135

DAFTAR ISI - bpsdm.pu.go.id fileKonstruksi timbunan jalan diatas tanah Gambut di Kalimantan Tengah tahun 1999 21 2.3.4 Keruntuhan Jalan pada Kondisi ” at-fill ” pada timbunan jalan

  • Upload
    lequynh

  • View
    229

  • Download
    12

Embed Size (px)

Citation preview

i

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI i1.1 Latar Belakang 11.2 Diskripsi Singkat 21.3 Manfaat Modul Bagi Peserta 21.4 Tujuan Pembelajaran 31.5 Kompetensi Dasar 31.6 Indikator Keberhasilan 41.7 Materi Pokok dan Sub Materi Pokok 41.8 Rangkuman 51.9 Latihan 6

KEGIATAN BELAJAR I 5PERMASALAHAN KERUSAKAN KONSTRUKSI JALAN PADA TANAH PROBLEMATIKDAN FAKTOR PENYEBABNYA 5

2.1 Konstruksi Infrastruktur Jalan dan Jembatan 52.2 Kondisi Jalan Pada at-grade 92.3 Kondisi Jalan pada “at-fill 102.3.1 Kondisi jalan pada “at-fill” pada tanah Problematik, Tanah Lempung

Dan Tanah Organik 102.3.2 Keruntuhan pada Kondisi “at-fill” pada timbunan jalan yang berada

pada Lapisan Tanah Lunak dan Organik 14Gambar 2- 9. Kejadian penurunan dan keruntuhan timbunan badan jalan

pada tanah problematic yang berupa tanah lunak 14Gambar 2- 10. Permasalhan penurunan dan displacement pergerakan yang

berdampak pada mengangkatan tanah disekelilingnya (heaving) 14Gambar 2- 12. Displacemen horizontal akibat penurunan beban timbunan

ii

berlebih yang mempengaruhi stabilitas bangunan disampingnya 14Gambar 2- 12. Keruntuhan Abutmen Jembatan oleh beban timbunan

berlebih dibalakang abutment 172.3.3 Keruntuhan Tanah Dasar Pondasi Jalan pada kondisi ”at-fill” atau

timbunan jalan yang berada pada tanah Gambut 19

Gambar 2- 15. Konstruksi timbunan jalan diatas tanah Gambut di KalimantanTengah tahun 1999 21

2.3.4 Keruntuhan Jalan pada Kondisi ” at-fill ” pada timbunan jalan yangberada pada lapisan tanah ekspansif 22

Gambar 2- 18. Konstruksi timbunan badan jalan diatas lapisan tanahekspansif 23

2.4 Kondisi Jalan pada “at-cut” 252.5 Rangkuman 292.6 Latihan 29

KEGIATAN BELAJAR 2 30KRITERIA PADA PERENCANAAN DAN PENANGANAN JALAN PADA TANAHPROBLEMATIK 30

3.1 Lapisan Tanah Dasar 313.1.1 Lapisan Tanah Dasar dalam Sistim Perkerasan Jalan 313.1.2 Lapisan Tanah Dasar dalam Tanah Problematik 31Gambar 3- 1.Permasalahan Perencanaan jalan pada tanah Problematik 333.2 Stabilitas Konstruksi Jalan diatas Tanah Problematik 343.2.1 Stabilitas Daya Dukung Lapisan Tanah Dasar 34Gambar 3- 2 Nilai kepadatan Tanah untuk Timbunan jalan 35Gambar 3- 3. Nilai kepadatan kering hubungannya dengan CBR Design 37Tabel 3 - 1. Koefisien r terhadap prosentase berbutir kasar tertahan # 4,75

mm (Pc) 38Tabel 3 - 2. Perbaikan Tanah dibawah Permuakaan Tanah Asli 40Dalam melaksanakan uji DCP ini digunakan alat DCP dan diperlihatkan

pada 40Gambar 3- 4. Alat Uji DCP (Dinamic Cone penetrometer) dan Korelasinya

terhadap Nilai CBR (California Bearing Ratio) 41

iii

Tabel 3 - 3. Nilai CBR terhadap ESA (Equivalent Standar Axle) 44Tabel 3 - 4. Perbaikan Tanah untuk subgrade dan digali sampai dengan

dibawah Permukaan Tanah Aslinya 44Tabel 3- 5 Nilai korelasi beberapa Parameter Kepadatan terhadap N-SPT

(Nilai Standard Penetration Test) 483.2.2 Stabilitas Timbunan 50Tabel 3- 6. Teknologi penanganan Tanah Problematik 52Gambar 3- 7. Klasifikasi Tanah Lunak/Gambut 53Gambar 3- 8. Keruntuhan amblasan atau pondasi 55Gambar 3- 15. Keruntuhan Timbunan akibat Pengangkatan Tanah yang

berlebihan (sumber : eddie sunaryo, 2010 – 2014 dan 2015) 57Gambar 3- 17. Keruntuhan Lereng Dalam Timbunan Jalan pada lapisan tanah

Lunak 593.3 Rangkuman 593.4 Latihan 60

KEGIATAN BELAJAR 3 61TANAH PRINSIP PENANGGULANGAN PROBLEMATIK 61

4.1 Kualitas dan Kontrol Kualitas Materal Timbunan Sebagai Tanah Dasaratau Subgrade 61

Table 4 - 1. Kekuatan Tanah Dasar dan Toleransinya 62Gambar 4- 1. Pengujian Kepadatan Tanah dengan Sand Cone 624.2 Konstruksi Tanah Timbunan Sebagai Subgrade 644.2.1 Persyaratan Kekuatan Daya Dukung 64Gambar 4- 3. Hubungan antara Hasil Pemadatan pada beberapa Jenis

Tanah 64Table 4 - 2. Kepadatan Relatif Tanah untuk Subgrade 654.2.2 Variasi jenis material material tanah untuk subgrade 66Gambar 4- 5. Pengelompokan Variasi Gradasi Tipe 1, 2 dan 3 dari hasil uji

gradasi 67Gambar 4- 6. Pedoman analisa Pengelompokan Nilai Cu dan Cc 684.2.3 Jenis Material terhadap Kelompok Penggunaannya 68Table 4 - 3. Pengelompokan Jenis Material yang digunakan dalam konstruksi

jalan yang disyaratkan secara internasional 69

iv

Table 4 - 4. Ukuran Gradasi Agregat Klas A, B dan S 704.3 Teknologi Perkuatan Timbunan sebagai Lapisan tanah Dasar atau

Subgrade 714.3.1 Sifat-sifat Bahan Material Geosintetik 71Table 4 - 6 Syarat Elektrokimia Timbunan yang Diperkuat (Elias dkk, 2001) 71Gambar 4- 7. Karakteristik Bahan Geosintetik tipe Woven 724.3.2 Interaksi tanah dan geosintetik 724.3.3 Prinsip Dasar Perkuatan Timbunan dengan Bahan Geosintetik 72Gambar 4- 8, Bidang Runtuh dan Assumsi Bekerjanya Perkuatan

Geosintetik 774.3.4 Fungsi Perkuatan Geosintetik 77Gambar 4- 9 Penanganan dengan Perkuatan Geosintetik 78Gambar 4- 12, Perkuatan tebing dengan Geogride 80Gambar 4- 13, Perkuatan tebing dengan Reinforced soil structures 814.4 Aplikasi Perkuatan Bahan Geosintetik 824.4.1 Perkuatan Lereng Timbunan 82Gambar 4- 14. Perkuatan Geosintetik / Geotekstil pada Jalan Baru dengan

ROW terbatas (Sumber: Elias dkk, 2001) 83Gambar 4- 15. Pelebaran Jalan dengan Perkuatan Geosintetik / geotekstil

jenis woven yang mempunyai sifat kekuatan tarik (Sumber: Elias dkk,2001) 84

Gambar 4- 16. Aplikasi Lereng Tanah yang Diperkuat untuk perbaikankeruntuhan lereng (Sumber: Elias dkk, 2001) 84

Gambar 4- 17. Ilustrasi tanah timbunan yang diperkuat 85Table 4 - 7. Rekomendasi Persyaratan untuk Timbunan yang Diperkuat

(Spesifikasi Umum Bina Marga, 2010) 86Table 4 - 8. Kisaran Nilai Sifat-sifat parameter Indeks dan Mekanis Tanah

(CUR, 1996) 874.4.2 Pemilihan Prosedur perkuatan lereng tanah 87Gambar 4- 18. Moda Keruntuhan Lereng Tanah yang Diperkuat 88Gambar 4- 19. Tahapan Prosedur Perencanaan Stabilitas Lereng Timbunan

Tanah (Sumber: Elias dkk, 2001) 904.4.3 Prosedur Perencanaan Perkuatan Timbunan 91

v

Gambar 4.21. Analisis Stabilitas Geser Rotasional Tanpa PerkuatanGeosintetik 96

Gambar 4.22. Kekuatan Geosintetik yang Dibutuhkan untuk StabilitasRotasional 97

4.4.4 Aplikasi Perkuatan Lereng Timbunan 103Table 4 - 9. Rentang RFCR Geosintetik Jenis Polimer (Elias dkk, 2001) 108Gambar 4- 26. Zona Kritis yang Memenuhi Target Faktor Keamanan

Berdasarkan Bidang Rotasi dan Gelincir(Sumber: Elias dkk, 2001) 108Gambar 4- 27. Pendekatan Geser Rotasional untuk Menentukan Kekuatan

Geosintetik yang Dibutuhkan (Sumber: Elias dkk, 2001) 1114.4.5 Aplikasi untuk Perkuatan Dasar Timbunan 111Gambar 4- 27. Distribusi beban dan gaya reaksi pada geotekstil 111Gambar 4- 28. Teknologi Penggantian Material dengan Geotekstil 1124.4.6 Distribusi Beban pada Subgrade (Tanah Dasar) 113Gambar 4- 33. Desain Chart untuk Konstruksi Jalan dengan Perkuatan

Geotextile (contoh: untuk beban gandar = 80 kN; tekanan angin roda =480kPa; maka kedalaman alur (ruth depth) = 0.3m)) 118

Gambar 4- 34. Gaya yang bekerja diterima lapisan aggregate 119Gambar 4- 35. Contoh Desain Chart Perkuatan Geogrid HDPE (Carroll et al,

1989) 1204.5 RANGKUMAN 1214.6 LATIHAN 121

DAFTAR PUSTAKA 123

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sudah banyak dikaji bahwa Tanah Problematik meliputi Tanah Lunak

baik organik maupun non-organik, Tanah Ekspansif dan tanah Gambut

yang masing-masing mempunyai sifat karakteristik properties yang

sangat berbeda walaupun sebagian ada yang mempunyai kemiripan.

Tanah problematik ini sesuai keberadaannya yang didominasi oleh

endapan sedimen umur kuarter maka keberadaannya mempunyai

kedalaman yang bervariasi antara terlihat dipermukaan sampai

beberapa puluh meter dibawah permukaan. Perbedaan sifat

karakteristik properties tanah problematik sangat beraneka karena

tergantung dari bentukan material batuan/tanah asal yang terendapkan

melalui proses transportasi yang umumnya oleh air atau terendapkan

dengan sendirinya karena proses mekanis dan kimia sehingga menjadi

endapan sedimen.

Oleh karena itu, perencanaan pembangunan infrastruktur jalan pada

tanah problematik atau bermasalah (Problematic Soils) dijumpai

permasalahan terhadap menurunnya atau terganggunya stabilitas

konstruksi seperti jalan dan jembatan. Teknologi yang diperlukan untuk

membangun konstruksi infrstruktur jalan dan jembatan perlu dilakukan

Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta mampu memahami pengertian

PERMASALAHAN STABILITAS TIMBUNAN JALAN PADA TANAH PROBLEMATIK

terutama memahami PERMASALAHAN KERUSAKAN JALAN DAN

PERENCANAAN – PENANGANANNYA

SEBAGAI TANAH DASAR pada pembangunan infrastruktur jalan

2

perencanaan dengan seksama karena penanggulangan kerusakan

jalan akan mengganggu kenyamanan berlalulintas dan dapat pula

mengganggu kelancaran transportasi arus danbarang.

1.2 Diskripsi Singkat

Modul 3 pada Diklat ini membahas mengenai PERMASALAHAN

KERUSAKAN JALAN DAN PERENCANAAN – PENANGANANNYA

SEBAGAI TANAH DASAR khususnya dalam hubungannya

terhadap konstruksi timbunan jalan yang dibangun diatasnya karena

dapat terganggunya stabilitasnya. Dengan terganggunya stabilitas

timbunnan jalan tersebut maka akan mempengaruhi kinerja

perkerasan jalan dan untuk itu perlu dilakukan teknologi

penanganan melalui perencanaan dalam upaya perbaikan tanah

problematik karena umumnya mempunyai daya dukung yang rendah

dan penurunan yang besar serta berpotensi terhadap kejadian

keruntuhan konstruksi timbunan jalan. Mengingat sifat karakteristiknya

tanah problematik masing-masing berbeda maka dengan memahami

Modul 3 yang membahas PERMASALAHAN KERUSAKAN JALAN

DAN PERENCANAAN – PENANGANANNYA SEBAGAI TANAH

DASAR dan merupakan kelanjutan Modul sebelumnya maka melalui

pendekatan penguasaaan kognitif maupun psikomotorik yang berbasis

pada proses pembekalan, pelatihan, kajian teori dan studi kasus, serta

simulasi pembahsan terhadap kasus lapangan melaui studi lapangan

dapat lebih mudah dipahami dan dimengerti.

1.3 Manfaat Modul Bagi Peserta

Diharapkan dengan memahami modul 3 mengenai PERMASALAHAN

KERUSAKAN JALAN DAN PERENCANAAN – PENANGANANNYA

3

SEBAGAI TANAH DASAR dari modul PENANGANAN TANAH

PROBLEMATIK UNTUK KONSTRUKSI JALAN yang terdiri dari 5

modul akan memberikan manfaat bagi peningkatan sumber daya

manusia dibidang Jalan dan jembatan di instansinya masing-masing.

Pada modul 3 ini, peserta diklat diharapkan dapat mampu memahami

permasalahan kerusakan jalan dan perencanaan – penanganannya

terutama sebagai subgrade jalan dalam hubungannya sebagai

pendukung konstruksi infrastruktur jalan. Diharapkan, dengan

mempelajari modul lainnya yang berhubungan baik modul sebelumnya

maupun modul sesudahnya yang merupakan bagian dari modul diklat

PENANGANAN TANAH PROBLEMATIK UNTUK KONSTRUKSI JALAN

maka peserta diklat mampu menangani permasalahan dan dampak

yang ditimbulkan pada pada konstruksi jalan yang berada diatas tanah

problematik.

1.4 Tujuan PembelajaranSetelah mengikuti pembelajaran ini, peserta mampu mengenal sifat

karakteristik properties tanah problematik, sehingga dapat menangani

permasalahan dan dampak yang ditimbulkan pada konstruksi jalan yang

berada diatas tanah problematik.

1.5 Kompetensi DasarSetelah mengikuti pembelajaran ini. Peserta mampu memahami,

menerapkan, merancang, merencanakan dan menangani desain tanah

dasar untuk konstruksi jalan yang berada diatas tanah problematik

dengan:

1) Memahami Pengertian Tanah Problematik

2) Memahami dan melakukan Survei Investigasi dan melakukan diskripsi

serta mengklasifikasi tanah problematik

4

3) Memahami dan merancang Perencanaan Jalan di Atas TanahProblematik

4) Memahami dan merancang Persiapan dalam Pelaksanaan timbunanjalan pada tanah problematik

1.6 Indikator Keberhasilan

Diharapakan setelah memahami Modul 3 ini yang membahas

PERMASALAHAN KERUSAKAN JALAN DAN PERENCANAAN –

PENANGANANNYA SEBAGAI TANAH DASAR dan merupakan

lanjutan Modul sebelumnya atau bagian dari Modul DIKLAT

PENANGANAN TANAH PROBLEMATIK UNTUK KONSTRUKSI JALAN

dapat dicapai indikator keberhasilan sebagai berikut:

1) Menjelaskan tentang permasalahan kerusakan konstruksi jalan padatanah problematik dan faktor penyebabnya;

2) Menjelaskan tentang kriteria pada perencanaan dan penangananjalan pada tanah problematik;

3) Menjelaskan tentang prinsip penanggulangan tanah problematik

1.7 Materi Pokok dan Sub Materi Pokok

Materi pokok pada modul diklat yang membahas PENANGANAN TANAH

PROBLEMATIK UNTUK KONSTRUKSI JALAN yang secara ringkas isi

dari Modul 3 menjelaskan PERMASALAHAN KERUSAKAN JALAN

DAN PERENCANAAN – PENANGANANNYA SEBAGAI TANAH

DASAR pada pembangunan infrastruktur jalan, terutama dalam

pengertian PERMASALAHAN STABILITAS TIMBUNAN JALAN PADA

TANAH PROBLEMATIK.

Submateri pokok yang dibahas dalam modul 3 ini membahas tujuan dan

5

hasil yang diharapkan dicapai untuk peserta selama mengikuti diklat

antara lain:

1) Setelah mengikuti pembelajaran BAB I peserta mampu memahami

pengertian ruang Lingkup pentingnya Modul 3 ini yang mencakup

Latar belakang, diskripsi singkat, manfaat modul, tujuan

pembelajaran, kompetensi dasar. Indikator keberhasilan serta materi

pokok dan sub materi pokok.

2) Setelah mengikuti pembelajaran BAB II peserta mampu Menjelaskan

tentang permasalahan kerusakan jalan yang dibangun pada tanah

problematik dan faktor penyebabnya dengan gambaran riel pada

konstruksi infrastruktur jalan dan jembatan berhubungan dengan

kondisi keberadaannya..

3) Setelah mengikuti pembelajaran BAB III peserta mampu

Menjelaskan tentang prinsip perencanaan dan Penanganan Jalan

yang dibangun pada tanah problematik mulai dari penggunaanya

sebagai lapisan tanah dasar konstruksi jalan dan sebagai pendukung

sistim konstruksi jalan secara keseluruhan.

4) Setelah mengikuti pembelajaran BAB IV peserta mampu menjelaskan

tentang Prinsip Penanggulangan Konstruksi Jalan pada tanah

problematik yang difungsikan sebagai lapisan tanah dasar dan

penerapan beberapa teknologi yang digunakan berupa perkuatan

lereng dan perkuatan dasar timbunan.

1.8 Rangkuman

Pada bab pendahuluan ini menjelaskan secara ringkas tentang

PERMASALAHAN STABILITAS TIMBUNAN JALAN PADA TANAH

PROBLEMATIK terutama memahami PERMASALAHAN KERUSAKAN

JALAN DAN PERENCANAAN – PENANGANANNYA SEBAGAI TANAH

6

DASAR pada pembangunan infrastruktur jalan yang secara detail

dibahas pada Bab II, Bab III dan BAB IV dengan dilengkapi Penutup

pada Bab V.

1.9 Latihan

Peserta diharapkan mampu dan mempunyai kemampuan untuk

menjelaskan tentang modul 3 ini yang secara ringkas mencakup

pengertian PERMASALAHAN STABILITAS TIMBUNAN JALAN PADA

TANAH PROBLEMATIK terutama memahami PERMASALAHAN

KERUSAKAN JALAN DAN PERENCANAAN PENANGANANNYA

SEBAGAI TANAH DASAR pada pembangunan infrastruktur jalan

5

KEGIATAN BELAJAR I

PERMASALAHAN KERUSAKAN KONSTRUKSIJALAN PADA TANAH PROBLEMATIKDAN FAKTOR PENYEBABNYA

2.1 Konstruksi Infrastruktur Jalan dan JembatanBerdasarkan hasil pengamatan lapangan dan survai pendahuluan seperti

yang telah dijelasakan pada Modul 1 dan 2, maka dapat diidentifikasi

permasalhan yang terjadi sebagai dampak konstruksi jalan yang dibangun

diatas tanah problematik.

Berdasarkan persyaratan lalulintas yang mengacu pada 1 Undang-Undang

Republik Indonesia, Nomor 38 Tahun 2004 dan pasal 1 Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Undang-Undang Republik Indonesia, dan

pasal 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2006

Nomor 34 Tahun 2006 dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (Permen

PU) No. 11/PRT/M/2010 yang intinya agar dicapai jalan yang aman,

berkesealamatan dan mantap maka diwajibkan mengikuti kaidah dan

persyaratan geometric jalan, seperti alinyemen dan kelandaian yang

diijinkan dan disyaratkan.

Untuk menghubungkan kondisi tersebut perlu dihubungkan dengan

Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta mampu memahami tentang permasalahan

kerusakan jalan yang dibangun pada tanah problematik dengan gambaran riel pada

konstruksi infrastruktur jalan dan jembatan berhubungan dengan kondisi

keberadaannya.

6

bangunan penghubung khususnya jembatan walaupun dapat terowongan

diberlakukan. Khusus dalam modul pembangunan prasarana transportasi

infrastruktur jalan bangunan konstruksi penghubung yang dibahas adalah

konstruksi jembatan disamping konstruksi jalan itu sendiri.

Pada modul ini tidak membahas standar acuan geometrik dan alinyemen

jalan termasuk kelandaian dan jarak pandang serta permasalahan yang

berhubungan dengan pergerakan kendaraan tetapi membatasi kajian

terhadap keberadaan jalan dan jembatan sebagai akibat dari persyaratan

tersebut. Dengan memperhatikan persyaratan ini maka keberadaan

infrastruktu jalan dibedakan menjadi 3 kelompok yaitu:

1) Kondisi jalan yang disebut sebagai “at-grade”2) Kondisi jalan yang disebut sebagai berada pada daerah timbunan atau

“at-fills”

3) Kondisi jalana yang disebut berada pada bagian galian “at-cut”

Ciri ciri kerusakan sangat dipengaruhi oleh kondisi perlapisan tanah yangdifungsikan sebagai tanah dasar (subgrade) diperlihatkan pada gambar

berikut ini terhadap perkerasan yang berada diatasnya, misalnya akibat

penurunan badan jalan.

Perlu diketahui bahwa permasalahan penurunan ini terdiri dari penurunan

seketika, penurunan konsolidasi yang terdiri dari penurunan primer

sebesar 90 %, penurunan sekunder sebesar 10% dan penurunan tersier

yang umumnya disebut creep (rangkak) yang merupakan penurunan

lanjutan karena perubahan karakteristik propertis lapisan tanah lunak

akibat baban timbunan.

7

Gambar 2- 1, Hubungan antara besar penurunan dan waktu lamanyapada penurunan konsolidasi tanah lunak

Stuktur perkerasan tersebut sangat: tergantung dari daya dukung

subgrade yang kondisnya dibentuk oleh lapisan tanah dasar dibawahnya

(lapisan tanah/batuan setempat). Lapisan tanah dasar yang berupa Tanah

Problematik (meliputi: Tanah LUNAK, EKSPANSIF dan GAMBUT) akan

8

d

mempengaruhi Overall-stability terhadap kemantapan perkerasan jalan

yang berada diatasnya dan diperlihatkan pada Gambar 2- 2.sd 2-4

Kondisi Perkerasan Jalan yang kemantapannya tergantung dari daya

dukung subgrade.

Gambar 2- 2. Kondisi Perkerasan Jalan yang kemantapannyatergantung dari daya dukungsubgrade

Gambar 2.3. Normal rutting

Daya ukung cukup

CBR > 6%Daya dukung cukupCBR < 6%

9

a) Excessive rutting b) Aggregate contamination or degeneration

Gambar 2.4. Rutting dan Tanah dasar jelek

2.2 Kondisi Jalan pada at-grade

Kondisi jalan pada at-grade merupakan jalan struktur perkerasan jalan yang

dibangun diatas tanah dasar setempat seperti diperlihatkan pada Gambar 2- 5.

Gambar 2- 5. Kondisi jalan pada at-grade

Pada kondisi at-grade jalan berada pada permukaan tanah yang berfungsisubgrade (tanah dasar) dan perkerasan jalan berada diatasnya secaralangsung.

Perkerasan Jalan Tanah Dasar

10

Pada kondisi ini konstruksi jalan dapat berupa perkerasan kaku (rigid pavement)

atau perkerasan lentur (fleksible pavement) dan tipe perkerasan melibuti jenis dan

ketebalannya merupakan fungsi dari kekeuatan naha dasar tersebut yang

umumnya diperoleh dengan investigasi DCP (Dutch Cone Penetrometer) yang

hasilnya dikonversikan ke nilai CBR (California Bearing Ratio).

Permasalahan yang terjadi pada struktur perkerasan pada at-grade ini adalah

daya dukung subgrade baik daya dukungnya secara langsung maupun daya

dukungnya yang dipengaruhi oleh perlapisan tanah dibawahnya. Hal lain yang

memepengaruhi menurunnya daya dukung tanah dasar ini adalah muka air tanah

dan sistim drainasenya sehingga perlu direncanakan secara terintegrasi dengan

konstruksi perkerasannya.

Kondisi daya dkung subgrade jenuh air Kondisi daya dukung subgradesangat rendah

Gambar 2- 6. Kondisi Kerusakan Jalan akibat daya dukung tanahdasar (subgrade) menurun baik akibat drainase dan karenalapisan tanah problematic

2.3 Kondisi Jalan pada “at-fill”

2.3.1 Kondisi jalan pada “at-fill” pada tanah Problematik, TanahLempung dan Tanah Oragnik

Kondisi jalan pada at-fill merupakan suatu konstruksi infrastruktur jalan

yang berada diatas timbunan yang merupakan badan jalan yang

11

difungsikan bagian atasnya sebagai lapisan tanah dasar (subgrade).

Umumnya kondisi jalan yang demikian adalah pada daerah dataran

rendah yang merupakan endapan deposit alluvial dan secara umur

geologi merupakan material hasil transportasi dari batuan dasarnya yang

telah mengalami proses pelapukan dan terbawa ke pantai sehingga

mempunyai karaktersitik propertis yang berbeda antara satu dan lainnya.

Endapan alluvial ini umumnya merupakan tanah problematic yang

terhampar pada daerah pesisir pantai atau meander sungai dan/atau

cekungan baik di pegunungan maupun dataran sehingga terbentuk

endapan danau purba karena proses pembentukannya menurut waktu

geologi

Gambar 2.7 : Tanah Galian dan Timbunan

12

Pada konstruksi jalan yang berupa at-fill ini menjadikan perkerasan jalan

berada diatas timbunan dan kondisi ini dapat terjadi baik memenuhi

peryaratan geometrik dan pada persimpangan tak sebidang sehingga

memerlukan konstruksi overpass maupun underpass serta bangunan

jembatan seperti diperlihatkan pada Gambar 2- 8.

Gambar 2- 8. Kondisi Jalan pada at-fill

Pada kondisi at-fill dijumpai beberapa permasalahan bilamana lapisan tanah

dibawahnya berupa tanah problematik atau tanah lunak, tanah ekspansif dantanah gambut. Permasalahan yang timbul dikarenakan beberapa sebab:

1) Daya dukung lapisan tanah Lapisan tanah berupa tanah problematik

dapat berupa lempung, gambut dan tanah ekspansif tersebut sangat kecil

2) Beban timbunan yang tidak mampu didukung oleh lapisan tanah

problematik tersebut. Sehingga bedampak pada:

a) Menurunnya stabilitas timbunan yang berpotensi terhadap keruntuhan

pondasi dan keruntuhan lereng baik lereng dangkal maupun lereng

Perkerasan Jalan

Timbunan

Abutment

Jembatan

Timbunan

Tanah Dasar

TanahLunak /

problemati

13

dalam

b) Penurunan timbunan yang berkepanjangan akibat dari proses

konsolidasi yang mebutuhkan wakttu cukup lama, tergantung dari nilai

kompresibilitas tanah lunak dan beban timbunan yang bekerja

c) Akibat keseimbangan batas yang terganggu maka akan menimbulkan

distibusi keseimbangan horisontal yang tidak seimbang dan

berdampak pada keruntuhan timbunan dan berdampak pada

struktur bangunan yang ada disekelilingnya.

i) Akibat beban timbunan yang bertambah karena beban berlebih dan

penjenuhan material timbunan akibat terndam saat banjir, sehingga

tanah dasar tidak mampu mendukungnya sehingga menambah

beban horizontal aktif yang tidak diimbangi oleh gaya horizontal

pasifnya.

ii) Akibat adanya pengaruh luar yang terjadi sehingga mengurangi

gaya horizontal penahan stabilitas lereng timbunan seperti hilangnya

atau berkurangnya penahan lateral pasif, seperti degradasi dasar

sungai dan abrasi didepan abutment jembatan yang merubah

penampang basah sungai.

Pada kondisi at-fill ini tanah dasar terdiri dari lapisan tanah problematik yang

berupa endapan sedimen kuarter dan dapat berupa tanah lunak baik

organik maupun non-organik, tanah gambut dan tanah ekspansif. Jenis

lapisan tanah problematik seperti telah diuraikan sebelumya sifat

karakteristiknya dipengaruhi oleh geologi batuan dasarnya yang telah

mengalami proses pelapukan dan tersedimentasi dalam waktu yang lama.

Lapisan tanah problematik ini bilaman berupa lempung maka

keberadaannya dapat berupa tak terkonsolidasi (normally consolidated)

atau telah terkonsolidasi (over consolidated). Kedua keadaan kondisi ini

akan mempengaruhi karakteristik propertisnya sehingga akan berpengaruh

pada stabilitas konstruksi yang dibangun diatasnya seperti prasarana jalan

dan jembatan. Berikut permasalahan yang timbul pada konstruksi

14

perkerasan jalan pada kondisi ”at-fill”.

2.3.2 Keruntuhan pada Kondisi “at-fill” pada timbunan jalan yang beradapada Lapisan Tanah Lunak dan Organik

Besar penurunan nya penurunan yang terjadi perlu dipertimbangkan danparameter penurunan yang perlu dipertimbangkan terhadap: jenis dan

ketebalan lapisan tanah problematik, berat timbunan, derajat konsolidasi

dan defrajad kemampatan atau kompresibilitas tanah problematik.

1) Kecepatan penurunan

Parameter yang mempengaruhi kecepatan dan perlu dipertimbangkan

terhadap berlangsungnya adalah waktu atau lama nya penurunan dan

kecepatan penurunan. Paramter yang mempengaruhi penurunan adalah

sangat tergantung kepada tebal lapisan tanah problematik/lunak dan sifat

karakteristik propertis tanah problematik itu sendiri, yaitu derajad

konsolidasi dan derajad pemampatan tanah.

Kejadian penurunan dan keruntuhan badan jalan yang dibangun diatasmasing-masing jenis tanah problematik menunjukkan karakteristik yang

berbeda.

2) Besar Penurunan dan Keruntuhan Timbunan Badan Jalan pada tanah

dasar yang terdiri dari lapisan tanah lunakPermasalahan menurunya stabilitas timbunan jalan karena penurunan

dan keruntuhan dapat terjadi karena daya dukungnya yang rendah serta

nilai kompresibilitasnya besar. Pada Gambar 2- 9 diperlihatkan

penurunan dan keruntuhan timbunan jalan pada tanah lunak yang tidak

berpotensi terjadinya pengangkatan tanah disamping timbunan

sedangkan pada

15

Gambar 2- 9. Kejadian penurunan dan keruntuhan timbunan badan jalan pada tanah problematic yang berupa tanah lunak

Permasalahan lain yang terjadi pada kondisi “at-fill” adalah kejadianpenurunan yang Berdampak menyebabkan timbulnya displacementpergerakan kesamping sehingga mengakibatkan terjadinyapengangkatan tanah disekelilingnya (heaving) seperti diperlihatkan padaGambar 2- 10.

Penurunan berlebih Penurunan dan dampak terjadidisplacement

Squezing (pergeseran kesamping) Squeezing dan berdampak keruntuhanlereng

Gambar 2- 10. Permasalhan penurunan dan displacement pergerakanyang berdampak pada mengangkatan tanahdisekelilingnya (heaving)

16

Landasan pendekatan perencanaan timbunan yang diperkuat adalah

perencanaan untuk mencegah keruntuhan. Gambar 2-11a.,b,c menunjukkan

mode keruntuhan yang dapat terjadi pada timbunan yang diperkuat. Ketiga

kemungkinan keruntuhan tersebut memberikan indikasi jenis analisis stabilitas

yang dibutuhkan. Selain itu, penurunan timbunan dan potensi rangkak pada

perkuatan juga harus dipertimbangkan

2-11.a. Keruntuhan daya dukung

2-11.b. Keruntuhan rotasional

2-11.c. Keruntuhan akibat pergerakan lateral(Sumber: Hotlz dkk, 1998)

Permasalahan lain yang terjadi karena beban timbunan yang berdampak padaterganggunya stabilitas abutmen jembatan (Abutment of bridge) dan juga

17

bangunan disampingnya diperlihatkan pada Gambar 2- 12.

Gambar 2- 12. Displacemen horizontal akibat penurunan bebantimbunan berlebih yang mempengaruhi stabilitasbangunan disampingnya

Pada Gambar 2- 12 diperlihatkan kejadian terangkatnya bangunan rumahakibat terjadinya heaving (gambar atas) dan terdorongnya abutmentjembatan akibat displacement beban timbunan berlebih (gambar bawah).Kejadian dilapangan akibat displacement ini diperlihatkan pada Gambar 2- 13.Keruntuhan Abutmen Jembatan oleh beban timbunan berlebih dibelakangabutment.dan keruntuhan pada Badan Jalan 2-14

Dampak lain yang diakibatkan pada timbunan dibelakang ABUTMENjembatan disamping displasemen yang dapat mendorong pondasi abutmenjuga timbulnya heaving atau pengangkatan tanah disamping timbunansehingga dapat merusak bangunan infrastruktur disekelilingnya sepertidiperlihatkan pada Gambar 2- 15.

18

Gambar 2- 12. Keruntuhan Abutmen Jembatan oleh beban timbunanberlebih dibalakang abutment.

Gambar 2-13. Keruntuhan Badan Jalan

19

Gambar 2- 14. Terjadinya pengangkatan tanah (Heaving) disampingtimbunan berlebih

Faktor lain yang menyebabkan kejadian terdorongnya abutment jembatan,

dikarenakan terjadinya displacement yang tidak tertahan dikarenakan

berkurangnya gaya lawan pasif yang disebabkan oleh beberapa sebab antara

lain:

1) Terjadinya degradasi dasar sungai didepan abutment

2) Terjadinya abrasi tepi sungai didepan abutment

3) Terjadinya erosi dinding tepi sungai sehingga kepala tiang penopangabutment jembatan tidak mempunyai gaya lawan pasif.

Dengan memperhatikan Gambar 2- 8 maka tanah lunak yang kompresibilasnya

tinngi dan daya dukungnya rendah berpotensi terhadap ketidak mantapan

konstruksi jalan dan abutment jembatan sehingga dalam perencanaannya

perlu dikaji lebih mendetail.

2.3.3 Keruntuhan Tanah Dasar Pondasi Jalan pada kondisi ”at-fill” atautimbunan jalan yang berada pada tanah Gambut

Disebabkan karena tanah kompresibilitas sangat besar problematik yang berupa

20

tanah gambut mempunyai nilai dan kadar air yang sangat tinggi maka

penurunan yang terjadi umumnya penurunan seketika lebih besar dari pada

penurunan konsolidasi yang terjadi. Dengan demikian maka kerunuhan jalan

akan terjadi sesaat timbunan jalan selesai dikerjakan dan kondisi ini akan

semakin parah bila timbunan berlebih diterapkan diatas lapisan tanah gambut.

Pada Gambar 2- 11 diperlihatkan timbunan badan jalan yang dibangun pada

lapisan tanah gambut yang dangkal (< 2,00 meter) selalu hilang tiap kali

dilakukan penimbunan dan diduga hali ini dikarenakan penuruan sesaat setelah

penimbunan sangat sehingga displacement kesamping juga besar. Sedangkan

pada Gambar 2- 12 menunjukkan permasalahan timbunan badan jalan pada

lapisan tanah gambut yang relatif tebal sehingga kecepatan displacement vertikal

lebih besar dari displacement horizontalnya yang berdampak terangkatnya

lapisan tanah gambut menutup badan jalannya.

21

Gambar 2- 15. Konstruksi timbunan jalan diatas tanah Gambut diKalimantan Tengah tahun 1999

Gambar 2- 16 Penanganan Konstruksi jalan diatas tanah Gambut di KalimantanTengah

22

Gambar 2- 17. Penurunan yang terjadi pada penimbunnan badanjalan diatas lapisan tanah gambut yangrelative tebal

2.3.4 Keruntuhan Jalan pada Kondisi ” at-fill ” pada timbunan jalan yangberada pada lapisan tanah ekspansif

Seperti telah diuraikan bahwa akibat perbedaan kadar air maka akan

menimbulkan retakan memanjang jalan dan seiring dengan kondisi yang

berulang maka daya dukung tanah ekspansif berkurang secara signifikan

dan berakibat terjadinya longsoran. Kejadian retakan dan longsoran

badan jalan diatas tanah ekspansif diperlihatkan pada.

23

Gambar 2- 18. Konstruksi timbunan badan jalan diatas lapisan tanahekspansif

Gambar 2.19 : timbunan oprit jembatan dimana abutment terdorong ke depan,kearah sungai

24

2.3.4.1 Fungsi dan Aplikasi Perkuatan TimbunanFungsi perkuatan pada konstruksi timbunan adalah sebagai berikut:

A. Meningkatkan faktor keamanan rencana;

B. Menambah tinggi timbunan;

C. Mencegah pergeseran timbunan selama pelaksanaan;

D. Memperbaiki kinerja timbunan karena penurunan pasca konstruksi yang

seragam.

Perkuatan timbunan yang dibangun di atas tanah lunak umumnya akan berada

dalam dua kondisi, yaitu:

A. Timbunan dibangun di atas deposit yang seragam;

B. Timbunan dibangun di atas zona lemah lokal.

Aplikasi perkuatan timbunan yang paling umum untuk kondisi pertama adalah

timbunan jalan, tanggul, atau bendungan yang dibangun di atas lapisan lanau,

lempung atau gambut jenuh air yang sangat lunak (lihat Gambar 2.15a). Pada

kondisi ini, arah terkuat dari geosintetik biasanya ditempatkan tegak lurus

terhadap garis tengah timbunan. Perkuatan tambahan dengan arah terkuat yang

ditempatkan sejajar dengan garis tengah timbunan dapat juga dibutuhkan pada

ujung timbunan.

Aplikasi kedua adalah konstruksi timbunan yang berada di atas tanah yang

mempunyai zona lemah lokal atau tanah berongga. Zona atau rongga ini dapat

diakibatkan oleh lubang amblasan (sink hole), aliran sungai tua, atau kantung

lanau, lempung atau gambut (lihat Gambar 2.14b). Untuk aplikasi ini, fungsi

perkuatan adalah sebagai jembatan di atas zona lemah lokal atau rongga, dan

perkuatan tarik yang dibutuhkan dapat lebih dari satu arah. Oleh karena itu, arah

terkuat dari geosintetik harus ditempatkan dengan arah yang benar terhadap

garis tengah timbunan Perkuatan geotekstil atau geogrid dapat dipasang satu

lapis atau lebih tergantung besarnya gaya geser yang akan ditahan.

25

(a) Timbunan di Atas Tanah Lunak

(b) Timbunan di Atas Zona Lemah Setempat dan Tanah Berongga(Sumber: Hotlz dkk, 1998)

Gambar 2.-20 :Perkuatan Timbunan

2.4 Kondisi Jalan pada “at-cut”

Seperti halnya kondisi sebelumnya, dalam rangka memenuhi persyaratan

geometric jalan untuk mewujudkan terlaksanakannya undang-undang jalan,

maka konstruksi jalan dapat berada pada daerah galian atau disebut at-cut.

Kondisi ini keberadaan jalan pada daerah galian dan umunya permasalahan

yang dihadapi adalah kerusakan jalan akibat berubahnya karakterisitik propertis

lapisan tanah dasar (subgrade) hasil setelah digali. Dikarenakan material galian

terekspose udara maka akan berubah sifat karakteristik propertisnya secara

26

signifikan dan perubahan ini dipicu pula dengan terganggunya sistim tata salir

alam sebelumnya.

Permasalahan kerusakan jalan pada kondisi “at-cut” ini dapat berupa

kerusakan perkerasan jalan karena dampak dari pengurangan beban (release

load) pada lereng alamnya yang berdampak pada:

1) Berkurangnya daya dukung tanah akibat mengalami penjenuhan yang

meningkat karena tanah dasar (subgrade) menjadi jenuh akibat

terakumulasinya air dari lereng yang berubah.

2) Berkurangnya kemantapan stabilitas lereng galian yang berubah sudutlereng dan ketinggiannya sehingga kondis subgrade menjadi terpengaruh

atau mengalami depersi akibat beban tambahan dari lereng hasil galian.

Berikut diperlihatkan kondisi jalan ”at-cut” yang terjadi dilapangan dan tanah

dasar digunakan sebagai lapisan subgrade. Dilapangan pada beberapa lokasi

ada yang berpotensi ekspansif misalnya mengandung unsur lempung dengan

kandungan illite dan kaolinite yang cukup besar, walaupun kandungan

ekspansifnya jauh dibawah mineral lempung yang mengandung

”montmorillonite”.

Konstruksi jalan pada kondisi ”at-cut” diperlihatkan pada Gambar 2- 14 yang

menujukkan adanya kerusakan perkerasan jalan akibat menurunnya daya

dukung subgrade karena mengalami kejenuhan dan keruntuhan lereng galianjalan sebagai berikut:

1) Pengurangan beban (load released) menimbulkan perubahan karakteristik

propertis material dan penurunan muka air tanah (MAT) menimbulkan

keruntuhan lerenggalian

2) Penjenuhan lapisan subgrade yang dengan volume yang meningkat dimanaberpotensi menurunkan daya dukungnya bedampak pada kerusakan

perkerasan jalan.

27

Gambar 2- 21. Konstruksi perkerasan jalan pada kondisi “at-cut”

Gambar 2- 22. Konstruksi perkerasan jalan pada kondisi “at-cut” Tol Cikapali

hMuka AirTana

PerkerasanJalan

Release Beban akibat galian

Tanah Dasar, berpotensimengandung unsur

minareal lempung yang

ekspansif

Tanah Dasar, dayadukung

berkurang akibat penjenuhan

28

Pada kondisi “at-cut” ini bilamana diperhatikan pada Gambar 2- 21

berdampak padapenjenuhan kaki lereng galian yang diakibatkan oleh adanya

pengurangan beban dan meyebabkan muka air tanah turun dan terkonsentrasi

pada kaki lereng. Kejadian kasus keruntuhan lereng galian ini diperlihatkan pada

Gambar 2- 23.

Gambar 2- 23. Keruntuhan lereng dan kerusakan perkerasan jalan padakondisi “at-cut”.

Kejadian penjenuhan kaki lereng pada konsisi “at-cut” ini akan lebih berdampak

pada lereng yang mengandung material lempung ekspansif sehingga juga

berdampak pada Potensi kerusakan perkerasan dan kondisi ini dicirikan oleh 2hal penting yaitu:

1) Kerusakanperkerasan karena lapisan tanah dasar (subgrade) dan lapisan

subgrade mengalami penjenuhan akibat air tanah yang tidak terkendali dan

terkonsentrasi pada lapisan tanah dasar.

2) Kejadian penjenuhan tanah ini umumnya disebut permasalahan “pumping”

yaitu air tanah akan berusaha mencapai keseimbangan dengan perilaku

perbedaan muai susut yang cukup besar

3) Untuk mengatasi masalah ini, maka pengendalian air tanah yang berubah

akibat galian menjadi sangat penting. Dalam spesifikasi pekerjaan tanah

29

untuk jalan seperti spesifikasi Bina Marga disyaratkan agar permukaan

subgrade harus terletak minimum 1.00 meter diatas muka air tertinggi,

dapat air tanah maupun air permukaan yangmenggenang.

2.5 Rangkuman

Permasalahan Permasalahan Kerusakan Konstruksi Jalan pada tanah

Problematik dapat dibedakan menjadi 3 hal yaitu yang pertama jalan yang

berada pada kondisi “at-grade” atau se level dengan tanah dasarnya sehingga

tanah dasar aslio difungsikan sebagai lapisan subgrade. Yang kedua adalah

jalan pada kondisi “at-fill” atau perkerasan jalan berada pada timbunan

sehingga timbunan difungsikan sebagai lapisan subgrade. Ketiga adalah

perkersan jalan berada pada kondisi “at-cut” atau berda pada daerah galian.

Hal lain yang penting adalah karakteristik properties masing-masing tanah

problematic mempengaruhi bentuk, ciri dan mekanisme kejadian kerusakan

jalan sehingga perlu penanganan yang sesuai dan untuk itu perlu mengenali

karakteristik propertisnya, dan cara investigasinya berdasarkan kajian terhadap

mekanisme keruntuhan yang terjadi.

2.6 Latihan

Peserta diminta untuk menguraikan pengalaman dalam menghadapi

permasalahan tanah problematic terhadap infrastruktur jalan dan jembatan

30

KEGIATAN BELAJAR 2

KRITERIA PADA PERENCANAAN DANPENANGANAN JALAN PADA TANAHPROBLEMATIK

Seperti telah diuraikan sebalumnya bahwa pengumpulan data sekunder berupa

kajian literatur dan informasi parameter geoteknik yang berkaitan dengan lokasi

yang disurvai akan sangat bermanfaat sebagai acuan dasar dalam melakukan

investigasi geoteknik yang mencakup penyelidikan lapangan dan laboratorium

yaitu dengan melakukan pengambilan sampel tanah dari lapangan. Dalam

melakukan survai kondisi lapangan dapat dilakukan dengan melakukan

inventori kondisi lapangan dengan mencocokkan kondisinya terhadap data

sekunder yang dikumpulkan dan dikaji mencakup:

1) Arti dari lapisan tanah dasar sebagai peletakan sistim konstruksi perkerasanjalan

Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta mampu memahami tentang

prinsip perencanaan dan Penanganan Jalan yang dibangun pada tanah

problematic mulai dari penggunaanya sebagai lapisan tanah dasar konstruksi

jalan dan sebagai pendukung sistim konstruksi jalan secara keseluruhan.

Mamhami permasalahan stabilitas jalan terhadap struktur perkerasan dan

stabilitas jalan terhadap sistim konstruksi jalan secara keseluruhan.

Selanjutnya peserta juga dapat memahami tentang prinsip

penanggulangannya terhadap keruntuhan lereng timbunan dan keruntuhan

dalam yang mengakibatkan kondisi jalan mengalamikelongsoran.

31

2) Karakteristik propertis sifat tanah problematik3.1 Lapisan Tanah Dasar

3.1.1 Lapisan Tanah Dasar dalam Sistim Perkerasan Jalan

Lapisan tanah dasar ditinjau dari sistim perkerasan tanah dasar adalah subgrade

sedangkan pada lingkup geoteknik tanah dasar adalah perlapisan tanah yang

difungsikan untuk mendukung beban struktur konstruksi perkerasan jalan.

Pada lapisan tanah dasar sebagai subgrade pada bab sebelumnya diterangkan

ada 3 kondisi yaitu: pada kondisi “at-grade” yang artinya lapisan subgrade pada

permuakaan tanah asli, pada kondisi “at-fill” artinya lapisan subgrade berada

pada timbunan dan kondisi “at-cut” artinya lapisan subgrade berada pada elevasi

setelah lereng dilakukan penggalian.

Oleh karena itu, maka persyaratan Tanah Dasar yang digunakan sebagai

lapisan subgrade perkerasan jalan harus mampu untuk mengantisipasi beban

lalulintas dengan berbagai kondisi kelas jalan. Dengan demikian nilai kekuatan

daya dukung nya tergantung dari jenis tanah / material yang difungsikan sebgai

lapisan dasar/subgrade sehingga mampu mendukung berbagai karakteristik tipe

kendaran yang lewat sesuai dengan Klas Jalan berdasarkan persyaratan muatan

standar kendaraan atau dikenal dengan kelas jalan untuk MST 10 Ton atau

kelas untuk MST 8 Ton. Oleh karenanya maka lapisan tanah dasar sebagai

subgrade umumnya ditentukan dengan karakteristik modulus reaksi subgrade (k)

= 20000 kN/m3 atau CBR > 6 % menurut Standar Spesifikasi Bina Marga.

3.1.2 Lapisan Tanah Dasar dalam Tanah Problematik

Lapisan tanah dasar dalam tanah problematik ini disamping daya dukungnyayang rendah juga masalah penurunan atau keruntuhan jalan menjadi persoalan

tersendiri bila dihubungkan dengan sistim konstruksi jalan yang berada

diatasnya.

32

Dengan demikian sistim konstruksi perkerasan jalan yang dibangun diatas

lapisan tanah problematik perlu diperhatikan mulai dari fungsinya sebagai

lapisan subgrade sampai dengan fungsinya sebagai lapisan tanah problematic

yang mendukung beban sistim perkerasan jalan, baik sifat karakteristik

properties dan ketebalannya serta kondisi ke-air-an seperti sistim drainase, air

tanah dan air permukaan serta sistim pengalirannya yang dapat mempengaruhi

kinerja daya dukungnya.

Dalam Spesifikasi Umum Bina Marga disebutkan bahwa permasalahan dalam

usaha membentuk badan jalan dikelompokkan dalam divisi 3; pekerjaan tanah

dan mencakup seperti diperlihatkan pada Gambar 3- 1, yaitu mencakup kondisi

tanah dibawah perkerasan jalan yang difungsikan sebagai lapisan subgrade.

Berdasarkan ketentuan yang diperlihatkan maka lingkup tanah problematik

untuk konstruksi jalan mencakup kondisi sebagai subgrade atau tanah dasar

untuk konstruksi perkerasan jalan dan karakteristik propertisnya sebagai lapisan

problematic dalam mendukung beban timbunan jalan.

Dalam spsifikasi Bina Marga permasalahan tanah dasar ini dibahas dalam divisi

3 yaitu pekerjaan tanah yang mancakup perihal :

1) Persyaratan material timbunan atau material tanah sebagai subgrade

2) Pekerjaan tanah termasuk galian dan timbunan

3) Ketentuan yang harus dipenuhi bila badan jalan berada pada lapisan tanahproblematic

Dengan memperhatikan hal tersebut diatas maka secara ringkas dapatdijelaskan masing-

masing kondisi sehubungan dengan fungsinya tanah dasar sebagai subgrade

untuk mendukung perkerasan jalan dan tanah dasar yang umumnya berupa

perlapisan tanah yang fungsinya mendukung sistim konstruksi jalan, dimana bisa

sebagai “at-grade”, “at-fill” dan “at- cut” yang tentunya mempunyai criteria dan

persyaratn yang berbeda. Pada diperlihatkan konstruksi jalan pada kondisi “at-

33

fill” atau konstruksi timbunan jalan.

Gambar 3- 1.Permasalahan Perencanaan jalan pada tanahProblematik

Lapi

san

tana

hPr

oble

mat

ik

1.Ta

nah

Luna

k

2.Ta

nah

Gam

but

3.Ta

nah

Eksp

ansi

f

34

3.2 Stabilitas Konstruksi Jalan diatas Tanah Problematik

3.2.1 Stabilitas Daya Dukung Lapisan Tanah Dasar

3.2.1.1 Persyaratan Material sebagai Lapisan Tanah Dasar

Dalam Spesifikasi Umum diperlihatkan pada Gambar Bina Marga

disyaratakan untuk material timbunan seperti 3-2 yang didasarkan pada nilai

MDD ((dry-max) Maximum Dry Density) dan parameter Kepadatan yang

disyaratkan menurut Spesifikasi Bina Marga 2010.

Menurut ketentuan spesifikasi tersebut maka untuk material timbunan yang

digunakan sebagai lapisan tanah dasar diberikan batasan sebagai berikut:

1) Kepadatan lapisan yang lebih dalam dari 30cm di bawah elevasi dasar

perkerasan: 95% berat isi kering maksimum ((dry-max), maximum dry

density, MDD)2) Kepadatan tanah dasar timbunan sedalam 20cm: 95% MDD

3) Kepadatan lapisan tanah MDD pada kedalaman ≤ 30cm dari elevasi dasar

perkerasan: 100%

35

4) Permukaan lapisan subgrade jalan terletak sejauh 1,00 meter dari muka airtertinggi

Gambar 3- 2 Nilai kepadatan Tanah untuk Timbunan jalan

Dalam spesifikasi divisi 3 disampaikan bahwa lapisan tanah dasar yang berupaTanah Lunak didefinisikan sebagai setiap jenis tanah yang mempunyai CBR

lapangan kurang dari 2%.

1) Tanah Dasar dengan daya dukung sedang didefinisikan sebagai setiap

jenis tanah yang mempunyai CBR hasil pemadatan > 2% tetapi kurang dari

nilai rancangan yang dicantumkan dalam Gambar 3- 2, atau

2) Tanah Dasar dengan daya dukung sedang didefinisikan sebagai setiap

jenis tanah yang mempunyai CBR hasil pemadatan < 6% jika tidak ada nilai

yang dicantumkan.

3) Tanah dasar dengan mengandung mineral lempung ekspansif didefinisikansebagai tanah yang mempunyai Potensial Pengembangan > 2,5% atau nilai

aktifitas >1,25

3.2.1.2 Persyaratan uji kepadatan

Persyaratan uji kepadatan adalah dimaksudkan untuk memperoleh nilai

kepadatan kering maksimum (d-max) dengan hubungannya terhadap kadar air

optimum (w-%) dan diperlihatkan pada Gambar 3- 3.

36

Pada Gambar 3- 3 diperlihatkan hubungannya dengan nilai CBR (California

Bearing Ratio) Design untuk menentukan tebal konstruksi perkerasan jalan

khususnya Perkerasan Lentur (Flexible Pavement).

Dalam uji kepadatan laboratorium baik menggunakan pemadatan standar

(Standard Compaction) maupun kepadatan berat (Modified Compaction)

dilakukan terhadap material tanah yang lolos saringan no. 4 dan untuk

implementasinya dilapangan, maka nilai kepadatan kering perlu dikoreksi

karena dilapangan material tanah yang akan dipadatkan gradasi butirannya

beragam dan tidak mungkin di ambil yang tidak lolos saringan no 4.

Nilai derajad kepadatan relative lapangan diambil berdasarkan rasioperbandingan antara kepadatan kering laboratorium terkoreksi dengan

kepadatan kering lapangannya, dalam hal ini diterapkan ketentuan sebagai

berikut:

1) Untuk tanah yang mengandung mineral lempung maka kepadatan kering

maksimum lapangan harus mencapai (d-max lapangan) > terhadap

kepadatan kering laboratoriumnya 95% (d-max laboratorium).

2) Untuk tanah yang mengandung pasir (tanah pasiran dan agregat) maka

kepadatan kering maksimum lapangan harus mencapai (d-max lapangan)

> terhadap kepadatan kering laboratoriumnya 90% (d-max laboratorium).

37

Gambar 3- 3. Nilai kepadatan kering hubungannya dengan CBRDesign

Dengan memperhatikan pada lubang uji “sand cone” di lapangan maka perlu

koreksi terhadap persentase butiran kasar terhadap hasil uji laboratoriumuntukmemperoleh nilai kepadatan relatif-nya (D) dari persamaan dibawah ini:

.

………………………………………………………… 1)

38

Dimana:

Gs = Berat jenis bagian terbesar dari butiran tetahan saringan no 4 atau # 4,75mm

Df = Maksimum kepadatan kering di Laboratorium dari bahan yang lolossaringanno 4

Pc = persentase berat butir kasar tertahan saringan no 4 atau tertahan diameter# 4,75 mm

Pf = Persentase material halus yang lolos saringan 4,75 mm,

r = Suatu koeffisien yang harganya tergantung dari harga Pc seperti Tabel 3 -1.

Tabel 3 - 1. Koefisien r terhadap prosentase berbutir kasar tertahan # 4,75mm (Pc)

Bilamana tanah lunak, ekspansif atau tanah problematic lainnya yang berdaya

dukung rendah contoh yang terekspos pada tanah dasar hasil galian, atau

bilamana tanah lunak atau ekspansif berada di bawah timbunan maka

39

perbaikan tambahan berikut ini diperlukan yang juga dinyatakan dalam

spesifikasi Bina Marga:

a) Tanah lunak harus ditangani seperti yang ditetapkan dalam gambar rencana

antara lain dengan cara sebagai berikut:

i) dipadatkan sampai mempunyai kapasitas daya dukung dengan

CBR lapangan lebih dari 2% atau

ii) distabilisasi atau dibuang seluruhnya atau digali sampai di

bawah elevasi tanah dasar dengan kedalaman yang ditunjukkan

dalam gambar atau

iii) jika tidak distabilisasi maka sampai dengan kedalaman tertentudilakukan penggantian material seperti yang diberikan dalam tabel

3.2.

Kedalaman galian untuk perbaikan dalam peningkatan daya dukung tanah

dasar (subgrade) distujui dan diperiksa bilamana ada perubahan oleh DireksiPekerjaan, berdasarkan percobaan lapangan (fullscale test).

Hasil uji DCP umumnya dilakukan dengan uji DCP (Dinamic Cone

Penetrometer). Terhadap lapisan tanah dengan hasil yang menunjukkan nilai

CBR berbada maka diperlukan implementasi ketebalan tambahan Dse2 yang

diperlihatkan padaTabel 3 - 2.

40

Tabel 3 - 2. Perbaikan Tanah dibawah Permuakaan Tanah Asli

Tabel 3 - 4. Perbaikan Tanah untuk subgrade dan digali sampai dengan

dibawah Permukaan Tanah Aslinya

Kedalaman sampai karakteristik

minimum CBR 2% ( penetrasi uji

DCP diperoleh 65 mm/tumbukan) di

bawah permukaan tanah asli untuk

tanah tak terganggu, tidak termasuk

lapisan permukaan (cm)

Tebal lapis penopang minimum

(cm)

Kedalaman total minimum galian

di bawah tanah dasar (cm)

< 45 cm 30 30 + Dse2

45 cm – < 90 cm 60 60 +Dse2

90 cm – 150 cm 100 100 +Dse2

> 150 cm Penggalian keseluruhan atau perbaikan khusus lainnya

sebagaimana yang diperintahkan atau disetujui Direksi Pekerjaan

3.2.1.3 Daya Dukung Tanah Dasar untuk Konstruksi Jalan

Dalam pekerjaan konstruksi jalan maka daya dukung tanah dasar yang

diinterpretasikan dengan nilai CBR perlu diketahui secara cepat dilapangan dan

metode yang umum digunakan adalah dengan uji kekatan tanah dilapangan

menggunakan DCP (Dinamic ConePenetrometer).

Dalam melaksanakan uji DCP ini digunakan alat DCP dan diperlihatkanpada

Gambar 3- 4. Nilai yang diperoreh dari uji lapangan menggunakan alat uji DCP

ini adalah suatu nilai penetrasi yang dapat dikorelasikan dengan nilai CBR.

Implementasi uji DCP (Dynamic Cone Penetrometer) dilakukan dengan mengisi

Form yang diperlihatkan Gambar 3- 4 dan hasil evaluasi yang diperoleh

diperlihatkan pada Gambar 3- 5.

41

Pada Gambar 3- 5 tersebut diperlihatkan nilai penetrasi yang diperoleh untuk

menentukan nilai CBR rancangan. Dari uji DCP ini diperoleh kedalaman

penetrasi akibat penumbukan yang dapat memberikan informasi nilai DCP.

Hasil uji DCP dilapangan terhadap kondisi lapangan sampai kedalam 1,2 meter

diperoleh nilai CBR nya dengan menggunakan grafik diagram yang di

interpolasikan, seperti diperlihatkan pada Gambar 3- 5 tersebut.

Hasil nilai CBR yang diperoleh pada kedalamn sampai dengan 1,2 meter ini

memberikan nilai CBR pada perbedaan jenis perlapisan tanah dan

diperlihatkan pada Gambar 3- 6 yang memberikan ilustrasi diperolehnya nilai

CBR terhadap nilai DCP dilapangan.

Gambar 3- 4. Alat Uji DCP (Dinamic Cone penetrometer) dan Korelasinyaterhadap Nilai CBR (California Bearing Ratio)

Alat DCP yang banyak

digunakan di lapangan Form Pencatatan nilai DCP di lapangan, untuk korelasi nilai CBR

42

Gambar 3- 5. Alat Uji DCP dan pencatatan hasil dilapangan terhadap nilai CBR

Gambar 3- 6. Contoh Uji Penetuan Nilai SBR terhadap nilai DCP

Hasil Pencatatan nilai DCP di lapangan, untuk korelasinilai CBR

Alat DCP yang banyak

digunakan di lapangan

43

Dengan menggunakan informasi hasil uji DCP dapat diperoleh nilai korlasipenetrasi terhadap nilai CBR nya dan selanjutnya sebagai langkah awal

perencanaan perkerasan jalan yang terdiri dari lapis pondasi (atas dan bawah)

dan tebal lapis perkerasannya dapat didisain.

1) Beberapa ketentuan dalam menerapkan Uji DCP untuk mengevaluasi

kelayakannya dalam mendukung beban kendaraan berdasarkan standar

ESA (Equivalent StandarAxle):

2) Dengan diperolehnya nilai CBR maka untuk menentukan kekuatankonstruksi perkearasn jalan perlu diperoleh Nilai Dse2 yang merupakan suatufaktor yang menggambarkan ketebalan tatah dasar yang dibutuhkanterhadap standar ESA (Equivalent StandarAxle).

3) Dalam hal korelasi antar nilai DCP dan CBR mendapatkan nilai CBR yang

kecil perlu dilakukan perbaikan tanah dasar misalnya dengan menggunakan

material pilihan dengan CBR >2%.

4) Selanjutnya untuk menentukan lapisan tanah dasar yang memenuhi syarat,

selain dipenuhinya CBR >2 % adalah syarat kemampuannya untuk

mendukung beban terhadap ESA (Standar Equvalent Axle) juga salah

satunya dengan menambah ketebalannya untuk persyaratan pemadatan

sesuai spesifikasi yang disyaratkan, misal Spesifikasi Bina Marga 2010

(Tabel 3 - 3).

5) Bilamana hasil DCP menghasilkan nilai CBR yang rendah, maka dapatdirekayasa dengan mengganti material yang memenuhi persyaratan

sebagai lapisan subgrade seperti diperlihatkan pada Tabel 3 - 4.

44

Tabel 3 - 3. Nilai CBR terhadap ESA (Equivalent Standar Axle)

Tabel 3 - 4. Perbaikan Tanah untuk subgrade dan digali sampai dengan dibawahPermukaan Tanah Aslinya

Kedalaman sampai karakteristik minimum

CBR 2% ( penetrasi uji DCP diperoleh 65

mm/tumbukan) di bawah permukaan tanah

asli untuk tanah tak terganggu, tidak

termasuk lapisan permukaan (cm)

Tebal lapis penopang

minimum (cm)

Kedalaman total minimum

galian di bawah tanah dasar

(cm)

< 45 cm 30 30 + Dse2

45 cm – < 90 cm 60 60 +Dse2

90 cm – 150 cm 100 100 +Dse2

> 150 cm Penggalian keseluruhan atau perbaikan khusus lainnya

sebagaimana yang diperintahkan atau disetujui Direksi

Pekerjaan

Dilapangan bilamana dijumpai kondisi sebagai berikut harus dilakukan

pekerjaan awal seperti dibawah ini sebelum uji DCP dilakukan:

a) Bila dijumpai tanah ekspansif maka harus dibuang sampai kedalaman 1

meter di bawah elevasi permukaan tanah dasar rencana.

b) Tanah Dasar mempunyai Daya Dukung sedang maka harus digali

sampai kedalaman tebal lapisan penopang sesuai spesifikasi yang

berlaku dan harus ditunjukkan dalam gambar rencana.

CBR Tanah dasar yang Ada

Umur Rencana dalam

ESA (eqkivalent

standar axle)

(kriteria keruntuhan

tanah dasar)

CBR Rancangan untuk Tanah Dasar

4 5 6

Timbunan Pilihan

Tebal untuk peningkatan tanah dasar Dse(cm)

2 – 3 (termasuk lapis penopang

paling atas) Dse2

10 5 - < 106 20 25 30

106 - < 107 25 30 35

107 - 108 30 35 404

Semua0 15 15

5 0 0 15

45

c) Untuk rencana konstruksi perkerasan jalan pada kondisi galian atau “at-

cut” harus tetap dijaga agar bebas dari air pada setiap saat, terutama

untuk tanah lunak dan ekspansif sehingga memperkecil dampak akibat

perubahan penyusutan dan pengembangan oleh karena itu itu harus

dilakukan pembenahan sistim drainase untuk menjaga perubahan

kembang susut yang terjadi.

d) Bilamana dalam uji DCP dijumpai kondisi untuk setiap lapisan tanah

hasil galian diperkirakan perlu penanganan atau perbaikan dan tidak

disyaratkan secara khusus dalam Gambar, maka implementasinya

harus disetujui terlebih dahulu oleh Direksi Pekerjaan.

e) Bilamana dijumpai adanya lapisan tanah problematic atau tanah lunak

yang cukup tebal (dari uji DCP memperoleh nilai penetrasi besar atau

nilai CBR kecil) yang dampaknya dikhawatirkan dapat mengganggu

dicapainya stabilitas timbunan (timbul masalah penurunan dan

keruntuhan) maka perlu dilakukan invesigasi untuk mengetahui

kedalamannya dengan :

i) Penggujian lapangan dengan Sondir atau DCP (Dutch Cone

Penetrometer)

ii) Pemboran untuk mengetahui kondisi perlapisan tanah lunak tersebut

iii) Dilakukan uji laborium untuk megetahui untuk keperluan analisa

stabilitas

(1) karakteristik propertisnya melalui klasifikasi dan indek test

(2) kekuatan dan sensitivitasnya

(3) faktor terhadap nilai kekompakan, permeabilitas, kompresibilitas

Petunjuk dalam melaksanakan uji DCP dan uji lapangan lainya serta uji

laboraroium yang mendukung dan terintegrasi dengan uji DCP dapat dilakukan

dengan berdasar pada standar yang telah dibakukan atau SNI yang terkait

serta Spesifikasi Umum Bina Marga 2010 tentang Pekerjaan Jalan dan

46

Jembatan.

3.2.1.4 Kualitas Bahan Timbunan

Kualitas material tanah yang digunakan untuk timbunan dalam rangka

membentuk lapisan tanah dasar atau subgrade sebagai tumpuan konstruksi

perkerasan jalan perlu diperhatikan karena beberapa hal berikut perlu

diperhatikan:

1) Material tanah untuk timbunan yang terdiri dari tiga jenis, yaitu Timbunan

Biasa, Timbunan Pilihan, dan Timbunan Pilihan Berbutir di atas tanah rawa

yang masing-masing mempunyai karakteristik properties yang spesifik dan

kekuatan dayadukungnya.

2) Timbunan pilihan digunakan untuk meningkatkan kapasitas daya dukung

tanah dasar pada lapisan penopang (capping layer) dan jika diperlukan di

daerah galian. Timbunan pilihan dapat juga digunakan untuk stabilisasi

lereng atau pekerjaan pelebaran timbunan jika diperlukan lereng yang lebih

curam karena keterbatasan ruangan, dan untuk pekerjaan timbunan lainnya

dimana kekuatan timbunan adalah faktor yangkritis.

3) Timbunan Pilihan Berbutir digunakan sebagai lapisan penopang (capping

layer) pada tanah lunak yang mempunyai CBR lapangan kurang 2% yang

tidak dapat ditingkatkan dengan pemadatan atau stabilisasi, dan diatas

tanah rawa, daerah berair dan lokasi-lokasi serupa dimana bahan

Timbunan Pilihan dan Biasa tidak dapat dipadatkan denganmemuaskan.

4) Baik Timbunan Pilihan maupun Timbunan Pilihan Berbutir umumnya

digunakan untuk penimbunan kembali pada abutmen dan dinding penahan

tanah serta daerah kritis lainnya yang memiliki jangkauan terbatas untuk

pemadatan dengan alat yang disetujui oleh Direksi Pekerjaan.

5) Bila drainase diperlukan maka dipasang bahan material sebagai

landasan untuk pipa atau saluran beton, maupun bahan drainase

porous yang dipakai untuk drainase bawah permukaan atau untuk

mencegah hanyutnya partikel halus tanah akibat proses penyaringan.

47

48

6) Dalam hal agar tidak terjadi penurunan kualitas bahan timbunan sehingga

menyebabkan menurunya daya dukung dan stabilitasnya maka permukaan

lapisan tanah dasar final harus berada cukup jauh dari muka air tertinggi,

baik air tanah maupun air permukaan. Untuk itu tinggi timbunan sebagai

tanah dasar harus mempunyai ketinggian yang cukup dan dapat

mewujudkan daya dukung yang memadai dan dapat berdiri stabil terhindar

dari keruntuhan dangkal (keruntuhan lereng) maupun keruntuhan dalam

(keruntuhan pondasi).

7) Nilai Daya Dukung material tanah dasar dilapangan sebagai subgrademempunyai nilai kepadatan (compactness) setara dengan nilai derajad

kepadatannya (relative density) dan Ratio) serta sudut geser dalamnyaseperti diperlihatkan pada CBR (California Bearing rangkuman Tabel 3- 5.

49

Tabel 3- 5 Nilai korelasi beberapa Parameter Kepadatan terhadap N-SPT(Nilai Standard Penetration Test)

3.2.1.5 Rekayasa Teknik Terhadap Timbunan yang TidakMemenuhi Ketentuanpersyaratan Kualitas dan Ketentuan Stabilitas

Rekayasa terhadap bahan timbunan yang tidak memenuhi syarat kualitas serta

ketentuan stabilitas perlu dilakukan.

1) Timbunan akhir yang tidak memenuhi penampang melintang yang

disyaratkan harus diperbaiki dengan menggemburkan permukaannya dan

membuang atau menambah dan dilanjutkan dengan pembentukan kembali

dan pemadatankembali.

2) Timbunan yang terlalu kering untuk pemadatan, terhadap batas-batas

kadar air optimumnya harus diperbaiki dengan menggaruk bahan tersebut,

dilanjutkan dengan penyemprotan air secukupnya dan dicampur agar

homogin dengan menggunakan "motor grader" atau peralatan lain yang

disetujui direksi pekerjaan.

3) Timbunan yang terlalu basah untuk pemadatan, harus diperbaiki dengan

menggaruk bahan material tanah tersebut dengan penggunaan motor

grader atau alat lainnya secara berulang-ulang dengan ketentuan:

50

a) selang waktu istirahat selama penanganan,

b) dalam cuaca cerah.

4) Alternatif lain bilamana pengeringan yang memadai tidak dapat dicapai

dengan menggaruk dan membiarkan bahan gembur tersebut, mka diganti

dengan bahan material tanah kering yang lebih cocok.

5) Timbunan yang telah dipadatkan dan memenuhi ketentuan persyaratan

menjadi jenuh akibat hujan atau banjir atau karena hal lain, biasanya tidak

memerlukan pekerjaan perbaikan asalkan sifat-sifat bahan dan kerataan

permukaan masih memenuhi ketentuan persyartan tersebut.

6) Timbunan yang telah dipadatkan dan tidak memenuhi persyaratan stabilitas

karena berbagai sebab:

a) Berada diatas lapisan tanah problematik maka perlu perkuatan terhadap

keruntuhan dalam atau longsoran dalam. Untuk perkuatan dasar

timbunan dapat diterapkan dengan mengahmparkan lapisan geosintetik

berupa geogrid yang juga dapat di kombinasikan dengan geotekstil.

Geogrid berfungsi untuk perkuatan sedangkan geotekstil dapat

berfungsi sebagai separator, filter dan penambah perkuatan didasar

timbunan.

b) Keterbatasan dalam mencapai stabilitas sehingga dikhawatirkan akan

mengalami keruntuhan lereng atau longsor maka perbaikan timbunan

dengan perkuatan geosintetik dapat dilakukan.

c) Perbaikan timbunan yang rusak akibat gerusan banjir atau menjadi

lembek setelah pekerjaan tersebut selesai maka perlu disiapkan sistim

penataan pengaliran air yang seignifikan terhadap penjenuhan material

timbunan.

7) Untuk menjamin terpenuhinya ketentuan stabilitas timbunan yang

difungsikan sebagai subgrade bilamana berada pada lapisan tanah

problematic yang mempunyai ketebalan

cukup signifikan maka perlu dilakukan perbaikan tanah problematic tersebut

sebelum dilakukan penimbunan.

51

8) Prinsip perbaikan tanah problematic dilakukan dengan ketentuan sebagaiberikut:

a) Mengevaluasi jenis dan ketebalannya serta perlapisannya

b) Memilih metode yang dapat diterapkan dengan mempertimbangkan

teknologi yang dapat diterapkan serta ketersediaan bahan untuk

mendukung penerapan teknologi tersebut.

9) Jenis teknologi yang dipilih perlu mempertimbangkan criteria sebagaiberikut:

a) Teknologi dengan mengganti material yang lebih baik sehingga

memenuhi ketentuan daya dukung dan stabilitas.

b) Teknologi dengan meningkatkan daya dukung tanah problematic

misalnya dengan menerapkan sistim pondasi yang dapat mendukung

dan meningkatkan daya daya dukung dan stabilitas

c) Teknologi dengan meningkatkan stabilitas terhadap terjadinya

keruntuhan baik keruntuhan lereng maupun keruntuhan pondasi.

d) Teknologi dengan mengurangi beban yang bekerja yaitu membatasi

tinggi timbunan atau melakukan sistim konstruksi timbunan yang

menjadi ringan.

3.2.2 Stabilitas Timbunan

Suatu hal yang sangat pentingadalah menganalisa dan mengevaluasi

kondisi lapisan tanah sebagai tumpuan daya dukung timbunan jalan.

Terpenuhinya daya dukung timbunan sebagai lapisan tanah dasar

(subgrade) konstruksi jalan tidaklah mencukupi kalo tidak mengevaluasi dan

menganalisa kondisi lapisan tanah nya karena akan berdampak pada

keruntuhan timbunan.

3.2.2.1 Langkah-langkah Memilih Solusi Penanganan Badan Jalan diatasTanah Problematik

Langkah-langkah memilih solusi penanganan badan jalan diatas tanah

52

problematik :

1) Identifikasi masalah

2) Identifikasi faktor-faktor yang akan mempengaruhi proses pengambilankeputusan

3) Memilih menganalisa pilihan

4) Menghitung biaya masing-masing5) Menentukan pilihan yang terbaik

Memahami prinsip penanganan permasalahan konstruksi jalan pada tanah

problematic baik untuk jalan baru maupun jalan eksisting.

1) Memahami beberapa prinsip metode penanganannya yang diawali dengan

mengevaluasi dan menganalisa terhadap permasalahan yang akan terjadi

sebelum menentukan tipe penanganannya.

2) Penanganan tanah problematik yang biasa dilaksanakan di Indonesia

adalah dengan metode :

a) Penanganan pada Pekerjaan Tanah

b) Penanganan pada Perbaikan Tanah

3.2.2.2 Teknologi Penanganan Tanah Problematik

Beberapa teknologi dapat diterapkan seperti diperlihatkan pada . Dengan

pemilihan teknologi yang tepat perlu dilakukan evaluasi dan analisa terhadappermasalahan yang terjadi.

53

Tabel 3- 6. Teknologi penanganan Tanah Problematik

Seperti telah diuraikan sebelumnya, maka langkah pertama dalam

melakukan pemilihan teknologi yang akan di implementasikan adalah dengan

mengetahui macam dan jenis tanah problematic melalui serangkaian pengujian

sehingga secara jelas dapat diklasifikasikan seperti diperlihatkan pada Gambar

3- 7.

Khusus pada tanah ekspansif dengan memperhatikan Gambar 3- 7 tersebut,

bilamana dijumpai kandungan lempung tinggi, maka perlu di analisa

kandungan unsure mineralnya dan bila dijumpai adanya unsur mineral

monmorillonite maka selanjutnya dilakukan uji potensial kembang-susutnya.

54

Gambar 3- 7. Klasifikasi Tanah Lunak/Gambut

3.2.2.3 Mode Keruntuhan Timbunan pada tanah problematic

Beberapa kejadian dikarenakan rendahnya daya dukung serta nilai

kompresibilitasnya yang besar pada tanah problematik maka timbul beberapa

permasalahan sehubungan dengan penurunan dan keruntuhan timbunan.

54

1) Permasalahan Penurunan

Terjadinya masalah penurunan yang umumnya didominasi oleh penurunan

primer pada tanah lunak dengan kurun waktu yang cukup lama maka

dapat digolongkan sebagai keruntuhan amblasan atau keruntuhan pondasi

seperti diperlihatkan pada Gambar 3- 8. Bilamana sifat kompresibilitasnya

tinggi seperti pada tanah organic atau gambut maka akan terjadi penurunan

timbunan yang sangat cepat dan berdampak menimbulkan pengangkatan tanah

disekelilingnya (heaving) serta bertambahnya gaya horizontal.

55

Gambar 3- 8. Keruntuhan amblasan atau pondasi

56

Dampak yang ditimbulkan oleh beban yang berlebihan adalah

pengangkatan tanah yang berdampak pada pengangkatan tanah juga

berdampak pada meningkatnya beban horizontal dan menimbulkan

kerusakan bangunan infrastruktur disekelilingnya seperti abutmen jembatan

dan kejadian ini diperlihatkan pada Gambar 3- 9 a. yang menggambarkan

penurunan berlebih pada tanah lunak dan Gambar 3- 9 b. penurunan

berlebih pada lapisan tanah gambut. Penurunan berlebih yang

mengakibatkan terdeformasinya abutment jembatan diperlihatkan pada

57

Gambar 3- 10.

Gambar 3- 15. Keruntuhan Timbunan akibat Pengangkatan Tanah yangberlebihan (sumber : eddie sunaryo, 2010 – 2014 dan 2015)

b) Pada Lapisan tanah Lunak

a) Pada Lapisan tanah Lunak

58

Gambar 3- 16. Keruntuhan abutmen jembatan pada TanahProblematik berupa tanah lempung organic kompresibel (sumber :eddie sunaryo, 2010 – 2015 dan 2015)

Kejadian lain adalah keruntuhan lereng timbunan yang bukan merupakan

keruntuhan lereng timbunan yang sifatnya dangkal, tetapi timbul keruntuhan

lereng dalam seperti diperlihatkanpada Gambar 3- 11 timbunan jalan pada tanah

lunak organic dan Gambar 3- 12 keruntuhan timbunan jalan pada Tanah

Ekspansif (sumber eddie sunaryo 2010 dan 2011).

Pada tanah Organik tinggi dan Gambut:

Berdampak pada longsoran lere g timbunan

dalam setelah di identifikasi retakan

memanjang jalan di bagian tengah.

59

n

Gambar 3- 17. Keruntuhan Lereng Dalam Timbunan Jalan pada lapisantanah Lunak

Gambar 3- 18. Keruntuhan Lereng Timbunan Jalan pada Tanah Ekspansif

3.3 Rangkuman

Pada Modul 3 yang berjudul PERMASALAHAN KERUSAKAN JALAN DAN

PERENCANAAN – PENANGANANNYA SEBAGAI TANAH DASAR

merangkum yang berhubungan dnegan perancanaan dan penanganan jalan

yang berada pada tanah problematic. Permasalahan dapat terjadi pada

fungsinya sebagai lapisan tanah dasar yang mendukung perkerasan atau

permasalahan stabilitas keberadaannya dalam mempertahankan stabilitas sitim

konstruksi jalan

Pada tanah ekspansif:

Perbedaan Kadar Air Tanah antaradibawah badan jalan dan diluar

badan jalan mengakibtakan retak

memanjang pada Bagian Tepi

Jalan dan berakhir pada longsoran

retakan

60

3.4 Latihan

Peserta diharapak dapat mengembangkan ide dalam perencanaan dan

penanganan konstruksi jalan pada tanah problematic baik ditinjau dari fungsi

penrapannya serta jenis dan macam tanah problematiknya.

61

KEGIATAN BELAJAR 3TANAH PRINSIP PENANGGULANGANPROBLEMATIK

4.1 Kualitas dan Kontrol Kualitas Materal Timbunan SebagaiTanah Dasar atau Subgrade

Seperti telah dibahas di Bab III bahwa permasalahan tanah problematic

ini mencakup dari lapisan tanah dasar atau subgrade sampai dengan

lapisan tanah dibawahnya yang berupa tanah problematic. Dengan

demikian maka untuk persyaratan subgrade, parameter kekuatan dapat

ditentukan dengan berdasarkan parameter kepadatan tanah sebagai

berikut:

1) CBR (California Bearing Ratio)

2) MR (modulus resilient)

3) K (modulus reaksi tanah)

4) DCP (Dynamic Cone Penetrometer)

Sebagai contoh maka penentuan bahan material yang tepat berdasarkan nilaikekuatan tanah dasar terhadap modulus reaksi tanah dasar (k) diperlihatkan

pada Table 4 - 1.

Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta mampu memahami pengertian

tentang PRINSIP PENANGGULANGAN KONSTRUKSI JALAN pada tanah

problematic yang difungsikan sebagai lapisan tanah dasar dan penerapan

beberapa teknologi yang digunakan berupa perkuatan lereng dan perkuatan dasar

timbunan.

62

Table 4 - 1. Kekuatan Tanah Dasar danToleransinya

Nilai parameter tersebut diatas didasarkan pada nilai kadar air optimum (wopt)

yang diperoleh dari pengujian kepadatan laboratorium yang mencarai

hubungan antara nilai kadar air optimum (wopt) dengan kepadatan kering

maksum sebagai MDD (Maximum Dry Density) atau (dry-max). Untuk

mengetahui nilai kepadatan lapapangan penentuan nilainya menggunkan alatuji sand cone seperti diperlihatkan pada Gambar 4-1 dan hasilnyadipresentasikan pada Gambar 4-2.

63

Gambar 4- 1. Pengujian Kepadatan Tanah dengan Sand Cone

Gambar 4- 2. Contoh hasil Uji Sand Cone dan hasilnya serta uji CBRlapangan setelah pekerjaan pemadatan selesai dengan berat volume

pasir (gp) 1,323 gr/cm3

Pada Gambar 4- 2 diperlihatkan pula pengujian terhadap nilai CBR Lapangan

yang dapat dilakukan bersamaan dengan pengujian kepadatan lapangan

dengan alat uji Sandcone.

Dengan melakukan pengujian untuk mengetahui kepadatan lapangan hasilpemadatan yang telah dilakukan maka akan diketahui nilai kepadatannya yaituberdasarkan uji Sand Cone untuk mengetahui nilai MDD (Maximum Dry

Density) pada kondisi kadar air optimum (wopt) dan hubungannya terhadap nilaiCBR lapangannya.

64

4.2 Konstruksi Tanah Timbunan Sebagai Subgrade

4.2.1 Persyaratan Kekuatan Daya Dukung

Seperti telah diuraikan bahwa kinerja perilaku tanah dasar sebagai subgrade

sangat tergantung dengan karakteristik propertisnya yang menggambarkan

daya dukung dan stabilitasnya dalam mendukung perkerasan jalan diatasnya.

Oleh karena itu penetuan persyaratan bahan material tanah yang digunakan

perlu dikaji dengan teliti untuk daya dukungnya terutama nilai CBR dan

kepadatan lapangan maksimumnya pada kondisi kadar air optimumnya.

Hasil uji pemadatan terhadap beberapa jenis tanah diperlihatkan pada Gambar

4- 3 dan hubungannya antara pemadatan rendah (pemadatan ringan) dan

pemadatan tinggi (pemadatan berat) untuk jenis tanah yang sama sifat

karakteristik propertisnya diperlihatkan pada Gambar 4- 4 (eddie sunaryo,

2010, 2015.

Gambar 4- 3. Hubungan antara Hasil Pemadatan pada beberapa JenisTanah

65

Gambar 4- 4. Hasil Proses Pemadatan Tanah dengan metode pemadatanrendah (pemadatan standar) dan Pemadatan tinggi (pemadatan berat)

untuk jenis tanah yang sifat karakteristik propertisnya sama

Untuk mengetahui tingkat kepadatanya, umumnya dievaluasi tingkatkepadatan relatif atau DR (relatif density) yang menyatakan derajat kepadatantanah antara berbutir kasar seperti mengandung pasir dan kerikil denganformula kepadatan relatif (DR) dan diperlihatkan pada Table 4 - 2:

Table 4 - 2. Kepadatan Relatif Tanah untukSubgrade

66

Dimana:

e = angka pori contoh tanah

emax = angka pori terbesar yang dapat dicapai di laboratorium (yaituangka pori tanah dalamkeadaan paling tidak padat)

emin = angka pori terkecil yang dapat dicapai di laboratorium (yaitu angkapori tanah dalam keadaan paling padat)

4.2.2 Variasi jenis material material tanah untuk subgrade

Permasalahan yang dihadapi dilapangan tidak sesederhana seperti yang

disampaikan sebelumnya yaitu hanya berdasarkan terhadap kekuatan daya

dukung yang dipresentasikan dengan kepadatan yang dicapai dengan

dipenuhinya nilai CBR, tetapi ada beberapa pertimbangan yang perlu

diperhatikan. Perhatian khusus perlu dilakukan karena kebutuhan dalam

disain yang diperlukan misalnya untuk kondisi “at-fill” diperlukan timbunan

yang cukup tinggi sehingga stabilitasnya perlu dicermati dengan seksama.

Hal lain yang perlu diperhatikan sebagai dasar konstruksi timbunan adalah:

1) Sifat karakteristik properties tanah timbunan itu sendiri dan telah

disampaikan sebelumnya bahwa tanah timbunan dapat berupa

granular atau bukan granular, timbunan biasa atau timbunan pilihan

dan keterbatasan material timbunan yang digunakan.

2) Sifat karakteristik lapisan tanah dasar yang mendukung timbunanyang biasanya pada daerah dataran didominasi oleh sedimen

endapan yang berumur quarter yang didominasi tanah problematic.

Dengan memeperhatikan kedua hal diatas maka diperlukan rekayasa teknikagar disamping daya dukungnya terpenuhi juga stabilitasnya terpenuhi.

Berdasarkan hasil pengujian laboratorium dan jenis material yang dapat

67

digunakan untuk timbunan jalan maka terdapat 3 golongan tanah ditinjau

dari gradasinya seperti diperlihatkan pada , yaitu:

1) Tipe 1 WELL GRADED dengan gradasi ukuran butir terbagi merata

2) Tipe 2 POORLY/UNIFORM GRADED dengan gradasi ukuran butir

sebagian besar sama

3) Tipe 3 GAP GRADED dengan gradasi ukuran butir merupakan

kombinasi dua atau lebih diameter yang sama

Gambar 4- 5. Pengelompokan Variasi Gradasi Tipe 1, 2 dan 3 dari hasil ujigradasi

Untuk mengetahui tanah termasuk diantara ke tiga golongan tersebutterhadap grafik pembagian butir perlu diketahui nilai koefisien

keseragamannya (Cu) dan nilai koefisien kelengkungannya (Cc) pada

Gambar 4- 6 yang mengacu pada Gambar 4- 5 diatas.

68

Gambar 4- 6. Pedoman analisaPengelompokan Nilai Cu dan Cc

4.2.3 Jenis Material terhadap Kelompok Penggunaannya

Pengelompokan jenis material terhadap penggunaannya untuk konstruksi jalandalam spesifikasi Bina Marga terbagi menjadi 4 kelompok seperti diperlihatkan

pada Table 4 - 3 yaitu:

1. Tanah A: dalam spesifikasi konstruksi jalan sering disebut Agregat kelas A

yang umumnya digunakan sebagai lapis pondasi Jalan (Base Course)

2. Tanah B: dalam spesifikasi pekerjaan konstruksi jalan sering di asumsikan

sebagai material Agregat kelas B atau lapis pondasi dasar (Subbase

Course)

3. Tanah C: dalam spesifikasi pekerjaan konstruksi jalan sering dikategorikan

sebagai lapisan tanah dasar (subgrade) atau agregat kelas C dan di

lokasi kuari (Quarry) di istilahkan sebagai Galian C yang umumnya

dikelompokkan sebagai tanah timbunan jalan.

4. Tanah D: dalam spesifikasi pekerjaan jalan jenis material lempung dan

jarang digunakan sebagai bahan konstruksi timbunan. Penggunaan

tanah D ini di timbunan digunakan sebagai material timbunan inti karena

Dimana:

69

permebilitasnya yang rendah sehingga diasumsikan sebagai lapisan kedap

air.

Table 4 - 3. Pengelompokan Jenis Material yang digunakan dalamkonstruksi jalan yang disyaratkan secara internasional

Disamping jenis tanah seperti dijelaskan pada Table 4 - 3 juga ada satu

kelompok tenis tanah yang dikelompokkan sebagai Agregat Kelas S yang

penerapannya sebagai lapis Pondasi untuk Bahu Jalan dan diperlihatkan pada

Table 4 - 4 dalam hubungannya dengan Agregat Klas A dan B. Pada Table 4 -

4 tersebut yang di dasarkan pada Spesifikasi Bina Marga 2010 diperlihatkan

jumlah komposisi gradasi yang disyaratkan dan sifat-sifat teknis lainnya.

Salah satu faktor yang mempengaruhi daya dukung jenis tnah sebagai lapis

pondasi jalan adalah nilai PI (Plasticity Index), sehingga nilai PI (Plasticity

Index) sehingga pada Lapis Pondasi Agregat Kelas‒S dinyatakan minimal 4%

dan maksimal 15% dan nilai CBR harus mencapai minimal 50%. Hubungan

antara Agregat Klas S dan Klas A dan/atau Klas B terhadap sifat phisik dan

karakteristik propertiesnya diperlihatkan pada Table 4 -5.

70

Bila sulit diperoleh maka material Lapis Pondasi Agregat Kelas‒S ini dapat

diperoleh dengan campuran material yang bersifat plastis berupa tanah yang

mengandung lempung (clay) dengan agregat kelas A atau B sedemikian rupa

sehingga persyaratan PI dan CBR tersebut terpenuhi.

Table 4 - 4. Ukuran Gradasi Agregat Klas A, B dan S

Table 4 - 5. Sifat Phisik dan Karakteristik Agregat Klas A, B dan S

71

4.3 Teknologi Perkuatan Timbunan sebagai Lapisan tanah Dasaratau Subgrade

Teknologi perkuatan timbunan terhadap keruntuhan lereng dangkal maupun

lereng dalam umumnya digunakan bahan geosintetik yang berupa Geotekstil

baiuk “woven” maupun “un- woven” dan geogrid bila diperlukan bahan

perkuatan yang dapat menambah kekuatan geser tanah problematik dalam

mendukung beban timbunan jalan.

4.3.1 Sifat-sifat Bahan Material Geosintetik

4.3.1.1 Sifat-sifat Elektrokimia

Syarat kriteria elektrokimia untuk tanah timbunan yang diperkuat dengangeosintetik bergantung pada jenis polimer seperti diperlihatkan pada Table 4 -

6.

Table 4 - 6. Syarat Elektrokimia Timbunan yang Diperkuat (Elias dkk, 2001)

Jenis PolimerSyarat Nilai pH

Tanah Metode UjiPoliester (PET) 3 < pH < 9 AASHTO T289-91Poliolefin (PP dan HDPE) pH > 3 AASHTO T289-91

4.3.1.2 Sifat Karakteristik terhadap Geometrik pemasangan untukPerkuatan Timbunan Bahan Geosintetik

Sifat-sifat struktur rencana dari geosintetik merupakan suatu fungsi dari

karakteristik geometric yang mliputi kekuatan dan kekakuan, durabilitas dan

jenis material. Suatu lapis pita-pita geotekstil dan geogrid dicirikan oleh lebar

dan jarak horizontal dari as ke as dari pita-pita tersebut. Luas potongan

melintang tidak diperlukan karena kekuatan pita geosentetik digambarkan

72

dengan gaya tarik per satuan lebar, bukan oleh tegangan. Kesulitan-kesulitan

dalam mengukur tebal dari bahan yang tipis dan relatif kompresibel

mengakibatkan perkiraan tegangan menjadi tidak realistis.

Rasio lipatan Rc digunakan untuk menghubungkan gaya per satuan lebar dari

perkuatan yang terpisah terhadap gaya per satuan lebar yang dibutuhkan padaseluruh struktur, diperlihatkan pada Gambar 4- 7.

Gambar 4- 7. Karakteristik Bahan Geosintetik tipe Woven

Dimana:c

R b/Sh

b = lebar kotor dari pita, lembaran atau grid (m)Sh = spasi horizontal dari as ke as antara pita-pita, lembaran-lembaran ataugrid-grid(m)Rc = 1 untuk perkuatan lembaran menerus

4.3.1.3 Sifat-sifat terhadap Kekuatan Bahan Geosintetik

Sifat-sifat kekuatan geosintetik ditentukan oleh faktor lingkungan seperti

rangkak, kerusakan saat instalasi, penuaan, suhu dan tegangan pengekang

73

(confining stress). Kuat geser ijin jangka panjang geosintetik harus

ditentukan melalui pertimbangan menyeluruh terhadap elongasi ijin, potensi

rangkak dan seluruh potensi mekanisme degradasi kekuatan.

Secara umum, produk-produk poliester (PET) peka terhadap penurunan

kekuatan akibat penuaan karena hidrolisis (ketersediaan air) dan temperatur

tinggi. Produk-produk poliolefin (PP dan HDPE) peka terhadap kehilangan

kekuatan akibat penuaan karena oksidasi (kontak dengan oksigen) dan

atau temperatur tinggi. Oksidasi geosintetik dalam tanah dapat terjadi dengan

laju yang hampir sama dibandingkan dengan geosintetik yang berada di atas

tanah.

Walaupun sebagian besar perkuatan geosintetik dikubur dalam tanah,

stabilitas geosintetik terhadap ultraviolet selama masa konstruksi harus

tetap diperhatikan. Jika geosintetik digunakan pada lokasi yang terpapar

ultraviolet (misalnya untuk membungkus dinding atau bagian muka lereng),

maka geosintetik sebaiknya dilindungi dengan bahan pelindung atau unit- unit

penutup untuk mencegah kerusakan.

1) Penutupan dengan tanaman dapat dilakukan jika menggunakan geotekstil

anyaman terbuka atau geogrid.

2) Kerusakan saat penanganan dan konstruksi, seperti akibat abrasi dan aus,

coblos dan robek atau gores, serta retak dapat terjadi pada grid polimer

yang getas. Jenis-jenis kerusakan ini dapat dihindari dengan perlakuan

yang hati-hati selama penanganan dan konstruksi.

3) Alat berat dengan roda rantai baja (track) tidak diperbolehkan melintas

langsung di atas geosintetik.

4) Kerusakan saat penimbunan merupakan fungsi dari beban yang ditimpakan

pada geosintetik selama masa konstruksi serta ukuran dan kebundaran

(angularity) bahan timbunan.

5) Untuk lereng tanah yang diperkuat, penggunaan geotekstil ber-massa

rendah dan kekuatan rendah sebaiknya dihindari untuk meminimalkan

74

kerusakan yang menyebabkan berkurangnya kekuatan geotekstil.

6) Kuat tarik jangka panjang geosintetik harus ditentukan berdasarkan

pendekatan faktor keamanan parsial. Faktor reduksi digunakan untuk

menghitung kekuatan geosintetik meliputi faktor kerusakan pada saat

instalasi, faktor rangkak serta kondisi biologi dankimia.

4.3.2 Interaksi tanah dan geosintetik

Kombinasi antara material tanah (baik dalam memikul gaya tekan walaupun

lemah dalam gaya tarik) dengan material geotekstil (yang baik dalam memikul

gaya tarik tapi lemah dalam memikul gaya tekan) sangat memberikan hasil

yang positif (Gouw Tjie-Liong, 2006). Koefisien interaksi tanah dengan

geosintetik atau disebut Kemampuan Cabut yang harus dipertimbangkan

dalam perencanaan meliputi koefisien cabut dan koefisien gesekan antar

bidang permukaan.

1) Kinerja tahanan cabut

Perencanaan perkuatan lereng membutuhkan evaluasi kinerja cabut jangka

panjang yang mempertimbangkan tiga kriteria dasar berikut ini:

a) Kapasitas cabut: tahanan cabut pada perkuatan harus cukup kuat

menahan gaya tarik rencana yang bekerja di dalam perkuatan dengan

faktor keamanan cabut minimum adalah 1,5.

b) Perpindahan (displacement) izin: perpindahan relatif tanah terhadap

perkuatan yang dibutuhkan untuk memobilisasi gaya tarik rencana

harus lebih kecil daripada perpindahan yang diizinkan.

c) Perpindahan jangka panjang: beban cabut harus lebih kecil daripada

beban rangkak kritis.

Tahanan cabut puncak (Pr) per satuan lebar perkuatan ditentukan melaluipersamaan berikut:*Pr = F . . ’v . Le . C

75

Dimana:

F* = faktor tahanan cabut;

= faktor koreksi skala;

’v = tegangan vertikal efektif antarmuka (batas) antara tanah dan

geosintetik (kN/m2). Le = panjang tertanam pada zona yang ditahan di

belakang bidangkeruntuhan (m); C = keliling efektif perkuatan, untuk

geogrid dan geotekstil nilai C = 2;

Faktor tahanan cabut F* dan faktor koreksi skala yang paling akurat

melalui pengujian tarik cabut terhadap contoh material timbunan yang akan

digunakan. Jika data hasil pengujian tidak tersedia, maka nilai untuk

geogrid adalah 0,8 dan untuk geotekstil 0,6 dan nilai F*=2/3 tan .

Sudut di atas merupakan sudut geser tanah yang minimal dihasilkan dari

pengujian di laboratorium. Untuk perkuatan lereng, besarnya untuk

timbunan yang diperkuat umumnya didapat melalui pengujian, akibatbervariasinya material timbunan yang digunakan. Nilai terendah yang biasa

digunakan adalah 280.

2) Gesekan antar permukaan

Gesekan antar permukaan geosintetik dan tanah timbunan seringkali lebih

rendah daripada sudut geser tanah, sehingga dapat membentuk bidang

gelincir. Sudut gesek antar permukaan ditentukan dari uji geser langsung

antara tanah dan geosintetik dengan acuan ASTM D 5321 atau ISO 12957-

1:2005. Apabila hasil pengujian tidak tersedia, maka koefisien gesekan

antar permukaan ditentukan dengan persamaan 2/3 tan untuk geotekstil,

geogrid dan drainase komposit tipe geo-net.

76

Teknologi perkuatan timbunan ini dimaksudkan agar memenuhi persyaratan

disain sesuai dengan yang direncanakan agar ketinggian maksimumnya

dicapai. Teknologi ini dapat dilakukan bilamana tanah dasar yang

mendukung timbunan cukup mantap sehingga terhindar dari keruntuhan

dalam atau keruntuhan pondasi.

Dengan menerapkan teknologi perkuatan timbunan maka satbilitas lereng

timbunan terhadap keruntuah lereng dapat dicapai.

4.3.3 Prinsip Dasar Perkuatan Timbunan dengan Bahan Geosintetik

Material Geosintetik memiliki banyak kegunaan dalam rekayasa teknikbangunan sipil seperti timbunan jalan. Salah satunya adalah sebagai fungsistabilisasi tanah untuk meningkatkan sifat mekanis massa tanah,meningkatkan faktor keamanan lereng dan menstabilkan lereng dengan

kemiringan curam (kurang dari 700). Beberapa pertimbangan dalampenerapan geosintetik untuk perkuatan lereng:1) Lereng timbunan tanah yang diperkuat umumnya terdiri dari timbunan

padat yang diperkuat dengan bahan geosintetik yang disusun kearah

melintang jalan sehingga menjadi struktur komposit. Ketika tanah dan

geosintetik digabungkan sebagai materiall komposit menghasilkan

kekuatan tarik sehingga dapat menahan gaya horizontal yang

menyebabkan deformasi.

2) Pada tahapan tersebut, geosintetik berlaku sebagai bagian tahanan tarik

karena memberikan nilai tanmbah terhadap gesekan dan adhesi,

sehingga terjadi ikatan (interlocking) akibat tanah dibungkus

(confinement)) dan akan meningkatkan stabilitas massa tanah terhadap

keruntuhan lereng.

77

3) Sebagai perkuatan lereng tanah, maka Gambar 4- 8 memperlihatkan

dasar mekanisme perkuatan lereng tanah dengan geosintetik untuk

mengatasi permasalahanlongsoran.

Gambar 4- 8, Bidang Runtuh dan Assumsi Bekerjanya PerkuatanGeosintetik

4.3.4 Fungsi Perkuatan Geosintetik

4.3.4.1 Perkuatan Geosintetik pada lereng timbunanFungsi utama perkuatan deosintetik adalah diterapkan pada lereng timbunantanah yang dan diperlihatkan pada Gambar 4- 9 untuk tujuan:

1) Meningkatkan stabilitas lereng dari keruntuhan lereng atau longsoran

lereng, terutama jika diinginkan sudut kemiringan lereng lebih besar tetapi

tetap aman dibandingkan dengan lereng yang tidak diperkuat, atau setelah

terjadinya maka perlu perkuatan keruntuhan lereng timbunan agar dicapai

stabilitasnya.

2) Memberikan tambahan tahanan lateral selama proses pemadatan

dengan menerapkan susunan geosintetik pada tepi timbunan sehingga

memungkinkan beroperasinya alat berat secara aman pada bagian tepi

lereng timbunan dan terhindar dari kemungkinan terjadinya longsoran

akibat getaran dan beban alat berat saat proses pemadatan berlangsung.

BidangRuntuh/longsor

Lerengtanah Reaksi geosintetik menahan

beban tarik

78

Gambar 4- 9 Penanganan dengan Perkuatan Geosintetik

Lajur Jalan

TANAH TIMBUNAN

Geosintetik/geotekstil

Perkuatan sekunder

LERENG TIMBUNANGeosintetik/geotekstil

Perkuatan primer

Drainase

Tanah Dasar Cukup stabil

79

Gambar 4- 10. Perkuatan Geosintetik / Geotekstil (Sumber: Elias dkk, 2001)

Gambar 4- 11. Perkuatan Geosintetik / Geotekstil

4.3.4.2 Perkuatan Bahan geosintetik pada Dasar Timbunan

Fungsi utama perkuatan Bahan Geosintetik pada dasar timbunan adalah untuk

meningkatkan stabilitas timbunan dari keruntuhan lereng dalam atau longsoran

timbunan yaitu dengan menempatkan susunan bahan geosintetik pada

dasar timbunan. Ada dua jenis bahan geosintetik yang dapat

digunakan yaitu geotekstil dan geogrid yang tentunya mempunyai kinerja

berbeda. Penerapannya dilapangan kadang-kadang sering dikombinasikan

antara geotekstil dan geogrid, sehingga produk komposit yang terdiri dari dua

bahan tersebut mulai diproduksi.

1) Bahan Geotekstil dan Geomembrane

Bahan geotekstil yang merupakan kelompok geosintetik terdiri dari

beberapa macam yaitu mempunyai fungsi diantaranya sebagai sistim untuk

perkuatan jenis geotekstil woven, filter dengan jenis geotekstil non-woven

dan pemisah umumnya jenis gomembrane non-woven serta kombinasi

antara ke tiga fungsi tersebut.

80

2) Bahan Geogrid

Bahan geogrid yang juga merupakan kelompok bahan geosintetik yang

pada dasarnya merupakan sistim perkuatan untuk timbunan sehingga

difungsikan sebagai bahan yang dapat memberikan kontribusi kuat tarik.

Gambar 4- 12, Perkuatan tebing dengan Geogride

81

Gambar 4- 13, Perkuatan tebing dengan Reinforced soil structures

82

4.4 Aplikasi Perkuatan Bahan Geosintetik

Konstruksi jalan yang melalui tanah problematik termasuk lunak, ekspansif dan

gambut, umumnya memerlukan ketebalan lapisan pondasi dan kemantapan

tanah dasar yang baik. Untuk konstuksi jalan yang dibangun diatas timbunan

maka lapisan subgrade. Yang stabil diperlukan. Permasalahannya untuk

melakukan timbunan, daya dukung tanah problematik sangat kecil dengan sifat

kompresibilitas yang besar untuk itu diperlukan kemantapan timbunan untuk

memperoleh daya dukung lapisan tanah dasar yang cukup memadai dan stbil

agar tidak mengalami kerusakan seperti kedalaman alur perkerasan (rut depth).

Sebelum teknologi geosintetik ditemukan, untuk mendapatkan lapisan

subgrade yang stabil, maka beberapa alternatif dilakukan:

1) Dengan menggali tanah atau mendesak tanah problematik dan

menggantikannya dengan tanah yang lebih baik, atau

2) Dengan melakukan perbaikan tanah, misalnya dengan teknologi soil-cement atau dengan mencampur tanah subgrade dengan batu kapur, dll.

Setelah geosintetik ditemukan dan diterapkan di lapangan bertujuan untuk

meningkatkan stabilitas lapisan konstruksi perkerasan jalan.

4.4.1 Perkuatan Lereng Timbunan

4.4.1.1 Ketentuan Implementasi Perkuatan

Lereng yang diperkuat dengan bahan geosintetik diantaranya pada pekerjaan-

pekerjaan sebagai berikut yang prinsipnya agar tercapai syarat geometrik jalan

m perlu ketinggian timbunan yang cukup (Gambar 4- 14):

1) Konstruksi timbunan jalan baru dengan keuntungan ekonomisdiantaranya;

a) Lereng yang diperkuat dapat menghasilkan lereng stabil yang lebih

tegak dibandingkan dengan lereng tanpa perkuatan pada kondisi tanah

yang sama;

83

b) Mengurangi pemakaian lahan karena lereng dengan perkuatan dapatlebih tegak;

c) Mengurangi volume bahan timbunan;

d) Memungkinkan digunakannya timbunan dengan kualitas yang lebihrendah atau tanah setempat untuk kebutuhan keseimbangan volume

pekerjaan tanah.

Lereng Timbunan

yang diperkuat

ndai

Tanah Dasar Cukup stabil

Gambar 4- 14. Perkuatan Geosintetik / Geotekstil pada Jalan Baru denganROW terbatas (Sumber: Elias dkk, 2001)

2) Pelebaran timbunan jalan lama dengan keuntungan ekonomis diantaranyaGambar 4-15;

a) Pelebaran timbunan jalan dapat dilakukan lebih lebar dari lereng awal

tanpa perkuatan tanpa melewati batas ruang milik jalan (ROW=Road of

Wide) yangtersedia;

b) Memungkinkan digunakannya timbunan dengan kualitas yang lebihrendah atau tanah setempat untuk kebutuhan keseimbangan volume

pekerjaan tanah.

LERENG STABILTANPA PERKUATAN UNTUK PELEBARAN JALAN

84

Gambar 4- 15. Pelebaran Jalan dengan Perkuatan Geosintetik / geotekstil jeniswoven yang mempunyai sifat kekuatan tarik (Sumber: Elias dkk, 2001)

3) Perbaikan keruntuhan lereng timbunan agar dicapai ketinggian

dalam memenuhi persyaratan alinyemen jalan diantaranya (Gambar 4- 16);

a) Memungkinkan dicapainya ketinggian timbunan dengan perkuatangeosintetik;

b) Kemiringan lereng timbunan menjadi stabil.

PENIMBUNAN ULANGLONGSORAN DENGANSUDUT LERENG SEMULA

Gambar 4- 16. Aplikasi Lereng Tanah yang Diperkuat untuk perbaikankeruntuhan lereng (Sumber: Elias dkk, 2001)

4.4.1.2 Kriteria Peningkatan Kapasitas Daya Dukung Tanah Dasar

Pemilihan sifat-sifat teknis tanah dasar harus difokuskan untuk penentuan dayadukung, potensi penurunan, dan posisi muka air tanah. Penentuankapasitas daya dukung membutuhkan parameter kohesi (c), sudut geser

() dan berat isi () serta posisi muka air tanah. Untuk penentuan

penurunan tanah dasar diperlukan parameter koefisien konsolidasi (cv), nilaiparameter dari pengujian indeks, yaitu yang berhubungan dengan klasifikasidan batas konsistensi atterberg (LL, PL, SL dan PI).

Pemilihan kriteria tanah timbunan yang diperkuat harus mempertimbangkan

kinerja jangka panjang struktur, stabilitas masa konstruksi dan faktor

degradasi lingkungan yang terjadi terhadap perkuatan (Gambar 4- 17).

85

Gambar 4- 17. Ilustrasi tanah timbunan yang diperkuat

Perkuatan lereng tanah dan secara mekanis selama ini hanyalah dengan

menggunakan tanah timbunan berbutir (non-kohesif) karena berhubungan

dengan distribusi tegangan internal, tahanan cabut dan bentuk bidang

keruntuhan yang mempunyai konsistensi signifikan dengan sifat-sifat teknis dari

jenis tanah tersebut.

Berdasarkan hal tersebut di atas, persyaratan timbunan yang diperkuat dengan

bahan geosintetik yang direkomendasikan adalah seperti diperlihatkan pada

yang dinyatakan dalam Table 4 - 7 dapat digunakan untuk tanah timbunan

Perkuatangeotekstil

86

yang ditahan, bukan tanah timbunan yang diperkuat.

Table 4 - 7. Rekomendasi Persyaratan untuk Timbunan yang Diperkuat(Spesifikasi Umum Bina Marga, 2010)

Tanah timbunan harus dipadatkan hingga mencapai 95% berat isi kering (d)

pada kadar air optimum wopt, ( 2%) sesuai dengan SNI 03-1742-1989 Metode

Pengujian Kepadatan Ringan untuk Tanah (AASHTO T-99). Tanah kohesif

sebaiknya dipadatkan dengan ketebalan penghamparan 15 cm sampai dengan

20 cm, sedangkan tanah granular dipadatkan dengan ketebalan penghamparan

20 cm sampai dengan 30 cm.

Kisaran nilai sifat parameter indeks dan mekanis tanah yang dapat digunakan

sebagai acuan dalam menilai keandalan hasil pengujian tanah timbunan

diperlihatkan pada Table 4 - 8 (CUR, 1996) dan nilai-nilai untuk tanah merah

(laterit) diambil dari hasil pengujian laboratorium (Puslitbang Jalan dan

Jembatan, Departemen Pekerjaan Umum, 2014).

Table 4 - 8. Kisaran Nilai Sifat-sifat parameter Indeks dan Mekanis Tanah

87

(CUR, 1996)

4.4.1.3 Konsep perencanaan

Persyaratan perencanaan untuk lereng yang diperkuat dengan bahan

geosintetik pada intinya sama dengan perencanaan lereng tanpa perkuatan

yang mensyaratkan faktor keamanan harus terpenuhi untuk jangka panjang

dan jangka pendek terhadap mode keruntuhan yang dapat terjadi. Tiga mode

keruntuhan yang dapat terjadi adalah (Gambar 4- 17):

1) Keruntuhan internal, dimana bidang keruntuhan memotong elemenperkuatan;

2) Keruntuhan eksternal, dimana bidang keruntuhan melewati bagian

belakang dan di bawah massa tanah yang diperkuat;

3) Keruntuhan gabungan, dimana bidang keruntuhan melewati bagianbelakang dan juga memotong massa tanah yang diperkuat.

4.4.2 Pemilihan Prosedur perkuatan lereng tanah

Prosedur perencanaan lereng yang diperkuat dengan bahan geosintetikditunjukkan dengan bagan alir yang diperlihatkan pada Gambar 4- 17.

Langkah pertama adalah dengan mengontrol stabilitas eksternal yang

88

melakukan evaluasi parameter rencana perkuatan terhadap:

1) kekuatan izin

2) kriteria ketahanan (durabilitas)

3) interaksi tanah dan perkuatan

4) cek stabilitas lereng tanpa perkuatan

Gambar 4- 18. Moda Keruntuhan Lereng Tanah yang Diperkuat

Pada Gambar 4- 18 diperlihatkan stabilitas lereng timbunan yang terbagimenjadi:

1) Stabilitas internal (A) yang dipengaruhi oleh sifat fisik karakteristik dari

properties tanah yang mencerminkan nilai kuat geser dan sudut geser

dalamnya dalam membentuk lereng yang stabil. Kondisi ini stabilitasnya

dapat terganggu terhadap sudut lerengnya dan ketinggiannya sehingga

perlu dilakukan perkuatan lereng dengangeosintetik.

2) Stabilitas external (B) yang dipengaruhi oleh kondisi perlapisan tanah

dibawah badan jalan dan umumnya berupa timbunan, sehingga

stabilitasnya dipengaruhi oleh karakteristik propertis yang mempengaruhi

Ainternal

CGeosintetik

umumnya

A

eksternal

Geogrid

89

nilai kuat gesernya dan kompresibilitasnya dari lapisan tanah tersebut yang

umumnya berupa endapan sedimen kuarter. Problem yang terjadi

disamping permasalahan penurunan juga permasalahan longsoran dalam.

Untuk mengatasi permasalahan ini khususnya longsoran lereng dalam

maka diperlukan teknologi yang perkuatan geosintetik sebagai perkuatan

tarik pondasi timbunan.

3) Stabilitas kombinasi (C) yang merupakan kombinasi gabungan daristabilitas internal (A) dan stabilitas external (B).

Dengan memperhatikan 3 konsep dasar perkuatan lereng timbunan dengan

geosintetik maka perlu dilakukan langkah prosedur yang diperlihatkan padaGambar 4- 19.

90

Cek stabilitas lereng tanpa perkuatan

Tentukan sifat-sifat teknis tanah di lapangan

Cek stabilitas eksternal

Gambar 4- 19. Tahapan Prosedur Perencanaan Stabilitas LerengTimbunan Tanah (Sumber: Elias dkk, 2001)

Gelincir Keruntuhandalam global

Keruntuhandaya dukung

lokal

Penurunantanah dasar Seismik (gempa)

Evaluasi persyaratan pengendalian air bawah permukaan dan air permukaan

Buat spesifikasi dan dokumen kontrak

Tetapkan persyaratan geometri, pembebanan dan kinerja untukperencanaan

Check Stabilitas Internal Timbunan tanpa perkuatan

Stabilitas Internal

Lakukan evaluasi parameter rencana perkuatan Memenuhi

Nokekuatan izinkriteria ketahanan (durabilitas)

interaksi tanah dan perkuatan

yes

Check Stabilitas Internal dengan perkuatan

yesStabilitas

MemenuhiNo

Rencanakan perkuatan yang menghasilkan kestabilan lereng

Check Stabilitas Internal tanpa / dengan perkuatan

Geometrik

Konstruksi

91

4.4.3 Prosedur Perencanaan Perkuatan TimbunanProsedur perencanaan dengan metode analisis tegangan total diperlihatkan pada

Gambar 4.19 sebagai berikut

Langkah 1: Tetapkan dimensi timbunan dan kondisi pembebanan.A. Tinggi timbunan, H;

B. Panjang timbunan, L;

C. Lebar atas/puncak timbunan, W;

D. Kemiringan lereng, b/H; lihat Gambar 3.4.

E. Beban luar (beban tambahan atau surcharge, beban sementara, beban

dinamik atau beban lalu lintas);

F. Pertimbangan lingkungan (kembang susut, erosi, dan penggerusan)

G. Kecepatan tahap konstruksi (batasan proyek dan rencana kecepatan tahap

konstruksi).

Gambar 4.20 Simbol untuk Dimensi Timbunan

Untuk analisis stabilitas, Panduan Geoteknik 4 No Pt T-10-2002-B (DPU, 2002b)

memberikan panduan dalam menentukan beban lalu lintas berdasarkan kelas

jalan seperti diperlihatkan pada Tabel 3.1. Beban lalu lintas tersebut dimodelkan

sebagai beban merata yang harus diperhitungkan pada seluruh lebar permukaan

timbunan.

92

Beban lalu lintas tidak perlu dimasukkan dalam analisis penurunan pada tanah

lempung. Untuk gambut berserat pembebanan pada Tabel 4-9 harus

ditambahkan,dan diperhitungkan pada seluruh lebar permukaan timbunan.

Untuk kasus tanah dasar yang sangat lunak (cu antara 1-5 kPa), timbunan rendah

kurang dari 1m serta untuk jalan akses maka tidak diperlukan beban lalu lintas

dalam analisis stabilitas.

Tabel 4-9: Beban Lalu-lintas untuk Analisis StabilitasFungsi Sistem

JaringanLalu Lintas

Harian Ratarata(LHR)

Beban LaluLintas

(kN/m2)

PrimerArteri Semua 15Kolektor > 10.000 15

< 10.000 12

Sekunder

Arteri > 20.000 15< 20.000 12

Kolektor > 6.000 12< 6.000 10

Lokal > 500 10< 500 10

Sumber: Panduan Geoteknik 4 No Pt T-10-2002-B (DPU, 2002b)

Langkah 2: Buat profil tanah dan tentukan sifat teknis tanah pondasiA. Berdasarkan penyelidikan tanah pondasi tentukan:

1) Stratigrafi dan profil tanah pondasi

2) Lokasi muka air tanah (kedalaman, fluktuasi);

B. Sifat teknik tanah pondasi adalah sebagai berikut:

1) Kuat geser tak terdrainase (undrained) cu untuk kondisi jangka pendek

(akhir konstruksi);

2) Parameter kuat geser terdrainase (drained), c’ dan φ’, untuk kondisi jangka

panjang;

3) Parameter konsolidasi (Cc, Cr, cv, σp’);

4) Faktor kimia dan biologis yang dapat merusak perkuatan seperti daerah

tambang, pembuangan limbah dan daerah industri.

C. Variasi sifat tanah terhadap kedalaman dan sebaran daerah

93

Langkah 3: Tentukan sifat fisik tanah timbunanA. Klasifikasi tanah;

B. Hubungan kadar air-kepadatan;

C. Kuat geser tanah timbunan (φ');

D. Faktor kimia dan biologis yang dapat merusak perkuatan.

Langkah 4: Tentukan faktor keamanan minimum dan kriteria penurunantimbunanFaktor keamanan minimum yang disarankan adalah:

A. Kapasitas daya dukung global: 1,5;

B. Stabilitas geser global (rotasional) pada akhir konstruksi: 1,3;

C. Stabilitas internal, jangka panjang: 1,5;

D. Pergerakan lateral (gelincir): 1,5;

E. Pembebanan dinamik: 1,1;

F. Kriteria penurunan timbunan: tergantung pada persyaratan proyek.

Langkah 5: Cek kapasitas daya dukungA. Kasus apabila lapisan tebal tanah lunak jauh lebih besar daripada lebar

timbunan:

1) Hitung kapasitas daya dukung ultimit:

....

......………...................................................................... [4-1]

dengan pengertian :

qult = kapasitas daya dukung ultimit (kN/m2)

cu = kuat geser tak terdrainase/undrained (kN/m2)

Nc = faktor daya dukung =5.14 + 0.5 (B/D)

B = lebar dasar timbunan (m)

D = ketebalan rata-rata tanah lunak (m)

2) Hitung beban maksimum pada kondisi tanpa geosintetik:

94

................................................................................. [4-2]

dengan pengertian :

Pmax = beban maksimum (kN/m2)

γm = berat isi tanah timbunan (kN/m3)

H = tinggi timbunan (m)

q = beban merata (kN/m2)

3) Hitung faktor keamanan daya dukung (tanpa perkuatan geotekstil)1:

...............................................................................

[4-3]

dengan pengertian :

FKU = faktor keamanan daya dukung tanpa perkuatan

4) Hitung beban maksimum pada kondisi dengan geosintetik2:

..................................................................

[4-4]

dengan pengertian :

Pavg = beban maksimum pada kondisi dengan geosintetik (kN/m2)

Ag = luas penampang melintang timbunan (m2)

q = beban merata (kN/m2)

W = Lebar atas/puncak timbunan (m)

B = lebar dasar timbunan (m)

1 Apabila faktor keamanan telah memenuhi syarat, maka tidak diperlukan perkuatan geosintetik

2 Dengan adanya geosintetik, diasumsikan akan terjadi distribusi beban yang merata pada seluruh lebar

geosintetik

5) Hitung faktor keamanan daya dukung, FKR, (dengan perkuatan geotekstil):

95

................................................................................... [4-5]

B. Kasus apabila lapisan tanah lunak tidak terlalu tebal, lakukan analisis

peremasan (squeezing). Jika tebal lapisan tanah lunak (Ds) di bawah timbunan

kurang dari panjang lereng b, maka faktor keamanan terhadap keruntuhan

akibat peremasan dihitung dengan persamaan berikut:

.................................................... [4-6]

dengan pengertian :cu = kuat geser tak terdrainase/undrained (kN/m2)

γm = berat isi tanah timbunan (kN/m3)

Ds = tebal tanah lunak di bawah timbunan (m)

β = sudut kemiringan lereng (derajat)

H = tinggi timbunan (m)

C. Jika faktor keamanan daya dukung telah memenuhi syarat, maka lanjutkan

pada Langkah 6. Jika tidak, pertimbangkan untuk memperlebar timbunan,

melandaikan lereng, menambah berm, melakukan konstruksi bertahap,

memasang drainase vertikal, atau alternatif lain seperti relokasi alinyemen

jalan atau menggunakan struktur jalan layang.

Langkah 6: Cek stabilitas terhadap geser rotasionalA. Lakukan analisis bidang keruntuhan rotasional pada timbunan yang tidak

diperkuat untuk menentukan bidang keruntuhan kritis dan faktor keamanan

(Gambar 3.5):

................................................................................. [4-7]

dengan pengertian :

FKU = faktor keamanan geser rotasional tanpa perkuatan

MD = momen pendorong (kN.m) = w. x

96

MR = momen penahan (kN.m) = (Στs.L).R

Gambar 4.21. Analisis Stabilitas Geser Rotasional Tanpa Perkuatan Geosintetik

B. Apabila faktor keamanan pada timbunan yang tidak diperkuat lebih besar

daripada nilai minimum yang disyaratkan, maka tidak dibutuhkan perkuatan.

Lanjutkan ke Langkah 7;

C. Apabila faktor keamanan lebih kecil daripada nilai minimum yang dibutuhkan,

maka hitung kekuatan geosintetik yang dibutuhkan (Tg) untuk memperoleh

factor keamanan yang ditargetkan (lihat Gambar 3.6):

................................................................... [4-8]

dengan pengertian :

Tg = kekuatan geosintetik yang dibutuhkan untuk stabilitas geser rotasional

(kN)

FKR = faktor keamanan terhadap geser rotasional yang ditargetkan

MD = momen pendorong (kN.m)

MR = momen penahan (kN.m)

R = jari-jari lingkaran (m)

θ = sudut antara garis tangen busur lingkaran dan garis horizontal (o)

β = sudut orientasi perkuatan geosintetik Tg dengan garis horizontal (o)

97

Gambar 4.22. Kekuatan Geosintetik yang Dibutuhkan untuk StabilitasRotasional

Untuk menentukan nilai β, nilai perkiraan di bawah ini dapatdipertimbangkan:

β = 0 untuk tanah pondasi yang getas dan sensitif (contohnya lempung

marina yang terlindikan) atau jika suatu lapisan kerak permukaan

(crust) akan dipertimbangkan dalam analisis untuk meningkatkan daya

dukung

β= θ/2 untuk D/B < 0.4 dan tanah dengan kompresibilitas sedang hingga

tinggi (contohnya lempung lunak dan gambut)

β= θ untuk D/B ≥ 0.4 dengan tanah yang sangat kompresibel (contohnya

lempung lunak dan gambut); dan perkuatan dengan regangan

potensial (εrencana ≥ 10%) serta jika deformasi yang besar dapat

diijinkan.

β = 0 jika terdapat keraguan !

98

D. Kekuatan geosintetik yang dibutuhkan untuk stabilitas geser rotasional (Tg)

harus dinaikkan untuk memperhitungkan kerusakan saat pemasangan dan

durabilitas:

......................................................................... [4-9]

dengan pengertian:

Tg,ult = kekuatan geosintetik ultimit yang dibutuhkan untuk stabilitas geser

rotasional (kN)

RFID = faktor reduksi kerusakan saat instalasi; Nilainya bervariasi antara 1,05

sampai dengan 3,0, tergantung pada gradasi material timbunan dan

berat geosintetik per berat isi. Nilai minimum biasanya diambil 1,1;

RFD = faktor reduksi ketahanan terhadap mikroorganisme, senyawa kimia,

oksidasi panas dan retak tegangan (stress cracking). Nilainya

bervariasi antara 1,1 sampai dengan 2,0. Faktor reduksi minimum

adalah 1,1.

Langkah 7: Cek stabilitas terhadap pergerakan (gelincir) lateralA. Lakukan analisis stabilitas pergerakan lateral atau analisis stabilitas gelincir

baji (Gambar 3.7);

B. Apabila faktor keamanan hasil perhitungan lebih besar daripada FK minimum

yang dibutuhkan, maka perkuatan untuk moda keruntuhan ini tidak dibutuhkan;

C. Apabila faktor keamanan tidak mencukupi, maka tentukan kekuatan geosintetik

yang dibutuhkan untuk stabilitas gelincir lateral, Tls (lihat Gambar 3.7);

...............................................................

[4-10]

dengan pengertian :

99

Tls = kekuatan geosintetik yang dibutuhkan untuk stabilitas gelincir lateral

(kN)

FKR = faktor keamanan pergerakan (gelincir) lateral yang ditargetkan

H = tinggi timbunan (m)

Γm = berat isi tanah timbunan (kN/m3)

q = beban (kN/m2)

b = lebar lereng timbunan (m)

ca = kohesi antara geosintetik-timbunan (kN/m2); ca sebaiknya diasumsikan

0 untuk tanah pondasi yang sangat lunak dan timbunan rendah.

(Sumber: Hotlz dkk, 1998)

Gambar 4.23. Putusnya Perkuatan dan Tergelincirnya Timbunan pada Tanah

Pondasi

D. Kekuatan geosintetik yang dibutuhkan untuk stabilitas gelincir lateral (Tls)

harus

dinaikkan untuk memperhitungkan kerusakan saat instalasi, rangkak dan

durabilitas:

........................................................ [3-11]

100

dengan pengertian:

Tls,ult = kekuatan geosintetik ultimit yang dibutuhkan untuk stabilitas geser

rotasional (kN);

RFCR = faktor reduksi rangkak, yaitu perbandingan kuat tarik puncak terhadap

kuat batas rangkak dari uji rangkak di laboratorium. Tabel 3.2

memperlihatkan rentang umum nilai RFCR untuk geosintetik berjenis

polimer;

RFID = faktor reduksi kerusakan saat instalasi; Nilainya bervariasi antara 1,05

sampai dengan 3,0 tergantung pada gradasi material timbunan, teknik

pemadatan, struktur produk dan berat geosintetik per berat isi. Faktor

reduksi minimum adalah sebesar 1,1 untuk mempertimbangkan

ketidakpastian pengujian.

RFD = faktor reduksi ketahanan terhadap mikroorganisme, senyawa kimia,

oksidasi panas dan retak tegangan (stress cracking). Nilainya

bervariasi antara 1,1 sampai dengan 2,0. Faktor reduksi minimum

adalah 1,1.

Tabel 4.10. Rentang RFCR Geosintetik Jenis Polimer (Holtz dkk, 1998)

E. Untuk kasus umum, tentukan kuat tarik rencana Td yang merupakan nilai

terbesar dari Tg,ult (persamaan 3.9) dan Tls,ult (persamaan 3.11);

F. Periksa gelincir di atas perkuatan (lihat Gambar 3.8).

..........

....................................................[4-12]

101

dengan pengertian :FK = faktor keamanan gelincir lateral timbunan di atas perkuatan

H = tinggi timbunan (m)

γm = berat isi tanah timbunan (kN/m3)

q = beban (kN/m2)

b = lebar lereng timbunan (m)

φsg = sudut geser antara geosintetik-timbunan (derajat); sebagai perkiraan

awal, asumsikan φsg = 2/3 φ.

(Sumber: Hotlz dkk, 1998)

Gambar 4-.24. Tergelincirnya Timbunan di atas Perkuatan

Langkah 8: Tetapkan persyaratan deformasi geosintetik yang diizinkan danhitung modulus perkuatan, J, berdasarkan uji tarik lebar (ASTMD 4595).

Gunakan persamaan berikut untuk menghitung modulus perkuatan: geosintetik

……........................................................................ [4-13]

102

dengan pengertian:

J = modulus perkuatan (kN/m)

Tls, ult = kekuatan geosintetik ultimit yang dibutuhkan untuk stabilitas geser

rotasional (kN)∈geosintetik = batas regangan (%)

Batasan regangan ∈ berdasarkan jenis tanah timbunan adalah:

- Tanah tak berkohesi: ∈geosintetik = 2% sampai dengan 5%

- Tanah berkohesi : ∈geosintetik = 2%

Batasan regangan untuk timbunan di atas gambut adalah:

- Gambut : ∈geosintetik = 2% sampai dengan 10%

Langkah 9: Tetapkan persyaratan kekuatan geosintetik pada arahlongitudinal timbunan (arah alinyemen timbunan).

A. Cek kapasitas daya dukung dan stabilitas geser rotasional di ujung timbunan

(Langkah 5 dan Langkah 6);

B. Gunakan kekuatan dan elongasi dari Langkah 7 dan Langkah 8 untuk

mengontrol penyebaran timbunan selama konstruksi serta penyimpangan pada

konstruksi selanjutnya;

C.Karena kekuatan sambungan yang tegak lurus terhadap alinyemen timbunan

menentukan syarat kekuatan, maka syarat kekuatan sambungan merupakan

nilai terbesar yang ditentukan dari Langkah 9A atau Langkah 9B.

Langkah 10: Tetapkan sifat geosintetik yang dibutuhkan.A. Tentukan kekuatan tarik rencana dan elongasi rencana menurut ASTM D 4595

atau RSNI M-05-2005. Modulus geosintetik harus ditentukan dengan modulus

sekan yang didefinisikan dengan titik regangan nol dan titik batas regangan

rencana (dari Langkah 8);

103

B. Tetapkan kekuatan sambungan (T keliman) yang diukur dengan metode uji

ASTM D4884 atau ISO 10321:2008, yaitu sama dengan kekuatan yang

dibutuhkan pada arah memanjang timbunan;

C. Tentukan nilai gesekan antara tanah dengan geosintetik φsg berdasarkan

ASTM D5321 atau ISO 12957-1:2005 dengan menggunakan contoh tanah

setempat. Sebagai perkiraan awal, untuk tanah timbunan pasir dapat

asumsikan φsg = 2/3φ (φ adalah sudut geser tanah pasir). Untuk tanah

lempung, harus dilakukan pengujian pada situasi apapun;

D. Pilih persyaratan ketahanan dan kinerja konstruksi geosintetik berdasarkan

kondisi setempat.

4.4.4 Aplikasi Perkuatan Lereng Timbunan

Tahapan perencanaan lereng tanah timbunan yang diperkuat adalah sebagaiberikut:

1) Langkah 1: Tetapkan persyaratan geometri, pembebanan dan kinerja untuk

perencanaan (lihat Gambar 4- 16) meliputi :

a) persyaratan perencanaan geometri dan pembebanan meliputi:

i) Tinggi lereng, H;

ii) Sudut lereng,

iii) Beban luar, terdiri dari:(1) Beban tambahan, q, yaitu beban mati yang akan dipikul lereng,

misalnya bangunan gedung, jalan dsb di atas lereng timbunan;

(2) Beban hidup sementara, q;

(3) Percepatan gempa rencana, Am (merujuk ke SNI Gempa 03-33-

1992) dan magnitude Gempa (SNI 1726:2012, Tata Cara

Perencanaan Bangunan Tahan Gempa,

(4) Beban pembatas jalan (trafficbarriers)

b) Persyaratan kinerja:

i) Stabilitas eksternal dan penurunan;

(1) Geser horizontal massa tanah yang diperkuat terhadap tanah

104

dasar, FK 1,3;

(2) Keruntuhan eksternal, keruntuhan daya dukung dalam, FK 1,3;

(3) Keruntuhan daya dukung lokal (peremasan/squeezing lateral),

FK 1,3;

(4) Pembebanan dinamik, FK 1,1;

(5) Besaran dan kecepatan penurunan pasca konstruksi;

ii) Mode keruntuhan gabungan, FK 1,3;

iii) Stabilitas internal, FK 1,3.

2) Langkah 2: Tentukan sifat-sifat teknis tanah di lapangan Gambar 4- 20)

meliputi :

a) Tentukan profil tanah dasar dan tanah yang ditahan yaitu di bawah dan

di belakang zona yang diperkuat di sepanjang alinyemen lereng. Profil

dibuat setiap 30 m sampai 60m tergantung pada homogenitas profil

tanah dasar dan cukup dalam sehingga dapat dilakukan evaluasi

terhadap keruntuhan dalam. Kedalaman pengujian disarankan dua

kali dari tinggi lereng atau sampai tanah keras.

b) Untuk perbaikan lereng dan longsor, lakukan identifikasi penyebab

ketidakstabilan serta lokasi bidang keruntuhan yang telah terjadi

c) Ukur muka air tanah, dw, dan permukaan pisometrik (terutama untuk air

yang keluar dari permukaan lereng);

d) Tentukan parameter kuat geser untuk tanah dasar dan tanah yang

ditahan (cu, u atau c’ dan ’); berat isi (basah dan kering); parameter

konsolidasi Cc , Cr , dan cv dan p’.

105

Gambar 4- 25. Distribusi Pembebanan Stabilitas Lereng Timbunan

H = tinggi lereng (m) = sudut lereng (derajat)Tr = kekuatan perkuatan (kN/m)L = panjang perkuatan (m)Sv = spasi vertikal perkuatan (m)q = beban tambahan (kN/m2)q = beban hidup sementara (kN)

AmatauMg = percepatan gempa rencana

m/det2)

dw = kedalaman muka air tanah dalam

lereng (m)dwf = kedalaman muka air tanah dalam

tanah pondasi (m) cu dan c’ = kohesi tanah total danefektif (kN/m2)

106

’ dan u = sudut geser dalam total dan efektif(derajat)b = berat isi tanah timbunan yangditahan (kN/m3)r = berat isi tanah timbunan yangdiperkuat (kN/m3) = berat isi tanah pondasi(kN/m3)p’, Cc, Cr, cv = parameter kon 64dasi 2Ao = koefisien percepatan tanahdasar (m/det )g = percepatan gravitasi(m/det2)

3) Langkah 3: Tentukan sifat-sifat teknis timbunan yang diperkuat dan

timbunan yang ditahan (Gambar 4- 16) meliputi :

a) Gradasi ukuran butir dan indeks plastisitas;

b) Karakteristik pemadatan berdasarkan 95% berat isi kering maksimum d

berdasarkan SNI 03-1742-1989 Metode Pengujian Kepadatan Ringan

untuk Tanah (AASHTO T-99) dan ± 2% kadar air optimum.

c) Syarat tebal penghamparan;

d) Parameter kuat geser, cu , u atau c’, ’;

e) Komposisi kimiawi tanah (pH).

4) Langkah 4: lakukan evaluasi parameter rencana perkuatanmeliputi:

a) Kuat tarik

TT al

Tult ............................................... [4-1]

a FK RF.FK

Dimana:

Tal = kuat tarik jangka panjang per satuan lebar geosintetik (kN/m)

107

Tult = kuat tarik ultimit geosintetik (kN/m), diperoleh dari uji tarik pita lebar

(ASTM D 4595 atau RSNI M-05-2005) berdasarkan Nilai Gulungan

Rata-rata Minimum (Minimum Average Roll Value MARV)

RF = faktor reduksi = RFCR x RFID X RFD

FK = faktor keamanan = 1 karena faktor keamanan diperhitungkan dalamanalisis stabilitas

Karena FK=1, maka Ta = Tal dan kuat tarik jangka panjang geosintetik

dihitung dengan persamaan:

Tult

T =

T

ult ........................... [4-2]al RF RF x RF x RF

CR ID D

Dimana : RFCR = faktor reduksi rangkak, yaitu perbandingan kuat tarik puncak

terhadap kuat batas rangkak dari uji rangkak di laboratorium. Table 4 - 9

memperlihatkan rentang nilai RFCR umum untuk geosintetik berjenis polimer.

RFID= faktor reduksi kerusakan saat instalasi; Nilainya bervariasi antara 1,05

sampai dengan 3,0, tergantung pada gradasi material timbunan, teknik

pemadatan, struktur produk dan berat geosintetik per berat isi. Faktor reduksi

minimum adalah sebesar 1,1 untuk mempertimbangkan ketidakpastian

pengujian.

RFD= faktor reduksi ketahanan terhadap mikroorganisme, senyawa kimia,

oksidasi panas dan retak tegangan (stress cracking). Nilainya bervariasi antara

1,1 sampai dengan 2,0. Faktor reduksi minimum adalah 1,1.

108

Table 4 - 9. Rentang RFCR Geosintetik Jenis Polimer (Elias dkk,2001)

Jenis polimer RFCR

Poliester 1,6 – 2,5Polipropilena 4,0 – 5,0Polietilena 2,6 – 5,0

b) Tahanan cabut (pull out).

i) Gunakan: FKPO = 1,5 untuk tanah berbutir

ii) Gunakan: FKPO = 2,0 untuk tanah kohesif

iii) Panjang pembenaman (embedment) minimum, Le = 1,0 m

5) Langkah 5: Cek stabilitas lereng tanpa perkuatan.

a) Lakukan evaluasi stabilitas tanpa perkuatan yang bertujuan untuk

menentukan apakah dibutuhkan perkuatan, sifat kritis perencanaan (yaitu

apakah faktor keamanan tanpa perkuatan lebih besar atau kurang dari 1

(<1)), masalah potensi keruntuhan dalam, dan panjang zona yang perlu

diperkuat;

b) Lakukan analisis stabilitas yang umum digunakan untuk menentukan faktor

keamanan tanpa perkuatan (FKU) dan momen pendorong untuk bidang-

bidang keruntuhan yang dapat terjadi;

c) Gunakan metode busur lingkaran dan bidang gelincir-baji, serta

pertimbangkan keruntuhan pada kaki lereng, permukaan lereng, dan

keruntuhan daya dukung dalam di bawah kaki lereng. Titik terminasi

(termination points) bidang keruntuhan harus berada di setiap zona

keruntuhan potensial tersebut;

d) Tentukan luas zona kritis yang perlu diperkuat;

e) Lakukan analisis untuk seluruh bidang keruntuhan potensial dengan faktor

109

keamanan kurang atau sama dengan target faktor keamanan lereng (atau

faktor keamanan tanpa perkuatan FKU ≤ target faktor keamananFKR).

f) Gambarkan semua bidang keruntuhan pada penampang melintang lereng

(Gambar 4- 21);

g) Bidang keruntuhan yang memberikan faktor keamanan yang hampir sama

dengan target faktor keamanan akan memberikan batas zona kritis yang

perlu diperkuat (lihat Gbr. 4- 22).

h) Bidang keruntuhan kritis yang terjadi di bawah kaki lereng

mengindikasikan terjadinya masalah keruntuhan daya dukung dalam.

Untuk kasus ini, suatu analisis pondasi yang lebih rinci harus dilakukan.

Geosintetik dapat digunakan untuk memperkuat dasar timbunan dan untuk

membuat berm kaki sehingga stabilitas timbunan dapat meningkat.

Tindakan perbaikan pondasi lainnya juga harusdipertimbangkan.

Gambar 4- 26. Zona Kritis yang Memenuhi Target Faktor KeamananBerdasarkan Bidang Rotasi dan Gelincir(Sumber:Elias dkk, 2001)

110

…………

6) Langkah 6: Rencanakan perkuatan untuk mendapatkan lereng yangstabil.

Tentukan gaya tarik maksimum perkuatan per satuan lebar perkuatan, Ts-

max, dari beberapa bidang keruntuhan potensial yang berada dalam zona

kritis dari Langkah 5.

iv) Sebagai catatan, faktor keamanan terkecil yang dihitung dari

Langkah 5 biasanya tidak memberikan nilai Ts terbesar (Ts-max);

v) bidang keruntuhan yang paling kritis adalah bidang keruntuhan yangmembutuhkan

nilai perkuatan Ts terbesar. Nilai Ts dihitung dengan persamaan

berikut (lihat Gambar 3.5):

………………………….……………………(4.3)

Dimana

Ts= jumlah gaya tarik yang dibutuhkan per satuan lebar perkuatandi seluruh lapisan perkuatan yang memotong bidang keruntuhan(kN/m);

MD = momen pendorong (kN.m) terhadap pusat rotasi

lingkaran keruntuhan D = adalah lengan momen

Ts terhadap pusat rotasi lingkaran keruntuhan.

= jari-jari lingkaran, R, untuk jenis perkuatan geosintetik

lembaran menerus (diasumsikan membentuk tangen

terhadap lingkaran) (m);

= jarak vertikal, Y, terhadap titik rotasi TS untuk jenis perkuatan elemen

terpisah atau jenis perkuatan pita. Asumsikan H/3 di atas lereng

untuk perhitungan awal yaitu asumsikan beraksi pada suatu bidang

horizontal yang memotong bidang keruntuhan pada H/3 di atas dasar

lereng

111

FKR = faktor keamanan dengan perkuatan

yang ditargetkan

FKU = faktor keamanan lereng tanpa perkuatan dari

Langkah 5.

Faktor keamanan dengan perkuatan: FKR = FKu + Ts.d/ MD

Gambar 4- 27. Pendekatan Geser Rotasional untuk Menentukan KekuatanGeosintetik yang Dibutuhkan (Sumber: Elias dkk, 2001)

4.4.5 Aplikasi untuk Perkuatan Dasar Timbunan

Aplikasi geotekstil yang dihamparkan sebelum bahan timbunan dilakukan

bila lapisan tanah lunak tidak terlalu tebal maka hal ini merupakan suatu

solusi sebagai filter dalam menerapkan penggantian material dengan

bahan timbunan terpilih, misalnya untuk lapisan tanah lunak atau gambut

atau tanah ekspansif yang ketebalannya hanya mencapai 2 sd 3 meter.

112

Penggantian material mempunyai fungsi utama adalah untuk memperolehlapisan tanah dasar sebagai daya dukung sistim konstruksi perkerasan

jalan yang memenuhi syarat yaitu CBR 6 % dan diperlihatkan pada

Gambar 4- 19.

Dikarenakan metode ini juga sifatnya merupakan metode pendesakan

lapisan tanah lunak yang umumnya berupa lumpur maka bahan geotekstil

dapat digunakan. Geotekstil yang digunakan adalah jenis “non-woven”

yang bersifat sebagai filter tetapi juga mempunyai kekuatan tarik karena

dikhawatirkan sobek saat pemasangan.

Untuk tanah problematik seperti tanah ekspansif yang tidak terlalu dalam

maka penggantian material dengan cara digali dan diganti dengan

membungkus menggunakan bahan geotekstil dengan sifat pemisah dapat

dilakukan seperti diperlihatkan pada Gambar 4- 23, baik untuk timbunan

jalan maupun pondasi bangunan.

Gambar 4- 28. Teknologi Penggantian Material dengan Geotekstil

113

Gambar 4- 29. Teknologi Penggantian Material untuk Tanah Ekspansifyang dangkal dengan Geomembrane

4.4.6 Distribusi Beban pada Subgrade (Tanah Dasar)

Di dalam konstruksi jalan, ketebalan badan jalan (lapisan base dan subbase)

pada dasarnya ditentukan oleh besarnya beban kendaraan yang harus dipikul

dan kekuatan tanah dasar (subgrade) dari jalan. Berdasarkan konsep

1. Timbunan

2.Pondasi

Bangunan

Tanah keras

114

sebaran beban, beban roda dipermukaan jalan disebarkan oleh badan jalan

(lapisan base dan sub-base) ke tanah dasar (subgrade), dan tekanan yang

terjadi di permukaan tanah dasar (subgrade) adalah sbb:

………………………………………..(4.5)

Dimana:

Beban total yang bekerja di permukaan subgrade adalah kombinasi dari bebanmati berupa, berat konstruksi jalan plus beban hidup yang timbul dari tekanan

ban. Dengan demikian beban total yang bekerja dipermukaan subgrade

adalah:

……………………………………………………………... (4.6)

Dimana:

Dengan demikian, bilamana berat isi base dan sub-base berbeda diketahui,

maka tentunya formula (4.6) diatas harus disesuaikan dengan mengambilberat isi dan ketinggian masing- masing lapisan untuk menghitung berat

115

sendiri konstruksi jalan.

Gambaran dari distribusi beban dan penyebarannya diperlihatkan pada

Gambar 4- 25. Tekanan beban Roda Pada Perkerasan Jalan dan Gambar 4-

26. Sebaran Distribusi Beban Melalui Badan Jalan ke Tanah Dasar

Gambar 4-30. Tekanan beban Roda Pada Perkerasan Jalan

Gambar 4- 31. Sebaran Distribusi Beban Melalui Badan Jalan keTanah Dasar

Subgrade /Timbunan

Pw

Tanah Lunak

116

……

Bilamana tanah subgrade berupa tanah lempung dan lanau lunak, maka dalam

kondisi undrained, daya dukung ijin subgrade diperhitungkan sbb:

……………………………………….………….(4.7)

Dimana:

Untuk konstruksi jalan tanpa menggunakan geosintetik, ketinggian konstruksi

jalan (lapisan base dan subbase serta timbunan pilihan) dapat dihitung denganmenyamakan persamaan (4.6) dengan (4.7).

4.4.6.1 Pemanfaatan Perkuatan Getekstil

Untuk geotekstil (yang berbentuk lembaran), beban kerja menimbulkan

deformasi pada geotekstil. Deformasi ini menyebabkan geotekstil tertarik dan

reaksi berupa gaya tarik pada geotekstil. Komponen vertikal dari gaya tarik

geotekstil, Fvg, ini mengeliminasi sebagian beban yang bekerja, dengan

demikian gaya yang harus dipikul subgrade menjadi lebih kecil dan ketebalan

konstruksi jalan dapat dikurangi. Mekanisme kerja pada perkuatan dengan

geotekstil ini dikenal dengan nama efek kurva (curvature effect) atau juga

dikenal dengan nama efek membran diperlihatkan pada . Gambar 4- 27.

Distribusi beban dan gaya reaksi pada geotekstil

Gambar 4- 32. Distribusi beban dan gaya reaksi pada geotekstil

117

Tanpa analisa dengan menggunakan metoda elemen hingga sangat sulit untukmemperkirakan besarnya deformasi yang terjadi pada geotekstil dan otomatis

sulit untuk memperkirakan besarnya gaya Fvg Geotekstil, Koerner, (2005)merekomendasikan pendekatan sebagai berikut:

……………………………………………………..(4.8)

Dimana:

Ketebalan lapisan base dan sub-base dengan menggunakan perkuatan

geotekstil ini kemudian dihitung dengan menyamakan persamaan di atas

sebagai berikut:

………………………………………………………..……(4.9)

Yaitu : persamaan (4.7) = (4.6) – (4.8) sehingga mendapatkan persamaansebagai berikut:

…………..(4.10)

Dari persamaan (4.10) selanjutnya Giroud dan Noiray, membuat desain chart

seperti diperlihatkan dalam , dengan ketentuan penjelasan sebagai berikut:

118

Dimana:

ho’ = ketebalan lapisan aggregate atau lapisan base dan sub-base bila

tanpa geotekstil Δh = ketebalan lapisan aggregate (lapisan base dan

sub-base)

Cu = S = Kuat geser undrained subgrade

CBR = Nilai CBR (California Bearing

Ratio) subgrade E = Modulus

kekakukan geotekstil

uε = Regangan Geotekstil

N = jumlah lintasan kendaraan

Gambar 4- 33. Desain Chart untuk Konstruksi Jalan dengan PerkuatanGeotextile (contoh: untuk beban gandar = 80 kN;tekanan angin roda = 480kPa; maka kedalaman alur(ruth depth) = 0.3m))

119

4.4.6.2 Perkuatan dengan geogrid

Mekanisme kerja geogrid sebagai perkuatan jalan berbeda dengan cara kerja

geotekstil. Geogrid yang berbentuk lembaran seperti jaring – jaring bekerja

lebih kurang dengan cara seperti ditunjukkan dalam Gaya yang bekerja

diterima lapisan aggregate.

Gambar 4- 34. Gaya yang bekerja diterima lapisan aggregate

Lapisan aggregate yang menerima gaya dari beban kendaraan akan

berdeformasi, terdorong ke arah vertikal dan lateral. Pergerakan lateral

aggregate yang terjebak dalam jaring-jaring geogrid tertahan oleh kekuatan

jaring-jaring geogrid tersebut. Mekanisme ini dikenal dengan nama

“confinement effect”. Disamping confinement effect tersebut juga ada efek

membrane sebagaimana pada geotekstil. Mekanisme kerja perkuatan geogrid

ini amat kompleks dan sulit dikuantifikasi secara matematis. Karena itu, hingga

saat ini desain perkuatan jalan dengan geogrid ini pada umumnya didasarkan

atas percobaan laboratorium ataupun percobaan lapangan. Penggunaan

desain chart pada Gambar 4- 30 didasarkan atas percobaan dengan

menggunakan georid tertentu, jadi tidak dapat diaplikasikan begitu saja untuk

geogrid jenis.

120

Gambar 4- 35. Contoh Desain Chart Perkuatan Geogrid HDPE (Carroll etal, 1989)

4.4.6.3 Perbandingan perkuatan dasar timbunan dan geogrid

Bila diperhatikan dari uraian sebelumnya terhadap distribusi penyebaran gaya

akibat beban yang bekerja maka tanah dasar yang diperkuat dengan geogrid

lebih baik dari pada geotekstil karena perilaku kekakuannya walaupun

keduanya mempunyai kuat tarik yang hampir sama lihat Gambar 4- 31.

121

Gambar 4- 36. Contoh Desain Penerapan Perkuatan Geogrid HDPE (Carrollet al, 1989)

4.5 RANGKUMANPrinsip Penanggulangan Tanah Problematik perlu dilakukan dengan

mempelajari keberadaannya dan penerapannya apakah sebagai pondasi

perkerasan jalan yang mempunyai batasan dan disyaratkan dalam

spesifikasi umum Bina Marga pada divisi 3 tentang pekerjaan tanah yang

mensyaratkan CBR terhadap kemantapan kondisi subgrade.

Pada Bab ini juga menjelaskan keberadaan subgrade sesuai dengan

standar jalan menurut Undang-Undang Jalan yang menyaratkan harus

dapat mendukung baik secara fungsionalitasnya maupun struktur

kekuatanya.Disamping itu pada Bab ini juga beberapa teknologi untuk memperoleh

kondisi lapisan tanah dasar atau subgrade yang dapat mendukung

stabilitas konstruksi jalan dan untuk itu beberapa teknologimperkuatan

yang perkuatan yang diperlukan juga dijelaskan.

4.6 LATIHANUntuk keperluan latihan dapat diberikan permasalahan yang

berhubungan dengan bab-bab yang terdapat dalam modul ini.

122

PENUTUP

Permasalahan konstruksi jalan yang dibangun pada tanah problematik terdapat

beberapa permasalahan yang pada dasarnya harus dapat mendukung

ketentuan yang disyaratkan berdasarkan undang-undang jalan yaitu agar dapat

mendunjang fungsionalitasnya serta mempunyai kekuatan struktural yang

memdai sehingga aspek nyaman, aman dan kuat dapat terpenuhi.

Permasalahan tanah problematik sudah cukup jelas disebutkan dalam

spesifikasi umum Bina Marga bahwa tidak boleh digunakan sebagai pondasi

dalam mendukung konstruksi jalan baik sebagai lapisan tanah dasar maupun

sbagai lapisan yang dapat mendukung stabilitas konstruksi jalan secara total.

Dalam bab ini di uraikan keberadaan tanah problematic yang difungsikan

sebagai subgrade sesuai dengan standar jalan menurut Undang-Undang Jalan

yang menyaratkan harus dapat mendukung baik secara fungsionalitasnya

maupun struktur kekuatanya. Disamping itu juga beberapa teknologi untuk

memperoleh kondisi lapisan tanah dasar atau subgrade yang dapat

mendukung stabilitas konstruksi jalan dibahas beberapa teknologi perkuatan

yang diperlukan dalam mengatasi keruntuhan lereng lereng baik dangkal

maupun lereng dalam seperti penggunaan bahan geosintetik pada lereng

timbunan dan dasar timbunan.

123

DAFTAR PUSTAKA

1. AASHTO (1988), Manual on Subsurface Investigations, American

Association of State Highway and Transportation Officials, Washington,

DC, USA.

2. Arie Syahruddin S, PENGUJIAN DAYA DUKUNG PERKERASAN JALAN

DENGAN DYNAMIC CONE PENETROMETER (DCP) SEBAGAI

STANDAR UNTUK EVALUASI PERKERASAN JALAN

3. ASTM Standards (1994), Section 4, Construction : Volumes 04.08 and

04.09, Soils and Rock, American Society for Testing and Materials,

Philadelphia,USA.

4. Badan Penelitian dan Pengembangan Pekerjaan Umum (1999), Daftar

IstilahStandar Bidang ke-PU-an, Tahun Anggaran 1998/1999,

Departemen PekerjaanUmum, Jakarta, Indonesia.

5. Barksdale R.D., Brown F.S. and Chan F. (1989), Potential Benefits of

Geosynthetics in Flexible Pavement Systems, Report 315, Transportation

Research Board, Washington DC, USA.

6. Bina Marga (2010), Spesifikasi Umum Pekerjaan Jalan dan Jembatan,Jakarta

7. Bowles, J. E. 1989, Sifat-sifat Fisis dan Geoteknis Tanah (Mekanika

Tanah) Edisi Kedua, Penerbit Erlangga, Jakarta

8. BS 1377 (1990), Methods of Test for Soils for Civil Engineering Purposes,

Parts 1-9, British Standards Institution, London, UK.

9. BS 5930 (1981), Code of Practice for Site Investigation, British Standards

Institution, London, UK.

10. BS 8006 (1995), Code of Practice for Strengthened/Reinforced Soils and

OtherFills, British Standards Institution, London, UK.

11. BSN Pedoman No.8-2000 (Mei 2000), Penulisan Standar Nasional

Indonesia, Badan Standardisasi Naional.

124

12. Carrol R.G. Jr, Walls J.G. and Haas R. (1987), Granular Base

Reinforcement of Flexible Pavements Using Geogrids, Proc.of the

Geosynthetics ’87 Conference, IFAI, 1987, pp. 46- 57.

13. Das Braja M. 1995, Mekanika Tanah, Jilid 1, Penerbit Erlangga, Jakarta

14. Direktorat Jenderal Bina Marga (1983), Manual Penyelidikan Geoteknik

untukPerencanaan Fondasi Jembatan, Badan Penerbit Departemen

Pekerjaan Umum,Jakarta, Indonesia.

15. Direktorat Jenderal Bina Marga (1992), Manual Desain Jembatan (Draf),

Badan Penerbit Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta, Indonesia.

16. Direktorat Jenderal Bina Marga (1994), Perencanaan Geometrik Jalan

antarKota, Badan Penerbit Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta,

Indonesia.

17. Djoko Untung Soedarsono, 1979, Konstruksi Jalan Raya, Pekerjaan Umum,Jakarta

18. DPU. 2009. Pedoman Konstruksi dan Bangunan: Perencanaan dan

Pelaksanaan Perkuatan Tanah dengan Geosintetik, No. 003/BM/2009.

Departemen Pekerjaan Umum (DPU), Indonesia.

19. Eddie Sunaryo, M, Ph D (2010 - 2014); Paparan Bahan Ajar Pembekalan

Teknis untuk Perencana dan Pengawas Lapangan, P2 JN Propinsi Aceh

20. Eddie Sunaryo, M, Ph D (2015); Paparan Bahan Ajar Pembekalan Teknis

untuk Perencana dan Pengawas Lapangan, P2 JN Propinsi Aceh

21. FHWA-NHI-10-024&FHWA-NHI-10-025.2009. Design and Construction of

Mechanically Stabilized Earth Walls and Reinforced Soil Slopes – Volume I

& II. National Highway Institute.

22. Giroud J.P. and Noiray L. (1981), Design of Geotextile Reinforced unpaved

Roads, Journal of Geotechnical Engineering, ASCE, vol. 107, no. GT9,

September 1981, pp.1233-1254.

23. Gouw Tjie-Liong, Konsep Desain Geosynthetics Untuk Konstruksi Jalan

(Geosynthetics Design Concept for Road Construction), Seminar on “Road

Construction in Indonesia with Special Reference to the Role of

125

Geosynthetics”, Organised by Indonesian Chapter of IGS on 6 th April

2006.

24. Indria Eklesia Pokaton, Oscar Hans Kaseke dan Lintong Elisabeth,Pengaruh Kandungan Material Plastis Terhadap Nilai CBR Lapis Pondasi

Agregat Kelas‒S, thesis Universitas Sam Ratulangi Fakultas TeknikJurusan Sipil Manado

25. ISO/IEC (1999), International Standard ISO/IEC 17025: 1999 (E),

GeneralRequirements for the Competence of Testing and Calibration

Laboratories, TheInternational Organization for Standardization and the

International Electrotechnical Commission, Geneva, Switzerland.

26. ISSMFE (1981), International Manual for the Sampling of Soft Cohesive

Soils, The Sub- Committee on Soil Sampling (ed), International Society for

Soil Mechanics and Foundation Engineering, Tokai University Press, Tokyo,

Japan.

27. Japanese Standards Association (1960), Method of Test for Consolidation

of Soils, Japanese Industrial Standard JIS A 1217-1960.

28. Japanese Standards Association (1977), Method of Unconfined

Compression Testof Soil, Japanese Industrial Standard JIS A 1216-1958

(revised 1977).

29. Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga “SpesifikasiUmum 2010”

30. Koerner R.M. (2005), Designing With Geosynthetics, 5 th Edition, Pearson

Prentice Hall, New Jersey, USA

31. Koerner, Robert M. 2005. Designing with Geosynthetic, 5th Edition.

Pearson Prentice Hall, Pearson Education, Inc. Amerika.

32. Media Teknik No. 2 Tahun XVII (1995), Tata Istilah Teknik Indonesia, No.ISSN0216-3012.

33. NAVFAC (1971), Design Manual: Soil Mechanics, Foundations and

EarthStructures, Dept of Navy, USA.

34. Pusat Litbang Prasarana Transportasi Bandung, Guideline

RoadConstruction over Peat and Organic Soil, Draft Version 4.0/4.1,

126

Ministry ofSettlement and Public Infrastructure of the Republic of Indonesia

in co-operation with The Ministry of Transport, Public Works and Water

Management (Netherlands), January 2001.

35. Puslitbang Geologi Bandung (1996), Peta Geologi Kuarter LembarSemarang,Jawa,5022-II.

36. Richardson H.H. et al (1988), Soil Mechanics in Engineering Practice,

Report 1188, Transportation Research Board, Washington DC, USA

37. Shukla, S.K., dan Yin, J.H. 2006. Fundamentals of Geosynthetic

Engineering. Taylor & Francis/Balkema. Belanda.

38. SNI (1990), Metoda Pengukuran Kelulusan Air pada Tanah Zona Tak

Jenuhdengan Lubang Auger, SK-SNI-M-56-1990-F, Dewan Standardisasi

Nasional.

39. SNI (1999), Metoda Pencatatan dan Interpretasi Hasil Pemboran Inti, SNI

03-2436 – 1991, Dewan Standardisasi Nasional.

40. SNI (1999), Metoda Pengujian Lapangan Kekuatan Geser Baling, SNI 06-

2487 – 1991, Dewan Standardisasi Nasional.

41. SNI 03-4153-1996, Metode pengujian penetrasi dengan standar penetration

tests (SPT) Overseas Road Note 31 (1993).

42. SNI(1999), Metoda Pengujian Lapangan dengan Alat Sondir, SNI 03- 2827

– 1992, Dewan Standardisasi Nasional.

43. Sukirman S. 1992, Perkerasan Lentur Jalan Raya, Bandung

44. Transport Research Laboratory. United Kingdom Austroads (1992). A guide

to the structural design of bitumen-surfaced roads in tropical and sub-

tropical countries. Pavement Design. A Guide to the structural design of

roads pavements.

45. TRB TRB Subject Code:62-7 Soil Foundation Subgrades February 2003,

Publication No.: FHWA/IN/JTRP-2002/30, SPR-2362, Dynamic Cone

Penetration Test (DCPT) for Subgrade Assessment

46. Wesley L. D. 1977, Mekanika Tanah, Badan Penerbit Pekerjaan Umum,Jakarta