cukup banyak dapat menyebabkan hipotensi berat atau syok. Bila tidak atau terlambat mendapat penanganan yang tepat penderita akan meninggal akibat kehilangan darah yang sangat banyak (Chalik, 1998).

Definisi Kehamilan EktopikKehamilan ektopik adalah kehamilan di mana sel telur yang dibuahi berimplantasi dan tumbuh di luar endometrium kavum uterus. Kehamilan ektopik dapat terjadi di luar rahim misalnya dalam tuba, ovarium atau rongga perut, tetapi dapat juga terjadi di dalam rahim di tempat yang luar biasa misalnya dalam cervik, pars intertistialis atau dalam tanduk rudimeter rahim (Wiknjosastro, H., 1999). Kehamilan ektopik terganggu (KET) adalah keadaan di mana timbul gangguan pada kehamilan tersebut sehingga terjadi abortus maupun ruptur yang menyebabkan penurunan keadaan umum pasien (Wiknjosastro, H., 2000).

Klasifikasi Kehamilan EktopikKlasifikasi kehamilan ektopik berdasarkan tempat terjadinya implantasi dari kehamilan ektopik, dapat dibedakan menurut :a. Kehamilan tuba adalah kehamilan ektopik pada setiap bagian dari tuba fallopi. Sebagian besar kehamilan ektopik berlokasi di tuba (95%) (Marpaung, 2007). Konseptus dapat berimplantasi pada ampulla (55%), isthmus (25%), fimbrial (17%), ataupun pada interstisial (2%) dari tuba (Wiknjosastro, H., 2000). Tuba fallopi mempunyai kemampuan untuk berkembang yang terbatas, sehingga sebagian besar akan pecah (ruptur) pada umur kehamilan 35-40 hari (Pritchard, 1991).b. Kehamilan ovarial merupakan bentuk yang jarang (0,5%) dari seluruh kehamilan ektopik dimana sel telur yang dibuahi bernidasi di ovarium (Manuaba, 1999). Meskipun daya akomodasi ovarium terhadap kehamilan lebih besar daripada daya akomodasi tuba, kehamilan ovarium umumnya mengalami ruptur pada tahap awal (Lindarnakis, 1998).c. Kehamilan servikal adalah bentuk dari kehamilan ektopik yang jarang sekali terjadi (Manuaba, 1999). Nidasi terjadi dalam selaput lendir serviks. Dengan tumbuhnya telur, serviks mengembang. Kehamilan serviks jarang melewati usia gestasi 20 minggu sehingga umumnya hasil konsepsi masih kecil dan dievakuasi dengan kuretase (Setiawan, 2008).d. Kehamilan Abdominal merupakan kehamilan yang terjadi satu dalam 15.000 kehamilan, atau kurang dari 0,1% dariseluruh kehamilan ektopik (Manuaba, 1999). Kehamilan Abdominal ada 2 macam (Setiawan, 2008):1. Primer, dimana telur dari awal mengadakan implantasi dalam rongga perut.2. Sekunder, yaitu pembentukan zigot terjadi ditempat yang lain misalnya didalam saluran telur atau ovarium yang selanjutnya berpindah ke dalam rongga abdomen oleh karena terlepas dari tempat asalnya. Hampir semua kasus kehamilan abdominal merupakan kehamilan ektopik sekunder akibat ruptur atau aborsi kehamilan tuba atau ovarium ke dalam rongga abdomen. Walaupun ada kalanya kehamilan abdominal mencapai umur cukup bulan, hal ini jarang terjadi, yang lazim ialah bahwa janin mati sebelum tercapai maturitas (bulan ke 5 atau ke 6) karena pengambilan makanan kurang sempurna.e. Kehamilan Heterotopik adalah kehamilan ektopik yang dapat terjadi bersama dengan kehamilan intrauterin (Satrawinata, 1984). Kehamilan heterotipik ini sangat langka, terjadi satu dalam 17.000-30.000 kehamilan ektopik.f. Kehamilan interstisial yaitu implantasi telur terjadi dalam pars interstitialis tuba. Kehamilan ini juga disebut sebagai kehamilan kornual (kahamilan intrauteri, tetapi implantasi plasentanya di daerah kornu, yang kaya akan pembuluh darah) (Marpaung, 2007).g. Kehamilan intraligamenterKehamilan intraligamenter berasal dari kehamilan ektopik dalam tuba yang pecah. Konseptus yang terjatuh ke dalam ruangan ekstra peritoneal ini apabila lapisan korionnya melekat dengan baik dan memperoleh vaskularisasi di situ fetusnya dapat hidup dan berkembang dan tumbuh membesar. Dengan demikian proses kehamilan ini serupa dengan kehmilan abdominal sekunder karena keduanya berasal dari kehamilan ektopik dalam tuba yang pecah.h. Kehamilan tubouteina merupakan kehamilan yang semula mengadakan implantasi pada tuba pars interstitialis, kemudian mengadakan ekstensi secara perlahan-lahan ke dalam kavum uteri.i. Kehamilan tuboabdominal berasal dari tuba, dimana zigot yang semula mengadakan implantasi di sekitar bagian fimbriae tuba, secara berangsur mengadakan ekstensi ke kavum peritoneal.j. Kehamilan tuboovarial digunakan bila kantung janin sebagian melekat pada tuba dan sebagian pada jaringan ovarium.

Gambar 1. Lokasi kehamilan ektopik

PatofisiologiBeberapa hal dibawah ini ada hubungannya dengan terjadinya kehamilan ektopik:a. Pengaruh faktor mekanikFaktor-faktor mekanis yang menyebabkan kehamilan ektopik antara lain: riwayat operasi tuba, salpingitis, perlekatan tuba akibat operasi non-ginekologis seperti apendektomi, pajanan terhadap diethylstilbestrol, salpingitis isthmica nodosum (penonjolan-penonjolan kecil ke dalam lumen tuba yang menyerupai divertikula), dan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR). Hal-hal tersebut secara umum menyebabkan perlengketan intra- maupun ekstraluminal pada tuba, sehingga menghambat perjalanan zigot menuju kavum uteri. Faktor mekanik lain adalah pernah menderita kehamilan ektopik, pernah mengalami operasi pada saluran telur seperti rekanalisasi atau tubektomi parsial, induksi abortus berulang, tumor yang mengganggu keutuhan saluran telur.b. Pengaruh faktor fungsionalFaktor fungsional yaitu perubahan motilitas tuba yang berhubungan dengan faktor hormonal. Dalam hal ini gerakan peristaltik tuba menjadi lamban, sehingga implantasi zigot terjadi sebelum zigot mencapai kavum uteri. Gangguan motilitas tuba dapat disebabkan oleh perobahan keseimbangan kadar estrogen dan progesteron serum. Dalam hal ini terjadi perubahan jumlah dan afinitas reseptor adrenergik yang terdapat dalam uterus dan otot polos dari saluran telur. Ini berlaku untuk kehamilan ektopik yang terjadi pada akseptor kontrasepsi oral yang mengandung hanya progesteron saja, setelah memakai estrogen dosis tinggi pascaovulasi untuk mencegah kehamilan. Merokok pada waktu terjadi konsepsi dilaporkan meningkatkan insiden kehamilan ektopik yang diperkirakan sebagai akibat perubahan jumlah dan afinitas reseptor adrenergik dalam tuba.c. Kegagalan kontrasepsiSebenarnya insiden sesungguhnya kehamilan ektopik berkurang karena kontrasepsi sendiri mengurangi insidensi kehamilan. Akan tetapi dikalangan para akseptor bisa terjadi kenaikan insiden kehamilan ektopik apabila terjadi kegagalan pada teknik sterilisasi. Alat kontrasepsi dalam rahim selama ini dianggap sebagai penyebab kehamilan ektopik. Namun ternyata hanya AKDR yang mengandung progesteron yang meningkatkan frekuensi kehamilan ektopik. AKDR tanpa progesteron tidak meningkatkan risiko kehamilan ektopik, tetapi bila terjadi kehamilan pada wanita yang menggunakan AKDR, besar kemungkinan kehamilan tersebut adalah kehamilan ektopik.d. Peningkatan afinitas mukosa tubaDalam hal ini terdapat elemen endometrium ektopik yang berdaya meningkatkan implantasi pada tuba.e. Pengaruh proses bayi tabungBeberapa kejadian kehamilan ektopik dilaporkan terjadi pada proses kehamilan yang terjadi dengan bantuan teknik-teknik reproduksi (assisted reproduction). Kehamilan tuba dilaporkan terjadi pada GIFT (gamete intrafallopian transfer), IVF (in vitro fertilization), ovum transfer, dan induksi ovulasi. Induksi ovulasi dengan human pituitary hormone dan hCG dapat menyebabkan kehamilan ektopik bila pada waktu ovulasi terjadi peningkatan pengeluaran estrogen urin melebihi 200 mg sehari.

Gejala dan Gambaran KlinisKehamilan ektopik belum terganggu sulit diketahui, karena biasanya penderita tidak menyampaikan keluhan yang khas. Pada umumnya penderita menunjukkan gejala-gejala seperti pada kehamilan muda yakni mual, pembesaran disertai rasa agak sakit pada payudara yang didahului keterlambatan haid. Disamping gangguan haid, keluhan yang paling sering ialah nyeri di perut bawah yang tidak khas, walaupun kehamilan ektopik belum mengalami ruptur. Kadang-kadang teraba tumor di samping uterus dengan batas yang sukar ditentukan (Wiknjosastro, 1999).Gejala dan tanda kehamilan ektopik terganggu sangat berbeda-beda, dari perdarahan banyak yang tiba-tiba dalam rongga perut sampai terdapatnya gejala yang tidak jelas, sehingga sukar membuat diagnosisnya. Gejala dan tanda bergantung pada lamanya kehamilan ektopik terganggu, abortus atau ruptur tuba, tuanya kehamilan, derajat perdarahan yang terjadi, dan keadaan umum penderita sebelum hamil (Arnolu, 2005). Nyeri abdomen merupakan keluhan utama pada kehamilan ektopik. Nyeri dapat unilateral atau bilateral, pada abdomen bagian bawah, seluruh abdomen, atau hanya di bagian atas abdomen. Umumnya diperkirakan, bahwa nyeri perut yang sangat menyiksa pada suatu ruptur kehamilan ektopik, disebabkan oleh darah yang keluar ke dalam kavum peritoneum. Tetapi karena ternyata terdapat nyeri hebat, meskipun perdarahannya sedikit, dan nyeri yang tidak berat pada perdarahan yang banyak, jelas bahwa darah bukan satu-satunya sebab timbul nyeri. Darah yang banyak dalam kavum peritoneal dapat menyebabkan iritasi peritoneum dan menimbulkan rasa nyeri yang bervariasi. Amenorea atau gangguan haid merupakan tanda yang penting pada kehamilan ektopik. Lamanya amenorea tergantung pada kehidupan janin, sehingga dapat bervariasi. Sebagian penderita tidak mengalami amenorea karena kematian janin terjadi sebelum haid berikutnya.Bercak darah (spotting) atau perdarahan vaginal merupakan juga tanda yang penting pada kehamilan ektopik terganggu. Hal ini menunjukkan kematian janin, dan berasal dari uteri karena pelepasan desidua. Perdarahan biasanya sedikit, berwarna coklat tua, dan dapat intermiten atau terus-menerus.Pada pemeriksaan dalam ditemukan bahwa usaha menggerakkan serviks uteri menimbulkan rasa nyeri dan kavum Doglas teraba menonjol, berkisar dari diameter 5 sampai 15 cm, dengan konsistensi lunak dan elastis (Pritchard, 1991).

Terapi medikamentosa dan penatalaksanaan bedah Dewasa ini penanganan kehamilan ektopik yang belum terganggu dapat dilakukan secara medis ataupun bedah. Secara medis dengan melakukan injeksi lokal methotrexate (MTX), kalium klorida, glukosa hiperosmosis, prostaglandin, aktimiosin D dan secara bedah dilaksanakan melalui :a. Pembedahan konservatifDimana integritas tuba dipertahankan. Pembedahan konservatif mencakup 2 teknik yang kita kenal sebagai salpingostomi dan salpingotomi. Salpingostomi adalah suatu prosedur untuk mengangkat hasil konsepsi yang berdiameter kurang dari 2 cm dan berlokasi di sepertiga distal tuba fallopii. Pada prosedur ini dibuat insisi linear sepanjang 10-15 mm pada tuba tepat di atas hasil konsepsi, di perbatasan antimesenterik. Setelah insisi hasil konsepsi segera terekspos dan kemudian dikeluarkan dengan hati-hati. Perdarahan yang terjadi umumnya sedikit dan dapat dikendalikan dengan elektrokauter. Insisi kemudian dibiarkan terbuka (tidak dijahit kembali) untuk sembuh per sekundam. Prosedur ini dapat dilakukan dengan laparotomi maupun laparoskopi. Pada dasarnya prosedur salpingotomi sama dengan salpingostomi, kecuali bahwa pada salpingotomi insisi dijahit kembali. Beberapa literatur menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna dalam hal prognosis, patensi dan perlekatan tuba pascaoperatif antara salpingostomi dan salpingotomi.b. Pembedahan radikalDimana salpingektomi dilakukan, salpingektomi diindikasikan pada keadaan-keadaan berikut ini: 1) kehamilan ektopik mengalami ruptur (terganggu), 2) pasien tidak menginginkan fertilitas pascaoperatif, 3) terjadi kegagalan sterilisasi, 4) telah dilakukan rekonstruksi atau manipulasi tuba sebelumnya, 5) pasien meminta dilakukan sterilisasi, 6) perdarahan berlanjut pasca salpingotomi, 7) kehamilan tuba berulang, 8) kehamilan heterotopik, dan 9) massa gestasi berdiameter lebih dari 5 cm.Metode ini lebih dipilih daripada salpingostomi, sebab salpingostomi dapat menyebabkan jaringan parut dan penyempitan lumen pars ismika yang sebenarnya sudah sempit.

Syok HipovolemikSyok hipovolemik merupakan syok yang terjadi akibat berkurangnya volume plasma di intravaskuler (Guyton, 2010). Syok ini dapat terjadi akibat perdarahan hebat (hemoragik), trauma yang menyebabkan perpindahan cairan (ekstravasasi) ke ruang tubuh non fungsional, dan dehidrasi berat oleh berbagai sebab seperti luka bakar dan diare berat (Kolecki, 2013). Kasus-kasus syok hipovolemik yang paing sering ditemukan disebabkan oleh perdarahan sehingga syok hipovolemik dikenal juga dengan syok hemoragik. Perdarahan hebat dapat disebabkan oleh berbagai trauma hebat pada organ-organ tubuh atau fraktur yang yang disertai dengan luka ataupun luka langsung pada pembuluh arteri utama (Pascoe, 2007).Pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis adanya syok hipovolemik tersebut pemeriksaan pengisian dan frekuesnsi nadi, tekanan darah, pengisian kapiler yang dilakukan pada ujung-ujung jari (refiling kapiler), suhu dan turgor kulit (Guyton, 2010). Berdasarkan persentase volume kehilangan darah, syok hipovolemik dapat dibedakan menjadi empat tingkatan atau stadium (George, 2009). Stadium syok dibagi berdasarkan persentase kehilangan darah yaitu 15, 15-30, 30-40, dan >40% (Worthley, 2000). Setiap stadium syok hipovolemik ini dapat dibedakan dengan pemeriksaan klinis tersebut (Armstrong, 2004):1. Stadium-I adalah syok hipovolemik yang terjadi pada kehilangan darah hingga maksimal 15% dari total volume darah. Pada stadium ini tubuh mengkompensasi dengan dengan vasokontriksi perifer sehingga terjadi penurunan refiling kapiler. Pada saat ini pasien juga menjadi sedkit cemas atau gelisah, namun tekanan darah dan tekanan nadi rata-rata, frekuensi nadi dan nafas masih dalam kedaan normal.2. Stadium-II adalah syok hipovolemik jika terjadi perdarahan sekitar 15-30%. Pada stadium ini vasokontriksi arteri tidak lagi mampu mengkompensasi fungsi kardiosirkulasi, sehingga terjadi takikardi, penurunan tekanan darah terutama sistolik dan tekanan nadi, refiling kapiler yang melambat, peningkatan frekuensi nafas dan pasien menjadi lebih cemas. 3. Stadium-III bila terjadi perdarahan sebanyak 30-40%. Gejala-gejala yang muncul pada stadium-II menjadi semakin berat. Frekuensi nadi terus meningkat hingga diatas 120 kali permenit, peningkatan frekuensi nafas hingga diatas 30 kali permenit, tekanan nadi dan tekanan darah sistolik sangat menurun, refiling kapiler yang sangat lambat.4. Stadium-IV adalah syok hipovolemik pada kehilangan darah lebih dari 40%. Pada saat ini takikardi lebih dari 140 kali permenit dengan pengisian lemah sampai tidak teraba, dengan gejala-gejala klinis pada stadium-III terus memburuk. Kehilangan volume sirkulasi lebih dari 40% menyebabkan terjadinya hipotensi berat, tekanan nadi semakin kecil dan disertai dengan penurunan kesadaran atau letargik.

Selengkapnya stadium dan tanda-tanda klinis pada syok hemoragik dapat dilihat pada tabel-1.

Sumber : George, 2009; Guyton, 2010; Armstrong, 2004

Prinsip Penatalaksanaan Pada Syok HipovolemikPenatalaksanaan syok hipovolemik meliputi mengembalikan tanda-tanda vital dan hemodinamik kepada kondisi dalam batas normal. Selanjutnya kondisi tersebut dipertahankan dan dijaga agar tetap pada kondisi satabil. Penatalaksanaan syok hipovolemik tersebut yang utama terapi cairan sebagai pengganti cairan tubuh atau darah yang hilang (Kolecki, 2013). Jika ditemukan oleh petugas dokter atau petugas medis, maka penatalaksanaan syok harus dilakukan secara komprehensif yang meliputi penatalaksanaan sebelum dan di tempat pelayanan kesehatan atau rumah sakit (Udeani, 2013).Tiga tujuan penanganan kegawatdaruratan pasien dengan syok hipovolemik antara lain (Kolecki, 2013 dan Udeani, 2013): 1. Memaksimalkan pengantaran oksigen-dilengkapi dengan ventilasi yang adekuat, peningkatan saturasi oksigen darah, dan memperbaiki aliran darah. Jalan napas pasien sebaiknya dibebaskan segera dan stabilisasi jika perlu. Kedalaman dan frekuensi pernapasan, dan juga suara napas, harus diperhatikan. Jika terjadi keadaan patologi (seperti pneumothoraks, hemothoraks, dan flail chest) yang mengganggu pernapasan, harus segera ditangani. Tambahan oksigen dalam jumlah besar dan bantuan ventilator harus diberikan pada semua pasien. Ventilasi tekanan positif yang berlebihan dapat berbahaya pada pasien yang mengalami syok hipovolemik dan sebaiknya dihindari.Sebaiknya dibuat dua jalur intravena berdiameter besar. Hukum Poeseuille mengatakan bahwa aliran berbanding terbalik dengan panjang kateter infus dan berhubungan langsung dengan diameter. Sehingga kateter infus intravena yang ideal adalah pendek dan diameternya lebar; diameter lebih penting daripada panjangnya. Jalur intravena dapat ditempatkan pada vena antecubiti, vena saphena, atau vena tangan, atau pada vena sentralis dengan menggunakan teknik Seldinger. Jika digunakan jalur utama vena sentralis maka digunakan kateter infus berdiameter lebar. Pada anak kurang dari 6 tahun dapat digunakan jalur intraosseus. Faktor yang paling penting dalam melakukannya adalah skill dan pengalaman. Pengadaan infus arteri perlu dipertimbangkan pada pasien dengan perdarahan hebat. Untuk pasien ini, infus arteri akan memonitoring tekanan darah secara berkala dan juga analisa gas darah.Pada jalur intravena, cairan yang pertama digunakan untuk resusitasi adalah kristaloid isotonik, seperti Ringer Laktat atau Saline Normal. Bolus awal 1-2 liter pada orang dewasa (20 ml/kgBB pada pasien anak), dan respon pasien dinilai. Jika tanda vital sudah kembali normal, pasien diawasi agar tetap stabil dan darah pasien perlu dikirim untuk dicocokkan. Jika tanda vital membaik sementara, infus kristaloid dilanjutkan dan dipersiapkan darah yang cocok. Jika perbaikan yang terjadi tidak bermakna atau tidak ada, infus kristaloid harus dilanjutkan, dan darah O diberikan (darah tipe O rhesus (-) harus diberikan kepada pasien wanita usia subur untuk mencegah sensitasi dan komplikasi lanjut). Jika pasien sekarat dan hipotensi berat (syok derajat IV), diberikan cairan kristaloid dan darah tipe O. Pedoman pemberian kristaloid dan darah tidak diatur, terapi yang diberikan harus berdasarkan kondisi pasien.Posisi pasien dapat digunakan untuk memperbaiki sirkulasi; salah satu contohnya menaikkan kedua kaki pasien sementara cairan diberikan. Contoh lain dari posisi yang bermanfaat adalah memiringkan pasien yang sementara hamil dengan trauma kearah kirinya, dengan tujuan memposisikan janin menjauhi vena cava inferior dan meningkatkan sirkulasi. Posisi Trendelenburg tidak dianjurkan untuk pasien dengan hipotensi karena dikhawatirkan terjadi aspirasi. Posisi Trendelenburg juga tidak memperbaiki keadaan kardiopulmonal dan dapat mengganggu pertukaran udara.2. Mengontrol kehilangan darah lebih lanjutKontrol perdarahan tergantung sumber perdarahan dan sering memerlukan intervensi bedah. Pada pasien dengan trauma, perdarahan luar harus diatasi dengan menekan sumber perdarahan secara langsung, perdarahan dalam membutuhkan intervensi bedah. Fraktur tulang panjang ditangani dengan traksi untuk mengurangi kehilangan darah.Pada pasien dengan nadi yang tidak teraba di unit gawat darurat atau awal tibanya, dapat diindikasikan torakotomi emergensi dengan klem menyilang pada aorta diindikasikan untuk menjaga suplai darah ke otak. Tindakan ini hanya bersifat paliatif dan butuh segera dibawa di ruang operasi.Pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal, vasopressin intravena dan H2 bloker telah digunakan. Vasopressin umumnya dihubungkan dengan reaksi negatif, seperti hipertensi, aritmia, gangren, dan iskemia miokard atau splanikus. Oleh karena itu, harus dipertimbangkan untuk penggunaanya secara tetap. H2 Bloker relatif aman, tetapi tidak terlalu menguntungkan. Infus somatostatin dan ocreotide telah menunjukkan adanya pengurangan perdarahan gastrointestinal yang bersumber dari varises dan ulkus peptikum. Obat ini membantu kerja vasopressin tanpa efek samping yang signifikan.Pada pasien dengan perdarahan varises, penggunaan Sengstaken-Blakemore tube dapat dipertimbangkan. Alat ini memiliki balon gaster dan balon esofagus. Balon gaster pertama dikembangkan dan dilanjutkan balon esofagus bila perdarahan berlanjut. Penggunaan selang ini dikaitkan dengan akibat yang buruk, seperti ruptur esofagus, asfiksi, aspirasi, dan ulserasi mukosa. Oleh karena alasan tersebut, penggunaan ini dipertimbangkan hanya sebagai alat sementara pada keadaan yang ekstrim.Pada dasarnya penyebab perdarahan akut pada sistem reproduksi (contohnya kehamilan ektopik, plasenta previa, solusio plasenta, ruptur kista, keguguran) memerlukan intervensi bedah.Konsultasi segera dan penanganan yang tepat adalah kuncinya. Tujuan penanganan kegawatdaruratan adalah untuk menstabilkan keadaan pasien hipovolemik, menentukan penyebab perdarahan, dan menyediakan penanganan yang tepat sesegera mungkin. Jika perlu untuk membawa pasien ke rumah sakit lain, hal ini harus dilakukan segera.Pada pasien trauma, jika petugas unit gawat darurat mengindikasikan telah terjadi cedera yang serius, ahli bedah (tim trauma) harus diberitahukan segera tentang kedatangan pasien. Pada pasien yang berusia 55 tahun dengan nyeri abdomen, sebagai contohnya, ultrasonografi abdomen darurat perlu utnuk mengidentifikasi adanya aneurisma aorta abdominalis sebelum ahli bedahnya diberitahu. Setiap pasien harus dievaluasi ketat karena keterlambatan penanganan yang tepat dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas.3. Resusitasi Cairan.Pasang kanul intravena ukuran besar, lakukan pemeriksaan laboratorium (croosmatch, hemoglobin, hematocrit, thrombosit, elektrolit, creatinin, analisis gas darah dan pH, laktat, parameter koagulasi, transamine, albumin). Nilai kebutuhan oksigen, intubasi, atau ventilasi (PO2 > 60 mmHg dan saturasi oksigen > 90%).Resusitasi cairan dilakukan dengan perbandingan kristaloid dan koloid sebesar 3:1. Bila kehilangan darah>25% maka perlu diberikan eritrosit konsentrat, sementara kehilangan darah > 60% maka perlu juga diberikan fresh frozen plasma (setelah 1 jam pemberian konsentrasi eritrosit atau lebih cepat jika fungsi hati terganggu). Tujuan utama terapi syok hipovolemik adalah penggantian volume sirkulasi darah. Penggantian volume intravascular sangat penting untuk kebutuhan cardiac output dan suplai oksigen ke jaringan. Syok hipovolemik yang disebabkan oleh kehilangan darah dalam jumlah besar sering perlu dilakukan transfusi darah. Adapun indikasi transfusi darah atau komponen darah pada syok hipovolemik yaitu:

Tabel 2. Indikasi transfusi komponen darahIndication for blood component therapy

ComponentIndicationUsual strating dose

Packed RBCReplacement of Oxygen-carrying capacity2-4 units IV

PlateletsThrombocytopenia with bleeding6-10 units IV

Fresh frozen plasmaCoagulopaty 2-6 units IV

CrycoprecipitateCoagulopaty with fibrinogen10-20 units IV

Pemilihan cairan sebaiknya didasarkan atas status hidrasi pasien, konsentrasi elektrolit dan kelainan metabolik yang ada. Berbagai larutan parenteral telah dikembangkan menurut kebutuhan fisiologis berbagai kondisi medis. Terapi cairan intravena atau infus merupakan salah satu aspek terpenting yang menentukan dalam penanganan dan perawatan pasien.Terdapat beberapa jenis cairan resusitasi yaitu cairan koloid, kristaloid dan darah. koloid merupakan cairan dengan tekanan osmotik yang lebih tinggi dibandingkan plasma (cairan hiperonkotik). Hipertonik dan hiperonkotik adalah cairan plasma expander karena kemampuan untuk memindahkan cairan intrselular dan interstisial selama resusitasi dan dengan cepat menggantikan volume plasma (seperti albumin, dextran, dan starch). Cairan kristaloid adalah cairan yang mengandung air, elektrolit dan atau gula dengan berbagai campuran. Cairan ini bisa isotonik, hipotonik, dan hipertonikterhadap cairan plasma. Sedangkan cairan koloid yaitu cairan yang Berat Molekulnya tinggi. (Kolecki, 2013; George; 2009).Pemilihan cairan resusitasi pada syok hipovolemik hingga saat ini masih menjadi perdebatan. Pemberian infus koloid (plasma/albumin) pada syok hipovolemik post operative dapat meningkatkan pengambilan okisgen lebih cepat dibandingkan infus kristaloid. Inisial resusitasi pada syok hipovolemik sering dimulai dengan hypertonic dan isotonic kristaloid yang kemudian dilanjutkan dengan cairan koloid dan infuse eritrosit dan plasma.Resusitasi syok hipovolemik pada luka bakar dimana terjadi kehilangan plasma maka dilakukan resusitasi dengan kombinasi kristaloid dan koloid. Pada kasus diabetes yang tidak terkontrol, diare dan insufisiensi korteks adrenal yang menyebabkan kehilangan cairan plasma dan elektrolit maka cairan resusitasi terpilih adalah cairan kristaloid. Cairan ini dapat mempertahankan volume intravascular, interstisial, dan intraselular. Pembarian transfusi darah diindikasikan pada kasus dengan kehilangan darah >40% atau syok derajat IV. Menurut CPG 2007 resusitasi cairan optimal pada syok hipovolemik yang disebabkan oleh trauma adalah penggunaan darah. Bila transfusi darah tidak tersedia maka penggunaan kristaloid isotonic lebih dianjurkan karena kristaloid menghasilkan peningkatan cardiac output yang dapat diperkirakan dan secara umum didistribusikan ke ekstraselular. Compound Sodium Lactat adalah alternative pilihan yang dianjurkan untuk resusitasi awal pasien hipovolemik.compound sodium lactate mengandung precursor bicarbonate yang ketika dimetabolisme dapat membantu memperbaiki asidosis metabolic. Pemberian cairan ini dihentikan pada pasien dengan gangguan hati. Alternative lain yang dapat diberikan yaitu normal saline (NaCl 0.9%) meskipun pemberiannya dalam dosis besar dapat menyebabkan asidosis metabolic. (Armstrong, 2004; Kolecki, 2013; Pascoe, 2007; Udeani, 2013).

KASUSNy. N, usia 29 tahun, agama Islam, ibu rumah tangga, beralamat di Natar-Lampung Selatan.Pasien datang dengan mengaku sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit (SMRS) tidak menstruasi lagi. Pasien mengecek kehamilan dengan alat tes kehamilan dan hasilnya positif. Pasien mengatakan hari pertama haid terakhir pada tanggal 5 April 2014. Sejak 2 hari SMRS, pasien mengeluh nyeri perut bagi bawah disertai keluar darah dari kemaluan. Sebelum keluhan ini timbul, pasien mengaku sempat diurut bagian perut dikarenakan pasien mengeluh masuk angin. Kemudian pasien pergi ke dokter, namun oleh dokter pasien dinyatakan hanya gangguan pencernaan. Sejak 9 jam SMRS, pasien mengeluh nyeri perut bagian bawah bertambah hebat dan pasien memutuskan pergi ke RS U kemudian langsung dirujuk ke RSUDAM. Riwayat penyakit dahulu disangkal, riwayat alergi obat disangkal, riwayat minum obat penenang disangkal, riwayat operasi disangkal.Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit berat, kesadaran kompos mentis dengan Glasgow Coma Scale (GCS) 15, tekanan darah 110/50 mmHg, frekuensi nadi 120x/menit, frekuensi pernapasan 24x/menit, suhu 36,0C, BB 65 kg, TB 152 cm. Satu jam kemudian tekanan darah 90/50 mmHg, frekuensi nadi 134x/menit, frekuensi pernapasan 26x/menit, suhu 36,0C. Tampak konjungtiva anemis (+/+). Pemeriksaan abdomen didapatkan nyeri tekan dan nyeri lepas pada bagian suprapubis (+). Pemeriksaan ginekologis tampak portio livide, oue tertutup, flour (-), fluksus (+), darah tidak aktif. Pada vagina toucher terdapat mukosa vagina licin, portio lunak, oue tertutup, AP kanan-kiri tegang, nyeri goyang portio (+), cavum douglas menonjol, kuldosintesis (+). Ektremitas superior dan inferior tampak dingin (+/+), turgor kurang, CRT >2 detik.Pemeriksaan penunjang didapatkan: Hb 5,5 gr/dl, Ht 15%, leukosit 24.500 /ul, diff.count0/0/2/84/10/4, trombosit 167.000 /ul, LED 8 mm/jam, masa perdarahan 4, masa pembekuan 12.Pasien didiagnosis dengan Kehamilan Ektopik Terganggu disertai Syok Hipovolemik Grade III.Penatalaksanaan sesuai bidang anestesi pada kasus ini tanpa premedikasi, kemudian dilakukan Induksi dengan Ketamin intravena dimana pemeliharaannya dengan memakai O2 3 liter/menit, N2O 3 liter/menit, Sevoflurane 2 vol%, nafas kendali, dan dilakukan pemulihan dengan cara O2 dinaikkan sampai 8 liter/menit, N2O dimatikan, dan Sevoflurane dimatikan setelah penjahitan luka operasi selesai. Selain itu dilakukan resusitasi cairan, laparotomi cito, evaluasi perdarahan, urin output dan tanda-tanda vital.PEMBAHASANPasien datang dengan keluhan nyeri perut bagi bawah disertai keluar darah dari kemaluan sejak 2 hari SMRS. Sebelum keluhan ini timbul, pasien mengaku sempat diurut bagian perut dikarenakan pasien mengeluh masuk angin. Kemudian pasien pergi ke dokter, namun oleh dokter pasien dinyatakan hanya gangguan pencernaan. Sejak 9 jam SMRS, pasien mengeluh nyeri perut bagian bawah bertambah hebat dan pasien memutuskan pergi ke RS U kemudian langsung dirujuk ke RSUDAM.Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit berat, kesadaran kompos mentis dengan Glasgow Coma Scale (GCS) 15, tekanan darah 110/50 mmHg, frekuensi nadi 120x/menit, frekuensi pernapasan 24x/menit, suhu 36,0C, BB 65 kg, TB 152 cm. Satu jam kemudian tekanan darah menurun menjadi 90/50 mmHg, frekuensi nadi 134x/menit, frekuensi pernapasan 26x/menit, suhu 36,0C. Tampak konjungtiva anemis (+/+). Pemeriksaan abdomen didapatkan nyeri tekan dan nyeri lepas pada bagian suprapubis (+). Pemeriksaan ginekologis tampak portio livide, oue tertutup, luksus (+), darah tidak aktif. Pada vagina toucher didapatkan nyeri goyang portio (+), cavum douglas menonjol dan dilakukan kuldosintesis (+). Ektremitas superior dan inferior tampak dingin (+/+), turgor kurang, CRT >2 detik. Pemeriksaan penunjang didapatkan: Hb 5,5 gr/dl, Ht 15 %, leukosit 24.500 /ul.Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan ginekologis serta pemeriksaan penunjang lainnya, disimpulkan pasien mengalami kehamilan ektopik terganggu disertai syok hipovolemik grade III.Nyeri abdomen merupakan keluhan utama pada kehamilan ektopik terganggu. Nyeri dapat unilateral atau bilateral, pada abdomen bagian bawah, seluruh abdomen, atau hanya di bagian atas abdomen. Amenorea atau gangguan haid merupakan tanda yang penting pada kehamilan ektopik. Bercak darah (spotting) atau perdarahan vaginal merupakan juga tanda yang penting pada kehamilan ektopik terganggu. Perdarahan biasanya sedikit, berwarna coklat tua, dan dapat intermiten atau terus menerus. Pada pemeriksaan dalam ditemukan bahwa usaha menggerakkan serviks uteri menimbulkan rasa nyeri dan kavum Doglas teraba menonjol, berkisar dari diameter 5 sampai 15 cm, dengan konsistensi lunak dan elastis (Pritchard, 1991).Syok hipovolemik grade III terjadi bila perdarahan sebanyak 30-40%. Gejala-gejala yang muncul pada stadium-II menjadi semakin berat. Frekuensi nadi terus meningkat hingga diatas 120 kali permenit, peningkatan frekuensi nafas hingga diatas 30 kali permenit, tekanan nadi dan tekanan darah sistolik sangat menurun, refiling kapiler yang sangat lambat (George, 2009; Guyton, 2010; Armstrong, 2004; Worthley, 2000).Untuk pengobatan pada pasien ini yang harus dilakukan pertama kali adalah resisutasi cairan. Diperkirakan perdarahan yang dialami oleh pasien ini sekitar 30-40% dari EBV. Sebelumnya harus dilakukan pemasangan infus intravena dua jalur dan pemasangan urine kateter. Pada pasien sebelum tindakan anastesi dilakukan, kita menangani syok hipovolemi yang dialami oleh pasien ini dimana tekanan darah pada saat sebelum operasi 80/50 mmHg dengan memasukan cairan RL dan Plasma ekspander (ekspafusin) sampai mencapai tekanan darah yang diinginkan, setelah memasukan RL 1000 ml dan plasma ekspander 500 ml tekanan darah pasien mengalami kenaikan sebasar 100/70, tindakan ini dilakukan sebelum memulai tindakan anastesi karena obat-obat yang digunakan induksi bersifat mendepresi system kardiovaskular. Setelah syok teratasi, diteruskan dengan tindakan anastesi. Berdasarkan literatur pilihan utama cairan pengganti adalah ringer laktat atau pilihan kedua NaCl 0,9%. Pemberian awal adalah dengan tetesan cepat sekitar 20 ml/KgBB pada anak atau sekitar 1-2 liter pada orang dewasa. Pemberian cairan terus dilanjutkan bersamaan dengan pemantauan tanda vital dan hemodinamiknya (Kolecki, 2013; George; 2009). Terapi cairan yang diberikan pada pasien ini sudah benar. Pasien diberikan cairan berupa kristaloid, koloid, dan WB. Kristaloid memiliki berat molekul yang lebih kecil dengan distribusi lebih cepat sehingga lebih cepat pula mengisi dan meninggalkan vascular menuju intertisial. Oleh karena itu terapi cairan perlu dikombinasikan dengan koloid. Molekul-molekul koloid lebih besar, dapat bertahan lebih lama di dalam vascular dibanding kristaloid sehingga dapat lebih lama pula mempertahankan volume intravaskular. Penurunan nilai Hb dimana pada pasien ini nilainya 5,5 gr/dl harus dikoreksi segera dengan tranfusi darah. Indikasi transfusi pada pasien ini adalah karena perdarahan yang dialami selama operasi > 20 % dari estimasi volume darah. Pada pasien ini didapatkan estimasi volume darah adalah = 75 cc/kg x 65 kg = 4875 cc dimana perdarahan yang terjadi selama operasi adalah 1500 cc yaitu > 20% dari estimasi volume darah pasien. Kebutuhan transfusi darah pada pasien ini adalah sebanyak 5 kantung whole blood (@ kantung 350 cc) berdasarkan hitung-hitungan pada pasien ini yaitu (10-5,5) x 65 x 6 = 1755 cc (Jumlah kebutuhan darah = Hb x BB x 6). WBC (whole blood cell) merupakan darah lengkap yang berisi sel darah merah, leukosit, trombosit, dan plasma. Indikasi pemberian WBC adalah untuk meningkatkan jumlah sel darah merah dan volume plasma dalam waktu yang bersamaan, misalnya pada perdarahan massif dengan kehilangan lebih dari 25-30% volume darah total. Tindakan resusitasi cairan ini diikuti dengan tindakan laparotomi cito.Teknik anestesi yang dipilih adalah anestesi umum dengan endotracheal tube karena diperkirakan operasi akan berlangsung lebih dari 60 menit & agar lebih mudah mengontrol pernapasan diberikan muscle relaxan karena obat ini sangat membantu dalam pelaksanaan anestesi umum dan mengurangi cedera tindakan laringoskopi dan intubasi trakea, serta pelompuh otot jangka panjang berupa Atracurium. Obat golongan ini menghambat transmisi neuromuscular sehingga menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Menurut mekanisme kerjanya, obat ini dibagi menjadi 2 golongan yaitu obat penghambat secara depolarisasi resisten, misalnya suksinil kolin, dan obat penghambat kompetitif atau nondepolarisasi, misal kurarin. Dalam anestesi umum, obat ini memudahkan dan mengurangi cedera tindakan laringoskopi dan intubasi trakea, serta memberi relaksasi otot yang dibutuhkan dalam pembedahan dan ventilasi kendali. Atracurium merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relatif baru yang mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman Leontice leontopetaltum. Beberapa keunggulan atrakurium dibandingkan dengan obat terdahulu antara lain adalah metabolisme terjadi dalam darah (plasma) terutama melalui suatu reaksi kimia unik yang disebut reaksi kimia hoffman. Reaksi ini tidak bergantung pada fungsi hati dan ginjal, tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang, dan tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna. Mula dan lama kerja atracurium bergantung pada dosis yang dipakai. Pada umumnya mulai kerja atracurium pada dosis intubasi adalah 2-3 menit, sedang lama kerja atracurium dengan dosis relaksasi 15-35 menit. Pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi secara spontan (sesudah lama kerja obat berakhir) atau dibantu dengan pemberian antikolinesterase. Nampaknya atracurium dapat menjadi obat terpilih untuk pasien geriatrik atau pasien dengan penyakit jantung dan ginjal yang berat. Kemasan dibuat dalam 1 ampul berisi 5 ml yang mengandung 50 mg atracurium besilat. Stabilitas larutan sangat bergantung pada penyimpanan pada suhu dingin dan perlindungan terhadap penyinaran. Dosis intubasi : 0,5 0,6 mg/kgBB/iv. Dosis relaksasi otot : 0,5 0,6 mg/kgBB/iv. Dosis pemeliharaan : 0,1 0,2 mg/kgBB/ iv (Hartanto, 2007; Udeani, 2010; Krauz, 2006).Pada pasien ini induksi dilakukan dengan ketamin yang merupakan larutan yang tidak berwarna, stabil pada suhu kamar dan relatif aman. Ketamin mempunyai sifat analgesik, anestetik dan kataleptik dengan kerja singkat. Sifat analgesiknya sangat kuat untuk sistem somatik tetapi lemah untuk sistem viseral. Ketamin dapat meningkatkan tekanan darah, frekuensi nadi dan curah jantung sampai 20%. Untuk induksi ketamin diberikan secara IV dengan dosis 2 mg/kgBB (1-4,5 mg/kgBB) dalam waktu 60 detik; stadium operasi dicapai dalam 5-10 menit. Untuk mempertahankan anestesi dapat diberikan dosis ulangan setengah dari semula. Ketamin IM untuk induksi diberikan 10 mg/kgBB (6,5-13 mg/kgBB), stadium operasi terjadi dalam 12-25 menit (Hartanto, 2007; Udeani, 2010; Krauz, 2006). Untuk maintenance Andrews (1868) menggunakan N2O bersama-sama O2 utnuk anestesiologi. N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian anestesia dengan N2O harus disertai dengan O2 minimal 25%.Gas ini bersifat anestetik lemah, tetapi analgesiknya kuat, sehinga sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesia inhalasi jarang digunakan sendirian, tetapi dikombinasi dengan salah satu cairan anestesik lain seperti halotan dan sebagainya. Pada akhir anestesia setelah N2O dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli, sehingga terjadi pengenceran O2 dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk menghindari terjadinya hipoksia difusi, berikan O2 100% selama 5-10 menit. Sevoflurane merupakan halogenasieter. Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibadingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan nafas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan. Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebabkan aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat seperti isofluran dan belum ada laporan toksik terhadap hepar (Hartanto, 2007; Udeani, 2010; Krauz, 2006).Operasi berlangsung selama 2 jam, setelah operasi selesai sevoflurane dan N2O dihentikan dan diberikan O2 100% 6-8 liter untuk mencegah hipoksia difusi. Setelah nafas spontan pasien dibawa ke ruang pulih sadar.Pada kasus ini prognosisnya dubia ad malam dikarenakan pasien didiagnosis Kehamilan Ektopik Terganggu disertai Syok Hipovolemik Grade III dimana prognosis ditentukan dari ketepatan dan kecepatan terapi.

DAFTAR PUSTAKA

Armstrong DJ. Shock. In: Alexander MF, Fawcett JN, Runciman PJ, editors. Nursing Practice Hospital and Home. 2nd ed. Edinburg: Churchill Livingstone; 2004.Arnolu, RI., 2005. Risk Factors for Ectopic Pregnancy in Logos, Nigeria, 1999. Jurnal Obtetricia et Gynecologica Scandinavica, Vol 84, No 2, hal 184-188.Barus, N. 1999. Tantangan dan Masalah Dalam Upaya Penurunan Resiko Kematian Ibu dan Neonatal Menyongsong Era Globalisasi.Ilmu Kesehatan Masyarakat FKM-USU.Chalik, TMA., 1998. Hemoragi Utama Obstetri dan Ginekologi. Bagian Obstetri dan Ginekologi FK-Universitas Syah Kuala, Cetakan Pertama, Widya Medika, Jakarta.Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008. Profil Kesehatan IndonesiaTahun 2006. Jakarta.George Y, Harijanto E, Wahyuprajitno B. Syok: Definisi, Klasifikasi dan Patofisiologi. In: Harijanto E, editor. Panduan Tatalaksana Terapi Cairan Perioperatif. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi Indonesia; 2009. p. 16-36.Guyton A, Hall J. Circulatory Shock and Physiology of Its Treatment (Chapter 24). Textbook of Medical Physiology. 12th ed. Philadelphia, Pensylvania: Saunders; 2010. p. 273-84.Hartanto, Widya W., 2007. Terapi Cairan dan Elektrolit Perioperatif. Bagian Farmakologi Klinik Dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung.Kolecki P, Menckhoff CR, Dire DJ, Talavera F, Kazzi AA, Halamka JD, et al. Hypovolemic Shock Treatment & Management 2013: Available from: http://emedicine.medscape.com/article/760145-treatment. Diakses pada tanggal 23 Mei 2014.Krausz, Michael M. 2006. Initial Resuscitation of Hemorrhagic Shock. Department of Surgery A, Rambam Medical Center, and the Technion-Israel Institute of Technology, Israel. P.O.B 9602, Haifa 31096.Lindarnakis, NM., 1998. Obstetrics & Gynecology. Digging up the Bones, Singapore.Manuaba, IBG., 1999. Operasi Kebidanan, Kandungan dan Keluarga Berencana untuk Dokter Umum. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.Marpaung, C., 2007. Karakteristik Ibu Penderita Kehamilan Ektopik Terganggu di RS St. Elisabeth Medan tahun 1999-2006. Skripsi FKM-USU.Pascoe S, Lynch J. Management of Hypovolaemic Shock in Trauma Patient. Committee NICPG, Sisson G, Parr M, Sugrue M, editors. Sydney: ITIM (Institute of Trauma and Injury Management) NSW Health; 2007.Pritchard, Donald, Gant., 1991.Obstetri Williams Edisi 17. Airlangga University Press, Surabaya.Satrawinata, S., 1984. Obstetri Patologi. Bagian Obstetri & Ginekologi FK Universitas Padjajaran, Bandung.Setiawan, Y., 2008. Kehamilan Ektopik. http://www.Siaksoft.com/ kehamilan/Ektopik. Diakses pada tanggal 21 Mei 2014.Udeani J, Kaplan LJ, Talavera F, Sheridan RL, Rice TD, Geibel J. Hemorrhagic Shock 2013: Available from: http://emedicine.medscape.com/article /432650-overview#showall. Diakses pada tanggal 23 Mei 2014.WHO, 2008. World Health Statistics. www.who.int. Diakses pada tanggal 23 Mei 2014.Wiknjosastro, H., 1999. Ilmu KebidananEdisi Ketiga. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, Jakarta.Wiknjosastro, H., 2000. Ilmu Bedah Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, Jakarta.Worthley LIG. Shock: a review of pathophysiology and management: Part I Critical Care and Resuscitation. 2000;2:55-65.

Stase Anestesi RSUD Abdoel Moeloek | Mei 20141

Stase Anestesi RSUD Abdoel Moeloek | Mei 20142