Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Prosiding Seminar Nasional Manado, 24 Oktober 2018
Meningkatkan Sinergitas Dalam UpayaPelestarian Sumber Daya Alam
Editor:Julianus Kinho, S.Hut., M.Sc.Diah Irawati Dwi Arini, S.Hut., M.Sc.Lis Nurrani, S.Hut., M.Sc.
Diselenggarakan oleh:Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado&SEAMEO BIOTROP
Bekerjasama dengan:Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi UtaraWallacea NaturePT. Antam Tbk Halmahera TimurPT. Cargill IndonesiaBank Mandiri Area Manado
ISBN 978-602-60715-3-8
i
MENINGKATKAN SINERGITAS
DALAM UPAYA PELESTARIAN SUMBER DAYA ALAM
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Manado, 24 OKTOBER 2018
Diselenggarakan oleh:
Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Manado
SEAMEO BIOTROP
Berkerjasama dengan:
Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Utara
Wallacea Nature
PT. Antam Tbk Halmahera Timur
PT. Cargill Indonesia
Bank Mandiri
ii
ISBN 978-602-60715-3-8
Prosiding Seminar Nasional Tema:
Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya Pelestarian Sumber Daya Alam
Steering Committee:
Ir. Dodi Garnadi, M.Si.
Rinto Hidayat, S.Hut.
Lulus Turbianti, S.Hut.
Organizing Committee:
Cahyo Riyadi, S.Hut., M.Ap., M.Agr.Sc.
Esther Randa Bunga, SE.
Alex Novandra, S.Hut., M.S.E.
Isdomo Yuliantoro, S.Sos., M.Si.
Muhammad Farid Fahmi, S.Kom., MT
Hanif Nurul Hidayah, S.Hut.
Tulus Sarah Samosir, A.Md.
Rinna Mamonto
Hendra S. Mokodompit
Editor:
Julianus Kinho, S.Hut, M.Sc.
Diah Irawati Dwi Arini, S.Hut., M.Sc.
Lis Nurrani, S.Hut., M.Sc.
Reviewer:
Dr. Ir, Mahfudz, M.P.
Dr. Ir. Johny S. Tasirin, M.Sc.F.
Diterbitkan oleh:
Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado
Jalan Raya Adipura, Kelurahan Kima Atas, Kecamatan Mapanget, Manado
Telp. 0431 7242949
Email: [email protected]; [email protected]
Website: http://manado.litbang.menlhk.go.id
iii
KATA PENGANTAR
Potensi pemanfaatan hutan merupakan penerapan Nawacita dari sektor
kehutanan, yang ditandai dengan indeks kualitas lingkungan hidup harus
lebih baik yang artinya kualitas air, udara, dan land cover juga harus lebih
baik.
Potensi pemanfaatan hutan dan pasokan bahan baku industri tahun 2045,
dapat menghasilkan devisa US$ 97,51 milyar/tahun, atau setara dengan 8,9
kali devisa tahun 2017. Hal ini dapat terwujud melalui konfigurasi bisnis
baru kehutanan yaitu industri berbasis hasil hutan bukan kayu,
pengembangan agroforestry, ekowisata, jasa lingkungan, dan bio energi
(KLHK, 2018).
Konservasi flora fauna dan rehabilitasi lahan merupakan upaya dalam
rangka mendukung terwujudnya program konfigurasi bisnis baru kehutanan
dengan tidak mengabaikan upaya pelestarian sumber daya alam. Beberapa
penelitian dan pengembangan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Manado pun searah dengan
cita-cita tersebut seperti peningkatan populasi flora dan fauna endemik
Sulawesi Utara, pengelolaan hutan berbasis masyarakat, pengembangan
potensi obat dari tanaman kehutanan, dan rehabilitasi Daerah Aliran Sungai.
Menilik sejarah organisasi Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam
dan Ekosistem ternyata kegiatan konservasi sudah digagas sejak
Pemerintahan Hindia Belanda pada tanggal 22 Juli 1912 dengan
terbentuknya suatu Perkumpulan Perlindungan Alam yang bernama
”Netherlandsh Indische Vereeniging Tot Natuur Bescherming” yang
mempunyai tugas pokok dan fungsi untuk ”melindungi alam Indonesia dari
kerusakan”. Kini konservasi flora fauna mengacu pada UU Nomor 5 Tahun
1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Rehabilitasi lahan hutan saat ini melibatkan peran serta masyarakat melalui
program hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat,
kemitraan kehutanan, dan hutan adat sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup dan kehutanan Nomor
P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial, hal ini
sejalan dengan program pemerintah mengenai peningkatan kesejahteraan
masyarakat sekitar hutan.
iv
Keberhasilan upaya pelestarian sumber daya alam dapat terwujud dengan
adanya koordinasi antara stakeholder dengan stakeholder lainnya untuk
dapat bahu membahu serta menutup kekurangan serta membantu adanya
solusi atas kendala/hambatan yang dihadapi.
Prosiding ini memuat 16 judul materi yang dibahas, 3 materi Keynote
Speech, dan rumusan seminar berdasarkan hasil diskusi.
Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terimakasih kepada SEAMEO
BIOTROP, Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Utara, Wallacea Nature dan
PT. Antam (Persero) Tbk. UBPN Maluku Utara, PT. Cargill Indonesia, Bank
Mandiri, penyaji materi, panitia penyelenggara, moderator, peserta serta
semua pihak yang telah membantu penyelenggaraan kegiatan seminar
nasional hingga penyusunan prosiding.
Semoga prosiding ini bermanfaat.
Manado, Januari 2020
Kepala BP2LHK Manado
Mohclis, S.Hut.T., M.P.
NIP. 197411091994031001
v
DAFTAR ISI
Kata Pengantar .............................................................................. iii
Daftar Isi ...................................................................................... v
Laporan Penyelenggaraan .............................................................. vii
Sambutan Kepala Badan Litbang dan Inovasi .................................. xii
Rumusan ...................................................................................... xvi
MAKALAH PRESENTASI
Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik
di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati .. 1-16
Pentingnya Konservasi Sumberdaya Genetik Nantu (Palaquium obtusifolium Burck.) Jenis Kayu Lokal Potensial
di Sulawesi Utara Julianus Kinho, Jafred Halawane, Arif Irawan,
Hanif Nurul Hidayah, dan Reny Sawitri ....................................... 17-30
El Nino Effect (2015): Hubungan Kelimpahan Pakan,
Perilaku Makan dan Luasan Daerah Jelajah Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra Desmarest, 1822)
di Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi Tangkoko Dwi Yandhi Febriyanti, Andre Pasetha, dan Antje Engelhardt ..... 31-48
Nilai dan Kemanfaatan Anoa Breeding Centre Ditinjau dari Motivasi Pengunjung
Rahma Suryaningsih, Diah Irawati Dwi Arini , Julianus Kinho, Jafred E.Halawane, Ady Suryawan, Anita Mayasari, Margaretta Cristita,
dan Adven T.A.J. Simamora ........................................................... 49-62
Aktivitas Harian dan Pengelolaan Gajah Jinak (Elephas maximus sumatranus) di Sumatera Utara Wanda Kuswanda, Sriyanti Puspita Barus, dan Asep Sukmana ... 63-78
Pengelolaan Jasa Lingkungan Air di Desa Patanyamang,
Kecamatan Camba, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan Nur Hayati ....................................................................................... 79-94
Biomassa dan Cadangan Karbon di Hutan Mangrove: Studi Kasus Teluk Bone, Kota Palopo Hadijah Azis Karim, Andi Rosdayanti, dan Afandi Ahmad ............ 95-106
Potensi Karbon Hutan Mangrove Desa Sarawet Minahasa Utara
untuk Mitigasi Perubahan Iklim Nurlita Indah Wahyuni dan Rahma Suryaningsih ......................... 107-124
vi
Karakteristik dan Kesediaan Membayar Pengunjung Wisata Alam Air Terjun Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara Wahyudi Isnan dan Nurhaedah Muin ............................................ 125-138
Dunia Nyata Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan
Hutan di Provinsi Sulawesi Utara Pernando Sinabutar, Anton Cahyo Nugroho,
dan Lidya Suryati Biringkanae..................................................... 139-156
Membangun Sinergi Para Pihak Hutan Rakyat
di Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara Achmad Rizal H Bisjoe, Nurhaedah Muin, dan Evita Hapsari ........ 157-174
Sikap Masyarakat Terhadap Pelaksanaan Uji Coba Skema Kemitraan di KPHP Model Poigar Arif Irawan, Isdomo Yuliantoro, Jafred Elsjoni Halawane, dan Iwanuddin ............................................................................ 175-184
Modal Sosial Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Malleleng Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba Evita Hapsari, Nurhaedah Muin, dan Achmad Rizal HB ............. 185-198
Pertumbuhan dan Pemeliharaan Ulat Sutera (Bombyx mori L.)
di Desa Rurukan 1, Kecamatan Tomohon Timur, Kota Tomohon, Sulawesi Utara Andi Wildah, Isdomo Yuliantoro, dan Ramdana Sari ..................... 199-216
Pengaruh Tempat dan Waktu Penyimpanan Terhadap Keberhasilan Daya Kecambah Benih Gaharu
(Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke) Jafred E. Halawane dan Arif Irawan .............................................. 217-226
Kandungan Senyawa Aktif dan Toksisitas Daun Pakoba (Syzygium luzonense (Merr.) Merr)Pada Berbagai
Metode Pengeringan Hanif Nurul Hidayah dan Lis Nurrani ............................................. 227-239
PRESENTASI TAMU
Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya Pengelolaan
Sumberdaya Alam
Irdika Mansur .................................................................................... 243-254
Sinergitas Pengelolaan Keanekaragaman Hayati
Puja Utama ........................................................................................ 255-260
Pergeseran Paradigma Pembangunan Hutan: Tindakan Korektif
Yayuk Siswiyanti ............................................................................... 261-267
vii
LAPORAN PENYELENGGARAAN
KEPALA BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN
HIDUP DAN KEHUTANAN (BP2LHK) MANADO
PADA SEMINAR NASIONAL
“MENINGKATKAN SINERGITAS DALAM UPAYA PELESTARIAN
SUMBER DAYA ALAM”
Manado, 24 Oktober 2018
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Yang terhormat:
1. Kepala Badan Litbang dan Inovasi KLHK, yang diwakili oleh Ibu Dr.
Yayuk Siswiyanti, S.Hut, M.Si (Kabid. Program dan Evaluasi Pusat
Litbang Hutan)
2. Direktur Konservasi Sumber Daya Alam & Konservasi (KSDAE) KLHK,
atau yang mewakili
3. Kepala Dinas Kehutanan Daerah Provinsi Sulawesi Utara
4. Direktur SEAMEO BIOTROP, Bapak Irdika Mansur
5. Bapak Simon Pulser dari Wallacea Nature
6. Para Kepala UPT Lingkup KLHK
7. Para Kepala KPHP/KPHL di Sulawesi Utara
8. Para Akademisi
9. Para Pimpinan Perusahaan
10. Para Pejabat Struktural dan Fungsional
11. Para awak media dan Tamu Undangan Peserta Seminar Nasional yang
berbahagia
Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua
Syallom,
Pertama-tama marilah kita memanjatkan segala puji dan syukur kehadirat
Allah SWT atas Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga pada hari yang baik ini
kita semua dapat berkumpul ditempat ini dalam rangka mengikuti Seminar
Nasional yang terselenggara atas kerjasama BP2LHK Manado dengan
SEAMEO BIOTROP dan didukung oleh PT. Antam Persero Tbk, Wallacea
Nature, dan Bank Mandiri.
Jumlah peserta sebanyak : ± 130 orang
viii
Peserta terdiri dari : UPT di bawah Badan Litbang dan Inovasi, P3E Sulawesi
dan Maluku, UPT KLHK di Sulawesi dan Maluku Utara, Dinas Kehutanan
Daerah Provinsi Sulawesi Utara/Gorontalo/Maluku Utara, Badan Lingkungan
Hidup Provinsi Sulawesi Utara/Gorontalo/Maluku Utara, Badan Litbang
Daerah Sulawesi Utara, Dinas Lingkungan Hidup Kota Manado dan Kab.
Minahasa Tenggara, KPHP dan KPHL yang ada di Sulawesi Utara, Akademisi
dari (Univ. Samratulangi Manado, IPB, UGM, Univ. Gorontalo, Univ. Dumoga
Kotamobagu, Univ. Negeri Manado, dan Univ. Khairun Ternate), Peneliti
BP2LHK Manado, Perusahaan Swasta Mitra BP2LHK Manado (PT. Antam
Persero Tbk., PT. Cargill Indonesia, PT. J Resources Bolaang Mongondow,
PT. Meares Soputan Mining), LSM/NGO, Tokoh Masyarakat, dan Media
Massa.
Hadirin dan peserta seminar yang saya hormati,
Perkenankanlah saya berterimakasih dan berbangga atas kerjasama yang
baik antara panitia, peserta dan semua pendukung acara sehingga seminar
nasional ini dapat diselenggarakan dengan baik pada hari ini Rabu, 24
Oktober 2018 bertempat Hotel Aston Manado. Tema Seminar Nasional 2018
ini adalah “Meningkatkan Sinergitas Dalam Upaya Pelestarian Sumber Daya
Alam“. Pada seminar ini terdapat 4 Narasumber/pembicara utama, 16
pemakalah yang terbagi di 4 divisi yaitu : bidang Konservasi Sumber Daya
Alam, bidang Jasa Lingkungan, bidang Perhutanan Sosial, dan bidang Hasil
Hutan Bukan Kayu (HHBK).
Tamu undangan yang berbahagia,
BP2LHK Manado telah melakukan berbagai sinergi dalam upaya pelestarian
sumber daya alam, melalui kerjasama penelitian dan pengembangan yang
diantaranya :
1. Kerjasama dengan MASYARAKAT/KELOMPOK TANI :
a. Pengembangan murbei unggul dan ulat sutera hibrid yang berlokasi di
Tomohon,
b. Pilot Teknologi Inokulasi Gaharu pada Tegakan Gaharu Masyarakat di
Sulawesi Utara dan Gorontalo yang berlokasi di Bolaang Mongondow
Timur dan Minahasa Selatan,
c. Penguatan Kelembagaan Masyarakat Pulau Perbatasan Berbasis
Kehutanan bersama elemen masyarakat dan aparatur pemerintahan di
ix
Pulau-pulau diperbatasan dengan Filipina yaitu Pulau Miangas, Marampit
dan Marore, termasuk dalam gugusan Kepulauan Talaud.
2. Kerjasama dengan PEMDA :
a. Dinas Lingkungan Hidup Kab Minahasa Tenggara tentang
“Pengembangan demplot kebun benih dan konservasi eksitu Eboni
(Diospyros spp)” berlokasi di Kebun Raya Megawati Ratatotok,
b. KPHP Unit IV Poigar tentang “Upaya Penanganan Konflik Tenurial di
KPHP Model Poigar Melalui Pengembangan Kemitraan Kehutanan” di
Poigar Minahasa Selatan [kebetulan kami undang pula perwakilan
kelompok taninya],
c. KPHL Unit VI tentang “Teknologi Pemanfaatan Pakoba Sebagai Tanaman
Hutan Berpotensi Obat” di Hutan Kenangan Minahasa Utara.
3. Kerjasama dengan PERUSAHAAN/SWASTA :
a. PT. Antam Tbk. tentang “Reklamasi Lahan Bekas Tambang Nikel Melalui
Fitoremediasi dan Bioremediasi” di Buli, Halmahera Timur, Maluku Utara
[sekaligus sponsor seminar ini kami ucapkan banyak terima kasih],
b. PT. Cargill Indonesia di Amurang yang sejak 2015 berperan banyak di
Anoa Breeding Centre (ABC), mulai dengan Pembangunan Kandang
anoa, bantuan tenaga dokter hewan, pembangunan Klinik Hewan serta
Pemanfaatan Limbah Sabut Kelapa Sebagai Media Tumbuh Jamur Tiram
Putih,
c. PT. J Resoures Bolaang Mongondow tentang “Konservasi Anoa Sebagai
Upaya Pelestarian Fauna Asli Sulawesi”,
d. PT. Meares Soputan Mining – PT. Tambang Tondano Nusajaya tentang
“Pemberian Bantuan Peningkatan Fasilitas ABC”.
4. Kerjasama dengan LSM/NGO :
a. Wallacea Nature yang dipimpin oleh Simon Purser yang turut mendukung
berbagai kegiatan BP2LHK Manado, termasuk seminar kali ini. Beliau
hadir dan bersedia menjadi pembicara tamu hari ini,
b. Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan (LPTP) Manado tentang
”Konservasi Keanekaragaman Jenis Flora dan Fauna (KEHATI)” di Taman
Hutan Aqua Lestari Minahasa Utara, dll.
5. Kolaborasi Lingkup KLHK :
a. BKSDA Sulawesi Utara tentang “Konservasi Eksitu Anoa dan Hutan
Penelitian di Batu Angus”
x
b. BBKSDA Sulawesi Selatan tentang “Konservasi Keanekaragaman Jenis
Fauna Indonesia”
c. TN. Bogani Nani Wartabone tentang “Kajian Potensi Sosial dan Budaya
Masyarakat Sekitar Taman Nasional Bogani Nani Wartabone dalam Upaya
Mendukung Pelestarian Anoa (Bubalus spp.) sebagai satwa terancam
punah”
d. BPDASHL Tondano tentang “Persemaian Permanen di Kima Atas”
[dimana salah satu programnya adalah pengadaan bibit gratis untuk
masyarakat].
Peserta seminar yang terhormat,
Pada kesempatan ini saya selaku penanggung jawab acara ini mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Kepala Badan Litbang dan
Inovasi LHK yang diwakili oleh Ibu Dr. Yayuk Siswiyanti, S.Hut, M.Si (Kabid.
Program dan Evaluasi Pusat Litbang Hutan) untuk berkenan membuka
seminar ini. Ucapan Terimakasih juga saya sampaikan kepada SEAMEO
BIOTROP yang telah ikut berpartisipasi menyelenggarakan acara seminar
pada hari ini, dimana SEAMEO BIOTROP telah menjadi mitra BP2LHK
Manado sejak 2012 melalui Inseminasi Buatan sejak awal merintis kegiatan
Anoa Breeding Centre. Kami agendakan untuk menggaungkan kembali
kerjasama kami melalui penandatangan Naskah Kesepahaman hari ini
bersama Bapak Direktur Irdika Mansur.
Kami ucapkan terima kasih juga untuk Wallacea Nature, PT. Antam Tbk. dan
Bank Mandiri atas dukungannya sehingga seminar ini dapat terlaksana
dengan lebih baik. Saya juga menyampaikan terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada segenap pemakalah dan tamu undangan yang berkenan
menyediakan waktunya untuk berpartisipasi dalam acara seminar ini. Tidak
lupa kepada tim panitia penyelenggara seminar BP2LHK Manado yang telah
menyelenggarakan acara ini dengan baik dari awal persiapan hingga pada
berlangsungnya acara pada hari ini.
Akhir kata, saya berharap semoga hasil seminar ini dapat membuka
wawasan kita untuk membangun sinergitas dalam upaya-upaya pelestarian
sumber daya alam dan memberikan manfaat dan dampak positif yang lebih
besar, serta meningkatkan kelestarian hutan.
xi
Demikian sambutan saya, semoga Allah SWT senantiasa memberikan
bimbingan kepada kita semua.
Torang Samua Basudara
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Kepala BP2LHK Manado
Ir. Dodi Garnadi, M.Si
NIP. 19670913 199203 1 001
xii
SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG DAN INOVASI
SEMINAR NASIONAL
MENINGKATKAN SINERGITAS DALAM UPAYA PENGELOLAAN
SUMBER DAYA ALAM
MANADO, 24 OKTOBER 2018
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua
Syallom..
Yang terhormat:
1. Direktur Seameo Biotrop, Dr. Irdika Mansur
2. Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem atau
yang mewakili
3. Kepala Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Sulawesi
4. Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati
5. Kepala Pusat Penelitian Pengembangan Lingkup Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan
6. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara
7. Para Kepala UPT Lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan
8. Para Akademisi
9. Para Pejabat Struktural dan Fungsional
10. Para Tamu Undangan dan Peserta Rapat yang berbahagia
Pertama-tama marilah kita memanjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan
Yang Maha Kuasa atas Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga pada hari ini kita
semua dapat bersama sama hadir dalam acara Seminar Nasional
“Meningkatkan Sinergitas Dalam Upaya Pelestarian Sumber Daya Alam”.
Hadirin yang berbahagia,
Pada kesempatan ini, perkenankanlah saya terlebih dulu mengucapkan
selamat datang di Provinsi Sulawesi Utara, bumi nyiur melambai yang indah
kepada semua peserta, pemakalah, dan semua hadirin yang saya hormati
dan saya banggakan.
xiii
Peserta seminar yang saya hormati,
Saya sangat mengapresiasi kegiatan Seminar Nasional yang bertema
“Meningkatkan Sinergitas Dalam Upaya Pelestarian Sumber Daya Alam”.
Mengangkat kata Sinergitas, satu kata namun berat untuk dicapai tetapi
harus terus kita upayakan. Sinergitas berarti adanya hubungan, kerjasama
unsur/bagian/fungsi/instansi/lembaga yang menghasilkan suatu tujuan yang
lebih baik dan lebih besar. Indonesia kaya akan sumberdaya alam dan
diharapkan mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Sehingga
diperlukan usaha bersama dan sinergi baik antara pemerintah, masyarakat,
peneliti, lembaga riset maupun private sector baik dalam pengelolaan
maupun pelestariannya.
Hadirin yang saya hormati,
Peran strategis KLHK mencakup : Pertama: menjaga kualitas lingkungan
hidup dan daya dukung, kualitas air, kualitas udara dan kualitas lahan yang
dapat mendukung kehidupan, pengendalian pencemaran, pengelolaan DAS,
keanekaragaman hayati dan perubahan iklim; Kedua : menjaga jumlah dan
fungsi hutan serta isinya yang meliputi menjaga jumlah hutan (lindung dan
konservasi) yang memadai untuk menopang kehidupan yang mencakup
penyediaan hutan produksi dan APL untuk kegiatan social ekonomi
masyarakat, menjaga jumlah flora, fauna dan endangered species; serta
Ketiga : menjaga keseimbangan ekosistem dan keberadaan SDA untuk
kelangsungan kehidupan yang meliputi menjaga kelangsungan ekosistem
untuk keseimbangan alam dan kehidupan, menjaga DAS dan sumber mata
air untuk ketersediaan air dan menjaga daya dukung fisik ruang dan kualitas
ruang.
Hadirin yang berbahagia,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengemas kebijakan
pengelolaan hutan untuk mewujudkan sinergitas dalam upaya pelestarian
sumberdaya alam melalui Undang-Undang dan Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Peraturan yang mendukung pelestarian
sumber daya alam adalah UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, sedangkan kebijakan yang
mendukung rehabilitasi lahan adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang
Perhutanan Sosial. Rehabilitasi lahan hutan saat ini melibatkan peran serta
masyarakat melalui program hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan
xiv
tanaman rakyat, kemitraan kehutanan, dan hutan adat. Sedangkan pada
kegiatan konservasi, tantangan perlindungan dan pengelolaan hutan di
Indonesia seringkali datang dari masyarakat lokal di sekitar hutan. Padahal
kelestarian pengelolaan hutan sangat tergantung kepada partisipasi
masyarakat lokal dalam pengelolaannya.
Hadirin sekalian yang berbahagia,
Potensi pemanfaatan hutan merupakan penerapan Nawacita dari sektor
kehutanan, yang ditandai dengan indeks kualitas lingkungan hidup harus
lebih baik yang artinya kualitas air, udara, dan land cover juga harus lebih
baik.
Potensi pemanfaatan hutan dan pasokan bahan baku industri tahun 2045,
dapat menghasilkan devisa US$ 97,51 milyar/tahun, atau setara dengan 8,9
kali devisa tahun 2017. Hal ini dapat terwujud melalui konfigurasi bisnis baru
kehutanan yaitu industri berbasis hasil hutan bukan kayu, pengembangan
agroforestry, ekowisata, jasa lingkungan, dan bio energi (KLHK, 2018).
Realisasi hutan sosial per 4 Oktober 2018 seluas 2.010.156,81 juta ha yang
dialokasikan bagi sekitar 477.135 KK. Selama periode 2007-2014 telah
dikeluarkan izin seluas 449.104 ha, sedangkan pada periode 4 tahun Kabinet
Kerja telah dikeluarkan izin seluas 1.561.053 Ha atau sekitar 4 kali lipat
sebelum kabinet kerja (KLHK, 2018).
Peserta seminar yang saya hormati,
Salah satu agenda kerja presiden adalah untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi dengan keberpihakan kepada masyarakat banyak (smallholders)
sejak tahun pertama hingga tahun keempat ini dan memasuki tahun kelima
mengarah kepada peningkatan SDM yang satu sama lain agenda besar ini
saling terkait untuk pemerataan pertumbuhan ekonomi. Aktualisasi
kebijakan presiden dalam lingkup KLHK yaitu dengan keberpihakan
pemerintah kepada masyarakat di dalam dan di sekitar hutan pada kurang
lebih 25 ribu Desa dan penduduknya yang relatif miskin (Harian Media
Indonesia, 19 Okt 2018). Aktualisasi kebijakan pemerataan ekonomi itu
didekati dari berbagai aspek seperti akses lahan untuk bekerja, berusaha
dan berpenghasilan melalui agenda perhutanan sosial untuk mewujudkan
masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan, berkelanjutan, ramah
lingkungan serta membangun kemandirian ekonomi.
xv
Hadirin yang berbahagia,
Pertemuan ini merupakan salah satu upaya mendukung pencapaian
nawacita dari sektor kehutanan melalui penyampaian hasil penelitian bidang
Perhutanan Sosial, Konservasi Sumber Daya Alam, Hasil Hutan Bukan Kayu,
dan Jasa Lingkungan. Diharapkan hasil-hasil penelitian yang disampaikan
dapat memperkaya kebijakan dalam pengelolaan hutan di daerah masing-
masing untuk mencapai pengelolaan hutan yang terpadu dan lestari
sehingga masyarakat dapat menikmati keberadaan hutan.
Peserta seminar yang berbahagia,
Ucapan selamat saya sampaikan kepada seluruh panitia pelaksana dari Balai
Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado,
yang telah mempersiapkan acara ini dari awal hingga terselenggara dengan
baik pada hari ini. Semoga acara ini dapat mendukung terciptanya sinergitas
dan keterpaduan pengelolaan hutan Indonesia, secara khusus di bumi nyiur
melambai Sulawesi Utara.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Pakatuan Wo Pakalawiren...
Kepala Badan Litbang dan Inovasi
Dr. Ir. Agus Justianto, M.Sc
xvi
RUMUSAN
Dengan memperhatikan arahan Kepala Badan Litbang Kehutanan,
penyampaian materi dari “Keynote speech”, presentasi dan diskusi yang
berkembang dalam persidangan serta saran-saran dari peserta, maka
Seminar yang bertema “Meningkatkan Sinergitas Dalam Upaya
Pelestarian Sumber Daya Alam” yang diselenggarakan pada 24 Oktober
2018 di Manado, merumuskan hal-hal sebagai berikut:
1. Letak geografis Indonesia yang sangat strategis diantara dua benua dan
dua samudera serta dikelilinggi oleh jajaran gunung berapi menjadikan
Indonesia sebagai negara yang subur dan kaya akan sumberdaya alam.
Posisi geografi, sejarah geomorfologi dan luasan Indonesia menyebabkan
terbentuknya habitat-habitat yang sangat beragam dan dapat dihuni oleh
beragam jenis makhluk hidup. Tidak hanya di daratan, keragaman hayati
juga terbentuk di lautan.
2. Daratan Indonesia terbagi menjadi Nusantara bagian barat (Sunda) yang
jenis-jenis hidupannya serupa dengan jenis-jenis di daratan Asia,
Nusantara bagian timur (Sahul) yang hidupannya serupa dengan jenis-
jenis di daratan Australia, serta daerah peralihan (ecoton) Wallacea yang
hidupannya mirip di daratan Asia maupun daratan Australia dengan
keunikan dan endemismenya yang tinggi. Ketiga Kawasan tersebut
dikenal memiliki jenis hidupan yang berbeda. Disamping itu lautan
Indonesia dikenal sebagai bagian utama dari segitiga koral dunia (Coral
Triangel) dimana jenis-jenis hidupannya yang sangat beragam tumbuh
maupun hidup didalamnya.
3. Hidupan yang sangat beragam tersebut memberikan jasa ekosistem yang
sangat beragam pula. Sejumlah bahan pangan, bahan obat dan bahan
baku industry telah dihasilkan atau diproduksi dari hidupan tersebut.
Sejumlah besar potensi telah diketahui dan kini menunggu untuk
diproduksi secara massal, sementara itu sejumlah potensi lainnya masih
tersimpan di alam menunggu untuk ditemukan. Sayangnya degradasi
alam lingkungan di Indonesia adalah salah satu yang tercepat di dunia,
sehingga jumlah besar potensi tersebut diatas dikhawatirkan tidak
pernah terungkap hingga kepunahannya.
4. Di daratan; penebangan hutan secara liar yang kini dilanjutkan dengan
konversi baik hutan yang masih alamiah atau lahan-lahan berakibat
penebangan menjadi perkebunan merupakan ancaman utama kelestarian
xvii
keanekaragaman hayati. Sementara itu, di lautan penangkapan biota
laut secara illegal, tidak dilaporkan dan tidak dicatat merupakan ancaman
terbesar keanekaragaman hayati. Hal ini merupakan tantangan utama
pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia.
5. Dalam seminar nasional ini diungkapkan berbagai potensi alam
Indonesia, baik untuk konservasi keanekaragaman hayati (KKH),
jasa lingkungan (cadangan carbon, mitigasi perubahan iklim, jasa
lingkungan untuk sumberdaya air, ekowisata dan untuk keperluan lain,
serta upaya pelestariannya), perhutanan sosial dan hasil hutan
bukan kayu (HHBK).
6. Dari hasil seminar nasional ini secara ringkas dapat dirumuskan bahwa
kekayaan SDA dan kekayaan biodiversitas Indonesia adalah sangat luar
biasa dan sangat berpotensi untuk menjamin kedaulatan bangsa dalam
hal bahan pangan, bahan obat dan bahan baku industry.
7. Sinergitas dapat dilakukan melalui kerjasama/kemitraan/ kolaborasi
sehingga perlu meningkatkan mutual trust dan mutual benefit antara
para pihak sehingga pada tataran pelaksanaan, sinergitas para pihak
dapat berjalan sebagimana yang diharapkan, untuk menjaga terjaminnya
kelestarian SDA dan keanekaragaman hayati. Ke depan, diperlukan
adanya peta prioritas pengelolaan sumberdaya alam yang “small dan
impact full” namun sinergis antara pemerintah pusat, pemerintah
daerah, akademisi, masyarakat, private sector dan lembaga-lembaga
lainnya.
Dirumuskan di : Manado
Pada Tanggal : 24 Oktober 2018
Tim Perumus :
1. Julianus Kinho, S.Hut., M.Sc.
2. Diah Irawati Dwi Arini, S.Hut., M.Sc.
3. Arif Irawan, S.Si.
Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional…….. AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, & Ammy Nurwati
1
Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi1
Ecosystem Restoration Based On Genetic Approach
in Gunung Merapi National Park
AYPBC Widyatmoko2, Bangun Baramantya3, dan Ammy Nurwati3
ABSTRACT
The forest area around Mount Merapi has been designated as Gunung Merapi
National Park (GMNP) through a Decree of the Minister of Forestry No: SK. 3627
/ Menhut-VII / KUH / 2014 dated May 6, 2014 with an area of 6,607.52 ha.The
existence of Mount Merapi which can erupt at any time causes the ecosystem in
GMNP to have a high level of fragility. The eruption of Mount Merapi in 2010 had
a major impact on ecosystem damage so that the restoration of ecosystem
activities after the Merapi eruption in 2010 has become one of the priority
programs of the GMNP. Until now, various ecosystem restoration activities have
been carried out in the GMNP area based on the types of land cover in the GMNP
area, but the origin of the seedlings were from outside the GMNP area. Based on
Government Regulation No. 7 of 1999 concerning Preservation of Plant and Animal
Types, several important things for preservation of plants are maintaining genetic
purity, maintaining genetic diversity and location of planting as part of the original
distribution of this species. Therefore, ecosystem restoration activities in
conservation areas, such as in the GMNP area, should pay attention to these three
things. The material for ecosystem restoration in the GMNP area must come from
within the GMNP area. Information about genetic diversity and genetic distribution
patterns of a species in the GMNP area is important for the selection of genetic
sources in the context of restoration activities. This restoration plan is called
1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional Meningkatkan Sinergitas Dalam Upaya
Pelestarian Sumber Daya Alam, diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado dan SEAMEO BIOTROP, Manado 24 Oktober 2018
2 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta 55582, Telp/Fax. 0274-896080
3 Balai Taman Nasional Gunung Merapi, Jl. Kaliurang Km. 22,6, Hargobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta 55582, Telp. 0274-4478664, Fax. 0274-4478665; E-mail: [email protected]
2
Ecosystem Restoration Based on Genetic Approach. The main activities of
Ecosystem Restoration Based on Genetic Approach that need to be done are
survey of location and collection of genetic material of potential flora species of
Mount Merapi, selection of reference population and establishment of permanent
measure plot, analysis of genetic diversity with DNA markers, multiplication of
genetic material by involving communities around the area, design, and
development of ecosystem restoration plots.
Keywords: genetic purity, conservation, DNA markers, Mount Merapi
I. PENDAHULUAN
Gunung Merapi merupakan salah satu gunung berapi aktif yang terletak
di bagian tengah Pulau Jawa, yang secara administratif berada di Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah. Kawasan sekitar
Gunung Merapi ditunjuk menjadi Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM)
dengan luas 6.410 Ha, melalui Keputusan Menteri Kehutanan SK Nomor
134/Menhut-II/2004 tanggal 04 Mei 2004, dan kemudian ditetapkan melalui
Surat Keputusan Menteri Kehutanan No: SK. 3627/Menhut-VII/KUH/2014
tanggal 6 Mei 2014 dengan luas 6.607,52 ha.
Wilayah TNGM berada pada ketinggian antara 600-2.968 mdpl, yang
tersebar di 4 (empat kabupaten), yaitu Kabupaten Sleman, Kabupaten
Magelang, Kabupaten Boyolali, dan Kabupaten Klaten. Wilayah TNGM yang
terdapat di 4 kabupaten tersebut juga terbagi menjadi 7 resort, yaitu Resort
Pakem-Turi, Resort Cangkringan, Resort Srumbung, Resort Dukun, Resort
Selo, Resort Musuk Cepogo, dan Resort Kemalang. Berdasarkan zonasinya,
kawasan TNGM juga terbagi menjadi 7 zona, yaitu Zona Inti, Zona Rimba,
Zona Pemanfaatan, Zona Rehabilitasi, Zona Khusus Mitigasi dan Rekonstruksi,
Zona Tradisional dan Zona Religi, Budaya dan Sejarah. Peta Resort dan zonasi
Taman Nasional Gunung Merapi dapat dilihat pada Gambar 1.
Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) memiliki beberapa
keunikan. Selain menyangga gunung api paling aktif di Indonesia, ekosistem
hutan di TNGM berfungsi sebagai daerah tangkapan air kawasan Provinsi
Jawa Tengah dan DIY, habitat berbagai flora dan fauna yang dilindungi,
kantong berbagai plasma nutfah yang potensial, serta fungsi sosial, dan
religius (Dove, 2008). Marhaento dan Farida (2015) menyebutkan bahwa
keberadaan Gunung Merapi yang dapat meletus sewaktu-waktu dapat
menyebabkan ekosistem di TNGM memiliki tingkat kerapuhan yang tinggi.
Karakteristik Gunung Api Merapi yang secara periodik selalu meletus
Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional…….. AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, & Ammy Nurwati
3
menyebabkan perubahan pula terhadap ekosistemnya. Soewandita dan
Sudiana (2014) menyampaikan bagaimana melakukan analisis penggunaan
dan kesesuaian lahan berdasarkan potensi bahaya letusan Gunung Merapi,
sedangkan Pujiasmanto (2011) menyampaikan strategi pemulihan lahan
pasca erupsi gunung api.
Gambar 1. Peta Resort dan Zonasi Taman Nasional Gunung Merapi
Salah satu peristiwa erupsi Gunung Merapi yang berdampak pada
kerusakan ekosistem dalam skala besar adalah erupsi tahun 2010. Hasil
klasifikasi kelas kerusakan kawasan dari citra LANDSAT dan survey lapangan
menunjukkan bahwa akibat erupsi Gunung Merapi Tahun 2010, kawasan
TNGM mengalami 3 kelas tingkat kerusakan. Kerusakan berat terjadi pada
kawasan seluas ±1.242 ha (19,37%), kerusakan sedang seluas ±1.208 ha
(18,84%) dan kerusakan ringan seluas 2.544 ha (39,68%). Sisa kawasan
TNGM lainnya adalah medan lava dan lahar seluas 1.416 ha (22,11%) yang
sudah ada sejak sebelum erupsi 2010. Tidak dijumpai kelas tidak terdampak
4
erupsi karena seluruh kawasan TNGM menunjukkan adanya jejak abu vulkanik
sehingga kelas terdampak paling rendah adalah kerusakan ringan.
Saat ini, kegiatan pemulihan ekosistem paska erupsi Merapi 2010 telah
menjadi salah satu program prioritas Balai TNGM. Di dalam mendukung
kegiatan tersebut, melalui kerjasama dengan Balai TNGM, berbagai pihak
telah terlibat. Tercatat beberapa pihak, baik akademisi (Fakultas Kehutanan
UGM), LSM (JICA, Sumitomo), kelompok masyarakat maupun mitra lainnya
telah melakukan pemulihan ekosistem di kawasan TNGM. Meski demikian,
praktek pemulihan ekosistem kawasan TNGM hingga saat ini belum
menggunakan informasi keragaman genetik dari jenis-jenis tumbuhan di
kawasan TNGM sebagai salah satu pertimbangan teknis yang perlu
diperhatikan dalam melakukan pemulihan ekosistem. Hal inilah yang
mendorong perlunya dilakukan kegiatan bersama antara Balai TNGM dan Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman
Hutan (B2P2BPTH) Yogyakarta dalam bentuk “Kegiatan Bersama Penguatan
Fungsi Pengawetan Jenis-jenis Tumbuhan Lokal melalui Pembuatan Demplot
Restorasi di Kawasan TNGM”.
II. RESTORASI EKOSISTEM BERBASIS GENETIK
Definisi restorasi ekosistem, menurut P.48/Menhut-II/2014 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Pemulihan Ekosistem pada Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam, adalah suatu tindakan pemulihan terhadap
ekosistem yang mengalami kerusakan fungsi berupa berkurangnya penutupan
lahan, kerusakan badan air atau bentang alam laut serta terganggunya status
satwa liar, biota air, atau biota laut melalui tindakan penanaman, rehabilitasi
badan air atau rehabilitasi bentang alam laut, pembinaan habitat dan populasi
untuk tujuan tercapainya keseimbangan sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya mendekati kondisi aslinya. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan menyebutkan bahwa restorasi
ekosistem dilakukan dengan mempertahankan fungsi hutan melalui berbagai
kegiatan sehingga dapat tercapai keseimbangan hayati dan ekosistemnya, serta
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, kegiatan
restorasi ekosistem bertujuan untuk memulihkan ekosistem yang telah
terdegradasi, rusak atau musnah ke kondisi awal atau menyerupai kondisi
awal (SER Primer, 2004). Pulihnya suatu ekosistem apabila ekosistem tersebut
telah memiliki cukup sumberdaya biotik dan abiotik untuk terus berkembang
tanpa bantuan atau campur tangan manusia serta dapat melestarikan fungsi
Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional…….. AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, & Ammy Nurwati
5
dan strukturnya sendiri dan memiliki resiliensi terhadap tekanan dan
gangguan lingkungan (SER Primer, 2004). Hingga saat ini belum banyak
dilaporkan mengenai pengaruh dari restorasi genetik untuk flora.
Thongkumkoon et al. (2019) melaporkan keragaman genetik 3 jenis Fagaceae
pada percobaan restorasi hutan. Untuk fauna, telah dilaporkan pengaruh
restorasi genetik untuk jenis panther (Johnson et al., 2010; Hostetler et al.,
2013) dan prairie-chickens (Bateson et al., 2014). Dalam kegiatan restorasi,
perlu dilakukan analisis mengenai kriteria penetapan prioritas tipe restorasi
untuk menentukan lokasi mana yang perlu dilakukan kegiatan pemulihan
fungsi habitat, hidrologi, dan lain-lain (Gunawan dan Subiandono, 2014).
Dalam melakukan kegiatan restorasi ekosistem, diperlukan strategi untuk
berbagai tujuan, temasuk diantaranya untuk meningkatkan keuntungan
secara ekologi maupun ekonomi (Franklin dan Johnson, 2012).
Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis
Tumbuhan dan Satwa, merupakan salah satu dari Peraturan Pemerintah yang
dapat digunakan sebagai dasar dalam melakukan kegiatan restorasi ekosistem
kawasan yang dilindungi, seperti Taman Nasional Gunung Merapi. Beberapa
hal penting yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah tersebut yang perlu
diperhatikan adalah sebagai berikut:
1. Menjaga kemurnian genetik dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan
satwa (Pasal 2b)
2. Memelihara keseimbangan dan kemantapan ekosistem yang ada, agar
dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia secara berkelanjutan
(Pasal 2c)
3. Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dilakukan melalui kegiatan
pengelolaan di dalam habitatnya (in-situ) (Pasal 8a)
4. Dalam mendukung kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan kegiatan pengelolaan di luar habitatnya (eks-situ) untuk
menambah dan memulihkan populasi (Pasal 8b)
5. Pengembangbiakan jenis di luar habitatnya wajib memenuhi syarat yaitu
menjaga kemurnian genetik, menjaga keanekaragaman genetik dan
melakukan penandaan (Pasal 16).
Variasi genetik suatu jenis tanaman sangat diperlukan oleh tanaman
tersebut untuk dapat beradaptasi pada kondisi lingkungan yang berubah
untuk mempertahankan eksistensinya, baik jangka pendek maupun jangka
panjang. Perubahan lingkungan merupakan proses yang secara nyata
berlangsung secara kontinyu. Oleh karenanya, suatu jenis tanaman harus
6
mampu untuk mempertahankan keragaman genetiknya agar tidak menjadi
semakin menurun populasinya atau bahkan bisa menjadi punah.
Berkurangnya keragaman genetik suatu jenis tanaman, menyebabkan
berkurangnya kemampuan adaptabilitas untuk mempertahankan hidupnya
dan kemampuan reproduksinya. Thomas et al. (2014) dan Reynolds et al.
(2012) menegaskan pentingnya menggunakan jenis tanaman asli untuk
mempertahankan genetik dalam kegiatan restorasi ekosistem. Ruiz-Jaen dan
Mitchell (2005) serta Reusch dan Hughes (2006) mengatakan bahwa dengan
memberikan perhatian kepada keragaman materi genetik yang digunakan,
baik keragaman antar jenis maupun di dalam jenis, akan berpengaruh positif
terhadap keberhasilan kegiatan restorasi ekosistem
Informasi mengenai keragaman genetik sangat diperlukan untuk
mengetahui kondisi yang ada saat ini dalam rangka konservasi jenis-jenis
tumbuhan lokal di TNGM. Data pola sebaran genetik dari suatu jenis tanaman
yang ada di kawasan TNGM menjadi penting untuk pemilihan sumber genetik
dalam rangka kegiatan restorasi. Rencana restorasi ekosistem yang
menggunakan informasi keragaman genetik dan pola persebarannya inilah
yang disebut dengan restorasi ekosistem berbasis genetik. Baramantya et al.
(2016) melaporkan keragaman genetik puspa yang ditanam di kawasan
Gunung Merapi.
III. KEGIATAN RESTORASI EKOSISTEM BERBASIS GENETIK
Restorasi ekosistem yang merupakan proses pemulihan suatu ekosistem
tentunya memerlukan berbagai kegiatan agar ekosistem yang telah
terdegradasi, rusak atau musnah dapat kembali pada kondisi awal atau
menyerupai kondisi awal. Seperti yang tercantum pada P.48/Menhut-II/2014,
kegiatan restorasi ekosistem di kawasan konservasi antara lain berupa
penanaman serta pembinaan habitat dan populasi. Kegiatan kerjasama antara
TNGM dan B2P2BPTH secara garis besar tidak berbeda jauh dari kegiatan
restorasi ekosistem yang selama ini sudah dilakukan.Kegiatan pada restorasi
ekosistem berbasis genetik di TNGM adalah sebagai berikut:
1. Survei populasi dan potensi jenis-jenis potensial Gunung Merapi, antara
lain: sarangan/saninten (Castanopsis argentea), tesek (Dodonaea
viscosa), puspa (Schima wallichii), pasang (Lithocarpus sp.), sowo
(Engelhardia spicata), dadap duri (Erythrina lithosperma) dan beberapa
jenis dari family Orchidaceae;
2. Pemilihan populasi referensi dan pembuatan Petak Ukur Permanen (PUP);
3. Pengumpulan materi genetik;
Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional…….. AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, & Ammy Nurwati
7
4. Analisa keragaman genetik menggunakan penanda DNA;
5. Perbanyakan secara vegetatif dan generatif;
6. Pengayaan menggunakan jenis-jenis asli TNGM;
7. Pembuatan desain dan pembangunan demplot restorasi;
8. Pelibatan masyarakat.
A. Survei populasi dan potensi jenis-jenis potensial
Kegiatan inventarisasi dan identifikasi jenis-jenis pohon asli dilakukan
bersamaan dengan kegiatan analisis vegetasi. Inventarisasi jenis pohon asli
dilakukan dengan cara membuat daftar jenis pohon dan mencocokkan dengan
deskripsi sebaran alaminya yang ada di referensi terpercaya seperti Buku
Tumbuhan Berguna Indonesia (Heyne, 1987) dan Buku Flora Pegunungan
Jawa (van Steenis, 2006), atau buku-buku yang relevan dari serial PROSEA
(Plant Resources of South-East Asia). Identifikasi jenis pohon asli meliputi
pengenalan jenis secara morfologi, fenologi, ekologi (tempat tumbuh dan
sebarannya) serta kegunaannya.
Perlunya tindakan penanaman kembali areal terdegradasi membawa
konsekuensi kebutuhan bibit. Salah satu syarat bibit untuk tanaman restorasi
adalah harus merupakan jenis asli setempat. Untuk itu perlu dilakukan
inventarisasi dan identifikasi jenis-jenis pohon asli Gunung Merapi. Informasi
yang diperlukan dari jenis-jenis pohon asli tersebut adalah: status keaslian
(endemisitas), distribusi geografis, sebaran menurut elevasi di Gunung Merapi,
fungsi atau peranan dalam ekosistem, kegunaan bagi masyarakat, teknik
perbanyakan atau regenerasi, kesesuaian tumbuh dengan tapak khusus, dan
sifat-sifat khusus seperti jenis toleran, intoleran, pionir atau klimaks. Gunawan
et al. (2012) telah mengidentifikasi 50 jenis pohon asli Gunung Merapi yang
dapat digunakan sebagai tanaman restorasi Gunung Merapi.
Kegiatan survei potensi dan populasi jenis-jenis yang terdapat di TNGM
difokuskan pada beberapa spesies, yaitu sarangan/saninten (Castanopsis
argentea), tesek (Dodonaea viscosa), puspa (Schima wallichii), pasang
(Lithocarpus sp.), sowo (Engelhardia spicata), dadap duri (Erythrina
lithosperma) dan beberapa jenis dari family Orchidaceae. Jenis-jenis ini dipilih
karena selain merupakan jenis asli Gunung Merapi, potensi dan sebaran
populasinya masih cukup tersedia sehingga akan sangat membantu di dalam
pemetaan struktur genetik jenis-jenis yang berada di kawasan TNGM.
B. Pemilihan populasi referensi dan pembuatan PUP
Kegiatan restorasi ekosistem memerlukan populasi referensi untuk
menjadi dasar untuk mengembalikan kondisi hutan yang telah terdegradasi
8
atau rusak. Kegiatan restorasi ekosistem berbasis genetik yang dilakukan di
TNGM juga membutuhkan populasi referensi agar seluruh kegiatan yang
mengarah pada kondisi populasi referensi tersebut. Untuk itu, salah satu
kegiatan yang dilakukan adalah memilih beberapa populasi yang berada di
kawasan TNGM yang sama sekali tidak mengalami gangguan baik oleh erupsi
maupun gangguan lainnya, atau mungkin hanya sedikit sekali gangguan yang
ada. Selanjutnya, Petak Ukur Permanen (PUP) dibangun pada populasi
referensi tersebut sebagai lokasi permanen untuk pengukuran dan
pengumpulan data yang dilakukan secara berkala. PUP dibangun berbentuk
persegi panjang dengan ukuran 50 meter X 20 meter untuk pengukuran
pohon dan tiang. Di dalam petak tersebut dibangun 3 buah sub-petak,
masing-masing berukuran 5 meter X 5 meter untuk pengukuran tumbuhan
bawah, semai dan sapihan. Beberapa informasi yang diperoleh dari hasil
pengukuran dan pengamatan yang berkala pada populasi referensi tersebut
antara lain:
- Jenis-jenis tanaman yang ada, mulai dari tingkat perdu sampai tingkat
pohon;
- Perbandingan jumlah individu antar jenis-jenis yang ada;
- Perbandingan penutupan tajuk dari masing-masing jenis;
- Tinggi dan diameter tingkat pancang sampai dengan pohon untuk masing
jenis-jenis pohon;
- Perbandingan antara jumlah pohon, tiang, pancang dan semai untuk
luasan tertentu.
C. Pengumpulan materi genetik
Kegiatan pengumpulan materi genetik, baik untuk analisis keragaman
genetik maupun untuk kegiatan penanaman menjadi sangat penting untuk
keberhasilan dari keseluruhan kegiatan. Materi genetik yang cukup untuk
masing-masing populasi dan tersebar di kawasan TNGM akan memberikan
informasi yang lengkap untuk keragaman genetik dan dapat mewakili sebaran
genetik dari kawasan TNGM. Di dalam kegiatan pengumpulan materi genetik
ini, beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:
1. Pemilihan pohon induk
Pohon induk yang dipilih sebagai indukan untuk pengumpulan materi
genetik adalah yang secara fenotipik lebih baik daripada pohon lainnya.
Selain faktor fenotipik, sebaran dari pohon induk juga harus diperhatikan
untuk mengurangi hubungan kekerabatan yang dekat antar pohon induk
dan dapat mewakili keberadaan pohon-pohon di dalam suatu populasi.
Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional…….. AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, & Ammy Nurwati
9
2. Pengumpulan biji
Biji yang dikumpulkan sebisa mungkin dipisahkan per pohon induk, dengan
tujuan agar keterwakilan masing-masing pohon induk nantinya akan lebih
proporsional di dalam pembangunan plot penanaman maupun pengayaan.
Biji yang telah masak diunduh dari atas pohon dan dimasukkan dalam
kantong plastik yang berbeda dengan pohon induk lainnya. Apabila biji
yang dikumpulkan berada di bawah pohon, perlu dipastikan bahwa biji
tersebut berasal dari pohon yang telah diketahui atau tidak bercampur
dengan pohon lainnya.
3. Pelabelan
Apabila biji telah terkumpul, maka masing-masing diberi label dengan
penomoran yang mudah dimengerti oleh semua pihak dan bisa
membedakan dengan biji dari pohon lainnya, baik yang berasal dari
populasi yang sama atau populasi yang berbeda.
D. Analisis keragaman genetik menggunakan penanda DNA
Kegiatan analisis keragaman genetik menggunakan penanda DNA
merupakan kegiatan penting karena informasi yang diperoleh akan digunakan
untuk mengetahui sebaran genetik dari jenis-jenis yang terdapat di TNGM,
untuk menentukan sumber benih dan untuk menyusun strategi penanaman
dalam rangka restorasi ekosistem. Beberapa kegiatan yang dilakukan dalam
kegiatan ini adalah sebagai berikut:
1. Pemilihan sampel untuk analisis
Sampel yang digunakan untuk kegiatan analisis keragaman genetik dapat
berupa daun atau kambium dari sampel pohon yang mewakili populasi.
Sampel ini bisa berasal dari pohon-pohon induk yang telah dipilih, tetapi
bisa juga berasal dari pohon-pohon lain yang bukan pohon induk karena
tujuannya adalah ingin mengetahui keragaman genetik dari suatu
populasi. Yang terpenting di dalam kegiatan ini adalah sampel yang
digunakan harus bisa mewakili sebaran dari keseluruhan pohon yang
terdapat di dalam suatu populasi.
2. Analisis keragaman genetik menggunakan penanda DNA
Penanda yang digunakan di dalam analisis keragaman genetik adalah
Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD). Pemilihan penanda DNA ini
didasarkan pada beberapa hal, yaitu biaya, peralatan yang dibutuhkan,
dan ketersediaan informasi mengenai penanda DNA yang akan digunakan.
Walaupun memiliki kekurangan, penanda RAPD lebih mudah dan murah
dibandingkan dengan penanda DNA lainnya serta tidak membutuhkan
10
primer khusus. Selain itu, penanda RAPD merupakan penanda yang cukup
banyak digunakan untuk analisis keragaman genetik karena tingkat
polimorfismenya yang cukup tinggi.
3. Pengelompokan populasi berdasarkan jarak genetik antar populasi
Hasil analisis menggunakan penanda DNA yang diharapkan adalah
keragaman genetik masing-masing jenis di wilayah TNGM dan jarak
genetik antar populasi. Berdasarkan informasi yang dihasilkan tersebut,
akan dilakukan pengelompokan populasi di wilayah TNGM.
Pengelompokan ini akan bermanfaat di dalam menentukan sumber benih
maupun asal-usul bibit yang akan ditanam pada suatu lokasi.
E. Perbanyakan secara vegetatif dan generatif
Kegiatan restorasi ekosistem berbasis genetik ini sangat berkaitan
dengan ketersediaan bibit dan asal-usul bibit yang akan digunakan di dalam
kegiatan penanaman. Untuk itu, harus dipastikan bahwa bibit yang ditanam
di suatu lokasi di TNGM haruslah berasal dari populasi yang disepakati dengan
jumlah yang cukup. Untuk mencukupi kebutuhan bibit dalam kegiatan
penanaman, berbagai upaya perbanyakan perlu dilakukan, baik perbanyakan
secara generatif maupun vegetatif.
Seperti disampaikan di atas, untuk tetap menjaga asal-usul biji maka
mulai dari pengumpulan di lapangan perlu dilakukan pelabelan yang jelas
dengan memisahkan biji yang berasal dari pohon yang berbeda. Pemisahan
bibit juga perlu dilakukan di persemaian agar tidak tercampur antara bibit
yang berasal dari pohon dan populasi yang berbeda (Gambar 2). Untuk
perbanyakan secara vegetatif, tidak jauh berbeda dengan biji. Sejak dari
pengambilan materi vegetatif di lapangan, harus dipisahkan antara pohon
yang berbeda dan diberi label yang jelas. Perbanyakan vegetatif di
persemaian (melalui stek) perlu dipisahkan antara hasil stek dari pohon dan
populasi yang berbeda.
Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional…….. AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, & Ammy Nurwati
11
Gambar 2. Pembibitan tesek berdasarkan masing-masing pohon induk
F. Pengayaan menggunakan jenis-jenis asli TNGM
Erupsi di kawasan TNGM menyebabkan beberapa lokasi mempunyai
tutupan lahan yang sedikit dan atau jumlah jenis maupun individu yang
sedikit. Oleh karena itu, kegiatan pengayaan perlu dilakukan di lokasi tersebut
dengan penanaman jenis-jenis yang sebelumnya ada di situ atau jenis yang
masih ada tetapi jumlah individunya sedikit. Mengingat tujuan dari kegiatan
ini tidak sekedar menambah jumlah pohon yang ada tetapi juga
memperhatikan asal-usul dari bibit yang ditanam, maka kegiatan pengayaan
ini harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
1. Jenis yang ditanam untuk kegiatan pengayaan sama dengan yang ada di
lokasi tersebut.
2. Jenis yang ditanam diutamakan dari 6 jenis yang diprioritaskan (seperti
disebut sebelumnya), selanjutnya bisa dipilih jenis-jenis lainnya.
3. Asal-usul bibit yang ditanam haruslah berasal dari lokasi yang sama atau
lokasi yang sangat berdekatan, atau dari populasi yang secara genetik
mempunyai hubungan kekerabatan yang sangat dekat dengan lokasi
tersebut berdasarkan hasil dari analisis menggunakan penanda DNA.
4. Bibit yang digunakan semaksimal mungkin berasal dari jumlah individu
pohon yang cukup untuk menghindari keragaman genetik bibit yang
rendah. Posisi penanaman dari juga diperhatikan agar bibit yang berasal
dari pohon induk yang sama tidak saling berdekatan untuk mengurangi
perkawinan kerabat di masa mendatang.
12
G. Pembuatan Desain dan Pembangunan Demplot Restorasi
Kegiatan lain selain pengayaan yang perlu dilakukan adalah membangun
demplot restorasi. Berbeda dengan kegiatan pengayaan, pembangunan
demplot ini bertujuan untuk mengumpulkan materi genetik dari 6 jenis
prioritas yang disebutkan di atas dan ditanam di lokasi yang tidak ada
tanaman dari keenam jenis tersebut. Dengan demikian, demplot ini akan
berfungsi juga sebagai konservasi eks-situ dari keenam jenis yang ditanam di
luar populasinya, walaupun lokasi penanaman masih di dalam kawasan TNGM.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembangunan demplot ini adalah
sebagai berikut:
1. Materi genetik dari keenam jenis prioritas tersebut dikoleksi dari sebanyak
mungkin populasi yang berada di kawasan TNGM. Materi genetik bisa
berupa biji yang disemaikan atau berupa cabutan. Bibit dari masing-
masing populasi harus dipisahkan.
2. Bibit yang berasal dari pohon-pohon pada populasi yang sama, selanjutnya
dicampur dengan jumlah antar pohon yang seimbang mungkin
(tergantung dari ketersediaan bibit dari masing-masing pohon).
3. Luas dan desain penanaman demplot disusun berdasarkan ketersediaan
bibit dan jumlah populasinya. Bibit dari populasi yang berbeda ditanam
pada blok yang berbeda agar tidak tercampur.
4. Pemeliharaan, pengamatan dan evaluasi secara rutin dilakukan agar bibit
yang ditanam bisa tumbuh dengan baik. Apabila bibit tersedia, dapat
dilakukan penyulaman untuk tanaman yang mati. Bibit yang digunakan
untuk menyulam haruslah berasal dari populasi yang sama.
H. Pelibatan Masyarakat
Kegiatan restorasi ekosistem berbasis genetik ini perlu melibatkan
masyarakat, khususnya masyarakat sekitar kawasan TNGM, untuk berbagai
kegiatan yang dilakukan. Masyarakat sekitar kawasan TNGM sudah terbiasa
keluar masuk kawasan TNGM untuk mencari rumput atau untuk keperluan
lainnya, sehingga mereka sedikit banyak mengetahui kondisi tanaman yang
berada di dalam kawasan. Dengan melibatkan masyarakat, selain
mempermudah pelaksanaan kegiatan, juga dapat menambah pendapatan
dengan ikut dilibatkan. Supartono dan Yudayana (2019) menekankan
pentingnya partisipasi masyarakat di berbagai kegiatan di taman nasional,
terlebih di dalam menentukan jenis lokal potensial. Sadono (2013)
menyarankan untuk melibatkan masyarakat dalam kegiatan pelestarian
taman nasional, khususnya untuk menjaga fungsi ekologis. Hampir semua
Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional…….. AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, & Ammy Nurwati
13
kegiatan restorasi ekosistem berbasis genetik yang sudah disebutkan di atas
dapat melibatkan masyarakat, yaitu:
- Survei pohon induk.
- Pengambilan materi genetik, baik biji, cabutan maupun bahan stek.
- Membibitkan biji yang dikoleksi dan atau memelihara hasil cabutan.
- Penanaman, baik untuk kegiatan pengayaan maupun pembangunan
demplot, dan pemeliharaan.
IV. PENUTUP
Restorasi ekosistem berbasis genetik secara garis besar tidak berbeda
jauh dengan kegiatan restorasi ekosistem yang selama ini sudah dilakukan.
Yang membedakan terutama adalah jenis dan asal usul bibit yang digunakan
dalam kegiatan restorasi. Jenis yang digunakan haruslah jenis yang tumbuh
secara alami di kawasan TNGM, dan bibit yang digunakan juga harus berasal
dari populasi yag berada di kawasan TNGM. Analisis keragaman genetik
menggunakan penanda DNA sangat diperlukan untuk mengetahui keragaman
genetik dari masing-masing populasi dan hubungan kekerabatan antar
populasi. Untuk populasi yang mempunyai hubungan kekerabatan yang
sangat dekat, bibitnya dapat digunakan untuk keduanya. Untuk itu, kegiatan
pembuatan bibit mulai dari pengumpulan di lapangan sampai di persemaian
harus diberi label dan dipisahkan antar populasi. Dengan adanya kegiatan
restorasi berbasis genetik ini, kemurnian jenis maupun genetik dari tanaman
yang berada di kawasan TNGM dapat terjaga dengan baik sesuai dengan
ketentuan yang tercantum dalam PP No 7 tahun 1999. Kegiatan restorasi
berbasis genetik ini juga harus memperhatikan populasi referensi, yang
merupakan contoh populasi di TNGM yang tidak atau sedikit
sekaliterpengaruh dengan erupsi merapi atau gangguan manusia. Diharapkan
kegiatan restorasi ekosistem yang dilakukan bisa menyerupai populasi
referensi tersebut. Komitmen dan partisipasi dari berbagai pihak diperlukan
agar kegiatan ini bisa terlaksana dengan baik. Keterlibatan masyarakat,
khususnya masyarakat di sekitar kawasan TNGM, sangat diperlukan untuk
menjamin keberhasilan kegiatan ini dan keberlangsungannya di masa
mendatang. Dengan kegiatan ini, ke depan diharapkan masyarakat dapat
merasakan manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung.
14
V. DAFTAR PUSTAKA
Baramantya, B., Indrioko, S., Faida,L. R. W. & Hadiyan, Y. (2016). Keragaman
genetik dan permudaan alam puspa (Schima Wallichii (Dc.) Korth.) di
Taman Nasional Gunung Merapi pasca erupsi tahun 2010. Jurnal
PemuliaanTanaman Hutan, 10(2), 111-121.
Bateson, Z. W., Dunna, P. O., Hull, S. D., Henschen, A. E. Johnson, J. A. &
Whittinghama, L. A. (2014). Genetic restoration of a threatened
population of greater prairie-chickens. Biological Conservation, 174, 12-
19. https://doi.org/10.1016/j.biocon. 2014.03.008. Diakses tanggal 12
Februari 2019.
Dove, M. R. (2008). Perception of volcanic eruption as agent of change on
Merapi volcano, Central Java. Journal of Volcanology and Geothermal
Research, 172(3), 329-337.
Franklin, J. F. & Johnson, K. N. (2012). A restoration framework for Federal
Forests in the Pacific Northwest. J. For., 110(8), 429–439.
http://dx.doi.org/10.5849/jof.10-006. Diakses tanggal 12 Februari 2019
Gunawan, H. & Subiandono, E. (2014). Disain ruang restorasi ekosistem
terdegradasi di Taman Nasional Gunung Ciremai, Jawa Barat. Indonesian
Forest Rehabilitation Journal, (1), 67-78.
Gunawan, H., Mas'ud, A. F., Subiandono, E., Krisnawati, H. & Heriyanto, N. M.
(2012). Manajemen Habitat dan Populasi Satwaliar Langka Pasca
Bencana Alam Erupsi Di Taman Nasional Gunung Merapi. Laporan
Insentif Riset Terapan. Dalam Restorasi Ekosistem Gunung Merapi Pasca
Erupsi. Editor Partomiharjo, T, (2014). Pusat Penelitian dan Konservasi
Rehabilitasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor.
Heyne, K. (1987). Tumbuhan Berguna Indonesia Volume II. Yayasan Sarana
Wana Jaya: Diedarkan oleh Koperasi Karyawan, Badan Litbang
Kehutanan, Jakarta.
Hostetler, J. A., Onorato, D. P., Jansen, D., & Oli, M. K. (2013). A cat’s tale:
the impact of genetic restoration on Florida panther population dynamics
and persistence. Journal of Animal Ecology, 82, 608-620.
Johnson, W. E., Onorato, D. P., Roelke, M. E., Land, E. D., Cunningham, M.,
Belden, R. C., McBride, R., Jansen, D., Lotz, M., Shindle, D., Howard, J.,
Wildt, D. E., Penfold, L. M., Hostetler, J. A., Oli, M. K., & O’Brien, S. J.
(2010). Genetic restoration of the florida panther. Science, 329, 1641-
1645. DOI: 10.1126/science.1192891. Diakses tanggal 12 Februari 2019
Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional…….. AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, & Ammy Nurwati
15
Marhaento, H. & Faida, L. R. W. (2015). Analisis risiko kepunahan
keanekaragaman hayati di Taman Nasional Gunung Merapi. Jurnal Ilmu
Kehutanan, 9(2), 75-84.
Pujiasmanto, B. (2011). Strategi pemulihan lahan pasca erupsi gunung api
(segi agroekosistem, domestikasi tumbuhan herba untuk obat; dan
action research). Journal of Rural and Development, 2(2), 85-96.
Reusch, T. B. H. & Hughes, A. R. (2006). The emerging role of genetic
diversity for ecosystem functioning: Estuarine macrophytes as models.
Estuaries and Coasts, 29(1), 159-164.
Reynolds, L. K., McGlathery, K. J., & Waycot, M. (2012). Genetic diversity
enhances restoration success by augmenting ecosystem services. PLoS
ONE, 7(6),e38397. doi:10.1371/journal.pone.0038397. Diakses tanggal
10 Februari 2019
Ruiz-Jaen, M. C. & Mitchell, A. T. (2005). Restoration success: How is it being
measured?. Restoration Ecology, 13(3), 569-577.
Sadono, Y. (2013). Peran serta masyarakat dalam pengelolaan Taman
Nasional Gunung Merbabu di Desa Jeruk Kecamatan Selo, Kabupaten
Boyolali. Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota, 9(1), 53‐64.
SER Primer. The SER International Primer on Ecological Restoration. (2004).
Society for ecological Restoration International Science & Policy Working
Group (Version 2, October, 2004) (1),
http://www.ser.org/content/ecological_restoration_primer.asp. Diakses
tanggal 6 Februari 2019.
Soewandita, H. & Sudiana, N. (2014). Analisis penggunaan dan kesesuaian
lahan berdasarkan potensi bahaya letusan Gunung Merapi. Jurnal Sains
dan Teknologi Indonesia, 16(3), 8-19.
Steenis, V. (2006). Flora Pegunungan Jawa. Cetakan Kelima. Jakarta: PT.
Pradya Paramita. Dalam Restorasi Ekosistem Gunung Merapi Pasca
Erupsi. Editor Partomiharjo, T, (2014). Pusat Penelitian dan Konservasi
Rehabilitasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor.
Supartono, T. & Yudayana, B. (2019). Partisipasi masyarakat dalam
peningkatan pertumbuhan permudaan alami di Bumi Perkemahan Pasir
Batang Taman Nasional Gunung Ciremai Desa Karangsari, Kecamatan
Darma, Kuningan, Jawa Barat. Jurnal Pengabdian Masyarakat, 02(01),
38-45.
Thomas, E., Jalonen, R., Loo, J., Boshier, D., Gallo, L., Cavers, S., Bordács,
S., Smith, P. & Bozzano, M. (2014). Genetic considerations in ecosystem
16
restoration using native tree species. Forest Ecology and Management,
333, 66-75.
Thongkumkoon, P., Chomdej, S., Kampuansai, J., Pradit, W., Waikham, P.,
Elliott, S., Chairuangsri, S., Shannon, D. P., Wangpakapattanawong, P.,
& Liu, A. 2019. Genetic assessment of three Fagaceae species in forest
restoration trials. PeerJ 7:e6958 https://doi.org/10.7717/peerj.6958.
Diakses tanggal 8 Februari 2019.
Pentingnya Konservasi Sumberdaya Genetik Nantu…….. Julianus Kinho et al.
17
Pentingnya Konservasi Sumberdaya Genetik Nantu (Palaquium obtusifolium Burck.) Jenis Kayu Lokal Potensial
di Sulawesi Utara1
The Important Conservation Genetic Resources of Nantu (Palaquium obtusifolium Burck.) as Potential Trees Species
in North Sulawesi
Julianus Kinho2, Jafred Halawane2, Arif Irawan2, Hanif Nurul
Hidayah2 dan Reny Sawitri3
ABSTRACT
Conservation of genetic resources are protection and maintenance of genetic
variation of a species in order to preserve the potential of genetic resources for
conservation and breeding purposes in the future. Forest plant genetic resource
conservation programs in North Sulawesi, especially for potential local wood
species and have good economic prospects, should be prioritized and urgent to
work on in context of protection on genetic resources of forest plants. Nantu
(Palaquium obtusifolium) are one of local potential species in North Sulawesi who
have economic prospects. This species have wide distribution from coastal forests
to mountain forests in North Sulawesi. Todays nature stands of Nantu in North
Sulawesi are mostly in protected forest and conservation forest, while its demand
were continues to increase every year that is the reason why this species needs
attention in genetic resource conservation programs for conservation purpose and
tree improvement in the future.
Keywords: Conservation, nantu, tree improvement, genetic resources
1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya
Pelestarian Sumber Daya Alam, diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado dan SEAMEO BIOTROP, Manado 24 Oktober 2018.
2 Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado; Jl. Raya Adipura Kima Atas Mapanget, Manado 95259, Indonesia; e-mail: [email protected]
3 Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan; Jl. Gunung Batu No. 5, Po.Box. 165, Bogor 16610; Telp. (0251)-8633234, 520067, Fax. (0251) 8638111; e-mail: [email protected]
18
I. PENDAHULUAN
Konservasi sumberdaya genetik merupakan perlindungan dan
pemeliharaan variasi genetik dari suatu species dalam rangka menjaga
potensi sumberdaya genetik untuk tujuan konservasi dan pemuliaan dimasa
depan. Program konservasi dapat dilakukan bagi sebagian kecil jenis-jenis
yang ada di hutan tropis yang memiliki kekayaan jenis yang sangat tinggi
(Finkeldey, 2005). Strategi konservasi sumberdaya genetik terdiri dari
konservasi in situ dan ex situ, dimana keduanya saling melengkapi satu sama
lainnya. Konservasi ex situ merupakan back up dari kegiatan konservasi in
situ, terutama jika materi genetik atau jenis target di populasi alaminya sangat
terbatas atau terancam punah. Materi genetik yang berasal dari areal
konservasi in situ dapat berfungsi sebagai materi untuk pembangunan
konservasi ex situ dan sekaligus berfungsi sebagai materi untuk tujuan
pemuliaan.
Konservasi ex situ sangat penting bagi program pemuliaan, karena
konservasi tersebut dirancang untuk mampu mendukung program breeding
dan bioteknologi di masa yang akan datang. Menurut Neel et al., (2001),
sasaran dari program konservasi sumberdaya genetik adalah untuk
mempertahankan diversitas genetik dan meminimalkan proses yang dapat
mengurangi diversitas tersebut. Kehilangan diversitas genetik dapat
menyebabkan berkurangnya kemampuan suatu spesies untuk tetap bertahan
hidup dengan baik pada kondisi lingkungan yang dinamis dan cenderung
berubah.
Kayu nantu atau nyatoh (Palaquium obtusifolium Burck.) dikenal sebagai
kayu yang memiliki penampilan dekoratif dan tegolong mudah dikerjakan
dengan harga yang cukup murah. Nantu merupakan salah satu jenis asli
(native species) di Sulawesi Utara yang memiliki banyak manfaat seperti
bahan bangunan, bahan baku industri bahan baku peralatan rumah tangga.
Berbagai manfaat dan keunggulan kayu nantu menyebabkan terjadinya
ketidakseimbangan antara produksi dan permintaan kayu, karena sebagian
besar pemenuhan kebutuhan kayu masih bersumber dari hutan alam
sehingga berdampak pada ketersediaan kayu nantu yang makin sulit dijumpai
di habitat alaminya.
Saat ini hutan tanaman rakyat untuk jenis kayu nantu di Sulawesi Utara
telah dan sedang dikembangkan oleh masyarakat dalam skala kecil maupun
skala menengah. Menurut Irawan et al. (2019) pengembangan jenis cempaka
wasian (Magnolia tsiampaca), nantu (P. obtusifolium) dan mahoni (Swietenia
macrophylla) sudah lama dilakukan oleh masyarakat di Sulawesi Utara karena
Pentingnya Konservasi Sumberdaya Genetik Nantu…….. Julianus Kinho et al.
19
memiliki prospek yang sangat baik. Hal ini tidak lepas dari kesadaran
masyarakat bahwa potensi nantu dari alam semakin terbatas sementara
permintaan pasar terhadap jenis kayu ini masih cukup tinggi, sehingga jenis
ini masih sangat prospektif untuk dikembangkan. Untuk mendukung
pembangunan hutan tanaman rakyat nantu yang produktif dan berkelanjutan
perlu dibarengi dengan upaya konservasi sumberdaya genetik baik in situ
maupun ex situ. Tujuan penulisan makalah ini untuk memberikan gambaran
pentingnya konservasi sumberdaya genetik nantu (P. obtusifolium) sebagai
jenis kayu lokal potensial di Sulawesi Utara.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Deskripsi Kayu Nantu (Palaquium obtusifolium Burck.)
1. Taksonomi
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Sub Divisio : Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida
Ordo : Ericales
Famili : Sapotaceae
Genus : Palaquium
Spesies : Palaquium obtusifolium Burck.
Kayu nantu (P. obtusifolium) merupakan salah satu dari anggota famili
Sapotaceae. Famili ini terdiri dari lima suku, 54 genera dan 1.250 spesies yang
tersebar di daerah sub tropis dan tropis (Pennington, 1991; Govaerts et al.,
2001). Distribusi famili Sapotaceae di region Malesia diperikarakan sebanyak
15 genera, 300 species dan di Indonesia sebanyak 158 species (Hutabarat
dan Wilkie, 2018).
20
Ket : (A). Pohon nantu, (B) Daun dan buah, (C) Permukaan kayu nantu
Gambar 1. Nantu (P. obtusifolium)
B. Sebaran dan Sifat Kayu
Nantu atau nyatoh merupakan jenis kayu yang penyebaran alaminya
meliputi seluruh Indonesia. Jenis ini tumbuh pada tanah berawa dan tanah
kering pada ketinggian 20-500 mdpl (Martawijaya et al., 2005), namun
kadang masih dijumpai pada daerah ketinggian sampai 1.700 mdpl
(Ratnaningrum dan Wibisono, 2002; Wilkie, 2011; Pitopang dan Ihsan, 2014).
Jenis ini dilaporkan berasosiasi kuat dengan mentibus (Dactylocladus
stenostachys), ubah (Eugenia sp.), tekam (Hopea dasyphyla), jelutung (Dyera
costulata), kayu malam (Diospyros macrophylla), melaban (Aporrosa
sphaeridophera) dan rengas (Gluta renghas) (Florensius et al., 2018). Tinggi
pohon bisa mencapai 30-35 m. Tinggi bebas cabang 15-30 m. Diameter
batang 50-100 cm. Bentuk batang lurus dan silindris, kadang-kadang memiliki
banir 1-2 m. Permukaan kulit luar berwarna coklat atau kelabu coklat. Berat
jenis 0,56. Kelas kuat III – V, kelas awet IV - V (Martawijaya et al., 2005;
Pentingnya Konservasi Sumberdaya Genetik Nantu…….. Julianus Kinho et al.
21
Muslich dan Sumarni, 2005). Ciri anatomi kayu meliputi lingkar tumbuh
memiliki batas samar-samar, pembuluh baur, jari-jari heteroselular, serat
dengan noktah sederhana dan dinding agak tipis, inklusi mineral kristal
prismatik ada, berderet vertikal dalam utas parenkim bersekat (Mandang dan
Suhaendra, 2003).
(Sumber : Mandang dan Suhaendra, 2003) Ket : A. Penampang lintang skala 200 mikron B. Penampang radial skala 200 mikron
C. Penampang tangensial skala 200 mikron
Gambar 2. Ciri anatomi kayu nantu (P. obtusifolium)
C. Kegunaan
Nantu (P. obtusifolium) dilaporkan termasuk salah satu dari 10 jenis
dominan pada tingkat pancang dan tiang di bekas Hak Pengusahaan Hutan
(HPH) Wanasaklar Nunuka, Bolaang Mongondow Utara (Wahyuni dan Kafiar,
2017), sedangkan pada tingkat pohon tidak ditemukan hal ini
mengindikasikan bahwa jenis ini termasuk salah satu jenis yang banyak
dipanen pada saat HPH tersebut masih karena memiliki berbagai manfaat dan
kegunaan. Kayu nantu umumnya baik digunakan beroperasi untuk
perkapalan, bahan konstruksi rumah seperti papan perumahan, balok, tiang,
rusuk, papan lantai, dinding pemisah, bahan baku mebelir dan alat musik.
Banir kayu nantu dapat digunakan sebagai dayung, gagang cangkul dan roda
22
gerobak sapi. Kayu nantu/nyatoh (Sapotaceae) banyak dimanfaatkan untuk
bahan perkapalan, bahan konstruksi rumah, bahan meubel dan furniture
(Samingan, 1982; Hutabarat dan Wilkie, 2018).
III. PEMBAHASAN
A. Urgensi Konservasi Sumberdaya Genetik Nantu
(P. obtusifolium) di Sulawesi Utara
Keragaman genetik sangat diperlukan bagi suatu spesies untuk
mempertahankan eksistensinya, baik untuk mempertahankan kemampuan
hidup dan reproduksinya dalam jangka pendek maupun untuk menjaga
potensi evolusi adaptif dalam jangka panjang. Suatu spesies yang memiliki
keragaman genetik yang rendah cenderung memiliki kemampuan reproduksi
yang rendah dan diikuti oleh potensi adaptif dan evolusi yang rendah sehingga
lebih rentan terhadap kepunahan (Indrioko, 2012).
Keragaman genetik nantu perlu diketahui dengan baik untuk
menentukan langkah-langkah pengelolaannya kedepan. Upaya konservasi
sumberdaya genetik nantu sebagai jenis kayu unggulan lokal di Sulawesi
Utara telah dilakukan sejak tahun 2002 seluas 100 ha di areal HPH PT.
INHUTANI I Camp Pangi, KM. 17 Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara
(Ratnaningrum dan Wibisono, 2002), namun kelanjutan dari program tersebut
tidak dilaporkan. Upaya konservasi sumberdaya genetik nantu oleh Balai
Penelitian Kehutanan Manado pada tahun 2011 dengan mengoleksi materi
genetik nantu sebanyak 45 famili dari 6 provenans (Irawan et al., 2011).
Materi genetik tersebut selanjutnya dimapankan atau ditanam dalam bentuk
pertanaman uji keturunan (progeny test) di Hutan Penelitian Batuangus,
Bitung pada tahun 2012. Pada tanggal 30 September 2014 terjadi kebakaran
di Hutan Penelitian Batuangus dan menghabiskan materi genetik tanaman uji
keturunan nantu (Halawane et al., 2014). Pada tahun 2017 dilakukan
eksplorasi untuk mengumpulkan materi genetik nantu dari beberapa lokasi di
Sulawesi Utara. Sebanyak 79 famili berhasil dikumpulkan dari eksplorasi ini
yang berasal dari enam Kabupaten/Kota di Sulawesi Utara yang meliputi Kota
Bitung, Kabupaten Minahasa Utara, Kabupaten Minahasa, Kabupaten
Minahasa Selatan, Kabupaten Minahasa Tenggara dan Kabupaten Bolaang
Mongondow Timur (Kinho et al., 2017).
Sulawesi Utara merupakan wilayah yang potensial untuk pengembangan
hutan tanaman rakyat. Hutan tanaman rakyat sebagai salah satu penyedia
bahan baku kayu bagi industri kehutanan di Sulawesi Utara perlu dikelola
dengan baik agar dapat menghasilkan tegakan-tegakan yang berkualitas
Pentingnya Konservasi Sumberdaya Genetik Nantu…….. Julianus Kinho et al.
23
dengan produksi kayu yang lestari. Rachman et al. (2005) menyebutkan
bahwa pembangunan hutan tanaman rakyat sekarang diharapkan dapat
berperan penting sebagai pemasok kayu baik untuk kebutuhan industri dalam
negeri mapun ekspor. Sistem pengelolaan hutan tanaman rakyat di Sulawesi
Utara selama ini umumnya masih konvensional dengan menggunakan bibit
yang mudah tersedia dan murah untuk membangun hutan tanaman rakyat,
sehingga hasil yang diperoleh belum maksimal. Perkembangan pembangunan
hutan tanaman rakyat di Sulawesi Utara semakin pesat setelah perhatian
masyarakat berorientasi pada pasar. Adanya jaminan pasar kayu yang
semakin baik dan kemudahan dari sisi regulasi terkait dengan semakin
mudahnya pengurusan ijin untuk penjualan kayu rakyat sehingga
meningkatkan animo masyarakat untuk menanam berbagai jenis kayu
pertukangan termasuk kayu nantu sebagai salah satu jenis yang paling
diminati untuk ditanam oleh masyarakat.
Pengembangan hutan tanaman rakyat untuk jenis nantu di Sulawesi
Utara perlu didukung dengan penyediaan benih unggul berkualitas yang
dihasilkan dari program pemuliaan. Saat ini benih unggul nantu yang
dihasilkan dari program pemuliaan belum tersedia, sehingga kegiatan
pemuliaan pohon sangat dibutuhkan dan mendesak untuk dikerjakan.
Konservasi keragaman genetik nantu perlu dilakukan untuk mendukung
program pemuliaan nantu. Menurut Zobel dan Talbert (1984), pemuliaan
tanaman hutan memerlukan keragaman genetik yang luas untuk
mendapatkan kemajuan genetik yang tinggi. Keragaman genetik dapat
diartikan sebagai variasi gen dan genotype antar dan dalam spesies (Melchias,
2001). Keragaman genetik dalam spesies memberikan kemampuan untuk
beradaptasi atau melawan perubahan lingkungan, iklim atau hama dan
penyakit baru. Kemampuan tanaman untuk beradaptasi dengan perubahan
lingkungan tempat tumbuh, gangguan hama dan penyakit ditentukan oleh
potensi keragaman genetik yang dimilikinya, sehingga keragaman genetik
merupakan modal dasar bagi suatu jenis tanaman untuk tumbuh,
berkembang dan bertahan hidup dari generasi ke generasi. Semakin tinggi
keragaman genetiknya semakin besar peluang tanaman untuk beradaptasi
terhadap lingkungan tempat tumbuhnya.
Kemajuan program pemuliaan pohon akan sangat ditentukan oleh materi
genetik yang tersedia. Semakin luas basis genetik yang dilibatkan dalam
program pemuliaan suatu jenis, semakin besar peluang untuk mendapatkan
peningkatan perolehan genetik (genetic gain) dari sifat yang diinginkan.
Keberadaan sumberdaya genetik suatu jenis dengan basis yang luas menjadi
24
suatu keharusan dan memiliki arti yang sangat penting agar program
pemuliaan dari generasi ke generasi berikutnya tetap terjamin. Menurut
Suryawan et al. (2011) bahwa nyatoh atau nantu tergolong jenis dominan di
Cagar Alam (CA) Tangkoko, Bitung dan Taman Nasional (TN) Bogani Nani
Wartabone. Jenis ini tersebar cukup merata dari semenanjung utara Pulau
Sulawesi sampai Daerah Gorontalo. Berdasarkan perhitungan indeks nilai
penting, kerapatan dan frekuensi kehadiran, nantu di CA. Tangkoko lebih
dominan dibanding TN. Bogani Nani Wartabone. Populasi nantu pada tingkat
semai sangat melimpah dibawah tegakan induk (Suryawan et al., 2011). Jenis
ini dilaporkan sebagai salah satu dari 10 spesies pohon dominan pada
ketinggian 300 – 400 mdpl di TN. Lore Lindu, Sulawesi Tengah (Risma et al.,
2019). Nantu (P. obtusifolium) biasanya memiliki permudaan yang melimpah
dibawah tegakan induknya. Pengambilan materi genetik dalam bentuk buah
atau biji apabila tidak memungkinkan untuk dilaksanakan, maka dapat
dilakukan dalam bentuk cabutan.
Berkaitan dengan uraian di atas maka kegiatan konservasi genetik dan
pemuliaan pohon khususnya untuk jenis unggulan lokal seperti nantu (P.
obtusifolium) sangat mendesak untuk dilakukan dalam rangka peningkatan
kualitas tegakan nantu dari hutan tanaman rakyat di Sulawesi Utara.
B. Strategi Pembangunan Plot Konservasi Ex Situ Sumberdaya
Genetik Nantu (Palaquium obtusifolium Burck.) di Sulawesi Utara
1. Strategi Sampling Dalam Rangka Koleksi Materi Genetik
a. Jumlah Populasi
Penentuan jumlah populasi yang akan disampling sebagai materi genetik
dalam pembangunan konservasi ex situ untuk jenis yang jarang dan terancam
punah harus mempertimbangkan derajat diferensiasi genetik antar populasi,
sehingga mewakili keragaman genetik pada tingkat populasi. Spesies dengan
sebaran yang luas, 3 sampai 5 populasi dianggap cukup mewakili keragaman
genetik dari spesies target (Centre for Plant Conservation, 1991). Menurut
Jaramilo dan Baena (2002), populasi dengan potensi aliran gen (gene flow)
yang rendah perlu dilakukan sampling dengan lebih dari 5 populasi. Sampling
sebaiknya dilakukan mulai dari populasi yang melimpah atau yang memiliki
keragaman genetik yang tinggi.
b. Jumlah Pohon Induk Per Populasi
Jumlah individu dari pohon induk yang dikoleksi dari setiap populasi
harus bisa mewakili sebanyak mungkin keragaman genetik yang pada
kebanyakan spesies berada pada setiap individu (Centre for Plant
Pentingnya Konservasi Sumberdaya Genetik Nantu…….. Julianus Kinho et al.
25
Conservation, 1991). Menurut Jaramillo dan Baena (2002), sebanyak 50
individu yang harus diambil sebagai sampel untuk satu populasi. Jumlah
sampel perlu ditingkatkan apabila terdapat variasi ecogeografi atau iklim.
Brown dan Brown (1991) menyebutkan bahwa untuk menangkap keragaman
alel secara efisien, 10 individu untuk satu populasi sudah dianggap cukup
mewakili, sehingga jumlah sampel yang banyak dari satu populasi tidak
diperlukan. Menurut Centre for Plant Conservation (1991) dengan
mempertimbangkan karakteristik tumbuh, sejarah populasi dan faktor-faktor
lain yang mempengaruhi sebaran keragaman, sehingga direkomendasikan
sebanyak 10 - 50 individu per populasi untuk disampel pada saat koleksi
materi genetik untuk konservasi ex situ. Dengan mempertimbangkan berbagai
rujukan diatas dan pertimbangan teknis maka koleksi materi genetik nantu
(P. obtusifolium) untuk pembangunan plot konservasi ex situ dapat diwakili
oleh minimal 20 individu pohon induk per populasi.
c. Jumlah Biji Atau Anakan Alam Per Pohon Induk
Jumlah biji atau anakan alam per pohon induk yang diambil pada
prinsipnya harus memperhatikan angka viabilitas dan persistensi populasi dan
tidak sampai menyebabkan penurunan populasi. Frankhman et al. (2002)
menyebutkan bahwa jumlah antara 1 - 20 individu per pohon induk sudah
dianggap cukup.
Materi genetik yang berasal dari semai cabutan dapat digunakan sebagai
materi genetik untuk pembangunan plot konservasi ex situ dengan
pertimbangan bahwa :
1. Anakan melimpah dibawah tegakan induk, sehingga lebih mudah dalam
teknis pengambilan materi di lapangan.
2. Buah nantu yang sudah matang secara fisiologis sangat mudah
berkecambah di bawah tegakan induk.
3. Anakan nantu relatif memiliki daya survival yang tinggi.
26
Gambar 3. Kelimpahan anakan nantu (P. obtusifolium) dibawah tegakan
induk di Hutan Lindung Danowudu, Bitung, Sulawesi Utara
Pengambilan materi genetik berupa cabutan dapat dilakukan dengan
kriteria sebagai berikut :
1. Pohon induk berada pada lokasi yang relatif datar.
2. Jarak antar pohon induk minimal ≥ 50 m .
3. Anakan alam yang diambil adalah yang berada tepat d ibawah pohon induk
atau pada radius 5 m dari pohon induk.
4. Jumlah anakan yang diambil minimal 20 individu per pohon induk.
2. Strategi Pembangunan Konservasi Sumberdaya Genetik Nantu
a. Teknik Pembibitan
1). Perlakuan bibit asal benih atau biji
Pengumpulan buah dilakukan dengan cara memanjat atau memetik buah
dari pohon induk. Ciri-ciri buah yang sudah masak adalah kulit buah berwarna
hijau cerah. Buah yang sudah terkumpul segera di extraksi untuk memisahkan
biji dari daging buah dengan cara direndam dalam air selama 24 jam untuk
memudahkan proses ekstraksi. Benih dapat ditabur terlebih dahulu pada
media tabur atau dapat langsung ditancapkan pada media tanam atau
polybag yang sudah disiapkan. Benih biasanya mulai berkecambah pada umur
7-10 hari setelah ditabur atau ditancapkan pada polybag. Benih yang ditabur
siap sapih ke polybag setelah biji terangkat dari media tabur dan kulit biji
terlepas dari kotiledon dan sudah tumbuh 2 daun atau lebih. Bibit siap tanam
dilapangan setelah umur 10 bulan atau lebih dengan tinggi 30 sampai 35 cm.
2). Perlakuan bibit asal cabutan
Anakan yang telah dikumpulkan dari bawah pohon induk diikat dan diberi
label. Untuk menjaga kelembaban agar bibit tetap segar akar anakan dapat
Pentingnya Konservasi Sumberdaya Genetik Nantu…….. Julianus Kinho et al.
27
dibungkus dengan kapas atau koran lembab yang sudah dibasahi terlebih
dahulu, kemudian dimasukan kedalam plastik klip. Anakan cabutan
selanjutnya dapat ditanam ke polybag yang telah disiapkan kemudian
disungkup selama ± 3 minggu atau sampai anakan telah mengeluarkan akar
baru yang ditandai dengan anakan terlihat segar dan telah mengeluarkan
daun baru.
3) Teknik Penanaman dan Pemeliharaan
Penanaman untuk pembangunan plot konservasi sumber daya genetik
harus dilakukan dengan pola tanam antar populasi terpisah untuk menjaga
identitas populasi sehingga dapat mengurangi pencampuran polen antar
populasi. Identitas individu dalam populasi juga harus dijaga dan
dipertahankan karena informasi tersebut akan sangat berguna dalam kegiatan
breeding di masa yang akan datang.
Penanaman pada areal semak belukar, hutan sekunder dan areal bekas
tebangan persiapan lahan dilakukan dengan membersihkan jalur tanam
selebar 1,5 – 2 m. Penanaman dilakukan dengan jarak tanam 6 x 6 m.
Nantu merupakan salah satu jenis yang bersifat semi toleran sehingga
membutuhkan naungan pada masa awal pertumbuhan dan memerlukan
pencahayaan yang cukup sesuai dengan tingkat pertumbuhannya. Seiring
dengan perkembangan tanaman pada masa awal pertumbuhan nantu akan
semakin membutuhkan pencahayaan yang cukup sehingga tindakan
pembersihan atau pembebasan naungan secara horizontal dan vertikal perlu
dilakukan secara rutin minimal 6 bulan sekali sampai pada umur 3 tahun
setelah penanaman.
IV. PENUTUP
Keragaman genetik nantu (P. obtusifolium) merupakan kunci yang
sangat penting dalam program pemuliaan pohon. Keberhasilan program
pemuliaan pohon akan sangat dibutuhkan dalam pengembangan hutan
tanaman sebab dengan program tersebut akan dihasilkan benih unggul
dengan produktifitas yang tinggi, dan resisten terhadap serangan hama dan
penyakit untuk mendukung pembangunan hutan tanaman rakyat nantu yang
produktif dan berkelanjutan. Teknik dalam pengambilan materi genetik
menjadi bagian penting dari kegiatan konservasi sumberdaya genetik karena
akan menentukan besaran keragaman genetik yang akan terwakili dalam plot
konservasi sumberdaya genetik.
28
V. DAFTAR PUSTAKA
Brown, A. H. D & J. D. Brown. (1991). Sampling Strategies for Genetic
Variation in Ex Situ Collection of Endangered Plant Species, dalam D.A.
Falk and K.E. Holsinger (eds), Genetic and Conservation of Rare Plant.
New York: Oxford University Press.
Centre for Plant Conservation. (1991). Genetic Sampling Guidelines for
Conservation, Collection of Endangered Plant, dalam D.A. Falk and K.E.
Holsinger (eds), Genetic and Conservation of Rare Plant. New York:
Oxford University Press.
Finkeldey, R. (2005). Pengantar Genetika Hutan Tropis. Alih Bahasa oleh
Djamhuri, E., Siregar, I.Z., Siregar, U.J. Kertadikara, A.W. Bogor:
Institute Pertanian Bogor.
Florensius, M., Herawatiningsih, R., & Dewantara, I. (2018). Ekologi dan
potensi pohon nyatoh (Palaquium spp.) di Hutan Sekunder IUPHH-HTI
PT. Bhatara Alam Lestari Kabupaten Mempawah. Jurnal Hutan Lestari,
6(2), 311-317.
Frankhman, R., Ballou, J. D., & Briscoe, D. A. (2002). Introduction to
Conservation genetics. Cambridge: Cambridge University Press.
Govaerts, R., Frodin, D. G. & Pennington, T. D. (2001). World Check List and
Bibliografi of Sapotaceae. Royal Botanic Gardens, Kew.
Halawane, J., Iwanuddin, Irawan, A., Patandi, S. N., Mokodompit, H. S., &
Kafiar, Y. (2014). Pembangunan Demplot Kebun Benih Unggulan Lokal.
Laporan tidak diterbitkan, Balai Penelitian Kehutanan Manado, Manado.
Hutabarat, P. & Wilkie, P. 2018. The Sapotaceae of Indonesia and the
potencial role of botanic gardens in their conservation. SIBBALDIA, The
Journal of Botanic Gardens Horticulture, (16), 141-154.
https://doi.org/10.23823/Sibalddia/2018.252
Indrioko, S. (2012). Representasi diversitas genetik dalam pembangunan plot
konservasi sumberdaya genetic, dalam Bismark, M., Subiakto, A., dan
Murniati. (eds), Lokakarya Nasional “Plot Konservasi Genetik Untuk
Pelestarian Jenis-Jenis Pohon Terancam Punah (Ulin, Eboni dan
Cempaka)” (p. 102-118). Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan
Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan, Kementerian Kehutanan.
Irawan, A., Kinho, J., Hidayah, H. N., Kafiar, Y., Patandi, S., Diwi, M. S., &
Mamonto, R. (2011). Pembangunan Demplot Kebun Benih Unggulan
Pentingnya Konservasi Sumberdaya Genetik Nantu…….. Julianus Kinho et al.
29
Lokal. Laporan Hasil Penelitian Tidak diterbitkan, Balai Penelitian
Kehutanan Manado, Manado.
Irawan, A., Hidayah, H.N., & Mindawati, N. (2019). Pengaruh perlakuan
cekaman kekeringan terhadap pertumbuhan semai cempaka wasian,
nantu dan mahoni. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea, 8(1), 39-45.
Jaramillo, S. & Baena, M. (2002). Ex situ conservation of plant genetic
resources: Training Module. International Plant Genetic Resources
Institute, Cali. Columbia.
Kinho, J., Halawane, J., Hidayah, H. N., Irawan, A., Kafiar, Y., & Diwi, M. S.
(2017). Pengembangan Demplot Kebun Benih dan Konservasi Eksitu
Eboni (Diospyros spp.) di Sulawesi Utara. Laporan tidak diterbitkan,
Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Manado, Manado.
Mandang, Y., & Suhaendra, H. (2003). Sifat-sifat kayu nyatoh (Palaquium
obtusifolium Burck.) sehubungan dengan kemungkinannya sebagai
bahan bilah pensil. Buletin Penelitian Hasil Hutan, 21(1), 1-14.
Martawijaya, A., Kartasujana, I., Kadir, K., & Prawira, S. A. (2005). Atlas Kayu
Indonesia Jilid I. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan, Departemen Kehutanan.
Melchias, G. (2001). Biodiversity and Conservation. USA: Science Publisher.
Inc.
Muslich, M. & Sumarni, G. (2005). Keawetan 200 jenis kayu Indonesia
terhadap penggerek di laut. Jurnal Penelitian Hasil, 23(3), 163-176.
Neel, M. C., Ibarra, J. R. & Ellstrand, N. C. (2001). Implications of mating
patterns for conservation of the endangered plant Erigonum ovalifolium
var. vineum (Polygonaceae). American Journal of Botany, 88, 1214-
1222.
Pennington, T. D. (1991). The Genera of Sapotaceae. Kew: Royal Botanic
Gardens.
Pitopang, R. & Ihsan, M. (2014). Biodiversitas tumbuhan di Cagar Alam
Morowali Sulawesi Tengah. Online Journal of Natural Science, 3(3),
287-296.
Ratnaningrum, Y. W. N. & Wibisono, G. (2002). Pembangunan sumber benih
kayu unggulan setempat Di Sulawesi Utara. Jurnal LPKM-UGM: Gerbang
Inovasi, 7, 29-35.
30
Risma, Harso, W., & Ramadanil. (2019). Kajian autekologi harao Areca
vestiaria Giseke pada kawasan hutan dataran rendah di Taman Nasional
Lore Lindu (TNLL) Sulawesi Tengah. BIOCELEBES, 13(1), 87-97.
Samingan, T. 1982. Dendrologi. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Jakarta: Gramedia Press.
Suryawan, A., Kinho, J., & Mayasari, A. (2011). Potensi dan sebaran nyatoh
di Sulawesi bagian utara. dalam Sinaga, E.B., Asir, L., Mairi, K., Kinho,
J., Arini, D.I.D. (eds), Seminar Nasional Ekspose Hasil-Hasil Penelitian
Tahun 2011 ” Hutan Lestari Untuk Kesejahteraan Masyarakat” (p.181-
188). Manado: Balai Penelitian Kehutanan Manado.
Wahyuni, N. I. & Kafiar, Y. (2017). Komposisi jenis dan struktur hutan
sekunder di Nunuka, Bolaang Mongondow Utara. Jurnal Wasian, 4(1),
27-36.
Wilkie, P. (2011). Towards and Account of Sapotaceae for Flora Malesiana.
Gardens Bulletin Singapore, 63(1&2), 145-153.
El Nino Effect (2015): Hubungan Kelimpahan Pakan, Perilaku…….. Dwi Yandhi Febriyanti, Andre Pasetha, dan Antje Engelhardt
31
El Nino Effect (2015): Hubungan Kelimpahan Pakan, Perilaku Makan dan Luasan Daerah Jelajah Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra Desmarest, 1822) di Kesatuan Pengelolaan
Hutan Konservasi Tangkoko1
El Nino Effect (2015): The Relationship Between Food Abundace, Feeding Behavior and Homerange of Sulawesi
Black Crested Macaque (Macaca nigra Desmarest, 1822) in The Tangkoko Conservation Forest Management Unit
Dwi Yandhi Febriyanti2, Andre Pasetha3 , dan Antje Engelhardt4
ABSTRACT
This study aimed to examine the effect of the 2015 El Nino on food abundance,
feeding behaviour and homerange of Blackk Crested Macaque. Observations
were made for 1 year on the Pantai Batu 1 group, and the El Nino phenomenon
was quantified using the Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR).
Fruit abundance was measured every month in 20 permanent plots for 1 year,
homerange data were collected every day from 06.00-17.00. Fruit abundance
fluctuated every month. Forest fires were the primary effect of the El Nino in the
study area (Tangkoko Forest Management Unit), and as a result of fruit
abundance decreased from 4.38 in July to 3.97 in August. Across the entire El
Nino period, the smallest homerange area (90.81 ha) was also recorded during
the peak of the fires, in September 2015. The El Nino phenomenon has an
indirect effect on fruit abundance and homerange size in this species, especially
when forest fires occur.
Keywords: El Nino, food abundance, homerange, Sulawesi black crested
macaque,
1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya
Pelestarian Sumber Daya Alam, diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado dan SEAMEO BIOTROP, Manado 24 Oktober 2018.
2 Macaca Nigra Project, Pos 3 KPHK Tangkoko, Batuputih Bawah, Bitung, Sulawesi Utara 3 Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian
Bogor. Jl. Raya Dramaga, Babakan, Dramaga, Bogor, Jawa Barat; email: [email protected].
4 School of Natural Sciences and Psychology, Liverpool John Moores University, L3 3AF, Liverpool, United Kingdom.
32
I. PENDAHULUAN
Sulawesi merupakan pulau di Indonesia yang menyimpan nilai
endemisitas yang tinggi dan merupakan salah satu hotspot biodiversitas
dunia dan menjadi wilayah yang penting untuk dikonservasi (Whitten, 1987;
Rosenbaum et al., 1998). Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya tujuh
jenis monyet sulawesi (Fooden, 1969; O’Brien dan Kinnaird, 1997). Salah
satu spesiesnya yaitu monyet jambul hitam sulawesi atau monyet hitam
sulawesi (Macaca nigra) yang dalam bahasa lokal disebut yaki. Monyet hitam
sulawesi diklasifikasikan ke dalam jenis yang sangat terancam punah
(critically endangered) berdasarkan kategori IUCN Red List. Monyet hitam
sulawesi merupakan satwa yang pakan dominannya adalah buah-buahan
(O’Brien dan Kinnaird, 1997; Giyarto, 2010; Pasetha, 2014). Buah
merupakan jenis pakan yang menjadi sumber energi utama bagi spesies ini,
terutama yang sudah matang (Lee, 1997; Sari, 2013). Kelimpahan buah
yang matang atau belum matang di alam liar dipengaruhi oleh faktor
eksternal seperti suhu dan curah hujan (Pasetha, 2014).
Diluar dua faktor eksternal seperti suhu dan curah hujan, terdapat
fenomena atau faktor lain yang dapat merubah atau mempengaruhi kondisi
suatu spesies, misalnya bencana alam yang terjadi pada habitat satwa
(Arroyo-Rodriguez et al., 2017). Indonesia sebagai salah satu negara tropis
terbesar di dunia, mengalami suatu fenomena menarik yang terjadi pada
tahun 2015. Fenomena tersebut dikenal dengan El Nino, dimana terdapat
periodisasi musim kemarau yang lebih lama dibandingkan dalam keadaan
normal. Akibat lainnya dari fenomena tersebut yaitu meningkatnya angka
kebakaran hutan, yang tentunya mengakibatkan efek negatif terhadap
ekosistem (vegetasi dan satwa) yang ada didalamnya (Wilcove et al., 2013;
Cai et al., 2014). Fenomena tersebut menjadikan spesies berada dalam
suatu tekanan lingkungan, yang mana tekanan lingkungan tersebut
menyebabkan perubahan pada pola iklim suatu habitat, topografi,
ketersediaan pakan, dan perilaku harian (Chapman and Peres, 2001;
Estrada, 2013; Pavelka et al., 2013; Cai et al., 2014; Pasetha, 2014).
Primata merupakan satwa yang aktivitas hidupnya bergantung terhadap
perubahan iklim, dapat dikatakan bahwa satwa ini merupakan jenis yang
sensitif terhadap suatu perubahan atau variasi iklim dan vegetasi, baik
dalam tingkatan individu maupun populasi dan atau pada perbedaan jenis
kelamin. Efek tersebut berupa sulitnya mendapatkan makanan,
meningkatnya infeksi endoparasit, dan kemampuan untuk bertahan hidup,
serta adanya bentuk perubahan strategi reproduksi suatu spesies yang
El Nino Effect (2015): Hubungan Kelimpahan Pakan, Perilaku…….. Dwi Yandhi Febriyanti, Andre Pasetha, dan Antje Engelhardt
33
berkaitan dengan kelahiran dan kematian (Chapman et al., 2005a; Chapman
et al., 2005b Dunhamm et al. 2011; Pasetha 2014). Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui efek dari El Nino yang terjadi pada tahun 2015
terhadap kondisi vegetasi (kelimpahan pakan), perilaku makan dan luasan
daerah jelajah monyet hitam Sulawesi yang mana merupakan tinjauan
pertama dalam kajian ekologi pakan dan ekologi perilaku dari satwa ini.
II. METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu
Penelitian dilakukan pada satu kelompok monyet hitam sulawesi yang
terhabituasi (Pantai Batu 1, selanjutnya akan disebut PB1) (Tabel 1).
Observasi terhadap kelompok ini dilakukan selama tahun 2015 dan 2016,
terutama dari bulan April - Desember 2015 dan Januari - April 2016. Data
yang dikoleksi merupakan bagian dari long term data Macaca Nigra Project,
dimana proyek penelitian ini telah berlangsung sejak tahun 2006.
Tabel 1. Komposisi kelompok PB1 di KPHK Tangkoko
Grup Dewasa Remaja Anakan Bayi Total Pantai Batu 1
(PB1) Jantan Betina Jantan Betina
5 20 5 3 27 3 63
Penelitian ini dilakukan di KPHK Tangkoko, Sulawesi Utara, Indonesia
(1o 34’N, 125o 14’E; an elevation of 1,350 m) yang telah ada sejak tahun
1980 dengan nama Cagar Alam Tangkoko-Duasudara (Gambar 1). Menurut
Palacios et al. (2012), luas total area ini sekitar 8.876 ha dan memiliki
karakter hutan yang bervariasi, mulai dari hutan sekunder dan hutan primer,
dengan dominansi hutan hujan tropis dataran rendah (Collins et al., 1991;
O’Brien dan Kinnaird, 1997; Rosenbaum et al., 1998). Area hutan ini secara
umum merupakan habitat dari flora dan fauna yang termasuk kedalam
kelompok organisme wallaceae. Musim hujan secara periodik terjadi pada
bulan Oktober - Mei dengan kisaran 1.550 – 2.400 mm dan suhu rata-rata
berkisar pada 24oC dan 27.5oC (O’Brien dan Kinnaird; Palacios et al. 2012).
34
Gambar 1. Lokasi penelitian yang berada di wilayah KPHK Tangkoko,
Sulawesi Utara, Indonesia.
B. Metode Penelitian dan Analisa Data
Pengamatan fenomena El Nino didalam penelitian ini menggunakan
Advance Very High Resolution Radiometer (AVHRR) (citra satelit dari NOAA
STAR-National Oceanic and Atmospheric Administration-Center for Satelite
Applications and Research) dan kemudian akan ditampilkan dalam bentuk
peta pada tahun 2015 dan 2016, untuk melihat kondisi vegetasi dan resiko
kebakaran selama fenomena berlangsung. Data suhu dan curah hujan
dicatat di stasiun penelitian Macaca Nigra Project, yang akan ditampilkan
sebagai data rata-rata suhu dan curah hujan setiap bulannya pada tahun
2015 dan 2016 di KPHK Tangkoko. Data iklim akan dianalisis menggunakan
Kruskal-Wallis Test, untuk melihat perbandingan pola iklim selama fenomena
El Nino.
Data perilaku makan dicatat setiap hari pengamatan menggunakan
teknik pengamatan focal animal sampling (Martin dan Bateson, 1993)
dengan durasi pengamatan selama 30 menit per individu. Individu yang
diambil datanya merupakan individu dengan kategori umur dan seks: jantan
dewasa dan betina dewasa. Data perilaku yang akan dicatat yaitu perilaku
makan, mencari makan, dan lokomosi, untuk keperluan analisis data
penelitian, yang akan digunakan hanya data perilaku makan. Data
kelimpahan pakan diambil setiap bulan pada 20 plot permanen yang berada
El Nino Effect (2015): Hubungan Kelimpahan Pakan, Perilaku…….. Dwi Yandhi Febriyanti, Andre Pasetha, dan Antje Engelhardt
35
didalam daerah jelajah kelompok Pantai Batu 1. Analisis hubungan
kelimpahan pakan dan proporsi perilaku makan menggunakan regresi linear
sederhana.
Pengamatan daerah jelajah monyet hitam sulawesi dilakukan secara
rutin setiap bulannya untuk melihat ada tidaknya perubahan luasan jelajah
selama selama tahun 2015 dan 2016. Penelitian ini menggunakan GPS untuk
melakukan pengambilan data daerah jelajah dan akan dianalisis setiap akhir
bulan menggunakan metode Minimum Convex Polygon (MCP). Luasan
daerah jelajah akan dianalisis menggunakan regresi linear untuk melihat ada
tidaknya perubahan luas jelajah yang dimungkinkan terjadi karena adanya
fenomena El Nino. Selanjutnya data luasan daerah jelajah monyet hitam
sulawesi akan dianalisis hubungan korelasinya dengan proporsi data perilaku
makan menggunakan analisis korelasi Pearson dan regresi linear sederhana.
III. HASIL DAN PEMBAHASAAN
A. Fenomena El Nino 2015 di KPHK Tangkoko
Nilai rataan suhu bulanan selama periode El Nino 2015 (Gambar 2)
berada di atas angka 30oC, dimulai dari bulan April - Oktober 2015. Untuk
nilai rataan suhu pada bulan September - Oktober mengalami peningkatan
yang cukup tinggi dibandingkan dengan data suhu pada bulan yang sama di
tahun 2016 (Gambar 3). Perbandingan nilai suhu bulanan, terutama pada
bulan September dan Oktober di tahun 2015 dan 2016 memiliki perbedaan
yang signifikan berdasarkan uji Kruskal-Wallis dengan derajat signifikansi
95% (df=2, p < 0.001).
36
Gambar 2. Nilai rataan suhu bulanan (Januari - Oktober 2015), rataan suhu
maksimum mulai meningkat pada periode April - Oktober 2015 (p < 0.001).
Gambar 3. Nilai perbandingan suhu min-max bulanan pada tahun 2015 dan
2016. Terdapat perbedaan signifikan (p < 0.001) saat terjadinya fenomena El Nino dan setelah fenomena berakhir.
Nilai rataan curah hujan (ml/m2) per bulan selama periode El Nino 2015
(Gambar 4) mengalami penurunan pada bulan Juli - September (df=2, p <
0.001) sampai berada pada titik terendah yaitu 0 ml/m2 di bulan Agustus
dan September. Untuk nilai rataan curah hujan pada bulan Juli - September
peningkatan pada tahun 2016, setelah fenomena El Nino selesai (Gambar
El Nino Effect (2015): Hubungan Kelimpahan Pakan, Perilaku…….. Dwi Yandhi Febriyanti, Andre Pasetha, dan Antje Engelhardt
37
5). Perbandingan nilai curah hujan bulanan terutama pada bulan Juli -
Oktober 2015 dan 2016 memiliki perbedaan yang signifikan berdasarkan uji
Kruskal-Wallis dengan derajat signifikansi 95% (df=2, p < 0.001).
Gambar 4. Nilai rataan curah hujan bulanan (Januari-Oktober 2015), rataan
curah hujan bulanan mengalami penurunan pada bulan Juli-
September 2015 (p < 0.001).
Gambar 5. Nilai perbandingan curah hujan bulanan pada tahun 2015 dan
2016. Terdapat perbedaan signifikan (p < 0.001) saat terjadinya
fenomena El Nino dan setelah fenomena berakhir.
Citra satelit yang digunakan untuk membandingkan kejadian El Nino
pada tahun 2015 dan kondisi setelah fenomena berakhir pada tahun 2016
38
menunjukkan peta yang terlihat sangat jelas nilai perbedaannya (Gambar 6).
Kondisi vegetasi mengalami penurunan yang sangat jelas terlihat pada peta
selama fenomena El Nino berlangsung pada tahun 2015, tetapi mengalami
perubahan kearah yang lebih diharapkan setelah fenomena selesai pada
tahun 2016. Hal yang sama juga terjadi berkaitan dengan resiko kebakaran,
kejadian kebakaran hutan di KPHK Tangkoko mengalami peningkatan yang
cukup signifikan dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 2014 dan setelah
fenomena berakhir yaitu 2016 (MNP unpublished data).
El Nino Effect (2015): Hubungan Kelimpahan Pakan …….. Dwi Yandhi F., Andre Pasetha, dan Antje Engelhardt
39
2015 2016
2015
(A)
(A)
40
(B)
Gambar 6. Citra satelit dari NOAA STAR yang menggambarkan perbandingan saat dan setelah fenomena El Nino, (A) rata-rata kondisi vegetasi ditampilkan dengan range warna, semakin besar derajat angka warna didalam peta,
menunjukkan kondisi vegetasi yang diinginkan. (B) rata-rata resiko kebakaran ditampilkan dengan range warna,
semakin besar derajat angka warna didalam peta, menunjukkan resiko kebakaran yang sangat tinggi.
El Nino Effect (2015): Hubungan Kelimpahan Pakan …….. Dwi Yandhi F., Andre Pasetha, dan Antje Engelhardt
41
B. Kelimpahan Pakan, Perilaku Makan, dan Daerah Jelajah
Kelimpahan pakan monyet hitam Sulawesi mengalami fluktuasi setiap
bulannya (Gambar 7). Dimana buah merupakan jenis pakan tertinggi (MNP
unpublished data). Kelimpahan pakan mengalami penurunan pada saat
fenomena El Nino berlangsung, terutama pada bulan Agustus - Oktober
2015 dan mengalami kenaikan jumlah kelimpahan pakan pada periode
setelah fenomena berakhir di tahun 2016. Perbedaan tersebut tidak
menunjukkan nilai korelasi yang signifikan (R=0.1813) (Gambar 8). Proporsi
perilaku makan monyet hitam sulawesi dipengaruhi oleh kondisi alam,
seperti kondisi iklim dan nilai vegetasi yang digambarkan dengan
kelimpahan pakan. Menurut Pasetha (2014), suhu dan curah hujan
mempengaruhi nilai proporsi perilaku makan. Suhu dan curah hujan yang
mengalami perubahan selama fenomena El Nino (Gambar 2 dan 4) juga
ditandai dengan penurunan proporsi perilaku makan selama fenomena El
Nino berlangsung (Gambar 7). Nilai proporsi perilaku makan menunjukkan
korelasi yang signifikan pada saat dan setelah El Nino (R=0.0718) (Gambar
8).
Gambar 7. Nilai kelimpahan pakan, proporsi perilaku makan dan daerah jelajah pada tahun 2015 dan 2016.
42
Gambar 8. Nilai korelasi proporsi perilaku makan, kelimpahan pakan dengan
daerah jelajah setiap bulannya pada saat dan setelah El Nino.
Gambar 9. Nilai korelasi antara perilaku makan dengan daerah jelajah pada
saat dan setelah El Nino. Grafik menunjukkan hubungan negatif
antara dua variabel yang dicari korelasinya. Proporsi perilaku
makan akan naik pada saat kelimpahan pakan turun. Proporsi
perilaku makan akan turun pada saat kelimpahan pakan naik.
Gambar 9 menunjukkan hubungan negatif antara proporsi perilaku
makan dan daerah jelajah. Korelasi yang ditampilkan (R=0.01) menunjukkan
adanya faktor lain yang mempengaruhi nilai dari kedua variabel. Faktor lain
El Nino Effect (2015): Hubungan Kelimpahan Pakan, Perilaku…….. Dwi Yandhi Febriyanti, Andre Pasetha, dan Antje Engelhardt
43
yang kemungkinan mempengaruhi diantaranya, suhu dan curah hujan,
dimana faktor iklim tersebut akan mempengaruhi proporsi perilaku yang
lain, misalnya proporsi mencari makan dan lokomosi.
Gambar 10. Hubungan antara proporsi perilaku makan, kelimpahan pakan,
dan daerah jelajah
Monyet hitam sulawesi merupakan satwa diurnal, dimana mereka
memiliki periode aktif pada siang hari. Saat pagi sampai sore hari, mereka
melakukan aktivitas harian yang tergambarkan pada daerah jelajah setiap
bulannya. Daerah jelajah monyet hitam sulawesi dapat dipengaruhi oleh
beragam faktor seperti iklim dan kelimpahan pakan (Giyarto 2010).
Fenomena El Nino yang diketahui menyebabkan perubahan normalitas dari
faktor eksternal yang dapat mempengaruhi aktivitas monyet hitam sulawesi
tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara luasan daerah jelajah
dengan kelimpahan pakan (Gambar 10). Hal tersebut ditunjukkan dengan
tidak adanya hubungan antara daerah jelajah dengan kelimpahan pakan
(R=0.0016). Akan tetapi ketika fenomena tersebut berlangsung (April-
Oktober 2015), terdapat hubungan signifikan (R=0.0179) antara luasan
daerah jelajah dengan proporsi perilaku makan.
Penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh dari fenomena El Nino
yang terjadi dalam rentang setahun pada tahun 2015. Fenomena ini dapat
mengakibatkan perubahan kondisi vegetasi dari kualitas baik menjadi tidak
baik, peningkatan suhu dan penurunan curah hujan yang mengakibatkan
44
naiknya angka resiko kebakaran hutan di KPHK Tangkoko. Menurut Starkey
(2017), terdapat efek lain dari fenomena ini yaitu menurunnya kelimpahan
monyet hitam sulawesi di wilayah KPHK Tangkoko sekitar 21%. Hal tersebut
menjadikan perlu adanya perhatian lebih terhadap keberadaan spesies ini,
karena faktor antropogenik yang menjadi faktor utama terhadap penurunan
populasi satwa ini masih sangat besar, apalagi jika ditambah dengan
keberadaan fenomena El Nino yang jika rutin terjadi akan sangat mungkin
mempercepat proses kepunahan dari satwa ini.
Fenomena El Nino yang diketahui menyebabkan suhu meningkat, curah
hujan menurun, kondisi vegetasi menunjukkan penurunan kualitas, dan
meningkatnya resiko kebakaran hutan. Semua efek dari kondisi tersebut
dapat memberikan dampak bagi kelangsungan hidup organisme yang
berada di dalam KPHK Tangkoko, dalam hal ini flora dan fauna. Dampak
terhadap flora yang ada di KPHK Tangkoko dalam hal ini dapat dilihat dari
penurunan kelimpahan pakan (buah) yang menjadi makanan monyet hitam
sulawesi, terutama pada puncak periode fenomena ini (April - Oktober). Hal
tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya, bahwa El
Nino dapat menggangu atau bahkan merubah pola berbuah dan
kematangan buah di dalam hutan (Ingram dan Dawson 2005; Fredriksson et
al., 2006; Fredriksson et al., 2007). Dampak El Nino terhadap fauna yang
ada di KPHK Tangkoko, dalam hal ini monyet hitam Sulawesi, yaitu adanya
perubahan proporsi perilaku makan dan daerah jelajah walaupun tidak
terlalu signifikan perbedaanya pada saat dan setelah El Nino. Sulawesi
merupakan pulau yang memiliki efek El Nino paling kecil dibandingkan
dengan pulau lainnya yang ada di Indonesia (Sumatera dan Kalimantan)
(Field et al., 2016). Meskipun, dampak dari fenomena tersebut dirasakan
pada hutan KPHK Tangkoko, seperti angka kebakaran hutan yang
meningkat, tetapi model kebakaran hutan di KPHK Tangkoko tidak sebesar
dan selebar di wilayah lain. Contohnya yaitu, kebakaran yang terjadi tidak
sampai menghabisi kanopi pohon pakan dan pohon tidur Macaca nigra dan
sebaran wilayah terbakar tidak merata.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
El Nino memberikan efek terhadap ekologi pakan dan perilaku dari
flora-fauna yang ada di KPHK Tangkoko. Perubahan suhu (meningkat),
perubahan curah hujan (menurun), kualitas vegetasi yang menurun,
tingginya angka kebakaran hutan, memberikan dampak biologis terhadap
normalitas berbuah pohon pakan. Monyet hitam sulawesi yang merupakan
El Nino Effect (2015): Hubungan Kelimpahan Pakan, Perilaku…….. Dwi Yandhi Febriyanti, Andre Pasetha, dan Antje Engelhardt
45
critically endangered species merasakan dampak akibat perubahan ekologi
pakan mereka, dengan adanya perubahan luasan daerah jelajah dan
proporsi perilaku makan. Meskipun dampak yang dirasakan tidak terlalu
besar. Akan tetapi, dampak dari fenomena ini dapat menjadi peringatan bagi
pihak yang terkait dengan manajemen konservasi spesies ini, agar dapat
meningkatkan kualitas konservasi satwa ini, pada saat terjadi fenomena
alam seperti El Nino. Selain itu, diharapkan pula untuk ke depannya dapat
dilakukan suatu bentuk monitoring bersama dari berbagai pihak, terhadap
flora-fauna yang ada di KPHK Tangkoko untuk mewujudkan strategi
manajemen konservasi yang lebih baik dan utuh.
V. UCAPAN TERIMAKASIH
Kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu penelitian ini. Pihak yang membantu pada saat pengambilan data
(Tim Macaca Nigra Project), Anna Starkey yang telah membantu melakukan
pengambilan dan analisis data citra satelit pada saat fenomena El Nino.
BKSDA Sulawesi Utara yang telah memberikan izin kepada Macaca Nigra
Project untuk melakukan penelitian secara berkala, sehingga dapat
dikumpulkan suatu long-term data yang akan sangat berguna bagi ilmu
pengetahuan khususnya tentang monyet hitam sulawesi dan juga usaha
konservasi terhadap spesies ini.
VI. DAFTAR PUSTAKA
Arroyo-Rodriguez, V., Melo, F. P. L., Martinez-Ramos, M., Bongers F.,
Chazdon, R. L., Meave, J.A., Norden, N., Santos, B. A., Leal, I. R., &
Tabarelli, M. (2017). Multiple successional pathways in human-modified
tropical landscape: new insights from forest succession, forest
fragmentation and landscape ecology research. Biological Reviews, 92,
326-340.
Cai, W. J., Borlace, S., Lengaigne, M., Van Rensch, P., Collins, M., Vecchi,
G., Timmermann, A., Santoso, A., McPhaden, M. J., Wu, L. X., England,
M. H., Wang, G. J., Guilyardi, E., & Jin, F. F. (2014). Increasing
frequency of extreme El Nino events due to greenhouse warning.
Nature Climate Change, 4, 111-116.
Chapman, C. A., Chapman, L. J., Struhsaker, T. T., Zanne, A. E., Clark, C. J.,
& Poulsen, J. R. (2005a). A long-term evaluation of fruiting phenology:
importance of climate change. Journal of Tropical Ecology, 21, 31-45.
46
Chapman, C. A., Gillespie, T. R., & Speirs, M. L. (2005b). Parasite prevalence
and richness in sympatric colobines: effect of host density. American
Journal of Primatology, 67, 259-266.
Chapman, C. A., & Peres, C. A. (2001). Primate conservation in the new
millennium: the role of scientists. Evolutionary Anthropology, 10, 16-33.
Dunham, A. E., Erhart, E. M., & Wright, P. C. (2011). Global climate cycles
and cyclones: consequences for rainfall patterns and lemur
reproduction in southeastern Madagascar. Global Change Biology, 17,
219-227.
Estrada, A. (2013). Socioeconomic contexts of primate conservation:
population, proverty, global economic demands, and sustainable land
use. American Journal of Primatology, 75, 30-45.
Fooden J. (1969). Taxonomy and Evaluation of the Monkeys of Celebes
(Primates: Cercopithecidae). Basel (CH): S Karger.
Fredriksson, G. M., Danielsen, L. S., & Swenson, J. E. (2007). Impacts of El
Nino related drought and forest fires on sun bear fruit reources in
lowlad dipterocarp forest of East Borneo. Biodiversity and Conservation,
16, 1823-1838.
Friedriksson, G. M., Wich, S. A., & Trisno. (2006). Frugivory in sun bears
(Helarctos malaynus) is linked to El Nino related fluctuations in fruiting
phenology, East Kalimantan, Indonesia. Biological Journal of the
Linnean Society, 89, 489-508.
Giyarto. (2010). Penggunaan home range dan aktivitas harian monyet hitam
sulawesi (Macaca nigra Desmarest, 1822) di Cagar Alam Tangkoko-
Batuangus, Sulawesi Utara. Skripsi tidak diterbitkan, Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta.
Ingram, J. C., & Dawson, T. P. 2005. Climate change impacts and vegetation
response on the island of Madagascar. Philosopical Transactions of The
Royal Society of London Series a-Mathematical Physical and
Engineering Sciences, 363, 55-59.
Lee, R. J. 1997. The Impact of Hunting and Habitat Disturbance on the
Population Dynamics and Behavioral Ecology of the Crested Black
Macaque (Macaca nigra). Disertasi tidak diterbitkan, University of
Oregon, Oregon (US).
Martin, P., & Bateson, P. 1993. Measuring Behaviour: an Introductory Guide.
2nd ed. Cambridge (GB): Cambridge University Pr.
El Nino Effect (2015): Hubungan Kelimpahan Pakan, Perilaku…….. Dwi Yandhi Febriyanti, Andre Pasetha, dan Antje Engelhardt
47
O’Brien, T. G., & Kinnaird, M. F. (1997). Behavior, diet, and movements of
the sulawesi crested black macaque (Macaca nigra). International
Journal of Primatology, 18, 321-351.
Palacios, J. F. G., Engelhardt, A., Agil, M., Hodges, J. K., Bogia, R., &
Waltert, M. (2012). Status of, and conservation recommendations for,
the Critically Endangered crested black macaque Macaca nigra in
Tangkoko, Indonesia. Oryx, 46, 290-297.
Pasetha A. (2014). Perilaku Harian Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra)
Pada Masa Kebuntingan di Cagar Alam Tangkoko-Batuangus, Sulawesi
Utara. Skripsi tidak diterbitkan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Pavelka, M. S. M., Brusselers, O. T., Nowak, D., & Behie, A. M. (2003).
Population reduction and social disorganization in Allouta pigra
following a hurricane. International Journal of Primatology, 24, 1037-
1055.
Rosenbaum B, O’brien, T. G., Kinnaird, M., & Supriatna, J. (1998).
Population densities of Sulawesi crested black macaques (Macaca nigra)
on Bacan and Sulawesi: Effects of habitat disturbance and hunting. Am
J Primatol, 44, 89-106.
Sari, I. R. (2013). Anthropogenic Effects On Habitat Use, Activity Budget,
And Energy Balance in Macaca nigra at Tangkoko Nature Reserve,
North Sulawesi, Indonesia. Tesis tidak diterbitkan, Georg-August
University Göttingen, Germany (DE).
Starkey A. (2017). A Population Survey of the Critically Endangered Macaca
nigra within the KPHK Reserve, Tangkoko, North Sulawesi, Following
The Most Recent El nino (2015) Event. Tesis tidak diterbitkan, Liverpool
John Moores University, United Kingdom (UK).
Whitten T. (1987). The Ecology of Sulawesi. Yogyakarta (ID): UGM Pr.
Wilcove, D. S., Giam, X., Edwards, D. P., Fisher, B., & Koh, L. P. (2013).
Navjots nightmare revised: logging, agriculture, and biodiversity in
southeast asia. Trends in Ecology & Evolution, 28, 531-540.
Nilai dan Kemanfaatan Anoa Breeding Centre …….. Rahma Suryaningsih et al.
49
Nilai dan Kemanfaatan Anoa Breeding Centre Ditinjau dari Motivasi Pengunjung1
The Utilization and Value of Anoa Breeding Center Reviewed
From Visitor Motivation
Rahma Suryaningsih2, Diah Irawati Dwi Arini2 , Julianus Kinho2, Jafred E.Halawane2, Ady Suryawan2,
Anita Mayasari2, Margaretta Cristita2, dan Adven T.A.J Simamora2
ABSTRACT
Anoa Breeding Centre (ABC) was established to support the ex-situ conservation
through research and development activities. This study was aimed to determine
the characteristics and motivation from the visitors who came to ABC with various
purposes. The study was conducted from May to October 2018. The data used in
this study comes from ABC’s guest book that has been collected since 2016 and
data were analyzed using descriptive qualitative method, displayed in tables and
charts. The result showed that visitors were dominated by men (68.42%) and
come from outside of North Sulawesi Province (45.61%) and by occupation,
visitors who work as government official and employees from private company
have same percentage of visit by 39.47%. Motivation for visiting Anoa Breeding
Centre mostly for work assignment or commparative studies (71.93%).
Keywords: Anoa Breeding Centre, characteristic, visitor, motivation, ex-situ
conservation
I. PENDAHULUAN
Anoa (Bubalus sp.) adalah salah satu satwa endemik Indonesia yang
tersebar di Pulau Sulawesi dan Pulau Buton. Ada dua jenis yaitu Anoa dataran
1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya
Pelestarian Sumber Daya Alam, diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado dan SEAMEO BIOTROP, Manado 24 Oktober 2018
2 Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado; Jl. Raya Adipura Kelurahan Kima Atas Kecamatan Mapanget Manado Sulawesi Utara 95259, Telp : (0431) 7242949; e-mail : [email protected]
50
rendah (Bubalus depresicornis) dan Anoa pegunungan (Bubalus quarlesi).
Keberadaan anoa di alam diperkirakan terus mengalami penurunan jumlah
populasi yang diduga akibat kerusakan habitat/hutan dan perburuan liar.
Berdasarkan data International Union for Conservation of Nature and Natural
Resources (IUCN) yang diterbitkan pada Tahun 2016 menyebutkan bahwa
anoa termasuk ke dalam Kategori Terancam Punah (Endangered) dengan
perkiraan bahwa jumlah populasi kurang dari 2.500 individu dewasa (Burton
et al., 2016)
Menurunnya populasi anoa telah mendorong pemerintah melakukan
berbagai upaya dengan mengeluarkan beberapa regulasi terkait anoa untuk
mempertahankan kelestariannya. Pada tahun 1936, terbit Peraturan
Ordonansi Perlindungan Binatang Liar oleh Pemerintah Hindia Belanda yang
didalamnya menyatakan bahwa anoa sebagai satwa langka dan wajib untuk
dilindungi karena sebarannya sangat terbatas. Kesadaran pemerintah
terhadap pelestarian anoa semakin menunjukkan kemajuan dengan
diterbitkannya Peraturan Menteri No. 54 Tahun 2013 tentang Strategi dan
Rencana Aksi Konservasi Anoa Tahun 2013-2022 yang berisi tentang
pelestarian anoa secara in-situ dan ex-situ di tingkat nasional (Arini dan
Nugroho, 2016). Anoa juga merupakan salah satu jenis satwa yang dilindungi
dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 yang merupakan perubahan dari
Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang jenis tumbuhan dan satwa
yang dilindungi.
Anoa Breeding Centre (ABC) merupakan salah satu kegiatan Balai
Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK)
Manado bekerjasama dengan Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA)
Sulawesi Utara. Anoa Breeding Centre dibentuk untuk mendukung konservasi
anoa secara ex-situ ABC diresmikan pada tanggal 5 Februari 2015 oleh Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ibu Siti Nurbaya Bakar sebagai lembaga
pusat kajian dan pengembangbiakan satwa anoa. Sebelumnya, dukungan
terhadap pelestarian anoa telah dilakukan sejak 2010 oleh BP2LHK Manado
melalui kegiatan penelitian konservasi in-situ dan ex-situ anoa. ABC memiliki
empat tujuan utama yaitu meningkatkan populasi anoa melalui konservasi ex-
situ/breeding centre, rehabilitasi dan pelepasliaran anoa ke habitat alam,
kerjasama dengan lembaga-lembaga konservasi, domestikasi anoa, dan
penyuluhan konservasi anoa seperti yang tertuang dalam Road Map Pusat
Kajian Anoa Balai Penelitian dan Kehutanan Manado tahun 2015 – 2035.
Keberadaan ABC semakin menunjukkan perkembangan, anoa yang dipelihara
Nilai dan Kemanfaatan Anoa Breeding Centre …….. Rahma Suryaningsih et al.
51
di ABC tidak hanya sebagai obyek penelitian, namun berkembang menjadi
daya tarik bagi kegiatan edukasi, wisata dan pembelajaran bagi instansi yang
ingin mengetahui lebih dalam tentang mengenai anoa. Hal ini ditunjukkan
dengan banyaknya permohonan kunjungan yang tidak hanya datang dari
masyarakat lokal tetapi juga dari masyarakat internasional. Mengacu pada
fungsi dari lembaga konservasi, selain memiliki tugas pokok dalam kegiatan
penelitian dan pengembangan anoa, ABC juga berperan dalam usaha
pengembangbiakan satwa secara terkontrol dan/atau penyelamatan
tumbuhan dan satwa dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya.
Fungsi tambahan lainnya yaitu sebagai tempat pendidikan, peragaan,
penitipan sementara, sumber indukan dan cadangan genetik untuk
mendukung populasi in-situ, sarana rekreasi yang sehat serta penelitian dan
pengembangan ilmu pengetahuan (KLHK, 2018).
Keberadaan ABC menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat, terutama
bagi mereka yang memiliki antusiasisme yang tinggi terhadap pelestarian
satwa. Ketika masyarakat berkunjung ke ABC, mereka dapat melihat secara
langsung salah satu satwa endemik Indonesia yang saat ini keberadaan
terancam punah dan sangat sulit ditemui di habitat alaminya. Selain itu,
masyarakat tidak hanya sekedar memanjakan mata dengan bisa melihat anoa
secara langsung tetapi juga masyarakat memperoleh informasi yang lebih
mendalam tentang anoa. Berdasarkan uraian tersebut, maka penelitian
tentang “Nilai dan Kemanfaatan ABC ditinjau dari motivasi pengunjung”
penting untuk dilakukan untuk mengetahui karakteristik dan motivasi
masyarakat yang berkunjung ke ABC.
II. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Anoa Breeding Centre (ABC) yang berada
di Kompleks BP2LHK Manado, Sulawesi Utara pada bulan Mei - Oktober 2018.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data pengunjung Anoa
Breeding Centre yang dikumpulkan sejak tahun 2016 hingga Oktober 2018.
Data kemudian dikelompokkan berdasarkan karakteristik pengunjung
mencakup asal pengunjung, jenis kelamin, cara melakukan kunjungan,
pekerjaan, dan maksud kunjungan. Data kemudian dianalisis secara deskriptif
kualitatif dan ditampilkan dalam bentuk gambar dan tabel persentase.
52
Gambar 1. Peta lokasi Anoa Breeding Centre BP2LHK Manado
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Sejarah Anoa Breeding Centre
Anoa Breeding Centre berawal dari kegiatan penelitian konservasi ex-situ
anoa yang dilakukan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Manado yang sebelumnya bernama Balai
Penelitian Kehutanan Manado sejak tahun 2010. Sebelumnya, BP2LHK
Manado juga telah melakukan penelitian konservasi in-situ anoa. Pada Tahun
2011, BP2LHK Manado menerima 3 ekor anoa dari BKSDA Sulawesi Utara yang
merupakan hasil sitaan dan penyerahan sukarela dari masyarakat dengan
maksud untuk dapat dilakukan upaya penangkaran dan sebagai bahan
penelitian dalam berbagai aspek untuk mendukung perkembangbiakan anoa.
Tahun 2013, BP2LHK Manado kembali menerima 1 ekor anoa yang merupakan
hasil penyerahan sukarela dari masyarakat Bolaang Mongondow. Kemudian
pada Tahun 2015, tepatnya pada tanggal 5 Februari, penangkaran anoa
BP2LHK Manado secara resmi diresmikan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan dengan nama “Breeding Centre of Anoa” yang kemudian lebih
dikenal dengan Anoa Breeding Centre (ABC). Saat ini, anoa yang berada di
ABC telah berjumlah 10 ekor dengan rasio jantan : betina yaitu 3 : 7, dimana
3 ekor diantaranya adalah anoa yang telah berhasil dilahirkan di ABC dan
Nilai dan Kemanfaatan Anoa Breeding Centre …….. Rahma Suryaningsih et al.
53
merupakan hasil perkawinan alami.
Untuk mendukung upaya konservasi ex-situ anoa di ABC, kesejahteraan
satwa harus diprioritaskan. Oleh karena itu, penyediaan sarana dan prasarana
yang memadai perlu untuk dilakukan. Saat ini, ABC memiliki beberapa jenis
fasilitas kandang yang masing-masing dilengkapi dengan fasilitas pendukung
kandang. Kandang ABC digunakan sesuai peruntukkannya yaitu kandang
pemeliharaan (individu), kandang persiapan kelahiran, kandang karantina,
kandang jepit (handling), dan kandang translokasi dan transportasi. Selain
kandang, ABC juga memiliki klinik satwa yang akan digunakan untuk
penanganan anoa secara profesional. Kegiatan rutin anoa juga didukung oleh
kendaraan roda tiga sebanyak 2 unit, peralatan dan bahan medis, dan
perlengkapan kandang lainnya.
B. Karakteristik Pengunjung
Karakteristik pengunjung merupakan salah satu hal yang sangat penting
bagi suatu tempat umum. Adanya beragam karakteristik yang dimiliki oleh
pengunjung dapat menjadi salah satu tolak ukur atau indikator bagi suatu
tempat. Dengan mengetahui karakteristik pengunjung, suatu tempat umum
dapat mengukur keberadaannya di masyarakat luas serta meningkatkan
kualitas kinerjanya.
Sejak 2016 hingga 2018 jumlah kunjungan di ABC terdata sebanyak 114
pengunjung. Jika dikelompokkan berdasarkan asal daerah didominasi oleh
pengunjung dari luar Sulawesi Utara sebanyak 52 orang (45,61 %),
pengunjung yang berasal dari luar Sulawesi Utara sebanyak 47 orang
(41,23%), dan pengunjung dari luar negeri sebanyak 15 orang (13,16%).
Pengunjung dari luar Sulawesi Utara yang mendominasi kunjungan ke ABC
berasal dari Makassar, Jakarta, Bogor, Banda Aceh, dan Padang.
Banyaknya pengunjung yang berasal dari luar Sulawesi Utara
menunjukkan bahwa keberadaan ABC tidak hanya diketahui dan dikenal oleh
masyarakat sekitar Manado dan Sulawesi Utara, tetapi juga telah menyebar
ke beberapa daerah di Indonesia. Bahkan keberadaan ABC telah diketahui
hingga ke luar negeri. Negara-negara asal pengunjung ABC dari luar negeri
yaitu Jerman, Inggris, Belgia, Australia dan Amerika Serikat. Hasil wawancara
secara langsung kepada pengunjung mengenai sumber informasi tentang ABC
diketahui bahwa sebagian besar informasi pengunjung mengetahui tentang
ABC melalui website resmi Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Manado dan sosial media yaitu “fanpage Anoa Breeding
Centre”. Kedua media ini sangat efektif digunakan sebagai sarana dalam
54
penyebarluasan informasi baik hasil-hasil penelitian dan juga kegiatan-
kegiatan yang terkait dengan ABC.
Gambar 2. Jumlah kunjungan ke ABC dari tahun 2016 – 2018
Berdasarkan jenis kelamin (gender) pengunjung ABC sebagian besar
didominasi oleh laki-laki sebanyak 78 orang (68,42%) dan perempuan
sebanyak 36 orang (31,58%). Berdasarkan pengamatan selama ini, diketahui
bahwa jumlah pengunjung laki-laki jauh lebih besar jika dibandingkan dengan
jumlah pengunjung perempuan. Hal ini dapat dipengaruhi oleh objek dari ABC
yaitu satwa anoa yang termasuk satwa liar, soliter, dan agresif terhadap
manusia jika didekati. Pada umumnya, laki-laki memiliki ketertarikan yang
lebih tinggi terhadap satwa terutama pada satwa-satwa liar jika dibandingkan
dengan perempuan. Ketertarikan ini dapat dipengaruhi oleh faktor psikologis
laki-laki yang berbeda dengan perempuan. Laki-laki lebih cenderung
menyukai berkunjung atau berkegiatan ke tempat-tempat yang bernuansa
alam dan penuh tantangan.
Karakteristik pengunjung ABC berdasarkan jenis pekerjaan didominasi
oleh pengunjung yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil dan Pegawai
Swasta dengan jumlah yang sama sebanyak 45 orang (39,47%). Adapun jenis
pekerjaan yang lain seperti mahasiswa dan pelajar juga memiliki jumlah yang
sama sebanyak 5 orang (4,39%) dan pekerjaan lainnya sebanyak 14 orang
(12,28%). Data tersebut menunjukkan bahwa kunjungan yang dilakukan oleh
kedua jenis pekerjaan tersebut sebenarnya erat kaitannya dengan
kepentingan pekerjaan. Dimana mereka ingin belajar tentang anoa dan
pengelolaannya secara langsung di ABC. Ketika mereka berkunjung ke ABC,
selain dapat melihat langsung anoa, mereka juga dapat berdiskusi dengan
2633
56
0
10
20
30
40
50
60
Tahun 2016 Tahun 2017 Tahun 2018
Ju
mla
h K
un
jun
ga
n
Tahun Kunjungan
Nilai dan Kemanfaatan Anoa Breeding Centre …….. Rahma Suryaningsih et al.
55
pengelola ABC tentang anoa dan manajemen pengelolaannya secara eksitu.
ABC merupakan kegiatan konservasi ex-situ yang fokus dan khusus
menangani satwa anoa yang keberadaanya terancam punah.
Berdasarkan cara melakukan kunjungan, dapat dibedakan menjadi
kunjungan secara individu dan kelompok. Hasil pengelompokkan data
menunjukkan bahwa sebagian besar pengunjung ke ABC dilakukan secara
berkelompok sebesar 85,96% dan sisanya dilakukan secara individu.
Kunjungan kelompok didominasi oleh kunjungan yang berasal dari instansi
baik instansi pemerintah, swasta (perusahaan) dan universitas, kunjungan
kelompok lainnya berasal dari kelompok media (cetak maupun elektronik),
kelompok wisata/travel dan kunjungan yang berasal dari sekolah-sekolah.
Sedangkan kunjungan yang dilakukan individu biasanya adalah kegiatan
penelitian dan volunteer.
56
Gambar 3. Kunjungan-kunjungan ke ABC BP2LHK Manado dari berbagai
kalangan
C. Motivasi Pengunjung
Sama halnya dengan lembaga konservasi ex-situ lainnya seperti kebun
binatang, ABC saat ini tidak hanya berfungsi dalam konservasi satwa namun
juga sebagai tempat berlangsungnya pendidikan, penelitian hingga rekreasi
yang tentunya diharapkan mampu meningkatkan kesadaran masyarakat
melalui pembelajaran yang menghibur mengenai satwa sehingga dapat
mendukung upaya konservasi satwa baik secara in-situ maupun ex-situ
(Puspitasari et al., 2016). Keberadaan anoa yang langka di habitat alaminya
merupakan dampak dari penurunan populasi anoa yang diakibatkan oleh
perburuan dan kerusakan habitat. Untuk melihat anoa di habitat alaminya
seperti di TN. Bogani Nani Wartabone misalnya, orang harus berjalan kaki 3-
4 hari untuk mencapai lokasi dan itupun jika beruntung dapat berjumpa dan
melihat anoa secara langsung. Banyak dari masyarakat Sulawesi sendiri yang
belum pernah melihat secara langsung anoa. Sehingga kehadiran ABC selain
memperkenalkan kepada masyarakat juga sebagai sarana edukasi yang tepat
bagaimana melestarikan anoa.
Setiap orang akan dipengaruhi oleh kondisi internal dan eksternal dalam
melakukan sesuatu hal. Kondisi internal terkait dengan keinginan, kemauan,
dan pengalaman yang muncul dalam diri sendiri serta ditunjang oleh
kemampuan finansial sedangkan kondisi eksternal terkait dengan keberadaan
daya tarik, fasilitas, pelayanan, serta kemudahan akses ke tempat yang ingin
dikunjungi. Kedua hal inilah yang menjadi faktor yang memotivasi seseorang
melakukan perjalanan wisata (Keliwar dan Nurcahyo, 2015). Motivasi
merupakan kekuatan internal yang menyebabkan seseorang melakukan
Nilai dan Kemanfaatan Anoa Breeding Centre …….. Rahma Suryaningsih et al.
57
tindakan (Rangkuti, 2009). Dengan memahami motivasi, kita dapat
mengetahui keinginan dan perilaku setiap individu. Motivasi pengunjung
dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu tujuan, frekuensi kunjungan, alasan
berkunjung kembali, obyek yang menarik seperti satwa (Teguh et al., 2010).
Gambar 4. Persentase motivasi kunjungan
Secara umum motivasi pengunjung dalam melakukan kunjungan ke ABC
cukup bervariasi, yaitu motivasi kerja, motivasi pendidikan dan pelatihan,
motivasi wisata, dan motivasi lainnya. Berdasarkan hasil analisis data,
diketahui bahwa motivasi kerja merupakan motivasi yang mendominasi
pengunjung ABC yaitu sebanyak 82 orang (71,93%). Hal ini menunjukkan
bahwa keberadaan ABC sebagai salah satu bentuk upaya konservasi anoa
secara eksitu menjadi penting. Terutama dengan keberhasilan yang telah
diraih oleh ABC dengan menghasilkan tiga anak anoa baru hasil perkawinan
secara alami. Keberhasilan ini tentunya semakin menarik minat pengunjung
untuk mengetahui bagaimana bentuk pengelolaan konservasi eksitu anoa.
Motivasi kerja dari pengunjung ABC yaitu kunjungan kerja, studi banding, dan
kerjasama. Hasil ini berkorelasi dengan karakteristik jenis pekerjaan
pengunjung ABC yang didominasi oleh pegawai negeri sipil dan pegawai
swasta.
Motivasi kunjungan kerjasama berasal dari beberapa perusahaan,
lembaga konservasi luar negeri dan instansi pemerintah lainnya yang ingin
memberikan dukungannya kepada ABC. Keberhasilan ABC dalam melestarikan
anoa menjadi suatu bukti kesungguhan pemerintah Indonesia lewat lembaga
penelitian BP2LHK Manado turut serta dalam usaha pelestarian satwa langka
Official
Visit
71,93%
Tourism
14,04%
Research
and
education
11,40%
Others
2,63%
58
terancam punah. Dukungan yang diterima pihak ABC dalam bentuk bantuan
dana CSR (corporate social responsibility). Iqbal dan Sudaryanto (2008)
menjelaskan bahwa dana CSR merupakan dana yang dikeluarkan pihak
perusahaan untuk membantu masyarakat dalam bentuk kemitraan. Dana CSR
diartikan sebagai tanggung jawab perusahaan/lembaga profit terhadap
masyarakat di sekitar wilayah operasi kegiatannya. Bantuan dana CSR
perusahaan untuk ABC yaitu PT. Cargill Amurang-Indonesia, PT. MSM dan PT.
JRBM dalam bentuk pembangunan sarana dan prasarana ABC (tenaga
medis/dokter hewan, kandang, klinik, kendaraan operasional, peralatan
medis, timbangan anoa). Dukungan luar negeri datang dari Zoo Leipzig dalam
bentuk berupa peningkatan kapasitas SDM melalui kegiatan pelatihan keeper
dan dokter hewan (veteriner) di ABC.
Selain motivasi kerja, terdapat pula motivasi yang lain yaitu motivasi
wisata sebanyak 16 orang (14,04%), motivasi pendidikan dan penelitian
sebanyak 13 orang (11,40%), dan motivasi lainnya sebanyak 3 orang
(2,63%). Motivasi wisata pengunjung ke ABC umumnya didasari oleh rasa
cinta terhadap satwa dan penasaran terhadap satwa anoa. Rata-rata
pengunjung untuk motivasi ini berasal dari luar negeri. Adetola dan Adedire
(2018) menjelaskan bahwa pengunjung kebun binatang dan aquarium di
beberapa negara setiap tahunnya dapat mencapai jutaan orang. Pengunjung
tersebut berasal dari berbagai belahan dunia. Sebagian besar dari mereka
adalah orang yang tinggal di daerah perkotaan dan jarang bersinggungan
dengan alam. Kunjungan mereka ke kebun binatang utamanya karena
ketertarikan untuk melihat dan berinteraksi dengan satwa yang juga tidak
biasa mereka temukan. Awalnya, pengunjung ini tidak memasukkan ABC
sebagai salah satu destinasi wisata mereka saat berkunjung ke Sulawesi
Utara. Adapun akhirnya mereka berkunjung ke ABC, karena mereka
penasaran dan tertarik untuk melihat anoa secara langsung. Tidak semua
kebun binatang di luar negeri yang memiliki satwa anoa, diperkirakan hanya
sekitar 150 individu anoa yang ada di seluruh Eropa dan Amerika. Keberadaan
anoa di habitat alam pun semakin sulit untuk ditemui sehingga ABC memiliki
peluang besar menjadi tujuan wisata edukasi tentang anoa. Informasi tentang
keberadaan ABC, selain dari media elektronik juga mereka peroleh dari teman-
temannya yang pernah berkunjung sebelumnya. Ketika pengunjung tersebut
tiba di ABC, terlihat mereka sangat senang melihat dan berinteraksi dengan
anoa secara langsung.
Pengunjung ABC dengan motivasi pendidikan dan penelitian dilakukan
oleh pelajar dan mahasiswa. Untuk kegiatan pendidikan, ABC memiliki
Nilai dan Kemanfaatan Anoa Breeding Centre …….. Rahma Suryaningsih et al.
59
program save anoa yang bertujuan untuk mengedukasi masyarakat untuk
menjaga kelestarian anoa. Pelajar yang berkunjung ke ABC, mulai dari anak
usia dini (PAUD), TK, hingga SMA. Pengunjung tidak hanya datang dari
sekolah formal, tetapi juga dari komunitas home schooling. Mereka
berkunjung ke ABC untuk belajar tentang satwa (anoa). Konsep proses belajar
yang ditawarkan ABC ke mereka tidak kaku, dimana pelajar akan diedukasi di
luar ruangan (penangkaran dan sekitarnya) sehingga pelajar akan lebih
mudah mencerna apa yang disampaikan dan tentu saja mereka dapat
berinteraksi secara langsung dengan anoa. Untuk kegiatan penelitian,
mahasiswa yang berkunjung mulai dari S1 hingga S3. Masih kurangnya kajian-
kajian penelitian tentang anoa sehingga mendorong mereka untuk melakukan
penelitian di ABC. Judul penelitian pun bervariasi sehingga diharapkan
hasilnya dapat memperkaya pengetahuan tentang satwa anoa.
Volunteering adalah salah satu kegiatan di ABC. Kegiatan volunteering
merupakan kegiatan sukarela, kesediaan meluangkan waktu, tenaga serta
biaya untuk membantu dan berpartisipasi dalam manajemen pengelolaan
ABC. Volunteer yang datang di ABC tidak hanya berasal dari Indonesia tapi
juga dari luar negeri. Sejak tahun 2016-2018 terdata jumlah volunteer
sebanyak enam orang yang berasal dari berbagai negara (Gambar 3).
Ketertarikan mereka untuk berkunjung menjadi volunteer di ABC selain
kecintaan terhadap satwa juga ingin memperoleh pengalaman. Jumlah
perbandingan volunteer di ABC berdasarkan gender adalah 2 : 4 dimana dua
adalah laki-laki dan empat perempuan.
Gambar 5. Jumlah kunjungan volunteer di ABC sampai tahun 2018
berdasarkan negara
0 1 2 3
Indonesia
Canada
Germany
England
Jumlah Volunteer
Neg
ara
60
IV. KESIMPULAN
Karakteristik kunjungan di ABC di dominasi pengunjung yang berasal dari
luar Sulawesi Utara sebesar 45,61%, dari dalam Sulawesi Utara sebesar
41,23% dan luar negeri sebesar 13,16%. Berdasarkan jenis kelamin,
pengunjung didominasi oleh pengujung laki-laki sebesar 68,42% dan
perempuan sebesar 31,52%. Berdasarkan pekerjaan, pengunjung ABC di
dominasi oleh pengunjung yang berprofesi sebagai pegawai baik pemerintah
dan swasta dengan persentase yang sama yaitu sebesar 39,47%.
Berdasarkan cara melakukan kunjungan didominasi oleh pengunjung
berkelompok sebesar 85,96%. Motivasi kunjungan di ABC didominasi oleh
kunjungan kerja dalam bentuk studi banding atau hanya sekedar melihat anoa
sebagai satwa yang langka dan terancam punah sebesar 71,93%.
V. SARAN
Diperlukan penelitian lebih lanjut dan mendalam tentang hubungan
antara karakteristik dan motivasi kunjungan, serta potensi pengembangan
dan penguatan kelembagaan ABC ke depan. Selain itu, penelitian mengenai
dampak kunjungan terhadap perilaku anoa juga perlu untuk dilakukan untuk
mengetahui bagaimana pengaruh kunjungan terhadap anoa di ABC.
VI. UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih diucapkan kepada Tim Anoa Breeding Centre Balai
Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado atas
sumbangsih ide dan tenaga dalam kegiatan pengumpulan data serta
pendampingan kepada pengunjung Anoa Breeding Centre.
VII. DAFTAR PUSTAKA
Burton, J., Wheeler, P. & Mustari, A. (2016). Bubalus depressicornis. The IUCN
Red List of Threatened Species 2016: e. T3126A4636422. Retrieved 17
Oktober 2018 dari https://www.iucnredlist.org
Arini, D. I. D. & Nugroho, A. (2016). Preferensi habitat Anoa (Bubalus spp.) di
Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Seminar Nasional Masyarakat
Biodiversity Indonesia, 2 (1), (p.103-108). Retrieved 14 September 2018
dari http://biodiversitas.mipa.uns.ac.id
Bowyer, J. L., Shmulsky, R., & Haygreen, J. G. (2007). Forest Products and
Wood Science: an introduction. Lowa: Blackwell Publishing.
Departemen Kehutanan. 2004. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor:
Nilai dan Kemanfaatan Anoa Breeding Centre …….. Rahma Suryaningsih et al.
61
P.01/Menhut-11/2004 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat di
Dalam dan atau di Sekitar Hutan dalam Rangka Social Forestry. Jakarta:
Biro Hukum dan Organisasi Dephut.
Herawati, H., & Santoso, H. (2011). Tropical forest susceptibility to and risk of
fire under changing climate: A review of fire nature, policy and
institutions in Indonesia. Forest Policy and Economics, 13(4), 227 – 233.
Keliwar, S. & Nurcahyo, A. (2015). Motivasi dan persepsi pengunjung terhadap
obyek wisata desa budaya pampang di Samarinda. Jurnal Manajemen
Resort dan Leisure, 12(2), 10-27. Retrieved 10 Oktober 2018 dari
http://ejournal.upi.edu
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. (2012). Peraturan Kepala Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia Nomor: 04/E/2012 tentang Pedoman Karya
Tulis Ilmiah. Jakarta: LIPI.
Rangkuti, F. 2008. Analisis SWOT : Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta :
PT. Gramedia Pustaka.
Teguh, I.G., Rachmawati, E. & Masy’ud, B. (2010). Studi tentang motivasi dan
persepsi pengujung terhadap pengelolaan pemanfaatan satwa sebagai
obyek wisata di Taman Satwa Punti Kayu Palembang Sumatera Selatan.
Jurnal Media Konservasi, 15(3), 131-138.
Puspitasari, A., Masyu’d, B. & Sunarminto, T. (2016). Nilai kontribusi kebun
binatang terhadap konservasi satwa, sosial ekonomi, dan lingkungan
fisik : studi kasus Kebun Binatang Bandung. Jurnal Media Konservasi,
21(2), 116-124.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2018). Keberhasilan
pengembangbiakan satwa di lembaga konservasi. Retrieved 16 Oktober
2018 dari http://www.menlhk.go.id/berita-11197-keberhasilan-
pengembangbiakan-satwa-di-lembaga-konservasi.html.
Adetola, B. O. & Adedire, P. O. (2018). Visitors’ motivation and willingness to
pay for conservation in selected zoos in Southwest Nigeria. Journal
Application of Science Environmental Management, 22(4), 532-537.
Kementerian Kehutanan. (2013). Peraturan Menteri Kehutanan No. 54 Tahun
2013 tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Anoa Tahun 2013-
2022. Jakarta : Kementerian Kehutanan.
Kementeraian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2018). Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor.
P.20/Menlhk/Setjen/Kum.1/2018 tentang Jenis Satwa dan Tumbuhan
yang Dilindungi. Jakarta : Kementerian Lingkungan Hidup dan
62
Kehutanan.
Iqbal, M., & Sudaryanto, T. (2008). Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
(Corporate Social Responsibility) dalam Perspektif Kebijakan
Pembangunan Pertanian. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian, 6(2), 155-
173.
Aktivitas Harian dan Pengelolaan Gajah Jinak…….. Wanda Kuswanda, S.P. Barus, dan A. Sukmana
63
Aktivitas Harian dan Pengelolaan Gajah Jinak (Elephas maximus sumatranus)
di Sumatera Utara1
Daily Activity and Captive Elephant Management (Elephas maximus sumatranus) in North Sumatera
Wanda Kuswanda2, Sriyanti Puspita Barus2, Asep Sukmana2
ABSTRACT
Daily activities information of captive elephants that under the human control still
very limited. This research aimed to obtain information of daily activities and
management model of the captive elephants in Tangkahan, Langkat District and
Barumun Nagari Wildlife Sanctuary (BNWS), Padang Lawas Utara District. The
research was conducted for 8 months, from March to October 2017 and
conducted with focal animal sampling method by focusing the treatment and
daily activities of elephants and analyzed it descriptively. The results showed that
the elephant daily activities in Tangkahan has been patterned and scheduled.
Elephant daily activities like bathing, feeding as well as riding to forest, were
applied to the management model for ecotourism purposes. However, the
situation in BNWS were more naturally because the management model applies
the animal welfare techniques therefore they are grazed in the feed area. In the
future, management model of Aek Nauli Elephant Conservation Camp (ANECC) in
KHDTK Aek Nauli and others can adapt the management system in Tangkahan
and BNWS.
Keywords : Barumun, daily activity, elephant, Tangkahan
1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya
Pelestarian Sumber Daya Alam, diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado dan SEAMEO BIOTROP, Manado 24 Oktober 2018
2 Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aek Nauli, nomor telp : +6282165986846; E-mail : [email protected]
64
I. PENDAHULUAN
Populasi gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) diperkirakan di
alam liar hanya tinggal 1.800 ekor. Penyebab berkurangnya populasi gajah
tidak hanya disebabkan oleh hilangnya habitat, namun juga pembunuhan
ilegal yang dipicu oleh konflik gajah manusia (HEC) dan perburuan gajah
untuk pencurian gading (Departemen Kehutanan, 2007; Cynthia and
McGinley, 2010; Fernando et al., 2011; Das et al., 2012;). Berbagai kegiatan
dalam konservasi gajah sumatera terus dilakukan oleh para pihak, baik
pemerintah, swasta maupun LSM. Salah satunya adalah mengoptimalkan
konservasi dan pemanfaatan gajah jinak/captive (dibawah pemeliharaan
manusia) secara sinergi dan berkelanjutan di Pusat Latihan Gajah (PLG).
Program pemeliharaan satwaliar seperti gajah telah banyak dilakukan
dan digunakan untuk tujuan ganda yaitu untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat (orientasi sosial ekonomi, budaya, rekreasi) juga sekaligus untuk
menopang kelestarian spesies tersebut (Alikodra, 2010). Pemanfaatan gajah
jinak di Indonesia sendiri sejauh ini telah dilakukan untuk beberapa hal, yaitu;
mitigasi konflik gajah dengan manusia, penelitian ekologi, pendidikan
konservasi, program breeding, dan ekowisata (Thitaram, 2012; Ritonga, 2012;
Duffy, 2014). Saat ini masih tersisa sekitar 500-an individu gajah jinak yang
hidup di bawah pemeliharaan manusia di Pusat Latihan Gajah di Sumatera
dan Lembaga Konservasi di Indonesia (Sumatera, Jawa, dan Bali) yang
berpotensi sebagai stok genetik bila dikelola dengan baik dan terarah
(Departemen Kehutanan, 2007).
Gajah jinak yang berada dibawah pemantauan manusia, sangat
membutuhkan manusia terutama dalam proses adaptasi dan pemenuhan
kebutuhan untuk dapat terus bertahan hidup pada wilayah baru dan terbatas.
Berbagai perlakuan tentunya telah dilakukan oleh pengelola agar gajah
mampu beradaptasi, bertahan hidup bahkan bereproduksi saat berada
dilingkungan yang terbatas (Thitaram, 2012; De Mel et al., 2013; Hayward et
al., 2014). Namun, informasi perlakuan dan aktivitas harian gajah pada
berbagai lokasi pengelolaan gajah jinak sampai saat ini masih sangat sedikit,
seperti di Kawasan Tangkahan, Taman Nasional Gunung Leuser, Kabupaten
Langkat maupun dilokasi lainnya.
Untuk itu, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi
perlakuan dan aktivitas harian serta model pengelolaan gajah jinak pada dua
lokasi pemeliharaan gajah jinak di Sumatera Utara, yaitu di Kawasan
Tangkahan dan Barumun Nagari Wildlife Sanctuary (BNWS). Hasil penelitian
Aktivitas Harian dan Pengelolaan Gajah Jinak…….. Wanda Kuswanda, S.P. Barus, dan A. Sukmana
65
ini dapat dijadikan acuan untuk mengembangkan konservasi dan ekowisata
gajah di KHDTK Aek Nauli ke depannya.
II. METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di dua lokasi pengelolaan gajah jinak, yaitu di
Kawasan Tangkahan yang berada di daerah penyangga TN. Gunung Leuser
(TNGL) Kabupaten Langkat dan Barumun Nagari Wildlife Sanctuary (BNWS)
yang merupakan daerah penyangga Suaka Margasatwa Barumun, Kabupaten
Padang Lawas Utara, Sumatera Utara. Waktu penelitian dilaksanakan selama
delapan bulan, mulai dari bulan Maret - Oktober 2017. Gambaran lokasi
penelitian seperti disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Peta lokasi ekowisata gajah Tangkahan dan BNWS
B. Bahan dan Alat
Bahan yang menjadi obyek dalam penelitian ini adalah gajah di
Tangkahan dan BNWS. Alat yang digunakan adalah teropong, kamera, tally
sheet, alat tulis menulis serta peralatan penelitian lainnya.
C. Metode Penelitian
Pengamatan dilakukan menggunakan metode focal animal sampling,
yaitu dengan cara mengikuti aktivitas harian gajah, mulai pagi hari saat gajah
dikeluarkan dari kandang (08.00 WIB) sampai sore hari (17.30 WIB) saat
gajah kembali ke kandang. Pengumpulan data dilakukan juga melalui diskusi
terhadap pengelola, mahout dan petugas lapangan terkait perlakuan dan
model pengelolaan yang diterapkan kepada gajah jinak yang terdapat di
setiap lokasi.
66
D. Analisis Data
Analisis dilakukan dengan cara rekapitulasi dan telaah data hasil
pengamatan yang dikelompokkan berdasarkan pembagian waktu setiap
perlakuan dan aktivitas harian gajah yang sudah ditetapkan oleh pengelola di
setiap lokasi pengamatan.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Lokasi Pengelolaan Gajah Jinak
1. Kawasan Konservasi dan Ekowisata Gajah Tangkahan, Kabupaten Langkat
Kawasan konservasi dan ekowisata gajah jinak Tangkahan secara status
dan fungsi kawasan termasuk ke dalam Kawasan TNGL. TNGL merupakan
satu kesatuan kawasan pelestarian alam, seluas 1.094.692 hektar yang
terletak di dua provinsi, yaitu Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi
Sumatera Utara. Kawasan TNGL berada pada koordinat 96º 35”- 98º 30” BT
dan 2º 50” – 4º 10” LU. Lokasi pemeliharaan gajahnya saat ini berada di
daerah penyangganya, Kabupaten Langkat (Balai TNGL, 2014).
Hasil wawancara dengan petugas Balai TNGL menyebutkan bahwa
pertama kali inisiatif pembentukan Tangkahan dimulai pada akhir tahun 1999
dengan fokus desa sebagai basis pengamanan kawasan TNGL. Selanjutnya,
baru pada tanggal 22 April 2001 dibentuk Tangkahan Simalem Ranger yang
dilanjutkan dengan dikukuhkannya Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT)
pada 19 Mei 2001. MoU pertama antara Balai TNGL dengan LPT
ditandatangani pada 22 April 2002. Pengembangan ekowisata ditingkatkan
lagi setelah Indecon mendampingi proses mulai September 2002. Pola
pengamanan TNGL ditingkatkan dengan dibentuknya Conservation Response
Unit (CRU) bekerjasama dengan FFI pada Januari 2003 (Balai TNGL, 2014).
Kunjungan ke kawasan Tangkahan sampai saat ini terus meningkat
terutama dengan semakin dikembangkannya wisata gajah. Saat ini sedang
diuji coba safari gajah yang menembus Tangkahan – Bukit Lawang, dengan
waktu tempuh 4 hari 3 malam. Namun masih perlu dikaji potensi
pengembangannya dan sekaligus dampaknya, khususnya pada jalur-jalur
treking yang dilalui oleh gajah. Kawasan Tangkahan sampai saat ini
menawarkan pemandangan yang indah dan udara segar yang menyejukkan,
kombinasi dari vegetasi hutan hujan tropis dan topografi yang berbukit.
Keadaan ini mengakibatkan Tangkahan sebagai tempat yang ideal untuk
berwisata. Bagi orang Medan mendengar kata Tangkahan pasti akan
terngiang dengan “Gajah”. Hal ini karena Tangkahan dikenal sebagai tempat
pengelolaan gajah jinak yang bisa dikunjungi sebagai lokasi ekowisata.
Aktivitas Harian dan Pengelolaan Gajah Jinak…….. Wanda Kuswanda, S.P. Barus, dan A. Sukmana
67
Kawasan wisata gajah Tangkahan memiliki cerita yang sangat menarik,
yang telah menjadi inspirasi dan pembelajaran bagi para penggiat wisata dan
pelestarian alam di berbagai kawasan lindung di Indonesia. Tangkahan ini
dulunya merupakan salah satu titik pusat penebangan liar (illegal logging) di
kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Aktivitas illegal logging merupakan
pendapatan utama bagi masyarakat di hutan Tangkahan. Namun, dengan
berkembangnya ekowisata gajah di Tangkahan, aktivitas illegal logging bisa
dikurangi karena mata pencaharian masyarakat lebih banyak sebagai
penggiat ekowisata gajah di Tangkahan. Masyarakat membuka penginapan,
tempat makan, warung souvenir sampai menjadi pemandu para wisatawan
asing maupun lokal. Menurut Issac dan Wuleka (2012), pengembangan
ekowisata dapat merubah perilaku masyarakat yang sebelumnya merusak
lingkungan menjadi lebih memperhatikan kelestarian lingkungan karena ada
sumber pendapatan lain dari ekowisata yang memanfaatkan obyek
lingkungan di sekitar tempat tinggalnya.
Dalam pengelolaan gajah jinak untuk kepentingan konservasi dan
ekowisata, hal yang sangat perlu diperhatikan adalah tercukupinya makanan
dan luasan home range (Mahanani, 2012). Keberagaman karakteristik
ekosistem pada wilayah jelajah, seperti area penggembalaan akan semakin
meningkatkan keberagaman aktivitas gajah yang dapat dinikmati oleh
wisatawan (Winarno, 2015). Menurut kepala desa, pengembangan ekowisata
di Tangkahan sebelumnya adalah hanya sebatas menjual keindahan air terjun
dan keindahan sungai Tangkahan. Ekowisata di desa mereka terus
berkembang dengan adanya gajah di Tangkahan dan hampir setiap libur selalu
dikunjungi oleh turis mancanegara maupun wisatawan lokal. Masyarakat Desa
Namu Sialang merasa bersyukur dengan adanya pengembangan wisata gajah
di desa mereka yang dibantu oleh Kementerian Kehutanan, khususnya Balai
Besar TNGL. Masyarakat saat ini sudah tidak perlu lagi menebang kayu di
kawasan TNGL bahkan turut serta menjaganya karena mereka sudah
mendapatkan uang dengan semakin banyaknya wisatawan yang datang ke
Tangkahan. Namun menurut kepala desa masih perlu adanya perbaikan
sarana jalan karena sebagian jalan sudah rusak dan bertanah. Hampir 13 km
jalan menuju Tangkahan belum diaspal sehingga wisatawan sering mengeluh
dengan kondisi aksesibilitas menuju ke Tangkahan.
2. Kawasan Barumun Nagari Wildlife Sanctuary (BNWS).
Kawasan Barumun Nagari Wildlife Sanctuary (BNWS) merupakan salah
satu daerah pengelolaan gajah jinak yang terdapat di Sumatera Utara.
68
Kawasan ini merupakan lahan milik yang dimiliki oleh seorang warga di
Tapanuli Selatan (Bapak Salim). Kawasan untuk peruntukan pemeliharaan
dan ‘ngangon’ gajah diperkirakan mencapai 100 ha dari total seluruh kawasan
sekitar 800 ha. Kawasan BNWS berada di sekitar Desa Morang dan Desa Batu
Nanggar, Kecamatan Batang Onang, Kabupaten Padang Lawas Utara.
Kegiatan pemeliharaan gajah di kawasan ini sudah berjalan mulai dari awal
tahun 2016.
Kawasan BNWS dikelilingi oleh perkebunan sawit milik Keluarga Salim
maupun masyarakat lainnya di daerah Padang Lawas Utara. Pada kawasan
BNWS juga terdapat area Sanctuari Harimau Sumatera dan lokasi perawatan
siamang. Pada kawasan ini terdapat danau yang cukup potensial juga
dikembangkan sebagai kawasan ekowisata. Gajah jinak yang berada di
wilayah BNWS merupakan gajah yang didatangkan dari Holiday Resort dan
Pusat Latihan Gajah Aras Senapal, TNGL. Gajah yang dipelihara di BNWS
sebanyak 10 gajah, yang terdiri dari 3 jantan dewasa, 6 betina dewasa, dan
1 anak. Pada awal bulan November, Kawasan Barumun Nagari Wildlife
Sanctuary (BNWS) mendapatkan penambahan 2 ekor gajah sehingga saat ini
ada 12 gajah di Kawasan BNWS.
B. Perlakuan dan Aktivitas Harian Gajah
1. Kawasan Konservasi dan Ekowisata Gajah Tangkahan, Kabupaten Langkat
Berdasarkan pengamatan dan wawancara tentang perlakuan dalam
pemeliharaan gajah jinak di Tangkahan diperoleh informasi bahwa jumlah
gajah yang dikelola di Tangkahan saat ini berjumlah 10 ekor, yang terdiri dari
7 ekor dewasa dan 3 anak. Anak-anak gajah tersebut semuanya lahir pada
tahun 2015. Gajah-gajah tersebut dipelihara di kandang sosialisasi yang
dibatasi oleh ‘kabel elektrik’ yang dialiri oleh arus listrik dengan tegangan yang
rendah sehingga tidak membahayakan bagi manusia. Aliran listrik tersebut
hanya difungsikan untuk memberikan ‘efek terkejut’ pada gajah untuk
mengantisipasi gajah keluar atau berontak pada saat masa ‘emas’ atau masa
birahi. Kandang sosialisasi ini juga berfungsi sebagai sarana gajah untuk
melakukan aktivitas makan dan perilaku sosial seperti kondisi perilaku gajah
yang mengelompok pada alam liar (Duffy, 2014).
Aktivitas Harian dan Pengelolaan Gajah Jinak…….. Wanda Kuswanda, S.P. Barus, dan A. Sukmana
69
Gambar 2. Gajah pada kandang sosialisasi di Tangkahan
Hasil pengamatan dengan cara mengikuti aktivitas gajah di Tangkahan
diperoleh informasi tentang aktivitas harian gajah sebagai berikut :
a. Aktivitas Pukul 08.30 - 09.30
Pada pukul 08.30 gajah dikeluarkan dari kandang oleh para mahout yang
sekaligus berfungsi sebagai kandang sosialisasi dan kandang tambat. Gajah
kemudian langsung digiring ke sungai untuk membuang kotoran dan mandi.
Gajah sebelum dimandikan di sungai diberikan perintah berbaris di pinggir
sungai untuk membuang kotoran dan air kencingnya. Apabila kotoran belum
keluar maka mahout akan mengeluarkan kotoran dengan memasukkan
tangan ke dalam lubang kotorannya. Hal ini dilakukan untuk mengurangi
gajah membuang kotoran pada saat mandi di sungai sehingga tidak
mencemari air sungai.
Pada saat ada kunjungan wisatawan, para wisatawan diminta ikut serta
untuk memandikan gajah di sungai dan membersihkan kulit gajah dengan
sikat. Atraksi lain pada waktu memandikan gajah adalah gajah diperintahkan
untuk menyemprotkan air kepada pengunjung melalui belalainya. Hasil
pengamatan di lokasi pemandian, para wisatawan diberikan kesempatan
untuk memberi pakan gajah yang berupa pisang, tebu, dan buah-buahan
lainnya. Gajah di Tangkahan sudah terbiasa berinteraksi dengan pengunjung
sehingga aktivitas tersebut sangat mengesankan bagi pengunjung.
70
b. Aktivitas Pukul 09.30 - 11.30
Aktivitas gajah dari pukul 09.30-11.30 WIB adalah berupa mengantar
wisatawan untuk melakukan tracking dengan menunggangi gajah. Jalur
tracking berada di kawasan hutan dengan panjang sekitar 1,8 km. Pada saat
berangkat wisatawan menunggangi gajah dan pulangnya dijemput oleh mobil
atau kembali jalan kaki mengikuti atau menunggangi gajah. Pada saat
tracking di dalam hutan terdapat juga lokasi penggembalaan sebagai tempat
gajah untuk mencari dan mengkonsumsi pakan alami di hutan. Area
penggembalaan berada di sekitar jalur tracking gajah.
Aktivitas menunggangi gajah di Tangkahan masih dijadikan salah satu
paket wisata untuk para turis. Menurut pengelola Tangkahan, paket ini
merupakan salah satu paket yang menarik untuk dijual dengan harga mahal
bagi para turis. Walaupun para petugas menyadari bahwa paket wisata
tunggang gajah sudah menjadi pro kontra diantara para penggiat konservasi
satwa gajah. Oleh para penggiat konservasi, aktivitas ini dianggap sebagai
salah satu aktivitas yang mengeksploitasi satwa sehingga tidak layak untuk
dijadikan paket wisata.
c. Aktivitas Pukul 11.30 - 14.00
Pada siang hari gajah kembali ke lokasi wisata dan dimasukkan ke
kandang sosialisasi untuk diberi makanan. Makanan sehari-hari gajah
Tangkahan adalah pelepah sawit, tangkai jagung dan ditambah buah-buahan.
Setelah makan gajah disuruh istirahat di kandang gajah.
d. Aktivitas Pukul 14.00 - 15.30
Perlakuan pada gajah setelah makan siang biasanya kembali melakukan
tracking ke dalam hutan sambil ‘ngangon’ gajah untuk mencari makan di
hutan sebagai makan alami tambahan. Tracking gajah pada sore hari
dilakukan apabila ada turis/wisatawan yang ingin menunggangi gajah. Apabila
tidak ada wisatawan maka biasanya gajah dibiarkan di kandang untuk makan
dan istirahat.
e. Aktivitas Pukul 15.30 - 17.00
Gajah dimandikan kembali ke sungai dan merupakan paket wisata juga
seperti pada pagi hari.
f. Aktivitas Pukul 17.00 - 08.30
Setelah mandi sore gajah dimasukkan dan dibiarkan di kandang
sosialisasi tanpa diikat. Pengikatan gajah hanya dilakukan pada saat gajah
diberi makan agar tidak saling berebut dengan yang lainnya. Selebihnya gajah
Aktivitas Harian dan Pengelolaan Gajah Jinak…….. Wanda Kuswanda, S.P. Barus, dan A. Sukmana
71
dibiarkan bersosialisasi di kandang tanpa diikat rantai pada kakinya. Kandang
sosialisasi 10 gajah di Tangkahan mempunyai luasan sekitar 0,8 ha. Kandang
sosialisasi dibatasi dengan kabel yang dialiri arus listrik dengan voltase yang
rendah sehingga tidak membahayakan gajah dan manusia.
2. Kawasan Barumun Nagari Wildlife Sanctuary (BNWS).
Hasil wawancara dengan Kepala Mahout Gajah menyatakan bahwa
prinsip pengelolaan gajah di BNWS adalah menggunakan metode animal
welfare atau kesejahteraan satwa. Pengelolaan gajah yang dikembangkan
adalah memberikan kenyamanan dan kebebasan secara fisik, pencegahan
rasa sakit dan ketersediaan ruang sosialisasi bagi gajah dengan menyediakan
berbagai kebutuhan gajah, seperti area makan, tempat berlindung,
pemeliharaan kesehatan dan kebebasan dari tekanan manusia. Hasil
pengamatan perlakukan gajah yang dikelola oleh pihak BNWS dalam setiap
hari adalah sebagai berikut :
a. Pukul 08.00 - 09.00
Gajah diberi makan pertama pada pagi hari berupa pisang sekitar 2 sisir,
pepaya 3 buah dan tebu 5 batang untuk setiap ekor. Setelah itu gajah
dibiarkan secara alami untuk mandi pada kolam mandi. Gajah juga
diintruksikan untuk buang kotoran sebelum masuk kolam.
b. Pukul 09.00 - 16.00
Gajah secara alami dilepaskan dan tanpa diikat untuk mencari makan
secara mandiri pada area padang penggembalaan yang terdapat di sekitar
area BNWS. Mahout gajah hanya mengintruksikan gajah untuk menuju lokasi
‘ngangon’. Pada setiap hari lokasi ngangon berganti hal ini untuk menghindari
kejenuhan pada gajah dan sekaligus membiarkan gajah bergerak untuk
mencari makan seperti pada perilaku alaminya.
Selama proses ‘ngangon’ tugas mahout adalah mengawasi gajah agar
tidak sampai pada perkebunan masyarakat atau kemungkinan terjadi
perkelahian pada gajah-gajah yang diangon. Selama gajah diangon sangat
sedikit intervensi dari mahout. Untuk kebutuhan mandi di siang hari, kadang
gajah juga mengunjungi sungai-sungai yang berada di dalam kawasan BNWS.
c. Pukul 16.00 - 17.30
Pada sore hari setelah digembalakan untuk mencari makan sendiri maka
gajah disuruh kembali memasuki kandang tambat dan kandang sosialisasi.
Pada kandang sosialisasi gajah dibiarkan bergerombol untuk memenuhi
kebutuhan sosialnya seperti perilaku alami gajah. Pada sore hari, setelah
berada di kandang, diberi juga makanan tambahan untuk dikonsumsi pada
72
malam hari. Makanan tambahan yang diberikan dan dibiarkan dikonsumsi
sendiri oleh gajah diantaranya adalah pelepah sawit, jagung, dan pisang.
Pada sore hari gajah dibiarkan memasuki kolam untuk mandi
berdasarkan nalurinya sendiri, tidak ada jadwal tertentu agar gajah mandi di
sore hari. Berdasarkan hasil wawancara dengan mahout, sebelum masuk
kandang pada saat perjalanan menuju kandang sosialisasi terkadang gajah
mandi di sungai-sungai kecil yang berada di sekitar lokasi makan menuju
kandang sosialisasi.
d. Pukul 17.30 - 08.00
Gajah berada dikandang sosialisasi dan akan digembalakan kembali
seperti biasa di hari berikutnya. Aktivitas gajah pada malam hari di dalam
kandang sosialisasi adalah makan, mandi dan melakukan aktivitas sosial
lainnya.
Untuk mendukung tingkat kesejahteraan gajah, terdapat beberapa
perlakukan yang diterapkan pada gajah yang dipelihara di BNWS diantaranya
adalah :
a. Pemberian makanan suplemen yang dimasak 1 minggu sekali. Makanan
tambahan tersebut berupa dedak, gula merah, kacang hijau, beras merah,
dan asam jawa. Selain itu, makanan tambahan tersebut dicampur dengan
kunyit, kencur, jahe, dan lengkuas dengan rata-rata sebanyak 5 kg per
jenisnya. Makanan tersebut biasanya diberikan pada pagi hari sebelum
gajah diangon di padang penggembalaan.
b. Pengecekan kesehatan berupa pengecekan luka dilakukan setiap sore
terutama dilihat dari telinganya. Peluang luka sangat tinggi karena gajah
sering memasuki semak-semak untuk mencari makan dan bagian yang
paling rentan adalah telinganya.
c. Pemeriksaan kesehatan melalui pengambilan darah dilakukan setiap bulan.
Hasil pengamatan aktivitas harian dengan mengikuti beberapa individu
gajah pada saat gajah ‘diangon’, mulai dari pukul 09.00 - 16.00 menunjukkan
bahwa proporsi waktu yang paling tinggi digunakan oleh gajah umumnya
untuk mencari makan. Rata-rata 80% durasi aktivitasnya digunakan untuk
makan, 15% untuk bergerak dalam rangka mencari makan dan mengikuti
individu yang lain dan sisanya untuk mandi dan bersosialisasi.
Hal yang menarik saat pengamatan adalah ketika aktivitas induk gajah
untuk melindungi anaknya ketika merasa terganggu oleh kehadiran pengamat
karena menggunakan kendaraan mobil. Gajah dewasa berkumpul dan
melindungi anaknya ‘Lia’ agar tidak didekati oleh kami. Hal lain yang
Aktivitas Harian dan Pengelolaan Gajah Jinak…….. Wanda Kuswanda, S.P. Barus, dan A. Sukmana
73
ditemukan adalah gajah jinak yang dipelihara di BNWS akan mendekati
pengunjung terutama yang membawa tas. Perilaku ini merupakan perilaku
yang terbentuk pada gajah peliharaan karena kebiasaan melihat mahout
mengambil makanan dari tasnya, seperti pisang dan ubi kayu. Perilaku makan
lainnya adalah kekurangtertarikan gajah pada tanaman sawit yang berada di
sekitar area angonnya. Hal ini dimungkinkan karena masih banyaknya jenis
tumbuhan lain dan rumput-rumputan yang banyak di area padang
penggembalaannya.
Gambar 3. Aktivitas sosial gajah untuk melindungi anaknya di BNWS
Berdasarkan hasil wawancara dengan mahout ditemukan bahwa perilaku
gajah sudah mulai berubah dibandingkan ketika datang, terutama saat waktu
gajah mandi. Gajah yang ada di BNWS tidak ditentukan waktu mandinya,
seperti gajah di Tangkahan karena pada area kandang telah dibangun kolam
mandi. Mahout lebih membiarkan gajah mandi sendiri secara bebas dan
beberapa gajah biasa mandi juga pada malam hari.
Menurut hasil diskusi dengan mohout, hal yang perlu diperhatikan dalam
pemeliharaan gajah jinak adalah ketika masa ‘emas’ atau sedang dalam masa
birahi. Hal ini karena gajah dalam masa ‘emas’ sangat berbahaya dan tidak
bisa didekati oleh mahoutnya. Saat ini, di BNWS sedang dirancang kandang
khusus untuk memisahkan gajah terutama saat masa ‘emas’. Rancangan
pembangunan kandang ‘emas’ akan dibantu oleh seorang voulenter dari
74
Australia yang sudah berpengalaman dalam penanganan gajah di India dan
Afrika.
b. Perbedaan Pengelolaan Gajah di Tangkahan dan di BNWS
Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, terdapat beberapa perbedaan
perlakuan terhadap aktivitas harian gajah yang dikembangkan di Kawasan
Tangkahan dan BNWS seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Perbedaan pengelolaan gajah di Tangkahan dan BNWS
Pengelolaan Tangkahan BNWS
Tujuan
Utama
Ekowisata Konservasi
Populasi 10 ekor 12 ekor
Perlakuan Paket ekowisata berupa
menunggang gajah,
memandikan gajah,
memberi makan gajah
Melihat perilaku alami gajah,
seperti terlibat
menggembalakan gajah
Aktivitas
harian
Sudah terjadwal
08.30-09.30 : gajah
keluar
kandang dan
mandi di
sungai
09.30-11.30 : paket
tracking
11.30-14.00 : pemberian
makanan di
kandang
sosialiasasi
14.00-15.30 : paket
tracking
15.30-17.00 : gajah
dimandikan
di sungai
17.30-08.30 : gajah
dimasukkan
ke
kandang,
pemberian
Dibiarkan secara alami
08.00-09.00 : gajah keluar
kandang dan
dibiarkan
secara alami
untuk mandi
09.00-16.00 : gajah mencari
makan secara
mandiri pada
area
penggembalaan
16.00-17.30 : gajah kembali
ke kandang
17.30-08.00 : pemberian
makanan
tambahan dan
melakukan
aktivitas sosial
Aktivitas Harian dan Pengelolaan Gajah Jinak…….. Wanda Kuswanda, S.P. Barus, dan A. Sukmana
75
Pengelolaan Tangkahan BNWS
makanan,
melakukan
aktivitas
sosial
Uraian perbedaan berdasarkan tabel di atas adalah:
1. Prinsip pengelolaan gajah di Tangkahan lebih banyak untuk
mengembangkan paket ekowisata gajah dalam upaya untuk membantu
pendapatan masyarakat sekitar dan mengurangi aktivitas pencurian kayu
di dalam kawasan TNGL. Prinsip pengelolaan gajah di BNWS menggunakan
metode ‘animal walfare’ dimana gajah lebih dibiarkan mengembangkan
perilaku alaminya di hutan terutama pada saat ngangon di siang hari.
2. Pada Kawasan Tangkahan perlakuan terhadap gajah sudah terjadwal
secara tetap, seperti jadwal untuk mandi, untuk makan dan untuk
mengantar wisatawan ke dalam hutan. Hal ini sangat dipahami karena
prioritas model pengelolaan gajah di Tangkahan untuk tujuan
pengembangan ekowisata sehingga telah ada jadwal-jadwal perlakukan
terhadap gajah. Hal ini berbeda dengan perlakuan gajah yang dilakukan di
Kawasan BNWS dimana gajah lebih banyak dibiarkan secara alami baik
untuk mencari makan maupun mandi. Namun demikian pemberian
makanan pada kandang sosialisasi masih dilakukan oleh mahout terutama
pada pagi hari dan di malam hari.
3. Pada Kawasan Tangkahan masih menerapkan paket wisata ‘tunggang
gajah’ sedangkan untuk di kawasan BNWS tidak akan ada paket ‘tunggang
gajah’ saat wisatawan berwisata ke BNWS. Paket wisata yang akan lebih
dikembangkan di BNWS adalah mengajak pengunjung untuk melihat
perilaku gajah secara alami di alam tanpa intervensi dari mahout.
4. Pemenuhan pakan gajah di Tangkahan lebih banyak didatangkan dari luar
dengan cara membeli dari masyarakat melalui koperasi yang dikelola oleh
Lembaga Pariwisata Tangkahan sedangkan pemenuhan pakan bagi gajah
di BNWS adalah dengan cara membiarakan gajah mencari makan sendiri
di area ‘ngangon’ yang luasnya mencapai 100 ha.
5. Sarana dan prasarana pendukung kegiatan ekowisata di Tangkahan sudah
lengkap, seperti penginapan, warung souvenir dan lainnya karena
Tangkahan sudah dikelola sejak lama dan dilakukan secara profesional.
Pada kawasan BNWS kegiatan ekowisata belum banyak karena saat ini
masih dalam tahap persiapan, termasuk prasarana yang ada di dalamnya.
76
Pengelolaan masih dibawah pengelolaan Keluarga pemilik lahan. Saat ini
sedang dibangun juga “Kandang Mas” untuk mengantisipasi kemungkinan
gajah ‘ngamuk’ saat sedang birahi.
IV. KESIMPULAN
Aktivitas harian gajah di Tangkahan sudah terjadwal karena menerapkan
model pengelolaan gajah untuk destinasi wisata. Gajah mulai jam 08.30
dikeluarkan dari kandang, diberi makan kemudian mandi dan sampai pukul
12.00 membawa wisatawan tracking ke hutan. Siang hari gajah diberi makan
kembali dan melakukan aktivitas wisata kembali sampai jam 17.00 dan setelah
itu gajah dimasukkan ke dalam kandang. Aktivitas harian gajah di Barumun
Nagari Wildlife Sanctuary (BNWS) lebih dibiarkan melakukan aktivitas alami
karena model pengelolaan lebih menekankan pada prinsip animal walfare.
Gajah pada pagi hari, jam 08.00 di beri makan dan kemudian di ‘angon’
sampai sore hari, jam 17.00 kembali lagi ke kandang. Beberapa perbedaan
perlakuan gajah di Tangkahan dengan di BNWS diantaranya adalah : a)
pengelolaan gajah di Tangkahan lebih menekankan untuk paket wisata
sedangkan di BNWS menekankan pemenuhan kesejahteraan satwa, b)
aktivitas gajah di Tangkahan sudah terjadwal sedangkan di BNWS lebih bebas
di luar kendali mahout, c) pemenuhan pakan gajah di Tangkahan banyak
membeli dari masyarakat sedangkan di BNWS gajah lebih banyak dibiarkan
mencari makan sendiri dan d) di Tangkahan gajah masih ‘ditunggangi’
sebagai paket wisata sedangkan di BNWS mahout maupun pengunjung tidak
boleh menunggang gajah.
V. SARAN
1. Untuk lebih mendukung upaya konservasi gajah sebaiknya paket wisata
gajah di Kawasan Tangkahan hanya dilakukan pada pagi hari. Aktivitas
gajah pada siang sampai sore hari lebih difokuskan untuk digembalakan di
dalam hutan sambil melakukan partoli kawasan TNGL.
2. Prinsip pengelolaan gajah jinak di KHDTK Aek Nauli sebaiknya memadukan
antara pengelolaan gajah di Tangkahan untuk tujuan pengembangan
wisata dan pengelolaan di BNWS untuk mendukung program konservasi
gajah. Hasil informasi pengelolaan di dua lokasi pengelolaan gajah jinak
dapat dijadikan acuan untuk mengembangkan konservasi dan ekowisata
gajah di KHDTK Aek Nauli.
Aktivitas Harian dan Pengelolaan Gajah Jinak…….. Wanda Kuswanda, S.P. Barus, dan A. Sukmana
77
VI. UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Balai Penelitian dan
Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aek Nauli, Balai Besar
Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) dan Barumun Nagari Wildlife
Sanctuary (BNWS) yang telah memfasilitasi kegiatan penelitian ini dan kepada
rekan-rekan peneliti, teknisi Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Aek Nauli dan petugas lapangan BBTNGL dan BNWS
yang telah membantu seluruh kegiatan penelitian hingga selesainya tulisan
ini.
VII. DAFTAR PUSTAKA
Alikodra, H. S. (2010). Teknik Pengelolaan Satwa Liar dalam Rangka
Mempertahankan Keanekaragaman Hayati Indonesia. Bogor: Penerbit
IPB Press.
Balai Taman Nasional Gunung Leuser. (2009). Rencana Pengelolaan Jangka
Panjang Taman Nasional Gunung Leiser Periode 2010-2029. Direktorat
Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Kementerian
Kehutanan. Medan.
Turnage, C. and McGinley, M. (2010). Asian Elephant, dalam Hogan, C. M. and
Cleveland, C. J. (eds), Encyclopedia of Earth. Washington DC: National
Council for Science and the Environment.
Das, J. P., Lahkar, B. P., and Talukdar, B. (2011). Increasing trend of human
elephant conflict in Golaghat District, Assam, India: Issues and concerns.
Gajah, 37, 34-37.
De Mel, R. K., Weerakoon, D. K., Ratnasooriya, W. D. (2013). A comparison
of stereotypic behaviour in asian elephants at three different institutions
in Sri Lanka. Gajah, 38, 25–29.
Departemen Kehutanan. (2007). Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Gajah
Sumatera 2007-2017. Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
Departemen Kehutanan. Jakarta
Duffy R. (2014). Interactive elephants: Nature, tourism and neoliberalism.
Annals of Tourism Research, 44, 88–101.
Fernando, P., Jayewardene, J., Prasad, T., Hendavitharana, W., Pastorini, J.
(2011). Current status of Asian elephants in Sri Lanka. Gajah, 35, 93–
103.
Hayward, A. D., Mar, K. U., Lahdenpera, M., Lummaa, V., (2014). Early
reproductive investment, senescence and lifetime reproductive success
in female Asian elephants. J. Evol. Biol., 27, 772–778.
78
Issac, M. & Wuleka, K. C. J. (2012). Community-Based Ecotourism and
Livelihood Enhancement in Sirigu, Ghana. International Journal of
Humanities and Social Science, 2(18), 97-108. Retrieved from
http://www.ijhssnet.com/journals/ Vol_2_No_18_October_2012/12.pdf.
Kuswanda, W. 2012. Potensi dan strategi pengembangan ekowisata satwaliar
pada hutan konservasi (Studi kasus: Suaka Margasatwa Barumun,
Sumatera Utara). Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian ”Peran
Penelitian Kehutanan dalam Konservasi dan Rehabilitasi di Sumatera”.
Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam.
Mahanani, A. I. (2012). Strategi Konservasi Gajah Sumatera (Elephas
maximus sumatranus) di Suaka Margasatwa Padang Sugihan Provinsi
Sumatera Selatan Berdasarkan Daya Dukung Habitat. Tesis tidak
diterbitkan, Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.
Ritonga, T. A. (2012). Pemanfaatan Gajah Jinak dalam Kegiatan Conservation
Response Unit (CRU) di Tangkahan. Program Studi Kehutanan Fakultas
Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.
Thitaram, C. (2012). Breeding management of captive Asian elephants
(Elephas maximus) in range countries and zoos. J. Zoo Wild Med., 17,
91–96.
Winarno, G. D. (2015). Pengembangan Ekowisata Gajah di Taman Nasional
Bukit Barisan Selatan Propinsi Lampung. Tesis tidak diterbitkan. Sekolah
Pasca Sarjana, IPB, Bogor.
Pengelolaan Jasa Lingkungan Air di Desa Petanyamang …….. Nur Hayati
79
Pengelolaan Jasa Lingkungan Air di Desa Patanyamang, Kecamatan Camba, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi
Selatan1
Management of Water Environment Services in Patanyamang Village, Camba Sub-district, Maros District, South Sulawesi
Province
Nur Hayati2
ABSTRACT
Forests provide goods and services that have tangible and intangible benefits. One
of the intangible benefits of forests that are felt directly by the community is water
environmental services. The people of Patanyamang Village are very dependent
on the existence of the forest as a provider of water environmental services. They
have long used the environmental services of the water which come from the
Bantimurung Bulusaraung National Park area (Babul NP) as an electricity-
producing turbine player and to meet daily clean water needs. This study aims to
determine the management of water environmental services in Patanyamang
Village. Data collection was conducted through in-depth interviews with a number
of key informants using snowball sampling techniques. Data were analyzed using
qualitative descriptive. The results showed that water environmental services in
Patanyamang Village were used for Micro Hydro Power Plants (PLTMH) and
fulfilment of clean water needs. Management of water environmental services is
managed by groups formed by the village government. Turbine Generator Unit for
Micro Hydro Power Plant (UPT-PLTMH) is a community of users and managers of
MHP. While the community of users and clean water managers are named the
Management Agency for Water Supply and Sanitation Facilities (BP-SPAMS) Tana
Ridie. The integrated management of water environmental services in
Patanyamang Village is very important, to realize the management of water
1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya
Pelestarian Sumber Daya Alam, diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado dan SEAMEO BIOTROP, Manado 24 Oktober 2018.
2 Peneliti di Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar; Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 16,5 Makassar, 90243, telp. (0411) 554049; E-mail: [email protected]
80
environmental services in a sustainable and environmentally sound manner so
that forests are sustainable and the community is prosperous.
Keywords: environmental services, water, benefits, Micro Hydro Power Plants,
Bantimurung Bulusaraung National Park area
I. PENDAHULUAN
Hutan menyediakan barang dan jasa lingkungan yang mempunyai
manfaat tangible dan manfaat intangible (Mukhamadun, Efrizal & Tarumun,
2008). Jasa lingkungan merupakan produk sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya, potensi jasa lingkungan ini dapat dimanfaatkan tanpa merusak
lingkungan dan tidak mengurangi fungsi utamanya (Agustini, Dharmawan &
Putri, 2017). Ada beberapa jasa lingkungan yang memberikan manfaat
langsung maupun maupun manfaat tidak langsung yaitu jasa lingkungan air,
jasa wisata alam, kesuburan tanah, pengendalian erosi dan banjir, keindahan
dan keunikan alam, penyerapan, dan penyimpanan karbon (Isnan, 2016;
Soenarno, 2014).
Salah satu manfaat intangible dari hutan yang dirasakan langsung oleh
masyarakat Desa Patanyamang adalah jasa lingkungan air. Jasa lingkungan
air merupakan potensi sumberdaya kawasan yang dimanfaatkan oleh
masyarakat sekitar kawasan TN Babul (Hayati & Wakka, 2019). Air merupakan
kebutuhan mendasar makhluk hidup untuk mempertahankan
keberlangsungan hidupnya (Kasim, Midi, & Juliana, 2015). Peranan air bagi
kehidupan mahluk hidup dan lingkungan sangat penting dan merupakan
kebutuhan pokok (Sylviani, 2008). Masyarakat Desa Patanyamang
memanfaatkan jasa lingkungan air ini untuk pemenuhan kebutuhan sehari-
hari dan penggerak turbin penghasil listrik. Menurut Hayati & Wakka (2016),
sumber mata air di Desa Patanyamang mengalami penurunan kualitas dan
kuantitas pada musim kemarau. Beberapa titik mata air yang digunakan
seringkali mengalami kekeringan dan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro
(PLTMH) sering padam pada musim kemarau. Ketersediaan sumberdaya air
di wilayah hilir tergantung kepada upaya konservasi lingkungan yang
dilakukan di daerah hulu (Puatin, Izzati & Sudarno, 2014; Dasrizal et al.,
2012). Kondisi ini menyadarkan masyarakat Desa Patanyamang tentang arti
pentingnya hutan, sehingga hutan harus dilindungi, dijaga kelestariannya,
ditingkatkan fungsi dan kemanfaatannya. Menurut Lestari & Premono (2015),
kekhawatiran akan bahaya perubahan lingkungan menumbuhkan kesadaran
bagi masyarakat untuk tetap menanam pohon. Pemahaman masyarakat
Pengelolaan Jasa Lingkungan Air di Desa Petanyamang …….. Nur Hayati
81
tentang manfaat sumberdaya hutan terhadap kondisi hidrologis kawasan
menjadi kunci keberhasilan program konservasi sumberdaya hutan.
Masyarakat akan lebih memahami manfaat hutan melalui fungsinya sebagai
sumber air yang digunakan sebagai penggerak turbin penghasil listrik. PLTMH
ini cocok dikembangkan dan lebih terasa manfaatnya di daerah pedesaan
yang terpencil dan belum dialiri listrik dari perusahaan negara (Hayati, 2015).
Desa Patanyamang merupakan salah satu desa di dalam kawasan Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung (TN Babul) yang sudah dikeluarkan
(enclave) dari TN Babul. TN Babul merupakan daerah resapan air yang
memiliki aliran air bawah tanah yang keluar sebagai mata air yang melewati
goa-goa yang terdapat di dalam kawasan. Air yang berasal dari kawasan
taman nasional tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan air bersih,
pengairan lahan pertanian, perikanan, usaha cuci mobil, dan energi listrik
(Hayati & Wakka, 2016). Air yang dimanfaatkan untuk tenaga penggerak
turbin di Desa Patanyamang ini tidak terletak di kawasan TN Babul tetapi hulu
dari mata air tersebut berasal dari kawasan TN Babul. Sumber air yang
digunakan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari terletak di kawasan zona
khusus TN Babul. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengelolaan jasa
lingkungan air di Desa Patanyamang. Hasil penelitian ini diharapkan
memberikan gambaran tentang pengelolaan jasa lingkungan air yang ada
khususnya di kawasan TN Babul.
II. METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di Desa Patanyamang, Kecamatan Camba
Kabupaten Maros. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2018.
Gambar 1. Lokasi Penelitian (Sumber: Google Map, 2018)
82
B. Sumber dan Pengumpulan Sampel
Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh di lapangan Penelitian menggunakan metode observasi, studi
literatur dan wawancara mendalam (indept interview) dengan informan kunci
dengan menggunakan teknik snowball sampling. Snowball sampling
merupakan teknik pengambilan sampel dengan bantuan informan kunci, dan
dari informan kunci inilah akan berkembang sesuai petunjuknya. Menurut
Nurdiani (2014), identifikasi awal dimulai dari seseorang atau kasus yang
masuk dalam kriteria penelitian, kemudian berdasarkan hubungan keterkaitan
langsung maupun tidak langsung dalam suatu jaringan, ditentukan responden
berikutnya, demikian seterusnya sehingga proses sampling ini berjalan sampai
didapatkan informasi yang cukup dan jumlah sampel yang memadai dan
akurat untuk dapat dianalisis guna menarik kesimpulan penelitian.
C. Analisis data
Data dianalisis secara deskriptif kualitatif. Proses analisis data secara
deskriptif kualitatif adalah sebagai berikut (Subandi, 2011):
1. Tahap pertama dilakukan dengan cara membuat ringkasan data dan
membuat kerangka dasar penyajian data.
2. Tahap kedua adalah penyajian data yaitu penyusunan sekumpulan
informasi menjadi pernyataan yang memungkinkan penarikan kesimpulan.
Data disajikan dalam bentuk teks naratif yang merupakan jawaban
terhadap pertanyaan penelitian.
3. Tahap ketiga adalah penarikan kesimpulan. Penarikan kesimpulan
disesuaikan dengan pertanyaan penelitian dan tujuan dari penelitian ini.
Analisis deskriptif kualitatif ini digunakan untuk menggambarkan kondisi
lokasi dan pengelolaan jasa lingkungan air di Desa Patanyamang.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Patanyamang berasal dari bahasa “Dentong” (Makassar) yang terdiri dari
dua suku kata yaitu, Patang artinya memiliki dan nyamang artinya rasa
nyaman. Patanyamang merupakan desa yang sudah dienclave dari kawasan
TN Babul. Desa Patanyamang mempunyai luas wilayah seluas ±18,60 km2
yang terdiri atas tiga dusun, tiga RW dan sembilan RT. Patanyamang terletak
7.500 mdpl. Secara administratif batas-batas Desa Patanyamang, Kecamatan
Camba, Kabupaten Maros sebagai berikut : sebelah utara Desa Bentengnge
(Kecamatan Mallawa), sebelah selatan Desa Pattirodeceng, sebelah timur
Desa Barugae (Kecamatan Mallawa), sebelah barat Desa Bonto Birao
Pengelolaan Jasa Lingkungan Air di Desa Petanyamang …….. Nur Hayati
83
(Kabupaten Pangkep). Jarak Desa Patanyamang dari Kecamatan Camba 15
km ke arah utara dan 63 km dari ibu kota Kabupaten Maros. Sebagian besar
daerahnya masih sulit dijangkau karena berada di daerah pegunungan
dengan akses jalan tanah, berbatu, berbelok-belok, dan naik-turun.
Desa Patanyamang dihuni oleh 1.518 jiwa, 454 Kepala Keluarga (KK)
atau 1.200 jiwa belum memeroleh layanan listrik dari Perusahaan Listrik
Negara (PLN). Masyarakat menggunakan petromaks dan lampu minyak tanah
pada malam hari. Dampaknya, kegiatan masyarakat di malam hari menjadi
sangat terbatas. Keberadaan PLTMH di Desa Patanyamang membuat
masyarakat dapat menikmati listrik, walaupun hanya sebatas untuk lampu
penerangan saja.
Desa Patanyamang merupakan desa pertanian, 434 jiwa (29,3%)
penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Penggunaan tanah di
Desa Patanyamang sebagian besar diperuntukan untuk lahan pertanian
(sekitar 250 ha) dan perkebunan (sekitar 74 ha), pemukiman (sekitar 24 ha),
kawasan hutan (sekitar 829 ha) dan sedangkan sisanya untuk bangunan
fasilitas umum. Komoditas pertanian yang dominan ditanam oleh petani
adalah padi, kacang tanah dan jahe, sedang komoditas perkebunan adalah
kemiri dan cengkeh.
B. Pengelolaan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH)
Kebutuhan listrik di Desa Patanyamang terpenuhi melalui Pembangkit
Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) yang dibangun pada tahun 2004/2005.
Pembangunan mikro hidro ini merupakan inisiatif masyarakat sendiri.
Masyarakat melihat bahwa potensi aliran sungai-sungai yang deras dapat
dimanfaatkan sebagai PLTMH. Instalasi mikrohidro ini dibangun melalui
Program Pengembangan Kecamatan (PPK). Pada awalnya PLTMH ini hanya
bisa dimanfaatkan oleh sekitar 130 rumah, pada tahun 2018 jumlah
pelanggan PLTMH bertambah menjadi 270 rumah. Sebelum tahun 2018,
masyarakat Desa Patanyamang sangat tergantung dari PLTMH karena PLN
baru masuk ke Desa Patanyamang pada tahun 2018, ada sekitar 50 KK yang
sudah berlangganan PLN. Tetapi masyarakat tetap mengkombinasikan
pemakaian listrik dari PLTMH dengan PLN. Hal ini dikarenakan biaya listrik dari
PLTMH lebih murah dibandingkan listrik dari PLN. Masyarakat juga
memerlukan listrik secara kontinyu dari PLN untuk beberapa alat elektronik,
misalnya kulkas dan rice cooker, karena PLTMH hanya beroperasi dari jam
04.00 sore hari hingga jam 08.00 pagi, kecuali hari minggu dan jumat PLTMH
dioperasikan selama 24 jam.
84
Pada tahun 2006/2007 PLTMH ini dikembangkan kapasitasnya melalui
Microhydro Power Project (MHPP). Mikro hidro ini dibangun dengan
menggunakan Alokasi Dana Desa (ADD), dana Unit Pelaksana Teknis (UPT)
dan swadaya masyarakat. Daya turbin yang dimiliki sebesar 40 kW, tetapi
daya maksimal yang dapat didistribusikan ke rumah pelanggan adalah 32 kW
(Hayati & Wakka, 2016).
Tantangan yang dihadapi oleh pengelola turbin adalah biaya yang
diperlukan untuk mengelola dan menjaga keberlanjutan PLTMH tersebut
tidaklah sedikit. Pengelola turbin pada waktu itu belum mempunyai
mekanisme pengelolaan yang baik untuk menjaga keberlanjutan pasokan
listrik, sehingga pada tahun 2007, berdasarkan musyawarah desa, disepakati
tata kelola penggunaan listrik desa yang berlaku bagi seluruh masyarakat
desa, Pengelolaan PLTMH dikoordinasi oleh Unit Pengelola Turbin (UPT) dan
dikuatkan dengan regulasi di tingkat desa. Pemerintah Desa Patanyamang
telah mengeluarkan Peraturan Desa Patanyamang Kecamatan Camba
Kabupaten Maros Nomor : 03 Tahun 2007 tentang Pengelolaan, Pemeliharaan
dan Pengembangan Listrik Desa Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro.
Peraturan desa ini menaungi pengelolaan fasilitas umum, dalam hal ini
PLTMH, melalui UPT yang mandiri dan berkelanjutan. Dana iuran lebih
terjamin keberlanjutannya, dana tersebut bisa digunakan untuk memenuhi
kebutuhan warga, antara lain untuk kegiatan usaha, pendidikan, musibah,
dengan jasa pengembalian yang rendah (15% per tahun).
UPT diberi tugas untuk mengelola dan memelihara PLTMH. Untuk
melaksanakan peraturan desa tersebut, masyarakat menyusun dan
menyepakati AD/ART yang mengatur biaya pemasangan, jumlah titik lampu
dan fitting untuk tiap pelanggan, besarnya iuran bulanan, pembatasan alat
elektronik yang boleh digunakan, beban biaya alat elektronik, serta tanggal
pembayaran iuran. Setiap kepala keluarga (KK) pemanfaat listrik dikenakan
iuran antara Rp18.000,00/bulan sampai Rp40.000,00/bulan, tergantung
pemakaian. Biaya tambahan dikenakan untuk peralatan elektronik tambahan
seperti kulkas, televisi, kipas angin, dan lain-lain. Pemakaian dibatasi sampai
100 watt.
Pihak pengelola turbin melakukan pengaturan pemadaman secara
bergilir di tiga jalur yang ada dan membangun bak penampung air untuk
menjaga pasokan listrik secara berkelanjutan dan mengatasi keterbatasan
daya yang terjadi saat musim kemarau karena debit air sungai berkurang. Ada
sanksi bagi pemanfaat yang melanggar peraturan dijalankan sesuai AD/ART
secara konsisten, hingga pemutusan jaringan.
Pengelolaan Jasa Lingkungan Air di Desa Petanyamang …….. Nur Hayati
85
Pada tahun 2008, Patanyamang menjadi iklan Program Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) listrik desa. PNPM merupakan salah satu
mekanisme program pemberdayaan masyarakat dalam upaya mempercepat
penanggulangan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja di wilayah
perdesaan. PNPM Mandiri Perdesaan mengadopsi sepenuhnya mekanisme
dan prosedur Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang telah
dilaksanakan sejak 1998.
Desa memiliki tenaga terlatih untuk mengoperasionalkan, merawat, serta
memperbaiki turbin dan jaringan. Sarana PLTMH dapat dikembangkan
menjadi area yang mempunyai nilai jual sehingga dapat memberikan
kontribusi bagi Pendapatan Asli Desa (PAD). Pengelola PLTMH adalah sebuah
organisasi yang mengoperasikan PLTMH, memelihara, melakukan
pengelolaan administrasi dan melaksanakan kegiatan lain yang berhubungan
dengan operasi PLTMH. Pengelola PLTMH terdiri dari pembina, ketua,
sekretaris, bendahara dan operator. Pengelola PLTMH dipilih oleh masyarakat
secara musyawarah mufakat dan setiap tahun dilakukan evaluasi terhadap
kinerja pengelola PLTMH. Pengurus baru dipilih jika pengurus lama tidak
mampu lagi menjalankan tugasnya atau melakukan penyelewengan tanggung
jawab.
Pengelolaan PLTMH dilakukan dengan sistem penggajian/pemberian
honorarium bulanan kepada pengelola dan operator PLTMH. Pengurus berhak
menerima honorarium bulanan. Honorarium pembina, ketua, sekretaris,
bendahara dan operator dapat ditentukan sesuai jumlah iuran bulanan
pelanggan yaitu 50% dari jumlah total iuran bulanan yang masuk pada bulan
berjalan. Honor untuk operator harus mempertimbangkan dengan tugas-
tugasnya. Dana kas UPT yang tersimpan di rekening bank sejak tahun 2004
sampai tahun 2018 sebesar Rp111.000.000,00.
Dasar perhitungan tarif listrik harus mampu menutup biaya operasional
dan biaya pemeliharaan. Tarif yang bertetapkan sekarang adalah untuk
pemakaian lampu jatah setiap pelanggan adalah 30 watt dengan jumlah tarif
pembayaran Rp15.000,00. Tarif pembayaran pemakaian pesawat televisi
adalah berdasarkan besarnya watt televisi pelanggan, yaitu Rp180,00/watt.
Penarikan iuran listrik dilakukan setiap bulan dari tanggal 1 hingga tanggal 15
bulan berjalan. Penarikan dilakukan pada awal bulan, contoh: pemakaian
bulan Januari ditagihkan pada bulan Februari. Penarikan iuran dilakukan di
kantor UPT. Jika pelanggan telat membayar pada bulan pertama, maka denda
dikenakan sebesar 5% dari biaya beban. Jika pelanggan menunggak 2 bulan
berturut-turut maka denda dikenakan sebesar 25% dari biaya beban. Jika
86
pelanggan tidak membayar tagihan 3 bulan berturut-turut maka sambungan
listrik diputus sama sekali dan untuk menyambung kembali maka pelanggan
harus melunasi semua tunggakannya.
Pada musim kemarau PLTMH di Desa Patanyamang sering padam.
Kondisi ini yang menyebabkan masyarakat merasakan arti pentingnya hutan
sebagai pengatur dan penyedia air. Aliran sungai yang dimanfaatkan untuk
penggerak turbin tersebut berada di luar kawasan taman nasional namun
sungai tersebut berhulu dari kawasan taman nasional sehingga menurut
Hayati & Wakka (2016), keberadaan mikro hidro ini dapat menyadarkan
masyarakat bahwa kawasan hutan itu penting sebagai penyedia air yang
dapat digunakan sebagai penggerak turbin penghasil energi listrik. Tingkat
kesadaran masyarakat Desa Patanyamang terhadap pentingnya hutan sangat
tinggi hal ini ditunjukkan dari sikap masyarakat yang turut menjaga hutan di
sekitar sumber mata air dengan menanam tanaman kayu dan tidak menebang
kayu di kawasan hutan.
Gambar 1. Kondisi Desa Patanyamang sebagai desa mandiri energi
C. Pengelolaan air untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari
Ketersediaan air untuk kebutuhan sehari-hari merupakan masalah
mendasar pemenuhan kebutuhan air di seluruh dunia (Wardah & Farsia,
Pengelolaan Jasa Lingkungan Air di Desa Petanyamang …….. Nur Hayati
87
2013). Pemanfaatan sumberdaya air merupakan salah satu target yang harus
dicapai oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam rangka
memenuhi kebutuhan air sehari-hari (Rismunandar, C. Kusmana, & L.
Syaufina, 2016). Pemanfaatan air untuk kebutuhan air di Desa Patanyamang
Kabupaten Maros difasilitasi oleh PAMSIMAS (Penyediaan Air Minum dan
Sanitasi berbasis Masyarakat). Pamsimas merupakan salah satu program
nasional untuk meningkatkan akses penduduk perdesaan dan peri urban
terhadap fasilitas air minum dan sanitasi yang layak dengan pendekatan
berbasis masyarakat (Natsir, 2015). Pada saat awal pembangunan bak dan
saluran air, masyarakat calon pengguna air tersebut dilibatkan secara
langsung dalam pembangunan saluran air tersebut dengan cara gotong
royong (swakarya) dan masyarakat berkontribusi dalam menyediakan dana
incash yang dikumpulkan secara sukarela kepada calon pengguna air
tersebut. Masyarakat berkontribusi sesuai kemampuan berkisar antara
Rp50.000,00 – Rp200.000,00 per KK. Pengelolaan air tersebut dikelola oleh
Badan Pengelola Sistem Penyediaan Air Minum dan Sanitasi (BP-SPAM) Desa
Patanyamang Kecamatan Camba, Kabupaten Maros. BP-SPAMS di Desa
Patanyamang ini diberi nama BP-SPAMS Tana Ridie.
BP-SPAMS Tana Ridie dimulai sejak tanggal 24 Juli 2015. BP-SPAMS
Tana Ridie adalah lembaga yang mengelola air bersih kepada masyarakat. BP-
SPAMS Tana Ridie bertujuan untuk mensukseskan pelayanan dan penyediaan
air bersih dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara
umum dan membangun kesadaran masyarakat terhadap masalah lingkungan.
Bangunan fisik BP-SPAMS terdiri atas beberapa komponen yaitu Penangkap
Mata Air (PMA), reservoir, pipa distribusi dan kran umum. Bangunan tersebut
dibangun melalui program PAMSIMAS II tahun 2014 sebesar
Rp287.500.000,00 dan swadaya masyarakat kurang lebih Rp57.500.000,00.
Pemanfaatan air untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari di Desa
Patanyamang sudah memeroleh izin pemanfaata air dari pihak TN. Babul,
dengan diterbitkannya SK. Kepala Balai TN. Babul No. SK. 34/BTNBABUL-
1/2016 tanggal 14 Januari 2016 tentang Izin Pemanfaatan Air (IPA) non
komersial. Izin pemanfaatan ini berlaku selama tiga tahun dan bisa
diperpanjang. Hasil pengukuran debit air di sumber mata air diperoleh debit
air di lokasi izin sebesar 0,75 liter/detik. Sumber mata air yang dimanfaatkan
oleh masyarakat Desa Patanyamang ini terletak di zona khusus.
88
Gambar 2. Sumber air untuk pemenuhan kebutuhan air bersih
Pengelolaan kebutuhan air bersih di Desa Patanyamang diatur dalam
Peraturan Desa Patanyamang Kecamatan Camba Kabupaten Maros Nomor 05
Tahun 2017 Tentang Pengelolaan dan Pemeliharaan Air Bersih pada Badan
Pengelola Sarana Air Bersih dan Sanitasi ( BP-SPAMS) Tana Ridie.
BP-SPAMS adalah sebuah organisasi pendistribusian air bersih kepada
masyarakat, memelihara dan melakukan pengelolaan administrasi. BP-SPAMS
terdiri dari pembina, ketua, sekretaris, bendahara, seksi teknik, seksi
kesehatan, dan seksi pemberdayaan.
Gambar 3. Struktur organisasi BP-SPAMS Tana Ridie
Berdasarkan Anggaran Dasar dan Rumah Tangga BP-SPAMS Tana Ridie
ketua BP-SPAMS berkewajiban untuk merencanakan garis besar kegiatan
kepengurusan BP-SPAMS seperti rapat rutin, rapat tahunan, pelaporan dan
lain-lain, memberikan penjelasan masalah BP-SPAMS kepada pelanggan,
Ketua Pembina
Kepala desa
Bendahara
Seksi
Pemberdayaaan Seksi Kesehatan Seksi Teknik
Sekretaris
Pengelolaan Jasa Lingkungan Air di Desa Petanyamang …….. Nur Hayati
89
merencanakan pengembangan usaha BP-SPAMS, mempertanggungjawabkan
hasil kerja pengurus kepada pelanggan, merencanakan pengeluaran dan
penerimaan BP-SPAMS dan merencanakan pengembangan dan pelayanan air
minum bersama masyarakat pelanggan.
Sekretaris BP-SPAMS berkewajiban untuk merencanakan acara rapat
bersama ketua BP-SPAMS dan pihak lain, mencatat semua keputusan dalam
rapat, mengarsipkan semua hasil keputusan disetiap rapat, mencatat dan
mengarsipkan surat masuk dan surat keluar dan menyimpan dokumentasi
kegiatan yang ada.
Bendahara BP-SPAMS berkewajiban untuk mencatat semua bahan
perencanaan BP-SPAMS (pengeluaran dan pemasukan uang) baik bulanan
maupun tahunan, mengeluarkan uang dengan persetujuan ketua dari bank,
menyimpan bukti-bukti pembayaran atau pengeluaran sebagai bahan laporan,
membuat laporan keuangan dan menerima dan menyimpan iuran bulanan
Seksi teknis berkewajiban untuk melakukan pemeriksaan bangunan
secara rutin, membersihkan PMA dan reservoir, melakukan pemasangan pipa
distribusi ke rumah pelanggan, melakukan pemeriksaan secara rutin terhadap
sambungan pipa distribusi sampai ke rumah pelanggan .
Pengurus berhak menerima honorarium bulanan. Honorarium pembina,
ketua, bendahara dan seksi teknik ditentukan sesuai jumlah iuran bulanan
pelanggan, yaitu 50% dari jumlah total iuran bulanan yang termasuk pada
bulan berjalan. Pengurus wajib menarik iuran secara teratur kepada para
pelanggan. Pengurus wajib menyimpan dana untuk keadaan darurat dan
perbaikan. Pengurus wajib mengelola BP-SPAMS secara professional untuk
mencapai tujuan. Pengurus wajib memberikan pelayanan air secara adil.
Pengurus wajib membuat dan menyampaikan laporan pertanggung-jawaban
kepada pelanggan.
Keberadaan BP-SPAMS adalah sangat penting, pasca pelaksanaan
kegiatan atau pembangunan sarana air minum dan sanitasi dari program
PAMSIMAS. BP-SPAMS ini diharapkan bisa menjalankan tugas dan fungsinya
dengan baik dalam mengelola sarana yang telah dibangun dan bahkan
mengembangkannya, hingga warga sekitar bisa menikmati air bersih dan
sanitasi semua.
90
Gambar 4. Pemasangan meteran dan instalasi air
Dasar perhitungan tarif air adalah tarif harus mampu menutupi biaya
operasional dan biaya pemeliharaan. Tarif air yang berlaku pada saat ini
sebesar Rp2.000,00 per mᶟ dan uang beban Rp5.000,00 per pelanggan. Uang
beban ini rencananya digunakan untuk biaya penggantian meteran air yang
rusak karena tekanan air yang besar yang menyebabkan meteran tersebut
rusak.
Penarikan iuran air untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari dilakukan
setiap bulan dari tanggal 1 hingga 15 bulan berjalan. Penarikan dilakukan
pada awal bulan, misalnya pemakaian bulan Januari ditagih pada bulan
Februari. Penarikan iuran dilakukan di sekretariat BP-SPAMS. Jika pelanggan
tidak membayar tiga bulan berturut-turut maka sambungan air diputus sama
sekali dan untuk menyambung kembali maka pelanggan harus melunasi
semua tunggakannya.
Dana hasil iuran bulanan dan iuran harus disimpan di bank. Rekening
bank harus diatasnamakan Lembaga pengelola dan bukan perseorangan.
Rekening bank harus ditanda tangani oleh dua orang yaitu ketua dan
bendahara. Penggunaan dana harus berdasarkan perencanaan pengeluaran
yang disusun oleh tiap bagian kepengurusan BP-SPAMS. Sekretaris harus
menyusun rencana pengeluaran untuk bidang kesekretariatan. Bendahara
menyusun rencana pengeluaran dan pendapatan total BP-SPAMS baik
tahunan maupun bulanan. Dana kas yang tersimpan di bendahara dari tahun
2015 sampai tahun 2018 ini sebesar Rp3 juta.
BP-SPAMS Tana Ridie merupakan satu-satunya lembaga yang mengelola
air bersih di Desa Patanyamang dengan misi pengelola air bersih kepada
masyarakat yang harus dikelola secara baik atas prinsip ekonomi dengan tetap
memperhatikan fungsi sosial kemasyarakatan. BP-SPAMS ini beroperasi
selama 24 jam, kecuali ada kerusakan. Sejak tahun 2015-2018 terjadi
penambahan pelanggan dari 32 pelanggan menjadi 37 pelanggan yang sudah
Pengelolaan Jasa Lingkungan Air di Desa Petanyamang …….. Nur Hayati
91
memanfaatkan air dari BP-SPAMS ini, sebetulnya masih banyak masyarakat
yang berkeinginan untuk berlangganan tetapi terkendala oleh panjang pipa
induk sehingga perlu penambahan panjang pipa induk. Kendala yang sering
dihadapi oleh pengurus adalah rusaknya meteran air, dikarenakan besarnya
debit air yang mengalir ke kran walaupun hanya mengandalkan gaya gravitasi
untuk mengalirkan air dari sumber air ke rumah pelanggan. Biaya kerusakan
materan air ini ditanggung oleh BP-SPAMS.
IV. KESIMPULAN
Masyarakat Desa Patanyamang memanfaatkan air yang berasal dari hulu
kawasan TN Babul sebagai penggerak turbin penghasil listrik. PLTMH ini
dikelola oleh Unit Pembangkit Turbin Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro
(UPT-PLTMH). Pengelolaan, pemeliharaan dan pengembangan listrik desa
PLTMH, diatur dalam Peraturan Desa Patanyamang Nomor 03 Tahun 2007.
Masyarakat Desa Patanyamang memanfaatkan sumber air yang berasal
dari zona khusus TN Babul untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari.
Masyarakat pemakai dan pengelola air bersih ini diberi nama Badan Pengelola
Sarana Penyediaan Air Minum dan Sanitasi (BP-SPAMS) Tana Ridie.
Pengelolaan kebutuhan air bersih di Desa Patanyamang diatur dalam
Peraturan Desa Patanyamang Nomor 05 Tahun 2017.
V. SARAN
Pengelolaan jasa lingkungan air di Desa Patanyamang secara terpadu
sangat penting dilakukan, untuk mewujudkan pengelolaan jasa lingkungan air
secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan sehingga hutan lestari dan
masyarakat sejahtera. Masyarakat dan pihak TN. Babul harus berkolaborasi
dalam memelihara dan menjaga hutan tetap lestari supaya sumberdaya air
tetap kontinyu keberadaanya, misalnya melalui kegiatan penanaman bersama
beberapa jenis tanaman yang mempunyai kemampuan menyimpan air di
sekitar sumber/mata air dan melakukan patroli bersama dengan masyarakat
untuk menjaga hutan.
VI. UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis menyampaikan terimakasih kepada Balai Penelitian dan
pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar yang telah
mendanai kegiatan penelitian ini. Terimakasih kami sampaikan kepada Bapak
Abd. Kadir W, Bapak Zainuddin dan Bapak Supardi yang telah membantu
dalam pengumpulan data di lapangan, teman-teman PEH di TN. Babul yang
telah mendampingi dalam pengumpulan data dan meluangkan waktu untuk
92
berdiskusi serta memberikan informasi data sekunder yang mendukung
kegiatan penelitian ini. Terimakasih juga kami disampaikan kepada semua
responden atas kesediaannya untuk diwawancarai.
VII. DAFTAR PUSTAKA
Agustini, S., Dharmawan, A. H. & Putri, E. I. K. (2017). Kontribusi hutan nagari
pada struktur nafkah dan ekonomi pedesaan: Studi kasus Di Padang
Pariaman. Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan, 1(1), 138-147.
Dasrizal, Ansofino, Juita, E., & Jolianis. (2012). Model sistem pembayaran jasa
lingkungan dalam kaitannya dengan konservasi sumberdaya air dan
lahan: studi kasus pada Batang Anai Sumatera Barat. Economica, 1(1),
20-41.
Hayati, N. (2015). Bisnis energi listrik tenaga mikrohidro berbasis masyarakat
di sekitar kawasan TWA Lejja Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan,
dalam Pratiwi, Gintings, A. N., Sundawati, L., & Suryanto, P. (Eds.),
Prosiding Workshop Nasional Pengembangan Mata Pencaharian
Alternatif untuk Masyarakat Lokal dalam Upaya Adaptasi Perubahan Iklim
(p. 195–205). Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Badan
Penelitian dan Pengembangan Hutan.
Hayati, N & Wakka, A. K. (2019). Peran stakeholder dalam implementasi imbal
jasa lingkungan air di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung,
Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Sosial dan
Ekonomi Kehutanan, 16(2), 137-149.
Hayati, N., & Wakka, A. K. (2016). Valuasi ekonomi manfaat air di Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung, Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian
Sosial Dan Ekonomi Kehutanan, 13(1), 47–61.
Isnan, W. (2016). Harga optimal tiket masuk Wisata Alam Bantimurung,
Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 13(3),
155-163.
Kasim, S., Midi, L. O., & Juliana. (2015). Valuasi jasa lingkungan hidrologis
hutan produksi Desa Lakomea Kecamatan Landono Kabupaten Konawe
Selatan. Ecogreen, 1(2), 25–38.
Lestari, S & Premono, B. T. (2015). Kearifan lokal masyarakat dalam menjaga
kelestarian sumber air bersih di Desa Ngalam Baru, Kecamatan Gumay
Talang, Provinsi Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Nasional Restorasi
DAS: Mencari Keterpaduan di Tengah Isu Perubahan Iklim (p.639-648).
Surakarta: BPTKPDAS.
Pengelolaan Jasa Lingkungan Air di Desa Petanyamang …….. Nur Hayati
93
Mukhamadun, Efrizal, T. & Tarumun, S. (2008). Valuasi ekonomi Hutan Ulayat
Buluhcina Desa Buluhcina Kecamatan Siak Hulu Kabupaten Kampar.
Journal of Environmental Science, 3(2), 55-73.
Natsir, M. (2015). Petunjuk Teknis Hibah Khusus Pamsimas (HKP) Program
Pamsimas (PT-1.3). Jakarta.
Nurdiani, N. (2014). Teknik sampling snowball dalam penelitian lapangan.
Comtech, 5(9), 1110-1118.
Puatin, S., Izzati, M., & Sudarno (2014). Strategi konservasi sumberdaya air
di Desa Regunung, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang. Jurnal
Ilmu Tanah dan Agroklimatologi, 11 (2), 104-112.
Rismunandar, Kusmana, C. & Syaufina, L. (2016). Strategi kebijakan
pemanfaatan jasa lingkungan air secara berkelanjutan di Taman Nasional
Gunung Ciremai Kuningan-Jawa Barat. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya
Alam dan Lingkungan, 6(2), 187-199.
Soenarno, S. M. (2014). Pembelajaran materi jasa lingkungan. Jurnal
Formatif, 4(2), 150-156.
Subandi. (2011). Deskripsi kualititatif sebagai satu metode dalam penelitian
pertunjukan. Harmonia: Jurnal Pengetahuan Dan Pemikiran Seni, 11(2),
17-179.
Sylviani. (2008). Kajian distribusi biaya dan manfaat hutan lindung sebagai
pengatur tata air. Jurnal Penelitian Sosial Dan Ekonomi Kehutanan, 5(2),
95-109.
Wardah & Farsia, L. (2013) Penerapan imbal jasa lingkungan dalam
pelestarian daerah aliran sungai di Aceh. Kanun Jurnal Ilmu Hukum, 59
(15), 115-129.
Biomassa dan Cadangan Karbon di Hutan Mangrove ……..
Hadijah Azis Karim, Andi Rosdayanti, Afandi Ahmad
95
Biomassa dan Cadangan Karbon di Hutan Mangrove: Studi Kasus Teluk Bone, Kota Palopo1
Biomass and Carbon Stock at Mangrove Forest: Case Study
Bone Bay, Palopo City
Hadijah Azis Karim2, Andi Rosdayanti2, dan Afandi Ahmad2
ABSTRACT
Mangrove ecosystem at Bone Bay is one of the important coastal ecosystems that
need to be managed and utilized with the application of the principle of
sustainability. Conversion of mangrove ecosystem at Bone Bay is increasing, due
to development area and fishpond. The main objective of this research is to
analyze the potential of biomass and carbon stock and analysis of mangrove
species composition at Bone Bay. Method of this study carried out by making an
sampling plot with systematic sampling with random start technique. Data
collected in this study include primary data regarding mangrove species, tree
diameter and height. Other types of data are secondary data, regarding wood
density and allometric equations of mangrove species. The results of this study
showed that species at Bone Bay consist of Rhizophora mucronata, Rhizophora
apiculata, Rhizopora spp., Xylocarpus granatum, Sonneratia alba and Avicenia
marina. Rhizopora mucronata type which is a type of mangrove vegetation in
Songka Village which has the highest relative density and density of 555.2
individuals /ha and 41.707%. While the Sonneratia alba type has a relative density
and density value of 0.694 individuals/ha and 69.353%, the frequency and
frequency values are 0.889 and 50% respectively in the Temmalebba Village. For
average above-ground carbon stock in the mangrove forest of Songka Village is
113.2 tons/ha with a range between 4.1 - 202.3 tons/ha. While in Temmalebba,
the amount of carbon stock is 62.2 tons/ha with a range of 48.1 - 76.4 tons/ha
Keywords: Biomass Potential, Carbon Reserves, Mangrove Ecosystems, Bone Bay 1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya
Pelestarian Sumber Daya Alam, diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado dan SEAMEO BIOTROP, Manado 24 Oktober 2018. 2 Fakultas Kehutanan, Universitas Andi Djemma, Jl. Anggrek CC Non Blok, Kota Palopo; E-mail :
96
I. PENDAHULUAN
Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem hutan yang
memiliki fungsi yang sangat kompleks bagi kawasan pesisir. Sebagai salah
satu tipe ekosistem hutan, ekosistem hutan mangrove memiliki peran yang
penting dalam usaha mitigasi perubahan iklim khususnya wilayah pesisir
(Murdiyarso et al. 2015). Komiyama et al. (2008) menyatakan bahwa hutan
mangrove tropis memiliki kemampuan menyerap dan menyimpan karbon
yang sangat tinggi. Sehubungan dengan hal tersebut, peran ekosistem hutan
yang saat ini masih menjadi fokus kajian dunia, salah satunya adalah sebagai
penyerap dan penyimpan cadangan karbon dalam bentuk biomassa vegetasi.
Biomassa hutan berperan penting dalam siklus biogeokimia terutama dalam
siklus karbon. Dari keseluruhan karbon hutan, sekitar 50% diantaranya
tersimpan dalam vegetasi hutan. Jumlah karbon tersimpan setiap lahan
berbeda-beda, tergantung pada keragaman dan kerapatan tumbuhan yang
ada, spesies tanahnya serta cara pengelolaannya. Biomassa vegetasi hutan
dapat tersimpan di atas permukaan tanah (aboveground biomass) atau di
bawah permukaan tanah (belowground biomass) (Kotowska, 2015). Selain
sebagai penyerap dan penyimpan karbon, hutan juga dapat menjadi emitter
karbon (Murdiyarso et al. 2009). Terjadinya konversi tutupan hutan menjadi
non hutan, maka akan menyebabkan karbon yang tersimpan teremisi ke
atmosfir.
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang telah
meratifikasi konvensi perubahan iklim sejak tahun 1992 (Nurtjahjawilasa et al.
2013). Indonesia terus berupaya memperbaharui data, informasi serta skema
pengelolaan hutan untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari dalam
rangka adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim global. Sektor
kehutanan merupakan salah satu sektor yang berkontribusi terhadap emisi
gas rumah kaca di atmosfir (FAO, 2010; Nurtjahjawilasa et al., 2013).
Berbagai kajian mengenai potensi cadangan biomassa dan karbon
tersimpan di ekosistem mangrove telah dilaksanakan. Bismark et al. (2008)
menyebutkan bahwa potensi biomassa di ekosistem mangrove Cagar Biosfer
Siberut yakni sebesar 49,13 ton/ha (24,56 ton C/ha). Penelitian lainnya yang
dilakukan oleh Feliciano et al. (2014) menyimpulkan bahwa biomassa yang
terkandung dalam pohon mangrove berkisar antara 3,9 – 31,3 kg per individu
pada tingkat pancang dan mencapai 1,7 ton per pohon pada tingkat pohon.
Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Murdiyarso et al. (2015)
menyebutkan bahwa cadangan karbon mangrove di Indonesia tertinggi
(1,082 ton/ha) di antara karbon mangrove yang ada di Thailand dan Vietnam.
Biomassa dan Cadangan Karbon di Hutan Mangrove ……..
Hadijah Azis Karim, Andi Rosdayanti, Afandi Ahmad
97
Namun, seiring banyaknya penelitian potensi cadangan tersebut, luas hutan
magrove pun semakin berkurang. Deforestasi mangrove tercatat sebesar 6%
dari total kehilangan hutan tahunan oleh Kementrian Kehutanan pada tahun
2014, yaitu setara dengan 0,05 Mha (juta hektar). Deforestasi ini disebabkan
adanya pengembangan pembangunan dan alih fungsi lahan yaitu hutan
manggrove dikonversi menjadi tambak/empang, pemukiman, kawasan
industri dan reklamasi pantai. Oleh karena itu, dampak dari deforestrasi ini
mengakibatkan hilangnya 190 juta metrik ton CO2 setiap tahun (CIFOR,
2015).
Inventarisasi hutan merupakan salah satu upaya dalam rangka
memperoleh data dan informasi mengenai potensi areal hutan (Kangas dan
Maltamo, 2006). Perolehan informasi mengenai potensi areal hutan akan
membantu dalam merumuskan tujuan pengelolaan untuk mencapai
pengelolaan hutan lestari. Salah satu informasi yang dapat diperoleh melalui
kegiatan inventarisasi hutan adalah potensi cadangan biomassa dan karbon
tersimpan. Pendekatan yang dapat dilakukan dapat berupa inventarisasi
dengan melakukan penebangan pohon (destructive) atau tanpa melakukan
penebangan (non destructive) (Krisnawati et al. 2012). Sehingga diharapkan
dengan tersedianya data dan informasi cadangan biomassa dan karbon
tersimpan di suatu areal hutan, maka dapat dilakukan upaya perlindungan
kawasan guna menjaga dan bahkan meningkatkan serapan karbon dan
disimpan dalam bentuk biomassa vegetasi hutan.
Teluk Bone sebagai salah satu kawasan perairan di Pulau Sulawesi
memiliki posisi strategis yakni terletak di antara Provinsi Sulawesi Selatan dan
Sulawesi Tenggara. Ketersediaan informasi mengenai potensi cadangan
karbon ekosistem mangrove dapat dijadikan sebagai salah satu acuan dalam
mewujudkan pengelolaan ekosistem secara lestari. Selain itu dengan
perlindungan dan pemanfaatan ekosistem mangrove yang baik diharapkan
mampu meningkatkan peran ekosistem mangrove dalam rangka penyerapan
karbon di udara.
Ekosistem mangrove Teluk Bone merupakan salah satu ekosistem
penting yang perlu dikelola dan dimanfaatkan dengan penerapan prinsip
kelestarian. Mengingat laju deforestrasi mangrove di pesisir Teluk Bone
semakin meningkat akibat pengembangan pembangunan dan alih fungsi
lahan, namun upaya untuk mendokumentasikan potensi biomassa dan
cadangan karbon belum pernah dilakukan. Berdasarkan permasalahan di atas,
maka tujuan penelitian ini adalah menganalisis potensi biomassa dan karbon
di atas permukaan tanah (aboveground biomass) serta analisis komposisi
98
spesies mangrove di Teluk Bone.
II. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Hutan Mangrove Teluk Bone selama 6
(enam) bulan pada tahun 2018. Hutan mangrove Teluk Bone dipilih sebagai
lokasi penelitian karena daerah ini masih rentan terjadi konversi tutupan
mangrove menjadi area tambak. Selain itu, daerah ini merupakan barrier bagi
kawasan pesisir Kota Palopo. Pesisir Teluk Bone yang masuk ke dalam daerah
administrasi Kota Palopo tersebar di 6 kecamatan (BPS, 2010). Hal ini
menunjukkan posisi strategi Teluk Bone dalam rangka menunjang kehidupan
masyarakat yang berada di daerah - daerah tersebut khususnya di Kota
Palopo (Gambar 1).
Gambar 1. Peta lokasi studi cadangan karbon mangrove
Pengamatan biomassa dan karbon dapat dibedakan berdasarkan
destructive dan non destructive serta carbon pool yang diukur. Penelitian ini
akan fokus pada biomassa dan karbon di atas permukaan tanah
(aboveground biomass) dengan metode non destructive (tanpa perusakan
Biomassa dan Cadangan Karbon di Hutan Mangrove ……..
Hadijah Azis Karim, Andi Rosdayanti, Afandi Ahmad
99
tegakan).
Pengumpulan data menggunakan alat antara lain GPS receiver, roll meter,
pita ukur, kompas, dan tallysheet. Metode pengumpulan data di lapangan
dilakukan dengan pembuatan plot contoh (sampling plot) dengan teknik
systematic sampling with random start berbentuk persegi dengan ukuran
25⨉25 m (Yusandi, 2015). Semua individu pohon di dalam plot contoh diukur
diameter dan tinggi totalnya dan selanjutnya dianalisis menggunakan
persamaan alometrik untuk masing-masing spesies yang diamati.
Data primer berupa keliling dan spesies pohon selanjutnya dilakukan
analisis vegetasi dengan parameter kerapatan dan frekuensi. Selain itu,
dilakukan juga analisis kandungan biomasa menggunakan persamaan
alometrik yang bersumber dari Komiyama et al. (2008). Spesies mangrove
yang tidak terdapat persamaan alometrik maka digunakan persamaan umum
dengan parameter berat spesies (g/cm3) dan diameter (Tabel 1). Setelah
mendapatkan kandungan biomasa masing-masing spesies, selanjutnya nilai
biomasa tersebut dikonversi menjadi nilai karbon dengan mengalikan nilai
biomasa dengan 0.47 sesuai dengan SNI 2011 yang menyatakan bahwa
sekitar 47% bagian biomasa adalah karbon.
Tabel 1. Persamaan alometrik spesies mangrove
No Spesies Persamaan alometrik Sumber
1 Avicennia marina TDW = 0,308DBH2,11 Komiyama et al. (2008)
2 Rhizophora apiculata TDW = 0,235(DBH)2,42 Imbert dan Rollet (1989)
dalam (Komiyama et al.
2008)
5 Persamaan umum TDW = 0,251ρDBH2,46 Komiyama et al. (2008)
Keterangan: TDW (total dry weight); ρ (berat spesies dalam satuan g/cm3)
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Komposisi Spesies Mangrove, Kerapatan dan Frekuensi
Jumlah spesies yang ditemukan di pesisir Teluk Bone, Kota Palopo yakni
sebanyak 6 spesies diantaranya Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata,
Rhizopora sp., Xylocarpus granatum, Sonneratia alba dan Avicenia marina.
Total spesies tersebut terdistribusi di Kelurahan Songka mangrove sebanyak 5
spesies dan Kelurahan Temmalebba sebanyak 3 spesies mangrove. Dominansi
setiap spesies diukur dari nilai kerapatan dan frekuensi berbeda berdasarkan
jumlah individu spesies dan kehadiran spesies pada setiap plot pengamatan
100
(Tabel 2).
Tabel 2. Komposisi spesies vegetasi mangrove Kelurahan Songka
No Nama Lokal/ Nama Latin/
Family
Jum
-lah
indi-vidu
Kera- patan
(K)
Fre- kuen-
si (F)
Kerapa-
tan
Relatif (KR)
Freku-
ensi
Relatif (FR)
1
Padada/Sonneratia alba/ Sonneratiacecae
132 211,2 0,833 15,865 37,037
2 Bakko/Rhizopora apiculata
/Rizhoporaceae
334 534,4 0,583 40,144 25,926
3
Bakko/Rhizopora mucronata
/Rizhoporaceae
347 555,2 0,417 41,707 18,519
4 Xylocarpus granatum
1 1,6 0,083 0,120 3,704
5 Avicenia marina 18 28,8 0,333 2,163 14,815
TOTAL 832 1331,2 2,25 100,000 100,000
Tabel 3. Komposisi spesies vegetasi mangrove Kelurahan Temmalebba
No
Nama
Lokal/Nama
Latin/Family
Jum
-lah
indiv
idu
Kera-
patan
(K)
Kerapa-
tan
Relatif
(KR)
Freku-
ensi (F)
Freku-
ensi
Relatif
(FR)
1
Padada/Sonneratia
alba/
Sonneratiacecae 568 0,694 69,353 0,889 50,000
2 Bakko/Rhizopora
spp./Rizhoporaceae 248 0,303 30,281 0,778 43,750
3 Avicenia marina/ 3 0,004 0,366 0,111 6,250
TOTAL 819 1 100,000 1,778 100,000
.
Berdasarkan hasil analisis data kerapatan dan frekuensi, spesies
Rhizopora mucronata yang merupakan spesies pada vegetasi mangrove
Kelurahan Songka yang memiliki kerapatan dan kerapatan relatif tertinggi
sebesar 555,2 individu/ha dan 41%. Namun, hal ini berbeda dengan
parameter tingkat kehadiran atau frekuensi dan frekuensi relatif. Spesies yang
memiliki frekuensi dan frekuensi tertinggi adalah Sonneratia alba dengan nilai
Biomassa dan Cadangan Karbon di Hutan Mangrove ……..
Hadijah Azis Karim, Andi Rosdayanti, Afandi Ahmad
101
0,833 dan 37,037%, Sedangkan spesies yang memiliki kerapatan dan
kerapatan relatif terendah sama halnya dengan frekuensi dan frekuensi relatif
yaitu Xylocarpus granatum dengan nilai kerapatan 1,6 individu/ha dan
kerapatan relatif 2%, frekuensi 0,083 dan 3%.
Pada Kelurahan Temmalebba Kota Palopo, spesies sangat dominan
jumlah individu yang ditemukan adalah Sonneratia alba tetapi spesies yang
kerapatannya rendah adalah Avicenia marina. Hal ini pula mempengaruhi nilai
frekuensi dan frekuensi relatifnya. Pada spesies Sonneratia alba, nilai
kerapatan dan kerapatan relatifnya sebesar 0,694 individu/ha dan 69,353%,
sedangkan nilai frekuensi dan frekuensinya sebesar 0,889 dan 50%
berturut-turut. Untuk spesies Avicenia marina, nilai kerapatan dan kerapatan
relatifnya sebesar 0,004 individu/ha dan 0,366%, sedangkan nilai frekuensi
dan frekuensi relatifnya sebesar 0,111 dan 6,250%.
Karakteristik hutan mangrove sekunder di Kota Palopo yang seluruhnya
hutan mangrove sekunder menunjukkan bahwa tidak ditemukannya
zonasi/formasi mangrove yang umum ditemukan. Hasil analisis vegetasi juga
menunjukkan bahwa spesies yang mendominasi adalah Sonneratia sp. dan
Rhizophora spp. Hal ini menunjukkan bahwa ekosistem mangrove di Kota
Palopo sudah mengalami degradasi baik dari segi spesies maupun formasi
ekosistem mangrove.
B. Biomassa Mangrove
Biomassa merupakan total bahan organik hasil dari fotosintesis oleh
tumbuhan tersimpan dalam suatu komunitas. Besaran biomassa sangat
dipengaruhi oleh diameter dan umur tegakan mangrove serta luasan.
Semakin besar diameter, umur dan luasan, maka semakin besar pula
biomassa yang terkandung pada tegakan mangrove. Biomassa vegetasi
mangrove di Kelurahan Songka dan Temmalebba Kota Palopo merupakan
potensi biomassa di atas permukaan tanah yang diperoleh dari potensi
biomassa pohon, anakan dan semai pada keseluruhan plot contoh.
102
Tabel 4. Potensi biomassa mangrove pada Kelurahan Songka dan
Temmalebba Kota Palopo
Kelurahan Rata-rata
(ton/ha)
Std. Deviasi
(ton/ha)
Std. Error
(ton/ha)
SK (95%)
(ton/ha)
CV
(%)
Songka 240,9 298,3 86,1 51,3 – 430,4 35,8
Temmalebba 131,4 60,5 14,3 101,3 – 161,5 10,9
Tabel 4 di atas menyajikan data potensi biomassa vegetasi mangrove
pada Kelurahan Songka dan Temmalebba. Hasil analisis menunjukkan bahwa
rata-rata potensi biomassa mangrove di Kelurahan Songka lebih besar yaitu
240,9 ton/ha dengan kisaran 51,3 – 430,4 ton/ha, dibandingkan pada lokasi
Kelurahan Temmalebba dengan rata-rata potensi biomassa hanya 131,4
ton/ha dengan kisaran 101,3 – 161,5 ton/ha. Potensi biomassa mengrove
pada kedua lokasi tersebut lebih rendah dari potensi biomassa ekosistem
mangrove yang baik di Asia Tenggara yaitu berkisar antara 250 – 275 ton/ha
(Daniel et al., 2011). Namun total potensi biomassa Kota Palopo masih lebih
besar dibandingkan potensi biomassa mangrove di wilayah Pesisir Kecamatan
Lainea Kabupaten Konawe Selatan (Zulkarnain et al., 2016)
C. Cadangan Karbon
Hutan mangrove Teluk Bone di Kelurahan Songka dan Temmalebba
adalah dua lokasi hutan mangrove yang masih tersisa di Kota Palopo. Hasil
analisis di kedua lokasi tersebut menunjukkan bahwa cadangan karbon pada
biomassa pohon di Kelurahan Songka lebih tinggi dibanding di Kelurahan
Temmalebba (Tabel 5).
Biomassa dan Cadangan Karbon di Hutan Mangrove ……..
Hadijah Azis Karim, Andi Rosdayanti, Afandi Ahmad
103
Tabel 5. Cadangan karbon mangrove pada Kelurahan Songka dan
Temmalebba Kota Palopo
Kelurahan Rata-rata
(ton/ha)
Std. Deviasi
(ton/ha)
Std. Error
(ton/ha)
SK (95%)
(ton/ha)
CV
(%)
Songka 113,2 140,2 40,4 24,1 – 202,3 35,7
Temmalebba 62,2 28,4 6,7 48,1 – 76,4 10,7
Rata-rata cadangan karbon di atas permukaan tanah hutan mangrove
Kelurahan Songka adalah 113,2 ton/ha dengan kisaran antara 24,1 – 202,3
ton/ha. Sedangkan di Kelurahan Temmalebba, rata-rata cadangan karbon
yakni sebesar 62,2 ton/ha dengan kisaran 48,1 – 76,4 ton/ha. Cadangan
karbon pada kedua lokasi tersebut lebih besar dibandingkan dengan
cadangan karbon yang dilaporkan Murdiyarso et al. (2009) di TN Bunaken
yakni sebesar 61,4 ton/ha. Cadangan karbon hutan mangrove sekunder di
Provinsi Sumatera Selatan yang dilaporkan Tiryana et al. (2015) lebih besar
dibanding dengan dua lokasi di Kota Palopo (Songka dan Temmalebba) yakni
sekitar 81 ton/ha. Rendahnya cadangan karbon di Kota Palopo, terjadi karena
tingginya aktivitas manusia di hutan mangrove yang berkaitan dengan
konversi lahan. Hal tersebut terlihat dari semakin banyaknya pembangunan
tambak untuk budidaya rumput laut. Selain itu, terdapat juga beberapa lokasi
yang sementara dilaksanakan pembangunan areal pemukiman.
Cadangan karbon berdasarkan komposisi spesies pada masing-masing
lokasi menunjukkan bahwa spesies Rhizophora mucronata di Kelurahan
Songka memiliki rata-rata cadangan karbon tertinggi yakni sebesar 123
ton/ha. Sedangkan, di Kelurahan Temmalebba, spesies Sonneratia alba
memiliki cadangan karbon tertinggi yakni 35 ton/ha dibanding spesies yang
lainnya pada lokasi tersebut (Gambar 2).
104
Gambar 2. Rata-rata cadangan karbon (ton/ha) dan jumlah pohon
masing-masing spesies.
Berdasarkan Gambar 2, terlihat bahwa spesies Rhizophora apiculata
pada Kelurahan Songka memiliki jumlah pohon yang hampir sama dengan
Rhizophora mucronata. Namun, hal tersebut tidak menunjukkan tingginya
cadangan karbon pada kedua spesies tersebut. Hal ini disebabkan oleh
diameter Rhizophora apiculata (3,1 – 25,78 cm) lebih kecil dibandingkan
Rhizophora mucronata (0,8 – 39,1 cm).
Cadangan karbon di hutan mangrove Kelurahan Temmalebba juga terjadi
hal yang serupa. Spesies Sonneratia alba menyimpan cadangan karbon yang
tinggi dibandingkan dengan spesies Rhizophora spp. Walapun dari jumlah
pohon yang terdapat di lokasi tersebut, spesies Rhizophora merupakan
spesies yang paling banyak (600 pohon). Tiryana et al. (2015) menyatakan
bahwa rendahnya cadangan karbon ekosistem hutan mangrove sekunder
karena jumlah pohon yang memiliki diameter > 20 cm sedikit.
IV. KESIMPULAN
Rata-rata potensi biomassa mangrove di Kelurahan Songka lebih besar
yaitu 240,9 ton/ha (51,3 – 430,4 ton/ha), dibandingkan pada lokasi Kelurahan
Temmalebba dengan rata-rata potensi biomassa hanya 131,4 ton/ha (101,3 –
161,5 ton/ha).
Rata-rata cadangan karbon di atas permukaan tanah hutan mangrove
Kelurahan Songka adalah 114,7 ton/ha (45,5 – 442,5 ton/ha) dengan
cadangan karbon tertinggi yakni spesies Sonneratia alba. Sedangkan di
Kelurahan Temmalebba yakni sebesar 62,2 ton/ha (101,4 – 163,4 ton/ha) dan
spesies Rhizophora spp. yang memiliki cadangan karbon tertinggi.
Biomassa dan Cadangan Karbon di Hutan Mangrove ……..
Hadijah Azis Karim, Andi Rosdayanti, Afandi Ahmad
105
V. DAFTAR PUSTAKA
Donato, D., Kauffman, J. B., Murdiyarso, D., Kurnianto, S., Stidham, M., &
Kanninen, M. (2011). Mangrove Among the Most Carbon-rich Forest in
the Tropics. Nature Geoscince, 4, 293-297.
FAO. 2010. Global Forest Resource Assessment. Rome (IT): FAO
Kangas, A. & Maltamo M. (2006). Forest Inventory: Methodology and
Applications. Springer.
Krisnawati, H., Adinugroho, W. C., & Imanuddin, R. (2012). Monograf:
Model-Model Alometrik Untuk Pendugaan Biomassa Pohon Pada Berbagai
Tipe Ekosistem Hutan Di Indonesia. Bogor: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan.
Komiyama, A., Ong, J. E., & Poungparn, S. (2008). Allometry, biomass, and
productivity of mangrove forests: A review. Aquatic Botany;
89(2):128–137. doi:10.1016/j.aquabot.2007.12.006.
Kotowska, M. M. (2015). Carbon Pools and Sequestration in Vegetation, Litter
Dynamics and Hydraulic Anatomic Properties in Rainforest
Transformation Systems in Indonesia. Göttingen, Jerman.
Bismark, M., Subiandono, E., & Heriyanto, N. M. (2008). Keragaman dan
potensi spesies serta kandungan karbon hutan mangrove di Sungai
Subelen Siberut, Sumatera Utara. Jurnal Penelitian Hutan Dan Konservasi
Alam, (V):297–306.
Murdiyarso, D., Donato, D., Kauffman, J. B., et al. (2009). Carbon Storage in
Mangrove and Peatland Ecosystems. A preliminary account from plots in
Indonesia. Working Paper; 40. doi:10. 17528/cifor/003233
Murdiyarso, D., Purbopuspito, J., Kauffman, J. B., Warren, M. W., Sasmito, S.
D., Donato, D. C., Manuri, S., Krisnawati, H., Taberima, S., & Kurnianto,
S. (2015). The potential of Indonesian mangrove forests for global
climate change mitigation. Nature Climate Change, (5),8–11.
doi:10.1038/nclimate2734
Nurtjahjawilasa, Duryat, K., Yasman, I., Septiani, Y., & Lasmini. (2013). Modul:
Kebijakan Nasional Perubahan Iklim. Jakarta (ID): Natural Resources
Development Center.
Tiryana, T., Rusolono, T., Siahaan, H., Kunarso, A., & Sumantri H. (2016).
Cadangan Karbon Hutan dan Keanekaragaman Flora di Sumatera
Selatan. Palembang (ID). Deutsche Gesellschaft für Internationale
Zusammenarbeit (GIZ)
106
Yusandi, S. (2015). Model Penduga Biomassa Hutan Mangrove Menggunakan
Citra Resolusi Sedang Di Areal Kerja BSN Group Kalimantan Brat. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Zulkaranain, Marwah, S., & Sartika, L. (2016). Sebaran stok karbon vegetasi
mangrove di wilayah pesisir Kecamatan Lainea Kabupaten Konawe
Selatan melalui analisis backscatter citra satelit Radar Alos Palsar L-Band.
Ecogreen, 2(2), 97-105.
Potensi Karbon Hutan Mangrove Desa Sarawet Minahasa Utara…….. Nurlita Indah Wahyuni dan Rahma Suryaningsih
107
Potensi Karbon Hutan Mangrove Desa Sarawet Minahasa Utara untuk Mitigasi Perubahan Iklim1
The Potential of Mangrove Carbon at Sarawet Village of
North Minahasa to Mitigate Climate Change
Nurlita Indah Wahyuni2 dan Rahma Suryaningsih2
ABSTRACT
The potential of carbon from site forest inventory is needed to correct and
complete National Reference Emission Level. This research aims to reveal the
potential of mangrove carbon at Sarawet Village, North Minahasa Regency. Datas
of three carbon pools i.e. above ground biomass, necromass and soil organic
matter were obtained from 30 measured plots. The result found that mangrove
stand of Sarawet Village contain above ground biomass and necromass each
115,45 Mg/ha and 0,06 Mg/ha. There are 8 mangrove species in measuring plots.
The biggest aboveground biomass come from Bruguiera gymnorrhiza 49,62
Mg/ha and Rhizophora apiculata 37,93 Mg/ha. Total carbon from three carbon
pools 99,77 MgC/ha ,i.e. above ground biomass 54,24 Mg/ha, soil organic matter
45,48 Mg/ha and necromass 0,03 Mg/ha. In case of the mangrove forest keep on
its existence then the current mitigation mitigation from Sarawet mangrove forest
approximately equal with 366,14 Mg CO2eq will increase.
Keywords: carbon, mangrove, Sarawet Village, climate change
I. PENDAHULUAN
Dokumen komitmen kontribusi nasional (Intended Nationally Determined
Contribution, INDC) menyatakan komitmen Indonesia untuk menurunkan
emisi pada 2030 sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan
bantuan internasional (MoEF, 2016). Sofia (2019) menyebutkan target
penurunan emisi 29% tersebut berasal dari yaitu sektor kehutanan sebesar
1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya
Pelestarian Sumber Daya Alam, diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado dan SEAMEO BIOTROP, Manado 24 Oktober 2018.
2 Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado; Jl. Raya Adipura Kelurahan Kima Atas Kecamatan Mapanget Manado Sulawesi Utara 95259 Telp. 0431-7242949 ; E-mail : [email protected]
108
17,2%, sektor energi sebesar 11%, sektor pertanian sebesar 0,32%, sektor
industri sebesar 0,10% dan sektor limbah sebesar 0,38%. Sektor kehutanan
dan energi memberi kontribusi terbesar terhadap total emisi nasional
Indonesia. Skema REDD+ (Reducing Emission from Degradation and
Deforestation) menurut Shrestha et al., (2014) dan Angelsen (2017)
merupakan pembayaran kompensasi penurunan emisi dari deforestasi dan
degradasi hutan berdasarkan hasil (result based aid). Penilaian keberhasilan
Indonesia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor
kehutanan didasarkan pada Tingkat Rujukan Emisi Hutan (TREH). Oleh
karena itu, nilai stok karbon yang diperoleh dari inventarisasi hutan lokal
dibutuhkan untuk memperbaiki nilai-nilai dari TREH nasional (Sidik et al.,
2017).
Desa Sarawet termasuk salah satu desa sangat rentan perubahan iklim
menurut data Sistem Informasi Data Indeks Kerentanan Direktorat Adaptasi
Perubahan Iklim (2015). Desa Sarawet adalah desa pesisir yang sepertiga
wilayahnya berupa hutan mangrove (Kementerian Dalam Negeri, 2017).
Ekosistem hutan mangrove berkontribusi signifikan terhadap siklus karbon
global (Kathiresan, 2012). Hutan mangrove menyimpan potensi karbon
tertinggi di kawasan tropis dibandingkan rata-rata cadangan karbon di
berbagai tipe hutan lainnya (Alongi, 2012; Ahmed & Glaser, 2016).
Vegetasi pada ekosistem pesisir (mangrove) berperan dalam mitigasi
dengan cara menjadi rosot karbon (CO2 sink) untuk menyerap emisi CO2.
Sementara itu dalam hal adaptasi mangrove akan melindungi pesisir dari
kenaikan permukaan air laut dan gelombang laut (Duarte et al., 2013).
Tindakan adaptasi dan mitigasi diharapkan dapat meningkatkan ketahanan
masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim, termasuk inventarisasi data
potensi pengurangan emisi GRK di tingkat lokal (Purwanto et al., 2012). Desa
Sarawet sangat perlu untuk meningkatkan kapasitasnya, salah satunya
dengan cara mitigasi dan mengetahui informasi potensi serapan CO2. Oleh
karena itu, perlu dilakukannya penelitian untuk memperoleh informasi potensi
karbon yang tersimpan di hutan mangrove Desa Sarawet.
II. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Lokasi Penelitian
Pengambilan data dilakukan pada bulan Mei 2017 di area mangrove Desa
Sarawet, Kecamatan Likupang Timur, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi
Sulawesi Utara. Unit analisis penelitian adalah 30 plot berukuran 20 m x 20 m
(Gambar 1).
Potensi Karbon Hutan Mangrove Desa Sarawet Minahasa Utara…….. Nurlita Indah Wahyuni dan Rahma Suryaningsih
109
Gambar 1. Peta sebaran plot pengukuran karbon mangrove
B. Bahan dan alat
Bahan yang digunakan dan menjadi obyek dalam kegiatan penelitian ini
adalah tegakan mangrove di Desa Sarawet. Peralatan yang digunakan pada
saat pengambilan data di lapangan antara lain soil ring sampler, kamera,
plastik spesimen,parang, timbangan digital, pita ukur, kaliper, GPS, tally
sheet, dan alat tulis.
C. Prosedur penelitian
Data biomasa dan karbon mangrove yang diukur meliputi biomasa atas
permukaan (pohon dan tumbuhan bawah), nekromasa dan bahan organik
tanah. Bentuk dan ukuran plot permanen mengacu pada SNI 7724 (Badan
Standardisasi Nasional, 2011), yaitu masing-masing berukuran 20 m x 20 m
(Gambar 2). Plot ukur dibuat transek tegak lurus garis pantai dari arah
pemukiman, dengan jarak antar plot sejauh 20 m (Gambar 3). Pengukuran
data biomasa dilakukan dengan mengukur diameter batang setinggi dada
pada pohon yang berdiameter ≥ 5 cm. Pada nekromasa, data yang diukur
110
yaitu dimensi panjang dan diameter batang serta diambil sampel kayunya
untuk menduga berat jenisnya. Pengambilan sampel tanah dilakukan dengan
menggunakan soil ring sampler pada 5 titik dalam plot yaitu 4 di sudut plot
dan 1 di titik tengah plot (Gambar 2). Setiap plot diambil sampel tanah
sebanyak 1 sampel komposit yang merupakan campuran dari 5 titik
pengambilan sampel tanah (5 ring soil sampler) pada kedalaman 0-5 cm.
Gambar 2. Plot pengukuran biomasa dan karbon mangrove
Gambar 3. Jalur transek pengukuran mangrove
Keterangan:
Plot ukur pohon (20 m x 20 m)
Plot ukur nekromasa (20 m x 10 m)
Titik pengambilan contoh tanah
20 m
10 m
Potensi Karbon Hutan Mangrove Desa Sarawet Minahasa Utara…….. Nurlita Indah Wahyuni dan Rahma Suryaningsih
111
D. Analisa Data
Data hasil pengukuran biomasa diolah dengan menggunakan persamaan
sebagaimana yang tertera di dalam Tabel 3. Pada tingkat pohon, digunakan
persamaan alometrik yang sudah ada. Sedangkan pada biomasa nekromasa
dihitung menggunakan pendekatan berat kering dan berat basah contoh.
Proses pengeringan menggunakan oven pada suhu 85°C selama 24 jam.
Khusus untuk sampel tanah, dilakukan pengeringan angin (menggunakan
suhu ruang) kemudian pengayakan untuk memisahkan sampel tanah halus
dan kerikil. Sampel tanah halus dan kerikil ini ditimbang lagi untuk
mengetahui berat keringnya. Sampel tanah halus dibawa ke laboratorium
untuk dianalisis kandungan karbon organik.
Data berat jenis kayu diperoleh melalui penelusuran wood density
database ICRAF (The World Agroforestry Centre). Hasil perhitungan tiap
komponen biomasa kemudian ditabulasi dan dikonversi dari satuan kg
menjadi ton/ha. Total cadangan biomasa dalam plot pengukuran merupakan
penjumlahan biomasa pada tiap komponen, yaitu biomasa atas permukaan
dan biomasa nekromasa (kayu mati dan pohon mati). Cadangan karbon
dihitung dengan mengalikan biomasa dengan konstanta fraksi karbon sebesar
0,47 ( Badan Standardisasi Nasional, 2011). Total cadangan karbon dalam
plot pengukuran merupakan penjumlahan karbon atas permukaan, karbon
nekromasa (kayu mati dan pohon mati) dan karbon organik tanah. Data yang
terkumpul disajikan dalam bentuk tabel dan grafik untuk kemudian dianalisis
secara deskriptif.
112
Tabel 1. Persamaan untuk menghitung biomasa dan karbon mangrove
No Komponen biomasa
Persamaan untuk menghitung biomasa
Keterangan Data yang dihasilkan
1. Pohon
Persamaan alometrik:
BBA : biomasa pohon atas permukaan
(kg) DBH: diameter setinggi dada (cm)
ρ : berat jenis kayu
Biomasa per pohon (kg)
Persamaan umum* BBA = 0,251ρDBH2,46
Komiyama et al., (2005) dalam Komiyama et al., (2008)
Biomasa per pohon (kg)
Avicennia sp BBA = 0,2901(DBH)2,2605
Dharmawan dan Siregar (2008) Biomasa per pohon (kg)
Bruguiera gymnorrhiza logBBA = -0,552 + 2,244 logDBH
Krisnawati et al., (2012) Biomasa per pohon (kg)
Rhizophora apiculate logBBA = -1,315 + 2,614
logDBH
Amira (2008)
dalam Krisnawati et al., (2012) Biomasa per pohon (kg)
Xylocarpus granatum logBBA = -0,763 + 2.23
logDBH
Talan (2008) dalam Krisnawati et al., (2012)
Biomasa per pohon (kg)
Potensi Karbon Hutan Mangrove Desa Sarawet Minahasa Utara…….. Nurlita Indah Wahyuni dan Rahma Suryaningsih
113
No Komponen biomasa
Persamaan untuk menghitung biomasa
Keterangan Data yang dihasilkan
2. Nekromasa
Bn = Vn x BJn
Bn :bahan organik pohon mati atau kayu
mati (kg) Vn :volume pohon mati atau kayu
mati(m3) BJn :berat jenis kayu pohon mati atau
kayu mati (kg/m3)
Biomasa per plot (kg)
Keterangan: * persamaan umum digunakan untuk menghitung biomasa mangrove jenis Ceriops tagal, Rhizophora
mucronata, Sonneratia alba dan Xylocarpus moluccensis,
114
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Biomasa dan total karbon
Hasil pengukuran menunjukkan hutan mangrove Sarawet menyimpan
biomasa atas permukaan sebesar 115,45 ton/ha dan biomasa nekromasa
sebesar 0,06 ton/ha. Total biomasa hampir sama dengan cadangan biomasa
di Delta Mahakam yaitu sebesar 117,20 ton/ha (Sidik et al., 2017). Nilai ini
lebih besar dibandingkan potensi karbon di lahan rehabilitasi bekas tambak di
Muara Gembong Bekasi sebesar 55,35 ton/ha (Rachmawati et al., 2014) dan
hutan mangrove secara umum di Sulawesi Utara sebesar 6.5 ton/ha (Sondak,
2015). Namun nilai ini lebih kecil dibandingkan dengan hasil pengukuran di
hutan alam 182,5 ton/ha (Dharmawan dan Siregar, 2008) dan 179,39 ton/ha
(Heriyanto dan Subiandono, 2012), serta hutan mangrove Bahowo Bunaken
203,83 ton/ha (Bachmid et al., 018). Pengamatan terhadap tegakan
mangrove mengindikasikan potensi biomasa yang lebih rendah ini
dipengaruhi oleh diameter pohon yang relatif kecil yakni sebanyak 57,35%
pohon dalam plot pengukuran berdiameter 0-10 cm.
Tabel 4. Cadangan biomasa dan karbon pada tiap jenis mangrove
Jenis Biomasa
(ton/hektar)
Karbon
(ton C/hektar)
Avicennia sp. 6,57 3,09
Bruguiera gymnorrhiza 49,62 23,32
Ceriops tagal 12,49 5,87
Rhizophora apiculata 37,93 17,83
Rhizophora mucronata 3,50 1,65
Sonneratia alba 1,62 0,76
Xylocarpus granatum 0,81 0,38
Xylocarpus moluccensis 2,91 1,37
Total 115,45 54,26
Sumber: diolah dari data primer (2017)
Terdapat 8 jenis mangrove dalam plot pengukuran, namun hanya dua
jenis yang mendominasi cadangan biomasa yaitu Bruguiera gymnorrhiza
dengan biomasa sebesar 49,62 ton/hektar dan Rhizophora apiculata sebesar
37.93 ton/hektar (Tabel 4). Besarnya biomasa tiap jenis mangrove
berbeda-beda di tiap lokasi sebagaimana yang tertera dalam Tabel 5. Misalnya
Rhizophora mucronata dan Bruguiera cylindrica yang mendominasi karbon di
mangrove TN Alas Purwo (Heriyanto dan Subiandono, 2012) serta Rhizophora
Potensi Karbon Hutan Mangrove Desa Sarawet Minahasa Utara…….. Nurlita Indah Wahyuni dan Rahma Suryaningsih
115
mucronata dan Sonneratia caseolaris di Muara Gembong (Rachmawati et al.,
2014). Jumlah jenis mangrove yang diukur dalam plot penelitian lebih banyak
dibandingkan penelitian serupa (Tabel 5). Namun penelitian ini tidak
menyertakan pengukuran biomasa nipah (Nypa fruticans) sebagaimana yang
dilakukan oleh (Sidik et al., 2017) walaupun nipah juga bagian dari ekosistem
mangrove dan banyak dijumpai di tepi mangrove Desa Sarawet.
Carbon dari bahan organik tanah di hutan mangrove Sarawet sebesar
45,48 tonC/ha (Gambar 4). Nilai ini jauh lebih kecil dibandingkan hasil
penelitian Mahasani et al., (2015) sebesar 184,62 tonC/ha yang juga diukur di
mangrove bekas tambak. Begitu pula jika dibandingkan dengan pernyataan
Sondak (2015) yang menyebutkan rata-rata bahan organik tanah mangrove di
Sulawesi Utara sebesar 87,5 tonC/ha. Sementara pengukuran Sidik et al.,
(2017) di Delta Mahakam diperoleh bahan organik tanah sebesar 624.7
tonC/ha. Persentase cadangan karbon bahan organik tanah dalam penelitian
ini 45,58% dari total cadangan karbon, nilai ini lebih rendah dibandingkan
persentase cadangan karbon tanah ekosistem mangrove global sebesar 70
-80 % (Murdiyarso et al., 2015). Rata-rata kadar bahan organik tanah dalam
penelitian ini sebesar 10,58% lebih tinggi dibandingkan pengukuran oleh
Dharmawan dan Siregar (2008) sebesar 2,28-3,87%. Penelitian Mahasani et
al., (2015) menunjukkan nilai kadar bahan organik tanah yang berbeda
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jumlah dan kerapatan pohon,
jenis pohon dan faktor lingkungan meliputi penyinaran matahari, kadar air,
suhu, dan kesuburan tanah yang mempengaruhi laju fotosintesis
116
Tabel 5. Perbandingan karbon mangrove dengan hasil penelitian di lokasi lainnya
No Penelitian Lokasi
Carbon pools
Jenis mangrove Biomasa atas permukaan
(tonC/ha)
Bahan organik
tanah
1 Sidik et al., (2017)
Delta Mahakam, DAS
Mahakam,
Samarinda 117,20 624,7 tonC/ha
Nipah, Avicennia spp., Heritiera littoralis, Rhizophora spp.,
Sonneratia spp.
2 Rachmawati et al., (2014)
Kawasan Pesisir Muara Gembong,
Bekasi, Jawa Barat
16,13
- R. mucronata
13,87
- S. caseolaris
8,32 -
S. alba
5,60
- A. officinalis
0,66 -
A. marina
2,25 -
A. alba
3 Heriyanto dan Subiandono
(2012)
Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi,
Jawa Timur
102,09
- R. mucronata
54,36 -
B. cylindrica
Potensi Karbon Hutan Mangrove Desa Sarawet Minahasa Utara…….. Nurlita Indah Wahyuni dan Rahma Suryaningsih
117
No Penelitian Lokasi
Carbon pools
Jenis mangrove Biomasa atas
permukaan
(tonC/ha)
Bahan organik tanah
8,93
- A. officinalis
3,25 -
X. Moluccensis
4 Dharmawan dan Siregar (2008)
BKPH Ciasem, KPH Purwakarta, Perum
Perhutani Unit III Jawa Barat dan
Banten
171,50 2,28-3,87 %
A. marina
5 Sondak (2015)
Kawasan Hutan Mangrove Su
lawesi Utara
6,50 87,5 tonC/ha -
6 Mahasani et al., (2015)
Hutan Mangrove Bekas Tambak
Perancak, Jembrana, Bali
- 184,62 tonC/ha
50,18% R. stylosa, C. tagal, B. gymnorrhiza, R. apiculata
7 Bachmid et al., (2018)
Kawasan Hutan
Mangrove Bahowo, Kec. Bunaken,
Sulawesi Utara
203,83
S. alba, R. mucronata, A. officinalis.
8 Kairo et al., (2009)
Mangrove plantations at Gazi
20,25
30,28% R. mucronata
118
No Penelitian Lokasi
Carbon pools
Jenis mangrove Biomasa atas
permukaan
(tonC/ha)
Bahan organik tanah
Bay, Kenya
11,70
A. marina
6,70
S. alba
3,70
C. tagal
Potensi Karbon Hutan Mangrove Desa Sarawet Minahasa Utara…….. Nurlita Indah Wahyuni dan Rahma Suryaningsih
119
Gambar 4. Jumlah cadangan karbon pada tiap carbon pools (tonC/hektar)
Cadangan karbon paling besar berasal dari biomasa atas permukaan
sejumlah 54,26 tonC/ha dan nekromasa sebesar 0,03 tonC/ha. Estimasi
cadangan biomasa dan karbon mangrove jarang sekali menyertakan
pengukuran nekromasa disebabkan ketidakpastian asal nekromasa tersebut.
Nekromasa berupa batang kayu dapat berasal dari kayu yang hanyut dan
masuk ke dalam tegakan mangrove saat air pasang, bukan murni dari
tegakan tersebut. Nekromasa yang terdapat dalam penelitian ini dihitung
karena berupa pohon mati (bukan kayu rebah) sisa penebangan liar serta
pengelupasan kulit batang pohon sebagai bahan pengawet jaring ikan.
Walaupun bernilai jauh lebih kecil dibandingkan karbon dari carbon pools
lainnya, nekromasa berhubungan erat dengan biomasa tegakan pohon karena
merupakan sumber unsur hara yang penting bagi hutan serta dapat
menyimpan karbon hutan dalam waktu yang lama (Chao et al., 2009;
Umnouysin et al., 2017).
B. Potensi Mitigasi
Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (2016) menyatakan
mitigasi perubahan iklim pada dasarnya adalah tindakan aktif untuk
mencegah atau memperlambat terjadinya perubahan iklim dan mengurangi
dampak perubahan iklim dengan cara menstabilkan konsentrasi volume GRK.
Upaya mitigasi tercantum dalam Rencana Aksi Nasional Pengurangan Emisi
120
Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Kebijakan nasional penurunan emisi diikuti oleh
penyusunan Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD
GRK) oleh pemerintah provinsi yang memuat rencana provinsi untuk
menurunkan tingkat emisinya dari berbagai sektor (Salminah dan Wibowo,
2017). RAD GRK tersebut meliputi pendataan besarnya emisi gas rumah kaca,
target pengurangan, dan jenis sektor yang akan dikurangi emisinya.
Banerjee et al., (2012) dan Senoaji dan Hidayat (2016) berpendapat
bahwa aktivitas manusia berperan penting dalam peningkatan atau
penurunan kandungan karbon pada ekosistem mangrove. Penanaman
mangrove akan meningkatkan penyerapan CO2, sebaliknya konversi
mangrove menjadi penggunaan lain akan mengurangi cadangan karbon
Hopkinson et al., (2012). Secara historis pada periode tahun 1985 – 2004
hutan mangrove Desa Sarawet seluas 100 hektar dikonversi menjadi tambak
udang dan bandeng. Konversi mangrove menjadi tambak merupakan
penyebab utama berkurangnya tutupan mangrove di seluruh dunia (Ahmed
dan Glaser, 2016; Thomas et al., 2017). Selain menurunkan potensi
penyerapan CO2, dampak lain konversi mangrove yang dirasakan oleh
masyarakat antara lain banjir rob berupa air laut masuk sampai
perkampungan dan air sumur gali milik warga menjadi payau. Padahal secara
geografis jarak antara Dusun Jaga 3 hingga muara sungai cukup jauh yaitu
sekitar 1 km. Namun setelah dilakukan rehabilitasi mangrove, bajir rob
tersebut sudah tidak terjadi lagi. Hal ini membuktikan peran penting
ekosistem mangrove dalam jasa lingkungan yaitu perlindungan pesisir
(Ahmed dan Glaser, 2016).
Lahan bekas tambak yang direhabilitasi berpotensi menyerap karbon
baik dari vegetasi mangrove maupun bahan organik tanah. Penelitian
Mahasani et al., (2015) mengungkap kadar bahan organik tanah di hutan
mangrove bekas tambak dapat mencapai 50,18 %C pada kedalaman 0-100
cm atau sebesar 184,62 ton/ha. Sidik et al., (2017) menekankan pentingnya
hasil penelitian estimasi cadangan karbon mangrove untuk penyempurnaan
TREH yang telah ada dengan mengangkat peran penting mangrove sebagai
blue carbon sesuai dengan 2013 IPCC Guideline: Wetland Supplement. Matsui
et al., (2012) menyebutkan pengukuran cadangan karbon secara periodik
selain diperlukan untuk meningkatkan pemahaman juga mengidentifikasi
gangguan antropogenik yang menyebabkan perubahan cadangan karbon.
Pengukuran secara periodik memanfaatkan data penginderaan jauh pada saat
sebelum dan setelah rehabilitasi dapat menghasilkan estimasi nilai karbon dan
CO2eq yang telah diserap oleh hutan mangrove, seperti hutan mangrove hasil
Potensi Karbon Hutan Mangrove Desa Sarawet Minahasa Utara…….. Nurlita Indah Wahyuni dan Rahma Suryaningsih
121
rehabilitasi di Desa Sarawet.
IV. KESIMPULAN
Potensi cadangan karbon hutan mangrove Desa Sarawet sebesar 99,77
tonC/ha yang terdiri dari biomasa atas permukaan 54,26 tonC/ha, bahan
organik tanah 45,48 tonC/ha dan nekromasa 0,03 tonC/ha. Data potensi
cadangan karbon mangrove di tingkat tapak dapat memperbaiki nilai Tingkat
Rujukan Emisi Hutan nasional. Selain itu rehabilitasi lahan bekas tambak yang
telah dilakukan oleh masyarakat Desa Sarawet berpotensi besar sebagai salah
satu upaya mitigasi perubahan iklim. Nilai potensi mitigasi hutan mangrove
Desa Sarawet sesuai penelitian ini setara dengan 366,14 tonCO2eq.
V. SARAN
Penelitian lebih lanjut yang dapat dilakukan di hutan mangrove Sarawet
antara lain evaluasi keberhasilan revegetasi bekas tambak dan besarnya
penyerapan karbon mangrove dengan pemanfaatan penginderaan jauh, serta
penelitian partisipasi masyarakat dalam keberhasilan rehabilitasi mangrove.
VI. UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini dibiayai oleh DIPA Balai Penelitian dan Pengembangan
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado Tahun 2017. Ucapan terima kasih
kami sampaikan kepada Hendra S. Mokodompit, Yermias Kafiar, Framy Supit
dan Munir Ajulan, atas bantuannya selama pengambilan data, serta kepada
semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu.
VII. DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, N. and Glaser, M. (2016). Coastal aquaculture, mangrove
deforestation and blue carbon emissions: Is REDD+ a solution?. Marine
Policy, 66, 58-66.
Alongi, D. M. (2012). Carbon sequestration in mangrove forests. Carbon
Management, 3(3), 313-322.
Angelsen, A. (2017). REDD+ as result-based aid: General Lessons and
Bilateral Agreements of Norway. Review of Development Economics, 21,
237-264.
Bachmid, F., Sondak, C. F. A., & Kusen, J. D. (2018). Estimasi Penyerapan
Karbon Hutan Mangrove Bahowo Kelurahan Tongkaina Kecamatan
Bunaken. Jurnal Pesisir dan Laut Tropis, 1(1), 8-13.
122
Badan Standardisasi Nasional. 2011. Pengukuran dan penghitungan cadangan
karbon – Pengukuran lapangan untuk penaksiran cadangan karbon
hutan. Jakarta
Banerjee, K., Chowdhury, M. R., Sengupta, K., Sett, S., & Mitra, A. (2012).
Influence of anthropogenic and natural factors on the mangrove soil of
Indian Sundarbans wetland. Archives of Environmental Science, 6, 80-91.
Chao, K. J., Phillips, O. L., Baker, T. R., Peacock, J., Lopez-Gonzalez, G.,
Vasquez Martinez, R., Monteagudo, A., and Torres-Lezama, A. (2009).
After trees die: quantities and determinants of necromass across
Amazonia. Biogeosciences Discuss, 6, 1979–2006 .
Dharmawan I. W. S. & Siregar, C. A. (2008). Karbon tanah dan pendugaan
karbon tegakan Avicennia marina (Forsk.) Vierh. di Ciasem, Purwakarta.
Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, V(4), 317-328.
Direktorat Adaptasi Perubahan Iklim. (2015). Sistem Informasi Data Indeks
Kerentanan (SIDIK). Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta.
Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim. (2016). Perubahan Iklim,
Perjanjian Paris dan Nationally Determined Contribution. Direktorat
Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim. Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan.
Duarte, C. M., Losada, I. J., Hendriks, I. E., Mazarrasa, I., & Marba, N. (2013).
The role of coastal plant communities for climate change mitigation and
adaptation. Nature Climate Change, 3, 961-968.
Heriyanto, N. M. & Subiandono, E. (2012). Komposisi dan struktur tegakan,
biomasa, dan potensi kandungan karbon hutan mangrove di Taman
Nasional Alas Purwo. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, IX(1),
23-32.
Hopkinson, C. S., Cai, W., & Hu, X. (2012). Carbon sequestration in wetland
dominated coastal systems — a global sink of rapidly diminishing
magnitude. Current Opinion in Environmental Sustainability, 4,1-9.
Kairo, J. G., Bosire, J., Langat, J., Kirui, B., & Koedam, N. (2009). Allometry
and biomass distribution in replanted mangrove plantations at Gazi Bay,
Kenya. Aquatic Conservation: Marine Freshwater Ecosystem, 19, 63–69 .
Kathiresan, K. (2012). Importance of mangrove ecosystem. International
Journal of Marine Science, 2(10), 70-89.
Kementerian Dalam Negeri. 2017. Data Pokok Desa/Kelurahan Sarawet.
Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat.
Potensi Karbon Hutan Mangrove Desa Sarawet Minahasa Utara…….. Nurlita Indah Wahyuni dan Rahma Suryaningsih
123
Komiyama, A., Ong, J. E., & Poungparn, S. (2008). Allometry, biomass and
productivity of mangrove forests: A review. Aquatic Biology, 89, 128-137.
Krisnawati, H., Adinugroho, W. C., & Imanuddin, R. (2012). Monograf
Model-Model Alometrik untuk Pendugaan Biomassa Pohon Pada Berbagai
Tipe Ekosistem Hutan di Indonesia. Pusat Penelitian dan pengembangan
Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan, Bogor, Indonesia.
Mahasani, I. G. A. I., Widagti, N., & Karang, I. W. G. A. (2015). Estimasi
persentase karbon organik di hutan mangrove bekas tambak, Perancak,
Jembrana, Bali. Journal of Marine and Aquatic Sciences, 1, 14–18.
Matsui, N., Morimune, K., Meepol, W., & Chukwamdee, J. (2012). Ten year
evaluation of carbon stock in mangrove plantation reforested from an
abandoned shrimp pond. Forests, 3, 431-444.
MoEF. (2016). National Forest Reference Emission Level for Deforestation and
Forest Degradation: In the Context of Decision 1/CP.16 para 70 UNFCCC
(Encourages developing country Parties to contribute to mitigation
actions in the forest sector): Post Technical Assessment by UNFCCC,
Directorate General of Climate Change. The Ministry of Environment and
Forestry. Indonesia.
Murdiyarso, D., Purbopuspito, J., Kauffman, J. B., Warren, M. W., Sasmito, S.
D., Donato, D. C., Manuri, S., Krisnawati, H., Taberima, S., & Kurnianto, S.
(2015). The potential of Indonesian mangrove forests for global climate
change mitigation. Nature Climate Change.
Purwanto, Y., Walujo, E. B., Suryanto, J., Munawaroh, E., & Ajiningrum, P. S.
(2012). Strategi mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim: studi
kasus komunitas Napu di Cagar Biosfer Lore Lindu. Jurnal Masyarakat
dan Budaya, 14(3), 541-570.
Rachmawati, D., Setyobudiandi, I., & Hilmi, I. (2014). Potensi estimasi karbon
tersimpan pada vegetasi mangrove di wilayah pesisir Muara Gembong
Kabupaten Bekasi. Omni-Akuatika, XIII(19), 85-91.
Salminah, M. & Wibowo, A. (2017). Sinkronisasi kebijakan nasional REDD+
dengan kepentingan para pihak pada tingkat subnasional. Jurnal Analisis
Kebijakan Kehutanan, 14(2), 105-120.
Senoaji, G. & Hidayat, M. F. (2016). Peranan ekosistem mangrove di pesisir
Kota Bengkulu dalam mitigasi pemanasan global melalui penyimpanan
karbon. Jurnal Manusia dan Lingkungan, 23(3), 327-333.
Shrestha, S., Karky, B. S., & Karki, S. (2014). Case study report: REDD+ pilot
124
project in community forests in three watersheds of Nepal. Forests, 5,
2425-2439
Sidik, F., B. Supriyanto., & M. Lugina. (2017). Tingkat rujukan emisi hutan
mangrove Delta Mahakam (Forest Reference Emission Level for
Mangrove Forest in Mahakam Delta). Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan
Vol. 14 No.2 : 93-104.
Sofia, E. (2019). Implikasi hukum paris agreement melalui program REDD+
berbasis blue carbon di Indonesia. Jurnal Magister Hukum Udayana, 8(2),
174-187.
Sondak, C. F. A. (2015). Estimasi potensi penyerapan karbon biru (blue carbon)
oleh hutan mangrove Sulawesi Utara. Jurnal of Asean Studies on
Maritime Issues, 1(1), 24-29.
Thomas N., Lucas, R., Bunting, P., Hardy, A., Rosenqvist, A., & Simard, M.
(2017). Distribution and drivers of global mangrove forest change, 1996–
2010. Public Library of Science ONE, 12(6), 1-14.
Umnouysin, S, Sangtiean, T., & Poungparn, S. (2017). Zonal distribution of
coarse woody debris and its contribution to net primary production in a
secondary mangrove forest. Ecological Research, 32, 51–60.
Karakteristik dan Keediaan Membayar Pengunjung Wisata…….. Wahyudi Isnan dan Nurhaedah Muin
125
Karakteristik dan Kesediaan Membayar Pengunjung Wisata Alam Air Terjun Moramo Kabupaten Konawe Selatan
Sulawesi Tenggara1
Characteristics and Willingness to Pay Moramo Waterfall Tourism Visitors in South Konawe Regency Southeast
Sulawesi
Wahyudi Isnan2 dan Nurhaedah Muin2
ABSTRACT
Increased tourism needs, especially natural tourism need to be accompanied by
good planning so that the management of tourism areas can be sustainable.
Revenue receipts from natural tourism areas are minimal due to a lack of
information regarding the characteristics and willingness to pay visitors. The study
aims to determine the characteristics and willingness to pay visitors to the Moramo
waterfall tourism in Sumber Sari Village, Moramo District, Konawe Selatan
Regency as a material for consideration in the preparation of programs and
policies for the management of natural tourism areas. Research using quantitative
descriptive methods by collecting data through surveys and interviews. To
calculate the value of willingness to pay visitors, the Contingent Valuation Method
(CVM) is used, while the tabulation method is used for visitor characteristics. The
results of the study show that visitors to the Moramo waterfall tourism are visitors
with characteristics aged 20-30 years, have an income of IDR1,000,000,00 -
3,000,000,00 per month, educated at a senior high school level and an
entrepreneur. The value of willingness to pay an average of IDR13,115. The value
of willingness to pay is influenced by the amount of visitor income. Adjustment of
1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya
Pelestarian Sumber Daya Alam, diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado dan SEAMEO BIOTROP, Manado 24 Oktober 2018.
2 Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar; Jl. Perintis
Kemerdekaan Km.16 Makassar, Sulawesi Selatan, Kode pos 90243; Telp. (0411) 554049, Fax
(0411) 554058; E-email : [email protected]
126
tourism services according to characteristics and willingness to pay end visitors
necessary so that Moramo waterfall tourism can be sustainable and contribute to
the government.
Keywords: characteristics, willingness to pay, nature tourism, Moramo waterfall
I. PENDAHULUAN
Pariwisata bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia
merupakan sumber kekuatan ekonomi karena dapat mendatangkan devisa
dalam rangka mendukung pembangunan. Pariwisata juga telah menjadi
sumber utama arus masuk valuta asing bagi negara berkembang (Wunder,
1999). Terdapat hubungan kausalitas dua arah antara pariwisata dan
pertumbuhan ekonomi dimana keduanya menunjukkan saling ketergantungan
(Sokhanvar, Çiftçioğlu, & Javid, 2018). Salah satu jenis wisata adalah wisata
alam. Wisata alam merupakan wisata yang paling diminati oleh masyarakat
dalam melakukan aktivitas rekreasi (Yan, Chan, & Marafa, 2016; Suryadana,
2014). Perkembangan wisata domestik dari tahun ke tahun menunjukkan
peningkatan. Perkembangan perjalanan wisatawan nusantara mengalami
peningkatan sebesar rata-rata 2% per tahun antara tahun 2009 – 2013
(Barudin, Fitriyani, & Indriati, 2017).
Kesadaran akan pentingnya manfaat ekosistem sebagai penyedia tempat
wisata alam telah mendorong meningkatnya jumlah kunjungan ke situs wisata
alam. Wisata alam telah menjadi pembangunan ekonomi dan konservasi yang
penting bagi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan pelestarian alam dan
sekaligus merupakan alat promosi yang baik bagi pembangunan
berkelanjutan di negara-negara berkembang (Iasha, Yacob, Kabir, & Radam,
2015). Pengembangan wisata juga telah menciptakan manfaat ekonomi yang
penting bagi masyarakat sekitar (Ma, Yin, Zheng, Wen, & Hou, 2019; Siew,
Yacob, Radam, Adamu, & Alias, 2015). Pentingnya sektor pariwisata baik
terhadap lingkungan maupun ekonomi menjadikan Pemerintah terus
meningkatkan anggaran untuk pengembangan pariwisata yang mencapai
Rp500 triliun (Movanita, 2018) .
Peningkatan jumlah pengunjung diikuti oleh kebutuhan akan tempat
wisata yang terus meningkat. Namun, peningkatan kebutuhan wisata
terutama wisata alam tidak diiringi dengan pengelolaan yang baik dari
pengelola kawasan wisata. Wisata alam di negara-negara berkembang kerap
menghadapi masalah yang terkait dengan tata kelola dan pengelolaan (Magio,
Karakteristik dan Keediaan Membayar Pengunjung Wisata…….. Wahyudi Isnan dan Nurhaedah Muin
127
Velarde, Santillán, & Ríos, 2013). Informasi dan basis data yang kurang,
diduga menjadi penyebab masalah tersebut. Salah satu informasi yang masih
terbatas adalah informasi tentang pengunjung wisata alam. Pengetahuan
tentang karakteristik dan kesediaan membayar pengunjung merupakan hal
yang penting diketahui oleh manager/pengelola kawasan wisata sebagai
dasar penentuan segmen pasar.
Kawasan wisata alam air terjun Moramo memiliki objek wisata yang
menarik minat wisatawan namun belum memberikan penerimaan yang
maksimal baik bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Inforamsi
yang kurang tentang pengunjung terutama karakteristik dan kesedian
membayar pengunjung wisata alam air terjun Moramo diduga menjadi
penyebabnya. Informasi tersebut dapat berguna dalam perencanaan
pengelolaam kawasan wisata agar dapat memberikan kontribusi bagi
pemerintah. Dalam rangka perencanaan pengelolaan kawasan wisata air
terjun Moramo, perlu dilaksanakan kajian karakteristik dan kesediaan
membayar pengunjung. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
karakteristik dan kesediaan membayar pengunjung kawasan wisata air terjun
Moramo.
II. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan tempat
Penelitian dilaksanakan pada tahun 2017 di kawasan wisata alam air
terjun Moramo berada pada kawasan Suaka Margasatwa Tanjung Peropa
yang merupakan wilayah pengelolaan Seksi Konservasi Wilayah II, Balai
Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Tenggara. Kawasan Suaka
Margasatwa Tanjung Peropa secara geografis terletak antara 40 35’ – 430 57’
LS dan 1220 45 ’ – 1220 55’ BT. Kawasan Suaka Margasatwa
ini berbatasan dengan Teluk Kendari di sebelah Utara, di sebelah Timur
dengan Selat Wawonii, sebelah Selatan dengan Selat Buton dan di sebelah
Barat dengan Kecamatan Moramo. Luas kawasan ini adalah 38.937 ha. Lokasi
penelitian ditampilkan pada Gambar 1.
128
Gambar 1. Peta lokasi penelitian (Sumber: www.google.co.id, 2018)
B. Pungumpulan Data dan Pengambilan Sampel
Data yang diambil adalah data primer yaitu data karateristik sosial
ekonomi dan kesediaan membayar pengunjung wisata alam air terjun
Moramo. Data karateristik sosial ekonomi meliputi umur, lama menempuh
pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan. Sedangkan data sekunder adalah
data pendukung yang diperlukan yang diambil dari instansi yang terkait
dengan pengelolaan wisata alam air terjun Moramo.
Pengambilan sampel dilaksanakan dengan metode accident sampling
sebanyak 130 responden. Responden merupakan pengunjung yang sedang
melaksanakan aktivitas wisata di lokasi penelitian dan dianggap cocok sebagai
sumber data informasi.
C. Analisis Data
Data dan informasi yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis
secara kuantitatif. Data pengunjung ditabulasi menurut tujuan penelitian.
Data karakteristik dianalisis secara deskriptif untuk menggambarkan kondisi
faktual pengunjung. Sedangkan kesediaan membayar pengunjung dianalisis
sebagai berikut;
a. Memperkirakan Nilai Rata-rata dan total Kesediaan Membayar
Nilai rata-rata dan nilai total yang bersedia dibayar oleh pengunjung
wisata alam dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut ini (Fauzi,
2006);
Lokasi penelitian
Karakteristik dan Keediaan Membayar Pengunjung Wisata…….. Wahyudi Isnan dan Nurhaedah Muin
129
𝐸𝑊𝑇𝑃 = ∑ 𝑊𝑖𝑛
𝑖=1
𝑛
Dimana :
EWTP = Rata-rata nilai kesediaan membayar pengunjung
Wi = Kesediaan membayar responden ke i
i = responden ke i
n = jumlah responden
(1) 𝑇𝑊𝑇𝑃 = ∑ 𝑊𝑖 (𝑛𝑖
𝑁)𝑃𝑛
𝑖=1
Dimana :
TWTP = Total kesediaan membayar
Wi = Kesediaan membayar responden ke i
n = Jumlah sampel ke-i yang bersedia membayar
sebesar WTP
N = Jumlah sampel
P = Jumlah populasi
i = Responden ke i yang bersedia membayar (i =
1,2,3…, n)
b. Faktor yang memengaruhi kesediaan membayar
Untuk mengetahui faktor-faktor yang menentukan besaran nilai
kesediaan membayar dilakukan analisis regresi linear terhadap beberap faktor
yang diduga berpengaruh. Analisis dengan menggunakan perangkat lunak
SPSS versi 22.0 Dalam analisis ini variabel terikatnya adalah kesediaan
membayar, dan variabel bebasnya karakteristik sosial ekonomi responden
yaitu umur, pendapatan, dan pendidikan.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran umum lokasi penelitian
Air Terjun Moramo berada dalam kawasan Suaka Margasatwa Tanjung
Peropa Desa Sumber Sari, Kecamatan Moramo, Kabupaten Konawe Selatan,
Provinsi Sulawesi Tenggara. Berikut disajikan gambar Air Terjun Moramo di
Sulawesi Tenggara (Gambar 1).
130
Gambar 1. Air Terjun Moramo di Sulawesi Tenggara (Foto: Isnan,
2017).
Air Terjun Moramo berjarak sekitar 60 km ke arah timur dari ibukota
Kendari merupakan air terjun bertingkat (cascade) yang indah dengan
ketinggian sekitar 100 meter. Air Terjun Moramo memiliki keunikan yang khas
berupa daerah batuan kapur, yang merupakan tempat air mengalir tetapi batu
tersebut tidak licin. Air mengalir dari ketinggian melewati tujuh tingkatan
utama. Di samping 7 tingkatan utama tersebut, terdapat juga 60 tingkatan
kecil yang sekaligus berfungsi sebagai tempat penampungan air (semacam
kolam air). Namun, dari sekian banyak kolam tersebut, hanya satu yang dapat
dimanfaatkan untuk berenang, yaitu kolam yang terletak di tingkat kedua dari
7 tingkatan utama air terjun tersebut. Menurut cerita yang berkembang di
dalam masyarakat, tempat tersebut dipercaya sebagai tempat mandinya para
bidadari yang turun dari kayangan.
Selain keindahan air terjun, kawasan tersebut juga merupakan
perwakilan ekosistem hutan hujan tropis dengan komposisi vegetasi non
Dipterocarpaceae sebagai habitat beraneka jenis burung, kupu-kupu yang
berwarna-warni, dan berbagai satwa lainnya. Kondisi kawasan wisata yang
demikian dapat menjadi tambahan atraksi wisata sehingga dapat
meningkatkan minat dan jumlah pengunjung.
B. Karakteristik Pengunjung
Karakteristik responden menguraikan atau memberikan gambaran
mengenai identitas responden yang terlibat dalam penelitian. Karakteristik
responden dapat digunakan untuk mengetahui keragaman identitas
Karakteristik dan Keediaan Membayar Pengunjung Wisata…….. Wahyudi Isnan dan Nurhaedah Muin
131
responden. Karakteristik responden dalam penelitian ini meliputi: usia,
pekerjaan, pendapatan dan pendidikan. Hal tersebut diharapkan dapat
memberikan gambaran yang cukup jelas mengenai kondisi responden dan
kaitannya dengan masalah dan tujuan penelitian.
Pengunjung wisata alam air terjun Moramo berasal dari berbagai
kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sulawesi Tenggara. Umumnya,
pengunjung berusia 20 – 30 tahun (55%), selebihnya adalah pengunjung
dengan rentang usia <20 tahun sebanyak 14%, usia 31 – 40 sebanyak 22%,
usia 41 – 50 tahun sebanyak 7%, dan usia >50 tahun sebanyak 2%. Kawasan
wisata alam umumnya dikunjungi oleh orang dengan usia muda berdasarkan
beberapa studi (Hasiani, Mulyani, & Yuniarti, 2013; Isnan, 2016b).
Pengunjung berusia relatif muda dan memiliki kesehatan yang masih baik,
sehingga diduga pada usia tersebut pengunjung masih kuat untuk melakukan
perjalanan. Dominasi pengunjung berusia muda menuntut pengelola
menyediakan fasilitas wisata yang sesuai untuk kelompok usia tersebut.
Tingkat pendapatan pengunjung bervariasi mulai dari <Rp. 1.000.000 –
>Rp5.000.000. tingkat pendapatan pengunjung yang paling dominan adalah
Rp1.000.000 – 3.000.000 per bulan sebanyak 48%, selanjutnya adalah
pengunjung dengan tingkat pendapatan <Rp1.000.000 (37%), tingkat
pendapatan Rp3.000.000 – 5.000.000 (10%), dan tingkat pendapatan
>Rp5.000.000 (5%). Berikut pada Tabel 1. ditampilkan karakteristik
pengunjung wisata alam air terjun Moramo.
Tabel 1. Karakteristik pengunjung
Karakteristik Katagori Persentase
(%)
Usia (tahun) <20
20 – 30
31 – 40
41 – 50
>50
14
55
22
7
2
Pendapatan (Rp) <Rp1.000.000
Rp1.000.000 – 3.000.000
Rp3.000.001 – 5.000.000
>Rp5.000.000
37
48
10
5
Pendidikan SD
SLTP
3
15
132
Karakteristik Katagori Persentase
(%)
SLTA
Pendidikan Tinggi
56
26
Pekerjaan Pelajar/Mahasiswa
Wiraswasta
Karyawan Swasta
PNS/TNI/POLRI
Lainnya
29
30
15
12
13
Sumber: Data diolah (2017)
Pendidikan pengunjung wisata alam air terjun Moramo didominasi oleh
pengunjung dengan latar belakang pendidikan SLTA sebanyak 56%.
Selebihnya merupakan pengunjung berpendidikan Perguruan Tinggi 26%,
pendidikan SLTP 15%, dan pendidikan SD 3%. Latar belakang pengunjung
dengan pendidikan SLTA umumnya remaja yang berkunjung secara
berkelompok dan menyukai tantangan dan pengalaman baru.
Pengunjung wisata alam Air Terjun Moramo berprofesi sebagai
wiraswasta (30%), pelajar/mahasiswa (29%), karyawan swasta (15%),
PNS/TNI/POLRI (12%), dan profesi lainnya (13%).
C. Kesediaan Membayar
Kesediaan membayar adalah salah satu metode untuk menggambarkan
permintaan konsumen terhadap manfaat hutan yang tidak memiliki harga
pasar dalam satuan moneter (Ginoga & Lugina, 2007). Kesediaan membayar
tersebut merupakan cerminan kesediaan konsumen untuk mengeluarkan
imbalan terhadap barang atau jasa yang diperolehnya.
Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa kesediaan membayar
pengunjung berada di atas harga tiket masuk saat penelitian yaitu sebesar
Rp3.000. Nilai kesediaan membayar pengunjung yang lebih tinggi dari harga
tarif masuk kawasan wisata air terjun Moramo mengindikasikan bahwa
pengunjung mendapatkan manfaat dan kepuasan lebih terhadap jasa
ekosistem dan menunjukkan kepedulian terhadap jasa lingkungan yang lebih
baik (Iasha et al., 2015; Sadikin, Mulatsih, Pramudya, & Arifin, 2017).
Kesediaan membayar pengunjung bervariasi mulai dari Rp5.000 sampai
Rp30.000 (Tabel 2.).
Karakteristik dan Keediaan Membayar Pengunjung Wisata…….. Wahyudi Isnan dan Nurhaedah Muin
133
Tabel 2. Nilai kesediaan membayar
No Kesediaan Membayar (Rp.) Jumlah
Responden
Total
1.
2.
3.
4.
5.
6.
5.000
10.000
15.000
20.000
25.000
30.000
25
48
21
27
5
4
125.000
480.000
315.000
540.000
125.000
120.000
Total
Rata-rata
130 1.705.000
13.115
Sumber: Data diolah (2017)
Kesediaan membayar pengunjung terendah berada pada nilai Rp5.000
dan tertinggi pada Rp30.000. Rata-rata kesediaan membayar pengunjung
berada pada Rp13.115. Hal ini menunjukkan bahwa harga tiket yang berlaku
saat penelitian masih terlalu rendah dibandingkan dengan kesediaan
membayar pengunjung. Beberapa penelitian menemukan bahwa kesediaan
membayar pengunjung wisata alam umumnya lebih tinggi dari tarif yang
berlaku (Afifah, Bambang, & Sudarno, 2013; Annisa & Harini, 2017; Isnan,
2016a). Kesediaan membayar pengunjung yang melebihi harga tiket yang
berlaku mengindikasikan bahwa nilai kepuasan pengunjung yang didapat
lebih tinggi dari jasa wisata yang ditawarkan. Kesediaan membayar
pengunjung wisata alam lebih tinggi daripada tarif yang berlaku umumnya
disebabkan oleh isu-isu yang terkait dengan konservasi lingkungan (Octaria,
Mulatsih, & Ekayani, 2017). Berikut pada Tabel 3. ditampilkan perkiraan total
kesediaan membayar pengunjung air terjun Moramo.
Tabel 3. Perkiraan total kesediaan membayar
WTP (Rp.) Jumlah Populasi Jumlah Total
W N a=(n/N)xP w x a
5.000
10.000 15.000
20.000 25.000
30.000
25
48 21
27 5
4
77
148 65
83 15
12
385.000
1.480.000 975.000
1.660.000 375.000
360.000
Jumlah 130 400* 5.235.000 *)= Jumlah pengunjung rata-rata sebulan
Sumber: Data diolah (2017)
134
Secara umum pengunjung bersedia untuk membayar tiket masuk ke
kawasan wisata alam air terjun Moramo. Kesediaan membayar adalah jumlah
maksimum yang bersedia dibayar konsumen untuk mendapatkan barang atau
jasa. Rata-rata kesediaan membayar pengunjung air terjum Moramo adalah
sebesar Rp13.115. Nilai tersebut lebih tinggi dari tarif yang diberlakukan oleh
pengelola yaitu sebesar Rp3.000. Jika pengelola menaikkan harga tiket masuk
melebihi kesediaan membayar pengunjung, maka pengunjung tidak akan lagi
bersedia membayar harga tiket masuk yang berimplikasi berkurangnya jumlah
pengunjung yang berwisata ke kawasan wisata air terjun Moramo.
Pengelolaan pungutan masuk ke lokasi wisata alam air terjun Moramo
dilaksanakan oleh Pemerintah Desa Sumber Sari. Sementara pungutan masuk
kawasan wisata alam menurut Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 2014
tentang Jenis dan Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang
belaku pada Kementerian Kehutanan belum dikenai pungutan. Dengan
demikian, penerimaan negara dari jasa lingkungan wisata alam air terjun
Moramo belum ada.
D. Faktor yang memengaruhi kesediaan membayar
Faktor-faktor yang memengaruhi kesediaan membayar pengunjung di
tampilkan pada Tabel 4. Hasil analisis regresi linear menunjukkan bahwa
variabel yang memengaruhi kesediaan membayar pengunjung adalah
pendapatan. Sedangkan variabel umur dan pendidikan tidak memengaruhi
kesediaan membayar pengunjung. Semakin tinggi pendapatan, maka akan
semakin tinggi kesediaan membayar pengunjung. Kesempatan melakukan
perjalanan wisata lebih banyak peluangnya dilakukan oleh orang yang
memiliki pendapatan tetap. Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan
merupakan salah satu faktor yang menentukan seseorang dalam memutuskan
untuk melakukan perjalanan wisata (Keliwar & Nurcahyo, 2015).
Tabel 4. Koefisien variabel faktor-faktor yang memengaruhi kesediaan
membayar
No Variabel Koefisien Simpangan
baku
Signifikasi
1
2
3
4
Konstanta (β)
Umur (X1)
Pendapatan (X2)
Pendidikan (X3)
3435,8
51,8
0,003
227,1
2215,7
49,6
0
169,9
0,123
0,299
0,000*
0,184
Karakteristik dan Keediaan Membayar Pengunjung Wisata…….. Wahyudi Isnan dan Nurhaedah Muin
135
No Variabel Koefisien Simpangan
baku
Signifikasi
Koefisien
Determinasi
0,55
*) α = 5%
Sumber: Data diolah (2017)
Hasil analisis regresi linear berganda menunjukkan koefisien determinasi
(R2) sebesar 0,55 yang berarti bahwa nilai kesediaan membayar pengunjung
dapat dijelaskan sebesar 55% oleh variabel-variabel usia, pendapatan, dan
pendidikan.
Pendapatan pengunjung merupakan variabel yang signifikan
memengaruhi kesediaan membayar (Siew et al., 2015). Kesediaan membayar
pengunjung yang dipengaruhi oleh pendapatan mengakibatkan tingkat
pendapatan pengunjung terkait juga dengan tingkat partisipasi dalam usaha
konservasi kawasan wisata alam sehingga pendapatan menjadi pembatas
kontribusi pengunjung dalam usaha konservasi (Kamri, 2013).
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa
karakteristik pengunjung kawasan wisata alam air terjun Moramo didominasi
oleh pengunjung dengan karakteristik usia 20 – 30 tahun, memiliki
pendapatan sebesar Rp1.000.000 – 3.000.000/bulan, berlatar belakang
pendidikan SLTA dan berprofesi sebagai wiraswasta. Kesediaan membayar
pengunjung berkisar antara Rp5.000 sampai dengan Rp30.000. dengan rata-
rata kesediaan membayar sebesar Rp13.115 yang dipengaruhi oleh jumlah
pendapatan pengunjung.
V. SARAN
Berdasarkan karakteristik dan kesediaan membayar tersebut, pengelola
disarankan untuk menyesuaikan pelayanan wisata menurut karakteristik
tersebut. Kenaikan harga tiket masuk dalam rangka mendukung pengelolaan
kawasan wisata alam air terjun Moramo dapat dilakukan dengan syarat tidak
melebihi rata-rata kesediaan membayar pengunjung sebesar Rp13.115.
Kenaikan harga tiket masuk diharapkan dapat berkontribusi terhadap
pendapatan Pemerintah Pusat maupun Daerah sehingga dapat mendukung
pengelolaan wisata alam yang berkelanjutan.
136
VI. UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Balai Konservasi Sumberdaya
Alam Sulawesi Tenggara dan Bapak Hunggul YSHN, yang telah memfasilitasi
terlaksananya pengumpulan data yang merupakan nilai tambah dari kegiatan
studi kelayakan dan desain detail teknis pembangunan Pembangkit Listrik
Tenaga Mikro Hydro di wilayah Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi
Tenggara.
VII. DAFTAR PUSTAKA
Afifah, K. N., Bambang, A. N., & Sudarno. (2013). Kesediaan membayar jasa
lingkungan air untuk konservasi di TWA Kerandangan Kabupaten Lombok
Barat. Jurnal Ekosains, 5(2), 21–31.
Annisa, T. M., & Harini, R. (2017). Analisis kesediaan membayar (wtp) untuk
mendukung ekowisata berkelanjutan di kawasan wisata Gua Pindul,
Kabupaten Gunungkidul. Jurnal Bumi Indonesia, 6(4), 1–10.
Barudin, Fitriyani, I. A., & Indriati, D. (2017). Kajian Data Pasar Wisatwan
Nusantara. Jakarta. Retrieved from
http://www.kemenpar.go.id/asp/detil.asp?c=145&id=4512
Fauzi, A. (2006). Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan (Edisi ke 2).
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Ginoga, K. L., & Lugina, M. (2007). Metode Umum Kuantifikasi Nilai Ekonomi
Sumber Daya Htan (SDH) Gene. Info Sosial Ekonomi, 7(1), 17–27.
Google.com. (2018). Air Terjun Moramo - Konawe Selatan. Retrieved from
https://sites.google.com/site/wisataairterjun/sulawesi-tenggara/air-
terjun-moramo---konawe-selatan
Hasiani, F., Mulyani, E., & Yuniarti, E. (2013). Analisis kesediaan membayar
dalam upaya pengelolaan objek wisata Taman Alun Kapuas Pontianak,
Kalimantan Barat. Jurnal Teknologi Lingkungan Lahan Basah, 1(1), 1–10.
Iasha, A., Yacob, R. M., Kabir, I., & Radam, A. (2015). Estimating economic
value for potential ecotourism resources in Puncak Lawang Park, Agam
District, West Sumatera, Indonesia. Procedia Environmental Sciences, 30,
326–331. https://doi.org/10.1016/j.proenv.2015.10.058
Isnan, W. (2016a). Harga optimal tiket masuk wisata alam Bantimurung,
Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Sosial Dan Ekonomi Kehutanan,
13(3), 155–163.
Isnan, W. (2016b). Karakteristik dan preferensi pengunjung wisata alam
Bantimurung. Info Teknis Eboni, 13(1), 69–78.
Karakteristik dan Keediaan Membayar Pengunjung Wisata…….. Wahyudi Isnan dan Nurhaedah Muin
137
Kamri, T. (2013). Willingness to pay for conservation of natural resources in
the Gunung Gading National Park, Sarawak. Procedia - Social and
Behavioral Sciences, 101, 506–515.
https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2013.07.224
Keliwar, S., & Nurcahyo, A. (2015). Motivasi dan persepsi pengunjung
terhadap objek wisata Desa Budaya Pampang di Samarinda. Jurnal
Manajemen Resort & Leisure, 12(2), 10–27.
Ma, B., Yin, R., Zheng, J., Wen, Y., & Hou, Y. (2019). Estimating the social
and ecological impact of community-based ecotourism in giant panda
habitats. Journal of Environmental Management, 250(November), artiicel
109506. https://doi.org/10.1016/j.jenvman.2019.109506
Magio, K. O., Velarde, M. V, Santillán, M. A. N., & Ríos, C. A. G. (2013).
Ecotourism in developing countries: A critical analysis of the promise, the
reality and the Future. Journal of Emerging Trends in Economics and
Management Sciences, 4(5), 481–486. Retrieved from
http://search.proquest.com/docview/1470063724?accountid=14744%5
Cnhttp://fama.us.es/search*spi/i?SEARCH=21417024%5Cnhttp://pibse
rver.us.es/gtb/usuario_acceso.php?centro=$USEG¢ro=$USEG&d=1
Movanita, A. N. K. (2018). Cerita Sri Mulyani Diultimatum Presiden soal
Anggaran Pariwisata. Retrieved from
https://ekonomi.kompas.com/read/2018/09/28/072050626/cerita-sri-
mulyani-diultimatum-presiden-soal-anggaran-pariwisata
Octaria, P., Mulatsih, S., & Ekayani, M. (2017). Analisis kesediaan membayar
pengunjung terhadap paket wisata pendidikan lingkungan di Taman
Wisata Alam Garden Kota Bandar Lampung. Jurnal Pengelolaan
Sumberdaya Alam Dan Lingkungan, 7(2), 122–127.
https://doi.org/10.19081/jpsl.2017.7.2.122
Sadikin, P. N., Mulatsih, S., Pramudya, B., & Arifin, H. S. (2017). Analisis
willingness to pay pada ekowisata Taman Nasional Gunung Rinjani.
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 14(1), 31–46. Retrieved from
https://media.neliti.com/media/publications/95451-ID-none.pdf
Siew, M. K., Yacob, M. R., Radam, A., Adamu, A., & Alias, E. F. (2015).
Estimating Willingness to Pay for Wetland Conservation: A Contingent
Valuation Study of Paya Indah Wetland, Selangor Malaysia. Procedia
Environmental Sciences, 30(2015), 268–272.
https://doi.org/10.1016/j.proenv.2015.10.048
Sokhanvar, A., Çiftçioğlu, S., & Javid, E. (2018). Another look at tourism-
economic development nexus. Tourism Management Perspectives,
138
26(2018), 97–106. https://doi.org/10.1016/j.tmp.2018.03.002
Suryadana, M. L. (2014). Analisis sikap wisatawan terhadap beberapa objek
wisata alam unggulan di Provinsi Jawa barat. Jurnal Manajemen Resort
& Leisure, 11(1), 1–5. Retrieved from
http://ejournal.upi.edu/index.php/jurel/article/view/2897/1927
Wunder, S. (1999). Promoting forest conservation through ecotourism
income? A case study from the Ecuadorian Amazon region. CIFOR
Occasional paper (Vol. 62). https://doi.org/10.17528/cifor/000538
Yan, H., Chan, C., & Marafa, L. M. (2016). Local perception and preferences
in nature tourism in Hong Kong. Tourism Management Perspectives,
20(2016), 87–97. https://doi.org/10.1016/j.tmp.2016.07.007
Dunia Nyata Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan ….. Pernando Sinabutar, Anton C. Nugroho, Lidya S. Biringkanae
139
Dunia Nyata Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan di Provinsi Sulawesi Utara1
The Real world of Land Tenure Settlement in Forest Areas in the Province of North Sulawesi
Pernando Sinabutar2, Anton Cahyo Nugroho2, dan Lidya Suryati
Biringkanae2
ABSTRACT
The policy of land tenure settlement in forest areas has the substance of resolving
and providing legal protection for community rights in forest areas who control
the land in forest areas. Since it was implemented, until now the policy has not
been successful and its realization is still stagnant. In fact, the policy should be
believed to be successful because it has beneficial to the stakeholders. During this
time, the stakeholders stated that the main cause of tenurial conflicts in forest
areas was the establishment of a certain area into forest areas unilaterally by the
government, regardless of land ownership. The presence of the policy has become
an opportunity for the stakeholders to resolve forest area tenure conflicts based
on land applications that are controlled and utilized, as a settlement requirement.
In fact, they did not appeal, so that could not be resolved. This study examined
the problems faced in implementing the policy and then provide solutions in its
implementatian. Forest areas are resources that have the characteristics of CPRs,
so that in resolving forest land tenure requires effective regulation by involving
institutions at the local level. The solution cannot be simplified into just a legal
problem that can be overcome only by a formal legalistic approach constructed by
power.
Keywords: forest area, common pool resources (CPRs), land tenure, local
institutions
1Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya
Pelestarian Sumber Daya Alam, diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado dan SEAMEO BIOTROP, Manado 24 Oktober 2018.
2 Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah VI Manado; Jl. 17 Agustus Manado Kotak Pos 1322 Kode Pos 95119 Telp. (0431) 852709 Fax. (0431) 841075; Email : [email protected]
140
I. PENDAHULUAN
Sumberdaya hutan adalah salah satu contoh sumberdaya milik bersama
(Common Pool Resources/CPRs). Karaktersistik sumberdaya yang termasuk
dalam CPRs memiliki karateristik bahwa semua berlomba-lomba ingin
menikmatinya, namun tidak semua memiliki interest untuk memeliharanya.
Dalam situasi seperti itu, sumberdaya tersebut berada pada situasi kompetisi
pengakuan hak-hak (competing claims of ownership), terutama yang dikuasai
oleh negara. Sumberdaya hutan pada situasi tertentu dapat menjadi open
access, jika tidak ada lembaga yang efektif mengurus dan mengelolanya.
Selain tu, akan terjadi pengrusakan dan akan semakin sulit memisahkan pihak
yang berhak dan yang tidak berhak.
Sesungguhnya, sumberdaya CPRs dapat dikelola dengan baik dan efektif,
jika pengelolaannya menggunakan prinsip-prinsip seperti yang dikemukakan
Ostrom (1990), yaitu: (1) terdapat kesesuaian antara peraturan dan situasi
lokal; (2) terdapat kesepakatan yang memungkinkan terjadinya partisipasi
sebagian besar pengguna dalam proses pengambilan keputusan; (3)
monitoring efektif yang dilakukan oleh pemilik dalam hal ini Pemerintah; dan
(4) terdapat sanksi bagi yang tidak menghormati aturan. Seperti juga
pendapat Agrawal et al. (2013) bahwa kunci sukses kelembagaan untuk
mengelola CPRs terletak pada keanggotaan kelompok terdefinisikan secara
jelas, ukuran kelompok kecil, terdapat batas-batas wilayah pengelolaan,
kemudahan dalam monitoring, ada sanksi, dan kedekatan lokasi pengguna
dengan sumberdaya. Untuk menegakkan hak-hak apabila CRPs tidak terkelola
akan membutuhkan biaya ekslusi tinggi (Pakpahan, 1989; Basuni, 2003),
karena tidak mungkin memindahkan permukiman dan masyarakat yang telah
melakukan usaha tani di dalam kawasan hutan; dan jika dipaksakan
direlokasi, Pemerintah akan menanggung biaya yang sangat mahal karena
harus mencarikan lahan baru; dan akan memicu konflik. Apabila hal itu tidak
segera diselesaikan, situasi biaya eksklusi tinggi tersebut dapat memunculkan
penunggang gratis (free rider).
Kawasan hutan Provinsi Sulawesi Utara yang ditetapkan pemerintah
menjadi kawasan hutan dan konservasi perairan sesuai dengan Keputusan
Menteri Kehutanan Nomor SK. 734/Menhut-II/2014 juga berada pada situasi
tersebut, karena penetapannya seringkali belum memperhatikan penguasaan
tanah masyarakat di dalamnya. Masyarakat telah hidup secara turun temurun
dan menggantungkan hidupnya pada hutan, namun belum ada pengakuan
atas hak penguasaannya. Sistem penguasaan tanah yang berlaku di
masyarakat adalah siapa yang lebih dulu membuka lahan, dialah sebagai
Dunia Nyata Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan ….. Pernando Sinabutar, Anton C. Nugroho, Lidya S. Biringkanae
141
pemiliknya. Dengan demikian, dua pihak saling klaim, sehingga memunculkan
kompetisi dalam pengakuan hak-haknya dan pada akhirnya menimbulkan
konflik tenurial. Berdasar dari itu, pemerintah melalui Peraturan Presiden
(Perpres) Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah
dalam Kawasan Hutan akan menyelesaikan dan memberikan perlindungan
hukum atas hak-hak masyarakat yang berada di dalam kawasan hutan.
Kebijakan itu mengharuskan bahwa penyelesaian penguasaan tanah dalam
kawasan hutan harus melalui permohonan. Permohonan disampaikan secara
kolektif melalui kepala desa yang diketahui oleh camat, dan selanjutnya
diserahkan kepada Bupati/Walikota untuk diteruskan kepada Tim yang
dibentuk oleh Gubernur sesuai dengan Perpres tersebut.
Kenyataannya, walaupun telah terjadi Penguasaan Tanah dalam
Kawasan Hutan (PTKH), masyarakat belum mengajukan permohonan.
Padahal, telah terjadi PTKH terutama untuk permukiman, fasilitas sosial,
fasilitas umum, lahan garapan dan pertanian untuk mencukupi kebutuhan
masyarakat sehari-hari. Alokasi areal yang teridentifikasi terdapat PTKH pada
beberapa kabupaten di Provinsi Sulawesi Utara adalah sekitar lebih kurang
3.120,95 ha3. Hal tersebut membuktikan bahwa PTKH telah terjadi, namun
masyarakat tidak mau menyelesaikannya. Pertanyaannya, mengapa
demikian?. Penelitian ini akan menguraikan persoalan tersebut, dan pada
akhirnya akan merumuskan solusi penyelesaiannya, sehingga pelaksanaan
kebijakan tersebut berhasil dan berdaya guna. Bertolak dari pertanyaan itu,
maka penelitian ini bertujuan untuk : (1) menguraikan persoalan yang
dihadapi dalam pelaksanaan penyelesaian PTKH; dan (2) merumuskan opsi
penyelesaian PTKH.
II. METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan waktu penelitian
Penelitian ini merupakan review implementasi kebijakan penyelesaian
penguasaan tanah dalam kawasan hutan di Provinsi Sulawesi Utara. Kebijakan
tersebut telah dilaksanakan sejak Januari 2018, hingga naskah ini ditulis untuk
bahan seminar. Namun demikian, lokasi implementasi kebijakan tersebut
adalah di Provinsi Sulawesi Utara, tepatnya di Kabupaten Minahasa Tenggara,
Kabupaten Minahasa Utara, Kabupaten Minahasa Selatan, Kabupaten Bolaang
Mongondow, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur, Kabupaten Bolaang
3 Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK. 3154/Menlhk-
PKTL/KUH/PLA.2/5/2018 tanggal 18 Mei 2018 Tentang Peta Indikatif Alokasi Kawasan Hutan untuk Penyediaan Sumber Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) Revisi II
142
Mongondow Selatan, dan Kabupaten Kepulauan Talaud. Waktu penelitian
adalah sejak di implementasikan pada Januari 2018 sampai dengan Agustus
2018.
B. Bahan
Bahan yang digunakan adalah peraturan terkait dengan penyelesaian
penguasaan tanah dalam kawasan hutan, antara lain: Perpres Nomor 88
Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan
dan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 3 Tahun
2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Tim Inventarisasi dan Verifikasi
Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan. Bahan lain adalah hasil
pelaksanaan Inventarisasi dan Verifikasi Penguasaan Tanah dalam Kawasan
Hutan (Inver PTKH) di Provinsi Sulawesi Utara yang dilaksanakan oleh Balai
Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah VI Manado dan hasil-hasil
penelitian terkait tenurial kawasan hutan, salah satunya adalah penelitian
Sinabutar (2015) tentang Penataan Tenurial dan Peran Para Pihak dalam
Mewujudkan Legalitas dan Legitimasi Kawasan Hutan Negara.
C. Pendekatan penelitian
Penelitian ini berupaya memahami persoalan sosial dan makna di balik
fakta penyelesaian PTKH khususnya inventarisasi dan verifikasi, sehingga
pendekatan penelitiannya adalah kualitatif (Creswell 1994). Creswell (1994)
menjelaskan bahwa penelitian kualitatif berupaya memahami persoalan sosial
berdasarkan penciptaan gambaran holistik secara lengkap. Pemahaman
makna dibalik fakta adalah menjelaskan fakta berdasarkan teori dan konsep
sehingga secara teoritis lebih bisa dijelaskan bahkan digeneralisir. Pendekatan
ini menempatkan fakta empiris sebagai dasar dalam membangun analisis.
D. Analisis data
Data dianalisis secara kualitatif dengan strategi tipologi yang
mendeskripsikan fakta terlebih dahulu, kemudian menemukan makna di balik
fakta itu. Analisis kualitatif dengan strategi tipologi merupakan usaha
mengambil kesimpulan berdasarkan pemikiran logis dari data dan informasi
yang diperoleh. Data dan informasi dikumpulkan, kemudian diseleksi, lalu
disederhanakan dengan mengambil inti sarinya hingga ditemukan tema
pokok, fokus masalah dan pola-polanya (Lofland 1971 sebagaimana diacu
Amin 2013). Analisis kualitatif dengan tipologi ini dilakukan berdasarkan
interpretasi atas data dan informasi yang diperoleh melalui review dokumen.
Untuk menghindari bias, dilakukan pencocokan antara dokumen yang
ditemukan dengan pengalaman peneliti selama bekerja di BPKH Wilayah VI.
Dunia Nyata Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan ….. Pernando Sinabutar, Anton C. Nugroho, Lidya S. Biringkanae
143
Analisis data merupakan proses mencari dan mengatur secara sistematis
bahan-bahan yang telah didapatkan, yang secara keseluruhan bermanfaat
untuk meningkatkan pemahaman terhadap fenomena yang pada akhirnya
membantu mengungkap temuan-temuan kepada para pihak. Proses analisis
data dalam penelitian kualitatif antara lain pengumpulan data mentah,
transkrip data, pembuatan koding, kategorisasi data, penyimpulan sementara,
triangulasi, dan penyimpulan akhir (Irawan, 2007).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan
Klaim masyarakat atas tanah dalam kawasan hutan terus meningkat dari
waktu ke waktu dan hampir terjadi di seluruh kawasan hutan di Indonesia,
termasuk di Provinsi Sulawesi Utara. Pemerintah telah menerbitkan
instrumen4 untuk menyelesaikan klaim tersebut, yang dikenal dengan
pengukuhan kawasan hutan melalui Panitia Tata Batas (PTB). Namun,
implementasinya belum tuntas. Instrumen itu menuntut pembuktian
penguasaan tanah berdasarkan hukum positif yaitu bukti hak secara tertulis,
yang tidak dapat ditunjukkan oleh masyarakat. Kalaupun dalam instrumen
tersebut dimungkinkan pembuktian dengan bukti hak tidak tertulis,
masyarakat tetap sulit untuk menunjukkannya. Menurut Sinabutar (2015)
bukti hak kepemilikan dan penguasaan masyarakat atas bidang tanah dalam
kawasan hutan didominasi oleh bukti hak tidak tertulis antara lain sejarah
penguasaan dan pemilikan secara turun temurun; siapa yang lebih dulu
membuka lahan dialah pemiliknya; ganti rugi atas bidang tanah yang
disepakati tidak disertai bukti hak, pengalihan hak dilakukan berdasarkan
kesepakatan yang tidak disertai dengan dokumen pengalihan hak, misalnya
Surat Keterangan Tanah (SKT) maupun surat girik. Bukti-bukti ini justru lebih
diakui oleh lembaga lokal (local institution), sehingga masyarakat tidak
berusaha memperoleh bukti hak sesuai hukum positif. Beberapa hal tersebut
tidak selesai dalam proses pengukuhan kawasan hutan, sehingga klaim
kebenaran hanya melekat pada aspek legalitas, bukan legitimasi. Persoalan
penyelesaian klaim telah disederhanakan menjadi sekedar persoalan hukum
yang dapat diatasi hanya dengan pendekatan legalistik-formal yang
4 Instrumen penyelesaian klaim masyakarat atas penguasaan dalam kawasan hutan antara lain
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 44/Menhut-II/2012 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 62/Menhut-II/2013 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan.
144
dikonstruksi oleh kekuasaan. Akibatnya, klaim masyarakat atas tanah dalam
kawasan hutan tidak pernah selesai.
Di Provinsi Sulawesi Utara, indikasi klaim penguasaan dan pemanfaatan
bidang tanah dalam kawasan hutan yang disebut dengan sumber Tanah
Objek Reforma Agraria (TORA) telah tergambar dalam peta indikatif sesuai
Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.
3154/Menlhk-PKTL/KUH/PLA.2/5/2018 tentang Peta Indikatif Alokasi
Kawasan Hutan untuk Penyediaan Sumber Tanah Obyek Reforma Agraria
(TORA) Revisi II seluas 3.120,95 ha5. Kriteria penyelesaian klaim yang
dibangun melalui keputusan itu adalah (a) alokasi 20% untuk kebun
masyarakat dari pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan; (b) Hutan
Produksi yang dapat Dikonversi (HPK) tidak produktif; (c) program
pemerintah untuk pencadangan pencetakan sawah baru; (d) permukiman
transmigrasi beserta fasilitas sosial dan fasilitas umum yang sudah
memperoleh persetujuan prinsip; (e) permukiman, fasilitas sosial dan fasilitas
umum; (f) lahan garapan berupa sawah dan tambak rakyat; dan (g) pertanian
lahan kering yang menjadi sumber mata pencaharian utama masyarakat
setempat. Hasil Inver PTKH yang dilakukan oleh Tim Inver PTKH yang
dibentuk oleh Gubernur Sulawesi Utara menunjukkan bahwa klaim
penguasaan sudah terjadi sejak beberapa tahun yang lewat. Hal tersebut
membuktikan bahwa instrumen pengukuhan kawasan hutan belum berhasil
menyelesaikan klaim dimaksud.
Selama ini, kelembagaan penyelesaian klaim itu belum terfasilitasi
dengan baik. Sinabutar (2015) menyebutkan bahwa telah terjadi situasi aksi
yang menunjukkan partisipan menggunakan sumber daya yang dimiliki secara
penuh dan itu melampaui keseimbangan peran organisasi yang dibentuk
sehingga melemahkan peran anggota lainnya. Kondisi demikian ini tidak
memecahkan persoalan klaim lahan, sebaliknya cenderung berorientasi
menyelesaikan masalah-masalah administrasi dan legalitas semata. Persoalan
penyelesaian klaim bukan persoalan yang sesuai jika hanya didekati dari
hukum positif seperti juga temuan dari Sirat et al. (2004); Contreras-
Hermosilla dan Fay (2006). Akibatnya, kepastian hukum kepemilikan dan
5 Khusus untuk 8 (delapan) kabupaten, belum dihitung untuk seluruh kabupaten/kota di Provinsi
Sulawesi Utara. Kabupaten tersebut antara lain Kabupaten Minahasa 18,46 hektar; Kabupaten Minahasa Selatan 37,13 hektar; Kabupaten Minahasa Tenggara 177,85 hektar; Kabupaten Minahasa Utara 358,20 hektar; Kabupaten Bolaang Mongondow 815,54 hektar; Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan 667,13 hektar; Kabupaten Bolaang Mongondow Timur 693,45 hektar; dan Kabupaten Kepulauan Talaud 358,20 hektar.
Dunia Nyata Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan ….. Pernando Sinabutar, Anton C. Nugroho, Lidya S. Biringkanae
145
penguasaan hutan negara tidak akan pernah selesai. Kepastian itu sangat
penting karena menurut beberapa peneliti, kepastian kepemilikan dan
penguasaan sangat strategis untuk memberantas kemiskinan (de Soto 2000;
Deininger 2003), mendorong pengelolaan CPRs menjadi efektif (Kitamura &
Clapp 2013) dan mendorong investasi pertanian serta meningkatkan
pertumbuhan ekonomi pedesaan (Sivalai et al. 2012). Sebaliknya,
ketidakpastian kepemilikan dan penguasaan akan menyebabkan kerusakan
hutan (Fauzi 2008), konflik (Dove, 1985; Maring, 2010), ketimpangan dan
ketidakadilan penguasaan (Prayogo 2010), ketidakjelasan hak-hak
kepemilikan (property rights) (Lahandu 2007), degradasi lahan dan kekerasan
di tingkat lokal (Contreras-Hermosilla dan Fay 2006).
Oleh karena itu, kepastian hukum kepemilikan dan penguasaan tanah
negara sangat penting. Kebijakan penyelesaian penguasaan tanah dalam
kawasan hutan yang saat ini diterbitkan, diharapkan mampu mewujudkan
kepastian itu. Namun demikian, berbagai persoalan yang dihadapi dalam
impelementasi kebijakan Perpres Nomor 88 Tahun 2017 masih banyak,
sehingga impelementasinya belum optimal.
B. Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan
Dalam Perpres tersebut, penguasaan tanah harus memenuhi kriteria :
(a) bidang tanah telah dikuasai oleh Pihak6 secara fisik dengan itikad baik dan
secara terbuka; (b) bidang tanah tidak diganggu gugat; dan (c) bidang tanah
diakui dan dibenarkan oleh masyarakat hukum adat atau kepala
desa/kelurahan yang bersangkutan serta diperkuat oleh kesaksian orang yang
dapat dipercaya. Seterusnya dijelaskan bahwa PTKH terdiri atas : (a) bidang
tanah yang telah dikuasai dan dimanfaatkan dan/atau telah diberikan hak di
atasnya sebelum bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai kawasan
hutan; atau (b) bidang tanah yang dikuasai dan dimanfaatkan setelah
bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai kawasan hutan. Berdasarkan hal
itu, status kawasan hutan yang dimaksud dalam Perpres adalah kawasan
hutan pada tahap penunjukan baik fungsi hutan konservasi, hutan lindung,
maupun hutan produksi. Jenis pemanfaatan kawasan hutan berupa
6 Pihak adalah perorangan, instansi, badan sosial/keagamaan, masyarakat hukum adat yang
menguasai dan memanfaatkan bidang tanah dalam kawasan hutan (Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017).
146
pemukiman, fasilitas umum dan/atau fasilitas sosial, lahan garapan dan/atau
hutan yang dikelola masyarakat hukum adat7.
Proses penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan diawali
dengan sosialisasi di tangkat kabupaten dengan melibatkan kepala desa dan
perwakilan masyarakat. Setelah sosialisasi, masyarakat yang memiliki bidang
tanah yang dikuasai dan dimanfaatkan di dalam kawasan hutan dimohon
untuk diselesaikan. Permohonan secara kolektif melalui kepala desa yang
diketahui oleh camat untuk disampaikan ke Tim Inver PTKH oleh Bupati.
Kemudian, Tim Inver PTKH melakukan penelaahan terhadap usulan
permohonan dan membahas jadwal pelaksanaan Inver PTKH. Berdasarkan
hasil Inver PTKH, dilakukan pembahasan untuk penyusunan rekomendasi
Gubernur ke Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Hasilnya adalah
persetujuan perubahan batas kawasan hutan atau memberikan akses
pengelolaan melalui perhutanan sosial. Bidang tanah yang disetujui
perubahan batas akan dilakukan tata batas, dan selanjutnya diselesaikan
kepemilikan dan penguasaannya dengan memberikan sertifikat hak milik.
C. Prosedur Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan
Prosedur penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan
dilakukan berdasarkan tahapan : (a) inventarisasi penguasaan tanah dalam
kawasan hutan; (b) verifikasi penguasaan tanah dan penyampaian
rekomendasi; (c) penetapan pola penyelesaian penguasaan dan pemanfaatan
tanah dalam kawasan hutan; (d) penerbitan keputusan penyelesaian
penguasaan dan pemanfaatan tanah dalam kawasan hutan; dan (e)
penerbitan sertifikat hak atas tanah.
Inventarisasi penguasaan tanah dalam kawasan hutan dilakukan
berdasarkan pendaftaran permohonan yang diajukan oleh Pihak melalui
bupati/walikota. Kegiatan ini meliputi pendataan penguasaan, pemilikan,
penggunaan atau pemanfaatan tanah. Satuan wilayah pendataan
7 Pemukiman merupakan bagian di dalam kawasan hutan yang dimanfaatkan sebagai
lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung
penghidupan masyarakat serta masyarakat hukum adat. Fasilitas umum dan/atau fasilitas
sosial merupakan fasilitas di dalam kawasan hutan yang digunakan oleh masyarakat untuk
kepentingan umum. Kemudian, lahan garapan merupakan bidang tanah di dalam kawasan
hutan yang dikerjakan dan dimanfaatkan oleh seseorang atau sekelompok orang yang dapat
berupa sawah, ladang, kebun campuran dan/atau tambak. Selanjutnya, hutan yang dikelola
masyarakat hukum adat merupakan hutan adat yang ditetapkan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Dunia Nyata Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan ….. Pernando Sinabutar, Anton C. Nugroho, Lidya S. Biringkanae
147
penguasaan, pemilikan, penggunaan atau pemanfaatan tanah adalah wilayah
administrasi kabupaten/kota dan dilakukan 1 (satu) kali untuk setiap satuan
wilayah. Selanjutnya dilakukan verifikasi penguasaan tanah berdasarkan hasil
inventarisasi dengan memanfaatkan sistem informasi geografis. Verifikasi
penguasaan tanah dilakukan dengan tahapan : (a) pelaksanaan analisis data
fisik dan data yuridis bidang-bidang tanah yang berada di dalam kawasan
hutan, serta analisis lingkungan hidup; (b) pelaksanaan verifikasi lapangan
jika diperlukan; (c) perumusan rekomendasi penyelesaian penguasaan tanah
dalam kawasan hutan berdasarkan analisis; dan (d) penyampaian
rekomendasi penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan kepada
gubernur dengan melampirkan : (1) Peta Penguasaan, Pemilikan,
Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah dalam kawasan hutan (P4TKH) non
kadastral; (2) Surat Pernyataan Penggunaan Fisik Bidang Tanah (SP2FBT)
yang ditandatangani oleh masing-masing pemohon; (3) salinan bukti-bukti
penguasaan tanah lainnya; (4) pakta integritas Tim Inver PTKH; dan (5)
usulan pola penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan.
Pelaksana Inver PTKH adalah tim yang dibentuk oleh Gubernur.
Gubernur melaporkan pelaksanaan tugas Tim Inver PTKH kepada Ketua Tim
Percepatan PPTKH secara berkala setiap 3 (tiga) bulan atau sewaktu-waktu
diperlukan. Pedoman pelaksanaan tugas Tim Inver PTKH diatur dengan
Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian selaku Ketua Tim
Percepatan PPTKH. Rekomendasi yang disusun Tim Inver PTKH disampaikan
Gubernur kepada Ketua Tim Percepatan PPTKH dengan tembusan kepada
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja
sejak diterimanya laporan dan rekomendasi dari Tim Inver PTKH. Ketua Tim
Percepatan PPTKH melakukan koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan
penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan dan hasilnya berupa
pertimbangan penyelesaian penguasaan tanah yang berada di dalam kawasan
hutan untuk ditindaklanjuti oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan memutuskan penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan
hutan untuk dapat diproses lebih lanjut atau ditolak. Mekanisme pelaksanaan
koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan penyelesaian penguasaan tanah
dalam kawasan hutan diatur dengan Peraturan Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian selaku Ketua Tim Percepatan PPTKH.
Dalam hal keputusan penyelesaian untuk bidang tanah yang dikuasai dan
dimanfaatkan berupa tukar menukar kawasan hutan atau resettlement atau
pemberian akses pengelolaan hutan melalui program perhutanan sosial,
148
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyelesaikan sesuai dengan
Peraturan Perundang-Undangan. Biaya pelaksanaan tukar menukar kawasan
hutan atau resettlement menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Dalam
hal keputusan penyelesaian bidang tanah yang dikuasai dan dimanfaatkan
berupa pengeluaran bidang tanah dalam kawasan hutan dengan perubahan
batas kawasan hutan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan
surat keputusan perubahan batas kawasan hutan setelah dilakukan penataan
batas sesuai peraturan perundang-undangan.
Keputusan perubahan batas kawasan hutan disampaikan kepada Tim
Percepatan PPTKH, Gubernur, Tim Inver PTKH, dan Bupati/Walikota.
Berdasarkan keputusan penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan
hutan, Bupati/Walikota mengumumkan kepada Pihak paling lambat 14 (empat
belas) hari kerja sejak diterimanya keputusan perubahan batas kawasan
hutan. Pihak dapat mengajukan keberatan kepada Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan atas keputusan penyelesaian penguasaan tanah dalam
kawasan hutan. Pengajuan keberatan disampaikan melalui Bupati/Walikota
dengan batas waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diumumkannya
keputusan penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan. Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan dapat menerima atau menolak keberatan
yang diajukan oleh Pihak. Dalam hal diterima, Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan menyampaikan kepada Gubernur untuk melakukan verifikasi
ulang. Keputusan perubahan batas kawasan hutan yang ditetapkan oleh
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan digunakan sebagai dasar
penerbitan sertifikat hak atas tanah yang dilaksanakan sesuai peraturan
perundang-undangan. Penerbitan sertifikat hak atas tanah dapat dilakukan
dengan penataan melalui konsolidasi tanah.
Perlu diketahui bahwa selama prosedur penyelesaian PTKH tengah
dilakukan, masyarakat tidak melakukan pendudukan tanah baru dan/atau
melakukan perbuatan yang dapat mengganggu pelaksanaan penyelesaian
penguasaan tanah dalam kawasan hutan. Di samping itu, instansi pemerintah
tidak melakukan pengusiran, penangkapan, penutupan akses terhadap tanah,
dan/atau perbuatan yang dapat mengganggu pelaksanaan penyelesaian
penguasaan tanah di dalam kawasan hutan.
D. Pola Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan
Ada beberapa batasan agar bidang tanah yang telah dikuasai dan
dimanfaatkan termasuk dalam pola penyelesaian PTKH, yaitu : (a) posisi
kawasan hutan pada tahap penunjukan, sehingga ditetapkan ketentuan
Dunia Nyata Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan ….. Pernando Sinabutar, Anton C. Nugroho, Lidya S. Biringkanae
149
sebelum dan setelah penunjukan kawasan hutan; (b) memperhitungkan
luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30% (tiga puluh
perseratus) dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi; dan (c)
lama penguasaan tanah dengan itikad baik lebih, sama atau kurang dari 20
tahun. Pola penyelesaian untuk bidang tanah yang telah dikuasai dan
dimanfaatkan dan/atau telah diberikan hak di atasnya sebelum bidang tanah
tersebut ditunjuk sebagai kawasan hutan dilakukan dengan mengeluarkan
bidang tanah dari dalam kawasan hutan melalui perubahan kawasan hutan.
Sedangkan pola penyelesaian untuk bidang tanah yang dikuasai dan
dimanfaatkan setelah bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai kawasan hutan
adalah berupa : (a) mengeluarkan bidang tanah dalam kawasan hutan melalui
perubahan kawasan hutan; (b) tukar menukar kawasan hutan; (c)
memberikan akses pengelolaan hutan melalui program perhutanan sosial;
atau (d) melakukan resettlement. Selengkapnya, pola penyelesaian PTKH
berdasarkan Perpres Nomor 88 Tahun 2017 dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Pola penyelesaian penguasaan dan pemanfaatan tanah dalam
kawasan hutan (Perpres Nomor 88 Tahun 2017).
Pola/ Status
Sebelum Penunjukan
Setelah Penunjukan
Luas
Kawas-an
Hutan
Tidak Terkait Luas Kawasan Hutan
Luas kawasan hutan < 30%
Luas Kawasan Hutan > 30%
Provinsi
Pengua
saan/ Peman
-faatan
Pmkm
Fa
s Fu
m
Lh
n Gr
pn
Adat
*)
Pmkm
Fa
s Fu
m
Lh
n Gr
pn
Adat
*)
Pmkm
Fa
s Fa
m
Lhn Grp
n
Adat
*)
Pola Penye-
lesaian
Bidang Tanah
dikeluarkan (K)
Bidang Tanah dikeluarkan (K), Tukar Menukar (T), Perhutanan Sosial (PS) dan
Resettlement (R)
Fungsi Hutan :
Konser
vasi K R (Seluruh Kondisi)
Lindung
Meme-
nuhi Kriteria
K R R PS R R
K (>
20)
(TORA)
150
Pola/
Status
Sebelum
Penunjukan Setelah Penunjukan
PS
(<
20)
Lindun
g Tidak
Memen
uhi Kriteria
K T T ?? K K ??
Produksi
K
T
ata
u R
T
atau
R
PS K K
K
(> 20)
(TORA)
PS (<
20)
*) hutan adat yang dikelola oleh masyarakat hukum adat ditetapkan sesaui peraturan
perundangan
Sumber : Kartodihardjo (2017)
E. Dunia Nyata Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan
Hutan
Pada akhirnya, penyelesaian PTKH akan selesai pada pengakuan
masyarakat terhadap hutan negara dan konflik tenurial dalam kawasan hutan
menurun. Proses itu tidak mudah, dan memerlukan waktu yang tidak singkat.
Pengguna CPRs perlu mengorganisasikan diri dalam merancang, memantau
dan menegakkan aturan yang berlaku antar pengguna sumberdaya seperti
halnya temuan Travers et al. (2011). Pengurusan pengakuan membutuhkan
waktu yang panjang dan harus dilakukan secara simultan, sehingga perlu
kehadiran lembaga pengelola di tingkat tapak yang sehari-hari berkomunikasi
dengan masyarakat. Selama ini, penguasaan tanah oleh negara hanya
direfleksikan pada deliniasi di atas peta, kehadirannya di tingkat tapak tidak
pernah terlihat apalagi dirasakan. Kehadiran lembaga pengelola di tingkat
tapak dapat memperkuat hak-hak masyarakat lokal. Hal ini sejalan dengan
temuan Hansen (2011) bahwa penguatan hak-hak masyarakat lokal
merupakan bagian dari reformasi kebijakan pengelolaan hutan. Demikian juga
hasil penelitian Larson (2010) yang mengatakan bahwa pengakuan
masyarakat adat dapat berimplikasi pada penguatan hak-hak masyarakat
lokal. Penguatan tersebut oleh Andersson et al. (2013) merupakan salah satu
Dunia Nyata Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan ….. Pernando Sinabutar, Anton C. Nugroho, Lidya S. Biringkanae
151
indikator penting dalam mewujudkan tata kelola kehutanan yang
berkelanjutan.
Beberapa hal itu, belum sinkron dengan proses yang diamanatkan dalam
Perpres. Batasan waktu yang disebutkan menjadi faktor kuat
ketidakberhasilan pelaksanaannya. Tim Inver PTKH Provinsi Sulawesi Utara
yang telah melaksanakan tugasnya sejak sosialisasi hingga merumuskan
rekomendasi penyelesaian PTKH yang akan disampaikan Gubernur Sulawesi
Utara ke Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, menemukan opsi agar
kebijakan penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan tersebut
dapat terimplementasi dengan baik, yaitu : (1) proses penyelesaian
penguasaan tanah dalam kawasan hutan tidak dibatasi dalam 1 (satu) tahun;
(2) tahapan lebih disederhanakan, termasuk persyaratan yang harus dipenuhi
oleh masyarakat yang menguasai dan memanfaatkan bidang tanah dalam
kawasan hutan; (3) pola penyelesaian disesuaikan dengan fakta lapangan,
bukan pada bukti kepemilikan dan penguasaan, khususnya permukiman dan
fasilitas sosial maupun fasilitas umum; (4) kebijakan seharusnya fokus pada
penyelesaian bidang tanah yang dimanfaatkan dan digunakan untuk
permukiman, fasilitas sosial dan fasilitas umum, sedangkan lahan garapan dan
hutan yang dikelola oleh masyarakat adat dapat diselesaikan dengan
mekanisme lain; dan (5) mendorong keterlibatan dan peran yang lebih besar
lembaga pengelola di tingkat tapak, antara lain Kesatuan Pengelolaan Hutan
(KPH).
1. Proses Penyelesaian PTKH tidak dibatasi 1 (satu) tahun
Perpres menyebutkan bahwa penyelesaian PTKH mulai dari sosialisasi;
pendaftaran permohonan penyelesaian tanah dari Pihak; inventarisasi dan
verifikasi penguasaan tanah dalam kawasan hutan; penyusunan rekomendasi;
dan keputusan perubahan batas diselesaikan dalam waktu 1 (satu) tahun.
Keberadaan pihak, terutama perseorangan yang memiliki bukti hak yang tidak
sesuai dengan yang dipersyaratkan dalam Perpres akan sulit, sehingga
berdampak pada permohonan. Dengan demikian, penyelesaian PTKH dalam
1 (satu) tahun, diyakini tidak akan selesai. Proses penyelesaian PTKH perlu
mempertimbangkan kriteria penguasaan tanah, misalnya permukiman,
fasilitas sosial dan/atau fasilitas umum yang secara eksisting telah ditemukan
di lapangan hendaknya diproses langsung berupa pengeluaran dari kawasan
hutan, tanpa permohonan individu.
152
2. Kesulitan dalam Pemenuhan Persyaratan
Pemenuhan persyaratan sangat sulit. Sosialisasi yang dibatasi satu kali
pelaksanaan juga mempengaruhi pendaftaran permohonan. Syarat dan bukti
pendaftaran bidang tanah cukup rumit, terutama bukti hak. Kebijakan
menganggap bahwa masyarakat akan berlomba-lomba untuk menyelesaikan
klaim, karena ditengarai masyarakat telah menguasai bidang tanah dalam
kawasan hutan. Faktanya tidak demikian, masyarakat justru apatis dan tidak
mau mendaftarkan bidang tanah yang dikuasainya. Akibatnya, tidak ada
permohonan. Sosialisasi yang dilaksanakan di tingkat kabupaten dengan
melibatkan kepala desa dan perwakilan masyarakat belum mampu
memberikan pemahaman, bahkan menambah kebingungan akibat selalu
berubahnya kebijakan penyelesaian PTKH.
3. Pola Penyelesaian hendaknya berdasarkan Fakta Lapangan
Pengaturan pola penyelesaian PTKH dalam Perpres diatur secara rigid,
namun sulit dalam implementasinya. Seharusnya, pola penyelesaian PTKH
disesuaikan dengan fakta lapangan, khususnya kriteria penguasaan tanah
berupa permukiman, fasilitas sosial dan/atau fasilitas umum. Seperti
disebutkan sebelumnya, bukti tertulis yang dimiliki masyarakat terhadap
bidang tanah yang dimiliki maupun dikuasai relatif tidak ada, sehingga
berdasarkan hukum positif, penyelesaian PTKH akan sulit.
4. Kebijakan Fokus pada Permukiman, Fasilitas Sosial dan Fasilitas
Umum
Persoalan utama PTKH adalah banyaknya permukiman yang berada
dalam kawasan hutan. Menurut BPS-Dephut (2007), dari 31.864 desa yang
diidentifikasi (15 provinsi) terdapat 16.760 desa berada di dalam kawasan
hutan. Oleh karena itu, fokus kebijakan seharusnya dimaksudkan untuk
kriteria penguasaan tanah permukiman, fasilitas sosial dan/atau fasilitas
umum.
5. Mendorong Peran Lembaga KPH
Sejatinya, pengurusan hutan dengan membentuk wilayah pengelolaan
hutan yang disebut dengan KPH telah diamanatkan dalam Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999. Pasal 10 Undang-Undang tersebut menyebutkan
bahwa pengurusan hutan meliputi kegiatan penyelenggaraan perencanaan
kehutanan, pengelolaan hutan, penelitian dan pengembangan, pendidikan
dan latihan, penyuluhan kehutanan, dan pengawasan. Selanjutnya, Pasal 12
menyebutkan bahwa salah satu bagian dari perencanaan hutan adalah
pembentukan wilayah pengelolaan hutan. Kemudian, Pasal 17 menegaskan
Dunia Nyata Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan ….. Pernando Sinabutar, Anton C. Nugroho, Lidya S. Biringkanae
153
bahwa pembentukan wilayah pengelolaan hutan tersebut dilakukan pada
tingkat unit pengelolaan. Unit pengelolaan dimaksud sebagaimana disebutkan
pada turunan dari Undang-Undang tersebut yaitu Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 6 Tahun 2007 jo. PP Nomor 3 Tahun 20088 adalah Kesatuan
Pengelolaan Hutan (KPH). Kehadiran lembaga KPH di tapak, diyakini mampu
menjadi fasilitator dan perantara implementasi kebijakan, termasuk
mensosialisasikan kebijakan dari waktu ke waktu; membantu pendaftaran
permohonan; meyakinkan masyarakat pentingnya menyelesaikan PTKH;
melakukan pendampingan pemenuhan bukti-bukti yang dipersyaratkan; dan
membantu melakukan pengukuran bidang tanah dan membuat sketsa secara
sederhana. Dengan begitu, penyelesaian PTKH lebih efektif, efisien dan
diyakini keberhasilannya.
IV. KESIMPULAN
Karakteristik hutan negara sebagai CPRs memerlukan pengaturan yang
efektif supaya kepastian hukum kepemilikan dan penguasaannya dapat
terwujud. Perpres Nomor 88 Tahun 2017 yang diyakini mampu mewujudkan
kepastian tersebut, ternyata belum berhasil. Pola, penyelesaian, pemenuhan
persyaratan, prosedur dan pengorganisasian penyelesaian PTKH yang dinilai
rumit, belum mampu menyelesaikan dan memberikan perlindungan hukum
terhadap hak-hak masyarakat yang berada di dalam kawasan hutan. Arena
aksi antara lain situasi aksi dan aktor yang terlibat dalam PTKH perlu
pemahaman bersama (homogenitas) dan menyederhanakan prosedur,
tahapan dan pola penyelesaiannya. Oleh karena itu, titik kritis untuk
menghindari kebuntuan, perlu diketahui. Terakhir, agar kebijakan tersebut
operasional, diperlukan beberapa prasyarat antara lain proses, tahapan, pola
penyelesaian dan prosedurnya yang lebih disederhanakan. Prasyarat itu akan
mendorong penyelesaian PTKH tidak akan administratif belaka, namun akan
mempermudah proses penyelesaiannya.
V. DAFTAR PUSTAKA
Agrawal, A., Brown, D. G., Rao, G., Riolo, R., Robinson, D. T., & Bommarito,
M. (2013). Interactions between organizations and networks in common-
pool resource governance. Environmental Science and Policy, 25, 138-
146. doi:10.1016/j.envsci.2012.08.004
8 PP ini mengatur tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan,
Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan
154
Andersson, K., Benavides, J. P., & Leon, R. (2013). Institutional diversity and
local forest governance. J Environmental Science & Policy, 36, 61-72.
http://dx.doi.org/10.1016/j.envsci.2013.07.009.
Amin, M. (2013). Kekuasaan dan Politik Lokal (Studi tentang Peran Pemuda
Pancasila dalam Mendukung Syamsul Arifin dan Gatot Pudjonugroho
sebagai Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sumatera Utara
Periode 2008-2013). Disertasi tidak diterbitkan, Universitas Indonesia,
Jakarta.
Basuni, S. (2003). Inovasi Institusi Untuk Meningkatkan Kinerja Daerah
Penyangga Kawasan Konservasi; Studi Kasus di Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango, Jawa Barat. Disertasi tidak diterbitkan, Program
Pascasarjana IPB, Bogor.
[BPS-Dephut] Badan Pusat Statistika-Departemen Kehutanan. (2007).
Identifikasi Desa dalam Kawasan Hutan. Kerjasama Pusat Rencana dan
Statistik Kehutanan, Departemen Kehutanan dengan Direktorat Statistik
Pertanian, Badan Pusat Statistik. Jakarta
Contreras-Hermosilla A., & Fay C. (2006). Memperkokoh Pengelolaan Hutan
Indonesia: Melalui Pembaruan Penguasaan Tanah, Permasalahan dan
Kerangka Tindakan. Bogor, Indonesia: Bogor World Agroforestry Center
dan Forest Trends
Creswell J. W. (1994). Research Design Qualitative & Quantitative
Approaches. Sage Publications, Inc.
Deininger K. 2003. Land policies for growth and poverty reduction. World Bank
Policy
De Soto H. (2000). The Mystery of capital. New York, USA: Basic Books.
Dove, M. R. 1985. Government Perceptions of Traditional Social Forestry in
Indonesia: The history, causes, and implications of state policy on
swidden agricultural. “In Community Forestry: Socio-Economic Aspects.
Rome: Food and Agricultural Organization.
Fauzi, N. (2008). Gelombang Baru Reforma Agraria di Awal Abad ke-21.
Makalah pada Seminar “Agenda Pembaruan Agraria dan Tirani Modal”
Kampus FISIP UI.
Hansen, C. P. (2011). Forest law compliance and enforcement: The case of
on-farm timber extraction in Ghana. Journal of Environmental
Management, 92(3), 575–586.
http://dx.doi.org/10.1016/j.jenvman.2010.09.021.
Dunia Nyata Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan ….. Pernando Sinabutar, Anton C. Nugroho, Lidya S. Biringkanae
155
Irawan P. (2007). Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial.
Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia. Depok: Copyrights DIA FISIP UI.
Kartodihardjo, H. (2017). Titik Kritis Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam
Kawasan Hutan. Jakarta: Agro Indonesia
Kitamura K., and Clapp, R. A. (2013). Common property protected areas:
community control in forest conservation. J. Land Use Policy, 34, 204-
212. doi : 10.1016/j.landusepol.2013.03.008
Lahandu. (2007). Analisis kebijakan pengelolaan akses sumber daya alam oleh
masyarakat Kaili di Taman Hutan Raya (Tahura) Sulawesi Tengah. Tesis
tidak diterbitkan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Larson, A. M. (2010). Making the ‘rules of the game’: Constituting territory
and authority in Nicaragua’s indigenous communities. Land Use Policy,
27 (4), 1143–1152. http://dx.doi.org/10.1016/j.landusepol.2010.03.004
Maring, P. (2010). Bagaimana Kekuasaan Bekerja di Balik Konflik, Perlawanan
dan Kolaborasi? Sebuah Sudut Pandang Antropologi tentang Perebutan
Sumber daya Ekologi. Jakarta (ID): Lembaga Pengkajian Antropologi
Kekuasaan Indonesia.
Nugroho, B. (2013). Reformasi institusi dan tata pemerintahan: Faktor
pemungkin menuju tata kelola kehutanan yang baik, dalam Kartodihardjo
H, (ed), Kembali ke Jalan Lurus: Kritik Penggunaan Ilmu dan Praktek
Kehutanan Indonesia. Yogyakarta (ID): Nailil Printika.
Ostrom, E. 1990. Governing the Commons. The Evolution of Institution for
Collective Action. New York: Cambridge University Press.
Ostrom, E. & Schlager E. (1996). The Formation of Property Right, dalam
Hanna, S., Folke, C., & Maler, K. G. (eds), Rights to Nature. Ecological,
Economic, Cultural, and Political Principles of Institutions for the
Environment. Washington DC: Island Press.
Ostrom, E. (2005). Understanding Institutional Diversity. Princeton and
Oxford: Princenton University Press.
Pakpahan, A. (1989). Kerangka analitik untuk penelitian rekayasa sosial:
perspektif ekonomi institusi, dalam Evolusi Kelembagaan Pedesaan di
Tengah Perkembengan Teknologi Pertanian.
Prayogo, D. (2010). Anatomi konflik antara korporasi dan komunitas lokal
pada industri geotermal di Jawa Barat. Jurnal Makara, Sosial Humaniora,
14(1), 25-34.
156
Republik Indonesia. (1999). Undang-Undang 302016 Republik Indonesia,
1999, Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tetang Kehutanan.
Republik Indonesia. (2017). Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2004 tentang
Perencanaan Kehutanan.
Republik Indonesia. (2017). Peraturan Presiden No.88 Tahun 2017 tentang
Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan.
Republik Indonesia. (2018). Peraturan Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian No.3 Tahun 2018 tentang Pedoman Tugas Tim
Inventarisasi dan Verifikasi Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan.
Republik Indonesia. (2012). Peraturan Menteri Kehutanan No.44/Menhut-
II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan.
Republik Indonesia. (2012). Peraturan Menteri Kehutanan No. 62/Menhut-
II/2013 tentang Perubahan P. 44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan
Kawasan Hutan.
Ribot, J. C. & Peluso N. L. (2003). A Theory of Access. J. Rural Sociology
68(2), 153–181.
Sinabutar, P. (2015). Penataan Tenurial dan Peran Para Pihak dalam
Mewujudkan Legalitas dan Legitimasi Kawasan Hutan Negara. Disertasi
tidak diterbitkan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sirat, M., Situmorang, L., Galudra, G., Fay, C., & Pasya, G. (2004). Kebijakan
pengukuhan kawasan hutan dan realisasinya. Bogor, Indonesia: World
Agroferestry Centre
Sivalai, V., Khantachavana, Turvey, C.G., Kong, R., & Xia, X. (2012). On the
transaction values of land use rights in rural China. Journal of
Comparative Economics, 41, 863–878. doi : 10.1016/j.jce.2012.11.003
Travers, H, Clements, T., Keane, A., & Milner-Gulland. (2011). Analysis
Incentives for cooperation: The effects of institutional controls on
common pool resource extraction in Cambodia. Journal Ecological
Economics, 71:151–161.
http://dx.doi.org/10.1016/j.ecolecon.2011.08.020
Membangun Sinergi Para Pihak Hutan Rakyat di Kabupaten.….. Achmad Rizal H Bisjoe, Nurhaedah Muin, Evita Hapsari
157
Membangun Sinergi Para Pihak Hutan Rakyat di Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara1
Developing Synergy Among Private Forests’ Stakeholders In South Konawe District, South-East Sulawesi Province
Achmad Rizal H Bisjoe2, Nurhaedah Muin2, dan Evita Hapsari2
ABSTRACT
The success of private forest management determined by the roles of the parties.
In the value chain of private forest commodities, their roles can be identified and
they were interacting and benefiting each other. Creating synergies between the
parties of the private forest will provide an opportunity to obtain optimal benefits
for all parties involved in the private forest management. South Konawe District
with private forest areas of 4,640 hectares or 45% of its forested area is
potential for sustainable private forest management. In addition, the presence of
the parties that guarantee the availability of the market for private forest timber
and the assistance of the relevant technical agencies, especially in the supply of
seeds, are the basis in considering the need to create synergies. This study aims
to describe the process of creating synergies between parties in private forest
management in South Konawe, by conducting a study in Lambakara Village, Sub
district of Laeya. The method used in this study is a qualitative descriptive
method. Data is collected through interviews and observations. The results
showed that the synergy of private forestry parties in South Konawe had been
able to change the role of most people from illegal logging with the
establishment of a cooperative business entity called Hutan Jaya Lestari
Cooperation or KHJL (Koperasi Hutan Jaya Lestari). The existence of this
institution has an impact on various aspects, both internal and external,
including Lambakara Village as a destination for various comparative study
needs of sustainable forest management models from all over regions in
Indonesia.
Keywords: synergy, stakeholders, private forest, South Konawe district
1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya
Pelestarian Sumber Daya Alam, diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado dan SEAMEO BIOTROP, Manado 24 Oktober 2018.
2 Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar; Jalan
Perintis Kemerdekaan KM 16, Daya, Makassar – 90243; E-mail : [email protected]
158
I. PENDAHULUAN
Keberlanjutan pasokan kebutuhan kayu di Indonesia yang berasal dari
hutan alam perlahan-lahan mulai berakhir, seiring dengan makin
menguatnya peran hutan milik atau hutan rakyat sebagai pendukung hutan
negara, terutama untuk fungsi hutan produksi. Hutan rakyat di Sulawesi
Tenggara menunjukkan perkembangan yang cepat dalam dekade terbaru.
Pengembangannya telah berkontribusi dalam penyediaan bahan baku kayu.
Selain itu, pengelolaannya melibatkan petani, pedagang, dan industri, di
mana semua pihak melakukan proses untuk memeroleh nilai tambah (Bisjoe
dan Muin, 2015). Keberhasilan pengelolaan hutan rakyat ditentukan, antara
lain oleh hubungan ko-operatif antara berbagai pihak (Sukwika, 2018) dalam
pengelolaan hutan rakyat, yaitu: petani hutan rakyat, dinas kehutanan
setempat, mitra antara, dan personil perusahaan berbasis kayu. Bilamana
hubungan ko-operatif tersebut berlangsung efisien dan efektif, aman dari
konflik, maka semua pihak terkait dalam pengelolaan hutan rakyat dapat
memeroleh manfaat yang optimal dari hutan rakyat.
Menghubungkan program reboisasi atau pun penghijauan dengan
peluang usaha komersial bagi masyarakat pedesaan tampaknya merupakan
strategi yang logis. Akibatnya, Indonesia (seperti banyak negara lain) telah
beralih investasi untuk mendukung kehutanan komersial berbasis
masyarakat atau Community-Based Commercial Forestry (CBCF). Dalam
pengelolaan hutan CBCF, terdapat tiga model hubungan berdasarkan pola
hubungan petani hutan dengan industri pengolahan kayu, yaitu: 1) petani
individu – pedagang antara – industri; 2) kelompok tani – industri; dan 3)
kelompok tani – pedagang antara – industri Model CBCF dengan komoditas
jati merah (Tectona grandis) di Desa Lambakara menampilkan pelaku pasar,
yaitu: petani, pedagang antara, koperasi KHJL (Koperasi Hutan Jaya Lestari),
dan industri antarpulau, yang menunjukkan 2 model rantai tataniaga jati,
yaitu: 1) petani – koperasi KHJL – industri antarpulau; dan 2) petani –
pedagang antara – industri antarpulau.
Di Indonesia dan beberapa negara lain menunjukkan bahwa partisipasi
masyarakat di sektor kehutanan komersial atau CBCF tidak cukup untuk
menjamin 'keberlanjutan' usaha kehutanan berbasis masyarakat. Demikian
halnya dengan penerimaan petani dari usaha kehutanan komersial seringkali
jauh dari nilai potensi kayu yang diusahakan. Beberapa hal menurut Race &
Wettenhall (2016) yang menjadi penyebabnya, antara lain: kurangnya
pengetahuan petani tentang pasar kayu,terbatasnya akses petani ke pasar
kayu, terbatasnya kapasitas petani untuk menjual kayu dalam skala besar
Membangun Sinergi Para Pihak Hutan Rakyat di Kabupaten.….. Achmad Rizal H Bisjoe, Nurhaedah Muin, Evita Hapsari
159
dan berkelanjutan, rendahnya tingkat keterampilan petani tentang teknik
silvikultur untuk memeroleh hasil kayu berkualitas, dan rendahnya kualitas
bibit dalam penanaman pohon.
Keberlanjutan pengelolaan hutan rakyat perlu dipertahankan, agar
tetap memberikan manfaat, terutama kepada masyarakat sebagai pemilik
hutan. Keberhasilan usaha hutan rakyat bergantung pada hubungan timbal
balik antara banyak aktor yang berbeda. Hal ini berarti bahwa sejumlah
pihak terkait dengan peran masing-masing, mengambil bagian dalam
pengelolaan hutan rakyat. Setiap para pihak memiliki peran dan saling
berkontribusi dalam usaha pengelolaan hutan rakyat (Prasetia et al., 2017).
Para pihak atau stakeholder memiliki kepentingan dan membawa pengaruh
dalam pengembangan hutan rakyat (Fauziyah et al., 2014). Tantangannya
adalah bagaimana mensinergikan peran mereka, sehingga pengelolaan
hutan rakyat dapat berjalan secara optimal. Oleh karena itu, penting untuk
mengidentifikasi peran dan hubungan antara pemangku kepentingan dalam
pengelolaan hutan rakyat. Sinergi berhubungan dengan melakukan kegiatan
bersama (Pakeltiene dan Ragauskaite, 2017; Asiati dan Nawawi, 2016).
Melalui sinergi, efek dan hasil yang diperoleh biasanya lebih besar dari setiap
total efek dan hasil. Setiap bagian akan saling melengkapi satu sama lain
untuk mencapai suatu tujuan, tanpa ada bagian yang dirugikan. Sebagai
upaya kolaborasi di antara beberapa bagian, sinergi membutuhkan waktu
dalam proses pembentukan dan pengembangan yang pada akhirnya
berkembang menjadi kolaborasi yang kreatif dan inovatif. Istilah sinergi
belum dikenal luas oleh para pihak pengelola hutan rakyat di Konawe
Selatan. Penelitian bertujuan untuk mendekripsikan proses pembangunan
sinergi di antara para pihak dalam pengelolaan hutan rakyat di Konawe
Selatan. Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat dalam membangun
sinergi di antara para pihak untuk memeroleh hasil optimal dalam
pengelolaan hutan rakyat.
II. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2017 berdasarkan evaluasi hasil
kerja sama penelitian antara Badan Litbang dan Inovasi (BLI) Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Indonesia) dan ACIAR (Australia)
“Overcoming Constraints Community-Based Commercial Forestry” yang
berfokus pada pengelolaan hutan komersil oleh masyarakat, selama periode
(2010-2014) di Desa Lambakara. Desa ini terletak di Kecamatan Laeya,
160
Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara. Peta lokasi
penelitian disajikan pada Gambar 1. Secara geografis, Desa Lambakara
terletak pada 040 18’ – 04025’ LS dan 1210 87’ – 1220 16’ BT. Desa
Lambakara memiliki luas 3.000 Ha dengan luas wilayah hutan yang cukup
signifikan, yaitu kurang-lebih 1.500 hektare dan sekitar 30% di antaranya
merupakan hutan rakyat. Desa ini berbatasan di sebelah utara: Kelurahan
Ambalodangge; sebelah timur: Kecamatan Kolono; sebelah selatan: Desa
Ambesea; dan sebelah barat: Kelurahan Punggaluku. Desa Lambakara terdiri
dari 4 (empat) dusun, yaitu Dusun Anggaliwa, Dusun Kapas, Dusun Dawi-
dawi, dan Dusun Lambakara.
Sumber: Aplikasi SW Map dengan Citra Google
Gambar 1. Peta lokasi penelitian
B. Bahan dan Alat Penelitian
Bahan dan alat yang digunakan pada penelitian adalah alat tulis-
Membangun Sinergi Para Pihak Hutan Rakyat di Kabupaten.….. Achmad Rizal H Bisjoe, Nurhaedah Muin, Evita Hapsari
161
menulis, panduan wawancara, perekam, dan kamera.
C. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode survei dengan pengambilan contoh
responden/ informan secara sengaja (purpossive sampling). Sebanyak 30
orang responden/informan dipilih dengan mempertimbangkan keterwakilan
informasi para pihak, yang berasal dari petani dan kelompok tani, Koperasi
Hutan Jaya Lestari (KHJL), Dinas Kehutanan Kabupaten Konawe Selatan,
LSM JaUH, dan Pemerintah Desa Lambakara. Data primer dikumpulkan
melalui wawancara dan observasi dalam pertemuan para pihak pengelolaan
hutan rakyat. Selanjutnya, wawancara mendalam (in-depth interview) dan
FGD (Focus Group Discussion) atau Diskusi Kelompok Terarah dilaksanakan
terhadap perwakilan para pihak. Untuk keperluan pembahasan, data primer
perlu didukung dengan data sekunder. Data sekunder disarikan dari laporan
hasil penelitian yang relevan dan dari laporan instansi terkait.
D. Analisis data
Data dianalisis secara deskriptif kualitatif (Subandi, 2011) dengan
bantuan teknik tabulasi. Adapun proses analisis deskriptif kualitatif, menurut
langkah-langkah, yaitu: 1) mengumpulkan dan memilah-milah data ke dalam
suatu konsep, kategori atau tema tertentu sebagai dasar penyajian data; 2)
menyajikan data melalui penyusunan sekumpulan informasi menjadi
pernyataan yang memungkinkan penarikan kesimpulan; dan 3) penarikan
kesimpulan disesuaikan dengan pertanyaan dan tujuan penelitian.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Sejarah Pengelolaan Hutan Jati di Konawe Selatan
Berdasarkan wawancara dan observasi diketahui keberadaan hutan jati
di Konawe Selatan pada umumnya dapat dibedakan dalam dua keadaan.
Pertama, hutan jati tumbuh secara alami dan kedua, adanya campur tangan
manusia dalam pengaturan tempat tumbuh jati dimaksud. Dua keadaan
tersebut berdampak pada luasan sebaran tanaman dan aksesibilitas
masyarakat terhadap tanaman tersebut, yang dapat dilihat dengan adanya
tanaman jati pada kawasan hutan dan tanaman jati pada lahan milik
masyarakat yang biasa disebut hutan (jati) rakyat atau hutan rakyat saja,
yang pada umumnya berdekatan dengan lokasi pemukiman. Hasil
wawancara menunjukkan bahwa kegiatan menanami lahan milik dengan
pohon jati merupakan tradisi bagi masyarakat. Sultan (2011) menyatakan
bahwa menanami lahan dengan pohon jati ataupun jenis pohon lainnya
162
sudah menjadi kebiasaan masyarakat di Konawe Selatan.
Keberadaan hutan jati ini merupakan potensi komersil dan pada
mulanya hanya dimanfaatkan terbatas di antara warga masyarakat.
Selanjutnya, Sultan (2011) menyatakan bahwa di satu sisi, harga jual kayu
jati rakyat yang sangat rendah pada mulanya menyebabkan masyarakat
enggan mengelola hutan jati miliknya. Di sisi lain, adanya tawaran menarik
bagi masyarakat untuk bekerja pada para pemilik modal yang pada
dasarnya merupakan pelaku pembalakan liar atau illegal logging. Inilah awal
terbentuknya sinergi negatif antarpelaku di kawasan hutan jati negara di
Konawe Selatan. Sebaliknya, karena kondisi tersebut, hutan jati rakyat untuk
sekian lama tidak diperhatikan oleh pemiliknya.
Sinergi negatif antarpelaku di kawasan hutan jati negara di Konawe
Selatan mulai meluas pada tahun 2001, sebagaimana dilaporkan Maal
(2011). Hal tersebut terjadi di lahan eks proyek HTI (Hutan Tanaman
Industri) dan Reboisasi dengan luasan mencapai 38.500 hektare. Hasil
wawancara menunjukkan bahwa pada awal 2001 sinergi negatif antaroknum
yang melibatkan aparatur keamanan, kehutanan, pemilik modal dan
sebagian warga masyarakat, telah menyebabkan penjarahan kayu jati di
kawasan hutan negara terjadi secara besar-besaran dengan modus ‘lelang
kayu temuan’. Modus ini secara ringkas digambarkan sebagai kegiatan
melelang kayu hasil pembalakan liar atau illegal logging sebagai kayu
temuan, yang selanjutnya diangkut dan dijual kepada industri pengolahan
kayu terdekat. Hasil penjualan kayu temuan dibagi di antara para oknum
aparat. Maal (2011) menyatakan bahwa pada kurun waktu maraknya
pembalakan liar, yaitu 2001-2004 tidak dijumpai adanya upaya pencegahan
dan pemberantasan yang sungguh- sungguh dari instansi berwenang.
Beberapa alasan yang dikemukakan, antara lain: kurangnya personil dan
kurangnya anggaran pengamanan dibandingkan dengan luas kawasan, tidak
jelasnya kewenangan pengaturan dan pelaksanaan tugas beberapa instansi
terkait, tidak adanya aturan mengenai pelibatan masyarakat setempat dalam
pengamanan kawasan, dan belum ditetapkannya status kawasan hutan dan
penggunaannya, termasuk izin pelepasan kawasan. Sebagai resultan dari
semua keadaan tersebut, berakibat tidak ada satu pun oknum yang terbukti
terlibat dalam pembalakan liar berhasil ditangkap, apalagi dijatuhi sanksi
hukum pidana.
B. Timbulnya Kesadaran Kolektif Warga Masyarakat
Praktik pembalakan liar hutan jati negara di Konawe Selatan dan
Membangun Sinergi Para Pihak Hutan Rakyat di Kabupaten.….. Achmad Rizal H Bisjoe, Nurhaedah Muin, Evita Hapsari
163
bentuk penanggulangannya yang tidak dapat menghentikan praktik
dimaksud, telah menimbulkan ketidakpercayaan dan protes masyarakat
setempat. Maal (2011) menyatakan bahwa upaya perlawanan masyarakat
yang dikenal dengan peristiwa ‘Watumeeto’ di Daerah Aliran Sungai (DAS)
Windo pada tahun 2004 telah mulai dirasakan dampaknya oleh pelaku
pembalakan liar. Masyarakat Desa Watumeeto dan sekitarnya berusaha
menangkap oknum aparat saat akan berlangsungnya modus ‘lelang kayu
temuan’ yang menyebabkan kerusakan sejumlah kendaraan milik oknum
aparat. Hal ini dapat dipandang sebagai titik balik pengelolaan hutan jati
yang berdampak luas di Konawe Selatan dari sisi sosial kemasyarakatan.
Kerusakan hutan akibat perambahan dan praktik pembalakan liar telah
berdampak pada degradasi lahan di Konawe Selatan yang ditunjukkan oleh
adanya erosi dan sedimentasi, banjir saat musim hujan dan kekeringan saat
musim kemarau (Maal, 2011). Dalam kurun waktu 2004 - 2010 dilaporkan
telah terjadi empat kali banjir besar yang melanda DAS Laeya. Secara umum,
bertambahnya kerusakan hutan merupakan ancaman terhadap DAS dengan
makin meluasnya lahan kritis. Instansi terkait, Balai Pengelola DAS Sampara
pada tahun 2009 melaporkan bahwa pada kurun waktu maraknya
pembalakan liar atau illegal logging, luas lahan kritis di Konawe Selatan
telah mencapai 299.500 hektare atau 66% dari luas kawasan hutan, yang
tersebar pada tiga DAS dan mencakup hutan lindung, hutan konversi, dan
hutan produksi.Hal ini dapat dipandang sebagai titik balik pengelolaan hutan
jati dari sisi ekologis.
Dampak sosial dan ekologis yang dirasakan masyarakat Konawe Selatan
akibat pembalakan liar atau illegal logging secara gradual telah melahirkan
kesadaran kolektif warga akan kesalahan yang telah dilakukan dalam
pemanfaatan hutan jati selama ini. Hasil wawancara mengungkapkan
adanya kegiatan LSM bernama Jaringan untuk Hutan (JAuH) Sulawesi
Tenggara yang secara intensif melakukan pengamatan terhadap praktik
pembalakan liar dan dampaknya terhadap desa-desa yang berbatasan
dengan hutan. Dengan dipelopori oleh para pegiat lingkungan, mulai
dipikirkan upaya untuk menyelamatkan kawasan hutan di Konawe Selatan
dengan tetap memerhatikan kepentingan masyarakat setempat.
C. Pembangunan Sinergi Para Pihak Pengelola Hutan Rakyat
Kajian tentang sinergi antarfaktor dan antarpelaku dalam pengelolaan
sumber daya alam menunjukkan capaian hasil yang optimal dibanding faktor
dan pelaku yang tidak bersinergi satu sama lain. Sinergi antarfaktor
164
dikemukakan oleh Fauzi (2009) melalui pendekatan dual approach yang
merupakan sinergi antara sistem ekonomi dan sistem lingkungan yang
dibutuhkan antara lain untuk rnenjaga keseimbangan antara kebutuhan
ekonomi masyarakat dan keberlanjutan sumberdaya alam dan lingkungan.
Demikian halnya sinergi antarpelaku dalam pengelolaan sumber daya alam.
Kurniawan dan Suryawati (2017) menyatakan sinergitas antarparapihak
telah mewujudkan pengelolaan yang baik terhadap taman kota di Kota
Temanggung, khususnya pada tahap pemeliharaan dan pengamanan.
Rahmawati, Noor dan Wanusmawati (2013) menyatakan bahwa sinergi
antarapelaku dalam sebuah program akan terpenuhi jika 1) tidak ada aktor
yang dominan; 2) komunikasi berlangsung interaktif; dan 3) ada koordinasi.
Upaya bersama untuk menyelamatkan hutan di Konawe Selatan
tampaknya bersambut dengan adanya pencanangan program Kementerian
Kehutanan, yaitu ‘social forestry’ yang dapat dipandang sebagai lokomotif
dengan visi “hutan lestari, masyarakat sejahtera”. Dengan Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor : P.01/Menhut-II/2004 tentang Pemberdayaan Masyarakat
Setempat di Dalam dan atau Sekitar Hutan dalam Rangka Social Forestry,
yang ditetapkan pada tanggal 12 Juli 2004, social forestry merupakan
kebijakan pemerintah dalam rangka pengelolaan hutan lestari.
Pencanangannya dilakukan oleh Presiden RI pada tanggal 2 Juli 2003 di
Palangkaraya. Social forestry dimaksudkan untuk mewujudkan kelestarian
sumber daya hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui
pemberdayaan masyarakat setempat, baik di dalam maupun di sekitar hutan.
Peluang di luar dan sekitar kawasan hutan berupa pengelolaan hutan rakyat
(HR) di lahan milik, sedangkan di dalam kawasan hutan berupa peluang
berpartisipasi dalam program hutan tanaman rakyat (HTR).
Kendala dan peluang dalam pengelolaan hutan rakyat di Konawe
Selatan diidentifikasi dan dirumuskan (Van de Fliert, 2012) untuk menyusun
strategi pengelolaan hutan yang bertujuan komersil, mencakup modal
penghidupan (livelihood capital), yaitu: sumberdaya manusia, sosial,
finansial, lingkungan, dan fisik. Dukungan pemerintah daerah diperlukan
melalui kebijakan untuk memperkuat kelembagaan pengelolaan hutan rakyat
di tingkat petani dan pedagang (Hayati dan Bisjoe, 2018).
Hutan rakyat sebagai salah satu kekuatan potensial pengembangan
ekonomi masyarakat telah banyak dikaji. Anwar (2018) menyatakan bahwa
prospek pengembangan hutan rakyat untuk memenuhi kekurangan sekitar
70% pasokan industri kayu di Kabupaten Parigi Moutong Sulawesi Tengah.
Setiawan, Barus dan Suwardi (2014) menyatakan bahwa hutan rakyat layak
Membangun Sinergi Para Pihak Hutan Rakyat di Kabupaten.….. Achmad Rizal H Bisjoe, Nurhaedah Muin, Evita Hapsari
165
ekonomis untuk dikembangkan dengan pola kemitraan antara pengusaha
kayu dengan petani hutan rakyat di Lombok Tengah. Suhartono (2019)
menyatakan bahwa dalam pengembangan hutan rakyat perlu
dipertimbangkan lokasi proritas yang memiliki keunggulan komparatif di
Provinsi Jawa Tengah. Zainal, Tjoneng dan Numba (2019) menyatakan
bahwa strategi pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Sinjai dapat
dilakukan dengan membangun sinergi antara para pihak, yaitu: pemerintah
dari sagi perizinan dan penyuluhan, kelompok tani dari segi informasi pasar,
dan petani dari segi pilihan model pengembangan agroforestri.
Strategi pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan bersama masyarakat,
antara lain dengan diversifikasi tanaman (agroforestri), pelibatan anggota
keluarga terutama istri dan anak laki-laki dalam pengelolaan hutan rakyat,
dan pemeliharaan tanaman. Dalam upaya mengoptimalkan pengelolaan
lahan hutan rakyat, petani menerapkan pola agroforestri (Sanudin et al.,
2013). Teknik agroforestri merupakan strategi diversifikasi yang dilakukan
petani dalam pemanfaatan dan pengoptimalan penggunaan lahan hutan
rakyat untuk memenuhi kebutuhan hidup (Oktalina et al., 2015).
Pengelolaan hutan rakyat telah dapat meningkatkan penghidupan serta
membuka peluang lapangan kerja bagi masyarakat. Di samping itu,
masyarakat melihat adanya potensi pasar bagi penjualan kayu, baik melalui
KHJL maupun langsung ke pasar lokal untuk bahan baku industri
penggergajian kayu (sawmill) dan pengrajin mebel. Van de Fliert (2012)
menyatakan bahwa kondisi pasar kayu di Konawe Selatan menunjukkan
makin tingginya permintaan kayu rakyat dan makin jelasnya prosedur jual-
beli komoditas dimaksud, khususnya melalui koperasi KHJL yang
memfasilitasi petani anggota koperasi dalam hal: inventarisasi pohon,
pembalakan (logging process), perizinan, pengangkutan kayu, dan
komunikasi dengan pihak industri. Terdapat 2 pola penjualan kayu rakyat di
Konawe Selatan, yaitu: 1. Petani Koperasi KHJL Industri antarpulau
dan 2. Petani Pedagang Antara Industri antarpulau. Kontribusi hasil
pengelolaan hutan rakyat terhadap pendapatan petani di Konawe Selatan
hanya sekitar 6% dan beragam sesuai kategori sosial-ekonomi petani (Van
de Fliert, 2012). Hal ini sejalan kondisi pengelolaan hutan rakyat yang pada
umumnya bersifat tradisional, berorientasi tebang butuh, dan berfungsi
sebagai tabungan keluarga. Kondisi sosial ekonomi memengaruhi petani
mengambil keputusan dalam mengelola hutan rakyat (Diniyati et al., 2010).
166
D. Berdirinya Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL)
Hasil wawancara dan telaah pustaka menunjukkan bahwa kedua
peluang dimaksud dimanfaatkan dengan baik oleh pegiat lingkungan
bersama para pihak dan masyarakat di Konawe Selatan. Melalui serangkaian
pertemuan dan diskusi yang cukup panjang, termasuk fasilitasi pelatihan di
antara para pihak dari LSM, pemerintah, dan masyarakat dalam kurun waktu
2003 - 2004, pada akhirnya dicapai titik kesepakatan langkah yang ditempuh
dan wujud kelembagaan yang disepakati bersama. Pada kurun waktu
tersebut sinergi positif mulai terbangun di antara para pihak. Beberapa
tahapan atau bentuk capaian di antara para pihak, sebelum berdirinya
Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL), yaitu: kelompok social forestry, forum
social forestry, dan lembaga komunikasi antara kelompok (LKAK) yang
menaungi 46 kelompok tani social forestry pada 46 desa. Alasan politis
karena ketidakjelasan payung hukum, menyebabkan kegiatan yang
mengacu pada program social forestry yang dicanangkan presiden RI
tersebut, akhirnya terhenti selama hampir satu tahun.
Upaya melanjutkan langkah dan hasil yang telah dicapai, kembali
dimulai pada pertengahan tahun 2004 melalui lokakarya social forestry di
Kantor Bupati Konawe Selatan dan dihadiri oleh Kelompok Kerja (Pokja)
Social Forestry Departemen Kehutanan, fasilitator daerah MFD-DFID, JAuH,
BP-DAS Sampara, Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tenggara, Dinas
Kehutanan Konawe Selatan, Pemda Konawe Selatan, Tropical Forest Trust
(TFT) dan perwakilan LKAK. Lokakarya bertujuan, antara lain merumuskan
Rencana Teknis Social Forestry (RTSF) yang akan dipedomani oleh LKAK
atau badan usaha yang disepakati, yaitu koperasi sebagai pemegang izin.
Melalui diskusi di Balai Pertemuan Desa Lambakara yang difasilitasi oleh
JAuH dan dihadiri seluruh perwakilan anggota dari 46 desa, disepakatilah
rencana pembentukan koperasi beserta perangkat dan kelengkapannya.
Sebagai bagian terpisah dari program social forestry di Konawe Selatan,
maka pada tanggal 18 Maret 2004 berdasarkan Akta Notaris Nomor
518.15/DKK/18/III/2004, secara resmi berdirilah Koperasi Hutan Jaya Lestari
(KHJL) sebagai badan usaha yang mewadahi 46 kelompok tani social
forestry yang sudah dibentuk pada 46 desa yang tersebar pada 4 kecamatan,
dengan jumlah awal anggota 196 orang dan total luas lahan kelola 264,5
hektare. Melalui wadah KHJL sebagai wujud pelembagaan sinergi
antarpelaku hutan jati rakyat di Konawe Selatan, masyarakat dapat bertukar
pikiran dan pengalaman dalam mengelola hutannya serta dapat memeroleh
pasar yang lebih baik untuk menjual kayu dengan harga yang ‘wajar’.
Membangun Sinergi Para Pihak Hutan Rakyat di Kabupaten.….. Achmad Rizal H Bisjoe, Nurhaedah Muin, Evita Hapsari
167
Koperasi KHJL sendiri dibentuk sebagai respon atas kebijakan
pemerintah yang membuka peluang bagi publik untuk berpartisipasi dalam
pengelolaan hutan, yang kegiatan operasional dan pelatihan manajemennya
didampingi oleh LSM Jaringan untuk Hutan (JAuH). Pendampingan tersebut
telah mengantarkan KHJL untuk memeroleh sertifikat FSC (Forest
Stewardship Council) dari TFT (Tropical Forest Trust), sebagai pegangan dan
jaminan bagi pengelola hutan rakyat bahwa kayu berasal dari kegiatan
pembalakan legal. Saat awal berdirinya pada tahun 2004, KHJL melayani
keperluan 196 anggota yang tersebar di 12 desa pada 4 kecamatan dengan
total luas hutan rakyat 264,5 hektare. Enam tahun kemudian, pada tahun
2010 wilayah kerja tersebut meningkat menjadi 1.269 hektare hutan rakyat
dengan jumlah anggota mencapai 763 orang yang tersebar di 23 desa pada
8 kecamatan di Kabupaten Konawe Selatan (Sultan, 2011). Di tingkat tapak,
sudah ada Peraturan Desa (Perdes) yang mengatur tentang penanaman,
pengawasan, pengelolaan kelestarian hutan rakyat. Keberadaan peraturan
tersebut diharapkan dapat menjaga kelestarian hutan dan meningkatkan
pasokan kayu hutan rakyat.
Sebagaimana dipaparkan sebelumnya, terdapat dua peluang kegiatan
pokok KHJL. Pertama, peluang untuk mengelola hutan rakyat (HR) di lahan
milik secara lestari dengan luasan yang beragam sebagaimana disyaratkan
oleh KHJL minimal 0,5 hektare. Kedua, peluang berpartisipasi dalam
program hutan tanaman rakyat (HTR) melalui usulan izin social forestry.
KHJL telah mengusulkan kawasan hutan seluas hampir 40.000 hektare untuk
digunakan sebagai lokasi HTR kepada pemerintah melalui Departemen
Kehutanan. Namun, dalam perkembangannya hanya peluang pertama yang
dapat dikerjakan, sedangkan peluang kedua tidak. Padahal, peluang kedua
inilah yang sangat diharapkan oleh KHJL.
Hasil wawancara dan telaah pustaka menunjukkan bahwa, alasan politis
berupa payung hukum program belum jelas bagi Menteri Kehutanan untuk
menerbitkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK).
Ketidakberhasilan memeroleh IUPHHK tersebut merupakan pukulan bagi
pengurus dan anggota KHJL dan pengurus JAuH sebagai mitra pendamping
yang sejauh ini telah berhasil secara bertahap mengajak para mantan
pelaku pembalakan liar untuk beralih menjadi masyarakat pelestari hutan.
Namun, upaya untuk dapat berpartisipasi dalam program HTR tetap menjadi
agenda pengurus KHJL. Upaya tersebut dimulai sejak pencanangan social
forestry pada tahun 2004 dan kemudian menghilang, karena terbitnya PP No.
06 Tahun 2007 yang tidak memuat terminologi social forestry. Perubahan
168
kebijakan pemerintah kabupaten juga menghambat upaya dimaksud.
Keterlibatan para pihak untuk terus memperjuangkan HTR di Konawe
Selatan pada akhirnya berhasil, dengan terbitnya SK Menteri Kehutanan
Nomor SK.435/Menhut-II/2008 tentang pencadangan HTR di Konawe
Selatan. Acara launching dilakukan Menteri Kehutanan di Desa Lambakara
pada 10 Desember 2008. Luas areal IUPHHK-HTR yang diperoleh KHJL
adalah 4.639,95 hektare atau sekitar 12% dari usulan semula. Sejak itu
dimulailah penerapan langkah-langkah silvikultur pada areal HTR dimaksud.
Pendampingan masyarakat dalam mengelola HR terus dilakukan KHJL
bersama JAuH dengan dukungan dan pendampingan dari BPDAS Sampara.
Upaya membesarkan KHJL terus ditingkatkan dengan mengembangkan
jejaring kerja sama dan sinergi dengan para pihak. Dua mitra KHJL berbagi
tugas untuk maksud tersebut, yaitu JAuH untuk pendampingan masyarakat
dan TFT untuk peningkatan kapasitas teknis kehutanan, pemasaran, dan
hubungan eksternal. Keduanya mengarah kepada peningkatan kapasitas
manajemen KHJL dalam menyambut peluang yang lebih besar, yaitu
perdagangan kayu bersertifikat ecolabel FSC (Forest Stewardship Council)
dari Smart Wood, yang diperoleh pada tahun 2005.Selain itu, KHJL juga
menerapkan SVLK (Standar Verifikasi Legalitas Kayu) yang bersifat
mandatory yang persiapannya telah dimulai sejak tahun 2010.
Data hasil survei menunjukkan bahwa potensi HR memadai untuk
dikelola secara lestari. Jumlah anggota dan luas lahan kelola anggota KHJL
menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan. Sampai tahun 2010 sudah
tercatat sebanyak 763 anggota dengan total luas lahan kelola 1.269 hektare.
Kriteria yang digunakan tetap sebagaimana saat berdirinya KHJL, yaitu:
lahan tidak termasuk kawasan hutan, terdapat tegakan jati atau non-jati,
luas lahan minimal 0,5 hektare, dan bukti sah kepemilikan. Para pihak
berpendapat bahwa pengelolaan yang lestari dan pemilikan sertifikat
ecolabel dapat meningkatkan harga jual kayu dan pada akhirnya dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat.
Sukisman dan Hardoyo (2011) mengemukakan bahwa keberadaan
KHJL berdampak, baik internal maupun eksternal. Hasil wawancara dan
telaah pustaka menunjukkan bahwa masyarakat mulai menyadari
pentingnya menjaga lingkungan, seperti mengurangi lahan kritis dengan
memperbanyak penanaman pohon. Selain itu, adanya peningkatan ekonomi
masyarakat, seperti meningkatnya daya beli, kemampuan melanjutkan
pendidikan anak-anak sampai ke perguruan tinggi, dan perbaikan sarana
pemukiman. Sedangkan bagi pembangunan daerah Konawe Selatan, KHJL
Membangun Sinergi Para Pihak Hutan Rakyat di Kabupaten.….. Achmad Rizal H Bisjoe, Nurhaedah Muin, Evita Hapsari
169
berkontribusi melalui pembayaran retribusi perizinan dengan nilai kontribusi
sebesar Rp 737 juta selama 5 tahun (2005-2010), tidak termasuk pajak dan
biaya administrasi tata usaha kayu (Maal, 2011). Hal lain yang paling
dirasakan masyarakat adalah Desa Lambakara menjadi ramai sebagai
destinasi untuk keperluan studi banding model pengelolaan hutan lestari dari
berbagai daerah di luar Provinsi Sulawesi Tenggara. Gambar 2 menunjukkan
potensi hutan rakyat (HR) di Desa Lambakara dan aktivitas pemiliknya pada
saat penelitian oleh tim peneliti BP2LHK Makassar pada tahun 2015.
Sebagai desa inisiator terbentuknya sinergi antara pelaku pengelola
hutan rakyat, Desa Lambakara melayani mitranya di seluruh wilayah Konawe
Selatan. Kontribusi yang signifikan bagi penghidupan masyarakat di Desa
Lambakara diperoleh dari pengelolaan hutan rakyat tersebut. Kelangsungan
kontribusi tersebut didukung oleh kehadiran KHJL sebagai pendamping
dalam peningkatan kapasitas petani hutan rakyat dan fasilitasi pemasaran
kayu rakyat. Alur pasar kayu rakyat di Konawe Selatan, terdiri dari: (i) petani
– koperasi KHJL – industri di Palembang (Sumatera Selatan) dan Surabaya
(Jawa Timur); (ii) petani – industri sawmill (sebelum adanya KHJL); (iii)
petani – usaha konstruksi lokal di Konawe Selatan (sebelum adanya KHJL).
Masyarakat melihat adanya potensi pasar bagi penjualan kayu, baik
melalui KHJL maupun langsung ke pasar lokal untuk bahan baku industri
penggergajian kayu (sawmill) dan pengrajin mebel (Bisjoe dan Muin, 2015).
Van de Fliert (2012) menyatakan bahwa kondisi pasar kayu di Konawe
Selatan menunjukkan makin tingginya permintaan kayu rakyat dan makin
jelasnya prosedur jual-beli komoditas dimaksud, khususnya melalui koperasi
KHJL yang memfasilitasi petani anggota koperasi dalam hal: inventarisasi
pohon, pembalakan (logging process), perizinan, pengangkutan kayu, dan
komunikasi dengan pihak industri. Ada 2 pola penjualan kayu rakyat di
Konawe Selatan, yaitu: 1. Petani Koperasi KHJL Industri antarpulau;
dan 2. Petani Pedagang Antara Industri antarpulau. Kontribusi hasil
pengelolaan hutan rakyat terhadap total pendapatan petani di Konawe
Selatan hanya sekitar 6% (Van de Fliert, 2012) dan beragam sesuai kategori
sosial-ekonomi petani.
170
a b
c d
Keterangan: a. Diskusi peran perempuan dalam pengelolaan HR; b. Industri pengolahan kayu sebagai pembeli kayu rakyat; c. Potensi jati HR; d. Praktik lapang untuk meningkatkan kapasitas petani HR
Gambar 2. Hutan rakyat Desa Lambakara, Konawe Selatan dan para pihaknya (Foto: BP2LHK Makassar)
Upaya meningkatkan nilai tambah kayu dari hutan rakyat sudah pula
dipikirkan pengurus KHJL bersama mitra, yaitu JAuH dan Telapak dengan
membangun industri pengolahan kayu. Bahan baku bersumber dari hutan
yang dikelola secara lestari, termasuk pemanfaatan limbah proses log
menjadi balok. Pada tahun 2006 industri dimaksud didirikan dengan nama
PT Konsel Jaya Lestari (KJL) dengan kapasitas 2.000-6.000 m3 per tahun.
Izin prinsip dari Gubernur, baru diperoleh pada tahun 2011 setelah siapnya
infrastruktur.
Untuk mengantisipasi dinamika organisasi, KHJL telah merumuskan SOP
untuk penyelesaian konflik, baik internal maupun eksternal. Konflik disikapi
sebagai wujud perhatian para pihak terhadap aktivitas KHJL dalam
mengelola hutan. Adapun tentang hak, kewajiban, sanksi, dan hal lain yang
berkaitan dengan anggota, KHJL mengacu kepada AD/ART (Sultan, 2011).
Membangun Sinergi Para Pihak Hutan Rakyat di Kabupaten.….. Achmad Rizal H Bisjoe, Nurhaedah Muin, Evita Hapsari
171
IV. KESIMPULAN
Keberadaan hutan rakyat di Konawe Selatan memiliki nilai strategis
karena dapat mendukung hutan produksi yang makin berkurang dengan
melibatkan sejumlah para pihak (stakeholder), yaitu: petani hutan rakyat
atau kelompok tani hutan rakyat, lembaga koperasi, industri berbasis kayu,
dan pemerintah. Dalam rantai nilai pengelolaan kayu rakyat, para pihak
memiliki peran dan saling melengkapi. Adanya interaksi ini mendorong
terbentuknya sinergi antarpihak yang bermanfaat bagi semua.
Berdirinya badan usaha berbentuk koperasi bernama Koperasi Hutan
Jaya Lestari (KHJL) merupakan wujud sinergi para pihak yang telah
merubah peran sebagian besar masyarakat dari pelaku pembalakan liar atau
illegal logging menjadi pengelola hutan lestari. Keberadaan KHJL telah
berdampak pada berbagai aspek, baik internal maupun eksternal, seperti
ekologi, ekonomi masyarakat, dan bagi pembangunan daerah, melalui
retribusi kayu dan perizinan, pajak dan biaya administrasi tata usaha kayu.
Sinergi antarpihak hendaknya dimaksudkan tidak sekedar mengidentifikasi
dan mereduksi tumpang-tindih peran, tetapi juga dapat meningkatkan peran
masing-masing pihak. Kegiatan yang telah dilakukan, yaitu meningkatkan
kapasitas petani hutan rakyat, baik perorangan maupun kelompok dalam
pengelolaan hutan. Diharapkan peran para pihak lainnya juga dapat
meningkat melalui kegiatan internal pada institusi masing-masing.
V. UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada: ACIAR (Australian Centre for
International Agricultural Research) yang telah membiayai sepenuhnya
penelitian kolaboratif ini, Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Makassar atas semua dukungan yang
diberikan, Pemerintah Kabupaten Konawe Selatan, para responden,
penduduk di lokasi penelitian Desa Lambakara, Kecamatan Laeya,
Kabupaten Konawe Selatan, personil tim peneliti serta semua pihak yang
terlibat dalam penelitian ini.
172
VI. DAFTAR PUSTAKA
Anwar. (2018). Potensi dan prospek pengembangan hutan rakyat di
Kabupaten Parigi Moutong Sulawesi Tengah. Jurnal Warta Rimba, 6(1),
93-101.
Asiati & Nawawi. (2016). Kemitraan di sektor perikanan tangkap: strategi
untuk kelangsungan usaha dan pekerjaan. Jurnal Kependudukan
Indonesia, (11)2, 103-118.
Bisjoe, A. R. H. & Muin, N. (2015). Strategi pengelolaan hutan rakyat untuk
meningkatkan penghidupan masyarakat Desa Lambakara, Konawe
Selatan, Sulawesi Tenggara, dalam Prosiding Seminar Nasional
Sewindu BPTHHBK Mataram (p.434-439).
Diniyati, D., & Awang, S. A. (2010). Kebijakan penentuan bentuk insentif
pengembangan hutan rakyat di wilayah Gunung Sawal, Ciamis dengan
Metoda AHP. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 7(2), 129-143.
Fauzi, A. (2009). Sinergi antara pembangunan ekonomi dan pengelolaan
sumber daya alam dan lingkungan. Jurnal Ekonomi Lingkungan, 13(2),
1-15.
Fauziyah, E., Diniyati, D., Widyaningsih,T. S., & Firdaus,N. (2014). Pemetaan
Stakeholder dalam Pengelolaan Hutan Rakyat di Kabupaten Ciamis
Jawa Barat. Jurnal Penelitian Agroforestry, 2(2), 75-84.
Kurniawan, J. A., & Suryawati, R. (2017). Sinergitas antar Stakeholders
dalam pengelolaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Taman Kota di Kota
Temanggung. Jurnal Wacana Publik, 1(1), 39-45.
Maal, A. (2011). Bisnis Kayu Bersertifikat dalam Hutan Lestari Berbasis
Masyarakat: Pengalaman Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL)
Kabupaten Konawe Selatan. JAUH - KHJL. Kendari.
Oktalina, S. N., Awang, S. A., Suryanto, P., & Hartono, S. (2015). Strategi
Petani Hutan Rakyat dan Kontribusinya terhadap Penghidupan di
Kabupaten Gunungkidul. Kawistara, 5(3) , 221-328.
Pakeltienė, R. & Ragauskaitė, A. (2017). Creative synergy as a potential
factor for the development of social innovations. Research For Rural
Development, 2.
Prasetia, D. A., Hardjanto, & Hero, Y. (2017). Analisis pemangku kepentingan
dalam pola kemitraan dan pola swadaya pada pengelolaan hutan
rakyat. Media Konservasi, 22(3), 293-303.
Race, D. & Wettenhall, G. (2016). Adding Value to The Farmers’ Trees.
Experiences of Community-based Commercial Forestry in Indonesia.
Membangun Sinergi Para Pihak Hutan Rakyat di Kabupaten.….. Achmad Rizal H Bisjoe, Nurhaedah Muin, Evita Hapsari
173
Australia: em Press Publishing. Bruce
Rahmawati, T., Noor, I., & Wanusmawati, I. (2013). Sinergitas stakeholders
dalam inovasi daerah (Studi pada Program Seminggu di Kota
Probolinggo (SEMIPRO). Jurnal Administrasi Publik, 2(4), 641-647.
Sanudin, & Priambodo, D. (2013). Analisis sistem dalam pengelolaan hutan
rakyat agroforestri di Hulu DAS Citanduy: kasus di Desa Sukamaju,
Ciamis. Jurnal online Pertanian Tropik Pascasarjana FPUSU, 1(1), 33-
46.
Setiawan, H., Barus, B., & Suwardi. (2014). Analisis potensi pengembangan
hutan rakyat di Kabupaten Lombok Tengah. Majalah Ilmiah Globe,
16(1), 69-76.
Subandi. (2011). Deskripsi kualititatif sebagai satu metode dalam penelitian
pertunjukan. Harmonia: Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni, 11
(2), 173-179.
Sukisman & Hardoyo, S. (2011). Partisipasi masyarakat anggota koperasi
hutan jaya lestari dalam pembangunan hutan rakyat di Kabupaten
Konawe Selatan. Majalah Geografi Indonesia, 25(2), 178-197.
Suhartono. (2019). Studi komparatif potensi unggulan hutan rakyat untuk
prioritas pengembangan di Provinsi Jawa Tengah. Jurnal AGRISEP,
18(1), 127-138.
Sukwika, T. (2018). Analisis aktor dalam perumusan model kelembagaan
pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Bogor. Journal of Regional
and Rural Development Planning, 2(2), 133-150.
Sultan. (2011). Pengelolaan Hutan Milik dalam Hutan Lestari Berbasis
Masyarakat: Pengalaman Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL)
Kabupaten Konawe Selatan. JAUH - KHJL. Kendari.
Van de Fliert, E. et al. (2012). Social Dimensions Analysis. Overcoming
Constraints to Community-Based Commercial Forestry in Indonesia
(FST/2008/030). Report on Research Task #1 (FST/2008/030) Tidak
diterbitkan.
Zainal, L. M., Tjoneng, A., & Numba, S. (2019). Strategi pengelolaan hutan
rakyat di Kabupaten Sinjai. Jurnal Agrotek, 3(1), 10-23. 10
Sikap Masyarakat Terhadap Pelaksanaan Uji Coba…….. Arif Irawan et al.
175
Sikap Masyarakat Terhadap Pelaksanaan Uji Coba Skema Kemitraan di KPHP Model Poigar1
Community Attitude Towards the Implementation of
Partnership Scheme Trial at PFMU Poigar Model
Arif Irawan2, Isdomo Yuliantoro2, Jafred Elsjoni Halawane2, dan
Iwanuddin2
ABSTRACT
The partnership scheme is one of the solutions offered by the government to
overcome the problem of land management conflicts in forest areas. This scheme
provides an open space for conflict parties to manage forests together with the
principle of equality and mutual benefit. PFMU poigar model is one of the FMUs
that has quite complex problems. The existence of the community in the area is
a major obstacle for managers to develop the PFMU poigar model area in
accordance with its designation. Based on the type of conflict and the condition
of the community around the area, it can be seen that the partnership scheme is
the most likely recommendation made by the PFMU poigar model manager. This
study aims to determine the attitudes of the community towards the trial of
partnership schemes in the PFMU poigar model area. The study was conducted in
Lolan Village by conducting interviews with the community. The data analysis
method used is using quantitative and qualitative approaches. The results of the
study show that the majority of the Lolan Village community strongly supports the
implementation of the forestry partnership scheme and hopes that trials can be
carried out on a broader scale. Some of the factors that influence the attitudes of
the community include the existence of clarity about the concept of profit sharing
in the implementation of this scheme, the recognition of the existence of the
community in processing land in the area and the description of the results offered
has a not too long period.
Keywords: Poigar Model KPHP, attitude, society, partnership
1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya
Pelestarian Sumber Daya Alam, diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado dan SEAMEO BIOTROP, Manado 24 Oktober 2018.
2 Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado; Jl. Tugu Adipura
Raya Kel. Kima Atas Kec. Mapanget Kota Manado; Email: [email protected].
176
I. PENDAHULUAN
Skema kemitraan merupakan salah satu solusi yang ditawarkan
pemerintah untuk mengatasi permasalahan konflik pengelolaan lahan dalam
kawasan hutan. Skema ini memberikan ruang yang terbuka bagi pihak-pihak
berkonflik untuk mengelola hutan secara bersama dengan prinsip kesetaraan
dan saling menguntungkan. Zain et al. (2011) menyatakan bahwa kemitraan
kehutanan adalah kerja sama antara masyarakat setempat dengan Pemegang
Izin Pemanfaatan Hutan atau Pengelola Hutan, Pemegang Izin Usaha Industri
Primer Hasil Hutan, dan/atau Kesatuan Pengelolaan Hutan dalam
pengembangan kapasitas dan pemberian akses, dengan prinsip kesetaraan
dan saling menguntungkan. Secara lebih luas pola kemitraan juga dapat
diartikan sebagai sebuah skema untuk mencapai hasil yang lebih baik dengan
saling memberikan manfaat antar pihak yang bermitra dan meningkatkan
efektivitas kerja. Akhadi et al. (2013) menambahkan bahwa kemitraan adalah
kata kunci dalam mewujudkan sinergi dalam rangka penerapan good
governance dalam pembangunan kehutanan dengan memperhatikan aspek
transparansi dan keadilan antar semua unsur mulai dari proses penyusunan,
pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta pelaporan pembangunan
kehutanan.
KPHP Model Poigar merupakan salah satu KPH yang memiliki
permasalahan tenurial yang cukup kompleks. Keberadaan masyarakat dalam
kawasan menjadi kendala utama bagi pengelola untuk mengembangkan
kawasan KPHP Model Poigar sesuai dengan peruntukannya. Sejarah konflik
pengelolaan kawasan KPHP Model Poigar telah terjadi sejak lama. Sebagian
besar kawasan KPHP Model Poigar sebelumnya merupakan kawasan bekas
perusahaan HPH PT Tembaru Budi Pratama yang beroperasi sejak tahun 80-
an hingga awal tahun 2000. Setelah perusahaan berhenti beroperasi, konflik
terkait pengelolaan kawasan semakin meningkat disebabkan oleh lemahnya
penegakan hukum terkait pelanggaran yang terjadi dalam kawasan. Irawan
et al. (2016) menyatakan bahwa jumlah luasan penguasaan lahan oleh
masyarakat pada wilayah KPHP Model Poigar sangat tinggi dimana dari total
keseluruhan wilayah KPHP Model Poigar, hanya terdapat sedikit kawasan yang
masih steril (30%), sedangkan sebagian besar sisanya telah diklaim dan
digarap oleh masyarakat.
Berdasarkan tipe konflik dan kondisi masyarakat sekitar kawasan dapat
diketahui bahwa skema kemitraan merupakan rekomendasi yang tepat
dilakukan oleh pihak pengelola KPHP Model Poigar saat ini. Irawan et al.
(2017) menyatakan bahwa salah satu kegiatan pemberdayaan masyarakat
Sikap Masyarakat Terhadap Pelaksanaan Uji Coba…….. Arif Irawan et al.
177
yang dapat dilakukan KPHP Model Poigar adalah melalui skema kemitraan
kehutanan. Skema tersebut dijadikan rekomendasi dengan
mempertimbangkan tingkat persepsi, tingkat pendapatan serta tingkat
interaksi masyarakat terhadap kawasan hutan di kawasan KPHP Model Poigar.
Uji coba pelaksanaan skema kemitraan kehutanan telah dilakukan di
Desa Lolan sejak tahun 2016. Skema kemitraan dilakukan dengan
membangun plot uji coba penanaman jenis jabon merah yang dikombinasikan
dengan tanaman semusim dalam kawasan KPHP Model Poigar. Kesepakatan-
kesepakatan terkait skema kemitraan telah dirumuskan dan menjadi poin
utama dalam pelaksanaan uji coba ini. Salah satu parameter yang dapat
digunakan untuk mengetahui tingkat efektifas pelaksanaan skema kemitraan
kehutanan di kawasan KPHP Model Poigar ini adalah dengan menilai sikap
masyarakat Desa Lolan terhadap kegiatan uji coba yang telah dilakukan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sikap masyarakat Desa Lolan
terhadap uji coba skema kemitraan yang telah dilaksanakan di kawasan KPHP
Model Poigar.
II. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan September tahun 2018 di Desa Lolan,
Kecamatan Bolaang Timur, Kabupeten Bolaang Mongondow, Provinsi
Sulawesi Utara yang merupakan salah satu desa yang berbatasan langsung
dengan kawasan KPHP Model Poigar (Gambar 1).
178
Gambar 1. Lokasi penelitian
B. Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Dalam
pengumpulan data digunakan metode Focused Group Discussion (FGD),
teknik observasi, dan wawancara semi terstruktur. Wawancara dilakukan
terhadap 32 responden dengan alat bantu kuesioner, studi pustaka dan
dokumentasi terhadap masyarakat Desa Lolan yang memiliki aktivitas dalam
kawasan KPHP Model Poigar. Sampel responden ditentukan secara acak
terhadap masyarakat Desa Lolan.
C. Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan adalah menggunakan pendekatan
kuantitatif dan kualitatif. Metode ini pada pelaksanaannya di lapangan
dilakukan dengan menggunakan wawancara mendalam, maupun penelusuran
(analisis) data sekunder sebagai instrumennya.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Sikap didefinisikan sebagai ekspresi sederhana dari perasaan mendukung
atau memihak maupun perasaan tidak mendukung terhadap suatu hal (Surati,
2014). Sikap sangat menentukan perilaku dan tanggapan seseorang terhadap
Sikap Masyarakat Terhadap Pelaksanaan Uji Coba…….. Arif Irawan et al.
179
masalah kemasyarakatan serta masalah lingkungan. Sikap juga diartikan
sebagai kesiapan seseorang untuk bertindak secara tertentu terhadap hal-hal
tertentu. Sikap dapat bersifat positif dan juga negatif. Sikap positif,
kecenderungan tindakannya adalah mendekati, menyenangi dan
mengharapkan obyek tertentu, sedangkan sikap negatif cenderung untuk
menjauhi, menghindari, membenci atau tidak menyukai obyek tertentu
(Hafizianor, 2016).
Uji coba skema kemitraan kehutanan di kawasaan KPHP Model Poigar
dilakukan dengan membangun kesepakatan kemitraan bersama masyarakat
yang selama ini mengolah lahan dalam kawasan. Bentuk kerjasama
dituangkan dalam dokumen surat perjanjian kerjasama, walaupun belum
memenuhi standar baku naskah kerjasama kemitraan yang disyaratkan
namun uji coba ini diharapkan mampu memberikan gambaran awal terkait
pelaksanaan skema kemitraan pada masyarakat. Bentuk kerjasama kemitraan
yang dilakukan menggunakan skema bagi hasil dari hasil pengolahan lahan
dalam kawasan. Pada prinsipnya konsep yang ingin dibangun adalah
penyadaran masyarakat terkait permasalahan konflik tenurial sehingga
masyarakat menyadari bahwa lahan yang selama ini diolah merupakan lahan
milik negara. Melalui skema kemitraan ini masyarakat diharapkan tidak
merasa terganggu dalam hal mengolah lahan yang selama ini telah dilakukan
namun dari sisi lain pengakuan terhadap lahan kawasan KPHP Model Poigar
oleh masyarakat juga tidak dikesampingkan. Uji coba skema kemitraan
dilakukan terhadap masyarakat yang selama ini mengolah lahan dalam
kawasan dengan menanam jagung, padi ladang, dan tanaman kelapa.
Kemitraan yang dibangun adalah dengan melakukan kegiatan penanaman
tanaman kehutanan produktif (masa panen pendek) diantara tanaman
pertanian yang telah dilakukan sebelumnya. Pembangunan plot uji coba
penanaman secara agroforestry antara jabon merah dan tanaman sela
(jagung, padi ladang dan tanaman kelapa) dilakukan sebagai bentuk
gambaran skema kemitraan ini.
Plot uji coba telah dibangun pada tahun 2016 pada 3 (tiga) lokasi dengan
luasan masing-masing adalah sekitar 1 ha. Pembagian proporsi bagi hasil
telah disepakati bersama sebelum pelaksanaan skema ini. Poporsi bagi hasil
dalam skema kemitraan kehutanan pada umumnya lebih besar yang akan
diperoleh masyarakat dibandingkan pihak pemerintah. Proporsi bagi hasil
80:20 digunakan sebagai bentuk kerjasama yang disepakati dalam uji coba
skema kemitraan di kawasan KPHP Model Poigar. Ilham et al. (2016)
menyatakan bahwa proporsi bagi hasil yang diperoleh oleh masyarakat dari
180
pola kemitraan dalam pengelolaan KPHL Solok adalah 75% untuk masyarakat
dan 25% untuk pihak KPHL. Selanjutnya Saipurrozi et al. (2018) juga
menyampaikan bahwa pembagian hasil antara KPH Unit XIV Gedong Wani
dan KTH Agroforest Park dalam uji coba program kemitraan kehutanan yang
telah dilakukan yakni untuk tanaman padi darat adalah 25% untuk KPH Unit
XIV Gedong Wani dan 75% untuk KTH Agroforest Park. Sedangkan untuk
tanaman kayuan/MPTS yakni 75% untuk KPH Unit XIV Gedong Wani dan 25%
untuk KTH Agroforest Park.
Proporsi 80% merupakan bagian yang akan diperoleh oleh masyarakat
yang mengusahakan lahan dalam kawasan KPHP Model Poigar melalui skema
kemitraan dari mengolah jabon merah dan sisanya akan menjadi bagian dari
pemerintah. Masyarakat akan difasilitasi untuk memperoleh bibit jabon merah
sebagai peran pemerintah dalam skema kerjasama ini, sedangkan
pemeliharaan tanaman akan menjadi tanggung jawab bersama. Pada tahap
awal hasil dari tanaman semusim tidak menjadi bagian dari skema kemitraan.
Wawancara yang telah dilakukan terhadap masyarakat Desa Lolan terkait
pelaksanaan skema kemitraan kehutanan di kawasan KPHP Model Poigar
menunjukkan hasil yang sangat baik. Dua hal utama yang menjadi penilaian
untuk mengetahui sikap masyarakat tersebut antara lain terkait pengetahuan
masyarakat mengenai keberadaan uji coba dan mengenai tanggapannya
terhadap uji coba tersebut. Hasil rekapitulasi data dari hasil wawancara
tersebut ditampilkan pada Gambar 2.
Gambar 12. Grafik hasil penilaian sikap masyarakat terhadap kegiatan plot uji
coba skema kemitraan kehutanan
Berdasarkan Gambar 2 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden
(84%) mengetahui keberadaan plot uji coba yang telah dibangun, sedangkan
0%
20%
40%
60%
80%
100%
Setuju Tidak setuju
Tanggapan terhadap plot uji coba
0%
50%
100%
Tahu Tidak tahu
Informasi terkait plot uji coba
Sikap Masyarakat Terhadap Pelaksanaan Uji Coba…….. Arif Irawan et al.
181
sisanya (15,63%) tidak mengetahui. Penyebarluasan informasi dari
pelaksanaan skema kemitraan kehutanan ini diketahui sangat cepat. Hasil
yang memuaskan serta skema yang sesuai dengan harapan masyarakat
memicu penyebarluasan informasi tersebut. Lionberger & Gwin (1982)
menyatakan bahwa pola komunikasi dalam penyebaran informasi pertanian
perlu melibatkan 4 sub sistem, yakni: sub sistem ilmuwan dasar, sub sistem
ilmuwan aplikasi, sub sistem penyuluhan (komunikasi), dan sub sistem sosial
pemakai (petani pengguna informasi). Berdasarkan hasil penelitian ini dapat
diketahui bahwa penyebarluasan pada tingkatan sub sistem sosial pemakai
dalam hal ini masayarakat yang melakukan kegiatan dalam kawasan KPHP
Model Poigar dirasakan lebih efektif dibandingkan dengan tingkatan sub
sistem lainnya. Hal ini karena informasi yang disampaikan merupakan
informasi yang murni apa adanya dan komunikasi terjadi pada tingkatan yang
sama sehingga akan lebih mudah diterima oleh masyarakat.
Selanjutnya hasil evaluasi secara teknis terhadap skema ini dapat
diketahui bahwa pelaksanaan uji skema kemitraan ini berjalan secara baik.
Pertumbuhan jabon merah sangat memuaskan, utamanya jabon merah yang
ditanam diantara tanaman jagung dan padi ladang. Sedangkan tanaman
jabon merah yang ditanam diantara tanaman kelapa memiliki pertumbuhan
yang lebih rendah. Jabon merah merupakan salah satu jenis tanaman yang
membutuhkan cahaya penuh dalam pertumbuhannya. Halawane et al. (2011)
menyatakan bahwa jabon merah merupakan tanaman pioner lokal yang
toleran terhadap cahaya dan dapat tumbuh di lahan terbuka atau kritis.
Perbandingan yang cukup signifikan dari penggunaan tanaman sela jagung
dan padi ladang terhadap pertumbuhan awal jabon merah terletak pada
dampak paparan cahaya matahari. Hasil pengukuran rata-rata tinggi dan
diameter tanaman jabon merah umur 1 (satu) tahun diantara tanaman jagung
adalah sebesar 411 cm dan 5,93 cm; diantara tanaman padi ladang adalah
sebesar 427 cm dan 5,76 cm, sedangkan untuk dibawah tegakan kelapa
adalah 265 cm dan 3,25 cm. Hasil pertumbuhan jabon merah diantara
tanaman jagung dan padi ladang tersebut juga diketahui bahkan lebih baik
jika dibandingkan dengan pertumbuhan jabon merah di beberapa lokasi lain.
Abdulah et al. (2013) menyampaikan bahwa tinggi dan diameter tegakan
jabon umur 1 tahun di hutan rakyat Desa Girimulya, Kecamatan Cibeber,
Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. adalah sebesar ±220 cm dan ±4,00 cm.
Sedangkan Indrajaya & Siarudin (2013) juga menyampaikan bahwa rata-rata
tinggi tegakan jabon di hutan rakyat di Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten
Garut, Jawa Barat pada umur yang sama (umur 1 tahun) adalah sebesar 250
182
cm. Perbedaan nilai pertumbuhan jabon merah yang terjadi ini selain karena
kondisi tanah pada plot uji coba yang sangat subur juga karena secara umum
kawasan KPHP Model Poigar adalah merupakan habitat alami jabon merah.
Secara teknis penanaman jabon merah diantara tanaman sela hingga umur 1
(satu) tahun tidak memberikan dampak negatif. Penanaman jabon merah
dengan jarak lebar (5 m x 5 m) diharapkan merupakan solusi untuk
memaksimalkan pertumbuhan jabon merah dan tanaman sela. Gambaran
mengenai plot uji jabon merah dalam skema kemitraan ini ditampilkan pada
Gambar 3.
Gambar 3. Tanaman jabon merah (a) diantara tanaman padi (setelah panen);
(b) diantara tanaman jagung; dan (c) dibawah tegakan kelapa
Hasil wawancara mengenai tanggapan responden terhadap uji coba
skema kemitraan kehutanan ini juga memberikan nilai yang sangat positif.
Sebanyak 91,63% responden menyatakan bahwa setuju dengan pelaksanaan
skema ini sedangkan 9,38% sisanya menyatakan tidak setuju. Secara
psikologis masyarakat akan merasa lebih memiliki terhadap tanaman hasil dari
skema kemitraan kehutanan ini. Dampak secara langsungnya adalah tanaman
yang telah ditanam lebih terjamin keberadaannya karena didukung oleh
(a) (b)
(c)
Sikap Masyarakat Terhadap Pelaksanaan Uji Coba…….. Arif Irawan et al.
183
pemeliharaan yang maksimal oleh masyarakat. Tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap pemerintah juga meningkat karena sistem yang jelas
dari pelaksanaan kegiatan kemitraan. Kecurigaan dan kekhawatiran
masyarakat terhadap pemerintah untuk melakukan perampasan hak
pengelolaan dapat dihilangkan mengingat dari awal masyarakat telah
mengetahui manfaat dari sistem kemitraan ini. Tanaman jabon merah yang
ditanam tidak serta merta menjadi milik pemerintah bahkan sebagian besar
akan menjadi bagian pengolah lahan. Kegiatan masyarakat dalam mengolah
lahan yang selama ini telah dilakukan juga tidak terganggu, bahkan hasilnya
masih dapat diperoleh secara maksimal.
IV. KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Desa
Lolan sangat mendukung pelaksanaan skema kemitraan kehutanan dan
berharap dapat diterapkan pada skala yang lebih luas. Beberapa faktor yang
mempengaruhi sikap masyarakat tersebut diantaranya adalah adanya
kejelasan mengenai konsep bagi hasil dalam pelaksanaan skema ini, adanya
pengakuan terhadap eksistensi masyarakat dalam mengolah lahan dalam
kawasan dan gambaran hasil yang ditawarkan memiliki jangka waktu tidak
terlalu panjang.
V. SARAN
Penerapan skema kemitraan kehutanan dengan lebih menekankan peran
kelompok tani sebagai lembaga pelaksananya perlu didorong untuk
memaksimalkan hasil uji coba skema kemitraan kehutanan secara lebih luas.
VI. UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Kepala KPHP Model Poigar
beserta staf, serta kepada Moody C Karundeng, Rinna Mamonto dan
Melkianus S Diwi (Teknisi BP2LHK Manado) yang telah banyak memberikan
bantuan selama pelaksanaan kegiatan penelitian ini hingga selesainya
penulisan naskah.
VII. DAFTAR PUSTAKA
Abdulah, L., Mindawati, N., & Kosasih, S. A. (2013). Evaluasi pertumbuhan
awal jabon (Neol amarckia Cadamba Roxb) di hutan rakyat. Jurnal
Penelitian Hutan Tanaman, 10(3),119–128.
Akhadi, K., Wijaya, A. F., & Hardjanto, I. (2013). Perencanaan pembangunan
kehutanan daerah dalam perspektif good governance. Jurnal Penelitian
Kehutanan Wallacea, 2(1),51-64.
184
Hafizianor. (2016). Sikap masyarakat desa hutan terhadap perubahan dan alih
guna kawasan hutan menjadi kawasan pertambangan batubara. Enviro
Scienteae, 12(3), 216-224.
Halawane, Jafred, E., Hidayah, H. N., & Kinho, J. (2011). Prospek
Pengembangan Jabon Merah ( Anthocephalus Macrophyllus (Roxb.)
Havil), Solusi Kebutuhan Kayu Masa Depan. 1st ed. Manado: Balai
Penelitian Kehutanan Manado.
Ilham, Q. P., Purnomo, H., & Nugroho, T. (2016). Analisis pemangku
kepentingan dan jaringan sosial menuju pengelolaan multipihak di
kabupaten solok, sumatera barat. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia,
21(2), 114-119.
Indrajaya, Y., & Siarudin, M. (2013). Daur finansial hutan rakyat jabon di
kecamatan pakenjeng, kabupaten garut, jawa barat. Jurnal Penelitian
Hutan Tanaman, 10(4), 201-211.
Irawan, A., Iwanuddin, Halawane, J. E., & Ekawati, S. (2017). Analisis persepsi
dan perilaku masyarakat terhadap keberadaan kawasan KPHP model
poigar. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 14(1), 71-82.
Irawan, I., Mairi, K., & Ekawati, S. (2016). Analisis konflik tenurial di Kesatuan
Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Model Poigar. Jurnal Wasian, 3(2),
79-90.
Lionberger, H. F., & Gwin, P. H. (1982). Communication strategies: Aguide for
Agricultural Change Agent. USA:IPP Inc.
Saipurrozi, M., Febryano, I. G., Kaskoyo, H., & Wulandari, C. (2018). Uji coba
program kemitraan kehutanan di kesatuan pengelolaan hutan unit XIV
gedong wani, Provinsi lampung. Jurnal Hutan Tropis, 6(1), 35-42.
Surati. (2014). Analisis sikap dan perilaku masyarakat terhadap hutan
penelitian parung panjang. Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan,
11(4), 339-347.
Zain, M. R. N., Soeaidy, S., & Mindarti, L. I. (2011). Kemitraan antara KPH
Perhutani dan LMDH dalam menjaga kelestarian hutan. Jurnal
Administrasi Publik, 2(2),210-216.
Modal Sosial MasyarakatDalam Pengelolaan Hutan Rakyat …….. Evita Hapsari, Nurhaedah Muin, Achmad Rizal HB
185
Modal Sosial Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Malleleng Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba1
Social Capital of The Community in Private Forest
Management in Malleleng Village, Kajang Sub-District, Bulukumba District
Evita Hapsari2, Nurhaedah Muin2, dan Achmad Rizal HB2
ABSTRACT
The communities have livelihood assets including human capital, natural
resource capital, physical capital, financial capital and social capital. Social
capital is the ability of society to be linked to networks, norms, and trust in a
social relationship. Social capital influences the people’s wayinmanaging forests
in a participatory manner. The purpose of this paper is to find out the social
capital of the community in private forestsmanagement in Malleleng village. Data
was collected in September 2013 by conducting FGD (Focus Group Discussion)
and in-depth interviews with respondents. Data was processed and analyzed by
applying descriptive statistic. The results of the study showed that the elements
of social capital that have greater influence are sanctions, norms or regulations,
networks and trust. The community with wealthy category are tend to prioritize
physical capital, while the community with medium category and poor are tend
to prioritize social capital. The social capital in Malleleng society is bonding,
generally from family ties, kinship and neighborly life. The private forest farmers
prioritized intertwined social relations rather than financial. The private forest
farmers prefer to make social exchanges rather than economic exchanges. The
role of social capital is an important factor in supporting the success of forest
management.
Keywords: social capital, community forest management, Bulukumba
1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya
Pelestarian Sumber Daya Alam, diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado dan SEAMEO BIOTROP, Manado 24 Oktober 2018.
2 Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar; Jln. Perintis
Kemerdekaan KM 16,5 Makassar, tlp (0411) 554049, fax (0411) 554058; e-mail: [email protected].
186
I. PENDAHULUAN
Konsep awal pembangunan berkelanjutan memfokuskan tiga faktor
modal yaitu natural capital, physical capital dan human capital. Ketiga modal
tersebut hanya menjelaskan secara spasial proses pertumbuhan ekonomi.
Ketersediaan modal alamiah, modal fisik dan modal manusia mempengaruhi
proses pencapaian level pembangunan. Seiring waktu, para ekonom
menyadari terdapat missing link dalam proses pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan yaitu modal sosial. Modal sosial berupa networking dan relasi
merupakan sesuatu yang vital dalam dinamika pembangunan suatu
komunitas (Abdullah, 2013). Peran modal sosial sering terabaikan, di satu
sisi kebijakan pembangunan dan keputusan ekonomi sangat dipengaruhi
oleh interaksi antar masyarakat.
Proses interaksi dalam modal sosial melahirkan implementasi yang tidak
sama baik di satu wilayah maupun di wilayah yang berbeda. Modal sosial
sebagai faktor penting dalam mempengaruhi efisiensi dan efektivitas
kebijakan, sehingga menumbuhkan kesadaran pentingnya dimensi kultural
dan pendayagunaan peran lembaga-lembaga yang tumbuh dalam
masyarakat untuk mempercepat dan mengoptimalkan proses-proses
pembangunan (Inayah, 2012).
Pembahasan modal sosial berkaitan dengan upaya mengelola,
meningkatkan dan mendayagunakan relasi-relasi sosial sebagai sumber daya
yang diinvestasikan untuk memperoleh keuntungan ekonomi atau manfaat
sosial. Relasi-relasi sosial diendapi oleh norma-norma yang memberikan
jaminan, nilai-nilai yang menghargai perkembangan (trust), serta
melembagakan hubungan yang saling menguntungkan (reciprocal
relationship) (Usman, 2018).
Masyarakat memiliki aset-aset penghidupan diantaranya modal sumber
daya manusia, modal sumber daya alam, modal fisik, modal finansial dan
modal sosial. Modal sosial merupakan kemampuan masyarakat terkait
dengan jaringan, norma, dan kepercayaan dalam suatu hubungan sosial.
Modal sosial mempengaruhi cara masyarakat dalam mengelola hutan secara
partisipatif. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui modal sosial dalam
pengelolaan hutan rakyat di Desa Malleleng Kecamatan Kajang Kabupaten
Bulukumba. Penelitian ini bermanfaat sebagai masukan dalam pengelolaan
hutan rakyat khususnya yang mengutamakan modal sosial dalam
pengelolaannya.
Modal Sosial MasyarakatDalam Pengelolaan Hutan Rakyat …….. Evita Hapsari, Nurhaedah Muin, Achmad Rizal HB
187
II. METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Desa Malleleng, Kecamatan Kajang, Kabupaten
Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan pada bulan September 2013.
Kabupaten Bulukumba memiliki kawasan hutan seluas 30.726 hektare,
sedangkan luas hutan rakyat mencapai 72% dari seluruh luas kawasan
hutan (Bisjoe et al., 2012). Luas Desa Malleleng sebesar 11.10 km² dan
memiliki hutan rakyat seluas 130 hektare.
Sumber : aplikasi SW map dengan citra google
Gambar 1. Peta lokasi penelitian
188
Desa Malleleng berbatasan dengan Desa Batu Nilamung di sebelah
utara, sedangkan di sebelah timur berbatasan dengan Desa Mattoangin. Di
sebelah selatan berbatasan dengan Desa Tambangan dan sebelah barat
berbatasan dengan Desa Tanah Towa. Secara adminitratif Desa Malleleng
terdiri dari 5 (lima) dusun yaitu Dusun Bunja, Dusun Malleleng, Dusun
Sapiri, Dusun Bonto Nangka dan Dusun Tupare. Desa Malleleng merupakan
salah satu pemekaran dari Desa Tanah Towa, yang terletak pada ketinggian
500-700 m dpl.
B. Bahan dan Alat
Penelitian ini menggunakan bahan dan alat sebagai berikut : alat tulis
menulis, peralatan FGD (Focus Group Discussion), kuesioner, kamera dan
alat perekam.
C. Metode Penelitian
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan
melakukan diskusi kelompok terfokus atau FGD (Focus Group Discussion).
Masyarakat menentukan sendiri indikator kesejahteraannya dalam FGD yang
dipandu oleh fasilitator. Masyarakat dikelompokkan menjadi 3 kelas
kesejahteraan berdasarkan kondisi wilayah yaitu kategori mampu, kategori
sedang dan kategori tidak mampu. Dalam FGD, masyarakat juga
menentukan rangking aset penghidupan berdasarkan tingkat kepentingan
dalam pengelolaan hutan rakyat yang terbagi atas 5 (lima) indikator aset
meliputi: sumberdaya manusia, sumberdaya alam, finansial, fisik dan sosial.
Selain melakukan FGD, dalam penelitian ini juga dilakukan wawancara
kepada responden. Responden dipilih secara purposif sampling berdasarkan
tingkat kesejahteraan. Penelitian mengambil sampel sebanyak 30
responden, dimanamasing-masing mewakili kategori kesejahteraan yaitu 9
orang dari kategori mampu, 14 orang dari kategori sedang dan 7 orang dari
kategori tidak mampu. Responden dalam penelitian ini adalah petani yang
mengelola hutan rakyat. Data dan informasi diperoleh dengan cara
wawancara terstruktur dengan menggunakan kuesioner.
Dalam penelitian ini, masyarakat Malleleng melalui FGD menentukan
sendiri indikator kesejahteraan berdasarkan pada kepemilikan lahan, rumah,
ternak, kendaraan, usaha, tanaman, tabungan, pendidikan, keberhasilan
anak, pekerjaan dan status sosial. Berdasarkan indikator kesejahteraan
tersebut, masyarakat kemudian menentukan 3 (tiga) kelompok kelas yaitu
mampu, sedang dan tidak mampu. Indikator kesejahteraan masyarakat
dalam setiap kategori secara detail dapat terlihat dalam tabel berikut ini :
Modal Sosial MasyarakatDalam Pengelolaan Hutan Rakyat …….. Evita Hapsari, Nurhaedah Muin, Achmad Rizal HB
189
Tabel 1. Indikator Kesejahteraan Masyarakat di Desa Malleleng
Indikator
Kesejahteraan
Mampu Sedang Tidak Mampu
Lahan luas ≥ 4 ha 1-2 ha < 1 ha
Rumah dinding batu
lantai keramik
dinding batu
lantai tidak keramik
dinding bambu
atap rumbia
Ternak Sapi ≥ 10 ekor
Kerbau ≥ 5 ekor
Ayam ≥ 2.000
ekor
Kuda ≥ 2 ekor
Sapi 1-5 ekor
Kerbau 1-2 ekor
Ayam 300-500 ekor
Kuda 1 ekor
Punya ayam
Tidak punya
sapi, kerbau dan
kuda
Kendaraan Mobil
Motor
Motor Tidak punya
kendaraan
Usaha Dagang (kayu,
hasil bumi, mebel,
saprodi)
Kios campuran Tidak punya
usaha
Tanaman Cengkeh ≥ 50 kg
Merica 100 kg
Kakao 50 kg
Jati ≥ 100 pohon
Gmelina ≥ 50
pohon
Bitti ≥ 200 pohon
Merica 50 kg
Jati 30 pohon
Gmelina 20 pohon
Bitti 20 pohon
Kelapa
Pisang 1-3
pohon
Tidak punya
tanaman kayu
Tabungan ≥ 50 juta 10-49 juta Tidak punya
tabungan
Pendidikan Sarjana SMP-SMA ≤ SD
Keberhasilan
anak
PNS, polisi,
pengusaha
Petani, buruh
bangunan,
karyawan
Pengangguran
Pekerjaan PNS + petani Petani dan atau
buruh bangunan
Buruh tani
Status sosial Haji / daftar
tunggu
Belum haji -
D. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode scoring dan
deskriptif. Perangkingan dalam setiap kriteria dilakukan terlebih dahulu,
190
kemudian melakukan teknik scoring. Rangking ditentukan oleh masyarakat
melalui FGD sehingga mencerminkan kondisi yang sebenarnya. Hasil
rangking setiap kriteria selanjutnya diberikan bobot persentase. Setiap
jawaban verifier dalam kuisioner selanjutnya diberikan skor. Total skor
dihitung dari jumlah skor dikalikan dengan bobot setiap verifier dalam
persen. Teknik scoring tersebut digunakan untuk mengukur aset yang
dominan dimiliki oleh masyarakat. Analisis data berpedoman pada
Multicriteria Analysis (MCA)(Oktalina et al., 2016).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Malleleng
Banyak para ahli telah mendefinisikan tentang kondisi sosial ekonomi
masyarakat. Kondisi sosial ekonomi masyarakat dapat dideskripsikan
berdasarkan beberapa indikator, misalnya kepemilikan rumah, kepemilikan
lahan, jenis pekerjaan dan lain-lain. Kondisi sosial ekonomi petani
merupakan kedudukan atau posisi petani di dalam masyarakat berkaitan
dengan tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, jumlah anggota keluarga dan
pemilikan lahan (Achmad et al., 2015).
Masyarakat Malleleng mayoritas bermata pencaharian sebagai petani
(90%) dan setiap KK rata-rata memiliki lahan hutan rakyat seluas 0,29
hektare. Selain berbentuk kebun, sebagian besar petani memiliki lahan
berupa sawah dikarenakan kondisi tanah yang subur. Petani rata-rata
memiliki sawah seluas 0,43 hektare. Areal sawah pada musim hujan
ditanami padi, sedangkan musim kemarau ditanami jagung, palawija atau
sayur-sayuran. Karakteristik petani menggambarkan kondisi petani dan
potensi sumberdaya yang dapat dikembangkan (Dewi et al., 2018)
Kondisi sosial ekonomi petani memengaruhi mereka dalam mengambil
keputusan mengelola hutan rakyat (Diniyati et al., 2010). Petani
mengembangkan jenis tanaman kehutanan yaitu jati lokal, jati putih,
sengon, bitti, mahoni dan akasia, sedangkan tanaman perkebunan berupa
kakao, karet, lada, cengkeh, kelapa, jambu mente dan pisang. Meskipun
masyarakat Malleleng sebagian besar mempunyai mata pencaharian sebagai
petani,tetapi ketika lahan mereka belum dapat memberikan kontribusi
maksimal maka akan mencari sumber penghasilan dari sektor non lahan,
misalnya dari ternak, dagang, warung bahkan menjadi buruh bangunan.
Sumber penghasilan petani hutan rakyat dari sektor non lahan berasal dari
peternakan, jasa tenaga dan wirausaha. Penghasilan petani hutan rakyat
terbesar dari jasa tenaga yaitu sebesar 78%. Banyak masyarakat yang
Modal Sosial MasyarakatDalam Pengelolaan Hutan Rakyat …….. Evita Hapsari, Nurhaedah Muin, Achmad Rizal HB
191
menjadi tukang dan buruh tani di Kota Bulukumba dan Makassar (Hapsari et
al., 2018).
Ketika penelitian dilakukan, tanaman kehutanan milik petani belum siap
panen dikarenakan usia tanam masih muda. Kondisi penghidupan ditopang
oleh lahan sawah yang siap panen, sehingga petani memperoleh sumber
penghasilan dari sawah. Sumber penghasilan petani dari sawah memberikan
kontribusi lebih besar dibandingkan dari lahan hutan rakyat. Sumber
penghasilan dari tanaman pertanian sebesar 58,1% sedangkan tanaman
kehutanan sebesar 30%. Kontribusi hutan rakyat sebesar 25,8% dari total
penghasilan petani (Hapsari et al., 2018). Upaya peningkatan produktivitas
dapat dilakukan dengan perbaikan teknis silvikultur atau budidaya dan
modifikasi pola tanam (Widiarti et al., 2008)
B. Modal Penghidupan Petani Hutan Rakyat
Salah satu kelebihan sistem hutan rakyat adalah keanekaragaman
hayati dalam ekosistem yang lebih tinggi dibandingkan hutan tanaman, serta
jenis tanamannya mempunyai nilai ekonomi tinggi untuk di setiap daerah
(Ethika et al., 2014). Pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan masyarakat
menggunakan aset yang berbeda-beda. Penggunaan aset yang berbeda
berpengaruh terhadap intensifikasi pengelolaan hutan rakyat yang
berdampak pada kelestarian hutan rakyat dan penghidupan petani.
Masyarakat Malleleng memiliki modal penghidupan yaitu modal sumber
daya manusia, modal sumber daya alam, modal fisik, modal finansial dan
modal sosial. Berdasarkan hasil FGD masyarakat Malleleng, kelima modal
penghidupan tersebut dibuat ranking prioritas variabel pengukur dari
masing-masing jenis modal. Peringkat modal secara lebih detail terlihat
dalam tabel di bawah ini :
Tabel 2. Peringkat modal penghidupan masyarakat Desa Malleleng
Jenis Modal Variabel Pengukur Urutan
Pengaruh
Sumber Daya Alam Kepemilikan lahan 1
Tipe penggunaan lahan 2
Akses pemanfaatan SDA 3
Konflik pemanfaatan SDA 4
Sumber Daya Manusia Kesehatan 1
Tenaga kerja keluarga 2
Pendidikan 3
Pengetahuan dan 4
192
Jenis Modal Variabel Pengukur Urutan
Pengaruh
keterampilan
Fisik Kepemilikan rumah 1
Alat produksi 2
Tingkat jangkauan lahan 3
Kepemilikan kendaraan 4
Finansial Pendapatan 1
Tingkat kecukupan keuangan 2
Tabungan keluarga 3
Akses kredit 4
Sosial Kepercayaan 1
Jaringan 2
Norma dan peraturan 3
Sanksi 4
Dalam modal sumber daya alam, kepemilikan lahan petani berpengaruh
terhadap banyak sedikitnya lahan garapan (Tabel 2). Petani kategori mampu
memiliki luas lahan yang lebih besar daripada petani kategori sedang dan
petani kategori tidak mampu (Tabel 1). Petani yang tidak memiliki lahan
akan menjadi penggarap lahan milik tetangga atau orang lain. Untuk tipe
penggunaan lahan, petani dapat mengelola dengan pola tanaman jangka
pendek, tanaman jangka menengah dan tanaman jangka panjang.
Kemudahan akses mempengaruhi petani dalam memanfaatkan lahan.
Terjadinya konflik menjadi faktor penghambat petani dalam mengelola
lahan.
Dalam modal sumber daya manusia, kesehatan menjadi prioritas
pertama petani untuk dapat menggarap lahan (Tabel 2). Banyak sedikitnya
anggota keluarga dalam mencurahkan tenaga kerja akan mempengaruhi
hasil garapan. Pendidikan, pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki
petani akan diimplementasikan dalam mengelola lahan. Ilmu yang diperoleh
petani dapat berasal dari pelatihan, pengetahuan lokal maupun penyuluhan.
Dalam modal fisik, kepemilikan rumah menjadi kebutuhan dasar petani
untuk berlindung bersama anggota keluarga (Tabel 2). Alat produksi
dibutuhkan petani dalam mengelola lahan. Jarak jangkauan jauh dekatnya
antara lahan dengan rumah menentukan intensitas petani dalam menggarap
lahan. Kepemilikan kendaraan juga mempengaruhi petani dalam kemudahan
untuk mengakses lahan garapan.
Modal Sosial MasyarakatDalam Pengelolaan Hutan Rakyat …….. Evita Hapsari, Nurhaedah Muin, Achmad Rizal HB
193
Dalam modal finansial, pendapatan menjadi prioritas utama petani
untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan dalam mengelola lahan (Tabel
2). Tingkat kecukupan keuangan juga mempengaruhi petani dalam
menentukan pilihan jenis tanaman. Tabungan keluarga diperlukan petani
ketika masih membutuhkan biaya tambahan untuk mengelola lahan. Akses
kredit menjadi tujuan akhir petani dalam kondisi darurat ketika masih tetap
membutuhkan biaya lebih banyak lagi untuk lahan garapan.
Dalam modal sosial, tingkat kepercayaan sangat menentukan
pengambilan keputusan petani dalam mengelola lahan (Tabel 2). Jaringan
petani dalam mengembangkan relasi sosial diperlukan untuk usaha
penjualan pasca panen. Norma dan peraturan menjadi basis petani dalam
mengelola lahan. Sanksi yang berlaku dalam masyarakat dijadikan sebagai
faktor pengingat petani dalam menggarap lahan.
Langkah berikutnya setelah penentuan rangking modal penghidupan
petani yaitu dengan memberikan skoring pada modal penghidupan dan di
buat rata-rata per kategori kesejahteraan. Berikut disajikan rata-rata skoring
modal penghidupan masyarakat Desa Malleleng:
Tabel 3. Rata-rata skoring modal penghidupan masyarakat Desa Malleleng
per kategori kesejahteraan
Modal Penghidupan Kategori
Mampu
Kategori
Sedang
Kategori Tidak
Mampu
Modal sosial 6555,00 6281,05 5055,96
Modal fisik 6764,33 5188,50 4566,00
Modal finansial 4447,78 4068,21 3120,69
Modal sumberdaya
alam
4121,00 4147,71 3850,71
Modal sumberdaya
manusia
4450,22 4335,39 3744,36
Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa modal fisik dalam kategori
mampu menunjukkan skor tertinggi. Masyarakat kategori mampu lebih
mengutamakan modal fisik dibandingkan modal lainnya. Kepemilikan rumah,
kepemilikan alat produksi dan kepemilikan kendaraan menjadi unsur utama
dalam penghidupan bagi masyarakat kategori mampu. Kondisi tersebut
berbeda dengan masyarakat kategori sedang dan kategori tidak mampu,
dimana terlihat pada tabel di atas bahwa skor tertinggi adalah modal sosial.
Masyarakat kategori sedang dan kategori tidak mampu lebih mengutamakan
194
modal sosial daripada modal lainnya. Hal ini selaras dengan pernyataan
Sumirat, et al. (2015), bahwa modal sosial anggota kelompok tani hutan
dengan tingkat kesejahteraan rendah, cenderung lebih tinggi. Sementara
itu, untuk anggota kelompok tani hutan dengan tingkat kesejahteraan yang
lebih tinggi, modal sosial cenderung lebih rendah.
C. Modal Sosial dalam Pengelolaan Hutan Rakyat
Potensi modal sosial apabila dikembangkan akan memberikan manfaat
ekonomi dan manfaat sosial (Fathy, 2019). Masing-masing individu atau
kelompok mampu mendayagunakan relasi-relasi sosial mencakup nilai-
norma, jaringan sosial dan kepercayaan supaya memperoleh manfaat
ekonomi dan manfaat sosial. Berdasarkan hasil FGD yang dilaksanakan
masyarakat Malleleng, elemen modal sosial dalam pengelolaan hutan rakyat
terdiri dari kepercayaan, norma atau peraturan, sanksi dan jaringan. Dari
keempat elemen tersebut kemudian dibuat peringkat atau urutan
berdasarkan besar kecilnya pengaruh dalam mengelola lahan mereka.
Peringkat pertama yang memberikan pengaruh paling besar adalah
kepercayaan. Peringkat kedua adalah jaringan. Sedangkan peringkat ketiga
adalah norma dan peraturan. Peringkat keempat yang memberikan
pengaruh paling kecil adalah sanksi (Tabel 2).
Kepercayaan muncul dari masing-masing individu dan tumbuh dalam
relasi sosial. Kepercayaan memiliki indikator ketika individu memutuskan
bergabung dengan kelompok, percaya dengan anggota lain dan menjalin
hubungan dengan sesama anggota kelompok. Hubungan sesama anggota
melahirkan persatuan yang dapat memberikan kontribusi pada peningkatan
modal sosial (Apriansah et al., 2016). Modal kepercayaan menjadi salah
satu elemen pendukung agar mudah mewujudkan kerjasama. Kerjasama
diwarnai oleh suatu pola interrelasi yang imbal balik, saling menguntungkan
dan dibangun di atas kepercayaan yang ditopang oleh norma-norma dan
nilai-nilai sosial yang positif dan kuat.
Kepercayaan masyarakat yang terbangun di Desa Malleleng lebih
bersifat kekerabatan, mereka masih menjunjung ikatan darah. Sebagai
contoh kasus, ketika petani hutan rakyat akan menjual kayu, mereka lebih
percaya kepada informasi yang diberikan keluarga atau kerabat.
Pada saat petani hutan rakyat melakukan transaksi jual beli kayu, telah
terjadi pertukaran ekonomi. Akan tetapi yang sering terjadi mereka
melakukan pertukaran sosial. Petani lebih mengutamakan relasi sosial yang
terjalin daripada uang. Terkadang petani mengalami kerugian secara
Modal Sosial MasyarakatDalam Pengelolaan Hutan Rakyat …….. Evita Hapsari, Nurhaedah Muin, Achmad Rizal HB
195
finansial, akan tetapi mereka memperoleh keuntungan berupa relasi sosial.
Sebagai contoh seorang petani mempunyai dua orang calon pembeli.
Pembeli pertama adalah tetangga sekaligus pelanggan, sedangkan pembeli
kedua adalah tetangga (bukan pelanggan). Petani tetap akan menjual
kepada pembeli pertama meskipun harga yang diberikan lebih murah
daripada pembeli kedua. Petani tetap mempertahankan relasi dan
kepercayaan yang sudah terjalin lama.
Usman (2018), mengemukakan bahwa pertukaran sosial ditandai
dengan relasi-relasi sosial. Aktor-aktor juga memperhitungkan biaya, akan
tetapi biaya tersebut bukan berupa uang, tetapi sebuah pengorbanan.
Ketika terjadi kerugian, tetap mempertahankan karena memperoleh
keuntungan relasi-relasi sosial. Dalam pertukaran sosial yang terpenting
adalah pengakuan (recognition), reputasi (social standing) dan kepercayaan.
Modal sosial terletak pada kemampuan masyarakat dalam suatu entitas
atau kelompok untuk bekerja sama membangun suatu jaringan untuk
mencapai tujuan bersama. Jaringan sosial merupakan aset yang sangat
bernilai. Jaringan atau relasi yang terjalin dalam masyarakat Malleleng
cenderung melalui ikatan keluarga. Relasi yang terbentuk mengutamakan
kepercayaan dari kerabat. Norma dan peraturan merupakan salah satu
elemen modal sosial. Norma maupun aturan adat di Desa Malleleng tidak
terlalu ketat dibanding Kajang Dalam karena Desa Malleleng termasuk
wilayah Kajang Luar sehingga norma adat tidak bersifat mengikat. Terdapat
beberapa norma yang berlaku di masyarakat diantaranya harus menanam
pohon ketika menikah dan ketika melahirkan. Apabila tidak memiliki lahan
milik, masyarakat tetap harus menanam di tepi jalan atau di lahan milik
publik. Adapun sanksi yang berlaku dalam masyarakat Malleleng dimana
terkait dengan pengelolaan lahan adalah dilarang menebang pohon di
sekitar sungai. Terdapat juga sanksi apabila melepas ternak dan ternak
mengenai lahan milik orang lain atau tetangga maka dikenakan denda
sebesar Rp. 50.000/ternak .
Modal sosial yang digunakan untuk membangun kapasitas adaptif,
dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu bonding social capital dan
networking (or bridging) social capital (Usman, 2018). Bonding social capital
mengikat aktor-aktor sosial berdasarkan tempat tinggal, kekerabatan, etnis,
agama dan adat istiadat,serta lebih mengedepankan face to face
relationship. Elemen-elemen modal sosial (trust, commitment, reciprocity)
dipelihara dan dikembangkan melalui jejaring yang terbatas (ikatanbonding).
Networking (or bridging) social capital mengikat aktor-aktor sosial
196
berdasarkan jejaring yang menembus batas tempat tinggal, kekerabatan,
etnis, agama dan adat istiadat. Modal sosial dalam masyarakat Malleleng
bersifat bonding social capital, umumnya berasal dari ikatan kekeluargaan,
kekerabatan dan kehidupan bertetangga. Modal sosial antara individu dalam
sebuah kelompok yang melihat orientasi ke dalam (inward looking)
(Kusumastuti, 2015). Keanggotaan dalam kelompok umumnya berinteraksi
secara intensif, face to face dan saling mendukung. Kondisi modal sosial di
atas sangat mendukung dalam pengelolaan hutan secara partisipatif di Desa
Malleleng.
IV. KESIMPULAN
Masyarakat kategori mampu lebih mengutamakan modal fisik,
sedangkan masyarakat kategori sedang dan kategori tidak mampu lebih
mengutamakan modal sosial. Modal sosial dalam masyarakat Malleleng
bersifat bonding, umumnya berasal dari ikatan kekeluargaan, kekerabatan
dan kehidupan bertetangga. Petani hutan rakyat lebih mengutamakan relasi
sosial yang terjalin daripada finansial. Petani hutan rakyat lebih memilih
melakukan pertukaran sosial daripada pertukaran ekonomi sehingga sangat
mendukung dalam pengelolaan hutan rakyat secara partisipatif.
V. SARAN
Untuk memperkuat kapasitas adaptif, modal sosial masyarakat
Malleleng perlu diperluas jejaring melalui teknologi informasi dan komunikasi
menuju networking or bridging.
V. UCAPAN TERIMA KASIH
Terimakasih kepada Aciar Australia sebagai penyandang dana
penelitian, Dinas Kehutanan Bulukumba, para peneliti dan teknisi yang turut
memfasilitasi dan terlibat dalam penelitian ini.
VI. DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, S. (2013). Potensi dan Kekuatan Modal Sosial dalam Suatu
Komunitas. Socius, XII, 15-21.
Achmad, B., Diniyati, D., Fauziyah, E., Widyaningsih, T.S. (2015). Analisis
faktor-faktor penentu dalam peningkatan kondisi sosial ekonomi petani
hutan rakyat di Kabupaten Ciamis. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman,
11(3), 63-79.
Apriansah A., Sayamar, E., & Yulida, R. (2016). Peran modal sosial terhadap
keberdayaan petani karet di Desa Kuntu Kecamatan Kampar Kiri
Modal Sosial MasyarakatDalam Pengelolaan Hutan Rakyat …….. Evita Hapsari, Nurhaedah Muin, Achmad Rizal HB
197
Kabupaten Kampar. Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Pertanian
Universitas Riau, 3(2), 1-15.
Bisjoe, A. R, Nurhaedah, dan Hapsari, E. (2012). Kajian strategi optimalisasi
pemanfaatan lahan hutan rakyat di Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal
Sosek, 9(4), 216-228.
Dewi, I. N., Awang, S. A., Andayani, W., Suryanto, P. (2018). Karakteristik
petani dan kontribusi Hutan Kemasyarakatan (HKm) terhadap
Pendapatan Petani di Kulon Progo. Jurnal Ilmu Kehutanan, 12, 86-98.
Diniyati, D., Awang, S. A. (2010). Kebijakan penentuan bentuk insentif
pengembangan hutan rakyat di Wilayah Gunung Sawal, Ciamis dengan
Metoda AHP. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 7(2), 129-143.
Ethika, D., Purwanto, R. H., Senawi, & Masyhuri. (2014). Peranan petani
terhadap strategi pembangunan hutan rakyat di Bagian Hulu DAS
Logawa di Kabupaten Banyumas Jawa Tengah. Jurnal Manusia dan
Lingkungan, 21(3), 377-385.
Fathy, R. (2019). Modal sosial: Konsep, inklusivitas dan pemberdayaan
masyarakat. Jurnal Pemikiran Sosiologi, 6(1), 1-17.
Hapsari, E., Muin, N., & Bisjoe, A. R. H. (2018). Ragam sumber penghasilan
petani hutan rakyat untuk menunjang penghidupan Di Dusun Bunja
Kabupaten Bulukumba, dalam Prosiding Seminar Nasional Perhutanan
Sosial Tahun 2018 (159-166). Makassar: Balai Penelitian dan
Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar.
Inayah. (2012). Peranan modal sosial dalam pembangunan. Ragam Jurnal
Pengembangan Humaniora, 12(1), 43-49.
Kusumastuti, A. (2015). Modal sosial dan mekanisme adaptasi masyarakat
pedesaan dalam pengelolaan dan pembangunan infrastruktur.
Masyarakat: Jurnal Sosiologi, 20(1), 81-97.
Oktalina, S. N., Awang, S. A., Hartono, S., & Suryanto, P. (2016). Pemetaan
aset penghidupan petani dalam mengelola hutan rakyat di Kabupaten
Gunungkidul. Jurnal Manusia dan Lingkungan, 23(1), 58-65.
Sumirat, B., Muin, N., Bisjoe, A. R. H. (2015). The importance of identifying
social capital for strengthening farmer forest groups development in
Indonesia. XIV World Forestry Congress, Durban, South Africa, 7-11
September 2015.
Usman, S. (2018). Modal Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Widiarti, A., & Prajadinata, S. (2008). Karakteristik hutan rakyat pola kebun
campuran. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, V(2), 145-156.
Pertumbuhan dan Pemeliharaan Ulat Sutera …….. Andi Wildah et al.
199
Pertumbuhan dan Pemeliharaan Ulat Sutera (Bombyx mori L.) di Desa Rurukan 1, Kecamatan Tomohon Timur,
Kota Tomohon, Sulawesi Utara1
Sericulture at Rurukan 1 Village, East Tomohon District, Tomohon City, North Sulawesi
Andi Wildah2, Isdomo Yuliantoro2 dan Ramdana Sari3
ABSTRACT
According to altitude, temperature, humidity and average rainfall of Tomohon, this
site qualify as sericulture development and mulberry planting. This activity aimed
to determine the development of silkworms cultivated in the village of Rurukan 1,
Tomohon, North Sulawesi. Observation was conducted by observe the state of
larvae starting from the small caterpillar phase, the adult silkworm until pupate.
Other data observed were the cocoon's physical appearance. Observations
showed that silkworms succeed in snoring but the quantity does not meet the
recommended standards. This is caused by a various of variabel, among others,
the less maximal cocooning tools and disease attacks. Physically, the appearance
of cocoon is the same as the common, which is generally elongated round shape
and white. There are also some deformed defective cocoons with characteristic
brownish stains. The results of the observation are expected to be a
recommendation in considering North Sulawesi, especially Tomohon, to be
development area of natural silk activity.
Keywords: North Sulawesi, Tomohon, silkworm, cocoons
1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya
Pelestarian Sumber Daya Alam, diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado dan SEAMEO BIOTROP, Manado 24 Oktober 2018.
2 Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado Jl.Raya Adipura
Kelurahan Kima Atas Kecamatan Mapanget Kota Manado. 3 Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar; Jl.Perintis
Kemerdekaan Kelurahan Pai Kecamatan Biringkanya Kota Makassar; E-mail: [email protected].
200
I. PENDAHULUAN
Sutera merupakan komoditas industri yang bernilai ekonomi tinggi.
Produksi kain sutera alam menjadi salah satu industri yang ideal
dikembangkan di Indonesia karena memiliki peluang pasar yang cukup besar,
mengingat minat masyarakat terhadap kain sutera cukup tinggi. Akan tetapi,
produksi benang sutera yang menjadi bahan baku pembuatan kain sutera
masih rendah dibandingkan dengan permintaan benang sutera maupun kain
sutera. Andikarya (2019) menyatakan bahwa kemampuan produksi kokon di
Indonesia hanya sebesar 250 ton (setara dengan 31,25 ton benang)
sedangkan kapasitas produksi industri benang mencapai 700 ton (setara
dengan 87,50 ton benang). Oleh karena itu, kokon sebagai bahan baku
industri benang masih kurang sekitar 450 ton tiap tahunnya.
Salah satu penyebab kurangnya pasokan bahan baku sutera adalah
minimnya industri yang mengembangkan ulat sutera di Indonesia. Akibatnya,
kain sutera harus didatangkan dari luar negeri. Pada dasarnya, banyak daerah
di Indonesia yang berpotensi untuk pengembangan ulat sutera karena
memiliki kondisi lingkungan yang sesuai untuk mendukung pertumbuhan ulat
sutera. Secara umum, ulat sutera mampu tumbuh optimal pada suhu 20-28°C
dengan kelembaban 70-85% (Sam Eun, 1998 dalam Nursita, 2011). Ulat
sutera merupakan hewan berdarah dingin (Poikilotherm) sehingga
produktivitasnya akan menurun apabila suhu lingkungan tinggi (Nursita,
2011). Salah satu daerah di Indonesia yang memiliki suhu dan kelembaban
yang cocok untuk pertumbuhan murbei (sebagai pakan ulat sutera) maupun
pemeliharaan ulat sutera itu sendiri adalah kota Tomohon. Mamesah et al.
(2017) mengatakan bahwa Tomohon memiliki tipe iklim D1 (iklim tropis)
berdasarkan peta iklim Oldeman. Mamesah et al. (2017) melanjutkan bahwa
suhu udara rata-rata sepanjang tahun memiliki variasi yang relatif kecil,
maksimum pada bulan Juli dan terendah pada bulan Januari dengan suhu
22,02°C - 22,8°C, serta kelembapan udara di atas 80%.
Tomohon pernah menjadi sentra penghasil kokon pada tahun 1990-an,
akan tetapi usaha budidaya tersebut tidak berkembang karena perusahaan
tempat petani menjual kokon berhenti beroperasi. Melihat besarnya potensi
Tomohon tersebut, maka Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Manado berusaha untuk menggairahkan kembali
penanaman murbei unggul dan pemeliharaan ulat sutera. Tujuan dari
kegiatan ini adalah untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan larva
ulat sutera di desa Rurukan 1, Tomohon, Sulawesi Utara.
Pertumbuhan dan Pemeliharaan Ulat Sutera …….. Andi Wildah et al.
201
II. METODOLOGI
A. Lokasi dan Waktu Pelaksanaan
Lokasi pengamatan penetasan telur dan perkembangan larva ulat sutera
berada di Kelurahan Rurukan 1, kecamatan Tomohon Timur, Kota Tomohon.
Tomohon berada pada ketinggian 700 - 800 m dari permukaan laut, suhu
dapat mencapai 30°C pada siang hari dan 23 - 24°C pada malam hari (Kolinug
et al., 2015). Kegiatan ini dilakukan pada bulan Mei-Juni 2018 di Demplot
Murbei Desa Rurukan 1 Kota Tomohon.
Gambar 1. Lokasi Pengembangan Murbei
B. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam kegiatan ini adalah telur ulat sutera
(Bombyx mori), kapur tohor, kaporit dan daun murbei. Alat yang digunakan
adalah sasag, bulu ayam, sprayer, parang, timbangan, karung bersih,
keranjang, kertas paraffin, kertas koran, jaring, ayakan, dan
thermohygrometer.
C. Prosedur Kerja
Pemeliharaan ulat sutera dilakukan dalam beberapa tahapan (Andadari
dan Kuntadi, 2014):
1) Persiapan ruangan pemeliharaan
2) Pengambilan dan penyimpanan daun sebagai pakan ulat sutera
202
3) Inkubasi telur
4) Pemeliharaan ulat yang baru menetas (hakitate)
5) Pemeliharaan ulat kecil dan ulat besar
6) Pengokonan dan panen kokon.
Jadwal dan frekuensi pemberian pakan mengikuti Atmosoedarjo et al.,
(2000) yang meliputi jadwal pakan dan jumlah pakan yang diberikan pada
Instar I sampai V.
D. Analisis Data
Data dianalisis secara deskriptif. Metode deskriptif merupakan salah satu
metode penelitian yang memberikan gambaran atau lukisan secara sistematis,
aktual dan akurat terhadap suatu objek penelitian melalui data sampel atau
fakta-fakta sebagaimana adanya (Tanjung dan Nababan, 2016).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Usaha untuk mengembangkan ulat sutera di Tomohon membutuhkan
bibit yang didatangkan dari daerah lain. Hal ini disebabkan karena tidak
adanya suplai bibit di wilayah Sulawesi Utara. Sebanyak 1 box (25.000) bibit
ulat sutera dipesan dari perum perhutani Kabupaten Soppeng, Provinsi
Sulawesi Selatan. Bibit diterima di kantor BP2LHK Manado pada bulan Mei
2018 dan dibawa ke desa Rurukan 1, kota Tomohon, untuk dilakukan
pemeliharaan ulat sutera. Jenis bibit/telur ulat sutera yang dipelihara
merupakan faktor sumberdaya produksi penting yang mempengaruhi usaha
persuteraan alam dan kualitas produk yang dihasilkan (Harbi et al, 2015).
A. Persiapan ruangan pemeliharaan dan penyimpanan daun
sebagai pakan ulat sutera
Ruangan pemeliharaan larva ulat sutera terletak di lokasi kebun murbei,
desa Rurukan 1 dengan luas 0,6 ha. Pemilihan lokasi ini dilakukan untuk
memudahkan pengambilan daun murbei sebagai pakan ulat sutera. Ruangan
pemeliharaan berukuran 4 m x 3 m dan memiliki 2 rak pemeliharaan larva.
Sterilisasi ruangan dilakukan dengan menyemprot larutan kaporit (5 gram
kaporit dalam 1 liter air) di seluruh ruangan. Alat-alat yang digunakan juga
harus direndam atau disemprot dengan larutan kaporit sebelum digunakan.
Hal ini dilakukan karena ulat kecil sangat rentan terhadap serangan hama dan
penyakit sehingga kebersihan ruangan pemeliharaan harus benar-benar
diperhatikan. Pemasangan termometer dan hygrometer di dalam ruangan
penting dilakukan agar suhu dan kelembaban ruangan dapat dijaga.
Pertumbuhan dan Pemeliharaan Ulat Sutera …….. Andi Wildah et al.
203
Daun murbei yang digunakan sebagai pakan ulat sutera harus dalam
keadaan segar. Pengambilan daun diusahakan pada pagi atau sore hari ketika
udara sejuk. Tingkat ketuaan daun murbei yang dipetik disesuaikan dengan
stadia ulat sutera. Nurhaedah dan Bisjoe (2013) menyatakan daun yang masih
muda diberikan kepada ulat kecil setelah dirajang terlebih dahulu, sedangkan
daun yang sudah tua beserta tangkainya (dicampur dengan daun muda)
diberikan kepada ulat besar. Pemberian daun tua dan muda secara berselang-
seling dilakukan agar ulat besar mendapatkan pakan yang merata antara daun
pucuk dan daun tua. Daun murbei yang telah dipetik disimpan di dalam
keranjang dan dijaga agar tetap kering. Penyimpanan daun sebaiknya tidak
lebih dari satu hari karena akan berpengaruh terhadap kesegaran daun dan
nutrisi yang terkandung dalam daun juga dapat berkurang.
B. Inkubasi Telur Ulat Sutera
Inkubasi telur adalah penyimpanan telur di dalam ruangan dengan
pengaturan temperatur, kelembaban dan cahaya yang sama untuk semua
tempat. Tujuan inkubasi, yaitu agar telur dapat ditetaskan dengan baik dan
merata (Andadari, 2016). Telur ulat sutera diinkubasi di dalam box (kotak
penetasan), dan ditetaskan dalam ruangan dengan suhu, kelembaban, dan
cahaya yang dapat diatur. Pencahayaan yang diberikan yaitu 16 jam terang
dan 8 jam gelap. Fotoperiode berperan penting dalam mengontrol lama stadia
telur (pada sebagian besar spesies serangga) serta mempengaruhi proses
diapause serangga di daerah tropis dalam kondisi lingkungan yang berubah
sepanjang harinya (Wibowo et al., 2004). Selain fotoperiode, suhu dan
kelembaban udara juga dapat mempengaruhi perkembangan telur. Suhu
udara dapat berpengaruh terhadap kecepatan penetasan telur. Subrata
(2013) menyatakan bahwa suhu udara yang lebih tinggi akan mempercepat
terjadinya penetasan telur ulat sutera sedangkan suhu rendah menyebabkan
telur menjadi lambat untuk menetas. Salah satu hal penting yang harus
diperhatikan adalah suhu udara yang tinggi menyebabkan kelembaban udara
menjadi rendah. Kelembaban udara yang rendah dapat menyebabkan
kematian embrio telur karena kekurangan air sedangkan kelembaban udara
yang tinggi akan menghambat penetasan telur (Atmosoedarjo et al., 2000).
Oleh karena itu, untuk memperoleh hasil penetasan telur yang seragam dan
optimum, maka kondisi suhu dan kelembaban udara harus stabil selama
inkubasi. Suhu ruangan dipertahankan pada suhu 24 - 25oC dan kelembaban
75 - 85% (Nurjayanti, 2011). Untuk menjaga kelembaban 85%, telur harus
ditempatkan di atas kain basah.
204
Telur merupakan fase awal ulat sutera yang cukup rentan terhadap
perubahan lingkungan di sekitarnya. Oleh karena itu, kondisi ruangan inkubasi
harus tetap terkontrol. Umumnya inkubasi dilakukan selama 10 hari sampai
telur menetas secara seragam (Andadari, 2016). Akan tetapi, proses
pengiriman telur dari Kabupaten Soppeng ke Tomohon yang membutuhkan
waktu beberapa hari menyebabkan telur yang berada di kotak penetasan
harus selalu diamati sampai terdapat titik biru pada permukaan telur
(menandakan bahwa telur akan segera menetas). Kotak penetasan kemudian
ditutup dengan kain hitam dan lampu ruangan dimatikan selama 2 hari.
Perlakuan penggelapan dan penerangan pada telur yang diinkubasi dilakukan
setelah muncul titik biru pada permukaan telur (Nurhaedah dan Bisjoe, 2013).
Hal ini dilakukan agar telur dapat menetas secara serentak sehingga
diharapkan ukuran ulat dapat seragam (Nurjayanti, 2013). Satu hari sebelum
menetas, telur berubah menjadi warna biru. Pada keesokan harinya, telur
mulai menetas satu per satu, namun belum dapat dipindahkan ke rak
pemeliharaan sampai telur menetas semuanya. Apabila telur yang menetas
sudah banyak maka penutup dibuka dan ruangan dibuat terang agar
penetasan dapat terjadi serempak.
C. Pemeliharaan Larva Ulat Sutera
1. Pemeliharaan Ulat Kecil
Pengurusan ulat yang baru menetas disebut hakitate. Ulat yang baru
menetas berwarna kehitaman dan badannya tertutup bulu. Hari kedua setelah
penetasan menunjukkan badan ulat mulai berwarna cokelat dan kepala
berwarna hitam (Gambar 2). Andadari et al. (2013) menambahkan bahwa
kondisi tubuh ulat memasuki hari kedua akan berubah menjadi gemuk,
berwarna kehijauan dan rambutnya seolah-olah rontok. Ulat yang berada di
rak pemeliharaan memasuki fase instar I yang berlangsung selama 4 hari. Hal
ini sesuai dengan Nurjayanti (2011) yang menyatakan bahwa instar I
merupakan fase ketika ulat berumur 1-4 hari. Penentuan umur ulat pada tiap
tahap perkembangannya tidak selalu sama, tergantung pada suhu dan
kelembaban daerah serta kualitas daun murbei yang diberikan.
Pertumbuhan dan Pemeliharaan Ulat Sutera …….. Andi Wildah et al.
205
A B
Gambar 2. (A) pemindahan ulat yang baru menetas ke rak pemeliharaan; (B)
ulat yang berumur 2 hari setelah menetas (instar I)
Pada saat hakitate, ulat kecil ditaburi campuran kaporit dan kapur
menggunakan saringan agar terhindar dari serangan penyakit. Hal tersebut
dilakukan sebelum pemberian pakan untuk pertama kalinya. Nurjayanti
(2011) menyatakan bahwa desinfeksi dilakukan pada ulat yang telah berganti
kulit dengan menaburi tubuh ulat menggunakan campuran kaporit dan kapur
(Satu boks ulat membutuhkan 100 gram serbuk campuran, terdiri dari 10
gram kaporit dan 90 gram kapur).
Pemberian makan dilakukan untuk pertama kalinya pada hari kedua
setelah menetas (Pukul 09.00 pagi). Hal ini dilakukan karena telur baru
menetas semua pada hari kedua. Pakan ulat sutera yang digunakan adalah
daun murbei varietas campuran yang segar dan kering. Murbei memiliki sifat
daun yang tidak terlalu keras serta mengandung semua zat yang dibutuhkan
untuk pertumbuhan ulat sutera (kaya kandungan air, karbohidrat, protein)
sehingga mampu mempercepat pertumbuhan ulat ke instar berikutnya
(Nursita, 2011). Pertumbuhan, perkembangan dan reproduksi larva
tergantung dari kualitas dan kuantitas pakan yang dikonsumsi. Pemberian
makan dilakukan berdasarkan pedoman Atmosoedarjo et al. (2000). Ulat
diberi makan sebanyak 4 kali sehari. Daun yang digunakan sebagai pakan ulat
kecil adalah daun murbei berupa tunas muda sampai daun kelima dan
keenam.
206
Gambar 3. Proses pemberian pakan ulat kecil (A) pengambilan daun murbei;
(B) daun murbei dirajang dan ditimbang; (C) pemberian pakan
(daun murbei yang telah dirajang) ke ulat; (D) ulat yang sedang
makan ditutup menggunakan kertas paraffin
Daun-daun murbei untuk ulat kecil dirajang kecil-kecil sebelum diberikan
kepada ulat agar ulat yang masih kecil mudah memakannya. Daun murbei
yang telah dirajang kemudian ditaburkan di atas ulat kecil tersebut (Gambar
3). Ulat yang sedang makan ditutup menggunakan kertas paraffin. Ulat akan
mengalami dormansi (tidur) selama ± 24 jam pada setiap akhir fase instar
dan akan mengalami pergantian kulit (pemberian pakan dikurangi ketika ulat
tidur) (Nurjayanti, 2011).
Setelah pemberian pakan yang pertama kali, terlihat beberapa ulat kecil
mati. Hal ini disebabkan karena ketidakhati-hatian yang dilakukan saat
pemberian desinfektan pada tubuh ulat. Pada dasarnya, pemberian
desinfektan pada tubuh ulat penting dilakukan untuk melindungi ulat dari
serangan hama dan penyakit. Akan tetapi, pemberian desinfektan yang tidak
hati-hati dapat menyebabkan desinfektan tersebut dapat tercampur pada
pakan dan ikut termakan oleh ulat tersebut. Untuk meminimalisir
kemungkingan tersebut, maka desinfektan diberikan secara tipis-tipis pada
tubuh ulat (bisa menggunakan saringan).
(A) (B)
(C) (D)
Pertumbuhan dan Pemeliharaan Ulat Sutera …….. Andi Wildah et al.
207
Fase instar II dan III juga umumnya berlangsung selama empat hari
dengan pemberian pakan sebanyak empat kali sehari (pagi, siang, sore, dan
malam). Banyaknya pakan yang diberikan tidak mesti terpaku pada pedoman,
namun bisa dikondisikan dengan keadaan ulat. Apabila sudah tiba pemberian
pakan selanjutnya namun pakan sebelumnya belum habis, maka jumlah
pakan berikutnya dapat dikurangi. Sisa pakan yang sudah layu dibersihkan
dan diganti dengan makanan yang baru. Pada fase ulat kecil, pembersihan
pada sisa pakan agak sulit dilakukan karena ukuran ulat yang masih kecil dan
daun murbei yang diberikan pun berbentuk rajangan kecil-kecil. Semakin
tinggi tahap instar, semakin banyak pakan yang dikonsumsi, karena waktu
makan semakin panjang dengan bertambahnya tahapan instar. Jumlah daun
yang dikonsumsi ulat berangsur angsur bertambah, sesuai dengan
perkembangan hidupnya (Rahma, 2017).
Widyaningrum (2009) menyatakan bahwa frekuensi pemberian pakan
yang ideal dengan porsi yang tepat merupakan hal utama yang harus
diperhatikan untuk meningkatkan efisiensi pakan serta menekan jumlah
pakan yang terbuang. Frekuensi pemberian pakan yang dilakukan lebih sering
menyebabkan ketersediaan pakan selalu dalam kondisi segar. Hal ini
diharapkan nafsu makan ulat sutera meningkat dan pakan yang disediakan
selalu habis. Kaomini (2002) dalam Andadari dan Irianto (2011) menyebutkan
bahwa daun murbei sebagai pakan mempunyai pengaruh yang sangat besar
tidak hanya terhadap nutrisi tetapi terhadap persentase benang dan kualitas
kokon.
Tingkat ketuaan daun juga merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi produktivitas ulat. Ulat yang diberi pakan daun yang terlalu
tua akan memiliki masa stadium yang lebih lama dibanding ulat yang diberi
pakan daun tidak terlalu tua. Oleh karena itu, pemanenan daun berdasarkan
letak daun pada batangnya sangat penting untuk diperhatikan
(Widyaningrum, 2009).
2. Pemeliharaan Ulat Besar
Ulat besar adalah ulat yang mencapai instar IV (12-13 hari) sampai akhir
instar V (18-20 hari). Fase instar IV - V ulat sutera memerlukan perhatian
lebih karena kebutuhan pakan pada fase ini mencapai puncaknya. Kaomini
(2002) dalam Andadari dan Irianto (2011) mengungkapkan bahwa ulat sutera
pada fase instar IV-V membutuhkan pakan hampir 90% dari total kebutuhan
pakan seluruh fase instar. Pakan yang diberikan berupa daun murbei utuh
(dapat diberikan beserta rantingnya) sehingga lebih mudah dibersihkan dan
208
dipisahkan antara daun yang sudah layu dan masih segar. Daun harus
dipastikan segar dan bebas dari penyakit (seperti instar sebelumnya).
Nurjayanti (2011) menambahkan pemberian pakan pada ulat besar
menggunakan daun tua berumur 2,5 - 3 bulan setelah pemangkasan dan
diberikan bersama rantingnya (daun dan ranting tidak perlu dipotong terlebih
dahulu, cukup diletakkan secara bolak-balik di atas ulat sutera). Pemberian
pakan untuk instar IV dilakukan empat kali sehari, yaitu pagi, siang, sore, dan
malam hari. Sedangkan pada instar V pakan diberikan lebih sering, yaitu 4 -
5 kali sehari.
Ulat sutera membutuhkan banyak protein untuk mempercepat
pertumbuhan kelenjar sutera. Kelenjar tersebut berfungsi sebagai penghasil
cairan untuk membuat kokon. Protein diperoleh dari daun murbei yang
digunakan sebagai pakan. Nursita (2011) menyatakan daun murbei yang
berkualitas mengandung protein, karbohidrat, gula, pati, serat kasar, garam
organik (phosphat, kalsium dan kalium), vitamin serta bahan mineral lainnya
yang mampu mendukung pertumbuhan ulat sutera.
Penelitian yang dilakukan oleh Widyaningrum (2009) menunjukkan
bahwa kandungan protein pada daun murbei lembar 7-8 adalah 19,64%,
lembar 5 - 6 sebesar 18,41% dan lembar 3 - 4 sebesar 16,88%. Nursita (2011)
menyatakan bahwa pemeliharaan ulat sutera dewasa (instar IV dan V)
membutuhkan daun murbei yang mengandung protein tinggi dan kandungan
air yang rendah. Oleh karena itu, kandungan protein dalam pakan yang
semakin tinggi menyebabkan kelenjar sutera yang dapat ditimbun dalam
tubuh ulat sutera pun semakin banyak (menjelang pembentukan
kepompong). Maka tingkat ketuaan dan kesegaran daun perlu diperhatikan.
Memasuki fase ulat besar, banyak ulat diduga terserang penyakit ditandai
dengan ciri mengeluarkan cairan bau dan tubuh yang kecil. Esnawan (2015)
menyatakan bahwa ulat dengan ciri tersebut diindikasikan terserang bakteri.
Nuraeni (2016) menambahkan penularan penyakit dapat melalui kotoran yang
menumpuk di sasag, daun yang terkontaminasi bakteri, kondisi pemeliharaan
yang lembab dan pemberian pakan menggunakan daun basah. Ulat yang sakit
dapat menularkan penyakit yang sama ke ulat yang lainnya dan pada kegiatan
ini terdapat cukup banyak ulat yang punya gejala yang sama. Diduga ulat-
ulat tersebut semuanya terserang bakteri. Menurut Nuraeni (2016), meskipun
bibit atau telur yang digunakan terbebas dari patogen sebagai sumber infeksi
utama, akan tetapi sumber infeksi lain dari lingkungan seringkali sulit
dihindari. Lingkungan pemeliharaan dapat menjadi sumber infeksi sekunder
Pertumbuhan dan Pemeliharaan Ulat Sutera …….. Andi Wildah et al.
209
apabila pada pemeliharaan ulat sutera sebelumnya terdapat sumber infeksi
dan disinfeksi ruangan serta peralatan pemeliharaan kurang diperhatikan.
Desinfeksi ruangan dan tubuh ulat secara berkala menjadi salah satu
solusi untuk meminimalisir serangan penyakit pada larva ulat sutera. Kotoran
ulat dan sisa-sisa daun yang telah kering juga harus selalu dibersihkan.
Kondisi daun murbei saat akan diberikan kepada ulat juga harus dalam
keadaan baik. Selain itu, ketika ditemukan ada ulat yang sakit dan mati
sebaiknya segera dipisahkan dan ruangan segera disterilisasi menggunakan
campuran kaporit dengan kapur dengan perbandingan 1 : 9 agar ulat yang
sehat tidak tertular penyakit. Cholifah et al. (2012) juga menyatakan bahwa
mortalitas ulat juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti seringnya ulat
bersentuhan dengan aktivitas peneliti, misalnya saat penggantian pakan,
pembersihan sarang dan penimbangan. Selain itu, kondisi lingkungan yang
dekat jalan raya, serta musim panen tembakau juga berpengaruh terhadap
kualitas udara tempat pemeliharaan. Berbeda dengan hewan ternak yang
mempunyai auto termo regulator seperti sapi, domba dst. yang bisa mengatur
sendiri suhu organ tubuhnya, terutama organ dalam, ulat sutera merupakan
hewan berdarah dingin (poikiloterm) sehingga suhu tubuhnya sangat
tergantung dari lingkungannya (Cholis, 2014).
Fase akhir instar IV ditandai dengan ulat tidur atau berganti kulit.
Keesokan harinya, ulat sudah memasuki fase instar V. Pada akhir fase ini, ulat
sudah mulai akan mengokon. Kokon berasal dari air liur yang keluar dari mulut
ulat sutera yang setelah kering akan menjadi serat-serat dan berfungsi
sebagai tempat perlindungan diri dari gangguan musuh. Pembentukan kokon
berlangsung selama 2 - 3 hari. Perlakuan pada instar V masih dilakukan sesuai
pedoman dari Atmosoedarjo et al. (2000), dimana instar V terdiri atas 10 hari
dengan frekuensi pemberian pakan sebanyak empat kali sehari. Biasanya ulat
mulai mengokon pada hari kedelapan. Ciri yang diamati ketika ulat sudah siap
mengokon adalah tubuh ulat mulai transparan dan setelah mulai mengokon,
ulat mulai berputur-putar di tempat pengokonan dan membentuk serat
sutera. Alat pengokonan yang digunakan dalam kegiatan ini berbentuk stik.
Pada saat ulat menujukkan ciri-ciri mengokon, alat pengokonan stik diletakkan
di rak dan ulat akan mencari pegangan dan mulai berputar-putar.
210
Gambar 4. Tahap pengokonan: (A) ulat suera yang sudah matang dan siap
mengokon; (B) ulat mengokon pada alat pengokonan berbentuk
stik; (C) kokon yang terbentuk; (D) penjemuran kokon
D. Pengokonan dan panen kokon
Proses pengokonan pada umumnya berlangsung 2 - 3 hari. Pengokonan
idealnya menunggu hingga ulat naik ke alat pengokonan dengan sendirinya,
namun dalam kegiatan ini beberapa ulat dipindahkan secara manual ke alat
pengokonan karena ulat matang masih enggan berpindah ke tempat
pengokonan. Panen kokon dilakukan 6 atau 7 hari setelah mengokon.
Persentase keberhasilan pengokonan dalam pemeliharaan ini mencapai
sekitar 70%. Dijumpai ada 10% kokon cacat setelah diambil sampel kokon
sebanyak 1 kg. Kokon cacat yang dijumpai bernoda luar, bentuk abnormal
tidak seperti kokon pada umumnya dan kokon ganda. Beberapa kokon tidak
berhasil dibuat karena larva berusaha mencari tempat yang lain untuk
mengokon. Seringnya larva berpindah-pindah menyebabkan serat sutera
tersebar ke berbagai tempat sehingga kokon yang terbentuk tidak sempurna.
Menurut Estetika dan Endrawati (2018) kokon cacat dapat juga disebabkan
karena waktu panen yang kurang tepat, waktu pengokonan yang kurang tepat
ataupun ulat yang sedang mengokon mati sehingga mengotori kokon bagian
dalam. Kokon bernoda luar disebabkan karena kokon terkena kotoran atau
ulat mati di bagian luarnya sedangkan kokon ganda merupakan kokon yang
dibentuk oleh dua ekor pupa secara bersama-sama. Kokon cacat dan normal
(A) (B)
(C) (D)
Pertumbuhan dan Pemeliharaan Ulat Sutera …….. Andi Wildah et al.
211
disajikan pada Gambar 5. Syukur (2011) juga melaporkan bahwa kualitas
kokon ditentukan oleh banyak faktor seperti sifat keturunan, jenis ulat,
makanan, iklim, teknik pemeliharaan dan sebagainya.
.
(A) (B)
Gambar 5. (A) Kokon cacat (B) Kokon normal
Kokon normal yang dihasilkan pada kegiatan ini mempunyai fisik
berbentuk bulat memanjang dan berwarna putih dengan permukaan kasar.
Sebanyak 20 sampel kokon diambil secara acak kemudian diukur diameter
dan bobotnya. Diameter kokon rata-rata adalah 1,58 cm sedangkan bobot
kokon rata-rata adalah 0,46 gr. Bobot yang diambil adalah bobot kering dan
masih terdapat pupa di dalam kokon. Berat tersebut masuk dalam kelas D.
Klasifikasi berat kokon berada antara 0,9 s/d 2 gram. Apabila berat kokon
mencapai 2 gram atau lebih maka kokon yang diuji masuk dalam kelas A
(Atmosoedarjo et al, 2000).
E. Produk Lain Dari Kokon
1. Bahan Kerajinan Tangan
Kokon tidak hanya dapat dijadikan sebagai bahan baku kain sutera, akan
tetapi bisa juga dibuat menjadi kerajinan tangan dan souvenir yang menarik.
Masyarakat saat ini lebih kreatif, dimana pemanfaatan kokon tidak hanya
terbatas sebagai bahan baku kain sutera namun juga dapat diolah menjadi
kerajinan tangan yang dapat menambah penghasilan. Kokon yang cacat dapat
dibuat kerajinan tangan seperti topi (Pikri et al., 2018). Limbah dari
pertenunan kain sutera juga dapat dimanfaatkan menjadi lembaran kain lain
dengan menggunakan teknik makrame yaitu teknik menyimpul dengan kedua
ujung benang saling mengunci satu sama lain. Teknik tersebut dapat
menghasilkan berbagai produk fashion, mulai dari busana pokok, milineris
hingga aksesoris fashion (Hady dan Widiawati, 2012).
212
2. Produk Kosmetik Dan Farmasi
Kepompong ulat sutera tersusun oleh 70 - 80% fibroin, 20 - 30% serisin,
0,4 - 0,8% materi lilin dan 1,2 - 1,5% karbohidrat (Rustam et al., 2017).
Kandungan serisin pada kokon dapat bermanfaat bagi kesehatan kulit. Serisin
mempunyai fungsi seperti collagen dan mengandung protein. Oleh karena itu
kokon berpotensi diolah menjadi facial wajah, krim anti kerutan dan penuaan
dini serta sebagai krim penyembuh luka. Kokon yang dapat diolah tidak hanya
yang normal tapi juga kokon yang cacat.
IV. KESIMPULAN
Kegiatan penetasan dan pemeliharaan larva ulat sutera (Bombyx mori L.)
yang dilakukan mempunyai hasil yang baik jika dilihat dari ketahanan hidup
ulat sutera. Ulat sutera dapat bertahan hidup hingga menghasilkan kokon
walaupun banyak ulat yang mati ketika memasuki fase ulat besar. Hal ini
disebabkan karena kurangnya ketelitian dalam pemeliharaan ulat sutera.
Meskipun demikian, pada dasarnya iklim kota Tomohon sesuai dengan
kebutuhan hidup ulat sutera sehingga mampu mendukung pertumbuhan dan
perkembangan larva ulat sutera. Oleh karena itu, diharapkan kota Tomohon
dapat menjadi pusat budidaya dan pengembangan persuteraan alam.
V. SARAN
Hasil yang didapatkan masih dapat dioptimalkan dengan memberikan
bimbingan atau penyuluhan yang lebih intensif kepada petani tentang teknik
pemeliharaan ulat sutera yang tepat. Tenaga kerja yang dilibatkan dalam
pemeliharaan ulat sutera sebaiknya berjumlah tiga orang untuk memudahkan
ketika pengambilan dan pemberian pakan mulai pagi hingga malam hari.
Perlunya sosialisasi pemanfaatan produk lain dari kokon agar dapat
menambah penghasilan dari petani apabila kokon yang dihasilkan tidak terlalu
banyak dan terdapat kokon yang tidak dapat dijadikan benang (kokon cacat).
Iklim kota Tomohon sesuai dengan kebutuhan hidup ulat sutera sehingga
mampu mendukung pertumbuhan dan perkembangan larva ulat sutera. Oleh
karena itu, diharapkan kota Tomohon dapat menjadi pusat budidaya dan
pengembangan persuteraan alam.
VI. UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada instansi penulis Balai
Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK)
Manado yang telah mendanai kegiatan ini. Penulis juga berterimakasih kepada
petani ulat sutera Meydi Kalalo atas keikhlasan dan kesabaran dalam
Pertumbuhan dan Pemeliharaan Ulat Sutera …….. Andi Wildah et al.
213
melaksanakan pemeliharaan murbei dan ulat sutera serta kepada peneliti,
teknisi dan rekan staf BP2LHK Manado yang telah membantu kegiatan ini
sehingga dapat terlaksana dengan baik.
VII. DAFTAR PUSTAKA
Andadari, L. (2016). Pemilihan jenis hibrid ulat sutera yang optimal untuk
dikembangkan di dataran tinggi dan/atau dataran rendah. Jurnal
Penelitian Hutan Tanaman, 13(1), 13-21.
Andadari, L. & Irianto, R. S. B. (2011). Pengaruh pupuk lambat larut dan daun
tanaman murbei bermikoriza terhadap kualitas kokon ulat sutera. Jurnal
Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, 8(2), 119-127.
Andadari, L. dan Kuntadi. (2014). Perbandingan Hibrid Ulat Sutera (Bombyx
mori L.) Asal Cina dengan Hibrid Lokal di Sulawesi Selatan. Jurnal
Penelitian Hutan Tanaman, 11(3), 173-183.
Andikarya, R. O. (2019). Agribisnis Persuteraan Alam di Desa Pasir Sarongge
Kecmatan Ciherang Kabupaten Cianjur. Composite : Jurnal Ilmu
Pertanian, 1(1), 1–12.
Atmosoedarjo, S., Kartasubrata, J., Kaomini, M., Saleh, W., & Murdoko, W.
(2000). Sutera Alam Indonesia. Jakarta: Yayasan SaranaWana Jaya.
Cholifah, N., Widiyaningrum, P., dan Indriyani, D. R. (2012). Pertumbuhan,
viabilitas dan produksi kokon ulat sutera yang diberi pakan buatan
berpengawet. Biosaintifika : Journal of Biology and Biology Education,
4(1), 47-52.
Cholis, N. (2014). Studi penampilan produksi ulat sutera F1 hibrid hasil
persilangan ras jepang dan ras cina yang berasal dari Pusat Pembibitan
Soppeng dan Temanggung. Ternak Tropika : Journal of Tropical Animal
Production, 15(2), 72-76.
Estetika, Y. dan Endrawati, Y. C. (2018). Produktivitas ulat sutera (Bombyx
mori L.) Ras BS-09 di daerah tropis. Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi
Hasil Peternakan, 6(3), 104-112.
Esnawan, A. A. (2015). Isolasi dan Identifikasi Bakteri Saluran Reproduksi
Imago Betina Ulat Sutera Liar Attacus atlas L. (Lepidoptera :
Saturniidae). Skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hady, D. C. dan Widiawati, D. (2012). Eksplorasi sisa pertenunan serat sutera
dengan teknik makrame pada produk fashion. Jurnal Tingkat Sarjana
Seni Rupa dan Desain, 1(1), 1-9.
214
Harbi, J., D. R. Nurrochmat & Kusharto, C. M. (2015). Pengembangan usaha
persuteraan alam Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan. Jurnal Risalah
Kebijakan Pertanian dan Lingkungan : Rumusan Kajian Strategis
Pertanian dan Lingkungan, 2(2), 128-136.
Kolinug, M. S., Ilat, V., & Pinatik, S. (2015). Analisis pengelolaan aset tetap
pada Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kota
Tomohon. Jurnal EMBA : Jurnal Riset Ekonomi, Manajemen, Bisnis dan
Akuntansi, 3(1), 818-830.
Mamesah, M. M., Olfie, L. S. B. & Baroleh, J. (2017). Administrasi Kelompok
Wanita Tani (KWT) di Kecamatan Tomohon Selatan Kota Tomohon. Agri-
Sosioekonomi : Jurnal Ilmiah Sosial Ekonomi Pertanian Unstrat, 13(3A),
203-214.
Nuraeni, S. 2016. Deteksi molekuler patogen ulat sutera (Bombyx mori. L)
pasca epidemi penyakit pebrin (Tahun 2010-2014). Biowallacea : Jurnal
Ilmiah Ilmu Biologi, 2(3), 162-167.
Nurhaedah, M. & Bisjoe, A. R. H. (2013). Budidaya Ulat Sutera di Desa Sudu,
Kecamatan Alla, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Jurnal
Penelitian Hutan Tanaman, 10(4), 229-239.
Nurjayanti, E. D. (2011). Budidaya ulat sutera dan produksi benang sutera
melalui sistem kemitraan pada Pengusahaan Sutera Alam (PSA) Regaloh
Kabupaten Pati. Mediagro : Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian, 7(2), 1-10.
Nursita, I. W. (2011). Perbandingan produktifitas ulat Sutra dari dua tempat
pembibitan yang berbeda pada kondisi lingkungan pemeliharaan panas.
Jurnal Ilmu-ilmu Peternakan, 21(3), 11-17.
Pikri, F., Sar’an, M., & Syafei, A. (2018). Optimalisasi pemberdayaan
masyarakat berbasis nilai melalui pabrik kain sutra sabilulungan di
Kabupaten Tasikmalaya. Jurnal KELOLA : Jurnal Ilmu Sosial, 1(2), 38-63.
Prihatin, J. (2009). Pemeliharaan dan Pengokonan Ulat Sutera (Bombyx mori
L) menggunakan Seriframe Standard dan Seriframe Modifikasi. Jurnal
Bioedukasi, 7(1).
Rahma, F., Moerfiah, & Andadari, L. (2017). Pertumbuhan dan kualitas kokon
ulat sutera (Bombyx mori L.) dengan pemberian pakan daun murbei
(Morus cathayana) dan daun murbei hibrid SuLi-01. Jurnal Online
Mahasiswa Bidang Biologi, 3(3).
Rustam, A., Tatengkeng, F., Fahruddin, A. M., & Djais, A. I. (2017). Kombinasi
perancah silk-fibroin dari kepompong ulat sutera (Bombyx mori) dan
Pertumbuhan dan Pemeliharaan Ulat Sutera …….. Andi Wildah et al.
215
konsentrat platelet sebagai inovasi terapi regenerasi tulang alveolar.
Makassar Dental Journal, 6(3), 107-115.
Subrata, D. M. (2013). Rancang bangun incubator dengan suhu dan
kelembaban udara terkendali untuk penetasan telur ulat sutera. Jurnal
Keteknikan Pertanian, 1(1), 85-91.
Syukur, U. (2011). Pengaruh rutin terhadap konsumsi, pertumbuhan dan
mutu kokon Bombyx mori L. Jurnal Eksakta, 2, 30-35.
Tanjung, H. S. & Nababan, S. A. (2018). Pengaruh penggunaan metode
pembelajaran bermain terhadap hasil belajar matematika siswa materi
pokok pecahan di Kelas III SD Negeri 200407 Hutapadang. Bina Gogik:
Jurnal Ilmiah Pendidikan Guru Sekolah Dasar, 3(1), 35-42.
Wibowo, I. H., Astirin, O. P., dan Budiharjo, A. (2004). Pengaruh suhu dan
fotoperiode terhadap lama stadia telur ulat sutera emas (Cricula
trifenestrata Helf.). BioSMART: Journal of Biology Science, 6(1), 71-74.
Widyaningrum. (2009). Growth performances an cocoon production of
silkworm (Bombyx mori) on different frequency of feeding and age
leaves. Berkala Penelitian Hayati: Journal of Biological Researchers, 15,
17-20.
Pengaruh Tempat dan Waktu Penyimpanan …….. Jafred E. Halawane dan Arif Irawan
217
Pengaruh Tempat dan Waktu Penyimpanan Terhadap Keberhasilan Daya Kecambah Benih Gaharu (Gyrinops
versteegii (Gilg.) Domke)1
The Effect of Storage Duration and Storage Tecnik of Seed To Survival on Gaharu (Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke)
Jafred E. Halawane2 dan Arif Irawan2
ABSTRACT
Agarwood is one of the types of non-timber forest products that is increasingly
rare with high economic value. One of the supporting factors of aloes cultivation
efforts is the proper handling of aloes seeds. Aloes seeds are categorized into
recalcitrant seeds, Information on how to handle seeds is important in
supporting efforts to cultivate agarwood-producing plants. The purpose of this
study was to determine the effect of storage space and time on the success of
agarwood seed germination, This study uses a completely randomized design
with factorial patterns using two factors as treatment, The first factor is the
storage time (7 days, 14 days, and 21 days) and the second factor is way
storage (Stored in the refrigerator with fruit flesh and placed in transparent
plastic, kept in the refrigerator with fruit flesh without plastic, stored at room
temperature with fruit flesh and kept in the refrigerator with peeled flesh). The
results showed that the best storage treatment method is the results showed
that the best storage treatment method is the treatment is kept at room
temperature by maintaining the pulp and placed in plastic while the most
appropriate storage time is 7 days.
Keywords: agarwood, sprouts Power, storage
1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya
Pelestarian Sumber Daya Alam, diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado dan SEAMEO BIOTROP, Manado 24 Oktober 2018.
2 Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado; Jl. Raya
Adipura, Kel. Kima Atas, Manado.95259. Sulawesi Utara; Telp. (0431)7242949; Email: [email protected].
218
I. PENDAHULUAN
Tanaman gaharu (Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke) merupakan salah
satu tumbuhan dari anggota family Thymeleceae sebagai penghasil hasil
hutan bukan kayu (HHBK) berupa damar wangi atau gaharu dengan nilai
ekonomi yang tinggi.
Gaharu yang dihasilkan dapat terbentuk secara alamiah (gaharu alam)
dan melalui campur tangan manusia atau gaharu hasil budidaya, dengan
kualitas dan harga jual yang berbeda. Gaharu alam memiliki kualitas dan
harga jual yang lebih tinggi dibandingkan dengan gaharu hasil budidaya. Hal
ini menyebabkan perburuan terhadap hasil gaharu alam tidak terkendali di
habitat alaminya sehingga tejadi penurunan potensi dan kelangkaan
terhadap tubuhan penghasil gaharu. Mengantisipasi hal tersebut salah satu
cara dan tindakan yang perlu dilakukan adalah melalui perbanyakan
tanaman atau budidaya.
Budidaya terhadap tanaman penghasil gaharu dapat dilakukan secara
generatif maupun vegetatif. Tindakan budidaya secara generatif dapat
dilakukan dengan menggunakan benih atau melalui pemanfaatan cabutan
alam. Tindakan budidaya tanaman penghasil gaharu dapat berhasil secara
maksimal apabila didukung oleh beberapa faktor seperti benih yang
digunakan, dan lingkungan tempat tumbuh yang sesuai dan silvikultur yang
tepat.
Benih tanaman penghasil gaharu termasuk dalam kategori benih
rekalsitran yang berarti benih tersebut tidak dapat disimpan dalam waktu
yang lama karena dapat menurunkan viabilitas atau daya kecambah dari
benih tersebut (Rahmanto dan Suryanto, 2013). Viabilitas benih selama
penyimpanan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal
mencakup sifat genetik, tumbuh dan vigor, kondisi kulit dan kadar air benih
awal. Faktor eksternal antara lain kemasan benih, komposisi gas, suhu dan
kelembapan ruang simpan (Copeland & McDonald, 2002). Benih rekalsitran
akan mengalami penuaan dan kemunduran benih selama penyimpanan.
Kemunduran benih rekalsitran ditandai dengan penurunan daya
berkecambah (Siahaan, 2017). Berkaitan dengan permasalahan tersebut
dibutuhkan perlakuan dan tindakan yang tepat agar kerberhasilan
penanganan benih tanaman penghasil gaharu dapat diperoleh secara
maksimal. Faktor yang berperan penting dalam memaksimalkan
keberhasilan penanganan benih tanaman penghasil gaharu adalah kualitas
benih dan waktu semai yang tepat. Benih berkualitas adalah benih yang
telah masak secara fisiologis, bebas dari hama dan penyakit serta ditangani
Pengaruh Tempat dan Waktu Penyimpanan …….. Jafred E. Halawane dan Arif Irawan
219
secara tepat setelah dilakukan pemanenan, seperti proses ekstraksi dan
penyimpanan benih apabila belum dilakukan penyemaian di persemaian.
Penyimpanan benih adalah suatu kegiatan atau perlakuan yang
dilakukan untuk mempertahankan viabilitas benih dalam periode simpan
tertentu. Konsep Steinbaurer (1958). Penyimpanan benih yang terlalu lama
dapat menyebabkan kemunduran benih atau disebut dengan “Deteriorasi
Benih”. Kemunduran benih dapat diakibatkan oleh faktor genetis benih dan
faktor lingkungan. kemunduran benih oleh faktor genetis dikenal sebagai
proses deteriorasi yang kronologis, sedangkan deteriorasi akibat perlakuan
penyimpanan benih yang tidak sesuai dengan persyaratan penyimpanan
benih atau terjadi penyimpangan selama pembentukan dan processing benih
dikenal sebagai deteriorasi faktor lingkungan. Perlakuan yang terbaik pada
benih ialah menanam benih atau disemaikan segera setelah benih-benih itu
dikumpulkan atau dipanen, atau mengikuti cara alamiah, namun hal ini tidak
selalu mungkin karena perubahan musim tidak selalu sama, untuk itu
penyimpanan benih perlu dilakukan untuk menjamin ketersediaan benih saat
musim tanam tiba. Tujuan penyimpanan adalah untuk menjaga biji agar
tetap dalam keadaan baik (Viabilitas dan Vigor tinggi), melindungi biji dari
serangan hama dan jamur, dan mencukupi persediaan biji selama musim
berbuah tidak dapat mencukupi kebutuhan benih. Vigor dicerminkan oleh
vigor kekuatan tumbuh dan daya simpan benih (Tustiyani, Pratama, &
Nurdiana, 2016). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh lama
waktu, dan cara penyimpanan benih tanaman gaharu terhadap keberhasilan
tumbuh benih gaharu di persemaian.
II. METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di Persemaian Permanen Balai Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Kima Atas, pada bulan Oktober s/d
November 2017, terdiri dari penyiapan media dan perlakuan penyimpanan
selama empat minggu, dan untuk mengetahui pengaruh penyimpanan
terhadap kemampuan berkecambah benih tanaman, dilakukan penyemaian
setip minggu berjalan.
B. Alat dan Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih tanaman
gahar G. versteegii yang telah masak fisiologis dan media semai berupa
pasir, sedangkan peralatan yang digunakan adalah bak kecambah, kulkas,
plastik transparan dan peralatan tulis menulis.
220
C. Metode
1. Rancangan Penelitian
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak
lengkap dengan pola faktorial. Faktor pertama adalah perlakuan waktu
penyimpanan dimana terdiri dari 1 minggu, 2 minggu dan 3 minggu serta
faktor kedua adalah perlakuan teknik penyimpanan yang terdiri dari
disimpan dengan mempertahankan daging buah dan diletakkan dalam
plastik transparan, disimpan dengan mempertahankan daging buah dan
diletakkan di ruang dengan suhu kamar, disimpan dengan mengupas daging
buah dan diletakkan dalam kulkas, disimpan dengan mengupas daging buah
dan diletakkan dalam plastik transparan.
2. Parameter yang Diamati
Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah persen kecambah
benih gaharu yang disemaikan berdasarkan teknik penyimpanan dan lama
waktu penyimpanan.
3. Prosedur Penelitian
Benih tanaman gaharu G. versteegii yang telah masak fisiologis diunduh
dari pohon induk dan diseleksi untuk mendapatkan buah yang sehat,
kemudian dibagi kedalam 5 bagian yang terpisah berdasarkan jumlah
ulangan dan perlakuan yang diberikan. Setelah proses seleksi terhadap buah
gaharu yang akan dijadikan bahan penelitian, proses selanjutnya adalah
peyiapan bak tabur dengan media tabur berupa pasir. Setelah media tabur
disiapkan, buah gaharu yang telah diseleksi dilakukan pemisahan daging
buah dari biji dan kemudian diseleksi kembali untuk mendapatkan benih
yang sehat dan sempurna, setelah benih di peroleh selanjutnya dilakukan
penyemaian sebagai titik awal atau kontrol. Sisa buah gaharu yang telah
diseleksi kemudian dilakukan penyimpanan sesuai dengan perlakuan yang
diberikan dan kemudian disemai sesuai dengan perlakuan lama waktu
penyimpanan. Benih yang telah disemai pada bak tabur kemudian disungkup
dengan menggunakan plastik transparan yang bertujuan untuk mengontrol
suhu dan kelembaban dalam kondisi yang lebih stabil, kemudian dilakukan
pengamatan perkecambahan setelah penyemaian.
4. Analisis Data
Data pengukuran berdasarkan parameter perlakuan dikumpulkan
selama 3 bulan, kemudian dilakukan analisis sidik ragam dan apabila
diketahui ada pengaruh nyata dari adanya perlakuan dilanjutkan dengan
Pengaruh Tempat dan Waktu Penyimpanan …….. Jafred E. Halawane dan Arif Irawan
221
menggunakan metode uji jarak rata-rata Duncan. Kemampuan Daya
kecambah (G) dihitung dengan menggunakan rumus :
G = Jumlah Benih yang berkecambah
x 100% Jumlah Benih yang disemaikan
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil perhitungan daya kecambah benih gaharu berdasarkan pada lama
waktu penyimpanan dan cara penyimpanan benih yang dilakukan
menunjukan bahwa kemampuan daya kecambah gaharu sangat bervariasi
tergantung pada perlakuan yang diberikan. Pengaruh perlakuan
penyimpanan dan lama waktu penyimpanan terhadap persentase daya
kecambah benih gaharu disajikan pada gambar 1. Sedangkan hasil analisis
sidik ragam ditampilkan pada tabel 1.
Gambar 1. Diagram persentase daya kecambah benih gaharu berdasarkan
perlakuan penyimpanan dan lama waktu penyimpanan
Tabel 1. Analisis sisdik ragam pengaruh perlakuan simpan dan waktu
terhadap daya kecambah gaharu
Sumber variasi db
Kuadrat tengah
Persen
Penyimpanan 3 11,65*
Waktu Simpan 2 45,75**
Interaksi 6 6,75ns
Sisa/galat 22 3,65
Keterangan : * = nyata pada tingkat kepercayaan 95%, ns=tidak nyata Remarks :* = significantly at 95% level of confidence, ns=non significant
222
Hasil penelitian pada tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata persentase
daya kecambah tertinggi adalah berdasarkan perlakuan penyimpanan benih
gaharu dengan tidak dipisahkan dari daging buah dan disimpan dalam
plastik transparan, Sedangkan waktu simpan dengan persentase tertinggi
adalah disimpan selama 1minggu setelah pengunduhan buah. Hasil analisis
sidik ragam pada tabel 2 menunjukkan bahwa cara penyimpanan dan lama
waktu penyimpanan berpengaruh sangat nyata terhadap tingkat
keberhasilan daya kecambah benih tanaman gaharu yang diuji sedangkan
interaksi antara pengaruh cara penyimpanan dan lama waktu penyimpanan
tidak berpengaruh nyata terhadap daya kecambah benih gaharu. Perlakuan
teknik penyimpanan dan lama waktu penyimpanan kemudian dilakukan uji
lanjut untuk mengetahui perlakuan terbaik yang berpengaruh terhadap
kemampuan daya kecambah benih gaharu. Uji lanjut teknik penyimpanan
dan lama waktu penyimpanan ditampilkan pada tabel 2 dan 3.
Tabel 2. Rata-rata daya kecambah perlakuan penyimpanan
No Perlakuan Penyimpanan Persen
1. Plastik Transparan (benih dengan
daging Buah)
4,00a
2. Benih dengan daging buah 3,66a
3. Benih dalam Kulkas 3,77a
4. Benih dalam Plastik Transparan 1,55b
Tabel 3. Rata-rata daya kecambah perlakuan waktu simpan
No Perlakuan Waktu Simpan Persen
1. Minggu 1 5,50a
2. Minggu 2 2,25b
3. Minggu 3 2,00b
Daya Kecambah
Benih gaharu merupakan benih yang secara teknis mudah dilakukan
pengecambahan. Berdasarkan tabel 2 bahwa perlakuan penyimpanan benih
dengan daging buah yang disimpan di dalam plastik transparan merupakan
perlakuan terbaik dengan persentase daya kecambah yang paling tinggi,
sedangkan benih gaharu yang telah dipisahkan dari daging buah dan
disimpan di dalam plastik transparan pada suhu kamar menunjukkan
kemampuan berkecambah yang paling rendah dibandingkan dengan 4
perlakuan yang diterapkan. Persentase daya kecambah yang paling tinggi
Pengaruh Tempat dan Waktu Penyimpanan …….. Jafred E. Halawane dan Arif Irawan
223
disebabkan karena benih tersebut masih terlindung dengan daging buahnya
sehingga kesegaran dan kadar air benih tetap terjaga. disamping itu benih
tersebut juga terlindung oleh plastik transparan sehingga kondisi
kelembaban lingkungan di dalam plastik tetap stabil dan seimbang. Menurut
Daniel (2009) dikemukakan bahwa upaya yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan dan mempertahankan viabilitas benih rekalsitran adalah
dengan melakukan penyimpanan benih pada media simpan yang dapat
tahan terhadap kondisi lingkungan yang tahan terhadap suhu yang tinggi
dan kelembaban yang rendah. Teknik penyimpanan yang kurang tepat akan
mempercepat penurunan viabilitas benih (Zanzibar & Widodo, 2011).
Benih gaharu termasuk dalam kategori benih rekalsitran yang berarti
tidak dapat disimpan dalam waktu yang lama atau harus segera disemaikan
setelah dilakukan pengunduhan (Rahmanto dan Suryanto, 2013). Karakter
benih gaharu yang tidak dapat disimpan dalam waktu yang lama
menyebabkan adanya pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan daya
kecambah apabila tidak dilakukan penanganan langsung setelah
pengunduhan buah. Indikasi ini dapat dilihat pada hasil penelitian yang
menunjukkan bahwa terjadi penurunan daya kecamabah pada minggu
pertama ke minggu kedua dan minggu ketiga (gambar 1). Hal ini juga
didukung oleh hasil penelitian Tarigan (2004) yang menyatakan bahwa
benih gaharu memiliki masa dormansi yang relatif rendah sehingga hanya
dapat disimpan selama 10 hari apabila tidak diberikan perlakuan apa-apa
setelah benih tersebut dipanen. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat
dikatahui bahwa benih gaharu termasuk dalam kategori benih rekalsitran
yang ekstrim karena hanya mampu disimpan dalam beberapa hari. Yuniarti
et al. (2016) menyatakan bahwa daya simpan benih rekalsitran bervariasi
dari beberapa hari untuk benih rekalsitran yang ekstrim sampai beberapa
bulan untuk benih rekalsitran yang toleran.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan pada hasil ujicoba dan penelitian yang dilakukan
disimpulkan bahwa cara penyimpanan benih gaharu yang paling baik adalah
dengan cara penyimpanan benih gaharu tanpa dipisahkan dari daging buah
dan disimpan dalam plastik transparan sedangkan waktu penyimpanan yang
tepat adalah 1minggu setelah pengunduhan.
V. SARAN
Penelitian lebih lanjut terkait dengan sifat dan karakter benih gaharu
yang bersifat rekalsitran sangat diperlukan sehingga masa dormansi benih
224
gaharu yang singkat dapat diperpanjang dan kemampuan berkecambah
benih gaharu yang rendah apabila disimpan dalam waktu yang lama dapat
ditingkatkan.
VI. UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Kepala Balai Penelitian dan
Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado, Kepala Balai
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Manado, Manajer
Persemaian Permanen Kima Atas dan semua pihak atas dukungan dan
apresiasinya sehingga penelitian ini dapat terlaksana.
VII. DAFTAR PUSTAKA
Rahmanto, B. dan Suryanto, E. (2014). Pengenalan Jenis-jenis Pohon
Penghasil Gaharu, Rekam Jejak, Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan
Litbang Kehutanan. Bogor: Forda Press bekerjasama dengan Pusat
Litbang Konservasi dan Rehabilitasi.
Copeland, L. O., & McDonald, M. B. (2002). Principles of Seed Sciences and
Technology (Fourth Edi). Massachusetts: Kluwer Academic Publisher.
Daniel, E. M. (2009). Vigor benih kakao (Theobroma cacao L.) pada
berbagai lama penyimpanan dan invigorasi. Jurnal Agroland, 16(3),
206-212.
Fitri L., Melya, R., & Duryat. (2016). Uji daya simpan benih jengkol
(Pithecellobium lobatum) dengan menggunakan beberapa media
simpan. Jurnal Sylva Lestari, 4(2), 69-78.
Siahaan, F. A. (2017). Pengaruh kondisi dan periode simpan terhadap
perkecambahan benih kesambi (Schleichera oleosa (Lour.) Merr). Jurnal
Perbenihan Tanaman Hutan, 5(1), 1-11.
Tarigan. (2004). Profil Pengusahaan (Budidaya) Gaharu. Departemen
Kehutanan, Pusat Bina Penyuluhan Kehutanan, Jakarta.
Tustiyani, I., Pratama, R, A., & Nurdiana, D. (2016). Pengujian viabilitas dan
vigor dari tiga jenis kacang-kacangan yang beredar di pasaran daerah
samarang, garut. Jur.Agroekotek, 8(1), 16–21.
Sumpena, U. (2012). Pengruh kemasan dan waktu penyimpanan terhadap
kemampuan berkecambah benih mentimun. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian,
8(1), 18-25.
Yuniarti, N., Nurhasybi, & Darwo. (2016). Karakteristik benih kayu bawang
(Azadirachta excelsa (Jack) Jacobs) berdasarkan tingkat pengeringan
dan ruang penyimpanan. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 13(2), 105-
Pengaruh Tempat dan Waktu Penyimpanan …….. Jafred E. Halawane dan Arif Irawan
225
112.
Zanzibar, M., & Widodo, W. (2011). Metoda pengeringan dan penyimpanan
benih mahoni (Swietenia macrophylla King), dalam Prosiding Seminar
Hasil-Hasil Penelitian “Teknologi Perbenihan Untuk Meningkatkan
Produktivitas Hutan Rakyat Di Propinsi Jawa Tengah. Bogor: Balai
Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan Bogor.
Kandungan Senyawa Aktif dan Toksisitas Daun Pakoba…….. Hanif Nurul Hidayah dan Lis Nurrani
227
Kandungan Senyawa Aktif dan Toksisitas Daun Pakoba (Syzygium luzonense (Merr.) Merr)
Pada Berbagai Metode Pengeringan1
Active Compounds and Toxicity of Pakoba Leaves (Syzygium luzonense (Merr.) Merr) in Various Drying Methods
Hanif Nurul Hidayah2 dan Lis Nurrani2
ABSTRACT
Pakoba (Syzygium luzonense (Merr) Merr) is a species of forestry plant that
potentially as a traditional medicinal plant. As traditional medicine, analysis of
secondary metabolites and toxicity is needed to determine which active
compounds play a role. The purpose of this research was to find out content of
active compounds of pakoba leaves based on the leaf part used and drying
method. The results of laboratory analysis showed that the young and old leaves
extract on different drying methods positively contains flavonoid, phenols, and
tannins compounds. The old leaves which is dried in the AC room have the highest
percentage of flavonoid and phenol content respectively 0.68% and 0.52%. The
best toxicity value is shown by young leaves extract with oven drying method,
LC50 value is 441,91 µg/ml.
Keywords: phytochemical, pakoba leaves (Syzygium luzonense (Merr) Merr),
toxicity
I. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak potensi
keanekaragaman hayati, baik habitat, maupun flora dan fauna yang
dimilikinya. Keanekaragaman ini pula membuat Indonesia memiliki beragam
1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya
Pelestarian Sumber Daya Alam, diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado dan SEAMEO BIOTROP Manado 24 Oktober 2018.
2 Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado; Jl. Tugu Adipura
Raya Kel. Kima Atas Kec. Mapanget Kota Manado; Email : [email protected].
228
jenis tanaman herbal potensial. Namun pemanfaatannya masih bersifat lokal
dan terbatas pada regional tertentu saja berdasarkan pada kearifan lokal
masyarakat pada masing-masing daerah. Pengelolaannya juga masih
sederhana hanya untuk kebutuhan sendiri dan keluarga oleh karena itu
sebagian besar kekayaan herbal Indonesia masih belum tergali dengan baik,
sehingga banyak tanaman herbal yang belum dapat dimanfaatkan untuk
pengembangan industri obat tradisional.
Pakoba (Syzygium luzonense (Merr.) Merr) merupakan salah satu jenis
tanaman asli Sulawesi Utara yang memiliki banyak manfaat. Selain buahnya
edible untuk dikonsumsi oleh manusia, kayunya yang masuk dalam kelas kuat
III dimanfaatkan sebagai kayu pertukangan untuk penggunaan di dalam
ruangan (Nurrani & Tabba, 2012), serta daun dan kulitnya telah dimanfaatkan
masyarakat lokal sebagai obat herbal. Pemanfaatan tanaman herbal untuk
pengobatan tradisional telah menyatu dimasyarakat kita sejak berabad-abad
yang lalu. Beberapa alasan tingginya preferensi penggunaan tanaman herbal
dibandingkan dengan obat-obatan sintetik modern diantaranya adalah mudah
didapatkan disekitar tempat tinggal, harganya lebih murah, pengolahannya
sederhana dan cenderung memiliki efek samping yang rendah (Anggraeni &
Erwin, 2015) meski demikian pemanfaatannya harus memperhatikan kaidah
dan tidak berlebihan. Kearifan lokal masyarakat di masing-masing daerah
merupakan titik awal pengembangan tanaman herbal menjadi bahan baku
herbal tersertifikasi.
Potensi tanaman untuk dimanfaatkan sebagai obat herbal ditentukan dari
senyawa aktif yang dikandungnya. Pengujian terkait kandungan senyawa aktif
pada tanaman herbal multak diperlukan untuk mengetahui seberapa besar
potensi tanaman tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri
obat herbal. Kulit kayu pakoba dikenal masyakarat Minahasa sebagai obat
penurun kadar gula darah (Kinho et al., 2010). Skrinning awal yang dilakukan
pada sampel daun, buah dan kulit batang pakoba menunjukkan bahwa
senyawa aktif flavonoid, tannin, dan saponin positif dikandung oleh tanaman
ini (Hidayah et al., 2015), dimana ketiga senyawa tersebut juga dimiliki oleh
beberapa tanaman herbal yang digunakan sebagai penurun gula darah.
Informasi ini merupakan dasar pengembangan untuk uji selanjutnya agar
pemanfaatan pakoba sebagai bahan baku herbal dapat tersertifikasi. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagian daun dan metode
pengeringan terbaik dalam pengelolaan daun pakoba sebagai teh herbal.
Kandungan Senyawa Aktif dan Toksisitas Daun Pakoba…….. Hanif Nurul Hidayah dan Lis Nurrani
229
II. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan April – September 2017 di
laboratorium kantor Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup
dan Kehutanan Manado dan Laboratorium Pusat Study Biofarmaka IPB –
Bogor.
B. Bahan dan Alat
Alat-alat yang digunakan antara lain blender, seperangkat alat gelas
laboratorium, seperangkat alat maserasi ekstrak pakoba, rotary evaporator,
corong pisah, pipet tetes, erlenmeyer 25 mL, lampu, tiang statif, botol
semprot, rak tabung, tabung reaksi, tanki biakan larva udang, pipet mikro,
timbangan neraca dan vial.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain daun pakoba
(Syzygium luzonense (Merr.) Merr), air, kertas saring, serbuk Mg, HCl, EtOH,
Amil alcohol, FeCl3 10%, air laut, aluminium foil, kertas saring dan telur
udang.
C. Prosedur Penelitian
1. Pengambilan Simplisia
Sampel simplisia yang digunakan untuk penelitian ini diambil dari Plot
Hutan Kota di Kota Tomohon. Sampel daun dan metode pengeringan
dibedakan dengan perlakuan :
Bagian daun yang diambil dibedakan antara bagian pucuk daun dan daun
tua (setelah daun ke-6 dari pucuk).
Simplisia dibersihkan dan dikeringkan dengan perlakuan pengeringan suhu
ruang (28 - 29oC) selama 7 hari, pengeringan ruang AC (suhu 18oC) selama
3 hari dan perlakuan pengeringan oven dengan suhu pengeringan 50,5oC
selama 5 jam.
2. Uji Metabolit Sekunder
a. Fitokimia Kualitatif (Harborne, 1996)
Pembuatan filtrate : sebanyak 5gram sampel serbuk ditambahkan akuades
kemudian dipanaskan selama 5 menit kemudian disaring dan diperoleh
filtrate.
- Uji flavonoid filtrat + serbuk Mg + HCl:EtOH (1:1) + Amil alcohol
- Jika lapisan amil alcohol berubah warna menjadi jingga berarti + (positif)
mengandung flavonoid.
- Uji tannin filtrate + 3 tetes FeCL3 10%
230
- Jika terjadi perubahan warna menjadi hitam kehijauan berarti + (positif)
mengandung tannin
- Saponin Filtrat dikocok kuat, jika buih stabil berarti + (positif)
mengandung saponin.
b. Fitokimia Kuantitatif (Harborne, 1996)
- Uji fenol total Sebanyak 2 gram sampel serbuk ditambah 300 mL
dietileter, lalu disoklet selama 2 jam untuk menghilangkan lemaknya.
Setelah itu sampel sampel bebas lemak tersebut ditambahkan 50 mL
dietileter dan dididihkan selama 10 menit, kemudian disaring. 5 mL
ekstraknya ditambahkan 10 mL aquades, 2 mL ammonium hidroksida
pekat, dan 5 mL n-butanol, dikocok lalu didiamkan hingga terbentuk dua
fase dan sampai timbul warna. Kemudian diukur serapannya dengan
spektrofotometer ultra ungu tampak pada panjang gelombang 255 nm.
- Flavonoid Dalam Erlenmeyer 10 gram serbuk sampel diekstrak dengan
100 mL metanol-air 80% pada suhu ruang selama 24 jam. Kemudian
seluruh larutan disaring dan dipindahkan ke dalam krusibel. Lalu diuapkan
hingga kering di atas penangas air kemudian ditimbang beratnya.
- Tanin Sebanyak 500 mg sampel serbuk dimasukkan ke dalam
Erlenmeyer, lalu ditambahkan 50 mL aquades, diaduk dengan
menggunakan pengocok mekanik selama 1 jam. Setelah itu larutan
disaring dan dimasukkan ke dalam labu ukur 50 mL dan ditambahkan air
hingga tepat tanda batas. Kemudian dipipet 5 mL filtrate ditambah 0,8 mL
kalium heksasianoferrat (III) 0,008 M dalam 0,1 N asam klorida dan 0,8
mL ferriklorida 0,1 M dalam 0,1 N asam klorida. Kemudian didiamkan,
setelah itu diukur serapannya dengan menggunakan spektrofotometer
ultraungu-tampak pada panjang gelombang 420 nm.
3. Ekstraksi Daun Pakoba
Simplisia kering dihaluskan dan diayak hingga diperoleh serbuk kering.
Ekstraksi menggunakan metode refluks (penggodokan). Proses refluks
dilakukan dengan cara melarutkan serbuk kering sebanyak 400 gram dengan
air kemudian dipanaskan selama 3 jam pada suhu 100 ºC kemudian ekstrak
disaring dan dipekatkan dengan rotari evaporator sampai diperoleh ekstrak
kering dan ditimbang (Hidayah et al., 2015). Ekstrak sampel inilah yang
digunakan dalam uji selanjutnya.
Kandungan Senyawa Aktif dan Toksisitas Daun Pakoba…….. Hanif Nurul Hidayah dan Lis Nurrani
231
Rendemen ekstrak dihitung dengan rumus :
𝑅𝑒𝑛𝑑𝑒𝑚𝑒𝑛 =𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑒𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘 𝑝𝑒𝑘𝑎𝑡 (𝑔)
𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑒𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘 (𝑔) 𝑥 100%
Selanjutnya dilakukan uji toksisitas metode Brine Shrimp Lethality Test
(BSLT).
4. Uji Toksisitas BSLT (Brine Shrimp Lethality Test)
Uji toksisitas dilakukan dengan menggunakan uji yang dilakukan oleh
Meyer et al. (1982). Tahapan pengujiannya adalah sebagai berikut :
- Penetasan udang : sebanyak 10 mg telur udang ditambahkan 250 ml air
laut didiamkan selama 2 x 24 jam (menggunakan lampu dan aerator)
sehingga dihasilkan larva udang
- Pembuatan ekstrak : sebanyak 20 mg sampel ekstrak ditambahkan 10 ml
air laut (+tween 80%) dilakukan proses homogenasi hingga dihasilkan
stok sampel 2000 ppm.
- Pengujian : proses pengujian menggunakan 1000 µl air laut berisi 10 ekor
larva udang ditempatkan pada vial ukuran 2000 µl. stok sampel dibagi
menjadi 4 (empat) bagian, yaitu 1000 µl stok sampel 2000 ppm, 500 µl
stok sampel 2000 ppm + 500 ml air laut, 100 µl stok sampel 200 ppm +
900 ml air laut, 10 µl stok sampel 2000 ppm + 990 ml air laut. Masing-
masing stok sampel diberikan larutan uji 1000 ppm kemudian diamkan
selama 24 jam, kemudian hitung jumlah udang yang mati.
- Prosentase kematian udang Artemia salina dihitung dengan persamaan
berikut:
% Mortalitas = Jumlah larva yang mati
Jumlah larva uji x 100%
Rumus Abbot’s digunakan apabila pada kontrol ada udang yang mati:
%Mortalitas = Kematian pada uji−% Kematian pada kontrol
100−% Kematian pada kontrol 𝑥 100%
- Penentuan Nilai LC50 menggunakan metode analisa EPA probit.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Uji metabolit sekunder
Hasil pengujian fitokimia yang diujikan pada daun pakoba secara
kualitatif menunjukkan bahwa seluruh bagian daun pakoba (muda dan tua)
yang diujikan dengan menggunakan 3 (tiga) metode pengeringan yang
berbeda positif mengandung flavonoid, fenol, dan tannin.
232
Tabel 1. Hasil pengujian fitokimia secara kualitatif
No. Senyawa Aktif Daun Muda Daun Tua
Oven AC Ruang Oven AC Ruang
1 Flavonoid + + + + + +
2 Alkaloid
Wagner - - - - - -
Mayer - - - - - -
Dragendorf - - - - - -
3 Tanin + + + + + +
4 Saponin + + + + + +
5 Quinon - - - - - -
6 Steroid + + + + + +
7 Triterpenoid - - - - - -
Secara kuantitatif, nilai kandungan senyawa aktif pada daun pakoba
ditunjukkan pada grafik dibawah ini :
Gambar 1. Kandungan total flavonoid, fenol dan tannin daun pakoba
Dari gambar di atas, diketahui bahwa kandungan flavonoid dan fenol
tertinggi dimiliki oleh daun tua pakoba yang dikeringkan dalam ruang ac yaitu
berturut turut 0,68% dan 0,52%. Sedangkan kandungan tannin memiliki nilai
yang kecil dan tidak jauh berbeda untuk semua perlakuan bagian daun
maupun perlakuan pengeringan, yaitu berkisar antara 0,03 - 0,04%. Proses
pengeringan suhu ruang memakan waktu yang lama (7 hari) sehingga
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
mudaoven
tuaoven
mudaac
tua ac mudaruang
tuaruang
Kan
du
nga
n T
ota
l (%
)
Perlakuan
parameter flavonoid
parameter fenol
parameter tanin
Kandungan Senyawa Aktif dan Toksisitas Daun Pakoba…….. Hanif Nurul Hidayah dan Lis Nurrani
233
dikhawatirkan terjadinya penguraian senyawa fenolat oleh bantuan enzim
fenolase yang terdapat dalam tumbuhan. Hal ini terlihat dari kadar fenolat
yang sampel ekstrak dengan metode pengeringan suhu ruang lebih rendah.
Pemanasan suhu oven 50,5oC diperkirakan akan mempercepat penguraian
senyawa fenolat meskipun perolehan ekstraktifnya cukup tinggi dan waktu
pengeringan lebih singkat (Rivai et al., 2010). Proses pemanasan/perebusan
pada daun uji memberikan pengaruh terhadap kandungan senyawa fenolik
khususnya flavonoid. Semakin lama waktu pemanasan/perebusan akan
mengurangi kandungan flavonoid pada ekstrak sampel (Puspitasari &
Prayoga, 2016)
Pemeriksaan karakteristik fitokimia pada tanaman pakoba menunjukkan
adanya senyawa flavonoid, tannin, dan saponin yang sudah terbukti memiliki
aktifitas menurunkan gula darah pada penderta diabetes mellitus (Tumbol et
al., 2018). Kandungan flavonoid pada ekstrak daun pakoba memiliki peran
penting dalam hal kemampuan untuk pertahanan tanaman dari herbivore dan
penyebab penyakit, serta berperan untuk membentuk dasar interaksi alelopati
antar tanaman (Andersen & Markham, 2006). Senyawa flavonoid disintesis
oleh tanaman sebagai sistem pertahanan dan dalam responnya terhadap
infeksi oleh mikroorganisme, sehingga tidak mengherankan apabila senyawa
ini efektif sebagai senyawa antimikroba terhadap sejumlah mikroorganisme.
Flavonoid merupakan salah satu senyawa polifenol yang memiliki bermacam-
macam efek antara lain efek antioksidan, anti tumor, anti radang, antibakteri,
dan anti virus (Parubak, 2013). Adanya kandungan flavonoid pada ekstrak
daun pakoba juga mengindikasikan bahwa daun pakoba memiliki potensi
antioksidan yang cukup tinggi (Hidayah et al., 2016).
Senyawa kimia lainnya yang terkandung pada daun pakoba adalah fenol
dan tannin. Tanin merupakan suatu senyawa polifenol yang berasal dari
tumbuhan, memiliki rasa pahit dan kelat, yang bereaksi dan menggumpalkan
protein, atau berbagai senyawa organik lainnya termasuk asam amino dan
alkaloid. Tanin merupakan senyawa aktif metabolit sekunder yang diketahui
mempunyai beberapa khasiat yaitu sebagai astringen, anti diare, anti bakteri,
dan antioksidan. Tanin merupakan komponen zat organik yang sangat
kompleks, terdiri dari senyawa fenolik yang sukar dipisahkan dan sukar
mengkristal, mengendapkan protein dari larutannya dan bersenyawa dengan
protein tersebut (Desmiaty et al., 2008).
Tanin banyak dimanfaatkan sebagai salah satu bahan penyamak agar
awet, tahan terhadap air laut dan mudah digunakan. Hal ini karena salah satu
sifat tanin yang dapat melawan bakteri. Senyawa tannin dalam konsentrasi
234
rendah mampu menghambat pertumbuhan bakteri, namun sebaliknya pada
konsentrasi yang tinggi tannin bekerja membentuk ikatan yang stabil dengan
protein bakteri, sehingga protoplasma bakteri terkoagulasi (Wiryawan et al.,
2000). Dalam dunia pengobatan tannin dimanfaatkan sebagai anti bakteri.
Senyawa ini juga merupakan senyawa yang dalam jumlah tertentu sangat
bermanfaat dalam dunia pengobatan namun pada penggunaan yang
berlebihan dapat menimbulkan efek yang akan mengganggu kesehatan
manusia (Wiryawan et al., 2000).
2. Rendemen Ekstraksi Daun Pakoba
Proses ekstraksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstraksi
tumbuhan dengan menggunakan metode refluks (penggodokan dengan
pelarut air). Refluks merupakan metode yang paling mendekati dengan cara
pengolahan yang selama ini diterapkan oleh masyarakat Minahasa dalam
mengkonsumsi tanaman obat ini yaitu dengan merebus bagian tanaman yang
dibutuhkan. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh identifikasi senyawa
metabolit sekunder yang dikandung seoptimal mungkin. Nilai rendemen
merupakan salah satu indikator dalam menentukan kebutuhan bahan baku
pengolahan tumbuhan obat (Hidayah et al., 2015).
Dalam penelitian sebelumnya, Hidayah et al. (2015) menyatakan bahwa
penggunakaan pelarut air pada sampel simplisia tanaman pakoba
memberikan rendemen yang lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan
pelarut etil asetat dan n-heksana.
Dari grafik di bawah, diketahui bahwa rendemen ekstrak daun pakoba
dengan metode refluks (air panas) diperoleh dari ekstrak simplisia daun muda
dengan pengeringan suhu ruang, yaitu sebesar 4,81%. Gambar 2 di atas juga
menunjukkan bahwa rendemen daun muda cenderung lebih tinggi
dibandingkan dengan rendemen daun tua. Dari perlakuan yang dicobakan,
sampel ekstrak daun muda pada 2 (dua) metode pengeringan menunjukkan
nilai yang tertinggi, yaitu pada metode pengeringan suhu ruang dan
pengeringan oven. Hal ini dimungkinkan karena daun tua memiliki zat
ekstraktif yang lebih tinggi daripada daun muda. Selain itu, proses
pengeringan yang berbeda akan berdampak pada kadar air masing-masing
sampel ekstrak (Puspitasari et al., 2018). Masduqi et al. (2014) mengatakan
bahwa kadar air yang terkandung dalam sampel ekstrak mempengaruhi
kualitas kandungan senyawa aktif dalam sampel tersebut.
Kandungan Senyawa Aktif dan Toksisitas Daun Pakoba…….. Hanif Nurul Hidayah dan Lis Nurrani
235
Gambar 2. Rendemen ekstrak daun muda dan daun tua pada 3 metode
Metode pengeringan yang berbeda juga mempengaruhi rendemen yang
dihasilkan. Dari Gambar 2 di atas juga dapat dilihat bahwa metode
pengeringan dalam suhu ruangan (28 – 29oC) menghasilkan rendemen yang
lebih tinggi dibandingkan dengan metode pengeringan dalam oven suhu
50,5°C selama 5 jam. Rendemen tertinggi diperoleh dari ekstrak daun muda
pengeringan suhu ruang sebesar 4,81%. Pengeringan dalam oven pada suhu
yang tinggi menyebabkan penurunan senyawa fenolik (Rivai et al., 2010),
sehingga metode ini menghasilkan rendemen yang lebih rendah.
3. Uji Toksisitas BSLT
Pemeriksaan toksisitas senyawa aktif atau bahan yang akan digunakan
sebagai obat merupakan salah satu penelitian yang penting sebagai syarat uji
keamanan suatu obat baru, sehingga dapat diketahui jumlah takaran yang
tepat (Frank, 1994). Pengujian toksisitas yang dilakukan adalah menggunakan
metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test) dengan larva udang Artemia salina
Leach. Metode ini merupakan metode yang telah teruji hasilnya dengan
tingkat kepercayaan 95% untuk mengamati toksisitas senyawa aktif dalam
ekstrak kasar. Metode ini juga sering dikaitkan sebagai metode penapisan
untuk penyarian senyawa antikanker dari tanaman (Anggraeni & Erwin,
2015).
Berdasarkan hasil uji toksisitas menunjukkan bahwa semua ekstrak
bersifat toksik terhadap larva Artemia salina Leach yang ditunjukkan dengan
0
1
2
3
4
5
6
oven ruang ac suhu ruang
Re
nd
em
en
%
Metode pengeringan
daun tua
daun muda
236
nilai LC50 dibawah 1000 µg/ml (Meyer et al., 1982 dalam Soetjipto et al.,
2007).
Gambar 3. Nilai LC50 ekstrak daun pakoba pada 3 metode pengeringan yang
berbeda
Berdasarkan grafik di atas, secara garis besar diketahui bahwa nilai LC50
pada ekstrak sampel daun pakoba dengan berbagai metode pengeringan yang
dicobakan memiliki nilai < 1000 µg/ml. Semakin rendah nilai LC50,
mengindikasikan senyawa kimia yang terkandung didalam ekstak sampel
tersebut semakin kuat (Atmoko & Ma’ruf, 2009). Dalam penelitian ini, nilai
LC50 terbaik ditunjukkan pada sampel ekstrak daun muda dengan perlakuan
pengeringan oven, yaitu sebesar 441,91 µg/ml. Hal ini menunjukkan bahwa
ekstrak layak dikembangkan sebagai bahan sediaan obat herbal tradisional
ataupun dikembangkan menjadi ekstrak atau isolate yang mempunyai
aktifitas biologis.
Pada pengujian toksisitas menggunakan bahan baku daun muda dengan
metode pengeringan suhu ruang menunjukkan nilai yang mencapai 1000
µg/ml. Metode pengeringan dengan suhu ruang, memakan waktu yang cukup
lama. Hal ini dimungkinkan dapat mempengaruhi perubahan kandungan
senyawa aktif sehingga menurunkan sifat toksik dari daun pakoba. Sejalan
dengan yang disampaikan Winangsih (2013) dalam penelitiannya suhu
pengeringan dapat mempengaruhi perolehan kadar fenolat dan
mempengaruhi sifat toksisitasnya. Paparan suhu tinggi dalam jangka waktu
yang lama akan menurunkan kandungan fenolat dan toksisitas dalam ekstrak
(Winangsih, 2013).
0
500
1000
mudaoven
tuaoven
mudaac
tua ac mudaruang
tuaruang
441,91
890,41
622,39 619,9
1000
697,81
Toks
isit
as L
C5
0
Sampel daun
Kandungan Senyawa Aktif dan Toksisitas Daun Pakoba…….. Hanif Nurul Hidayah dan Lis Nurrani
237
IV. KESIMPULAN
Pengujian fitokimia pada ekstrak daun pakoba dengan menggunakan
perlakuan bagian daun dan proses pengeringan, secara kualitatif
menunjukkan adanya kandungan senyawa aktif berupa flavonoid, fenol, dan
tannin. Daun muda menghasilkan rendemen ekstrak yang lebih tinggi
dibandingkan dengan daun tua. Nilai toksisitas terendah diperoleh dari ekstrak
daun pakoba muda dengan metode pengeringan oven (suhu 50,5oC) yaitu
sebesar 441,91 µg/ml.
V. SARAN
Saran yang dapat diberikan untuk kelanjutan penelitian ini antara lain
diperlukan pengujian toksisitas akut dan analisis KLT GCMS sebagai uji
lanjutan. Penelitian ini juga perlu dikembangkan lebih lanjut sehingga
mempermudah pemanfaatan daun pakoba sebagai salah satu obat
tradisional/herbal.
VI. UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terimakasih disampaikan kepada Badan Penelitian,
Pengembangan, dan Inovasi KLHK, terkhusus Balai Penelitian dan
Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado yang telah
memfasilitasi atas terselenggaranya penelitian ini. Ucapan terima kasih juga
disampaikan kepada Lab. Biofarmaka IPB Bogor yang telah membantu proses
pengujian labotarotium, serta kepada Tim Peneliti Pakoba di BP2LHK Manado
yang telah mendukung dan mencurahkan tenaga dan pikirannya dalam
pelaksanaan penelitian ini.
VII. DAFTAR PUSTAKA
Andersen, M., & Markham, K.R. (2006). Flavonoids. New York: Taylor &
Francis Group.
Anggraeni, Devi., & Erwin. (2015). Uji Fitokimia dan Uji Toksisitas (Brine
Shrimp Lethality Test) Ekstrak Daun Kelakai (Stenochlaena palustris).
Prosiding Seminar Tugas Akhir FMIPA UNMUL. Juni 2015. Samarinda.
Atmoko, T., & Ma’ruf, A. (2009). Uji toksisitas dan skrining fitokimia ekstrak
tumbuhan sumber pakan orangutan terhadap larva Artemia salina L.
Jurnal Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam, 6(1), 37-45.
Desmiaty Y, Yulia, R., & Ika, R. (2008). Uji aktivitas penangkap radikal bebas
daun cerme (Phyllanthus acidus (L.) Skeels). Jurnal Farmasi Indonesia
4(2), 70-74.
Frank, C. L. (1994). Toksikologi Dasar: Asas,Organ Sasaran, Dan Penilaian
238
Resiko. Edisi Kedua. Jakarta: UI. Press.
Harborne, J.B. (1996). Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan. Terbitan Kedua. Bandung: ITB.
Hidayah, Hanif N., Nurrani, L., Tabba, S., Mamonto, R. (2015). Teknologi
Budidaya Tanaman Hutan Berpotensi Obat. Laporan tidak diterbitkan,
Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Manado, Manado.
Hidayah, Hanif N., Suryawan, A., & Karundeng, M. (2016). Teknologi Budidaya
Pakoba Sebagai Tanaman Hutan Berpotensi Obat. Laporan, Balai
Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Manado, Manado.
Kinho, J., Arini, D. I. D., Halidah, Halawane, J., & Nurrani, L. (2010).
Pemanfaatan Tumbuhan Hutan Sebagai Obat di Sulawesi Utara. Laporan
Tidak Diterbitkan, Balai Penelitian Kehutanan Manado, Manado.
Masduqi, A. F., Izzati, M., & Prihastanti, E. (2014). Efek metode pengeringan
terhadap kandungan bahan kimia dalam rumput laut
Sargassumpolycystum. Jurnal Anatomi Fisiologi, 22(1), 1-9.
Meyer, B. N., Ferrigni, N. R., Putnam, J. E., Jacobsen, L. B., Nichols, D. J., &
McLaughlin, J. L. 1982. Brine shrimp: A convenient general bioassay for
active plant constituents. Planta medica, (45), 31-34.
Nurrani, L. & Tabba, S. (2012). Sifat fisis mekanis kayu pakoba dan
penggunaannya sebagai jenis endemik lokal Sulawesi Utara, dalam
Prosiding Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian
Kehutanan Manado. Manado: Balai Penelitian Kehutanan Manado.
Parubak, A. S. (2013). Senyawa falvonoid yang bersifat antibakteri dari akway
(Drimys becariana. Gibbs). Majalah Publikasi Ilmu Kimia Chemistry
Progress, 6 (1), 34-37.
Puspitasari, E., Rozirwan, & Hendri, M. 2018. Uji toksisitas dengan
menggunakan metode Brine Shrimp Lethality Test (Bslt) pada ekstrak
mangrove (Avicennia Marina, Rhizophora Mucronata, Sonneratia Alba
dan Xylocarpus Granatum) yang berasal dari Banyuasin, Sumatera
Selatan. Jurnal Biologi Tropis, 18(1), 91-103.
Puspitasari, A. D. & Prayogo, L. S. 2016. pengaruh waktu perebusan terhadap
kadar flavonoid total daun kersen (Muntingia calabura). Jurnal Inovasi
Teknik Kimia, 1(2), 104-108.
Rivai, H., Nurdin, H., Suryani, H., & Bakhtiar, A. 2010. Pengaruh cara
pengeringan terhadap perolehan ekstraktif, kadar senyawa fenolat dan
Kandungan Senyawa Aktif dan Toksisitas Daun Pakoba…….. Hanif Nurul Hidayah dan Lis Nurrani
239
aktivitas antioksidan dari daun dewa (Gynura pseeudochina (L.) DC.).
Majalah Obat Tradisional, 15(1), 26-33.
Soetjipto, H., Kristijanto, A. I., & Asmorowati R. S. (2007). Toksisitas ekstrak
kasar bunga dan daun ketepeng cina (Senna alata L) .Biota, 12(2), 78-
82.
Tumbol, M. V. L., Elne, V. R., & Telly, M. (2018). Pengaruh pemberian ekstrak
etanol kulit batang pakoba terhadap gambaran histopatologi hepar dan
ginjal pada tikus putih jantan (Rattus norvegius). eJurnal Kesmas, 7(5).
Winangsih, Prihastanti, E., & Parman S. (2013). Pengaruh metode
pengeringan terhadap kualitas simplisia lempuyang wangi (Zingiber
aromaticum L.). Buletin Anatomi dan Fisiologi, 21(1), 19-25.
Wiryawan, K. G., Tangendjaja, B., & Suryahadi, I. (2000). Tannin degrading
bacteria from indonesian ruminants, dalam Brooker, J. D. (ed),.
Proceedings Of An International Workshop “Tannins In Animal And
Human Nutrition”. Canbera: Australian Centre for International
Agricultural Research (ACIAR).
241
PRESENTASI NARASUMBER TAMU
242 | Seminar Nasional “Meningkatkan Sinergitas dalam upaya Pelestarian Sumber
Daya Alam”
243
Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya Pengelolaan Sumberdaya Alam:
Renewable vs Non-Renewable Resources
Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc
SEAMEO BIOTROP
244 | Seminar Nasional “Meningkatkan Sinergitas dalam upaya Pelestarian Sumber
Daya Alam”
245
246 | Seminar Nasional “Meningkatkan Sinergitas dalam upaya Pelestarian Sumber
Daya Alam”
247
248 | Seminar Nasional “Meningkatkan Sinergitas dalam upaya Pelestarian Sumber
Daya Alam”
249
250 | Seminar Nasional “Meningkatkan Sinergitas dalam upaya Pelestarian Sumber
Daya Alam”
251
252 | Seminar Nasional “Meningkatkan Sinergitas dalam upaya Pelestarian Sumber
Daya Alam”
253
254 | Seminar Nasional “Meningkatkan Sinergitas dalam upaya Pelestarian Sumber
Daya Alam”
255
Sinergitas Pengelolaan Keanekaragaman Hayati
Puja Utama Direktorat Keanekaragaman Hayati Ditjen KSDAE
256 | Seminar Nasional “Meningkatkan Sinergitas dalam upaya Pelestarian Sumber
Daya Alam”
257
258 | Seminar Nasional “Meningkatkan Sinergitas dalam upaya Pelestarian Sumber
Daya Alam”
259
260 | Seminar Nasional “Meningkatkan Sinergitas dalam upaya Pelestarian Sumber
Daya Alam”
261
Pergeseran Paradigma Pembangunan Hutan: Tindakan korektif
“Capacity Building for Endangered Species Conservation in Wallacea”
Simon Purser
Wallacea Nature
262 | Seminar Nasional “Meningkatkan Sinergitas dalam upaya Pelestarian Sumber
Daya Alam”
263
264 | Seminar Nasional “Meningkatkan Sinergitas dalam upaya Pelestarian Sumber
Daya Alam”
265
266 | Seminar Nasional “Meningkatkan Sinergitas dalam upaya Pelestarian Sumber
Daya Alam”
267
269
DISKUSI
MENINGKATKAN SINERGITAS
DALAM UPAYA PELESTARAIAN SUMBER DAYA ALAM
Laporan Penyelenggara oleh Kepala BP2LHK Manado
Acara seminar nasional “Meningkatkan Sinergitas Dalam Upaya Pelestarian
Sumber Daya Alam” merupakan kerjasama BP2LHK Manado dengan
SEAMEO BIOTROP yang ikut disponsori oleh PT. Antam Tbk, Wallacea
Nature dan Bank Mandiri. SEAMEO BIOTROP telah menjadi mitra BP2LHK
Manado sejak 2012 melalui Inseminasi Buatan sejak awal merintis kegiatan
Anoa Breeding Centre (ABC). BP2LHK Manado telah melakukan berbagai
sinergi dalam upaya pelestarian sumber daya alam, melalui kerjasama
penelitian dan pengembangan yang diantaranya: kerjasama dengan
masyarakat/kelompok tani, kerjasama dengan Pemda, kerjasama dengan
perusahaan/swasta, kerjasama dengan LSM/NGO, serta kolaborasi lingkup
KLHK.
Sambutan Kepala Badan Litbang dan Inovasi KLHK oleh Kabid.
Program dan Evaluasi Pusat Litbang Hutan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengemas kebijakan
pengelolaan hutan untuk mewujudkan sinergitas dalam upaya pelestarian
sumberdaya alam melalui Undang-Undang dan Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Peraturan yang mendukung pelestarian
sumber daya alam adalah UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, sedangkan kebijakan yang
mendukung rehabilitasi lahan adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang
Perhutanan Sosial. Rehabilitasi lahan hutan saat ini melibatkan peran serta
masyarakat melalui program hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan
tanaman rakyat, kemitraan kehutanan, dan hutan adat. Sedangkan pada
kegiatan konservasi, tantangan perlindungan dan pengelolaan hutan di
Indonesia seringkali datang dari masyarakat lokal di sekitar hutan. Padahal
kelestarian pengelolaan hutan sangat tergantung kepada partisipasi
masyarakat lokal dalam pengelolaannya.
270 | Seminar Nasional “Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya Pelestarian Sumber
Daya Alam”
Diskusi
1. Diskusi Topik I “Konservasi Sumber Daya Alam”
Moderator : Fabiola B. Saroinsong, SP, M.Si, Ph.D
a. Ami Nurwati
Pertanyaan :
- Alfonsius Thomas : Merestorasi selalu berkiblat pada zona awal, itu
bagus namun jika ekosistem mengalami perubahan yang drastic
apalagi karena ada erupsi dalam teori suksesi maka substrat dan
komunnitasnya telah berubah drastic. Masalahnya adalah jika
menggunakan jenis2 yang sudah pernah ada disitu dan menanamnya
kembali di lahan yang telah berubah substratnya maka kemungkinan
kegagalan lebih besar. Mohon itu jadi pertimbangan dalam melakukan
restorasi di lahan bekas erupsi.
- Lilik : Pada tahun 1986 mahasiswa telah melakukan penelitian di
TNGM
- Irdika Mansur : Serangan sangat potensial di tanam di KPHL harus
diatas 200 meter dpl, pelibatan masyarakat agak mengkhawatirkan
sebab jika mereka lebih dulu mengetahui nilai jual suatu jenis di
kawasan maka bahaya eksploitasi berlebihan sangat besar.
Jawaban :
- Alfonsius Thomas : Peristiwa erupsi memang memberikan dampak
yang luar biasa di ekosistem Merapi termasuk di social budayanya.
Balai TNGM sangat membuka peluang untuk bekerjasama dalam
merestorasi kawasan ini. Keberadaan A. decurrens dilaporkan sebagai
jenis invasive namun penelitian termutakhir menunjukkan bahwa
keberadaannya menjadi katalis/pioneer tumbuhnya tanaman
berikutnya dan datangnya satwa ke kawasan. Oleh karena itu dalam
pemulihan ekosistem menggunakan pendekatan science.
- Lilik : Makasih saya akan akses informasi dari situ.
- Irdika Mansur : 71 desa penyangga dilibatkan dalam pengelolaan
kawasan TNGM, fokus pada kerjasama pengembangan sarangan.
Material dan lokasi pengembangan TNGM yang menentukan,
masyarakat yang kontra sudah mulai kondusif mealui pelibatan
pemanfaatan jasa lingkungan juga (sumber ata air), pelibatan dalam
pengerjaan.
271
b. Julianus Kinho
Pemilihan jenis unggulan memperhatikan kebutuhan masyarakat. Di
Sulawesi Utara rumah panggung (woloan) merupakan salah satu PAD
SULUT. Dengan bahan baku nantu, cempaka dan kayu besi. Cempaka
wasian terdiri dari 2 species (M. champacca dan M. sulawesiana). Nilai
ekonomis cempaka wasian (M. sulawesiana) lebih mahal dari yang biasa dan
kualitas kayunya juga lebih baik. Nantu menjadi unggulan local karena lebih
disukai masyarakat di SULUT (MINUT, MITRA, MINSEL dan Minahasa raya).
Jenis ini urgen untuk dilakukan konservasi sumberdaya genetic. Upaya-
upaya yang telah dilakukan diantaranya adalah :
- BP2LHK manado sudah memulai pada tahun 2012 dengan mengumpulna
6 provenans dan 45 family telah ditanam di hutan penelitian batu angus
namun sangat disayangkan terjadi kebakaran.
- 2017 eksplorasi ulang, 79 famili dikumpulkan dan disemaikan di
persemaian BP2LHK Manado.
- Strategi sampling dalam rangka koleksi materi genetic : jumlah populasi,
jumlah ohon per populasi, jumlah biji per pohon.
- Strategi pembangunan konservasi : perlakuan bibit asa.
c. Dwi Yandhi Febrianti
M. nigra merupakan endemic Sulut dengan status sangat terancam punah
berdasarkan IUCN. 2015 terjadi kemarau Panjang (el nino) berefek pada
kelimpahan pakan M. nigra di CA Tangkoko. Kelimpahan pakan ternyata
tidak berbeda signifikan, hal ini terjadi karena kebakaran di CA tangkoko
hanya kebakaran permukaan sehingga tidak mengganggu produksi pohon
berbuah sehingga ketersediaan pakan yaki tetap terpenuhi. Namun terjadi
perubahan daerah jelajah M.nigra.
d. Diah Irawati Dwi Arini
Pertanyaan :
- Lilik : Di ABC selain untuk mengembang biakkan juga untuk tujuan
dirilis. Kapan kira-kira rencana waktu perilisan.
- Irdika Mansur : Saya sangat mengapresiasi ABC sebab belum ada
balai besar yang menangani penangkaran. Oleh karena itu perlu
adanya Balai yang khusus menangani penangkaran ini.
Jawaban :
- Lilik : Memang ada di tujuan besar kami, tujuan jangka Panjang yang
tertuang dalam road map 20 tahunan 2016 – 2036. Kesiapan-
kesiapan masih dikaji oleh tim ABC sesuai dengan jenisnya
272 | Seminar Nasional “Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya Pelestarian Sumber
Daya Alam”
disesuaikan dengan tempat perilisan. Oleh karena itu masih tujuan
jangka Panjang yang memerlukan kerjasama dari pihak lain.
e. Iwanuddin
Penelitian fitoremediasi pada lahan bekas tambang nikel di Halmahera
Timur, Kegiatan :
- Penanaman jenis local sebanyak 5 jenis bibit lokal.
- Perhitungan persentasi tumbuh, ketapang pertumbuhannya lebih bagus
dari pada jenis lainnya.
- Menganalisis jaringan tanaman untuk mengetahui kemampuan serapan
logamnya, bintangur lebih baik dalam serapan beberapa logam misalnya
cobalt, cadmium.
2. Presentasi dan Diskusi Topik II “Jasa Lingkungan”
Moderator : Dr. Ir. Hendra Gunawan, M.Si
a. Nur Hayati
Desa tersebut telah di enclave dari kawasan TN BABUL. Sudah sejak lama
masyarakat memanfaatkan jasa lingkungan air sebagai penggerak turbin
untuk kebutuhan sehari-hari. Yang menarik disana adalah pengelolaan jasa
lingkungan disana sudah sangat baik, oleh karena itu tujuan dari penelitian
ini adalah agar studi kasus di desa tersebut dapat menjadi contoh yang baik
bagi desa-desa lainnya yang juga memanfaatkan airnya dalam memenuhi
kebutuhan sebagian masyarakatnya terutama untuk pengerangan.
Pengelolaan PLMTH dibangun dari tahun 2004/2005 atas inisiatif mereka
sendiri dengan bantuan dari PPK (program pengembangan kecamatan).
Kendala mereka adalah biaya untuk pengelolaan besar sehingga pemerintah
desa Bersama-sama masyarakat merumuskan perdes untuk meregulasi
PLMTH ini. Selain itu AD/ART juga dibuat untuk mengatur biaya-biaya dalam
pemasangan lampu, pembuatan jaringan, beban biaya elektronik dan biaya
perbulan untuk masing-masing rumah. Selain itu perdes ini juga mengatur
pembatasan-pembatasan penggunaan listrik tiap rumah disesuaikan dengan
kemampuan dari PLMTH itu sendiri. Dala perdes ini juga diatur honor bagi
pengelola, biaya untuk menanam pohon dan pemeliharaannya. Selain
mengatur pengelolaan PLMTH desa ini juga telah memiliki regulasi yang
bagus dalam pengelolaan air bersih.
b. Afandi Ahmad
Peran secara umum hutan mangrove ini dalam perubahan iklim. Potensi
serapan karbon hutan mangrove di teluk bone ini seperti apa?
273
Bagian terluar pesisir telah mengalami perubahan fungsi, beberapa
bagiannya telah dikonversi ke penggunaan lahan tambak. Oleh karena itu
hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi pertimbangan pemda dalam
pengelolaan selanjutnya, bahwa mangrove berperan dalam menyimpan
cadangan karbon.
Cadangan karbon tertinggi dari kelurahan Songka diikuti temmolebba.
Jenis R. apiculate memiliki nilai karbon tertinggi di kelurahan Songka namun
S. alba lebih besar di kel. Temmalebba. Di pesisir ini masih ada 6 jenis
mangrove dengan dominasi S. alba dan R. mucronate. Peningkatan peran
pemerintah daerah agar kawasan ini bias dijadikan dari green belt.
c. Rahma Suryaningsih
Emisi GRK terbesar di suplai oleh sektor lahan (termasuk kehutanan) dan
energi sebesar 80%. Penelitian di Desa Serawet karena kerentanannya
terhadap perubahan iklim sangat tinggi. Ada 8 jenis mangrove di Desa
Serawet, biomassa terbesar dari B. gymnorrhiza ( 23,32 to carbon/hectar)
disusul R. apiculate. Cadangan karbon terbear dari biomassa artas
permukaan sebesar 54,26 tonC/ha. Rehabilitasi lahan bekas tambak oleh
masyarakat merupakan upaya mitigasi perubahan iklim. Evaluasi
keberhasilan revegetasi harus dilakukan.
d. Nurhaedah
Salah satu modal pembangunan kehutanan yang lagi tren saat ini adalah
pariwisata /ekowisata. Pengunjung wisata alam meningkat oleh karena itu
perlu diikuti pengelolaan yang baik agar wisata tersebut berkelanjutan.
Salah satunya adalah air terjun Moramo yang ada di Kabupaten Konawe
Selatan.
untuk pengelolaan berkelanjutan wisata alam, maka ketersediaan dan
kemampuan pengunjung untuk membayar perlu dikaji.
Kesediaan pengunjung membayar biaya masuk rata-rata sebesar 13 ribu
lebih karena masyarakat mendapatkan kepuasan dari kunjungan, factor lain
adalah besarnya pendapatan pengunjung itu sendiri. Semakin besar
pendapatannya intensitas kunjungan semakin sering.
Saran :
Pelayanan wisata perlu memperhatikan krakteristik pengunjung, untuk
mengarahkan segmentasi pasar sehingga potensi ekonomi bias ditingkatkan
melalui kerjasama Bersama pemda dan pihak terkait. Karena biaya masuk
masih belum masuk ke PAD.
Moderator : wisata alam semakin menarik bagi masyarakat.
274 | Seminar Nasional “Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya Pelestarian Sumber
Daya Alam”
e. Fariana Frabandari
Ibarat baju, taman nasional adalah bajunya sedangkan aksesoris yang lain
bias ditambahkan salah satunya adalah geopark. Personel di Balai TNB
masih kurang. Kontribusi wisata alam melalui geopark sangat besar,
bunaken bisa menjadi target agar berkontribusi dalam pembangunan dan
berdampak pada social budaya masyarakat.
Unsur-unsur geopark yang dimiliki TN bunaken
- Biodiversity flora fauna dan mangrove
- Fauna ada karang, penyu, m nigra, kus-kus dan tarsius
- Kawasan bunaken tidak hanya pulau bunaken saja namun juga pulau
manado tua, pulau nain dan pulau montehage. Informasi ini justru
sangat jarang diketahui oleh para pihak di Sulawesi utara.
- Batu alam yang dimanfaatkan untuk bangunan
- Culture masyarakat, artefak peninggalan sejarah, makanan khas
merupakan salah satu unsur penguatan.Persiapan yang dilakukan : perlu
penelitian identifikasi jenis-jenis batuan kerjasama antara Balai TNB,
Litbang dan ESDM serta legalitas perlu dipublikasikan dan perlu
dukungan dari pemerintah.
Moderator : pemda sulut perlu memberi dukungan dalam penyelenggaraan
geopark ini, karena potensi wisata alam untuk PAD tinggi.
Pertanyaan :
- Hanom : Dampaknya apa bagi Taman nasional itu adanya mikrohidro ini?
Apakah dengan adanya itu berpengaruh pada kelestarian TN?
- Hanom : Wisata alam harusnya wisata yang tertata dan terbatas, bukan
wisata massal. Tarif berapa yang paling bagus agar alam lebih terjaga
dan ekonomi juga di dapat ? optimasi biaya optimal berapa ?
- Deni : Tahun 2017 balitbangda telah melakukan penelitian salah satunya
di bidang perhubungan dalam menentukan alat trasnportasi laut yang
paling layak bagi turis/wisatawan. Hasil ini telah menjadi referensi
sebagai input kebijakan bagi pemda dalam menyusun RTRW ?
Jawaban :
- Hanom : di TN untuk PLMTH sebetulnya tidak berada dalam kawasan
namun hulu sungainya berada dalam kawasan TN. Masyarakat sadar jika
hutan di kawasan rusak maka akan berpengaruh pada pasokan air yang
akan kesulitan menggerakkan turbin dimana akan mengarungi pasokan
listrik. Adanya PLMTH berdampak ke TN jelas ada, sebab masyarakat
disana lebih sadar untuk menjaga hutan dan bahkan menanam tanaman
kayu-kayuan disekitar sungai untuk menjaga debit air.
275
- Hanom : Nilai kesediaan membayar merupakan cerminan. Untuk
menghitung biaya optimasi dan nilai elastisitas masih perlu dilakukan
penelitian lagi.
- Deni : Idenya bagus maka kami dari pihak TN bunaken akan mendukung,
namun perlu adanya MoU yang jelas sehingga adanya 6 permasalahan
yang menjadi kendala dapat diselesaikan. Oleh karena itu TN bunaken
tidak perlu lagi membuat master plan, kami tinggal menginduk pada
kesepahaman Bersama dalam mengembangkan sarana wisata alam dari
pemprov dan dirjen di kementerian kehutanan. Mitra dalam
pembangunan sarpras adalah dinas pehubungan, dinas pariwisata,
balitbangda dan Balai TNB.
Testimoni Kelompok Tani :
a. Bapak yakin, petani dalam kawasan KPHP Poigar
Masuknya program penanaman dari balai penelitian sangat membantu
masyarakat dalam menata kawasan. Sistem pembagian hasil penanaman
kayu menggugah hati masyarakat untuk ikut melestarikan kawasan hutan
di KPHP Poigar.
b. Bapak Medi, Rurukan petani Murbei
Permasalahan awan, penanaman pohon daur panjang sehingga lama
menunggu masa panen. Balai menawarkan adanya kerjasama dalam
budidaya ulat sutra. Hal ini merupakan potensi perubahan mata
pencaharian untuk meningkatkan perekonomian masyarakat. Budidaya
ulat sutra membutuhkan perhatian yang sangat intensif. Mulai dari
pengiriman bibit (telur) sampai penetasan. Sambil menunggu masa
panen daun murbei, petani menanam sayuran dengan daur pendek,
misalnya pokcoy.
c. Bapak marten PT Cargil Indonesia
Mewakili petani jamur tiram di minahasa selatan. Ada 2 kelompok tani
ibu2, yang memanfaatkan limbah sabut kelapa menjadi media budidaya
jamur tiram. Permasalahan awal, melimpahnya sabut kelapa memicu
munculnya hama untuk tanaman kelapa itu sendiri.
Pada awal kegiatan, bibit jamur yg digunakan diambil dari jogja dan
makassar. Untuk menjaga kelancaran produksi jamur tiram, kerjasama
dilanjutkan dengan menggandeng NGO di Sulawesi Utara untuk pelatihan
pembuatan bibit jamur tiram putih.
276 | Seminar Nasional “Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya Pelestarian Sumber
Daya Alam”
3. Presentasi dan Diskusi Topik III “Perhutanan Sosial”
Moderator : Ir. Alfonsius Thomas, MP
a. Anton C. Nugroho
TORA adalah tanah objek reforma agraria. Program Turunan dari Nawacita
oleh Presiden Jokowi. Adanya TORA diharapkan dapat meminimalkan konflik
lahan/penguasaan tanah yang terjadi dalam kawasan hutan. Sosialisasi ke
masyarakat (masyarakat diharapkan melakukan permohonan namun sejauh
ini masih belum banyak yang melaksanakan pelaporan) dan dalam
penyusunan kebijakan juga memperoleh permasalahan, selain itu pola
penyelesaian termasuk rumit.
Penyelesaian ideal yang diharapkan :
- Proses tidak dibatasi dalam satu tahun/periode tertentu. Masyarakat
umumnya perlu melihat contoh sehingga baru tergerak untuk
melaporkan. Sejauh ini belum ada yang tergerak untuk melakukannya
(pelaporan).
- Tahapan disederhanakan dan dipersingkat. Saat ini tahapan panjang dan
rumit.
- Fokus bidang tanah yang dimanfaatkan untuk pemukiman, fasilitas
umum/sosial.
- KPH harus berperan aktif karena memahami kondisi real dilapangan,
sehingga perlu didorong untuk lebih bergerak aktif
b. Nurhaedah
- Sinergi antar pihak dalam pengelolaan hutan rakyat yang diharapkan
kooperatif.
- Semua pihak baik langsung maupun tidak langsung dapat memperoleh
hasil yang optimal dalam pengelolaan hutan rakyat.
- Sejumlah petani telah menjadi kelompok tani dengan struktur dan aturan
yang disepakati.
- Ada komitmen lembaga koperasi untuk memfasilitasi pengelolaan.
- Semua pihak memiliki peran dan saling melengkapi satu sama lain
sehingga mendorong sinergi antar pihak terkait memberikan manfaat
bagi semua.
- Diharapkan mampu menciptakan pasar kayu rakyat dengan
meningkatkan kapasitas petani hutan rakyat, baik perorang maupun
kelompok.
277
c. Arif Irawan
- Sinergi antar pihak dalam pengelolaan hutan rakyat yang diharapkan
kooperatif.
- Semua pihak baik langsung maupun tidak langsung dapat memperoleh
hasil yang optimal dalam pengelolaan hutan rakyat.
- Sejumlah petani telah menjadi kelompok tani dengan struktur dan aturan
yang disepakati.
- Ada komitmen lembaga koperasi untuk memfasilitasi pengelolaan.
- Semua pihak memiliki peran dan saling melengkapi satu sama lain
sehingga mendorong sinergi antar pihak terkait memberikan manfaat
bagi semua.
- Diharapkan mampu menciptakan pasar kayu rakyat dengan
meningkatkan kapasitas petani hutan rakyat, baik perorang maupun
kelompok.
d. Nurhaedah
- Sinergi antar pihak dalam pengelolaan hutan rakyat yang diharapkan
kooperatif.
- Semua pihak baik langsung maupun tidak langsung dapat memperoleh
hasil yang optimal dalam pengelolaan hutan rakyat.
- Sejumlah petani telah menjadi kelompok tani dengan struktur dan aturan
yang disepakati.
- Ada komitmen lembaga koperasi untuk memfasilitasi pengelolaan.
- Semua pihak memiliki peran dan saling melengkapi satu sama lain
sehingga mendorong sinergi antar pihak terkait memberikan manfaat
bagi semua.
- Diharapkan mampu menciptakan pasar kayu rakyat dengan
meningkatkan kapasitas petani hutan rakyat, baik perorang maupun
kelompok.
Pertanyaan :
- Isdomo : Tora identik dengan konflik tenurial dengan goal apakah
mampu mengurangi konflik atau tidak?
Masyarakat tidak mau mengajukan TORA apakah kurang sosialisasi atau
ada persyaratan yang membuat masyarakat enggan untuk mengajukan?
Apakah TORA akan terus berlanjut, dikhawatirkan muncul
ketidakpercayaan masyarakat terhadap program ini?
- Wildy Poneke : Sejauh mana pengaruh mata pencaharian dan pendidikan
terhadap skema mitra kehutanan?
278 | Seminar Nasional “Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya Pelestarian Sumber
Daya Alam”
Sejauh mana optimisme akan konsistensi modal social dipertahankan
dalam masyarakat?
- Jailuddin : Setuju dengan perhutanan social namun seiring perjalanan
waktu hal ini belum berjalan secara menyeluruh. Hal ini karena sosialisasi
belum maksimal sehingga masyarakat ragu, sdm belum memadai karena
pemberkasan perhutanan social cukup rumit sehingga masyarakat
mengalami kesulitan dalam penyusunan berkas.
- Afandi Ahmad : Ada salah satu modal social yang sangat berpengaruh.
Sangsi apa yang berlaku?
Jawaban :
- Isdomo : TORA diharapkan mengurangi konflik tenurial dalam kawasan
hutan. Konflik ini sudah sangat kronis. TORA mampu meminimalisir
konflik ini. Optimis terhadap keberadaan TORA akan ending TORA.
Sosialisasi telah dilaksanakan dengan mengundang tetua masyarakat,
telah melakukan “jemput bola” atau kegiatan pendampingan ke
masyarakat dengan memberikan penyuluhan tentang TORA. Sosialisasi
telah dilakukan namun masyarakat belum tergerak hati untuk melakukan
pelaporan/pengajuan. Lambannya proses di Gubernur bukan ruang
otoritas BPKH tetapi tetap mengawal usulan yang dimaksud.
- Wildy Poneke : Semakin baik mata pencaharian dan Pendidikan maka
akan semakin baik pula penilaian atau pengaruh terhadap skema ini. Dan
optimisme terhadap konsistensi modal social dalam masyarakat tetap
diharapakan. Masyarakat lebih cenderung ke modal social dibandingkan
dengan modal finansial.
- Jailuddin : Meningkatkan pendampingan kepada masyarakat guna
meningkatkan sdm.
- Afandi Ahmad : Misalnya terkait dengan larangan penebangan pohon,
maka masyarakat akan mematuhinya.
Saran :
Iwan Mokoginta : Perhutanan social secara teoritis sudah mantap tapi real
dilapangan berjalan dengan lambat, peneliti meneliti secara mendalam
dalam kelembangaannya dan mengikuti tren masyarakat, pendekatan dalam
valuasi ekonomi yang dirasa belum sesuai dengan kajian penelitian, inti dari
persoalan dalam lingkungan yaitu karakter diri sendiri.
Apresiasi :
Berty Winerungan : Apresiasi terhadap BP2LHK Manado bahwa ada 2 lokasi
untuk resolusi konflik social masyarakat. Berharap kegiatan ini dapat terus
berlanjut.
279
Moderator :
Sinergitas sangat penting untuk semua pemangku kepentingan untuk
menghasilkan karya terbaik yang dapat diberikan kepada masyarakat.
4. Presentasi dan Diskusi Topik IV “Hasil Hutan Bukan Kayu”
Moderator : Ir. Tabroni, MM
a. A. Wildah
- Kebutuhan benang tinggi, tetapi produksi masih kurang.
- Penyebabnya kurangnya industri.
- Pemeliharaan ulat berdasarkan standar SOP oleh Balitbang Kehutanan
- Inkubasi Telur Sutera ; telur menetas ulat.
- Pakan ulat ; pakan dirajang sekecil mungkin agar mudah dikonsumsi oleh
ulat
- Pemeliharaan ; ulat sudah bisa memakan cabang ranting, ulat sudah
mengokon
- Ditemukan penyakit : diduga penyebabnya bakteri (disebabkan dari sisa
kotoran yang menumpuk, dan penularan dari ulat yag sakit) sehingga
kokon gagal pintal.
- Kokon normal : putih, bersih, kasar, lonjong.
- Kegiatan ini telah menghasilkan kokon yang baik meskipun terdapat
kokon yang tidak berhasil.
b. Jafred E. Halawane
- Gaharu bisa berasal dari gaharu alam dan gaharu budidaya.
- Gaharu alam lebih berbobot daripada gaharu budidaya sehingga perlu
ada kajian sehingga gaharu budidaya juga mampu menarik minat
masyarakat.
- Penyimpanan dan waktu simpan memberikan pengaruh nyata terhadap
daya kecambah.
- Perbedaan hasil diberikan karena adanya perbedaan perlakuan
penyimpanan
- Biji dengan daging disimpan dalam plastic transparan memberikan hasil
yang baik untuk penyimpanan, satu minggu setelah diunduh adalah
waktu yang terbaik.
c. Hanif Nurul Hidayah
- Senyawa aktif berperan dalam pemanfaatan sebagai obat tradisional
sehingga perlu dikaji.
- Perlakuan diberikan untuk mengetahui kandungan senyawa aktif
280 | Seminar Nasional “Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya Pelestarian Sumber
Daya Alam”
- Metode penggodokan dengan pelarut air digunakan dalam proses
ekstraksi karena lebih mudah untuk dilakukan oleh masyarakat.
- Uji metabolit Sekunder menghasilkan data bahwa semua mengandung
kandungan senyawa aktif (flavonoid, fenol, tannin, saponin, steroid).
- Uji toksisitas BSLT dilakukan sebagai syarat uji keamanan suatu obat
baru. Nilai toksisitas terbaik ditunjukkan oleh sampel ekstrak daun muda.
- Pemanfaatan daun pakoba sebagai teh herbal yaitu dengan
menggunakan daun muda dengan metode pengeringan oven.
Saran :
- Nurhaedah : Hasil ulat sutra belum memadai dan banyak hambatan-
hambatannya. Semakin sering dilakukan pemeliharaan maka akan
diketahui Teknik pemeliharaan yang baik untuk mencapai keberhasilan.
Kendala banyaknya kokon dobel sehingga perlu diperbaiki alat
kokonannya jangan terlalu padat. Terkait penyakit, apabila melihat ulat
yang diduga sakit maka harus dipisahkan/dibuang. Terkait HOK, HOK
harus dua orang (Petugas pakan dan Petugas pemeliharaan ulat dalam
kandang).
- Santiago : Di TN Bantimurung Bulusaraung banyak pakoba, silahkan jika
ingin dikaji lebih lanjut.
281
TOPIK PRESENTASI DAN JADWAL ACARA SEMINAR
WAKTU ACARA KETERANGAN
07.30 – 08.00 Registrasi Panitia
08.00 – 08.05 Menyanyikan lagu Indonesia Raya Panitia
08.05 – 08.25 Tarian Sambutan Selamat Datang Sanggar Tari
08.25 – 08.30 Pembacaan Doa Arif Irawan, S.Si
08.30 – 08.45 Laporan Penyelenggaraan Kepala BP2LHK Manado
08.45 – 09.10
Pembukaan dan Keynote Speech I
Kepala Badan Litbang dan Inovasi KLHK (Dr. Ir Agus Justianto,
M.Sc)
09.10 – 09.25 Keynote Speech II Direktur Jenderal KSDAE KLHK
(Ir. Wiratno, M.Sc)
Moderator I 09.25 – 09.40
Keynote Speech III Institut Pertanian Bogor
(Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc)
09.40 – 09.50 Pemmbicara Tamu Wallacea Nature
(Simon Purser)
09.50 – 10.05 Diskusi
10.05 – 10.20 Coffee Break Panitia
10.20 – 12.10 Sesi I : Sub Tema : Konservasi Sumber
Daya Alam dan Jasa Lingkungan
Moderator II
12.10 – 13.00 ISHOMA Panitia
13.00 – 13.10 Testimoni Kelompok Tani Poigar Arif Irawan, S.Si
13.10 – 15.00 Sesi II : Sub Tema : Perhutanan Sosial
dan Hasil Hutan Bukan Kayu
Moderator III
15.00 – 15.30 Coffee Break Panitia
15.30 – 16.00 Pembacaan Rumusan Tim Perumus
16.00 – 16.15 Penutupan Kepala BP2LHK Manado
282 | Seminar Nasional “Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya Pelestarian Sumber
Daya Alam”
Bidang Konservasi Sumber Daya Alam
No Waktu
Presentasi Penulis Judul Abstrak
1 10.20 – 10.30 AYPBC Widyatmoko,
Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik
di Taman Nasional Gunung Merapi
2 10.30 -10.40 Julianus Kinho
Pentingnya Konservasi Sumberdaya Genetik Jenis Kayu Lokal Potensial
di Sulawesi Utara
3 10.40 – 10.50 Dwi Yandhi Febriyanti
El Nino Effect (2015): Hubungan Kelimpahan Pakan dan Luasan
Daerah Jelajah Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra) Di Kphk
Tangkoko
4 10.50 – 11.00 Rahma Suryaningsih
Kemanfaatan Anoa Breeding Centre Ditinjau dari Motivasi Pengunjung
5 11.00 – 11.10 Wanda
Kuswanda
Aktivitas Harian dan Pengelolaan
Gajah Jinak (Elephas maximus sumatranus) di Sumatera Utara
Bidang Jasa Lingkungan
No Waktu
Presentasi Penulis Judul Abstrak
1 11.25 – 11.35 Nur Hayati Pengelolaan Jasa Lingkungan Air di Desa Patanyamang, Kecamatan
Camba, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan
2 11.35 – 11.45 Hadijah Azis
Karim
Biomassa Dan Cadangan Karbon Di
Hutan Mangrove: Studi Kasus Teluk Bone, Kota Palopo
3 11.45 – 11.55 Nurlita Indah Wahyuni
Potensi Karbon Hutan Mangrove Desa Sarawet Minahasa Utara untuk
Mitigasi Perubahan Iklim
4 11.55 – 12.05 Wahyudi
Isnan
Karakteristik dan Kesediaan
Membayar Pengunjung Wisata Alam
Air Terjun Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara
283
Bidang Perhutanan Sosial
No Waktu
Presentasi Penulis Judul Abstrak
1 13.25 – 13.35 Pernando Sinabutar
Dunia Nyata Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam
Kawasan Hutan di Provinsi Sulawesi Utara
2 13.35 – 13.45 Achmad Rizal H
Bisjoe
Membangun Sinergi Para Pihak
Hutan Rakyat di Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi
Sulawesi Tenggara
3 13.45 – 13.55 Arif Irawan Sikap Masyarakat Terhadap Pelaksanaan Uji Coba Skema
Kemitraan di KPHP Model Poigar
4 13.55 - 14.05 Evita Hapsari Modal Sosial Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Rakyat di
Desa Mallelleng Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba
Bidang Hasil Hutan Bukan Kayu
No Waktu
Presentasi Penulis Judul Abstrak
1 14.20 – 14.30 Andi Wildah Budidaya Ulat Sutera di Sulawesi
Utara
2 14.30 – 14.40 Jafred E.
Halawane
Pengaruh Tempat dan Waktu
Penyimpanan Terhadap
Keberhasilan Daya Kecambah Benih Gaharu (Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke)
3 14.40 – 14.50 Hanif Nurul
Hidayah
Uji Fitokimia dan Toksisitas pada
Ekstrak Daun Pakoba (Syzygium luzonense (Merr.) Merr)
284 | Seminar Nasional “Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya Pelestarian Sumber
Daya Alam”
285
DAFTAR PESERTA SEMINAR
No NAMA Jabatan/Instansi
1 Hendra Gunawan Peneliti Puslitbang Hutan Bogor
2 Pulu Utama KKH KSDAE
3 Hamdi PSN
4 Robby Rompas Fakultas Kehutanan Universitas
Dumoga Kotamobagu
5 Ammy N Balai TNGM
6 Mody MTSTH
7 Bambang BTN Gunung Merapi
8 Widyanto B2P2BPTH
9 Thomas Nifiluri BKSDA Sulsel
10 Simon Purser Wallacea
11 Fariana BTN Bunaken
12 Dodi Garnadi BP2LHK Manado
13 Andi Hakim BPDAS Bone Bolango
14 Nur Hayati BP2LHK Makasar
15 Irdika Mansur SEAMEO BIOTROP
16 Joni BP2LHK Sulsel
17 Tabroni BP2LHK Palembang
18 Ance Selamatkan Yaki
19 Fatur Bani BP2LHK MakasSar
20 ABD Kadir Prodi Kehutanan Ternate
21 Lis Nurani BP2LHK Manado
22 Aladin Gobel Sangadi Lolan
23 Kama BP2LHK Manado
24 Isdomo BP2LHK Manado
25 Rahma BP2LHK Manado
26 Wilda BP2LHK Manado
27 Mickel Prodi kehutanan
28 Iwanudin BP2LHK Manado
29 YB. Waworuntu Kadis LH Manado
30 Indriarti Kabid LH Manado
286 | Seminar Nasional “Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya Pelestarian Sumber
Daya Alam”
No NAMA Jabatan/Instansi
31 Fatmasari BBKSDA SULSEL
32 Santiago BBKSDA SULSEL
33 Novita BP2LHK Manado
34 Billy G Lolowang PPS Tasik koki
35 D. Pandelaki Bank Mandiri
36 Made Lanang P Bank Mandiri
37 Shabirin BKSDA Sulut
38 Diah Irawati BP2LHK Manado
39 Thomas Milano BPPHLHK Manado
40 Julianus Kinho BP2LHK Manado
41 Yuyun Badan Litbang dan Inovasi KLHK
42 Ishak Ismail BP2LHK Manado
43 Fendi Saputra TN Bogani Nani Wartabone
44 Yakob K. Tani
45 Lulus Turbianti BP2LHK Manado
46 Isdomo Y. BP2LHK Manado
47 Sri Rejeki KKH
48 Meydi Kalalo K. Tani
49 Cahyo Riyadi BP2LHK Manado
50 Hanif Nurul BP2LHK Manado
51 Arif Irawan BP2LHK Manado
52 Sjuntje Din Kima Atas
53 Windi Liani PPS Tasikoki
54 Nurhaedah BP2LHK Makasar
55 obed edom BP2LHK Manado
56 Yakub A BKSDA Sulut
57 Wildy BTNBNW
58 Rukam Dayadi BPDAS Tondano
59 Rina Mamonto BP2LHK Manado
60 Joni Mura BP2LHK Manado
61 Florentina Reni BPDAS Tondano
62 Nuraini BTN Bogani Nani Wartabone
63 Desly Rolando BP2LHK Manado
64 Anton BPKH Wil VI Manado
65 Fabiola Saninsong Unsrat
66 Agus P. BP2LHK Manado
287
No NAMA Jabatan/Instansi
67 Yopi Golioth LPS Sulut
68 Ricky Masyarakat Minahasa
69 Rhamadita Y. Pradana BPDASHL Tondano
70 Jafret Halawane BP2LHK Manado
71 Supratman Tabba BP2LHK Manado
72 Afandi Ahmad UNANDA
73 Djarmadin KPHL UNIT III
74 Tinus Sanda BP2LHK Manado
75 Dini Yandhi MNP
76 Lilik Yuli Epass Tangkoko
77 Angelina Lenak BP2LHK Manado
78 Deny R. Kabid PIT Balitbang DA SULUT
79 Yohanes B Kadis
80 Wimbuh Maharma PT JRBM
81 Yermias BP2LHK Manado
82 T. Hambali Mokoagow BPPIKHL Sulawesi
83 Jouvan Tangkere Balitbangda Sulut
84 Wawan UNSRAT
85 Marthen PT.CARGIL
86 Enea PT.CARGIL
87 Daniel PT.MSM
88 Rudy Bedjo BKSDA
89 Hendra Kawulur BKSDA
90 Melky BTN Bunaken
91 Tulus Sarah BP2LHK Manado
92 Kristian Antam
93 Hanom Bashari Epass Tangkoko
94 Dini Rahmanita BTNBNW
95 Rojmi BTNBNW
96 Novel J. Pongajow DLH Kab.Mintra
97 Lastri Situmorang BP2LHK Manado
98 Andreas Tribun Manado
99 Djani Manado Post
100 Jeksen Manado Post
101 Stephan miyaski MNP
102 Hengky BPDAS HL TNDNO
288 | Seminar Nasional “Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya Pelestarian Sumber
Daya Alam”
No NAMA Jabatan/Instansi
103 Rinto H. BP2LHK Manado
104 Tajudin M BP2LHK Manado
105 Musa KPHP Unit II Bolsel
106 Iwan KPHP Unit II Bolsel
107 Sudin LSM Kibar
108 Supardi Anis News
109 Mody K. BP2LHK Manado
110 Deka BTN Bunaken
111 Adi Tri Utomo BTN Bunaken
112 H. Permata Media Nasional
113 Samsudin Media Amunisi
114 Melky Parengkuan KPHL UNIT II
115 Lina pendong Manado post
116 Jimmy Dapar kompas TV
117 Berty KPHP Poigar
118 Giolano Setiawan Manado post
119 Fredy Dishut Provinsi
120 Nina Sudarwati BP2LHK Manado
121 Aldy F BANK Mandiri
122 David Lumunon BANK Mandiri
123 Arlenos BKSDA Sulut
124 Absalom Tribun Manado
125 Nani BPDAS
126 Angnes BPDAS
127 Alex BP2LHK Manado
128 Wilson BP2LHK Manokwari
129 Hany Hilse Selamatkan Yaki
130 Dave Rich Selamatkan Yaki
131 Erwin Hardika BPDASHL Tondano
132 Farid BP2LHK Manado
133 Alkes Tarusu BTN Bunaken
134 Budiman BPKH Wil. VI Manado
135 Yusuf BKSDA
136 Ester BP2LHK Manado
137 Mikke BP2LHK Manado
138 Djemri BPKH Wil VI Manado
289
Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan ManadoJl. Raya Adipura Kelurahan Kima Atas, Kecamatan Mapanget Kota ManadoEmail : [email protected]; [email protected]
Website : http://manado.litbang.menlhk.go.id