22
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Lahan Kritis Lahan kritis adalah lahan yang tidak mampu secara efektif digunakan untuk lahan pertanian, sebagai media pengatur tata air, maupun sebagai pelindung alam lingkungan. Selain itu dapat juga didefenisikan sebagai lahan yang tidak sesuai antara kemampuan tanah dan penggunaannya, akibat kerusakan secara fisik, kimia, dan biologis sehingga membahayakan fungsi hidrologis, sosial- ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi pemukiman. Hal ini dapat menimbulkan erosi dan longsor di daerah hulu serta terjadi sendimentasi dan banjir di daerah hilir (Zain, 1998). Kekritisan lahan juga dapat dinilai secara kualitatif dan kuantitatif. Ukuran kuantitatif menetapkan kekritisan berdasarkan luas lahan atau proporsi anasir lahan yang terdegradasi atau hilang. Misalnya, berkurangnya atau hilangnya sumber air karena menyusutnya imbuhan (recharge) atau karena laju penyedotan lebih besar dari pada laju imbuhan, menunjukan kekritisan kuantitatif lahan. Ukuran kualitatif menetapkan kekritisan menurut tingkat penurunan mutu lahan atau anasir lahan. Akan tetapi ukuran kuantitatif dan kualitatif sering berkaitan. Misalnya, penipisan tubuh tanah (gejala kuantitatif) karena erosi membawa serta penurunan produktivitas tanah (gejala kualitatif) karena lapisan tanah atasan biasanya lebih produktif dari pada lapisan tanah bawahan. Kebakaran hutan pada awalnya menimbulkan kekritisan kuantitatif (penyusutan luas lahan). Kemudian dapat muncul kekritisan kualitatif karena regenerasi hutan menumbuhkan flora Universitas Sumatera Utara

Daerah aliran sungai

Embed Size (px)

Citation preview

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Lahan Kritis

Lahan kritis adalah lahan yang tidak mampu secara efektif digunakan

untuk lahan pertanian, sebagai media pengatur tata air, maupun sebagai pelindung

alam lingkungan. Selain itu dapat juga didefenisikan sebagai lahan yang tidak

sesuai antara kemampuan tanah dan penggunaannya, akibat kerusakan secara

fisik, kimia, dan biologis sehingga membahayakan fungsi hidrologis, sosial-

ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi pemukiman. Hal ini dapat

menimbulkan erosi dan longsor di daerah hulu serta terjadi sendimentasi dan

banjir di daerah hilir (Zain, 1998).

Kekritisan lahan juga dapat dinilai secara kualitatif dan kuantitatif. Ukuran

kuantitatif menetapkan kekritisan berdasarkan luas lahan atau proporsi anasir

lahan yang terdegradasi atau hilang. Misalnya, berkurangnya atau hilangnya

sumber air karena menyusutnya imbuhan (recharge) atau karena laju penyedotan

lebih besar dari pada laju imbuhan, menunjukan kekritisan kuantitatif lahan.

Ukuran kualitatif menetapkan kekritisan menurut tingkat penurunan mutu lahan

atau anasir lahan. Akan tetapi ukuran kuantitatif dan kualitatif sering berkaitan.

Misalnya, penipisan tubuh tanah (gejala kuantitatif) karena erosi membawa serta

penurunan produktivitas tanah (gejala kualitatif) karena lapisan tanah atasan

biasanya lebih produktif dari pada lapisan tanah bawahan. Kebakaran hutan pada

awalnya menimbulkan kekritisan kuantitatif (penyusutan luas lahan). Kemudian

dapat muncul kekritisan kualitatif karena regenerasi hutan menumbuhkan flora

Universitas Sumatera Utara

yang lebih miskin jenis dari pada hutan semula sebelum terbakar atau degradasi

keanekeragaman hayati (Notohadiprawiro, 2006).

Lahan kritis adalah lahan atau tanah yang saat ini tidak produktif karena

pengelolaan dan penggunaan tanah yang tidak atau kurang memperhatikan syarat-

syarat konservasi tanah dan air sehingga menimbulkan erosi, kerusakan-

kerusakan kimia, fisik, tata air dan lingkungannya. Pengelolaan lahan merupakan

suatu upaya yang dimaksudkan agar lahan dapat berfungsi optimal sebagai media

pengatur tata air dan produksi. Bentuk pengelolaan lahan yang baik adalah dapat

menciptakan suatu keadaan yang mirip dengan keadaan alamiahnya

(Wirosoedarmo dkk, 2007).

B. Daerah Aliran Sungai

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang

merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi

menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke

danau atau laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografi

dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas

di daratan. Sub DAS adalah bagian DAS yang menerima air hujan dan

mengalirkannya melalui anak sungai ke sungai utama. Pengelolaan DAS adalah

upaya manusia dalam mengendalikan hubungan timbal balik antara sumber daya

alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktifitasnya, dengan tujuan

membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan

sumber daya alam bagi manusia secara berkelanjutan. Pengelolaan DAS Terpadu

adalah rangkaian upaya perumusan tujuan, sinkronisasi program, pelaksanaan dan

pengendalian pengelolaan sumber daya DAS lintas para pemangku kepentingan

Universitas Sumatera Utara

secara partisipatif berdasarkan kajian kondisi biofisik, ekonomi, sosial, politik dan

kelembagaan guna mewujudkan tujuan pengelolaan DAS (P. 39/Menhut-II/2009).

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang

merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi

menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke

danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis

dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas

daratan. Sub DAS adalah bagian dari DAS yang menerima air hujan dan

mengalirkannya melalui anak sungai ke sungai utama. Setiap DAS terbagi habis

ke dalam Sub DAS – Sub DAS (P. 32/Menhut-II/2009).

Pemanfaatan lahan yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah konservasi

tanah dan air menyebabkan terjadinya degradasi lahan yang pada akhirnya akan

menimbulkan lahan kritis. Sub DAS adalah bagian dari DAS yang menerima air

hujan dan mengalirkannya melalui anak sungai ke sungai utama. Setiap DAS

terbagi habis ke dalam sub–sub. Lahan merupakan bagian bentang alam

(landscape) yang mencakup pengertian dari fisik termasuk ilkim, topografi

(relief), hidrologi dan keadaan vegetasi alami (natural vegetation) yang semuanya

secara potensial berpengaruh terhadap penggunaan lahan. Kemampuan

penggunaan lahan merupakan kesanggupan lahan untuk memberikan hasil

penggunaan pertanian pada tingkat produksi tertentu (Wirosoedarmo dkk, 2007).

C. Komponen Ekosisitem Daerah Aliran Sungai

Komponen ekosistem DAS bagian hulu umunya dapat dipandang sebagai

suatu ekosisitem pedesaan. Ekosisitem ini terdiri atas empat komponen utama

yaitu desa, sawah atau ladang, sungai dan hutan. Komponen yang menyusun DAS

Universitas Sumatera Utara

berbeda tergantung pada daerah setempat. Misalnya adanya komponen lain seperti

perkebunan, sementara di daerah pantai ditemukan adanya komponen lingkungan

hutan bakau (Asdak, 1995).

Suatu ekosistem alamiah maupun binaan selalu terdiri dari dua komponen

utama yaitu komponen biotik dan abiotik. Vegetasi atau komunitas tumbuhan

merupakan salah satu komponen biotik yang menempati habitat tertentu seperti

hutan, padang ilalang dan semak belukar. Struktur dan komposisi vegetasi pada

suatu wilayah dipengaruhi komponen ekosistem lainnya saling berinteraksi,

sehingga vegetasi yang tumbuh secara alami pada wilayah tersebut sesungguhnya

merupakan pencerminan hasil interaksi berbagai faktor lingkungan dan

mengalami perubahan drastis karena pengaruh antropogenik (Arrijani dkk, 2006).

D. Faktor Penyebab Kerusakan Lahan

Lahan merupakan bagian bentang alam (landscape) yang mencakup

pengertian dari fisik termasuk ilkim, topografi (relief), hidrologi dan keadaan

vegetasi alami (natural vegetation) yang semuanya secara potensial berpengaruh

terhadap penggunaan lahan.

Proses hidrologi yang terjadi di suatu Daerah Aliran Sungai berkaitan

dengan terjadinya erosi, transport sedimen, dan deposisi sedimen di bagian hilir.

Perubahan tata guna lahan dan praktek pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)

juga akan mempengaruhi terjadinya erosi dan sendimentasi. Faktor utama

penyebab kerusakan lahan adalah kesalahan pengelolaan lahan khususnya lahan

pertanian di daerah hulu. Kesalahan pengelolaan lahan umumnya tidak

mengindahkan kaidah konservasi lahan. Hal ini disebabkan karena masyarakat

belum mengetahui bahaya mengelola daerah berlereng terjal dan kurangnya

Universitas Sumatera Utara

pengetahuan masyarakat terhadap konservasi tanah dan air. Faktor penyebab

lahan kritis dapat meliputi penebangan liar, kebakaran alami, pemanfaatan

sumberdaya hutan yang tidak berazaskan kelestarian, penataan zonasi kawasan

belum berjalan, pola penggunaan lahan tidak konservatif dan pengalihan status

lahan untuk berbagai kepentingan dan lain sebagainya (Surgawan, 2004).

Lahan kritis diakibatkan antara lain karena daya resap tanah terhadap air

akan menurun sehingga kandungan air tanah akan berkurang yang mengakibatkan

kekeringan pada musim kemarau, terjadinya arus permukaan tanah pada waktu

musim hujan yang mengakibatkan bahaya banjir, longsor, menurunnya kesuburan

tanah, daya dukung lahan dan keanekaragaman hayati (Basamalah, 2005).

Tidak optimalnya kondisi DAS antara lain disebabkan tidak adanya

ketidakterpaduan antar sektor dan antar wilayah dalam pengelolaan sumberdaya

alam dan lingkungan DAS tersebut. Dengan kata lain, masing-masing berjalan

sendiri sendiri dengan tujuan yang kadangkala bertolak belakang. Sulitnya

koordinasi dan sinkronisasi tersebut lebih terasa dengan adanya otonomi daerah

dalam pemerintahan dan pembangunan dimana daerah berlomba memacu

meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan memanfaatkan sumberdaya

alam yang ada. Permasalahan ego-sektoral dan ego-kedaerahan ini akan menjadi

sangat kompleks pada DAS yang lintas kabupaten/kota dan lintas propinsi. Oleh

karena itu, dalam rangka memperbaiki kinerja pembangunan dalam DAS maka

perlu dilakukan pengelolaan DAS secara terpadu. Pengelolaan DAS terpadu

dilakukan secara menyeluruh mulai keterpaduan kebijakan, penentuan sasaran dan

tujuan, rencana kegiatan, implementasi program yang telah direncanakan serta

monitoring dan evaluasi hasil kegiatan secara terpadu. Pengelolaan DAS terpadu

Universitas Sumatera Utara

selain mempertimbangkan faktor biofisik dari hulu sampai hilir juga perlu

mempertimbangkan faktor sosial-ekonomi, kelembagaan, dan hukum. Sehingga

pengelolaan DAS terpadu diharapkan dapat melakukan kajian integratif dan

menyeluruh terhadap permasalahan yang ada, upaya pemanfaatan dan konservasi

SDA skala DAS secara efektif dan efisien (Keputusan Menteri, 2003).

Kerusakan sumberdaya alam hutan (SDH) yang terjadi saat ini telah

menyebabkan terganggunya keseimbangan lingkungan hidup daerah aliran sungai

(DAS) seperti tercermin pada sering terjadinya erosi, banjir, kekeringan,

pendangkalan sungai dan waduk serta saluran irigasi. Tekanan yang besar

terhadap sumber daya alam oleh aktivitas manusia, salah satunya dapat

ditunjukkan adanya perubahan penutupan lahan dan erosi yang begitu cepat.

Pengelolaan DAS dengan permasalahan yang komplek, diperlukan penanganan

secara holistik, integral dan koordinatif (Harjadi dkk, 2007).

E. Penetapan Lahan Kritis

Penetapan lahan kritis mengacu pada defenisi lahan kritis yang ditetapkan

sebagai lahan yang telah mengalami kerusakan secara fisik sehingga kehilangan

atau berkurang fungsinya sampai pada batas toleransi yang telah ditentukan sesuai

dengan Peraturan Menteri Kehutanan (P. 32/Menhut-II/2009). Sasaran lahan kritis

adalah lahan-lahan dengan fungsi lahan yang berkaitan dengan kegiatan reboisasi

dan penghijauan, yaitu fungsi kawasan hutan lindung, fungsi kawasan hutan

lindung diluar kawasan hutan dan fungsi kawasan budidaya untuk usaha

pertanian.

a. Fungsi Kawasan Hutan Lindung

Universitas Sumatera Utara

Kawasan hutan lindung merupakan kawasan hutan yang memiliki sifat

khas yang mampu memberikan perlindungan pada kawasan sekitarnya maupun

bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegahan banjir dan erosi serta

pemelihara kesuburan tanah. Pada fungsi kawasan lindung, kekritisan lahan dinilai

berdasarkan keadaan tutupan lahan/penutupan tajuk pohon (bobot 50%),

kelerengan lahan (bobot 20%), tingkat erosi (20%) dan manajemen/ usaha

pengamanan lahan (bobot 10%).

b. Fungsi Kawasan Lindung di Luar Kawasan Hutan

Kawasan lindung merupakan kawasan yang ditetapkan dengan fungsi

melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan

sumberdaya buatan. Kawasan lindung di luar kawasan hutan merupakan kawasan

yang memiliki fungsi sebagai zona pelindung daerah sekitarnya yang lebih khusus

seperti sempadan sungai berfungsi untuk melindungi kawasan sepanjang kiri

kanan sungai untuk mempertahankan fungsi sungai. Pada fungsi kawasan lindung

di luar kawasan hutan, kekritisan lahan dinilai berdasarkan vegetasi permanen

yaitu persentase penutupan tajuk pohon (50%), kelerengan lahan (bobot 10%),

tingkat erosi (bobot 10%) dan manajemen (bobot 30%).

c. Fungsi Kawasan Budidaya untuk Usaha Pertanian

Kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan fungsi utama untuk

dibudidayakan atas dasar kondisi potensi, sumberdaya alam dan sumber daya

manusia. Pada fungsi kawasan budidaya untuk usaha pertanian, kekritisan lahan

dinilai berdasarkan produktivitas lahan yaitu rasio terhadap produksi komoditi

umum optimal pada pengelolaan tradisional (bobot 30%), kelerengan lahan

(20%), tingkat erosi yang diukur berdasarkan tingkat hilangnya lapisan tanah, baik

Universitas Sumatera Utara

untuk tanah dalam maupun untuk tanah dangkal (15%), batu-batuan (15%) dan

manajemen yaitu usaha penerapan teknologi konservasi tanah pada setiap unit

lahan 30% (P. 32/Menhut-II/2009).

Rumus fungsi untuk penentuan kekritisan lahan kritis pada masing-masing

kawasan adalah:

LK = [ a(50) + b(10) + c(10) + d(30) ]

Keterangan:

LK = lahan kritis

a = Faktor penutupan lahan/ vegetasi permanen

b = Faktor kemiringan lahan

c = Faktor bahaya erosi

d = Faktor manajemen

50, 10, 10, 30 = merupakan konstanta dari nilai scoring sesuai kawasannya

F. Universal Soil Loss Equation (USLE)

Tingkat Bahaya Erosi (TBE) dapat dihitung dengan cara membandingkan

tingkat erosi di suatu satuan lahan (land unit) dan kedalaman tanah efektif pada

satuan lahan tersebut. Dalam hal ini tingkat erosi dihitung dengan menghitung

perkiraan rata-rata tanah hilang tahunan akibat erosi lapis dan alur yang dihitung

dengan rumus Universal Soil Loss Equation (USLE).

Perhitungan Tingkat Erosi dengan rumus USLE dapat dinyatakan sebagai

A = R x K x LS x C x P

Keterangan:

A = Jumlah tanah hilang (ton/ha/tahun)

Universitas Sumatera Utara

R = Erosivitas curah hujan tahunan rata-rata (biasanya dinyatakan sebagai energi

dampak curah hujan (MJ/ha) x Intensitas hujan maksimal selama 30 menit

(mm/jam)

K = Indeks erodibilitas tanah (ton x ha x jam) dibagi (Ha x Mega Joule x mm)

LS = Indeks panjang dan kemiringan lereng

C = Indeks pengelolaan tanaman

P = Indeks upaya konservasi tanah

1. Indeks Erosivitas Curah Hujan (R)

Indeks erosivitas curah hujan ditentukan untuk setiap satuan lahan tersebut

di atas. Data curah hujan jarang didapat di daerah tangkapan air, terutama data

tentang intensitas dan lama hujan, serta frekuensi terjadinya hujan. Timbul

permasalahan dalam ekstrapolasi data curah hujan dari stasiun cuaca di daerah

hilir dan penerapan data tersebut sehubungan dengan perbedaan curah hujan di

daerah hulu.

Indeks erosivitas curah hujan EI30 umumnya diterima karena mempunyai

korelasi terbaik dengan tanah hilang di Indonesia. Metode RTkRHL-DAS

menetapkan R yang setara dengan EI30 yang merupakan indeks erosivitas

Wiscmeiers. Pada USLE, E mengacu pada energi kinetis badai dan I30 adalah

intensitas curah hujan maksimum selama 30 menit pada saat badai.

Metode penghitungan erosivitas curah hujan tergantung pada jenis data

curah hujan yang tersedia. Disarankan agar menggunakan rumus Bols jika

diketahui jumlah curah hujan bulanan rata-rata, jumlah hari hujan dalam bulan

tertentu, dan curah hujan harian rata-rata maksimal pada bulan tertentu. Rumus

Lenvain digunakan apabila hanya tersedia data curah hujan bulanan rata-rata.

Universitas Sumatera Utara

- Rumus Bols

Rumus Bols digunakan apabila memungkinkan. Rumus Bols memerlukan

data jumlah curah hujan bulanan rata-rata, jumlah hari hujan bulanan rata-rata,

dan curah hujan harian rata-rata maksimal pada bulan tertentu dengan rumus

sebagai berikut :

Rm = 6,119 x (Rain)m 1,21 x (Days)m 0,47 x (Max P)m 0,53

Keterangan:

Rm = erosivitas curah hujan bulanan rata-rata (EI30)

(Rain) m = jumlah curah hujan bulanan rata-rata dalam cm

(Days)m = jumlah hari hujan bulanan rata-rata pada bulan tertentu

(Max P)m = curah hujan harian rata-rata maksimal pada bulan tertentu dalam cm

dan R = Σ m12=1 (Rm)

dimana : R = erosivitas curah hujan tahunan rata-rata = jumlah Rm selama 12

bulan

Rumus Bols menggunakan data jangka panjang curah hujan bulanan rata-

rata sedikitnya untuk 10 tahun dan akan lebih baik jika lebih dari 20 tahun. Rumus

Bols ini dibuat untuk Jawa dan Madura dan karena itu mungkin tidak sesuai untuk

daerah lain di Indonesia, terutama daerah yang beriklim lebih kering. Alternatif

termudah untuk Jawa dan Madura adalah menggunakan peta Bols (Bols 1978).

Terutama apabila tidak tersedia data jangka panjang.

- Rumus Lenvain

Rumus Lenvain digunakan apabila hanya tersedia data curah hujan tahunan

rata-rata. Rumusnya adalah sebagai berikut :

Rm = 2,21 (Rain) m 1,36

Universitas Sumatera Utara

Keterangan:

Rm = erosivitas curah hujan bulanan

(Rain) m = curah hujan bulanan dalam cm

dan R = Σ m12=1 (Rm)= jumlah Rm selama 12 bulan

Curah hujan bulanan rata-rata yang digunakan adalah data jangka panjang:

minimal 10 tahun dan akan lebih baik jika 20 tahun atau lebih. Disarankan agar

tidak menghitung R tahunan dari catatan curah hujan harian, sebab akan

dibutuhkan catatan curah hujan dalam waktu yang panjang yang akan membuat

perhitungan menjadi berlebihan.

2. Indeks Erodibilitas Tanah (K)

Faktor erodibilitas tanah adalah indeks kuantitatif kerentanan tanah

terhadap erosi air. Faktor K merupakan tanah hilang tahunan rata-rata dalam

ton/ha/satuan EI30 seperti yang dihitung dari tanah hilang pada plot-plot

sepanjang 22.1 m di lahan kosong dan diolah sejajar dengan lereng 9%. Nilai yang

dihitung berdasarkan percobaan berkisar antara 0.00 untuk tanah yang paling

resistan hingga 0.69 untuk tanah yang paling mudah tererosi.

Sifat-sifat fisik tanah seperti tekstur, persentase bahan organik, struktur,

dan permeabilitas sangat berpengaruh pada erodibilitas tanah. Umumnya tanah

dengan erodibilitas rendah mempunyai proporsi pasir halus dan debu rendah,

kandungan bahan organik yang tinggi, struktur yang baik dan tingkat infiltrasi

yang tinggi. Rumus K yang disesuaikan sebagai alternatif kedua selain menggunakan

nomograf, dapat juga digunakan rumus K yang disesuaikan (Hamer, 1981). Informasi

yang dibutuhkan adalah % debu, % pasir sangat halus dan % lempung, namun rumus

Universitas Sumatera Utara

ini disarankan tidak digunakan untuk tanah dengan kandungan debu atau lempung

yang tinggi (> 70%).

Oleh karena itu disarankan agar menggunakan rumus berikut ini

K = {2,71 x 10-4 x (12 – OM) x M 1,14 + 4,20 x (s-2) + 3,23 x (p-3)} / 100

Keterangan:

K = faktor erodibilitas tanah, dalam satuan SI (metrik) ton.ha.jam/(ha.MJ.mm)

OM = persentase bahan organik

s = kelas struktur tanah (berdasarkan USDA Soil Survey Manual 1951)

p = kelas permeabilitas tanah (berdasarkan USDA Soil Survey Manual 1951)

M = (% debu + % pasir sangat halus) x (100 - % lempung)

Tabel 1. Nilai Struktur Tanah

Kelas Struktur Tanah Diameter Nilai Granuler sangat halus < 1 mm 1 Granuler halus 1 - 2 mm 2 Granuler kasar 2 - 10 mm 3 Gumpal, lempeng, pejal >10 mm 4

Sumber: (Arsyad, 2006)

Tabel 2. Nilai Permeabilitas Tanah

Kelas Rataan Permeabilitas Nilai Permeabilitas (cm/ha) Sangat lambat < 0.5 6 Lambat 0.8 - 2.0 5 Sedang sampai lambat 2.0 - 6.3 4 Sedang 6.3 - 12.7 3 Sedang sampai cepat 12.7 - 25.4 2 Cepat > 25.4 1

Sumber: (Arsyad, 2006)

3. Faktor Panjang dan Kemiringan Lereng (LS)

Faktor panjang dan kemiringan lereng merupakan sumber terjadinya

kesalahan yang terbesar jika diterapkan dalam rumus USLE pada metodologi

RTK-RHL. Hal ini disebabkan oleh penggunaan peta dengan skala 1 : 25.000 atau

1 : 50.000 untuk mendapatkan nilai panjang dan kemiringan lereng. Peta lereng

Universitas Sumatera Utara

yang digunakan sebagai dasar untuk menentukan satuan lahan, memberi informasi

lereng yang terlalu umum untuk digunakan dalam rumus USLE, terutama jika

informasi tersebut dihitung dari informasi kontur.

Panjang lereng harus ditentukan di lapangan. L merupakan panjang lereng

dari batas atas lapangan (misalnya batas lapangan bervegetasi) hingga ke titik

dimana aliran air terkonsentrasi pada saluran di lapangan, jurang atau sungai, atau

titik dimana mulai terjadi deposisi. Nilai panjang rata-rata dan nilai kemiringan

lereng dapat digunakan untuk satu satuan lahan yang tidak banyak mempunyai

variasi. Perlu ditekankan bahwa informasi kemiringan lereng dan panjang lereng

yang lebih diandalkan diperoleh dari pengukuran lereng di lapangan yang

kemudian dibagi lagi seperti yang diperlukan tiap satuan lahan, menjadi satuan

lahan yang lebih kecil dan terinci, berdasarkan kemiringan lereng dan panjang

lereng. Yang terpenting yaitu informasi lereng harus dipetakan secara terinci.

Menentukan kemiringan lereng rata-rata (S) dalam % dan panjang lereng

rata-rata di lapangan (L) untuk lahan pertanian kurang lebih dalam satuan lahan

yang sama. Disarankan agar menggunakan nomograf LS. LS untuk RTkRHL-

DAS dapat juga dihitung dengan dua rumus yang penggunaannya tergantung pada

kemiringan lereng lebih besar atau kurang dari 22%. Karena rumus kedua

menggunakan kemiringan lereng dalam derajat bukannya dalam prosentase,

penggunaan rumus-rumus tersebut mungkin akan membingungkan dan rumit

sehingga penggunannya tidak disarankan.

Lereng < 22%

Untuk lereng <22% rumusnya adalah :

LS = √ { (La) x (1,38 + 0,965 s + 0,138 s2) / 100 }

Universitas Sumatera Utara

Keterangan:

La = panjang lereng aktual dalam m.

S = kemiringan lereng dalam % dibagi seratus.

Rumus ini merupakan penyederhanaan rumus Wishmeier and Smith (1978)

Lereng > 22%

Untuk lereng > 22% digunakan rumus Gregory :

LS = (La / 2,21)m x C x Cos (sd)1.503 x {0,5 x sin (sd)1.249 + sin (sd)2,249}

Keterangan:

sd = kemiringan lereng dalam derajat

C = konstanta (34,7046)

m = 0,5

Jika panjang lereng dihitung dari peta topografi berskala 1 : 50.000, maka

digunakan rumus Eyles (1968) sebagai berikut :

Lo = 1/ 2D Keterangan:

Lo = panjang lereng (m)

D = kerapatan pengaliran aktual yang dihitung dengan rumus :

D = 1,35 d + 0,26 s + 2,80

Keterangan:

D = kerapatan pengaliran (drainase) aktual (km/km2)

d = kerapatan drainase hasil perhitungan dari peta topografi (km/km2)

s = kemiringan lereng rata-rata (%)

Cara Eyles tersebut digunakan karena perhitungan kerapatan drainase yang

hanya berdasarkan peta topografi, khususnya untuk daerah pegunungan akan

Universitas Sumatera Utara

memberikan hasil yang kurang mewakili keadaan sebenarnya di lapangan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di daerah pegunungan di Malaysia,

diketahui bahwa kerapatan drainase yang dihitung dengan peta dan yang dihitung

aktual di lapangan terdapat penyimpangan sekitar 4,6 sampai 5,4 untuk satuan unit

DTA yang sama.

Jika besarnya panjang lereng telah diketahui, maka nilai faktor panjang lereng L

dapat dihitung dengan persamaan :

L = √ Lo/ 22, dengan

L = nilai faktor panjang lereng (unit metrik)

Lo = panjang lereng (m)

Hasil perhitungan nilai faktor panjang lereng dengan rumus tersebut dapat dilihat

pada Tabel 3.

Tabel 3. Nilai Faktor Panjang Lereng (L) dan Kelas Drainase Kelas Drainase Rata-rata panjang lereng (m) Nilai L

A B C D

50 75 150 300

1,5 1,8 2,7 3,7

Nilai faktor kemiringan lereng (S) dapat dihitung dengan cara empiris dan

estimasi (Eppink, 1979) yang dinyatakan dalam bentuk persamaan berikut:

S = (s/9) 1,4 , dengan s = kemiringan lereng (%)

Berdasarkan kelas kemiringan lereng, besarnya nilai tersebut dihitung dan

disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Nilai Faktor Kemiringan Lereng (S) Kelas Lereng Kemiringan (%) Rata-rata Nilai S

I II III IV V VI

0-3 3-8 8-15

15-25 25-40 40-65

0,1 0,5 1,4 3,1 6,1 11,9

Universitas Sumatera Utara

4. Indeks Pengelolaan Tanaman (C) dan Konservasi Tanah (Nilai P).

Faktor C ditunjukkan sebagai angka perbandingan yang berhubungan

dengan tanah hilang tahunan pada areal yang bervegetasi dengan areal yang sama

jika areal tersebut kosong dan ditanami secara teratur. Semakin baik perlindungan

permukaan tanah oleh tanaman pangan/vegetasi semakin rendah tingkat erosi.

Nilai faktor C berkisar antara 0,001 pada hutan tak terganggu hingga 1,0 pada

tanah kosong. Informasi penutup lahan yang digunakan untuk menentukan satuan

peta tidak cukup terinci untuk digunakan sebagai indeks pengelolaan tanaman.

Hal yang sangat penting adalah memetakan faktor C serinci mungkin. Hal ini

dilakukan dengan menggunakan satuan lahan yang lebih terinci yang dibagi lagi

berdasarkan kemiringan dan panjang lereng. Informasi tentang vegetasi penutup

lahan yang ada, harus dicek secara intensif dan dipetakan lebih terinci dengan

menggunakan interpretasi foto udara dan kerja lapangan. Indeks pengelolaan

tanaman umum ditunjukkan pada Tabel 5, Tabel 6 dan Tabel 7. Nilai C rata-rata

ditentukan untuk tiap satuan lahan dengan mempertimbangkan areal yang ditutup

oleh tiap jenis tanaman/vegetasi.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 5. Indeks Pengelolaan Tanaman (Nilai C) Jenis Tanaman C Padi sawah 0,01 Tebu 0,2 – 0,3* Padi gogo (lahan kering) 0,53 Jagung 0,64 Sorgum 0,35 Kedelai 0,4 Kacang tanah 0,4 kacang hijau 0,35 Kacang tunggak 0,3 Kacang gude 0,3 Ubi kayu 0,7 Talas 0,7 Kentang ditanam searah lereng 0,9 Kentang ditanam menurut kontur 0,35 Ubi jalar 0,4 Kapas 0,7 Tembakau 0,4 – 06* Jahe dan sejenisnya 0,8 Cabe, bawang, sayuran lain 0,7 Nanas 0,4 Pisang 0,4 Teh 0,35 Jambu mete 0,5 Kopi 0,6 Coklat 0,8 Kelapa 0,7 Kepala sawit 0,5 Cengkeh 0,5 Karet 0,6–0,75* Serai wangi 0,45 Rumput Brachiaria decumbens tahun 1 0,29 Rumput Brachiaria decumbens tahun 2 0,02 Rumput gajah, tahun 1 0,5 Rumput gajah, tahun 2 0,1 Padang rumput (permanen) bagus 0,04 Padang rumput (permanen) jelek 0,4 Alang-alang, permanen 0,02 Alang-alang, dibakar sekali setiap tahun 0,1 Tanah kosong, tak diolah 0,95 Tanah kosong diolah 1,0 Ladang berpindah 0,4 Pohon reboisasi, tahun 1 0,32 Pohon reboisasi, tahun 2 0,1 Tanaman perkebunan, tanah ditutup dengan bagus 0,1 Tanaman perkebunan, tanah berpenutupan jelek 0,5 Semak tak terganggu 0,01 Hutan tak terganggu, sedikit seresah 0,005 Hutan tak terganggu, banyak seresah 0,001

Sumber: Abdurrachman et al. (1984); Ambar dan syahfrudin dikutip oleh BPDAS Wampu Sei ular (2005) dan Rahmawaty (2009)

Universitas Sumatera Utara

Tabel 6. Indeks Konservasi Tanah (Nilai P) Teknik Konservasi Tanah P Teras bangku, baik 0,04 Teras bangku, sedang 0,15 Teras bangku, jelek 0,40 Teras tradisional 0,35 Teras gulud, baik 0,15 Hillside ditch atau filed pits 0,30 Kontur cropping kemiringan 1-3% 0,4 Kontur cropping kemiringan 3-8% 0,5 Kontur cropping kemiringan 8-15% 0,6 Kontur cropping kemiringan 15-25% 0,8 Kontur cropping kemiringan >25% 0,9 Strip rumput permanen, baik, rapat dan berlajur 0,04 Strip rumput permanen jelek 0,4 Strip crotolaria 0,5 Mulsa jerami sebanyak 6 t/ha/th 0,15 Mulsa jerami sebanyak 3 t/ha/th 0,25 Mulsa jerami sebanyak 1 t/ha/th 0,60 Mulsa jagung, 3 t/ha/th 0,35 Mulsa Crotolaria, 3 t/ha/th 0,50 Mulsa kacang tanah 0,75 Bedengan untuk sayuran 0,15

Sumber: Abdurrachman et al. (1984); Ambar dan syahfrudin dikutip oleh BPDAS Wampu Sei ular (2005) dan Rahmawaty (2009) Tabel 7. Nilai Faktor CP dalam Penggunan Lahan

Jenis Tutupan Lahan CP Hutan Primer Tanpa tutupan lahan dan serasah Tanpa tutupan lahan

0.01 0.05 0.50

Semak Belukar Primer Rumput

0.01 0.20

Kebun Kebun-talun Kebun- pekarangan

0.01 0.07

Perkebunan Tutupan lahan banyak Sedang Rumput Akar

0.01 0.02 0.06 0.65

Tanaman pertanian Umbi-umbian Biji-bijian Kacang-kacangan Campuran Padi irigasi Penanaman 1 tahun tanam- tidak tanam 1 tahun tanam-2 tahun tidak tanam Pertanian dengan konservasi Jerami Bangku teras Tanaman panen

0.51 0.51 0.36 0.43 0.02 0.28 0.19 0.14 0.04 0.14

Sumber: Abdurrachman et al. (1984); Ambar dan syahfrudin dikutip oleh BPDAS Wampu Sei ular (2005) dan Rahmawaty (2009)

Universitas Sumatera Utara

G. Rehabilitasi Hutan dan Lahan

Pada tanggal 31 januari 2001 dikeluarkan SK Menhut No. 20/Kpts-

II/2001, tanggal 31 Januari 2001 tentang standar dan kriteria rehabilitasi hutan

dan lahan yang merupakan acuan dari seluruh pihak untuk melaksanakan kegiatan

rehabilitasi hutan dan lahn secara terpadu dan berkelanjutan. Tujuan rehabilitasi

hutan dan lahan seperti tersebut pada SK Menhut adalah terpilihnya sumberdaya

hutan dan lahan yang rusak sehingga berfungsi optimal yang dapat memberikan

manfaat bagi seluruh pihak, menjamin keseimbangan lingkungan dan tata air DAS

dan mendukung kelangsungan pembangunan (Departemen kehutanan, 2002).

Daerah rehabilitasi dapat ditentukan dengan melakukan analisis spasial

peta tematik berdasarkan Sistem Informasi Geografi. Distribusi tingkat kekritisan

resapan air diperoleh dengan menggunakan metode tumpang susun (overlying)

dan tumpang tindih (intersecting) antara peta tematik penyebaran hujan, jenis

tanah, kemiringan lereng dan penggunaan lahan. Peta peta tematik tersebut

masing masing diubah menjadi peta tematik potensi infiltrasi. Ketiga faktor ini

memberikan indeks tingkat infiltrasi potensial yang alami. Sedangkan penggunaan

lahan merupakan faktor yang dipengaruhi oleh kegiatan manusia yang

memberikan implikasi berbeda terhadap infiltrasi. Faktor alamiah (distribusi

hujan, tanah dan kemiringan lereng) mencerminkan kondisi potensial sedangkan

penggunaan lahan mencerminkan kondisi aktualnya. Dengan

menumpangsusunkan faktor alamiah dengan faktor aktual sudah ditransformasi

maka diperoleh tematik tingkat kekritisan resapan air (Narulita dkk, 2008).

Universitas Sumatera Utara

H. Aplikasi GIS dalam Kaitannya dengan Lahan Kritis

Mengingat kerusakan lahan atau terjadinya lahan kritis perlu diteliti

tingkat kekritisan lahan dan cara penanganannya dengan cara teknik vegetatif

yang didukung teknik sipil yang memadai. Dengan demikian dapat memberikan

arahan perbaikan kondisi produktivitas tanah dan produksi usaha tani untuk

kesejahteraan masyarakat, selain untuk perbaikan sistem tata air. Selain itu juga

untuk mengetahui karakteristik dan luas lahan kritis serta tingkat kekritisan lahan

yang diindikasikan dengan besarnya tingkat bahaya erosi (TBE), yaitu

berdasarkan prakiraan besarnya erosi dengan menggunakan metode USLE dan

dengan mempertimbangkan kedalaman solum tanah serta untuk mencari alternatif

cara penanganan lahan kritis. Metode penelitian yang digunakan meliputi

pemetaan dan pendekatan diskriptif dan kuantitatif yang secara garis besar bentuk

analisanya adalah menggunakan Geographic Information System (GIS). Untuk

digunakan rumus Universal Soil Loss Equation (USLE) menghitung besarnya

erosi. Analisa penentuan lahan kritis dilakukan dengan cara pengaplikasian GIS

melalui software ArcView dalam mengolah peta-peta digital yang dibutuhkan

seperti tutupan lahan, kelerengan, erosi, manajemen dan produktivitas. Hal

dimaksudkan untuk penetapan luas tutupan lahan, penetapan luas lahan kritis,

penetapan kemiringan lereng, penetapan bentuk lahan serta identifikasi sumber-

sumber air (Hartono, 2004).

Sebagai suatu perangkat analisis ruang, SIG dilengkapi dengan

kemampuan untuk melakukan berbagai analisis. Berbagai kemampuan analisis

standar yang dimiliki perangkat lunak SIG adalah analisis query untuk memilah

objek menurut kriteria tertentu, analisis pertampalan (overlay) untuk mengetahui

daerah yang diliput oleh dua karakteristik dari tema yang berbeda, analisis

Universitas Sumatera Utara

sebaran/distribusi dari suatu objek untuk mengetahui variasi pola dan jumlah

atribut terhadap ruang, analisis aliran didalam suatu jaringan untuk menganalisis

pola aliran dan analisis tiga dimensi. Dengan kemampuan tersebut, sehingga SIG

sangat menarik untuk digunakan dalam berbagai bidang kegiatan yang

menyangkut analisis objek geografis. Banyak studi telah dilakukan baik oleh

perguruan tinggi maupun lembaga riset untuk menguji kemampuan SIG

diberbagai bidang seperti pertanian, kehutanan, dan pengembangan wilayah

menggambarkan aplikasi SIG pada tahap eksperimental (Prabawasari, 2003).

Penentuan lahan kritis dalam suatu DAS atau Sub DAS dilakukan dengan

pemodelan spasial menggunakan perangkat lunak GIS. Metode yang digunakan

untuk perolehan data ini adalah overlay dengan cara scoring untuk penentuan

tingkat kekritisan suatu lahan. Data lereng yang dihasilkan pada kegiatan ini

merupakan suatu produk dari aplikasi otomatis perangkat lunak GIS ArcView 3.2

melalui fasilitas ekstensi Spatial Analisis. Salah satu kelebihan tools ini adalah

pengguna dapat menentukan kelas lereng secara fleksibel sesuai peruntukannya.

Hal ini dikarenakan format data yang digunakan sebagai bahan analisa adalah

format grid. Lalu data ini harus dikonversi kembali ke format vektor agar dapat

dianalisa bersamaan dengan data-data atau pemodelan spasial (Sismanto, 2009).

Kebutuhan data terkini, akurasi tinggi, pada areal yang luas untuk

memantau perubahan satu kesatuan pengelolaan DAS. Data yang diperoleh dari

teknologi PJ yang di cek di lapangan digunakan sebagai masukan bagi Sistem

Informasi Geografis (SIG) selanjutnya diproses dan dianalisa sehingga diperoleh

peta ketinggian tempat, topografi dan kemiringan lereng. SIG sangat diperlukan

Universitas Sumatera Utara

untuk membantu keterbatasan dana, waktu dan tenaga kerja namun diperoleh

akurasi tinggi secara mudah, cepat dan murah setiap waktu (Harjadi dkk, 2007).

Dalam hubungannya dengan perencanaan pembangunan wilayah

penelitian tentang lahan kritis mempunyai kaitan yang sangat erat dimana

kerusakan lahan atau terjadinya lahan kritis di daerah Sub DAS akan

mempengaruhi kelangsungan sumber air seperti keperluan PLTA di daerah

tersebut yang akan mengganggu kehidupan masyarakat yang menggunakan listrik

sebagai sumber penggerak peralatan rumah tangga, industri dan mempengaruhi

irigasi dan pengamanan disetiap daerah yang berhubungan (Hartono, 2004).

Universitas Sumatera Utara