6
LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING TAHUN ANGGARAN 2009 Eksplorasi dan Identifikasi Tanaman Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dan Kunyit (Curcuma domestica Val.) sebagai Bahan Baku Industri Biofarmaka: Identifikasi variasi genetik dan analisis kadar kurkumin Ketua : Prof.Dr.Ir.Tatik Wardiyati, MS Anggota : 1. Dr. Ir.Yudi Rinanto, MP 2. Titik Sunarni, MSi.Apt 3. Nur Azizah, SP.MP Dibiayai oleh Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, Melalui DIPA Universitas Brawijaya Nomor: 0174.0/023-04.2/XV/2009 tanggal 31 Desember 2008 dan berdasarkan SK Rektor Nomor: 147/SK/2009 UNIVERSITAS BRAWIJAYA NOVEMBER 2009 BIDANG ILMU PERTANIAN

(Curcuma xanthorhiza Roxb.) dan Kunir (Curcuma domestica Val.)

  • Upload
    hanga

  • View
    255

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: (Curcuma xanthorhiza Roxb.) dan Kunir (Curcuma domestica Val.)

LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING TAHUN ANGGARAN 2009

Eksplorasi dan Identifikasi Tanaman Temulawak

(Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dan Kunyit (Curcuma domestica Val.) sebagai Bahan Baku

Industri Biofarmaka: Identifikasi variasi genetik dan analisis kadar kurkumin

Ketua : Prof.Dr.Ir.Tatik Wardiyati, MS Anggota : 1. Dr. Ir.Yudi Rinanto, MP

2. Titik Sunarni, MSi.Apt 3. Nur Azizah, SP.MP

Dibiayai oleh Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, Melalui DIPA Universitas Brawijaya

Nomor: 0174.0/023-04.2/XV/2009 tanggal 31 Desember 2008 dan berdasarkan SK Rektor Nomor: 147/SK/2009

UNIVERSITAS BRAWIJAYA NOVEMBER 2009

BIDANG ILMU PERTANIAN

Page 2: (Curcuma xanthorhiza Roxb.) dan Kunir (Curcuma domestica Val.)
Page 3: (Curcuma xanthorhiza Roxb.) dan Kunir (Curcuma domestica Val.)

RINGKASAN

Eksplorasi dan Identifikasi Tanaman Temulawak (Curcuma xanthorhiza Roxb.) dan Kunyit (Curcuma domestica Val.) Sebagai Bahan Baku Industri Biofarmaka : Identifikasi variasi genetik dan kadar kurkumin Tatik Wardiyati, Yudi Rinanto, Titik Sunarni dan Nur Azizah Penelitian Hibah Bersaing 2009

Perkembangan industri herbal medicine dan health food di Indonesia dewasa ini meningkat dengan pesat. Pemanfaatan sumberdaya alam hayati, khususnya dari jenis biofarmaka, akan terus berlanjut sehubungan dengan kuatnya keterkaitan bangsa Indonesia terhadap tradisi memakai obat tradisional dan adanya trend gaya hidup kembali ke alam (back to nature). Bahan alam yang banyak digunakan untuk pengobatan dan dikembangkan sebagai bahan baku industri biofarmaka di Indonesia diantaranya ialah rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dan kunyit (Curcuma domestica Val.). Permintaan kedua bahan baku tersebut rata-rata sebesar 3.000 ton/tahun untuk temulawak dan untuk kunyit mencapai 3.000 ton kering/tahun dan 1.500 ton basah/tahun (bisnisfarmasi, 2007).

Senyawa aktif utama dalam rimpang temulawak dan kunyit yang mempunyai keaktifan fisiologi ialah kurkumin. Senyawa kimia yang lain adalah: minyak atsiri, resin, oleoresin, desmetoksikurkumin, dan bidesmetoksikurkumin, damar, gom, lemak, protein, kalsium, fosfor dan besi. Bahan–bahan aktif tersebut bermanfaat sebagai antikoagulan, menurunkan tekanan darah, obat cacing, obat asma, penambah darah, mengobati sakit perut, penyakit hati, karminatif, stimulan, gatal-gatal, gigitan serangga, diare, dan rematik (Rahardjo dan Otih Rostiana, 2005).

Penyediaan bahan baku atau ekstrak temulawak dan kunyit dalam negeri masih menghadapi kendala utama yaitu keterbatasan penyediaan suplai simplisia yang mempunyai kandungan kurkumin sesuai standar pasar. Penyebabnya ialah suplai temulawak dan kunyit kepada industri obat selama ini biasanya diambil dari para petani yang mengumpulkan rimpang dari berbagai daerah yang tidak jelas asal usul bahan tanamnya (tidak dibudidayakan). Hal ini beresiko terhadap kualitas bahan baku dan kandungan bahan aktif yang terkandung dalam rimpang kedua komoditi tersebut sangat bervariasi. Di lain pihak, industri obat tradisional menuntut kualitas yang tinggi agar bahan baku dan simplisia biofarmaka dapat diproses lebih lanjut menjadi obat atau kosmetika.

Sebagai komponen produksi, bahan alam ini merupakan hasil resultan berbagai faktor, baik internal (genetik) maupun faktor eksternal (lingkungan) sehingga kandungan bahan aktifnya tidak dapat dijamin selalu tetap. Oleh karena itu jumlah kandungan senyawa bioaktif ini sangat bervariasi, yang kemungkinan dipengaruhi oleh faktor lingkungan tempat tumbuh tanaman (eksternal) seperti: iklim, ketinggian tempat dan kondisi kesuburan lahan dan faktor genetik (internal). Tanaman temulawak dan kunyit tumbuh tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia. Seperti diketahui bahwa wilayah Indonesia memiliki keragaman kondisi lingkungan seperti ikim, topografi, dan kondisi kesuburan lahan. Dengan kondisi lingkungan yang bergam tersebut dimungkinkan adanya perbedaan tingkat kandungan kurkumin yang berbeda. Tujuan jangka panjang penelitian ini ialah mendapatkan klon unggul tanaman temulawak dan kunyit dengan kandungan senyawa kurkumin yang tinggi. Korelasi antara hasil pada tahun pertama dan kedua diharapkan dapat digunakan untuk mengklasifikasikan kultivar temulawak dan kunyit yang tumbuh di beberapa daerah di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat berdasarkan potensi kandungan kurkuminnya. Tujuan penelitian secara khusus ialah: 1) Menguji daya adaptasi tanaman temulawak dan kunyit hasil eksplorasi tahun I pada lingkungan baru yang sama, apakah tanaman yang berasal dari berbagai daerah mempunyai tingkat

Page 4: (Curcuma xanthorhiza Roxb.) dan Kunir (Curcuma domestica Val.)

pertumbuhan dan hasil yang sama, 2) Menguji dan mengidentifikasi keragaman genetik pada tanaman temulawak dan kunyit hasil eksplorasi , dan 3) Mendapatkan aksesi temulawak dan kunyit yang berpotensi untuk dikembangan menjadi bahan tanam unggul.

Pada tahun I telah dilakukan eksplorasi analisis kurkumin dan penyemaian bahan tanam hasil koleksi. Wilayah eksplorasi meliputi propinsi Jawa Timur (Banyuwangi, Jember, Trenggalek, Pacitan, Mojokerto, Pamekasan, Sumenep, Pasuruan Malang dan Batu), Jawa Tengah (Boyolali, Sragen, Klaten dan Purwokerto ), Yogyakarta (Bantul) dan Jawa Barat (Subang dan Cirebon). Analisis kadar kurkumin dalam rimpang temulawak dan kunyit menggunakan metode TLC (Thin Layer Chromatographic) atau KLT (Kromatografi Lapis Tipis). Hasil yang didapatkan menunjukkan kadar kurkumin tertinggi dalam temulawak berasal dari Sumenep (1.26%) dan pada kunyit berasal dari Purwokerto dan sumenep (2.9%).

Pada tahun II tanaman hasil eksplorasi ditanam pada kondisi lingkungan yang sama. Setelah tanaman berumur 8 bulan, rimpang dipanen dan dianalisis kandungan kurkuminnya yang kemudian dibandingkan dengan hasil analisa pada tahun pertama. Selain itu, juga dilakukan identifikasi variasi genetik dengan analisis isoenzim untuk mengetahui adanya keragaman genetik diantara klon kedua tanaman tersebut. Dari hasil pengamatan didapatkan bahwa kadar kurkumin dalam lingkungan yang sama menunjukkan keragaman yang berbeda dengan keragaman pada lingkungan yang berbeda. Pada lingkungan yang berbeda kadar kurkumin temulawak tertinggi dari Sumenep sedangkan pada lingkungan yang sama kadar kurkumin tertinggi dicapai oleh Malang-Pujon. Pada kunyit kadar tertinggi dicapai Sumenep pula dengan lingkungan masing-masing, tetapi bila ditanam pada lingkungan yang sama kurkumin tertinggi dicapai oleh Pasuruan- Sukoreno.

Page 5: (Curcuma xanthorhiza Roxb.) dan Kunir (Curcuma domestica Val.)

SUMMARY

Exploration and identification of Curcuma xanthorhiza Roxb. and Curcuma domestica Val. as pharmaceutical industry material: Identification of genetic diversity and curcumin content Tatik Wardiyati, Yudi Rinanto, Titik Sunarni dan Nur Azizah Penelitian Hibah Bersaing 2009

Herbal medicinal industry and healthy food are developing fast in Indonesia as well as in other country due to the global theme of back to nature. Empowering medicinal crops as natural resource such as Curcuma xanthorriza and Curxuma domestica are given most attention by government. In Indonesia the demand of both crops are 3.000 ton per year for C.xanthoriza and 4.5 ton per year for C.domestica (Bisnisfarmasi 2007). The main active compund of both C.Xanthirriza and C.domestica is curcumin which used to be a medicine for fever, diarhee, high blood presser, stomacace, anticoagulan, lever, etc. (Rahardjo and Oth Rostiana, 2005). Eventhough the supply of both material or extract of C.xanthorhiza and C.domestica still having constrain due to the heterogenity of the plant material. Hence the quality of the medicine also could not standardizised. The raw material for industry was came from different farmers and different area in which having different curcumint content as well. On the other hand the medicinal industries need a high quality and homogene raw material. Therefore a research was conducted to collect clones from different local area of C.xanthorhiza and C.domestica in order to obtain the best clone (accesion) that having high curcumin content and high yield. Twenty accesions were collect from 20 local area in East java, Center Java and West Java. From the first year research (2008) by using Thin Layer Chromatography was obtained that accession from Sumenep was the best by means of having highest curcumin content both for C.xanthorhiza (1,26%) and C.domestica (2,90%). It means that environment influenced yield and curcumint content.

The second year research was to obtain genotypes having high curcumin content. To solve that a research was conducted at Malang (East Java) by growing those 20 accesions in polybags for 8 months. The result showed that by using Thin

Layer Chromatography the best accesion for temulawak (C.xanrhorhiza) was Malang-Pujon ( 0,89%, while for kunyit (C.domestica) was obtained by Pasuruan-

Sukoreno (2,4%). From both research of first and second year was found that environment of Sumenep was the best to induce curcumin synthesis while geneticaly the best C.xanthorhiza was Malang- Pujon and the best C.domestica was Pasuruan-Sukoreno. To study the genetic diversity of the accesions , an isozyme analysis was

conducted. From the result using peroxidise showed that C.xanthoriza accession Malang-Pujon was in different group with Sumenep, but in C.domestica accesion

Pasuruan-Sukoreno was in one group with Sumenep.

Page 6: (Curcuma xanthorhiza Roxb.) dan Kunir (Curcuma domestica Val.)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, B., 2001. The use of isoenzim as biochemical markers in rice research. Buletin AgroBio. 4 (2) : 39 - 44

Bailey, D.C. 1983. Isozymic variation and plant breeders right In S.D. Tanksley and T.J. Orton (eds). Isozymes in plant genetics and breeding. Part A. Elsevier. New York

Bisnisfarmasi. 2007. Pasar Biofarmaka; WOW! ( Bagian 1&2) http://bisnisfarmasi.wordpress.com/2007/02/19/pasar-biofarmaka-wow-bagian-1&2/

Goodin.,M.M., A.R.Biggs and A.M.Castle. Changes in Levels and Isozymes of peroxidase in wounded peach bark. Fruit varieties journal. 47(4): 185-192

Paisooksantivatana, Y., S., Kako and H. Seko. 2001. Genetik diversity of Curcuma alismatifolia Gagnep. (Zingiberaceae) in Thailand as revealed by allozyme polymorphism. Genetik Resources and Crop Evolution : 1–7

Pasteur, N., G. Pasteur, F.Bonhomme, J.Catalan, and J.B. Davidian. 1988. Practical isozyme genetics. John Willey and Sons. New York.

Rédei. G. P. 2008. Encyclopedia of genetics, genomics, proteomics, and informatics. Springer Science Business Media, LLC. New York

Shen G.H., Xu Y., Zhuan W.W. (2001): Relationship between disease resistance and tolerance and theperoxidase isozymes of barley and rape. J. Shanghai Teach. Univ. Natural Sci., 30: 52–55

Vallejos, C. E. 1983. Enzyme activity staining in S. D. Tanskley and T.J. Orton. Isozyme in plant genetic and breeding Part A. Elsevier. New York. p. 469– 519

Wardiyati T., Y. Rinanto, T. Sumarni, dan N.Azizah. 2009. Evaluasi temulawak dan kunyit hasil koleksi di Jawa Timur. 2009. AGRIVITA. In press.

Wendel, L. F. and N.F. Weeden. 1989. Visualization and interpretation of plant isozymes. in: E. D. Soltis, P. S. Soltis (eds.), Isozymes in plant biology. Dioscorides Press. Portland. Oregon. p. 5 –45

Ying, X.F. , P. Liu, G.D. Xu. 2006. Effect of aluminum on the isoenzim of the seedlings of two soybeans (Glycine max (L.) Merrill) varieties. Plant Soil Environ. 52 (6) : 262 – 270