CR Ca nasofaring

Embed Size (px)

Citation preview

  • 8/2/2019 CR Ca nasofaring

    1/44

    Presentasi Kasus

    Opthalmoplegi Dextra +Parese N.III, N.IV, N.V, N.VI

    dan N.XII Dextra e.cCa Nasopharing

    Disusun oleh:

    Inovan Hasan Indryan

    0618011019

    PEMBIMBING:

    dr. Roezwir Azhary, Sp.S

    S M F N E U RO L O G I

    RSUD Dr. H. ABDUL MOELOEK PROVINSI LAMPUNG

  • 8/2/2019 CR Ca nasofaring

    2/44

    BANDAR LAMPUNG

    Maret 2012

    STATUS NEUROLOGIS

    Pemeriksa : Inovan Hasan Indryan

    Tgl. Pemeriksaan : 9 maret 2012

    I. IDENTITAS PASIEN

    Nama : Tn.R

    Umur :51 tahun

    Alamat : Sambung Rejo, Tegineneng, Pesawaran

    Agama : Islam

    Pekerjaan : Petani

    Status : Menikah

    Suku bangsa : Jawa

    Tanggal masuk : 8 Maret 2012

    Dirawat yang ke : II

    II. RIWAYAT PENYAKIT

    ANAMNESIS (Alloanamnesis & Autoanamnesis)

    Keluhan utama : Mata sebelah kanan nyeri dan bengkak

    Keluhan tambahan : Kepala pusing, wajah sisi kanan baal, pendengaran

    berkurang, telinga berdengung

  • 8/2/2019 CR Ca nasofaring

    3/44

    Riwayat Perjalanan Penyakit :

    Pasien datang dengan keluhan mata kanan nyeri dan bengkak sejak satu bulan

    sebelum masuk rumah sakit. Selain itu pasien juga mengeluh sakit kepala yang hilang

    timbul sejak 1 tahun yang lalu dan wajah sisi kanan terasa baal sejak 1 bulan yang

    lalu. Pasien juga mengeluh pendegaran telinga kanan berkurang dan sering

    berdengung. Pasien tidak mengeluh adanya gangguan menelan dan adanya

    perdarahan dari hidung. Pasien mengaku sering mengkonsumsi makanan seperti ikan

    asin sejak kecil dan pasien juga perokok aktif. Keluarga mengaku bahwa pasien

    belum pernah mengalami kejadian seperti ini sebelumnya.

    Pasien memiliki riwayat darah tinggi sejak 1 tahun yang lalu, BAB dan BAK tidak

    ada gangguan, emosi pasien stabil, tidak mudah marah-marah. Tidak terdapat

    gangguan orientasi dan bicara.

    Riwayat Penyakit Dahulu :

    Riwayat sinusitis sejak 2 bulan yang lalu

    Riwayat Penyakit Keluarga :

    Riwayat darah tinggi dalam keluarga (+) Ibu pasien

    Riwayat kencing manis dalam keluarga disangkal

    Riwayat penyakit tumor dalam keluarga disangkal

    Rwayat stroke dalam keluarga (+) Ibu pasien

  • 8/2/2019 CR Ca nasofaring

    4/44

    Riwayat Sosial Ekonomi :

    Pasien tinggal bersama istri dan dua orang anaknya. Pasien mempunyai 2 orang anak.

    pasien bekerja sebagai petani yang berpenghasilan Rp 300.000 /bulan. Sedangkan istri

    berkerja sebagai wiraswasta (pedagang) yang berpenghasilan Rp 200.000 /bulan.

    Kedua orang anak pasien ikut membantu pekerjaan orang tua nya.

    Kesan sosial ekonomi : cukup baik

    III. PEMERIKSAAN FISIK

    Status Present

    - Keadaan umum : Tampak sakit sedang

    - Kesadaran : Compos Mentis

    - GCS : E4 M6 V5 = 15

    E4 : Dapat membuka mata secara spontan

    M6: Mengikuti perintah

    V5 : Dapat berkomunikasi

    - Vital sign

    Tekanan darah : 150/90 mmHg

    Nadi : 88 x/menit

    RR : 20 x/menit

    Suhu : 36,6 C

  • 8/2/2019 CR Ca nasofaring

    5/44

    - Gizi : cukup

    Status Generalis

    - Kepala

    Rambut : Hitam, lurus dan tidak mudah dicabut

    Mata : Konjungtiva ananemis, sklera anikterik, pupil bulat sentral

    isokor. Mata kanan tampak lebih menonjol dan kelopak mata

    atas sulit digerakkan.

    Telinga : liang lapang, membran timpani intak.

    Hidung : Septum deviasi (-), konka tidak hipertropi.

    Mulut : Bibir tidak kering, lidah tidak kotor

    - Leher

    Pembesaran KGB : (-)

    Pembesaran tiroid : (-)

    JVP : Tidak meningkat

    - Thorak

    Cor

    Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat

    Palpasi : Iktus kordis tidak teraba

    Perkusi : Batas kanan : Sela iga IV garis parasternal kanan

    Batas kiri : sela iga V garis midclavicula kiri

  • 8/2/2019 CR Ca nasofaring

    6/44

    Batas atas : sela iga II garis parasternal kanan

    Auskultasi : Bunyi jantung I II reguler, murmur (-), gallop (-)

    Pulmo

    Inspeksi : Pergerakan nafas kanan-kiri simetris, retraksi sela iga (-)

    Palpasi : Fremitus taktil paru kanan = paru kiri

    Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru, batas paru hati sela iga

    Auskultasi : Vesikuler ( +/+ ), whezing ( -/- ), ronkhi (-/-)

    - Abdomen

    Inspeksi : Perut rata dan simetris

    Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-), nyeri

    lepas (-)

    Perkusi : Timpani

    Auskultasi : Bising usus (+) normal

    - Ekstremitas : Superior : oedem (-/-)

    Inferior : oedem (-/-)

    IV. PEMERIKSAAN NEUROLOGIS

    Saraf Cranialis Kanan / Kiri

    - N. Olfactorius ( N. I )

    Daya penciuman hidung : ( Normosmia / Normosmia )

    - N. Opticus ( N. II )

    Tajam penglihatan : ( >3/60 / >3/60 )

  • 8/2/2019 CR Ca nasofaring

    7/44

    Lapang penglihatan : sama dengan pemeriksa/sama dengan

    pemeriksa

    Tes warna : ( Tidak buta warna / Tidak buta warna )

    Fundus oculi : Tidak dilakukan

    - N. Occulomotorius, N. Trochlearis, N. Abduscen ( N.III-N.IV-N.VI )

    Kelopak mata :

    Ptosis : ( + / - )

    Endophtalmus : ( - / - )

    Exopthalmus : ( + / - )

    Pupil :

    Diameter : ( 4 mm / 4 mm )

    Bentuk : ( Bulat / Bulat )

    Isokor / anisokor : ( Isokor / Isokor )

    Posisi : ( ditengah / ditengah )

    Reflek cahaya langsung : ( + / + )

    Reflek cahaya tidak langsung : ( + / + )

    Gerakan bola mata

    Medial : ( - / + )

    Lateral : ( - / + )

    Superior : (- / + )

    Inferior : ( - / + )

  • 8/2/2019 CR Ca nasofaring

    8/44

    Obliqus, superior : ( - / + )

    Obliqus, inferior : ( - / + )

    Reflek pupil akomodasi : ( - / + )

    Reflek pupil konvergensi : ( - / + )

    - N. Trigeminus ( N. V )

    Sensibilitas

    Ramus oftalmikus : ( menurun / + )

    Ramus maksilaris : ( menurun / + )

    Ramus mandibularis : ( menurun / + )

    Motorik

    M. maseter : ( + / + )

    M. temporalis : ( + / + )

    M. pterigoideus : ( + / + )

    Reflek

    Reflek kornea ( sensoris N. V, motoris N. VII ) : ( + / + )

    Reflek bersin : ( + / + )

    - N. Fascialis ( N. VII )

    Inspeksi wajah sewaktu :

  • 8/2/2019 CR Ca nasofaring

    9/44

    Diam : simetris

    Tertawa : simetris

    Meringis : simetris

    Bersiul : simetris

    Menutup mata : Simetris

    Pasien disuruh untuk :

    Mengerutkan dahi : Simetris

    Menutup mata kuat-kuat : Simetris

    Menggembungkan pipi : simetris

    Sensoris

    Pengecapan 2/3 depan lidah : normal

    - N. Acusticus ( N. VIII )

    N. cochlearis

    Ketajaman pendengaran : ( - / +)

    Tinitus : ( + / - )

    N. vestibularis

    Test vertigo : (- / -)

    Nistagmus : ( - / - )

    - N. Glossopharingeus dan N. Vagus ( N. IX dan N. X )

    Suara bindeng / nasal : normal

    Posisi uvula : di tengah

    Palatum mole : Istirahat : Simetris

    Bersuara : terangkat

  • 8/2/2019 CR Ca nasofaring

    10/44

    Arcus palatoglossus : Istirahat : Simetris

    Bersuara : terangkat

    Arcus pharingeus : Istirahat : Simetris

    Bersuara : terangkat

    Reflek batuk : (-)

    Reflek muntah : (+)

    Peristaltik usus : Bising usus (+) meningkat

    Bradikardi : (+)

    Takikardi : (-)

    - N. Accesorius ( N. XI )

    M. sternocleidomastoideus : ( Normal / Normal )

    M. trapezius : ( Normal / Normal )

    - N. Hipoglossus ( N. XII )

    Atropi : (-)

    Fasikulasi : (-)

    Deviasi : Miring ke kanan

    Tanda perangsangan selaput otak

    Kaku kuduk : (-)

    Kernig test : (-)

    Lasseque test : (-)

    Brudzinsky I : (-)

    Brudzinky II : (-)

  • 8/2/2019 CR Ca nasofaring

    11/44

    Sistem motorik Superior ka / ki Inferior ka / ki

    - Gerak aktif/aktif aktif/aktif

    - Kekuatan otot 5/5 5/5

    - Tonus ( + / +) (+ / + )

    - Klonus - -

    - Atrofi - -

    - Reflek fisiologis Bicep ( + / + ) Pattela ( + / + )

    Tricep ( + / + ) Achiles ( + / + )

    - Reflek patologi Hoffman trommer (-/-) Babinsky (- /-)

    Chaddock (-/-)

    Oppenheim (-/-)

    Schaefer (-/-)

    Gordon (-/-)

    Gonda (-/-)

    Sensibilitas

    - Eksteroseptif / rasa permukaan ( superior / Inferior )

    Rasa raba : ( + / + )

    Rasa nyeri : ( + / +)

    Rasa suhu panas : (+ / +)

    Rasa suhu dingin : (+ / +)

  • 8/2/2019 CR Ca nasofaring

    12/44

    - Propioseptif / rasa dalam

    Rasa sikap : ( + / + )

    Rasa getar : ( + / + )

    Rasa nyeri dalam : ( + / + )

    - Fungsi kortikal untuk sensibilitas

    Asteriognosis : (+)

    Grafognosis : (+)

    Koordinasi

    Tes tunjuk hidung : ( +/+)

    Tes pronasi supinasi : (+/+ )

    Susunan saraf otonom

    Miksi : normal

    Defekasi : normal

    Salivasi : normal

    Fungsi luhur

    Fungsi bahasa : Baik

    Fungsi orientasi : Baik

    Fungsi memori : Baik

    Fungsi emosi : Baik

  • 8/2/2019 CR Ca nasofaring

    13/44

    Algoritma Gadjah Mada

    Penurunan kesadaran : ( - )

    Nyeri kepala : ( - )

    Refleks babinsky : ( - )

    RESUME

    Seorang laki-laki berumur 51 tahun datang dengan keluhan mata kanan nyeri dan

    bengkak sejak satu bulan sebelum masuk rumah sakit. Selain itu pasien juga

    mengeluh sakit kepala yang hilang timbul sejak 1 tahun yang lalu dan wajah sisi

    kanan terasa baal sejak 1 bulan yang lalu. Pasien juga mengeluh pendegaran telinga

    kanan berkurang dan sering berdengung. Pasien tidak mengeluh adanya gangguan

    menelan dan adanya perdarahan dari hidung. Pasien mengaku sering mengkonsumsi

    makanan seperti ikan asin sejak kecil dan pasien juga perokok aktif. Keluarga

    mengaku bahwa pasien belum pernah mengalami kejadian seperti ini sebelumnya.

    Pasien memiliki riwayat darah tinggi sejak 1 tahun yang lalu, BAB dan BAK tidak

    ada gangguan, emosi pasien stabil, tidak mudah marah-marah. Tidak terdapat

    gangguan orientasi dan bicara. Ditemukan opthalmoplegia dekstra dengan parese N.

    III,IV,VI, V, XII Dekstra

  • 8/2/2019 CR Ca nasofaring

    14/44

    Diagnosis :

    - Klinis: Opthalmoplegia Dextra dengan parese N. III,IV,VI,V dan XII Dextra + Hipertensi

    - Topis :

    - Etiologi : Ca. nasopharing

    Penatalaksanaan

    1. Umum

    Tirah Baring

    2. Dietetik : peroral

    Makanan lunak, diet TKTP, kebutuhan kalori = 30 x 55 = 1650 kal.

    3. Medikamentosa

    IVFD RL gtt XX/menit

    PCT 3x500mg

    Captopril 2x 12,5mg

    4. Rehabilitasi

    Pemeriksaan Penunjang :

    1. Laboratorium

    Darah Lengkap, Lipid profile, U/C, GDS, GDN/PP, Asam Urat, SGOT/SGPT

    2. Radiologi : Foto thorak

    3. Biopsi Nasofaring

    4. CT Scan Nasofaring

  • 8/2/2019 CR Ca nasofaring

    15/44

    Prognosa :

    Quo ad Vitam : Dubia ad bonam

    Quo ad Fungtionam : Dubia ad malam

    Quo ad Sanationam : Dubia ad malam

    FOLLOW UP

    Tgl 9-3-2012

    K.U : Tampak sakit sedang

    Kesadaran : CM

    GCS : E4M6V5 = 15

    Keluhan : Mata kanan nyeri, sakit kepala

    Tanda Vital : TD : 160/90 mmHg

    N : 86 X/menit

    RR : 24 X/menit

    T : 36,5 C

    Status Neurologik : N.III,IV,VI : Opthalmoplegia dextra + Parese

    N.V, XII dextra : Parese

    Unilateral syndrome

    Status Motorik :

    Superior Inferior

    - Gerak + / + + / +

  • 8/2/2019 CR Ca nasofaring

    16/44

    - K. O 5 / 5 5/ 5

    - Tonus N / N N / N

    - Ref. Fisiologis + / + + / +

    - Ref. Patologis - / - - / -

    Penatalaksanaan:

    - Diet peroral : Bubur, diet TKTP

    - IVFD RL gtt XX/menit

    - PCT 3x500mg

    - Captopril 2x12,5mg

  • 8/2/2019 CR Ca nasofaring

    17/44

    Carsinoma Nasofaring

    DEFINISI

    Carcinoma adalah pertumbuhan baru yang ganas terdiri dari sel-sel epithelial

    yang cenderung menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan menimbulkan metastasis.

    (DORLAND.2002)

    Nasopharyngeal carcinoma merupakan tumor ganas yang timbul pada

    epithelial pelapis ruangan dibelakang hidung (nasofaring) dan ditemukan dengan

    frekuensi tinggi di Cina bagian selatan(DORLAND.2002)

    A. EPIDEMIOLOGI DAN ETIOLOGI

    Angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) di Indonesia cukup tinggi, yakni 4,7

    kasus/tahun/100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 8000 kasus per tahun di seluruh

    Indonesia (Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara

    pathology based). Santosa (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF

    berdasarkan data patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi anatomi FK Unair

    Surabaya (1973 1976) diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh tubuh. Di Bagian THT

    Semarang mendapatkan 127 kasus KNF dari tahun 2000 2002. Di RSCMJakarta ditemukan

    lebih dari 100 kasus setahun, RS. Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang

    25 kasus, Denpasar 15 kasus, dan di Padang dan Bukit tinggi (1977-1979). Dalam

    pengamatan dari pengunjung poliklinik tumor THT RSCM, pasien karsinoma nasofaring dari

    ras Cina relative sedikit lebih banyak dari suku bangsa lainya.

    Studi epidemiologi KNF dengan berfokus kepada etiologi dan kebiasaan biologi dari

    penyakit ini telah dikemukakan hasilnya oleh UICC (International Union against Cancer)

    dalam symposium kanker nasofaring yg diadakan di Singapura tahun 1964

  • 8/2/2019 CR Ca nasofaring

    18/44

    (MUIR,dkk.1967), dan dari investigasi dalam empat dekade terakhir telah ditemukan banyak

    temuan penting di semua aspek. KNF mempunyai gambaran epidemiologi yg unik, dalam

    daerah yg jelas, ras, serta agregasi family.

    KNF mempunyai daerah distribusi endemic yang tidak seimbang antara berbagaiNegara, maupun yang tersebar dalm 5 benua. Tetapi, insiden KNF lebih rendah dari 1/105 di

    semua area. Insisde. Insiden tertinggi terpusat pada di Cina bagian selatan (termasuk

    Hongkong), dan insiden inni tertinggi di provinsi Guangdong pada laki-laki mencapai 20-

    50/100000 penduduk. Berdasarkan data IARC (International Agency for Research on Cancer)

    tahun 2002 ditemukan sekitar 80,000 kasus baru KNF diseluruh dunia, dan sekitar 50,000

    kasus meninggal dengan jumlah penduduk Cina sekitar 40%. Ditemukan pula cukup banyak

    kasus pada penduduk local dari Asia Tenggara, Eskimo di Artik dan penduduk di Afrika utara

    dan timur tengah (PARKIN dkk. 1992.2002, WATERHOUSE dkk. 1982, MUIR dkk. 1987).

    Tumor ini lebih sering ditemukan pad pria disbanding wanita dengan rasio 2-3:1

    (PARKINdkk.2002) dan apa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin ada

    hubungannya dengan factor genetic, kebiasaan hidup, pekerjaan dan lain-lain. Distribusi

    umur pasien dengan KNF berbeda-beda pada daerah dengan insiden yg bervariasi. Pada

    daerah dengan insiden rendah insisden KNF meningkat sesuia dengan meningkatnya umur,

    pada daeraj dengan insiden tinggi KNF meningkat setelah umur 30 tahun, ;uncaknya pada

    umur 40-59 tahun dan menurun setelahnya (ZONG dkk.1983).

    Ras mongoloid merupakan factor dominan timbulnya KNF, sehingga kekerapan

    cukup tinggi pada pendduduk CIna bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia,

    Singapura, dan Indonesia. Sekalipun termasuk ras Mongoloid, bangsa Korea, Jepang dan

    Tiongkok sebelah utara tidak banyak yang dijumpai mengidap penyakit ini. Berbagai studi

    epidemilogik mengenai angka kejadian ini telah dipublikasikan di berbagai jurnal. Salah

    satunya yang menarik adalah penelitian mengenai angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF)

    pada para migran dari daratan Tiongkok yang telah bermukim secara turun temurun di China

    town (pecinan) di San Fransisco Amerika Serikat. Terdapat perbedaan yang bermakna dalam

    terjadinya Kanker Nasofaring (KNF) antara para migran dari daratan Tiongkok ini dengan

    penduduk di sekitarnya yang terdiri atas orang kulit putih (Caucasians), kulit hitam dan

    Hispanics, di mana kelompok Tionghoa menunjukkan angka kejadian yang lebih tinggi.

  • 8/2/2019 CR Ca nasofaring

    19/44

    Sebaliknya, apabila orang Tionghoa migran ini dibandingkan dengan para kerabatnya yang

    masih tinggal di daratan Tiongkok maka terdapat penurunan yang bermakna dalam hal

    terjadinya Kanker Nasofaring (KNF) pada kelompok migran tersebut. Jadi kesimpulan yang

    dapat ditarik adalah, bahwa kelompok migran masih mengandung gen yang memudahkanuntuk terjadinya Kanker Nasofaring (KNF), tetapi karena pola makan dan pola hidup selama

    di perantauan berubah maka faktor yang selama ini dianggap sebagai pemicu tidak ada lagi

    maka kanker ini pun tidak tumbuh. Untuk diketahui bahwa penduduk di provinsi Guang

    Dong ini hampir setiap hari mengkonsumsi ikan yang diawetkan (diasap, diasin), bahkan

    konon kabarnya seorang bayi yang baru selesai disapih, sebagai makanan pengganti susu ibu

    adalah nasi yang dicampur ikan asin ini. Di dalam ikan yang diawetkan dijumpai substansi

    yang bernama nitrosamine yang terbukti bersifat karsinogen bagi hewan percobaan.

    Dijumpai pula kenaikan angka kejadian ini pada komunitas orang perahu (boat

    people) yang menggunakan kayu sebagai bahan bakar untuk memasak. Hal ini tampak

    mencolok pada saat terjadi pelarian besar besaran orang Vietnam dari negaranya. Bukti

    epidemiologik lain adalah angka kejadian kanker ini di Singapura. Persentase terbesar yang

    dikenai adalah masyarakat keturunan Tionghoa (18,5/100.000 penduduk), disusul oleh

    keturunan Melayu (6,5/100.000) dan terakhir adalah keturunan Hindustan (0,5/100.000).

    Dijumpainya Epstein-Barr Virus (EBV), pada hampir semua kasus KNF telah

    mengaitkan terjadinya kanker ini dengan keberadaan virus tersebut. Pada 1966, seorang

    peneliti menjumpai peningkatan titer antibodi terhadap EBV pada KNF serta titer antibodi

    IgG terhadap EBV, capsid antigen dan early antigen. Kenaikan titer ini sejalan pula dengan

    tingginya stadium penyakit. Namun virus ini juga acapkali dijumpai pada beberapa penyakit

    keganasan lainnya bahkan dapat pula dijumpai menginfeksi orang normal tanpa menimbulkan

    manifestasi penyakit. Jadi adanya virus ini tanpa faktor pemicu lain tidak cukup untuk

    menimbulkan proses keganasan.

    Berbeda halnya dengan jenis kanker kepala dan leher lain, Kanker Nasofaring (KNF)

    jarang dihubungkan dengan kebiasaan merokok dan minum alkohol tetapi lebih dikaitkan

    dengan virus Epstein Barr, predisposisi genetik dan pola makan tertentu. Meskipun demikan

    tetap ada peneliti yg mencoba menghubungkannya dengan merokok , secara umum resiko

    terhadap KNF pada perokok 2-6 kali dibandingkan dengan bukan perokok (HSU dkk.2009).

  • 8/2/2019 CR Ca nasofaring

    20/44

    ditemukan juga bahwa menurunnya angka kematian KNF di Amerika utara dan Hongkong

    merupakan hasil dari mengurangi frekuensi merokok. Adanya hubungan antara faktor

    kebiasaan makan dengan terjadinya KNF dipelajari oleh Ho dkk. Ditemukan kasus KNF

    dalam jumlah yang tinggi pada mereka yang gemar mengkonsumsi ikan asin yang dimasakdengan gaya Kanton (Cantonese-style salted fish). Risiko terjadinya KNF sangat berkaitan

    dengan lamanya mereka mengkonsumsi makanan ini. Di beberapa bagian negeri Cina

    makanan ini mulai digunakan sebagai pengganti air susu ibu pada saat menyapih.

    Tentang factor genetic telah banyak ditemukan kasus herediter atau familier dari

    pasien KNF dengan keganasan pada organ tubuh lain. Suatu cintoh terkenal di Cina selatan,

    satu keluarga dengan 49 anggota dari dua generasi didapatkan 9 pasien KNF dan 1 menderita

    tumor ganas payudara. Secara umum didapatkan 10% dari pasien karsinoma nasofaring

    menderita keganasan organ lain.

    Penyebab lain yang dicurigai adalah pajanan di tempat kerja seperti formaldehid,

    debu kayu serta asap kayu bakar. Belakangan ini penelitian dilakukan terhadap pengobatan

    alami (Chinese herbal medicine=CHB). Hildesheim dkk memperoleh hubungan yang erat

    antara terjadinya KNF, infeksi EBV dan penggunaan CHB. Beebrapa tanaman dan bahan

    CHB dapat menginduksi aktivasi dari virus EBV yg laten. Seperti pada TPA

    ( Tetradecanoylyphorbol Acetate) yaitu substansi yg ada di alam dan tumbuhan jika

    dikombinasi dengan N-Butyrate yang merupkan produk dari bakteri anaerob yang ditemukan

    di nasofaring dapat menginduksi sintesis antigen EBV di tikus, meningkatnya transformasi

    cell-mediated immunity dari EBV dan mempromosikan pembentukan KNF (genesis) (TANG

    dkk.1988).

    Secara mikroskopis karsinoma nasofaring dapat dibedakan menjadi 3 bentuk yaitu :

    1. Bentuk ulseratif

    Bentuk ini paling sering terdapat pada dinding posterior dan di daerah sekitar fosa

    rosenmulleri. Juga dapat ditemukan pada dinding lateral didepan tuba eustachius dan

    pada bagian atap nasofaring. Lesi ini biasanya lebih kecil disertai dengan jaringan

    yang nekrotik dan sangat mudah mengadakan infiltrasi ke jaringan sekitarnya.

    Gambaran histopatologik bentuk ini adalah karsinoma sel skuamosa deengan

    diferensiasi baik.

  • 8/2/2019 CR Ca nasofaring

    21/44

    2. Bentuk noduler/lubuler/proliferative

    Bentuk noduler atau lobuler sangat sering dijumpai pada daerah sekitar muara tuba

    eustachius. Tumor jenis ini berbentuk seperti buah angguratau polipoid jarang,

    dijumpai adanya ulserasi, namun kadang-kadang dijumpai ulserasi kecil. Gambaran

    histopatologik bentuk ini biasanya karsinoma tanpa diferensiasi.

    3. Bentuk eksofitik

    Bentuk eksofitik biasanya tumbuh pada satu sisi nasofaring, tidak dijumpai adanya

    ulserasi, kadang-kadang bertangkai dan prmukaannya licin. Tumor jenis ini biasanya

    tumbuh dari atap nasofaring dan dapat mengisi seluruh rongga nasofaring. Tumor nini

    dapat mendorong palatum mole ke bawah dan tumbuh kearah koana dan masuk ke

    dalam rongga hidung. Gambaran histopatologik berupa limfasarkoma

    B. ANATOMI DAN FISIOLOGI NASOFARING

    Nasopharing berbentuk kerucut dan selalu terbuka pada waktu respirasi karena dindingnya

    dari tulang, kecuali dasarnya yang dibentuk oleh palatum molle.

    Batas nasopharing:

    Superior : basis kranii, diliputi oleh mukosa dan fascia

    Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior, bersifat

    subjektif karena tergantung dari palatum durum.

    Anterior : choane, oleh os vomer dibagi atas choane kanan dan kiri.

    Posterior : - vertebra cervicalis I dan II

    - Fascia space = rongga yang berisi jaringan longgar

    - Mukosa lanjutan dari mukosa atas

    Lateral : - mukosa lanjutan dari mukosa atas dan belakang

  • 8/2/2019 CR Ca nasofaring

    22/44

    - Muara tuba eustachii

    - Fossa rosenmulleri

    Bangunan yang penting pada nasopharing

    Ostium tuba eustachii pars pharyngeal

    Tuba eustachii merupakan kanal yang menghubungkan kavum nasi dan

    nasopharyng dengan rongga telinga tengah. Mukosa ostium tuba tidak datar tetapi

    menonjol seperti menara, disebut torus tubarius.

    Torus tubarius

    Fossa rosen mulleri

    Adalah dataran kecil dibelkang torus tubarius. Daerah ini merupakan tempat

    predileksi karsinoma nasofaring, suatu tumor yang mematikan nomor 1 di THT.

    Fornix nasofaring

  • 8/2/2019 CR Ca nasofaring

    23/44

    Adalah dataran disebelah atas torus tubarius, merupakan tempat tumor

    angiofibroma nasopharing

    Adenoid= tonsil pharyngeal=luskha

    Secara teoritis adenoid akan hilang setelah pubertas karena adaenoid akan mencapai

    titik optimal pada umur 12-14 tahun. Lokasi pada dinding superior dan dorsal

    nasopharing sebelah lateral bursa pharyngea. Fungsinya sebagai mekanisme

    pertahanan tubuh terhadap kuman- kuman yang lewat jalan napas hidung.

    Nasopharing akan tertutup bila paltum molle melekat ke dinding posterior pada waktu

    menelan, muntah, mengucapkan kata-kata etrtentu seperti hak.

    Fungsi nasopharing :

    Sebagai jalan udara pada respirasi

    Jalan udara ke tuba eustachii

    Resonator

    Sebagai drainage sinus paranasal kavum timpani dan hidung

    Secret dari nasopharing dapat bergerak ke bawah karena:

  • 8/2/2019 CR Ca nasofaring

    24/44

    Gaya gravitasi

    Gerakan menelan

    Gerakan silia (kinosilia)

    Gerkan usapan palatum molle

    C. GEJALA DAN TANDA KNF

    Gejala nasofaring yang pokok adalah :

    1. Nasal sign :

    Pilek lama yang tidak sembuh

    Epistaksis. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit

    dan seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah jambu

    Ingus dapat seperti nanah, encer atau kental dan berbau.

    2. Ear sign :

    Tinitus. Tumor menekan muara tuba eustachii sehingga terjadi tuba oklusi,

    karena muara tuba eustachii dekat dengan fosa rosenmulleri. Tekanan dalam

    kavum timpani menjadi menurun sehingga terjadi tinnitus.

    Gangguan pendengaran hantaran

    Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia).

    3. Eye sign :

  • 8/2/2019 CR Ca nasofaring

    25/44

    Diplopia. Tumor merayap masuk foramen laseratum dan menimbulkan

    gangguan N. IV dan N. VI. Bila terkena chiasma opticus akan menimbulkan

    kebutaan.

    4. Tumor sign :

    Pembesaran kelenjar limfoid leher ini merupakan penyebaran atau metastase

    dekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring.

    5. Cranial sign

    Gejala cranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan dirasakan pada penderita.

    Gejala ini berupa :

    Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase secara

    hematogen.

    Sensitibilitas derah pipi dan hidung berkurang.

    Kesukaran pada waktu menelan

    Afoni

    Sindrom Jugular Jackson atau sindroma reptroparotidean mengenai N. IX, N.

    X, N. XI, N. XII. Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada:

    o Lidah

    o Palatum

    o Faring atau laring

    o M. sternocleidomastoideus

    o M. trapezeus

  • 8/2/2019 CR Ca nasofaring

    26/44

    D. PATOFISIOLOGI KARSINOMA NASOFARING

    Virus Epstein Barr (EBV) merupakan virus DNA yang memiliki kapsid icosahedral

    dan termasuk dalam famili Herpesviridae. Infeksi EBV dapat berasosiasi dengan

    beberapa penyakit seperti limfoma Burkitt, limfoma sel T, mononukleosis dan

    karsinoma nasofaring (KNF). KNF merupakan tumor ganas yang terjadi pada sel

    epitel di daerah nasofaring yaitu pada daerah cekungan Rosenmuelleri dan tempat

    bermuara saluran eustachii. Banyak faktor yang diduga berhubungan dengan KNF,

    yaitu

    (1)Adanya infeksi EBV,

    (2) Faktor lingkungan

    (3) Genetik

    1) Virus Epstein-Barr

    Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam

    limfosit B. Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel

    kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan cara

    berikatan dengan reseptor virus, yaitu komponen komplemen C3d (CD21 atau CR2).

    Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul EBV berikatan dengan protein CD21

    dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini merupakan rangkaian yang berantai dimulai dari

    masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B dan selanjutnya menyebabkan limfosit B

    menjadi immortal. Sementara itu, sampai saat ini mekanisme masuknya EBV ke dalam

    sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun demikian, ada dua

    reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring

    yaitu CR2 dan PIGR (Polimeric Immunogloblin Receptor). Sel yang terinfeksi oleh virus

    epstein-barr dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu : sel menjadi mati bila

    terinfeksi dengan virus epstein-barr dan virus mengadakan replikasi, atau virus epstein-

    barr yang meninfeksi sel dapat mengakibatkan kematian virus sehingga sel kembali

    menjadi normal atau dapat terjadi transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus

  • 8/2/2019 CR Ca nasofaring

    27/44

    sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi sel

    menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker.

    Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu EBERs,

    EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankanvirus pada infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal

    tyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gen

    tersebut, gen yang paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur

    protein LMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada

    ujung N, 6 segmen protein transmembran (166 asam amino) dan 200 asam amino pada

    ujung karboksi (C). Protein transmembran LMP1 menjadi perantara untuk sinyal TNF

    (tumor necrosis factor) dan meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel

    B dan menghambat respon imun lokal.

    2) Genetik

    Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetic, tetapi kerentanan

    terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relative menonjol

    dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human

    leukocyte antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan

    adalah gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring. Sitokrom p450 2E1 bertanggung

    jawab atas aktivasi metabolik yang terkait nitrosamine dan karsinogen

    3) Faktor lingkungan

    Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di berbagai

    daerah di asia dan america utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin dan makanan

    lain yang awetkan mengandung sejumlah besar nitrosodimethyamine (NDMA), N-

    nitrospurrolidene (NPYR) dan nitrospiperidine (NPIP ) yang mungkin merupakan faktor

    karsinogenik karsinoma nasofaring. Selain itu merokok dan perokok pasif yg terkena

    paparan asap rokok yang mengandung formaldehide dan yang tepapar debu kayu diakui

    faktor risiko karsinoma nasofaring dengan cara mengaktifkan kembali infeksi dari EBV.

  • 8/2/2019 CR Ca nasofaring

    28/44

    E. DIAGNOSIS

    Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma nasofaring, protokol

    dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis pasti serta stadium tumor :

    1. Anamnesis / pemeriksaan fisik

    Anamnesis berdasarkan keluhan yang dirasakn pasien (tanda dan gejala KNF)

    2. Pemeriksaan nasofaring

    Dengan menggunakan kaca nasofaring atau dengan nashopharyngoskop

    3. Biopsi nasofaring

    Diagnosis pasti dari KNF ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang dengan

    diagnosis histologik atau sitologik. Diagnosis histologik atau sitologik dapat

    ditegakan bila dikirim suatu material hasil biopsy cucian, hisapan (aspirasi), atau

    sikatan (brush), biopsy dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari

    mulut. Biopsi tumor nasofaring umunya dilakukan dengan anestesi topical dengan

    xylocain 10%.

    Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy).

    Cunam biopsy dimasukan melalui rongga hidung menyelusuri konka media ke

    nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy.

    Biopsy melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yangdimasukan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik

    keluar dan diklem bersama-sama ujung kateter yang dihdung. Demikian juga

    kateter yang dari hidung disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke

    atas. Kemudian dengan kacalaring dilihat daerah nasofaring. biopsy dilakukan

    dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop

    yang dimasukan melalui mulut, masaa tumor akan terlihat lebih jelas.

    Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan mala dilakukan

    pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narcosis.

    4. Pemeriksaan Patologi Anatomi

    Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh Organisasi

    Kesehatan Dunia (WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu :

  • 8/2/2019 CR Ca nasofaring

    29/44

    Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi ( Keratinizing Squamous Cell

    Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan

    buruk.

    Karsinoma non-keratinisasi ( Non-keratinizing Carcinoma). Pada tipe inidijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa tanpa

    jembatan intersel. Pada umumnya batas sel cukup jelas.

    Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma). Pada tipe ini

    sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval

    atau bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas sel tidak terlihat

    dengan jelas.

    Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama, yaitu

    bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak begitu radiosensitif.

    Klasifikasi gambaran histopatologi terbaru yang direkomendasikan oleh WHO pada

    tahun 1991, hanya dibagi atas 2 tipe, yaitu :

    Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi ( Keratinizing Squamous Cell

    Carcinoma).

    Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Tipe ini dapat

    dibagi lagi menjadi berdiferensiasi dan tak berdiferensiasi.

    5. Pemeriksaan radiologi

    Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF merupakan pemeriksaan penunjang

    diagnostic yang penting. Tujuan utama pemeriksaan radiologic tersebut adalah:

    Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya tumor pada

    daerah nasofaring

    Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut

    Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya.

    Foto polos

    Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari

    kemungkina adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:

  • 8/2/2019 CR Ca nasofaring

    30/44

    Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak ( soft tissue

    technique)

    Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks

    Tomogram Lateral daerha nasofaring

    Tomogranm Antero-posterior daerah nasofaring

    a) C.T.Scan

    Pada umunya KNF yang dapat dideteksi secara jelas dengan radiografi polos

    adalah jika tumor tersebut cukup besar dan eksofitik, sedangkan bila kecil

    mungkin tidak akan terdeteksi. Terlebih-lebih jika perluasan tumor adalah

    submukosa, maka hal ini akan sukar dilihat dengan pemeriksaan radiografi

    polos. Demikian pula jika penyebaran ke jaringan sekitarnya belum terlalu

    luas akan terdapat kesukaran-kesukaran dalam mendeteksi hal tersebut.

    Keunggulan C.T. Scan dibandingkan dengan foto polos ialah kemampuanya

    untuk membedakan bermacam-macam densitas pada daerah nasofaring, baik

    itu pada jaringan lunak maupun perubahan-perubahan pada tulang, gengancriteria tertentu dapat dinilai suatu tumor nasofaring yang masih kecil. Selain

    itu dengan lebih akurat dapat dinilai pakah sudah ada perluasan tumor ke

    jaringna sekitarnya, menilai ada tidaknya destruksi tulang serta ada tidaknya

    penyebaran intracranial.

    Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari

    kemungkina adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:

    Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak ( soft tissue

    technique)

    Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks

    Tomogram Lateral daerha nasofaring

  • 8/2/2019 CR Ca nasofaring

    31/44

    Tomogranm Antero-posterior daerah nasofaring

    6. Pemeriksaan neuro-oftalmologi

    Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa

    lobang, amka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut KNF

    ini.

    7. Pemeriksaan serologi.

    Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan igA anti VCA (capsid antigen)

    untuk infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma

    nasofaring. Tjokro Setiyo dari FK UI Jakarta mendapatkan dari 41 pasien karsinoma

    nasofaring stadium lanjut (stadium III dan IV) senstivitas IgA VCA adalah 97,5%

    dan spesifitas 91,8% dengan titer berkisar antara 10 sampai 1280 dengan terbanyak

    titer 160. IgA anti EA sensitivitasnya 100% tetapi spesifitasnya hanya 30,0%,

    sehingga pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menetukan prognosis pengobatan,

    titer yang didpat berkisar antara 80 sampai 1280 dan terbanyak 160.

    F. DIAGNOSIS BANDING

    1. Hiperplasia adenoid

    Biasanya terdapat pada anak-anak, jarnag pada orang dewasa, pada anak-anak

    hyperplasia ini terjadi Karena infeksi berulang. Pada foto polos akan terlihat suatu

    massa jaringna lunak pada aatap nasofaring umunya berbatas tegas dan umunya

    simetris serta struktur-struktur sekitarnya tak tampak tanda- tanda infiltrasi seprti

    tampak pada karsinoma.

    2. Angiofibroma juenilis

  • 8/2/2019 CR Ca nasofaring

    32/44

    Baisanya ditemui pada usia relative muda dengan gejala-gejala menyerupai

    KNF. Tumor ini kaya akan pembuluh darah dan biasnya tidak infiltrative. Pada foto

    polos akan didapat suatu massa pada atap nasofairng yang berbatas tegas. Proses

    dapat meluas seperrti pada penyebaran karsinoma, walaupun jarang menimbulkandestruksi tulang hanay erosi saja karena penekanan tumor. Biasanya ada

    pelengkungan ke arah depan dari dinding belakang sinus maksilarisyang dikenals

    ebgai antral sign. Karena tumor ini kaya akan vascular maka arterigrafi carotis

    eksterna sangat diperlukan sebab gambaranya sangat karakteristik. Kadang-kadang

    sulit pula membedakan angiofibroma juvenils dengan polip hidung pada foto polos.

    3. Tumor sinus sphenooidalis

    Tumor ganas primer sinus sphenoidalis adalah sangat jarang dan biasanya

    tumor sudah sampai stadium agak lanjut waktu pasien dating untuk pemeriksaan

    pertama.

    4. Neurofibroma

    Kelompok tumor ini sering timbul pada ruang faring lateral sehingga

    menyerupai keganasan didnding lateral nasofaring. secara C.T. Scan, pendesakan

    ruang para faring kea rah medial dapat membantu mebedakan kelompok tumor ini

    dengan KNF.

    5. Tumor kelenjarr parotis

    Tumor kelenjar parotis terutama yang berasal dari lobus yang terletak agak

    dalam mengenai ruang para faring dan menonjol kearah lumen nasofaring. pada

    sebagian besar kasus terlihat pendesakan ruang parafaring kea rah medial yang

    tampak pada pemeriksaan C.T.Scan.

    6. Chordoma

  • 8/2/2019 CR Ca nasofaring

    33/44

    Walaupun tanda utama chordoma adalah destruksi tulang, tetapi mengingat

    KNF pun sering menimbulkan destruksi tulang, maka sering timbul kesulitan untuk

    membedakanya. Dengan foto polos, dapat dilihat kalsifikasi atau destruksi terutama di

    daerah clivus. CT dapat membantu ,elihat apakah ada pembesaran kelenjar cervicalbagian atas karena chordoma umunya tidak memperhatikan kelainan pada kelenjar

    tersebuts edangkan KNF sering bermetastasis ke kelenjar getah bening.

    7. Menigioma basis kranii

    Walaupun tumor ini agak jarang tetapi gambaranya kadang-kadang meyerupai

    KNF dengan tanda-tanda sklerotik pada daerah basis kranii. Ganbaran CT

    meningioma cukup karakteristikk yaitu sedikit hiperdense sebelum penyuntikanzat

    kontras dan akan menjadi sangat hiperdense setelah pemberian zat kontras intravena.

    Pemeriksaan arteiografi juga sangat membantu diagnosis tumor ini.

    G. STADIUM

    Penentuan stadium yang terbaru berdasarkan atas kesepakatan antara UICC (Union

    Internationale Contre Cancer) pada tahun 1992 adalah sebagai berikut :

    T = Tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannya.

    T0 : Tidak tampak tumor

    T1 : Tumor terbatas pada 1 lokasi di nasofaring

    T2 : Tumor meluas lebih dari 1 lokasi, tetapi masih di dalam rongga nasofaring

    T3 : Tumor meluas ke kavum nasi dan / atau orofaring

    T4 : Tumor meluas ke tengkorak dan / sudah mengenai saraf otak

    N = Nodul, menggambarkan keadaan kelenjar limfe regional

    N0 : Tidak ada pembesaran kelenjar

    N1 : Terdapat pembesaran kelenjar homolateral yang masih dapat digerakkan

    N2 : Terdapat pembesaran kelenjar kontralateral / bilateral yang masih dapat digerakkan

    N3 :Terdapat pembesaran kelenjar baik homolateral, kontralateral atau bilateral, yang sudah

    melekat pada jaringan sekitar.

  • 8/2/2019 CR Ca nasofaring

    34/44

    M = Metastase, menggambarkan metastase jauh

    M0 : Tidak ada metastase jauh

    M1 : Terdapat metastase jauh.2,3,9-13

    Berdasarkan TNM tersebut di atas, stadium penyakit dapat ditentukan :Stadium I : T1 N0 M0

    Stadium II : T2 N0 M0

    Stadium III : T3 N0 M0

    T1,T2,T3 N1 M0

    Stadium IV : T4 N0,N1 M0

    Tiap T N2,N3 M0

    Tiap T Tiap N M12

    Menurut American Joint Committee Cancer tahun 1988, tumor staging dari

    nasofaring diklasifikasikan sebagai berikut :

    Tis : Carcinoma in situ

    T1 : Tumor yang terdapat pada satu sisi dari nasofaring atau tumor yang tak dapat dilihat,

    tetapi hanya dapat diketahui dari hasil biopsi.

    T2 : Tumor yang menyerang dua tempat, yaitu dinding postero-superior dan dindinglateral.

    T3 : Perluasan tumor sampai ke dalam rongga hidung atau orofaring.

    T4 : Tumor yang menjalar ke tengkorak kepala atau menyerang saraf cranial (atau keduanya).

    H. PROGNOSIS

    Secara keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45 %. Prognosis diperburuk oleh

    beberapa faktor, seperti :

    Stadium yang lebih lanjut.

    Usia lebih dari 40 tahun

    Laki-laki dari pada perempuan

  • 8/2/2019 CR Ca nasofaring

    35/44

    Ras Cina dari pada ras kulit putih

    Adanya pembesaran kelenjar leher

    Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang tengkorak

    Adanya metastasis jauh

    I. KOMPLIKASI

    1. Petrosphenoid sindrom

    Tumor tumbuh ke atas ke dasar tengkorak lewat foramen laserum sampai sinus

    kavernosus menekan saraf N. III, N. IV, N.VI juga menekan N.II. yang memberikan

    kelainan :

    Neuralgia trigeminus ( N. V ) : Trigeminal neuralgia merupakan suatu nyeripada wajah sesisi yang ditandai dengan rasa seperti terkena aliran listrik yang

    terbatas pada daerah distribusi dari nervus trigeminus.

    Ptosis palpebra ( N. III )

    Ophthalmoplegia ( N. III, N. IV, N. VI )

    2. Retroparidean sindrom

    Tumor tumbuh ke depan kea rah rongga hidung kemudian dapat menginfiltrasi ke

    sekitarnya. Tumor ke samping dan belakang menuju ke arah daerah parapharing dan

    retropharing dimana ada kelenjar getah bening. Tumor ini menekan saraf N. IX, N. X,

    N. XI, N. XII dengan manifestasi gejala :

    N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior serta

    gangguan pengecapan pada sepertiga belakang lidah

    N. X : hiper / hipoanestesi mukosa palatum mole, faring dan laring disertaigangguan respirasi dan saliva

    N XI : kelumpuhan / atrofi oto trapezius , otot SCM serta hemiparese palatum

    mole

  • 8/2/2019 CR Ca nasofaring

    36/44

    N. XII : hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah.

    Sindrom horner : kelumpuhan N. simpaticus servicalis, berupa penyempitan

    fisura palpebralis, onoftalmus dan miosis.

    3. Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah, mengenaiorgan

    tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering adalah tulang, hati dan paru.

    Hal ini merupakan hasil akhir dan prognosis yang buruk. Dalam penelitian lain

    ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat mengadakan metastase jauh, ke paru-

    paru dan tulang, masing-masing 20 %, sedangkan ke hati 10 %, otak 4 %, ginjal 0.4

    %, dan tiroid 0.4 %.

    J. PENATALaKSANAAN

    1. Radioterapi

    Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan

    karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma nasofaring adalah

    radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.

    Sampai saaat ini pengobatan pilihan terhadap tumor ganas nasofaring adalah radiasi,

    karena kebanyakan tumor ini tipe anaplastik yang bersifat radiosensitif. Radioterapi

    dilakukan dengan radiasi eksterna, dapat menggunakan pesawat kobal (Co60 ) atau dengan

    akselerator linier ( linier Accelerator atau linac). Radiasi ini ditujukan pada kanker primer

    didaerah nasofaring dan ruang parafaringeal serta pada daerah aliran getah bening leher atas,

    bawah seerta klasikula. Radiasi daerah getah bening ini tetap dilakukan sebagai tindakan

    preventif sekalipun tidak dijumpai pembesaran kelenjar. Metode brakhiterapi, yakni dengan

    memasukkan sumber radiasi kedalam rongga nasofaring saat ini banyak digunakan guna

    memberikan dosis maksimal pada tumor primer tetapi tidak menimbulkan cidera yang serius

    pada jaringan sehat disekitarnya. Kombinasi ini diberikan pada kasus-kasus yang telah

    memeperoleh dosis radiasi eksterna maksimum tetapi masih dijumpai sisa jaringan kanker

  • 8/2/2019 CR Ca nasofaring

    37/44

    atau pada kasus kambuh lokal.

    perkembangan teknologi pada dasawarsa terakhir telah memungkinkan pemberian radiasi

    yang sangat terbatas pada daerah nasofaring dengan menimbulkan efek samping sesedikit

    mungkin. Metode yang disebut sebagai IMRT ( Intersified Modulated Radiotion Therapy )telah digunakan dibeberapa negara maju.

    Prinsip Pengobatan Radiasi, inti sel dan plasma sel terdiri dari (1) RNA Ribose

    Nucleic Acid dan (2) DNA Desoxy Ribose Nucleic Acid . DNA terutama terdapat paa

    khromosom ionizing radiation menghambat metabolisme DNA dan menghentikan

    aktifitas enzim nukleus. Akibatnya pada inti sel terjadi khromatolisis dan plasma sel menjadi

    granuar serta timbul vakuola-vakuola yang kahirnya berakibat sel akan mati dan menghilang.

    Pada suatu keganasan ditandai oleh mitosis sel yang berlebihan ; stadium profase mitosis

    merupakan stadium yang paling rentan terhadap radiasi. Daerah nasofaring dan sekitarnya

    yang meliputi fosa serebri media, koane dan daerah parafaring sepertiga leher bagian atas.

    Daerah-daerah lainnya yang dilindungi dengan blok timah. Arah penyinaran dari lateral

    kanan dan kiri, kecuali bila ada penyerangan kerongga hidung dan sinus paranasal maka perlu

    penambahan lapangan radiasi dari depan. Pada penderita dengan stadium yang masih

    terbataas (T1,T2), maka luas lapangan radiasi harus diperkecil setelah dosis radiasi mencapai

    4000 rad , terutama dari atas dan belakang untuk menghindari bagian susunan saraf pusat .Dengan lapangan radiasi yang terbatas ini, radiasi dilanjutkan sampai mencapai dosis seluruh

    antara 6000- 7000 rad . pada penderita dengan stadium T3 dan T4, luas lapangan radiasi tetap

    dipertahankan sampai dosis 6000 rad. Lapangan diperkecil bila dosis akan ditingkatkan lagi

    sampai sekitar 7000 rad.

    Daerah penyinaran kelenjar leher sampai fosa supraklavikula. Apabila tidak ada metastasis

    kelenjar leher, maka radiasi daerah leher ini bersifat profilaktik dengan dosis 4000 rad,

    sedangkan bila ada metastasis diberikan dosis yang sama dengan dosis daerah tumor primer

    yaitu 6000 rad, atau lebih. Untuk menghindari gangguan penyinaran terhadap medulla

    spinalis, laring dan esofagus, maka radiasi daerah leher dan supraklavikula ini, sebaiknya

    diberikan dari arah depan dengan memakai blok timah didaerah leher tengah.

    Dosis radiasi

  • 8/2/2019 CR Ca nasofaring

    38/44

    Dosis radiasi umumnya berkisar antara 6000 7000 rad, dalam waktu 6 7 minggu dengan

    periode istirahat 2 3 minggu (split dose). Alat yang biasanya dipakai ialah cobalt 60,

    megavoltageorthovoltage

    Respon radiasi

    Setelah diberikan radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon terhadap radiasi. Respon

    dinilai dari pengecilan kelenjar getah bening leher dan pengecilan tumor primer di nasofaring.

    Penilaian respon radiasi berdasarkan kriteria WHO :

    - Complete Response : menghilangkan seluruh kelenjar getah bening yang besar.

    - Partial Response : pengecilan kelenjar getah bening sampai 50% atau lebih.

    - No Change : ukuran kelenjar getah bening yang menetap.

    - Progressive Disease : ukuran kelenjar getah bening membesar 25% atau lebih.

    Komplikasi radioterapi dapat berupa :

    a) Komplikasi dini

    Biasanya terjadi selama atau beberapa minggu setelah radioterapi, seperti :

    - Xerostomia - Mual-muntah

    - Mukositis (nyeri telan, mulut kering, dan hilangnya cita rasa) kadangdiperparah dengan infeksi jamur pada mukosa lidah dan palatum

    - Anoreksi

    - Xerostamia (kekeringan mukosa mulut akibat disfungsi kelenjar

    parotis yang terkena radiasi)

    - Eritema

    b) Komplikasi lanjut

    Biasanya terjadi setelah 1 tahun pemberian radioterapi, seperti :

    - Kontraktur

    - Penurunan pendengaran

    - Gangguan pertumbuhan

    -

  • 8/2/2019 CR Ca nasofaring

    39/44

    Untuk menghindari efek samping semaksimal mungkin maka sebelum dan selama

    pengobatan, bahkan setelah selesai terapi, pasien akan selalu diawasi oleh dokter. Perawatan

    sebelum radiasi adalah dengan membenahi gigi geligi, memberikan informasi kepada pasien

    mengenai metode pembersihan ruang mulut dan gigi secara benar. Untuk mengurangikeluhan penderita juga dapat diberikan obat kumur yang mengandung adstringens, misalnya

    bactidol, efisol, gargarisma diberikan 3-4 kali sehari. Bila tampak tanda-tanda moniliasis

    diberikan antimikotik misalnya funfilin. Pemberian obat-obatan yang mengandung anestesi

    local seperti FG troches bias mengurangi keluhan nyeri telan. Untuk keluhan umum nausea,

    anorexia dan sebgainya bisa diberikan obat-obatan simptomatik terhadap keluhan ini seperti

    avomit, avopreg.

    2. Kemoterapi

    Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat

    meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan

    kambuh.

    Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi yaitu bila

    setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata :

    - kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif

    - kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara

    makroskopis.

    - pada tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena tingginya resiko

    kekambuhan dan metastasis jauh).

    Berdasarkan saat pemberiannya kemoterapi adjuvan pada tumor ganas kepala leher dibagi

    menjadi

    1. neoadjuvantatau induction chemotherapy (yaitu pemberian kemoterapi mendahului

    pembedahan dan radiasi)

    2. concurrent, simultaneous atau concomitant chemoradiotherapy (diberikan

    bersamaan dengan penyinaran atau operasi)

    3.post definitive chemotherapy (sebagai terapi tambahan paska pembedahan dan atau

    radiasi )

  • 8/2/2019 CR Ca nasofaring

    40/44

    Efek Samping Kemoterapi

    Agen kemoterapi tidak hanya menyerang sel tumor tapi juga sel normal yang

    membelah secara cepat seperti sel rambut, sumsum tulang dan Sel pada traktus gastro

    intestinal. Akibat yang timbul bisa berupa perdarahan, depresi sum-sum tulang yang

    memudahkan terjadinya infeksi. Pada traktus gastro intestinal bisa terjadi mual, muntah

    anoreksia dan ulserasi saluran cerna. Sedangkan pada sel rambut mengakibatkan kerontokan

    rambut. Jaringan tubuh normal yang cepat proliferasi misalnya sum-sum tulang, folikel

    rambut, mukosa saluran pencernaan mudah terkena efek obat sitostatika. Untungnya sel

    kanker menjalani siklus lebih lama dari sel normal, sehingga dapat lebih lama dipengaruhi

    oleh sitostatika dan sel normal lebih cepat pulih dari pada sel kanker

    Efek samping yang muncul pada jangka panjang adalah toksisitas terhadap jantung,

    yang dapat dievaluasi dengan EKG dan toksisitas pada paru berupa kronik fibrosis pada paru.

    Toksisitas pada hepar dan ginjal lebih sering terjadi dan sebaiknya dievalusi fungsi faal

    hepar dan faal ginjalnya. Kelainan neurologi juga merupakan salah satu efek samping

    pemberian kemoterapi.

    Kemoradioterapi kombinasi adalah pemberian kemoterapi bersamaan dengan radioterapi

    dalam rangka mengontrol tumor secara lokoregional dan meningkatkan survival pasien

    dengan cara mengatasi sel kanker secara sistemik lewat mikrosirkulasi.

    Manfaat Kemoradioterapi adalah

    1. Mengecilkan massa tumor, karena dengan mengecilkan tumor akan memberikan hasil

    terapi radiasi lebih efektif. Telah diketahui bahwa pusat tumor terisi sel hipoksik dan

    radioterapi konvensional tidak efektif jika tidak terdapat oksigen. Pengurangan massa

    tumor akan menyebabkan pula berkurangnya jumlah sel hipoksia.

    2. Mengontrol metastasis jauh dan mengontrol mikrometastase.

    3. Modifikasi melekul DNA oleh kemoterapi menyebabkan sel lebih sensitif terhadap

    radiasi yang diberikan (radiosensitiser).

  • 8/2/2019 CR Ca nasofaring

    41/44

    Terapi kombinasi ini selain bisa mengontrol sel tumor yang radioresisten, memiliki

    manfaat juga untuk menghambat pertumbuhan kembali sel tumor yang sudah sempat terpapar

    radiasi.

    Kemoterapi neoajuvan dimaksudkan untuk mengurangi besarnya tumor sebelumradioterapi. Pemberian kemoterapi neoadjuvan didasari atas pertimbangan vascular bed

    tumor masih intak sehingga pencapaian obat menuju massa tumor masih baik. Disamping itu,

    kemoterapi yang diberikan sejak dini dapat memberantas mikrometastasis sistemik seawal

    mungkin. Kemoterapi neoadjuvan pada keganasan kepala leher stadium II IV dilaporkan

    overall response rate sebesar 80 %- 90 % dan CR ( Complete Response ) sekitar 50%.

    Kemoterapi neoadjuvan yang diberikan sebelum terapi definitif berupa radiasi dapat

    mempertahankan fungsi organ pada tempat tumbuhnya tumor (organ preservation).

    Secara sinergi agen kemoterapi seperti Cisplatin mampu menghalangi perbaikan

    kerusakan DNA akibat induksi radiasi. Sedangkan Hidroksiurea dan Paclitaxel dapat

    memperpanjang durasi sel dalam keadaan fase sensitif terhadap radiasi.

    Kemoterapi yang diberikan secara bersamaan dengan radioterapi (concurrent or

    concomitant chemoradiotherapy ) dimaksud untuk mempertinggi manfaat radioterapi.

    Dengan cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker yang sensitif terhadap kemoterapi

    dan mengubah sel kanker yang radioresisten menjadi lebih sensitif terhadap radiasi.

    Keuntungan kemoradioterapi adalah keduanya bekerja sinergistik yaitu mencegah resistensi,

    membunuh subpopulasi sel kanker yang hipoksik dan menghambat recovery DNA pada sel

    kanker yang sublethal.

    Kelemahan Kemoradioterapi

    Kelemahan cara ini adalah meningkatkan efek samping antara lain mukositis,

    leukopeni dan infeksi berat. Efek samping yang terjadi dapat menyebabkan penundaan

    sementara radioterapi. Toksisitas Kemoradioterapi dapat begitu besar sehingga berakibat

    fatal.

    Beberapa literatur menyatakan bahwa pemberian kemoterapi secara bersamaan

    dengan radiasi dengan syarat dosis radiasi tidak terlalu berat dan jadwal pemberian tidak

    diperpanjang, maka sebaiknya gunakan regimen kemoterapi yang sederhana sesuai jadwal

    pemberian.

  • 8/2/2019 CR Ca nasofaring

    42/44

    Untuk mengurangi efek samping dari kemoradioterapi diberikan kemoterapi tunggal (single

    agent chemotherapy) dosis rendah dengan tujuan khusus untuk meningkatkan sensitivitas sel

    kanker terhadap radioterapi (radiosensitizer). Sitostatika yang sering digunakan adalah

    Cisplatin, 5-Fluorouracil dan MTX dengan response rate 15%-47%.3. Operasi

    Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal dan

    nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau

    adanya kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan

    dengan pemeriksaan radiologik dan serologi. Nasofaringektomi merupakan suatu operasi

    paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring

    yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain.

    4. Imunoterapi

    Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring adalah virus

    Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan imunoterapi.

    K. PENCEGAHAN

    Pemberian vaksinasi dengan vaksin spesifik membran glikoprotein virus Epstein Barr

    yang dimurnikan pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan resiko

    tinggi.

    Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah resiko tinggi ke tempat lainnya.

    Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak makanan

    untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya.

  • 8/2/2019 CR Ca nasofaring

    43/44

    Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan

    sosial ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan

    faktor penyebab.

    Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan IgA anti EA secara massal di masa yang

    akan datang bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring secara lebih dini.

    DAFTAR PUSTAKA

    Averdi Roezin, Aninda Syafril. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Efiaty A. Soepardi (ed).Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi kelima. Jakarta : FK UI, 2001. h.

    146-50.

  • 8/2/2019 CR Ca nasofaring

    44/44

    Harry a. Asroel. Penatalaksanaan radioterapi pada karsinoma nasofaring. Referat.

    Medan: FK USU,2002.h. 1-11.

    Hasibuan R, A. H...Kartikawati, Henny.Penatalaksanaan karsinoma nasofaring menujuterapi kombinasi/kemoradioterapi. Jakarta: Samatra Media Utama, 2004.h. 70-81

    Lu Jiade J, Cooper Jay S, M Lee Anne WM. The epidemiologi of Nasopharigeal

    Carcinoma In : Nasopharyngeal Cancer. Berlin : Springer,2010. p. 1-9.

    Susworo, Makes D. Karsinoma nasofaring aspek radiodiagnostik dan radioterapi.

    Jakarta: FK UI, 1987.h. 69-82.

    Susworo, R. Kanker nasofaring : epidemiologi dan pengobatan mutakhir. Tinjauan

    pustaka artikel. Dalam: Cermin Dunia Kedokteran. No. 144, 2004.h. 16-18.