300

D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

  • Upload
    others

  • View
    7

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Prosiding Seminar Nasional Manado, 24 Oktober 2018

Meningkatkan Sinergitas Dalam UpayaPelestarian Sumber Daya Alam

Editor:Julianus Kinho, S.Hut., M.Sc.Diah Irawati Dwi Arini, S.Hut., M.Sc.Lis Nurrani, S.Hut., M.Sc.

Diselenggarakan oleh:Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado&SEAMEO BIOTROP

Bekerjasama dengan:Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi UtaraWallacea NaturePT. Antam Tbk Halmahera TimurPT. Cargill IndonesiaBank Mandiri Area Manado

ISBN 978-602-60715-3-8

Page 2: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

i

MENINGKATKAN SINERGITAS

DALAM UPAYA PELESTARIAN SUMBER DAYA ALAM

PROSIDING SEMINAR NASIONAL Manado, 24 OKTOBER 2018

Diselenggarakan oleh:

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan

Kehutanan Manado

SEAMEO BIOTROP

Berkerjasama dengan:

Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Utara

Wallacea Nature

PT. Antam Tbk Halmahera Timur

PT. Cargill Indonesia

Bank Mandiri

Page 3: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

ii

ISBN 978-602-60715-3-8

Prosiding Seminar Nasional Tema:

Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya Pelestarian Sumber Daya Alam

Steering Committee:

Ir. Dodi Garnadi, M.Si.

Rinto Hidayat, S.Hut.

Lulus Turbianti, S.Hut.

Organizing Committee:

Cahyo Riyadi, S.Hut., M.Ap., M.Agr.Sc.

Esther Randa Bunga, SE.

Alex Novandra, S.Hut., M.S.E.

Isdomo Yuliantoro, S.Sos., M.Si.

Muhammad Farid Fahmi, S.Kom., MT

Hanif Nurul Hidayah, S.Hut.

Tulus Sarah Samosir, A.Md.

Rinna Mamonto

Hendra S. Mokodompit

Editor:

Julianus Kinho, S.Hut, M.Sc.

Diah Irawati Dwi Arini, S.Hut., M.Sc.

Lis Nurrani, S.Hut., M.Sc.

Reviewer:

Dr. Ir, Mahfudz, M.P.

Dr. Ir. Johny S. Tasirin, M.Sc.F.

Diterbitkan oleh:

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado

Jalan Raya Adipura, Kelurahan Kima Atas, Kecamatan Mapanget, Manado

Telp. 0431 7242949

Email: [email protected]; [email protected]

Website: http://manado.litbang.menlhk.go.id

Page 4: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

iii

KATA PENGANTAR

Potensi pemanfaatan hutan merupakan penerapan Nawacita dari sektor

kehutanan, yang ditandai dengan indeks kualitas lingkungan hidup harus

lebih baik yang artinya kualitas air, udara, dan land cover juga harus lebih

baik.

Potensi pemanfaatan hutan dan pasokan bahan baku industri tahun 2045,

dapat menghasilkan devisa US$ 97,51 milyar/tahun, atau setara dengan 8,9

kali devisa tahun 2017. Hal ini dapat terwujud melalui konfigurasi bisnis

baru kehutanan yaitu industri berbasis hasil hutan bukan kayu,

pengembangan agroforestry, ekowisata, jasa lingkungan, dan bio energi

(KLHK, 2018).

Konservasi flora fauna dan rehabilitasi lahan merupakan upaya dalam

rangka mendukung terwujudnya program konfigurasi bisnis baru kehutanan

dengan tidak mengabaikan upaya pelestarian sumber daya alam. Beberapa

penelitian dan pengembangan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan

Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Manado pun searah dengan

cita-cita tersebut seperti peningkatan populasi flora dan fauna endemik

Sulawesi Utara, pengelolaan hutan berbasis masyarakat, pengembangan

potensi obat dari tanaman kehutanan, dan rehabilitasi Daerah Aliran Sungai.

Menilik sejarah organisasi Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam

dan Ekosistem ternyata kegiatan konservasi sudah digagas sejak

Pemerintahan Hindia Belanda pada tanggal 22 Juli 1912 dengan

terbentuknya suatu Perkumpulan Perlindungan Alam yang bernama

”Netherlandsh Indische Vereeniging Tot Natuur Bescherming” yang

mempunyai tugas pokok dan fungsi untuk ”melindungi alam Indonesia dari

kerusakan”. Kini konservasi flora fauna mengacu pada UU Nomor 5 Tahun

1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Rehabilitasi lahan hutan saat ini melibatkan peran serta masyarakat melalui

program hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat,

kemitraan kehutanan, dan hutan adat sebagaimana diatur dalam Peraturan

Menteri Lingkungan Hidup dan kehutanan Nomor

P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial, hal ini

sejalan dengan program pemerintah mengenai peningkatan kesejahteraan

masyarakat sekitar hutan.

Page 5: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

iv

Keberhasilan upaya pelestarian sumber daya alam dapat terwujud dengan

adanya koordinasi antara stakeholder dengan stakeholder lainnya untuk

dapat bahu membahu serta menutup kekurangan serta membantu adanya

solusi atas kendala/hambatan yang dihadapi.

Prosiding ini memuat 16 judul materi yang dibahas, 3 materi Keynote

Speech, dan rumusan seminar berdasarkan hasil diskusi.

Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terimakasih kepada SEAMEO

BIOTROP, Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Utara, Wallacea Nature dan

PT. Antam (Persero) Tbk. UBPN Maluku Utara, PT. Cargill Indonesia, Bank

Mandiri, penyaji materi, panitia penyelenggara, moderator, peserta serta

semua pihak yang telah membantu penyelenggaraan kegiatan seminar

nasional hingga penyusunan prosiding.

Semoga prosiding ini bermanfaat.

Manado, Januari 2020

Kepala BP2LHK Manado

Mohclis, S.Hut.T., M.P.

NIP. 197411091994031001

Page 6: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

v

DAFTAR ISI

Kata Pengantar .............................................................................. iii

Daftar Isi ...................................................................................... v

Laporan Penyelenggaraan .............................................................. vii

Sambutan Kepala Badan Litbang dan Inovasi .................................. xii

Rumusan ...................................................................................... xvi

MAKALAH PRESENTASI

Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik

di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati .. 1-16

Pentingnya Konservasi Sumberdaya Genetik Nantu (Palaquium obtusifolium Burck.) Jenis Kayu Lokal Potensial

di Sulawesi Utara Julianus Kinho, Jafred Halawane, Arif Irawan,

Hanif Nurul Hidayah, dan Reny Sawitri ....................................... 17-30

El Nino Effect (2015): Hubungan Kelimpahan Pakan,

Perilaku Makan dan Luasan Daerah Jelajah Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra Desmarest, 1822)

di Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi Tangkoko Dwi Yandhi Febriyanti, Andre Pasetha, dan Antje Engelhardt ..... 31-48

Nilai dan Kemanfaatan Anoa Breeding Centre Ditinjau dari Motivasi Pengunjung

Rahma Suryaningsih, Diah Irawati Dwi Arini , Julianus Kinho, Jafred E.Halawane, Ady Suryawan, Anita Mayasari, Margaretta Cristita,

dan Adven T.A.J. Simamora ........................................................... 49-62

Aktivitas Harian dan Pengelolaan Gajah Jinak (Elephas maximus sumatranus) di Sumatera Utara Wanda Kuswanda, Sriyanti Puspita Barus, dan Asep Sukmana ... 63-78

Pengelolaan Jasa Lingkungan Air di Desa Patanyamang,

Kecamatan Camba, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan Nur Hayati ....................................................................................... 79-94

Biomassa dan Cadangan Karbon di Hutan Mangrove: Studi Kasus Teluk Bone, Kota Palopo Hadijah Azis Karim, Andi Rosdayanti, dan Afandi Ahmad ............ 95-106

Potensi Karbon Hutan Mangrove Desa Sarawet Minahasa Utara

untuk Mitigasi Perubahan Iklim Nurlita Indah Wahyuni dan Rahma Suryaningsih ......................... 107-124

Page 7: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

vi

Karakteristik dan Kesediaan Membayar Pengunjung Wisata Alam Air Terjun Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara Wahyudi Isnan dan Nurhaedah Muin ............................................ 125-138

Dunia Nyata Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan

Hutan di Provinsi Sulawesi Utara Pernando Sinabutar, Anton Cahyo Nugroho,

dan Lidya Suryati Biringkanae..................................................... 139-156

Membangun Sinergi Para Pihak Hutan Rakyat

di Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara Achmad Rizal H Bisjoe, Nurhaedah Muin, dan Evita Hapsari ........ 157-174

Sikap Masyarakat Terhadap Pelaksanaan Uji Coba Skema Kemitraan di KPHP Model Poigar Arif Irawan, Isdomo Yuliantoro, Jafred Elsjoni Halawane, dan Iwanuddin ............................................................................ 175-184

Modal Sosial Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Malleleng Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba Evita Hapsari, Nurhaedah Muin, dan Achmad Rizal HB ............. 185-198

Pertumbuhan dan Pemeliharaan Ulat Sutera (Bombyx mori L.)

di Desa Rurukan 1, Kecamatan Tomohon Timur, Kota Tomohon, Sulawesi Utara Andi Wildah, Isdomo Yuliantoro, dan Ramdana Sari ..................... 199-216

Pengaruh Tempat dan Waktu Penyimpanan Terhadap Keberhasilan Daya Kecambah Benih Gaharu

(Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke) Jafred E. Halawane dan Arif Irawan .............................................. 217-226

Kandungan Senyawa Aktif dan Toksisitas Daun Pakoba (Syzygium luzonense (Merr.) Merr)Pada Berbagai

Metode Pengeringan Hanif Nurul Hidayah dan Lis Nurrani ............................................. 227-239

PRESENTASI TAMU

Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya Pengelolaan

Sumberdaya Alam

Irdika Mansur .................................................................................... 243-254

Sinergitas Pengelolaan Keanekaragaman Hayati

Puja Utama ........................................................................................ 255-260

Pergeseran Paradigma Pembangunan Hutan: Tindakan Korektif

Yayuk Siswiyanti ............................................................................... 261-267

Page 8: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

vii

LAPORAN PENYELENGGARAAN

KEPALA BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN

HIDUP DAN KEHUTANAN (BP2LHK) MANADO

PADA SEMINAR NASIONAL

“MENINGKATKAN SINERGITAS DALAM UPAYA PELESTARIAN

SUMBER DAYA ALAM”

Manado, 24 Oktober 2018

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Yang terhormat:

1. Kepala Badan Litbang dan Inovasi KLHK, yang diwakili oleh Ibu Dr.

Yayuk Siswiyanti, S.Hut, M.Si (Kabid. Program dan Evaluasi Pusat

Litbang Hutan)

2. Direktur Konservasi Sumber Daya Alam & Konservasi (KSDAE) KLHK,

atau yang mewakili

3. Kepala Dinas Kehutanan Daerah Provinsi Sulawesi Utara

4. Direktur SEAMEO BIOTROP, Bapak Irdika Mansur

5. Bapak Simon Pulser dari Wallacea Nature

6. Para Kepala UPT Lingkup KLHK

7. Para Kepala KPHP/KPHL di Sulawesi Utara

8. Para Akademisi

9. Para Pimpinan Perusahaan

10. Para Pejabat Struktural dan Fungsional

11. Para awak media dan Tamu Undangan Peserta Seminar Nasional yang

berbahagia

Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua

Syallom,

Pertama-tama marilah kita memanjatkan segala puji dan syukur kehadirat

Allah SWT atas Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga pada hari yang baik ini

kita semua dapat berkumpul ditempat ini dalam rangka mengikuti Seminar

Nasional yang terselenggara atas kerjasama BP2LHK Manado dengan

SEAMEO BIOTROP dan didukung oleh PT. Antam Persero Tbk, Wallacea

Nature, dan Bank Mandiri.

Jumlah peserta sebanyak : ± 130 orang

Page 9: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

viii

Peserta terdiri dari : UPT di bawah Badan Litbang dan Inovasi, P3E Sulawesi

dan Maluku, UPT KLHK di Sulawesi dan Maluku Utara, Dinas Kehutanan

Daerah Provinsi Sulawesi Utara/Gorontalo/Maluku Utara, Badan Lingkungan

Hidup Provinsi Sulawesi Utara/Gorontalo/Maluku Utara, Badan Litbang

Daerah Sulawesi Utara, Dinas Lingkungan Hidup Kota Manado dan Kab.

Minahasa Tenggara, KPHP dan KPHL yang ada di Sulawesi Utara, Akademisi

dari (Univ. Samratulangi Manado, IPB, UGM, Univ. Gorontalo, Univ. Dumoga

Kotamobagu, Univ. Negeri Manado, dan Univ. Khairun Ternate), Peneliti

BP2LHK Manado, Perusahaan Swasta Mitra BP2LHK Manado (PT. Antam

Persero Tbk., PT. Cargill Indonesia, PT. J Resources Bolaang Mongondow,

PT. Meares Soputan Mining), LSM/NGO, Tokoh Masyarakat, dan Media

Massa.

Hadirin dan peserta seminar yang saya hormati,

Perkenankanlah saya berterimakasih dan berbangga atas kerjasama yang

baik antara panitia, peserta dan semua pendukung acara sehingga seminar

nasional ini dapat diselenggarakan dengan baik pada hari ini Rabu, 24

Oktober 2018 bertempat Hotel Aston Manado. Tema Seminar Nasional 2018

ini adalah “Meningkatkan Sinergitas Dalam Upaya Pelestarian Sumber Daya

Alam“. Pada seminar ini terdapat 4 Narasumber/pembicara utama, 16

pemakalah yang terbagi di 4 divisi yaitu : bidang Konservasi Sumber Daya

Alam, bidang Jasa Lingkungan, bidang Perhutanan Sosial, dan bidang Hasil

Hutan Bukan Kayu (HHBK).

Tamu undangan yang berbahagia,

BP2LHK Manado telah melakukan berbagai sinergi dalam upaya pelestarian

sumber daya alam, melalui kerjasama penelitian dan pengembangan yang

diantaranya :

1. Kerjasama dengan MASYARAKAT/KELOMPOK TANI :

a. Pengembangan murbei unggul dan ulat sutera hibrid yang berlokasi di

Tomohon,

b. Pilot Teknologi Inokulasi Gaharu pada Tegakan Gaharu Masyarakat di

Sulawesi Utara dan Gorontalo yang berlokasi di Bolaang Mongondow

Timur dan Minahasa Selatan,

c. Penguatan Kelembagaan Masyarakat Pulau Perbatasan Berbasis

Kehutanan bersama elemen masyarakat dan aparatur pemerintahan di

Page 10: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

ix

Pulau-pulau diperbatasan dengan Filipina yaitu Pulau Miangas, Marampit

dan Marore, termasuk dalam gugusan Kepulauan Talaud.

2. Kerjasama dengan PEMDA :

a. Dinas Lingkungan Hidup Kab Minahasa Tenggara tentang

“Pengembangan demplot kebun benih dan konservasi eksitu Eboni

(Diospyros spp)” berlokasi di Kebun Raya Megawati Ratatotok,

b. KPHP Unit IV Poigar tentang “Upaya Penanganan Konflik Tenurial di

KPHP Model Poigar Melalui Pengembangan Kemitraan Kehutanan” di

Poigar Minahasa Selatan [kebetulan kami undang pula perwakilan

kelompok taninya],

c. KPHL Unit VI tentang “Teknologi Pemanfaatan Pakoba Sebagai Tanaman

Hutan Berpotensi Obat” di Hutan Kenangan Minahasa Utara.

3. Kerjasama dengan PERUSAHAAN/SWASTA :

a. PT. Antam Tbk. tentang “Reklamasi Lahan Bekas Tambang Nikel Melalui

Fitoremediasi dan Bioremediasi” di Buli, Halmahera Timur, Maluku Utara

[sekaligus sponsor seminar ini kami ucapkan banyak terima kasih],

b. PT. Cargill Indonesia di Amurang yang sejak 2015 berperan banyak di

Anoa Breeding Centre (ABC), mulai dengan Pembangunan Kandang

anoa, bantuan tenaga dokter hewan, pembangunan Klinik Hewan serta

Pemanfaatan Limbah Sabut Kelapa Sebagai Media Tumbuh Jamur Tiram

Putih,

c. PT. J Resoures Bolaang Mongondow tentang “Konservasi Anoa Sebagai

Upaya Pelestarian Fauna Asli Sulawesi”,

d. PT. Meares Soputan Mining – PT. Tambang Tondano Nusajaya tentang

“Pemberian Bantuan Peningkatan Fasilitas ABC”.

4. Kerjasama dengan LSM/NGO :

a. Wallacea Nature yang dipimpin oleh Simon Purser yang turut mendukung

berbagai kegiatan BP2LHK Manado, termasuk seminar kali ini. Beliau

hadir dan bersedia menjadi pembicara tamu hari ini,

b. Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan (LPTP) Manado tentang

”Konservasi Keanekaragaman Jenis Flora dan Fauna (KEHATI)” di Taman

Hutan Aqua Lestari Minahasa Utara, dll.

5. Kolaborasi Lingkup KLHK :

a. BKSDA Sulawesi Utara tentang “Konservasi Eksitu Anoa dan Hutan

Penelitian di Batu Angus”

Page 11: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

x

b. BBKSDA Sulawesi Selatan tentang “Konservasi Keanekaragaman Jenis

Fauna Indonesia”

c. TN. Bogani Nani Wartabone tentang “Kajian Potensi Sosial dan Budaya

Masyarakat Sekitar Taman Nasional Bogani Nani Wartabone dalam Upaya

Mendukung Pelestarian Anoa (Bubalus spp.) sebagai satwa terancam

punah”

d. BPDASHL Tondano tentang “Persemaian Permanen di Kima Atas”

[dimana salah satu programnya adalah pengadaan bibit gratis untuk

masyarakat].

Peserta seminar yang terhormat,

Pada kesempatan ini saya selaku penanggung jawab acara ini mengucapkan

terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Kepala Badan Litbang dan

Inovasi LHK yang diwakili oleh Ibu Dr. Yayuk Siswiyanti, S.Hut, M.Si (Kabid.

Program dan Evaluasi Pusat Litbang Hutan) untuk berkenan membuka

seminar ini. Ucapan Terimakasih juga saya sampaikan kepada SEAMEO

BIOTROP yang telah ikut berpartisipasi menyelenggarakan acara seminar

pada hari ini, dimana SEAMEO BIOTROP telah menjadi mitra BP2LHK

Manado sejak 2012 melalui Inseminasi Buatan sejak awal merintis kegiatan

Anoa Breeding Centre. Kami agendakan untuk menggaungkan kembali

kerjasama kami melalui penandatangan Naskah Kesepahaman hari ini

bersama Bapak Direktur Irdika Mansur.

Kami ucapkan terima kasih juga untuk Wallacea Nature, PT. Antam Tbk. dan

Bank Mandiri atas dukungannya sehingga seminar ini dapat terlaksana

dengan lebih baik. Saya juga menyampaikan terimakasih yang sebesar-

besarnya kepada segenap pemakalah dan tamu undangan yang berkenan

menyediakan waktunya untuk berpartisipasi dalam acara seminar ini. Tidak

lupa kepada tim panitia penyelenggara seminar BP2LHK Manado yang telah

menyelenggarakan acara ini dengan baik dari awal persiapan hingga pada

berlangsungnya acara pada hari ini.

Akhir kata, saya berharap semoga hasil seminar ini dapat membuka

wawasan kita untuk membangun sinergitas dalam upaya-upaya pelestarian

sumber daya alam dan memberikan manfaat dan dampak positif yang lebih

besar, serta meningkatkan kelestarian hutan.

Page 12: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

xi

Demikian sambutan saya, semoga Allah SWT senantiasa memberikan

bimbingan kepada kita semua.

Torang Samua Basudara

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Kepala BP2LHK Manado

Ir. Dodi Garnadi, M.Si

NIP. 19670913 199203 1 001

Page 13: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

xii

SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG DAN INOVASI

SEMINAR NASIONAL

MENINGKATKAN SINERGITAS DALAM UPAYA PENGELOLAAN

SUMBER DAYA ALAM

MANADO, 24 OKTOBER 2018

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua

Syallom..

Yang terhormat:

1. Direktur Seameo Biotrop, Dr. Irdika Mansur

2. Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem atau

yang mewakili

3. Kepala Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Sulawesi

4. Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati

5. Kepala Pusat Penelitian Pengembangan Lingkup Kementerian

Lingkungan Hidup dan Kehutanan

6. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara

7. Para Kepala UPT Lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan

8. Para Akademisi

9. Para Pejabat Struktural dan Fungsional

10. Para Tamu Undangan dan Peserta Rapat yang berbahagia

Pertama-tama marilah kita memanjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan

Yang Maha Kuasa atas Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga pada hari ini kita

semua dapat bersama sama hadir dalam acara Seminar Nasional

“Meningkatkan Sinergitas Dalam Upaya Pelestarian Sumber Daya Alam”.

Hadirin yang berbahagia,

Pada kesempatan ini, perkenankanlah saya terlebih dulu mengucapkan

selamat datang di Provinsi Sulawesi Utara, bumi nyiur melambai yang indah

kepada semua peserta, pemakalah, dan semua hadirin yang saya hormati

dan saya banggakan.

Page 14: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

xiii

Peserta seminar yang saya hormati,

Saya sangat mengapresiasi kegiatan Seminar Nasional yang bertema

“Meningkatkan Sinergitas Dalam Upaya Pelestarian Sumber Daya Alam”.

Mengangkat kata Sinergitas, satu kata namun berat untuk dicapai tetapi

harus terus kita upayakan. Sinergitas berarti adanya hubungan, kerjasama

unsur/bagian/fungsi/instansi/lembaga yang menghasilkan suatu tujuan yang

lebih baik dan lebih besar. Indonesia kaya akan sumberdaya alam dan

diharapkan mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Sehingga

diperlukan usaha bersama dan sinergi baik antara pemerintah, masyarakat,

peneliti, lembaga riset maupun private sector baik dalam pengelolaan

maupun pelestariannya.

Hadirin yang saya hormati,

Peran strategis KLHK mencakup : Pertama: menjaga kualitas lingkungan

hidup dan daya dukung, kualitas air, kualitas udara dan kualitas lahan yang

dapat mendukung kehidupan, pengendalian pencemaran, pengelolaan DAS,

keanekaragaman hayati dan perubahan iklim; Kedua : menjaga jumlah dan

fungsi hutan serta isinya yang meliputi menjaga jumlah hutan (lindung dan

konservasi) yang memadai untuk menopang kehidupan yang mencakup

penyediaan hutan produksi dan APL untuk kegiatan social ekonomi

masyarakat, menjaga jumlah flora, fauna dan endangered species; serta

Ketiga : menjaga keseimbangan ekosistem dan keberadaan SDA untuk

kelangsungan kehidupan yang meliputi menjaga kelangsungan ekosistem

untuk keseimbangan alam dan kehidupan, menjaga DAS dan sumber mata

air untuk ketersediaan air dan menjaga daya dukung fisik ruang dan kualitas

ruang.

Hadirin yang berbahagia,

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengemas kebijakan

pengelolaan hutan untuk mewujudkan sinergitas dalam upaya pelestarian

sumberdaya alam melalui Undang-Undang dan Peraturan Menteri

Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Peraturan yang mendukung pelestarian

sumber daya alam adalah UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, sedangkan kebijakan yang

mendukung rehabilitasi lahan adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup

dan Kehutanan Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang

Perhutanan Sosial. Rehabilitasi lahan hutan saat ini melibatkan peran serta

masyarakat melalui program hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan

Page 15: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

xiv

tanaman rakyat, kemitraan kehutanan, dan hutan adat. Sedangkan pada

kegiatan konservasi, tantangan perlindungan dan pengelolaan hutan di

Indonesia seringkali datang dari masyarakat lokal di sekitar hutan. Padahal

kelestarian pengelolaan hutan sangat tergantung kepada partisipasi

masyarakat lokal dalam pengelolaannya.

Hadirin sekalian yang berbahagia,

Potensi pemanfaatan hutan merupakan penerapan Nawacita dari sektor

kehutanan, yang ditandai dengan indeks kualitas lingkungan hidup harus

lebih baik yang artinya kualitas air, udara, dan land cover juga harus lebih

baik.

Potensi pemanfaatan hutan dan pasokan bahan baku industri tahun 2045,

dapat menghasilkan devisa US$ 97,51 milyar/tahun, atau setara dengan 8,9

kali devisa tahun 2017. Hal ini dapat terwujud melalui konfigurasi bisnis baru

kehutanan yaitu industri berbasis hasil hutan bukan kayu, pengembangan

agroforestry, ekowisata, jasa lingkungan, dan bio energi (KLHK, 2018).

Realisasi hutan sosial per 4 Oktober 2018 seluas 2.010.156,81 juta ha yang

dialokasikan bagi sekitar 477.135 KK. Selama periode 2007-2014 telah

dikeluarkan izin seluas 449.104 ha, sedangkan pada periode 4 tahun Kabinet

Kerja telah dikeluarkan izin seluas 1.561.053 Ha atau sekitar 4 kali lipat

sebelum kabinet kerja (KLHK, 2018).

Peserta seminar yang saya hormati,

Salah satu agenda kerja presiden adalah untuk mendorong pertumbuhan

ekonomi dengan keberpihakan kepada masyarakat banyak (smallholders)

sejak tahun pertama hingga tahun keempat ini dan memasuki tahun kelima

mengarah kepada peningkatan SDM yang satu sama lain agenda besar ini

saling terkait untuk pemerataan pertumbuhan ekonomi. Aktualisasi

kebijakan presiden dalam lingkup KLHK yaitu dengan keberpihakan

pemerintah kepada masyarakat di dalam dan di sekitar hutan pada kurang

lebih 25 ribu Desa dan penduduknya yang relatif miskin (Harian Media

Indonesia, 19 Okt 2018). Aktualisasi kebijakan pemerataan ekonomi itu

didekati dari berbagai aspek seperti akses lahan untuk bekerja, berusaha

dan berpenghasilan melalui agenda perhutanan sosial untuk mewujudkan

masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan, berkelanjutan, ramah

lingkungan serta membangun kemandirian ekonomi.

Page 16: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

xv

Hadirin yang berbahagia,

Pertemuan ini merupakan salah satu upaya mendukung pencapaian

nawacita dari sektor kehutanan melalui penyampaian hasil penelitian bidang

Perhutanan Sosial, Konservasi Sumber Daya Alam, Hasil Hutan Bukan Kayu,

dan Jasa Lingkungan. Diharapkan hasil-hasil penelitian yang disampaikan

dapat memperkaya kebijakan dalam pengelolaan hutan di daerah masing-

masing untuk mencapai pengelolaan hutan yang terpadu dan lestari

sehingga masyarakat dapat menikmati keberadaan hutan.

Peserta seminar yang berbahagia,

Ucapan selamat saya sampaikan kepada seluruh panitia pelaksana dari Balai

Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado,

yang telah mempersiapkan acara ini dari awal hingga terselenggara dengan

baik pada hari ini. Semoga acara ini dapat mendukung terciptanya sinergitas

dan keterpaduan pengelolaan hutan Indonesia, secara khusus di bumi nyiur

melambai Sulawesi Utara.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Pakatuan Wo Pakalawiren...

Kepala Badan Litbang dan Inovasi

Dr. Ir. Agus Justianto, M.Sc

Page 17: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

xvi

RUMUSAN

Dengan memperhatikan arahan Kepala Badan Litbang Kehutanan,

penyampaian materi dari “Keynote speech”, presentasi dan diskusi yang

berkembang dalam persidangan serta saran-saran dari peserta, maka

Seminar yang bertema “Meningkatkan Sinergitas Dalam Upaya

Pelestarian Sumber Daya Alam” yang diselenggarakan pada 24 Oktober

2018 di Manado, merumuskan hal-hal sebagai berikut:

1. Letak geografis Indonesia yang sangat strategis diantara dua benua dan

dua samudera serta dikelilinggi oleh jajaran gunung berapi menjadikan

Indonesia sebagai negara yang subur dan kaya akan sumberdaya alam.

Posisi geografi, sejarah geomorfologi dan luasan Indonesia menyebabkan

terbentuknya habitat-habitat yang sangat beragam dan dapat dihuni oleh

beragam jenis makhluk hidup. Tidak hanya di daratan, keragaman hayati

juga terbentuk di lautan.

2. Daratan Indonesia terbagi menjadi Nusantara bagian barat (Sunda) yang

jenis-jenis hidupannya serupa dengan jenis-jenis di daratan Asia,

Nusantara bagian timur (Sahul) yang hidupannya serupa dengan jenis-

jenis di daratan Australia, serta daerah peralihan (ecoton) Wallacea yang

hidupannya mirip di daratan Asia maupun daratan Australia dengan

keunikan dan endemismenya yang tinggi. Ketiga Kawasan tersebut

dikenal memiliki jenis hidupan yang berbeda. Disamping itu lautan

Indonesia dikenal sebagai bagian utama dari segitiga koral dunia (Coral

Triangel) dimana jenis-jenis hidupannya yang sangat beragam tumbuh

maupun hidup didalamnya.

3. Hidupan yang sangat beragam tersebut memberikan jasa ekosistem yang

sangat beragam pula. Sejumlah bahan pangan, bahan obat dan bahan

baku industry telah dihasilkan atau diproduksi dari hidupan tersebut.

Sejumlah besar potensi telah diketahui dan kini menunggu untuk

diproduksi secara massal, sementara itu sejumlah potensi lainnya masih

tersimpan di alam menunggu untuk ditemukan. Sayangnya degradasi

alam lingkungan di Indonesia adalah salah satu yang tercepat di dunia,

sehingga jumlah besar potensi tersebut diatas dikhawatirkan tidak

pernah terungkap hingga kepunahannya.

4. Di daratan; penebangan hutan secara liar yang kini dilanjutkan dengan

konversi baik hutan yang masih alamiah atau lahan-lahan berakibat

penebangan menjadi perkebunan merupakan ancaman utama kelestarian

Page 18: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

xvii

keanekaragaman hayati. Sementara itu, di lautan penangkapan biota

laut secara illegal, tidak dilaporkan dan tidak dicatat merupakan ancaman

terbesar keanekaragaman hayati. Hal ini merupakan tantangan utama

pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia.

5. Dalam seminar nasional ini diungkapkan berbagai potensi alam

Indonesia, baik untuk konservasi keanekaragaman hayati (KKH),

jasa lingkungan (cadangan carbon, mitigasi perubahan iklim, jasa

lingkungan untuk sumberdaya air, ekowisata dan untuk keperluan lain,

serta upaya pelestariannya), perhutanan sosial dan hasil hutan

bukan kayu (HHBK).

6. Dari hasil seminar nasional ini secara ringkas dapat dirumuskan bahwa

kekayaan SDA dan kekayaan biodiversitas Indonesia adalah sangat luar

biasa dan sangat berpotensi untuk menjamin kedaulatan bangsa dalam

hal bahan pangan, bahan obat dan bahan baku industry.

7. Sinergitas dapat dilakukan melalui kerjasama/kemitraan/ kolaborasi

sehingga perlu meningkatkan mutual trust dan mutual benefit antara

para pihak sehingga pada tataran pelaksanaan, sinergitas para pihak

dapat berjalan sebagimana yang diharapkan, untuk menjaga terjaminnya

kelestarian SDA dan keanekaragaman hayati. Ke depan, diperlukan

adanya peta prioritas pengelolaan sumberdaya alam yang “small dan

impact full” namun sinergis antara pemerintah pusat, pemerintah

daerah, akademisi, masyarakat, private sector dan lembaga-lembaga

lainnya.

Dirumuskan di : Manado

Pada Tanggal : 24 Oktober 2018

Tim Perumus :

1. Julianus Kinho, S.Hut., M.Sc.

2. Diah Irawati Dwi Arini, S.Hut., M.Sc.

3. Arif Irawan, S.Si.

Page 19: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional…….. AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, & Ammy Nurwati

1

Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi1

Ecosystem Restoration Based On Genetic Approach

in Gunung Merapi National Park

AYPBC Widyatmoko2, Bangun Baramantya3, dan Ammy Nurwati3

ABSTRACT

The forest area around Mount Merapi has been designated as Gunung Merapi

National Park (GMNP) through a Decree of the Minister of Forestry No: SK. 3627

/ Menhut-VII / KUH / 2014 dated May 6, 2014 with an area of 6,607.52 ha.The

existence of Mount Merapi which can erupt at any time causes the ecosystem in

GMNP to have a high level of fragility. The eruption of Mount Merapi in 2010 had

a major impact on ecosystem damage so that the restoration of ecosystem

activities after the Merapi eruption in 2010 has become one of the priority

programs of the GMNP. Until now, various ecosystem restoration activities have

been carried out in the GMNP area based on the types of land cover in the GMNP

area, but the origin of the seedlings were from outside the GMNP area. Based on

Government Regulation No. 7 of 1999 concerning Preservation of Plant and Animal

Types, several important things for preservation of plants are maintaining genetic

purity, maintaining genetic diversity and location of planting as part of the original

distribution of this species. Therefore, ecosystem restoration activities in

conservation areas, such as in the GMNP area, should pay attention to these three

things. The material for ecosystem restoration in the GMNP area must come from

within the GMNP area. Information about genetic diversity and genetic distribution

patterns of a species in the GMNP area is important for the selection of genetic

sources in the context of restoration activities. This restoration plan is called

1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional Meningkatkan Sinergitas Dalam Upaya

Pelestarian Sumber Daya Alam, diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado dan SEAMEO BIOTROP, Manado 24 Oktober 2018

2 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta 55582, Telp/Fax. 0274-896080

3 Balai Taman Nasional Gunung Merapi, Jl. Kaliurang Km. 22,6, Hargobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta 55582, Telp. 0274-4478664, Fax. 0274-4478665; E-mail: [email protected]

Page 20: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

2

Ecosystem Restoration Based on Genetic Approach. The main activities of

Ecosystem Restoration Based on Genetic Approach that need to be done are

survey of location and collection of genetic material of potential flora species of

Mount Merapi, selection of reference population and establishment of permanent

measure plot, analysis of genetic diversity with DNA markers, multiplication of

genetic material by involving communities around the area, design, and

development of ecosystem restoration plots.

Keywords: genetic purity, conservation, DNA markers, Mount Merapi

I. PENDAHULUAN

Gunung Merapi merupakan salah satu gunung berapi aktif yang terletak

di bagian tengah Pulau Jawa, yang secara administratif berada di Provinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah. Kawasan sekitar

Gunung Merapi ditunjuk menjadi Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM)

dengan luas 6.410 Ha, melalui Keputusan Menteri Kehutanan SK Nomor

134/Menhut-II/2004 tanggal 04 Mei 2004, dan kemudian ditetapkan melalui

Surat Keputusan Menteri Kehutanan No: SK. 3627/Menhut-VII/KUH/2014

tanggal 6 Mei 2014 dengan luas 6.607,52 ha.

Wilayah TNGM berada pada ketinggian antara 600-2.968 mdpl, yang

tersebar di 4 (empat kabupaten), yaitu Kabupaten Sleman, Kabupaten

Magelang, Kabupaten Boyolali, dan Kabupaten Klaten. Wilayah TNGM yang

terdapat di 4 kabupaten tersebut juga terbagi menjadi 7 resort, yaitu Resort

Pakem-Turi, Resort Cangkringan, Resort Srumbung, Resort Dukun, Resort

Selo, Resort Musuk Cepogo, dan Resort Kemalang. Berdasarkan zonasinya,

kawasan TNGM juga terbagi menjadi 7 zona, yaitu Zona Inti, Zona Rimba,

Zona Pemanfaatan, Zona Rehabilitasi, Zona Khusus Mitigasi dan Rekonstruksi,

Zona Tradisional dan Zona Religi, Budaya dan Sejarah. Peta Resort dan zonasi

Taman Nasional Gunung Merapi dapat dilihat pada Gambar 1.

Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) memiliki beberapa

keunikan. Selain menyangga gunung api paling aktif di Indonesia, ekosistem

hutan di TNGM berfungsi sebagai daerah tangkapan air kawasan Provinsi

Jawa Tengah dan DIY, habitat berbagai flora dan fauna yang dilindungi,

kantong berbagai plasma nutfah yang potensial, serta fungsi sosial, dan

religius (Dove, 2008). Marhaento dan Farida (2015) menyebutkan bahwa

keberadaan Gunung Merapi yang dapat meletus sewaktu-waktu dapat

menyebabkan ekosistem di TNGM memiliki tingkat kerapuhan yang tinggi.

Karakteristik Gunung Api Merapi yang secara periodik selalu meletus

Page 21: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional…….. AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, & Ammy Nurwati

3

menyebabkan perubahan pula terhadap ekosistemnya. Soewandita dan

Sudiana (2014) menyampaikan bagaimana melakukan analisis penggunaan

dan kesesuaian lahan berdasarkan potensi bahaya letusan Gunung Merapi,

sedangkan Pujiasmanto (2011) menyampaikan strategi pemulihan lahan

pasca erupsi gunung api.

Gambar 1. Peta Resort dan Zonasi Taman Nasional Gunung Merapi

Salah satu peristiwa erupsi Gunung Merapi yang berdampak pada

kerusakan ekosistem dalam skala besar adalah erupsi tahun 2010. Hasil

klasifikasi kelas kerusakan kawasan dari citra LANDSAT dan survey lapangan

menunjukkan bahwa akibat erupsi Gunung Merapi Tahun 2010, kawasan

TNGM mengalami 3 kelas tingkat kerusakan. Kerusakan berat terjadi pada

kawasan seluas ±1.242 ha (19,37%), kerusakan sedang seluas ±1.208 ha

(18,84%) dan kerusakan ringan seluas 2.544 ha (39,68%). Sisa kawasan

TNGM lainnya adalah medan lava dan lahar seluas 1.416 ha (22,11%) yang

sudah ada sejak sebelum erupsi 2010. Tidak dijumpai kelas tidak terdampak

Page 22: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

4

erupsi karena seluruh kawasan TNGM menunjukkan adanya jejak abu vulkanik

sehingga kelas terdampak paling rendah adalah kerusakan ringan.

Saat ini, kegiatan pemulihan ekosistem paska erupsi Merapi 2010 telah

menjadi salah satu program prioritas Balai TNGM. Di dalam mendukung

kegiatan tersebut, melalui kerjasama dengan Balai TNGM, berbagai pihak

telah terlibat. Tercatat beberapa pihak, baik akademisi (Fakultas Kehutanan

UGM), LSM (JICA, Sumitomo), kelompok masyarakat maupun mitra lainnya

telah melakukan pemulihan ekosistem di kawasan TNGM. Meski demikian,

praktek pemulihan ekosistem kawasan TNGM hingga saat ini belum

menggunakan informasi keragaman genetik dari jenis-jenis tumbuhan di

kawasan TNGM sebagai salah satu pertimbangan teknis yang perlu

diperhatikan dalam melakukan pemulihan ekosistem. Hal inilah yang

mendorong perlunya dilakukan kegiatan bersama antara Balai TNGM dan Balai

Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman

Hutan (B2P2BPTH) Yogyakarta dalam bentuk “Kegiatan Bersama Penguatan

Fungsi Pengawetan Jenis-jenis Tumbuhan Lokal melalui Pembuatan Demplot

Restorasi di Kawasan TNGM”.

II. RESTORASI EKOSISTEM BERBASIS GENETIK

Definisi restorasi ekosistem, menurut P.48/Menhut-II/2014 tentang Tata

Cara Pelaksanaan Pemulihan Ekosistem pada Kawasan Suaka Alam dan

Kawasan Pelestarian Alam, adalah suatu tindakan pemulihan terhadap

ekosistem yang mengalami kerusakan fungsi berupa berkurangnya penutupan

lahan, kerusakan badan air atau bentang alam laut serta terganggunya status

satwa liar, biota air, atau biota laut melalui tindakan penanaman, rehabilitasi

badan air atau rehabilitasi bentang alam laut, pembinaan habitat dan populasi

untuk tujuan tercapainya keseimbangan sumberdaya alam hayati dan

ekosistemnya mendekati kondisi aslinya. Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana

Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan menyebutkan bahwa restorasi

ekosistem dilakukan dengan mempertahankan fungsi hutan melalui berbagai

kegiatan sehingga dapat tercapai keseimbangan hayati dan ekosistemnya, serta

untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, kegiatan

restorasi ekosistem bertujuan untuk memulihkan ekosistem yang telah

terdegradasi, rusak atau musnah ke kondisi awal atau menyerupai kondisi

awal (SER Primer, 2004). Pulihnya suatu ekosistem apabila ekosistem tersebut

telah memiliki cukup sumberdaya biotik dan abiotik untuk terus berkembang

tanpa bantuan atau campur tangan manusia serta dapat melestarikan fungsi

Page 23: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional…….. AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, & Ammy Nurwati

5

dan strukturnya sendiri dan memiliki resiliensi terhadap tekanan dan

gangguan lingkungan (SER Primer, 2004). Hingga saat ini belum banyak

dilaporkan mengenai pengaruh dari restorasi genetik untuk flora.

Thongkumkoon et al. (2019) melaporkan keragaman genetik 3 jenis Fagaceae

pada percobaan restorasi hutan. Untuk fauna, telah dilaporkan pengaruh

restorasi genetik untuk jenis panther (Johnson et al., 2010; Hostetler et al.,

2013) dan prairie-chickens (Bateson et al., 2014). Dalam kegiatan restorasi,

perlu dilakukan analisis mengenai kriteria penetapan prioritas tipe restorasi

untuk menentukan lokasi mana yang perlu dilakukan kegiatan pemulihan

fungsi habitat, hidrologi, dan lain-lain (Gunawan dan Subiandono, 2014).

Dalam melakukan kegiatan restorasi ekosistem, diperlukan strategi untuk

berbagai tujuan, temasuk diantaranya untuk meningkatkan keuntungan

secara ekologi maupun ekonomi (Franklin dan Johnson, 2012).

Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis

Tumbuhan dan Satwa, merupakan salah satu dari Peraturan Pemerintah yang

dapat digunakan sebagai dasar dalam melakukan kegiatan restorasi ekosistem

kawasan yang dilindungi, seperti Taman Nasional Gunung Merapi. Beberapa

hal penting yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah tersebut yang perlu

diperhatikan adalah sebagai berikut:

1. Menjaga kemurnian genetik dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan

satwa (Pasal 2b)

2. Memelihara keseimbangan dan kemantapan ekosistem yang ada, agar

dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia secara berkelanjutan

(Pasal 2c)

3. Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dilakukan melalui kegiatan

pengelolaan di dalam habitatnya (in-situ) (Pasal 8a)

4. Dalam mendukung kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dilakukan kegiatan pengelolaan di luar habitatnya (eks-situ) untuk

menambah dan memulihkan populasi (Pasal 8b)

5. Pengembangbiakan jenis di luar habitatnya wajib memenuhi syarat yaitu

menjaga kemurnian genetik, menjaga keanekaragaman genetik dan

melakukan penandaan (Pasal 16).

Variasi genetik suatu jenis tanaman sangat diperlukan oleh tanaman

tersebut untuk dapat beradaptasi pada kondisi lingkungan yang berubah

untuk mempertahankan eksistensinya, baik jangka pendek maupun jangka

panjang. Perubahan lingkungan merupakan proses yang secara nyata

berlangsung secara kontinyu. Oleh karenanya, suatu jenis tanaman harus

Page 24: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

6

mampu untuk mempertahankan keragaman genetiknya agar tidak menjadi

semakin menurun populasinya atau bahkan bisa menjadi punah.

Berkurangnya keragaman genetik suatu jenis tanaman, menyebabkan

berkurangnya kemampuan adaptabilitas untuk mempertahankan hidupnya

dan kemampuan reproduksinya. Thomas et al. (2014) dan Reynolds et al.

(2012) menegaskan pentingnya menggunakan jenis tanaman asli untuk

mempertahankan genetik dalam kegiatan restorasi ekosistem. Ruiz-Jaen dan

Mitchell (2005) serta Reusch dan Hughes (2006) mengatakan bahwa dengan

memberikan perhatian kepada keragaman materi genetik yang digunakan,

baik keragaman antar jenis maupun di dalam jenis, akan berpengaruh positif

terhadap keberhasilan kegiatan restorasi ekosistem

Informasi mengenai keragaman genetik sangat diperlukan untuk

mengetahui kondisi yang ada saat ini dalam rangka konservasi jenis-jenis

tumbuhan lokal di TNGM. Data pola sebaran genetik dari suatu jenis tanaman

yang ada di kawasan TNGM menjadi penting untuk pemilihan sumber genetik

dalam rangka kegiatan restorasi. Rencana restorasi ekosistem yang

menggunakan informasi keragaman genetik dan pola persebarannya inilah

yang disebut dengan restorasi ekosistem berbasis genetik. Baramantya et al.

(2016) melaporkan keragaman genetik puspa yang ditanam di kawasan

Gunung Merapi.

III. KEGIATAN RESTORASI EKOSISTEM BERBASIS GENETIK

Restorasi ekosistem yang merupakan proses pemulihan suatu ekosistem

tentunya memerlukan berbagai kegiatan agar ekosistem yang telah

terdegradasi, rusak atau musnah dapat kembali pada kondisi awal atau

menyerupai kondisi awal. Seperti yang tercantum pada P.48/Menhut-II/2014,

kegiatan restorasi ekosistem di kawasan konservasi antara lain berupa

penanaman serta pembinaan habitat dan populasi. Kegiatan kerjasama antara

TNGM dan B2P2BPTH secara garis besar tidak berbeda jauh dari kegiatan

restorasi ekosistem yang selama ini sudah dilakukan.Kegiatan pada restorasi

ekosistem berbasis genetik di TNGM adalah sebagai berikut:

1. Survei populasi dan potensi jenis-jenis potensial Gunung Merapi, antara

lain: sarangan/saninten (Castanopsis argentea), tesek (Dodonaea

viscosa), puspa (Schima wallichii), pasang (Lithocarpus sp.), sowo

(Engelhardia spicata), dadap duri (Erythrina lithosperma) dan beberapa

jenis dari family Orchidaceae;

2. Pemilihan populasi referensi dan pembuatan Petak Ukur Permanen (PUP);

3. Pengumpulan materi genetik;

Page 25: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional…….. AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, & Ammy Nurwati

7

4. Analisa keragaman genetik menggunakan penanda DNA;

5. Perbanyakan secara vegetatif dan generatif;

6. Pengayaan menggunakan jenis-jenis asli TNGM;

7. Pembuatan desain dan pembangunan demplot restorasi;

8. Pelibatan masyarakat.

A. Survei populasi dan potensi jenis-jenis potensial

Kegiatan inventarisasi dan identifikasi jenis-jenis pohon asli dilakukan

bersamaan dengan kegiatan analisis vegetasi. Inventarisasi jenis pohon asli

dilakukan dengan cara membuat daftar jenis pohon dan mencocokkan dengan

deskripsi sebaran alaminya yang ada di referensi terpercaya seperti Buku

Tumbuhan Berguna Indonesia (Heyne, 1987) dan Buku Flora Pegunungan

Jawa (van Steenis, 2006), atau buku-buku yang relevan dari serial PROSEA

(Plant Resources of South-East Asia). Identifikasi jenis pohon asli meliputi

pengenalan jenis secara morfologi, fenologi, ekologi (tempat tumbuh dan

sebarannya) serta kegunaannya.

Perlunya tindakan penanaman kembali areal terdegradasi membawa

konsekuensi kebutuhan bibit. Salah satu syarat bibit untuk tanaman restorasi

adalah harus merupakan jenis asli setempat. Untuk itu perlu dilakukan

inventarisasi dan identifikasi jenis-jenis pohon asli Gunung Merapi. Informasi

yang diperlukan dari jenis-jenis pohon asli tersebut adalah: status keaslian

(endemisitas), distribusi geografis, sebaran menurut elevasi di Gunung Merapi,

fungsi atau peranan dalam ekosistem, kegunaan bagi masyarakat, teknik

perbanyakan atau regenerasi, kesesuaian tumbuh dengan tapak khusus, dan

sifat-sifat khusus seperti jenis toleran, intoleran, pionir atau klimaks. Gunawan

et al. (2012) telah mengidentifikasi 50 jenis pohon asli Gunung Merapi yang

dapat digunakan sebagai tanaman restorasi Gunung Merapi.

Kegiatan survei potensi dan populasi jenis-jenis yang terdapat di TNGM

difokuskan pada beberapa spesies, yaitu sarangan/saninten (Castanopsis

argentea), tesek (Dodonaea viscosa), puspa (Schima wallichii), pasang

(Lithocarpus sp.), sowo (Engelhardia spicata), dadap duri (Erythrina

lithosperma) dan beberapa jenis dari family Orchidaceae. Jenis-jenis ini dipilih

karena selain merupakan jenis asli Gunung Merapi, potensi dan sebaran

populasinya masih cukup tersedia sehingga akan sangat membantu di dalam

pemetaan struktur genetik jenis-jenis yang berada di kawasan TNGM.

B. Pemilihan populasi referensi dan pembuatan PUP

Kegiatan restorasi ekosistem memerlukan populasi referensi untuk

menjadi dasar untuk mengembalikan kondisi hutan yang telah terdegradasi

Page 26: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

8

atau rusak. Kegiatan restorasi ekosistem berbasis genetik yang dilakukan di

TNGM juga membutuhkan populasi referensi agar seluruh kegiatan yang

mengarah pada kondisi populasi referensi tersebut. Untuk itu, salah satu

kegiatan yang dilakukan adalah memilih beberapa populasi yang berada di

kawasan TNGM yang sama sekali tidak mengalami gangguan baik oleh erupsi

maupun gangguan lainnya, atau mungkin hanya sedikit sekali gangguan yang

ada. Selanjutnya, Petak Ukur Permanen (PUP) dibangun pada populasi

referensi tersebut sebagai lokasi permanen untuk pengukuran dan

pengumpulan data yang dilakukan secara berkala. PUP dibangun berbentuk

persegi panjang dengan ukuran 50 meter X 20 meter untuk pengukuran

pohon dan tiang. Di dalam petak tersebut dibangun 3 buah sub-petak,

masing-masing berukuran 5 meter X 5 meter untuk pengukuran tumbuhan

bawah, semai dan sapihan. Beberapa informasi yang diperoleh dari hasil

pengukuran dan pengamatan yang berkala pada populasi referensi tersebut

antara lain:

- Jenis-jenis tanaman yang ada, mulai dari tingkat perdu sampai tingkat

pohon;

- Perbandingan jumlah individu antar jenis-jenis yang ada;

- Perbandingan penutupan tajuk dari masing-masing jenis;

- Tinggi dan diameter tingkat pancang sampai dengan pohon untuk masing

jenis-jenis pohon;

- Perbandingan antara jumlah pohon, tiang, pancang dan semai untuk

luasan tertentu.

C. Pengumpulan materi genetik

Kegiatan pengumpulan materi genetik, baik untuk analisis keragaman

genetik maupun untuk kegiatan penanaman menjadi sangat penting untuk

keberhasilan dari keseluruhan kegiatan. Materi genetik yang cukup untuk

masing-masing populasi dan tersebar di kawasan TNGM akan memberikan

informasi yang lengkap untuk keragaman genetik dan dapat mewakili sebaran

genetik dari kawasan TNGM. Di dalam kegiatan pengumpulan materi genetik

ini, beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:

1. Pemilihan pohon induk

Pohon induk yang dipilih sebagai indukan untuk pengumpulan materi

genetik adalah yang secara fenotipik lebih baik daripada pohon lainnya.

Selain faktor fenotipik, sebaran dari pohon induk juga harus diperhatikan

untuk mengurangi hubungan kekerabatan yang dekat antar pohon induk

dan dapat mewakili keberadaan pohon-pohon di dalam suatu populasi.

Page 27: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional…….. AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, & Ammy Nurwati

9

2. Pengumpulan biji

Biji yang dikumpulkan sebisa mungkin dipisahkan per pohon induk, dengan

tujuan agar keterwakilan masing-masing pohon induk nantinya akan lebih

proporsional di dalam pembangunan plot penanaman maupun pengayaan.

Biji yang telah masak diunduh dari atas pohon dan dimasukkan dalam

kantong plastik yang berbeda dengan pohon induk lainnya. Apabila biji

yang dikumpulkan berada di bawah pohon, perlu dipastikan bahwa biji

tersebut berasal dari pohon yang telah diketahui atau tidak bercampur

dengan pohon lainnya.

3. Pelabelan

Apabila biji telah terkumpul, maka masing-masing diberi label dengan

penomoran yang mudah dimengerti oleh semua pihak dan bisa

membedakan dengan biji dari pohon lainnya, baik yang berasal dari

populasi yang sama atau populasi yang berbeda.

D. Analisis keragaman genetik menggunakan penanda DNA

Kegiatan analisis keragaman genetik menggunakan penanda DNA

merupakan kegiatan penting karena informasi yang diperoleh akan digunakan

untuk mengetahui sebaran genetik dari jenis-jenis yang terdapat di TNGM,

untuk menentukan sumber benih dan untuk menyusun strategi penanaman

dalam rangka restorasi ekosistem. Beberapa kegiatan yang dilakukan dalam

kegiatan ini adalah sebagai berikut:

1. Pemilihan sampel untuk analisis

Sampel yang digunakan untuk kegiatan analisis keragaman genetik dapat

berupa daun atau kambium dari sampel pohon yang mewakili populasi.

Sampel ini bisa berasal dari pohon-pohon induk yang telah dipilih, tetapi

bisa juga berasal dari pohon-pohon lain yang bukan pohon induk karena

tujuannya adalah ingin mengetahui keragaman genetik dari suatu

populasi. Yang terpenting di dalam kegiatan ini adalah sampel yang

digunakan harus bisa mewakili sebaran dari keseluruhan pohon yang

terdapat di dalam suatu populasi.

2. Analisis keragaman genetik menggunakan penanda DNA

Penanda yang digunakan di dalam analisis keragaman genetik adalah

Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD). Pemilihan penanda DNA ini

didasarkan pada beberapa hal, yaitu biaya, peralatan yang dibutuhkan,

dan ketersediaan informasi mengenai penanda DNA yang akan digunakan.

Walaupun memiliki kekurangan, penanda RAPD lebih mudah dan murah

dibandingkan dengan penanda DNA lainnya serta tidak membutuhkan

Page 28: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

10

primer khusus. Selain itu, penanda RAPD merupakan penanda yang cukup

banyak digunakan untuk analisis keragaman genetik karena tingkat

polimorfismenya yang cukup tinggi.

3. Pengelompokan populasi berdasarkan jarak genetik antar populasi

Hasil analisis menggunakan penanda DNA yang diharapkan adalah

keragaman genetik masing-masing jenis di wilayah TNGM dan jarak

genetik antar populasi. Berdasarkan informasi yang dihasilkan tersebut,

akan dilakukan pengelompokan populasi di wilayah TNGM.

Pengelompokan ini akan bermanfaat di dalam menentukan sumber benih

maupun asal-usul bibit yang akan ditanam pada suatu lokasi.

E. Perbanyakan secara vegetatif dan generatif

Kegiatan restorasi ekosistem berbasis genetik ini sangat berkaitan

dengan ketersediaan bibit dan asal-usul bibit yang akan digunakan di dalam

kegiatan penanaman. Untuk itu, harus dipastikan bahwa bibit yang ditanam

di suatu lokasi di TNGM haruslah berasal dari populasi yang disepakati dengan

jumlah yang cukup. Untuk mencukupi kebutuhan bibit dalam kegiatan

penanaman, berbagai upaya perbanyakan perlu dilakukan, baik perbanyakan

secara generatif maupun vegetatif.

Seperti disampaikan di atas, untuk tetap menjaga asal-usul biji maka

mulai dari pengumpulan di lapangan perlu dilakukan pelabelan yang jelas

dengan memisahkan biji yang berasal dari pohon yang berbeda. Pemisahan

bibit juga perlu dilakukan di persemaian agar tidak tercampur antara bibit

yang berasal dari pohon dan populasi yang berbeda (Gambar 2). Untuk

perbanyakan secara vegetatif, tidak jauh berbeda dengan biji. Sejak dari

pengambilan materi vegetatif di lapangan, harus dipisahkan antara pohon

yang berbeda dan diberi label yang jelas. Perbanyakan vegetatif di

persemaian (melalui stek) perlu dipisahkan antara hasil stek dari pohon dan

populasi yang berbeda.

Page 29: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional…….. AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, & Ammy Nurwati

11

Gambar 2. Pembibitan tesek berdasarkan masing-masing pohon induk

F. Pengayaan menggunakan jenis-jenis asli TNGM

Erupsi di kawasan TNGM menyebabkan beberapa lokasi mempunyai

tutupan lahan yang sedikit dan atau jumlah jenis maupun individu yang

sedikit. Oleh karena itu, kegiatan pengayaan perlu dilakukan di lokasi tersebut

dengan penanaman jenis-jenis yang sebelumnya ada di situ atau jenis yang

masih ada tetapi jumlah individunya sedikit. Mengingat tujuan dari kegiatan

ini tidak sekedar menambah jumlah pohon yang ada tetapi juga

memperhatikan asal-usul dari bibit yang ditanam, maka kegiatan pengayaan

ini harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:

1. Jenis yang ditanam untuk kegiatan pengayaan sama dengan yang ada di

lokasi tersebut.

2. Jenis yang ditanam diutamakan dari 6 jenis yang diprioritaskan (seperti

disebut sebelumnya), selanjutnya bisa dipilih jenis-jenis lainnya.

3. Asal-usul bibit yang ditanam haruslah berasal dari lokasi yang sama atau

lokasi yang sangat berdekatan, atau dari populasi yang secara genetik

mempunyai hubungan kekerabatan yang sangat dekat dengan lokasi

tersebut berdasarkan hasil dari analisis menggunakan penanda DNA.

4. Bibit yang digunakan semaksimal mungkin berasal dari jumlah individu

pohon yang cukup untuk menghindari keragaman genetik bibit yang

rendah. Posisi penanaman dari juga diperhatikan agar bibit yang berasal

dari pohon induk yang sama tidak saling berdekatan untuk mengurangi

perkawinan kerabat di masa mendatang.

Page 30: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

12

G. Pembuatan Desain dan Pembangunan Demplot Restorasi

Kegiatan lain selain pengayaan yang perlu dilakukan adalah membangun

demplot restorasi. Berbeda dengan kegiatan pengayaan, pembangunan

demplot ini bertujuan untuk mengumpulkan materi genetik dari 6 jenis

prioritas yang disebutkan di atas dan ditanam di lokasi yang tidak ada

tanaman dari keenam jenis tersebut. Dengan demikian, demplot ini akan

berfungsi juga sebagai konservasi eks-situ dari keenam jenis yang ditanam di

luar populasinya, walaupun lokasi penanaman masih di dalam kawasan TNGM.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembangunan demplot ini adalah

sebagai berikut:

1. Materi genetik dari keenam jenis prioritas tersebut dikoleksi dari sebanyak

mungkin populasi yang berada di kawasan TNGM. Materi genetik bisa

berupa biji yang disemaikan atau berupa cabutan. Bibit dari masing-

masing populasi harus dipisahkan.

2. Bibit yang berasal dari pohon-pohon pada populasi yang sama, selanjutnya

dicampur dengan jumlah antar pohon yang seimbang mungkin

(tergantung dari ketersediaan bibit dari masing-masing pohon).

3. Luas dan desain penanaman demplot disusun berdasarkan ketersediaan

bibit dan jumlah populasinya. Bibit dari populasi yang berbeda ditanam

pada blok yang berbeda agar tidak tercampur.

4. Pemeliharaan, pengamatan dan evaluasi secara rutin dilakukan agar bibit

yang ditanam bisa tumbuh dengan baik. Apabila bibit tersedia, dapat

dilakukan penyulaman untuk tanaman yang mati. Bibit yang digunakan

untuk menyulam haruslah berasal dari populasi yang sama.

H. Pelibatan Masyarakat

Kegiatan restorasi ekosistem berbasis genetik ini perlu melibatkan

masyarakat, khususnya masyarakat sekitar kawasan TNGM, untuk berbagai

kegiatan yang dilakukan. Masyarakat sekitar kawasan TNGM sudah terbiasa

keluar masuk kawasan TNGM untuk mencari rumput atau untuk keperluan

lainnya, sehingga mereka sedikit banyak mengetahui kondisi tanaman yang

berada di dalam kawasan. Dengan melibatkan masyarakat, selain

mempermudah pelaksanaan kegiatan, juga dapat menambah pendapatan

dengan ikut dilibatkan. Supartono dan Yudayana (2019) menekankan

pentingnya partisipasi masyarakat di berbagai kegiatan di taman nasional,

terlebih di dalam menentukan jenis lokal potensial. Sadono (2013)

menyarankan untuk melibatkan masyarakat dalam kegiatan pelestarian

taman nasional, khususnya untuk menjaga fungsi ekologis. Hampir semua

Page 31: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional…….. AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, & Ammy Nurwati

13

kegiatan restorasi ekosistem berbasis genetik yang sudah disebutkan di atas

dapat melibatkan masyarakat, yaitu:

- Survei pohon induk.

- Pengambilan materi genetik, baik biji, cabutan maupun bahan stek.

- Membibitkan biji yang dikoleksi dan atau memelihara hasil cabutan.

- Penanaman, baik untuk kegiatan pengayaan maupun pembangunan

demplot, dan pemeliharaan.

IV. PENUTUP

Restorasi ekosistem berbasis genetik secara garis besar tidak berbeda

jauh dengan kegiatan restorasi ekosistem yang selama ini sudah dilakukan.

Yang membedakan terutama adalah jenis dan asal usul bibit yang digunakan

dalam kegiatan restorasi. Jenis yang digunakan haruslah jenis yang tumbuh

secara alami di kawasan TNGM, dan bibit yang digunakan juga harus berasal

dari populasi yag berada di kawasan TNGM. Analisis keragaman genetik

menggunakan penanda DNA sangat diperlukan untuk mengetahui keragaman

genetik dari masing-masing populasi dan hubungan kekerabatan antar

populasi. Untuk populasi yang mempunyai hubungan kekerabatan yang

sangat dekat, bibitnya dapat digunakan untuk keduanya. Untuk itu, kegiatan

pembuatan bibit mulai dari pengumpulan di lapangan sampai di persemaian

harus diberi label dan dipisahkan antar populasi. Dengan adanya kegiatan

restorasi berbasis genetik ini, kemurnian jenis maupun genetik dari tanaman

yang berada di kawasan TNGM dapat terjaga dengan baik sesuai dengan

ketentuan yang tercantum dalam PP No 7 tahun 1999. Kegiatan restorasi

berbasis genetik ini juga harus memperhatikan populasi referensi, yang

merupakan contoh populasi di TNGM yang tidak atau sedikit

sekaliterpengaruh dengan erupsi merapi atau gangguan manusia. Diharapkan

kegiatan restorasi ekosistem yang dilakukan bisa menyerupai populasi

referensi tersebut. Komitmen dan partisipasi dari berbagai pihak diperlukan

agar kegiatan ini bisa terlaksana dengan baik. Keterlibatan masyarakat,

khususnya masyarakat di sekitar kawasan TNGM, sangat diperlukan untuk

menjamin keberhasilan kegiatan ini dan keberlangsungannya di masa

mendatang. Dengan kegiatan ini, ke depan diharapkan masyarakat dapat

merasakan manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung.

Page 32: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

14

V. DAFTAR PUSTAKA

Baramantya, B., Indrioko, S., Faida,L. R. W. & Hadiyan, Y. (2016). Keragaman

genetik dan permudaan alam puspa (Schima Wallichii (Dc.) Korth.) di

Taman Nasional Gunung Merapi pasca erupsi tahun 2010. Jurnal

PemuliaanTanaman Hutan, 10(2), 111-121.

Bateson, Z. W., Dunna, P. O., Hull, S. D., Henschen, A. E. Johnson, J. A. &

Whittinghama, L. A. (2014). Genetic restoration of a threatened

population of greater prairie-chickens. Biological Conservation, 174, 12-

19. https://doi.org/10.1016/j.biocon. 2014.03.008. Diakses tanggal 12

Februari 2019.

Dove, M. R. (2008). Perception of volcanic eruption as agent of change on

Merapi volcano, Central Java. Journal of Volcanology and Geothermal

Research, 172(3), 329-337.

Franklin, J. F. & Johnson, K. N. (2012). A restoration framework for Federal

Forests in the Pacific Northwest. J. For., 110(8), 429–439.

http://dx.doi.org/10.5849/jof.10-006. Diakses tanggal 12 Februari 2019

Gunawan, H. & Subiandono, E. (2014). Disain ruang restorasi ekosistem

terdegradasi di Taman Nasional Gunung Ciremai, Jawa Barat. Indonesian

Forest Rehabilitation Journal, (1), 67-78.

Gunawan, H., Mas'ud, A. F., Subiandono, E., Krisnawati, H. & Heriyanto, N. M.

(2012). Manajemen Habitat dan Populasi Satwaliar Langka Pasca

Bencana Alam Erupsi Di Taman Nasional Gunung Merapi. Laporan

Insentif Riset Terapan. Dalam Restorasi Ekosistem Gunung Merapi Pasca

Erupsi. Editor Partomiharjo, T, (2014). Pusat Penelitian dan Konservasi

Rehabilitasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor.

Heyne, K. (1987). Tumbuhan Berguna Indonesia Volume II. Yayasan Sarana

Wana Jaya: Diedarkan oleh Koperasi Karyawan, Badan Litbang

Kehutanan, Jakarta.

Hostetler, J. A., Onorato, D. P., Jansen, D., & Oli, M. K. (2013). A cat’s tale:

the impact of genetic restoration on Florida panther population dynamics

and persistence. Journal of Animal Ecology, 82, 608-620.

Johnson, W. E., Onorato, D. P., Roelke, M. E., Land, E. D., Cunningham, M.,

Belden, R. C., McBride, R., Jansen, D., Lotz, M., Shindle, D., Howard, J.,

Wildt, D. E., Penfold, L. M., Hostetler, J. A., Oli, M. K., & O’Brien, S. J.

(2010). Genetic restoration of the florida panther. Science, 329, 1641-

1645. DOI: 10.1126/science.1192891. Diakses tanggal 12 Februari 2019

Page 33: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional…….. AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, & Ammy Nurwati

15

Marhaento, H. & Faida, L. R. W. (2015). Analisis risiko kepunahan

keanekaragaman hayati di Taman Nasional Gunung Merapi. Jurnal Ilmu

Kehutanan, 9(2), 75-84.

Pujiasmanto, B. (2011). Strategi pemulihan lahan pasca erupsi gunung api

(segi agroekosistem, domestikasi tumbuhan herba untuk obat; dan

action research). Journal of Rural and Development, 2(2), 85-96.

Reusch, T. B. H. & Hughes, A. R. (2006). The emerging role of genetic

diversity for ecosystem functioning: Estuarine macrophytes as models.

Estuaries and Coasts, 29(1), 159-164.

Reynolds, L. K., McGlathery, K. J., & Waycot, M. (2012). Genetic diversity

enhances restoration success by augmenting ecosystem services. PLoS

ONE, 7(6),e38397. doi:10.1371/journal.pone.0038397. Diakses tanggal

10 Februari 2019

Ruiz-Jaen, M. C. & Mitchell, A. T. (2005). Restoration success: How is it being

measured?. Restoration Ecology, 13(3), 569-577.

Sadono, Y. (2013). Peran serta masyarakat dalam pengelolaan Taman

Nasional Gunung Merbabu di Desa Jeruk Kecamatan Selo, Kabupaten

Boyolali. Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota, 9(1), 53‐64.

SER Primer. The SER International Primer on Ecological Restoration. (2004).

Society for ecological Restoration International Science & Policy Working

Group (Version 2, October, 2004) (1),

http://www.ser.org/content/ecological_restoration_primer.asp. Diakses

tanggal 6 Februari 2019.

Soewandita, H. & Sudiana, N. (2014). Analisis penggunaan dan kesesuaian

lahan berdasarkan potensi bahaya letusan Gunung Merapi. Jurnal Sains

dan Teknologi Indonesia, 16(3), 8-19.

Steenis, V. (2006). Flora Pegunungan Jawa. Cetakan Kelima. Jakarta: PT.

Pradya Paramita. Dalam Restorasi Ekosistem Gunung Merapi Pasca

Erupsi. Editor Partomiharjo, T, (2014). Pusat Penelitian dan Konservasi

Rehabilitasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor.

Supartono, T. & Yudayana, B. (2019). Partisipasi masyarakat dalam

peningkatan pertumbuhan permudaan alami di Bumi Perkemahan Pasir

Batang Taman Nasional Gunung Ciremai Desa Karangsari, Kecamatan

Darma, Kuningan, Jawa Barat. Jurnal Pengabdian Masyarakat, 02(01),

38-45.

Thomas, E., Jalonen, R., Loo, J., Boshier, D., Gallo, L., Cavers, S., Bordács,

S., Smith, P. & Bozzano, M. (2014). Genetic considerations in ecosystem

Page 34: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

16

restoration using native tree species. Forest Ecology and Management,

333, 66-75.

Thongkumkoon, P., Chomdej, S., Kampuansai, J., Pradit, W., Waikham, P.,

Elliott, S., Chairuangsri, S., Shannon, D. P., Wangpakapattanawong, P.,

& Liu, A. 2019. Genetic assessment of three Fagaceae species in forest

restoration trials. PeerJ 7:e6958 https://doi.org/10.7717/peerj.6958.

Diakses tanggal 8 Februari 2019.

Page 35: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Pentingnya Konservasi Sumberdaya Genetik Nantu…….. Julianus Kinho et al.

17

Pentingnya Konservasi Sumberdaya Genetik Nantu (Palaquium obtusifolium Burck.) Jenis Kayu Lokal Potensial

di Sulawesi Utara1

The Important Conservation Genetic Resources of Nantu (Palaquium obtusifolium Burck.) as Potential Trees Species

in North Sulawesi

Julianus Kinho2, Jafred Halawane2, Arif Irawan2, Hanif Nurul

Hidayah2 dan Reny Sawitri3

ABSTRACT

Conservation of genetic resources are protection and maintenance of genetic

variation of a species in order to preserve the potential of genetic resources for

conservation and breeding purposes in the future. Forest plant genetic resource

conservation programs in North Sulawesi, especially for potential local wood

species and have good economic prospects, should be prioritized and urgent to

work on in context of protection on genetic resources of forest plants. Nantu

(Palaquium obtusifolium) are one of local potential species in North Sulawesi who

have economic prospects. This species have wide distribution from coastal forests

to mountain forests in North Sulawesi. Todays nature stands of Nantu in North

Sulawesi are mostly in protected forest and conservation forest, while its demand

were continues to increase every year that is the reason why this species needs

attention in genetic resource conservation programs for conservation purpose and

tree improvement in the future.

Keywords: Conservation, nantu, tree improvement, genetic resources

1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya

Pelestarian Sumber Daya Alam, diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado dan SEAMEO BIOTROP, Manado 24 Oktober 2018.

2 Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado; Jl. Raya Adipura Kima Atas Mapanget, Manado 95259, Indonesia; e-mail: [email protected]

3 Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan; Jl. Gunung Batu No. 5, Po.Box. 165, Bogor 16610; Telp. (0251)-8633234, 520067, Fax. (0251) 8638111; e-mail: [email protected]

Page 36: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

18

I. PENDAHULUAN

Konservasi sumberdaya genetik merupakan perlindungan dan

pemeliharaan variasi genetik dari suatu species dalam rangka menjaga

potensi sumberdaya genetik untuk tujuan konservasi dan pemuliaan dimasa

depan. Program konservasi dapat dilakukan bagi sebagian kecil jenis-jenis

yang ada di hutan tropis yang memiliki kekayaan jenis yang sangat tinggi

(Finkeldey, 2005). Strategi konservasi sumberdaya genetik terdiri dari

konservasi in situ dan ex situ, dimana keduanya saling melengkapi satu sama

lainnya. Konservasi ex situ merupakan back up dari kegiatan konservasi in

situ, terutama jika materi genetik atau jenis target di populasi alaminya sangat

terbatas atau terancam punah. Materi genetik yang berasal dari areal

konservasi in situ dapat berfungsi sebagai materi untuk pembangunan

konservasi ex situ dan sekaligus berfungsi sebagai materi untuk tujuan

pemuliaan.

Konservasi ex situ sangat penting bagi program pemuliaan, karena

konservasi tersebut dirancang untuk mampu mendukung program breeding

dan bioteknologi di masa yang akan datang. Menurut Neel et al., (2001),

sasaran dari program konservasi sumberdaya genetik adalah untuk

mempertahankan diversitas genetik dan meminimalkan proses yang dapat

mengurangi diversitas tersebut. Kehilangan diversitas genetik dapat

menyebabkan berkurangnya kemampuan suatu spesies untuk tetap bertahan

hidup dengan baik pada kondisi lingkungan yang dinamis dan cenderung

berubah.

Kayu nantu atau nyatoh (Palaquium obtusifolium Burck.) dikenal sebagai

kayu yang memiliki penampilan dekoratif dan tegolong mudah dikerjakan

dengan harga yang cukup murah. Nantu merupakan salah satu jenis asli

(native species) di Sulawesi Utara yang memiliki banyak manfaat seperti

bahan bangunan, bahan baku industri bahan baku peralatan rumah tangga.

Berbagai manfaat dan keunggulan kayu nantu menyebabkan terjadinya

ketidakseimbangan antara produksi dan permintaan kayu, karena sebagian

besar pemenuhan kebutuhan kayu masih bersumber dari hutan alam

sehingga berdampak pada ketersediaan kayu nantu yang makin sulit dijumpai

di habitat alaminya.

Saat ini hutan tanaman rakyat untuk jenis kayu nantu di Sulawesi Utara

telah dan sedang dikembangkan oleh masyarakat dalam skala kecil maupun

skala menengah. Menurut Irawan et al. (2019) pengembangan jenis cempaka

wasian (Magnolia tsiampaca), nantu (P. obtusifolium) dan mahoni (Swietenia

macrophylla) sudah lama dilakukan oleh masyarakat di Sulawesi Utara karena

Page 37: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Pentingnya Konservasi Sumberdaya Genetik Nantu…….. Julianus Kinho et al.

19

memiliki prospek yang sangat baik. Hal ini tidak lepas dari kesadaran

masyarakat bahwa potensi nantu dari alam semakin terbatas sementara

permintaan pasar terhadap jenis kayu ini masih cukup tinggi, sehingga jenis

ini masih sangat prospektif untuk dikembangkan. Untuk mendukung

pembangunan hutan tanaman rakyat nantu yang produktif dan berkelanjutan

perlu dibarengi dengan upaya konservasi sumberdaya genetik baik in situ

maupun ex situ. Tujuan penulisan makalah ini untuk memberikan gambaran

pentingnya konservasi sumberdaya genetik nantu (P. obtusifolium) sebagai

jenis kayu lokal potensial di Sulawesi Utara.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi Kayu Nantu (Palaquium obtusifolium Burck.)

1. Taksonomi

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta

Sub Divisio : Magnoliophyta

Class : Magnoliopsida

Ordo : Ericales

Famili : Sapotaceae

Genus : Palaquium

Spesies : Palaquium obtusifolium Burck.

Kayu nantu (P. obtusifolium) merupakan salah satu dari anggota famili

Sapotaceae. Famili ini terdiri dari lima suku, 54 genera dan 1.250 spesies yang

tersebar di daerah sub tropis dan tropis (Pennington, 1991; Govaerts et al.,

2001). Distribusi famili Sapotaceae di region Malesia diperikarakan sebanyak

15 genera, 300 species dan di Indonesia sebanyak 158 species (Hutabarat

dan Wilkie, 2018).

Page 38: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

20

Ket : (A). Pohon nantu, (B) Daun dan buah, (C) Permukaan kayu nantu

Gambar 1. Nantu (P. obtusifolium)

B. Sebaran dan Sifat Kayu

Nantu atau nyatoh merupakan jenis kayu yang penyebaran alaminya

meliputi seluruh Indonesia. Jenis ini tumbuh pada tanah berawa dan tanah

kering pada ketinggian 20-500 mdpl (Martawijaya et al., 2005), namun

kadang masih dijumpai pada daerah ketinggian sampai 1.700 mdpl

(Ratnaningrum dan Wibisono, 2002; Wilkie, 2011; Pitopang dan Ihsan, 2014).

Jenis ini dilaporkan berasosiasi kuat dengan mentibus (Dactylocladus

stenostachys), ubah (Eugenia sp.), tekam (Hopea dasyphyla), jelutung (Dyera

costulata), kayu malam (Diospyros macrophylla), melaban (Aporrosa

sphaeridophera) dan rengas (Gluta renghas) (Florensius et al., 2018). Tinggi

pohon bisa mencapai 30-35 m. Tinggi bebas cabang 15-30 m. Diameter

batang 50-100 cm. Bentuk batang lurus dan silindris, kadang-kadang memiliki

banir 1-2 m. Permukaan kulit luar berwarna coklat atau kelabu coklat. Berat

jenis 0,56. Kelas kuat III – V, kelas awet IV - V (Martawijaya et al., 2005;

Page 39: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Pentingnya Konservasi Sumberdaya Genetik Nantu…….. Julianus Kinho et al.

21

Muslich dan Sumarni, 2005). Ciri anatomi kayu meliputi lingkar tumbuh

memiliki batas samar-samar, pembuluh baur, jari-jari heteroselular, serat

dengan noktah sederhana dan dinding agak tipis, inklusi mineral kristal

prismatik ada, berderet vertikal dalam utas parenkim bersekat (Mandang dan

Suhaendra, 2003).

(Sumber : Mandang dan Suhaendra, 2003) Ket : A. Penampang lintang skala 200 mikron B. Penampang radial skala 200 mikron

C. Penampang tangensial skala 200 mikron

Gambar 2. Ciri anatomi kayu nantu (P. obtusifolium)

C. Kegunaan

Nantu (P. obtusifolium) dilaporkan termasuk salah satu dari 10 jenis

dominan pada tingkat pancang dan tiang di bekas Hak Pengusahaan Hutan

(HPH) Wanasaklar Nunuka, Bolaang Mongondow Utara (Wahyuni dan Kafiar,

2017), sedangkan pada tingkat pohon tidak ditemukan hal ini

mengindikasikan bahwa jenis ini termasuk salah satu jenis yang banyak

dipanen pada saat HPH tersebut masih karena memiliki berbagai manfaat dan

kegunaan. Kayu nantu umumnya baik digunakan beroperasi untuk

perkapalan, bahan konstruksi rumah seperti papan perumahan, balok, tiang,

rusuk, papan lantai, dinding pemisah, bahan baku mebelir dan alat musik.

Banir kayu nantu dapat digunakan sebagai dayung, gagang cangkul dan roda

Page 40: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

22

gerobak sapi. Kayu nantu/nyatoh (Sapotaceae) banyak dimanfaatkan untuk

bahan perkapalan, bahan konstruksi rumah, bahan meubel dan furniture

(Samingan, 1982; Hutabarat dan Wilkie, 2018).

III. PEMBAHASAN

A. Urgensi Konservasi Sumberdaya Genetik Nantu

(P. obtusifolium) di Sulawesi Utara

Keragaman genetik sangat diperlukan bagi suatu spesies untuk

mempertahankan eksistensinya, baik untuk mempertahankan kemampuan

hidup dan reproduksinya dalam jangka pendek maupun untuk menjaga

potensi evolusi adaptif dalam jangka panjang. Suatu spesies yang memiliki

keragaman genetik yang rendah cenderung memiliki kemampuan reproduksi

yang rendah dan diikuti oleh potensi adaptif dan evolusi yang rendah sehingga

lebih rentan terhadap kepunahan (Indrioko, 2012).

Keragaman genetik nantu perlu diketahui dengan baik untuk

menentukan langkah-langkah pengelolaannya kedepan. Upaya konservasi

sumberdaya genetik nantu sebagai jenis kayu unggulan lokal di Sulawesi

Utara telah dilakukan sejak tahun 2002 seluas 100 ha di areal HPH PT.

INHUTANI I Camp Pangi, KM. 17 Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara

(Ratnaningrum dan Wibisono, 2002), namun kelanjutan dari program tersebut

tidak dilaporkan. Upaya konservasi sumberdaya genetik nantu oleh Balai

Penelitian Kehutanan Manado pada tahun 2011 dengan mengoleksi materi

genetik nantu sebanyak 45 famili dari 6 provenans (Irawan et al., 2011).

Materi genetik tersebut selanjutnya dimapankan atau ditanam dalam bentuk

pertanaman uji keturunan (progeny test) di Hutan Penelitian Batuangus,

Bitung pada tahun 2012. Pada tanggal 30 September 2014 terjadi kebakaran

di Hutan Penelitian Batuangus dan menghabiskan materi genetik tanaman uji

keturunan nantu (Halawane et al., 2014). Pada tahun 2017 dilakukan

eksplorasi untuk mengumpulkan materi genetik nantu dari beberapa lokasi di

Sulawesi Utara. Sebanyak 79 famili berhasil dikumpulkan dari eksplorasi ini

yang berasal dari enam Kabupaten/Kota di Sulawesi Utara yang meliputi Kota

Bitung, Kabupaten Minahasa Utara, Kabupaten Minahasa, Kabupaten

Minahasa Selatan, Kabupaten Minahasa Tenggara dan Kabupaten Bolaang

Mongondow Timur (Kinho et al., 2017).

Sulawesi Utara merupakan wilayah yang potensial untuk pengembangan

hutan tanaman rakyat. Hutan tanaman rakyat sebagai salah satu penyedia

bahan baku kayu bagi industri kehutanan di Sulawesi Utara perlu dikelola

dengan baik agar dapat menghasilkan tegakan-tegakan yang berkualitas

Page 41: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Pentingnya Konservasi Sumberdaya Genetik Nantu…….. Julianus Kinho et al.

23

dengan produksi kayu yang lestari. Rachman et al. (2005) menyebutkan

bahwa pembangunan hutan tanaman rakyat sekarang diharapkan dapat

berperan penting sebagai pemasok kayu baik untuk kebutuhan industri dalam

negeri mapun ekspor. Sistem pengelolaan hutan tanaman rakyat di Sulawesi

Utara selama ini umumnya masih konvensional dengan menggunakan bibit

yang mudah tersedia dan murah untuk membangun hutan tanaman rakyat,

sehingga hasil yang diperoleh belum maksimal. Perkembangan pembangunan

hutan tanaman rakyat di Sulawesi Utara semakin pesat setelah perhatian

masyarakat berorientasi pada pasar. Adanya jaminan pasar kayu yang

semakin baik dan kemudahan dari sisi regulasi terkait dengan semakin

mudahnya pengurusan ijin untuk penjualan kayu rakyat sehingga

meningkatkan animo masyarakat untuk menanam berbagai jenis kayu

pertukangan termasuk kayu nantu sebagai salah satu jenis yang paling

diminati untuk ditanam oleh masyarakat.

Pengembangan hutan tanaman rakyat untuk jenis nantu di Sulawesi

Utara perlu didukung dengan penyediaan benih unggul berkualitas yang

dihasilkan dari program pemuliaan. Saat ini benih unggul nantu yang

dihasilkan dari program pemuliaan belum tersedia, sehingga kegiatan

pemuliaan pohon sangat dibutuhkan dan mendesak untuk dikerjakan.

Konservasi keragaman genetik nantu perlu dilakukan untuk mendukung

program pemuliaan nantu. Menurut Zobel dan Talbert (1984), pemuliaan

tanaman hutan memerlukan keragaman genetik yang luas untuk

mendapatkan kemajuan genetik yang tinggi. Keragaman genetik dapat

diartikan sebagai variasi gen dan genotype antar dan dalam spesies (Melchias,

2001). Keragaman genetik dalam spesies memberikan kemampuan untuk

beradaptasi atau melawan perubahan lingkungan, iklim atau hama dan

penyakit baru. Kemampuan tanaman untuk beradaptasi dengan perubahan

lingkungan tempat tumbuh, gangguan hama dan penyakit ditentukan oleh

potensi keragaman genetik yang dimilikinya, sehingga keragaman genetik

merupakan modal dasar bagi suatu jenis tanaman untuk tumbuh,

berkembang dan bertahan hidup dari generasi ke generasi. Semakin tinggi

keragaman genetiknya semakin besar peluang tanaman untuk beradaptasi

terhadap lingkungan tempat tumbuhnya.

Kemajuan program pemuliaan pohon akan sangat ditentukan oleh materi

genetik yang tersedia. Semakin luas basis genetik yang dilibatkan dalam

program pemuliaan suatu jenis, semakin besar peluang untuk mendapatkan

peningkatan perolehan genetik (genetic gain) dari sifat yang diinginkan.

Keberadaan sumberdaya genetik suatu jenis dengan basis yang luas menjadi

Page 42: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

24

suatu keharusan dan memiliki arti yang sangat penting agar program

pemuliaan dari generasi ke generasi berikutnya tetap terjamin. Menurut

Suryawan et al. (2011) bahwa nyatoh atau nantu tergolong jenis dominan di

Cagar Alam (CA) Tangkoko, Bitung dan Taman Nasional (TN) Bogani Nani

Wartabone. Jenis ini tersebar cukup merata dari semenanjung utara Pulau

Sulawesi sampai Daerah Gorontalo. Berdasarkan perhitungan indeks nilai

penting, kerapatan dan frekuensi kehadiran, nantu di CA. Tangkoko lebih

dominan dibanding TN. Bogani Nani Wartabone. Populasi nantu pada tingkat

semai sangat melimpah dibawah tegakan induk (Suryawan et al., 2011). Jenis

ini dilaporkan sebagai salah satu dari 10 spesies pohon dominan pada

ketinggian 300 – 400 mdpl di TN. Lore Lindu, Sulawesi Tengah (Risma et al.,

2019). Nantu (P. obtusifolium) biasanya memiliki permudaan yang melimpah

dibawah tegakan induknya. Pengambilan materi genetik dalam bentuk buah

atau biji apabila tidak memungkinkan untuk dilaksanakan, maka dapat

dilakukan dalam bentuk cabutan.

Berkaitan dengan uraian di atas maka kegiatan konservasi genetik dan

pemuliaan pohon khususnya untuk jenis unggulan lokal seperti nantu (P.

obtusifolium) sangat mendesak untuk dilakukan dalam rangka peningkatan

kualitas tegakan nantu dari hutan tanaman rakyat di Sulawesi Utara.

B. Strategi Pembangunan Plot Konservasi Ex Situ Sumberdaya

Genetik Nantu (Palaquium obtusifolium Burck.) di Sulawesi Utara

1. Strategi Sampling Dalam Rangka Koleksi Materi Genetik

a. Jumlah Populasi

Penentuan jumlah populasi yang akan disampling sebagai materi genetik

dalam pembangunan konservasi ex situ untuk jenis yang jarang dan terancam

punah harus mempertimbangkan derajat diferensiasi genetik antar populasi,

sehingga mewakili keragaman genetik pada tingkat populasi. Spesies dengan

sebaran yang luas, 3 sampai 5 populasi dianggap cukup mewakili keragaman

genetik dari spesies target (Centre for Plant Conservation, 1991). Menurut

Jaramilo dan Baena (2002), populasi dengan potensi aliran gen (gene flow)

yang rendah perlu dilakukan sampling dengan lebih dari 5 populasi. Sampling

sebaiknya dilakukan mulai dari populasi yang melimpah atau yang memiliki

keragaman genetik yang tinggi.

b. Jumlah Pohon Induk Per Populasi

Jumlah individu dari pohon induk yang dikoleksi dari setiap populasi

harus bisa mewakili sebanyak mungkin keragaman genetik yang pada

kebanyakan spesies berada pada setiap individu (Centre for Plant

Page 43: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Pentingnya Konservasi Sumberdaya Genetik Nantu…….. Julianus Kinho et al.

25

Conservation, 1991). Menurut Jaramillo dan Baena (2002), sebanyak 50

individu yang harus diambil sebagai sampel untuk satu populasi. Jumlah

sampel perlu ditingkatkan apabila terdapat variasi ecogeografi atau iklim.

Brown dan Brown (1991) menyebutkan bahwa untuk menangkap keragaman

alel secara efisien, 10 individu untuk satu populasi sudah dianggap cukup

mewakili, sehingga jumlah sampel yang banyak dari satu populasi tidak

diperlukan. Menurut Centre for Plant Conservation (1991) dengan

mempertimbangkan karakteristik tumbuh, sejarah populasi dan faktor-faktor

lain yang mempengaruhi sebaran keragaman, sehingga direkomendasikan

sebanyak 10 - 50 individu per populasi untuk disampel pada saat koleksi

materi genetik untuk konservasi ex situ. Dengan mempertimbangkan berbagai

rujukan diatas dan pertimbangan teknis maka koleksi materi genetik nantu

(P. obtusifolium) untuk pembangunan plot konservasi ex situ dapat diwakili

oleh minimal 20 individu pohon induk per populasi.

c. Jumlah Biji Atau Anakan Alam Per Pohon Induk

Jumlah biji atau anakan alam per pohon induk yang diambil pada

prinsipnya harus memperhatikan angka viabilitas dan persistensi populasi dan

tidak sampai menyebabkan penurunan populasi. Frankhman et al. (2002)

menyebutkan bahwa jumlah antara 1 - 20 individu per pohon induk sudah

dianggap cukup.

Materi genetik yang berasal dari semai cabutan dapat digunakan sebagai

materi genetik untuk pembangunan plot konservasi ex situ dengan

pertimbangan bahwa :

1. Anakan melimpah dibawah tegakan induk, sehingga lebih mudah dalam

teknis pengambilan materi di lapangan.

2. Buah nantu yang sudah matang secara fisiologis sangat mudah

berkecambah di bawah tegakan induk.

3. Anakan nantu relatif memiliki daya survival yang tinggi.

Page 44: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

26

Gambar 3. Kelimpahan anakan nantu (P. obtusifolium) dibawah tegakan

induk di Hutan Lindung Danowudu, Bitung, Sulawesi Utara

Pengambilan materi genetik berupa cabutan dapat dilakukan dengan

kriteria sebagai berikut :

1. Pohon induk berada pada lokasi yang relatif datar.

2. Jarak antar pohon induk minimal ≥ 50 m .

3. Anakan alam yang diambil adalah yang berada tepat d ibawah pohon induk

atau pada radius 5 m dari pohon induk.

4. Jumlah anakan yang diambil minimal 20 individu per pohon induk.

2. Strategi Pembangunan Konservasi Sumberdaya Genetik Nantu

a. Teknik Pembibitan

1). Perlakuan bibit asal benih atau biji

Pengumpulan buah dilakukan dengan cara memanjat atau memetik buah

dari pohon induk. Ciri-ciri buah yang sudah masak adalah kulit buah berwarna

hijau cerah. Buah yang sudah terkumpul segera di extraksi untuk memisahkan

biji dari daging buah dengan cara direndam dalam air selama 24 jam untuk

memudahkan proses ekstraksi. Benih dapat ditabur terlebih dahulu pada

media tabur atau dapat langsung ditancapkan pada media tanam atau

polybag yang sudah disiapkan. Benih biasanya mulai berkecambah pada umur

7-10 hari setelah ditabur atau ditancapkan pada polybag. Benih yang ditabur

siap sapih ke polybag setelah biji terangkat dari media tabur dan kulit biji

terlepas dari kotiledon dan sudah tumbuh 2 daun atau lebih. Bibit siap tanam

dilapangan setelah umur 10 bulan atau lebih dengan tinggi 30 sampai 35 cm.

2). Perlakuan bibit asal cabutan

Anakan yang telah dikumpulkan dari bawah pohon induk diikat dan diberi

label. Untuk menjaga kelembaban agar bibit tetap segar akar anakan dapat

Page 45: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Pentingnya Konservasi Sumberdaya Genetik Nantu…….. Julianus Kinho et al.

27

dibungkus dengan kapas atau koran lembab yang sudah dibasahi terlebih

dahulu, kemudian dimasukan kedalam plastik klip. Anakan cabutan

selanjutnya dapat ditanam ke polybag yang telah disiapkan kemudian

disungkup selama ± 3 minggu atau sampai anakan telah mengeluarkan akar

baru yang ditandai dengan anakan terlihat segar dan telah mengeluarkan

daun baru.

3) Teknik Penanaman dan Pemeliharaan

Penanaman untuk pembangunan plot konservasi sumber daya genetik

harus dilakukan dengan pola tanam antar populasi terpisah untuk menjaga

identitas populasi sehingga dapat mengurangi pencampuran polen antar

populasi. Identitas individu dalam populasi juga harus dijaga dan

dipertahankan karena informasi tersebut akan sangat berguna dalam kegiatan

breeding di masa yang akan datang.

Penanaman pada areal semak belukar, hutan sekunder dan areal bekas

tebangan persiapan lahan dilakukan dengan membersihkan jalur tanam

selebar 1,5 – 2 m. Penanaman dilakukan dengan jarak tanam 6 x 6 m.

Nantu merupakan salah satu jenis yang bersifat semi toleran sehingga

membutuhkan naungan pada masa awal pertumbuhan dan memerlukan

pencahayaan yang cukup sesuai dengan tingkat pertumbuhannya. Seiring

dengan perkembangan tanaman pada masa awal pertumbuhan nantu akan

semakin membutuhkan pencahayaan yang cukup sehingga tindakan

pembersihan atau pembebasan naungan secara horizontal dan vertikal perlu

dilakukan secara rutin minimal 6 bulan sekali sampai pada umur 3 tahun

setelah penanaman.

IV. PENUTUP

Keragaman genetik nantu (P. obtusifolium) merupakan kunci yang

sangat penting dalam program pemuliaan pohon. Keberhasilan program

pemuliaan pohon akan sangat dibutuhkan dalam pengembangan hutan

tanaman sebab dengan program tersebut akan dihasilkan benih unggul

dengan produktifitas yang tinggi, dan resisten terhadap serangan hama dan

penyakit untuk mendukung pembangunan hutan tanaman rakyat nantu yang

produktif dan berkelanjutan. Teknik dalam pengambilan materi genetik

menjadi bagian penting dari kegiatan konservasi sumberdaya genetik karena

akan menentukan besaran keragaman genetik yang akan terwakili dalam plot

konservasi sumberdaya genetik.

Page 46: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

28

V. DAFTAR PUSTAKA

Brown, A. H. D & J. D. Brown. (1991). Sampling Strategies for Genetic

Variation in Ex Situ Collection of Endangered Plant Species, dalam D.A.

Falk and K.E. Holsinger (eds), Genetic and Conservation of Rare Plant.

New York: Oxford University Press.

Centre for Plant Conservation. (1991). Genetic Sampling Guidelines for

Conservation, Collection of Endangered Plant, dalam D.A. Falk and K.E.

Holsinger (eds), Genetic and Conservation of Rare Plant. New York:

Oxford University Press.

Finkeldey, R. (2005). Pengantar Genetika Hutan Tropis. Alih Bahasa oleh

Djamhuri, E., Siregar, I.Z., Siregar, U.J. Kertadikara, A.W. Bogor:

Institute Pertanian Bogor.

Florensius, M., Herawatiningsih, R., & Dewantara, I. (2018). Ekologi dan

potensi pohon nyatoh (Palaquium spp.) di Hutan Sekunder IUPHH-HTI

PT. Bhatara Alam Lestari Kabupaten Mempawah. Jurnal Hutan Lestari,

6(2), 311-317.

Frankhman, R., Ballou, J. D., & Briscoe, D. A. (2002). Introduction to

Conservation genetics. Cambridge: Cambridge University Press.

Govaerts, R., Frodin, D. G. & Pennington, T. D. (2001). World Check List and

Bibliografi of Sapotaceae. Royal Botanic Gardens, Kew.

Halawane, J., Iwanuddin, Irawan, A., Patandi, S. N., Mokodompit, H. S., &

Kafiar, Y. (2014). Pembangunan Demplot Kebun Benih Unggulan Lokal.

Laporan tidak diterbitkan, Balai Penelitian Kehutanan Manado, Manado.

Hutabarat, P. & Wilkie, P. 2018. The Sapotaceae of Indonesia and the

potencial role of botanic gardens in their conservation. SIBBALDIA, The

Journal of Botanic Gardens Horticulture, (16), 141-154.

https://doi.org/10.23823/Sibalddia/2018.252

Indrioko, S. (2012). Representasi diversitas genetik dalam pembangunan plot

konservasi sumberdaya genetic, dalam Bismark, M., Subiakto, A., dan

Murniati. (eds), Lokakarya Nasional “Plot Konservasi Genetik Untuk

Pelestarian Jenis-Jenis Pohon Terancam Punah (Ulin, Eboni dan

Cempaka)” (p. 102-118). Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan

Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Penelitian dan Pengembangan

Kehutanan, Kementerian Kehutanan.

Irawan, A., Kinho, J., Hidayah, H. N., Kafiar, Y., Patandi, S., Diwi, M. S., &

Mamonto, R. (2011). Pembangunan Demplot Kebun Benih Unggulan

Page 47: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Pentingnya Konservasi Sumberdaya Genetik Nantu…….. Julianus Kinho et al.

29

Lokal. Laporan Hasil Penelitian Tidak diterbitkan, Balai Penelitian

Kehutanan Manado, Manado.

Irawan, A., Hidayah, H.N., & Mindawati, N. (2019). Pengaruh perlakuan

cekaman kekeringan terhadap pertumbuhan semai cempaka wasian,

nantu dan mahoni. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea, 8(1), 39-45.

Jaramillo, S. & Baena, M. (2002). Ex situ conservation of plant genetic

resources: Training Module. International Plant Genetic Resources

Institute, Cali. Columbia.

Kinho, J., Halawane, J., Hidayah, H. N., Irawan, A., Kafiar, Y., & Diwi, M. S.

(2017). Pengembangan Demplot Kebun Benih dan Konservasi Eksitu

Eboni (Diospyros spp.) di Sulawesi Utara. Laporan tidak diterbitkan,

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Manado, Manado.

Mandang, Y., & Suhaendra, H. (2003). Sifat-sifat kayu nyatoh (Palaquium

obtusifolium Burck.) sehubungan dengan kemungkinannya sebagai

bahan bilah pensil. Buletin Penelitian Hasil Hutan, 21(1), 1-14.

Martawijaya, A., Kartasujana, I., Kadir, K., & Prawira, S. A. (2005). Atlas Kayu

Indonesia Jilid I. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan

Kehutanan, Departemen Kehutanan.

Melchias, G. (2001). Biodiversity and Conservation. USA: Science Publisher.

Inc.

Muslich, M. & Sumarni, G. (2005). Keawetan 200 jenis kayu Indonesia

terhadap penggerek di laut. Jurnal Penelitian Hasil, 23(3), 163-176.

Neel, M. C., Ibarra, J. R. & Ellstrand, N. C. (2001). Implications of mating

patterns for conservation of the endangered plant Erigonum ovalifolium

var. vineum (Polygonaceae). American Journal of Botany, 88, 1214-

1222.

Pennington, T. D. (1991). The Genera of Sapotaceae. Kew: Royal Botanic

Gardens.

Pitopang, R. & Ihsan, M. (2014). Biodiversitas tumbuhan di Cagar Alam

Morowali Sulawesi Tengah. Online Journal of Natural Science, 3(3),

287-296.

Ratnaningrum, Y. W. N. & Wibisono, G. (2002). Pembangunan sumber benih

kayu unggulan setempat Di Sulawesi Utara. Jurnal LPKM-UGM: Gerbang

Inovasi, 7, 29-35.

Page 48: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

30

Risma, Harso, W., & Ramadanil. (2019). Kajian autekologi harao Areca

vestiaria Giseke pada kawasan hutan dataran rendah di Taman Nasional

Lore Lindu (TNLL) Sulawesi Tengah. BIOCELEBES, 13(1), 87-97.

Samingan, T. 1982. Dendrologi. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Jakarta: Gramedia Press.

Suryawan, A., Kinho, J., & Mayasari, A. (2011). Potensi dan sebaran nyatoh

di Sulawesi bagian utara. dalam Sinaga, E.B., Asir, L., Mairi, K., Kinho,

J., Arini, D.I.D. (eds), Seminar Nasional Ekspose Hasil-Hasil Penelitian

Tahun 2011 ” Hutan Lestari Untuk Kesejahteraan Masyarakat” (p.181-

188). Manado: Balai Penelitian Kehutanan Manado.

Wahyuni, N. I. & Kafiar, Y. (2017). Komposisi jenis dan struktur hutan

sekunder di Nunuka, Bolaang Mongondow Utara. Jurnal Wasian, 4(1),

27-36.

Wilkie, P. (2011). Towards and Account of Sapotaceae for Flora Malesiana.

Gardens Bulletin Singapore, 63(1&2), 145-153.

Page 49: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

El Nino Effect (2015): Hubungan Kelimpahan Pakan, Perilaku…….. Dwi Yandhi Febriyanti, Andre Pasetha, dan Antje Engelhardt

31

El Nino Effect (2015): Hubungan Kelimpahan Pakan, Perilaku Makan dan Luasan Daerah Jelajah Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra Desmarest, 1822) di Kesatuan Pengelolaan

Hutan Konservasi Tangkoko1

El Nino Effect (2015): The Relationship Between Food Abundace, Feeding Behavior and Homerange of Sulawesi

Black Crested Macaque (Macaca nigra Desmarest, 1822) in The Tangkoko Conservation Forest Management Unit

Dwi Yandhi Febriyanti2, Andre Pasetha3 , dan Antje Engelhardt4

ABSTRACT

This study aimed to examine the effect of the 2015 El Nino on food abundance,

feeding behaviour and homerange of Blackk Crested Macaque. Observations

were made for 1 year on the Pantai Batu 1 group, and the El Nino phenomenon

was quantified using the Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR).

Fruit abundance was measured every month in 20 permanent plots for 1 year,

homerange data were collected every day from 06.00-17.00. Fruit abundance

fluctuated every month. Forest fires were the primary effect of the El Nino in the

study area (Tangkoko Forest Management Unit), and as a result of fruit

abundance decreased from 4.38 in July to 3.97 in August. Across the entire El

Nino period, the smallest homerange area (90.81 ha) was also recorded during

the peak of the fires, in September 2015. The El Nino phenomenon has an

indirect effect on fruit abundance and homerange size in this species, especially

when forest fires occur.

Keywords: El Nino, food abundance, homerange, Sulawesi black crested

macaque,

1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya

Pelestarian Sumber Daya Alam, diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado dan SEAMEO BIOTROP, Manado 24 Oktober 2018.

2 Macaca Nigra Project, Pos 3 KPHK Tangkoko, Batuputih Bawah, Bitung, Sulawesi Utara 3 Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian

Bogor. Jl. Raya Dramaga, Babakan, Dramaga, Bogor, Jawa Barat; email: [email protected].

4 School of Natural Sciences and Psychology, Liverpool John Moores University, L3 3AF, Liverpool, United Kingdom.

Page 50: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

32

I. PENDAHULUAN

Sulawesi merupakan pulau di Indonesia yang menyimpan nilai

endemisitas yang tinggi dan merupakan salah satu hotspot biodiversitas

dunia dan menjadi wilayah yang penting untuk dikonservasi (Whitten, 1987;

Rosenbaum et al., 1998). Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya tujuh

jenis monyet sulawesi (Fooden, 1969; O’Brien dan Kinnaird, 1997). Salah

satu spesiesnya yaitu monyet jambul hitam sulawesi atau monyet hitam

sulawesi (Macaca nigra) yang dalam bahasa lokal disebut yaki. Monyet hitam

sulawesi diklasifikasikan ke dalam jenis yang sangat terancam punah

(critically endangered) berdasarkan kategori IUCN Red List. Monyet hitam

sulawesi merupakan satwa yang pakan dominannya adalah buah-buahan

(O’Brien dan Kinnaird, 1997; Giyarto, 2010; Pasetha, 2014). Buah

merupakan jenis pakan yang menjadi sumber energi utama bagi spesies ini,

terutama yang sudah matang (Lee, 1997; Sari, 2013). Kelimpahan buah

yang matang atau belum matang di alam liar dipengaruhi oleh faktor

eksternal seperti suhu dan curah hujan (Pasetha, 2014).

Diluar dua faktor eksternal seperti suhu dan curah hujan, terdapat

fenomena atau faktor lain yang dapat merubah atau mempengaruhi kondisi

suatu spesies, misalnya bencana alam yang terjadi pada habitat satwa

(Arroyo-Rodriguez et al., 2017). Indonesia sebagai salah satu negara tropis

terbesar di dunia, mengalami suatu fenomena menarik yang terjadi pada

tahun 2015. Fenomena tersebut dikenal dengan El Nino, dimana terdapat

periodisasi musim kemarau yang lebih lama dibandingkan dalam keadaan

normal. Akibat lainnya dari fenomena tersebut yaitu meningkatnya angka

kebakaran hutan, yang tentunya mengakibatkan efek negatif terhadap

ekosistem (vegetasi dan satwa) yang ada didalamnya (Wilcove et al., 2013;

Cai et al., 2014). Fenomena tersebut menjadikan spesies berada dalam

suatu tekanan lingkungan, yang mana tekanan lingkungan tersebut

menyebabkan perubahan pada pola iklim suatu habitat, topografi,

ketersediaan pakan, dan perilaku harian (Chapman and Peres, 2001;

Estrada, 2013; Pavelka et al., 2013; Cai et al., 2014; Pasetha, 2014).

Primata merupakan satwa yang aktivitas hidupnya bergantung terhadap

perubahan iklim, dapat dikatakan bahwa satwa ini merupakan jenis yang

sensitif terhadap suatu perubahan atau variasi iklim dan vegetasi, baik

dalam tingkatan individu maupun populasi dan atau pada perbedaan jenis

kelamin. Efek tersebut berupa sulitnya mendapatkan makanan,

meningkatnya infeksi endoparasit, dan kemampuan untuk bertahan hidup,

serta adanya bentuk perubahan strategi reproduksi suatu spesies yang

Page 51: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

El Nino Effect (2015): Hubungan Kelimpahan Pakan, Perilaku…….. Dwi Yandhi Febriyanti, Andre Pasetha, dan Antje Engelhardt

33

berkaitan dengan kelahiran dan kematian (Chapman et al., 2005a; Chapman

et al., 2005b Dunhamm et al. 2011; Pasetha 2014). Tujuan penelitian ini

adalah untuk mengetahui efek dari El Nino yang terjadi pada tahun 2015

terhadap kondisi vegetasi (kelimpahan pakan), perilaku makan dan luasan

daerah jelajah monyet hitam Sulawesi yang mana merupakan tinjauan

pertama dalam kajian ekologi pakan dan ekologi perilaku dari satwa ini.

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu

Penelitian dilakukan pada satu kelompok monyet hitam sulawesi yang

terhabituasi (Pantai Batu 1, selanjutnya akan disebut PB1) (Tabel 1).

Observasi terhadap kelompok ini dilakukan selama tahun 2015 dan 2016,

terutama dari bulan April - Desember 2015 dan Januari - April 2016. Data

yang dikoleksi merupakan bagian dari long term data Macaca Nigra Project,

dimana proyek penelitian ini telah berlangsung sejak tahun 2006.

Tabel 1. Komposisi kelompok PB1 di KPHK Tangkoko

Grup Dewasa Remaja Anakan Bayi Total Pantai Batu 1

(PB1) Jantan Betina Jantan Betina

5 20 5 3 27 3 63

Penelitian ini dilakukan di KPHK Tangkoko, Sulawesi Utara, Indonesia

(1o 34’N, 125o 14’E; an elevation of 1,350 m) yang telah ada sejak tahun

1980 dengan nama Cagar Alam Tangkoko-Duasudara (Gambar 1). Menurut

Palacios et al. (2012), luas total area ini sekitar 8.876 ha dan memiliki

karakter hutan yang bervariasi, mulai dari hutan sekunder dan hutan primer,

dengan dominansi hutan hujan tropis dataran rendah (Collins et al., 1991;

O’Brien dan Kinnaird, 1997; Rosenbaum et al., 1998). Area hutan ini secara

umum merupakan habitat dari flora dan fauna yang termasuk kedalam

kelompok organisme wallaceae. Musim hujan secara periodik terjadi pada

bulan Oktober - Mei dengan kisaran 1.550 – 2.400 mm dan suhu rata-rata

berkisar pada 24oC dan 27.5oC (O’Brien dan Kinnaird; Palacios et al. 2012).

Page 52: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

34

Gambar 1. Lokasi penelitian yang berada di wilayah KPHK Tangkoko,

Sulawesi Utara, Indonesia.

B. Metode Penelitian dan Analisa Data

Pengamatan fenomena El Nino didalam penelitian ini menggunakan

Advance Very High Resolution Radiometer (AVHRR) (citra satelit dari NOAA

STAR-National Oceanic and Atmospheric Administration-Center for Satelite

Applications and Research) dan kemudian akan ditampilkan dalam bentuk

peta pada tahun 2015 dan 2016, untuk melihat kondisi vegetasi dan resiko

kebakaran selama fenomena berlangsung. Data suhu dan curah hujan

dicatat di stasiun penelitian Macaca Nigra Project, yang akan ditampilkan

sebagai data rata-rata suhu dan curah hujan setiap bulannya pada tahun

2015 dan 2016 di KPHK Tangkoko. Data iklim akan dianalisis menggunakan

Kruskal-Wallis Test, untuk melihat perbandingan pola iklim selama fenomena

El Nino.

Data perilaku makan dicatat setiap hari pengamatan menggunakan

teknik pengamatan focal animal sampling (Martin dan Bateson, 1993)

dengan durasi pengamatan selama 30 menit per individu. Individu yang

diambil datanya merupakan individu dengan kategori umur dan seks: jantan

dewasa dan betina dewasa. Data perilaku yang akan dicatat yaitu perilaku

makan, mencari makan, dan lokomosi, untuk keperluan analisis data

penelitian, yang akan digunakan hanya data perilaku makan. Data

kelimpahan pakan diambil setiap bulan pada 20 plot permanen yang berada

Page 53: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

El Nino Effect (2015): Hubungan Kelimpahan Pakan, Perilaku…….. Dwi Yandhi Febriyanti, Andre Pasetha, dan Antje Engelhardt

35

didalam daerah jelajah kelompok Pantai Batu 1. Analisis hubungan

kelimpahan pakan dan proporsi perilaku makan menggunakan regresi linear

sederhana.

Pengamatan daerah jelajah monyet hitam sulawesi dilakukan secara

rutin setiap bulannya untuk melihat ada tidaknya perubahan luasan jelajah

selama selama tahun 2015 dan 2016. Penelitian ini menggunakan GPS untuk

melakukan pengambilan data daerah jelajah dan akan dianalisis setiap akhir

bulan menggunakan metode Minimum Convex Polygon (MCP). Luasan

daerah jelajah akan dianalisis menggunakan regresi linear untuk melihat ada

tidaknya perubahan luas jelajah yang dimungkinkan terjadi karena adanya

fenomena El Nino. Selanjutnya data luasan daerah jelajah monyet hitam

sulawesi akan dianalisis hubungan korelasinya dengan proporsi data perilaku

makan menggunakan analisis korelasi Pearson dan regresi linear sederhana.

III. HASIL DAN PEMBAHASAAN

A. Fenomena El Nino 2015 di KPHK Tangkoko

Nilai rataan suhu bulanan selama periode El Nino 2015 (Gambar 2)

berada di atas angka 30oC, dimulai dari bulan April - Oktober 2015. Untuk

nilai rataan suhu pada bulan September - Oktober mengalami peningkatan

yang cukup tinggi dibandingkan dengan data suhu pada bulan yang sama di

tahun 2016 (Gambar 3). Perbandingan nilai suhu bulanan, terutama pada

bulan September dan Oktober di tahun 2015 dan 2016 memiliki perbedaan

yang signifikan berdasarkan uji Kruskal-Wallis dengan derajat signifikansi

95% (df=2, p < 0.001).

Page 54: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

36

Gambar 2. Nilai rataan suhu bulanan (Januari - Oktober 2015), rataan suhu

maksimum mulai meningkat pada periode April - Oktober 2015 (p < 0.001).

Gambar 3. Nilai perbandingan suhu min-max bulanan pada tahun 2015 dan

2016. Terdapat perbedaan signifikan (p < 0.001) saat terjadinya fenomena El Nino dan setelah fenomena berakhir.

Nilai rataan curah hujan (ml/m2) per bulan selama periode El Nino 2015

(Gambar 4) mengalami penurunan pada bulan Juli - September (df=2, p <

0.001) sampai berada pada titik terendah yaitu 0 ml/m2 di bulan Agustus

dan September. Untuk nilai rataan curah hujan pada bulan Juli - September

peningkatan pada tahun 2016, setelah fenomena El Nino selesai (Gambar

Page 55: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

El Nino Effect (2015): Hubungan Kelimpahan Pakan, Perilaku…….. Dwi Yandhi Febriyanti, Andre Pasetha, dan Antje Engelhardt

37

5). Perbandingan nilai curah hujan bulanan terutama pada bulan Juli -

Oktober 2015 dan 2016 memiliki perbedaan yang signifikan berdasarkan uji

Kruskal-Wallis dengan derajat signifikansi 95% (df=2, p < 0.001).

Gambar 4. Nilai rataan curah hujan bulanan (Januari-Oktober 2015), rataan

curah hujan bulanan mengalami penurunan pada bulan Juli-

September 2015 (p < 0.001).

Gambar 5. Nilai perbandingan curah hujan bulanan pada tahun 2015 dan

2016. Terdapat perbedaan signifikan (p < 0.001) saat terjadinya

fenomena El Nino dan setelah fenomena berakhir.

Citra satelit yang digunakan untuk membandingkan kejadian El Nino

pada tahun 2015 dan kondisi setelah fenomena berakhir pada tahun 2016

Page 56: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

38

menunjukkan peta yang terlihat sangat jelas nilai perbedaannya (Gambar 6).

Kondisi vegetasi mengalami penurunan yang sangat jelas terlihat pada peta

selama fenomena El Nino berlangsung pada tahun 2015, tetapi mengalami

perubahan kearah yang lebih diharapkan setelah fenomena selesai pada

tahun 2016. Hal yang sama juga terjadi berkaitan dengan resiko kebakaran,

kejadian kebakaran hutan di KPHK Tangkoko mengalami peningkatan yang

cukup signifikan dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 2014 dan setelah

fenomena berakhir yaitu 2016 (MNP unpublished data).

Page 57: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

El Nino Effect (2015): Hubungan Kelimpahan Pakan …….. Dwi Yandhi F., Andre Pasetha, dan Antje Engelhardt

39

2015 2016

2015

(A)

(A)

Page 58: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

40

(B)

Gambar 6. Citra satelit dari NOAA STAR yang menggambarkan perbandingan saat dan setelah fenomena El Nino, (A) rata-rata kondisi vegetasi ditampilkan dengan range warna, semakin besar derajat angka warna didalam peta,

menunjukkan kondisi vegetasi yang diinginkan. (B) rata-rata resiko kebakaran ditampilkan dengan range warna,

semakin besar derajat angka warna didalam peta, menunjukkan resiko kebakaran yang sangat tinggi.

Page 59: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

El Nino Effect (2015): Hubungan Kelimpahan Pakan …….. Dwi Yandhi F., Andre Pasetha, dan Antje Engelhardt

41

B. Kelimpahan Pakan, Perilaku Makan, dan Daerah Jelajah

Kelimpahan pakan monyet hitam Sulawesi mengalami fluktuasi setiap

bulannya (Gambar 7). Dimana buah merupakan jenis pakan tertinggi (MNP

unpublished data). Kelimpahan pakan mengalami penurunan pada saat

fenomena El Nino berlangsung, terutama pada bulan Agustus - Oktober

2015 dan mengalami kenaikan jumlah kelimpahan pakan pada periode

setelah fenomena berakhir di tahun 2016. Perbedaan tersebut tidak

menunjukkan nilai korelasi yang signifikan (R=0.1813) (Gambar 8). Proporsi

perilaku makan monyet hitam sulawesi dipengaruhi oleh kondisi alam,

seperti kondisi iklim dan nilai vegetasi yang digambarkan dengan

kelimpahan pakan. Menurut Pasetha (2014), suhu dan curah hujan

mempengaruhi nilai proporsi perilaku makan. Suhu dan curah hujan yang

mengalami perubahan selama fenomena El Nino (Gambar 2 dan 4) juga

ditandai dengan penurunan proporsi perilaku makan selama fenomena El

Nino berlangsung (Gambar 7). Nilai proporsi perilaku makan menunjukkan

korelasi yang signifikan pada saat dan setelah El Nino (R=0.0718) (Gambar

8).

Gambar 7. Nilai kelimpahan pakan, proporsi perilaku makan dan daerah jelajah pada tahun 2015 dan 2016.

Page 60: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

42

Gambar 8. Nilai korelasi proporsi perilaku makan, kelimpahan pakan dengan

daerah jelajah setiap bulannya pada saat dan setelah El Nino.

Gambar 9. Nilai korelasi antara perilaku makan dengan daerah jelajah pada

saat dan setelah El Nino. Grafik menunjukkan hubungan negatif

antara dua variabel yang dicari korelasinya. Proporsi perilaku

makan akan naik pada saat kelimpahan pakan turun. Proporsi

perilaku makan akan turun pada saat kelimpahan pakan naik.

Gambar 9 menunjukkan hubungan negatif antara proporsi perilaku

makan dan daerah jelajah. Korelasi yang ditampilkan (R=0.01) menunjukkan

adanya faktor lain yang mempengaruhi nilai dari kedua variabel. Faktor lain

Page 61: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

El Nino Effect (2015): Hubungan Kelimpahan Pakan, Perilaku…….. Dwi Yandhi Febriyanti, Andre Pasetha, dan Antje Engelhardt

43

yang kemungkinan mempengaruhi diantaranya, suhu dan curah hujan,

dimana faktor iklim tersebut akan mempengaruhi proporsi perilaku yang

lain, misalnya proporsi mencari makan dan lokomosi.

Gambar 10. Hubungan antara proporsi perilaku makan, kelimpahan pakan,

dan daerah jelajah

Monyet hitam sulawesi merupakan satwa diurnal, dimana mereka

memiliki periode aktif pada siang hari. Saat pagi sampai sore hari, mereka

melakukan aktivitas harian yang tergambarkan pada daerah jelajah setiap

bulannya. Daerah jelajah monyet hitam sulawesi dapat dipengaruhi oleh

beragam faktor seperti iklim dan kelimpahan pakan (Giyarto 2010).

Fenomena El Nino yang diketahui menyebabkan perubahan normalitas dari

faktor eksternal yang dapat mempengaruhi aktivitas monyet hitam sulawesi

tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara luasan daerah jelajah

dengan kelimpahan pakan (Gambar 10). Hal tersebut ditunjukkan dengan

tidak adanya hubungan antara daerah jelajah dengan kelimpahan pakan

(R=0.0016). Akan tetapi ketika fenomena tersebut berlangsung (April-

Oktober 2015), terdapat hubungan signifikan (R=0.0179) antara luasan

daerah jelajah dengan proporsi perilaku makan.

Penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh dari fenomena El Nino

yang terjadi dalam rentang setahun pada tahun 2015. Fenomena ini dapat

mengakibatkan perubahan kondisi vegetasi dari kualitas baik menjadi tidak

baik, peningkatan suhu dan penurunan curah hujan yang mengakibatkan

Page 62: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

44

naiknya angka resiko kebakaran hutan di KPHK Tangkoko. Menurut Starkey

(2017), terdapat efek lain dari fenomena ini yaitu menurunnya kelimpahan

monyet hitam sulawesi di wilayah KPHK Tangkoko sekitar 21%. Hal tersebut

menjadikan perlu adanya perhatian lebih terhadap keberadaan spesies ini,

karena faktor antropogenik yang menjadi faktor utama terhadap penurunan

populasi satwa ini masih sangat besar, apalagi jika ditambah dengan

keberadaan fenomena El Nino yang jika rutin terjadi akan sangat mungkin

mempercepat proses kepunahan dari satwa ini.

Fenomena El Nino yang diketahui menyebabkan suhu meningkat, curah

hujan menurun, kondisi vegetasi menunjukkan penurunan kualitas, dan

meningkatnya resiko kebakaran hutan. Semua efek dari kondisi tersebut

dapat memberikan dampak bagi kelangsungan hidup organisme yang

berada di dalam KPHK Tangkoko, dalam hal ini flora dan fauna. Dampak

terhadap flora yang ada di KPHK Tangkoko dalam hal ini dapat dilihat dari

penurunan kelimpahan pakan (buah) yang menjadi makanan monyet hitam

sulawesi, terutama pada puncak periode fenomena ini (April - Oktober). Hal

tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya, bahwa El

Nino dapat menggangu atau bahkan merubah pola berbuah dan

kematangan buah di dalam hutan (Ingram dan Dawson 2005; Fredriksson et

al., 2006; Fredriksson et al., 2007). Dampak El Nino terhadap fauna yang

ada di KPHK Tangkoko, dalam hal ini monyet hitam Sulawesi, yaitu adanya

perubahan proporsi perilaku makan dan daerah jelajah walaupun tidak

terlalu signifikan perbedaanya pada saat dan setelah El Nino. Sulawesi

merupakan pulau yang memiliki efek El Nino paling kecil dibandingkan

dengan pulau lainnya yang ada di Indonesia (Sumatera dan Kalimantan)

(Field et al., 2016). Meskipun, dampak dari fenomena tersebut dirasakan

pada hutan KPHK Tangkoko, seperti angka kebakaran hutan yang

meningkat, tetapi model kebakaran hutan di KPHK Tangkoko tidak sebesar

dan selebar di wilayah lain. Contohnya yaitu, kebakaran yang terjadi tidak

sampai menghabisi kanopi pohon pakan dan pohon tidur Macaca nigra dan

sebaran wilayah terbakar tidak merata.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

El Nino memberikan efek terhadap ekologi pakan dan perilaku dari

flora-fauna yang ada di KPHK Tangkoko. Perubahan suhu (meningkat),

perubahan curah hujan (menurun), kualitas vegetasi yang menurun,

tingginya angka kebakaran hutan, memberikan dampak biologis terhadap

normalitas berbuah pohon pakan. Monyet hitam sulawesi yang merupakan

Page 63: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

El Nino Effect (2015): Hubungan Kelimpahan Pakan, Perilaku…….. Dwi Yandhi Febriyanti, Andre Pasetha, dan Antje Engelhardt

45

critically endangered species merasakan dampak akibat perubahan ekologi

pakan mereka, dengan adanya perubahan luasan daerah jelajah dan

proporsi perilaku makan. Meskipun dampak yang dirasakan tidak terlalu

besar. Akan tetapi, dampak dari fenomena ini dapat menjadi peringatan bagi

pihak yang terkait dengan manajemen konservasi spesies ini, agar dapat

meningkatkan kualitas konservasi satwa ini, pada saat terjadi fenomena

alam seperti El Nino. Selain itu, diharapkan pula untuk ke depannya dapat

dilakukan suatu bentuk monitoring bersama dari berbagai pihak, terhadap

flora-fauna yang ada di KPHK Tangkoko untuk mewujudkan strategi

manajemen konservasi yang lebih baik dan utuh.

V. UCAPAN TERIMAKASIH

Kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah

membantu penelitian ini. Pihak yang membantu pada saat pengambilan data

(Tim Macaca Nigra Project), Anna Starkey yang telah membantu melakukan

pengambilan dan analisis data citra satelit pada saat fenomena El Nino.

BKSDA Sulawesi Utara yang telah memberikan izin kepada Macaca Nigra

Project untuk melakukan penelitian secara berkala, sehingga dapat

dikumpulkan suatu long-term data yang akan sangat berguna bagi ilmu

pengetahuan khususnya tentang monyet hitam sulawesi dan juga usaha

konservasi terhadap spesies ini.

VI. DAFTAR PUSTAKA

Arroyo-Rodriguez, V., Melo, F. P. L., Martinez-Ramos, M., Bongers F.,

Chazdon, R. L., Meave, J.A., Norden, N., Santos, B. A., Leal, I. R., &

Tabarelli, M. (2017). Multiple successional pathways in human-modified

tropical landscape: new insights from forest succession, forest

fragmentation and landscape ecology research. Biological Reviews, 92,

326-340.

Cai, W. J., Borlace, S., Lengaigne, M., Van Rensch, P., Collins, M., Vecchi,

G., Timmermann, A., Santoso, A., McPhaden, M. J., Wu, L. X., England,

M. H., Wang, G. J., Guilyardi, E., & Jin, F. F. (2014). Increasing

frequency of extreme El Nino events due to greenhouse warning.

Nature Climate Change, 4, 111-116.

Chapman, C. A., Chapman, L. J., Struhsaker, T. T., Zanne, A. E., Clark, C. J.,

& Poulsen, J. R. (2005a). A long-term evaluation of fruiting phenology:

importance of climate change. Journal of Tropical Ecology, 21, 31-45.

Page 64: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

46

Chapman, C. A., Gillespie, T. R., & Speirs, M. L. (2005b). Parasite prevalence

and richness in sympatric colobines: effect of host density. American

Journal of Primatology, 67, 259-266.

Chapman, C. A., & Peres, C. A. (2001). Primate conservation in the new

millennium: the role of scientists. Evolutionary Anthropology, 10, 16-33.

Dunham, A. E., Erhart, E. M., & Wright, P. C. (2011). Global climate cycles

and cyclones: consequences for rainfall patterns and lemur

reproduction in southeastern Madagascar. Global Change Biology, 17,

219-227.

Estrada, A. (2013). Socioeconomic contexts of primate conservation:

population, proverty, global economic demands, and sustainable land

use. American Journal of Primatology, 75, 30-45.

Fooden J. (1969). Taxonomy and Evaluation of the Monkeys of Celebes

(Primates: Cercopithecidae). Basel (CH): S Karger.

Fredriksson, G. M., Danielsen, L. S., & Swenson, J. E. (2007). Impacts of El

Nino related drought and forest fires on sun bear fruit reources in

lowlad dipterocarp forest of East Borneo. Biodiversity and Conservation,

16, 1823-1838.

Friedriksson, G. M., Wich, S. A., & Trisno. (2006). Frugivory in sun bears

(Helarctos malaynus) is linked to El Nino related fluctuations in fruiting

phenology, East Kalimantan, Indonesia. Biological Journal of the

Linnean Society, 89, 489-508.

Giyarto. (2010). Penggunaan home range dan aktivitas harian monyet hitam

sulawesi (Macaca nigra Desmarest, 1822) di Cagar Alam Tangkoko-

Batuangus, Sulawesi Utara. Skripsi tidak diterbitkan, Universitas Gadjah

Mada Yogyakarta.

Ingram, J. C., & Dawson, T. P. 2005. Climate change impacts and vegetation

response on the island of Madagascar. Philosopical Transactions of The

Royal Society of London Series a-Mathematical Physical and

Engineering Sciences, 363, 55-59.

Lee, R. J. 1997. The Impact of Hunting and Habitat Disturbance on the

Population Dynamics and Behavioral Ecology of the Crested Black

Macaque (Macaca nigra). Disertasi tidak diterbitkan, University of

Oregon, Oregon (US).

Martin, P., & Bateson, P. 1993. Measuring Behaviour: an Introductory Guide.

2nd ed. Cambridge (GB): Cambridge University Pr.

Page 65: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

El Nino Effect (2015): Hubungan Kelimpahan Pakan, Perilaku…….. Dwi Yandhi Febriyanti, Andre Pasetha, dan Antje Engelhardt

47

O’Brien, T. G., & Kinnaird, M. F. (1997). Behavior, diet, and movements of

the sulawesi crested black macaque (Macaca nigra). International

Journal of Primatology, 18, 321-351.

Palacios, J. F. G., Engelhardt, A., Agil, M., Hodges, J. K., Bogia, R., &

Waltert, M. (2012). Status of, and conservation recommendations for,

the Critically Endangered crested black macaque Macaca nigra in

Tangkoko, Indonesia. Oryx, 46, 290-297.

Pasetha A. (2014). Perilaku Harian Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra)

Pada Masa Kebuntingan di Cagar Alam Tangkoko-Batuangus, Sulawesi

Utara. Skripsi tidak diterbitkan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Pavelka, M. S. M., Brusselers, O. T., Nowak, D., & Behie, A. M. (2003).

Population reduction and social disorganization in Allouta pigra

following a hurricane. International Journal of Primatology, 24, 1037-

1055.

Rosenbaum B, O’brien, T. G., Kinnaird, M., & Supriatna, J. (1998).

Population densities of Sulawesi crested black macaques (Macaca nigra)

on Bacan and Sulawesi: Effects of habitat disturbance and hunting. Am

J Primatol, 44, 89-106.

Sari, I. R. (2013). Anthropogenic Effects On Habitat Use, Activity Budget,

And Energy Balance in Macaca nigra at Tangkoko Nature Reserve,

North Sulawesi, Indonesia. Tesis tidak diterbitkan, Georg-August

University Göttingen, Germany (DE).

Starkey A. (2017). A Population Survey of the Critically Endangered Macaca

nigra within the KPHK Reserve, Tangkoko, North Sulawesi, Following

The Most Recent El nino (2015) Event. Tesis tidak diterbitkan, Liverpool

John Moores University, United Kingdom (UK).

Whitten T. (1987). The Ecology of Sulawesi. Yogyakarta (ID): UGM Pr.

Wilcove, D. S., Giam, X., Edwards, D. P., Fisher, B., & Koh, L. P. (2013).

Navjots nightmare revised: logging, agriculture, and biodiversity in

southeast asia. Trends in Ecology & Evolution, 28, 531-540.

Page 66: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Nilai dan Kemanfaatan Anoa Breeding Centre …….. Rahma Suryaningsih et al.

49

Nilai dan Kemanfaatan Anoa Breeding Centre Ditinjau dari Motivasi Pengunjung1

The Utilization and Value of Anoa Breeding Center Reviewed

From Visitor Motivation

Rahma Suryaningsih2, Diah Irawati Dwi Arini2 , Julianus Kinho2, Jafred E.Halawane2, Ady Suryawan2,

Anita Mayasari2, Margaretta Cristita2, dan Adven T.A.J Simamora2

ABSTRACT

Anoa Breeding Centre (ABC) was established to support the ex-situ conservation

through research and development activities. This study was aimed to determine

the characteristics and motivation from the visitors who came to ABC with various

purposes. The study was conducted from May to October 2018. The data used in

this study comes from ABC’s guest book that has been collected since 2016 and

data were analyzed using descriptive qualitative method, displayed in tables and

charts. The result showed that visitors were dominated by men (68.42%) and

come from outside of North Sulawesi Province (45.61%) and by occupation,

visitors who work as government official and employees from private company

have same percentage of visit by 39.47%. Motivation for visiting Anoa Breeding

Centre mostly for work assignment or commparative studies (71.93%).

Keywords: Anoa Breeding Centre, characteristic, visitor, motivation, ex-situ

conservation

I. PENDAHULUAN

Anoa (Bubalus sp.) adalah salah satu satwa endemik Indonesia yang

tersebar di Pulau Sulawesi dan Pulau Buton. Ada dua jenis yaitu Anoa dataran

1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya

Pelestarian Sumber Daya Alam, diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado dan SEAMEO BIOTROP, Manado 24 Oktober 2018

2 Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado; Jl. Raya Adipura Kelurahan Kima Atas Kecamatan Mapanget Manado Sulawesi Utara 95259, Telp : (0431) 7242949; e-mail : [email protected]

Page 67: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

50

rendah (Bubalus depresicornis) dan Anoa pegunungan (Bubalus quarlesi).

Keberadaan anoa di alam diperkirakan terus mengalami penurunan jumlah

populasi yang diduga akibat kerusakan habitat/hutan dan perburuan liar.

Berdasarkan data International Union for Conservation of Nature and Natural

Resources (IUCN) yang diterbitkan pada Tahun 2016 menyebutkan bahwa

anoa termasuk ke dalam Kategori Terancam Punah (Endangered) dengan

perkiraan bahwa jumlah populasi kurang dari 2.500 individu dewasa (Burton

et al., 2016)

Menurunnya populasi anoa telah mendorong pemerintah melakukan

berbagai upaya dengan mengeluarkan beberapa regulasi terkait anoa untuk

mempertahankan kelestariannya. Pada tahun 1936, terbit Peraturan

Ordonansi Perlindungan Binatang Liar oleh Pemerintah Hindia Belanda yang

didalamnya menyatakan bahwa anoa sebagai satwa langka dan wajib untuk

dilindungi karena sebarannya sangat terbatas. Kesadaran pemerintah

terhadap pelestarian anoa semakin menunjukkan kemajuan dengan

diterbitkannya Peraturan Menteri No. 54 Tahun 2013 tentang Strategi dan

Rencana Aksi Konservasi Anoa Tahun 2013-2022 yang berisi tentang

pelestarian anoa secara in-situ dan ex-situ di tingkat nasional (Arini dan

Nugroho, 2016). Anoa juga merupakan salah satu jenis satwa yang dilindungi

dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor

P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 yang merupakan perubahan dari

Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang jenis tumbuhan dan satwa

yang dilindungi.

Anoa Breeding Centre (ABC) merupakan salah satu kegiatan Balai

Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK)

Manado bekerjasama dengan Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA)

Sulawesi Utara. Anoa Breeding Centre dibentuk untuk mendukung konservasi

anoa secara ex-situ ABC diresmikan pada tanggal 5 Februari 2015 oleh Menteri

Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ibu Siti Nurbaya Bakar sebagai lembaga

pusat kajian dan pengembangbiakan satwa anoa. Sebelumnya, dukungan

terhadap pelestarian anoa telah dilakukan sejak 2010 oleh BP2LHK Manado

melalui kegiatan penelitian konservasi in-situ dan ex-situ anoa. ABC memiliki

empat tujuan utama yaitu meningkatkan populasi anoa melalui konservasi ex-

situ/breeding centre, rehabilitasi dan pelepasliaran anoa ke habitat alam,

kerjasama dengan lembaga-lembaga konservasi, domestikasi anoa, dan

penyuluhan konservasi anoa seperti yang tertuang dalam Road Map Pusat

Kajian Anoa Balai Penelitian dan Kehutanan Manado tahun 2015 – 2035.

Keberadaan ABC semakin menunjukkan perkembangan, anoa yang dipelihara

Page 68: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Nilai dan Kemanfaatan Anoa Breeding Centre …….. Rahma Suryaningsih et al.

51

di ABC tidak hanya sebagai obyek penelitian, namun berkembang menjadi

daya tarik bagi kegiatan edukasi, wisata dan pembelajaran bagi instansi yang

ingin mengetahui lebih dalam tentang mengenai anoa. Hal ini ditunjukkan

dengan banyaknya permohonan kunjungan yang tidak hanya datang dari

masyarakat lokal tetapi juga dari masyarakat internasional. Mengacu pada

fungsi dari lembaga konservasi, selain memiliki tugas pokok dalam kegiatan

penelitian dan pengembangan anoa, ABC juga berperan dalam usaha

pengembangbiakan satwa secara terkontrol dan/atau penyelamatan

tumbuhan dan satwa dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya.

Fungsi tambahan lainnya yaitu sebagai tempat pendidikan, peragaan,

penitipan sementara, sumber indukan dan cadangan genetik untuk

mendukung populasi in-situ, sarana rekreasi yang sehat serta penelitian dan

pengembangan ilmu pengetahuan (KLHK, 2018).

Keberadaan ABC menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat, terutama

bagi mereka yang memiliki antusiasisme yang tinggi terhadap pelestarian

satwa. Ketika masyarakat berkunjung ke ABC, mereka dapat melihat secara

langsung salah satu satwa endemik Indonesia yang saat ini keberadaan

terancam punah dan sangat sulit ditemui di habitat alaminya. Selain itu,

masyarakat tidak hanya sekedar memanjakan mata dengan bisa melihat anoa

secara langsung tetapi juga masyarakat memperoleh informasi yang lebih

mendalam tentang anoa. Berdasarkan uraian tersebut, maka penelitian

tentang “Nilai dan Kemanfaatan ABC ditinjau dari motivasi pengunjung”

penting untuk dilakukan untuk mengetahui karakteristik dan motivasi

masyarakat yang berkunjung ke ABC.

II. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di Anoa Breeding Centre (ABC) yang berada

di Kompleks BP2LHK Manado, Sulawesi Utara pada bulan Mei - Oktober 2018.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data pengunjung Anoa

Breeding Centre yang dikumpulkan sejak tahun 2016 hingga Oktober 2018.

Data kemudian dikelompokkan berdasarkan karakteristik pengunjung

mencakup asal pengunjung, jenis kelamin, cara melakukan kunjungan,

pekerjaan, dan maksud kunjungan. Data kemudian dianalisis secara deskriptif

kualitatif dan ditampilkan dalam bentuk gambar dan tabel persentase.

Page 69: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

52

Gambar 1. Peta lokasi Anoa Breeding Centre BP2LHK Manado

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Sejarah Anoa Breeding Centre

Anoa Breeding Centre berawal dari kegiatan penelitian konservasi ex-situ

anoa yang dilakukan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan

Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Manado yang sebelumnya bernama Balai

Penelitian Kehutanan Manado sejak tahun 2010. Sebelumnya, BP2LHK

Manado juga telah melakukan penelitian konservasi in-situ anoa. Pada Tahun

2011, BP2LHK Manado menerima 3 ekor anoa dari BKSDA Sulawesi Utara yang

merupakan hasil sitaan dan penyerahan sukarela dari masyarakat dengan

maksud untuk dapat dilakukan upaya penangkaran dan sebagai bahan

penelitian dalam berbagai aspek untuk mendukung perkembangbiakan anoa.

Tahun 2013, BP2LHK Manado kembali menerima 1 ekor anoa yang merupakan

hasil penyerahan sukarela dari masyarakat Bolaang Mongondow. Kemudian

pada Tahun 2015, tepatnya pada tanggal 5 Februari, penangkaran anoa

BP2LHK Manado secara resmi diresmikan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan

Kehutanan dengan nama “Breeding Centre of Anoa” yang kemudian lebih

dikenal dengan Anoa Breeding Centre (ABC). Saat ini, anoa yang berada di

ABC telah berjumlah 10 ekor dengan rasio jantan : betina yaitu 3 : 7, dimana

3 ekor diantaranya adalah anoa yang telah berhasil dilahirkan di ABC dan

Page 70: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Nilai dan Kemanfaatan Anoa Breeding Centre …….. Rahma Suryaningsih et al.

53

merupakan hasil perkawinan alami.

Untuk mendukung upaya konservasi ex-situ anoa di ABC, kesejahteraan

satwa harus diprioritaskan. Oleh karena itu, penyediaan sarana dan prasarana

yang memadai perlu untuk dilakukan. Saat ini, ABC memiliki beberapa jenis

fasilitas kandang yang masing-masing dilengkapi dengan fasilitas pendukung

kandang. Kandang ABC digunakan sesuai peruntukkannya yaitu kandang

pemeliharaan (individu), kandang persiapan kelahiran, kandang karantina,

kandang jepit (handling), dan kandang translokasi dan transportasi. Selain

kandang, ABC juga memiliki klinik satwa yang akan digunakan untuk

penanganan anoa secara profesional. Kegiatan rutin anoa juga didukung oleh

kendaraan roda tiga sebanyak 2 unit, peralatan dan bahan medis, dan

perlengkapan kandang lainnya.

B. Karakteristik Pengunjung

Karakteristik pengunjung merupakan salah satu hal yang sangat penting

bagi suatu tempat umum. Adanya beragam karakteristik yang dimiliki oleh

pengunjung dapat menjadi salah satu tolak ukur atau indikator bagi suatu

tempat. Dengan mengetahui karakteristik pengunjung, suatu tempat umum

dapat mengukur keberadaannya di masyarakat luas serta meningkatkan

kualitas kinerjanya.

Sejak 2016 hingga 2018 jumlah kunjungan di ABC terdata sebanyak 114

pengunjung. Jika dikelompokkan berdasarkan asal daerah didominasi oleh

pengunjung dari luar Sulawesi Utara sebanyak 52 orang (45,61 %),

pengunjung yang berasal dari luar Sulawesi Utara sebanyak 47 orang

(41,23%), dan pengunjung dari luar negeri sebanyak 15 orang (13,16%).

Pengunjung dari luar Sulawesi Utara yang mendominasi kunjungan ke ABC

berasal dari Makassar, Jakarta, Bogor, Banda Aceh, dan Padang.

Banyaknya pengunjung yang berasal dari luar Sulawesi Utara

menunjukkan bahwa keberadaan ABC tidak hanya diketahui dan dikenal oleh

masyarakat sekitar Manado dan Sulawesi Utara, tetapi juga telah menyebar

ke beberapa daerah di Indonesia. Bahkan keberadaan ABC telah diketahui

hingga ke luar negeri. Negara-negara asal pengunjung ABC dari luar negeri

yaitu Jerman, Inggris, Belgia, Australia dan Amerika Serikat. Hasil wawancara

secara langsung kepada pengunjung mengenai sumber informasi tentang ABC

diketahui bahwa sebagian besar informasi pengunjung mengetahui tentang

ABC melalui website resmi Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan

Hidup dan Kehutanan Manado dan sosial media yaitu “fanpage Anoa Breeding

Centre”. Kedua media ini sangat efektif digunakan sebagai sarana dalam

Page 71: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

54

penyebarluasan informasi baik hasil-hasil penelitian dan juga kegiatan-

kegiatan yang terkait dengan ABC.

Gambar 2. Jumlah kunjungan ke ABC dari tahun 2016 – 2018

Berdasarkan jenis kelamin (gender) pengunjung ABC sebagian besar

didominasi oleh laki-laki sebanyak 78 orang (68,42%) dan perempuan

sebanyak 36 orang (31,58%). Berdasarkan pengamatan selama ini, diketahui

bahwa jumlah pengunjung laki-laki jauh lebih besar jika dibandingkan dengan

jumlah pengunjung perempuan. Hal ini dapat dipengaruhi oleh objek dari ABC

yaitu satwa anoa yang termasuk satwa liar, soliter, dan agresif terhadap

manusia jika didekati. Pada umumnya, laki-laki memiliki ketertarikan yang

lebih tinggi terhadap satwa terutama pada satwa-satwa liar jika dibandingkan

dengan perempuan. Ketertarikan ini dapat dipengaruhi oleh faktor psikologis

laki-laki yang berbeda dengan perempuan. Laki-laki lebih cenderung

menyukai berkunjung atau berkegiatan ke tempat-tempat yang bernuansa

alam dan penuh tantangan.

Karakteristik pengunjung ABC berdasarkan jenis pekerjaan didominasi

oleh pengunjung yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil dan Pegawai

Swasta dengan jumlah yang sama sebanyak 45 orang (39,47%). Adapun jenis

pekerjaan yang lain seperti mahasiswa dan pelajar juga memiliki jumlah yang

sama sebanyak 5 orang (4,39%) dan pekerjaan lainnya sebanyak 14 orang

(12,28%). Data tersebut menunjukkan bahwa kunjungan yang dilakukan oleh

kedua jenis pekerjaan tersebut sebenarnya erat kaitannya dengan

kepentingan pekerjaan. Dimana mereka ingin belajar tentang anoa dan

pengelolaannya secara langsung di ABC. Ketika mereka berkunjung ke ABC,

selain dapat melihat langsung anoa, mereka juga dapat berdiskusi dengan

2633

56

0

10

20

30

40

50

60

Tahun 2016 Tahun 2017 Tahun 2018

Ju

mla

h K

un

jun

ga

n

Tahun Kunjungan

Page 72: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Nilai dan Kemanfaatan Anoa Breeding Centre …….. Rahma Suryaningsih et al.

55

pengelola ABC tentang anoa dan manajemen pengelolaannya secara eksitu.

ABC merupakan kegiatan konservasi ex-situ yang fokus dan khusus

menangani satwa anoa yang keberadaanya terancam punah.

Berdasarkan cara melakukan kunjungan, dapat dibedakan menjadi

kunjungan secara individu dan kelompok. Hasil pengelompokkan data

menunjukkan bahwa sebagian besar pengunjung ke ABC dilakukan secara

berkelompok sebesar 85,96% dan sisanya dilakukan secara individu.

Kunjungan kelompok didominasi oleh kunjungan yang berasal dari instansi

baik instansi pemerintah, swasta (perusahaan) dan universitas, kunjungan

kelompok lainnya berasal dari kelompok media (cetak maupun elektronik),

kelompok wisata/travel dan kunjungan yang berasal dari sekolah-sekolah.

Sedangkan kunjungan yang dilakukan individu biasanya adalah kegiatan

penelitian dan volunteer.

Page 73: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

56

Gambar 3. Kunjungan-kunjungan ke ABC BP2LHK Manado dari berbagai

kalangan

C. Motivasi Pengunjung

Sama halnya dengan lembaga konservasi ex-situ lainnya seperti kebun

binatang, ABC saat ini tidak hanya berfungsi dalam konservasi satwa namun

juga sebagai tempat berlangsungnya pendidikan, penelitian hingga rekreasi

yang tentunya diharapkan mampu meningkatkan kesadaran masyarakat

melalui pembelajaran yang menghibur mengenai satwa sehingga dapat

mendukung upaya konservasi satwa baik secara in-situ maupun ex-situ

(Puspitasari et al., 2016). Keberadaan anoa yang langka di habitat alaminya

merupakan dampak dari penurunan populasi anoa yang diakibatkan oleh

perburuan dan kerusakan habitat. Untuk melihat anoa di habitat alaminya

seperti di TN. Bogani Nani Wartabone misalnya, orang harus berjalan kaki 3-

4 hari untuk mencapai lokasi dan itupun jika beruntung dapat berjumpa dan

melihat anoa secara langsung. Banyak dari masyarakat Sulawesi sendiri yang

belum pernah melihat secara langsung anoa. Sehingga kehadiran ABC selain

memperkenalkan kepada masyarakat juga sebagai sarana edukasi yang tepat

bagaimana melestarikan anoa.

Setiap orang akan dipengaruhi oleh kondisi internal dan eksternal dalam

melakukan sesuatu hal. Kondisi internal terkait dengan keinginan, kemauan,

dan pengalaman yang muncul dalam diri sendiri serta ditunjang oleh

kemampuan finansial sedangkan kondisi eksternal terkait dengan keberadaan

daya tarik, fasilitas, pelayanan, serta kemudahan akses ke tempat yang ingin

dikunjungi. Kedua hal inilah yang menjadi faktor yang memotivasi seseorang

melakukan perjalanan wisata (Keliwar dan Nurcahyo, 2015). Motivasi

merupakan kekuatan internal yang menyebabkan seseorang melakukan

Page 74: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Nilai dan Kemanfaatan Anoa Breeding Centre …….. Rahma Suryaningsih et al.

57

tindakan (Rangkuti, 2009). Dengan memahami motivasi, kita dapat

mengetahui keinginan dan perilaku setiap individu. Motivasi pengunjung

dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu tujuan, frekuensi kunjungan, alasan

berkunjung kembali, obyek yang menarik seperti satwa (Teguh et al., 2010).

Gambar 4. Persentase motivasi kunjungan

Secara umum motivasi pengunjung dalam melakukan kunjungan ke ABC

cukup bervariasi, yaitu motivasi kerja, motivasi pendidikan dan pelatihan,

motivasi wisata, dan motivasi lainnya. Berdasarkan hasil analisis data,

diketahui bahwa motivasi kerja merupakan motivasi yang mendominasi

pengunjung ABC yaitu sebanyak 82 orang (71,93%). Hal ini menunjukkan

bahwa keberadaan ABC sebagai salah satu bentuk upaya konservasi anoa

secara eksitu menjadi penting. Terutama dengan keberhasilan yang telah

diraih oleh ABC dengan menghasilkan tiga anak anoa baru hasil perkawinan

secara alami. Keberhasilan ini tentunya semakin menarik minat pengunjung

untuk mengetahui bagaimana bentuk pengelolaan konservasi eksitu anoa.

Motivasi kerja dari pengunjung ABC yaitu kunjungan kerja, studi banding, dan

kerjasama. Hasil ini berkorelasi dengan karakteristik jenis pekerjaan

pengunjung ABC yang didominasi oleh pegawai negeri sipil dan pegawai

swasta.

Motivasi kunjungan kerjasama berasal dari beberapa perusahaan,

lembaga konservasi luar negeri dan instansi pemerintah lainnya yang ingin

memberikan dukungannya kepada ABC. Keberhasilan ABC dalam melestarikan

anoa menjadi suatu bukti kesungguhan pemerintah Indonesia lewat lembaga

penelitian BP2LHK Manado turut serta dalam usaha pelestarian satwa langka

Official

Visit

71,93%

Tourism

14,04%

Research

and

education

11,40%

Others

2,63%

Page 75: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

58

terancam punah. Dukungan yang diterima pihak ABC dalam bentuk bantuan

dana CSR (corporate social responsibility). Iqbal dan Sudaryanto (2008)

menjelaskan bahwa dana CSR merupakan dana yang dikeluarkan pihak

perusahaan untuk membantu masyarakat dalam bentuk kemitraan. Dana CSR

diartikan sebagai tanggung jawab perusahaan/lembaga profit terhadap

masyarakat di sekitar wilayah operasi kegiatannya. Bantuan dana CSR

perusahaan untuk ABC yaitu PT. Cargill Amurang-Indonesia, PT. MSM dan PT.

JRBM dalam bentuk pembangunan sarana dan prasarana ABC (tenaga

medis/dokter hewan, kandang, klinik, kendaraan operasional, peralatan

medis, timbangan anoa). Dukungan luar negeri datang dari Zoo Leipzig dalam

bentuk berupa peningkatan kapasitas SDM melalui kegiatan pelatihan keeper

dan dokter hewan (veteriner) di ABC.

Selain motivasi kerja, terdapat pula motivasi yang lain yaitu motivasi

wisata sebanyak 16 orang (14,04%), motivasi pendidikan dan penelitian

sebanyak 13 orang (11,40%), dan motivasi lainnya sebanyak 3 orang

(2,63%). Motivasi wisata pengunjung ke ABC umumnya didasari oleh rasa

cinta terhadap satwa dan penasaran terhadap satwa anoa. Rata-rata

pengunjung untuk motivasi ini berasal dari luar negeri. Adetola dan Adedire

(2018) menjelaskan bahwa pengunjung kebun binatang dan aquarium di

beberapa negara setiap tahunnya dapat mencapai jutaan orang. Pengunjung

tersebut berasal dari berbagai belahan dunia. Sebagian besar dari mereka

adalah orang yang tinggal di daerah perkotaan dan jarang bersinggungan

dengan alam. Kunjungan mereka ke kebun binatang utamanya karena

ketertarikan untuk melihat dan berinteraksi dengan satwa yang juga tidak

biasa mereka temukan. Awalnya, pengunjung ini tidak memasukkan ABC

sebagai salah satu destinasi wisata mereka saat berkunjung ke Sulawesi

Utara. Adapun akhirnya mereka berkunjung ke ABC, karena mereka

penasaran dan tertarik untuk melihat anoa secara langsung. Tidak semua

kebun binatang di luar negeri yang memiliki satwa anoa, diperkirakan hanya

sekitar 150 individu anoa yang ada di seluruh Eropa dan Amerika. Keberadaan

anoa di habitat alam pun semakin sulit untuk ditemui sehingga ABC memiliki

peluang besar menjadi tujuan wisata edukasi tentang anoa. Informasi tentang

keberadaan ABC, selain dari media elektronik juga mereka peroleh dari teman-

temannya yang pernah berkunjung sebelumnya. Ketika pengunjung tersebut

tiba di ABC, terlihat mereka sangat senang melihat dan berinteraksi dengan

anoa secara langsung.

Pengunjung ABC dengan motivasi pendidikan dan penelitian dilakukan

oleh pelajar dan mahasiswa. Untuk kegiatan pendidikan, ABC memiliki

Page 76: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Nilai dan Kemanfaatan Anoa Breeding Centre …….. Rahma Suryaningsih et al.

59

program save anoa yang bertujuan untuk mengedukasi masyarakat untuk

menjaga kelestarian anoa. Pelajar yang berkunjung ke ABC, mulai dari anak

usia dini (PAUD), TK, hingga SMA. Pengunjung tidak hanya datang dari

sekolah formal, tetapi juga dari komunitas home schooling. Mereka

berkunjung ke ABC untuk belajar tentang satwa (anoa). Konsep proses belajar

yang ditawarkan ABC ke mereka tidak kaku, dimana pelajar akan diedukasi di

luar ruangan (penangkaran dan sekitarnya) sehingga pelajar akan lebih

mudah mencerna apa yang disampaikan dan tentu saja mereka dapat

berinteraksi secara langsung dengan anoa. Untuk kegiatan penelitian,

mahasiswa yang berkunjung mulai dari S1 hingga S3. Masih kurangnya kajian-

kajian penelitian tentang anoa sehingga mendorong mereka untuk melakukan

penelitian di ABC. Judul penelitian pun bervariasi sehingga diharapkan

hasilnya dapat memperkaya pengetahuan tentang satwa anoa.

Volunteering adalah salah satu kegiatan di ABC. Kegiatan volunteering

merupakan kegiatan sukarela, kesediaan meluangkan waktu, tenaga serta

biaya untuk membantu dan berpartisipasi dalam manajemen pengelolaan

ABC. Volunteer yang datang di ABC tidak hanya berasal dari Indonesia tapi

juga dari luar negeri. Sejak tahun 2016-2018 terdata jumlah volunteer

sebanyak enam orang yang berasal dari berbagai negara (Gambar 3).

Ketertarikan mereka untuk berkunjung menjadi volunteer di ABC selain

kecintaan terhadap satwa juga ingin memperoleh pengalaman. Jumlah

perbandingan volunteer di ABC berdasarkan gender adalah 2 : 4 dimana dua

adalah laki-laki dan empat perempuan.

Gambar 5. Jumlah kunjungan volunteer di ABC sampai tahun 2018

berdasarkan negara

0 1 2 3

Indonesia

Canada

Germany

England

Jumlah Volunteer

Neg

ara

Page 77: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

60

IV. KESIMPULAN

Karakteristik kunjungan di ABC di dominasi pengunjung yang berasal dari

luar Sulawesi Utara sebesar 45,61%, dari dalam Sulawesi Utara sebesar

41,23% dan luar negeri sebesar 13,16%. Berdasarkan jenis kelamin,

pengunjung didominasi oleh pengujung laki-laki sebesar 68,42% dan

perempuan sebesar 31,52%. Berdasarkan pekerjaan, pengunjung ABC di

dominasi oleh pengunjung yang berprofesi sebagai pegawai baik pemerintah

dan swasta dengan persentase yang sama yaitu sebesar 39,47%.

Berdasarkan cara melakukan kunjungan didominasi oleh pengunjung

berkelompok sebesar 85,96%. Motivasi kunjungan di ABC didominasi oleh

kunjungan kerja dalam bentuk studi banding atau hanya sekedar melihat anoa

sebagai satwa yang langka dan terancam punah sebesar 71,93%.

V. SARAN

Diperlukan penelitian lebih lanjut dan mendalam tentang hubungan

antara karakteristik dan motivasi kunjungan, serta potensi pengembangan

dan penguatan kelembagaan ABC ke depan. Selain itu, penelitian mengenai

dampak kunjungan terhadap perilaku anoa juga perlu untuk dilakukan untuk

mengetahui bagaimana pengaruh kunjungan terhadap anoa di ABC.

VI. UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih diucapkan kepada Tim Anoa Breeding Centre Balai

Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado atas

sumbangsih ide dan tenaga dalam kegiatan pengumpulan data serta

pendampingan kepada pengunjung Anoa Breeding Centre.

VII. DAFTAR PUSTAKA

Burton, J., Wheeler, P. & Mustari, A. (2016). Bubalus depressicornis. The IUCN

Red List of Threatened Species 2016: e. T3126A4636422. Retrieved 17

Oktober 2018 dari https://www.iucnredlist.org

Arini, D. I. D. & Nugroho, A. (2016). Preferensi habitat Anoa (Bubalus spp.) di

Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Seminar Nasional Masyarakat

Biodiversity Indonesia, 2 (1), (p.103-108). Retrieved 14 September 2018

dari http://biodiversitas.mipa.uns.ac.id

Bowyer, J. L., Shmulsky, R., & Haygreen, J. G. (2007). Forest Products and

Wood Science: an introduction. Lowa: Blackwell Publishing.

Departemen Kehutanan. 2004. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor:

Page 78: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Nilai dan Kemanfaatan Anoa Breeding Centre …….. Rahma Suryaningsih et al.

61

P.01/Menhut-11/2004 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat di

Dalam dan atau di Sekitar Hutan dalam Rangka Social Forestry. Jakarta:

Biro Hukum dan Organisasi Dephut.

Herawati, H., & Santoso, H. (2011). Tropical forest susceptibility to and risk of

fire under changing climate: A review of fire nature, policy and

institutions in Indonesia. Forest Policy and Economics, 13(4), 227 – 233.

Keliwar, S. & Nurcahyo, A. (2015). Motivasi dan persepsi pengunjung terhadap

obyek wisata desa budaya pampang di Samarinda. Jurnal Manajemen

Resort dan Leisure, 12(2), 10-27. Retrieved 10 Oktober 2018 dari

http://ejournal.upi.edu

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. (2012). Peraturan Kepala Lembaga

Ilmu Pengetahuan Indonesia Nomor: 04/E/2012 tentang Pedoman Karya

Tulis Ilmiah. Jakarta: LIPI.

Rangkuti, F. 2008. Analisis SWOT : Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta :

PT. Gramedia Pustaka.

Teguh, I.G., Rachmawati, E. & Masy’ud, B. (2010). Studi tentang motivasi dan

persepsi pengujung terhadap pengelolaan pemanfaatan satwa sebagai

obyek wisata di Taman Satwa Punti Kayu Palembang Sumatera Selatan.

Jurnal Media Konservasi, 15(3), 131-138.

Puspitasari, A., Masyu’d, B. & Sunarminto, T. (2016). Nilai kontribusi kebun

binatang terhadap konservasi satwa, sosial ekonomi, dan lingkungan

fisik : studi kasus Kebun Binatang Bandung. Jurnal Media Konservasi,

21(2), 116-124.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2018). Keberhasilan

pengembangbiakan satwa di lembaga konservasi. Retrieved 16 Oktober

2018 dari http://www.menlhk.go.id/berita-11197-keberhasilan-

pengembangbiakan-satwa-di-lembaga-konservasi.html.

Adetola, B. O. & Adedire, P. O. (2018). Visitors’ motivation and willingness to

pay for conservation in selected zoos in Southwest Nigeria. Journal

Application of Science Environmental Management, 22(4), 532-537.

Kementerian Kehutanan. (2013). Peraturan Menteri Kehutanan No. 54 Tahun

2013 tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Anoa Tahun 2013-

2022. Jakarta : Kementerian Kehutanan.

Kementeraian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2018). Peraturan Menteri

Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor.

P.20/Menlhk/Setjen/Kum.1/2018 tentang Jenis Satwa dan Tumbuhan

yang Dilindungi. Jakarta : Kementerian Lingkungan Hidup dan

Page 79: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

62

Kehutanan.

Iqbal, M., & Sudaryanto, T. (2008). Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

(Corporate Social Responsibility) dalam Perspektif Kebijakan

Pembangunan Pertanian. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian, 6(2), 155-

173.

Page 80: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Aktivitas Harian dan Pengelolaan Gajah Jinak…….. Wanda Kuswanda, S.P. Barus, dan A. Sukmana

63

Aktivitas Harian dan Pengelolaan Gajah Jinak (Elephas maximus sumatranus)

di Sumatera Utara1

Daily Activity and Captive Elephant Management (Elephas maximus sumatranus) in North Sumatera

Wanda Kuswanda2, Sriyanti Puspita Barus2, Asep Sukmana2

ABSTRACT

Daily activities information of captive elephants that under the human control still

very limited. This research aimed to obtain information of daily activities and

management model of the captive elephants in Tangkahan, Langkat District and

Barumun Nagari Wildlife Sanctuary (BNWS), Padang Lawas Utara District. The

research was conducted for 8 months, from March to October 2017 and

conducted with focal animal sampling method by focusing the treatment and

daily activities of elephants and analyzed it descriptively. The results showed that

the elephant daily activities in Tangkahan has been patterned and scheduled.

Elephant daily activities like bathing, feeding as well as riding to forest, were

applied to the management model for ecotourism purposes. However, the

situation in BNWS were more naturally because the management model applies

the animal welfare techniques therefore they are grazed in the feed area. In the

future, management model of Aek Nauli Elephant Conservation Camp (ANECC) in

KHDTK Aek Nauli and others can adapt the management system in Tangkahan

and BNWS.

Keywords : Barumun, daily activity, elephant, Tangkahan

1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya

Pelestarian Sumber Daya Alam, diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado dan SEAMEO BIOTROP, Manado 24 Oktober 2018

2 Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aek Nauli, nomor telp : +6282165986846; E-mail : [email protected]

Page 81: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

64

I. PENDAHULUAN

Populasi gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) diperkirakan di

alam liar hanya tinggal 1.800 ekor. Penyebab berkurangnya populasi gajah

tidak hanya disebabkan oleh hilangnya habitat, namun juga pembunuhan

ilegal yang dipicu oleh konflik gajah manusia (HEC) dan perburuan gajah

untuk pencurian gading (Departemen Kehutanan, 2007; Cynthia and

McGinley, 2010; Fernando et al., 2011; Das et al., 2012;). Berbagai kegiatan

dalam konservasi gajah sumatera terus dilakukan oleh para pihak, baik

pemerintah, swasta maupun LSM. Salah satunya adalah mengoptimalkan

konservasi dan pemanfaatan gajah jinak/captive (dibawah pemeliharaan

manusia) secara sinergi dan berkelanjutan di Pusat Latihan Gajah (PLG).

Program pemeliharaan satwaliar seperti gajah telah banyak dilakukan

dan digunakan untuk tujuan ganda yaitu untuk memenuhi kebutuhan

masyarakat (orientasi sosial ekonomi, budaya, rekreasi) juga sekaligus untuk

menopang kelestarian spesies tersebut (Alikodra, 2010). Pemanfaatan gajah

jinak di Indonesia sendiri sejauh ini telah dilakukan untuk beberapa hal, yaitu;

mitigasi konflik gajah dengan manusia, penelitian ekologi, pendidikan

konservasi, program breeding, dan ekowisata (Thitaram, 2012; Ritonga, 2012;

Duffy, 2014). Saat ini masih tersisa sekitar 500-an individu gajah jinak yang

hidup di bawah pemeliharaan manusia di Pusat Latihan Gajah di Sumatera

dan Lembaga Konservasi di Indonesia (Sumatera, Jawa, dan Bali) yang

berpotensi sebagai stok genetik bila dikelola dengan baik dan terarah

(Departemen Kehutanan, 2007).

Gajah jinak yang berada dibawah pemantauan manusia, sangat

membutuhkan manusia terutama dalam proses adaptasi dan pemenuhan

kebutuhan untuk dapat terus bertahan hidup pada wilayah baru dan terbatas.

Berbagai perlakuan tentunya telah dilakukan oleh pengelola agar gajah

mampu beradaptasi, bertahan hidup bahkan bereproduksi saat berada

dilingkungan yang terbatas (Thitaram, 2012; De Mel et al., 2013; Hayward et

al., 2014). Namun, informasi perlakuan dan aktivitas harian gajah pada

berbagai lokasi pengelolaan gajah jinak sampai saat ini masih sangat sedikit,

seperti di Kawasan Tangkahan, Taman Nasional Gunung Leuser, Kabupaten

Langkat maupun dilokasi lainnya.

Untuk itu, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi

perlakuan dan aktivitas harian serta model pengelolaan gajah jinak pada dua

lokasi pemeliharaan gajah jinak di Sumatera Utara, yaitu di Kawasan

Tangkahan dan Barumun Nagari Wildlife Sanctuary (BNWS). Hasil penelitian

Page 82: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Aktivitas Harian dan Pengelolaan Gajah Jinak…….. Wanda Kuswanda, S.P. Barus, dan A. Sukmana

65

ini dapat dijadikan acuan untuk mengembangkan konservasi dan ekowisata

gajah di KHDTK Aek Nauli ke depannya.

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di dua lokasi pengelolaan gajah jinak, yaitu di

Kawasan Tangkahan yang berada di daerah penyangga TN. Gunung Leuser

(TNGL) Kabupaten Langkat dan Barumun Nagari Wildlife Sanctuary (BNWS)

yang merupakan daerah penyangga Suaka Margasatwa Barumun, Kabupaten

Padang Lawas Utara, Sumatera Utara. Waktu penelitian dilaksanakan selama

delapan bulan, mulai dari bulan Maret - Oktober 2017. Gambaran lokasi

penelitian seperti disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Peta lokasi ekowisata gajah Tangkahan dan BNWS

B. Bahan dan Alat

Bahan yang menjadi obyek dalam penelitian ini adalah gajah di

Tangkahan dan BNWS. Alat yang digunakan adalah teropong, kamera, tally

sheet, alat tulis menulis serta peralatan penelitian lainnya.

C. Metode Penelitian

Pengamatan dilakukan menggunakan metode focal animal sampling,

yaitu dengan cara mengikuti aktivitas harian gajah, mulai pagi hari saat gajah

dikeluarkan dari kandang (08.00 WIB) sampai sore hari (17.30 WIB) saat

gajah kembali ke kandang. Pengumpulan data dilakukan juga melalui diskusi

terhadap pengelola, mahout dan petugas lapangan terkait perlakuan dan

model pengelolaan yang diterapkan kepada gajah jinak yang terdapat di

setiap lokasi.

Page 83: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

66

D. Analisis Data

Analisis dilakukan dengan cara rekapitulasi dan telaah data hasil

pengamatan yang dikelompokkan berdasarkan pembagian waktu setiap

perlakuan dan aktivitas harian gajah yang sudah ditetapkan oleh pengelola di

setiap lokasi pengamatan.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Lokasi Pengelolaan Gajah Jinak

1. Kawasan Konservasi dan Ekowisata Gajah Tangkahan, Kabupaten Langkat

Kawasan konservasi dan ekowisata gajah jinak Tangkahan secara status

dan fungsi kawasan termasuk ke dalam Kawasan TNGL. TNGL merupakan

satu kesatuan kawasan pelestarian alam, seluas 1.094.692 hektar yang

terletak di dua provinsi, yaitu Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi

Sumatera Utara. Kawasan TNGL berada pada koordinat 96º 35”- 98º 30” BT

dan 2º 50” – 4º 10” LU. Lokasi pemeliharaan gajahnya saat ini berada di

daerah penyangganya, Kabupaten Langkat (Balai TNGL, 2014).

Hasil wawancara dengan petugas Balai TNGL menyebutkan bahwa

pertama kali inisiatif pembentukan Tangkahan dimulai pada akhir tahun 1999

dengan fokus desa sebagai basis pengamanan kawasan TNGL. Selanjutnya,

baru pada tanggal 22 April 2001 dibentuk Tangkahan Simalem Ranger yang

dilanjutkan dengan dikukuhkannya Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT)

pada 19 Mei 2001. MoU pertama antara Balai TNGL dengan LPT

ditandatangani pada 22 April 2002. Pengembangan ekowisata ditingkatkan

lagi setelah Indecon mendampingi proses mulai September 2002. Pola

pengamanan TNGL ditingkatkan dengan dibentuknya Conservation Response

Unit (CRU) bekerjasama dengan FFI pada Januari 2003 (Balai TNGL, 2014).

Kunjungan ke kawasan Tangkahan sampai saat ini terus meningkat

terutama dengan semakin dikembangkannya wisata gajah. Saat ini sedang

diuji coba safari gajah yang menembus Tangkahan – Bukit Lawang, dengan

waktu tempuh 4 hari 3 malam. Namun masih perlu dikaji potensi

pengembangannya dan sekaligus dampaknya, khususnya pada jalur-jalur

treking yang dilalui oleh gajah. Kawasan Tangkahan sampai saat ini

menawarkan pemandangan yang indah dan udara segar yang menyejukkan,

kombinasi dari vegetasi hutan hujan tropis dan topografi yang berbukit.

Keadaan ini mengakibatkan Tangkahan sebagai tempat yang ideal untuk

berwisata. Bagi orang Medan mendengar kata Tangkahan pasti akan

terngiang dengan “Gajah”. Hal ini karena Tangkahan dikenal sebagai tempat

pengelolaan gajah jinak yang bisa dikunjungi sebagai lokasi ekowisata.

Page 84: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Aktivitas Harian dan Pengelolaan Gajah Jinak…….. Wanda Kuswanda, S.P. Barus, dan A. Sukmana

67

Kawasan wisata gajah Tangkahan memiliki cerita yang sangat menarik,

yang telah menjadi inspirasi dan pembelajaran bagi para penggiat wisata dan

pelestarian alam di berbagai kawasan lindung di Indonesia. Tangkahan ini

dulunya merupakan salah satu titik pusat penebangan liar (illegal logging) di

kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Aktivitas illegal logging merupakan

pendapatan utama bagi masyarakat di hutan Tangkahan. Namun, dengan

berkembangnya ekowisata gajah di Tangkahan, aktivitas illegal logging bisa

dikurangi karena mata pencaharian masyarakat lebih banyak sebagai

penggiat ekowisata gajah di Tangkahan. Masyarakat membuka penginapan,

tempat makan, warung souvenir sampai menjadi pemandu para wisatawan

asing maupun lokal. Menurut Issac dan Wuleka (2012), pengembangan

ekowisata dapat merubah perilaku masyarakat yang sebelumnya merusak

lingkungan menjadi lebih memperhatikan kelestarian lingkungan karena ada

sumber pendapatan lain dari ekowisata yang memanfaatkan obyek

lingkungan di sekitar tempat tinggalnya.

Dalam pengelolaan gajah jinak untuk kepentingan konservasi dan

ekowisata, hal yang sangat perlu diperhatikan adalah tercukupinya makanan

dan luasan home range (Mahanani, 2012). Keberagaman karakteristik

ekosistem pada wilayah jelajah, seperti area penggembalaan akan semakin

meningkatkan keberagaman aktivitas gajah yang dapat dinikmati oleh

wisatawan (Winarno, 2015). Menurut kepala desa, pengembangan ekowisata

di Tangkahan sebelumnya adalah hanya sebatas menjual keindahan air terjun

dan keindahan sungai Tangkahan. Ekowisata di desa mereka terus

berkembang dengan adanya gajah di Tangkahan dan hampir setiap libur selalu

dikunjungi oleh turis mancanegara maupun wisatawan lokal. Masyarakat Desa

Namu Sialang merasa bersyukur dengan adanya pengembangan wisata gajah

di desa mereka yang dibantu oleh Kementerian Kehutanan, khususnya Balai

Besar TNGL. Masyarakat saat ini sudah tidak perlu lagi menebang kayu di

kawasan TNGL bahkan turut serta menjaganya karena mereka sudah

mendapatkan uang dengan semakin banyaknya wisatawan yang datang ke

Tangkahan. Namun menurut kepala desa masih perlu adanya perbaikan

sarana jalan karena sebagian jalan sudah rusak dan bertanah. Hampir 13 km

jalan menuju Tangkahan belum diaspal sehingga wisatawan sering mengeluh

dengan kondisi aksesibilitas menuju ke Tangkahan.

2. Kawasan Barumun Nagari Wildlife Sanctuary (BNWS).

Kawasan Barumun Nagari Wildlife Sanctuary (BNWS) merupakan salah

satu daerah pengelolaan gajah jinak yang terdapat di Sumatera Utara.

Page 85: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

68

Kawasan ini merupakan lahan milik yang dimiliki oleh seorang warga di

Tapanuli Selatan (Bapak Salim). Kawasan untuk peruntukan pemeliharaan

dan ‘ngangon’ gajah diperkirakan mencapai 100 ha dari total seluruh kawasan

sekitar 800 ha. Kawasan BNWS berada di sekitar Desa Morang dan Desa Batu

Nanggar, Kecamatan Batang Onang, Kabupaten Padang Lawas Utara.

Kegiatan pemeliharaan gajah di kawasan ini sudah berjalan mulai dari awal

tahun 2016.

Kawasan BNWS dikelilingi oleh perkebunan sawit milik Keluarga Salim

maupun masyarakat lainnya di daerah Padang Lawas Utara. Pada kawasan

BNWS juga terdapat area Sanctuari Harimau Sumatera dan lokasi perawatan

siamang. Pada kawasan ini terdapat danau yang cukup potensial juga

dikembangkan sebagai kawasan ekowisata. Gajah jinak yang berada di

wilayah BNWS merupakan gajah yang didatangkan dari Holiday Resort dan

Pusat Latihan Gajah Aras Senapal, TNGL. Gajah yang dipelihara di BNWS

sebanyak 10 gajah, yang terdiri dari 3 jantan dewasa, 6 betina dewasa, dan

1 anak. Pada awal bulan November, Kawasan Barumun Nagari Wildlife

Sanctuary (BNWS) mendapatkan penambahan 2 ekor gajah sehingga saat ini

ada 12 gajah di Kawasan BNWS.

B. Perlakuan dan Aktivitas Harian Gajah

1. Kawasan Konservasi dan Ekowisata Gajah Tangkahan, Kabupaten Langkat

Berdasarkan pengamatan dan wawancara tentang perlakuan dalam

pemeliharaan gajah jinak di Tangkahan diperoleh informasi bahwa jumlah

gajah yang dikelola di Tangkahan saat ini berjumlah 10 ekor, yang terdiri dari

7 ekor dewasa dan 3 anak. Anak-anak gajah tersebut semuanya lahir pada

tahun 2015. Gajah-gajah tersebut dipelihara di kandang sosialisasi yang

dibatasi oleh ‘kabel elektrik’ yang dialiri oleh arus listrik dengan tegangan yang

rendah sehingga tidak membahayakan bagi manusia. Aliran listrik tersebut

hanya difungsikan untuk memberikan ‘efek terkejut’ pada gajah untuk

mengantisipasi gajah keluar atau berontak pada saat masa ‘emas’ atau masa

birahi. Kandang sosialisasi ini juga berfungsi sebagai sarana gajah untuk

melakukan aktivitas makan dan perilaku sosial seperti kondisi perilaku gajah

yang mengelompok pada alam liar (Duffy, 2014).

Page 86: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Aktivitas Harian dan Pengelolaan Gajah Jinak…….. Wanda Kuswanda, S.P. Barus, dan A. Sukmana

69

Gambar 2. Gajah pada kandang sosialisasi di Tangkahan

Hasil pengamatan dengan cara mengikuti aktivitas gajah di Tangkahan

diperoleh informasi tentang aktivitas harian gajah sebagai berikut :

a. Aktivitas Pukul 08.30 - 09.30

Pada pukul 08.30 gajah dikeluarkan dari kandang oleh para mahout yang

sekaligus berfungsi sebagai kandang sosialisasi dan kandang tambat. Gajah

kemudian langsung digiring ke sungai untuk membuang kotoran dan mandi.

Gajah sebelum dimandikan di sungai diberikan perintah berbaris di pinggir

sungai untuk membuang kotoran dan air kencingnya. Apabila kotoran belum

keluar maka mahout akan mengeluarkan kotoran dengan memasukkan

tangan ke dalam lubang kotorannya. Hal ini dilakukan untuk mengurangi

gajah membuang kotoran pada saat mandi di sungai sehingga tidak

mencemari air sungai.

Pada saat ada kunjungan wisatawan, para wisatawan diminta ikut serta

untuk memandikan gajah di sungai dan membersihkan kulit gajah dengan

sikat. Atraksi lain pada waktu memandikan gajah adalah gajah diperintahkan

untuk menyemprotkan air kepada pengunjung melalui belalainya. Hasil

pengamatan di lokasi pemandian, para wisatawan diberikan kesempatan

untuk memberi pakan gajah yang berupa pisang, tebu, dan buah-buahan

lainnya. Gajah di Tangkahan sudah terbiasa berinteraksi dengan pengunjung

sehingga aktivitas tersebut sangat mengesankan bagi pengunjung.

Page 87: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

70

b. Aktivitas Pukul 09.30 - 11.30

Aktivitas gajah dari pukul 09.30-11.30 WIB adalah berupa mengantar

wisatawan untuk melakukan tracking dengan menunggangi gajah. Jalur

tracking berada di kawasan hutan dengan panjang sekitar 1,8 km. Pada saat

berangkat wisatawan menunggangi gajah dan pulangnya dijemput oleh mobil

atau kembali jalan kaki mengikuti atau menunggangi gajah. Pada saat

tracking di dalam hutan terdapat juga lokasi penggembalaan sebagai tempat

gajah untuk mencari dan mengkonsumsi pakan alami di hutan. Area

penggembalaan berada di sekitar jalur tracking gajah.

Aktivitas menunggangi gajah di Tangkahan masih dijadikan salah satu

paket wisata untuk para turis. Menurut pengelola Tangkahan, paket ini

merupakan salah satu paket yang menarik untuk dijual dengan harga mahal

bagi para turis. Walaupun para petugas menyadari bahwa paket wisata

tunggang gajah sudah menjadi pro kontra diantara para penggiat konservasi

satwa gajah. Oleh para penggiat konservasi, aktivitas ini dianggap sebagai

salah satu aktivitas yang mengeksploitasi satwa sehingga tidak layak untuk

dijadikan paket wisata.

c. Aktivitas Pukul 11.30 - 14.00

Pada siang hari gajah kembali ke lokasi wisata dan dimasukkan ke

kandang sosialisasi untuk diberi makanan. Makanan sehari-hari gajah

Tangkahan adalah pelepah sawit, tangkai jagung dan ditambah buah-buahan.

Setelah makan gajah disuruh istirahat di kandang gajah.

d. Aktivitas Pukul 14.00 - 15.30

Perlakuan pada gajah setelah makan siang biasanya kembali melakukan

tracking ke dalam hutan sambil ‘ngangon’ gajah untuk mencari makan di

hutan sebagai makan alami tambahan. Tracking gajah pada sore hari

dilakukan apabila ada turis/wisatawan yang ingin menunggangi gajah. Apabila

tidak ada wisatawan maka biasanya gajah dibiarkan di kandang untuk makan

dan istirahat.

e. Aktivitas Pukul 15.30 - 17.00

Gajah dimandikan kembali ke sungai dan merupakan paket wisata juga

seperti pada pagi hari.

f. Aktivitas Pukul 17.00 - 08.30

Setelah mandi sore gajah dimasukkan dan dibiarkan di kandang

sosialisasi tanpa diikat. Pengikatan gajah hanya dilakukan pada saat gajah

diberi makan agar tidak saling berebut dengan yang lainnya. Selebihnya gajah

Page 88: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Aktivitas Harian dan Pengelolaan Gajah Jinak…….. Wanda Kuswanda, S.P. Barus, dan A. Sukmana

71

dibiarkan bersosialisasi di kandang tanpa diikat rantai pada kakinya. Kandang

sosialisasi 10 gajah di Tangkahan mempunyai luasan sekitar 0,8 ha. Kandang

sosialisasi dibatasi dengan kabel yang dialiri arus listrik dengan voltase yang

rendah sehingga tidak membahayakan gajah dan manusia.

2. Kawasan Barumun Nagari Wildlife Sanctuary (BNWS).

Hasil wawancara dengan Kepala Mahout Gajah menyatakan bahwa

prinsip pengelolaan gajah di BNWS adalah menggunakan metode animal

welfare atau kesejahteraan satwa. Pengelolaan gajah yang dikembangkan

adalah memberikan kenyamanan dan kebebasan secara fisik, pencegahan

rasa sakit dan ketersediaan ruang sosialisasi bagi gajah dengan menyediakan

berbagai kebutuhan gajah, seperti area makan, tempat berlindung,

pemeliharaan kesehatan dan kebebasan dari tekanan manusia. Hasil

pengamatan perlakukan gajah yang dikelola oleh pihak BNWS dalam setiap

hari adalah sebagai berikut :

a. Pukul 08.00 - 09.00

Gajah diberi makan pertama pada pagi hari berupa pisang sekitar 2 sisir,

pepaya 3 buah dan tebu 5 batang untuk setiap ekor. Setelah itu gajah

dibiarkan secara alami untuk mandi pada kolam mandi. Gajah juga

diintruksikan untuk buang kotoran sebelum masuk kolam.

b. Pukul 09.00 - 16.00

Gajah secara alami dilepaskan dan tanpa diikat untuk mencari makan

secara mandiri pada area padang penggembalaan yang terdapat di sekitar

area BNWS. Mahout gajah hanya mengintruksikan gajah untuk menuju lokasi

‘ngangon’. Pada setiap hari lokasi ngangon berganti hal ini untuk menghindari

kejenuhan pada gajah dan sekaligus membiarkan gajah bergerak untuk

mencari makan seperti pada perilaku alaminya.

Selama proses ‘ngangon’ tugas mahout adalah mengawasi gajah agar

tidak sampai pada perkebunan masyarakat atau kemungkinan terjadi

perkelahian pada gajah-gajah yang diangon. Selama gajah diangon sangat

sedikit intervensi dari mahout. Untuk kebutuhan mandi di siang hari, kadang

gajah juga mengunjungi sungai-sungai yang berada di dalam kawasan BNWS.

c. Pukul 16.00 - 17.30

Pada sore hari setelah digembalakan untuk mencari makan sendiri maka

gajah disuruh kembali memasuki kandang tambat dan kandang sosialisasi.

Pada kandang sosialisasi gajah dibiarkan bergerombol untuk memenuhi

kebutuhan sosialnya seperti perilaku alami gajah. Pada sore hari, setelah

berada di kandang, diberi juga makanan tambahan untuk dikonsumsi pada

Page 89: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

72

malam hari. Makanan tambahan yang diberikan dan dibiarkan dikonsumsi

sendiri oleh gajah diantaranya adalah pelepah sawit, jagung, dan pisang.

Pada sore hari gajah dibiarkan memasuki kolam untuk mandi

berdasarkan nalurinya sendiri, tidak ada jadwal tertentu agar gajah mandi di

sore hari. Berdasarkan hasil wawancara dengan mahout, sebelum masuk

kandang pada saat perjalanan menuju kandang sosialisasi terkadang gajah

mandi di sungai-sungai kecil yang berada di sekitar lokasi makan menuju

kandang sosialisasi.

d. Pukul 17.30 - 08.00

Gajah berada dikandang sosialisasi dan akan digembalakan kembali

seperti biasa di hari berikutnya. Aktivitas gajah pada malam hari di dalam

kandang sosialisasi adalah makan, mandi dan melakukan aktivitas sosial

lainnya.

Untuk mendukung tingkat kesejahteraan gajah, terdapat beberapa

perlakukan yang diterapkan pada gajah yang dipelihara di BNWS diantaranya

adalah :

a. Pemberian makanan suplemen yang dimasak 1 minggu sekali. Makanan

tambahan tersebut berupa dedak, gula merah, kacang hijau, beras merah,

dan asam jawa. Selain itu, makanan tambahan tersebut dicampur dengan

kunyit, kencur, jahe, dan lengkuas dengan rata-rata sebanyak 5 kg per

jenisnya. Makanan tersebut biasanya diberikan pada pagi hari sebelum

gajah diangon di padang penggembalaan.

b. Pengecekan kesehatan berupa pengecekan luka dilakukan setiap sore

terutama dilihat dari telinganya. Peluang luka sangat tinggi karena gajah

sering memasuki semak-semak untuk mencari makan dan bagian yang

paling rentan adalah telinganya.

c. Pemeriksaan kesehatan melalui pengambilan darah dilakukan setiap bulan.

Hasil pengamatan aktivitas harian dengan mengikuti beberapa individu

gajah pada saat gajah ‘diangon’, mulai dari pukul 09.00 - 16.00 menunjukkan

bahwa proporsi waktu yang paling tinggi digunakan oleh gajah umumnya

untuk mencari makan. Rata-rata 80% durasi aktivitasnya digunakan untuk

makan, 15% untuk bergerak dalam rangka mencari makan dan mengikuti

individu yang lain dan sisanya untuk mandi dan bersosialisasi.

Hal yang menarik saat pengamatan adalah ketika aktivitas induk gajah

untuk melindungi anaknya ketika merasa terganggu oleh kehadiran pengamat

karena menggunakan kendaraan mobil. Gajah dewasa berkumpul dan

melindungi anaknya ‘Lia’ agar tidak didekati oleh kami. Hal lain yang

Page 90: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Aktivitas Harian dan Pengelolaan Gajah Jinak…….. Wanda Kuswanda, S.P. Barus, dan A. Sukmana

73

ditemukan adalah gajah jinak yang dipelihara di BNWS akan mendekati

pengunjung terutama yang membawa tas. Perilaku ini merupakan perilaku

yang terbentuk pada gajah peliharaan karena kebiasaan melihat mahout

mengambil makanan dari tasnya, seperti pisang dan ubi kayu. Perilaku makan

lainnya adalah kekurangtertarikan gajah pada tanaman sawit yang berada di

sekitar area angonnya. Hal ini dimungkinkan karena masih banyaknya jenis

tumbuhan lain dan rumput-rumputan yang banyak di area padang

penggembalaannya.

Gambar 3. Aktivitas sosial gajah untuk melindungi anaknya di BNWS

Berdasarkan hasil wawancara dengan mahout ditemukan bahwa perilaku

gajah sudah mulai berubah dibandingkan ketika datang, terutama saat waktu

gajah mandi. Gajah yang ada di BNWS tidak ditentukan waktu mandinya,

seperti gajah di Tangkahan karena pada area kandang telah dibangun kolam

mandi. Mahout lebih membiarkan gajah mandi sendiri secara bebas dan

beberapa gajah biasa mandi juga pada malam hari.

Menurut hasil diskusi dengan mohout, hal yang perlu diperhatikan dalam

pemeliharaan gajah jinak adalah ketika masa ‘emas’ atau sedang dalam masa

birahi. Hal ini karena gajah dalam masa ‘emas’ sangat berbahaya dan tidak

bisa didekati oleh mahoutnya. Saat ini, di BNWS sedang dirancang kandang

khusus untuk memisahkan gajah terutama saat masa ‘emas’. Rancangan

pembangunan kandang ‘emas’ akan dibantu oleh seorang voulenter dari

Page 91: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

74

Australia yang sudah berpengalaman dalam penanganan gajah di India dan

Afrika.

b. Perbedaan Pengelolaan Gajah di Tangkahan dan di BNWS

Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, terdapat beberapa perbedaan

perlakuan terhadap aktivitas harian gajah yang dikembangkan di Kawasan

Tangkahan dan BNWS seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Perbedaan pengelolaan gajah di Tangkahan dan BNWS

Pengelolaan Tangkahan BNWS

Tujuan

Utama

Ekowisata Konservasi

Populasi 10 ekor 12 ekor

Perlakuan Paket ekowisata berupa

menunggang gajah,

memandikan gajah,

memberi makan gajah

Melihat perilaku alami gajah,

seperti terlibat

menggembalakan gajah

Aktivitas

harian

Sudah terjadwal

08.30-09.30 : gajah

keluar

kandang dan

mandi di

sungai

09.30-11.30 : paket

tracking

11.30-14.00 : pemberian

makanan di

kandang

sosialiasasi

14.00-15.30 : paket

tracking

15.30-17.00 : gajah

dimandikan

di sungai

17.30-08.30 : gajah

dimasukkan

ke

kandang,

pemberian

Dibiarkan secara alami

08.00-09.00 : gajah keluar

kandang dan

dibiarkan

secara alami

untuk mandi

09.00-16.00 : gajah mencari

makan secara

mandiri pada

area

penggembalaan

16.00-17.30 : gajah kembali

ke kandang

17.30-08.00 : pemberian

makanan

tambahan dan

melakukan

aktivitas sosial

Page 92: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Aktivitas Harian dan Pengelolaan Gajah Jinak…….. Wanda Kuswanda, S.P. Barus, dan A. Sukmana

75

Pengelolaan Tangkahan BNWS

makanan,

melakukan

aktivitas

sosial

Uraian perbedaan berdasarkan tabel di atas adalah:

1. Prinsip pengelolaan gajah di Tangkahan lebih banyak untuk

mengembangkan paket ekowisata gajah dalam upaya untuk membantu

pendapatan masyarakat sekitar dan mengurangi aktivitas pencurian kayu

di dalam kawasan TNGL. Prinsip pengelolaan gajah di BNWS menggunakan

metode ‘animal walfare’ dimana gajah lebih dibiarkan mengembangkan

perilaku alaminya di hutan terutama pada saat ngangon di siang hari.

2. Pada Kawasan Tangkahan perlakuan terhadap gajah sudah terjadwal

secara tetap, seperti jadwal untuk mandi, untuk makan dan untuk

mengantar wisatawan ke dalam hutan. Hal ini sangat dipahami karena

prioritas model pengelolaan gajah di Tangkahan untuk tujuan

pengembangan ekowisata sehingga telah ada jadwal-jadwal perlakukan

terhadap gajah. Hal ini berbeda dengan perlakuan gajah yang dilakukan di

Kawasan BNWS dimana gajah lebih banyak dibiarkan secara alami baik

untuk mencari makan maupun mandi. Namun demikian pemberian

makanan pada kandang sosialisasi masih dilakukan oleh mahout terutama

pada pagi hari dan di malam hari.

3. Pada Kawasan Tangkahan masih menerapkan paket wisata ‘tunggang

gajah’ sedangkan untuk di kawasan BNWS tidak akan ada paket ‘tunggang

gajah’ saat wisatawan berwisata ke BNWS. Paket wisata yang akan lebih

dikembangkan di BNWS adalah mengajak pengunjung untuk melihat

perilaku gajah secara alami di alam tanpa intervensi dari mahout.

4. Pemenuhan pakan gajah di Tangkahan lebih banyak didatangkan dari luar

dengan cara membeli dari masyarakat melalui koperasi yang dikelola oleh

Lembaga Pariwisata Tangkahan sedangkan pemenuhan pakan bagi gajah

di BNWS adalah dengan cara membiarakan gajah mencari makan sendiri

di area ‘ngangon’ yang luasnya mencapai 100 ha.

5. Sarana dan prasarana pendukung kegiatan ekowisata di Tangkahan sudah

lengkap, seperti penginapan, warung souvenir dan lainnya karena

Tangkahan sudah dikelola sejak lama dan dilakukan secara profesional.

Pada kawasan BNWS kegiatan ekowisata belum banyak karena saat ini

masih dalam tahap persiapan, termasuk prasarana yang ada di dalamnya.

Page 93: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

76

Pengelolaan masih dibawah pengelolaan Keluarga pemilik lahan. Saat ini

sedang dibangun juga “Kandang Mas” untuk mengantisipasi kemungkinan

gajah ‘ngamuk’ saat sedang birahi.

IV. KESIMPULAN

Aktivitas harian gajah di Tangkahan sudah terjadwal karena menerapkan

model pengelolaan gajah untuk destinasi wisata. Gajah mulai jam 08.30

dikeluarkan dari kandang, diberi makan kemudian mandi dan sampai pukul

12.00 membawa wisatawan tracking ke hutan. Siang hari gajah diberi makan

kembali dan melakukan aktivitas wisata kembali sampai jam 17.00 dan setelah

itu gajah dimasukkan ke dalam kandang. Aktivitas harian gajah di Barumun

Nagari Wildlife Sanctuary (BNWS) lebih dibiarkan melakukan aktivitas alami

karena model pengelolaan lebih menekankan pada prinsip animal walfare.

Gajah pada pagi hari, jam 08.00 di beri makan dan kemudian di ‘angon’

sampai sore hari, jam 17.00 kembali lagi ke kandang. Beberapa perbedaan

perlakuan gajah di Tangkahan dengan di BNWS diantaranya adalah : a)

pengelolaan gajah di Tangkahan lebih menekankan untuk paket wisata

sedangkan di BNWS menekankan pemenuhan kesejahteraan satwa, b)

aktivitas gajah di Tangkahan sudah terjadwal sedangkan di BNWS lebih bebas

di luar kendali mahout, c) pemenuhan pakan gajah di Tangkahan banyak

membeli dari masyarakat sedangkan di BNWS gajah lebih banyak dibiarkan

mencari makan sendiri dan d) di Tangkahan gajah masih ‘ditunggangi’

sebagai paket wisata sedangkan di BNWS mahout maupun pengunjung tidak

boleh menunggang gajah.

V. SARAN

1. Untuk lebih mendukung upaya konservasi gajah sebaiknya paket wisata

gajah di Kawasan Tangkahan hanya dilakukan pada pagi hari. Aktivitas

gajah pada siang sampai sore hari lebih difokuskan untuk digembalakan di

dalam hutan sambil melakukan partoli kawasan TNGL.

2. Prinsip pengelolaan gajah jinak di KHDTK Aek Nauli sebaiknya memadukan

antara pengelolaan gajah di Tangkahan untuk tujuan pengembangan

wisata dan pengelolaan di BNWS untuk mendukung program konservasi

gajah. Hasil informasi pengelolaan di dua lokasi pengelolaan gajah jinak

dapat dijadikan acuan untuk mengembangkan konservasi dan ekowisata

gajah di KHDTK Aek Nauli.

Page 94: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Aktivitas Harian dan Pengelolaan Gajah Jinak…….. Wanda Kuswanda, S.P. Barus, dan A. Sukmana

77

VI. UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Balai Penelitian dan

Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aek Nauli, Balai Besar

Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) dan Barumun Nagari Wildlife

Sanctuary (BNWS) yang telah memfasilitasi kegiatan penelitian ini dan kepada

rekan-rekan peneliti, teknisi Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan

Hidup dan Kehutanan Aek Nauli dan petugas lapangan BBTNGL dan BNWS

yang telah membantu seluruh kegiatan penelitian hingga selesainya tulisan

ini.

VII. DAFTAR PUSTAKA

Alikodra, H. S. (2010). Teknik Pengelolaan Satwa Liar dalam Rangka

Mempertahankan Keanekaragaman Hayati Indonesia. Bogor: Penerbit

IPB Press.

Balai Taman Nasional Gunung Leuser. (2009). Rencana Pengelolaan Jangka

Panjang Taman Nasional Gunung Leiser Periode 2010-2029. Direktorat

Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Kementerian

Kehutanan. Medan.

Turnage, C. and McGinley, M. (2010). Asian Elephant, dalam Hogan, C. M. and

Cleveland, C. J. (eds), Encyclopedia of Earth. Washington DC: National

Council for Science and the Environment.

Das, J. P., Lahkar, B. P., and Talukdar, B. (2011). Increasing trend of human

elephant conflict in Golaghat District, Assam, India: Issues and concerns.

Gajah, 37, 34-37.

De Mel, R. K., Weerakoon, D. K., Ratnasooriya, W. D. (2013). A comparison

of stereotypic behaviour in asian elephants at three different institutions

in Sri Lanka. Gajah, 38, 25–29.

Departemen Kehutanan. (2007). Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Gajah

Sumatera 2007-2017. Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam

Departemen Kehutanan. Jakarta

Duffy R. (2014). Interactive elephants: Nature, tourism and neoliberalism.

Annals of Tourism Research, 44, 88–101.

Fernando, P., Jayewardene, J., Prasad, T., Hendavitharana, W., Pastorini, J.

(2011). Current status of Asian elephants in Sri Lanka. Gajah, 35, 93–

103.

Hayward, A. D., Mar, K. U., Lahdenpera, M., Lummaa, V., (2014). Early

reproductive investment, senescence and lifetime reproductive success

in female Asian elephants. J. Evol. Biol., 27, 772–778.

Page 95: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

78

Issac, M. & Wuleka, K. C. J. (2012). Community-Based Ecotourism and

Livelihood Enhancement in Sirigu, Ghana. International Journal of

Humanities and Social Science, 2(18), 97-108. Retrieved from

http://www.ijhssnet.com/journals/ Vol_2_No_18_October_2012/12.pdf.

Kuswanda, W. 2012. Potensi dan strategi pengembangan ekowisata satwaliar

pada hutan konservasi (Studi kasus: Suaka Margasatwa Barumun,

Sumatera Utara). Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian ”Peran

Penelitian Kehutanan dalam Konservasi dan Rehabilitasi di Sumatera”.

Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam.

Mahanani, A. I. (2012). Strategi Konservasi Gajah Sumatera (Elephas

maximus sumatranus) di Suaka Margasatwa Padang Sugihan Provinsi

Sumatera Selatan Berdasarkan Daya Dukung Habitat. Tesis tidak

diterbitkan, Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.

Ritonga, T. A. (2012). Pemanfaatan Gajah Jinak dalam Kegiatan Conservation

Response Unit (CRU) di Tangkahan. Program Studi Kehutanan Fakultas

Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Thitaram, C. (2012). Breeding management of captive Asian elephants

(Elephas maximus) in range countries and zoos. J. Zoo Wild Med., 17,

91–96.

Winarno, G. D. (2015). Pengembangan Ekowisata Gajah di Taman Nasional

Bukit Barisan Selatan Propinsi Lampung. Tesis tidak diterbitkan. Sekolah

Pasca Sarjana, IPB, Bogor.

Page 96: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Pengelolaan Jasa Lingkungan Air di Desa Petanyamang …….. Nur Hayati

79

Pengelolaan Jasa Lingkungan Air di Desa Patanyamang, Kecamatan Camba, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi

Selatan1

Management of Water Environment Services in Patanyamang Village, Camba Sub-district, Maros District, South Sulawesi

Province

Nur Hayati2

ABSTRACT

Forests provide goods and services that have tangible and intangible benefits. One

of the intangible benefits of forests that are felt directly by the community is water

environmental services. The people of Patanyamang Village are very dependent

on the existence of the forest as a provider of water environmental services. They

have long used the environmental services of the water which come from the

Bantimurung Bulusaraung National Park area (Babul NP) as an electricity-

producing turbine player and to meet daily clean water needs. This study aims to

determine the management of water environmental services in Patanyamang

Village. Data collection was conducted through in-depth interviews with a number

of key informants using snowball sampling techniques. Data were analyzed using

qualitative descriptive. The results showed that water environmental services in

Patanyamang Village were used for Micro Hydro Power Plants (PLTMH) and

fulfilment of clean water needs. Management of water environmental services is

managed by groups formed by the village government. Turbine Generator Unit for

Micro Hydro Power Plant (UPT-PLTMH) is a community of users and managers of

MHP. While the community of users and clean water managers are named the

Management Agency for Water Supply and Sanitation Facilities (BP-SPAMS) Tana

Ridie. The integrated management of water environmental services in

Patanyamang Village is very important, to realize the management of water

1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya

Pelestarian Sumber Daya Alam, diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado dan SEAMEO BIOTROP, Manado 24 Oktober 2018.

2 Peneliti di Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar; Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 16,5 Makassar, 90243, telp. (0411) 554049; E-mail: [email protected]

Page 97: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

80

environmental services in a sustainable and environmentally sound manner so

that forests are sustainable and the community is prosperous.

Keywords: environmental services, water, benefits, Micro Hydro Power Plants,

Bantimurung Bulusaraung National Park area

I. PENDAHULUAN

Hutan menyediakan barang dan jasa lingkungan yang mempunyai

manfaat tangible dan manfaat intangible (Mukhamadun, Efrizal & Tarumun,

2008). Jasa lingkungan merupakan produk sumberdaya alam hayati dan

ekosistemnya, potensi jasa lingkungan ini dapat dimanfaatkan tanpa merusak

lingkungan dan tidak mengurangi fungsi utamanya (Agustini, Dharmawan &

Putri, 2017). Ada beberapa jasa lingkungan yang memberikan manfaat

langsung maupun maupun manfaat tidak langsung yaitu jasa lingkungan air,

jasa wisata alam, kesuburan tanah, pengendalian erosi dan banjir, keindahan

dan keunikan alam, penyerapan, dan penyimpanan karbon (Isnan, 2016;

Soenarno, 2014).

Salah satu manfaat intangible dari hutan yang dirasakan langsung oleh

masyarakat Desa Patanyamang adalah jasa lingkungan air. Jasa lingkungan

air merupakan potensi sumberdaya kawasan yang dimanfaatkan oleh

masyarakat sekitar kawasan TN Babul (Hayati & Wakka, 2019). Air merupakan

kebutuhan mendasar makhluk hidup untuk mempertahankan

keberlangsungan hidupnya (Kasim, Midi, & Juliana, 2015). Peranan air bagi

kehidupan mahluk hidup dan lingkungan sangat penting dan merupakan

kebutuhan pokok (Sylviani, 2008). Masyarakat Desa Patanyamang

memanfaatkan jasa lingkungan air ini untuk pemenuhan kebutuhan sehari-

hari dan penggerak turbin penghasil listrik. Menurut Hayati & Wakka (2016),

sumber mata air di Desa Patanyamang mengalami penurunan kualitas dan

kuantitas pada musim kemarau. Beberapa titik mata air yang digunakan

seringkali mengalami kekeringan dan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro

(PLTMH) sering padam pada musim kemarau. Ketersediaan sumberdaya air

di wilayah hilir tergantung kepada upaya konservasi lingkungan yang

dilakukan di daerah hulu (Puatin, Izzati & Sudarno, 2014; Dasrizal et al.,

2012). Kondisi ini menyadarkan masyarakat Desa Patanyamang tentang arti

pentingnya hutan, sehingga hutan harus dilindungi, dijaga kelestariannya,

ditingkatkan fungsi dan kemanfaatannya. Menurut Lestari & Premono (2015),

kekhawatiran akan bahaya perubahan lingkungan menumbuhkan kesadaran

bagi masyarakat untuk tetap menanam pohon. Pemahaman masyarakat

Page 98: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Pengelolaan Jasa Lingkungan Air di Desa Petanyamang …….. Nur Hayati

81

tentang manfaat sumberdaya hutan terhadap kondisi hidrologis kawasan

menjadi kunci keberhasilan program konservasi sumberdaya hutan.

Masyarakat akan lebih memahami manfaat hutan melalui fungsinya sebagai

sumber air yang digunakan sebagai penggerak turbin penghasil listrik. PLTMH

ini cocok dikembangkan dan lebih terasa manfaatnya di daerah pedesaan

yang terpencil dan belum dialiri listrik dari perusahaan negara (Hayati, 2015).

Desa Patanyamang merupakan salah satu desa di dalam kawasan Taman

Nasional Bantimurung Bulusaraung (TN Babul) yang sudah dikeluarkan

(enclave) dari TN Babul. TN Babul merupakan daerah resapan air yang

memiliki aliran air bawah tanah yang keluar sebagai mata air yang melewati

goa-goa yang terdapat di dalam kawasan. Air yang berasal dari kawasan

taman nasional tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan air bersih,

pengairan lahan pertanian, perikanan, usaha cuci mobil, dan energi listrik

(Hayati & Wakka, 2016). Air yang dimanfaatkan untuk tenaga penggerak

turbin di Desa Patanyamang ini tidak terletak di kawasan TN Babul tetapi hulu

dari mata air tersebut berasal dari kawasan TN Babul. Sumber air yang

digunakan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari terletak di kawasan zona

khusus TN Babul. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengelolaan jasa

lingkungan air di Desa Patanyamang. Hasil penelitian ini diharapkan

memberikan gambaran tentang pengelolaan jasa lingkungan air yang ada

khususnya di kawasan TN Babul.

II. METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di Desa Patanyamang, Kecamatan Camba

Kabupaten Maros. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2018.

Gambar 1. Lokasi Penelitian (Sumber: Google Map, 2018)

Page 99: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

82

B. Sumber dan Pengumpulan Sampel

Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer

diperoleh di lapangan Penelitian menggunakan metode observasi, studi

literatur dan wawancara mendalam (indept interview) dengan informan kunci

dengan menggunakan teknik snowball sampling. Snowball sampling

merupakan teknik pengambilan sampel dengan bantuan informan kunci, dan

dari informan kunci inilah akan berkembang sesuai petunjuknya. Menurut

Nurdiani (2014), identifikasi awal dimulai dari seseorang atau kasus yang

masuk dalam kriteria penelitian, kemudian berdasarkan hubungan keterkaitan

langsung maupun tidak langsung dalam suatu jaringan, ditentukan responden

berikutnya, demikian seterusnya sehingga proses sampling ini berjalan sampai

didapatkan informasi yang cukup dan jumlah sampel yang memadai dan

akurat untuk dapat dianalisis guna menarik kesimpulan penelitian.

C. Analisis data

Data dianalisis secara deskriptif kualitatif. Proses analisis data secara

deskriptif kualitatif adalah sebagai berikut (Subandi, 2011):

1. Tahap pertama dilakukan dengan cara membuat ringkasan data dan

membuat kerangka dasar penyajian data.

2. Tahap kedua adalah penyajian data yaitu penyusunan sekumpulan

informasi menjadi pernyataan yang memungkinkan penarikan kesimpulan.

Data disajikan dalam bentuk teks naratif yang merupakan jawaban

terhadap pertanyaan penelitian.

3. Tahap ketiga adalah penarikan kesimpulan. Penarikan kesimpulan

disesuaikan dengan pertanyaan penelitian dan tujuan dari penelitian ini.

Analisis deskriptif kualitatif ini digunakan untuk menggambarkan kondisi

lokasi dan pengelolaan jasa lingkungan air di Desa Patanyamang.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Patanyamang berasal dari bahasa “Dentong” (Makassar) yang terdiri dari

dua suku kata yaitu, Patang artinya memiliki dan nyamang artinya rasa

nyaman. Patanyamang merupakan desa yang sudah dienclave dari kawasan

TN Babul. Desa Patanyamang mempunyai luas wilayah seluas ±18,60 km2

yang terdiri atas tiga dusun, tiga RW dan sembilan RT. Patanyamang terletak

7.500 mdpl. Secara administratif batas-batas Desa Patanyamang, Kecamatan

Camba, Kabupaten Maros sebagai berikut : sebelah utara Desa Bentengnge

(Kecamatan Mallawa), sebelah selatan Desa Pattirodeceng, sebelah timur

Desa Barugae (Kecamatan Mallawa), sebelah barat Desa Bonto Birao

Page 100: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Pengelolaan Jasa Lingkungan Air di Desa Petanyamang …….. Nur Hayati

83

(Kabupaten Pangkep). Jarak Desa Patanyamang dari Kecamatan Camba 15

km ke arah utara dan 63 km dari ibu kota Kabupaten Maros. Sebagian besar

daerahnya masih sulit dijangkau karena berada di daerah pegunungan

dengan akses jalan tanah, berbatu, berbelok-belok, dan naik-turun.

Desa Patanyamang dihuni oleh 1.518 jiwa, 454 Kepala Keluarga (KK)

atau 1.200 jiwa belum memeroleh layanan listrik dari Perusahaan Listrik

Negara (PLN). Masyarakat menggunakan petromaks dan lampu minyak tanah

pada malam hari. Dampaknya, kegiatan masyarakat di malam hari menjadi

sangat terbatas. Keberadaan PLTMH di Desa Patanyamang membuat

masyarakat dapat menikmati listrik, walaupun hanya sebatas untuk lampu

penerangan saja.

Desa Patanyamang merupakan desa pertanian, 434 jiwa (29,3%)

penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Penggunaan tanah di

Desa Patanyamang sebagian besar diperuntukan untuk lahan pertanian

(sekitar 250 ha) dan perkebunan (sekitar 74 ha), pemukiman (sekitar 24 ha),

kawasan hutan (sekitar 829 ha) dan sedangkan sisanya untuk bangunan

fasilitas umum. Komoditas pertanian yang dominan ditanam oleh petani

adalah padi, kacang tanah dan jahe, sedang komoditas perkebunan adalah

kemiri dan cengkeh.

B. Pengelolaan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH)

Kebutuhan listrik di Desa Patanyamang terpenuhi melalui Pembangkit

Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) yang dibangun pada tahun 2004/2005.

Pembangunan mikro hidro ini merupakan inisiatif masyarakat sendiri.

Masyarakat melihat bahwa potensi aliran sungai-sungai yang deras dapat

dimanfaatkan sebagai PLTMH. Instalasi mikrohidro ini dibangun melalui

Program Pengembangan Kecamatan (PPK). Pada awalnya PLTMH ini hanya

bisa dimanfaatkan oleh sekitar 130 rumah, pada tahun 2018 jumlah

pelanggan PLTMH bertambah menjadi 270 rumah. Sebelum tahun 2018,

masyarakat Desa Patanyamang sangat tergantung dari PLTMH karena PLN

baru masuk ke Desa Patanyamang pada tahun 2018, ada sekitar 50 KK yang

sudah berlangganan PLN. Tetapi masyarakat tetap mengkombinasikan

pemakaian listrik dari PLTMH dengan PLN. Hal ini dikarenakan biaya listrik dari

PLTMH lebih murah dibandingkan listrik dari PLN. Masyarakat juga

memerlukan listrik secara kontinyu dari PLN untuk beberapa alat elektronik,

misalnya kulkas dan rice cooker, karena PLTMH hanya beroperasi dari jam

04.00 sore hari hingga jam 08.00 pagi, kecuali hari minggu dan jumat PLTMH

dioperasikan selama 24 jam.

Page 101: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

84

Pada tahun 2006/2007 PLTMH ini dikembangkan kapasitasnya melalui

Microhydro Power Project (MHPP). Mikro hidro ini dibangun dengan

menggunakan Alokasi Dana Desa (ADD), dana Unit Pelaksana Teknis (UPT)

dan swadaya masyarakat. Daya turbin yang dimiliki sebesar 40 kW, tetapi

daya maksimal yang dapat didistribusikan ke rumah pelanggan adalah 32 kW

(Hayati & Wakka, 2016).

Tantangan yang dihadapi oleh pengelola turbin adalah biaya yang

diperlukan untuk mengelola dan menjaga keberlanjutan PLTMH tersebut

tidaklah sedikit. Pengelola turbin pada waktu itu belum mempunyai

mekanisme pengelolaan yang baik untuk menjaga keberlanjutan pasokan

listrik, sehingga pada tahun 2007, berdasarkan musyawarah desa, disepakati

tata kelola penggunaan listrik desa yang berlaku bagi seluruh masyarakat

desa, Pengelolaan PLTMH dikoordinasi oleh Unit Pengelola Turbin (UPT) dan

dikuatkan dengan regulasi di tingkat desa. Pemerintah Desa Patanyamang

telah mengeluarkan Peraturan Desa Patanyamang Kecamatan Camba

Kabupaten Maros Nomor : 03 Tahun 2007 tentang Pengelolaan, Pemeliharaan

dan Pengembangan Listrik Desa Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro.

Peraturan desa ini menaungi pengelolaan fasilitas umum, dalam hal ini

PLTMH, melalui UPT yang mandiri dan berkelanjutan. Dana iuran lebih

terjamin keberlanjutannya, dana tersebut bisa digunakan untuk memenuhi

kebutuhan warga, antara lain untuk kegiatan usaha, pendidikan, musibah,

dengan jasa pengembalian yang rendah (15% per tahun).

UPT diberi tugas untuk mengelola dan memelihara PLTMH. Untuk

melaksanakan peraturan desa tersebut, masyarakat menyusun dan

menyepakati AD/ART yang mengatur biaya pemasangan, jumlah titik lampu

dan fitting untuk tiap pelanggan, besarnya iuran bulanan, pembatasan alat

elektronik yang boleh digunakan, beban biaya alat elektronik, serta tanggal

pembayaran iuran. Setiap kepala keluarga (KK) pemanfaat listrik dikenakan

iuran antara Rp18.000,00/bulan sampai Rp40.000,00/bulan, tergantung

pemakaian. Biaya tambahan dikenakan untuk peralatan elektronik tambahan

seperti kulkas, televisi, kipas angin, dan lain-lain. Pemakaian dibatasi sampai

100 watt.

Pihak pengelola turbin melakukan pengaturan pemadaman secara

bergilir di tiga jalur yang ada dan membangun bak penampung air untuk

menjaga pasokan listrik secara berkelanjutan dan mengatasi keterbatasan

daya yang terjadi saat musim kemarau karena debit air sungai berkurang. Ada

sanksi bagi pemanfaat yang melanggar peraturan dijalankan sesuai AD/ART

secara konsisten, hingga pemutusan jaringan.

Page 102: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Pengelolaan Jasa Lingkungan Air di Desa Petanyamang …….. Nur Hayati

85

Pada tahun 2008, Patanyamang menjadi iklan Program Program Nasional

Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) listrik desa. PNPM merupakan salah satu

mekanisme program pemberdayaan masyarakat dalam upaya mempercepat

penanggulangan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja di wilayah

perdesaan. PNPM Mandiri Perdesaan mengadopsi sepenuhnya mekanisme

dan prosedur Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang telah

dilaksanakan sejak 1998.

Desa memiliki tenaga terlatih untuk mengoperasionalkan, merawat, serta

memperbaiki turbin dan jaringan. Sarana PLTMH dapat dikembangkan

menjadi area yang mempunyai nilai jual sehingga dapat memberikan

kontribusi bagi Pendapatan Asli Desa (PAD). Pengelola PLTMH adalah sebuah

organisasi yang mengoperasikan PLTMH, memelihara, melakukan

pengelolaan administrasi dan melaksanakan kegiatan lain yang berhubungan

dengan operasi PLTMH. Pengelola PLTMH terdiri dari pembina, ketua,

sekretaris, bendahara dan operator. Pengelola PLTMH dipilih oleh masyarakat

secara musyawarah mufakat dan setiap tahun dilakukan evaluasi terhadap

kinerja pengelola PLTMH. Pengurus baru dipilih jika pengurus lama tidak

mampu lagi menjalankan tugasnya atau melakukan penyelewengan tanggung

jawab.

Pengelolaan PLTMH dilakukan dengan sistem penggajian/pemberian

honorarium bulanan kepada pengelola dan operator PLTMH. Pengurus berhak

menerima honorarium bulanan. Honorarium pembina, ketua, sekretaris,

bendahara dan operator dapat ditentukan sesuai jumlah iuran bulanan

pelanggan yaitu 50% dari jumlah total iuran bulanan yang masuk pada bulan

berjalan. Honor untuk operator harus mempertimbangkan dengan tugas-

tugasnya. Dana kas UPT yang tersimpan di rekening bank sejak tahun 2004

sampai tahun 2018 sebesar Rp111.000.000,00.

Dasar perhitungan tarif listrik harus mampu menutup biaya operasional

dan biaya pemeliharaan. Tarif yang bertetapkan sekarang adalah untuk

pemakaian lampu jatah setiap pelanggan adalah 30 watt dengan jumlah tarif

pembayaran Rp15.000,00. Tarif pembayaran pemakaian pesawat televisi

adalah berdasarkan besarnya watt televisi pelanggan, yaitu Rp180,00/watt.

Penarikan iuran listrik dilakukan setiap bulan dari tanggal 1 hingga tanggal 15

bulan berjalan. Penarikan dilakukan pada awal bulan, contoh: pemakaian

bulan Januari ditagihkan pada bulan Februari. Penarikan iuran dilakukan di

kantor UPT. Jika pelanggan telat membayar pada bulan pertama, maka denda

dikenakan sebesar 5% dari biaya beban. Jika pelanggan menunggak 2 bulan

berturut-turut maka denda dikenakan sebesar 25% dari biaya beban. Jika

Page 103: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

86

pelanggan tidak membayar tagihan 3 bulan berturut-turut maka sambungan

listrik diputus sama sekali dan untuk menyambung kembali maka pelanggan

harus melunasi semua tunggakannya.

Pada musim kemarau PLTMH di Desa Patanyamang sering padam.

Kondisi ini yang menyebabkan masyarakat merasakan arti pentingnya hutan

sebagai pengatur dan penyedia air. Aliran sungai yang dimanfaatkan untuk

penggerak turbin tersebut berada di luar kawasan taman nasional namun

sungai tersebut berhulu dari kawasan taman nasional sehingga menurut

Hayati & Wakka (2016), keberadaan mikro hidro ini dapat menyadarkan

masyarakat bahwa kawasan hutan itu penting sebagai penyedia air yang

dapat digunakan sebagai penggerak turbin penghasil energi listrik. Tingkat

kesadaran masyarakat Desa Patanyamang terhadap pentingnya hutan sangat

tinggi hal ini ditunjukkan dari sikap masyarakat yang turut menjaga hutan di

sekitar sumber mata air dengan menanam tanaman kayu dan tidak menebang

kayu di kawasan hutan.

Gambar 1. Kondisi Desa Patanyamang sebagai desa mandiri energi

C. Pengelolaan air untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari

Ketersediaan air untuk kebutuhan sehari-hari merupakan masalah

mendasar pemenuhan kebutuhan air di seluruh dunia (Wardah & Farsia,

Page 104: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Pengelolaan Jasa Lingkungan Air di Desa Petanyamang …….. Nur Hayati

87

2013). Pemanfaatan sumberdaya air merupakan salah satu target yang harus

dicapai oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam rangka

memenuhi kebutuhan air sehari-hari (Rismunandar, C. Kusmana, & L.

Syaufina, 2016). Pemanfaatan air untuk kebutuhan air di Desa Patanyamang

Kabupaten Maros difasilitasi oleh PAMSIMAS (Penyediaan Air Minum dan

Sanitasi berbasis Masyarakat). Pamsimas merupakan salah satu program

nasional untuk meningkatkan akses penduduk perdesaan dan peri urban

terhadap fasilitas air minum dan sanitasi yang layak dengan pendekatan

berbasis masyarakat (Natsir, 2015). Pada saat awal pembangunan bak dan

saluran air, masyarakat calon pengguna air tersebut dilibatkan secara

langsung dalam pembangunan saluran air tersebut dengan cara gotong

royong (swakarya) dan masyarakat berkontribusi dalam menyediakan dana

incash yang dikumpulkan secara sukarela kepada calon pengguna air

tersebut. Masyarakat berkontribusi sesuai kemampuan berkisar antara

Rp50.000,00 – Rp200.000,00 per KK. Pengelolaan air tersebut dikelola oleh

Badan Pengelola Sistem Penyediaan Air Minum dan Sanitasi (BP-SPAM) Desa

Patanyamang Kecamatan Camba, Kabupaten Maros. BP-SPAMS di Desa

Patanyamang ini diberi nama BP-SPAMS Tana Ridie.

BP-SPAMS Tana Ridie dimulai sejak tanggal 24 Juli 2015. BP-SPAMS

Tana Ridie adalah lembaga yang mengelola air bersih kepada masyarakat. BP-

SPAMS Tana Ridie bertujuan untuk mensukseskan pelayanan dan penyediaan

air bersih dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara

umum dan membangun kesadaran masyarakat terhadap masalah lingkungan.

Bangunan fisik BP-SPAMS terdiri atas beberapa komponen yaitu Penangkap

Mata Air (PMA), reservoir, pipa distribusi dan kran umum. Bangunan tersebut

dibangun melalui program PAMSIMAS II tahun 2014 sebesar

Rp287.500.000,00 dan swadaya masyarakat kurang lebih Rp57.500.000,00.

Pemanfaatan air untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari di Desa

Patanyamang sudah memeroleh izin pemanfaata air dari pihak TN. Babul,

dengan diterbitkannya SK. Kepala Balai TN. Babul No. SK. 34/BTNBABUL-

1/2016 tanggal 14 Januari 2016 tentang Izin Pemanfaatan Air (IPA) non

komersial. Izin pemanfaatan ini berlaku selama tiga tahun dan bisa

diperpanjang. Hasil pengukuran debit air di sumber mata air diperoleh debit

air di lokasi izin sebesar 0,75 liter/detik. Sumber mata air yang dimanfaatkan

oleh masyarakat Desa Patanyamang ini terletak di zona khusus.

Page 105: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

88

Gambar 2. Sumber air untuk pemenuhan kebutuhan air bersih

Pengelolaan kebutuhan air bersih di Desa Patanyamang diatur dalam

Peraturan Desa Patanyamang Kecamatan Camba Kabupaten Maros Nomor 05

Tahun 2017 Tentang Pengelolaan dan Pemeliharaan Air Bersih pada Badan

Pengelola Sarana Air Bersih dan Sanitasi ( BP-SPAMS) Tana Ridie.

BP-SPAMS adalah sebuah organisasi pendistribusian air bersih kepada

masyarakat, memelihara dan melakukan pengelolaan administrasi. BP-SPAMS

terdiri dari pembina, ketua, sekretaris, bendahara, seksi teknik, seksi

kesehatan, dan seksi pemberdayaan.

Gambar 3. Struktur organisasi BP-SPAMS Tana Ridie

Berdasarkan Anggaran Dasar dan Rumah Tangga BP-SPAMS Tana Ridie

ketua BP-SPAMS berkewajiban untuk merencanakan garis besar kegiatan

kepengurusan BP-SPAMS seperti rapat rutin, rapat tahunan, pelaporan dan

lain-lain, memberikan penjelasan masalah BP-SPAMS kepada pelanggan,

Ketua Pembina

Kepala desa

Bendahara

Seksi

Pemberdayaaan Seksi Kesehatan Seksi Teknik

Sekretaris

Page 106: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Pengelolaan Jasa Lingkungan Air di Desa Petanyamang …….. Nur Hayati

89

merencanakan pengembangan usaha BP-SPAMS, mempertanggungjawabkan

hasil kerja pengurus kepada pelanggan, merencanakan pengeluaran dan

penerimaan BP-SPAMS dan merencanakan pengembangan dan pelayanan air

minum bersama masyarakat pelanggan.

Sekretaris BP-SPAMS berkewajiban untuk merencanakan acara rapat

bersama ketua BP-SPAMS dan pihak lain, mencatat semua keputusan dalam

rapat, mengarsipkan semua hasil keputusan disetiap rapat, mencatat dan

mengarsipkan surat masuk dan surat keluar dan menyimpan dokumentasi

kegiatan yang ada.

Bendahara BP-SPAMS berkewajiban untuk mencatat semua bahan

perencanaan BP-SPAMS (pengeluaran dan pemasukan uang) baik bulanan

maupun tahunan, mengeluarkan uang dengan persetujuan ketua dari bank,

menyimpan bukti-bukti pembayaran atau pengeluaran sebagai bahan laporan,

membuat laporan keuangan dan menerima dan menyimpan iuran bulanan

Seksi teknis berkewajiban untuk melakukan pemeriksaan bangunan

secara rutin, membersihkan PMA dan reservoir, melakukan pemasangan pipa

distribusi ke rumah pelanggan, melakukan pemeriksaan secara rutin terhadap

sambungan pipa distribusi sampai ke rumah pelanggan .

Pengurus berhak menerima honorarium bulanan. Honorarium pembina,

ketua, bendahara dan seksi teknik ditentukan sesuai jumlah iuran bulanan

pelanggan, yaitu 50% dari jumlah total iuran bulanan yang termasuk pada

bulan berjalan. Pengurus wajib menarik iuran secara teratur kepada para

pelanggan. Pengurus wajib menyimpan dana untuk keadaan darurat dan

perbaikan. Pengurus wajib mengelola BP-SPAMS secara professional untuk

mencapai tujuan. Pengurus wajib memberikan pelayanan air secara adil.

Pengurus wajib membuat dan menyampaikan laporan pertanggung-jawaban

kepada pelanggan.

Keberadaan BP-SPAMS adalah sangat penting, pasca pelaksanaan

kegiatan atau pembangunan sarana air minum dan sanitasi dari program

PAMSIMAS. BP-SPAMS ini diharapkan bisa menjalankan tugas dan fungsinya

dengan baik dalam mengelola sarana yang telah dibangun dan bahkan

mengembangkannya, hingga warga sekitar bisa menikmati air bersih dan

sanitasi semua.

Page 107: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

90

Gambar 4. Pemasangan meteran dan instalasi air

Dasar perhitungan tarif air adalah tarif harus mampu menutupi biaya

operasional dan biaya pemeliharaan. Tarif air yang berlaku pada saat ini

sebesar Rp2.000,00 per mᶟ dan uang beban Rp5.000,00 per pelanggan. Uang

beban ini rencananya digunakan untuk biaya penggantian meteran air yang

rusak karena tekanan air yang besar yang menyebabkan meteran tersebut

rusak.

Penarikan iuran air untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari dilakukan

setiap bulan dari tanggal 1 hingga 15 bulan berjalan. Penarikan dilakukan

pada awal bulan, misalnya pemakaian bulan Januari ditagih pada bulan

Februari. Penarikan iuran dilakukan di sekretariat BP-SPAMS. Jika pelanggan

tidak membayar tiga bulan berturut-turut maka sambungan air diputus sama

sekali dan untuk menyambung kembali maka pelanggan harus melunasi

semua tunggakannya.

Dana hasil iuran bulanan dan iuran harus disimpan di bank. Rekening

bank harus diatasnamakan Lembaga pengelola dan bukan perseorangan.

Rekening bank harus ditanda tangani oleh dua orang yaitu ketua dan

bendahara. Penggunaan dana harus berdasarkan perencanaan pengeluaran

yang disusun oleh tiap bagian kepengurusan BP-SPAMS. Sekretaris harus

menyusun rencana pengeluaran untuk bidang kesekretariatan. Bendahara

menyusun rencana pengeluaran dan pendapatan total BP-SPAMS baik

tahunan maupun bulanan. Dana kas yang tersimpan di bendahara dari tahun

2015 sampai tahun 2018 ini sebesar Rp3 juta.

BP-SPAMS Tana Ridie merupakan satu-satunya lembaga yang mengelola

air bersih di Desa Patanyamang dengan misi pengelola air bersih kepada

masyarakat yang harus dikelola secara baik atas prinsip ekonomi dengan tetap

memperhatikan fungsi sosial kemasyarakatan. BP-SPAMS ini beroperasi

selama 24 jam, kecuali ada kerusakan. Sejak tahun 2015-2018 terjadi

penambahan pelanggan dari 32 pelanggan menjadi 37 pelanggan yang sudah

Page 108: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Pengelolaan Jasa Lingkungan Air di Desa Petanyamang …….. Nur Hayati

91

memanfaatkan air dari BP-SPAMS ini, sebetulnya masih banyak masyarakat

yang berkeinginan untuk berlangganan tetapi terkendala oleh panjang pipa

induk sehingga perlu penambahan panjang pipa induk. Kendala yang sering

dihadapi oleh pengurus adalah rusaknya meteran air, dikarenakan besarnya

debit air yang mengalir ke kran walaupun hanya mengandalkan gaya gravitasi

untuk mengalirkan air dari sumber air ke rumah pelanggan. Biaya kerusakan

materan air ini ditanggung oleh BP-SPAMS.

IV. KESIMPULAN

Masyarakat Desa Patanyamang memanfaatkan air yang berasal dari hulu

kawasan TN Babul sebagai penggerak turbin penghasil listrik. PLTMH ini

dikelola oleh Unit Pembangkit Turbin Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro

(UPT-PLTMH). Pengelolaan, pemeliharaan dan pengembangan listrik desa

PLTMH, diatur dalam Peraturan Desa Patanyamang Nomor 03 Tahun 2007.

Masyarakat Desa Patanyamang memanfaatkan sumber air yang berasal

dari zona khusus TN Babul untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari.

Masyarakat pemakai dan pengelola air bersih ini diberi nama Badan Pengelola

Sarana Penyediaan Air Minum dan Sanitasi (BP-SPAMS) Tana Ridie.

Pengelolaan kebutuhan air bersih di Desa Patanyamang diatur dalam

Peraturan Desa Patanyamang Nomor 05 Tahun 2017.

V. SARAN

Pengelolaan jasa lingkungan air di Desa Patanyamang secara terpadu

sangat penting dilakukan, untuk mewujudkan pengelolaan jasa lingkungan air

secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan sehingga hutan lestari dan

masyarakat sejahtera. Masyarakat dan pihak TN. Babul harus berkolaborasi

dalam memelihara dan menjaga hutan tetap lestari supaya sumberdaya air

tetap kontinyu keberadaanya, misalnya melalui kegiatan penanaman bersama

beberapa jenis tanaman yang mempunyai kemampuan menyimpan air di

sekitar sumber/mata air dan melakukan patroli bersama dengan masyarakat

untuk menjaga hutan.

VI. UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyampaikan terimakasih kepada Balai Penelitian dan

pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar yang telah

mendanai kegiatan penelitian ini. Terimakasih kami sampaikan kepada Bapak

Abd. Kadir W, Bapak Zainuddin dan Bapak Supardi yang telah membantu

dalam pengumpulan data di lapangan, teman-teman PEH di TN. Babul yang

telah mendampingi dalam pengumpulan data dan meluangkan waktu untuk

Page 109: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

92

berdiskusi serta memberikan informasi data sekunder yang mendukung

kegiatan penelitian ini. Terimakasih juga kami disampaikan kepada semua

responden atas kesediaannya untuk diwawancarai.

VII. DAFTAR PUSTAKA

Agustini, S., Dharmawan, A. H. & Putri, E. I. K. (2017). Kontribusi hutan nagari

pada struktur nafkah dan ekonomi pedesaan: Studi kasus Di Padang

Pariaman. Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan, 1(1), 138-147.

Dasrizal, Ansofino, Juita, E., & Jolianis. (2012). Model sistem pembayaran jasa

lingkungan dalam kaitannya dengan konservasi sumberdaya air dan

lahan: studi kasus pada Batang Anai Sumatera Barat. Economica, 1(1),

20-41.

Hayati, N. (2015). Bisnis energi listrik tenaga mikrohidro berbasis masyarakat

di sekitar kawasan TWA Lejja Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan,

dalam Pratiwi, Gintings, A. N., Sundawati, L., & Suryanto, P. (Eds.),

Prosiding Workshop Nasional Pengembangan Mata Pencaharian

Alternatif untuk Masyarakat Lokal dalam Upaya Adaptasi Perubahan Iklim

(p. 195–205). Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Badan

Penelitian dan Pengembangan Hutan.

Hayati, N & Wakka, A. K. (2019). Peran stakeholder dalam implementasi imbal

jasa lingkungan air di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung,

Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Sosial dan

Ekonomi Kehutanan, 16(2), 137-149.

Hayati, N., & Wakka, A. K. (2016). Valuasi ekonomi manfaat air di Taman

Nasional Bantimurung Bulusaraung, Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian

Sosial Dan Ekonomi Kehutanan, 13(1), 47–61.

Isnan, W. (2016). Harga optimal tiket masuk Wisata Alam Bantimurung,

Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 13(3),

155-163.

Kasim, S., Midi, L. O., & Juliana. (2015). Valuasi jasa lingkungan hidrologis

hutan produksi Desa Lakomea Kecamatan Landono Kabupaten Konawe

Selatan. Ecogreen, 1(2), 25–38.

Lestari, S & Premono, B. T. (2015). Kearifan lokal masyarakat dalam menjaga

kelestarian sumber air bersih di Desa Ngalam Baru, Kecamatan Gumay

Talang, Provinsi Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Nasional Restorasi

DAS: Mencari Keterpaduan di Tengah Isu Perubahan Iklim (p.639-648).

Surakarta: BPTKPDAS.

Page 110: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Pengelolaan Jasa Lingkungan Air di Desa Petanyamang …….. Nur Hayati

93

Mukhamadun, Efrizal, T. & Tarumun, S. (2008). Valuasi ekonomi Hutan Ulayat

Buluhcina Desa Buluhcina Kecamatan Siak Hulu Kabupaten Kampar.

Journal of Environmental Science, 3(2), 55-73.

Natsir, M. (2015). Petunjuk Teknis Hibah Khusus Pamsimas (HKP) Program

Pamsimas (PT-1.3). Jakarta.

Nurdiani, N. (2014). Teknik sampling snowball dalam penelitian lapangan.

Comtech, 5(9), 1110-1118.

Puatin, S., Izzati, M., & Sudarno (2014). Strategi konservasi sumberdaya air

di Desa Regunung, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang. Jurnal

Ilmu Tanah dan Agroklimatologi, 11 (2), 104-112.

Rismunandar, Kusmana, C. & Syaufina, L. (2016). Strategi kebijakan

pemanfaatan jasa lingkungan air secara berkelanjutan di Taman Nasional

Gunung Ciremai Kuningan-Jawa Barat. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya

Alam dan Lingkungan, 6(2), 187-199.

Soenarno, S. M. (2014). Pembelajaran materi jasa lingkungan. Jurnal

Formatif, 4(2), 150-156.

Subandi. (2011). Deskripsi kualititatif sebagai satu metode dalam penelitian

pertunjukan. Harmonia: Jurnal Pengetahuan Dan Pemikiran Seni, 11(2),

17-179.

Sylviani. (2008). Kajian distribusi biaya dan manfaat hutan lindung sebagai

pengatur tata air. Jurnal Penelitian Sosial Dan Ekonomi Kehutanan, 5(2),

95-109.

Wardah & Farsia, L. (2013) Penerapan imbal jasa lingkungan dalam

pelestarian daerah aliran sungai di Aceh. Kanun Jurnal Ilmu Hukum, 59

(15), 115-129.

Page 111: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Biomassa dan Cadangan Karbon di Hutan Mangrove ……..

Hadijah Azis Karim, Andi Rosdayanti, Afandi Ahmad

95

Biomassa dan Cadangan Karbon di Hutan Mangrove: Studi Kasus Teluk Bone, Kota Palopo1

Biomass and Carbon Stock at Mangrove Forest: Case Study

Bone Bay, Palopo City

Hadijah Azis Karim2, Andi Rosdayanti2, dan Afandi Ahmad2

ABSTRACT

Mangrove ecosystem at Bone Bay is one of the important coastal ecosystems that

need to be managed and utilized with the application of the principle of

sustainability. Conversion of mangrove ecosystem at Bone Bay is increasing, due

to development area and fishpond. The main objective of this research is to

analyze the potential of biomass and carbon stock and analysis of mangrove

species composition at Bone Bay. Method of this study carried out by making an

sampling plot with systematic sampling with random start technique. Data

collected in this study include primary data regarding mangrove species, tree

diameter and height. Other types of data are secondary data, regarding wood

density and allometric equations of mangrove species. The results of this study

showed that species at Bone Bay consist of Rhizophora mucronata, Rhizophora

apiculata, Rhizopora spp., Xylocarpus granatum, Sonneratia alba and Avicenia

marina. Rhizopora mucronata type which is a type of mangrove vegetation in

Songka Village which has the highest relative density and density of 555.2

individuals /ha and 41.707%. While the Sonneratia alba type has a relative density

and density value of 0.694 individuals/ha and 69.353%, the frequency and

frequency values are 0.889 and 50% respectively in the Temmalebba Village. For

average above-ground carbon stock in the mangrove forest of Songka Village is

113.2 tons/ha with a range between 4.1 - 202.3 tons/ha. While in Temmalebba,

the amount of carbon stock is 62.2 tons/ha with a range of 48.1 - 76.4 tons/ha

Keywords: Biomass Potential, Carbon Reserves, Mangrove Ecosystems, Bone Bay 1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya

Pelestarian Sumber Daya Alam, diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan

Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado dan SEAMEO BIOTROP, Manado 24 Oktober 2018. 2 Fakultas Kehutanan, Universitas Andi Djemma, Jl. Anggrek CC Non Blok, Kota Palopo; E-mail :

[email protected]

Page 112: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

96

I. PENDAHULUAN

Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem hutan yang

memiliki fungsi yang sangat kompleks bagi kawasan pesisir. Sebagai salah

satu tipe ekosistem hutan, ekosistem hutan mangrove memiliki peran yang

penting dalam usaha mitigasi perubahan iklim khususnya wilayah pesisir

(Murdiyarso et al. 2015). Komiyama et al. (2008) menyatakan bahwa hutan

mangrove tropis memiliki kemampuan menyerap dan menyimpan karbon

yang sangat tinggi. Sehubungan dengan hal tersebut, peran ekosistem hutan

yang saat ini masih menjadi fokus kajian dunia, salah satunya adalah sebagai

penyerap dan penyimpan cadangan karbon dalam bentuk biomassa vegetasi.

Biomassa hutan berperan penting dalam siklus biogeokimia terutama dalam

siklus karbon. Dari keseluruhan karbon hutan, sekitar 50% diantaranya

tersimpan dalam vegetasi hutan. Jumlah karbon tersimpan setiap lahan

berbeda-beda, tergantung pada keragaman dan kerapatan tumbuhan yang

ada, spesies tanahnya serta cara pengelolaannya. Biomassa vegetasi hutan

dapat tersimpan di atas permukaan tanah (aboveground biomass) atau di

bawah permukaan tanah (belowground biomass) (Kotowska, 2015). Selain

sebagai penyerap dan penyimpan karbon, hutan juga dapat menjadi emitter

karbon (Murdiyarso et al. 2009). Terjadinya konversi tutupan hutan menjadi

non hutan, maka akan menyebabkan karbon yang tersimpan teremisi ke

atmosfir.

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang telah

meratifikasi konvensi perubahan iklim sejak tahun 1992 (Nurtjahjawilasa et al.

2013). Indonesia terus berupaya memperbaharui data, informasi serta skema

pengelolaan hutan untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari dalam

rangka adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim global. Sektor

kehutanan merupakan salah satu sektor yang berkontribusi terhadap emisi

gas rumah kaca di atmosfir (FAO, 2010; Nurtjahjawilasa et al., 2013).

Berbagai kajian mengenai potensi cadangan biomassa dan karbon

tersimpan di ekosistem mangrove telah dilaksanakan. Bismark et al. (2008)

menyebutkan bahwa potensi biomassa di ekosistem mangrove Cagar Biosfer

Siberut yakni sebesar 49,13 ton/ha (24,56 ton C/ha). Penelitian lainnya yang

dilakukan oleh Feliciano et al. (2014) menyimpulkan bahwa biomassa yang

terkandung dalam pohon mangrove berkisar antara 3,9 – 31,3 kg per individu

pada tingkat pancang dan mencapai 1,7 ton per pohon pada tingkat pohon.

Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Murdiyarso et al. (2015)

menyebutkan bahwa cadangan karbon mangrove di Indonesia tertinggi

(1,082 ton/ha) di antara karbon mangrove yang ada di Thailand dan Vietnam.

Page 113: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Biomassa dan Cadangan Karbon di Hutan Mangrove ……..

Hadijah Azis Karim, Andi Rosdayanti, Afandi Ahmad

97

Namun, seiring banyaknya penelitian potensi cadangan tersebut, luas hutan

magrove pun semakin berkurang. Deforestasi mangrove tercatat sebesar 6%

dari total kehilangan hutan tahunan oleh Kementrian Kehutanan pada tahun

2014, yaitu setara dengan 0,05 Mha (juta hektar). Deforestasi ini disebabkan

adanya pengembangan pembangunan dan alih fungsi lahan yaitu hutan

manggrove dikonversi menjadi tambak/empang, pemukiman, kawasan

industri dan reklamasi pantai. Oleh karena itu, dampak dari deforestrasi ini

mengakibatkan hilangnya 190 juta metrik ton CO2 setiap tahun (CIFOR,

2015).

Inventarisasi hutan merupakan salah satu upaya dalam rangka

memperoleh data dan informasi mengenai potensi areal hutan (Kangas dan

Maltamo, 2006). Perolehan informasi mengenai potensi areal hutan akan

membantu dalam merumuskan tujuan pengelolaan untuk mencapai

pengelolaan hutan lestari. Salah satu informasi yang dapat diperoleh melalui

kegiatan inventarisasi hutan adalah potensi cadangan biomassa dan karbon

tersimpan. Pendekatan yang dapat dilakukan dapat berupa inventarisasi

dengan melakukan penebangan pohon (destructive) atau tanpa melakukan

penebangan (non destructive) (Krisnawati et al. 2012). Sehingga diharapkan

dengan tersedianya data dan informasi cadangan biomassa dan karbon

tersimpan di suatu areal hutan, maka dapat dilakukan upaya perlindungan

kawasan guna menjaga dan bahkan meningkatkan serapan karbon dan

disimpan dalam bentuk biomassa vegetasi hutan.

Teluk Bone sebagai salah satu kawasan perairan di Pulau Sulawesi

memiliki posisi strategis yakni terletak di antara Provinsi Sulawesi Selatan dan

Sulawesi Tenggara. Ketersediaan informasi mengenai potensi cadangan

karbon ekosistem mangrove dapat dijadikan sebagai salah satu acuan dalam

mewujudkan pengelolaan ekosistem secara lestari. Selain itu dengan

perlindungan dan pemanfaatan ekosistem mangrove yang baik diharapkan

mampu meningkatkan peran ekosistem mangrove dalam rangka penyerapan

karbon di udara.

Ekosistem mangrove Teluk Bone merupakan salah satu ekosistem

penting yang perlu dikelola dan dimanfaatkan dengan penerapan prinsip

kelestarian. Mengingat laju deforestrasi mangrove di pesisir Teluk Bone

semakin meningkat akibat pengembangan pembangunan dan alih fungsi

lahan, namun upaya untuk mendokumentasikan potensi biomassa dan

cadangan karbon belum pernah dilakukan. Berdasarkan permasalahan di atas,

maka tujuan penelitian ini adalah menganalisis potensi biomassa dan karbon

di atas permukaan tanah (aboveground biomass) serta analisis komposisi

Page 114: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

98

spesies mangrove di Teluk Bone.

II. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di Hutan Mangrove Teluk Bone selama 6

(enam) bulan pada tahun 2018. Hutan mangrove Teluk Bone dipilih sebagai

lokasi penelitian karena daerah ini masih rentan terjadi konversi tutupan

mangrove menjadi area tambak. Selain itu, daerah ini merupakan barrier bagi

kawasan pesisir Kota Palopo. Pesisir Teluk Bone yang masuk ke dalam daerah

administrasi Kota Palopo tersebar di 6 kecamatan (BPS, 2010). Hal ini

menunjukkan posisi strategi Teluk Bone dalam rangka menunjang kehidupan

masyarakat yang berada di daerah - daerah tersebut khususnya di Kota

Palopo (Gambar 1).

Gambar 1. Peta lokasi studi cadangan karbon mangrove

Pengamatan biomassa dan karbon dapat dibedakan berdasarkan

destructive dan non destructive serta carbon pool yang diukur. Penelitian ini

akan fokus pada biomassa dan karbon di atas permukaan tanah

(aboveground biomass) dengan metode non destructive (tanpa perusakan

Page 115: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Biomassa dan Cadangan Karbon di Hutan Mangrove ……..

Hadijah Azis Karim, Andi Rosdayanti, Afandi Ahmad

99

tegakan).

Pengumpulan data menggunakan alat antara lain GPS receiver, roll meter,

pita ukur, kompas, dan tallysheet. Metode pengumpulan data di lapangan

dilakukan dengan pembuatan plot contoh (sampling plot) dengan teknik

systematic sampling with random start berbentuk persegi dengan ukuran

25⨉25 m (Yusandi, 2015). Semua individu pohon di dalam plot contoh diukur

diameter dan tinggi totalnya dan selanjutnya dianalisis menggunakan

persamaan alometrik untuk masing-masing spesies yang diamati.

Data primer berupa keliling dan spesies pohon selanjutnya dilakukan

analisis vegetasi dengan parameter kerapatan dan frekuensi. Selain itu,

dilakukan juga analisis kandungan biomasa menggunakan persamaan

alometrik yang bersumber dari Komiyama et al. (2008). Spesies mangrove

yang tidak terdapat persamaan alometrik maka digunakan persamaan umum

dengan parameter berat spesies (g/cm3) dan diameter (Tabel 1). Setelah

mendapatkan kandungan biomasa masing-masing spesies, selanjutnya nilai

biomasa tersebut dikonversi menjadi nilai karbon dengan mengalikan nilai

biomasa dengan 0.47 sesuai dengan SNI 2011 yang menyatakan bahwa

sekitar 47% bagian biomasa adalah karbon.

Tabel 1. Persamaan alometrik spesies mangrove

No Spesies Persamaan alometrik Sumber

1 Avicennia marina TDW = 0,308DBH2,11 Komiyama et al. (2008)

2 Rhizophora apiculata TDW = 0,235(DBH)2,42 Imbert dan Rollet (1989)

dalam (Komiyama et al.

2008)

5 Persamaan umum TDW = 0,251ρDBH2,46 Komiyama et al. (2008)

Keterangan: TDW (total dry weight); ρ (berat spesies dalam satuan g/cm3)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Komposisi Spesies Mangrove, Kerapatan dan Frekuensi

Jumlah spesies yang ditemukan di pesisir Teluk Bone, Kota Palopo yakni

sebanyak 6 spesies diantaranya Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata,

Rhizopora sp., Xylocarpus granatum, Sonneratia alba dan Avicenia marina.

Total spesies tersebut terdistribusi di Kelurahan Songka mangrove sebanyak 5

spesies dan Kelurahan Temmalebba sebanyak 3 spesies mangrove. Dominansi

setiap spesies diukur dari nilai kerapatan dan frekuensi berbeda berdasarkan

jumlah individu spesies dan kehadiran spesies pada setiap plot pengamatan

Page 116: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

100

(Tabel 2).

Tabel 2. Komposisi spesies vegetasi mangrove Kelurahan Songka

No Nama Lokal/ Nama Latin/

Family

Jum

-lah

indi-vidu

Kera- patan

(K)

Fre- kuen-

si (F)

Kerapa-

tan

Relatif (KR)

Freku-

ensi

Relatif (FR)

1

Padada/Sonneratia alba/ Sonneratiacecae

132 211,2 0,833 15,865 37,037

2 Bakko/Rhizopora apiculata

/Rizhoporaceae

334 534,4 0,583 40,144 25,926

3

Bakko/Rhizopora mucronata

/Rizhoporaceae

347 555,2 0,417 41,707 18,519

4 Xylocarpus granatum

1 1,6 0,083 0,120 3,704

5 Avicenia marina 18 28,8 0,333 2,163 14,815

TOTAL 832 1331,2 2,25 100,000 100,000

Tabel 3. Komposisi spesies vegetasi mangrove Kelurahan Temmalebba

No

Nama

Lokal/Nama

Latin/Family

Jum

-lah

indiv

idu

Kera-

patan

(K)

Kerapa-

tan

Relatif

(KR)

Freku-

ensi (F)

Freku-

ensi

Relatif

(FR)

1

Padada/Sonneratia

alba/

Sonneratiacecae 568 0,694 69,353 0,889 50,000

2 Bakko/Rhizopora

spp./Rizhoporaceae 248 0,303 30,281 0,778 43,750

3 Avicenia marina/ 3 0,004 0,366 0,111 6,250

TOTAL 819 1 100,000 1,778 100,000

.

Berdasarkan hasil analisis data kerapatan dan frekuensi, spesies

Rhizopora mucronata yang merupakan spesies pada vegetasi mangrove

Kelurahan Songka yang memiliki kerapatan dan kerapatan relatif tertinggi

sebesar 555,2 individu/ha dan 41%. Namun, hal ini berbeda dengan

parameter tingkat kehadiran atau frekuensi dan frekuensi relatif. Spesies yang

memiliki frekuensi dan frekuensi tertinggi adalah Sonneratia alba dengan nilai

Page 117: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Biomassa dan Cadangan Karbon di Hutan Mangrove ……..

Hadijah Azis Karim, Andi Rosdayanti, Afandi Ahmad

101

0,833 dan 37,037%, Sedangkan spesies yang memiliki kerapatan dan

kerapatan relatif terendah sama halnya dengan frekuensi dan frekuensi relatif

yaitu Xylocarpus granatum dengan nilai kerapatan 1,6 individu/ha dan

kerapatan relatif 2%, frekuensi 0,083 dan 3%.

Pada Kelurahan Temmalebba Kota Palopo, spesies sangat dominan

jumlah individu yang ditemukan adalah Sonneratia alba tetapi spesies yang

kerapatannya rendah adalah Avicenia marina. Hal ini pula mempengaruhi nilai

frekuensi dan frekuensi relatifnya. Pada spesies Sonneratia alba, nilai

kerapatan dan kerapatan relatifnya sebesar 0,694 individu/ha dan 69,353%,

sedangkan nilai frekuensi dan frekuensinya sebesar 0,889 dan 50%

berturut-turut. Untuk spesies Avicenia marina, nilai kerapatan dan kerapatan

relatifnya sebesar 0,004 individu/ha dan 0,366%, sedangkan nilai frekuensi

dan frekuensi relatifnya sebesar 0,111 dan 6,250%.

Karakteristik hutan mangrove sekunder di Kota Palopo yang seluruhnya

hutan mangrove sekunder menunjukkan bahwa tidak ditemukannya

zonasi/formasi mangrove yang umum ditemukan. Hasil analisis vegetasi juga

menunjukkan bahwa spesies yang mendominasi adalah Sonneratia sp. dan

Rhizophora spp. Hal ini menunjukkan bahwa ekosistem mangrove di Kota

Palopo sudah mengalami degradasi baik dari segi spesies maupun formasi

ekosistem mangrove.

B. Biomassa Mangrove

Biomassa merupakan total bahan organik hasil dari fotosintesis oleh

tumbuhan tersimpan dalam suatu komunitas. Besaran biomassa sangat

dipengaruhi oleh diameter dan umur tegakan mangrove serta luasan.

Semakin besar diameter, umur dan luasan, maka semakin besar pula

biomassa yang terkandung pada tegakan mangrove. Biomassa vegetasi

mangrove di Kelurahan Songka dan Temmalebba Kota Palopo merupakan

potensi biomassa di atas permukaan tanah yang diperoleh dari potensi

biomassa pohon, anakan dan semai pada keseluruhan plot contoh.

Page 118: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

102

Tabel 4. Potensi biomassa mangrove pada Kelurahan Songka dan

Temmalebba Kota Palopo

Kelurahan Rata-rata

(ton/ha)

Std. Deviasi

(ton/ha)

Std. Error

(ton/ha)

SK (95%)

(ton/ha)

CV

(%)

Songka 240,9 298,3 86,1 51,3 – 430,4 35,8

Temmalebba 131,4 60,5 14,3 101,3 – 161,5 10,9

Tabel 4 di atas menyajikan data potensi biomassa vegetasi mangrove

pada Kelurahan Songka dan Temmalebba. Hasil analisis menunjukkan bahwa

rata-rata potensi biomassa mangrove di Kelurahan Songka lebih besar yaitu

240,9 ton/ha dengan kisaran 51,3 – 430,4 ton/ha, dibandingkan pada lokasi

Kelurahan Temmalebba dengan rata-rata potensi biomassa hanya 131,4

ton/ha dengan kisaran 101,3 – 161,5 ton/ha. Potensi biomassa mengrove

pada kedua lokasi tersebut lebih rendah dari potensi biomassa ekosistem

mangrove yang baik di Asia Tenggara yaitu berkisar antara 250 – 275 ton/ha

(Daniel et al., 2011). Namun total potensi biomassa Kota Palopo masih lebih

besar dibandingkan potensi biomassa mangrove di wilayah Pesisir Kecamatan

Lainea Kabupaten Konawe Selatan (Zulkarnain et al., 2016)

C. Cadangan Karbon

Hutan mangrove Teluk Bone di Kelurahan Songka dan Temmalebba

adalah dua lokasi hutan mangrove yang masih tersisa di Kota Palopo. Hasil

analisis di kedua lokasi tersebut menunjukkan bahwa cadangan karbon pada

biomassa pohon di Kelurahan Songka lebih tinggi dibanding di Kelurahan

Temmalebba (Tabel 5).

Page 119: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Biomassa dan Cadangan Karbon di Hutan Mangrove ……..

Hadijah Azis Karim, Andi Rosdayanti, Afandi Ahmad

103

Tabel 5. Cadangan karbon mangrove pada Kelurahan Songka dan

Temmalebba Kota Palopo

Kelurahan Rata-rata

(ton/ha)

Std. Deviasi

(ton/ha)

Std. Error

(ton/ha)

SK (95%)

(ton/ha)

CV

(%)

Songka 113,2 140,2 40,4 24,1 – 202,3 35,7

Temmalebba 62,2 28,4 6,7 48,1 – 76,4 10,7

Rata-rata cadangan karbon di atas permukaan tanah hutan mangrove

Kelurahan Songka adalah 113,2 ton/ha dengan kisaran antara 24,1 – 202,3

ton/ha. Sedangkan di Kelurahan Temmalebba, rata-rata cadangan karbon

yakni sebesar 62,2 ton/ha dengan kisaran 48,1 – 76,4 ton/ha. Cadangan

karbon pada kedua lokasi tersebut lebih besar dibandingkan dengan

cadangan karbon yang dilaporkan Murdiyarso et al. (2009) di TN Bunaken

yakni sebesar 61,4 ton/ha. Cadangan karbon hutan mangrove sekunder di

Provinsi Sumatera Selatan yang dilaporkan Tiryana et al. (2015) lebih besar

dibanding dengan dua lokasi di Kota Palopo (Songka dan Temmalebba) yakni

sekitar 81 ton/ha. Rendahnya cadangan karbon di Kota Palopo, terjadi karena

tingginya aktivitas manusia di hutan mangrove yang berkaitan dengan

konversi lahan. Hal tersebut terlihat dari semakin banyaknya pembangunan

tambak untuk budidaya rumput laut. Selain itu, terdapat juga beberapa lokasi

yang sementara dilaksanakan pembangunan areal pemukiman.

Cadangan karbon berdasarkan komposisi spesies pada masing-masing

lokasi menunjukkan bahwa spesies Rhizophora mucronata di Kelurahan

Songka memiliki rata-rata cadangan karbon tertinggi yakni sebesar 123

ton/ha. Sedangkan, di Kelurahan Temmalebba, spesies Sonneratia alba

memiliki cadangan karbon tertinggi yakni 35 ton/ha dibanding spesies yang

lainnya pada lokasi tersebut (Gambar 2).

Page 120: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

104

Gambar 2. Rata-rata cadangan karbon (ton/ha) dan jumlah pohon

masing-masing spesies.

Berdasarkan Gambar 2, terlihat bahwa spesies Rhizophora apiculata

pada Kelurahan Songka memiliki jumlah pohon yang hampir sama dengan

Rhizophora mucronata. Namun, hal tersebut tidak menunjukkan tingginya

cadangan karbon pada kedua spesies tersebut. Hal ini disebabkan oleh

diameter Rhizophora apiculata (3,1 – 25,78 cm) lebih kecil dibandingkan

Rhizophora mucronata (0,8 – 39,1 cm).

Cadangan karbon di hutan mangrove Kelurahan Temmalebba juga terjadi

hal yang serupa. Spesies Sonneratia alba menyimpan cadangan karbon yang

tinggi dibandingkan dengan spesies Rhizophora spp. Walapun dari jumlah

pohon yang terdapat di lokasi tersebut, spesies Rhizophora merupakan

spesies yang paling banyak (600 pohon). Tiryana et al. (2015) menyatakan

bahwa rendahnya cadangan karbon ekosistem hutan mangrove sekunder

karena jumlah pohon yang memiliki diameter > 20 cm sedikit.

IV. KESIMPULAN

Rata-rata potensi biomassa mangrove di Kelurahan Songka lebih besar

yaitu 240,9 ton/ha (51,3 – 430,4 ton/ha), dibandingkan pada lokasi Kelurahan

Temmalebba dengan rata-rata potensi biomassa hanya 131,4 ton/ha (101,3 –

161,5 ton/ha).

Rata-rata cadangan karbon di atas permukaan tanah hutan mangrove

Kelurahan Songka adalah 114,7 ton/ha (45,5 – 442,5 ton/ha) dengan

cadangan karbon tertinggi yakni spesies Sonneratia alba. Sedangkan di

Kelurahan Temmalebba yakni sebesar 62,2 ton/ha (101,4 – 163,4 ton/ha) dan

spesies Rhizophora spp. yang memiliki cadangan karbon tertinggi.

Page 121: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Biomassa dan Cadangan Karbon di Hutan Mangrove ……..

Hadijah Azis Karim, Andi Rosdayanti, Afandi Ahmad

105

V. DAFTAR PUSTAKA

Donato, D., Kauffman, J. B., Murdiyarso, D., Kurnianto, S., Stidham, M., &

Kanninen, M. (2011). Mangrove Among the Most Carbon-rich Forest in

the Tropics. Nature Geoscince, 4, 293-297.

FAO. 2010. Global Forest Resource Assessment. Rome (IT): FAO

Kangas, A. & Maltamo M. (2006). Forest Inventory: Methodology and

Applications. Springer.

Krisnawati, H., Adinugroho, W. C., & Imanuddin, R. (2012). Monograf:

Model-Model Alometrik Untuk Pendugaan Biomassa Pohon Pada Berbagai

Tipe Ekosistem Hutan Di Indonesia. Bogor: Pusat Penelitian dan

Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi Badan Penelitian dan

Pengembangan Kehutanan.

Komiyama, A., Ong, J. E., & Poungparn, S. (2008). Allometry, biomass, and

productivity of mangrove forests: A review. Aquatic Botany;

89(2):128–137. doi:10.1016/j.aquabot.2007.12.006.

Kotowska, M. M. (2015). Carbon Pools and Sequestration in Vegetation, Litter

Dynamics and Hydraulic Anatomic Properties in Rainforest

Transformation Systems in Indonesia. Göttingen, Jerman.

Bismark, M., Subiandono, E., & Heriyanto, N. M. (2008). Keragaman dan

potensi spesies serta kandungan karbon hutan mangrove di Sungai

Subelen Siberut, Sumatera Utara. Jurnal Penelitian Hutan Dan Konservasi

Alam, (V):297–306.

Murdiyarso, D., Donato, D., Kauffman, J. B., et al. (2009). Carbon Storage in

Mangrove and Peatland Ecosystems. A preliminary account from plots in

Indonesia. Working Paper; 40. doi:10. 17528/cifor/003233

Murdiyarso, D., Purbopuspito, J., Kauffman, J. B., Warren, M. W., Sasmito, S.

D., Donato, D. C., Manuri, S., Krisnawati, H., Taberima, S., & Kurnianto,

S. (2015). The potential of Indonesian mangrove forests for global

climate change mitigation. Nature Climate Change, (5),8–11.

doi:10.1038/nclimate2734

Nurtjahjawilasa, Duryat, K., Yasman, I., Septiani, Y., & Lasmini. (2013). Modul:

Kebijakan Nasional Perubahan Iklim. Jakarta (ID): Natural Resources

Development Center.

Tiryana, T., Rusolono, T., Siahaan, H., Kunarso, A., & Sumantri H. (2016).

Cadangan Karbon Hutan dan Keanekaragaman Flora di Sumatera

Selatan. Palembang (ID). Deutsche Gesellschaft für Internationale

Zusammenarbeit (GIZ)

Page 122: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

106

Yusandi, S. (2015). Model Penduga Biomassa Hutan Mangrove Menggunakan

Citra Resolusi Sedang Di Areal Kerja BSN Group Kalimantan Brat. Bogor:

Institut Pertanian Bogor.

Zulkaranain, Marwah, S., & Sartika, L. (2016). Sebaran stok karbon vegetasi

mangrove di wilayah pesisir Kecamatan Lainea Kabupaten Konawe

Selatan melalui analisis backscatter citra satelit Radar Alos Palsar L-Band.

Ecogreen, 2(2), 97-105.

Page 123: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Potensi Karbon Hutan Mangrove Desa Sarawet Minahasa Utara…….. Nurlita Indah Wahyuni dan Rahma Suryaningsih

107

Potensi Karbon Hutan Mangrove Desa Sarawet Minahasa Utara untuk Mitigasi Perubahan Iklim1

The Potential of Mangrove Carbon at Sarawet Village of

North Minahasa to Mitigate Climate Change

Nurlita Indah Wahyuni2 dan Rahma Suryaningsih2

ABSTRACT

The potential of carbon from site forest inventory is needed to correct and

complete National Reference Emission Level. This research aims to reveal the

potential of mangrove carbon at Sarawet Village, North Minahasa Regency. Datas

of three carbon pools i.e. above ground biomass, necromass and soil organic

matter were obtained from 30 measured plots. The result found that mangrove

stand of Sarawet Village contain above ground biomass and necromass each

115,45 Mg/ha and 0,06 Mg/ha. There are 8 mangrove species in measuring plots.

The biggest aboveground biomass come from Bruguiera gymnorrhiza 49,62

Mg/ha and Rhizophora apiculata 37,93 Mg/ha. Total carbon from three carbon

pools 99,77 MgC/ha ,i.e. above ground biomass 54,24 Mg/ha, soil organic matter

45,48 Mg/ha and necromass 0,03 Mg/ha. In case of the mangrove forest keep on

its existence then the current mitigation mitigation from Sarawet mangrove forest

approximately equal with 366,14 Mg CO2eq will increase.

Keywords: carbon, mangrove, Sarawet Village, climate change

I. PENDAHULUAN

Dokumen komitmen kontribusi nasional (Intended Nationally Determined

Contribution, INDC) menyatakan komitmen Indonesia untuk menurunkan

emisi pada 2030 sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan

bantuan internasional (MoEF, 2016). Sofia (2019) menyebutkan target

penurunan emisi 29% tersebut berasal dari yaitu sektor kehutanan sebesar

1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya

Pelestarian Sumber Daya Alam, diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado dan SEAMEO BIOTROP, Manado 24 Oktober 2018.

2 Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado; Jl. Raya Adipura Kelurahan Kima Atas Kecamatan Mapanget Manado Sulawesi Utara 95259 Telp. 0431-7242949 ; E-mail : [email protected]

Page 124: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

108

17,2%, sektor energi sebesar 11%, sektor pertanian sebesar 0,32%, sektor

industri sebesar 0,10% dan sektor limbah sebesar 0,38%. Sektor kehutanan

dan energi memberi kontribusi terbesar terhadap total emisi nasional

Indonesia. Skema REDD+ (Reducing Emission from Degradation and

Deforestation) menurut Shrestha et al., (2014) dan Angelsen (2017)

merupakan pembayaran kompensasi penurunan emisi dari deforestasi dan

degradasi hutan berdasarkan hasil (result based aid). Penilaian keberhasilan

Indonesia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor

kehutanan didasarkan pada Tingkat Rujukan Emisi Hutan (TREH). Oleh

karena itu, nilai stok karbon yang diperoleh dari inventarisasi hutan lokal

dibutuhkan untuk memperbaiki nilai-nilai dari TREH nasional (Sidik et al.,

2017).

Desa Sarawet termasuk salah satu desa sangat rentan perubahan iklim

menurut data Sistem Informasi Data Indeks Kerentanan Direktorat Adaptasi

Perubahan Iklim (2015). Desa Sarawet adalah desa pesisir yang sepertiga

wilayahnya berupa hutan mangrove (Kementerian Dalam Negeri, 2017).

Ekosistem hutan mangrove berkontribusi signifikan terhadap siklus karbon

global (Kathiresan, 2012). Hutan mangrove menyimpan potensi karbon

tertinggi di kawasan tropis dibandingkan rata-rata cadangan karbon di

berbagai tipe hutan lainnya (Alongi, 2012; Ahmed & Glaser, 2016).

Vegetasi pada ekosistem pesisir (mangrove) berperan dalam mitigasi

dengan cara menjadi rosot karbon (CO2 sink) untuk menyerap emisi CO2.

Sementara itu dalam hal adaptasi mangrove akan melindungi pesisir dari

kenaikan permukaan air laut dan gelombang laut (Duarte et al., 2013).

Tindakan adaptasi dan mitigasi diharapkan dapat meningkatkan ketahanan

masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim, termasuk inventarisasi data

potensi pengurangan emisi GRK di tingkat lokal (Purwanto et al., 2012). Desa

Sarawet sangat perlu untuk meningkatkan kapasitasnya, salah satunya

dengan cara mitigasi dan mengetahui informasi potensi serapan CO2. Oleh

karena itu, perlu dilakukannya penelitian untuk memperoleh informasi potensi

karbon yang tersimpan di hutan mangrove Desa Sarawet.

II. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Lokasi Penelitian

Pengambilan data dilakukan pada bulan Mei 2017 di area mangrove Desa

Sarawet, Kecamatan Likupang Timur, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi

Sulawesi Utara. Unit analisis penelitian adalah 30 plot berukuran 20 m x 20 m

(Gambar 1).

Page 125: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Potensi Karbon Hutan Mangrove Desa Sarawet Minahasa Utara…….. Nurlita Indah Wahyuni dan Rahma Suryaningsih

109

Gambar 1. Peta sebaran plot pengukuran karbon mangrove

B. Bahan dan alat

Bahan yang digunakan dan menjadi obyek dalam kegiatan penelitian ini

adalah tegakan mangrove di Desa Sarawet. Peralatan yang digunakan pada

saat pengambilan data di lapangan antara lain soil ring sampler, kamera,

plastik spesimen,parang, timbangan digital, pita ukur, kaliper, GPS, tally

sheet, dan alat tulis.

C. Prosedur penelitian

Data biomasa dan karbon mangrove yang diukur meliputi biomasa atas

permukaan (pohon dan tumbuhan bawah), nekromasa dan bahan organik

tanah. Bentuk dan ukuran plot permanen mengacu pada SNI 7724 (Badan

Standardisasi Nasional, 2011), yaitu masing-masing berukuran 20 m x 20 m

(Gambar 2). Plot ukur dibuat transek tegak lurus garis pantai dari arah

pemukiman, dengan jarak antar plot sejauh 20 m (Gambar 3). Pengukuran

data biomasa dilakukan dengan mengukur diameter batang setinggi dada

pada pohon yang berdiameter ≥ 5 cm. Pada nekromasa, data yang diukur

Page 126: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

110

yaitu dimensi panjang dan diameter batang serta diambil sampel kayunya

untuk menduga berat jenisnya. Pengambilan sampel tanah dilakukan dengan

menggunakan soil ring sampler pada 5 titik dalam plot yaitu 4 di sudut plot

dan 1 di titik tengah plot (Gambar 2). Setiap plot diambil sampel tanah

sebanyak 1 sampel komposit yang merupakan campuran dari 5 titik

pengambilan sampel tanah (5 ring soil sampler) pada kedalaman 0-5 cm.

Gambar 2. Plot pengukuran biomasa dan karbon mangrove

Gambar 3. Jalur transek pengukuran mangrove

Keterangan:

Plot ukur pohon (20 m x 20 m)

Plot ukur nekromasa (20 m x 10 m)

Titik pengambilan contoh tanah

20 m

10 m

Page 127: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Potensi Karbon Hutan Mangrove Desa Sarawet Minahasa Utara…….. Nurlita Indah Wahyuni dan Rahma Suryaningsih

111

D. Analisa Data

Data hasil pengukuran biomasa diolah dengan menggunakan persamaan

sebagaimana yang tertera di dalam Tabel 3. Pada tingkat pohon, digunakan

persamaan alometrik yang sudah ada. Sedangkan pada biomasa nekromasa

dihitung menggunakan pendekatan berat kering dan berat basah contoh.

Proses pengeringan menggunakan oven pada suhu 85°C selama 24 jam.

Khusus untuk sampel tanah, dilakukan pengeringan angin (menggunakan

suhu ruang) kemudian pengayakan untuk memisahkan sampel tanah halus

dan kerikil. Sampel tanah halus dan kerikil ini ditimbang lagi untuk

mengetahui berat keringnya. Sampel tanah halus dibawa ke laboratorium

untuk dianalisis kandungan karbon organik.

Data berat jenis kayu diperoleh melalui penelusuran wood density

database ICRAF (The World Agroforestry Centre). Hasil perhitungan tiap

komponen biomasa kemudian ditabulasi dan dikonversi dari satuan kg

menjadi ton/ha. Total cadangan biomasa dalam plot pengukuran merupakan

penjumlahan biomasa pada tiap komponen, yaitu biomasa atas permukaan

dan biomasa nekromasa (kayu mati dan pohon mati). Cadangan karbon

dihitung dengan mengalikan biomasa dengan konstanta fraksi karbon sebesar

0,47 ( Badan Standardisasi Nasional, 2011). Total cadangan karbon dalam

plot pengukuran merupakan penjumlahan karbon atas permukaan, karbon

nekromasa (kayu mati dan pohon mati) dan karbon organik tanah. Data yang

terkumpul disajikan dalam bentuk tabel dan grafik untuk kemudian dianalisis

secara deskriptif.

Page 128: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

112

Tabel 1. Persamaan untuk menghitung biomasa dan karbon mangrove

No Komponen biomasa

Persamaan untuk menghitung biomasa

Keterangan Data yang dihasilkan

1. Pohon

Persamaan alometrik:

BBA : biomasa pohon atas permukaan

(kg) DBH: diameter setinggi dada (cm)

ρ : berat jenis kayu

Biomasa per pohon (kg)

Persamaan umum* BBA = 0,251ρDBH2,46

Komiyama et al., (2005) dalam Komiyama et al., (2008)

Biomasa per pohon (kg)

Avicennia sp BBA = 0,2901(DBH)2,2605

Dharmawan dan Siregar (2008) Biomasa per pohon (kg)

Bruguiera gymnorrhiza logBBA = -0,552 + 2,244 logDBH

Krisnawati et al., (2012) Biomasa per pohon (kg)

Rhizophora apiculate logBBA = -1,315 + 2,614

logDBH

Amira (2008)

dalam Krisnawati et al., (2012) Biomasa per pohon (kg)

Xylocarpus granatum logBBA = -0,763 + 2.23

logDBH

Talan (2008) dalam Krisnawati et al., (2012)

Biomasa per pohon (kg)

Page 129: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Potensi Karbon Hutan Mangrove Desa Sarawet Minahasa Utara…….. Nurlita Indah Wahyuni dan Rahma Suryaningsih

113

No Komponen biomasa

Persamaan untuk menghitung biomasa

Keterangan Data yang dihasilkan

2. Nekromasa

Bn = Vn x BJn

Bn :bahan organik pohon mati atau kayu

mati (kg) Vn :volume pohon mati atau kayu

mati(m3) BJn :berat jenis kayu pohon mati atau

kayu mati (kg/m3)

Biomasa per plot (kg)

Keterangan: * persamaan umum digunakan untuk menghitung biomasa mangrove jenis Ceriops tagal, Rhizophora

mucronata, Sonneratia alba dan Xylocarpus moluccensis,

Page 130: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

114

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Biomasa dan total karbon

Hasil pengukuran menunjukkan hutan mangrove Sarawet menyimpan

biomasa atas permukaan sebesar 115,45 ton/ha dan biomasa nekromasa

sebesar 0,06 ton/ha. Total biomasa hampir sama dengan cadangan biomasa

di Delta Mahakam yaitu sebesar 117,20 ton/ha (Sidik et al., 2017). Nilai ini

lebih besar dibandingkan potensi karbon di lahan rehabilitasi bekas tambak di

Muara Gembong Bekasi sebesar 55,35 ton/ha (Rachmawati et al., 2014) dan

hutan mangrove secara umum di Sulawesi Utara sebesar 6.5 ton/ha (Sondak,

2015). Namun nilai ini lebih kecil dibandingkan dengan hasil pengukuran di

hutan alam 182,5 ton/ha (Dharmawan dan Siregar, 2008) dan 179,39 ton/ha

(Heriyanto dan Subiandono, 2012), serta hutan mangrove Bahowo Bunaken

203,83 ton/ha (Bachmid et al., 018). Pengamatan terhadap tegakan

mangrove mengindikasikan potensi biomasa yang lebih rendah ini

dipengaruhi oleh diameter pohon yang relatif kecil yakni sebanyak 57,35%

pohon dalam plot pengukuran berdiameter 0-10 cm.

Tabel 4. Cadangan biomasa dan karbon pada tiap jenis mangrove

Jenis Biomasa

(ton/hektar)

Karbon

(ton C/hektar)

Avicennia sp. 6,57 3,09

Bruguiera gymnorrhiza 49,62 23,32

Ceriops tagal 12,49 5,87

Rhizophora apiculata 37,93 17,83

Rhizophora mucronata 3,50 1,65

Sonneratia alba 1,62 0,76

Xylocarpus granatum 0,81 0,38

Xylocarpus moluccensis 2,91 1,37

Total 115,45 54,26

Sumber: diolah dari data primer (2017)

Terdapat 8 jenis mangrove dalam plot pengukuran, namun hanya dua

jenis yang mendominasi cadangan biomasa yaitu Bruguiera gymnorrhiza

dengan biomasa sebesar 49,62 ton/hektar dan Rhizophora apiculata sebesar

37.93 ton/hektar (Tabel 4). Besarnya biomasa tiap jenis mangrove

berbeda-beda di tiap lokasi sebagaimana yang tertera dalam Tabel 5. Misalnya

Rhizophora mucronata dan Bruguiera cylindrica yang mendominasi karbon di

mangrove TN Alas Purwo (Heriyanto dan Subiandono, 2012) serta Rhizophora

Page 131: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Potensi Karbon Hutan Mangrove Desa Sarawet Minahasa Utara…….. Nurlita Indah Wahyuni dan Rahma Suryaningsih

115

mucronata dan Sonneratia caseolaris di Muara Gembong (Rachmawati et al.,

2014). Jumlah jenis mangrove yang diukur dalam plot penelitian lebih banyak

dibandingkan penelitian serupa (Tabel 5). Namun penelitian ini tidak

menyertakan pengukuran biomasa nipah (Nypa fruticans) sebagaimana yang

dilakukan oleh (Sidik et al., 2017) walaupun nipah juga bagian dari ekosistem

mangrove dan banyak dijumpai di tepi mangrove Desa Sarawet.

Carbon dari bahan organik tanah di hutan mangrove Sarawet sebesar

45,48 tonC/ha (Gambar 4). Nilai ini jauh lebih kecil dibandingkan hasil

penelitian Mahasani et al., (2015) sebesar 184,62 tonC/ha yang juga diukur di

mangrove bekas tambak. Begitu pula jika dibandingkan dengan pernyataan

Sondak (2015) yang menyebutkan rata-rata bahan organik tanah mangrove di

Sulawesi Utara sebesar 87,5 tonC/ha. Sementara pengukuran Sidik et al.,

(2017) di Delta Mahakam diperoleh bahan organik tanah sebesar 624.7

tonC/ha. Persentase cadangan karbon bahan organik tanah dalam penelitian

ini 45,58% dari total cadangan karbon, nilai ini lebih rendah dibandingkan

persentase cadangan karbon tanah ekosistem mangrove global sebesar 70

-80 % (Murdiyarso et al., 2015). Rata-rata kadar bahan organik tanah dalam

penelitian ini sebesar 10,58% lebih tinggi dibandingkan pengukuran oleh

Dharmawan dan Siregar (2008) sebesar 2,28-3,87%. Penelitian Mahasani et

al., (2015) menunjukkan nilai kadar bahan organik tanah yang berbeda

dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jumlah dan kerapatan pohon,

jenis pohon dan faktor lingkungan meliputi penyinaran matahari, kadar air,

suhu, dan kesuburan tanah yang mempengaruhi laju fotosintesis

Page 132: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

116

Tabel 5. Perbandingan karbon mangrove dengan hasil penelitian di lokasi lainnya

No Penelitian Lokasi

Carbon pools

Jenis mangrove Biomasa atas permukaan

(tonC/ha)

Bahan organik

tanah

1 Sidik et al., (2017)

Delta Mahakam, DAS

Mahakam,

Samarinda 117,20 624,7 tonC/ha

Nipah, Avicennia spp., Heritiera littoralis, Rhizophora spp.,

Sonneratia spp.

2 Rachmawati et al., (2014)

Kawasan Pesisir Muara Gembong,

Bekasi, Jawa Barat

16,13

- R. mucronata

13,87

- S. caseolaris

8,32 -

S. alba

5,60

- A. officinalis

0,66 -

A. marina

2,25 -

A. alba

3 Heriyanto dan Subiandono

(2012)

Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi,

Jawa Timur

102,09

- R. mucronata

54,36 -

B. cylindrica

Page 133: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Potensi Karbon Hutan Mangrove Desa Sarawet Minahasa Utara…….. Nurlita Indah Wahyuni dan Rahma Suryaningsih

117

No Penelitian Lokasi

Carbon pools

Jenis mangrove Biomasa atas

permukaan

(tonC/ha)

Bahan organik tanah

8,93

- A. officinalis

3,25 -

X. Moluccensis

4 Dharmawan dan Siregar (2008)

BKPH Ciasem, KPH Purwakarta, Perum

Perhutani Unit III Jawa Barat dan

Banten

171,50 2,28-3,87 %

A. marina

5 Sondak (2015)

Kawasan Hutan Mangrove Su

lawesi Utara

6,50 87,5 tonC/ha -

6 Mahasani et al., (2015)

Hutan Mangrove Bekas Tambak

Perancak, Jembrana, Bali

- 184,62 tonC/ha

50,18% R. stylosa, C. tagal, B. gymnorrhiza, R. apiculata

7 Bachmid et al., (2018)

Kawasan Hutan

Mangrove Bahowo, Kec. Bunaken,

Sulawesi Utara

203,83

S. alba, R. mucronata, A. officinalis.

8 Kairo et al., (2009)

Mangrove plantations at Gazi

20,25

30,28% R. mucronata

Page 134: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

118

No Penelitian Lokasi

Carbon pools

Jenis mangrove Biomasa atas

permukaan

(tonC/ha)

Bahan organik tanah

Bay, Kenya

11,70

A. marina

6,70

S. alba

3,70

C. tagal

Page 135: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Potensi Karbon Hutan Mangrove Desa Sarawet Minahasa Utara…….. Nurlita Indah Wahyuni dan Rahma Suryaningsih

119

Gambar 4. Jumlah cadangan karbon pada tiap carbon pools (tonC/hektar)

Cadangan karbon paling besar berasal dari biomasa atas permukaan

sejumlah 54,26 tonC/ha dan nekromasa sebesar 0,03 tonC/ha. Estimasi

cadangan biomasa dan karbon mangrove jarang sekali menyertakan

pengukuran nekromasa disebabkan ketidakpastian asal nekromasa tersebut.

Nekromasa berupa batang kayu dapat berasal dari kayu yang hanyut dan

masuk ke dalam tegakan mangrove saat air pasang, bukan murni dari

tegakan tersebut. Nekromasa yang terdapat dalam penelitian ini dihitung

karena berupa pohon mati (bukan kayu rebah) sisa penebangan liar serta

pengelupasan kulit batang pohon sebagai bahan pengawet jaring ikan.

Walaupun bernilai jauh lebih kecil dibandingkan karbon dari carbon pools

lainnya, nekromasa berhubungan erat dengan biomasa tegakan pohon karena

merupakan sumber unsur hara yang penting bagi hutan serta dapat

menyimpan karbon hutan dalam waktu yang lama (Chao et al., 2009;

Umnouysin et al., 2017).

B. Potensi Mitigasi

Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (2016) menyatakan

mitigasi perubahan iklim pada dasarnya adalah tindakan aktif untuk

mencegah atau memperlambat terjadinya perubahan iklim dan mengurangi

dampak perubahan iklim dengan cara menstabilkan konsentrasi volume GRK.

Upaya mitigasi tercantum dalam Rencana Aksi Nasional Pengurangan Emisi

Page 136: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

120

Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Kebijakan nasional penurunan emisi diikuti oleh

penyusunan Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD

GRK) oleh pemerintah provinsi yang memuat rencana provinsi untuk

menurunkan tingkat emisinya dari berbagai sektor (Salminah dan Wibowo,

2017). RAD GRK tersebut meliputi pendataan besarnya emisi gas rumah kaca,

target pengurangan, dan jenis sektor yang akan dikurangi emisinya.

Banerjee et al., (2012) dan Senoaji dan Hidayat (2016) berpendapat

bahwa aktivitas manusia berperan penting dalam peningkatan atau

penurunan kandungan karbon pada ekosistem mangrove. Penanaman

mangrove akan meningkatkan penyerapan CO2, sebaliknya konversi

mangrove menjadi penggunaan lain akan mengurangi cadangan karbon

Hopkinson et al., (2012). Secara historis pada periode tahun 1985 – 2004

hutan mangrove Desa Sarawet seluas 100 hektar dikonversi menjadi tambak

udang dan bandeng. Konversi mangrove menjadi tambak merupakan

penyebab utama berkurangnya tutupan mangrove di seluruh dunia (Ahmed

dan Glaser, 2016; Thomas et al., 2017). Selain menurunkan potensi

penyerapan CO2, dampak lain konversi mangrove yang dirasakan oleh

masyarakat antara lain banjir rob berupa air laut masuk sampai

perkampungan dan air sumur gali milik warga menjadi payau. Padahal secara

geografis jarak antara Dusun Jaga 3 hingga muara sungai cukup jauh yaitu

sekitar 1 km. Namun setelah dilakukan rehabilitasi mangrove, bajir rob

tersebut sudah tidak terjadi lagi. Hal ini membuktikan peran penting

ekosistem mangrove dalam jasa lingkungan yaitu perlindungan pesisir

(Ahmed dan Glaser, 2016).

Lahan bekas tambak yang direhabilitasi berpotensi menyerap karbon

baik dari vegetasi mangrove maupun bahan organik tanah. Penelitian

Mahasani et al., (2015) mengungkap kadar bahan organik tanah di hutan

mangrove bekas tambak dapat mencapai 50,18 %C pada kedalaman 0-100

cm atau sebesar 184,62 ton/ha. Sidik et al., (2017) menekankan pentingnya

hasil penelitian estimasi cadangan karbon mangrove untuk penyempurnaan

TREH yang telah ada dengan mengangkat peran penting mangrove sebagai

blue carbon sesuai dengan 2013 IPCC Guideline: Wetland Supplement. Matsui

et al., (2012) menyebutkan pengukuran cadangan karbon secara periodik

selain diperlukan untuk meningkatkan pemahaman juga mengidentifikasi

gangguan antropogenik yang menyebabkan perubahan cadangan karbon.

Pengukuran secara periodik memanfaatkan data penginderaan jauh pada saat

sebelum dan setelah rehabilitasi dapat menghasilkan estimasi nilai karbon dan

CO2eq yang telah diserap oleh hutan mangrove, seperti hutan mangrove hasil

Page 137: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Potensi Karbon Hutan Mangrove Desa Sarawet Minahasa Utara…….. Nurlita Indah Wahyuni dan Rahma Suryaningsih

121

rehabilitasi di Desa Sarawet.

IV. KESIMPULAN

Potensi cadangan karbon hutan mangrove Desa Sarawet sebesar 99,77

tonC/ha yang terdiri dari biomasa atas permukaan 54,26 tonC/ha, bahan

organik tanah 45,48 tonC/ha dan nekromasa 0,03 tonC/ha. Data potensi

cadangan karbon mangrove di tingkat tapak dapat memperbaiki nilai Tingkat

Rujukan Emisi Hutan nasional. Selain itu rehabilitasi lahan bekas tambak yang

telah dilakukan oleh masyarakat Desa Sarawet berpotensi besar sebagai salah

satu upaya mitigasi perubahan iklim. Nilai potensi mitigasi hutan mangrove

Desa Sarawet sesuai penelitian ini setara dengan 366,14 tonCO2eq.

V. SARAN

Penelitian lebih lanjut yang dapat dilakukan di hutan mangrove Sarawet

antara lain evaluasi keberhasilan revegetasi bekas tambak dan besarnya

penyerapan karbon mangrove dengan pemanfaatan penginderaan jauh, serta

penelitian partisipasi masyarakat dalam keberhasilan rehabilitasi mangrove.

VI. UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini dibiayai oleh DIPA Balai Penelitian dan Pengembangan

Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado Tahun 2017. Ucapan terima kasih

kami sampaikan kepada Hendra S. Mokodompit, Yermias Kafiar, Framy Supit

dan Munir Ajulan, atas bantuannya selama pengambilan data, serta kepada

semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu.

VII. DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, N. and Glaser, M. (2016). Coastal aquaculture, mangrove

deforestation and blue carbon emissions: Is REDD+ a solution?. Marine

Policy, 66, 58-66.

Alongi, D. M. (2012). Carbon sequestration in mangrove forests. Carbon

Management, 3(3), 313-322.

Angelsen, A. (2017). REDD+ as result-based aid: General Lessons and

Bilateral Agreements of Norway. Review of Development Economics, 21,

237-264.

Bachmid, F., Sondak, C. F. A., & Kusen, J. D. (2018). Estimasi Penyerapan

Karbon Hutan Mangrove Bahowo Kelurahan Tongkaina Kecamatan

Bunaken. Jurnal Pesisir dan Laut Tropis, 1(1), 8-13.

Page 138: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

122

Badan Standardisasi Nasional. 2011. Pengukuran dan penghitungan cadangan

karbon – Pengukuran lapangan untuk penaksiran cadangan karbon

hutan. Jakarta

Banerjee, K., Chowdhury, M. R., Sengupta, K., Sett, S., & Mitra, A. (2012).

Influence of anthropogenic and natural factors on the mangrove soil of

Indian Sundarbans wetland. Archives of Environmental Science, 6, 80-91.

Chao, K. J., Phillips, O. L., Baker, T. R., Peacock, J., Lopez-Gonzalez, G.,

Vasquez Martinez, R., Monteagudo, A., and Torres-Lezama, A. (2009).

After trees die: quantities and determinants of necromass across

Amazonia. Biogeosciences Discuss, 6, 1979–2006 .

Dharmawan I. W. S. & Siregar, C. A. (2008). Karbon tanah dan pendugaan

karbon tegakan Avicennia marina (Forsk.) Vierh. di Ciasem, Purwakarta.

Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, V(4), 317-328.

Direktorat Adaptasi Perubahan Iklim. (2015). Sistem Informasi Data Indeks

Kerentanan (SIDIK). Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta.

Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim. (2016). Perubahan Iklim,

Perjanjian Paris dan Nationally Determined Contribution. Direktorat

Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim. Kementerian Lingkungan Hidup

dan Kehutanan.

Duarte, C. M., Losada, I. J., Hendriks, I. E., Mazarrasa, I., & Marba, N. (2013).

The role of coastal plant communities for climate change mitigation and

adaptation. Nature Climate Change, 3, 961-968.

Heriyanto, N. M. & Subiandono, E. (2012). Komposisi dan struktur tegakan,

biomasa, dan potensi kandungan karbon hutan mangrove di Taman

Nasional Alas Purwo. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, IX(1),

23-32.

Hopkinson, C. S., Cai, W., & Hu, X. (2012). Carbon sequestration in wetland

dominated coastal systems — a global sink of rapidly diminishing

magnitude. Current Opinion in Environmental Sustainability, 4,1-9.

Kairo, J. G., Bosire, J., Langat, J., Kirui, B., & Koedam, N. (2009). Allometry

and biomass distribution in replanted mangrove plantations at Gazi Bay,

Kenya. Aquatic Conservation: Marine Freshwater Ecosystem, 19, 63–69 .

Kathiresan, K. (2012). Importance of mangrove ecosystem. International

Journal of Marine Science, 2(10), 70-89.

Kementerian Dalam Negeri. 2017. Data Pokok Desa/Kelurahan Sarawet.

Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat.

Page 139: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Potensi Karbon Hutan Mangrove Desa Sarawet Minahasa Utara…….. Nurlita Indah Wahyuni dan Rahma Suryaningsih

123

Komiyama, A., Ong, J. E., & Poungparn, S. (2008). Allometry, biomass and

productivity of mangrove forests: A review. Aquatic Biology, 89, 128-137.

Krisnawati, H., Adinugroho, W. C., & Imanuddin, R. (2012). Monograf

Model-Model Alometrik untuk Pendugaan Biomassa Pohon Pada Berbagai

Tipe Ekosistem Hutan di Indonesia. Pusat Penelitian dan pengembangan

Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Penelitian dan Pengembangan

Kehutanan, Bogor, Indonesia.

Mahasani, I. G. A. I., Widagti, N., & Karang, I. W. G. A. (2015). Estimasi

persentase karbon organik di hutan mangrove bekas tambak, Perancak,

Jembrana, Bali. Journal of Marine and Aquatic Sciences, 1, 14–18.

Matsui, N., Morimune, K., Meepol, W., & Chukwamdee, J. (2012). Ten year

evaluation of carbon stock in mangrove plantation reforested from an

abandoned shrimp pond. Forests, 3, 431-444.

MoEF. (2016). National Forest Reference Emission Level for Deforestation and

Forest Degradation: In the Context of Decision 1/CP.16 para 70 UNFCCC

(Encourages developing country Parties to contribute to mitigation

actions in the forest sector): Post Technical Assessment by UNFCCC,

Directorate General of Climate Change. The Ministry of Environment and

Forestry. Indonesia.

Murdiyarso, D., Purbopuspito, J., Kauffman, J. B., Warren, M. W., Sasmito, S.

D., Donato, D. C., Manuri, S., Krisnawati, H., Taberima, S., & Kurnianto, S.

(2015). The potential of Indonesian mangrove forests for global climate

change mitigation. Nature Climate Change.

Purwanto, Y., Walujo, E. B., Suryanto, J., Munawaroh, E., & Ajiningrum, P. S.

(2012). Strategi mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim: studi

kasus komunitas Napu di Cagar Biosfer Lore Lindu. Jurnal Masyarakat

dan Budaya, 14(3), 541-570.

Rachmawati, D., Setyobudiandi, I., & Hilmi, I. (2014). Potensi estimasi karbon

tersimpan pada vegetasi mangrove di wilayah pesisir Muara Gembong

Kabupaten Bekasi. Omni-Akuatika, XIII(19), 85-91.

Salminah, M. & Wibowo, A. (2017). Sinkronisasi kebijakan nasional REDD+

dengan kepentingan para pihak pada tingkat subnasional. Jurnal Analisis

Kebijakan Kehutanan, 14(2), 105-120.

Senoaji, G. & Hidayat, M. F. (2016). Peranan ekosistem mangrove di pesisir

Kota Bengkulu dalam mitigasi pemanasan global melalui penyimpanan

karbon. Jurnal Manusia dan Lingkungan, 23(3), 327-333.

Shrestha, S., Karky, B. S., & Karki, S. (2014). Case study report: REDD+ pilot

Page 140: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

124

project in community forests in three watersheds of Nepal. Forests, 5,

2425-2439

Sidik, F., B. Supriyanto., & M. Lugina. (2017). Tingkat rujukan emisi hutan

mangrove Delta Mahakam (Forest Reference Emission Level for

Mangrove Forest in Mahakam Delta). Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan

Vol. 14 No.2 : 93-104.

Sofia, E. (2019). Implikasi hukum paris agreement melalui program REDD+

berbasis blue carbon di Indonesia. Jurnal Magister Hukum Udayana, 8(2),

174-187.

Sondak, C. F. A. (2015). Estimasi potensi penyerapan karbon biru (blue carbon)

oleh hutan mangrove Sulawesi Utara. Jurnal of Asean Studies on

Maritime Issues, 1(1), 24-29.

Thomas N., Lucas, R., Bunting, P., Hardy, A., Rosenqvist, A., & Simard, M.

(2017). Distribution and drivers of global mangrove forest change, 1996–

2010. Public Library of Science ONE, 12(6), 1-14.

Umnouysin, S, Sangtiean, T., & Poungparn, S. (2017). Zonal distribution of

coarse woody debris and its contribution to net primary production in a

secondary mangrove forest. Ecological Research, 32, 51–60.

Page 141: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Karakteristik dan Keediaan Membayar Pengunjung Wisata…….. Wahyudi Isnan dan Nurhaedah Muin

125

Karakteristik dan Kesediaan Membayar Pengunjung Wisata Alam Air Terjun Moramo Kabupaten Konawe Selatan

Sulawesi Tenggara1

Characteristics and Willingness to Pay Moramo Waterfall Tourism Visitors in South Konawe Regency Southeast

Sulawesi

Wahyudi Isnan2 dan Nurhaedah Muin2

ABSTRACT

Increased tourism needs, especially natural tourism need to be accompanied by

good planning so that the management of tourism areas can be sustainable.

Revenue receipts from natural tourism areas are minimal due to a lack of

information regarding the characteristics and willingness to pay visitors. The study

aims to determine the characteristics and willingness to pay visitors to the Moramo

waterfall tourism in Sumber Sari Village, Moramo District, Konawe Selatan

Regency as a material for consideration in the preparation of programs and

policies for the management of natural tourism areas. Research using quantitative

descriptive methods by collecting data through surveys and interviews. To

calculate the value of willingness to pay visitors, the Contingent Valuation Method

(CVM) is used, while the tabulation method is used for visitor characteristics. The

results of the study show that visitors to the Moramo waterfall tourism are visitors

with characteristics aged 20-30 years, have an income of IDR1,000,000,00 -

3,000,000,00 per month, educated at a senior high school level and an

entrepreneur. The value of willingness to pay an average of IDR13,115. The value

of willingness to pay is influenced by the amount of visitor income. Adjustment of

1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya

Pelestarian Sumber Daya Alam, diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado dan SEAMEO BIOTROP, Manado 24 Oktober 2018.

2 Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar; Jl. Perintis

Kemerdekaan Km.16 Makassar, Sulawesi Selatan, Kode pos 90243; Telp. (0411) 554049, Fax

(0411) 554058; E-email : [email protected]

Page 142: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

126

tourism services according to characteristics and willingness to pay end visitors

necessary so that Moramo waterfall tourism can be sustainable and contribute to

the government.

Keywords: characteristics, willingness to pay, nature tourism, Moramo waterfall

I. PENDAHULUAN

Pariwisata bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia

merupakan sumber kekuatan ekonomi karena dapat mendatangkan devisa

dalam rangka mendukung pembangunan. Pariwisata juga telah menjadi

sumber utama arus masuk valuta asing bagi negara berkembang (Wunder,

1999). Terdapat hubungan kausalitas dua arah antara pariwisata dan

pertumbuhan ekonomi dimana keduanya menunjukkan saling ketergantungan

(Sokhanvar, Çiftçioğlu, & Javid, 2018). Salah satu jenis wisata adalah wisata

alam. Wisata alam merupakan wisata yang paling diminati oleh masyarakat

dalam melakukan aktivitas rekreasi (Yan, Chan, & Marafa, 2016; Suryadana,

2014). Perkembangan wisata domestik dari tahun ke tahun menunjukkan

peningkatan. Perkembangan perjalanan wisatawan nusantara mengalami

peningkatan sebesar rata-rata 2% per tahun antara tahun 2009 – 2013

(Barudin, Fitriyani, & Indriati, 2017).

Kesadaran akan pentingnya manfaat ekosistem sebagai penyedia tempat

wisata alam telah mendorong meningkatnya jumlah kunjungan ke situs wisata

alam. Wisata alam telah menjadi pembangunan ekonomi dan konservasi yang

penting bagi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan pelestarian alam dan

sekaligus merupakan alat promosi yang baik bagi pembangunan

berkelanjutan di negara-negara berkembang (Iasha, Yacob, Kabir, & Radam,

2015). Pengembangan wisata juga telah menciptakan manfaat ekonomi yang

penting bagi masyarakat sekitar (Ma, Yin, Zheng, Wen, & Hou, 2019; Siew,

Yacob, Radam, Adamu, & Alias, 2015). Pentingnya sektor pariwisata baik

terhadap lingkungan maupun ekonomi menjadikan Pemerintah terus

meningkatkan anggaran untuk pengembangan pariwisata yang mencapai

Rp500 triliun (Movanita, 2018) .

Peningkatan jumlah pengunjung diikuti oleh kebutuhan akan tempat

wisata yang terus meningkat. Namun, peningkatan kebutuhan wisata

terutama wisata alam tidak diiringi dengan pengelolaan yang baik dari

pengelola kawasan wisata. Wisata alam di negara-negara berkembang kerap

menghadapi masalah yang terkait dengan tata kelola dan pengelolaan (Magio,

Page 143: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Karakteristik dan Keediaan Membayar Pengunjung Wisata…….. Wahyudi Isnan dan Nurhaedah Muin

127

Velarde, Santillán, & Ríos, 2013). Informasi dan basis data yang kurang,

diduga menjadi penyebab masalah tersebut. Salah satu informasi yang masih

terbatas adalah informasi tentang pengunjung wisata alam. Pengetahuan

tentang karakteristik dan kesediaan membayar pengunjung merupakan hal

yang penting diketahui oleh manager/pengelola kawasan wisata sebagai

dasar penentuan segmen pasar.

Kawasan wisata alam air terjun Moramo memiliki objek wisata yang

menarik minat wisatawan namun belum memberikan penerimaan yang

maksimal baik bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Inforamsi

yang kurang tentang pengunjung terutama karakteristik dan kesedian

membayar pengunjung wisata alam air terjun Moramo diduga menjadi

penyebabnya. Informasi tersebut dapat berguna dalam perencanaan

pengelolaam kawasan wisata agar dapat memberikan kontribusi bagi

pemerintah. Dalam rangka perencanaan pengelolaan kawasan wisata air

terjun Moramo, perlu dilaksanakan kajian karakteristik dan kesediaan

membayar pengunjung. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis

karakteristik dan kesediaan membayar pengunjung kawasan wisata air terjun

Moramo.

II. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan tempat

Penelitian dilaksanakan pada tahun 2017 di kawasan wisata alam air

terjun Moramo berada pada kawasan Suaka Margasatwa Tanjung Peropa

yang merupakan wilayah pengelolaan Seksi Konservasi Wilayah II, Balai

Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Tenggara. Kawasan Suaka

Margasatwa Tanjung Peropa secara geografis terletak antara 40 35’ – 430 57’

LS dan 1220 45 ’ – 1220 55’ BT. Kawasan Suaka Margasatwa

ini berbatasan dengan Teluk Kendari di sebelah Utara, di sebelah Timur

dengan Selat Wawonii, sebelah Selatan dengan Selat Buton dan di sebelah

Barat dengan Kecamatan Moramo. Luas kawasan ini adalah 38.937 ha. Lokasi

penelitian ditampilkan pada Gambar 1.

Page 144: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

128

Gambar 1. Peta lokasi penelitian (Sumber: www.google.co.id, 2018)

B. Pungumpulan Data dan Pengambilan Sampel

Data yang diambil adalah data primer yaitu data karateristik sosial

ekonomi dan kesediaan membayar pengunjung wisata alam air terjun

Moramo. Data karateristik sosial ekonomi meliputi umur, lama menempuh

pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan. Sedangkan data sekunder adalah

data pendukung yang diperlukan yang diambil dari instansi yang terkait

dengan pengelolaan wisata alam air terjun Moramo.

Pengambilan sampel dilaksanakan dengan metode accident sampling

sebanyak 130 responden. Responden merupakan pengunjung yang sedang

melaksanakan aktivitas wisata di lokasi penelitian dan dianggap cocok sebagai

sumber data informasi.

C. Analisis Data

Data dan informasi yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis

secara kuantitatif. Data pengunjung ditabulasi menurut tujuan penelitian.

Data karakteristik dianalisis secara deskriptif untuk menggambarkan kondisi

faktual pengunjung. Sedangkan kesediaan membayar pengunjung dianalisis

sebagai berikut;

a. Memperkirakan Nilai Rata-rata dan total Kesediaan Membayar

Nilai rata-rata dan nilai total yang bersedia dibayar oleh pengunjung

wisata alam dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut ini (Fauzi,

2006);

Lokasi penelitian

Page 145: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Karakteristik dan Keediaan Membayar Pengunjung Wisata…….. Wahyudi Isnan dan Nurhaedah Muin

129

𝐸𝑊𝑇𝑃 = ∑ 𝑊𝑖𝑛

𝑖=1

𝑛

Dimana :

EWTP = Rata-rata nilai kesediaan membayar pengunjung

Wi = Kesediaan membayar responden ke i

i = responden ke i

n = jumlah responden

(1) 𝑇𝑊𝑇𝑃 = ∑ 𝑊𝑖 (𝑛𝑖

𝑁)𝑃𝑛

𝑖=1

Dimana :

TWTP = Total kesediaan membayar

Wi = Kesediaan membayar responden ke i

n = Jumlah sampel ke-i yang bersedia membayar

sebesar WTP

N = Jumlah sampel

P = Jumlah populasi

i = Responden ke i yang bersedia membayar (i =

1,2,3…, n)

b. Faktor yang memengaruhi kesediaan membayar

Untuk mengetahui faktor-faktor yang menentukan besaran nilai

kesediaan membayar dilakukan analisis regresi linear terhadap beberap faktor

yang diduga berpengaruh. Analisis dengan menggunakan perangkat lunak

SPSS versi 22.0 Dalam analisis ini variabel terikatnya adalah kesediaan

membayar, dan variabel bebasnya karakteristik sosial ekonomi responden

yaitu umur, pendapatan, dan pendidikan.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran umum lokasi penelitian

Air Terjun Moramo berada dalam kawasan Suaka Margasatwa Tanjung

Peropa Desa Sumber Sari, Kecamatan Moramo, Kabupaten Konawe Selatan,

Provinsi Sulawesi Tenggara. Berikut disajikan gambar Air Terjun Moramo di

Sulawesi Tenggara (Gambar 1).

Page 146: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

130

Gambar 1. Air Terjun Moramo di Sulawesi Tenggara (Foto: Isnan,

2017).

Air Terjun Moramo berjarak sekitar 60 km ke arah timur dari ibukota

Kendari merupakan air terjun bertingkat (cascade) yang indah dengan

ketinggian sekitar 100 meter. Air Terjun Moramo memiliki keunikan yang khas

berupa daerah batuan kapur, yang merupakan tempat air mengalir tetapi batu

tersebut tidak licin. Air mengalir dari ketinggian melewati tujuh tingkatan

utama. Di samping 7 tingkatan utama tersebut, terdapat juga 60 tingkatan

kecil yang sekaligus berfungsi sebagai tempat penampungan air (semacam

kolam air). Namun, dari sekian banyak kolam tersebut, hanya satu yang dapat

dimanfaatkan untuk berenang, yaitu kolam yang terletak di tingkat kedua dari

7 tingkatan utama air terjun tersebut. Menurut cerita yang berkembang di

dalam masyarakat, tempat tersebut dipercaya sebagai tempat mandinya para

bidadari yang turun dari kayangan.

Selain keindahan air terjun, kawasan tersebut juga merupakan

perwakilan ekosistem hutan hujan tropis dengan komposisi vegetasi non

Dipterocarpaceae sebagai habitat beraneka jenis burung, kupu-kupu yang

berwarna-warni, dan berbagai satwa lainnya. Kondisi kawasan wisata yang

demikian dapat menjadi tambahan atraksi wisata sehingga dapat

meningkatkan minat dan jumlah pengunjung.

B. Karakteristik Pengunjung

Karakteristik responden menguraikan atau memberikan gambaran

mengenai identitas responden yang terlibat dalam penelitian. Karakteristik

responden dapat digunakan untuk mengetahui keragaman identitas

Page 147: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Karakteristik dan Keediaan Membayar Pengunjung Wisata…….. Wahyudi Isnan dan Nurhaedah Muin

131

responden. Karakteristik responden dalam penelitian ini meliputi: usia,

pekerjaan, pendapatan dan pendidikan. Hal tersebut diharapkan dapat

memberikan gambaran yang cukup jelas mengenai kondisi responden dan

kaitannya dengan masalah dan tujuan penelitian.

Pengunjung wisata alam air terjun Moramo berasal dari berbagai

kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sulawesi Tenggara. Umumnya,

pengunjung berusia 20 – 30 tahun (55%), selebihnya adalah pengunjung

dengan rentang usia <20 tahun sebanyak 14%, usia 31 – 40 sebanyak 22%,

usia 41 – 50 tahun sebanyak 7%, dan usia >50 tahun sebanyak 2%. Kawasan

wisata alam umumnya dikunjungi oleh orang dengan usia muda berdasarkan

beberapa studi (Hasiani, Mulyani, & Yuniarti, 2013; Isnan, 2016b).

Pengunjung berusia relatif muda dan memiliki kesehatan yang masih baik,

sehingga diduga pada usia tersebut pengunjung masih kuat untuk melakukan

perjalanan. Dominasi pengunjung berusia muda menuntut pengelola

menyediakan fasilitas wisata yang sesuai untuk kelompok usia tersebut.

Tingkat pendapatan pengunjung bervariasi mulai dari <Rp. 1.000.000 –

>Rp5.000.000. tingkat pendapatan pengunjung yang paling dominan adalah

Rp1.000.000 – 3.000.000 per bulan sebanyak 48%, selanjutnya adalah

pengunjung dengan tingkat pendapatan <Rp1.000.000 (37%), tingkat

pendapatan Rp3.000.000 – 5.000.000 (10%), dan tingkat pendapatan

>Rp5.000.000 (5%). Berikut pada Tabel 1. ditampilkan karakteristik

pengunjung wisata alam air terjun Moramo.

Tabel 1. Karakteristik pengunjung

Karakteristik Katagori Persentase

(%)

Usia (tahun) <20

20 – 30

31 – 40

41 – 50

>50

14

55

22

7

2

Pendapatan (Rp) <Rp1.000.000

Rp1.000.000 – 3.000.000

Rp3.000.001 – 5.000.000

>Rp5.000.000

37

48

10

5

Pendidikan SD

SLTP

3

15

Page 148: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

132

Karakteristik Katagori Persentase

(%)

SLTA

Pendidikan Tinggi

56

26

Pekerjaan Pelajar/Mahasiswa

Wiraswasta

Karyawan Swasta

PNS/TNI/POLRI

Lainnya

29

30

15

12

13

Sumber: Data diolah (2017)

Pendidikan pengunjung wisata alam air terjun Moramo didominasi oleh

pengunjung dengan latar belakang pendidikan SLTA sebanyak 56%.

Selebihnya merupakan pengunjung berpendidikan Perguruan Tinggi 26%,

pendidikan SLTP 15%, dan pendidikan SD 3%. Latar belakang pengunjung

dengan pendidikan SLTA umumnya remaja yang berkunjung secara

berkelompok dan menyukai tantangan dan pengalaman baru.

Pengunjung wisata alam Air Terjun Moramo berprofesi sebagai

wiraswasta (30%), pelajar/mahasiswa (29%), karyawan swasta (15%),

PNS/TNI/POLRI (12%), dan profesi lainnya (13%).

C. Kesediaan Membayar

Kesediaan membayar adalah salah satu metode untuk menggambarkan

permintaan konsumen terhadap manfaat hutan yang tidak memiliki harga

pasar dalam satuan moneter (Ginoga & Lugina, 2007). Kesediaan membayar

tersebut merupakan cerminan kesediaan konsumen untuk mengeluarkan

imbalan terhadap barang atau jasa yang diperolehnya.

Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa kesediaan membayar

pengunjung berada di atas harga tiket masuk saat penelitian yaitu sebesar

Rp3.000. Nilai kesediaan membayar pengunjung yang lebih tinggi dari harga

tarif masuk kawasan wisata air terjun Moramo mengindikasikan bahwa

pengunjung mendapatkan manfaat dan kepuasan lebih terhadap jasa

ekosistem dan menunjukkan kepedulian terhadap jasa lingkungan yang lebih

baik (Iasha et al., 2015; Sadikin, Mulatsih, Pramudya, & Arifin, 2017).

Kesediaan membayar pengunjung bervariasi mulai dari Rp5.000 sampai

Rp30.000 (Tabel 2.).

Page 149: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Karakteristik dan Keediaan Membayar Pengunjung Wisata…….. Wahyudi Isnan dan Nurhaedah Muin

133

Tabel 2. Nilai kesediaan membayar

No Kesediaan Membayar (Rp.) Jumlah

Responden

Total

1.

2.

3.

4.

5.

6.

5.000

10.000

15.000

20.000

25.000

30.000

25

48

21

27

5

4

125.000

480.000

315.000

540.000

125.000

120.000

Total

Rata-rata

130 1.705.000

13.115

Sumber: Data diolah (2017)

Kesediaan membayar pengunjung terendah berada pada nilai Rp5.000

dan tertinggi pada Rp30.000. Rata-rata kesediaan membayar pengunjung

berada pada Rp13.115. Hal ini menunjukkan bahwa harga tiket yang berlaku

saat penelitian masih terlalu rendah dibandingkan dengan kesediaan

membayar pengunjung. Beberapa penelitian menemukan bahwa kesediaan

membayar pengunjung wisata alam umumnya lebih tinggi dari tarif yang

berlaku (Afifah, Bambang, & Sudarno, 2013; Annisa & Harini, 2017; Isnan,

2016a). Kesediaan membayar pengunjung yang melebihi harga tiket yang

berlaku mengindikasikan bahwa nilai kepuasan pengunjung yang didapat

lebih tinggi dari jasa wisata yang ditawarkan. Kesediaan membayar

pengunjung wisata alam lebih tinggi daripada tarif yang berlaku umumnya

disebabkan oleh isu-isu yang terkait dengan konservasi lingkungan (Octaria,

Mulatsih, & Ekayani, 2017). Berikut pada Tabel 3. ditampilkan perkiraan total

kesediaan membayar pengunjung air terjun Moramo.

Tabel 3. Perkiraan total kesediaan membayar

WTP (Rp.) Jumlah Populasi Jumlah Total

W N a=(n/N)xP w x a

5.000

10.000 15.000

20.000 25.000

30.000

25

48 21

27 5

4

77

148 65

83 15

12

385.000

1.480.000 975.000

1.660.000 375.000

360.000

Jumlah 130 400* 5.235.000 *)= Jumlah pengunjung rata-rata sebulan

Sumber: Data diolah (2017)

Page 150: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

134

Secara umum pengunjung bersedia untuk membayar tiket masuk ke

kawasan wisata alam air terjun Moramo. Kesediaan membayar adalah jumlah

maksimum yang bersedia dibayar konsumen untuk mendapatkan barang atau

jasa. Rata-rata kesediaan membayar pengunjung air terjum Moramo adalah

sebesar Rp13.115. Nilai tersebut lebih tinggi dari tarif yang diberlakukan oleh

pengelola yaitu sebesar Rp3.000. Jika pengelola menaikkan harga tiket masuk

melebihi kesediaan membayar pengunjung, maka pengunjung tidak akan lagi

bersedia membayar harga tiket masuk yang berimplikasi berkurangnya jumlah

pengunjung yang berwisata ke kawasan wisata air terjun Moramo.

Pengelolaan pungutan masuk ke lokasi wisata alam air terjun Moramo

dilaksanakan oleh Pemerintah Desa Sumber Sari. Sementara pungutan masuk

kawasan wisata alam menurut Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 2014

tentang Jenis dan Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang

belaku pada Kementerian Kehutanan belum dikenai pungutan. Dengan

demikian, penerimaan negara dari jasa lingkungan wisata alam air terjun

Moramo belum ada.

D. Faktor yang memengaruhi kesediaan membayar

Faktor-faktor yang memengaruhi kesediaan membayar pengunjung di

tampilkan pada Tabel 4. Hasil analisis regresi linear menunjukkan bahwa

variabel yang memengaruhi kesediaan membayar pengunjung adalah

pendapatan. Sedangkan variabel umur dan pendidikan tidak memengaruhi

kesediaan membayar pengunjung. Semakin tinggi pendapatan, maka akan

semakin tinggi kesediaan membayar pengunjung. Kesempatan melakukan

perjalanan wisata lebih banyak peluangnya dilakukan oleh orang yang

memiliki pendapatan tetap. Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan

merupakan salah satu faktor yang menentukan seseorang dalam memutuskan

untuk melakukan perjalanan wisata (Keliwar & Nurcahyo, 2015).

Tabel 4. Koefisien variabel faktor-faktor yang memengaruhi kesediaan

membayar

No Variabel Koefisien Simpangan

baku

Signifikasi

1

2

3

4

Konstanta (β)

Umur (X1)

Pendapatan (X2)

Pendidikan (X3)

3435,8

51,8

0,003

227,1

2215,7

49,6

0

169,9

0,123

0,299

0,000*

0,184

Page 151: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Karakteristik dan Keediaan Membayar Pengunjung Wisata…….. Wahyudi Isnan dan Nurhaedah Muin

135

No Variabel Koefisien Simpangan

baku

Signifikasi

Koefisien

Determinasi

0,55

*) α = 5%

Sumber: Data diolah (2017)

Hasil analisis regresi linear berganda menunjukkan koefisien determinasi

(R2) sebesar 0,55 yang berarti bahwa nilai kesediaan membayar pengunjung

dapat dijelaskan sebesar 55% oleh variabel-variabel usia, pendapatan, dan

pendidikan.

Pendapatan pengunjung merupakan variabel yang signifikan

memengaruhi kesediaan membayar (Siew et al., 2015). Kesediaan membayar

pengunjung yang dipengaruhi oleh pendapatan mengakibatkan tingkat

pendapatan pengunjung terkait juga dengan tingkat partisipasi dalam usaha

konservasi kawasan wisata alam sehingga pendapatan menjadi pembatas

kontribusi pengunjung dalam usaha konservasi (Kamri, 2013).

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa

karakteristik pengunjung kawasan wisata alam air terjun Moramo didominasi

oleh pengunjung dengan karakteristik usia 20 – 30 tahun, memiliki

pendapatan sebesar Rp1.000.000 – 3.000.000/bulan, berlatar belakang

pendidikan SLTA dan berprofesi sebagai wiraswasta. Kesediaan membayar

pengunjung berkisar antara Rp5.000 sampai dengan Rp30.000. dengan rata-

rata kesediaan membayar sebesar Rp13.115 yang dipengaruhi oleh jumlah

pendapatan pengunjung.

V. SARAN

Berdasarkan karakteristik dan kesediaan membayar tersebut, pengelola

disarankan untuk menyesuaikan pelayanan wisata menurut karakteristik

tersebut. Kenaikan harga tiket masuk dalam rangka mendukung pengelolaan

kawasan wisata alam air terjun Moramo dapat dilakukan dengan syarat tidak

melebihi rata-rata kesediaan membayar pengunjung sebesar Rp13.115.

Kenaikan harga tiket masuk diharapkan dapat berkontribusi terhadap

pendapatan Pemerintah Pusat maupun Daerah sehingga dapat mendukung

pengelolaan wisata alam yang berkelanjutan.

Page 152: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

136

VI. UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Balai Konservasi Sumberdaya

Alam Sulawesi Tenggara dan Bapak Hunggul YSHN, yang telah memfasilitasi

terlaksananya pengumpulan data yang merupakan nilai tambah dari kegiatan

studi kelayakan dan desain detail teknis pembangunan Pembangkit Listrik

Tenaga Mikro Hydro di wilayah Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi

Tenggara.

VII. DAFTAR PUSTAKA

Afifah, K. N., Bambang, A. N., & Sudarno. (2013). Kesediaan membayar jasa

lingkungan air untuk konservasi di TWA Kerandangan Kabupaten Lombok

Barat. Jurnal Ekosains, 5(2), 21–31.

Annisa, T. M., & Harini, R. (2017). Analisis kesediaan membayar (wtp) untuk

mendukung ekowisata berkelanjutan di kawasan wisata Gua Pindul,

Kabupaten Gunungkidul. Jurnal Bumi Indonesia, 6(4), 1–10.

Barudin, Fitriyani, I. A., & Indriati, D. (2017). Kajian Data Pasar Wisatwan

Nusantara. Jakarta. Retrieved from

http://www.kemenpar.go.id/asp/detil.asp?c=145&id=4512

Fauzi, A. (2006). Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan (Edisi ke 2).

Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Ginoga, K. L., & Lugina, M. (2007). Metode Umum Kuantifikasi Nilai Ekonomi

Sumber Daya Htan (SDH) Gene. Info Sosial Ekonomi, 7(1), 17–27.

Google.com. (2018). Air Terjun Moramo - Konawe Selatan. Retrieved from

https://sites.google.com/site/wisataairterjun/sulawesi-tenggara/air-

terjun-moramo---konawe-selatan

Hasiani, F., Mulyani, E., & Yuniarti, E. (2013). Analisis kesediaan membayar

dalam upaya pengelolaan objek wisata Taman Alun Kapuas Pontianak,

Kalimantan Barat. Jurnal Teknologi Lingkungan Lahan Basah, 1(1), 1–10.

Iasha, A., Yacob, R. M., Kabir, I., & Radam, A. (2015). Estimating economic

value for potential ecotourism resources in Puncak Lawang Park, Agam

District, West Sumatera, Indonesia. Procedia Environmental Sciences, 30,

326–331. https://doi.org/10.1016/j.proenv.2015.10.058

Isnan, W. (2016a). Harga optimal tiket masuk wisata alam Bantimurung,

Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Sosial Dan Ekonomi Kehutanan,

13(3), 155–163.

Isnan, W. (2016b). Karakteristik dan preferensi pengunjung wisata alam

Bantimurung. Info Teknis Eboni, 13(1), 69–78.

Page 153: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Karakteristik dan Keediaan Membayar Pengunjung Wisata…….. Wahyudi Isnan dan Nurhaedah Muin

137

Kamri, T. (2013). Willingness to pay for conservation of natural resources in

the Gunung Gading National Park, Sarawak. Procedia - Social and

Behavioral Sciences, 101, 506–515.

https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2013.07.224

Keliwar, S., & Nurcahyo, A. (2015). Motivasi dan persepsi pengunjung

terhadap objek wisata Desa Budaya Pampang di Samarinda. Jurnal

Manajemen Resort & Leisure, 12(2), 10–27.

Ma, B., Yin, R., Zheng, J., Wen, Y., & Hou, Y. (2019). Estimating the social

and ecological impact of community-based ecotourism in giant panda

habitats. Journal of Environmental Management, 250(November), artiicel

109506. https://doi.org/10.1016/j.jenvman.2019.109506

Magio, K. O., Velarde, M. V, Santillán, M. A. N., & Ríos, C. A. G. (2013).

Ecotourism in developing countries: A critical analysis of the promise, the

reality and the Future. Journal of Emerging Trends in Economics and

Management Sciences, 4(5), 481–486. Retrieved from

http://search.proquest.com/docview/1470063724?accountid=14744%5

Cnhttp://fama.us.es/search*spi/i?SEARCH=21417024%5Cnhttp://pibse

rver.us.es/gtb/usuario_acceso.php?centro=$USEG&centro=$USEG&d=1

Movanita, A. N. K. (2018). Cerita Sri Mulyani Diultimatum Presiden soal

Anggaran Pariwisata. Retrieved from

https://ekonomi.kompas.com/read/2018/09/28/072050626/cerita-sri-

mulyani-diultimatum-presiden-soal-anggaran-pariwisata

Octaria, P., Mulatsih, S., & Ekayani, M. (2017). Analisis kesediaan membayar

pengunjung terhadap paket wisata pendidikan lingkungan di Taman

Wisata Alam Garden Kota Bandar Lampung. Jurnal Pengelolaan

Sumberdaya Alam Dan Lingkungan, 7(2), 122–127.

https://doi.org/10.19081/jpsl.2017.7.2.122

Sadikin, P. N., Mulatsih, S., Pramudya, B., & Arifin, H. S. (2017). Analisis

willingness to pay pada ekowisata Taman Nasional Gunung Rinjani.

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 14(1), 31–46. Retrieved from

https://media.neliti.com/media/publications/95451-ID-none.pdf

Siew, M. K., Yacob, M. R., Radam, A., Adamu, A., & Alias, E. F. (2015).

Estimating Willingness to Pay for Wetland Conservation: A Contingent

Valuation Study of Paya Indah Wetland, Selangor Malaysia. Procedia

Environmental Sciences, 30(2015), 268–272.

https://doi.org/10.1016/j.proenv.2015.10.048

Sokhanvar, A., Çiftçioğlu, S., & Javid, E. (2018). Another look at tourism-

economic development nexus. Tourism Management Perspectives,

Page 154: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

138

26(2018), 97–106. https://doi.org/10.1016/j.tmp.2018.03.002

Suryadana, M. L. (2014). Analisis sikap wisatawan terhadap beberapa objek

wisata alam unggulan di Provinsi Jawa barat. Jurnal Manajemen Resort

& Leisure, 11(1), 1–5. Retrieved from

http://ejournal.upi.edu/index.php/jurel/article/view/2897/1927

Wunder, S. (1999). Promoting forest conservation through ecotourism

income? A case study from the Ecuadorian Amazon region. CIFOR

Occasional paper (Vol. 62). https://doi.org/10.17528/cifor/000538

Yan, H., Chan, C., & Marafa, L. M. (2016). Local perception and preferences

in nature tourism in Hong Kong. Tourism Management Perspectives,

20(2016), 87–97. https://doi.org/10.1016/j.tmp.2016.07.007

Page 155: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Dunia Nyata Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan ….. Pernando Sinabutar, Anton C. Nugroho, Lidya S. Biringkanae

139

Dunia Nyata Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan di Provinsi Sulawesi Utara1

The Real world of Land Tenure Settlement in Forest Areas in the Province of North Sulawesi

Pernando Sinabutar2, Anton Cahyo Nugroho2, dan Lidya Suryati

Biringkanae2

ABSTRACT

The policy of land tenure settlement in forest areas has the substance of resolving

and providing legal protection for community rights in forest areas who control

the land in forest areas. Since it was implemented, until now the policy has not

been successful and its realization is still stagnant. In fact, the policy should be

believed to be successful because it has beneficial to the stakeholders. During this

time, the stakeholders stated that the main cause of tenurial conflicts in forest

areas was the establishment of a certain area into forest areas unilaterally by the

government, regardless of land ownership. The presence of the policy has become

an opportunity for the stakeholders to resolve forest area tenure conflicts based

on land applications that are controlled and utilized, as a settlement requirement.

In fact, they did not appeal, so that could not be resolved. This study examined

the problems faced in implementing the policy and then provide solutions in its

implementatian. Forest areas are resources that have the characteristics of CPRs,

so that in resolving forest land tenure requires effective regulation by involving

institutions at the local level. The solution cannot be simplified into just a legal

problem that can be overcome only by a formal legalistic approach constructed by

power.

Keywords: forest area, common pool resources (CPRs), land tenure, local

institutions

1Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya

Pelestarian Sumber Daya Alam, diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado dan SEAMEO BIOTROP, Manado 24 Oktober 2018.

2 Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah VI Manado; Jl. 17 Agustus Manado Kotak Pos 1322 Kode Pos 95119 Telp. (0431) 852709 Fax. (0431) 841075; Email : [email protected]

Page 156: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

140

I. PENDAHULUAN

Sumberdaya hutan adalah salah satu contoh sumberdaya milik bersama

(Common Pool Resources/CPRs). Karaktersistik sumberdaya yang termasuk

dalam CPRs memiliki karateristik bahwa semua berlomba-lomba ingin

menikmatinya, namun tidak semua memiliki interest untuk memeliharanya.

Dalam situasi seperti itu, sumberdaya tersebut berada pada situasi kompetisi

pengakuan hak-hak (competing claims of ownership), terutama yang dikuasai

oleh negara. Sumberdaya hutan pada situasi tertentu dapat menjadi open

access, jika tidak ada lembaga yang efektif mengurus dan mengelolanya.

Selain tu, akan terjadi pengrusakan dan akan semakin sulit memisahkan pihak

yang berhak dan yang tidak berhak.

Sesungguhnya, sumberdaya CPRs dapat dikelola dengan baik dan efektif,

jika pengelolaannya menggunakan prinsip-prinsip seperti yang dikemukakan

Ostrom (1990), yaitu: (1) terdapat kesesuaian antara peraturan dan situasi

lokal; (2) terdapat kesepakatan yang memungkinkan terjadinya partisipasi

sebagian besar pengguna dalam proses pengambilan keputusan; (3)

monitoring efektif yang dilakukan oleh pemilik dalam hal ini Pemerintah; dan

(4) terdapat sanksi bagi yang tidak menghormati aturan. Seperti juga

pendapat Agrawal et al. (2013) bahwa kunci sukses kelembagaan untuk

mengelola CPRs terletak pada keanggotaan kelompok terdefinisikan secara

jelas, ukuran kelompok kecil, terdapat batas-batas wilayah pengelolaan,

kemudahan dalam monitoring, ada sanksi, dan kedekatan lokasi pengguna

dengan sumberdaya. Untuk menegakkan hak-hak apabila CRPs tidak terkelola

akan membutuhkan biaya ekslusi tinggi (Pakpahan, 1989; Basuni, 2003),

karena tidak mungkin memindahkan permukiman dan masyarakat yang telah

melakukan usaha tani di dalam kawasan hutan; dan jika dipaksakan

direlokasi, Pemerintah akan menanggung biaya yang sangat mahal karena

harus mencarikan lahan baru; dan akan memicu konflik. Apabila hal itu tidak

segera diselesaikan, situasi biaya eksklusi tinggi tersebut dapat memunculkan

penunggang gratis (free rider).

Kawasan hutan Provinsi Sulawesi Utara yang ditetapkan pemerintah

menjadi kawasan hutan dan konservasi perairan sesuai dengan Keputusan

Menteri Kehutanan Nomor SK. 734/Menhut-II/2014 juga berada pada situasi

tersebut, karena penetapannya seringkali belum memperhatikan penguasaan

tanah masyarakat di dalamnya. Masyarakat telah hidup secara turun temurun

dan menggantungkan hidupnya pada hutan, namun belum ada pengakuan

atas hak penguasaannya. Sistem penguasaan tanah yang berlaku di

masyarakat adalah siapa yang lebih dulu membuka lahan, dialah sebagai

Page 157: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Dunia Nyata Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan ….. Pernando Sinabutar, Anton C. Nugroho, Lidya S. Biringkanae

141

pemiliknya. Dengan demikian, dua pihak saling klaim, sehingga memunculkan

kompetisi dalam pengakuan hak-haknya dan pada akhirnya menimbulkan

konflik tenurial. Berdasar dari itu, pemerintah melalui Peraturan Presiden

(Perpres) Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah

dalam Kawasan Hutan akan menyelesaikan dan memberikan perlindungan

hukum atas hak-hak masyarakat yang berada di dalam kawasan hutan.

Kebijakan itu mengharuskan bahwa penyelesaian penguasaan tanah dalam

kawasan hutan harus melalui permohonan. Permohonan disampaikan secara

kolektif melalui kepala desa yang diketahui oleh camat, dan selanjutnya

diserahkan kepada Bupati/Walikota untuk diteruskan kepada Tim yang

dibentuk oleh Gubernur sesuai dengan Perpres tersebut.

Kenyataannya, walaupun telah terjadi Penguasaan Tanah dalam

Kawasan Hutan (PTKH), masyarakat belum mengajukan permohonan.

Padahal, telah terjadi PTKH terutama untuk permukiman, fasilitas sosial,

fasilitas umum, lahan garapan dan pertanian untuk mencukupi kebutuhan

masyarakat sehari-hari. Alokasi areal yang teridentifikasi terdapat PTKH pada

beberapa kabupaten di Provinsi Sulawesi Utara adalah sekitar lebih kurang

3.120,95 ha3. Hal tersebut membuktikan bahwa PTKH telah terjadi, namun

masyarakat tidak mau menyelesaikannya. Pertanyaannya, mengapa

demikian?. Penelitian ini akan menguraikan persoalan tersebut, dan pada

akhirnya akan merumuskan solusi penyelesaiannya, sehingga pelaksanaan

kebijakan tersebut berhasil dan berdaya guna. Bertolak dari pertanyaan itu,

maka penelitian ini bertujuan untuk : (1) menguraikan persoalan yang

dihadapi dalam pelaksanaan penyelesaian PTKH; dan (2) merumuskan opsi

penyelesaian PTKH.

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan waktu penelitian

Penelitian ini merupakan review implementasi kebijakan penyelesaian

penguasaan tanah dalam kawasan hutan di Provinsi Sulawesi Utara. Kebijakan

tersebut telah dilaksanakan sejak Januari 2018, hingga naskah ini ditulis untuk

bahan seminar. Namun demikian, lokasi implementasi kebijakan tersebut

adalah di Provinsi Sulawesi Utara, tepatnya di Kabupaten Minahasa Tenggara,

Kabupaten Minahasa Utara, Kabupaten Minahasa Selatan, Kabupaten Bolaang

Mongondow, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur, Kabupaten Bolaang

3 Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK. 3154/Menlhk-

PKTL/KUH/PLA.2/5/2018 tanggal 18 Mei 2018 Tentang Peta Indikatif Alokasi Kawasan Hutan untuk Penyediaan Sumber Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) Revisi II

Page 158: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

142

Mongondow Selatan, dan Kabupaten Kepulauan Talaud. Waktu penelitian

adalah sejak di implementasikan pada Januari 2018 sampai dengan Agustus

2018.

B. Bahan

Bahan yang digunakan adalah peraturan terkait dengan penyelesaian

penguasaan tanah dalam kawasan hutan, antara lain: Perpres Nomor 88

Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan

dan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 3 Tahun

2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Tim Inventarisasi dan Verifikasi

Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan. Bahan lain adalah hasil

pelaksanaan Inventarisasi dan Verifikasi Penguasaan Tanah dalam Kawasan

Hutan (Inver PTKH) di Provinsi Sulawesi Utara yang dilaksanakan oleh Balai

Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah VI Manado dan hasil-hasil

penelitian terkait tenurial kawasan hutan, salah satunya adalah penelitian

Sinabutar (2015) tentang Penataan Tenurial dan Peran Para Pihak dalam

Mewujudkan Legalitas dan Legitimasi Kawasan Hutan Negara.

C. Pendekatan penelitian

Penelitian ini berupaya memahami persoalan sosial dan makna di balik

fakta penyelesaian PTKH khususnya inventarisasi dan verifikasi, sehingga

pendekatan penelitiannya adalah kualitatif (Creswell 1994). Creswell (1994)

menjelaskan bahwa penelitian kualitatif berupaya memahami persoalan sosial

berdasarkan penciptaan gambaran holistik secara lengkap. Pemahaman

makna dibalik fakta adalah menjelaskan fakta berdasarkan teori dan konsep

sehingga secara teoritis lebih bisa dijelaskan bahkan digeneralisir. Pendekatan

ini menempatkan fakta empiris sebagai dasar dalam membangun analisis.

D. Analisis data

Data dianalisis secara kualitatif dengan strategi tipologi yang

mendeskripsikan fakta terlebih dahulu, kemudian menemukan makna di balik

fakta itu. Analisis kualitatif dengan strategi tipologi merupakan usaha

mengambil kesimpulan berdasarkan pemikiran logis dari data dan informasi

yang diperoleh. Data dan informasi dikumpulkan, kemudian diseleksi, lalu

disederhanakan dengan mengambil inti sarinya hingga ditemukan tema

pokok, fokus masalah dan pola-polanya (Lofland 1971 sebagaimana diacu

Amin 2013). Analisis kualitatif dengan tipologi ini dilakukan berdasarkan

interpretasi atas data dan informasi yang diperoleh melalui review dokumen.

Untuk menghindari bias, dilakukan pencocokan antara dokumen yang

ditemukan dengan pengalaman peneliti selama bekerja di BPKH Wilayah VI.

Page 159: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Dunia Nyata Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan ….. Pernando Sinabutar, Anton C. Nugroho, Lidya S. Biringkanae

143

Analisis data merupakan proses mencari dan mengatur secara sistematis

bahan-bahan yang telah didapatkan, yang secara keseluruhan bermanfaat

untuk meningkatkan pemahaman terhadap fenomena yang pada akhirnya

membantu mengungkap temuan-temuan kepada para pihak. Proses analisis

data dalam penelitian kualitatif antara lain pengumpulan data mentah,

transkrip data, pembuatan koding, kategorisasi data, penyimpulan sementara,

triangulasi, dan penyimpulan akhir (Irawan, 2007).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan

Klaim masyarakat atas tanah dalam kawasan hutan terus meningkat dari

waktu ke waktu dan hampir terjadi di seluruh kawasan hutan di Indonesia,

termasuk di Provinsi Sulawesi Utara. Pemerintah telah menerbitkan

instrumen4 untuk menyelesaikan klaim tersebut, yang dikenal dengan

pengukuhan kawasan hutan melalui Panitia Tata Batas (PTB). Namun,

implementasinya belum tuntas. Instrumen itu menuntut pembuktian

penguasaan tanah berdasarkan hukum positif yaitu bukti hak secara tertulis,

yang tidak dapat ditunjukkan oleh masyarakat. Kalaupun dalam instrumen

tersebut dimungkinkan pembuktian dengan bukti hak tidak tertulis,

masyarakat tetap sulit untuk menunjukkannya. Menurut Sinabutar (2015)

bukti hak kepemilikan dan penguasaan masyarakat atas bidang tanah dalam

kawasan hutan didominasi oleh bukti hak tidak tertulis antara lain sejarah

penguasaan dan pemilikan secara turun temurun; siapa yang lebih dulu

membuka lahan dialah pemiliknya; ganti rugi atas bidang tanah yang

disepakati tidak disertai bukti hak, pengalihan hak dilakukan berdasarkan

kesepakatan yang tidak disertai dengan dokumen pengalihan hak, misalnya

Surat Keterangan Tanah (SKT) maupun surat girik. Bukti-bukti ini justru lebih

diakui oleh lembaga lokal (local institution), sehingga masyarakat tidak

berusaha memperoleh bukti hak sesuai hukum positif. Beberapa hal tersebut

tidak selesai dalam proses pengukuhan kawasan hutan, sehingga klaim

kebenaran hanya melekat pada aspek legalitas, bukan legitimasi. Persoalan

penyelesaian klaim telah disederhanakan menjadi sekedar persoalan hukum

yang dapat diatasi hanya dengan pendekatan legalistik-formal yang

4 Instrumen penyelesaian klaim masyakarat atas penguasaan dalam kawasan hutan antara lain

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 44/Menhut-II/2012 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 62/Menhut-II/2013 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan.

Page 160: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

144

dikonstruksi oleh kekuasaan. Akibatnya, klaim masyarakat atas tanah dalam

kawasan hutan tidak pernah selesai.

Di Provinsi Sulawesi Utara, indikasi klaim penguasaan dan pemanfaatan

bidang tanah dalam kawasan hutan yang disebut dengan sumber Tanah

Objek Reforma Agraria (TORA) telah tergambar dalam peta indikatif sesuai

Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.

3154/Menlhk-PKTL/KUH/PLA.2/5/2018 tentang Peta Indikatif Alokasi

Kawasan Hutan untuk Penyediaan Sumber Tanah Obyek Reforma Agraria

(TORA) Revisi II seluas 3.120,95 ha5. Kriteria penyelesaian klaim yang

dibangun melalui keputusan itu adalah (a) alokasi 20% untuk kebun

masyarakat dari pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan; (b) Hutan

Produksi yang dapat Dikonversi (HPK) tidak produktif; (c) program

pemerintah untuk pencadangan pencetakan sawah baru; (d) permukiman

transmigrasi beserta fasilitas sosial dan fasilitas umum yang sudah

memperoleh persetujuan prinsip; (e) permukiman, fasilitas sosial dan fasilitas

umum; (f) lahan garapan berupa sawah dan tambak rakyat; dan (g) pertanian

lahan kering yang menjadi sumber mata pencaharian utama masyarakat

setempat. Hasil Inver PTKH yang dilakukan oleh Tim Inver PTKH yang

dibentuk oleh Gubernur Sulawesi Utara menunjukkan bahwa klaim

penguasaan sudah terjadi sejak beberapa tahun yang lewat. Hal tersebut

membuktikan bahwa instrumen pengukuhan kawasan hutan belum berhasil

menyelesaikan klaim dimaksud.

Selama ini, kelembagaan penyelesaian klaim itu belum terfasilitasi

dengan baik. Sinabutar (2015) menyebutkan bahwa telah terjadi situasi aksi

yang menunjukkan partisipan menggunakan sumber daya yang dimiliki secara

penuh dan itu melampaui keseimbangan peran organisasi yang dibentuk

sehingga melemahkan peran anggota lainnya. Kondisi demikian ini tidak

memecahkan persoalan klaim lahan, sebaliknya cenderung berorientasi

menyelesaikan masalah-masalah administrasi dan legalitas semata. Persoalan

penyelesaian klaim bukan persoalan yang sesuai jika hanya didekati dari

hukum positif seperti juga temuan dari Sirat et al. (2004); Contreras-

Hermosilla dan Fay (2006). Akibatnya, kepastian hukum kepemilikan dan

5 Khusus untuk 8 (delapan) kabupaten, belum dihitung untuk seluruh kabupaten/kota di Provinsi

Sulawesi Utara. Kabupaten tersebut antara lain Kabupaten Minahasa 18,46 hektar; Kabupaten Minahasa Selatan 37,13 hektar; Kabupaten Minahasa Tenggara 177,85 hektar; Kabupaten Minahasa Utara 358,20 hektar; Kabupaten Bolaang Mongondow 815,54 hektar; Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan 667,13 hektar; Kabupaten Bolaang Mongondow Timur 693,45 hektar; dan Kabupaten Kepulauan Talaud 358,20 hektar.

Page 161: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Dunia Nyata Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan ….. Pernando Sinabutar, Anton C. Nugroho, Lidya S. Biringkanae

145

penguasaan hutan negara tidak akan pernah selesai. Kepastian itu sangat

penting karena menurut beberapa peneliti, kepastian kepemilikan dan

penguasaan sangat strategis untuk memberantas kemiskinan (de Soto 2000;

Deininger 2003), mendorong pengelolaan CPRs menjadi efektif (Kitamura &

Clapp 2013) dan mendorong investasi pertanian serta meningkatkan

pertumbuhan ekonomi pedesaan (Sivalai et al. 2012). Sebaliknya,

ketidakpastian kepemilikan dan penguasaan akan menyebabkan kerusakan

hutan (Fauzi 2008), konflik (Dove, 1985; Maring, 2010), ketimpangan dan

ketidakadilan penguasaan (Prayogo 2010), ketidakjelasan hak-hak

kepemilikan (property rights) (Lahandu 2007), degradasi lahan dan kekerasan

di tingkat lokal (Contreras-Hermosilla dan Fay 2006).

Oleh karena itu, kepastian hukum kepemilikan dan penguasaan tanah

negara sangat penting. Kebijakan penyelesaian penguasaan tanah dalam

kawasan hutan yang saat ini diterbitkan, diharapkan mampu mewujudkan

kepastian itu. Namun demikian, berbagai persoalan yang dihadapi dalam

impelementasi kebijakan Perpres Nomor 88 Tahun 2017 masih banyak,

sehingga impelementasinya belum optimal.

B. Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan

Dalam Perpres tersebut, penguasaan tanah harus memenuhi kriteria :

(a) bidang tanah telah dikuasai oleh Pihak6 secara fisik dengan itikad baik dan

secara terbuka; (b) bidang tanah tidak diganggu gugat; dan (c) bidang tanah

diakui dan dibenarkan oleh masyarakat hukum adat atau kepala

desa/kelurahan yang bersangkutan serta diperkuat oleh kesaksian orang yang

dapat dipercaya. Seterusnya dijelaskan bahwa PTKH terdiri atas : (a) bidang

tanah yang telah dikuasai dan dimanfaatkan dan/atau telah diberikan hak di

atasnya sebelum bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai kawasan

hutan; atau (b) bidang tanah yang dikuasai dan dimanfaatkan setelah

bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai kawasan hutan. Berdasarkan hal

itu, status kawasan hutan yang dimaksud dalam Perpres adalah kawasan

hutan pada tahap penunjukan baik fungsi hutan konservasi, hutan lindung,

maupun hutan produksi. Jenis pemanfaatan kawasan hutan berupa

6 Pihak adalah perorangan, instansi, badan sosial/keagamaan, masyarakat hukum adat yang

menguasai dan memanfaatkan bidang tanah dalam kawasan hutan (Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017).

Page 162: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

146

pemukiman, fasilitas umum dan/atau fasilitas sosial, lahan garapan dan/atau

hutan yang dikelola masyarakat hukum adat7.

Proses penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan diawali

dengan sosialisasi di tangkat kabupaten dengan melibatkan kepala desa dan

perwakilan masyarakat. Setelah sosialisasi, masyarakat yang memiliki bidang

tanah yang dikuasai dan dimanfaatkan di dalam kawasan hutan dimohon

untuk diselesaikan. Permohonan secara kolektif melalui kepala desa yang

diketahui oleh camat untuk disampaikan ke Tim Inver PTKH oleh Bupati.

Kemudian, Tim Inver PTKH melakukan penelaahan terhadap usulan

permohonan dan membahas jadwal pelaksanaan Inver PTKH. Berdasarkan

hasil Inver PTKH, dilakukan pembahasan untuk penyusunan rekomendasi

Gubernur ke Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Hasilnya adalah

persetujuan perubahan batas kawasan hutan atau memberikan akses

pengelolaan melalui perhutanan sosial. Bidang tanah yang disetujui

perubahan batas akan dilakukan tata batas, dan selanjutnya diselesaikan

kepemilikan dan penguasaannya dengan memberikan sertifikat hak milik.

C. Prosedur Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan

Prosedur penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan

dilakukan berdasarkan tahapan : (a) inventarisasi penguasaan tanah dalam

kawasan hutan; (b) verifikasi penguasaan tanah dan penyampaian

rekomendasi; (c) penetapan pola penyelesaian penguasaan dan pemanfaatan

tanah dalam kawasan hutan; (d) penerbitan keputusan penyelesaian

penguasaan dan pemanfaatan tanah dalam kawasan hutan; dan (e)

penerbitan sertifikat hak atas tanah.

Inventarisasi penguasaan tanah dalam kawasan hutan dilakukan

berdasarkan pendaftaran permohonan yang diajukan oleh Pihak melalui

bupati/walikota. Kegiatan ini meliputi pendataan penguasaan, pemilikan,

penggunaan atau pemanfaatan tanah. Satuan wilayah pendataan

7 Pemukiman merupakan bagian di dalam kawasan hutan yang dimanfaatkan sebagai

lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung

penghidupan masyarakat serta masyarakat hukum adat. Fasilitas umum dan/atau fasilitas

sosial merupakan fasilitas di dalam kawasan hutan yang digunakan oleh masyarakat untuk

kepentingan umum. Kemudian, lahan garapan merupakan bidang tanah di dalam kawasan

hutan yang dikerjakan dan dimanfaatkan oleh seseorang atau sekelompok orang yang dapat

berupa sawah, ladang, kebun campuran dan/atau tambak. Selanjutnya, hutan yang dikelola

masyarakat hukum adat merupakan hutan adat yang ditetapkan sesuai ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Page 163: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Dunia Nyata Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan ….. Pernando Sinabutar, Anton C. Nugroho, Lidya S. Biringkanae

147

penguasaan, pemilikan, penggunaan atau pemanfaatan tanah adalah wilayah

administrasi kabupaten/kota dan dilakukan 1 (satu) kali untuk setiap satuan

wilayah. Selanjutnya dilakukan verifikasi penguasaan tanah berdasarkan hasil

inventarisasi dengan memanfaatkan sistem informasi geografis. Verifikasi

penguasaan tanah dilakukan dengan tahapan : (a) pelaksanaan analisis data

fisik dan data yuridis bidang-bidang tanah yang berada di dalam kawasan

hutan, serta analisis lingkungan hidup; (b) pelaksanaan verifikasi lapangan

jika diperlukan; (c) perumusan rekomendasi penyelesaian penguasaan tanah

dalam kawasan hutan berdasarkan analisis; dan (d) penyampaian

rekomendasi penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan kepada

gubernur dengan melampirkan : (1) Peta Penguasaan, Pemilikan,

Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah dalam kawasan hutan (P4TKH) non

kadastral; (2) Surat Pernyataan Penggunaan Fisik Bidang Tanah (SP2FBT)

yang ditandatangani oleh masing-masing pemohon; (3) salinan bukti-bukti

penguasaan tanah lainnya; (4) pakta integritas Tim Inver PTKH; dan (5)

usulan pola penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan.

Pelaksana Inver PTKH adalah tim yang dibentuk oleh Gubernur.

Gubernur melaporkan pelaksanaan tugas Tim Inver PTKH kepada Ketua Tim

Percepatan PPTKH secara berkala setiap 3 (tiga) bulan atau sewaktu-waktu

diperlukan. Pedoman pelaksanaan tugas Tim Inver PTKH diatur dengan

Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian selaku Ketua Tim

Percepatan PPTKH. Rekomendasi yang disusun Tim Inver PTKH disampaikan

Gubernur kepada Ketua Tim Percepatan PPTKH dengan tembusan kepada

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja

sejak diterimanya laporan dan rekomendasi dari Tim Inver PTKH. Ketua Tim

Percepatan PPTKH melakukan koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan

penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan dan hasilnya berupa

pertimbangan penyelesaian penguasaan tanah yang berada di dalam kawasan

hutan untuk ditindaklanjuti oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, Menteri Lingkungan Hidup dan

Kehutanan memutuskan penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan

hutan untuk dapat diproses lebih lanjut atau ditolak. Mekanisme pelaksanaan

koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan penyelesaian penguasaan tanah

dalam kawasan hutan diatur dengan Peraturan Menteri Koordinator Bidang

Perekonomian selaku Ketua Tim Percepatan PPTKH.

Dalam hal keputusan penyelesaian untuk bidang tanah yang dikuasai dan

dimanfaatkan berupa tukar menukar kawasan hutan atau resettlement atau

pemberian akses pengelolaan hutan melalui program perhutanan sosial,

Page 164: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

148

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyelesaikan sesuai dengan

Peraturan Perundang-Undangan. Biaya pelaksanaan tukar menukar kawasan

hutan atau resettlement menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Dalam

hal keputusan penyelesaian bidang tanah yang dikuasai dan dimanfaatkan

berupa pengeluaran bidang tanah dalam kawasan hutan dengan perubahan

batas kawasan hutan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan

surat keputusan perubahan batas kawasan hutan setelah dilakukan penataan

batas sesuai peraturan perundang-undangan.

Keputusan perubahan batas kawasan hutan disampaikan kepada Tim

Percepatan PPTKH, Gubernur, Tim Inver PTKH, dan Bupati/Walikota.

Berdasarkan keputusan penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan

hutan, Bupati/Walikota mengumumkan kepada Pihak paling lambat 14 (empat

belas) hari kerja sejak diterimanya keputusan perubahan batas kawasan

hutan. Pihak dapat mengajukan keberatan kepada Menteri Lingkungan Hidup

dan Kehutanan atas keputusan penyelesaian penguasaan tanah dalam

kawasan hutan. Pengajuan keberatan disampaikan melalui Bupati/Walikota

dengan batas waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diumumkannya

keputusan penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan. Menteri

Lingkungan Hidup dan Kehutanan dapat menerima atau menolak keberatan

yang diajukan oleh Pihak. Dalam hal diterima, Menteri Lingkungan Hidup dan

Kehutanan menyampaikan kepada Gubernur untuk melakukan verifikasi

ulang. Keputusan perubahan batas kawasan hutan yang ditetapkan oleh

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan digunakan sebagai dasar

penerbitan sertifikat hak atas tanah yang dilaksanakan sesuai peraturan

perundang-undangan. Penerbitan sertifikat hak atas tanah dapat dilakukan

dengan penataan melalui konsolidasi tanah.

Perlu diketahui bahwa selama prosedur penyelesaian PTKH tengah

dilakukan, masyarakat tidak melakukan pendudukan tanah baru dan/atau

melakukan perbuatan yang dapat mengganggu pelaksanaan penyelesaian

penguasaan tanah dalam kawasan hutan. Di samping itu, instansi pemerintah

tidak melakukan pengusiran, penangkapan, penutupan akses terhadap tanah,

dan/atau perbuatan yang dapat mengganggu pelaksanaan penyelesaian

penguasaan tanah di dalam kawasan hutan.

D. Pola Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan

Ada beberapa batasan agar bidang tanah yang telah dikuasai dan

dimanfaatkan termasuk dalam pola penyelesaian PTKH, yaitu : (a) posisi

kawasan hutan pada tahap penunjukan, sehingga ditetapkan ketentuan

Page 165: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Dunia Nyata Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan ….. Pernando Sinabutar, Anton C. Nugroho, Lidya S. Biringkanae

149

sebelum dan setelah penunjukan kawasan hutan; (b) memperhitungkan

luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30% (tiga puluh

perseratus) dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi; dan (c)

lama penguasaan tanah dengan itikad baik lebih, sama atau kurang dari 20

tahun. Pola penyelesaian untuk bidang tanah yang telah dikuasai dan

dimanfaatkan dan/atau telah diberikan hak di atasnya sebelum bidang tanah

tersebut ditunjuk sebagai kawasan hutan dilakukan dengan mengeluarkan

bidang tanah dari dalam kawasan hutan melalui perubahan kawasan hutan.

Sedangkan pola penyelesaian untuk bidang tanah yang dikuasai dan

dimanfaatkan setelah bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai kawasan hutan

adalah berupa : (a) mengeluarkan bidang tanah dalam kawasan hutan melalui

perubahan kawasan hutan; (b) tukar menukar kawasan hutan; (c)

memberikan akses pengelolaan hutan melalui program perhutanan sosial;

atau (d) melakukan resettlement. Selengkapnya, pola penyelesaian PTKH

berdasarkan Perpres Nomor 88 Tahun 2017 dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Pola penyelesaian penguasaan dan pemanfaatan tanah dalam

kawasan hutan (Perpres Nomor 88 Tahun 2017).

Pola/ Status

Sebelum Penunjukan

Setelah Penunjukan

Luas

Kawas-an

Hutan

Tidak Terkait Luas Kawasan Hutan

Luas kawasan hutan < 30%

Luas Kawasan Hutan > 30%

Provinsi

Pengua

saan/ Peman

-faatan

Pmkm

Fa

s Fu

m

Lh

n Gr

pn

Adat

*)

Pmkm

Fa

s Fu

m

Lh

n Gr

pn

Adat

*)

Pmkm

Fa

s Fa

m

Lhn Grp

n

Adat

*)

Pola Penye-

lesaian

Bidang Tanah

dikeluarkan (K)

Bidang Tanah dikeluarkan (K), Tukar Menukar (T), Perhutanan Sosial (PS) dan

Resettlement (R)

Fungsi Hutan :

Konser

vasi K R (Seluruh Kondisi)

Lindung

Meme-

nuhi Kriteria

K R R PS R R

K (>

20)

(TORA)

Page 166: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

150

Pola/

Status

Sebelum

Penunjukan Setelah Penunjukan

PS

(<

20)

Lindun

g Tidak

Memen

uhi Kriteria

K T T ?? K K ??

Produksi

K

T

ata

u R

T

atau

R

PS K K

K

(> 20)

(TORA)

PS (<

20)

*) hutan adat yang dikelola oleh masyarakat hukum adat ditetapkan sesaui peraturan

perundangan

Sumber : Kartodihardjo (2017)

E. Dunia Nyata Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan

Hutan

Pada akhirnya, penyelesaian PTKH akan selesai pada pengakuan

masyarakat terhadap hutan negara dan konflik tenurial dalam kawasan hutan

menurun. Proses itu tidak mudah, dan memerlukan waktu yang tidak singkat.

Pengguna CPRs perlu mengorganisasikan diri dalam merancang, memantau

dan menegakkan aturan yang berlaku antar pengguna sumberdaya seperti

halnya temuan Travers et al. (2011). Pengurusan pengakuan membutuhkan

waktu yang panjang dan harus dilakukan secara simultan, sehingga perlu

kehadiran lembaga pengelola di tingkat tapak yang sehari-hari berkomunikasi

dengan masyarakat. Selama ini, penguasaan tanah oleh negara hanya

direfleksikan pada deliniasi di atas peta, kehadirannya di tingkat tapak tidak

pernah terlihat apalagi dirasakan. Kehadiran lembaga pengelola di tingkat

tapak dapat memperkuat hak-hak masyarakat lokal. Hal ini sejalan dengan

temuan Hansen (2011) bahwa penguatan hak-hak masyarakat lokal

merupakan bagian dari reformasi kebijakan pengelolaan hutan. Demikian juga

hasil penelitian Larson (2010) yang mengatakan bahwa pengakuan

masyarakat adat dapat berimplikasi pada penguatan hak-hak masyarakat

lokal. Penguatan tersebut oleh Andersson et al. (2013) merupakan salah satu

Page 167: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Dunia Nyata Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan ….. Pernando Sinabutar, Anton C. Nugroho, Lidya S. Biringkanae

151

indikator penting dalam mewujudkan tata kelola kehutanan yang

berkelanjutan.

Beberapa hal itu, belum sinkron dengan proses yang diamanatkan dalam

Perpres. Batasan waktu yang disebutkan menjadi faktor kuat

ketidakberhasilan pelaksanaannya. Tim Inver PTKH Provinsi Sulawesi Utara

yang telah melaksanakan tugasnya sejak sosialisasi hingga merumuskan

rekomendasi penyelesaian PTKH yang akan disampaikan Gubernur Sulawesi

Utara ke Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, menemukan opsi agar

kebijakan penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan tersebut

dapat terimplementasi dengan baik, yaitu : (1) proses penyelesaian

penguasaan tanah dalam kawasan hutan tidak dibatasi dalam 1 (satu) tahun;

(2) tahapan lebih disederhanakan, termasuk persyaratan yang harus dipenuhi

oleh masyarakat yang menguasai dan memanfaatkan bidang tanah dalam

kawasan hutan; (3) pola penyelesaian disesuaikan dengan fakta lapangan,

bukan pada bukti kepemilikan dan penguasaan, khususnya permukiman dan

fasilitas sosial maupun fasilitas umum; (4) kebijakan seharusnya fokus pada

penyelesaian bidang tanah yang dimanfaatkan dan digunakan untuk

permukiman, fasilitas sosial dan fasilitas umum, sedangkan lahan garapan dan

hutan yang dikelola oleh masyarakat adat dapat diselesaikan dengan

mekanisme lain; dan (5) mendorong keterlibatan dan peran yang lebih besar

lembaga pengelola di tingkat tapak, antara lain Kesatuan Pengelolaan Hutan

(KPH).

1. Proses Penyelesaian PTKH tidak dibatasi 1 (satu) tahun

Perpres menyebutkan bahwa penyelesaian PTKH mulai dari sosialisasi;

pendaftaran permohonan penyelesaian tanah dari Pihak; inventarisasi dan

verifikasi penguasaan tanah dalam kawasan hutan; penyusunan rekomendasi;

dan keputusan perubahan batas diselesaikan dalam waktu 1 (satu) tahun.

Keberadaan pihak, terutama perseorangan yang memiliki bukti hak yang tidak

sesuai dengan yang dipersyaratkan dalam Perpres akan sulit, sehingga

berdampak pada permohonan. Dengan demikian, penyelesaian PTKH dalam

1 (satu) tahun, diyakini tidak akan selesai. Proses penyelesaian PTKH perlu

mempertimbangkan kriteria penguasaan tanah, misalnya permukiman,

fasilitas sosial dan/atau fasilitas umum yang secara eksisting telah ditemukan

di lapangan hendaknya diproses langsung berupa pengeluaran dari kawasan

hutan, tanpa permohonan individu.

Page 168: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

152

2. Kesulitan dalam Pemenuhan Persyaratan

Pemenuhan persyaratan sangat sulit. Sosialisasi yang dibatasi satu kali

pelaksanaan juga mempengaruhi pendaftaran permohonan. Syarat dan bukti

pendaftaran bidang tanah cukup rumit, terutama bukti hak. Kebijakan

menganggap bahwa masyarakat akan berlomba-lomba untuk menyelesaikan

klaim, karena ditengarai masyarakat telah menguasai bidang tanah dalam

kawasan hutan. Faktanya tidak demikian, masyarakat justru apatis dan tidak

mau mendaftarkan bidang tanah yang dikuasainya. Akibatnya, tidak ada

permohonan. Sosialisasi yang dilaksanakan di tingkat kabupaten dengan

melibatkan kepala desa dan perwakilan masyarakat belum mampu

memberikan pemahaman, bahkan menambah kebingungan akibat selalu

berubahnya kebijakan penyelesaian PTKH.

3. Pola Penyelesaian hendaknya berdasarkan Fakta Lapangan

Pengaturan pola penyelesaian PTKH dalam Perpres diatur secara rigid,

namun sulit dalam implementasinya. Seharusnya, pola penyelesaian PTKH

disesuaikan dengan fakta lapangan, khususnya kriteria penguasaan tanah

berupa permukiman, fasilitas sosial dan/atau fasilitas umum. Seperti

disebutkan sebelumnya, bukti tertulis yang dimiliki masyarakat terhadap

bidang tanah yang dimiliki maupun dikuasai relatif tidak ada, sehingga

berdasarkan hukum positif, penyelesaian PTKH akan sulit.

4. Kebijakan Fokus pada Permukiman, Fasilitas Sosial dan Fasilitas

Umum

Persoalan utama PTKH adalah banyaknya permukiman yang berada

dalam kawasan hutan. Menurut BPS-Dephut (2007), dari 31.864 desa yang

diidentifikasi (15 provinsi) terdapat 16.760 desa berada di dalam kawasan

hutan. Oleh karena itu, fokus kebijakan seharusnya dimaksudkan untuk

kriteria penguasaan tanah permukiman, fasilitas sosial dan/atau fasilitas

umum.

5. Mendorong Peran Lembaga KPH

Sejatinya, pengurusan hutan dengan membentuk wilayah pengelolaan

hutan yang disebut dengan KPH telah diamanatkan dalam Undang-Undang

Nomor 41 Tahun 1999. Pasal 10 Undang-Undang tersebut menyebutkan

bahwa pengurusan hutan meliputi kegiatan penyelenggaraan perencanaan

kehutanan, pengelolaan hutan, penelitian dan pengembangan, pendidikan

dan latihan, penyuluhan kehutanan, dan pengawasan. Selanjutnya, Pasal 12

menyebutkan bahwa salah satu bagian dari perencanaan hutan adalah

pembentukan wilayah pengelolaan hutan. Kemudian, Pasal 17 menegaskan

Page 169: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Dunia Nyata Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan ….. Pernando Sinabutar, Anton C. Nugroho, Lidya S. Biringkanae

153

bahwa pembentukan wilayah pengelolaan hutan tersebut dilakukan pada

tingkat unit pengelolaan. Unit pengelolaan dimaksud sebagaimana disebutkan

pada turunan dari Undang-Undang tersebut yaitu Peraturan Pemerintah (PP)

Nomor 6 Tahun 2007 jo. PP Nomor 3 Tahun 20088 adalah Kesatuan

Pengelolaan Hutan (KPH). Kehadiran lembaga KPH di tapak, diyakini mampu

menjadi fasilitator dan perantara implementasi kebijakan, termasuk

mensosialisasikan kebijakan dari waktu ke waktu; membantu pendaftaran

permohonan; meyakinkan masyarakat pentingnya menyelesaikan PTKH;

melakukan pendampingan pemenuhan bukti-bukti yang dipersyaratkan; dan

membantu melakukan pengukuran bidang tanah dan membuat sketsa secara

sederhana. Dengan begitu, penyelesaian PTKH lebih efektif, efisien dan

diyakini keberhasilannya.

IV. KESIMPULAN

Karakteristik hutan negara sebagai CPRs memerlukan pengaturan yang

efektif supaya kepastian hukum kepemilikan dan penguasaannya dapat

terwujud. Perpres Nomor 88 Tahun 2017 yang diyakini mampu mewujudkan

kepastian tersebut, ternyata belum berhasil. Pola, penyelesaian, pemenuhan

persyaratan, prosedur dan pengorganisasian penyelesaian PTKH yang dinilai

rumit, belum mampu menyelesaikan dan memberikan perlindungan hukum

terhadap hak-hak masyarakat yang berada di dalam kawasan hutan. Arena

aksi antara lain situasi aksi dan aktor yang terlibat dalam PTKH perlu

pemahaman bersama (homogenitas) dan menyederhanakan prosedur,

tahapan dan pola penyelesaiannya. Oleh karena itu, titik kritis untuk

menghindari kebuntuan, perlu diketahui. Terakhir, agar kebijakan tersebut

operasional, diperlukan beberapa prasyarat antara lain proses, tahapan, pola

penyelesaian dan prosedurnya yang lebih disederhanakan. Prasyarat itu akan

mendorong penyelesaian PTKH tidak akan administratif belaka, namun akan

mempermudah proses penyelesaiannya.

V. DAFTAR PUSTAKA

Agrawal, A., Brown, D. G., Rao, G., Riolo, R., Robinson, D. T., & Bommarito,

M. (2013). Interactions between organizations and networks in common-

pool resource governance. Environmental Science and Policy, 25, 138-

146. doi:10.1016/j.envsci.2012.08.004

8 PP ini mengatur tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan,

Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan

Page 170: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

154

Andersson, K., Benavides, J. P., & Leon, R. (2013). Institutional diversity and

local forest governance. J Environmental Science & Policy, 36, 61-72.

http://dx.doi.org/10.1016/j.envsci.2013.07.009.

Amin, M. (2013). Kekuasaan dan Politik Lokal (Studi tentang Peran Pemuda

Pancasila dalam Mendukung Syamsul Arifin dan Gatot Pudjonugroho

sebagai Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sumatera Utara

Periode 2008-2013). Disertasi tidak diterbitkan, Universitas Indonesia,

Jakarta.

Basuni, S. (2003). Inovasi Institusi Untuk Meningkatkan Kinerja Daerah

Penyangga Kawasan Konservasi; Studi Kasus di Taman Nasional Gunung

Gede Pangrango, Jawa Barat. Disertasi tidak diterbitkan, Program

Pascasarjana IPB, Bogor.

[BPS-Dephut] Badan Pusat Statistika-Departemen Kehutanan. (2007).

Identifikasi Desa dalam Kawasan Hutan. Kerjasama Pusat Rencana dan

Statistik Kehutanan, Departemen Kehutanan dengan Direktorat Statistik

Pertanian, Badan Pusat Statistik. Jakarta

Contreras-Hermosilla A., & Fay C. (2006). Memperkokoh Pengelolaan Hutan

Indonesia: Melalui Pembaruan Penguasaan Tanah, Permasalahan dan

Kerangka Tindakan. Bogor, Indonesia: Bogor World Agroforestry Center

dan Forest Trends

Creswell J. W. (1994). Research Design Qualitative & Quantitative

Approaches. Sage Publications, Inc.

Deininger K. 2003. Land policies for growth and poverty reduction. World Bank

Policy

De Soto H. (2000). The Mystery of capital. New York, USA: Basic Books.

Dove, M. R. 1985. Government Perceptions of Traditional Social Forestry in

Indonesia: The history, causes, and implications of state policy on

swidden agricultural. “In Community Forestry: Socio-Economic Aspects.

Rome: Food and Agricultural Organization.

Fauzi, N. (2008). Gelombang Baru Reforma Agraria di Awal Abad ke-21.

Makalah pada Seminar “Agenda Pembaruan Agraria dan Tirani Modal”

Kampus FISIP UI.

Hansen, C. P. (2011). Forest law compliance and enforcement: The case of

on-farm timber extraction in Ghana. Journal of Environmental

Management, 92(3), 575–586.

http://dx.doi.org/10.1016/j.jenvman.2010.09.021.

Page 171: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Dunia Nyata Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan ….. Pernando Sinabutar, Anton C. Nugroho, Lidya S. Biringkanae

155

Irawan P. (2007). Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial.

Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia. Depok: Copyrights DIA FISIP UI.

Kartodihardjo, H. (2017). Titik Kritis Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam

Kawasan Hutan. Jakarta: Agro Indonesia

Kitamura K., and Clapp, R. A. (2013). Common property protected areas:

community control in forest conservation. J. Land Use Policy, 34, 204-

212. doi : 10.1016/j.landusepol.2013.03.008

Lahandu. (2007). Analisis kebijakan pengelolaan akses sumber daya alam oleh

masyarakat Kaili di Taman Hutan Raya (Tahura) Sulawesi Tengah. Tesis

tidak diterbitkan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Larson, A. M. (2010). Making the ‘rules of the game’: Constituting territory

and authority in Nicaragua’s indigenous communities. Land Use Policy,

27 (4), 1143–1152. http://dx.doi.org/10.1016/j.landusepol.2010.03.004

Maring, P. (2010). Bagaimana Kekuasaan Bekerja di Balik Konflik, Perlawanan

dan Kolaborasi? Sebuah Sudut Pandang Antropologi tentang Perebutan

Sumber daya Ekologi. Jakarta (ID): Lembaga Pengkajian Antropologi

Kekuasaan Indonesia.

Nugroho, B. (2013). Reformasi institusi dan tata pemerintahan: Faktor

pemungkin menuju tata kelola kehutanan yang baik, dalam Kartodihardjo

H, (ed), Kembali ke Jalan Lurus: Kritik Penggunaan Ilmu dan Praktek

Kehutanan Indonesia. Yogyakarta (ID): Nailil Printika.

Ostrom, E. 1990. Governing the Commons. The Evolution of Institution for

Collective Action. New York: Cambridge University Press.

Ostrom, E. & Schlager E. (1996). The Formation of Property Right, dalam

Hanna, S., Folke, C., & Maler, K. G. (eds), Rights to Nature. Ecological,

Economic, Cultural, and Political Principles of Institutions for the

Environment. Washington DC: Island Press.

Ostrom, E. (2005). Understanding Institutional Diversity. Princeton and

Oxford: Princenton University Press.

Pakpahan, A. (1989). Kerangka analitik untuk penelitian rekayasa sosial:

perspektif ekonomi institusi, dalam Evolusi Kelembagaan Pedesaan di

Tengah Perkembengan Teknologi Pertanian.

Prayogo, D. (2010). Anatomi konflik antara korporasi dan komunitas lokal

pada industri geotermal di Jawa Barat. Jurnal Makara, Sosial Humaniora,

14(1), 25-34.

Page 172: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

156

Republik Indonesia. (1999). Undang-Undang 302016 Republik Indonesia,

1999, Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tetang Kehutanan.

Republik Indonesia. (2017). Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2004 tentang

Perencanaan Kehutanan.

Republik Indonesia. (2017). Peraturan Presiden No.88 Tahun 2017 tentang

Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan.

Republik Indonesia. (2018). Peraturan Menteri Koordinator Bidang

Perekonomian No.3 Tahun 2018 tentang Pedoman Tugas Tim

Inventarisasi dan Verifikasi Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan.

Republik Indonesia. (2012). Peraturan Menteri Kehutanan No.44/Menhut-

II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan.

Republik Indonesia. (2012). Peraturan Menteri Kehutanan No. 62/Menhut-

II/2013 tentang Perubahan P. 44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan

Kawasan Hutan.

Ribot, J. C. & Peluso N. L. (2003). A Theory of Access. J. Rural Sociology

68(2), 153–181.

Sinabutar, P. (2015). Penataan Tenurial dan Peran Para Pihak dalam

Mewujudkan Legalitas dan Legitimasi Kawasan Hutan Negara. Disertasi

tidak diterbitkan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sirat, M., Situmorang, L., Galudra, G., Fay, C., & Pasya, G. (2004). Kebijakan

pengukuhan kawasan hutan dan realisasinya. Bogor, Indonesia: World

Agroferestry Centre

Sivalai, V., Khantachavana, Turvey, C.G., Kong, R., & Xia, X. (2012). On the

transaction values of land use rights in rural China. Journal of

Comparative Economics, 41, 863–878. doi : 10.1016/j.jce.2012.11.003

Travers, H, Clements, T., Keane, A., & Milner-Gulland. (2011). Analysis

Incentives for cooperation: The effects of institutional controls on

common pool resource extraction in Cambodia. Journal Ecological

Economics, 71:151–161.

http://dx.doi.org/10.1016/j.ecolecon.2011.08.020

Page 173: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Membangun Sinergi Para Pihak Hutan Rakyat di Kabupaten.….. Achmad Rizal H Bisjoe, Nurhaedah Muin, Evita Hapsari

157

Membangun Sinergi Para Pihak Hutan Rakyat di Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara1

Developing Synergy Among Private Forests’ Stakeholders In South Konawe District, South-East Sulawesi Province

Achmad Rizal H Bisjoe2, Nurhaedah Muin2, dan Evita Hapsari2

ABSTRACT

The success of private forest management determined by the roles of the parties.

In the value chain of private forest commodities, their roles can be identified and

they were interacting and benefiting each other. Creating synergies between the

parties of the private forest will provide an opportunity to obtain optimal benefits

for all parties involved in the private forest management. South Konawe District

with private forest areas of 4,640 hectares or 45% of its forested area is

potential for sustainable private forest management. In addition, the presence of

the parties that guarantee the availability of the market for private forest timber

and the assistance of the relevant technical agencies, especially in the supply of

seeds, are the basis in considering the need to create synergies. This study aims

to describe the process of creating synergies between parties in private forest

management in South Konawe, by conducting a study in Lambakara Village, Sub

district of Laeya. The method used in this study is a qualitative descriptive

method. Data is collected through interviews and observations. The results

showed that the synergy of private forestry parties in South Konawe had been

able to change the role of most people from illegal logging with the

establishment of a cooperative business entity called Hutan Jaya Lestari

Cooperation or KHJL (Koperasi Hutan Jaya Lestari). The existence of this

institution has an impact on various aspects, both internal and external,

including Lambakara Village as a destination for various comparative study

needs of sustainable forest management models from all over regions in

Indonesia.

Keywords: synergy, stakeholders, private forest, South Konawe district

1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya

Pelestarian Sumber Daya Alam, diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado dan SEAMEO BIOTROP, Manado 24 Oktober 2018.

2 Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar; Jalan

Perintis Kemerdekaan KM 16, Daya, Makassar – 90243; E-mail : [email protected]

Page 174: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

158

I. PENDAHULUAN

Keberlanjutan pasokan kebutuhan kayu di Indonesia yang berasal dari

hutan alam perlahan-lahan mulai berakhir, seiring dengan makin

menguatnya peran hutan milik atau hutan rakyat sebagai pendukung hutan

negara, terutama untuk fungsi hutan produksi. Hutan rakyat di Sulawesi

Tenggara menunjukkan perkembangan yang cepat dalam dekade terbaru.

Pengembangannya telah berkontribusi dalam penyediaan bahan baku kayu.

Selain itu, pengelolaannya melibatkan petani, pedagang, dan industri, di

mana semua pihak melakukan proses untuk memeroleh nilai tambah (Bisjoe

dan Muin, 2015). Keberhasilan pengelolaan hutan rakyat ditentukan, antara

lain oleh hubungan ko-operatif antara berbagai pihak (Sukwika, 2018) dalam

pengelolaan hutan rakyat, yaitu: petani hutan rakyat, dinas kehutanan

setempat, mitra antara, dan personil perusahaan berbasis kayu. Bilamana

hubungan ko-operatif tersebut berlangsung efisien dan efektif, aman dari

konflik, maka semua pihak terkait dalam pengelolaan hutan rakyat dapat

memeroleh manfaat yang optimal dari hutan rakyat.

Menghubungkan program reboisasi atau pun penghijauan dengan

peluang usaha komersial bagi masyarakat pedesaan tampaknya merupakan

strategi yang logis. Akibatnya, Indonesia (seperti banyak negara lain) telah

beralih investasi untuk mendukung kehutanan komersial berbasis

masyarakat atau Community-Based Commercial Forestry (CBCF). Dalam

pengelolaan hutan CBCF, terdapat tiga model hubungan berdasarkan pola

hubungan petani hutan dengan industri pengolahan kayu, yaitu: 1) petani

individu – pedagang antara – industri; 2) kelompok tani – industri; dan 3)

kelompok tani – pedagang antara – industri Model CBCF dengan komoditas

jati merah (Tectona grandis) di Desa Lambakara menampilkan pelaku pasar,

yaitu: petani, pedagang antara, koperasi KHJL (Koperasi Hutan Jaya Lestari),

dan industri antarpulau, yang menunjukkan 2 model rantai tataniaga jati,

yaitu: 1) petani – koperasi KHJL – industri antarpulau; dan 2) petani –

pedagang antara – industri antarpulau.

Di Indonesia dan beberapa negara lain menunjukkan bahwa partisipasi

masyarakat di sektor kehutanan komersial atau CBCF tidak cukup untuk

menjamin 'keberlanjutan' usaha kehutanan berbasis masyarakat. Demikian

halnya dengan penerimaan petani dari usaha kehutanan komersial seringkali

jauh dari nilai potensi kayu yang diusahakan. Beberapa hal menurut Race &

Wettenhall (2016) yang menjadi penyebabnya, antara lain: kurangnya

pengetahuan petani tentang pasar kayu,terbatasnya akses petani ke pasar

kayu, terbatasnya kapasitas petani untuk menjual kayu dalam skala besar

Page 175: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Membangun Sinergi Para Pihak Hutan Rakyat di Kabupaten.….. Achmad Rizal H Bisjoe, Nurhaedah Muin, Evita Hapsari

159

dan berkelanjutan, rendahnya tingkat keterampilan petani tentang teknik

silvikultur untuk memeroleh hasil kayu berkualitas, dan rendahnya kualitas

bibit dalam penanaman pohon.

Keberlanjutan pengelolaan hutan rakyat perlu dipertahankan, agar

tetap memberikan manfaat, terutama kepada masyarakat sebagai pemilik

hutan. Keberhasilan usaha hutan rakyat bergantung pada hubungan timbal

balik antara banyak aktor yang berbeda. Hal ini berarti bahwa sejumlah

pihak terkait dengan peran masing-masing, mengambil bagian dalam

pengelolaan hutan rakyat. Setiap para pihak memiliki peran dan saling

berkontribusi dalam usaha pengelolaan hutan rakyat (Prasetia et al., 2017).

Para pihak atau stakeholder memiliki kepentingan dan membawa pengaruh

dalam pengembangan hutan rakyat (Fauziyah et al., 2014). Tantangannya

adalah bagaimana mensinergikan peran mereka, sehingga pengelolaan

hutan rakyat dapat berjalan secara optimal. Oleh karena itu, penting untuk

mengidentifikasi peran dan hubungan antara pemangku kepentingan dalam

pengelolaan hutan rakyat. Sinergi berhubungan dengan melakukan kegiatan

bersama (Pakeltiene dan Ragauskaite, 2017; Asiati dan Nawawi, 2016).

Melalui sinergi, efek dan hasil yang diperoleh biasanya lebih besar dari setiap

total efek dan hasil. Setiap bagian akan saling melengkapi satu sama lain

untuk mencapai suatu tujuan, tanpa ada bagian yang dirugikan. Sebagai

upaya kolaborasi di antara beberapa bagian, sinergi membutuhkan waktu

dalam proses pembentukan dan pengembangan yang pada akhirnya

berkembang menjadi kolaborasi yang kreatif dan inovatif. Istilah sinergi

belum dikenal luas oleh para pihak pengelola hutan rakyat di Konawe

Selatan. Penelitian bertujuan untuk mendekripsikan proses pembangunan

sinergi di antara para pihak dalam pengelolaan hutan rakyat di Konawe

Selatan. Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat dalam membangun

sinergi di antara para pihak untuk memeroleh hasil optimal dalam

pengelolaan hutan rakyat.

II. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2017 berdasarkan evaluasi hasil

kerja sama penelitian antara Badan Litbang dan Inovasi (BLI) Kementerian

Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Indonesia) dan ACIAR (Australia)

“Overcoming Constraints Community-Based Commercial Forestry” yang

berfokus pada pengelolaan hutan komersil oleh masyarakat, selama periode

(2010-2014) di Desa Lambakara. Desa ini terletak di Kecamatan Laeya,

Page 176: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

160

Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara. Peta lokasi

penelitian disajikan pada Gambar 1. Secara geografis, Desa Lambakara

terletak pada 040 18’ – 04025’ LS dan 1210 87’ – 1220 16’ BT. Desa

Lambakara memiliki luas 3.000 Ha dengan luas wilayah hutan yang cukup

signifikan, yaitu kurang-lebih 1.500 hektare dan sekitar 30% di antaranya

merupakan hutan rakyat. Desa ini berbatasan di sebelah utara: Kelurahan

Ambalodangge; sebelah timur: Kecamatan Kolono; sebelah selatan: Desa

Ambesea; dan sebelah barat: Kelurahan Punggaluku. Desa Lambakara terdiri

dari 4 (empat) dusun, yaitu Dusun Anggaliwa, Dusun Kapas, Dusun Dawi-

dawi, dan Dusun Lambakara.

Sumber: Aplikasi SW Map dengan Citra Google

Gambar 1. Peta lokasi penelitian

B. Bahan dan Alat Penelitian

Bahan dan alat yang digunakan pada penelitian adalah alat tulis-

Page 177: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Membangun Sinergi Para Pihak Hutan Rakyat di Kabupaten.….. Achmad Rizal H Bisjoe, Nurhaedah Muin, Evita Hapsari

161

menulis, panduan wawancara, perekam, dan kamera.

C. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode survei dengan pengambilan contoh

responden/ informan secara sengaja (purpossive sampling). Sebanyak 30

orang responden/informan dipilih dengan mempertimbangkan keterwakilan

informasi para pihak, yang berasal dari petani dan kelompok tani, Koperasi

Hutan Jaya Lestari (KHJL), Dinas Kehutanan Kabupaten Konawe Selatan,

LSM JaUH, dan Pemerintah Desa Lambakara. Data primer dikumpulkan

melalui wawancara dan observasi dalam pertemuan para pihak pengelolaan

hutan rakyat. Selanjutnya, wawancara mendalam (in-depth interview) dan

FGD (Focus Group Discussion) atau Diskusi Kelompok Terarah dilaksanakan

terhadap perwakilan para pihak. Untuk keperluan pembahasan, data primer

perlu didukung dengan data sekunder. Data sekunder disarikan dari laporan

hasil penelitian yang relevan dan dari laporan instansi terkait.

D. Analisis data

Data dianalisis secara deskriptif kualitatif (Subandi, 2011) dengan

bantuan teknik tabulasi. Adapun proses analisis deskriptif kualitatif, menurut

langkah-langkah, yaitu: 1) mengumpulkan dan memilah-milah data ke dalam

suatu konsep, kategori atau tema tertentu sebagai dasar penyajian data; 2)

menyajikan data melalui penyusunan sekumpulan informasi menjadi

pernyataan yang memungkinkan penarikan kesimpulan; dan 3) penarikan

kesimpulan disesuaikan dengan pertanyaan dan tujuan penelitian.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Sejarah Pengelolaan Hutan Jati di Konawe Selatan

Berdasarkan wawancara dan observasi diketahui keberadaan hutan jati

di Konawe Selatan pada umumnya dapat dibedakan dalam dua keadaan.

Pertama, hutan jati tumbuh secara alami dan kedua, adanya campur tangan

manusia dalam pengaturan tempat tumbuh jati dimaksud. Dua keadaan

tersebut berdampak pada luasan sebaran tanaman dan aksesibilitas

masyarakat terhadap tanaman tersebut, yang dapat dilihat dengan adanya

tanaman jati pada kawasan hutan dan tanaman jati pada lahan milik

masyarakat yang biasa disebut hutan (jati) rakyat atau hutan rakyat saja,

yang pada umumnya berdekatan dengan lokasi pemukiman. Hasil

wawancara menunjukkan bahwa kegiatan menanami lahan milik dengan

pohon jati merupakan tradisi bagi masyarakat. Sultan (2011) menyatakan

bahwa menanami lahan dengan pohon jati ataupun jenis pohon lainnya

Page 178: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

162

sudah menjadi kebiasaan masyarakat di Konawe Selatan.

Keberadaan hutan jati ini merupakan potensi komersil dan pada

mulanya hanya dimanfaatkan terbatas di antara warga masyarakat.

Selanjutnya, Sultan (2011) menyatakan bahwa di satu sisi, harga jual kayu

jati rakyat yang sangat rendah pada mulanya menyebabkan masyarakat

enggan mengelola hutan jati miliknya. Di sisi lain, adanya tawaran menarik

bagi masyarakat untuk bekerja pada para pemilik modal yang pada

dasarnya merupakan pelaku pembalakan liar atau illegal logging. Inilah awal

terbentuknya sinergi negatif antarpelaku di kawasan hutan jati negara di

Konawe Selatan. Sebaliknya, karena kondisi tersebut, hutan jati rakyat untuk

sekian lama tidak diperhatikan oleh pemiliknya.

Sinergi negatif antarpelaku di kawasan hutan jati negara di Konawe

Selatan mulai meluas pada tahun 2001, sebagaimana dilaporkan Maal

(2011). Hal tersebut terjadi di lahan eks proyek HTI (Hutan Tanaman

Industri) dan Reboisasi dengan luasan mencapai 38.500 hektare. Hasil

wawancara menunjukkan bahwa pada awal 2001 sinergi negatif antaroknum

yang melibatkan aparatur keamanan, kehutanan, pemilik modal dan

sebagian warga masyarakat, telah menyebabkan penjarahan kayu jati di

kawasan hutan negara terjadi secara besar-besaran dengan modus ‘lelang

kayu temuan’. Modus ini secara ringkas digambarkan sebagai kegiatan

melelang kayu hasil pembalakan liar atau illegal logging sebagai kayu

temuan, yang selanjutnya diangkut dan dijual kepada industri pengolahan

kayu terdekat. Hasil penjualan kayu temuan dibagi di antara para oknum

aparat. Maal (2011) menyatakan bahwa pada kurun waktu maraknya

pembalakan liar, yaitu 2001-2004 tidak dijumpai adanya upaya pencegahan

dan pemberantasan yang sungguh- sungguh dari instansi berwenang.

Beberapa alasan yang dikemukakan, antara lain: kurangnya personil dan

kurangnya anggaran pengamanan dibandingkan dengan luas kawasan, tidak

jelasnya kewenangan pengaturan dan pelaksanaan tugas beberapa instansi

terkait, tidak adanya aturan mengenai pelibatan masyarakat setempat dalam

pengamanan kawasan, dan belum ditetapkannya status kawasan hutan dan

penggunaannya, termasuk izin pelepasan kawasan. Sebagai resultan dari

semua keadaan tersebut, berakibat tidak ada satu pun oknum yang terbukti

terlibat dalam pembalakan liar berhasil ditangkap, apalagi dijatuhi sanksi

hukum pidana.

B. Timbulnya Kesadaran Kolektif Warga Masyarakat

Praktik pembalakan liar hutan jati negara di Konawe Selatan dan

Page 179: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Membangun Sinergi Para Pihak Hutan Rakyat di Kabupaten.….. Achmad Rizal H Bisjoe, Nurhaedah Muin, Evita Hapsari

163

bentuk penanggulangannya yang tidak dapat menghentikan praktik

dimaksud, telah menimbulkan ketidakpercayaan dan protes masyarakat

setempat. Maal (2011) menyatakan bahwa upaya perlawanan masyarakat

yang dikenal dengan peristiwa ‘Watumeeto’ di Daerah Aliran Sungai (DAS)

Windo pada tahun 2004 telah mulai dirasakan dampaknya oleh pelaku

pembalakan liar. Masyarakat Desa Watumeeto dan sekitarnya berusaha

menangkap oknum aparat saat akan berlangsungnya modus ‘lelang kayu

temuan’ yang menyebabkan kerusakan sejumlah kendaraan milik oknum

aparat. Hal ini dapat dipandang sebagai titik balik pengelolaan hutan jati

yang berdampak luas di Konawe Selatan dari sisi sosial kemasyarakatan.

Kerusakan hutan akibat perambahan dan praktik pembalakan liar telah

berdampak pada degradasi lahan di Konawe Selatan yang ditunjukkan oleh

adanya erosi dan sedimentasi, banjir saat musim hujan dan kekeringan saat

musim kemarau (Maal, 2011). Dalam kurun waktu 2004 - 2010 dilaporkan

telah terjadi empat kali banjir besar yang melanda DAS Laeya. Secara umum,

bertambahnya kerusakan hutan merupakan ancaman terhadap DAS dengan

makin meluasnya lahan kritis. Instansi terkait, Balai Pengelola DAS Sampara

pada tahun 2009 melaporkan bahwa pada kurun waktu maraknya

pembalakan liar atau illegal logging, luas lahan kritis di Konawe Selatan

telah mencapai 299.500 hektare atau 66% dari luas kawasan hutan, yang

tersebar pada tiga DAS dan mencakup hutan lindung, hutan konversi, dan

hutan produksi.Hal ini dapat dipandang sebagai titik balik pengelolaan hutan

jati dari sisi ekologis.

Dampak sosial dan ekologis yang dirasakan masyarakat Konawe Selatan

akibat pembalakan liar atau illegal logging secara gradual telah melahirkan

kesadaran kolektif warga akan kesalahan yang telah dilakukan dalam

pemanfaatan hutan jati selama ini. Hasil wawancara mengungkapkan

adanya kegiatan LSM bernama Jaringan untuk Hutan (JAuH) Sulawesi

Tenggara yang secara intensif melakukan pengamatan terhadap praktik

pembalakan liar dan dampaknya terhadap desa-desa yang berbatasan

dengan hutan. Dengan dipelopori oleh para pegiat lingkungan, mulai

dipikirkan upaya untuk menyelamatkan kawasan hutan di Konawe Selatan

dengan tetap memerhatikan kepentingan masyarakat setempat.

C. Pembangunan Sinergi Para Pihak Pengelola Hutan Rakyat

Kajian tentang sinergi antarfaktor dan antarpelaku dalam pengelolaan

sumber daya alam menunjukkan capaian hasil yang optimal dibanding faktor

dan pelaku yang tidak bersinergi satu sama lain. Sinergi antarfaktor

Page 180: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

164

dikemukakan oleh Fauzi (2009) melalui pendekatan dual approach yang

merupakan sinergi antara sistem ekonomi dan sistem lingkungan yang

dibutuhkan antara lain untuk rnenjaga keseimbangan antara kebutuhan

ekonomi masyarakat dan keberlanjutan sumberdaya alam dan lingkungan.

Demikian halnya sinergi antarpelaku dalam pengelolaan sumber daya alam.

Kurniawan dan Suryawati (2017) menyatakan sinergitas antarparapihak

telah mewujudkan pengelolaan yang baik terhadap taman kota di Kota

Temanggung, khususnya pada tahap pemeliharaan dan pengamanan.

Rahmawati, Noor dan Wanusmawati (2013) menyatakan bahwa sinergi

antarapelaku dalam sebuah program akan terpenuhi jika 1) tidak ada aktor

yang dominan; 2) komunikasi berlangsung interaktif; dan 3) ada koordinasi.

Upaya bersama untuk menyelamatkan hutan di Konawe Selatan

tampaknya bersambut dengan adanya pencanangan program Kementerian

Kehutanan, yaitu ‘social forestry’ yang dapat dipandang sebagai lokomotif

dengan visi “hutan lestari, masyarakat sejahtera”. Dengan Peraturan Menteri

Kehutanan Nomor : P.01/Menhut-II/2004 tentang Pemberdayaan Masyarakat

Setempat di Dalam dan atau Sekitar Hutan dalam Rangka Social Forestry,

yang ditetapkan pada tanggal 12 Juli 2004, social forestry merupakan

kebijakan pemerintah dalam rangka pengelolaan hutan lestari.

Pencanangannya dilakukan oleh Presiden RI pada tanggal 2 Juli 2003 di

Palangkaraya. Social forestry dimaksudkan untuk mewujudkan kelestarian

sumber daya hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui

pemberdayaan masyarakat setempat, baik di dalam maupun di sekitar hutan.

Peluang di luar dan sekitar kawasan hutan berupa pengelolaan hutan rakyat

(HR) di lahan milik, sedangkan di dalam kawasan hutan berupa peluang

berpartisipasi dalam program hutan tanaman rakyat (HTR).

Kendala dan peluang dalam pengelolaan hutan rakyat di Konawe

Selatan diidentifikasi dan dirumuskan (Van de Fliert, 2012) untuk menyusun

strategi pengelolaan hutan yang bertujuan komersil, mencakup modal

penghidupan (livelihood capital), yaitu: sumberdaya manusia, sosial,

finansial, lingkungan, dan fisik. Dukungan pemerintah daerah diperlukan

melalui kebijakan untuk memperkuat kelembagaan pengelolaan hutan rakyat

di tingkat petani dan pedagang (Hayati dan Bisjoe, 2018).

Hutan rakyat sebagai salah satu kekuatan potensial pengembangan

ekonomi masyarakat telah banyak dikaji. Anwar (2018) menyatakan bahwa

prospek pengembangan hutan rakyat untuk memenuhi kekurangan sekitar

70% pasokan industri kayu di Kabupaten Parigi Moutong Sulawesi Tengah.

Setiawan, Barus dan Suwardi (2014) menyatakan bahwa hutan rakyat layak

Page 181: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Membangun Sinergi Para Pihak Hutan Rakyat di Kabupaten.….. Achmad Rizal H Bisjoe, Nurhaedah Muin, Evita Hapsari

165

ekonomis untuk dikembangkan dengan pola kemitraan antara pengusaha

kayu dengan petani hutan rakyat di Lombok Tengah. Suhartono (2019)

menyatakan bahwa dalam pengembangan hutan rakyat perlu

dipertimbangkan lokasi proritas yang memiliki keunggulan komparatif di

Provinsi Jawa Tengah. Zainal, Tjoneng dan Numba (2019) menyatakan

bahwa strategi pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Sinjai dapat

dilakukan dengan membangun sinergi antara para pihak, yaitu: pemerintah

dari sagi perizinan dan penyuluhan, kelompok tani dari segi informasi pasar,

dan petani dari segi pilihan model pengembangan agroforestri.

Strategi pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan bersama masyarakat,

antara lain dengan diversifikasi tanaman (agroforestri), pelibatan anggota

keluarga terutama istri dan anak laki-laki dalam pengelolaan hutan rakyat,

dan pemeliharaan tanaman. Dalam upaya mengoptimalkan pengelolaan

lahan hutan rakyat, petani menerapkan pola agroforestri (Sanudin et al.,

2013). Teknik agroforestri merupakan strategi diversifikasi yang dilakukan

petani dalam pemanfaatan dan pengoptimalan penggunaan lahan hutan

rakyat untuk memenuhi kebutuhan hidup (Oktalina et al., 2015).

Pengelolaan hutan rakyat telah dapat meningkatkan penghidupan serta

membuka peluang lapangan kerja bagi masyarakat. Di samping itu,

masyarakat melihat adanya potensi pasar bagi penjualan kayu, baik melalui

KHJL maupun langsung ke pasar lokal untuk bahan baku industri

penggergajian kayu (sawmill) dan pengrajin mebel. Van de Fliert (2012)

menyatakan bahwa kondisi pasar kayu di Konawe Selatan menunjukkan

makin tingginya permintaan kayu rakyat dan makin jelasnya prosedur jual-

beli komoditas dimaksud, khususnya melalui koperasi KHJL yang

memfasilitasi petani anggota koperasi dalam hal: inventarisasi pohon,

pembalakan (logging process), perizinan, pengangkutan kayu, dan

komunikasi dengan pihak industri. Terdapat 2 pola penjualan kayu rakyat di

Konawe Selatan, yaitu: 1. Petani Koperasi KHJL Industri antarpulau

dan 2. Petani Pedagang Antara Industri antarpulau. Kontribusi hasil

pengelolaan hutan rakyat terhadap pendapatan petani di Konawe Selatan

hanya sekitar 6% dan beragam sesuai kategori sosial-ekonomi petani (Van

de Fliert, 2012). Hal ini sejalan kondisi pengelolaan hutan rakyat yang pada

umumnya bersifat tradisional, berorientasi tebang butuh, dan berfungsi

sebagai tabungan keluarga. Kondisi sosial ekonomi memengaruhi petani

mengambil keputusan dalam mengelola hutan rakyat (Diniyati et al., 2010).

Page 182: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

166

D. Berdirinya Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL)

Hasil wawancara dan telaah pustaka menunjukkan bahwa kedua

peluang dimaksud dimanfaatkan dengan baik oleh pegiat lingkungan

bersama para pihak dan masyarakat di Konawe Selatan. Melalui serangkaian

pertemuan dan diskusi yang cukup panjang, termasuk fasilitasi pelatihan di

antara para pihak dari LSM, pemerintah, dan masyarakat dalam kurun waktu

2003 - 2004, pada akhirnya dicapai titik kesepakatan langkah yang ditempuh

dan wujud kelembagaan yang disepakati bersama. Pada kurun waktu

tersebut sinergi positif mulai terbangun di antara para pihak. Beberapa

tahapan atau bentuk capaian di antara para pihak, sebelum berdirinya

Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL), yaitu: kelompok social forestry, forum

social forestry, dan lembaga komunikasi antara kelompok (LKAK) yang

menaungi 46 kelompok tani social forestry pada 46 desa. Alasan politis

karena ketidakjelasan payung hukum, menyebabkan kegiatan yang

mengacu pada program social forestry yang dicanangkan presiden RI

tersebut, akhirnya terhenti selama hampir satu tahun.

Upaya melanjutkan langkah dan hasil yang telah dicapai, kembali

dimulai pada pertengahan tahun 2004 melalui lokakarya social forestry di

Kantor Bupati Konawe Selatan dan dihadiri oleh Kelompok Kerja (Pokja)

Social Forestry Departemen Kehutanan, fasilitator daerah MFD-DFID, JAuH,

BP-DAS Sampara, Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tenggara, Dinas

Kehutanan Konawe Selatan, Pemda Konawe Selatan, Tropical Forest Trust

(TFT) dan perwakilan LKAK. Lokakarya bertujuan, antara lain merumuskan

Rencana Teknis Social Forestry (RTSF) yang akan dipedomani oleh LKAK

atau badan usaha yang disepakati, yaitu koperasi sebagai pemegang izin.

Melalui diskusi di Balai Pertemuan Desa Lambakara yang difasilitasi oleh

JAuH dan dihadiri seluruh perwakilan anggota dari 46 desa, disepakatilah

rencana pembentukan koperasi beserta perangkat dan kelengkapannya.

Sebagai bagian terpisah dari program social forestry di Konawe Selatan,

maka pada tanggal 18 Maret 2004 berdasarkan Akta Notaris Nomor

518.15/DKK/18/III/2004, secara resmi berdirilah Koperasi Hutan Jaya Lestari

(KHJL) sebagai badan usaha yang mewadahi 46 kelompok tani social

forestry yang sudah dibentuk pada 46 desa yang tersebar pada 4 kecamatan,

dengan jumlah awal anggota 196 orang dan total luas lahan kelola 264,5

hektare. Melalui wadah KHJL sebagai wujud pelembagaan sinergi

antarpelaku hutan jati rakyat di Konawe Selatan, masyarakat dapat bertukar

pikiran dan pengalaman dalam mengelola hutannya serta dapat memeroleh

pasar yang lebih baik untuk menjual kayu dengan harga yang ‘wajar’.

Page 183: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Membangun Sinergi Para Pihak Hutan Rakyat di Kabupaten.….. Achmad Rizal H Bisjoe, Nurhaedah Muin, Evita Hapsari

167

Koperasi KHJL sendiri dibentuk sebagai respon atas kebijakan

pemerintah yang membuka peluang bagi publik untuk berpartisipasi dalam

pengelolaan hutan, yang kegiatan operasional dan pelatihan manajemennya

didampingi oleh LSM Jaringan untuk Hutan (JAuH). Pendampingan tersebut

telah mengantarkan KHJL untuk memeroleh sertifikat FSC (Forest

Stewardship Council) dari TFT (Tropical Forest Trust), sebagai pegangan dan

jaminan bagi pengelola hutan rakyat bahwa kayu berasal dari kegiatan

pembalakan legal. Saat awal berdirinya pada tahun 2004, KHJL melayani

keperluan 196 anggota yang tersebar di 12 desa pada 4 kecamatan dengan

total luas hutan rakyat 264,5 hektare. Enam tahun kemudian, pada tahun

2010 wilayah kerja tersebut meningkat menjadi 1.269 hektare hutan rakyat

dengan jumlah anggota mencapai 763 orang yang tersebar di 23 desa pada

8 kecamatan di Kabupaten Konawe Selatan (Sultan, 2011). Di tingkat tapak,

sudah ada Peraturan Desa (Perdes) yang mengatur tentang penanaman,

pengawasan, pengelolaan kelestarian hutan rakyat. Keberadaan peraturan

tersebut diharapkan dapat menjaga kelestarian hutan dan meningkatkan

pasokan kayu hutan rakyat.

Sebagaimana dipaparkan sebelumnya, terdapat dua peluang kegiatan

pokok KHJL. Pertama, peluang untuk mengelola hutan rakyat (HR) di lahan

milik secara lestari dengan luasan yang beragam sebagaimana disyaratkan

oleh KHJL minimal 0,5 hektare. Kedua, peluang berpartisipasi dalam

program hutan tanaman rakyat (HTR) melalui usulan izin social forestry.

KHJL telah mengusulkan kawasan hutan seluas hampir 40.000 hektare untuk

digunakan sebagai lokasi HTR kepada pemerintah melalui Departemen

Kehutanan. Namun, dalam perkembangannya hanya peluang pertama yang

dapat dikerjakan, sedangkan peluang kedua tidak. Padahal, peluang kedua

inilah yang sangat diharapkan oleh KHJL.

Hasil wawancara dan telaah pustaka menunjukkan bahwa, alasan politis

berupa payung hukum program belum jelas bagi Menteri Kehutanan untuk

menerbitkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK).

Ketidakberhasilan memeroleh IUPHHK tersebut merupakan pukulan bagi

pengurus dan anggota KHJL dan pengurus JAuH sebagai mitra pendamping

yang sejauh ini telah berhasil secara bertahap mengajak para mantan

pelaku pembalakan liar untuk beralih menjadi masyarakat pelestari hutan.

Namun, upaya untuk dapat berpartisipasi dalam program HTR tetap menjadi

agenda pengurus KHJL. Upaya tersebut dimulai sejak pencanangan social

forestry pada tahun 2004 dan kemudian menghilang, karena terbitnya PP No.

06 Tahun 2007 yang tidak memuat terminologi social forestry. Perubahan

Page 184: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

168

kebijakan pemerintah kabupaten juga menghambat upaya dimaksud.

Keterlibatan para pihak untuk terus memperjuangkan HTR di Konawe

Selatan pada akhirnya berhasil, dengan terbitnya SK Menteri Kehutanan

Nomor SK.435/Menhut-II/2008 tentang pencadangan HTR di Konawe

Selatan. Acara launching dilakukan Menteri Kehutanan di Desa Lambakara

pada 10 Desember 2008. Luas areal IUPHHK-HTR yang diperoleh KHJL

adalah 4.639,95 hektare atau sekitar 12% dari usulan semula. Sejak itu

dimulailah penerapan langkah-langkah silvikultur pada areal HTR dimaksud.

Pendampingan masyarakat dalam mengelola HR terus dilakukan KHJL

bersama JAuH dengan dukungan dan pendampingan dari BPDAS Sampara.

Upaya membesarkan KHJL terus ditingkatkan dengan mengembangkan

jejaring kerja sama dan sinergi dengan para pihak. Dua mitra KHJL berbagi

tugas untuk maksud tersebut, yaitu JAuH untuk pendampingan masyarakat

dan TFT untuk peningkatan kapasitas teknis kehutanan, pemasaran, dan

hubungan eksternal. Keduanya mengarah kepada peningkatan kapasitas

manajemen KHJL dalam menyambut peluang yang lebih besar, yaitu

perdagangan kayu bersertifikat ecolabel FSC (Forest Stewardship Council)

dari Smart Wood, yang diperoleh pada tahun 2005.Selain itu, KHJL juga

menerapkan SVLK (Standar Verifikasi Legalitas Kayu) yang bersifat

mandatory yang persiapannya telah dimulai sejak tahun 2010.

Data hasil survei menunjukkan bahwa potensi HR memadai untuk

dikelola secara lestari. Jumlah anggota dan luas lahan kelola anggota KHJL

menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan. Sampai tahun 2010 sudah

tercatat sebanyak 763 anggota dengan total luas lahan kelola 1.269 hektare.

Kriteria yang digunakan tetap sebagaimana saat berdirinya KHJL, yaitu:

lahan tidak termasuk kawasan hutan, terdapat tegakan jati atau non-jati,

luas lahan minimal 0,5 hektare, dan bukti sah kepemilikan. Para pihak

berpendapat bahwa pengelolaan yang lestari dan pemilikan sertifikat

ecolabel dapat meningkatkan harga jual kayu dan pada akhirnya dapat

meningkatkan pendapatan masyarakat.

Sukisman dan Hardoyo (2011) mengemukakan bahwa keberadaan

KHJL berdampak, baik internal maupun eksternal. Hasil wawancara dan

telaah pustaka menunjukkan bahwa masyarakat mulai menyadari

pentingnya menjaga lingkungan, seperti mengurangi lahan kritis dengan

memperbanyak penanaman pohon. Selain itu, adanya peningkatan ekonomi

masyarakat, seperti meningkatnya daya beli, kemampuan melanjutkan

pendidikan anak-anak sampai ke perguruan tinggi, dan perbaikan sarana

pemukiman. Sedangkan bagi pembangunan daerah Konawe Selatan, KHJL

Page 185: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Membangun Sinergi Para Pihak Hutan Rakyat di Kabupaten.….. Achmad Rizal H Bisjoe, Nurhaedah Muin, Evita Hapsari

169

berkontribusi melalui pembayaran retribusi perizinan dengan nilai kontribusi

sebesar Rp 737 juta selama 5 tahun (2005-2010), tidak termasuk pajak dan

biaya administrasi tata usaha kayu (Maal, 2011). Hal lain yang paling

dirasakan masyarakat adalah Desa Lambakara menjadi ramai sebagai

destinasi untuk keperluan studi banding model pengelolaan hutan lestari dari

berbagai daerah di luar Provinsi Sulawesi Tenggara. Gambar 2 menunjukkan

potensi hutan rakyat (HR) di Desa Lambakara dan aktivitas pemiliknya pada

saat penelitian oleh tim peneliti BP2LHK Makassar pada tahun 2015.

Sebagai desa inisiator terbentuknya sinergi antara pelaku pengelola

hutan rakyat, Desa Lambakara melayani mitranya di seluruh wilayah Konawe

Selatan. Kontribusi yang signifikan bagi penghidupan masyarakat di Desa

Lambakara diperoleh dari pengelolaan hutan rakyat tersebut. Kelangsungan

kontribusi tersebut didukung oleh kehadiran KHJL sebagai pendamping

dalam peningkatan kapasitas petani hutan rakyat dan fasilitasi pemasaran

kayu rakyat. Alur pasar kayu rakyat di Konawe Selatan, terdiri dari: (i) petani

– koperasi KHJL – industri di Palembang (Sumatera Selatan) dan Surabaya

(Jawa Timur); (ii) petani – industri sawmill (sebelum adanya KHJL); (iii)

petani – usaha konstruksi lokal di Konawe Selatan (sebelum adanya KHJL).

Masyarakat melihat adanya potensi pasar bagi penjualan kayu, baik

melalui KHJL maupun langsung ke pasar lokal untuk bahan baku industri

penggergajian kayu (sawmill) dan pengrajin mebel (Bisjoe dan Muin, 2015).

Van de Fliert (2012) menyatakan bahwa kondisi pasar kayu di Konawe

Selatan menunjukkan makin tingginya permintaan kayu rakyat dan makin

jelasnya prosedur jual-beli komoditas dimaksud, khususnya melalui koperasi

KHJL yang memfasilitasi petani anggota koperasi dalam hal: inventarisasi

pohon, pembalakan (logging process), perizinan, pengangkutan kayu, dan

komunikasi dengan pihak industri. Ada 2 pola penjualan kayu rakyat di

Konawe Selatan, yaitu: 1. Petani Koperasi KHJL Industri antarpulau;

dan 2. Petani Pedagang Antara Industri antarpulau. Kontribusi hasil

pengelolaan hutan rakyat terhadap total pendapatan petani di Konawe

Selatan hanya sekitar 6% (Van de Fliert, 2012) dan beragam sesuai kategori

sosial-ekonomi petani.

Page 186: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

170

a b

c d

Keterangan: a. Diskusi peran perempuan dalam pengelolaan HR; b. Industri pengolahan kayu sebagai pembeli kayu rakyat; c. Potensi jati HR; d. Praktik lapang untuk meningkatkan kapasitas petani HR

Gambar 2. Hutan rakyat Desa Lambakara, Konawe Selatan dan para pihaknya (Foto: BP2LHK Makassar)

Upaya meningkatkan nilai tambah kayu dari hutan rakyat sudah pula

dipikirkan pengurus KHJL bersama mitra, yaitu JAuH dan Telapak dengan

membangun industri pengolahan kayu. Bahan baku bersumber dari hutan

yang dikelola secara lestari, termasuk pemanfaatan limbah proses log

menjadi balok. Pada tahun 2006 industri dimaksud didirikan dengan nama

PT Konsel Jaya Lestari (KJL) dengan kapasitas 2.000-6.000 m3 per tahun.

Izin prinsip dari Gubernur, baru diperoleh pada tahun 2011 setelah siapnya

infrastruktur.

Untuk mengantisipasi dinamika organisasi, KHJL telah merumuskan SOP

untuk penyelesaian konflik, baik internal maupun eksternal. Konflik disikapi

sebagai wujud perhatian para pihak terhadap aktivitas KHJL dalam

mengelola hutan. Adapun tentang hak, kewajiban, sanksi, dan hal lain yang

berkaitan dengan anggota, KHJL mengacu kepada AD/ART (Sultan, 2011).

Page 187: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Membangun Sinergi Para Pihak Hutan Rakyat di Kabupaten.….. Achmad Rizal H Bisjoe, Nurhaedah Muin, Evita Hapsari

171

IV. KESIMPULAN

Keberadaan hutan rakyat di Konawe Selatan memiliki nilai strategis

karena dapat mendukung hutan produksi yang makin berkurang dengan

melibatkan sejumlah para pihak (stakeholder), yaitu: petani hutan rakyat

atau kelompok tani hutan rakyat, lembaga koperasi, industri berbasis kayu,

dan pemerintah. Dalam rantai nilai pengelolaan kayu rakyat, para pihak

memiliki peran dan saling melengkapi. Adanya interaksi ini mendorong

terbentuknya sinergi antarpihak yang bermanfaat bagi semua.

Berdirinya badan usaha berbentuk koperasi bernama Koperasi Hutan

Jaya Lestari (KHJL) merupakan wujud sinergi para pihak yang telah

merubah peran sebagian besar masyarakat dari pelaku pembalakan liar atau

illegal logging menjadi pengelola hutan lestari. Keberadaan KHJL telah

berdampak pada berbagai aspek, baik internal maupun eksternal, seperti

ekologi, ekonomi masyarakat, dan bagi pembangunan daerah, melalui

retribusi kayu dan perizinan, pajak dan biaya administrasi tata usaha kayu.

Sinergi antarpihak hendaknya dimaksudkan tidak sekedar mengidentifikasi

dan mereduksi tumpang-tindih peran, tetapi juga dapat meningkatkan peran

masing-masing pihak. Kegiatan yang telah dilakukan, yaitu meningkatkan

kapasitas petani hutan rakyat, baik perorangan maupun kelompok dalam

pengelolaan hutan. Diharapkan peran para pihak lainnya juga dapat

meningkat melalui kegiatan internal pada institusi masing-masing.

V. UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada: ACIAR (Australian Centre for

International Agricultural Research) yang telah membiayai sepenuhnya

penelitian kolaboratif ini, Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan

Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Makassar atas semua dukungan yang

diberikan, Pemerintah Kabupaten Konawe Selatan, para responden,

penduduk di lokasi penelitian Desa Lambakara, Kecamatan Laeya,

Kabupaten Konawe Selatan, personil tim peneliti serta semua pihak yang

terlibat dalam penelitian ini.

Page 188: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

172

VI. DAFTAR PUSTAKA

Anwar. (2018). Potensi dan prospek pengembangan hutan rakyat di

Kabupaten Parigi Moutong Sulawesi Tengah. Jurnal Warta Rimba, 6(1),

93-101.

Asiati & Nawawi. (2016). Kemitraan di sektor perikanan tangkap: strategi

untuk kelangsungan usaha dan pekerjaan. Jurnal Kependudukan

Indonesia, (11)2, 103-118.

Bisjoe, A. R. H. & Muin, N. (2015). Strategi pengelolaan hutan rakyat untuk

meningkatkan penghidupan masyarakat Desa Lambakara, Konawe

Selatan, Sulawesi Tenggara, dalam Prosiding Seminar Nasional

Sewindu BPTHHBK Mataram (p.434-439).

Diniyati, D., & Awang, S. A. (2010). Kebijakan penentuan bentuk insentif

pengembangan hutan rakyat di wilayah Gunung Sawal, Ciamis dengan

Metoda AHP. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 7(2), 129-143.

Fauzi, A. (2009). Sinergi antara pembangunan ekonomi dan pengelolaan

sumber daya alam dan lingkungan. Jurnal Ekonomi Lingkungan, 13(2),

1-15.

Fauziyah, E., Diniyati, D., Widyaningsih,T. S., & Firdaus,N. (2014). Pemetaan

Stakeholder dalam Pengelolaan Hutan Rakyat di Kabupaten Ciamis

Jawa Barat. Jurnal Penelitian Agroforestry, 2(2), 75-84.

Kurniawan, J. A., & Suryawati, R. (2017). Sinergitas antar Stakeholders

dalam pengelolaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Taman Kota di Kota

Temanggung. Jurnal Wacana Publik, 1(1), 39-45.

Maal, A. (2011). Bisnis Kayu Bersertifikat dalam Hutan Lestari Berbasis

Masyarakat: Pengalaman Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL)

Kabupaten Konawe Selatan. JAUH - KHJL. Kendari.

Oktalina, S. N., Awang, S. A., Suryanto, P., & Hartono, S. (2015). Strategi

Petani Hutan Rakyat dan Kontribusinya terhadap Penghidupan di

Kabupaten Gunungkidul. Kawistara, 5(3) , 221-328.

Pakeltienė, R. & Ragauskaitė, A. (2017). Creative synergy as a potential

factor for the development of social innovations. Research For Rural

Development, 2.

Prasetia, D. A., Hardjanto, & Hero, Y. (2017). Analisis pemangku kepentingan

dalam pola kemitraan dan pola swadaya pada pengelolaan hutan

rakyat. Media Konservasi, 22(3), 293-303.

Race, D. & Wettenhall, G. (2016). Adding Value to The Farmers’ Trees.

Experiences of Community-based Commercial Forestry in Indonesia.

Page 189: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Membangun Sinergi Para Pihak Hutan Rakyat di Kabupaten.….. Achmad Rizal H Bisjoe, Nurhaedah Muin, Evita Hapsari

173

Australia: em Press Publishing. Bruce

Rahmawati, T., Noor, I., & Wanusmawati, I. (2013). Sinergitas stakeholders

dalam inovasi daerah (Studi pada Program Seminggu di Kota

Probolinggo (SEMIPRO). Jurnal Administrasi Publik, 2(4), 641-647.

Sanudin, & Priambodo, D. (2013). Analisis sistem dalam pengelolaan hutan

rakyat agroforestri di Hulu DAS Citanduy: kasus di Desa Sukamaju,

Ciamis. Jurnal online Pertanian Tropik Pascasarjana FPUSU, 1(1), 33-

46.

Setiawan, H., Barus, B., & Suwardi. (2014). Analisis potensi pengembangan

hutan rakyat di Kabupaten Lombok Tengah. Majalah Ilmiah Globe,

16(1), 69-76.

Subandi. (2011). Deskripsi kualititatif sebagai satu metode dalam penelitian

pertunjukan. Harmonia: Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni, 11

(2), 173-179.

Sukisman & Hardoyo, S. (2011). Partisipasi masyarakat anggota koperasi

hutan jaya lestari dalam pembangunan hutan rakyat di Kabupaten

Konawe Selatan. Majalah Geografi Indonesia, 25(2), 178-197.

Suhartono. (2019). Studi komparatif potensi unggulan hutan rakyat untuk

prioritas pengembangan di Provinsi Jawa Tengah. Jurnal AGRISEP,

18(1), 127-138.

Sukwika, T. (2018). Analisis aktor dalam perumusan model kelembagaan

pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Bogor. Journal of Regional

and Rural Development Planning, 2(2), 133-150.

Sultan. (2011). Pengelolaan Hutan Milik dalam Hutan Lestari Berbasis

Masyarakat: Pengalaman Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL)

Kabupaten Konawe Selatan. JAUH - KHJL. Kendari.

Van de Fliert, E. et al. (2012). Social Dimensions Analysis. Overcoming

Constraints to Community-Based Commercial Forestry in Indonesia

(FST/2008/030). Report on Research Task #1 (FST/2008/030) Tidak

diterbitkan.

Zainal, L. M., Tjoneng, A., & Numba, S. (2019). Strategi pengelolaan hutan

rakyat di Kabupaten Sinjai. Jurnal Agrotek, 3(1), 10-23. 10

Page 190: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Sikap Masyarakat Terhadap Pelaksanaan Uji Coba…….. Arif Irawan et al.

175

Sikap Masyarakat Terhadap Pelaksanaan Uji Coba Skema Kemitraan di KPHP Model Poigar1

Community Attitude Towards the Implementation of

Partnership Scheme Trial at PFMU Poigar Model

Arif Irawan2, Isdomo Yuliantoro2, Jafred Elsjoni Halawane2, dan

Iwanuddin2

ABSTRACT

The partnership scheme is one of the solutions offered by the government to

overcome the problem of land management conflicts in forest areas. This scheme

provides an open space for conflict parties to manage forests together with the

principle of equality and mutual benefit. PFMU poigar model is one of the FMUs

that has quite complex problems. The existence of the community in the area is

a major obstacle for managers to develop the PFMU poigar model area in

accordance with its designation. Based on the type of conflict and the condition

of the community around the area, it can be seen that the partnership scheme is

the most likely recommendation made by the PFMU poigar model manager. This

study aims to determine the attitudes of the community towards the trial of

partnership schemes in the PFMU poigar model area. The study was conducted in

Lolan Village by conducting interviews with the community. The data analysis

method used is using quantitative and qualitative approaches. The results of the

study show that the majority of the Lolan Village community strongly supports the

implementation of the forestry partnership scheme and hopes that trials can be

carried out on a broader scale. Some of the factors that influence the attitudes of

the community include the existence of clarity about the concept of profit sharing

in the implementation of this scheme, the recognition of the existence of the

community in processing land in the area and the description of the results offered

has a not too long period.

Keywords: Poigar Model KPHP, attitude, society, partnership

1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya

Pelestarian Sumber Daya Alam, diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado dan SEAMEO BIOTROP, Manado 24 Oktober 2018.

2 Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado; Jl. Tugu Adipura

Raya Kel. Kima Atas Kec. Mapanget Kota Manado; Email: [email protected].

Page 191: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

176

I. PENDAHULUAN

Skema kemitraan merupakan salah satu solusi yang ditawarkan

pemerintah untuk mengatasi permasalahan konflik pengelolaan lahan dalam

kawasan hutan. Skema ini memberikan ruang yang terbuka bagi pihak-pihak

berkonflik untuk mengelola hutan secara bersama dengan prinsip kesetaraan

dan saling menguntungkan. Zain et al. (2011) menyatakan bahwa kemitraan

kehutanan adalah kerja sama antara masyarakat setempat dengan Pemegang

Izin Pemanfaatan Hutan atau Pengelola Hutan, Pemegang Izin Usaha Industri

Primer Hasil Hutan, dan/atau Kesatuan Pengelolaan Hutan dalam

pengembangan kapasitas dan pemberian akses, dengan prinsip kesetaraan

dan saling menguntungkan. Secara lebih luas pola kemitraan juga dapat

diartikan sebagai sebuah skema untuk mencapai hasil yang lebih baik dengan

saling memberikan manfaat antar pihak yang bermitra dan meningkatkan

efektivitas kerja. Akhadi et al. (2013) menambahkan bahwa kemitraan adalah

kata kunci dalam mewujudkan sinergi dalam rangka penerapan good

governance dalam pembangunan kehutanan dengan memperhatikan aspek

transparansi dan keadilan antar semua unsur mulai dari proses penyusunan,

pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta pelaporan pembangunan

kehutanan.

KPHP Model Poigar merupakan salah satu KPH yang memiliki

permasalahan tenurial yang cukup kompleks. Keberadaan masyarakat dalam

kawasan menjadi kendala utama bagi pengelola untuk mengembangkan

kawasan KPHP Model Poigar sesuai dengan peruntukannya. Sejarah konflik

pengelolaan kawasan KPHP Model Poigar telah terjadi sejak lama. Sebagian

besar kawasan KPHP Model Poigar sebelumnya merupakan kawasan bekas

perusahaan HPH PT Tembaru Budi Pratama yang beroperasi sejak tahun 80-

an hingga awal tahun 2000. Setelah perusahaan berhenti beroperasi, konflik

terkait pengelolaan kawasan semakin meningkat disebabkan oleh lemahnya

penegakan hukum terkait pelanggaran yang terjadi dalam kawasan. Irawan

et al. (2016) menyatakan bahwa jumlah luasan penguasaan lahan oleh

masyarakat pada wilayah KPHP Model Poigar sangat tinggi dimana dari total

keseluruhan wilayah KPHP Model Poigar, hanya terdapat sedikit kawasan yang

masih steril (30%), sedangkan sebagian besar sisanya telah diklaim dan

digarap oleh masyarakat.

Berdasarkan tipe konflik dan kondisi masyarakat sekitar kawasan dapat

diketahui bahwa skema kemitraan merupakan rekomendasi yang tepat

dilakukan oleh pihak pengelola KPHP Model Poigar saat ini. Irawan et al.

(2017) menyatakan bahwa salah satu kegiatan pemberdayaan masyarakat

Page 192: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Sikap Masyarakat Terhadap Pelaksanaan Uji Coba…….. Arif Irawan et al.

177

yang dapat dilakukan KPHP Model Poigar adalah melalui skema kemitraan

kehutanan. Skema tersebut dijadikan rekomendasi dengan

mempertimbangkan tingkat persepsi, tingkat pendapatan serta tingkat

interaksi masyarakat terhadap kawasan hutan di kawasan KPHP Model Poigar.

Uji coba pelaksanaan skema kemitraan kehutanan telah dilakukan di

Desa Lolan sejak tahun 2016. Skema kemitraan dilakukan dengan

membangun plot uji coba penanaman jenis jabon merah yang dikombinasikan

dengan tanaman semusim dalam kawasan KPHP Model Poigar. Kesepakatan-

kesepakatan terkait skema kemitraan telah dirumuskan dan menjadi poin

utama dalam pelaksanaan uji coba ini. Salah satu parameter yang dapat

digunakan untuk mengetahui tingkat efektifas pelaksanaan skema kemitraan

kehutanan di kawasan KPHP Model Poigar ini adalah dengan menilai sikap

masyarakat Desa Lolan terhadap kegiatan uji coba yang telah dilakukan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sikap masyarakat Desa Lolan

terhadap uji coba skema kemitraan yang telah dilaksanakan di kawasan KPHP

Model Poigar.

II. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan September tahun 2018 di Desa Lolan,

Kecamatan Bolaang Timur, Kabupeten Bolaang Mongondow, Provinsi

Sulawesi Utara yang merupakan salah satu desa yang berbatasan langsung

dengan kawasan KPHP Model Poigar (Gambar 1).

Page 193: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

178

Gambar 1. Lokasi penelitian

B. Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Dalam

pengumpulan data digunakan metode Focused Group Discussion (FGD),

teknik observasi, dan wawancara semi terstruktur. Wawancara dilakukan

terhadap 32 responden dengan alat bantu kuesioner, studi pustaka dan

dokumentasi terhadap masyarakat Desa Lolan yang memiliki aktivitas dalam

kawasan KPHP Model Poigar. Sampel responden ditentukan secara acak

terhadap masyarakat Desa Lolan.

C. Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan adalah menggunakan pendekatan

kuantitatif dan kualitatif. Metode ini pada pelaksanaannya di lapangan

dilakukan dengan menggunakan wawancara mendalam, maupun penelusuran

(analisis) data sekunder sebagai instrumennya.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Sikap didefinisikan sebagai ekspresi sederhana dari perasaan mendukung

atau memihak maupun perasaan tidak mendukung terhadap suatu hal (Surati,

2014). Sikap sangat menentukan perilaku dan tanggapan seseorang terhadap

Page 194: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Sikap Masyarakat Terhadap Pelaksanaan Uji Coba…….. Arif Irawan et al.

179

masalah kemasyarakatan serta masalah lingkungan. Sikap juga diartikan

sebagai kesiapan seseorang untuk bertindak secara tertentu terhadap hal-hal

tertentu. Sikap dapat bersifat positif dan juga negatif. Sikap positif,

kecenderungan tindakannya adalah mendekati, menyenangi dan

mengharapkan obyek tertentu, sedangkan sikap negatif cenderung untuk

menjauhi, menghindari, membenci atau tidak menyukai obyek tertentu

(Hafizianor, 2016).

Uji coba skema kemitraan kehutanan di kawasaan KPHP Model Poigar

dilakukan dengan membangun kesepakatan kemitraan bersama masyarakat

yang selama ini mengolah lahan dalam kawasan. Bentuk kerjasama

dituangkan dalam dokumen surat perjanjian kerjasama, walaupun belum

memenuhi standar baku naskah kerjasama kemitraan yang disyaratkan

namun uji coba ini diharapkan mampu memberikan gambaran awal terkait

pelaksanaan skema kemitraan pada masyarakat. Bentuk kerjasama kemitraan

yang dilakukan menggunakan skema bagi hasil dari hasil pengolahan lahan

dalam kawasan. Pada prinsipnya konsep yang ingin dibangun adalah

penyadaran masyarakat terkait permasalahan konflik tenurial sehingga

masyarakat menyadari bahwa lahan yang selama ini diolah merupakan lahan

milik negara. Melalui skema kemitraan ini masyarakat diharapkan tidak

merasa terganggu dalam hal mengolah lahan yang selama ini telah dilakukan

namun dari sisi lain pengakuan terhadap lahan kawasan KPHP Model Poigar

oleh masyarakat juga tidak dikesampingkan. Uji coba skema kemitraan

dilakukan terhadap masyarakat yang selama ini mengolah lahan dalam

kawasan dengan menanam jagung, padi ladang, dan tanaman kelapa.

Kemitraan yang dibangun adalah dengan melakukan kegiatan penanaman

tanaman kehutanan produktif (masa panen pendek) diantara tanaman

pertanian yang telah dilakukan sebelumnya. Pembangunan plot uji coba

penanaman secara agroforestry antara jabon merah dan tanaman sela

(jagung, padi ladang dan tanaman kelapa) dilakukan sebagai bentuk

gambaran skema kemitraan ini.

Plot uji coba telah dibangun pada tahun 2016 pada 3 (tiga) lokasi dengan

luasan masing-masing adalah sekitar 1 ha. Pembagian proporsi bagi hasil

telah disepakati bersama sebelum pelaksanaan skema ini. Poporsi bagi hasil

dalam skema kemitraan kehutanan pada umumnya lebih besar yang akan

diperoleh masyarakat dibandingkan pihak pemerintah. Proporsi bagi hasil

80:20 digunakan sebagai bentuk kerjasama yang disepakati dalam uji coba

skema kemitraan di kawasan KPHP Model Poigar. Ilham et al. (2016)

menyatakan bahwa proporsi bagi hasil yang diperoleh oleh masyarakat dari

Page 195: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

180

pola kemitraan dalam pengelolaan KPHL Solok adalah 75% untuk masyarakat

dan 25% untuk pihak KPHL. Selanjutnya Saipurrozi et al. (2018) juga

menyampaikan bahwa pembagian hasil antara KPH Unit XIV Gedong Wani

dan KTH Agroforest Park dalam uji coba program kemitraan kehutanan yang

telah dilakukan yakni untuk tanaman padi darat adalah 25% untuk KPH Unit

XIV Gedong Wani dan 75% untuk KTH Agroforest Park. Sedangkan untuk

tanaman kayuan/MPTS yakni 75% untuk KPH Unit XIV Gedong Wani dan 25%

untuk KTH Agroforest Park.

Proporsi 80% merupakan bagian yang akan diperoleh oleh masyarakat

yang mengusahakan lahan dalam kawasan KPHP Model Poigar melalui skema

kemitraan dari mengolah jabon merah dan sisanya akan menjadi bagian dari

pemerintah. Masyarakat akan difasilitasi untuk memperoleh bibit jabon merah

sebagai peran pemerintah dalam skema kerjasama ini, sedangkan

pemeliharaan tanaman akan menjadi tanggung jawab bersama. Pada tahap

awal hasil dari tanaman semusim tidak menjadi bagian dari skema kemitraan.

Wawancara yang telah dilakukan terhadap masyarakat Desa Lolan terkait

pelaksanaan skema kemitraan kehutanan di kawasan KPHP Model Poigar

menunjukkan hasil yang sangat baik. Dua hal utama yang menjadi penilaian

untuk mengetahui sikap masyarakat tersebut antara lain terkait pengetahuan

masyarakat mengenai keberadaan uji coba dan mengenai tanggapannya

terhadap uji coba tersebut. Hasil rekapitulasi data dari hasil wawancara

tersebut ditampilkan pada Gambar 2.

Gambar 12. Grafik hasil penilaian sikap masyarakat terhadap kegiatan plot uji

coba skema kemitraan kehutanan

Berdasarkan Gambar 2 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden

(84%) mengetahui keberadaan plot uji coba yang telah dibangun, sedangkan

0%

20%

40%

60%

80%

100%

Setuju Tidak setuju

Tanggapan terhadap plot uji coba

0%

50%

100%

Tahu Tidak tahu

Informasi terkait plot uji coba

Page 196: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Sikap Masyarakat Terhadap Pelaksanaan Uji Coba…….. Arif Irawan et al.

181

sisanya (15,63%) tidak mengetahui. Penyebarluasan informasi dari

pelaksanaan skema kemitraan kehutanan ini diketahui sangat cepat. Hasil

yang memuaskan serta skema yang sesuai dengan harapan masyarakat

memicu penyebarluasan informasi tersebut. Lionberger & Gwin (1982)

menyatakan bahwa pola komunikasi dalam penyebaran informasi pertanian

perlu melibatkan 4 sub sistem, yakni: sub sistem ilmuwan dasar, sub sistem

ilmuwan aplikasi, sub sistem penyuluhan (komunikasi), dan sub sistem sosial

pemakai (petani pengguna informasi). Berdasarkan hasil penelitian ini dapat

diketahui bahwa penyebarluasan pada tingkatan sub sistem sosial pemakai

dalam hal ini masayarakat yang melakukan kegiatan dalam kawasan KPHP

Model Poigar dirasakan lebih efektif dibandingkan dengan tingkatan sub

sistem lainnya. Hal ini karena informasi yang disampaikan merupakan

informasi yang murni apa adanya dan komunikasi terjadi pada tingkatan yang

sama sehingga akan lebih mudah diterima oleh masyarakat.

Selanjutnya hasil evaluasi secara teknis terhadap skema ini dapat

diketahui bahwa pelaksanaan uji skema kemitraan ini berjalan secara baik.

Pertumbuhan jabon merah sangat memuaskan, utamanya jabon merah yang

ditanam diantara tanaman jagung dan padi ladang. Sedangkan tanaman

jabon merah yang ditanam diantara tanaman kelapa memiliki pertumbuhan

yang lebih rendah. Jabon merah merupakan salah satu jenis tanaman yang

membutuhkan cahaya penuh dalam pertumbuhannya. Halawane et al. (2011)

menyatakan bahwa jabon merah merupakan tanaman pioner lokal yang

toleran terhadap cahaya dan dapat tumbuh di lahan terbuka atau kritis.

Perbandingan yang cukup signifikan dari penggunaan tanaman sela jagung

dan padi ladang terhadap pertumbuhan awal jabon merah terletak pada

dampak paparan cahaya matahari. Hasil pengukuran rata-rata tinggi dan

diameter tanaman jabon merah umur 1 (satu) tahun diantara tanaman jagung

adalah sebesar 411 cm dan 5,93 cm; diantara tanaman padi ladang adalah

sebesar 427 cm dan 5,76 cm, sedangkan untuk dibawah tegakan kelapa

adalah 265 cm dan 3,25 cm. Hasil pertumbuhan jabon merah diantara

tanaman jagung dan padi ladang tersebut juga diketahui bahkan lebih baik

jika dibandingkan dengan pertumbuhan jabon merah di beberapa lokasi lain.

Abdulah et al. (2013) menyampaikan bahwa tinggi dan diameter tegakan

jabon umur 1 tahun di hutan rakyat Desa Girimulya, Kecamatan Cibeber,

Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. adalah sebesar ±220 cm dan ±4,00 cm.

Sedangkan Indrajaya & Siarudin (2013) juga menyampaikan bahwa rata-rata

tinggi tegakan jabon di hutan rakyat di Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten

Garut, Jawa Barat pada umur yang sama (umur 1 tahun) adalah sebesar 250

Page 197: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

182

cm. Perbedaan nilai pertumbuhan jabon merah yang terjadi ini selain karena

kondisi tanah pada plot uji coba yang sangat subur juga karena secara umum

kawasan KPHP Model Poigar adalah merupakan habitat alami jabon merah.

Secara teknis penanaman jabon merah diantara tanaman sela hingga umur 1

(satu) tahun tidak memberikan dampak negatif. Penanaman jabon merah

dengan jarak lebar (5 m x 5 m) diharapkan merupakan solusi untuk

memaksimalkan pertumbuhan jabon merah dan tanaman sela. Gambaran

mengenai plot uji jabon merah dalam skema kemitraan ini ditampilkan pada

Gambar 3.

Gambar 3. Tanaman jabon merah (a) diantara tanaman padi (setelah panen);

(b) diantara tanaman jagung; dan (c) dibawah tegakan kelapa

Hasil wawancara mengenai tanggapan responden terhadap uji coba

skema kemitraan kehutanan ini juga memberikan nilai yang sangat positif.

Sebanyak 91,63% responden menyatakan bahwa setuju dengan pelaksanaan

skema ini sedangkan 9,38% sisanya menyatakan tidak setuju. Secara

psikologis masyarakat akan merasa lebih memiliki terhadap tanaman hasil dari

skema kemitraan kehutanan ini. Dampak secara langsungnya adalah tanaman

yang telah ditanam lebih terjamin keberadaannya karena didukung oleh

(a) (b)

(c)

Page 198: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Sikap Masyarakat Terhadap Pelaksanaan Uji Coba…….. Arif Irawan et al.

183

pemeliharaan yang maksimal oleh masyarakat. Tingkat kepercayaan

masyarakat terhadap pemerintah juga meningkat karena sistem yang jelas

dari pelaksanaan kegiatan kemitraan. Kecurigaan dan kekhawatiran

masyarakat terhadap pemerintah untuk melakukan perampasan hak

pengelolaan dapat dihilangkan mengingat dari awal masyarakat telah

mengetahui manfaat dari sistem kemitraan ini. Tanaman jabon merah yang

ditanam tidak serta merta menjadi milik pemerintah bahkan sebagian besar

akan menjadi bagian pengolah lahan. Kegiatan masyarakat dalam mengolah

lahan yang selama ini telah dilakukan juga tidak terganggu, bahkan hasilnya

masih dapat diperoleh secara maksimal.

IV. KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Desa

Lolan sangat mendukung pelaksanaan skema kemitraan kehutanan dan

berharap dapat diterapkan pada skala yang lebih luas. Beberapa faktor yang

mempengaruhi sikap masyarakat tersebut diantaranya adalah adanya

kejelasan mengenai konsep bagi hasil dalam pelaksanaan skema ini, adanya

pengakuan terhadap eksistensi masyarakat dalam mengolah lahan dalam

kawasan dan gambaran hasil yang ditawarkan memiliki jangka waktu tidak

terlalu panjang.

V. SARAN

Penerapan skema kemitraan kehutanan dengan lebih menekankan peran

kelompok tani sebagai lembaga pelaksananya perlu didorong untuk

memaksimalkan hasil uji coba skema kemitraan kehutanan secara lebih luas.

VI. UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Kepala KPHP Model Poigar

beserta staf, serta kepada Moody C Karundeng, Rinna Mamonto dan

Melkianus S Diwi (Teknisi BP2LHK Manado) yang telah banyak memberikan

bantuan selama pelaksanaan kegiatan penelitian ini hingga selesainya

penulisan naskah.

VII. DAFTAR PUSTAKA

Abdulah, L., Mindawati, N., & Kosasih, S. A. (2013). Evaluasi pertumbuhan

awal jabon (Neol amarckia Cadamba Roxb) di hutan rakyat. Jurnal

Penelitian Hutan Tanaman, 10(3),119–128.

Akhadi, K., Wijaya, A. F., & Hardjanto, I. (2013). Perencanaan pembangunan

kehutanan daerah dalam perspektif good governance. Jurnal Penelitian

Kehutanan Wallacea, 2(1),51-64.

Page 199: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

184

Hafizianor. (2016). Sikap masyarakat desa hutan terhadap perubahan dan alih

guna kawasan hutan menjadi kawasan pertambangan batubara. Enviro

Scienteae, 12(3), 216-224.

Halawane, Jafred, E., Hidayah, H. N., & Kinho, J. (2011). Prospek

Pengembangan Jabon Merah ( Anthocephalus Macrophyllus (Roxb.)

Havil), Solusi Kebutuhan Kayu Masa Depan. 1st ed. Manado: Balai

Penelitian Kehutanan Manado.

Ilham, Q. P., Purnomo, H., & Nugroho, T. (2016). Analisis pemangku

kepentingan dan jaringan sosial menuju pengelolaan multipihak di

kabupaten solok, sumatera barat. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia,

21(2), 114-119.

Indrajaya, Y., & Siarudin, M. (2013). Daur finansial hutan rakyat jabon di

kecamatan pakenjeng, kabupaten garut, jawa barat. Jurnal Penelitian

Hutan Tanaman, 10(4), 201-211.

Irawan, A., Iwanuddin, Halawane, J. E., & Ekawati, S. (2017). Analisis persepsi

dan perilaku masyarakat terhadap keberadaan kawasan KPHP model

poigar. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 14(1), 71-82.

Irawan, I., Mairi, K., & Ekawati, S. (2016). Analisis konflik tenurial di Kesatuan

Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Model Poigar. Jurnal Wasian, 3(2),

79-90.

Lionberger, H. F., & Gwin, P. H. (1982). Communication strategies: Aguide for

Agricultural Change Agent. USA:IPP Inc.

Saipurrozi, M., Febryano, I. G., Kaskoyo, H., & Wulandari, C. (2018). Uji coba

program kemitraan kehutanan di kesatuan pengelolaan hutan unit XIV

gedong wani, Provinsi lampung. Jurnal Hutan Tropis, 6(1), 35-42.

Surati. (2014). Analisis sikap dan perilaku masyarakat terhadap hutan

penelitian parung panjang. Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan,

11(4), 339-347.

Zain, M. R. N., Soeaidy, S., & Mindarti, L. I. (2011). Kemitraan antara KPH

Perhutani dan LMDH dalam menjaga kelestarian hutan. Jurnal

Administrasi Publik, 2(2),210-216.

Page 200: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Modal Sosial MasyarakatDalam Pengelolaan Hutan Rakyat …….. Evita Hapsari, Nurhaedah Muin, Achmad Rizal HB

185

Modal Sosial Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Malleleng Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba1

Social Capital of The Community in Private Forest

Management in Malleleng Village, Kajang Sub-District, Bulukumba District

Evita Hapsari2, Nurhaedah Muin2, dan Achmad Rizal HB2

ABSTRACT

The communities have livelihood assets including human capital, natural

resource capital, physical capital, financial capital and social capital. Social

capital is the ability of society to be linked to networks, norms, and trust in a

social relationship. Social capital influences the people’s wayinmanaging forests

in a participatory manner. The purpose of this paper is to find out the social

capital of the community in private forestsmanagement in Malleleng village. Data

was collected in September 2013 by conducting FGD (Focus Group Discussion)

and in-depth interviews with respondents. Data was processed and analyzed by

applying descriptive statistic. The results of the study showed that the elements

of social capital that have greater influence are sanctions, norms or regulations,

networks and trust. The community with wealthy category are tend to prioritize

physical capital, while the community with medium category and poor are tend

to prioritize social capital. The social capital in Malleleng society is bonding,

generally from family ties, kinship and neighborly life. The private forest farmers

prioritized intertwined social relations rather than financial. The private forest

farmers prefer to make social exchanges rather than economic exchanges. The

role of social capital is an important factor in supporting the success of forest

management.

Keywords: social capital, community forest management, Bulukumba

1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya

Pelestarian Sumber Daya Alam, diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado dan SEAMEO BIOTROP, Manado 24 Oktober 2018.

2 Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar; Jln. Perintis

Kemerdekaan KM 16,5 Makassar, tlp (0411) 554049, fax (0411) 554058; e-mail: [email protected].

Page 201: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

186

I. PENDAHULUAN

Konsep awal pembangunan berkelanjutan memfokuskan tiga faktor

modal yaitu natural capital, physical capital dan human capital. Ketiga modal

tersebut hanya menjelaskan secara spasial proses pertumbuhan ekonomi.

Ketersediaan modal alamiah, modal fisik dan modal manusia mempengaruhi

proses pencapaian level pembangunan. Seiring waktu, para ekonom

menyadari terdapat missing link dalam proses pertumbuhan ekonomi dan

pembangunan yaitu modal sosial. Modal sosial berupa networking dan relasi

merupakan sesuatu yang vital dalam dinamika pembangunan suatu

komunitas (Abdullah, 2013). Peran modal sosial sering terabaikan, di satu

sisi kebijakan pembangunan dan keputusan ekonomi sangat dipengaruhi

oleh interaksi antar masyarakat.

Proses interaksi dalam modal sosial melahirkan implementasi yang tidak

sama baik di satu wilayah maupun di wilayah yang berbeda. Modal sosial

sebagai faktor penting dalam mempengaruhi efisiensi dan efektivitas

kebijakan, sehingga menumbuhkan kesadaran pentingnya dimensi kultural

dan pendayagunaan peran lembaga-lembaga yang tumbuh dalam

masyarakat untuk mempercepat dan mengoptimalkan proses-proses

pembangunan (Inayah, 2012).

Pembahasan modal sosial berkaitan dengan upaya mengelola,

meningkatkan dan mendayagunakan relasi-relasi sosial sebagai sumber daya

yang diinvestasikan untuk memperoleh keuntungan ekonomi atau manfaat

sosial. Relasi-relasi sosial diendapi oleh norma-norma yang memberikan

jaminan, nilai-nilai yang menghargai perkembangan (trust), serta

melembagakan hubungan yang saling menguntungkan (reciprocal

relationship) (Usman, 2018).

Masyarakat memiliki aset-aset penghidupan diantaranya modal sumber

daya manusia, modal sumber daya alam, modal fisik, modal finansial dan

modal sosial. Modal sosial merupakan kemampuan masyarakat terkait

dengan jaringan, norma, dan kepercayaan dalam suatu hubungan sosial.

Modal sosial mempengaruhi cara masyarakat dalam mengelola hutan secara

partisipatif. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui modal sosial dalam

pengelolaan hutan rakyat di Desa Malleleng Kecamatan Kajang Kabupaten

Bulukumba. Penelitian ini bermanfaat sebagai masukan dalam pengelolaan

hutan rakyat khususnya yang mengutamakan modal sosial dalam

pengelolaannya.

Page 202: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Modal Sosial MasyarakatDalam Pengelolaan Hutan Rakyat …….. Evita Hapsari, Nurhaedah Muin, Achmad Rizal HB

187

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Desa Malleleng, Kecamatan Kajang, Kabupaten

Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan pada bulan September 2013.

Kabupaten Bulukumba memiliki kawasan hutan seluas 30.726 hektare,

sedangkan luas hutan rakyat mencapai 72% dari seluruh luas kawasan

hutan (Bisjoe et al., 2012). Luas Desa Malleleng sebesar 11.10 km² dan

memiliki hutan rakyat seluas 130 hektare.

Sumber : aplikasi SW map dengan citra google

Gambar 1. Peta lokasi penelitian

Page 203: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

188

Desa Malleleng berbatasan dengan Desa Batu Nilamung di sebelah

utara, sedangkan di sebelah timur berbatasan dengan Desa Mattoangin. Di

sebelah selatan berbatasan dengan Desa Tambangan dan sebelah barat

berbatasan dengan Desa Tanah Towa. Secara adminitratif Desa Malleleng

terdiri dari 5 (lima) dusun yaitu Dusun Bunja, Dusun Malleleng, Dusun

Sapiri, Dusun Bonto Nangka dan Dusun Tupare. Desa Malleleng merupakan

salah satu pemekaran dari Desa Tanah Towa, yang terletak pada ketinggian

500-700 m dpl.

B. Bahan dan Alat

Penelitian ini menggunakan bahan dan alat sebagai berikut : alat tulis

menulis, peralatan FGD (Focus Group Discussion), kuesioner, kamera dan

alat perekam.

C. Metode Penelitian

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan

melakukan diskusi kelompok terfokus atau FGD (Focus Group Discussion).

Masyarakat menentukan sendiri indikator kesejahteraannya dalam FGD yang

dipandu oleh fasilitator. Masyarakat dikelompokkan menjadi 3 kelas

kesejahteraan berdasarkan kondisi wilayah yaitu kategori mampu, kategori

sedang dan kategori tidak mampu. Dalam FGD, masyarakat juga

menentukan rangking aset penghidupan berdasarkan tingkat kepentingan

dalam pengelolaan hutan rakyat yang terbagi atas 5 (lima) indikator aset

meliputi: sumberdaya manusia, sumberdaya alam, finansial, fisik dan sosial.

Selain melakukan FGD, dalam penelitian ini juga dilakukan wawancara

kepada responden. Responden dipilih secara purposif sampling berdasarkan

tingkat kesejahteraan. Penelitian mengambil sampel sebanyak 30

responden, dimanamasing-masing mewakili kategori kesejahteraan yaitu 9

orang dari kategori mampu, 14 orang dari kategori sedang dan 7 orang dari

kategori tidak mampu. Responden dalam penelitian ini adalah petani yang

mengelola hutan rakyat. Data dan informasi diperoleh dengan cara

wawancara terstruktur dengan menggunakan kuesioner.

Dalam penelitian ini, masyarakat Malleleng melalui FGD menentukan

sendiri indikator kesejahteraan berdasarkan pada kepemilikan lahan, rumah,

ternak, kendaraan, usaha, tanaman, tabungan, pendidikan, keberhasilan

anak, pekerjaan dan status sosial. Berdasarkan indikator kesejahteraan

tersebut, masyarakat kemudian menentukan 3 (tiga) kelompok kelas yaitu

mampu, sedang dan tidak mampu. Indikator kesejahteraan masyarakat

dalam setiap kategori secara detail dapat terlihat dalam tabel berikut ini :

Page 204: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Modal Sosial MasyarakatDalam Pengelolaan Hutan Rakyat …….. Evita Hapsari, Nurhaedah Muin, Achmad Rizal HB

189

Tabel 1. Indikator Kesejahteraan Masyarakat di Desa Malleleng

Indikator

Kesejahteraan

Mampu Sedang Tidak Mampu

Lahan luas ≥ 4 ha 1-2 ha < 1 ha

Rumah dinding batu

lantai keramik

dinding batu

lantai tidak keramik

dinding bambu

atap rumbia

Ternak Sapi ≥ 10 ekor

Kerbau ≥ 5 ekor

Ayam ≥ 2.000

ekor

Kuda ≥ 2 ekor

Sapi 1-5 ekor

Kerbau 1-2 ekor

Ayam 300-500 ekor

Kuda 1 ekor

Punya ayam

Tidak punya

sapi, kerbau dan

kuda

Kendaraan Mobil

Motor

Motor Tidak punya

kendaraan

Usaha Dagang (kayu,

hasil bumi, mebel,

saprodi)

Kios campuran Tidak punya

usaha

Tanaman Cengkeh ≥ 50 kg

Merica 100 kg

Kakao 50 kg

Jati ≥ 100 pohon

Gmelina ≥ 50

pohon

Bitti ≥ 200 pohon

Merica 50 kg

Jati 30 pohon

Gmelina 20 pohon

Bitti 20 pohon

Kelapa

Pisang 1-3

pohon

Tidak punya

tanaman kayu

Tabungan ≥ 50 juta 10-49 juta Tidak punya

tabungan

Pendidikan Sarjana SMP-SMA ≤ SD

Keberhasilan

anak

PNS, polisi,

pengusaha

Petani, buruh

bangunan,

karyawan

Pengangguran

Pekerjaan PNS + petani Petani dan atau

buruh bangunan

Buruh tani

Status sosial Haji / daftar

tunggu

Belum haji -

D. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode scoring dan

deskriptif. Perangkingan dalam setiap kriteria dilakukan terlebih dahulu,

Page 205: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

190

kemudian melakukan teknik scoring. Rangking ditentukan oleh masyarakat

melalui FGD sehingga mencerminkan kondisi yang sebenarnya. Hasil

rangking setiap kriteria selanjutnya diberikan bobot persentase. Setiap

jawaban verifier dalam kuisioner selanjutnya diberikan skor. Total skor

dihitung dari jumlah skor dikalikan dengan bobot setiap verifier dalam

persen. Teknik scoring tersebut digunakan untuk mengukur aset yang

dominan dimiliki oleh masyarakat. Analisis data berpedoman pada

Multicriteria Analysis (MCA)(Oktalina et al., 2016).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Malleleng

Banyak para ahli telah mendefinisikan tentang kondisi sosial ekonomi

masyarakat. Kondisi sosial ekonomi masyarakat dapat dideskripsikan

berdasarkan beberapa indikator, misalnya kepemilikan rumah, kepemilikan

lahan, jenis pekerjaan dan lain-lain. Kondisi sosial ekonomi petani

merupakan kedudukan atau posisi petani di dalam masyarakat berkaitan

dengan tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, jumlah anggota keluarga dan

pemilikan lahan (Achmad et al., 2015).

Masyarakat Malleleng mayoritas bermata pencaharian sebagai petani

(90%) dan setiap KK rata-rata memiliki lahan hutan rakyat seluas 0,29

hektare. Selain berbentuk kebun, sebagian besar petani memiliki lahan

berupa sawah dikarenakan kondisi tanah yang subur. Petani rata-rata

memiliki sawah seluas 0,43 hektare. Areal sawah pada musim hujan

ditanami padi, sedangkan musim kemarau ditanami jagung, palawija atau

sayur-sayuran. Karakteristik petani menggambarkan kondisi petani dan

potensi sumberdaya yang dapat dikembangkan (Dewi et al., 2018)

Kondisi sosial ekonomi petani memengaruhi mereka dalam mengambil

keputusan mengelola hutan rakyat (Diniyati et al., 2010). Petani

mengembangkan jenis tanaman kehutanan yaitu jati lokal, jati putih,

sengon, bitti, mahoni dan akasia, sedangkan tanaman perkebunan berupa

kakao, karet, lada, cengkeh, kelapa, jambu mente dan pisang. Meskipun

masyarakat Malleleng sebagian besar mempunyai mata pencaharian sebagai

petani,tetapi ketika lahan mereka belum dapat memberikan kontribusi

maksimal maka akan mencari sumber penghasilan dari sektor non lahan,

misalnya dari ternak, dagang, warung bahkan menjadi buruh bangunan.

Sumber penghasilan petani hutan rakyat dari sektor non lahan berasal dari

peternakan, jasa tenaga dan wirausaha. Penghasilan petani hutan rakyat

terbesar dari jasa tenaga yaitu sebesar 78%. Banyak masyarakat yang

Page 206: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Modal Sosial MasyarakatDalam Pengelolaan Hutan Rakyat …….. Evita Hapsari, Nurhaedah Muin, Achmad Rizal HB

191

menjadi tukang dan buruh tani di Kota Bulukumba dan Makassar (Hapsari et

al., 2018).

Ketika penelitian dilakukan, tanaman kehutanan milik petani belum siap

panen dikarenakan usia tanam masih muda. Kondisi penghidupan ditopang

oleh lahan sawah yang siap panen, sehingga petani memperoleh sumber

penghasilan dari sawah. Sumber penghasilan petani dari sawah memberikan

kontribusi lebih besar dibandingkan dari lahan hutan rakyat. Sumber

penghasilan dari tanaman pertanian sebesar 58,1% sedangkan tanaman

kehutanan sebesar 30%. Kontribusi hutan rakyat sebesar 25,8% dari total

penghasilan petani (Hapsari et al., 2018). Upaya peningkatan produktivitas

dapat dilakukan dengan perbaikan teknis silvikultur atau budidaya dan

modifikasi pola tanam (Widiarti et al., 2008)

B. Modal Penghidupan Petani Hutan Rakyat

Salah satu kelebihan sistem hutan rakyat adalah keanekaragaman

hayati dalam ekosistem yang lebih tinggi dibandingkan hutan tanaman, serta

jenis tanamannya mempunyai nilai ekonomi tinggi untuk di setiap daerah

(Ethika et al., 2014). Pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan masyarakat

menggunakan aset yang berbeda-beda. Penggunaan aset yang berbeda

berpengaruh terhadap intensifikasi pengelolaan hutan rakyat yang

berdampak pada kelestarian hutan rakyat dan penghidupan petani.

Masyarakat Malleleng memiliki modal penghidupan yaitu modal sumber

daya manusia, modal sumber daya alam, modal fisik, modal finansial dan

modal sosial. Berdasarkan hasil FGD masyarakat Malleleng, kelima modal

penghidupan tersebut dibuat ranking prioritas variabel pengukur dari

masing-masing jenis modal. Peringkat modal secara lebih detail terlihat

dalam tabel di bawah ini :

Tabel 2. Peringkat modal penghidupan masyarakat Desa Malleleng

Jenis Modal Variabel Pengukur Urutan

Pengaruh

Sumber Daya Alam Kepemilikan lahan 1

Tipe penggunaan lahan 2

Akses pemanfaatan SDA 3

Konflik pemanfaatan SDA 4

Sumber Daya Manusia Kesehatan 1

Tenaga kerja keluarga 2

Pendidikan 3

Pengetahuan dan 4

Page 207: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

192

Jenis Modal Variabel Pengukur Urutan

Pengaruh

keterampilan

Fisik Kepemilikan rumah 1

Alat produksi 2

Tingkat jangkauan lahan 3

Kepemilikan kendaraan 4

Finansial Pendapatan 1

Tingkat kecukupan keuangan 2

Tabungan keluarga 3

Akses kredit 4

Sosial Kepercayaan 1

Jaringan 2

Norma dan peraturan 3

Sanksi 4

Dalam modal sumber daya alam, kepemilikan lahan petani berpengaruh

terhadap banyak sedikitnya lahan garapan (Tabel 2). Petani kategori mampu

memiliki luas lahan yang lebih besar daripada petani kategori sedang dan

petani kategori tidak mampu (Tabel 1). Petani yang tidak memiliki lahan

akan menjadi penggarap lahan milik tetangga atau orang lain. Untuk tipe

penggunaan lahan, petani dapat mengelola dengan pola tanaman jangka

pendek, tanaman jangka menengah dan tanaman jangka panjang.

Kemudahan akses mempengaruhi petani dalam memanfaatkan lahan.

Terjadinya konflik menjadi faktor penghambat petani dalam mengelola

lahan.

Dalam modal sumber daya manusia, kesehatan menjadi prioritas

pertama petani untuk dapat menggarap lahan (Tabel 2). Banyak sedikitnya

anggota keluarga dalam mencurahkan tenaga kerja akan mempengaruhi

hasil garapan. Pendidikan, pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki

petani akan diimplementasikan dalam mengelola lahan. Ilmu yang diperoleh

petani dapat berasal dari pelatihan, pengetahuan lokal maupun penyuluhan.

Dalam modal fisik, kepemilikan rumah menjadi kebutuhan dasar petani

untuk berlindung bersama anggota keluarga (Tabel 2). Alat produksi

dibutuhkan petani dalam mengelola lahan. Jarak jangkauan jauh dekatnya

antara lahan dengan rumah menentukan intensitas petani dalam menggarap

lahan. Kepemilikan kendaraan juga mempengaruhi petani dalam kemudahan

untuk mengakses lahan garapan.

Page 208: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Modal Sosial MasyarakatDalam Pengelolaan Hutan Rakyat …….. Evita Hapsari, Nurhaedah Muin, Achmad Rizal HB

193

Dalam modal finansial, pendapatan menjadi prioritas utama petani

untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan dalam mengelola lahan (Tabel

2). Tingkat kecukupan keuangan juga mempengaruhi petani dalam

menentukan pilihan jenis tanaman. Tabungan keluarga diperlukan petani

ketika masih membutuhkan biaya tambahan untuk mengelola lahan. Akses

kredit menjadi tujuan akhir petani dalam kondisi darurat ketika masih tetap

membutuhkan biaya lebih banyak lagi untuk lahan garapan.

Dalam modal sosial, tingkat kepercayaan sangat menentukan

pengambilan keputusan petani dalam mengelola lahan (Tabel 2). Jaringan

petani dalam mengembangkan relasi sosial diperlukan untuk usaha

penjualan pasca panen. Norma dan peraturan menjadi basis petani dalam

mengelola lahan. Sanksi yang berlaku dalam masyarakat dijadikan sebagai

faktor pengingat petani dalam menggarap lahan.

Langkah berikutnya setelah penentuan rangking modal penghidupan

petani yaitu dengan memberikan skoring pada modal penghidupan dan di

buat rata-rata per kategori kesejahteraan. Berikut disajikan rata-rata skoring

modal penghidupan masyarakat Desa Malleleng:

Tabel 3. Rata-rata skoring modal penghidupan masyarakat Desa Malleleng

per kategori kesejahteraan

Modal Penghidupan Kategori

Mampu

Kategori

Sedang

Kategori Tidak

Mampu

Modal sosial 6555,00 6281,05 5055,96

Modal fisik 6764,33 5188,50 4566,00

Modal finansial 4447,78 4068,21 3120,69

Modal sumberdaya

alam

4121,00 4147,71 3850,71

Modal sumberdaya

manusia

4450,22 4335,39 3744,36

Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa modal fisik dalam kategori

mampu menunjukkan skor tertinggi. Masyarakat kategori mampu lebih

mengutamakan modal fisik dibandingkan modal lainnya. Kepemilikan rumah,

kepemilikan alat produksi dan kepemilikan kendaraan menjadi unsur utama

dalam penghidupan bagi masyarakat kategori mampu. Kondisi tersebut

berbeda dengan masyarakat kategori sedang dan kategori tidak mampu,

dimana terlihat pada tabel di atas bahwa skor tertinggi adalah modal sosial.

Masyarakat kategori sedang dan kategori tidak mampu lebih mengutamakan

Page 209: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

194

modal sosial daripada modal lainnya. Hal ini selaras dengan pernyataan

Sumirat, et al. (2015), bahwa modal sosial anggota kelompok tani hutan

dengan tingkat kesejahteraan rendah, cenderung lebih tinggi. Sementara

itu, untuk anggota kelompok tani hutan dengan tingkat kesejahteraan yang

lebih tinggi, modal sosial cenderung lebih rendah.

C. Modal Sosial dalam Pengelolaan Hutan Rakyat

Potensi modal sosial apabila dikembangkan akan memberikan manfaat

ekonomi dan manfaat sosial (Fathy, 2019). Masing-masing individu atau

kelompok mampu mendayagunakan relasi-relasi sosial mencakup nilai-

norma, jaringan sosial dan kepercayaan supaya memperoleh manfaat

ekonomi dan manfaat sosial. Berdasarkan hasil FGD yang dilaksanakan

masyarakat Malleleng, elemen modal sosial dalam pengelolaan hutan rakyat

terdiri dari kepercayaan, norma atau peraturan, sanksi dan jaringan. Dari

keempat elemen tersebut kemudian dibuat peringkat atau urutan

berdasarkan besar kecilnya pengaruh dalam mengelola lahan mereka.

Peringkat pertama yang memberikan pengaruh paling besar adalah

kepercayaan. Peringkat kedua adalah jaringan. Sedangkan peringkat ketiga

adalah norma dan peraturan. Peringkat keempat yang memberikan

pengaruh paling kecil adalah sanksi (Tabel 2).

Kepercayaan muncul dari masing-masing individu dan tumbuh dalam

relasi sosial. Kepercayaan memiliki indikator ketika individu memutuskan

bergabung dengan kelompok, percaya dengan anggota lain dan menjalin

hubungan dengan sesama anggota kelompok. Hubungan sesama anggota

melahirkan persatuan yang dapat memberikan kontribusi pada peningkatan

modal sosial (Apriansah et al., 2016). Modal kepercayaan menjadi salah

satu elemen pendukung agar mudah mewujudkan kerjasama. Kerjasama

diwarnai oleh suatu pola interrelasi yang imbal balik, saling menguntungkan

dan dibangun di atas kepercayaan yang ditopang oleh norma-norma dan

nilai-nilai sosial yang positif dan kuat.

Kepercayaan masyarakat yang terbangun di Desa Malleleng lebih

bersifat kekerabatan, mereka masih menjunjung ikatan darah. Sebagai

contoh kasus, ketika petani hutan rakyat akan menjual kayu, mereka lebih

percaya kepada informasi yang diberikan keluarga atau kerabat.

Pada saat petani hutan rakyat melakukan transaksi jual beli kayu, telah

terjadi pertukaran ekonomi. Akan tetapi yang sering terjadi mereka

melakukan pertukaran sosial. Petani lebih mengutamakan relasi sosial yang

terjalin daripada uang. Terkadang petani mengalami kerugian secara

Page 210: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Modal Sosial MasyarakatDalam Pengelolaan Hutan Rakyat …….. Evita Hapsari, Nurhaedah Muin, Achmad Rizal HB

195

finansial, akan tetapi mereka memperoleh keuntungan berupa relasi sosial.

Sebagai contoh seorang petani mempunyai dua orang calon pembeli.

Pembeli pertama adalah tetangga sekaligus pelanggan, sedangkan pembeli

kedua adalah tetangga (bukan pelanggan). Petani tetap akan menjual

kepada pembeli pertama meskipun harga yang diberikan lebih murah

daripada pembeli kedua. Petani tetap mempertahankan relasi dan

kepercayaan yang sudah terjalin lama.

Usman (2018), mengemukakan bahwa pertukaran sosial ditandai

dengan relasi-relasi sosial. Aktor-aktor juga memperhitungkan biaya, akan

tetapi biaya tersebut bukan berupa uang, tetapi sebuah pengorbanan.

Ketika terjadi kerugian, tetap mempertahankan karena memperoleh

keuntungan relasi-relasi sosial. Dalam pertukaran sosial yang terpenting

adalah pengakuan (recognition), reputasi (social standing) dan kepercayaan.

Modal sosial terletak pada kemampuan masyarakat dalam suatu entitas

atau kelompok untuk bekerja sama membangun suatu jaringan untuk

mencapai tujuan bersama. Jaringan sosial merupakan aset yang sangat

bernilai. Jaringan atau relasi yang terjalin dalam masyarakat Malleleng

cenderung melalui ikatan keluarga. Relasi yang terbentuk mengutamakan

kepercayaan dari kerabat. Norma dan peraturan merupakan salah satu

elemen modal sosial. Norma maupun aturan adat di Desa Malleleng tidak

terlalu ketat dibanding Kajang Dalam karena Desa Malleleng termasuk

wilayah Kajang Luar sehingga norma adat tidak bersifat mengikat. Terdapat

beberapa norma yang berlaku di masyarakat diantaranya harus menanam

pohon ketika menikah dan ketika melahirkan. Apabila tidak memiliki lahan

milik, masyarakat tetap harus menanam di tepi jalan atau di lahan milik

publik. Adapun sanksi yang berlaku dalam masyarakat Malleleng dimana

terkait dengan pengelolaan lahan adalah dilarang menebang pohon di

sekitar sungai. Terdapat juga sanksi apabila melepas ternak dan ternak

mengenai lahan milik orang lain atau tetangga maka dikenakan denda

sebesar Rp. 50.000/ternak .

Modal sosial yang digunakan untuk membangun kapasitas adaptif,

dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu bonding social capital dan

networking (or bridging) social capital (Usman, 2018). Bonding social capital

mengikat aktor-aktor sosial berdasarkan tempat tinggal, kekerabatan, etnis,

agama dan adat istiadat,serta lebih mengedepankan face to face

relationship. Elemen-elemen modal sosial (trust, commitment, reciprocity)

dipelihara dan dikembangkan melalui jejaring yang terbatas (ikatanbonding).

Networking (or bridging) social capital mengikat aktor-aktor sosial

Page 211: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

196

berdasarkan jejaring yang menembus batas tempat tinggal, kekerabatan,

etnis, agama dan adat istiadat. Modal sosial dalam masyarakat Malleleng

bersifat bonding social capital, umumnya berasal dari ikatan kekeluargaan,

kekerabatan dan kehidupan bertetangga. Modal sosial antara individu dalam

sebuah kelompok yang melihat orientasi ke dalam (inward looking)

(Kusumastuti, 2015). Keanggotaan dalam kelompok umumnya berinteraksi

secara intensif, face to face dan saling mendukung. Kondisi modal sosial di

atas sangat mendukung dalam pengelolaan hutan secara partisipatif di Desa

Malleleng.

IV. KESIMPULAN

Masyarakat kategori mampu lebih mengutamakan modal fisik,

sedangkan masyarakat kategori sedang dan kategori tidak mampu lebih

mengutamakan modal sosial. Modal sosial dalam masyarakat Malleleng

bersifat bonding, umumnya berasal dari ikatan kekeluargaan, kekerabatan

dan kehidupan bertetangga. Petani hutan rakyat lebih mengutamakan relasi

sosial yang terjalin daripada finansial. Petani hutan rakyat lebih memilih

melakukan pertukaran sosial daripada pertukaran ekonomi sehingga sangat

mendukung dalam pengelolaan hutan rakyat secara partisipatif.

V. SARAN

Untuk memperkuat kapasitas adaptif, modal sosial masyarakat

Malleleng perlu diperluas jejaring melalui teknologi informasi dan komunikasi

menuju networking or bridging.

V. UCAPAN TERIMA KASIH

Terimakasih kepada Aciar Australia sebagai penyandang dana

penelitian, Dinas Kehutanan Bulukumba, para peneliti dan teknisi yang turut

memfasilitasi dan terlibat dalam penelitian ini.

VI. DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, S. (2013). Potensi dan Kekuatan Modal Sosial dalam Suatu

Komunitas. Socius, XII, 15-21.

Achmad, B., Diniyati, D., Fauziyah, E., Widyaningsih, T.S. (2015). Analisis

faktor-faktor penentu dalam peningkatan kondisi sosial ekonomi petani

hutan rakyat di Kabupaten Ciamis. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman,

11(3), 63-79.

Apriansah A., Sayamar, E., & Yulida, R. (2016). Peran modal sosial terhadap

keberdayaan petani karet di Desa Kuntu Kecamatan Kampar Kiri

Page 212: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Modal Sosial MasyarakatDalam Pengelolaan Hutan Rakyat …….. Evita Hapsari, Nurhaedah Muin, Achmad Rizal HB

197

Kabupaten Kampar. Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Pertanian

Universitas Riau, 3(2), 1-15.

Bisjoe, A. R, Nurhaedah, dan Hapsari, E. (2012). Kajian strategi optimalisasi

pemanfaatan lahan hutan rakyat di Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal

Sosek, 9(4), 216-228.

Dewi, I. N., Awang, S. A., Andayani, W., Suryanto, P. (2018). Karakteristik

petani dan kontribusi Hutan Kemasyarakatan (HKm) terhadap

Pendapatan Petani di Kulon Progo. Jurnal Ilmu Kehutanan, 12, 86-98.

Diniyati, D., Awang, S. A. (2010). Kebijakan penentuan bentuk insentif

pengembangan hutan rakyat di Wilayah Gunung Sawal, Ciamis dengan

Metoda AHP. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 7(2), 129-143.

Ethika, D., Purwanto, R. H., Senawi, & Masyhuri. (2014). Peranan petani

terhadap strategi pembangunan hutan rakyat di Bagian Hulu DAS

Logawa di Kabupaten Banyumas Jawa Tengah. Jurnal Manusia dan

Lingkungan, 21(3), 377-385.

Fathy, R. (2019). Modal sosial: Konsep, inklusivitas dan pemberdayaan

masyarakat. Jurnal Pemikiran Sosiologi, 6(1), 1-17.

Hapsari, E., Muin, N., & Bisjoe, A. R. H. (2018). Ragam sumber penghasilan

petani hutan rakyat untuk menunjang penghidupan Di Dusun Bunja

Kabupaten Bulukumba, dalam Prosiding Seminar Nasional Perhutanan

Sosial Tahun 2018 (159-166). Makassar: Balai Penelitian dan

Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar.

Inayah. (2012). Peranan modal sosial dalam pembangunan. Ragam Jurnal

Pengembangan Humaniora, 12(1), 43-49.

Kusumastuti, A. (2015). Modal sosial dan mekanisme adaptasi masyarakat

pedesaan dalam pengelolaan dan pembangunan infrastruktur.

Masyarakat: Jurnal Sosiologi, 20(1), 81-97.

Oktalina, S. N., Awang, S. A., Hartono, S., & Suryanto, P. (2016). Pemetaan

aset penghidupan petani dalam mengelola hutan rakyat di Kabupaten

Gunungkidul. Jurnal Manusia dan Lingkungan, 23(1), 58-65.

Sumirat, B., Muin, N., Bisjoe, A. R. H. (2015). The importance of identifying

social capital for strengthening farmer forest groups development in

Indonesia. XIV World Forestry Congress, Durban, South Africa, 7-11

September 2015.

Usman, S. (2018). Modal Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Widiarti, A., & Prajadinata, S. (2008). Karakteristik hutan rakyat pola kebun

campuran. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, V(2), 145-156.

Page 213: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Pertumbuhan dan Pemeliharaan Ulat Sutera …….. Andi Wildah et al.

199

Pertumbuhan dan Pemeliharaan Ulat Sutera (Bombyx mori L.) di Desa Rurukan 1, Kecamatan Tomohon Timur,

Kota Tomohon, Sulawesi Utara1

Sericulture at Rurukan 1 Village, East Tomohon District, Tomohon City, North Sulawesi

Andi Wildah2, Isdomo Yuliantoro2 dan Ramdana Sari3

ABSTRACT

According to altitude, temperature, humidity and average rainfall of Tomohon, this

site qualify as sericulture development and mulberry planting. This activity aimed

to determine the development of silkworms cultivated in the village of Rurukan 1,

Tomohon, North Sulawesi. Observation was conducted by observe the state of

larvae starting from the small caterpillar phase, the adult silkworm until pupate.

Other data observed were the cocoon's physical appearance. Observations

showed that silkworms succeed in snoring but the quantity does not meet the

recommended standards. This is caused by a various of variabel, among others,

the less maximal cocooning tools and disease attacks. Physically, the appearance

of cocoon is the same as the common, which is generally elongated round shape

and white. There are also some deformed defective cocoons with characteristic

brownish stains. The results of the observation are expected to be a

recommendation in considering North Sulawesi, especially Tomohon, to be

development area of natural silk activity.

Keywords: North Sulawesi, Tomohon, silkworm, cocoons

1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya

Pelestarian Sumber Daya Alam, diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado dan SEAMEO BIOTROP, Manado 24 Oktober 2018.

2 Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado Jl.Raya Adipura

Kelurahan Kima Atas Kecamatan Mapanget Kota Manado. 3 Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar; Jl.Perintis

Kemerdekaan Kelurahan Pai Kecamatan Biringkanya Kota Makassar; E-mail: [email protected].

Page 214: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

200

I. PENDAHULUAN

Sutera merupakan komoditas industri yang bernilai ekonomi tinggi.

Produksi kain sutera alam menjadi salah satu industri yang ideal

dikembangkan di Indonesia karena memiliki peluang pasar yang cukup besar,

mengingat minat masyarakat terhadap kain sutera cukup tinggi. Akan tetapi,

produksi benang sutera yang menjadi bahan baku pembuatan kain sutera

masih rendah dibandingkan dengan permintaan benang sutera maupun kain

sutera. Andikarya (2019) menyatakan bahwa kemampuan produksi kokon di

Indonesia hanya sebesar 250 ton (setara dengan 31,25 ton benang)

sedangkan kapasitas produksi industri benang mencapai 700 ton (setara

dengan 87,50 ton benang). Oleh karena itu, kokon sebagai bahan baku

industri benang masih kurang sekitar 450 ton tiap tahunnya.

Salah satu penyebab kurangnya pasokan bahan baku sutera adalah

minimnya industri yang mengembangkan ulat sutera di Indonesia. Akibatnya,

kain sutera harus didatangkan dari luar negeri. Pada dasarnya, banyak daerah

di Indonesia yang berpotensi untuk pengembangan ulat sutera karena

memiliki kondisi lingkungan yang sesuai untuk mendukung pertumbuhan ulat

sutera. Secara umum, ulat sutera mampu tumbuh optimal pada suhu 20-28°C

dengan kelembaban 70-85% (Sam Eun, 1998 dalam Nursita, 2011). Ulat

sutera merupakan hewan berdarah dingin (Poikilotherm) sehingga

produktivitasnya akan menurun apabila suhu lingkungan tinggi (Nursita,

2011). Salah satu daerah di Indonesia yang memiliki suhu dan kelembaban

yang cocok untuk pertumbuhan murbei (sebagai pakan ulat sutera) maupun

pemeliharaan ulat sutera itu sendiri adalah kota Tomohon. Mamesah et al.

(2017) mengatakan bahwa Tomohon memiliki tipe iklim D1 (iklim tropis)

berdasarkan peta iklim Oldeman. Mamesah et al. (2017) melanjutkan bahwa

suhu udara rata-rata sepanjang tahun memiliki variasi yang relatif kecil,

maksimum pada bulan Juli dan terendah pada bulan Januari dengan suhu

22,02°C - 22,8°C, serta kelembapan udara di atas 80%.

Tomohon pernah menjadi sentra penghasil kokon pada tahun 1990-an,

akan tetapi usaha budidaya tersebut tidak berkembang karena perusahaan

tempat petani menjual kokon berhenti beroperasi. Melihat besarnya potensi

Tomohon tersebut, maka Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan

Hidup dan Kehutanan Manado berusaha untuk menggairahkan kembali

penanaman murbei unggul dan pemeliharaan ulat sutera. Tujuan dari

kegiatan ini adalah untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan larva

ulat sutera di desa Rurukan 1, Tomohon, Sulawesi Utara.

Page 215: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Pertumbuhan dan Pemeliharaan Ulat Sutera …….. Andi Wildah et al.

201

II. METODOLOGI

A. Lokasi dan Waktu Pelaksanaan

Lokasi pengamatan penetasan telur dan perkembangan larva ulat sutera

berada di Kelurahan Rurukan 1, kecamatan Tomohon Timur, Kota Tomohon.

Tomohon berada pada ketinggian 700 - 800 m dari permukaan laut, suhu

dapat mencapai 30°C pada siang hari dan 23 - 24°C pada malam hari (Kolinug

et al., 2015). Kegiatan ini dilakukan pada bulan Mei-Juni 2018 di Demplot

Murbei Desa Rurukan 1 Kota Tomohon.

Gambar 1. Lokasi Pengembangan Murbei

B. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam kegiatan ini adalah telur ulat sutera

(Bombyx mori), kapur tohor, kaporit dan daun murbei. Alat yang digunakan

adalah sasag, bulu ayam, sprayer, parang, timbangan, karung bersih,

keranjang, kertas paraffin, kertas koran, jaring, ayakan, dan

thermohygrometer.

C. Prosedur Kerja

Pemeliharaan ulat sutera dilakukan dalam beberapa tahapan (Andadari

dan Kuntadi, 2014):

1) Persiapan ruangan pemeliharaan

2) Pengambilan dan penyimpanan daun sebagai pakan ulat sutera

Page 216: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

202

3) Inkubasi telur

4) Pemeliharaan ulat yang baru menetas (hakitate)

5) Pemeliharaan ulat kecil dan ulat besar

6) Pengokonan dan panen kokon.

Jadwal dan frekuensi pemberian pakan mengikuti Atmosoedarjo et al.,

(2000) yang meliputi jadwal pakan dan jumlah pakan yang diberikan pada

Instar I sampai V.

D. Analisis Data

Data dianalisis secara deskriptif. Metode deskriptif merupakan salah satu

metode penelitian yang memberikan gambaran atau lukisan secara sistematis,

aktual dan akurat terhadap suatu objek penelitian melalui data sampel atau

fakta-fakta sebagaimana adanya (Tanjung dan Nababan, 2016).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Usaha untuk mengembangkan ulat sutera di Tomohon membutuhkan

bibit yang didatangkan dari daerah lain. Hal ini disebabkan karena tidak

adanya suplai bibit di wilayah Sulawesi Utara. Sebanyak 1 box (25.000) bibit

ulat sutera dipesan dari perum perhutani Kabupaten Soppeng, Provinsi

Sulawesi Selatan. Bibit diterima di kantor BP2LHK Manado pada bulan Mei

2018 dan dibawa ke desa Rurukan 1, kota Tomohon, untuk dilakukan

pemeliharaan ulat sutera. Jenis bibit/telur ulat sutera yang dipelihara

merupakan faktor sumberdaya produksi penting yang mempengaruhi usaha

persuteraan alam dan kualitas produk yang dihasilkan (Harbi et al, 2015).

A. Persiapan ruangan pemeliharaan dan penyimpanan daun

sebagai pakan ulat sutera

Ruangan pemeliharaan larva ulat sutera terletak di lokasi kebun murbei,

desa Rurukan 1 dengan luas 0,6 ha. Pemilihan lokasi ini dilakukan untuk

memudahkan pengambilan daun murbei sebagai pakan ulat sutera. Ruangan

pemeliharaan berukuran 4 m x 3 m dan memiliki 2 rak pemeliharaan larva.

Sterilisasi ruangan dilakukan dengan menyemprot larutan kaporit (5 gram

kaporit dalam 1 liter air) di seluruh ruangan. Alat-alat yang digunakan juga

harus direndam atau disemprot dengan larutan kaporit sebelum digunakan.

Hal ini dilakukan karena ulat kecil sangat rentan terhadap serangan hama dan

penyakit sehingga kebersihan ruangan pemeliharaan harus benar-benar

diperhatikan. Pemasangan termometer dan hygrometer di dalam ruangan

penting dilakukan agar suhu dan kelembaban ruangan dapat dijaga.

Page 217: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Pertumbuhan dan Pemeliharaan Ulat Sutera …….. Andi Wildah et al.

203

Daun murbei yang digunakan sebagai pakan ulat sutera harus dalam

keadaan segar. Pengambilan daun diusahakan pada pagi atau sore hari ketika

udara sejuk. Tingkat ketuaan daun murbei yang dipetik disesuaikan dengan

stadia ulat sutera. Nurhaedah dan Bisjoe (2013) menyatakan daun yang masih

muda diberikan kepada ulat kecil setelah dirajang terlebih dahulu, sedangkan

daun yang sudah tua beserta tangkainya (dicampur dengan daun muda)

diberikan kepada ulat besar. Pemberian daun tua dan muda secara berselang-

seling dilakukan agar ulat besar mendapatkan pakan yang merata antara daun

pucuk dan daun tua. Daun murbei yang telah dipetik disimpan di dalam

keranjang dan dijaga agar tetap kering. Penyimpanan daun sebaiknya tidak

lebih dari satu hari karena akan berpengaruh terhadap kesegaran daun dan

nutrisi yang terkandung dalam daun juga dapat berkurang.

B. Inkubasi Telur Ulat Sutera

Inkubasi telur adalah penyimpanan telur di dalam ruangan dengan

pengaturan temperatur, kelembaban dan cahaya yang sama untuk semua

tempat. Tujuan inkubasi, yaitu agar telur dapat ditetaskan dengan baik dan

merata (Andadari, 2016). Telur ulat sutera diinkubasi di dalam box (kotak

penetasan), dan ditetaskan dalam ruangan dengan suhu, kelembaban, dan

cahaya yang dapat diatur. Pencahayaan yang diberikan yaitu 16 jam terang

dan 8 jam gelap. Fotoperiode berperan penting dalam mengontrol lama stadia

telur (pada sebagian besar spesies serangga) serta mempengaruhi proses

diapause serangga di daerah tropis dalam kondisi lingkungan yang berubah

sepanjang harinya (Wibowo et al., 2004). Selain fotoperiode, suhu dan

kelembaban udara juga dapat mempengaruhi perkembangan telur. Suhu

udara dapat berpengaruh terhadap kecepatan penetasan telur. Subrata

(2013) menyatakan bahwa suhu udara yang lebih tinggi akan mempercepat

terjadinya penetasan telur ulat sutera sedangkan suhu rendah menyebabkan

telur menjadi lambat untuk menetas. Salah satu hal penting yang harus

diperhatikan adalah suhu udara yang tinggi menyebabkan kelembaban udara

menjadi rendah. Kelembaban udara yang rendah dapat menyebabkan

kematian embrio telur karena kekurangan air sedangkan kelembaban udara

yang tinggi akan menghambat penetasan telur (Atmosoedarjo et al., 2000).

Oleh karena itu, untuk memperoleh hasil penetasan telur yang seragam dan

optimum, maka kondisi suhu dan kelembaban udara harus stabil selama

inkubasi. Suhu ruangan dipertahankan pada suhu 24 - 25oC dan kelembaban

75 - 85% (Nurjayanti, 2011). Untuk menjaga kelembaban 85%, telur harus

ditempatkan di atas kain basah.

Page 218: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

204

Telur merupakan fase awal ulat sutera yang cukup rentan terhadap

perubahan lingkungan di sekitarnya. Oleh karena itu, kondisi ruangan inkubasi

harus tetap terkontrol. Umumnya inkubasi dilakukan selama 10 hari sampai

telur menetas secara seragam (Andadari, 2016). Akan tetapi, proses

pengiriman telur dari Kabupaten Soppeng ke Tomohon yang membutuhkan

waktu beberapa hari menyebabkan telur yang berada di kotak penetasan

harus selalu diamati sampai terdapat titik biru pada permukaan telur

(menandakan bahwa telur akan segera menetas). Kotak penetasan kemudian

ditutup dengan kain hitam dan lampu ruangan dimatikan selama 2 hari.

Perlakuan penggelapan dan penerangan pada telur yang diinkubasi dilakukan

setelah muncul titik biru pada permukaan telur (Nurhaedah dan Bisjoe, 2013).

Hal ini dilakukan agar telur dapat menetas secara serentak sehingga

diharapkan ukuran ulat dapat seragam (Nurjayanti, 2013). Satu hari sebelum

menetas, telur berubah menjadi warna biru. Pada keesokan harinya, telur

mulai menetas satu per satu, namun belum dapat dipindahkan ke rak

pemeliharaan sampai telur menetas semuanya. Apabila telur yang menetas

sudah banyak maka penutup dibuka dan ruangan dibuat terang agar

penetasan dapat terjadi serempak.

C. Pemeliharaan Larva Ulat Sutera

1. Pemeliharaan Ulat Kecil

Pengurusan ulat yang baru menetas disebut hakitate. Ulat yang baru

menetas berwarna kehitaman dan badannya tertutup bulu. Hari kedua setelah

penetasan menunjukkan badan ulat mulai berwarna cokelat dan kepala

berwarna hitam (Gambar 2). Andadari et al. (2013) menambahkan bahwa

kondisi tubuh ulat memasuki hari kedua akan berubah menjadi gemuk,

berwarna kehijauan dan rambutnya seolah-olah rontok. Ulat yang berada di

rak pemeliharaan memasuki fase instar I yang berlangsung selama 4 hari. Hal

ini sesuai dengan Nurjayanti (2011) yang menyatakan bahwa instar I

merupakan fase ketika ulat berumur 1-4 hari. Penentuan umur ulat pada tiap

tahap perkembangannya tidak selalu sama, tergantung pada suhu dan

kelembaban daerah serta kualitas daun murbei yang diberikan.

Page 219: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Pertumbuhan dan Pemeliharaan Ulat Sutera …….. Andi Wildah et al.

205

A B

Gambar 2. (A) pemindahan ulat yang baru menetas ke rak pemeliharaan; (B)

ulat yang berumur 2 hari setelah menetas (instar I)

Pada saat hakitate, ulat kecil ditaburi campuran kaporit dan kapur

menggunakan saringan agar terhindar dari serangan penyakit. Hal tersebut

dilakukan sebelum pemberian pakan untuk pertama kalinya. Nurjayanti

(2011) menyatakan bahwa desinfeksi dilakukan pada ulat yang telah berganti

kulit dengan menaburi tubuh ulat menggunakan campuran kaporit dan kapur

(Satu boks ulat membutuhkan 100 gram serbuk campuran, terdiri dari 10

gram kaporit dan 90 gram kapur).

Pemberian makan dilakukan untuk pertama kalinya pada hari kedua

setelah menetas (Pukul 09.00 pagi). Hal ini dilakukan karena telur baru

menetas semua pada hari kedua. Pakan ulat sutera yang digunakan adalah

daun murbei varietas campuran yang segar dan kering. Murbei memiliki sifat

daun yang tidak terlalu keras serta mengandung semua zat yang dibutuhkan

untuk pertumbuhan ulat sutera (kaya kandungan air, karbohidrat, protein)

sehingga mampu mempercepat pertumbuhan ulat ke instar berikutnya

(Nursita, 2011). Pertumbuhan, perkembangan dan reproduksi larva

tergantung dari kualitas dan kuantitas pakan yang dikonsumsi. Pemberian

makan dilakukan berdasarkan pedoman Atmosoedarjo et al. (2000). Ulat

diberi makan sebanyak 4 kali sehari. Daun yang digunakan sebagai pakan ulat

kecil adalah daun murbei berupa tunas muda sampai daun kelima dan

keenam.

Page 220: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

206

Gambar 3. Proses pemberian pakan ulat kecil (A) pengambilan daun murbei;

(B) daun murbei dirajang dan ditimbang; (C) pemberian pakan

(daun murbei yang telah dirajang) ke ulat; (D) ulat yang sedang

makan ditutup menggunakan kertas paraffin

Daun-daun murbei untuk ulat kecil dirajang kecil-kecil sebelum diberikan

kepada ulat agar ulat yang masih kecil mudah memakannya. Daun murbei

yang telah dirajang kemudian ditaburkan di atas ulat kecil tersebut (Gambar

3). Ulat yang sedang makan ditutup menggunakan kertas paraffin. Ulat akan

mengalami dormansi (tidur) selama ± 24 jam pada setiap akhir fase instar

dan akan mengalami pergantian kulit (pemberian pakan dikurangi ketika ulat

tidur) (Nurjayanti, 2011).

Setelah pemberian pakan yang pertama kali, terlihat beberapa ulat kecil

mati. Hal ini disebabkan karena ketidakhati-hatian yang dilakukan saat

pemberian desinfektan pada tubuh ulat. Pada dasarnya, pemberian

desinfektan pada tubuh ulat penting dilakukan untuk melindungi ulat dari

serangan hama dan penyakit. Akan tetapi, pemberian desinfektan yang tidak

hati-hati dapat menyebabkan desinfektan tersebut dapat tercampur pada

pakan dan ikut termakan oleh ulat tersebut. Untuk meminimalisir

kemungkingan tersebut, maka desinfektan diberikan secara tipis-tipis pada

tubuh ulat (bisa menggunakan saringan).

(A) (B)

(C) (D)

Page 221: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Pertumbuhan dan Pemeliharaan Ulat Sutera …….. Andi Wildah et al.

207

Fase instar II dan III juga umumnya berlangsung selama empat hari

dengan pemberian pakan sebanyak empat kali sehari (pagi, siang, sore, dan

malam). Banyaknya pakan yang diberikan tidak mesti terpaku pada pedoman,

namun bisa dikondisikan dengan keadaan ulat. Apabila sudah tiba pemberian

pakan selanjutnya namun pakan sebelumnya belum habis, maka jumlah

pakan berikutnya dapat dikurangi. Sisa pakan yang sudah layu dibersihkan

dan diganti dengan makanan yang baru. Pada fase ulat kecil, pembersihan

pada sisa pakan agak sulit dilakukan karena ukuran ulat yang masih kecil dan

daun murbei yang diberikan pun berbentuk rajangan kecil-kecil. Semakin

tinggi tahap instar, semakin banyak pakan yang dikonsumsi, karena waktu

makan semakin panjang dengan bertambahnya tahapan instar. Jumlah daun

yang dikonsumsi ulat berangsur angsur bertambah, sesuai dengan

perkembangan hidupnya (Rahma, 2017).

Widyaningrum (2009) menyatakan bahwa frekuensi pemberian pakan

yang ideal dengan porsi yang tepat merupakan hal utama yang harus

diperhatikan untuk meningkatkan efisiensi pakan serta menekan jumlah

pakan yang terbuang. Frekuensi pemberian pakan yang dilakukan lebih sering

menyebabkan ketersediaan pakan selalu dalam kondisi segar. Hal ini

diharapkan nafsu makan ulat sutera meningkat dan pakan yang disediakan

selalu habis. Kaomini (2002) dalam Andadari dan Irianto (2011) menyebutkan

bahwa daun murbei sebagai pakan mempunyai pengaruh yang sangat besar

tidak hanya terhadap nutrisi tetapi terhadap persentase benang dan kualitas

kokon.

Tingkat ketuaan daun juga merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi produktivitas ulat. Ulat yang diberi pakan daun yang terlalu

tua akan memiliki masa stadium yang lebih lama dibanding ulat yang diberi

pakan daun tidak terlalu tua. Oleh karena itu, pemanenan daun berdasarkan

letak daun pada batangnya sangat penting untuk diperhatikan

(Widyaningrum, 2009).

2. Pemeliharaan Ulat Besar

Ulat besar adalah ulat yang mencapai instar IV (12-13 hari) sampai akhir

instar V (18-20 hari). Fase instar IV - V ulat sutera memerlukan perhatian

lebih karena kebutuhan pakan pada fase ini mencapai puncaknya. Kaomini

(2002) dalam Andadari dan Irianto (2011) mengungkapkan bahwa ulat sutera

pada fase instar IV-V membutuhkan pakan hampir 90% dari total kebutuhan

pakan seluruh fase instar. Pakan yang diberikan berupa daun murbei utuh

(dapat diberikan beserta rantingnya) sehingga lebih mudah dibersihkan dan

Page 222: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

208

dipisahkan antara daun yang sudah layu dan masih segar. Daun harus

dipastikan segar dan bebas dari penyakit (seperti instar sebelumnya).

Nurjayanti (2011) menambahkan pemberian pakan pada ulat besar

menggunakan daun tua berumur 2,5 - 3 bulan setelah pemangkasan dan

diberikan bersama rantingnya (daun dan ranting tidak perlu dipotong terlebih

dahulu, cukup diletakkan secara bolak-balik di atas ulat sutera). Pemberian

pakan untuk instar IV dilakukan empat kali sehari, yaitu pagi, siang, sore, dan

malam hari. Sedangkan pada instar V pakan diberikan lebih sering, yaitu 4 -

5 kali sehari.

Ulat sutera membutuhkan banyak protein untuk mempercepat

pertumbuhan kelenjar sutera. Kelenjar tersebut berfungsi sebagai penghasil

cairan untuk membuat kokon. Protein diperoleh dari daun murbei yang

digunakan sebagai pakan. Nursita (2011) menyatakan daun murbei yang

berkualitas mengandung protein, karbohidrat, gula, pati, serat kasar, garam

organik (phosphat, kalsium dan kalium), vitamin serta bahan mineral lainnya

yang mampu mendukung pertumbuhan ulat sutera.

Penelitian yang dilakukan oleh Widyaningrum (2009) menunjukkan

bahwa kandungan protein pada daun murbei lembar 7-8 adalah 19,64%,

lembar 5 - 6 sebesar 18,41% dan lembar 3 - 4 sebesar 16,88%. Nursita (2011)

menyatakan bahwa pemeliharaan ulat sutera dewasa (instar IV dan V)

membutuhkan daun murbei yang mengandung protein tinggi dan kandungan

air yang rendah. Oleh karena itu, kandungan protein dalam pakan yang

semakin tinggi menyebabkan kelenjar sutera yang dapat ditimbun dalam

tubuh ulat sutera pun semakin banyak (menjelang pembentukan

kepompong). Maka tingkat ketuaan dan kesegaran daun perlu diperhatikan.

Memasuki fase ulat besar, banyak ulat diduga terserang penyakit ditandai

dengan ciri mengeluarkan cairan bau dan tubuh yang kecil. Esnawan (2015)

menyatakan bahwa ulat dengan ciri tersebut diindikasikan terserang bakteri.

Nuraeni (2016) menambahkan penularan penyakit dapat melalui kotoran yang

menumpuk di sasag, daun yang terkontaminasi bakteri, kondisi pemeliharaan

yang lembab dan pemberian pakan menggunakan daun basah. Ulat yang sakit

dapat menularkan penyakit yang sama ke ulat yang lainnya dan pada kegiatan

ini terdapat cukup banyak ulat yang punya gejala yang sama. Diduga ulat-

ulat tersebut semuanya terserang bakteri. Menurut Nuraeni (2016), meskipun

bibit atau telur yang digunakan terbebas dari patogen sebagai sumber infeksi

utama, akan tetapi sumber infeksi lain dari lingkungan seringkali sulit

dihindari. Lingkungan pemeliharaan dapat menjadi sumber infeksi sekunder

Page 223: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Pertumbuhan dan Pemeliharaan Ulat Sutera …….. Andi Wildah et al.

209

apabila pada pemeliharaan ulat sutera sebelumnya terdapat sumber infeksi

dan disinfeksi ruangan serta peralatan pemeliharaan kurang diperhatikan.

Desinfeksi ruangan dan tubuh ulat secara berkala menjadi salah satu

solusi untuk meminimalisir serangan penyakit pada larva ulat sutera. Kotoran

ulat dan sisa-sisa daun yang telah kering juga harus selalu dibersihkan.

Kondisi daun murbei saat akan diberikan kepada ulat juga harus dalam

keadaan baik. Selain itu, ketika ditemukan ada ulat yang sakit dan mati

sebaiknya segera dipisahkan dan ruangan segera disterilisasi menggunakan

campuran kaporit dengan kapur dengan perbandingan 1 : 9 agar ulat yang

sehat tidak tertular penyakit. Cholifah et al. (2012) juga menyatakan bahwa

mortalitas ulat juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti seringnya ulat

bersentuhan dengan aktivitas peneliti, misalnya saat penggantian pakan,

pembersihan sarang dan penimbangan. Selain itu, kondisi lingkungan yang

dekat jalan raya, serta musim panen tembakau juga berpengaruh terhadap

kualitas udara tempat pemeliharaan. Berbeda dengan hewan ternak yang

mempunyai auto termo regulator seperti sapi, domba dst. yang bisa mengatur

sendiri suhu organ tubuhnya, terutama organ dalam, ulat sutera merupakan

hewan berdarah dingin (poikiloterm) sehingga suhu tubuhnya sangat

tergantung dari lingkungannya (Cholis, 2014).

Fase akhir instar IV ditandai dengan ulat tidur atau berganti kulit.

Keesokan harinya, ulat sudah memasuki fase instar V. Pada akhir fase ini, ulat

sudah mulai akan mengokon. Kokon berasal dari air liur yang keluar dari mulut

ulat sutera yang setelah kering akan menjadi serat-serat dan berfungsi

sebagai tempat perlindungan diri dari gangguan musuh. Pembentukan kokon

berlangsung selama 2 - 3 hari. Perlakuan pada instar V masih dilakukan sesuai

pedoman dari Atmosoedarjo et al. (2000), dimana instar V terdiri atas 10 hari

dengan frekuensi pemberian pakan sebanyak empat kali sehari. Biasanya ulat

mulai mengokon pada hari kedelapan. Ciri yang diamati ketika ulat sudah siap

mengokon adalah tubuh ulat mulai transparan dan setelah mulai mengokon,

ulat mulai berputur-putar di tempat pengokonan dan membentuk serat

sutera. Alat pengokonan yang digunakan dalam kegiatan ini berbentuk stik.

Pada saat ulat menujukkan ciri-ciri mengokon, alat pengokonan stik diletakkan

di rak dan ulat akan mencari pegangan dan mulai berputar-putar.

Page 224: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

210

Gambar 4. Tahap pengokonan: (A) ulat suera yang sudah matang dan siap

mengokon; (B) ulat mengokon pada alat pengokonan berbentuk

stik; (C) kokon yang terbentuk; (D) penjemuran kokon

D. Pengokonan dan panen kokon

Proses pengokonan pada umumnya berlangsung 2 - 3 hari. Pengokonan

idealnya menunggu hingga ulat naik ke alat pengokonan dengan sendirinya,

namun dalam kegiatan ini beberapa ulat dipindahkan secara manual ke alat

pengokonan karena ulat matang masih enggan berpindah ke tempat

pengokonan. Panen kokon dilakukan 6 atau 7 hari setelah mengokon.

Persentase keberhasilan pengokonan dalam pemeliharaan ini mencapai

sekitar 70%. Dijumpai ada 10% kokon cacat setelah diambil sampel kokon

sebanyak 1 kg. Kokon cacat yang dijumpai bernoda luar, bentuk abnormal

tidak seperti kokon pada umumnya dan kokon ganda. Beberapa kokon tidak

berhasil dibuat karena larva berusaha mencari tempat yang lain untuk

mengokon. Seringnya larva berpindah-pindah menyebabkan serat sutera

tersebar ke berbagai tempat sehingga kokon yang terbentuk tidak sempurna.

Menurut Estetika dan Endrawati (2018) kokon cacat dapat juga disebabkan

karena waktu panen yang kurang tepat, waktu pengokonan yang kurang tepat

ataupun ulat yang sedang mengokon mati sehingga mengotori kokon bagian

dalam. Kokon bernoda luar disebabkan karena kokon terkena kotoran atau

ulat mati di bagian luarnya sedangkan kokon ganda merupakan kokon yang

dibentuk oleh dua ekor pupa secara bersama-sama. Kokon cacat dan normal

(A) (B)

(C) (D)

Page 225: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Pertumbuhan dan Pemeliharaan Ulat Sutera …….. Andi Wildah et al.

211

disajikan pada Gambar 5. Syukur (2011) juga melaporkan bahwa kualitas

kokon ditentukan oleh banyak faktor seperti sifat keturunan, jenis ulat,

makanan, iklim, teknik pemeliharaan dan sebagainya.

.

(A) (B)

Gambar 5. (A) Kokon cacat (B) Kokon normal

Kokon normal yang dihasilkan pada kegiatan ini mempunyai fisik

berbentuk bulat memanjang dan berwarna putih dengan permukaan kasar.

Sebanyak 20 sampel kokon diambil secara acak kemudian diukur diameter

dan bobotnya. Diameter kokon rata-rata adalah 1,58 cm sedangkan bobot

kokon rata-rata adalah 0,46 gr. Bobot yang diambil adalah bobot kering dan

masih terdapat pupa di dalam kokon. Berat tersebut masuk dalam kelas D.

Klasifikasi berat kokon berada antara 0,9 s/d 2 gram. Apabila berat kokon

mencapai 2 gram atau lebih maka kokon yang diuji masuk dalam kelas A

(Atmosoedarjo et al, 2000).

E. Produk Lain Dari Kokon

1. Bahan Kerajinan Tangan

Kokon tidak hanya dapat dijadikan sebagai bahan baku kain sutera, akan

tetapi bisa juga dibuat menjadi kerajinan tangan dan souvenir yang menarik.

Masyarakat saat ini lebih kreatif, dimana pemanfaatan kokon tidak hanya

terbatas sebagai bahan baku kain sutera namun juga dapat diolah menjadi

kerajinan tangan yang dapat menambah penghasilan. Kokon yang cacat dapat

dibuat kerajinan tangan seperti topi (Pikri et al., 2018). Limbah dari

pertenunan kain sutera juga dapat dimanfaatkan menjadi lembaran kain lain

dengan menggunakan teknik makrame yaitu teknik menyimpul dengan kedua

ujung benang saling mengunci satu sama lain. Teknik tersebut dapat

menghasilkan berbagai produk fashion, mulai dari busana pokok, milineris

hingga aksesoris fashion (Hady dan Widiawati, 2012).

Page 226: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

212

2. Produk Kosmetik Dan Farmasi

Kepompong ulat sutera tersusun oleh 70 - 80% fibroin, 20 - 30% serisin,

0,4 - 0,8% materi lilin dan 1,2 - 1,5% karbohidrat (Rustam et al., 2017).

Kandungan serisin pada kokon dapat bermanfaat bagi kesehatan kulit. Serisin

mempunyai fungsi seperti collagen dan mengandung protein. Oleh karena itu

kokon berpotensi diolah menjadi facial wajah, krim anti kerutan dan penuaan

dini serta sebagai krim penyembuh luka. Kokon yang dapat diolah tidak hanya

yang normal tapi juga kokon yang cacat.

IV. KESIMPULAN

Kegiatan penetasan dan pemeliharaan larva ulat sutera (Bombyx mori L.)

yang dilakukan mempunyai hasil yang baik jika dilihat dari ketahanan hidup

ulat sutera. Ulat sutera dapat bertahan hidup hingga menghasilkan kokon

walaupun banyak ulat yang mati ketika memasuki fase ulat besar. Hal ini

disebabkan karena kurangnya ketelitian dalam pemeliharaan ulat sutera.

Meskipun demikian, pada dasarnya iklim kota Tomohon sesuai dengan

kebutuhan hidup ulat sutera sehingga mampu mendukung pertumbuhan dan

perkembangan larva ulat sutera. Oleh karena itu, diharapkan kota Tomohon

dapat menjadi pusat budidaya dan pengembangan persuteraan alam.

V. SARAN

Hasil yang didapatkan masih dapat dioptimalkan dengan memberikan

bimbingan atau penyuluhan yang lebih intensif kepada petani tentang teknik

pemeliharaan ulat sutera yang tepat. Tenaga kerja yang dilibatkan dalam

pemeliharaan ulat sutera sebaiknya berjumlah tiga orang untuk memudahkan

ketika pengambilan dan pemberian pakan mulai pagi hingga malam hari.

Perlunya sosialisasi pemanfaatan produk lain dari kokon agar dapat

menambah penghasilan dari petani apabila kokon yang dihasilkan tidak terlalu

banyak dan terdapat kokon yang tidak dapat dijadikan benang (kokon cacat).

Iklim kota Tomohon sesuai dengan kebutuhan hidup ulat sutera sehingga

mampu mendukung pertumbuhan dan perkembangan larva ulat sutera. Oleh

karena itu, diharapkan kota Tomohon dapat menjadi pusat budidaya dan

pengembangan persuteraan alam.

VI. UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada instansi penulis Balai

Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK)

Manado yang telah mendanai kegiatan ini. Penulis juga berterimakasih kepada

petani ulat sutera Meydi Kalalo atas keikhlasan dan kesabaran dalam

Page 227: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Pertumbuhan dan Pemeliharaan Ulat Sutera …….. Andi Wildah et al.

213

melaksanakan pemeliharaan murbei dan ulat sutera serta kepada peneliti,

teknisi dan rekan staf BP2LHK Manado yang telah membantu kegiatan ini

sehingga dapat terlaksana dengan baik.

VII. DAFTAR PUSTAKA

Andadari, L. (2016). Pemilihan jenis hibrid ulat sutera yang optimal untuk

dikembangkan di dataran tinggi dan/atau dataran rendah. Jurnal

Penelitian Hutan Tanaman, 13(1), 13-21.

Andadari, L. & Irianto, R. S. B. (2011). Pengaruh pupuk lambat larut dan daun

tanaman murbei bermikoriza terhadap kualitas kokon ulat sutera. Jurnal

Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, 8(2), 119-127.

Andadari, L. dan Kuntadi. (2014). Perbandingan Hibrid Ulat Sutera (Bombyx

mori L.) Asal Cina dengan Hibrid Lokal di Sulawesi Selatan. Jurnal

Penelitian Hutan Tanaman, 11(3), 173-183.

Andikarya, R. O. (2019). Agribisnis Persuteraan Alam di Desa Pasir Sarongge

Kecmatan Ciherang Kabupaten Cianjur. Composite : Jurnal Ilmu

Pertanian, 1(1), 1–12.

Atmosoedarjo, S., Kartasubrata, J., Kaomini, M., Saleh, W., & Murdoko, W.

(2000). Sutera Alam Indonesia. Jakarta: Yayasan SaranaWana Jaya.

Cholifah, N., Widiyaningrum, P., dan Indriyani, D. R. (2012). Pertumbuhan,

viabilitas dan produksi kokon ulat sutera yang diberi pakan buatan

berpengawet. Biosaintifika : Journal of Biology and Biology Education,

4(1), 47-52.

Cholis, N. (2014). Studi penampilan produksi ulat sutera F1 hibrid hasil

persilangan ras jepang dan ras cina yang berasal dari Pusat Pembibitan

Soppeng dan Temanggung. Ternak Tropika : Journal of Tropical Animal

Production, 15(2), 72-76.

Estetika, Y. dan Endrawati, Y. C. (2018). Produktivitas ulat sutera (Bombyx

mori L.) Ras BS-09 di daerah tropis. Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi

Hasil Peternakan, 6(3), 104-112.

Esnawan, A. A. (2015). Isolasi dan Identifikasi Bakteri Saluran Reproduksi

Imago Betina Ulat Sutera Liar Attacus atlas L. (Lepidoptera :

Saturniidae). Skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Kedokteran Hewan

Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Hady, D. C. dan Widiawati, D. (2012). Eksplorasi sisa pertenunan serat sutera

dengan teknik makrame pada produk fashion. Jurnal Tingkat Sarjana

Seni Rupa dan Desain, 1(1), 1-9.

Page 228: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

214

Harbi, J., D. R. Nurrochmat & Kusharto, C. M. (2015). Pengembangan usaha

persuteraan alam Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan. Jurnal Risalah

Kebijakan Pertanian dan Lingkungan : Rumusan Kajian Strategis

Pertanian dan Lingkungan, 2(2), 128-136.

Kolinug, M. S., Ilat, V., & Pinatik, S. (2015). Analisis pengelolaan aset tetap

pada Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kota

Tomohon. Jurnal EMBA : Jurnal Riset Ekonomi, Manajemen, Bisnis dan

Akuntansi, 3(1), 818-830.

Mamesah, M. M., Olfie, L. S. B. & Baroleh, J. (2017). Administrasi Kelompok

Wanita Tani (KWT) di Kecamatan Tomohon Selatan Kota Tomohon. Agri-

Sosioekonomi : Jurnal Ilmiah Sosial Ekonomi Pertanian Unstrat, 13(3A),

203-214.

Nuraeni, S. 2016. Deteksi molekuler patogen ulat sutera (Bombyx mori. L)

pasca epidemi penyakit pebrin (Tahun 2010-2014). Biowallacea : Jurnal

Ilmiah Ilmu Biologi, 2(3), 162-167.

Nurhaedah, M. & Bisjoe, A. R. H. (2013). Budidaya Ulat Sutera di Desa Sudu,

Kecamatan Alla, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Jurnal

Penelitian Hutan Tanaman, 10(4), 229-239.

Nurjayanti, E. D. (2011). Budidaya ulat sutera dan produksi benang sutera

melalui sistem kemitraan pada Pengusahaan Sutera Alam (PSA) Regaloh

Kabupaten Pati. Mediagro : Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian, 7(2), 1-10.

Nursita, I. W. (2011). Perbandingan produktifitas ulat Sutra dari dua tempat

pembibitan yang berbeda pada kondisi lingkungan pemeliharaan panas.

Jurnal Ilmu-ilmu Peternakan, 21(3), 11-17.

Pikri, F., Sar’an, M., & Syafei, A. (2018). Optimalisasi pemberdayaan

masyarakat berbasis nilai melalui pabrik kain sutra sabilulungan di

Kabupaten Tasikmalaya. Jurnal KELOLA : Jurnal Ilmu Sosial, 1(2), 38-63.

Prihatin, J. (2009). Pemeliharaan dan Pengokonan Ulat Sutera (Bombyx mori

L) menggunakan Seriframe Standard dan Seriframe Modifikasi. Jurnal

Bioedukasi, 7(1).

Rahma, F., Moerfiah, & Andadari, L. (2017). Pertumbuhan dan kualitas kokon

ulat sutera (Bombyx mori L.) dengan pemberian pakan daun murbei

(Morus cathayana) dan daun murbei hibrid SuLi-01. Jurnal Online

Mahasiswa Bidang Biologi, 3(3).

Rustam, A., Tatengkeng, F., Fahruddin, A. M., & Djais, A. I. (2017). Kombinasi

perancah silk-fibroin dari kepompong ulat sutera (Bombyx mori) dan

Page 229: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Pertumbuhan dan Pemeliharaan Ulat Sutera …….. Andi Wildah et al.

215

konsentrat platelet sebagai inovasi terapi regenerasi tulang alveolar.

Makassar Dental Journal, 6(3), 107-115.

Subrata, D. M. (2013). Rancang bangun incubator dengan suhu dan

kelembaban udara terkendali untuk penetasan telur ulat sutera. Jurnal

Keteknikan Pertanian, 1(1), 85-91.

Syukur, U. (2011). Pengaruh rutin terhadap konsumsi, pertumbuhan dan

mutu kokon Bombyx mori L. Jurnal Eksakta, 2, 30-35.

Tanjung, H. S. & Nababan, S. A. (2018). Pengaruh penggunaan metode

pembelajaran bermain terhadap hasil belajar matematika siswa materi

pokok pecahan di Kelas III SD Negeri 200407 Hutapadang. Bina Gogik:

Jurnal Ilmiah Pendidikan Guru Sekolah Dasar, 3(1), 35-42.

Wibowo, I. H., Astirin, O. P., dan Budiharjo, A. (2004). Pengaruh suhu dan

fotoperiode terhadap lama stadia telur ulat sutera emas (Cricula

trifenestrata Helf.). BioSMART: Journal of Biology Science, 6(1), 71-74.

Widyaningrum. (2009). Growth performances an cocoon production of

silkworm (Bombyx mori) on different frequency of feeding and age

leaves. Berkala Penelitian Hayati: Journal of Biological Researchers, 15,

17-20.

Page 230: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Pengaruh Tempat dan Waktu Penyimpanan …….. Jafred E. Halawane dan Arif Irawan

217

Pengaruh Tempat dan Waktu Penyimpanan Terhadap Keberhasilan Daya Kecambah Benih Gaharu (Gyrinops

versteegii (Gilg.) Domke)1

The Effect of Storage Duration and Storage Tecnik of Seed To Survival on Gaharu (Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke)

Jafred E. Halawane2 dan Arif Irawan2

ABSTRACT

Agarwood is one of the types of non-timber forest products that is increasingly

rare with high economic value. One of the supporting factors of aloes cultivation

efforts is the proper handling of aloes seeds. Aloes seeds are categorized into

recalcitrant seeds, Information on how to handle seeds is important in

supporting efforts to cultivate agarwood-producing plants. The purpose of this

study was to determine the effect of storage space and time on the success of

agarwood seed germination, This study uses a completely randomized design

with factorial patterns using two factors as treatment, The first factor is the

storage time (7 days, 14 days, and 21 days) and the second factor is way

storage (Stored in the refrigerator with fruit flesh and placed in transparent

plastic, kept in the refrigerator with fruit flesh without plastic, stored at room

temperature with fruit flesh and kept in the refrigerator with peeled flesh). The

results showed that the best storage treatment method is the results showed

that the best storage treatment method is the treatment is kept at room

temperature by maintaining the pulp and placed in plastic while the most

appropriate storage time is 7 days.

Keywords: agarwood, sprouts Power, storage

1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya

Pelestarian Sumber Daya Alam, diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado dan SEAMEO BIOTROP, Manado 24 Oktober 2018.

2 Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado; Jl. Raya

Adipura, Kel. Kima Atas, Manado.95259. Sulawesi Utara; Telp. (0431)7242949; Email: [email protected].

Page 231: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

218

I. PENDAHULUAN

Tanaman gaharu (Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke) merupakan salah

satu tumbuhan dari anggota family Thymeleceae sebagai penghasil hasil

hutan bukan kayu (HHBK) berupa damar wangi atau gaharu dengan nilai

ekonomi yang tinggi.

Gaharu yang dihasilkan dapat terbentuk secara alamiah (gaharu alam)

dan melalui campur tangan manusia atau gaharu hasil budidaya, dengan

kualitas dan harga jual yang berbeda. Gaharu alam memiliki kualitas dan

harga jual yang lebih tinggi dibandingkan dengan gaharu hasil budidaya. Hal

ini menyebabkan perburuan terhadap hasil gaharu alam tidak terkendali di

habitat alaminya sehingga tejadi penurunan potensi dan kelangkaan

terhadap tubuhan penghasil gaharu. Mengantisipasi hal tersebut salah satu

cara dan tindakan yang perlu dilakukan adalah melalui perbanyakan

tanaman atau budidaya.

Budidaya terhadap tanaman penghasil gaharu dapat dilakukan secara

generatif maupun vegetatif. Tindakan budidaya secara generatif dapat

dilakukan dengan menggunakan benih atau melalui pemanfaatan cabutan

alam. Tindakan budidaya tanaman penghasil gaharu dapat berhasil secara

maksimal apabila didukung oleh beberapa faktor seperti benih yang

digunakan, dan lingkungan tempat tumbuh yang sesuai dan silvikultur yang

tepat.

Benih tanaman penghasil gaharu termasuk dalam kategori benih

rekalsitran yang berarti benih tersebut tidak dapat disimpan dalam waktu

yang lama karena dapat menurunkan viabilitas atau daya kecambah dari

benih tersebut (Rahmanto dan Suryanto, 2013). Viabilitas benih selama

penyimpanan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal

mencakup sifat genetik, tumbuh dan vigor, kondisi kulit dan kadar air benih

awal. Faktor eksternal antara lain kemasan benih, komposisi gas, suhu dan

kelembapan ruang simpan (Copeland & McDonald, 2002). Benih rekalsitran

akan mengalami penuaan dan kemunduran benih selama penyimpanan.

Kemunduran benih rekalsitran ditandai dengan penurunan daya

berkecambah (Siahaan, 2017). Berkaitan dengan permasalahan tersebut

dibutuhkan perlakuan dan tindakan yang tepat agar kerberhasilan

penanganan benih tanaman penghasil gaharu dapat diperoleh secara

maksimal. Faktor yang berperan penting dalam memaksimalkan

keberhasilan penanganan benih tanaman penghasil gaharu adalah kualitas

benih dan waktu semai yang tepat. Benih berkualitas adalah benih yang

telah masak secara fisiologis, bebas dari hama dan penyakit serta ditangani

Page 232: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Pengaruh Tempat dan Waktu Penyimpanan …….. Jafred E. Halawane dan Arif Irawan

219

secara tepat setelah dilakukan pemanenan, seperti proses ekstraksi dan

penyimpanan benih apabila belum dilakukan penyemaian di persemaian.

Penyimpanan benih adalah suatu kegiatan atau perlakuan yang

dilakukan untuk mempertahankan viabilitas benih dalam periode simpan

tertentu. Konsep Steinbaurer (1958). Penyimpanan benih yang terlalu lama

dapat menyebabkan kemunduran benih atau disebut dengan “Deteriorasi

Benih”. Kemunduran benih dapat diakibatkan oleh faktor genetis benih dan

faktor lingkungan. kemunduran benih oleh faktor genetis dikenal sebagai

proses deteriorasi yang kronologis, sedangkan deteriorasi akibat perlakuan

penyimpanan benih yang tidak sesuai dengan persyaratan penyimpanan

benih atau terjadi penyimpangan selama pembentukan dan processing benih

dikenal sebagai deteriorasi faktor lingkungan. Perlakuan yang terbaik pada

benih ialah menanam benih atau disemaikan segera setelah benih-benih itu

dikumpulkan atau dipanen, atau mengikuti cara alamiah, namun hal ini tidak

selalu mungkin karena perubahan musim tidak selalu sama, untuk itu

penyimpanan benih perlu dilakukan untuk menjamin ketersediaan benih saat

musim tanam tiba. Tujuan penyimpanan adalah untuk menjaga biji agar

tetap dalam keadaan baik (Viabilitas dan Vigor tinggi), melindungi biji dari

serangan hama dan jamur, dan mencukupi persediaan biji selama musim

berbuah tidak dapat mencukupi kebutuhan benih. Vigor dicerminkan oleh

vigor kekuatan tumbuh dan daya simpan benih (Tustiyani, Pratama, &

Nurdiana, 2016). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh lama

waktu, dan cara penyimpanan benih tanaman gaharu terhadap keberhasilan

tumbuh benih gaharu di persemaian.

II. METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Persemaian Permanen Balai Pengelolaan

Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Kima Atas, pada bulan Oktober s/d

November 2017, terdiri dari penyiapan media dan perlakuan penyimpanan

selama empat minggu, dan untuk mengetahui pengaruh penyimpanan

terhadap kemampuan berkecambah benih tanaman, dilakukan penyemaian

setip minggu berjalan.

B. Alat dan Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih tanaman

gahar G. versteegii yang telah masak fisiologis dan media semai berupa

pasir, sedangkan peralatan yang digunakan adalah bak kecambah, kulkas,

plastik transparan dan peralatan tulis menulis.

Page 233: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

220

C. Metode

1. Rancangan Penelitian

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak

lengkap dengan pola faktorial. Faktor pertama adalah perlakuan waktu

penyimpanan dimana terdiri dari 1 minggu, 2 minggu dan 3 minggu serta

faktor kedua adalah perlakuan teknik penyimpanan yang terdiri dari

disimpan dengan mempertahankan daging buah dan diletakkan dalam

plastik transparan, disimpan dengan mempertahankan daging buah dan

diletakkan di ruang dengan suhu kamar, disimpan dengan mengupas daging

buah dan diletakkan dalam kulkas, disimpan dengan mengupas daging buah

dan diletakkan dalam plastik transparan.

2. Parameter yang Diamati

Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah persen kecambah

benih gaharu yang disemaikan berdasarkan teknik penyimpanan dan lama

waktu penyimpanan.

3. Prosedur Penelitian

Benih tanaman gaharu G. versteegii yang telah masak fisiologis diunduh

dari pohon induk dan diseleksi untuk mendapatkan buah yang sehat,

kemudian dibagi kedalam 5 bagian yang terpisah berdasarkan jumlah

ulangan dan perlakuan yang diberikan. Setelah proses seleksi terhadap buah

gaharu yang akan dijadikan bahan penelitian, proses selanjutnya adalah

peyiapan bak tabur dengan media tabur berupa pasir. Setelah media tabur

disiapkan, buah gaharu yang telah diseleksi dilakukan pemisahan daging

buah dari biji dan kemudian diseleksi kembali untuk mendapatkan benih

yang sehat dan sempurna, setelah benih di peroleh selanjutnya dilakukan

penyemaian sebagai titik awal atau kontrol. Sisa buah gaharu yang telah

diseleksi kemudian dilakukan penyimpanan sesuai dengan perlakuan yang

diberikan dan kemudian disemai sesuai dengan perlakuan lama waktu

penyimpanan. Benih yang telah disemai pada bak tabur kemudian disungkup

dengan menggunakan plastik transparan yang bertujuan untuk mengontrol

suhu dan kelembaban dalam kondisi yang lebih stabil, kemudian dilakukan

pengamatan perkecambahan setelah penyemaian.

4. Analisis Data

Data pengukuran berdasarkan parameter perlakuan dikumpulkan

selama 3 bulan, kemudian dilakukan analisis sidik ragam dan apabila

diketahui ada pengaruh nyata dari adanya perlakuan dilanjutkan dengan

Page 234: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Pengaruh Tempat dan Waktu Penyimpanan …….. Jafred E. Halawane dan Arif Irawan

221

menggunakan metode uji jarak rata-rata Duncan. Kemampuan Daya

kecambah (G) dihitung dengan menggunakan rumus :

G = Jumlah Benih yang berkecambah

x 100% Jumlah Benih yang disemaikan

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil perhitungan daya kecambah benih gaharu berdasarkan pada lama

waktu penyimpanan dan cara penyimpanan benih yang dilakukan

menunjukan bahwa kemampuan daya kecambah gaharu sangat bervariasi

tergantung pada perlakuan yang diberikan. Pengaruh perlakuan

penyimpanan dan lama waktu penyimpanan terhadap persentase daya

kecambah benih gaharu disajikan pada gambar 1. Sedangkan hasil analisis

sidik ragam ditampilkan pada tabel 1.

Gambar 1. Diagram persentase daya kecambah benih gaharu berdasarkan

perlakuan penyimpanan dan lama waktu penyimpanan

Tabel 1. Analisis sisdik ragam pengaruh perlakuan simpan dan waktu

terhadap daya kecambah gaharu

Sumber variasi db

Kuadrat tengah

Persen

Penyimpanan 3 11,65*

Waktu Simpan 2 45,75**

Interaksi 6 6,75ns

Sisa/galat 22 3,65

Keterangan : * = nyata pada tingkat kepercayaan 95%, ns=tidak nyata Remarks :* = significantly at 95% level of confidence, ns=non significant

Page 235: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

222

Hasil penelitian pada tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata persentase

daya kecambah tertinggi adalah berdasarkan perlakuan penyimpanan benih

gaharu dengan tidak dipisahkan dari daging buah dan disimpan dalam

plastik transparan, Sedangkan waktu simpan dengan persentase tertinggi

adalah disimpan selama 1minggu setelah pengunduhan buah. Hasil analisis

sidik ragam pada tabel 2 menunjukkan bahwa cara penyimpanan dan lama

waktu penyimpanan berpengaruh sangat nyata terhadap tingkat

keberhasilan daya kecambah benih tanaman gaharu yang diuji sedangkan

interaksi antara pengaruh cara penyimpanan dan lama waktu penyimpanan

tidak berpengaruh nyata terhadap daya kecambah benih gaharu. Perlakuan

teknik penyimpanan dan lama waktu penyimpanan kemudian dilakukan uji

lanjut untuk mengetahui perlakuan terbaik yang berpengaruh terhadap

kemampuan daya kecambah benih gaharu. Uji lanjut teknik penyimpanan

dan lama waktu penyimpanan ditampilkan pada tabel 2 dan 3.

Tabel 2. Rata-rata daya kecambah perlakuan penyimpanan

No Perlakuan Penyimpanan Persen

1. Plastik Transparan (benih dengan

daging Buah)

4,00a

2. Benih dengan daging buah 3,66a

3. Benih dalam Kulkas 3,77a

4. Benih dalam Plastik Transparan 1,55b

Tabel 3. Rata-rata daya kecambah perlakuan waktu simpan

No Perlakuan Waktu Simpan Persen

1. Minggu 1 5,50a

2. Minggu 2 2,25b

3. Minggu 3 2,00b

Daya Kecambah

Benih gaharu merupakan benih yang secara teknis mudah dilakukan

pengecambahan. Berdasarkan tabel 2 bahwa perlakuan penyimpanan benih

dengan daging buah yang disimpan di dalam plastik transparan merupakan

perlakuan terbaik dengan persentase daya kecambah yang paling tinggi,

sedangkan benih gaharu yang telah dipisahkan dari daging buah dan

disimpan di dalam plastik transparan pada suhu kamar menunjukkan

kemampuan berkecambah yang paling rendah dibandingkan dengan 4

perlakuan yang diterapkan. Persentase daya kecambah yang paling tinggi

Page 236: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Pengaruh Tempat dan Waktu Penyimpanan …….. Jafred E. Halawane dan Arif Irawan

223

disebabkan karena benih tersebut masih terlindung dengan daging buahnya

sehingga kesegaran dan kadar air benih tetap terjaga. disamping itu benih

tersebut juga terlindung oleh plastik transparan sehingga kondisi

kelembaban lingkungan di dalam plastik tetap stabil dan seimbang. Menurut

Daniel (2009) dikemukakan bahwa upaya yang dapat dilakukan untuk

meningkatkan dan mempertahankan viabilitas benih rekalsitran adalah

dengan melakukan penyimpanan benih pada media simpan yang dapat

tahan terhadap kondisi lingkungan yang tahan terhadap suhu yang tinggi

dan kelembaban yang rendah. Teknik penyimpanan yang kurang tepat akan

mempercepat penurunan viabilitas benih (Zanzibar & Widodo, 2011).

Benih gaharu termasuk dalam kategori benih rekalsitran yang berarti

tidak dapat disimpan dalam waktu yang lama atau harus segera disemaikan

setelah dilakukan pengunduhan (Rahmanto dan Suryanto, 2013). Karakter

benih gaharu yang tidak dapat disimpan dalam waktu yang lama

menyebabkan adanya pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan daya

kecambah apabila tidak dilakukan penanganan langsung setelah

pengunduhan buah. Indikasi ini dapat dilihat pada hasil penelitian yang

menunjukkan bahwa terjadi penurunan daya kecamabah pada minggu

pertama ke minggu kedua dan minggu ketiga (gambar 1). Hal ini juga

didukung oleh hasil penelitian Tarigan (2004) yang menyatakan bahwa

benih gaharu memiliki masa dormansi yang relatif rendah sehingga hanya

dapat disimpan selama 10 hari apabila tidak diberikan perlakuan apa-apa

setelah benih tersebut dipanen. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat

dikatahui bahwa benih gaharu termasuk dalam kategori benih rekalsitran

yang ekstrim karena hanya mampu disimpan dalam beberapa hari. Yuniarti

et al. (2016) menyatakan bahwa daya simpan benih rekalsitran bervariasi

dari beberapa hari untuk benih rekalsitran yang ekstrim sampai beberapa

bulan untuk benih rekalsitran yang toleran.

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan pada hasil ujicoba dan penelitian yang dilakukan

disimpulkan bahwa cara penyimpanan benih gaharu yang paling baik adalah

dengan cara penyimpanan benih gaharu tanpa dipisahkan dari daging buah

dan disimpan dalam plastik transparan sedangkan waktu penyimpanan yang

tepat adalah 1minggu setelah pengunduhan.

V. SARAN

Penelitian lebih lanjut terkait dengan sifat dan karakter benih gaharu

yang bersifat rekalsitran sangat diperlukan sehingga masa dormansi benih

Page 237: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

224

gaharu yang singkat dapat diperpanjang dan kemampuan berkecambah

benih gaharu yang rendah apabila disimpan dalam waktu yang lama dapat

ditingkatkan.

VI. UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Kepala Balai Penelitian dan

Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado, Kepala Balai

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Manado, Manajer

Persemaian Permanen Kima Atas dan semua pihak atas dukungan dan

apresiasinya sehingga penelitian ini dapat terlaksana.

VII. DAFTAR PUSTAKA

Rahmanto, B. dan Suryanto, E. (2014). Pengenalan Jenis-jenis Pohon

Penghasil Gaharu, Rekam Jejak, Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan

Litbang Kehutanan. Bogor: Forda Press bekerjasama dengan Pusat

Litbang Konservasi dan Rehabilitasi.

Copeland, L. O., & McDonald, M. B. (2002). Principles of Seed Sciences and

Technology (Fourth Edi). Massachusetts: Kluwer Academic Publisher.

Daniel, E. M. (2009). Vigor benih kakao (Theobroma cacao L.) pada

berbagai lama penyimpanan dan invigorasi. Jurnal Agroland, 16(3),

206-212.

Fitri L., Melya, R., & Duryat. (2016). Uji daya simpan benih jengkol

(Pithecellobium lobatum) dengan menggunakan beberapa media

simpan. Jurnal Sylva Lestari, 4(2), 69-78.

Siahaan, F. A. (2017). Pengaruh kondisi dan periode simpan terhadap

perkecambahan benih kesambi (Schleichera oleosa (Lour.) Merr). Jurnal

Perbenihan Tanaman Hutan, 5(1), 1-11.

Tarigan. (2004). Profil Pengusahaan (Budidaya) Gaharu. Departemen

Kehutanan, Pusat Bina Penyuluhan Kehutanan, Jakarta.

Tustiyani, I., Pratama, R, A., & Nurdiana, D. (2016). Pengujian viabilitas dan

vigor dari tiga jenis kacang-kacangan yang beredar di pasaran daerah

samarang, garut. Jur.Agroekotek, 8(1), 16–21.

Sumpena, U. (2012). Pengruh kemasan dan waktu penyimpanan terhadap

kemampuan berkecambah benih mentimun. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian,

8(1), 18-25.

Yuniarti, N., Nurhasybi, & Darwo. (2016). Karakteristik benih kayu bawang

(Azadirachta excelsa (Jack) Jacobs) berdasarkan tingkat pengeringan

dan ruang penyimpanan. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 13(2), 105-

Page 238: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Pengaruh Tempat dan Waktu Penyimpanan …….. Jafred E. Halawane dan Arif Irawan

225

112.

Zanzibar, M., & Widodo, W. (2011). Metoda pengeringan dan penyimpanan

benih mahoni (Swietenia macrophylla King), dalam Prosiding Seminar

Hasil-Hasil Penelitian “Teknologi Perbenihan Untuk Meningkatkan

Produktivitas Hutan Rakyat Di Propinsi Jawa Tengah. Bogor: Balai

Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan Bogor.

Page 239: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Kandungan Senyawa Aktif dan Toksisitas Daun Pakoba…….. Hanif Nurul Hidayah dan Lis Nurrani

227

Kandungan Senyawa Aktif dan Toksisitas Daun Pakoba (Syzygium luzonense (Merr.) Merr)

Pada Berbagai Metode Pengeringan1

Active Compounds and Toxicity of Pakoba Leaves (Syzygium luzonense (Merr.) Merr) in Various Drying Methods

Hanif Nurul Hidayah2 dan Lis Nurrani2

ABSTRACT

Pakoba (Syzygium luzonense (Merr) Merr) is a species of forestry plant that

potentially as a traditional medicinal plant. As traditional medicine, analysis of

secondary metabolites and toxicity is needed to determine which active

compounds play a role. The purpose of this research was to find out content of

active compounds of pakoba leaves based on the leaf part used and drying

method. The results of laboratory analysis showed that the young and old leaves

extract on different drying methods positively contains flavonoid, phenols, and

tannins compounds. The old leaves which is dried in the AC room have the highest

percentage of flavonoid and phenol content respectively 0.68% and 0.52%. The

best toxicity value is shown by young leaves extract with oven drying method,

LC50 value is 441,91 µg/ml.

Keywords: phytochemical, pakoba leaves (Syzygium luzonense (Merr) Merr),

toxicity

I. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak potensi

keanekaragaman hayati, baik habitat, maupun flora dan fauna yang

dimilikinya. Keanekaragaman ini pula membuat Indonesia memiliki beragam

1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya

Pelestarian Sumber Daya Alam, diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado dan SEAMEO BIOTROP Manado 24 Oktober 2018.

2 Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado; Jl. Tugu Adipura

Raya Kel. Kima Atas Kec. Mapanget Kota Manado; Email : [email protected].

Page 240: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

228

jenis tanaman herbal potensial. Namun pemanfaatannya masih bersifat lokal

dan terbatas pada regional tertentu saja berdasarkan pada kearifan lokal

masyarakat pada masing-masing daerah. Pengelolaannya juga masih

sederhana hanya untuk kebutuhan sendiri dan keluarga oleh karena itu

sebagian besar kekayaan herbal Indonesia masih belum tergali dengan baik,

sehingga banyak tanaman herbal yang belum dapat dimanfaatkan untuk

pengembangan industri obat tradisional.

Pakoba (Syzygium luzonense (Merr.) Merr) merupakan salah satu jenis

tanaman asli Sulawesi Utara yang memiliki banyak manfaat. Selain buahnya

edible untuk dikonsumsi oleh manusia, kayunya yang masuk dalam kelas kuat

III dimanfaatkan sebagai kayu pertukangan untuk penggunaan di dalam

ruangan (Nurrani & Tabba, 2012), serta daun dan kulitnya telah dimanfaatkan

masyarakat lokal sebagai obat herbal. Pemanfaatan tanaman herbal untuk

pengobatan tradisional telah menyatu dimasyarakat kita sejak berabad-abad

yang lalu. Beberapa alasan tingginya preferensi penggunaan tanaman herbal

dibandingkan dengan obat-obatan sintetik modern diantaranya adalah mudah

didapatkan disekitar tempat tinggal, harganya lebih murah, pengolahannya

sederhana dan cenderung memiliki efek samping yang rendah (Anggraeni &

Erwin, 2015) meski demikian pemanfaatannya harus memperhatikan kaidah

dan tidak berlebihan. Kearifan lokal masyarakat di masing-masing daerah

merupakan titik awal pengembangan tanaman herbal menjadi bahan baku

herbal tersertifikasi.

Potensi tanaman untuk dimanfaatkan sebagai obat herbal ditentukan dari

senyawa aktif yang dikandungnya. Pengujian terkait kandungan senyawa aktif

pada tanaman herbal multak diperlukan untuk mengetahui seberapa besar

potensi tanaman tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri

obat herbal. Kulit kayu pakoba dikenal masyakarat Minahasa sebagai obat

penurun kadar gula darah (Kinho et al., 2010). Skrinning awal yang dilakukan

pada sampel daun, buah dan kulit batang pakoba menunjukkan bahwa

senyawa aktif flavonoid, tannin, dan saponin positif dikandung oleh tanaman

ini (Hidayah et al., 2015), dimana ketiga senyawa tersebut juga dimiliki oleh

beberapa tanaman herbal yang digunakan sebagai penurun gula darah.

Informasi ini merupakan dasar pengembangan untuk uji selanjutnya agar

pemanfaatan pakoba sebagai bahan baku herbal dapat tersertifikasi. Tujuan

dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagian daun dan metode

pengeringan terbaik dalam pengelolaan daun pakoba sebagai teh herbal.

Page 241: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Kandungan Senyawa Aktif dan Toksisitas Daun Pakoba…….. Hanif Nurul Hidayah dan Lis Nurrani

229

II. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan April – September 2017 di

laboratorium kantor Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup

dan Kehutanan Manado dan Laboratorium Pusat Study Biofarmaka IPB –

Bogor.

B. Bahan dan Alat

Alat-alat yang digunakan antara lain blender, seperangkat alat gelas

laboratorium, seperangkat alat maserasi ekstrak pakoba, rotary evaporator,

corong pisah, pipet tetes, erlenmeyer 25 mL, lampu, tiang statif, botol

semprot, rak tabung, tabung reaksi, tanki biakan larva udang, pipet mikro,

timbangan neraca dan vial.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain daun pakoba

(Syzygium luzonense (Merr.) Merr), air, kertas saring, serbuk Mg, HCl, EtOH,

Amil alcohol, FeCl3 10%, air laut, aluminium foil, kertas saring dan telur

udang.

C. Prosedur Penelitian

1. Pengambilan Simplisia

Sampel simplisia yang digunakan untuk penelitian ini diambil dari Plot

Hutan Kota di Kota Tomohon. Sampel daun dan metode pengeringan

dibedakan dengan perlakuan :

Bagian daun yang diambil dibedakan antara bagian pucuk daun dan daun

tua (setelah daun ke-6 dari pucuk).

Simplisia dibersihkan dan dikeringkan dengan perlakuan pengeringan suhu

ruang (28 - 29oC) selama 7 hari, pengeringan ruang AC (suhu 18oC) selama

3 hari dan perlakuan pengeringan oven dengan suhu pengeringan 50,5oC

selama 5 jam.

2. Uji Metabolit Sekunder

a. Fitokimia Kualitatif (Harborne, 1996)

Pembuatan filtrate : sebanyak 5gram sampel serbuk ditambahkan akuades

kemudian dipanaskan selama 5 menit kemudian disaring dan diperoleh

filtrate.

- Uji flavonoid filtrat + serbuk Mg + HCl:EtOH (1:1) + Amil alcohol

- Jika lapisan amil alcohol berubah warna menjadi jingga berarti + (positif)

mengandung flavonoid.

- Uji tannin filtrate + 3 tetes FeCL3 10%

Page 242: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

230

- Jika terjadi perubahan warna menjadi hitam kehijauan berarti + (positif)

mengandung tannin

- Saponin Filtrat dikocok kuat, jika buih stabil berarti + (positif)

mengandung saponin.

b. Fitokimia Kuantitatif (Harborne, 1996)

- Uji fenol total Sebanyak 2 gram sampel serbuk ditambah 300 mL

dietileter, lalu disoklet selama 2 jam untuk menghilangkan lemaknya.

Setelah itu sampel sampel bebas lemak tersebut ditambahkan 50 mL

dietileter dan dididihkan selama 10 menit, kemudian disaring. 5 mL

ekstraknya ditambahkan 10 mL aquades, 2 mL ammonium hidroksida

pekat, dan 5 mL n-butanol, dikocok lalu didiamkan hingga terbentuk dua

fase dan sampai timbul warna. Kemudian diukur serapannya dengan

spektrofotometer ultra ungu tampak pada panjang gelombang 255 nm.

- Flavonoid Dalam Erlenmeyer 10 gram serbuk sampel diekstrak dengan

100 mL metanol-air 80% pada suhu ruang selama 24 jam. Kemudian

seluruh larutan disaring dan dipindahkan ke dalam krusibel. Lalu diuapkan

hingga kering di atas penangas air kemudian ditimbang beratnya.

- Tanin Sebanyak 500 mg sampel serbuk dimasukkan ke dalam

Erlenmeyer, lalu ditambahkan 50 mL aquades, diaduk dengan

menggunakan pengocok mekanik selama 1 jam. Setelah itu larutan

disaring dan dimasukkan ke dalam labu ukur 50 mL dan ditambahkan air

hingga tepat tanda batas. Kemudian dipipet 5 mL filtrate ditambah 0,8 mL

kalium heksasianoferrat (III) 0,008 M dalam 0,1 N asam klorida dan 0,8

mL ferriklorida 0,1 M dalam 0,1 N asam klorida. Kemudian didiamkan,

setelah itu diukur serapannya dengan menggunakan spektrofotometer

ultraungu-tampak pada panjang gelombang 420 nm.

3. Ekstraksi Daun Pakoba

Simplisia kering dihaluskan dan diayak hingga diperoleh serbuk kering.

Ekstraksi menggunakan metode refluks (penggodokan). Proses refluks

dilakukan dengan cara melarutkan serbuk kering sebanyak 400 gram dengan

air kemudian dipanaskan selama 3 jam pada suhu 100 ºC kemudian ekstrak

disaring dan dipekatkan dengan rotari evaporator sampai diperoleh ekstrak

kering dan ditimbang (Hidayah et al., 2015). Ekstrak sampel inilah yang

digunakan dalam uji selanjutnya.

Page 243: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Kandungan Senyawa Aktif dan Toksisitas Daun Pakoba…….. Hanif Nurul Hidayah dan Lis Nurrani

231

Rendemen ekstrak dihitung dengan rumus :

𝑅𝑒𝑛𝑑𝑒𝑚𝑒𝑛 =𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑒𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘 𝑝𝑒𝑘𝑎𝑡 (𝑔)

𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑒𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘 (𝑔) 𝑥 100%

Selanjutnya dilakukan uji toksisitas metode Brine Shrimp Lethality Test

(BSLT).

4. Uji Toksisitas BSLT (Brine Shrimp Lethality Test)

Uji toksisitas dilakukan dengan menggunakan uji yang dilakukan oleh

Meyer et al. (1982). Tahapan pengujiannya adalah sebagai berikut :

- Penetasan udang : sebanyak 10 mg telur udang ditambahkan 250 ml air

laut didiamkan selama 2 x 24 jam (menggunakan lampu dan aerator)

sehingga dihasilkan larva udang

- Pembuatan ekstrak : sebanyak 20 mg sampel ekstrak ditambahkan 10 ml

air laut (+tween 80%) dilakukan proses homogenasi hingga dihasilkan

stok sampel 2000 ppm.

- Pengujian : proses pengujian menggunakan 1000 µl air laut berisi 10 ekor

larva udang ditempatkan pada vial ukuran 2000 µl. stok sampel dibagi

menjadi 4 (empat) bagian, yaitu 1000 µl stok sampel 2000 ppm, 500 µl

stok sampel 2000 ppm + 500 ml air laut, 100 µl stok sampel 200 ppm +

900 ml air laut, 10 µl stok sampel 2000 ppm + 990 ml air laut. Masing-

masing stok sampel diberikan larutan uji 1000 ppm kemudian diamkan

selama 24 jam, kemudian hitung jumlah udang yang mati.

- Prosentase kematian udang Artemia salina dihitung dengan persamaan

berikut:

% Mortalitas = Jumlah larva yang mati

Jumlah larva uji x 100%

Rumus Abbot’s digunakan apabila pada kontrol ada udang yang mati:

%Mortalitas = Kematian pada uji−% Kematian pada kontrol

100−% Kematian pada kontrol 𝑥 100%

- Penentuan Nilai LC50 menggunakan metode analisa EPA probit.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Uji metabolit sekunder

Hasil pengujian fitokimia yang diujikan pada daun pakoba secara

kualitatif menunjukkan bahwa seluruh bagian daun pakoba (muda dan tua)

yang diujikan dengan menggunakan 3 (tiga) metode pengeringan yang

berbeda positif mengandung flavonoid, fenol, dan tannin.

Page 244: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

232

Tabel 1. Hasil pengujian fitokimia secara kualitatif

No. Senyawa Aktif Daun Muda Daun Tua

Oven AC Ruang Oven AC Ruang

1 Flavonoid + + + + + +

2 Alkaloid

Wagner - - - - - -

Mayer - - - - - -

Dragendorf - - - - - -

3 Tanin + + + + + +

4 Saponin + + + + + +

5 Quinon - - - - - -

6 Steroid + + + + + +

7 Triterpenoid - - - - - -

Secara kuantitatif, nilai kandungan senyawa aktif pada daun pakoba

ditunjukkan pada grafik dibawah ini :

Gambar 1. Kandungan total flavonoid, fenol dan tannin daun pakoba

Dari gambar di atas, diketahui bahwa kandungan flavonoid dan fenol

tertinggi dimiliki oleh daun tua pakoba yang dikeringkan dalam ruang ac yaitu

berturut turut 0,68% dan 0,52%. Sedangkan kandungan tannin memiliki nilai

yang kecil dan tidak jauh berbeda untuk semua perlakuan bagian daun

maupun perlakuan pengeringan, yaitu berkisar antara 0,03 - 0,04%. Proses

pengeringan suhu ruang memakan waktu yang lama (7 hari) sehingga

0

0,1

0,2

0,3

0,4

0,5

0,6

0,7

0,8

mudaoven

tuaoven

mudaac

tua ac mudaruang

tuaruang

Kan

du

nga

n T

ota

l (%

)

Perlakuan

parameter flavonoid

parameter fenol

parameter tanin

Page 245: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Kandungan Senyawa Aktif dan Toksisitas Daun Pakoba…….. Hanif Nurul Hidayah dan Lis Nurrani

233

dikhawatirkan terjadinya penguraian senyawa fenolat oleh bantuan enzim

fenolase yang terdapat dalam tumbuhan. Hal ini terlihat dari kadar fenolat

yang sampel ekstrak dengan metode pengeringan suhu ruang lebih rendah.

Pemanasan suhu oven 50,5oC diperkirakan akan mempercepat penguraian

senyawa fenolat meskipun perolehan ekstraktifnya cukup tinggi dan waktu

pengeringan lebih singkat (Rivai et al., 2010). Proses pemanasan/perebusan

pada daun uji memberikan pengaruh terhadap kandungan senyawa fenolik

khususnya flavonoid. Semakin lama waktu pemanasan/perebusan akan

mengurangi kandungan flavonoid pada ekstrak sampel (Puspitasari &

Prayoga, 2016)

Pemeriksaan karakteristik fitokimia pada tanaman pakoba menunjukkan

adanya senyawa flavonoid, tannin, dan saponin yang sudah terbukti memiliki

aktifitas menurunkan gula darah pada penderta diabetes mellitus (Tumbol et

al., 2018). Kandungan flavonoid pada ekstrak daun pakoba memiliki peran

penting dalam hal kemampuan untuk pertahanan tanaman dari herbivore dan

penyebab penyakit, serta berperan untuk membentuk dasar interaksi alelopati

antar tanaman (Andersen & Markham, 2006). Senyawa flavonoid disintesis

oleh tanaman sebagai sistem pertahanan dan dalam responnya terhadap

infeksi oleh mikroorganisme, sehingga tidak mengherankan apabila senyawa

ini efektif sebagai senyawa antimikroba terhadap sejumlah mikroorganisme.

Flavonoid merupakan salah satu senyawa polifenol yang memiliki bermacam-

macam efek antara lain efek antioksidan, anti tumor, anti radang, antibakteri,

dan anti virus (Parubak, 2013). Adanya kandungan flavonoid pada ekstrak

daun pakoba juga mengindikasikan bahwa daun pakoba memiliki potensi

antioksidan yang cukup tinggi (Hidayah et al., 2016).

Senyawa kimia lainnya yang terkandung pada daun pakoba adalah fenol

dan tannin. Tanin merupakan suatu senyawa polifenol yang berasal dari

tumbuhan, memiliki rasa pahit dan kelat, yang bereaksi dan menggumpalkan

protein, atau berbagai senyawa organik lainnya termasuk asam amino dan

alkaloid. Tanin merupakan senyawa aktif metabolit sekunder yang diketahui

mempunyai beberapa khasiat yaitu sebagai astringen, anti diare, anti bakteri,

dan antioksidan. Tanin merupakan komponen zat organik yang sangat

kompleks, terdiri dari senyawa fenolik yang sukar dipisahkan dan sukar

mengkristal, mengendapkan protein dari larutannya dan bersenyawa dengan

protein tersebut (Desmiaty et al., 2008).

Tanin banyak dimanfaatkan sebagai salah satu bahan penyamak agar

awet, tahan terhadap air laut dan mudah digunakan. Hal ini karena salah satu

sifat tanin yang dapat melawan bakteri. Senyawa tannin dalam konsentrasi

Page 246: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

234

rendah mampu menghambat pertumbuhan bakteri, namun sebaliknya pada

konsentrasi yang tinggi tannin bekerja membentuk ikatan yang stabil dengan

protein bakteri, sehingga protoplasma bakteri terkoagulasi (Wiryawan et al.,

2000). Dalam dunia pengobatan tannin dimanfaatkan sebagai anti bakteri.

Senyawa ini juga merupakan senyawa yang dalam jumlah tertentu sangat

bermanfaat dalam dunia pengobatan namun pada penggunaan yang

berlebihan dapat menimbulkan efek yang akan mengganggu kesehatan

manusia (Wiryawan et al., 2000).

2. Rendemen Ekstraksi Daun Pakoba

Proses ekstraksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstraksi

tumbuhan dengan menggunakan metode refluks (penggodokan dengan

pelarut air). Refluks merupakan metode yang paling mendekati dengan cara

pengolahan yang selama ini diterapkan oleh masyarakat Minahasa dalam

mengkonsumsi tanaman obat ini yaitu dengan merebus bagian tanaman yang

dibutuhkan. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh identifikasi senyawa

metabolit sekunder yang dikandung seoptimal mungkin. Nilai rendemen

merupakan salah satu indikator dalam menentukan kebutuhan bahan baku

pengolahan tumbuhan obat (Hidayah et al., 2015).

Dalam penelitian sebelumnya, Hidayah et al. (2015) menyatakan bahwa

penggunakaan pelarut air pada sampel simplisia tanaman pakoba

memberikan rendemen yang lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan

pelarut etil asetat dan n-heksana.

Dari grafik di bawah, diketahui bahwa rendemen ekstrak daun pakoba

dengan metode refluks (air panas) diperoleh dari ekstrak simplisia daun muda

dengan pengeringan suhu ruang, yaitu sebesar 4,81%. Gambar 2 di atas juga

menunjukkan bahwa rendemen daun muda cenderung lebih tinggi

dibandingkan dengan rendemen daun tua. Dari perlakuan yang dicobakan,

sampel ekstrak daun muda pada 2 (dua) metode pengeringan menunjukkan

nilai yang tertinggi, yaitu pada metode pengeringan suhu ruang dan

pengeringan oven. Hal ini dimungkinkan karena daun tua memiliki zat

ekstraktif yang lebih tinggi daripada daun muda. Selain itu, proses

pengeringan yang berbeda akan berdampak pada kadar air masing-masing

sampel ekstrak (Puspitasari et al., 2018). Masduqi et al. (2014) mengatakan

bahwa kadar air yang terkandung dalam sampel ekstrak mempengaruhi

kualitas kandungan senyawa aktif dalam sampel tersebut.

Page 247: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Kandungan Senyawa Aktif dan Toksisitas Daun Pakoba…….. Hanif Nurul Hidayah dan Lis Nurrani

235

Gambar 2. Rendemen ekstrak daun muda dan daun tua pada 3 metode

Metode pengeringan yang berbeda juga mempengaruhi rendemen yang

dihasilkan. Dari Gambar 2 di atas juga dapat dilihat bahwa metode

pengeringan dalam suhu ruangan (28 – 29oC) menghasilkan rendemen yang

lebih tinggi dibandingkan dengan metode pengeringan dalam oven suhu

50,5°C selama 5 jam. Rendemen tertinggi diperoleh dari ekstrak daun muda

pengeringan suhu ruang sebesar 4,81%. Pengeringan dalam oven pada suhu

yang tinggi menyebabkan penurunan senyawa fenolik (Rivai et al., 2010),

sehingga metode ini menghasilkan rendemen yang lebih rendah.

3. Uji Toksisitas BSLT

Pemeriksaan toksisitas senyawa aktif atau bahan yang akan digunakan

sebagai obat merupakan salah satu penelitian yang penting sebagai syarat uji

keamanan suatu obat baru, sehingga dapat diketahui jumlah takaran yang

tepat (Frank, 1994). Pengujian toksisitas yang dilakukan adalah menggunakan

metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test) dengan larva udang Artemia salina

Leach. Metode ini merupakan metode yang telah teruji hasilnya dengan

tingkat kepercayaan 95% untuk mengamati toksisitas senyawa aktif dalam

ekstrak kasar. Metode ini juga sering dikaitkan sebagai metode penapisan

untuk penyarian senyawa antikanker dari tanaman (Anggraeni & Erwin,

2015).

Berdasarkan hasil uji toksisitas menunjukkan bahwa semua ekstrak

bersifat toksik terhadap larva Artemia salina Leach yang ditunjukkan dengan

0

1

2

3

4

5

6

oven ruang ac suhu ruang

Re

nd

em

en

%

Metode pengeringan

daun tua

daun muda

Page 248: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

236

nilai LC50 dibawah 1000 µg/ml (Meyer et al., 1982 dalam Soetjipto et al.,

2007).

Gambar 3. Nilai LC50 ekstrak daun pakoba pada 3 metode pengeringan yang

berbeda

Berdasarkan grafik di atas, secara garis besar diketahui bahwa nilai LC50

pada ekstrak sampel daun pakoba dengan berbagai metode pengeringan yang

dicobakan memiliki nilai < 1000 µg/ml. Semakin rendah nilai LC50,

mengindikasikan senyawa kimia yang terkandung didalam ekstak sampel

tersebut semakin kuat (Atmoko & Ma’ruf, 2009). Dalam penelitian ini, nilai

LC50 terbaik ditunjukkan pada sampel ekstrak daun muda dengan perlakuan

pengeringan oven, yaitu sebesar 441,91 µg/ml. Hal ini menunjukkan bahwa

ekstrak layak dikembangkan sebagai bahan sediaan obat herbal tradisional

ataupun dikembangkan menjadi ekstrak atau isolate yang mempunyai

aktifitas biologis.

Pada pengujian toksisitas menggunakan bahan baku daun muda dengan

metode pengeringan suhu ruang menunjukkan nilai yang mencapai 1000

µg/ml. Metode pengeringan dengan suhu ruang, memakan waktu yang cukup

lama. Hal ini dimungkinkan dapat mempengaruhi perubahan kandungan

senyawa aktif sehingga menurunkan sifat toksik dari daun pakoba. Sejalan

dengan yang disampaikan Winangsih (2013) dalam penelitiannya suhu

pengeringan dapat mempengaruhi perolehan kadar fenolat dan

mempengaruhi sifat toksisitasnya. Paparan suhu tinggi dalam jangka waktu

yang lama akan menurunkan kandungan fenolat dan toksisitas dalam ekstrak

(Winangsih, 2013).

0

500

1000

mudaoven

tuaoven

mudaac

tua ac mudaruang

tuaruang

441,91

890,41

622,39 619,9

1000

697,81

Toks

isit

as L

C5

0

Sampel daun

Page 249: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Kandungan Senyawa Aktif dan Toksisitas Daun Pakoba…….. Hanif Nurul Hidayah dan Lis Nurrani

237

IV. KESIMPULAN

Pengujian fitokimia pada ekstrak daun pakoba dengan menggunakan

perlakuan bagian daun dan proses pengeringan, secara kualitatif

menunjukkan adanya kandungan senyawa aktif berupa flavonoid, fenol, dan

tannin. Daun muda menghasilkan rendemen ekstrak yang lebih tinggi

dibandingkan dengan daun tua. Nilai toksisitas terendah diperoleh dari ekstrak

daun pakoba muda dengan metode pengeringan oven (suhu 50,5oC) yaitu

sebesar 441,91 µg/ml.

V. SARAN

Saran yang dapat diberikan untuk kelanjutan penelitian ini antara lain

diperlukan pengujian toksisitas akut dan analisis KLT GCMS sebagai uji

lanjutan. Penelitian ini juga perlu dikembangkan lebih lanjut sehingga

mempermudah pemanfaatan daun pakoba sebagai salah satu obat

tradisional/herbal.

VI. UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terimakasih disampaikan kepada Badan Penelitian,

Pengembangan, dan Inovasi KLHK, terkhusus Balai Penelitian dan

Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado yang telah

memfasilitasi atas terselenggaranya penelitian ini. Ucapan terima kasih juga

disampaikan kepada Lab. Biofarmaka IPB Bogor yang telah membantu proses

pengujian labotarotium, serta kepada Tim Peneliti Pakoba di BP2LHK Manado

yang telah mendukung dan mencurahkan tenaga dan pikirannya dalam

pelaksanaan penelitian ini.

VII. DAFTAR PUSTAKA

Andersen, M., & Markham, K.R. (2006). Flavonoids. New York: Taylor &

Francis Group.

Anggraeni, Devi., & Erwin. (2015). Uji Fitokimia dan Uji Toksisitas (Brine

Shrimp Lethality Test) Ekstrak Daun Kelakai (Stenochlaena palustris).

Prosiding Seminar Tugas Akhir FMIPA UNMUL. Juni 2015. Samarinda.

Atmoko, T., & Ma’ruf, A. (2009). Uji toksisitas dan skrining fitokimia ekstrak

tumbuhan sumber pakan orangutan terhadap larva Artemia salina L.

Jurnal Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam, 6(1), 37-45.

Desmiaty Y, Yulia, R., & Ika, R. (2008). Uji aktivitas penangkap radikal bebas

daun cerme (Phyllanthus acidus (L.) Skeels). Jurnal Farmasi Indonesia

4(2), 70-74.

Frank, C. L. (1994). Toksikologi Dasar: Asas,Organ Sasaran, Dan Penilaian

Page 250: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

238

Resiko. Edisi Kedua. Jakarta: UI. Press.

Harborne, J.B. (1996). Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis

Tumbuhan. Terbitan Kedua. Bandung: ITB.

Hidayah, Hanif N., Nurrani, L., Tabba, S., Mamonto, R. (2015). Teknologi

Budidaya Tanaman Hutan Berpotensi Obat. Laporan tidak diterbitkan,

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Manado, Manado.

Hidayah, Hanif N., Suryawan, A., & Karundeng, M. (2016). Teknologi Budidaya

Pakoba Sebagai Tanaman Hutan Berpotensi Obat. Laporan, Balai

Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Manado, Manado.

Kinho, J., Arini, D. I. D., Halidah, Halawane, J., & Nurrani, L. (2010).

Pemanfaatan Tumbuhan Hutan Sebagai Obat di Sulawesi Utara. Laporan

Tidak Diterbitkan, Balai Penelitian Kehutanan Manado, Manado.

Masduqi, A. F., Izzati, M., & Prihastanti, E. (2014). Efek metode pengeringan

terhadap kandungan bahan kimia dalam rumput laut

Sargassumpolycystum. Jurnal Anatomi Fisiologi, 22(1), 1-9.

Meyer, B. N., Ferrigni, N. R., Putnam, J. E., Jacobsen, L. B., Nichols, D. J., &

McLaughlin, J. L. 1982. Brine shrimp: A convenient general bioassay for

active plant constituents. Planta medica, (45), 31-34.

Nurrani, L. & Tabba, S. (2012). Sifat fisis mekanis kayu pakoba dan

penggunaannya sebagai jenis endemik lokal Sulawesi Utara, dalam

Prosiding Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian

Kehutanan Manado. Manado: Balai Penelitian Kehutanan Manado.

Parubak, A. S. (2013). Senyawa falvonoid yang bersifat antibakteri dari akway

(Drimys becariana. Gibbs). Majalah Publikasi Ilmu Kimia Chemistry

Progress, 6 (1), 34-37.

Puspitasari, E., Rozirwan, & Hendri, M. 2018. Uji toksisitas dengan

menggunakan metode Brine Shrimp Lethality Test (Bslt) pada ekstrak

mangrove (Avicennia Marina, Rhizophora Mucronata, Sonneratia Alba

dan Xylocarpus Granatum) yang berasal dari Banyuasin, Sumatera

Selatan. Jurnal Biologi Tropis, 18(1), 91-103.

Puspitasari, A. D. & Prayogo, L. S. 2016. pengaruh waktu perebusan terhadap

kadar flavonoid total daun kersen (Muntingia calabura). Jurnal Inovasi

Teknik Kimia, 1(2), 104-108.

Rivai, H., Nurdin, H., Suryani, H., & Bakhtiar, A. 2010. Pengaruh cara

pengeringan terhadap perolehan ekstraktif, kadar senyawa fenolat dan

Page 251: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Kandungan Senyawa Aktif dan Toksisitas Daun Pakoba…….. Hanif Nurul Hidayah dan Lis Nurrani

239

aktivitas antioksidan dari daun dewa (Gynura pseeudochina (L.) DC.).

Majalah Obat Tradisional, 15(1), 26-33.

Soetjipto, H., Kristijanto, A. I., & Asmorowati R. S. (2007). Toksisitas ekstrak

kasar bunga dan daun ketepeng cina (Senna alata L) .Biota, 12(2), 78-

82.

Tumbol, M. V. L., Elne, V. R., & Telly, M. (2018). Pengaruh pemberian ekstrak

etanol kulit batang pakoba terhadap gambaran histopatologi hepar dan

ginjal pada tikus putih jantan (Rattus norvegius). eJurnal Kesmas, 7(5).

Winangsih, Prihastanti, E., & Parman S. (2013). Pengaruh metode

pengeringan terhadap kualitas simplisia lempuyang wangi (Zingiber

aromaticum L.). Buletin Anatomi dan Fisiologi, 21(1), 19-25.

Wiryawan, K. G., Tangendjaja, B., & Suryahadi, I. (2000). Tannin degrading

bacteria from indonesian ruminants, dalam Brooker, J. D. (ed),.

Proceedings Of An International Workshop “Tannins In Animal And

Human Nutrition”. Canbera: Australian Centre for International

Agricultural Research (ACIAR).

Page 252: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

241

PRESENTASI NARASUMBER TAMU

Page 253: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

242 | Seminar Nasional “Meningkatkan Sinergitas dalam upaya Pelestarian Sumber

Daya Alam”

Page 254: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

243

Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya Pengelolaan Sumberdaya Alam:

Renewable vs Non-Renewable Resources

Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc

SEAMEO BIOTROP

Page 255: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

244 | Seminar Nasional “Meningkatkan Sinergitas dalam upaya Pelestarian Sumber

Daya Alam”

Page 256: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

245

Page 257: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

246 | Seminar Nasional “Meningkatkan Sinergitas dalam upaya Pelestarian Sumber

Daya Alam”

Page 258: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

247

Page 259: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

248 | Seminar Nasional “Meningkatkan Sinergitas dalam upaya Pelestarian Sumber

Daya Alam”

Page 260: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

249

Page 261: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

250 | Seminar Nasional “Meningkatkan Sinergitas dalam upaya Pelestarian Sumber

Daya Alam”

Page 262: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

251

Page 263: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

252 | Seminar Nasional “Meningkatkan Sinergitas dalam upaya Pelestarian Sumber

Daya Alam”

Page 264: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

253

Page 265: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

254 | Seminar Nasional “Meningkatkan Sinergitas dalam upaya Pelestarian Sumber

Daya Alam”

Page 266: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

255

Sinergitas Pengelolaan Keanekaragaman Hayati

Puja Utama Direktorat Keanekaragaman Hayati Ditjen KSDAE

Page 267: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

256 | Seminar Nasional “Meningkatkan Sinergitas dalam upaya Pelestarian Sumber

Daya Alam”

Page 268: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

257

Page 269: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

258 | Seminar Nasional “Meningkatkan Sinergitas dalam upaya Pelestarian Sumber

Daya Alam”

Page 270: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

259

Page 271: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

260 | Seminar Nasional “Meningkatkan Sinergitas dalam upaya Pelestarian Sumber

Daya Alam”

Page 272: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

261

Pergeseran Paradigma Pembangunan Hutan: Tindakan korektif

“Capacity Building for Endangered Species Conservation in Wallacea”

Simon Purser

Wallacea Nature

Page 273: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

262 | Seminar Nasional “Meningkatkan Sinergitas dalam upaya Pelestarian Sumber

Daya Alam”

Page 274: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

263

Page 275: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

264 | Seminar Nasional “Meningkatkan Sinergitas dalam upaya Pelestarian Sumber

Daya Alam”

Page 276: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

265

Page 277: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

266 | Seminar Nasional “Meningkatkan Sinergitas dalam upaya Pelestarian Sumber

Daya Alam”

Page 278: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

267

Page 279: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

269

DISKUSI

MENINGKATKAN SINERGITAS

DALAM UPAYA PELESTARAIAN SUMBER DAYA ALAM

Laporan Penyelenggara oleh Kepala BP2LHK Manado

Acara seminar nasional “Meningkatkan Sinergitas Dalam Upaya Pelestarian

Sumber Daya Alam” merupakan kerjasama BP2LHK Manado dengan

SEAMEO BIOTROP yang ikut disponsori oleh PT. Antam Tbk, Wallacea

Nature dan Bank Mandiri. SEAMEO BIOTROP telah menjadi mitra BP2LHK

Manado sejak 2012 melalui Inseminasi Buatan sejak awal merintis kegiatan

Anoa Breeding Centre (ABC). BP2LHK Manado telah melakukan berbagai

sinergi dalam upaya pelestarian sumber daya alam, melalui kerjasama

penelitian dan pengembangan yang diantaranya: kerjasama dengan

masyarakat/kelompok tani, kerjasama dengan Pemda, kerjasama dengan

perusahaan/swasta, kerjasama dengan LSM/NGO, serta kolaborasi lingkup

KLHK.

Sambutan Kepala Badan Litbang dan Inovasi KLHK oleh Kabid.

Program dan Evaluasi Pusat Litbang Hutan

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengemas kebijakan

pengelolaan hutan untuk mewujudkan sinergitas dalam upaya pelestarian

sumberdaya alam melalui Undang-Undang dan Peraturan Menteri

Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Peraturan yang mendukung pelestarian

sumber daya alam adalah UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, sedangkan kebijakan yang

mendukung rehabilitasi lahan adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup

dan Kehutanan Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang

Perhutanan Sosial. Rehabilitasi lahan hutan saat ini melibatkan peran serta

masyarakat melalui program hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan

tanaman rakyat, kemitraan kehutanan, dan hutan adat. Sedangkan pada

kegiatan konservasi, tantangan perlindungan dan pengelolaan hutan di

Indonesia seringkali datang dari masyarakat lokal di sekitar hutan. Padahal

kelestarian pengelolaan hutan sangat tergantung kepada partisipasi

masyarakat lokal dalam pengelolaannya.

Page 280: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

270 | Seminar Nasional “Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya Pelestarian Sumber

Daya Alam”

Diskusi

1. Diskusi Topik I “Konservasi Sumber Daya Alam”

Moderator : Fabiola B. Saroinsong, SP, M.Si, Ph.D

a. Ami Nurwati

Pertanyaan :

- Alfonsius Thomas : Merestorasi selalu berkiblat pada zona awal, itu

bagus namun jika ekosistem mengalami perubahan yang drastic

apalagi karena ada erupsi dalam teori suksesi maka substrat dan

komunnitasnya telah berubah drastic. Masalahnya adalah jika

menggunakan jenis2 yang sudah pernah ada disitu dan menanamnya

kembali di lahan yang telah berubah substratnya maka kemungkinan

kegagalan lebih besar. Mohon itu jadi pertimbangan dalam melakukan

restorasi di lahan bekas erupsi.

- Lilik : Pada tahun 1986 mahasiswa telah melakukan penelitian di

TNGM

- Irdika Mansur : Serangan sangat potensial di tanam di KPHL harus

diatas 200 meter dpl, pelibatan masyarakat agak mengkhawatirkan

sebab jika mereka lebih dulu mengetahui nilai jual suatu jenis di

kawasan maka bahaya eksploitasi berlebihan sangat besar.

Jawaban :

- Alfonsius Thomas : Peristiwa erupsi memang memberikan dampak

yang luar biasa di ekosistem Merapi termasuk di social budayanya.

Balai TNGM sangat membuka peluang untuk bekerjasama dalam

merestorasi kawasan ini. Keberadaan A. decurrens dilaporkan sebagai

jenis invasive namun penelitian termutakhir menunjukkan bahwa

keberadaannya menjadi katalis/pioneer tumbuhnya tanaman

berikutnya dan datangnya satwa ke kawasan. Oleh karena itu dalam

pemulihan ekosistem menggunakan pendekatan science.

- Lilik : Makasih saya akan akses informasi dari situ.

- Irdika Mansur : 71 desa penyangga dilibatkan dalam pengelolaan

kawasan TNGM, fokus pada kerjasama pengembangan sarangan.

Material dan lokasi pengembangan TNGM yang menentukan,

masyarakat yang kontra sudah mulai kondusif mealui pelibatan

pemanfaatan jasa lingkungan juga (sumber ata air), pelibatan dalam

pengerjaan.

Page 281: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

271

b. Julianus Kinho

Pemilihan jenis unggulan memperhatikan kebutuhan masyarakat. Di

Sulawesi Utara rumah panggung (woloan) merupakan salah satu PAD

SULUT. Dengan bahan baku nantu, cempaka dan kayu besi. Cempaka

wasian terdiri dari 2 species (M. champacca dan M. sulawesiana). Nilai

ekonomis cempaka wasian (M. sulawesiana) lebih mahal dari yang biasa dan

kualitas kayunya juga lebih baik. Nantu menjadi unggulan local karena lebih

disukai masyarakat di SULUT (MINUT, MITRA, MINSEL dan Minahasa raya).

Jenis ini urgen untuk dilakukan konservasi sumberdaya genetic. Upaya-

upaya yang telah dilakukan diantaranya adalah :

- BP2LHK manado sudah memulai pada tahun 2012 dengan mengumpulna

6 provenans dan 45 family telah ditanam di hutan penelitian batu angus

namun sangat disayangkan terjadi kebakaran.

- 2017 eksplorasi ulang, 79 famili dikumpulkan dan disemaikan di

persemaian BP2LHK Manado.

- Strategi sampling dalam rangka koleksi materi genetic : jumlah populasi,

jumlah ohon per populasi, jumlah biji per pohon.

- Strategi pembangunan konservasi : perlakuan bibit asa.

c. Dwi Yandhi Febrianti

M. nigra merupakan endemic Sulut dengan status sangat terancam punah

berdasarkan IUCN. 2015 terjadi kemarau Panjang (el nino) berefek pada

kelimpahan pakan M. nigra di CA Tangkoko. Kelimpahan pakan ternyata

tidak berbeda signifikan, hal ini terjadi karena kebakaran di CA tangkoko

hanya kebakaran permukaan sehingga tidak mengganggu produksi pohon

berbuah sehingga ketersediaan pakan yaki tetap terpenuhi. Namun terjadi

perubahan daerah jelajah M.nigra.

d. Diah Irawati Dwi Arini

Pertanyaan :

- Lilik : Di ABC selain untuk mengembang biakkan juga untuk tujuan

dirilis. Kapan kira-kira rencana waktu perilisan.

- Irdika Mansur : Saya sangat mengapresiasi ABC sebab belum ada

balai besar yang menangani penangkaran. Oleh karena itu perlu

adanya Balai yang khusus menangani penangkaran ini.

Jawaban :

- Lilik : Memang ada di tujuan besar kami, tujuan jangka Panjang yang

tertuang dalam road map 20 tahunan 2016 – 2036. Kesiapan-

kesiapan masih dikaji oleh tim ABC sesuai dengan jenisnya

Page 282: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

272 | Seminar Nasional “Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya Pelestarian Sumber

Daya Alam”

disesuaikan dengan tempat perilisan. Oleh karena itu masih tujuan

jangka Panjang yang memerlukan kerjasama dari pihak lain.

e. Iwanuddin

Penelitian fitoremediasi pada lahan bekas tambang nikel di Halmahera

Timur, Kegiatan :

- Penanaman jenis local sebanyak 5 jenis bibit lokal.

- Perhitungan persentasi tumbuh, ketapang pertumbuhannya lebih bagus

dari pada jenis lainnya.

- Menganalisis jaringan tanaman untuk mengetahui kemampuan serapan

logamnya, bintangur lebih baik dalam serapan beberapa logam misalnya

cobalt, cadmium.

2. Presentasi dan Diskusi Topik II “Jasa Lingkungan”

Moderator : Dr. Ir. Hendra Gunawan, M.Si

a. Nur Hayati

Desa tersebut telah di enclave dari kawasan TN BABUL. Sudah sejak lama

masyarakat memanfaatkan jasa lingkungan air sebagai penggerak turbin

untuk kebutuhan sehari-hari. Yang menarik disana adalah pengelolaan jasa

lingkungan disana sudah sangat baik, oleh karena itu tujuan dari penelitian

ini adalah agar studi kasus di desa tersebut dapat menjadi contoh yang baik

bagi desa-desa lainnya yang juga memanfaatkan airnya dalam memenuhi

kebutuhan sebagian masyarakatnya terutama untuk pengerangan.

Pengelolaan PLMTH dibangun dari tahun 2004/2005 atas inisiatif mereka

sendiri dengan bantuan dari PPK (program pengembangan kecamatan).

Kendala mereka adalah biaya untuk pengelolaan besar sehingga pemerintah

desa Bersama-sama masyarakat merumuskan perdes untuk meregulasi

PLMTH ini. Selain itu AD/ART juga dibuat untuk mengatur biaya-biaya dalam

pemasangan lampu, pembuatan jaringan, beban biaya elektronik dan biaya

perbulan untuk masing-masing rumah. Selain itu perdes ini juga mengatur

pembatasan-pembatasan penggunaan listrik tiap rumah disesuaikan dengan

kemampuan dari PLMTH itu sendiri. Dala perdes ini juga diatur honor bagi

pengelola, biaya untuk menanam pohon dan pemeliharaannya. Selain

mengatur pengelolaan PLMTH desa ini juga telah memiliki regulasi yang

bagus dalam pengelolaan air bersih.

b. Afandi Ahmad

Peran secara umum hutan mangrove ini dalam perubahan iklim. Potensi

serapan karbon hutan mangrove di teluk bone ini seperti apa?

Page 283: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

273

Bagian terluar pesisir telah mengalami perubahan fungsi, beberapa

bagiannya telah dikonversi ke penggunaan lahan tambak. Oleh karena itu

hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi pertimbangan pemda dalam

pengelolaan selanjutnya, bahwa mangrove berperan dalam menyimpan

cadangan karbon.

Cadangan karbon tertinggi dari kelurahan Songka diikuti temmolebba.

Jenis R. apiculate memiliki nilai karbon tertinggi di kelurahan Songka namun

S. alba lebih besar di kel. Temmalebba. Di pesisir ini masih ada 6 jenis

mangrove dengan dominasi S. alba dan R. mucronate. Peningkatan peran

pemerintah daerah agar kawasan ini bias dijadikan dari green belt.

c. Rahma Suryaningsih

Emisi GRK terbesar di suplai oleh sektor lahan (termasuk kehutanan) dan

energi sebesar 80%. Penelitian di Desa Serawet karena kerentanannya

terhadap perubahan iklim sangat tinggi. Ada 8 jenis mangrove di Desa

Serawet, biomassa terbesar dari B. gymnorrhiza ( 23,32 to carbon/hectar)

disusul R. apiculate. Cadangan karbon terbear dari biomassa artas

permukaan sebesar 54,26 tonC/ha. Rehabilitasi lahan bekas tambak oleh

masyarakat merupakan upaya mitigasi perubahan iklim. Evaluasi

keberhasilan revegetasi harus dilakukan.

d. Nurhaedah

Salah satu modal pembangunan kehutanan yang lagi tren saat ini adalah

pariwisata /ekowisata. Pengunjung wisata alam meningkat oleh karena itu

perlu diikuti pengelolaan yang baik agar wisata tersebut berkelanjutan.

Salah satunya adalah air terjun Moramo yang ada di Kabupaten Konawe

Selatan.

untuk pengelolaan berkelanjutan wisata alam, maka ketersediaan dan

kemampuan pengunjung untuk membayar perlu dikaji.

Kesediaan pengunjung membayar biaya masuk rata-rata sebesar 13 ribu

lebih karena masyarakat mendapatkan kepuasan dari kunjungan, factor lain

adalah besarnya pendapatan pengunjung itu sendiri. Semakin besar

pendapatannya intensitas kunjungan semakin sering.

Saran :

Pelayanan wisata perlu memperhatikan krakteristik pengunjung, untuk

mengarahkan segmentasi pasar sehingga potensi ekonomi bias ditingkatkan

melalui kerjasama Bersama pemda dan pihak terkait. Karena biaya masuk

masih belum masuk ke PAD.

Moderator : wisata alam semakin menarik bagi masyarakat.

Page 284: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

274 | Seminar Nasional “Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya Pelestarian Sumber

Daya Alam”

e. Fariana Frabandari

Ibarat baju, taman nasional adalah bajunya sedangkan aksesoris yang lain

bias ditambahkan salah satunya adalah geopark. Personel di Balai TNB

masih kurang. Kontribusi wisata alam melalui geopark sangat besar,

bunaken bisa menjadi target agar berkontribusi dalam pembangunan dan

berdampak pada social budaya masyarakat.

Unsur-unsur geopark yang dimiliki TN bunaken

- Biodiversity flora fauna dan mangrove

- Fauna ada karang, penyu, m nigra, kus-kus dan tarsius

- Kawasan bunaken tidak hanya pulau bunaken saja namun juga pulau

manado tua, pulau nain dan pulau montehage. Informasi ini justru

sangat jarang diketahui oleh para pihak di Sulawesi utara.

- Batu alam yang dimanfaatkan untuk bangunan

- Culture masyarakat, artefak peninggalan sejarah, makanan khas

merupakan salah satu unsur penguatan.Persiapan yang dilakukan : perlu

penelitian identifikasi jenis-jenis batuan kerjasama antara Balai TNB,

Litbang dan ESDM serta legalitas perlu dipublikasikan dan perlu

dukungan dari pemerintah.

Moderator : pemda sulut perlu memberi dukungan dalam penyelenggaraan

geopark ini, karena potensi wisata alam untuk PAD tinggi.

Pertanyaan :

- Hanom : Dampaknya apa bagi Taman nasional itu adanya mikrohidro ini?

Apakah dengan adanya itu berpengaruh pada kelestarian TN?

- Hanom : Wisata alam harusnya wisata yang tertata dan terbatas, bukan

wisata massal. Tarif berapa yang paling bagus agar alam lebih terjaga

dan ekonomi juga di dapat ? optimasi biaya optimal berapa ?

- Deni : Tahun 2017 balitbangda telah melakukan penelitian salah satunya

di bidang perhubungan dalam menentukan alat trasnportasi laut yang

paling layak bagi turis/wisatawan. Hasil ini telah menjadi referensi

sebagai input kebijakan bagi pemda dalam menyusun RTRW ?

Jawaban :

- Hanom : di TN untuk PLMTH sebetulnya tidak berada dalam kawasan

namun hulu sungainya berada dalam kawasan TN. Masyarakat sadar jika

hutan di kawasan rusak maka akan berpengaruh pada pasokan air yang

akan kesulitan menggerakkan turbin dimana akan mengarungi pasokan

listrik. Adanya PLMTH berdampak ke TN jelas ada, sebab masyarakat

disana lebih sadar untuk menjaga hutan dan bahkan menanam tanaman

kayu-kayuan disekitar sungai untuk menjaga debit air.

Page 285: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

275

- Hanom : Nilai kesediaan membayar merupakan cerminan. Untuk

menghitung biaya optimasi dan nilai elastisitas masih perlu dilakukan

penelitian lagi.

- Deni : Idenya bagus maka kami dari pihak TN bunaken akan mendukung,

namun perlu adanya MoU yang jelas sehingga adanya 6 permasalahan

yang menjadi kendala dapat diselesaikan. Oleh karena itu TN bunaken

tidak perlu lagi membuat master plan, kami tinggal menginduk pada

kesepahaman Bersama dalam mengembangkan sarana wisata alam dari

pemprov dan dirjen di kementerian kehutanan. Mitra dalam

pembangunan sarpras adalah dinas pehubungan, dinas pariwisata,

balitbangda dan Balai TNB.

Testimoni Kelompok Tani :

a. Bapak yakin, petani dalam kawasan KPHP Poigar

Masuknya program penanaman dari balai penelitian sangat membantu

masyarakat dalam menata kawasan. Sistem pembagian hasil penanaman

kayu menggugah hati masyarakat untuk ikut melestarikan kawasan hutan

di KPHP Poigar.

b. Bapak Medi, Rurukan petani Murbei

Permasalahan awan, penanaman pohon daur panjang sehingga lama

menunggu masa panen. Balai menawarkan adanya kerjasama dalam

budidaya ulat sutra. Hal ini merupakan potensi perubahan mata

pencaharian untuk meningkatkan perekonomian masyarakat. Budidaya

ulat sutra membutuhkan perhatian yang sangat intensif. Mulai dari

pengiriman bibit (telur) sampai penetasan. Sambil menunggu masa

panen daun murbei, petani menanam sayuran dengan daur pendek,

misalnya pokcoy.

c. Bapak marten PT Cargil Indonesia

Mewakili petani jamur tiram di minahasa selatan. Ada 2 kelompok tani

ibu2, yang memanfaatkan limbah sabut kelapa menjadi media budidaya

jamur tiram. Permasalahan awal, melimpahnya sabut kelapa memicu

munculnya hama untuk tanaman kelapa itu sendiri.

Pada awal kegiatan, bibit jamur yg digunakan diambil dari jogja dan

makassar. Untuk menjaga kelancaran produksi jamur tiram, kerjasama

dilanjutkan dengan menggandeng NGO di Sulawesi Utara untuk pelatihan

pembuatan bibit jamur tiram putih.

Page 286: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

276 | Seminar Nasional “Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya Pelestarian Sumber

Daya Alam”

3. Presentasi dan Diskusi Topik III “Perhutanan Sosial”

Moderator : Ir. Alfonsius Thomas, MP

a. Anton C. Nugroho

TORA adalah tanah objek reforma agraria. Program Turunan dari Nawacita

oleh Presiden Jokowi. Adanya TORA diharapkan dapat meminimalkan konflik

lahan/penguasaan tanah yang terjadi dalam kawasan hutan. Sosialisasi ke

masyarakat (masyarakat diharapkan melakukan permohonan namun sejauh

ini masih belum banyak yang melaksanakan pelaporan) dan dalam

penyusunan kebijakan juga memperoleh permasalahan, selain itu pola

penyelesaian termasuk rumit.

Penyelesaian ideal yang diharapkan :

- Proses tidak dibatasi dalam satu tahun/periode tertentu. Masyarakat

umumnya perlu melihat contoh sehingga baru tergerak untuk

melaporkan. Sejauh ini belum ada yang tergerak untuk melakukannya

(pelaporan).

- Tahapan disederhanakan dan dipersingkat. Saat ini tahapan panjang dan

rumit.

- Fokus bidang tanah yang dimanfaatkan untuk pemukiman, fasilitas

umum/sosial.

- KPH harus berperan aktif karena memahami kondisi real dilapangan,

sehingga perlu didorong untuk lebih bergerak aktif

b. Nurhaedah

- Sinergi antar pihak dalam pengelolaan hutan rakyat yang diharapkan

kooperatif.

- Semua pihak baik langsung maupun tidak langsung dapat memperoleh

hasil yang optimal dalam pengelolaan hutan rakyat.

- Sejumlah petani telah menjadi kelompok tani dengan struktur dan aturan

yang disepakati.

- Ada komitmen lembaga koperasi untuk memfasilitasi pengelolaan.

- Semua pihak memiliki peran dan saling melengkapi satu sama lain

sehingga mendorong sinergi antar pihak terkait memberikan manfaat

bagi semua.

- Diharapkan mampu menciptakan pasar kayu rakyat dengan

meningkatkan kapasitas petani hutan rakyat, baik perorang maupun

kelompok.

Page 287: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

277

c. Arif Irawan

- Sinergi antar pihak dalam pengelolaan hutan rakyat yang diharapkan

kooperatif.

- Semua pihak baik langsung maupun tidak langsung dapat memperoleh

hasil yang optimal dalam pengelolaan hutan rakyat.

- Sejumlah petani telah menjadi kelompok tani dengan struktur dan aturan

yang disepakati.

- Ada komitmen lembaga koperasi untuk memfasilitasi pengelolaan.

- Semua pihak memiliki peran dan saling melengkapi satu sama lain

sehingga mendorong sinergi antar pihak terkait memberikan manfaat

bagi semua.

- Diharapkan mampu menciptakan pasar kayu rakyat dengan

meningkatkan kapasitas petani hutan rakyat, baik perorang maupun

kelompok.

d. Nurhaedah

- Sinergi antar pihak dalam pengelolaan hutan rakyat yang diharapkan

kooperatif.

- Semua pihak baik langsung maupun tidak langsung dapat memperoleh

hasil yang optimal dalam pengelolaan hutan rakyat.

- Sejumlah petani telah menjadi kelompok tani dengan struktur dan aturan

yang disepakati.

- Ada komitmen lembaga koperasi untuk memfasilitasi pengelolaan.

- Semua pihak memiliki peran dan saling melengkapi satu sama lain

sehingga mendorong sinergi antar pihak terkait memberikan manfaat

bagi semua.

- Diharapkan mampu menciptakan pasar kayu rakyat dengan

meningkatkan kapasitas petani hutan rakyat, baik perorang maupun

kelompok.

Pertanyaan :

- Isdomo : Tora identik dengan konflik tenurial dengan goal apakah

mampu mengurangi konflik atau tidak?

Masyarakat tidak mau mengajukan TORA apakah kurang sosialisasi atau

ada persyaratan yang membuat masyarakat enggan untuk mengajukan?

Apakah TORA akan terus berlanjut, dikhawatirkan muncul

ketidakpercayaan masyarakat terhadap program ini?

- Wildy Poneke : Sejauh mana pengaruh mata pencaharian dan pendidikan

terhadap skema mitra kehutanan?

Page 288: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

278 | Seminar Nasional “Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya Pelestarian Sumber

Daya Alam”

Sejauh mana optimisme akan konsistensi modal social dipertahankan

dalam masyarakat?

- Jailuddin : Setuju dengan perhutanan social namun seiring perjalanan

waktu hal ini belum berjalan secara menyeluruh. Hal ini karena sosialisasi

belum maksimal sehingga masyarakat ragu, sdm belum memadai karena

pemberkasan perhutanan social cukup rumit sehingga masyarakat

mengalami kesulitan dalam penyusunan berkas.

- Afandi Ahmad : Ada salah satu modal social yang sangat berpengaruh.

Sangsi apa yang berlaku?

Jawaban :

- Isdomo : TORA diharapkan mengurangi konflik tenurial dalam kawasan

hutan. Konflik ini sudah sangat kronis. TORA mampu meminimalisir

konflik ini. Optimis terhadap keberadaan TORA akan ending TORA.

Sosialisasi telah dilaksanakan dengan mengundang tetua masyarakat,

telah melakukan “jemput bola” atau kegiatan pendampingan ke

masyarakat dengan memberikan penyuluhan tentang TORA. Sosialisasi

telah dilakukan namun masyarakat belum tergerak hati untuk melakukan

pelaporan/pengajuan. Lambannya proses di Gubernur bukan ruang

otoritas BPKH tetapi tetap mengawal usulan yang dimaksud.

- Wildy Poneke : Semakin baik mata pencaharian dan Pendidikan maka

akan semakin baik pula penilaian atau pengaruh terhadap skema ini. Dan

optimisme terhadap konsistensi modal social dalam masyarakat tetap

diharapakan. Masyarakat lebih cenderung ke modal social dibandingkan

dengan modal finansial.

- Jailuddin : Meningkatkan pendampingan kepada masyarakat guna

meningkatkan sdm.

- Afandi Ahmad : Misalnya terkait dengan larangan penebangan pohon,

maka masyarakat akan mematuhinya.

Saran :

Iwan Mokoginta : Perhutanan social secara teoritis sudah mantap tapi real

dilapangan berjalan dengan lambat, peneliti meneliti secara mendalam

dalam kelembangaannya dan mengikuti tren masyarakat, pendekatan dalam

valuasi ekonomi yang dirasa belum sesuai dengan kajian penelitian, inti dari

persoalan dalam lingkungan yaitu karakter diri sendiri.

Apresiasi :

Berty Winerungan : Apresiasi terhadap BP2LHK Manado bahwa ada 2 lokasi

untuk resolusi konflik social masyarakat. Berharap kegiatan ini dapat terus

berlanjut.

Page 289: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

279

Moderator :

Sinergitas sangat penting untuk semua pemangku kepentingan untuk

menghasilkan karya terbaik yang dapat diberikan kepada masyarakat.

4. Presentasi dan Diskusi Topik IV “Hasil Hutan Bukan Kayu”

Moderator : Ir. Tabroni, MM

a. A. Wildah

- Kebutuhan benang tinggi, tetapi produksi masih kurang.

- Penyebabnya kurangnya industri.

- Pemeliharaan ulat berdasarkan standar SOP oleh Balitbang Kehutanan

- Inkubasi Telur Sutera ; telur menetas ulat.

- Pakan ulat ; pakan dirajang sekecil mungkin agar mudah dikonsumsi oleh

ulat

- Pemeliharaan ; ulat sudah bisa memakan cabang ranting, ulat sudah

mengokon

- Ditemukan penyakit : diduga penyebabnya bakteri (disebabkan dari sisa

kotoran yang menumpuk, dan penularan dari ulat yag sakit) sehingga

kokon gagal pintal.

- Kokon normal : putih, bersih, kasar, lonjong.

- Kegiatan ini telah menghasilkan kokon yang baik meskipun terdapat

kokon yang tidak berhasil.

b. Jafred E. Halawane

- Gaharu bisa berasal dari gaharu alam dan gaharu budidaya.

- Gaharu alam lebih berbobot daripada gaharu budidaya sehingga perlu

ada kajian sehingga gaharu budidaya juga mampu menarik minat

masyarakat.

- Penyimpanan dan waktu simpan memberikan pengaruh nyata terhadap

daya kecambah.

- Perbedaan hasil diberikan karena adanya perbedaan perlakuan

penyimpanan

- Biji dengan daging disimpan dalam plastic transparan memberikan hasil

yang baik untuk penyimpanan, satu minggu setelah diunduh adalah

waktu yang terbaik.

c. Hanif Nurul Hidayah

- Senyawa aktif berperan dalam pemanfaatan sebagai obat tradisional

sehingga perlu dikaji.

- Perlakuan diberikan untuk mengetahui kandungan senyawa aktif

Page 290: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

280 | Seminar Nasional “Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya Pelestarian Sumber

Daya Alam”

- Metode penggodokan dengan pelarut air digunakan dalam proses

ekstraksi karena lebih mudah untuk dilakukan oleh masyarakat.

- Uji metabolit Sekunder menghasilkan data bahwa semua mengandung

kandungan senyawa aktif (flavonoid, fenol, tannin, saponin, steroid).

- Uji toksisitas BSLT dilakukan sebagai syarat uji keamanan suatu obat

baru. Nilai toksisitas terbaik ditunjukkan oleh sampel ekstrak daun muda.

- Pemanfaatan daun pakoba sebagai teh herbal yaitu dengan

menggunakan daun muda dengan metode pengeringan oven.

Saran :

- Nurhaedah : Hasil ulat sutra belum memadai dan banyak hambatan-

hambatannya. Semakin sering dilakukan pemeliharaan maka akan

diketahui Teknik pemeliharaan yang baik untuk mencapai keberhasilan.

Kendala banyaknya kokon dobel sehingga perlu diperbaiki alat

kokonannya jangan terlalu padat. Terkait penyakit, apabila melihat ulat

yang diduga sakit maka harus dipisahkan/dibuang. Terkait HOK, HOK

harus dua orang (Petugas pakan dan Petugas pemeliharaan ulat dalam

kandang).

- Santiago : Di TN Bantimurung Bulusaraung banyak pakoba, silahkan jika

ingin dikaji lebih lanjut.

Page 291: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

281

TOPIK PRESENTASI DAN JADWAL ACARA SEMINAR

WAKTU ACARA KETERANGAN

07.30 – 08.00 Registrasi Panitia

08.00 – 08.05 Menyanyikan lagu Indonesia Raya Panitia

08.05 – 08.25 Tarian Sambutan Selamat Datang Sanggar Tari

08.25 – 08.30 Pembacaan Doa Arif Irawan, S.Si

08.30 – 08.45 Laporan Penyelenggaraan Kepala BP2LHK Manado

08.45 – 09.10

Pembukaan dan Keynote Speech I

Kepala Badan Litbang dan Inovasi KLHK (Dr. Ir Agus Justianto,

M.Sc)

09.10 – 09.25 Keynote Speech II Direktur Jenderal KSDAE KLHK

(Ir. Wiratno, M.Sc)

Moderator I 09.25 – 09.40

Keynote Speech III Institut Pertanian Bogor

(Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc)

09.40 – 09.50 Pemmbicara Tamu Wallacea Nature

(Simon Purser)

09.50 – 10.05 Diskusi

10.05 – 10.20 Coffee Break Panitia

10.20 – 12.10 Sesi I : Sub Tema : Konservasi Sumber

Daya Alam dan Jasa Lingkungan

Moderator II

12.10 – 13.00 ISHOMA Panitia

13.00 – 13.10 Testimoni Kelompok Tani Poigar Arif Irawan, S.Si

13.10 – 15.00 Sesi II : Sub Tema : Perhutanan Sosial

dan Hasil Hutan Bukan Kayu

Moderator III

15.00 – 15.30 Coffee Break Panitia

15.30 – 16.00 Pembacaan Rumusan Tim Perumus

16.00 – 16.15 Penutupan Kepala BP2LHK Manado

Page 292: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

282 | Seminar Nasional “Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya Pelestarian Sumber

Daya Alam”

Bidang Konservasi Sumber Daya Alam

No Waktu

Presentasi Penulis Judul Abstrak

1 10.20 – 10.30 AYPBC Widyatmoko,

Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik

di Taman Nasional Gunung Merapi

2 10.30 -10.40 Julianus Kinho

Pentingnya Konservasi Sumberdaya Genetik Jenis Kayu Lokal Potensial

di Sulawesi Utara

3 10.40 – 10.50 Dwi Yandhi Febriyanti

El Nino Effect (2015): Hubungan Kelimpahan Pakan dan Luasan

Daerah Jelajah Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra) Di Kphk

Tangkoko

4 10.50 – 11.00 Rahma Suryaningsih

Kemanfaatan Anoa Breeding Centre Ditinjau dari Motivasi Pengunjung

5 11.00 – 11.10 Wanda

Kuswanda

Aktivitas Harian dan Pengelolaan

Gajah Jinak (Elephas maximus sumatranus) di Sumatera Utara

Bidang Jasa Lingkungan

No Waktu

Presentasi Penulis Judul Abstrak

1 11.25 – 11.35 Nur Hayati Pengelolaan Jasa Lingkungan Air di Desa Patanyamang, Kecamatan

Camba, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan

2 11.35 – 11.45 Hadijah Azis

Karim

Biomassa Dan Cadangan Karbon Di

Hutan Mangrove: Studi Kasus Teluk Bone, Kota Palopo

3 11.45 – 11.55 Nurlita Indah Wahyuni

Potensi Karbon Hutan Mangrove Desa Sarawet Minahasa Utara untuk

Mitigasi Perubahan Iklim

4 11.55 – 12.05 Wahyudi

Isnan

Karakteristik dan Kesediaan

Membayar Pengunjung Wisata Alam

Air Terjun Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara

Page 293: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

283

Bidang Perhutanan Sosial

No Waktu

Presentasi Penulis Judul Abstrak

1 13.25 – 13.35 Pernando Sinabutar

Dunia Nyata Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam

Kawasan Hutan di Provinsi Sulawesi Utara

2 13.35 – 13.45 Achmad Rizal H

Bisjoe

Membangun Sinergi Para Pihak

Hutan Rakyat di Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi

Sulawesi Tenggara

3 13.45 – 13.55 Arif Irawan Sikap Masyarakat Terhadap Pelaksanaan Uji Coba Skema

Kemitraan di KPHP Model Poigar

4 13.55 - 14.05 Evita Hapsari Modal Sosial Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Rakyat di

Desa Mallelleng Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba

Bidang Hasil Hutan Bukan Kayu

No Waktu

Presentasi Penulis Judul Abstrak

1 14.20 – 14.30 Andi Wildah Budidaya Ulat Sutera di Sulawesi

Utara

2 14.30 – 14.40 Jafred E.

Halawane

Pengaruh Tempat dan Waktu

Penyimpanan Terhadap

Keberhasilan Daya Kecambah Benih Gaharu (Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke)

3 14.40 – 14.50 Hanif Nurul

Hidayah

Uji Fitokimia dan Toksisitas pada

Ekstrak Daun Pakoba (Syzygium luzonense (Merr.) Merr)

Page 294: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

284 | Seminar Nasional “Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya Pelestarian Sumber

Daya Alam”

Page 295: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

285

DAFTAR PESERTA SEMINAR

No NAMA Jabatan/Instansi

1 Hendra Gunawan Peneliti Puslitbang Hutan Bogor

2 Pulu Utama KKH KSDAE

3 Hamdi PSN

4 Robby Rompas Fakultas Kehutanan Universitas

Dumoga Kotamobagu

5 Ammy N Balai TNGM

6 Mody MTSTH

7 Bambang BTN Gunung Merapi

8 Widyanto B2P2BPTH

9 Thomas Nifiluri BKSDA Sulsel

10 Simon Purser Wallacea

11 Fariana BTN Bunaken

12 Dodi Garnadi BP2LHK Manado

13 Andi Hakim BPDAS Bone Bolango

14 Nur Hayati BP2LHK Makasar

15 Irdika Mansur SEAMEO BIOTROP

16 Joni BP2LHK Sulsel

17 Tabroni BP2LHK Palembang

18 Ance Selamatkan Yaki

19 Fatur Bani BP2LHK MakasSar

20 ABD Kadir Prodi Kehutanan Ternate

21 Lis Nurani BP2LHK Manado

22 Aladin Gobel Sangadi Lolan

23 Kama BP2LHK Manado

24 Isdomo BP2LHK Manado

25 Rahma BP2LHK Manado

26 Wilda BP2LHK Manado

27 Mickel Prodi kehutanan

28 Iwanudin BP2LHK Manado

29 YB. Waworuntu Kadis LH Manado

30 Indriarti Kabid LH Manado

Page 296: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

286 | Seminar Nasional “Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya Pelestarian Sumber

Daya Alam”

No NAMA Jabatan/Instansi

31 Fatmasari BBKSDA SULSEL

32 Santiago BBKSDA SULSEL

33 Novita BP2LHK Manado

34 Billy G Lolowang PPS Tasik koki

35 D. Pandelaki Bank Mandiri

36 Made Lanang P Bank Mandiri

37 Shabirin BKSDA Sulut

38 Diah Irawati BP2LHK Manado

39 Thomas Milano BPPHLHK Manado

40 Julianus Kinho BP2LHK Manado

41 Yuyun Badan Litbang dan Inovasi KLHK

42 Ishak Ismail BP2LHK Manado

43 Fendi Saputra TN Bogani Nani Wartabone

44 Yakob K. Tani

45 Lulus Turbianti BP2LHK Manado

46 Isdomo Y. BP2LHK Manado

47 Sri Rejeki KKH

48 Meydi Kalalo K. Tani

49 Cahyo Riyadi BP2LHK Manado

50 Hanif Nurul BP2LHK Manado

51 Arif Irawan BP2LHK Manado

52 Sjuntje Din Kima Atas

53 Windi Liani PPS Tasikoki

54 Nurhaedah BP2LHK Makasar

55 obed edom BP2LHK Manado

56 Yakub A BKSDA Sulut

57 Wildy BTNBNW

58 Rukam Dayadi BPDAS Tondano

59 Rina Mamonto BP2LHK Manado

60 Joni Mura BP2LHK Manado

61 Florentina Reni BPDAS Tondano

62 Nuraini BTN Bogani Nani Wartabone

63 Desly Rolando BP2LHK Manado

64 Anton BPKH Wil VI Manado

65 Fabiola Saninsong Unsrat

66 Agus P. BP2LHK Manado

Page 297: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

287

No NAMA Jabatan/Instansi

67 Yopi Golioth LPS Sulut

68 Ricky Masyarakat Minahasa

69 Rhamadita Y. Pradana BPDASHL Tondano

70 Jafret Halawane BP2LHK Manado

71 Supratman Tabba BP2LHK Manado

72 Afandi Ahmad UNANDA

73 Djarmadin KPHL UNIT III

74 Tinus Sanda BP2LHK Manado

75 Dini Yandhi MNP

76 Lilik Yuli Epass Tangkoko

77 Angelina Lenak BP2LHK Manado

78 Deny R. Kabid PIT Balitbang DA SULUT

79 Yohanes B Kadis

80 Wimbuh Maharma PT JRBM

81 Yermias BP2LHK Manado

82 T. Hambali Mokoagow BPPIKHL Sulawesi

83 Jouvan Tangkere Balitbangda Sulut

84 Wawan UNSRAT

85 Marthen PT.CARGIL

86 Enea PT.CARGIL

87 Daniel PT.MSM

88 Rudy Bedjo BKSDA

89 Hendra Kawulur BKSDA

90 Melky BTN Bunaken

91 Tulus Sarah BP2LHK Manado

92 Kristian Antam

93 Hanom Bashari Epass Tangkoko

94 Dini Rahmanita BTNBNW

95 Rojmi BTNBNW

96 Novel J. Pongajow DLH Kab.Mintra

97 Lastri Situmorang BP2LHK Manado

98 Andreas Tribun Manado

99 Djani Manado Post

100 Jeksen Manado Post

101 Stephan miyaski MNP

102 Hengky BPDAS HL TNDNO

Page 298: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

288 | Seminar Nasional “Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya Pelestarian Sumber

Daya Alam”

No NAMA Jabatan/Instansi

103 Rinto H. BP2LHK Manado

104 Tajudin M BP2LHK Manado

105 Musa KPHP Unit II Bolsel

106 Iwan KPHP Unit II Bolsel

107 Sudin LSM Kibar

108 Supardi Anis News

109 Mody K. BP2LHK Manado

110 Deka BTN Bunaken

111 Adi Tri Utomo BTN Bunaken

112 H. Permata Media Nasional

113 Samsudin Media Amunisi

114 Melky Parengkuan KPHL UNIT II

115 Lina pendong Manado post

116 Jimmy Dapar kompas TV

117 Berty KPHP Poigar

118 Giolano Setiawan Manado post

119 Fredy Dishut Provinsi

120 Nina Sudarwati BP2LHK Manado

121 Aldy F BANK Mandiri

122 David Lumunon BANK Mandiri

123 Arlenos BKSDA Sulut

124 Absalom Tribun Manado

125 Nani BPDAS

126 Angnes BPDAS

127 Alex BP2LHK Manado

128 Wilson BP2LHK Manokwari

129 Hany Hilse Selamatkan Yaki

130 Dave Rich Selamatkan Yaki

131 Erwin Hardika BPDASHL Tondano

132 Farid BP2LHK Manado

133 Alkes Tarusu BTN Bunaken

134 Budiman BPKH Wil. VI Manado

135 Yusuf BKSDA

136 Ester BP2LHK Manado

137 Mikke BP2LHK Manado

138 Djemri BPKH Wil VI Manado

Page 299: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

289

Page 300: D $ODP - balithut-manado.org · MAKALAH PRESENTASI Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati.. 1-16

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan ManadoJl. Raya Adipura Kelurahan Kima Atas, Kecamatan Mapanget Kota ManadoEmail : [email protected]; [email protected]

Website : http://manado.litbang.menlhk.go.id