19
44 | Pute Waya Vol. 2, No. 1, 2021 CYBERSPACE DAN UNGGAHAN STATUS RELIGIUS DI MEDIA SOSIAL Dorothea Febe Winman a , Natalia Olivia Kusuma Dewi Lahamendu b Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga (Magister Sosiologi Agama) a , IAKN Manado (Program Studi Sosiologi Agama) b [email protected] a , [email protected] b Received: 16-04-2021/Accepted: 30-04-2021/Published: 30-06-2021 Abstrak Kajian ini bertujuan meneliti tentang persepsi manipulatif dalam hal bermedia-sosial, terutama yang berkaitan dengan status religius, yaitu doa dan kesaksian, dari para pengguna. Tujuannya untuk menganalisis status religius dalam bermedia-sosial berdasarkan pengalaman pengguna. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ruang cyber, secara spesifik media sosial, dapat berguna bagi perjumpaan beserta relasi yang terjalin antara manusia dengan Tuhan di dalamnya, melalui status-status doa dan kesaksian. Walaupun demikian, ada juga sebagian besar unggahan status religius dari pengguna, yang terbaca religius (oleh pembaca / pengguna lain), tidak benar-benar ditujukan kepada Tuhan karena pengunggah memiliki tujuan dan makna yang berbeda terhadap status-status religius tersebut. Hal ini menjadi tantangan tersendiri di dalam upaya berteologi di ruang cyber. Kata-kata kunci: Ruang cyber; media sosial; pemaknaan; pengguna; status religius. Abstract This study aims to examine manipulative perceptions in terms of social-media, especially those related to religious status, namely prayer and testimony, from users. The aim is to analyze religious status in social media based on user experience. The method used in this research is descriptive qualitative. The results of the study show that cyberspace, specifically social media, can be useful for encounters and relationships that exist between humans and God in them, through prayer statuses and testimonies. However, there are also religious social media status that appears religious to its audience but is actually not aimed for the purpose of worshipping God by its uploader. This is a challenge in itself in efforts to theology in cyber space. Keyword : Cyberspace; social media; meaning ; user; religious status. PUTE WAYA Sociology of Religion Journal (E-ISSN: 2747-1179) Vol. 2, No. 1 2021, h. 44-62

CYBERSPACE DAN UNGGAHAN STATUS RELIGIUS DI MEDIA …

  • Upload
    others

  • View
    5

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

44 | P u t e W a y a V o l . 2 , N o . 1 , 2 0 2 1

CYBERSPACE DAN UNGGAHAN STATUS RELIGIUS DI MEDIA

SOSIAL

Dorothea Febe Winmana , Natalia Olivia Kusuma Dewi Lahamendub

Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga (Magister Sosiologi Agama)a, IAKN Manado

(Program Studi Sosiologi Agama)b

[email protected], [email protected]

Received: 16-04-2021/Accepted: 30-04-2021/Published: 30-06-2021

Abstrak

Kajian ini bertujuan meneliti tentang persepsi manipulatif dalam hal bermedia-sosial, terutama yang

berkaitan dengan status religius, yaitu doa dan kesaksian, dari para pengguna. Tujuannya untuk menganalisis

status religius dalam bermedia-sosial berdasarkan pengalaman pengguna. Metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ruang cyber, secara spesifik

media sosial, dapat berguna bagi perjumpaan beserta relasi yang terjalin antara manusia dengan Tuhan di

dalamnya, melalui status-status doa dan kesaksian. Walaupun demikian, ada juga sebagian besar unggahan

status religius dari pengguna, yang terbaca religius (oleh pembaca / pengguna lain), tidak benar-benar ditujukan

kepada Tuhan karena pengunggah memiliki tujuan dan makna yang berbeda terhadap status-status religius

tersebut. Hal ini menjadi tantangan tersendiri di dalam upaya berteologi di ruang cyber.

Kata-kata kunci: Ruang cyber; media sosial; pemaknaan; pengguna; status religius.

Abstract

This study aims to examine manipulative perceptions in terms of social-media, especially those related

to religious status, namely prayer and testimony, from users. The aim is to analyze religious status in social

media based on user experience. The method used in this research is descriptive qualitative. The results of the

study show that cyberspace, specifically social media, can be useful for encounters and relationships that exist

between humans and God in them, through prayer statuses and testimonies. However, there are also religious

social media status that appears religious to its audience but is actually not aimed for the purpose of worshipping

God by its uploader. This is a challenge in itself in efforts to theology in cyber space.

Keyword : Cyberspace; social media; meaning ; user; religious status.

PUTE WAYA

Sociology of Religion Journal

(E-ISSN: 2747-1179)

Vol. 2, No. 1 2021, h. 44-62

45 | P u t e W a y a V o l . 2 , N o . 1 , 2 0 2 1

PENDAHULUAN

Internet telah menjadi suatu “pandemi” selama kurang lebih satu dekade terakhir, dan

memiliki pengaruh besar terhadap keotentikan diri dan berbagai aspek kehidupan manusia.

Manusia dapat masuk dan berkelana di dalam ruang tanpa batas - ruang cyber / cyberspace /

dunia maya hanya dengan sebuah gawai yang terhubung dengan jaringan internet.

Cyberspace telah menjadi salah satu bagian yang tak terelakkan dari kehidupan “masyarakat

digital”1 saat ini karena cyberspace mencerminkan realitas kehidupan manusia secara global

yang beraktivitas dan berjumpa dalam realitas virtual melalui data-data dalam jaringan

komputer. Manusia dapat menikmati kehidupan “amfibi” - di dunia nyata/fisik sekaligus di

dunia virtual - dan karena itu, kehidupan manusia di cyberspace merupakan kelanjutan,

gabungan, bahkan perbedaan dari kehidupan aktualnya (life mix) yang dibalut dengan

identitas-identitas yang diciptakan manusia itu sendiri sebagai pengguna (user). Kehidupan

“amfibi” ini terus berlanjut dan meningkat intensitasnya saat manusia masuk ke dalam dunia

virtual jejaring sosial terhubung atau media sosial.

Pada Januari 2021, tercatat ada 17 platform media sosial yang paling banyak

digunakan di seluruh dunia.2Lebih spesifik, media sosial yang paling banyak digunakan

orang Indonesia adalah YouTube, diikuti oleh WhatsApp, Facebook, Instagram, dan Twitter,

dan hingga Januari 2020, lebih dari 160 juta orang Indonesia telah menjadi pengguna aktif

media sosial.3 Kenyataan penggunaan media sosial yang masif ini membuktikan bahwa

sebagian besar manusia saat ini sangat mengandalkan bahkan bergantung pada media

sosialnya untuk terhubung, beraktivitas, dan bereksistensi secara virtual dengan begitu

banyak orang.

1Istilah ‘masyarakat digital’ kini digunakan untuk menunjukkan logika dan kinerja jaringan terhubung.

Menurut Manuel Castells, dalam salah satu triloginya tentang era reformasi, manusia di dunia modern saat ini

hidup sebagai masyarakat jaringan (network society) karena orang berkomunikasi melalui berbagai macam

peranti, baik di kota-kota besar sampai ke desa-desa. Lih. Manuel Castells et.al, Mobile Communication and

Society: A Global Perspective (London: The MIT Press, 2007), 77. 2Datareportal, “Global Social Media Stats”, diakses pada 14 Maret 2021, pukul 20.30 WIB.

https://datareportal.com/social-media-

users#:~:text=Facebook%20remains%20the%20world's%20most,platforms%20are%20owned%20by%20Faceb

ook. 17 media sosial dengan pengguna terbesar adalah: Facebook, YouTube, WhatsApp, Facebook Messenger,

Instagram, WeChat, TikTok, QQ, Douyin, Sina Weibo, Telegram, Snapchat, Kuaishou, Reddit, Pinterest,

Twitter, dan Quora. 3Simon Kemp, “Digital 2020: Indonesia,” diakses pada 14 Maret 2021, pukul 20.33 WIB.

https://datareportal.com/reports/digital-2020-indonesia.

46 | P u t e W a y a V o l . 2 , N o . 1 , 2 0 2 1

Sebagian dari budaya penggunaan internet dan media sosial dapat menyebabkan

perilaku adiktif.4 Waktu, produktivitas, dan hubungan menjadi faktor-faktor yang

mempengaruhi kecanduan seseorang terhadap media sosial dan gawai.5 Namun, pada sisi

lain, media sosial rupanya mengakibatkan terjadinya perubahan yang sangat besar bagi

kehidupan manusia dalam banyak aspek, seperti aspek sosial, ekonomi, budaya, maupun

religius. Perubahan ini dilatarbelakangi oleh berbagai motivasi, kepentingan, dan tujuan

“hidup” manusia di ruang cyber media sosial, contohnya, untuk menunjukkan eksistensi,

berbagi informasi dan pengetahuan, berjualan secara online, untuk mengetahui apa saja yang

dilakukan orang lain, bahkan untuk melakukan aktivitas religius seperti berdoa atau

beribadah secara online.6Pengguna dapat menuangkan ekspresi-ekspresi religiusnya (pribadi

maupun kelompok) di media sosial dalam bentuk kalimat, gambar, video, dan sebagainya.

Kami menemukan sebuah fakta bahwa media sosial sebenarnya telah lama digunakan

untuk berdoa.7 Hingga penelitian ini dilakukan, manusia masih dan semakin intens

menggunakan media sosial untuk melakukan aktivitas doa, secara pribadi maupun kelompok.

Belum lagi akibat pandemi COVID-19 yang melanda dunia, menyebabkan hampir seluruh

kegiatan keagamaan manusia di seluruh dunia, mau - tidak mau, harus beralih dari dunia fisik

ke cyberspace. Hal ini membuktikan bahwa media sosial dan cyberspace telah menjadi suatu

kebutuhan yang tidak hanya mempengaruhi aspek-aspek dalam relasi antarmanusia, tetapi

juga dalam relasi antara manusia dengan Tuhan.

Doa-doa lain yang dibagikan netizen ditemukan pada kolom status dan komentar dari

konten-konten tertentu di media sosial. Memang, tidak semua doa yang kami temukan dalam

media sosial diakhiri dengan kata “Amin”, namun, kalimat yang sekiranya merujuk pada

hubungan komunikasi antara pengguna dengan Tuhan dapat dikatakan sebagai doa.8 Doa-doa

4Phil Longstreet, Stoney Brooks, “Life Satisfaction: A Key to Managing Internet & Social Media

Addiction,” Technology in Society (2017): 73. 5M. Oktaviano Pratama, et.al., “Influence Factors of Social Media and Gadget Addiction of Adolescent

in Indonesia,” Jurnal Sistem Informasi (Journal of Information System) Vol.16, Issue 1 (April, 2020): 22. 6Craig Detweiler, iGods: How Technology Shapes Our Spiritual and Social Lives. (Grand Rapids,

Michigan: Brazos Press, 2013), 131. 7“Praying…Live!” dalam Challenge Newsline, Issue 599 (November 2007): 4. Sejak tahun 2007, atau

sekitar empat belas tahun lalu, James Burden dari Scripture Union membuat akun grup bernama PrayLive yang

dapat digunakanpengguna Facebook dari seluruh dunia untuk meminta doa, saling mendoakan serta

menyemangati satu sama lain melalui status-status doa yang diunggah di grup tersebut. “Scripture Union is an

international mission movement working with churches in more than 140 countries to bring the good news of

Jesus Christ to children, young people and families, and to encourage them to develop spiritually through the

Bible and prayer.” James Burden sendiri adalah direktur asosiasi di Scripture Union pada saat itu yang pertama

kali memunculkan ide memanfaatkan Facebook untuk menyampaikan doa. 8Menurut Owen F. Cummings, doa berkaitan dengan komunikasi dua arah yang dilakukan oleh

manusia untuk berdialog dengan Tuhan atau Sang Ilahi. Lih. Owen F. Cummings, John Macquarrie: A Master

of Theology (New York: Paulist Press, 2002), h. 115.

47 | P u t e W a y a V o l . 2 , N o . 1 , 2 0 2 1

online ini sangat dipengaruhi oleh motivasi dan tujuan pengguna yang mengunggahnya.

Motivasi dan tujuan ini menjadi penting manakala religiusitas ditampilkan dalam komunikasi

di ruang cyber, karena ada peluang bagi diri palsu, diri asli, bahkan integrasi dari diri palsu

dan asli, untuk dihadirkan di dalamnya.9 Pengguna dapat menampilkan ekspresi religiusnya

sebagai orang yang saleh dalam realitas virtual media sosial, tetapi dalam dunia aktual/fisik

tidak menampilkan tindakan religius tersebut, dan juga sebaliknya.

Aktivitas religius pengguna cyberspace biasanya melibatkan spiritualitas yang

terintegrasi dengan teknologi cyber, sehingga mempengaruhi ekspresi religius manusia di

dunia virtual, yang disebut oleh Jusuf Nikolas Anamofa sebagai spiritualitas (dalam) ruang

cyber.10 Peluang dan cara baru bagi manusia untuk membayangkan bagaimana Tuhan dapat

hadir dan dijumpai di mana saja, termasuk dalam cyberspace, telah ditawarkan oleh media

sosial. Hal ini berkaitan erat dengan interaksi sesama manusia dalam bentuk digit di ruang

cyber, yang kemudian membentuk sebuah “ruang sakramental”, yaitu tempat di mana Tuhan

hadir di dunia ini dan dalam komunitas beragama.11Doa (untuk diri sendiri, orang lain, dan

masyarakat global) di media sosial menjadi salah satu aktivitas online yang menghadirkan

ruang sakramental tersebut. Lebih dari itu, sifat Tuhan yang Maha Hadir (omnipresent)

membuka kesadaran manusia pada konsep ruang dan waktu yang tak terbatas, serta

menemukan dan menjumpai Tuhan dengan cara dan dimensi yang baru melalui unggahan

status doa.

Sejatinya, cyberspace dapat dialami sebagai tempat yang sakral, tergantung pada

imajinasi pengguna yang mengalami kehadiran dan rahmat Tuhan secara berulang di

cyberspace. Cukup banyak peneliti dan teolog yang telah mendalami hubungan antara teologi

dan cyberspace (cybertheology/teologi cyber), spiritualitas dalam ruang cyber, ruang cyber

sebagai ruang yang sakral / ruang sakramental - tempat orang memaknai Tuhan dalam

aktivitas virtual dan interaksi dengan sesama.12Aktivitas-aktivitas religius dalam media sosial

9Jaco J. Hamman, Growing Down: Theology and Human Nature in the Virtual Age. (Texas: Baylor

University Press, 2017): 33. 10Jusuf Nikolas Anamofa, “Meneropong Spiritualitas Ruang-Cyber dari Sudut Halmahera,” dalam

Sefnat A. Hontong (ed.), Mata di Halmahera: Buku Peringatan HUT V Universitas Halmahera Tobelo Fakultas

Teologi (Yogyakarta: Kanisius, 2013): 9. 11Lavinia Byrne, “God in Cyberspace", Media and Theology Project Public Lectures, (2000): 6. Lihat

juga Anthony Le Duc, “Cyber/Digital Theology: Rethinking about Our Relationship with God and Neighbor in

the Digital Environment” Asian Research Center: Religion and Social Communication Vol. 13 No. 2,

(Desember 2015): 141-142. Menurut Lavinia Bryne dalam “God in Cyberspace”, berbicara tentang sakramental

berarti berbicara tentang suatu peristiwa dan khususnya tindakan ilahi. Oleh karena itu, lingkungan

digital/cyberspace memungkinkan kehadiran Tuhan di dalamnya sebab manusia mengalami tindakan dan

perjumpaan dengan yang ilahi dengan cara yang berbeda-beda di dalamnya. 12Byrne, “God in Cyberspace" (2000); Le Duc, “Cyber/Digital Theology” (2015); Antonio Spadaro,

Cybertheology: Thinking Christianity In The Era of The Internet, terj. Maria Way (New York: Fordham

48 | P u t e W a y a V o l . 2 , N o . 1 , 2 0 2 1

membuktikan peluang baru manusia untuk melibatkan spiritualitasnya dalam rangka

memperkaya pencarian atas kehadiran Tuhan di dunia, khususnya dunia digital.13

Aktivitas-aktivitas religius yang dilakukan juga menjadi bagian dari kelebihan

berteologi di ruang cyber - untuk mencari, menjumpai, dan tetap terhubung dengan Tuhan di

dunia virtual. Menurut Sopacoly dan Lattu, “kesadaran spiritualitas orang Kristen akan

menjadikan realitas virtual sebagai wilayah jangkauan Allah yang secara imajinasi menyapa

setiap netizen melalui berbagai jenis postingan sehingga dalam aktivitas kliknya (click-

activism) memberi manfaat kepada banyak orang.”14 Selain itu, beberapa penelitian

menunjukkan bahwa ruang cyber menguntungkan bagi pertumbuhan spiritualitas. Akan

tetapi, dalam kenyataannya, unggahan status doa sebagai salah satu aktivitas religius yang

dilakukan pengguna media sosial tidak semuanya dilakukan dengan kesadaran spiritualitas

atau dihayati sebagai tindakan untuk menjumpai Tuhan di cyberspace. Ini merupakan salah

satu tantangan berteologi dan spiritualitas di ruang cyber, yang mana status-status religius

yang ditemui terkadang bersifat manipulatif, dalam arti tidak ditujukan kepada Tuhan dan

tidak dimulai dari pengalaman iman di media sosial pengguna itu sendiri.

Pengguna dapat mengekspresikan spiritualitas dan bagian religius dari dirinya melalui

doa-doa yang benar-benar ditujukan kepada Tuhan, namun pengguna juga dapat mengunggah

doa tanpa melibatkan bagian religiusnya - tergantung pada motivasi. Melalui kemampuan

manusia untuk mencipta, dan di bawah kendalinya, pengguna menggunakan media sosial

untuk membuat citranya sendiri melalui doa yang diunggah di media sosial. Lantas, apakah

doa-doa online tersebut benar-benar ditujukan kepada Tuhan atau tidak?

Berdasarkan hal-hal tersebut, penelitian ini akan menganalisis kegiatan religius seperti

doa yang marak dilakukan pengguna media sosial dalam bentuk status dan komentar, serta

motivasi, kepentingan, atau tujuan pengguna yang mengunggahnya. Fokus penelitian ini ialah

pada persepsi manipulatif dalam hal bermedia-sosial, terutama yang berkaitan dengan status

religius, dari para pengguna. Tujuannya untuk menganalisa status religius dalam bermedia-

sosial berdasarkan pengalaman pengguna. Sebab, tidak semua status yang bersifat religius di

media sosial benar-benar menggambarkan aktivitas atau keadaan yang sesungguhnya dari

University Press, 2014); Hamman, Growing Down(2017); Joseph V. Macalanggan, “Experiencing God in

Cyberspace: The Role of Cybertechnology in Doing Theology”, Scientia Bedista Vol. 4 (Maret, 2017); Aep

Wahyudin, “Spiritualitas Cyberspace: Interplay Post-Sains-Teknologi dan Filosofi Spiritualitas Sains Dakwah”,

Jurnal Ilmu Dakwah, Vol. 5, No. 17, (2011); Mick Mordekhai Sopacoly dan Izak Y. M. Lattu, “Kekristenan dan

Spiritualitas Online: Cybertheology sebagai Sumbangsih Berteologi di Indonesia”, Gema Teologika Vol. 5, No.

2 (Oktober, 2020). 13Le Duc, “Cyber/Digital Theology”, h. 142. 14Sopacoly dan Lattu, “Kekristenan dan Spiritualitas Online”, h. 150.

49 | P u t e W a y a V o l . 2 , N o . 1 , 2 0 2 1

pengguna yang sekaligus adalah pengunggah. Manfaat secara teoritis untuk melengkapi

penelitian-penelitian sebelumnya terkait cyberspace dan ‘ruang sakramental’ sebagai ruang

digital pemaknaan terhadap Tuhan terutama di media sosial. Secara praktis, memberikan

gambaran terkait kelebihan dan kelemahan dalam ruang internet terkait persepsi, dan

kepentingan pengguna dalam bersosial media dari sisi religius maupun non-religius.

METODE

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif untuk memahami

dan menjelaskan fenomena unggahan status religius serta untuk memperoleh data yang

mendalam terhadap motivasi atau alasan pengguna media sosial yang mengunggah atau

membagikan status religius. Selain itu, kami juga menggunakan metode Participant

Observation sebab kami adalah pengguna aktif media sosial (Instagram, WhatsApp, dan

Facebook) yang akan mengobservasi status-status doa yang muncul dari informan yang

menggunakan beberapa media sosial tersebut. Participant Observation merupakan metode

yang memungkinkan kami mempelajari kegiatan informan yang akan diteliti dalam suatu

setting yang alami, melalui pengamatan dan partisipasi dalam aktivitas informan.15 Dalam hal

ini adalah aktivitas religius yang dilakukan secara online di media sosial. Teknik

pengumpulan data yang digunakan yaitu wawancara mendalam via telepon dan tatap muka

dengan informan, hasil tangkapan layar (screenshot) status religius di media sosial, buku,

artikel, dan jurnal ilmiah yang membahas tentang konsep dan teori cyberspace, media sosial,

dan cybertheology.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Cyberspace dan Media Sosial

Cyberspace dan media sosial tidak dapat terlepas dari internet sebagai objek penting

yang menggerakkan keduanya. Menurut Craig Detweiler, internet selalu bersifat sosial dalam

penggunaannya karena internet dibuat untuk menyatukan penggunanya dari berbagai ruang,

jarak, serta disiplin ilmu, agar lebih mudah terhubung.16 Melalui internet, manusia dapat

mengalami realitas virtual yang merupakan duplikasi realitas (yang sebenarnya). Sherry

Turkle, dalam Life on The Screen, mengemukakan bahwa internet adalah sebuah

laboratorium sosial bagi eksperimen konstruksi dan rekonstruksi identitas di ruang cyber

15Barbara B. Kawulich, “Participant Observation as A Data Collection Method” Forum Qualitative

Social Research. Vol. 6, No.2, Art. 43 (Mei, 2005). https://doi.org/10.17169/fqs-6.2.466 16 Detweiler, iGods, h. 131.

50 | P u t e W a y a V o l . 2 , N o . 1 , 2 0 2 1

sebab pengguna dapat menciptakan bermacam-macam identitas virtual dan ‘memainkannya’

dalam ruang cyber tersebut.17

Kendati memiliki hubungan dengan internet, ruang cyber atau cyberspace sendiri

merupakan hasil dari internet. Anthony Le Duc menyebutnya sebagai ‘lingkungan nosional’

atau ‘tempat khayalan’, yang berarti cyberspace tidak ada secara fisik, melainkan hanya

berupa ruang metaforis yang terbentuk dalam pikiran manusia – terutama saat bertemu dan

berinteraksi dengan orang lain seolah-olah sedang bertemu dalam ruang khusus.18 Orang

dapat beraktivitas dan berjumpa secara digital, bukan secara atomik, dalam realitas virtual

melalui data-data dalam jaringan komputer. Menurut Joseph Macalanggan, sebagian besar

orang yang menghabiskan waktu di ruang cyber adalah kaum muda – yang sangat terikat

dengan cyberspace – yang siap dan mampu beradaptasi dengan budaya dan “bahasa”

komputer.19 Tidak jarang, orang percaya bahwa mereka bisa mendapatkan semua yang

dibutuhkan di ruang cyber, sehingga cyberspace telah menciptakan perubahan besar di

bidang komunikasi dan informasi, dan hasilnya terlihat dari penggunaan e-mail, blog, situs

internet, dan akun media sosial.

Media sosial merupakan produk dari new media yang dapat ‘menarik’ ratusan juta

orang di dunia, tidak terkecuali Indonesia, untuk menjadi penggunanya. Lebih spesifik,

pengguna media sosial di Indonesia hingga Januari 2021 mencapai 170 juta pengguna aktif –

dari total populasi 274,9 juta orang Indonesia – dengan smartphone sebagai sarana akses

terbanyak.20 Artinya, lebih dari setengah populasi masyarakat Indonesia mampu menjangkau

harga smartphone dan menjadi pengguna aktif media sosial. Kenyataan penggunaan media

sosial yang masif ini berkaitan dengan kegunaan yang ditawarkan media sosial itu sendiri.

Akses informasi dan komunikasi yang mudah dan cepat menjadi kegunaan utama media

sosial. Tidak hanya itu, Macalanggan menegaskan bahwa salah satu kegunaan media sosial

adalah untuk menginspirasi sekaligus mempromosikan kesejahteraan orang lain.21 Dengan

demikian, tidak mengherankan jika pengguna media sosial semakin bertambah dari hari ke

hari.

17 Sherry Turkle, Life on the Screen. (New York: Simon & Schuster, 1995), h. 178-180. 18 Le Duc, “Cyber/Digital Theology, h. 136. 19Macalanggan, “Experiencing God in Cyberspace”, h. 111. 20 Simon Kemp, “Digital 2021: Indonesia”, diakses pada 14 Maret 2021, pukul 20.45

WIB.https://datareportal.com/reports/digital-2020-indonesia. 21Macalanggan, “Experiencing God in Cyberspace”, h.115.

51 | P u t e W a y a V o l . 2 , N o . 1 , 2 0 2 1

Media sosial dengan urutan yang paling sering digunakan adalah WhatsApp,22

Instagram, diikuti oleh Facebook.23 Ketiga media sosial ini memiliki dampak yang sangat

besar pada budaya modern, terutama Generasi Y dan Z (milenial), dan selalu menjadi ruang

bagi pengguna untuk mengekspresikan berbagai perasaan, pikiran, pengalaman, diri

(personal branding/ membentuk citra diri), hingga sisi religius pengguna – dengan alasan

atau motif yang berbeda-beda. Melalui media sosial, pengguna dapat mencari tahu kehidupan

pribadi orang lain, sekaligus mencari tahu apa yang dipikirkan dan dikatakan orang lain

tentang mereka.24 Pada sisi positif, media sosial menyediakan ruang untuk bertukar informasi

dan komunikasi secara global dalam lingkungan yang ‘terkendali’25 dengan cara-cara yang

terbaru dan menarik.26 Namun, di sisi negatif, banyak orang yang menggunakan media sosial

untuk menggambarkan gaya hidup idealis sehingga tercipta citra diri yang positif. Hal ini

merupakan salah satu cara pengguna “bertahan hidup” di media sosial dengan cara

mengonstruksi identitas dirinya sesuai yang diinginkan.

Teologi Cyber (cyber-theology) dan Ekspresi Religius online dalam Ruang Sakramental

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi membuka peluang besar bagi

manusia untuk mengembangkan, mewujudkan, dan mengekspresikan iman sebagai bagian

dari aspek religiusnya dalam media baru yang modern. Ruang cyber, sebagai wujud media

baru, memungkinkan manusia untuk tidak hanya berkomunikasi dengan sesamanya, tetapi

juga dengan Tuhan. Aktivitas-aktivitas religius dalam bentuk peribadatan, yang mencakup

doa, dilakukan di dalam ruang cyber – ruang tanpa batas dan melampaui tembok-tembok

rumah ibadah – sebagai bagian dari kehidupan virtual manusia. Saat tulisan ini dibuat,

pandemi COVID-19 sedang melanda seluruh dunia, yang memberi dampak dan perubahan

besar bagi kehidupan religius manusia. Sejak awal kehadiran ruang cyber, ditambah dengan

pandemi COVID-19, semakin tidak ada batasan ruang untuk manusia ‘berjumpa’ dengan

22Meskipun WhatsApp tergolong dalam aplikasi pesan instan (instant messanging), namun fitur

WhatsApp story di dalamnya telah menyerupai fitur stories yang ada pada Instagram dan Facebook, sehingga

WhatsApp juga berfungsi sebagai media sosial bagi penggunanya. Ketiga aplikasi ini juga saling terkait satu

dengan yang lain dalam kategori Facebook’s “family of apps”, yaitu aplikasi yang terhubung dengan Facebook. 23 Simon Kemp, “Digital 2021: Indonesia”, diakses pada 14 Maret 2021, pukul 20.45

WIB.https://datareportal.com/reports/digital-2020-indonesia. 24 David R. Dunaetz, “Evangelism, Social Media, and the Mum Effect” Evangelical Review of

Theology, 43 (2) (2019): 143. 25 ‘Terkendali’ artinya pengguna/pemilik akun media sosial dapat menyaring siapa saja yang dapat

menjadi teman maupun pengikutnya, siapa saja yang dapat melihat, mengomentari, dan membagikan statusnya,

dan sebagainya. Pemilik akun dapat mengaturnya pada pengaturan privasi setiap media sosial yang digunakan. 26 Pengguna dapat mengaplikasikan efek atau filter dalam bentuk gambar, video, foto, yang berisi

informasi, kegiatan, maupun kehidupan pribadi pengguna, sehingga objek yang ditampilkan dalam media sosial

bervariatif. Hal ini merupakan salah satu daya tarik media sosial bagi penggunanya, khususnya bagi kaum

muda.

52 | P u t e W a y a V o l . 2 , N o . 1 , 2 0 2 1

Tuhan. Manusia dapat mewujudkan imannya dalam berbagai bentuk objek virtual di ruang

cyber, secara khusus media sosial, untuk berjumpa sekaligus berkomunikasi dengan Tuhan.

Le Duc menyitir Peter Singh yang mengatakan bahwa cybertheology memengaruhi

bagaimana manusia berpikir, belajar, berkomunikasi, dan hidup, sehingga cybertheology

harus dipahami sebagai kecerdasan iman (intelligence of faith).27Akan tetapi, cybertheology

tidak hanya sebatas teologi yang ditemukan di dunia maya dan harus dihilangkan dari

kehidupan sehari-hari. Justru, dunia maya mencakup dan memengaruhi semua dimensi dan

aspek kehidupan manusia.28 Jadi, teologi cyber atau cybertheology pada akhirnya merupakan

sebuah refleksi yang sistematis mengenai dampak perubahan era digital pada berbagai

dimensi kehidupan iman manusia beserta responnya terhadap lingkungan yang terus

berubah.29

Ekspresi religius, berupa doa maupun status-status religius, yang ditampilkan manusia

dalam ruang cyber pada hakikatnya merupakan wujud dari pengalaman tentang Tuhan – dari

kejadian yang sangat luar biasa hingga kejadian sehari-hari. Menurut Macalanggan,

penggunaan cybertechnology seperti media sosial dapat memelihara pertumbuhan dan

perkembangan spiritual manusia serta hubungannya dengan Tuhan.30 Selain itu, Lavinia

Byrne mengemukakan bahwa ketika manusia menjadi pelancong di ruang cyber, manusia

menemukan kepercayaan dan fondasi teologis bahwa revolusi dunia maya / ruang cyber

menunjukkan Tuhan hadir bagi manusia dalam dunia digit atau angka yang tidak terlihat, dan

bahwa pekerjaan Tuhan dalam menopang realitas manusia menjadi Maha Hadir di mata iman

manusia.31 Dengan demikian, wajar dan sah-sah saja apabila manusia mengunggah dan

membagikan hal-hal yang menjadi ekspresi religiusnya di media sosial karena alasan

kepercayaan dan fondasi teologis ini.

Status-status religius yang diunggah pengguna di media sosial, jika benar-benar

merupakan bagian dari kepercayaan dan fondasi teologis – seperti yang dikemukakan Byrne

– menjadi bukti bahwa Tuhan dapat ditemui di ruang cyber dan karena itu membentuk sebuah

ruang sakramental.32 Byrne mengungkapkan sebuah ruang suci yang tidak terbatas dan

27Le Duc, “Cyber/Digital Theology”, h. 140. 28Sopacoly dan Lattu, “Kekristenan dan Spiritualitas Online”, h. 146. 29Le Duc, “Cyber/Digital Theology”, h. 140. 30 Macalanggan, “Experiencing God in Cyberspace”, h. 115. 31Byrne, “God in Cyberspace", h. 6. 32 Robert Ellis, dalam “Sporting Space, Sacred Space: A Theology of Sporting Place” mengemukakan

bahwa suatu tempat, jika dilihat secara sakramental, merupakan lokasi material yang melaluinya Allah

memediasi kehadiran dan rahmat yang menyelamatkan. Tempat tersebut diklaim bersifat sakramental jika

tempat tersebut dialami, sebagai tempat kehadiran Allah dan rahmat-Nya yang menyelamatkan, berulang kali.

53 | P u t e W a y a V o l . 2 , N o . 1 , 2 0 2 1

memungkinkan kehadiran Tuhan di dunia, dan di tengah-tengah komunitas Kristen, yang

disebut sebagai ruang sakramental di cyberspace.33 Ruang sakramental yang terbentuk dalam

hal ini telah mengalami dekonstruksi makna menjadi sebuah ruang realitas virtual yang

menegaskan bahwa dunia digit dapat menjadi ruang bagi pengembangan realitas spiritual

manusia.

Manusia sebagai pengguna media sosial akan saling bertemu dan terintegrasi di dalam

ruang sakramental ini. Dengan demikian,menurut Sopacoly dan Lattu, agama, secara khusus

kekristenan, “…sangat membutuhkan cybertheology untuk membantu menemukan

kecerdasan iman dan spiritual dalam pencarian makna dan pengalaman terhadap yang

transenden dan diwujudkan juga dalam menciptakan relasi yang mendalam (deep relation)

dengan sesama dalam realitas virtual.”34 Hubungan dan perjumpaan manusia dengan Tuhan

di media sosial lantas terwujud dalam interaksi dan relasinya dengan pengguna lain di ruang

sakramental (dalam cyberspace). Intinya, dengan motivasi yang tepat dan bimbingan yang

tepat dari para pemuka agama dan para teolog, teknologi cyber seperti media sosial dapat

menjadi jalan di mana orang dapat mengalami dan bertemu dengan Tuhan.

Status Religius di Media Sosial dan Pemaknaan terhadap Tuhan

Status religius yang dibahas dalam tulisan ini ialah status yang berisi doa dan

kesaksian pengguna media sosial. Berdasarkan penelitian terhadap sepuluh informan, media

sosial dengan urutan yang paling sering digunakan untuk mengunggah status religius adalah

WhatsApp (stories), Instagram, dan Facebook. Status religius yang sering diunggah adalah

doa (ucapan syukur, doa permohonan khusus, doa harapan) dan kesaksian berdasarkan

refleksi pengalaman iman pengguna, namun yang terbanyak adalah doa ucapan syukur

(disertai kesaksian maupun tidak), diikuti dengan doa permohonan khusus.35 Bagi dua dari

sepuluh informan, status doa yang diunggah murni sebagai respon atas karya Tuhan melalui

peristiwa kehidupan yang dialami dan benar-benar ditujukan kepada Tuhan. Senada dengan

pandangan Byrne dan Macalanggan, kedua informan yang mengunggah status ini

Lih. Robert Ellis, “Sporting Space, Sacred Space: A Theology of Sporting Place”. Regent’s Park College and

the Faculty of Theology and Religion, Vol.10, Issue.8 (Agustus, 2019): 8-9. 33 Byrne, “God in Cyberspace”, h. 2. 34Sopacoly dan Lattu, “Kekristenan dan Spiritualitas Online”, h. 150. 35 Tujuh dari sepuluh informan mengaku lebih sering mengunggah status doa ucapan syukur.

54 | P u t e W a y a V o l . 2 , N o . 1 , 2 0 2 1

‘menemukan jalan’ melalui media sosial di mana mereka dapat mengalami dan berjumpa

dengan Tuhan.

Gambar 1. (Kiri) Status doa ucapan syukur; (kanan) status doa permohonan36

Christa, sebagai informan pertama, berkata, “Menurutku, Tuhan dengar doa-doa di media

sosial. Tuhan juga ada di sana, tapi yang bisa menilai layak atau tidaknya, ya, Tuhan

sendiri. Orang bisa berjumpa dengan Tuhan di media sosial, kayak (seperti) lewat ayat-ayat

Alkitab yang dibagikan juga bisa.”37Sama halnya dengan Giner, selaku informan kedua yang

mengatakan,

“Kita tidak bisa membatasi Tuhan yang tidak terbatas. Di media sosial ada Tuhan dengan manifestasi

yang kita tidak tahu bagaimana ... Bagi saya, Tuhan tidak terbatas, ada di media sosial. Ketika kita

posting sesuatu yang punya value atau katakanlah sebuah doa, Tuhan ada di sana.”38

Dari pernyataan kedua informan ini, terlihat bahwa ada orang-orang yang memahami bahwa

kehadiran Tuhan bersifat omnipresent dan percaya bahwa Tuhan hadir di ruang cyber,

sehingga manusia dimungkinkan datang menjumpai Tuhan di sana. Seperti kata

Macalanggan, cyberspace memberi kesan bagi manusia bahwa Tuhan dapat menggunakan

teknologi untuk hadir dan mengungkapkan kemuliaan-Nya di di sana.39

Pemahaman ini tidak hadir begitu saja, tetapi berangkat dari peristiwa hidup yang

telah dialami, yang digumuli maupun disyukuri dalam doa di dunia aktual, kemudian

diekspresikan dalam status. Ditambah lagi, kedua informan mengaku merasakan bahwa

Tuhan juga hadir saat mereka mengunggah status doa – perasaan yang sama seperti ketika

36 Sumber: Status WhatsApp stories Giner Maslebu, 12 Maret 2021, pukul 17.36 WIB; foto dan

caption Instagram Christa Tehusalawany, 5 Juni 2019. 37 Christa Tehusalawany, Wawancara tatap muka, Salatiga 17 Juni 2020. 38 Giner Maslebu, Wawancara via panggilan telepon WhatsApp, Salatiga 20 Juni 2020. 39Macalanggan, “Experiencing God in Cyberspace”, h. 115.

55 | P u t e W a y a V o l . 2 , N o . 1 , 2 0 2 1

mereka berdoa sambil menutup mata – apalagi jika mereka sedang berada dalam keadaan

yang kurang menyenangkan atau dilanda kekhawatiran terhadap sesuatu. Sebagai contoh,

informan kedua memiliki concern yang tinggi terhadap bangsa Indonesia (dalam persatuan,

kesatuan, pendidikan, politik, dan sebagainya). Ketika terjadi peristiwa atau bencana di dalam

negeri, informan akan menggumulinya dalam doa permohonan khusus, baik di dunia aktual

maupun di media sosial. Ia percaya bahwa, ketika dirinya mengunggah doa, Tuhan ada dan

mendengar doa online-nya. Juga, “... ketika orang membaca, menyukai, membagikan, dan

mengamini itu dalam hati, berarti itu sudah menjadi doa bersama dan Tuhan dengar doa

itu.”40

Artinya, ada sebuah keyakinan bahwa status doa yang diunggah akan sampai pada

pengguna-pengguna lain yang menggumuli atau mungkin mengamini hal yang sama. Jika hal

ini terjadi, komunitas-komunitas religius virtual pun terbentuk untuk saling mendoakan,

menguatkan, dan mendukung satu sama lain. Bagi Eric Bain-Selbo, komunitas religius /

spiritual dapat dibentuk di luar jemaat religius yang stereotip.41 Simbol, minat, keinginan,

tujuan, bahkan kepuasan yang sama dalam sekelompok pengguna di realitas virtual media

sosial merupakan faktor-faktor yang menciptakan komunitas virtual. Tidak mengherankan

jika status religius (doa dan kesaksian) yang diikuti oleh keinginan/harapan dan minat yang

sama di media sosial telah menghadirkan sekaligus menyatukan komunitas religius virtual

global.

Lebih lanjut, dapat dikatakan bahwa status doa atau status religius yang diunggah

kedua informan ini merupakan doa yang otentik, tanpa embel-embel alasan lain yang

mengikutinya, dalam media doa yang modern. Dalam konteks ini, nyata bahwa manusia telah

menempatkan aspek religiusnya dalam media sosial, ditambah dengan keterlibatan perasaan

dan imajinasinya terhadap kehadiran Tuhan di cyberspace berpengaruh besar pada doa-doa

maupun kesaksian online yang dipanjatkan. Brenda E. Brasher menegaskan hal ini dengan

mengatakan bahwa cyberspace secara substansial memang ditentukan oleh imajinasi

pengguna yang terlibat di dalamnya.42 Temuan yang kami dapat melalui kedua informan ini

menegaskan kembali pandangan Sopacoly dan Lattu mengenai imajinasi dan kesadaran

spiritualitas orang percaya, bahwa, realitas virtual dapat dijangkau oleh Allah yang menyapa

setiap pengguna dalam berbagai jenis unggahan yang bermanfaat bagi banyak orang.

40 Giner Maslebu, Wawancara via panggilan telepon WhatsApp, Salatiga 20 Juni 2020. 41Eric Bain-Selbo, Game Day and God: Football, Faith, and Politics in the American South (Macon:

Mercer University Press, 2009), h. 232. 42Brenda E. Brasher, Give Me That Online Religion (San Fransisco: Jossey-Bass, 2001), h. 9.

56 | P u t e W a y a V o l . 2 , N o . 1 , 2 0 2 1

Dengan demikian, status doa maupun kesaksian yang sungguh-sungguh ditujukan

kepada Tuhan ini, secara tidak langsung mengembangkan nilai religius dan spiritualitas

pengguna di ruang cyber media sosial. Selain itu, seperti yang dikemukakan Byrne dan

Macalanggan, pengguna telah melaukan pencarian makna dan pengalaman terhadap Tuhan

dalam ruang cyber melalui status-status religius tersebut. Akan tetapi, bagaimana jika dalam

realitas virtual media sosial, status doa maupun kesaksian yang diunggah, bukan merupakan

pencarian makna, perjumpaan, dan pengalaman terhadap Tuhan – melainkan hanya sebagai

pengungkapan ekspresi eksistensi diri belaka?

User dan Perbedaan Pemaknaan Terhadap Status Religius di Media Sosial

Pertama-tama, penggunaan media sosial berkaitan erat dengan pembentukan identitas

virtual seseorang, yang menjadi bagian dari eksistensinya dalam ruang cyber. Eksplorasi

manusia terhadap ruang cyber memungkinkan eksplorasi dan penentuan eksistensi dirinya di

sana. Banyak pengguna media sosial yang berusaha mengonstruksi identitasnya dengan

membangun citra diri yang baik, ideal, bahkan sempurna (menurutnya) di hadapan netizen

sebagai cara ‘bertahan hidup’ di lingkungan digital media sosial. Internet dan ruang cyber,

menurut Turkle, menjadi laboratorium sosial bagi eksperimen konstruksi maupun

rekonstruksi identitas karena pengguna dapat menciptakan identitas yang sama bahkan

berbeda (dengan identitas di dunia aktual), untuk ‘dimainkan’ dalam lingkungan digital.43

Saat pengguna dapat beradaptasi dan eksistensinya ‘diterima’ di lingkungan cyber, mereka

akan merasa lebih baik melalui pengalaman-pengalaman virtualnya.

Personal branding lantas dilakukan pengguna dengan berbagai cara kreatif, menarik,

hingga ekstrem, untuk mendapatkan viewers, followers/friends, perhatian serta dukungan dari

pengguna lain. Dalam ruang lingkup media sosial, tujuan-tujuan dari personal branding ini

dikategorikan sebagai wujud eksistensi diri. Sampai di sini, lantas pertanyaannya adalah

apakah status-status religius berupa doa dan kesaksian lebih sering diunggah pengguna ke

media sosial sebagai wujud ekspresi eksistensi diri semata (tidak benar-benar ditujukan

kepada Tuhan)? Jawabannya adalah “ya.” Berdasarkan hasil temuan penelitian, delapan dari

sepuluh informan mengunggah status doa dan kesaksian yang tidak benar-benar ditujukan

kepada Tuhan, melainkan kepada pengguna lain.

Faktanya, walaupun doa dan kesaksian yang dijadikan status berawal dari pengalaman

iman dan doa pengguna di dunia aktual, tetapi status-status tersebut hanya semacam “salinan”

dengan makna berbeda dari doa sebelumnya (di dunia aktual). Dikatakan “salinan” karena

43 Turkle, Life on the Screen, h. 178-180.

57 | P u t e W a y a V o l . 2 , N o . 1 , 2 0 2 1

status-status religius tersebut hanya diketik dan diunggah tanpa penghayatan dan pemaknaan

yang sungguh – yang sama dengan penghayatan dan pemaknaan pada saat berdoa sambil

menutup mata di dunia aktual. Ditambah lagi dengan motif atau alasan di balik unggahan

status-status tersebut lebih banyak berhubungan dengan pembentukan citra diri pengguna di

media sosial untuk mendapatkan respon positif dari pengguna lain. Tidak hanya itu, lima dari

delapan informan memahami bahwa Tuhan tidak hadir di media sosial dan karena itu tidak

dapat dijumpai di sana, sedangkan tiga sisanya berpandangan sebaliknya.

Erli, contohnya, memahami bahwa “Tidak ada Tuhan di media sosial karena

perjumpaan dengan Tuhan hanya di dunia nyata saat berdoa secara pribadi langsung

dengan Tuhan. Kalau di media sosial itu bukan perjumpaan yang sebenarnya dengan

Tuhan.”44Menurut Erli, status-status doa yang ia unggah sebagian besar bersifat manipulatif,

artinya ia tidak benar-benar mengunggah status tersebut sebagai doa, melainkan sebagai

objek yang dapat diperlihatkan kepada teman / pengikutnya saja. Melalui doa ucapan syukur,

misalnya, ia ingin menunjukkan bahwa dirinya adalah pribadi yang selalu bersyukur dalam

keadaan apa pun. Hampir sama dengan Erli, bagi Christian, “Aku belum menemukan Tuhan

dalam media sosial ketika aku berdoa. Berjumpa dengan Tuhan, tidak. Kalau mau jumpa ya

tutup pintu, lipat tangan, tutup mata, selesai. Bukan dengan kamu ngetik doa di media sosial.

Ya, itu kembali ke orangnya sendiri juga, tapi pada akhirnya ya kembali lagi, perjumpaan

dengan Tuhan itu intimacy pribadi.”45Menurut kedua informan ini, dan tiga informan lain

dengan jawaban yang serupa, orang hanya dapat berjumpa dengan Tuhan secara intim

melalui doa-doa yang dipanjatkan dalam dunia aktual karena bagi mereka Tuhan tidak ada di

media sosial (ruang cyber). Temuan ini menjadi kontras dengan fakta yang ditemukan bahwa

kelima informan ini justru mengunggah doa-doa mereka di media sosial.

44 Erli Njudang, Wawancara via panggilan telepon WhatsApp, Salatiga 12 Juni 2020. 45 Christian Situmorang, Wawancara via panggilan telepon WhatsApp, Salatiga – Lampung 21 Juli

2020.

58 | P u t e W a y a V o l . 2 , N o . 1 , 2 0 2 1

Gambar 2. Dari kiri ke kanan: Status doa permohonan khusus, status doa ucapan syukur, status doa

ucapan syukur dan kesaksian.46

Berangkat dari pemahaman kelima informan ini, rupanya peran ajaran agama,

khususnya Kristen, melalui pemahaman terhadap teks Alkitab juga sangat mempengaruhi

pandangan individu mengenai kehadiran Tuhan di media sosial. Jika Christian memahami

bahwa berdoa sebaiknya dilakukan di tempat tertutup sambil menutup mata dan melipat

tangan, tidak dapat dipungkiri bahwa pandangannya terkait dengan pemahaman umum –

tidak semua orang Kristen – terhadap teks Matius 6: 6 tentang hal berdoa.47 Para informan ini

cenderung menafsirkan secara harafiah teks ini dan menghubungkannya dengan perilaku doa

di media sosial. Penafsiran ini agaknya mempengaruhi keotentikan status doa yang mereka

unggah di media sosial. Inilah yang kami sebutkan sebagai doa “salinan” – bagi pengunggah,

doa mereka yang sesungguhnya ada pada kehidupan aktual dan bukan virtual. Hal ini yang

menyebabkan motif unggahan status tersebut lebih cenderung pada ekspresi eksistensi diri

semata dan tidak ada pemaknaan bahwa doa-doa online tersebut secara utuh ditujukan kepada

Tuhan.

Dalam pemahaman informan, meskipun kontras dengan unggahan status religius

mereka, ruang cyber bukanlah ‘ruang tertutup’ untuk berdoa kepada Tuhan. Alasannya

karena banyak pengguna lain yang akan menjadi “pihak ketiga, keempat, dan seterusnya”

yang dapat melihat dan merespon status doa mereka (dalam hal ini doa mereka kepada Tuhan

tidak lagi bersifat intim karena ada banyak orang yang ‘terlibat’). Inilah yang menjadi

penyebab alasan unggahan status-status doa mereka tidak berpusat kepada Tuhan, melainkan

kepada manusia dan hanya sekedar kata-kata yang ditulis di media sosial. Para informan

menganggap bahwa status doa dan kesaksian mereka dapat menguatkan, mendukung, bahkan

mendoakan orang lain yang membaca sekaligus mungkin mengalami peristiwa yang sama

dengan yang informan gumuli dalam status doanya.

Seperti kata seorang informan bernama Astrid, “Status doaku bisa sampai di banyak

orang lain untuk kayak dikuatkan Tuhan. Orang bisa merasa terberkati dari status atau story

46 Sumber: Status WhatsApp stories Christian Situmorang 30 Juni 2020, pukul 22.36 WIB; status

WhatsApp stories Erli Njudang 29 Januari 2021, pukul 06.47 WIB; status Facebook Yoshivina 27 Februari

2020. 47 Matius 6:6 berbunyi, “Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan

berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan

membalasnya kepadamu.”

59 | P u t e W a y a V o l . 2 , N o . 1 , 2 0 2 1

religius orang lain. Itu seperti Tuhan berbicara untuk saya dan mereka lewat status

religius.”48Artinya bahwa status-status religius yang diunggah mungkin saja menjadi

penguatan dan dukungan bagi pengguna lain. Hal yang dikatakan Astrid serupa dengan

pandangan tujuh informan lain dalam konteks ini. Alasan untuk saling menguatkan,

mendukung, hingga mendoakan sesama pengguna media sosial, merupakan bentuk solidaritas

sekaligus wujud keberadaan atau eksistensi pengguna, untuk beradaptasi, dan diterima dalam

kehidupan virtual di ruang cyber. Melkyor B. Pando dalam bukunya menyitir pandangan

Turkle bahwa keinginan untuk saling berbagi dan mendukung dalam ruang cyber merupakan

buah dari konstruksi perasaan serta pikiran yang berasal dari hasrat untuk tetap terhubung

dalam jaringan media sosial. Gejala ini menyebabkan pengguna mengalami orang lain /

pengguna lain sebagai “suku cadang” untuk menopang diri pengguna dan untuk pengguna

menemukan dirinya sendiri.49

Bertolak dari kenyataan ini, hubungannya dengan eksistensi diri di media sosial juga

ada pada respon yang diinginkan pengunggah status-status religius dari teman / pengikutnya.

Delapan informan menginginkan respon positif sebagai feedback atas status doa dan

kesaksian yang mereka unggah. Seperti kata Yoshivina, “... karena respon orang bikin kita

jadi ketagihan.”50 Dalam hal ini, informan menginginkan respon positif berupa like, share,

maupun komentar-komentar positif pada status religius yang mereka unggah. Pada sisi lain,

“Aku lebih mengharapkan dukungan (komentar) karena status doaku lebih ke

pelampiasan.”51Maksudnya, status doa yang diunggah informan cenderung merupakan

pelampiasan atau curahan perasaannya dari pergumulan yang sedang dihadapi, sehingga ia

mengharapkan dukungan dari teman / pengikutnya agar merasa lebih baik. Respon-respon

positif yang didapatkan kemudian bisa menjadi penguatan hingga candu bagi pengguna untuk

mengekspresikan dirinya di media sosial.

Faktanya, belum tentu apa yang ditampilkan dengan apa yang dimaknai sama, baik

dari pengunggah maupun pembaca status. Argumen ini berdasarkan hasil temuan dalam

penelitian ini yang menunjukkan delapan dari sepuluh informan yang tidak benar-benar

menujukan status doanya kepada Tuhan dan tidak begitu menghayati doaonline-nya. Artinya,

ada manipulasi yang dilakukan oleh pengunggah dalam mengunggah status yang terbaca oleh

pembaca sebagai upaya memaknai eksistensi dan kehadiran Tuhan dalam kehidupan

48 Astrid Noija, Wawancara tatap muka, Salatiga 13 Juni 2020. 49 B. Melkyor Pando, S. J, Hiruk Pikuk Jaringan Sosial Terhubung: Refleksi Filsafat Teknologi atas

Jaringan Sosial Terhubung (Yogyakarta: Kanisius, 2014), h. 74. 50 Yoshivina, Wawancara via panggilan telepon WhatsApp, Salatiga – Kalimantan Barat 21 Juli 2020. 51 Umbu Rendra, Wawancara via panggilan telepon WhatsApp, Salatiga 21 Juli 2020.

60 | P u t e W a y a V o l . 2 , N o . 1 , 2 0 2 1

pengunggah. Atau, dengan kata lain, terlihat atau terbaca religius, namun tidak menunjukkan

konteks maksud tujuan sebenarnya dari pengunggah yang mana dari pandangan pengunggah

sendiri, status tersebut tidak benar-benar ditujukan kepada Tuhan. Pandangan ini memperkuat

bahaya dari ruang cyber yang mengatakan manusia menemukan kepercayaan dan fondasi

teologi di dunia maya yang ditujukan pada eksistensi Tuhan melalui status doa di media

sosial.52

KESIMPULAN

Penelitian ini menemukan bahwa, ruang cyber, dalam hal ini media sosial, bermanfaat

bagi perjumpaan manusia dengan Tuhan beserta relasi antara manusia dengan Tuhan di

dalamnya melalui status-status religius – yakni doa dan kesaksian di media sosial. Namun

demikian, tidak semua unggahan status religius dari pengguna, yang terbaca religius (oleh

pembaca / pengguna lain), tidak ditujukan kepada Tuhan karena pengunggah status doa dan

kesaksian dapat saja memiliki kepentingan dan pemaknaan yang berbeda terhadap status-

status religius tersebut.

52Byrne, “God in Cyberspace", h. 6.

61 | P u t e W a y a V o l . 2 , N o . 1 , 2 0 2 1

KEPUSTAKAAN

Anamofa, Jusuf Nikolas. “Meneropong Spiritualitas Ruang-Cyber dari Sudut Halmahera,”

dalam Sefnat A. Hontong (ed.), Mata di Halmahera: Buku Peringatan HUT V

Universitas Halmahera Tobelo Fakultas Teologi Yogyakarta: Kanisius, 2013: 193-

216.

Bain-Selbo, Eric.Game Day and God: Football, Faith, and Politics in the American South,

Macon: Mercer University Press, 2009.

Byrne,Lavinia. “God in Cyberspace", Media and Theology Project Public Lectures, (2000):

1-7.

Brasher, Brenda E.Give Me That Online Religion, San Fransisco: Jossey-Bass, 2001.

Castells, Manuel.et.al.,Mobile Communication and Society: A Global Perspective, London:

The MIT Press, 2007.

Cummings, Owen. F.John Macquarrie: A Master of Theology, New York: Paulist Press,

2002.

Datareportal, “Global Social Media Stats”.Diakses 14 Maret 2021.

https://datareportal.com/social-media-

users#:~:text=Facebook%20remains%20the%20world's%20most,platforms%20are%

20owned%20by%20Facebook.

Detweiler,Craig.iGods: How Technology Shapes Our Spiritual and Social Lives,Grand

Rapids, Michigan: Brazos Press, 2013.

Duc, Anthony Le. “Cyber/Digital Theology: Rethinking about Our Relationship with God

and Neighbor in the Digital Environment” Asian Research Center: Religion and

Social Communication Vol. 13 No. 2, (Desember 2015): 130-158.

Dunaetz, David R. “Evangelism, Social Media, and the Mum Effect” Evangelical Review of

Theology, 43 (2) (2019): 138-151.

Ellis,Robert. “Sporting Space, Sacred Space: A Theology of Sporting Place”. Regent’s Park

College and the Faculty of Theology and Religion, Vol.10, Issue.8 (Agustus, 2019):

1-16.

Hamman, Jaco J.Growing Down: Theology and Human Nature in the Virtual Age, Texas:

Baylor University Press, 2017.

Kawulich, Barbara B. “Participant Observation as A Data Collection Method” Forum

Qualitative Social Research. Vol. 6, No.2, Art. 43 (Mei, 2005): 1-

28.https://doi.org/10.17169/fqs-6.2.466

62 | P u t e W a y a V o l . 2 , N o . 1 , 2 0 2 1

Kemp,Simon, “Digital 2020: Indonesia”. Diakses pada 14 Maret 2021.

https://datareportal.com/reports/digital-2020-indonesia.

________. “Digital 2021: Indonesia”. Diakses pada 14 Maret 2021, pukul 20.45

WIB.https://datareportal.com/reports/digital-2020-indonesia.

Longstreet, Phil, dan Brooks, Stoney. “Life Satisfaction: A Key to Managing Internet &

Social Media Addiction,”Technology in Society (2017): 73-77.

Macalanggan, Joseph V.“Experiencing God in Cyberspace: The Role of Cybertechnology in

Doing Theology”, Scientia Bedista Vol. 4 (Maret, 2017): 109-125.

Melkyor Pando, S. J. B.Hiruk Pikuk Jaringan Sosial Terhubung: Refleksi Filsafat Teknologi

atas Jaringan Sosial Terhubung, Yogyakarta: Kanisius, 2014.

Pratama, M. Oktaviano. et.al., “Influence Factors of Social Media and Gadget Addiction of

Adolescent in Indonesia,” Jurnal Sistem Informasi (Journal of Information System),

Vol.16, Issue 1 (April, 2020): 16-24.

“Praying…Live!” dalam Challenge Newsline, Issue 599 (November 2007): 4.

Sopacoly, Mick Mordekhai, dan Lattu, Izak Y. M. “Kekristenan dan Spiritualitas Online:

Cybertheology sebagai Sumbangsih Berteologi di Indonesia”, Gema Teologika Vol. 5,

No. 2 (Oktober, 2020): 137-154.

Spadaro,Antonio.Cybertheology: Thinking Christianity in The Era of The Internet, terj. Maria

Way, New York: Fordham University Press, 2014.

Turkle,Sherry. Life on the Screen, New York: Simon & Schuster, 1995.

Wahyudin,Aep. “Spiritualitas Cyberspace: Interplay Post-Sains-Teknologi dan Filosofi

Spiritualitas Sains Dakwah”, Jurnal Ilmu Dakwah, Vol. 5, No. 17, (2011): 347-376.