70
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . ................................... ................................................... i DAFTAR ISI . ... . . ... ... ... ... ... ........ ... ... ... ... ... ... ....... ... ... ... ... ... ......... ...... ..... ii DAFTAR TABEL ....................................................................................................... iii BAB I Pendahuluan ......... ................ ... ... ... ... ... ....... ........................ ... ... ...... 1 1.1. Latar Belakang ......... ......................................................................... 1 1.2. Permasalahan………………………………………………………..10 BAB II Bentuk-Bentuk Persyaratan Penanaman Modal yang Tidak Konsisten dengan Agreement on Trade-Related Investment Measures .............. .................................................................................... 12 2.1. Persyaratan Penanaman Modal yang Bertentangan dengan Prinsip National 7reatment…………… ............................................ 12 2.1.1. Persvaratan Kandungan Lokal (local content requirement)………………………. .................................................... 15 2.1.2. Kebijakan Keseimbangan Perdagangan (Trade Balancing Policy)………………………………………………………… 23 2.2. Persyaratan Penanaman Modal yang Bertentangan dengan Prinsip General Prohibition on Ouantitative Restriction ................ 28. 2.11. Barang-Barang Impor Harus Seimbang dengan Eskpor….. 29 2.2.2. Pembatasan Akses Devisa Asing (Foreign Exchange limitation) .................................. ........................................31. 2.2.3. Pembatasan Ekspor untuk Meningkatkan Nilai Tambah.. ...33 i

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

  • Upload
    vukhue

  • View
    216

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR . ........... ........................ ................................................... i

DAFTAR ISI . ... . . ... ... ... ... ... ........ ... ... ... ... ... ... ....... ... ... ... ... ... ......... ...... ..... ii

DAFTAR TABEL ....................................................................................................... iii

BAB I Pendahuluan ......... ................ ... ... ... ... ... ....... ........................ ... ... ...... 1

1.1. Latar Belakang ......... ......................................................................... 1

1.2. Permasalahan………………………………………………………..10

BAB II Bentuk-Bentuk Persyaratan Penanaman Modal yang Tidak

Konsisten dengan Agreement on Trade-Related Investment

Measures .............. .................................................................................... 12

2.1. Persyaratan Penanaman Modal yang Bertentangan dengan

Prinsip National 7reatment…………… ............................................ 12

2.1.1. Persvaratan Kandungan Lokal (local content

requirement)………………………. .................................................... 15

2.1.2. Kebijakan Keseimbangan Perdagangan (Trade

Balancing Policy)………………………………………………………… 23

2.2. Persyaratan Penanaman Modal yang Bertentangan dengan

Prinsip General Prohibition on Ouantitative Restriction ................ 28.

2.11. Barang-Barang Impor Harus Seimbang dengan Eskpor….. 29

2.2.2. Pembatasan Akses Devisa Asing (Foreign Exchange

limitation) .................................. ........................................31.

2.2.3. Pembatasan Ekspor untuk Meningkatkan Nilai Tambah.. ...33

i

Page 2: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

2.3. Transparansi dan Notifikasi ...................... ............................ .............35

BAB III Indonesia dan Agreement on Trade-Related Investment Measures…… 41

3.1. Pertirnbangan Strategis Menerima Agreement on TRIM’s .................41

3.1. 1 . Penurunan Tarif dan Perluasan Akses Pasar Dunia …......... 42

3.1.2. Tatatanan Multilateral Lebih Efektif Menghindari

Tekanan Unilateral . . . . . . ... ... . . . . . . . . . ... ... ... …….. ... ... ...... 45

3.2. Penyesuian Peraturan di Indonesia .....................................................50

3.3. Belum Ada Kewajiban Hukum untuk Menyesuaikan Semua

Bentuk Persyaratan Penanaman Modal ........................................... 57

BAB IV Kesimpulan dan Saran ... ... ... ... ... ... ... . . ... ... ... ... ...... . ... ... ... .... .....60

DAFTAR PUSTAKA 65

ii

Page 3: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Pemberitahuan TRIM's oleh Pemerintah Indonesia……………………..50

Tabel 2 Pengenaan Tarif Bea Masuk Komponen Impor Otomotif Berdasarkan Persentasi

Penggunaan Kandungan Lokal Tahun 1993..............................................52

iii

Page 4: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Upaya mewujudkan penataan investasi asing secara multilateral sebenarnya telah

dimulai sejak tahun 1948 pada saat dilangsungkannya United Nations conference on Trade

and Employment di Havana. Konferensi tersebut telah membahas sejumlah ketentuan yang

bertujuan untuk mendorong kelancaran arus modal secara internasional sebagai salah satu

tujuan yang ingin dicapai oleh Organisasi Perdagangan Internasional (International Trade

Organization, ITO). Konferensi yang menghasilkan Havana Charter ini meminta kepada

negara-negara peserta agar menghindari perlakuan yang diskriminatif terhadap investor

asing.1 Namun, Havana Charter tidak berhasil mendapatkan persetujuan untuk diratifikasi

oleh para penandatangannya.2 Sejak saat itu praktis pembicaraan mengenai kebijakan

investasi dan perdagangan kurang mendapatkan perhatian dari negara-negara perserta, dan

hanya lebih fokus pada persoalan liberalisasi perdagangan.3 Keadaan ini berubah setelah

dilangsungkannya Uruguay Round pada kurun waktu 1986 - 1994 dimana masalah

penanaman modal menjadi salah satu agenda penting dalam pembicaraan menvangkut

perdagangan intemasional. 1United Nations, The Impact of Trade Related Investment Measures; Theory, Evidencv and Policy Implication, United Nations, New York, 1991, Hal, 79

2 Salah satu penyebabnya adalah tidak bersedianya kongres Amerika Serikat meratifikasi charter tersebut dan tindakan ini kemudian diikuti oleh negara-negara besar lainnya. Untuk mengisi kekosongan hukum dalam penataan perdagangan internasional, para peserta Konferensi menggunakan salah satu instrument dalam Havana Charter yakni Protocol of Provisional Aplication (PPA) yang penandatangannya cukup dilakukan oleh eksekutif. PPA inilah kemudian menjadi cikal bakal GATT. (Lebih lanjut lihat John H. Jackson, The World Trading System ; Law and Policy of International Economic Relations, The MIT Press, Cambridge, Massachusetts, London, England, 1989, Hal. 32-39

3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”, Pertamina - Komite Nasional Indonesia - World Energy Council, Jakarta, 1996, hlm. 34.

1

Page 5: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

Adakalanya persyaratan penanaman modal tersebut dapat menghambat perdagangan

internasional. Tolak ukur yang dapat dipergunakan untuk mengidentifikasi apakah sebuah

persyaratan penanaman modal menghambat perdagangan internasional adalah dampak

diskriminatif terhadap produk impor dan hambatan kuantitatif terhadap aliran barang yang

ditimbulkan persyaratan-persyaratan tersebut. Indikator ini pertama muncul dalam perkara

antara Pemerintah Amerika Serikat dan Pemerintah Kanada tahun 1982 mengenai Canada 's

Foreign Investment Review Act. Kasus ini kemudian sangat terkenal dengan sebutan FIRA

Case dan selalu dijadikan referensi dalam pembahasan-pembahasan mengenai persyaratan

penanaman modal yang terkait dengan perdagangan.

FIRA Case berawal dari tindakan Perlemen Kanada yang melakukan perubahan atas

Undang-Undang Penanaman Modal Kanada pada tanggal 12 Desember 1973. Perubahan

undang-undang ini ditujukan terutama untuk menjamin bahwa kegiatan bisnis perusahaan

asing di wilayah Kanada menghasilkan keuntungan yang signifikan bagi kemajuan Kanada.

Pemerintah Kanada akan mengizinkan kegiatan operasi perusahaan investasi asing hanya jika

menurut pertimbangan Pemerintah Kanada perusahaan investasi asing tersebut dapat

memberikan keuntungan yang signifikan bagi kemajuan pembangunan ekonomi Kanada.

Untuk memastikan tercapainya keuntungan yang signifikan tersebut, Pemerintah Kanada

menetapkan syarat bagi investor yang melakukan permohonan penanaman modal asing di

Kanada untuk melakukan hal-hal berikut:

a. membeli sejumlah persentase tertentu barang-barang dari Kanada; b. menggantikan produk impor dengan produk buatan Kanada;

2

Page 6: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

c. membeli barang-barang dari Kanada jika barang-barang tersebut dapat bersaing dengan

barang impor (misalnya jika harga atau persyaratannya sama, maka investor harus

membeli produk dari Kanada;

d. membeli dari supplier di Kanada (menyebabkan investor harus membeli barang secara

langsung dari produser dalam negeri tetapi tidak dapat membeli langsung dart produser

asing).

Meskipun pada Perubahan Undang-Undang Penanaman Modal Asing Kanada

disebutkan bahwa tindakan tersebut adalah tindakan sukarela dart perusahaan asing, jadi

bukan merupakan kewajiban yang dipaksakan, namun pada pelaksanaannya mau atau

tidaknya perusahaan investasi asing memenuhi secara sukarela persyaratan tersebut

dikaitkan dengan pemberian ijin investasi. Pernyataan perusahaan investasi asing untuk

secara sukarela memenuhi persyaratan tersebut dilampirkan dalam aplikasi permohonan

investasi, sehingga patut disangsikan bahwa kesediaan perusahaan investasi asing untuk

memenuhi persyaratan yang ditetapkan akan sangat berpengaruh pada putusan Pemerintah

Kanada untuk menerima atau menolak permohonan investasi asing untuk beroperasi di

wilayah Kanada. Tambahan lagi dinyatakan bahwa pernyataan sukarela tersebut akan

rnengikat secara hukurm setelah disetujui oleh investor asing.

Meskipun didalilkan bahwa ketentuan-ketentuan tersebut bukan merupakan

kewajiban yang dipaksakan, akan tetapi pengalaman "Apple Computer", salah satu

perusahaan multinasional asal Amerika Serikat, justru menggambar sebaliknya. Pada

awalnya perusahaan multinasional ini keberatan

4 Paul Civello. “The TRIM's Agreement : A Filed Attempt at Investment Liberalization”, Minnesota Journal of Global Trade, 1999, hlm. 3-10

3

Page 7: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

terhadap persyaratan-persyaratan yang ditawarkan oleh Pemerintah Kanada. Setelah hampir

selama satu tahun melakukan negosiasi dengan Pemerintah Kanada, perusahaan itu baru

diberikan ijin untuk beroperasi di wilayah Kanada. Pemberian ijin ini pun diberikan setelah

“Apple Computer” menyetujui serangkaian persyaratan, antara lain mengenai kesediaan

“Apple Computer” untuk membeli barang-barang buatan Kanada dalam persentase tertentu

dari proses produksi dan persetujuan untuk merekomendasikan komponen-komponen buatan

Kanada kepada dealer-dealer “Apple Computer” di seluruh dunia.5

Pemerintah Amerika Serikat dalam tuntutannya yang diajukan tahun 1982

mendalilkan bahwa persyaratan pembelian dan penggunaan komponen lokal buatan Kanada

dalam proses produksi bertentangan dengan Artikel III.46, III.57, XI.18 dan Pasal VII.1. c9

GATT, sedangkan kewajiban ekspor sejumlah tertentu dari hasil produksi melanggar

ketentuan Artikel XVII. 1.c dan XXIII10 dan GATT.

5Robert II. Edward Jr. and Simon N. Lester, "Toward A More Comprehensif World Trade Organization ; Agreement on trade-Related Investment Measures", Stanford Journal of International Law, 1997, hal.l7

6Article III.4 GATT : The product of the territory of any contracting party imported into the territory of any other contracting party shall be accorded treatment no less favourable that accorded to like products of national origin in respect of all laws, regulation and requirement affecting their internal sale, purchase, transportation, distribution or use ...

7Article III.5 GATT : No contracting party shall establish or maintain any internal quantitative regulation relating to the mixture, processing or use of products in specified amount of proportions which requires, directly or indirectly, that any specified amount or proportion of any product which is the subject of the regulation must he supplied from domestic sources...

8 Article XI l GATT : No prohibiton or restrictions other than duties, taxes or other charges, whether made effective through quotas, import or export licenses or other measures, shall be instituted or maintained by any contracting party on the importation of any product of the territory of any other contracting party or on the exportation or sale for export of any product destined for the territory of any other contracting party...

9 Article XVII.I. [c] GATT : No cantracting party shall prevent any enterprise (whether or not an enterprise described in sub-paragraph (a) of this paragraph) under its jurisdiction from acting in accordance with the principle of sub-paragpraph (a) and (b) of this paragraph. Perhatikan sub-paragrap (a) dan (b) dari Article XVII.I sebagai berikut (a) Each contracting party undertake that if it establishes or maintains a State enterprise, wherever located, or

grants to Any enterprise, formally or in effect, exclusive or special privileges, such enterprise shall, in its purchases or sales involving either imports or exports, act in a manner consistent with the general principles of non-discriminatory treatment prescribed in this Agreement For govermental measures affecting imports or exports by private traders.

4

Page 8: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

Pemerintah Kanada dalam membantah tuntutan Pemerintah Amerika Serikat

mempergunakan pendekatan tentang kedaulatan dan kompetensi GATT sebagai dasar

argumentasi penolakan. Pemerintah Kanada mendalilkan bahwa ketentuan-ketentuan GATT

tidak meliputi masalah investasi. GATT sejak saat pembentukannya diterima sebagai sebuah

kesepakatan multilateral yang menyangkut masalah pengaturan liberalisasi perdagangan

barang, tidak termasuk di dalamnya masalah investasi. Penataan investasi asing menyangkut

langsung pada persoalan kedaulatan negara Kanada sebagai sebuah negara merdeka. Oleh

karena itu ketentuan-ketentuan GATT tidak dapat diterapkan atas persyaratan penanaman

modal yang ditetapkan oleh Pemerintah Kanada bagi perusahaan-perusahaan investasi asing

di wilayah hukum mereka.

Keberatan Pemerintah Kanada berkenaan dengan masalah kedaulatan negara Kanada

untuk menerapkan tindakan-tindakan tertentu di wilayah hukumnya pada dasarnya diterima

oleh Panel Penyelesaian Sengketa GATT yang (b) 'The provision of sub paragraph (a) of this paragraph shall be understood to require that such enterprises

shall, having due regard to the other provisions f this Agreement, make any such purchases o sales solely in accordance with commercial consideration, including price, quality, availability, marketability, transportation and other conditions of purchase or sale, and shall affordtne enterprises of the other contracting parties adequate opportunity, in accordance with customarv business practice, to compete for participation in such purchases or sales. 10 Article XX III (1) GATT : If any contracting party should consider that any benefit accruing to it

directly or indirectly under this Agreement is being nullified or impaired or that the attainment of any objective of the Agreement is being impeded as the result of (a) the failure of another contracting party to carry out its obligation under this Agreement, or (b) the application by another contracting party of any measures, whether or not it conflicts with the provision of this Agreement, or (c) the existence of any other situation, the contracting party may, with a view to the satisfactory adjustment of the matter, make written representations or proposals to the another contracting party or parties which it considers to be concerned. Any contracting party thus approached shall give sympathetic consideration to the representations or proposals made to it.

Article XXIII (2) If no satisfactory adjustment is effected between the contracting parties concerned within a reasonable time, or if the difficulty is of the type described in paragraph 1 [cl of this Article, the matter may be rcffored to the contracting parties. The contracting parties shall promptly investigate any matter so reffered to them and shall make appropriate recommandations to the contracting parties which they considered to be concerned, or give a ruling on the matter, as appropriate. The contracting parties, woth the Economic and Social Council of the United Nations and with any appropriate inter-govermental organization in case they consider such consultation necessary.

5

Page 9: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

memeriksa dan mengadili FIRA Case ini, akan tetapi alasan tersebut tidak menyebabkan

Pemerintah Kanada menyampingkan kewajiban-kewajiban mereka berdasarkan perjanjian

internasional yang telah mereka sepakati, khususnya dalam hal ini adalah General

Agreement on Tariffs and Trade. Pendapat ini tercermin dari pertimbangan hukum Panel

yang diputuskan pada tahun 1984 yang menyatakan sebagai berikut :

"... in view of the fact that the General Agreement does not prevent Canada from exercising its sovereign right to regulate foreign direct investment, the panel examined the purchase and export undertaking by investors solely in the light of Canada's trade obligation under the General Agreement. Thus, the Panel clearly stated that this is not an inquiry into a sovereign state's right to regulate foreign investment in Canoda 's territory, but is only designed to determine whether or not the regulation effected Canada 's trade obligations within the framework of the GATT11 .

Dengan memperhatikan keterkaitan antara persyaratan penanaman modal dan

kewajiban-kewajiban Kanada di bawah ketentuan GATT selanjutnya Panel memutuskan

bahwa tindakan Pemerintah Kanada yang menjadikan syarat pembelian dan atau penggunaan

produk buatan dalam negeri Kanada serta menentukan jumlah tertentu dari hasil produksi

yang wajib diekspor, dijadikan sebagai pertimbangan utama untuk memberikan ijin operasi

bagi investasi asing, maka secara meyakinkan Perubahan Undang-Undang Penanaman Modal

Asing Kanada tersebut telah melanggar ketentuan Artikel III.4 GATT tentang national

treatment.

11Lebih lanjut perhatikan Canada Administration of the Foreign Investment Review Act, FIRA Panel Report, Februari 7th 1994, Hal. 140 -144. Perhatikan juga Catherine Curtiss and Kathryn Cameroon, “The United State-Latin American Trade Laws”, Newyork Journal of International Law, 1995, Hal. 127. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tidak ada ketentuan-ketentuan GATT yang mengatur tentang penanaman modal asing. Masalah investment measures masuk dalam lingkup GATT hanya jika tindakan tersebut berdampak langsung terhadap kebebasan arus perdagangan barang.

6

Page 10: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

Persyaratan penanaman modal yang diterapkan oleh Pemerintah Kanada terhadap

para investor asing merupakan wujud perlakuan diskriminatif terhadap barang impor.

Perlakuan diskriminatif ini diwujudkan dengan cara memberikan perlakuan istimewa

terhadap barang-barang buatan dalam negeri Kanada. Dengan cara mewajibkan pembelian

atau penggunaan barang buatan dalam negeri Kanada, maka dengan sengaja Pemerintah

Kanada telah menghilangkan kesempatan bagi barang impor untuk bersaing secara adil

dengan barang-barang buatan dalam negeri Kanada di pasar Kanada sendiri. Tindakan ini,

meskipun keluar dalam bentuk kebijakan investasi asing tapi sebenarnya tindakan tersebut

ditujukan untuk mempengaruhi perdagangan barang-barang Kanada. Sehingga dapat

dikatakan bahwa tindakan investasi yang demikian merupakan bentuk hambatan

perdagangan.

Fontheim dan Gadbaw mendukung putusan Panel atas FIRA Case tersebut dengan

mengemukakan pendapat yang sedikit lebih luas sebagai berikut:

“Although no single article of GATT is applicable to all forms of (performance requirements), all (performance requirements) arguable violate one Article or another. Some (performance requirements) clearly run afoul of specific provisions while the case againts other forms is weaker, given a strict construction of treaty obligations. Nonetheless, where obligation do not appear, on their face, to prohibit certain (performane requirements), the general intent and context of the GATTMTN sistim should be considered. The sistim is intended to foster free trade, while (performance requirements) are protectionst measures. The presumption should, therefore, be againts considering any (performane requirements) valid under GATT.”12

Meskipun tidak ada satu pasal pun dari GATT yang dapat diterapkan untuk semua

bentuk persyaratan penanaman modal, dalam hal ini pembatasan tertentu, namun bukanlah

berarti tindakan seperti yang diterapkan oleh Kanada

12 Claude G.B. Fontheim and Micheal R. Gadbaw, “Trade Related Performance Requirement under the GATT-MTN System and US Law”, law and Policy International Bussiness, 1995, Hal. 143-144.

7

Page 11: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

adalah tindakan yang dapat dibenarkan berdasarkan sistim GATT. Persyaratan-persyaratan

seperti yang terkandung dalam Canada's Foreign Investment Review Act tersebut merupakan

bentuk proteksi terhadap industri Kanada dan tindakan semacam ini bertentangan dengan

maksud dan tujuan umum dari GATT yang justru ingin menciptakan perdagangan yang lebih

bebas.

Pandangan ini lebih lugas karena mempergunakan aspek tujuan umum dari GATT itu

sendiri untuk menentang kebijakan pembatasan-pembatasan seperti yang diterapkan Kanada.

Pandangan semacam ini cenderung tidak memperhatikan fakta-fakta khusus dalam sebuah

peristiwa konkrit. Jika pandangan yang demikian digunakan, maka dapat menimbulkan

kekeliruan yang lebih besar, mengingat bahwa tujuan GATT itu sendiri ingin dicapai dalam

serangkaian ketentuan-ketentuan yang sangat kompleks dan dilengkapi dengan sejumlah

pengecualian-pengecualian yang hanya dapat dilihat dari fakta-fakta khusus yang terdapat

dalam sebuah peristiwa konkrit. Jika setiap perbuatan yang berlawanan dengan tujuan GATT

dilarang, maka negara-negara berkembang adalah pihak yang paling dirugikan, karena dalam

keadaan-keadaan tertentu kelompok negara ini masih diperkenankan melakukan

tindakan-tindakan yang sebenarnya justru bertentangan dengan tujuan umum GATT.

Perkara lain yang membuat semakin tingginya minat untuk mempelajari persyaratan

penanaman modal dalam kaitannya dengan hambatan perdagangan multilateral adalah

perkara “screwdriver case” antara Jepang versus European Communities (EC) pada tahun

1988. Dalam perkara ini Pemerintah Jepang keberatan atas tindakan Pemerintah EC yang

menerapkan bea anti dumping terhadap produk dari suatu pabrik screwdriver asal Jepang.

8

Page 12: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

Keberatan yang paling mendasar bagi Pemerintah Jepang adalah kebijakan tersebut telah

menimbulkan kerugian bagi perdagangan Jepang karena kewajiban bea anti dumping tersebut

dapat tidak diterapkan bagi investor asing di EC asalkan investor yang bersangkutan setuju

untuk membatasi penggunaan peralatan-peralatan dan komponen peralatan yang berasal dari

Jepang.13

Seperti halnya pada FIRA Case, Panel dalam perkara “screwdriver case” ini juga

menetapkan bahwa kebijakan EC bertentangan dengan Artikel III.4 GATT tentang perlakuan

sama (national treatment). Meskipun dalam perkara ini tindakan investor untuk membatasi

penggunaan barang-barang buatan Jepang merupakan suatu tindakan sukarela (tidak

diwajibkan), akan tetapi disediakannya sejumlah keuntungan besar dari pembebasan bea

anti-dumping dapat mendorong para investor untuk menyetujui kebijakan yang ditetapkan

EC. Dalam perkara ini, insentif yang ditawarkan EC bagi para investor asing berupa

pembebasan bea antidumping sangat tergantung pada kesediaan investor untuk tidak

menggunakan produk impor (buatan Jepang). Dengan kata lain keuntungan EC untuk

menarik investor diperoleh dari kerugian Jepang berupa pembatasan impor komponen-

komponen asal Jepang.

Panel menemukan adanya pelanggaran terhadap Article III.4 GATT. Meskipun EC

tidak mewajibkan harus menggunakan produk buatan mereka, tetapi dalam hal ini EC telah

memberikan tindakan diskriminatif terhadap produk-produk buatan Jepang. Tindakan yang

demikian secara meyakinkan bertentangan dengan kewajiban EC untuk menerapkan

perlakuan sama (national treatment) terhadap barang-barang impor tanpa harus memandang

asal negara.

13 EEC. Regulation on Imports of Part and Components, BISD 37S/132, 197, dikutip dari http://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/88scrdvr.wpf.

9

Page 13: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

Keputusan panel dalam dua perkara perintis tersebut diatas telah membuka wacana

baru dalam hubungan antara peraturan penanaman modal dengan kelancaran arus

perdagangan barang. Titik taut yang menghubungkan peraturan penanaman modal langsung,

dengan liberalisasi perdagangan lahir dari kemungkinan terjadinya dampak yang

mengganggu kelancaran arus perdagangan barang dan terjadinya pembatasan akses pasar

(market acsess) melalui persyaratan investasi yang diterapkan oleh pemerintah host country.

Keputusan tersebut juga telah mengidentifikasi secara pasti dua bentuk persyaratan investasi

yang memiliki potensi mendistorsi kebebasan aliran perdagangan barang secara internasional,

yakni persyaratan kewajiban menggunakan kandungan lokal (local content requirement) dan

pembatasan pemakaian barang impor yang dikaitkan dengan insentif investasi. 1.2. Permasalahan

Sampai berakhirnya Perundingan Uruguay, para anggota WTO yang terlibat dalam

perundingan Putaran Uruguay tidak mencapai kata kesepatan tentang bentuk-bentuk

persyaratan penanaman modal yang bertentangan dengan Article III.4 dan Article IX. 1

GATT. Oleh karena itu Sekretaris Jenderal GATT pada saat itu merumuskan sebuah

illustrative list untuk mengantisipasi kegagalan perundingan. Ilustrative list ini memberikan

kriteria secara umum bentuk-bentuk persyaratan penanaman modal yang dipandang tidak

konsisten dengan prinsip national treatment dan prohibition on quantitative restriction.

Tidak diperolehnya kesepakatan tentang identifikasi bentuk-bentuk persyaratan

penanaman modal yang dilarang, disebabkan karena terjadinya penolakan negara-negara,

berkembang, termasuk Indonesia, terhadap masuknya masalah investasi dalam agenda

perundinganWTO.

10

Page 14: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

Negara-negara berkembang sangat khawatir jika perundingan tentang trade-related

investment measures, diarahkan pada perundingan investasi secara komprehensif. Hal ini

akan menyulitkan negara-negara berkembang untuk memanfaatkan rezim hukum investasi

domestik mereka untuk mencapai sasaran-sasaran pembangunan.

Namun, meskipun demikian pada akhir perundingan, Agreement on Trade-Related

Investment Measures tetap disahkan dan menjadi bagian yang integral dari final act of

Uruguay Round. Oleh karena Agreement ini sifatnya mengikat secara hukum (legally

binding), maka perlu diperhatikan masalah-masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana bentuk konkrit dari persyaratan penanaman modal yang tidak konsisten

dengan Agreement on Trade-Related Investment Measures ?

2. Mengapa Pemerintah Indonesia menerima hasil perundingan tersebut ?

3. Bagaimana Pemerintah Indonesia melakukan penyesuian terhadap ketentuan-ketentuan

hukum investasinya ?

11

Page 15: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

BAB II

BENTU-BENTUK PERSYARATAN PENANAMAN MODAL YANG TIDAK

KONSISTEN DENGAN AGREEMENT ON TRADE-RELATED

INVESTMENT MEASURES

Pada dasarnya Agreement on Trade-Related Investment Measures adalah

implementasi prinsip-prinsip dasar GATT dalam bentuk yang lebih spesifik yang terkait

dengan kegiatan penanaman modal asing secara langsung (foreign direct investment), Hal ini

terlihat dari klausula-klausula dalam Kesepakatan tersebut yang tetap dapat dikembalikan

pada asas national treatment, prohibition on quantitative restriction, transparency, dan

reciprocity.

Bab ini akan membahas tentang bentuk-bentuk-bentuk dari performance requirement

yang bertentangan dengan GATT pada umumnya dan khususnya dengan Agreement on

Trode-Related Investment Measures. Uraian-uraian akan didasarkan pada prinsip dasar

GATT, yakni national treatment, prohibition on quantitative restriction, dan transparency. 2.1. Persyaratan Penanaman Modal yang Bertentangan dengan Prinsip National

Treatment

Peraturan penanaman modal dalam TRIM's Agreement sebenarnya merupakan

penegasan kembali secara lebih spesifik prinsip-prinsip perdagangan bebas yang telah

dinegosiasikan sejak tahun 1947.14 Salah satu prinsip dasar dari perdagangan internasional

yang ditransformasikan adalah pnnsip national treatment.15 Prinsip ini dijadikan sebagai

alasan mendasar bagi dilarangnya

14 Hata, Aspek-Aspek Hukum don Non hukum Perdagangun Internasional dalam Sistem GATT dan WTO, Bandung, S'I'BH press, 1998, hlm.271

15 Ibid.,271

12

Page 16: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

sebuah persyaratan penanaman modal karena dianggap mengandung tindakan diskriminatif

terhadap produk impor.

Prinsip national treatment merupakan batu penyangga dalam sistem perdagangan

internasional dewasa ini. Dalam sistim GATT, bersama dengan prinsip most- favoured

nations prinsip ini menjamin tidak adanya tindakan diskriminatif diterapkan oleh

negara-negara anggota. 17 Jiwa dari prinsip national treatment adalah adanya perlakuan yang

sama oleh suatu negara baik terhadap kepentingannya sendiri maupun terhadap kepentingan

negara lain."

Berkaitan dengan mekanisme perdagangan bebas multilateral, prinsip ini melarang

negara-negara anggota GATT/ WTO menerapkan kebijakan yang menyebabkan diskriminasi

perlakuan antara produk impor dengan produk buatan sendiri. Dengan kata lain

negara-negara anggota memiliki kewajiban untuk tidak memperlakukan produk-produk

impor secara berbeda dengan kebijakan terhadap produk-produk yang sama buatan dalam

negeri.18 Ruang lingkup berlakunya prinsip ini juga berlaku terhadap semua diskriminasi

yang muncul dari tindakan-tindakan perpajakan dan pungutan-pungutan lainnya. Prinsip ini

berlaku pula terhadap perundang-undangan, pengaturan dan persyaratan-persyaratan hukum

yang dapat mempengaruhi penjualan, pembelian, pengangkutan, distribusi atau penggunaan

produk-produk di pasar dalam, negeri. Prinsip ini juga memberikan 16 John H, .Jackson. The World Trading System ; Law and Policy of International Economic Relations. The MITpress, London, 1989, Hal. 199.

17 Perhatikan lebih lanjut Herman Mosler, The International Society as a Legal Community, Sijtihoff& Nordhoff USA, 1980, Hal. 254.

18National Treatment Principle, http .//www.meti.go.jp/English/report/gct0002e.pdf, Hal.1

13

Page 17: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

perlindungan terhadap proteksionisme sebagai akibat upaya-upaya atau kebijakan

administratif atau legislatif19

Dengan demikian bahwa prinsip national treatment ini menghindari diterapkannya

peraturan-peraturan yang menerapkan perlakuan diskriminatif yang ditujukan sebagai alat

untuk memberikan proteksi terhadap produk-produk buatan dalam negeri. Tindakan yang

demikian ini menyebabkan terganggunya kondisi persaingan antara barang-barang buatan

dalam negeri dengan barang impor dan mengarah kepada pengurangan terhadap

kesejahteraan ekonomi.20 Dengan persaingan yang adil antara produk impor dan produk

dalam negeri, maka terjadi perbaikan kinerja pada produksi dalam negeri untuk lebih efisien

sehingga dapat bersaing dengan produk impor. sedangkan bagi konsumen hal ini akan lebih

menguntungkan karena memungkinkan konsumen memperoleh barang yang lebih baik dan

harga yang lebih wajar. Dalam perspektif lain disebutkan bahwa justru tindakan yang

demikian dapat menyebabkan kurangnya minat investor untuk menanamkan modalnya,

karena berkurangnya keleluasaan investor untuk mengambil keputusan bisnis yang lebih

bebas.

Agreement on TRIMs pada Article 2 pada prinsipnya melarang semua persyaratan

penanaman modal yang tidak konsisten dengan Article III GATT 1994 tentang national

treatment, namun tidak dijelaskan secara tegas bentuk-bentuk persyaratan penanaman modal

yang dipandang tidak konsisten dengan prinsip national treatment. Hanya saja dalam Article

2.2 Agreement on TRIMs disebutkan bahwa persyaratan penanaman modal yang dilarang

adalah tindakan-tindakan yang melanggar kewajiban negara-negara peserta berdasarkan

Article 111.4 GATT 1994" yaitu keharusan untuk memberikan perlakuan sama terhadap

produk impor.

19 Oliver Long, Law and Its Limitation in the GATT Multilateral Trade System, Martinus Nijhoff Publisher, 1987,Hal. 9

20 National Treatment Principle, ibid, Hal.3

14

Page 18: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

Oleh karena tidak diperolehnya suatu kesepakatan tentang bentuk yang pasti dari persyaratan

penanaman modal yang dianggap tidak konsisten dengan artikel III.4 GATT 1994, Dirjen

GATT memberikan illustrative list yang berisi gambaran tentang tindakan persyaratan

penanaman modal yang dilarang tersebut, sebagai berikut :

(a). pembelian atau penggunaan produk-produk yang berasal dari dalam negeri atau dari

sumber dalam negeri lainnya dirinci menurut produk-produk tertentu, volume atau nilai

barang produk, atau menurut perbandingan dari volume atau nilai produksi lokal (local

content requirement); atau

(b). pembelian atau penggunaan produk impor oleh perusahaan dibatasi sampai jumlah

tertentu dikaitkan dengan volume atau nilai produksi lokal yang diekspor (trade

balancing policy);

Dengan demikian terdapat dua ukuran untuk menyatakan apakah suatu persyaratan

penanaman modal melanggar ketentuan Article III.4 GATT 1994 vaitu persyaratan

penggunaan komponen buatan dalam negeri (local content requirement) dan persyaratan

keseimbangan perdagangan (trade balancing requirement).

2.1.1. Persyaratan Kandungan Lokal (local content requirement)

Paragraf l.a illustrative list dari Agreement on TRIMs melarang negara-negara

anggota WTO menerapkan kebijakan local content requirement yang

21 Article III.4 GATT : The product of the territory of any contracting party imported into the territory of any other contracting party shall be accorded treatment no less favourable that accorded to like products of national origin in respect of all laws, regulation and requirement affecting their internal sale, purchase, transportation, distribution or use

15

Page 19: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

dijadikan sebagai salah syarat bagi investor untuk dapat melakukan kegiatan penanaman

modal. Jika diperhatikan ketentuan dalam Paragraf 1.a tersebut terdapat dua bentuk kegiatan

yang dapat dikategorikan sebagai local content requirement, yaitu mewajibkan investor

membeli atau menggunakan produk-produk buatan dalam negeri dalam jumlah atau

persentase tertentu atau keharusan bagi investor untuk menggunakan sumber-sumber dalam

negeri lainnya dalam hal pengadaan barang-barang impor, misalnya dengan menetapkan

kewajiban impor barang yang harus dilakukan dengan mempergunakan jasa importir dalam

negeri host country atau dengan kata lain tidak dimungkinkannya perusahaan penanaman

modal asing melakukan impor secara langsung.

Local content requirement dilarang karena tindakan tersebut merupakan bentuk

perlakuan diskriminatif terhadap barang impor. Dengan adanya kewajiban bagi investor

untuk membeli atau mempergunakan barang-barang buatan dalam negeri, maka dalam hal ini

Pemerintah telah memberikan perlakuan yang lebih baik pada barang buatan dalam negeri

dari pada barang impor. Perlakuan yang diskriminatif seperti ini dengan sendirinya

menciptakan persaingan yang tidak adil antara barang impor dan barang buatan dalam negeri.

Melalui persyaratan kandungan lokal sebenarnya Pemerintah host country telah membatasi

akses pasarnya bagi barang-barang yang sama dari negara-negara anggota lain.

Dalam sengketa antara Pemerintah Amerika Serikat vs. Pemerintah Kanada, Panel

penyelesaian sengketa GATT menemukan adanya dua bentuk tindakan Pemerintah Kanada

yang bertentangan dengan Article III.4 GATT, yaitu: 1. adanya kewajiban bagi investor asing

untuk membeli atau menggunakan barang-barang buatan dalam negeri yang dikaitkan

dengan persyaratan untuk

16

Page 20: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

menanamkan modal di wilayah Kanada, 2. adanya kewajiban bagi investor untuk membeli

produk-produk impor dari supplier Kanada, jika investor yang bersangkutan lebih memilih

barang-barang impor dalam proses produksinya.22

Pemerintah Kanada dalam komunikasinya mendalilkan bahwa untuk dapat dikatakan

sebagai tindakan pelanggaran terhadap Article III.4 GATT tindakan local content

requirement haruslah merupakan persyaratan yang wajib dipatuhi oleh investor. Sementara,

dalam praktek pelaksanaannya di Kanada, penggunaan kandungan lokal tersebut bukan

merupakan keharusan akan tetapi merupakan tindakan sukarela. Tidak ada paksaan bagi

investor untuk mematuhi persyaratan kandungan lokal tersebut.23 Panel menolak argumentasi

Pemerintah Kanada dengan menegaskan bahwa tindakan Pemerintah Kanada mempengaruhi

pilihan investor untuk menggunakan produk impor, bahkan jika seandainya pun kebijakan

tersebut tidak mempengaruhi pilihan investor tetap saja Kanada telah melanggar

kewajibannya berdasarkan Article III.4 GATT karena Perubahan Undang-Undang

Penanaman Modal Asing Kanada tersebut telah menghapuskan kemungkinan pembelian

produk impor secara langsung oleh perusahaan asing. Perintah untuk pembelian produk

impor melalui agen atau importir Kanada memperlihatkan adanya perlakuan yang kurang

menguntungkan bagi produk impor dari pada saingannya produk buatan Kanada.24

Pelanggaran terhadap prinsip national treatment sebagaimana diatur dalam Article

III.4 GATT yang berkaitan dengan tindakan di bidang penanaman modal juga terjadi dalam

sengketa antara Europe Community vs. Pemerintah Jepang.

22 Canada - Administration on The Foreign Investment Review Act, Report of the Panel adopted on 7th February 1984, document L/5504 - 30S/ 140.

23 Canada - Administration on The Foreign Investment Review Act, FIRA Panel Report, Document 30 BISD 157 (1984), Hal. 148.

24 Ibid, Hal. 160-166.

17

Page 21: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

Sengketa ini berawal dari tindakan EEC mengamandemen Regulation No. 2176/84 yang

bertujuan memberikan perlindungan bagi negara-negara anggota EEC dari produk impor

berupa komponen-komponen .screwdriver atau bagian-bagiannya yang diduga merupakan

produk dumping dan hasil subsidi dari negara-negara yang bukan anggota European

Economic Community. 25 Perlindungan yang diberikan adalah dalam bentuk bea

anti-dumping yang dikenakan kepada produk impor dari negara-negara di luar keanggotaaan

EEC ataupun dari perusahaan-perusahaan yang berasosiasi dengan perusahaan yang ada di

negara asal pengekspor . Berdasarkan Article 13 : 10 amandement ini bea anti-dumping dan

hambatan-hambatan tertentu dikenakan pada produk impor yang berasal dari luar EEC yang

mencapai jumlah sedikit-dikitnya mencapai 50 % dari seluruh komponen yang diperlukan.26

Pemerintah Jepang mengajukan keberatan terhadap kebijakan EEC tersebut dengan

menyatakan bahwa perubahan kebijakan tersebut telah menimbulkan kerugian pada pihak

Jepang sebagai negara pemasok terbesar komponen screwdriver ke pasar Eropa. Adapun

argumentasi yang dipergunakan oleh Pemerintah Jepang, salah satunya adalah bahwa

tindakan tersebut melanggar kewajiban EEC berdasarkan Article III.4 GATT, karena

tindakan tersebut secara nyata merupakan sebuah tindakan diskriminatif terhadap produk

impor. Kewajiban bea anti-dumping hanya dikenakan terhadap produk impor dari negara-

negara bukan anggota EEC, dan tidak dikenakan kepada Negara-negara anggota EEC

seandainya negara tersebut juga memenuhi kriteria Article 13:10 amandement tersebut.

18

Page 22: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

Dengan kata lain, kebijakan ini sebenarnya ditujukan kepada perusahaan-perusahaan dari

Jepang.27

Panel dalam sengketa ini memutuskan bahwa tindakan EEC bertentangan dengan

Article III.4. GATT. Dalam pertimbangannya Penel menjelaskan bahwa Article III.4 GATT

berlaku pada setiap undang-undang dan peraturan lainnya yang menimbulkan dampak kepada

penjualan internal, penawaran, transportasi, distribusi dan penggunaan barang buatan dalam

negeri. Ketentuan ini dapat dikenakan tidak saja dalam keadaan dimana peraturan-peraturan

tersebut bersifat memaksa atau mewajibkan, tetapi juga terhadap tindakan sukarela yang

dianjurkan oleh peraturan yang demikian, seperti pada Perkara FIRA Case antara Pemerintah

Kanada dan Pemerintah Amenka Serikat. Amandement yang dilakukan EEC memang tidak

mewajibkan bagi perusahaan-perusahaan EEC untuk tidak mengimpor barang dari negara di

luar EEC, akan tetapi adanya pembebasan dari bea anti-dumping bila mematuhi peraturan

tersebut akan memberikan sejumlah keuntungan bagi perusahaan EEC dan ini sangat

mempengaruhi permintaan dan penjualan produk yang sama dari pasar EEC sendiri.

Keuntungan ini merupakan kerugian bagi perusahaan-perusahaan Jepang. Amandemen

tersebut nyata merupakan tindakan diskriminatif karena dengan kebijakan tersebut EEC telah

memberikan perlakuan yang lebih baik terhadap produk sendiri dari pada produk impor.28

Tindakan Pemerintah Kanada yang memberikan pengecualian kewajiban pajak impor

komponen pembuatan kenderaan bermotor oleh Panel Penyelesaian Sengketa WTO juga

dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap Article III.4 27 Lebih lanjut, EEC - Regulation on Import of Parts and Componen : Report by the Panel adopted on 16th May 1990, Document L/6657 - 37S/132, Hal.5

28 Ibid, Hal. 52.

19

Page 23: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

GATT 1994. Oleh karena keringanan pajak hanya diberikan apabila proses produksi

kenderaan bermotor rnenggunakan lebih banyak komponen buatan Kanada, maka jelas

tindakan ini merupakan tindakan diskriminatif yang memberikan perlakuan lebih baik

terhadap produk buatan sendiri dari pada produk impor.29

Pelanggaran terhadap larangan local content requirement juga dilakukan oleh India.

Melalui Undang-Undang Penanaman Modal India tahun 1997 Pemerintah India mewajibkan

setiap penanaman modal baru di sektor industri otomotif untuk menandatangani sebuah

memorandum of understanding dengan Pemerintah India yang berisi kesepakatan sebagai

berikut :

a. penanaman modal minimum sebesar US $ 50 million dan harus dilakukan dengan

joint venture dengan pemilikan saham mayoritas pada warga negara asing ;

b. lisensi impor akan dibebaskan jika proses produksi mempergunakan kandungan lokal

hingga mencapai 50 % ;

c. kewajiban mempergunakan kandungan lokal sebesar 50 % pada 3 tahun pertama

untuk complete knok-down dan semi knok-down dan jumlah tersebut harus meningkat

mencapai 70 %, pada tahun kelima ;

d. adanya kewajiban ekspor dalam tiga tahun pertama dengan ketentuan jika tidak

dilakukan, maka pemerintah akan melakukan pembatasan pemakaian barang impor.

Pada bulan Mei 1990 Pemerintah Amerika Serikat mengajukan keberatan kepada

WTO terhadap kebijakan Pemerintah India. WTO dispute settlement body dalam memeriksa

perkara ini menemukan adanya pelanggaran kewajiban India

29 Lebih lanjut, Panel Report, Canada Certain Heasures Affecting the Automotive Industry Document WT/DS139/R, 11 February 2000

20

Page 24: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

berdasarkan Article 2 Agreement on TRIMs, khususnya mengenai larangan persyaratan

kandungan lokal dan memerintahkan Pemerintah India untuk mencabut Undang-Undang

tersebut.30

Perkara-perkara tersebut berbeda dengan kasus Indonesia. Pemerintah Indonesia

mencantumkan persyaratan local content requirement tetapi tidak merupakan persyaratan

wajib yang; harus dipenuhi oleh investor. Pemenuhan kandungan lokal terkait dengan

pemberian insentif investasi berupa pembebasan pajak impor dan pajak pertambahan nilai

barang mewah.

Dalam upaya meningkatkan industri otomotif nasional, Pemerintah Republik

Indonesia menjalankan Program Mobil Nasional. Untuk menjalankan program ini kepada

perusahaan otomotif nasional akan diberikan status sebagai perusahaan “pioner” apabila

dalam proses produksi memenuhi kriteria penggunaan kandungan lokal sebanyak 20 % pada

tahun pertama produksi, dan jumlah ini terus meningkat menjadi 40 % pada tahun kedua dan

60 % pada akhir tahun ketiga produksi komersial.31 Diperolehnya status sebagai perusahaan

“pioner” setidaknya akan memberikan dua keuntungan ekonomis, yakni perusahaan yang

bersangkutan dapat melakukan impor bahan tambahan untuk keperluan produksi mobil

nasional tanpa dikenakan pajak dan adanya pembebasan dari kewajiban pembayaran pajak

pertambahan nilai barang mewah (PPn BM). Status "pioner" dapat diberikan kepada

perusahaan asing apabila perusahaan yang bersangkutan dapat memenuhi ketentuan local

content requirement tersebut.

Dalam pelaksanannya status pioneer berikut dengan fasilitas pembebasan pajak

barang mewah hanya diberikan kepada PT. Timor Putra Nasional (PT.TPN).

30 Http://www.wto.org/english/trato p/investment/dispu e.html 31 Instruksi Presiden No. 2 Tahun 1996. Keputusan Menteri perindustrian dan Perdagangan No. 31

/MP/SK/ 1996

21

Page 25: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

PT. TPN pada tahun-tahun pertama produksi tidak memenuhi persyaratan kandungan lokal

yang ditetapkan pemerintah. PT. TPN selanjutnya diperkenankan melakukan impor mobil

dalam keadaan utuh dari Korea (PT.KIA) dengan tetap diberikan kemudahan pajak..

Panel penyelesaian sengketa WTO dalam memeriksa perkara ini memang memandang

bahwa kebijakan yang demikian ini tidak konsisten dengan Agreement on TRIMs, akan tetapi

bukan karena masalah kandungan lokal. Menurut Panel kurang tepat menggunakan ketentuan

larangan persyaratan kandungan lokal, karena kebijakan pemerintah Indonesia tidak

menjadikan persyaratan tersebut sebagai kewajiban yang dikaitkan dengan persetujuan

penanaman modal. Ketidak konsistenan dengan Agreement on TRIMs lebih karena kebijakan

tersebut tidak konsisten dengan Article 2 Agreement on TRIMs yang melarang kebijakan

investasi yang tidak konsisten dengan Article III. GATT tentang national treatment. 32

Panel berpandangan bahwa kemudahan pajak yang diberikan kepada PT.TPN dalam

impor mobil dari Korea adalah bentuk pelanggaran Article III.1 dan III.2 GATT dan Article

27.4 Agreement on Subsidies and Contorveiling Measures.

Berdasarkan Article III.2 GATT bahwa keringanan yang diperoleh PT.TPN tersebut

merupakan bentuk diskriminasi terhadap pengenaan pajak internal, karena keringanan

tersebut tidak diberikan kepada barang impor sejenis. Barang impor sejenis dalam hal ini

adalah mobil sedan produksi Amerika Serikat, EC dan Jepang. Dengan demikian kebijakan

ini memberikan perlakuan yang lebih

32 Indonesia Automotif Pioneer Industri. Panel Report, dapat diakses pada website WTO, http://www.wto.org?/english/tratop e/investment/dispu- e.html

22

Page 26: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

baik terhadap barang impor dari salah satu negara anggota saja (Korea). Berdasarkan Article

III.1 GATT diberikannya kemudahan pajak pada produk impor asal Korea, dan sebaliknya

tidak memberikan hal yang sama dengan produk sejenis dari negara lain, adalah bentuk:

perbuatan yang dapat mempengaruhi penjualan atau pembelian produk-produk tersebut.

Negara anggota tidak dibenarkan oleh Article III. 1 GATT mengenakan pajak, pungutan atau

persyaratan lain yang mempengaruhi penjualan, penjualan, pembelian, pengangkutan,

distribusi atau penggunaan produk.33

Sedangkan pelanggaran terhadap Article 27.4 Agreement on Subsidies and

Contorveiling Measures adalah bentuk keringan pajak yang diberikan kepada industri lokal

(PT.TPN) adaiah penambahan subsidi yang dilarang selama masa transisi.34

2.1.2. Kebijakan Keseimbangan Perdagangan (Trade Balancing Policy)

Kebijakan trade balancing dilarang berdasarkan Paragraf 1 (b) Agreement on TRIMs.

Suatu tindakan dikategorikan sebagai trade balancing policy dalam perspektif Agreement on

TRIMs apabila dalam kegiatan penanaman modal negara tuan rumah mempersyaratkan

pembatasan pembelian atau penggunaan produk impor sampai jumlah tertentu yang dikaitkan

dengan volume atau nilai produk lokal yang diekspor oleh perusahaan penanaman modal

asing.35 Ada dua unsur penting dalam kebijakan trade balancing, berdasarkan Paragraf 1 (b)

33 Ibid 34 WTO Dispute Resolution Panel Report on Indonesia - Certain Measures Affecting, the Automobile

Industry, Doc. WT/DS54R, WT/DS55/R, WT/DS59/R, WT/DS64/R, Dokumen dapat diakses pada Website WTO http://ww.wto.org/english/tratop e/disput e Hal, 346

35 Agreement on TRIM’s, Ilustratif List, Paragraf 1 (b).

23

Page 27: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

ilustrative list dari Agreement on TRIMs, yakni : a. penggunaan atau pembelian barang impor

oleh perusahaan penanaman modal asing hanya dibenarkan jika perusahaan tersebut telah

melakukan impor produk yang menggunakan produk buatan dalam negeri, b. jumlah barang

impor yang boleh dipergunakan oleh perusahaan penanaman modal asing terbatas sampai

jumlah tertentu, pembatasan mana ditetapkan berdasarkan volume atau nilai produk lokal

yang telah diekspor oleh perusahaan penanaman modal asing yang bersangkutan.

Jika diperhatikan secara seksama kedua anasir tersebut, maka dapat disimpulkan

bahwa dalam trade balancing policy terdapat adanya hambatan bagi perusahaan penanaman

modal asing untuk melakukan kegiatan impor secara langsung. Perusahaan penanaman modal

asing hanya dibenarkan membeli barang impor yang sudah berada di pasar domestik negara

host country. Barang impor ini hadir dalam pasar domestik negara host country pada

umumnya karena diimpor oleh perusahaan domestik. Dalam kebijakan yang demikian

terdapat tindakan diskriminasi terhadap barang impor oleh pemerintah host country. Batasan

penggunaan barang impor yang dikaitkan dengan kewajiban impor barang buatan dalam

negeri merupakan tindakan yang lebih mengutamakan barang produk sendiri dari pada

produk impor. Oleh karena itu trade balancing policy dilarang karena bertentangan dengan

Article III.4 GATT 1994.

Dalam catatan WTO tidak banyak ditemukan penerapan kebijakan trade balancing.

Perkara yang selalu dijadikan referensi adalah kebijakan Pemerintah India yang mewajibkan

investor menandatangani MoU dengan Kementrian Perdagangan India. Dalam MoU ini hak

investor untuk menggunakan barang impor tergantung pada terpenuhinya kewajiban ekspor

kandungan lokal yang telah dipenuhi oleh investor yang bersangkutan.36

36 Lebih lanjut lihat Trade Related Investment Measures, http://www.meti.go.ip/english/report/gCT000Be

24

Page 28: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

Terhadap kebijakan Pemerintah India ini Panel Penyelesaian Sengketa WTO memutuskan

bahwa tindakan tersebut bertentangan dengan Article III.4 GATT jo. Paragraf 1 (b)

Agreement on TRIMs.

Brazil adalah negara yang menerapkan persyaratan penanaman modal yang

mengkombinasikan antara insentif penanaman modal, kewajiban local content requirement

dan trade balancing. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 1761 tanggal 26 Desember 1995

Pemerintah Brazil memberikan insentif penanaman modal berupa pengurangan bea masuk

sampai dengan 90 % untuk impor barang modal dan antara 40 % - 80 % untuk impor bahan

baku dan komponen pembuatan otomotif bagi para produsen yang memenuhi kualifikasi

yang ditetapkan oleh Pemerintah Brazil. Keringanan pengurangan bea masuk kenderaan

impor sebesar 50 % juga diberikan kepada produsen otomotif yang memenuhi kualifikasi

yang ditetapkan.37 Produsen dikatakan memenuhi kualifikasi sehingga berhak atas insentif

tersebut adalah produsen otomotif yang memenuhi persyaratan sebagai berikut :

a. wajib memenuhi persyaratan kandungan lokal sebesar 60 % dari total input yang

dipergunakan ;

b, wajib memenuhi rasio 1 : 1 atas impor barang mentah dengan yang dibuat di dalam

negeri serta terhadap perbandingan penggunaan barang modal impor dengan yang

dibuat di dalam negeri ;

c. impor kendaraan tidak boleh melebihi jumlah yang sudah ekspor ; 37 George Klenfeld and Deborah Wengel. Foreign Investment, International Law Journal, Summer, 1996, Hal.4

25

Page 29: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

d. impor komponen tidak melebih 2/3 bagian dari total komponen yang diekspor oleh

produsen yang bersangkutan.38

Panel yang memeriksa perkara ini menetapkan bahwa tindakan pemerintah Brazil

menetapkan persyaratan penanaman modal yang mensyaratkan adanya kewajiban local

content requirement dan trade balancing bertentang dengan Article 2 Agreement on TRIMs,

Article III.4 dan Article XI.1 GATT 1994.39 Sementara insentif penanaman modal yang

diberikan oleh Pemerintah Brazil dalam bentuk pengurangan bea masuk tidak bertentangan

dengan Agreement on TRIMs akan tetapi melanggar ketentuan dari Article 3.1 Agreement on

Subsidies and Conterveiling Measures yang juga melarang persyaratan local content dan

trade balancing. Larangan ini berbeda dengan Agreement on TRIMs. Jika penerapan kedua

kebijakan tersebut dijadikan sebagai persyaratan untuk dapat beroperasinva sebuah

perusahaan asing, maka persyaratan tersebut bertentang dengan Agreement on TRIMs, akan

totapi apabila kedua persyaratan tersebut dijadikan sebagai prakondisi untuk mendapatkan

subsidi, maka bertentangan dengan Agreement on Subsidies and Conterveiling Measures.40

Dalam hal ini pemerintah Brazil telah dianggap memberikan subsidi kepada produsen dalam

38 Ibid. Hal. 5 39 Brazilian Automotif Measures, Panel Report, dapat diakses dalam Web Site WTO, http://www.wto.org/english/tratop e/investment/dispu c. 40 Article 1.1 Agreement Agreement on Subsidies and Contorveiling Measures menganggap subsidi ada jika terdapat kondisi sebagai berikut, antara lain :

a. kegiatan pemerintah melibatkan penyerahan dana secara langsung' (misalnya hibah, pinjaman dan penyertaan), kemungkinan pemindahan dana atau kewajiban secara langsung (misalnya jaminan hutang);

b. pendapatan pemerintah yang seharusnya sudah dibayar menjadi hapus atau tidak ditagih (misalnya insentif fiscal, seperti pengurangan pajak)

c. pemerintah menyediakan barang atau jasa selain dari infrastruktur umum atau pembelian barang ;

d. pemerintah melakukan pembayaran pada mekanisme pendanaan, atau mempercayakan, atau menunjuk suatu badan swasta untuk melaksanakan satu atau lebih dari jenis fungsi yang disebutkan pada point (a) sampai (c) diatas yang biasanya diberikan pada pemerintah dan pelaksanaannya secara nyata berbeda dari yang biasanya dilakukan oleh pemerintah.

26

Page 30: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

bentuk pendapatan pemerintah dari pajak atau bea yang tidak ditagih oleh pemerintah dari

produsen. Pemberian subsidi ini disertai dengan syarat kewajiban penggunaan local content

atau trade balancing.

Kebijakan trade balancing sebenarnya memaksa investor asing melakukan tindakan

yang; tidak efektif karena tidak dibenarkan melakukan impor langsung dan hal ini justru

merugikan host country karena tidak menarik untuk menarik investor yang lebih berorientasi

pada efisiensi usaha. Oleh karena itu dengan melarang trade balancing policy, Agreement on

TRIMs selain membantu menciptakan iklim penanaman modal yang lebih kondusif di

wilayah host country, juga memberikan perlindungan terhadap kemampuan investor untuk

membuat keputusan bisnis yang lebih bebas yang berdasarkan pada prinsip efisiensi usaha.41

Jika mencantumkan local content requirement sebagai kewajiban adalah dilarang

demi hukum, tanpa diperhatikan lebih lanjut apakah secara defakto telah terjadi diskriminasi

internal, maka tidak demikian halnya terhadap trade balancing policy. Dalam trade

balancing policy unsur yang harus dipenuhi untuk dapat dikatakan melanggar Article III.4

GATT adalah hanya apabila barang-barang impor sudah berada di dalam pasar domestik

negara host country. Apabila barang impor dimaksud belum berada di pasar domestik host

country maka tidak dapat dikatakan kewajiban national treatment telah dilanggar karena

tidak terjadi diskriminasi internal. 42 Hal ini penting untuk dipahami, karena jika barang

impor belum berada di pasar domestik negara host country, maka pelanggaran yang

41 Russin et.ll, “Trade Related Investment Measures and Vietnams Law”, US-Vietnam Trade Council, Education Forum, 2002. Hal. 8.

42 Morrisey, et.all, The GATT Agreement on Trade Related Investment Measures: lmplications for Developing Countries and Their Relationship with Transnational Corporations, The Journal of Development Studies, London, June, 1995, Vol.31, Iss No. 5, Hal. 6

27

Page 31: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

ter jadi lebih tertuju pada Article XI GATT 1994 tentang general prohibition on qualitative

restriction. 2.2. Persyaratan Penanaman Modal yang Bertentangan dengan Prinsip General

Prohibition on Quantitative Restriction

Prinsip general prohibition on gualitative restriction diatur dalam Article XI GATT

1994. Pada dasarnya prinsip ini tidak membenarkan adanya larangan atau hambatan

perdagangan lainnya kecuali melalui tariff.43 Dapat disimpulkan bahwa maksud dari article

XI.1. ini adalah melarang penggunaan hambatan non-tarif dalam kebijakan perdagangan

seperti kuota, lisensi ekspor atau impor. pembatasan ekspor secara sukarela dan

bentuk-bentuk perintah pengaturan pasar lainnya.

Praktek pembatasan kuantitatif dilarang dalam Agreement on TRIMs apabila

pembatasan kuantitatif tersebut menjadi syarat untuk mendapatkan fasilitas penanaman

modal. Paragraf 2 ilustrative list dari Agreement on TRIMs dalam pelarangan guantitative

restriction hanya mengacu pada Article XI. 1. GATT 1994. Dalam kaitannya dengan

kegiatan penanaman modal, Paragraf 2 mengidentifikasi 3 bentuk kegiatan yang dipandang

tidak konsisten dengan Article IX.1. GATT yakin apabila untuk memperoleh fasilitas

penanaman modal dipersyaratkan hal-hal berikut:

a. pembatasan impor produk-produk yang dipakai dalam proses produksi atau terkait

dengan produksi lokalnya secara umum atau senilai produk yang diekspor oleh

perusahaan yang bersangkutan ;

43 Pengertian tariff disini meliputi duties, taxes or other chargers. Lihat lebih lanjut Article XI.1. GATT 1994.

28

Page 32: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

b. pembatasan impor produk-produk yang dipakai dalam atau terkait produksi lokal

dengan membatasi aksesnya terhadap devisa luar negeri sampai jumlah yang terkait

dengan devisa yang dimasukkan oleh perusahaan yang bersangkutan;

c. pembatasan ekspor atau penjualan untuk ekspor apakah dirinci menurut

produk-produk khusus, menurut volume atau nilai produk-produk atau menurut

perbandingan volume atau nilai dari produksi lokal perusahaan yang bersangkutan.44

Dengan demikian.Agreement on TRIMs menjabarkan larangan Article XI.1 GATT

dalam tiga bentuk kegiatan, yakni trade balancing policies, .foreign exchange restriction dan

export restriction. 2.2.1. Barang-Barang lmpor Harus Seimbang dengan Eskpor

Kebijakan keseimbangan perdagangan (trade balancing policy) pada intinya adalah

cara untuk meningkatkan penjualan produk buatan dalam negeri yang dilakukan dengan

membatasi pengaruh dari produk impor. Cara ini dapat ditempuh melalui dua model

hambatan, yakni membatasi pembelian atau penggunaan barang impor dan membatasi

kegiatan impor secara langsung.

Telah diuraikan sebelumnya bahwa terdapat perbedaan mendasar antara kedua model

tersebut. Model pertama, membatasi pembelian atau penggunaan barang impor, bertentangan

dengan prinsip national treatment sebagaimana diatur dalam Article III.4 GATT jo. Paragraf

1 (b) illustrative list dari Agreement on TRIMs. Sedangkan model kedua, pembatasan impor

langsung, bertentangan

44 Agreement on Trade Related Investment Measures, Ilustrative List, Paragraf 2 .

29

Page 33: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

dengan Article XI.1. GATT 1994 jo. Paragraf 2 (a) illustrative list dari Agreement on TRIMs.

Perbedaan prinsip dari kedua model ini terletak pada terjadi atau tidaknya diskriminasi

internal dari kebijakan tersebut.

Dengan membatasi pembelian atau penggunaan barang impor terkandung makna

bahwa barang impor yang dibatasi pembeliannya atau penggunaannya sudah berada atau

terdapat dalam pasar domestik Negara host country. Oleh karena itu kebijakan yang

demikian merupakan bentuk diskriminasi internal karena pemerintah host country melalui

kebijakannya telah memberikan perlakuan yang lebih baik terhadap barang buatan dalam

negeri dari pada barang impor dalam pasar persaingan di wilayah host country. Tindakan ini

melanggar kewajiban host country untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap barang

buatan dalam negeri dan barang impor yang berada di pasar domestik, sebagaimana dituntut

oleh Article III.4 GATT 1994. Sementara pembatasan impor secara langsung tidak

memenuhi Article III.4. GATT, karena produk impor yang dibatasi pembelian atau

penggunaannya belum berada di pasar domestik Negara host country. Tindakan yang

demikian, meskipun termasuk pada bentuk trade balancing policy, tetapi tunduk pada

ketentuan larangan pembatasan kuantitatif, seperti dimaksud dalam Article XI. 1 GATT

1994.

Kasus Brazil seperti diuraikan sebelumnya merupakan salah satu referensi

pelanggaran terhadap ketentuan trade balancing policy baik berdasarkan Article XI.1 GATT

maupun Article III.4 GATT, karena dalam kasus ini pembatasan penggunaan barang impor

tidak saja diberlakukan terhadap kegiatan impor langsung juga terhadap penggunaan barang

impor yang berada di pasar Brazil.

30

Page 34: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

Seperti halnya kegiatan trade balancing policy yang bertentangan dengan Article III.1

GATT 1994, pembatasan impor yang dikaitkan dengan jumlah atau nilai ekspor yang telah

dilakukan investor ini juga tidak menarik bagi upaya memikat minat investor asing, karena

kebijakan yang demikian sangat membatasi perusahaan penanaman modal asing dalam

membuat keputusan bisnis yang lebih efisien.45

2.2.2. Pembatasan Akses Devisa Asing (Foreign Exchange Limitation)

Bentuk tindakan restriktif ini dilakukan dengan membatasi impor produkproduk yang

dipergunakan dalam proses produksi dengan membatasi akses perusahaan penanaman modal

asing terhadap devisa luar negeri yang dibutuhkan sampai pada satu jumlah atau nilai yang

sebanding dengan devisa yang dimasukkan oleh perusahaan asing yang bersangkutan.46

Apabila terhadap investor atau calon investor yang akan beroperasi di wilayah host country

diwajibkan untuk mematuhi pembatasan tersebut sebagai syarat untuk mendapatkan ijin

penanaman modal, maka tindakan ini melanggar ketentuan Paragraf 2 (b) illustrative list dari

Agreement on TRIMs.

Larangan terhadap foreign exchange limitation bisa membawa dampak yang sangat

signifikan bagi negara-negara yang masih lemah, karena apabila tidak ada pembatasan dalam

penggunaan devisa asing, maka negara yang bersangkutan bias mengalami krisis devisa.

Oleh karena itu berdasarkan Article XII atau XVIII:B Negara yang mengalami krisis neraca

pembayaran (balance of payment)

45 lebih lanjut lihat, Quantitative Restriction, http://www.meti.go.jp/english/gCTO214e.pdf

46 Agreement on Trade Related Investment Measures, Ilustrative List, Paragraf 2 (b).

31

Page 35: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

dimungkinkan untuk melakukan pembatasan terhadap semua kegiatan impor. Disini letak

keterkaitan antara IMF dengan WTO, dimana IMF memiliki peran untuk memberikan

rekomendasi atas Negara yang menurut IMF benar-benar mengalami krisis neraca

pembayaan.

Pilipina adalah salah satu negara yang pernah menerapkan kebijakan foreign

exchange limitation dalam upayanya membangun industri otomotif, khususnya untuk industri

mobil penumpang dan sepeda motor. Namun, kebijakan tersebut telah dinotifikasi di WTO

dan harus sudah dihapuskan sampai akhir Desember 2004.

Berdasarkan ketentuan WTO, negara yang mengalami kesulitan dalam neraca

pembayaran (balance of payment difficulties, BOPD) diperkenankan untuk melakukan

pembatasan impor. Namun, patut diketahui bahwa dalam upaya mengatasi situasi BOP

tersebut negara-negara anggota WTO yang melakukan hambatan impor berkewajiban untuk

menetapkan kebijakan pembatasan impor dengan dampak yang paling minim terhadap

hambatan perdagangan, misalnya melalui bea masuk tambahan yang dapat mempengaruhi

harga barang impor di pasar domestik.47 `

Apabila ternyata kebijakan bea tambahan tidak dapat mengatasi keadaan BOPD maka

negara yang bersangkutan bisa diberikan hak untuk menyimpang dari larangan pembatasan

kuantitatif. Namun sebelum permohonan untuk menerapkan hambatan kuantitatif diberikan,

negara yang bersangkutan harus memberikan penjelasan mengenai kegagalan kebijakan bea

tambahan dalam mengatasi BOPD.48

47 Agreement on Balance of Payment of GATT 1994, Paragraf 2

48 Ibid, Paragraph 5

32

Page 36: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

Kebijakan foreign exchange limitation tetap dianggap merupakan pelanggaran

terhadap Agreement on TRIMs jika kebijakan yang demikian diterapkan pada saat negara

host country menerapkan bea masuk tambahan. Hal ini tidak dapat dibenarkan berdasarkan

alasan BOPD. Keadaan demikian merupakan komitmen dari negara-negara anggota WTO

untuk meminimalkan dampak hambatan perdagangan.

Negara-negara berkembang pada umumnya berpandangan bahwa mekanisme

penyimpangan terhadap Article XI.1 GATT tidak membawa dampak yang signifikan bagi

negara berkembang pada umumnya. Meskipun Negara-negara berkembang dapat

mendalilkan bahwa mereka menghadap BOPD, namun untuk meminta penyimpangan harus

terlebih dahulu mendapat persetujuan dalam konsultasi yang melibatkan negara-negara lain

yang memiliki kepentingan di pasar negara berkembang. Kegagalan konsultasi bisa

membawa akibat berlarutnya kesulitan negara berkembang untuk mengatasi keadaan BOPD.

2.2.3. Pembatasan Ekspor untuk Meningkatkan Mai Tambah

Paragraf 2 (c.) dari illustrative list Agreement on TRIMs melarang negara-negara

anggota WTO menerapkan persyaratan penanaman modal yang mensyaratkan adanya

pembatasan ekspor atau penjualan untuk ekspor bagi perusahaan penanaman modal asing.

Kebanyakan larangan ekspor, dilakukan oleh Pemerintah host country adalah terhadap

pembatasan ekspor bahan mentah dengan mewajibkan bahan mentah yang bersangkutan

harus terlebih dahulu diproses di dalam negeri host country. Tindakan semacam ini

merupakan tindakan proteksi terhadap industri dalam negeri, karena dengan larangan ekspor

bahan mentah, maka industri pengolahan dalam negeri akan mendapatkan nilai tambah dari

proses pengolahan bahan mentah, Kanada tercatat sebagai salah satu negara yang pernah

melakukan kebijakan export restriction. Sebelum tahun 1993, Pemerintah Kanada, misalnya

melarang ekspor jenis ikan tertentu. Ijin ekspor hanya diberikan jika produk tersebut terlebih

dahulu diolah di dalam negeri. Kebijakan ini mendatangkan keuntungan bagi industri

pengolahan ikan di Kanada. Panel penyelesaian sengketa GATT menemukan bahwa tindakan

Pemerintah Kanada telah melanggar kewajiban Kanada berdasarkan ketentuan Article XI.l

GATT dan memerintahkan agar kebijakan tersebut dirubah atau dicabut.49

49 Keputusan Panel dapat diakses pada webside WTO,

http://www.wto.org/english/tratop e/disput e

33

Page 37: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

Disamping Kanada. India termasuk salah satu negara yang sejak tahun 1991

menerapkan kebijakan export restriction, terutama pada sektor pertanian dan barang-barang

industri. Setelah terbentuknya WTO, India menotifikasikan kebijakan tersebut sehingga

masih diperkenankan untuk dilaksanakan sampai akhir tahun 1999 sesuai ketentuan

perpanjangan waktu dan notifikasi dalam Agreement on TRIMs.50

Dalam sistim GATT regulasi perdagangan bebas sektor jasa membatasi regulasi

penanaman modal asing di sektor tersebut. Berdasarkan Article II GATS, negara-negara

anggota tidak dibenarkan menerapkan peraturan-peraturan penanaman modal yang

diskriminatif terhadap jasa dan pemasok jasa dari negara anggota lainnya. Larangan ini

terbatas pada bidang-bidang yang sudah menjadi specific commitment dari negara anggota

bersangkutan. Dengan demikian GATS membatasi kewenangan negara host country untuk

meregulasi penanaman modal asing apabila regulasi tersebut menimbulkan perbedaan

perlakuan antara investor asing dan investor domestik di sector usaha jasa.

50 Perhatikan Article 5 (1) dan (2) Agreement on TRIM’s.

34

Page 38: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

Mengapa hambatan investasi harus dilarang berdasarkan ketentuan GATT ? Kiranya

teori keunggulan komparatif (comparative adventages) dapat dipergunakan untuk menjawab

persoalan tersebut. Teori keunggulan komparatif mengajarkan bahwa sebuah negara selalu

bisa relatif lebih effisien dalam memproduksi sebuah barang dibandingkan dengan negara

lain. 51 Perdagangan bebas mengijinkan negara-negara untuk melakukan spesialisasi dalam

memproduksi barang-barang dimana mereka memiliki keunggulan komparatif. Barang ini

selanjutnya dipertukarkan dengan barang dari negara lain yang proses produksinva lebih

efisien jika dibandingkan bila barang tersebut diproduksi sendiri. Dengan cara seperti ini

keuntungan dalam level global akan lebih maksimal. Campur tangan negara yang mencoba

mempengaruhi mekanisme tersebut hanya akan membelokkan tujuan pencapaian keuntungan

maksimum dan akan menyebabkan para pelaku pasar memproduksi barang menjadi kurang

efisien.52 Paham kapitalisme klassik yang kemudian dilanjutkan oleh paham neoliberal

terlihat sangat berpengaruh dalam hal ini.53

2.3. Transparansi dan Notifikasi

Untuk memudahkan pengawasan terhadap penerapan persyaratan penanaman modal

yang tidak konsisten dengan Article III.4 dan XI.1 jo. Paragraf

51 David Ricardo, The Principle of Political Economy and Taxation, dikutip dalam Paul R. Krugman

dan Maurice Obstfeld, International Economics; Theory and Policy Second edition, 1991, Hal, 11. 52 Ibid . Hal. 13-21

53 William Ebenstein and Edwin Fogelman, Isme-lsme Dewasa Ini (terjemahan), Edisi Sembilan,

Erlangga, Jakarta; 1990, Hal. 149 -163

35

Page 39: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

1 dan 2 ilustrative list dari Agreement on TRIMs, maka kepada setiap anggota WTO yang

menerapkan persyaratan penanaman modal yang demikian harus dilaksanakan secara

transparan melalui mekanisme notifikasi semua pembatasan yang mereka terapkan. Waktu

yang diberikan untuk notifikasi adalah sembilan puluh hari terhitung sejak Persetujuan

Pembetukan WTO berlaku secara efektif 54

Notifikasi pembatasan memegang peranan penting dalam pelaksanaan persetujuan

WTO terkait investasi. Dalam Agreement on TRIMs pentingnya notifikasi dikarenakan dua

hal. Pertama, pembatasan yang telah dinotifikasikan kepada Dewan Perdagangan Barang

(Council on Trade in Goods) dapat terus dilanjutkan sampai berakhirnya masa transisi

penghapusan persyaratan tersebut. Dengan demikian pembatasan yang tidak konsisten

dengan Agreement setelah dinotifikasi dapat terus berlanjut sampai awal tahun 1997 bagi

negara maju, bagi negara berkembang sampai awal tahun 2000 dan awal tahun 2002 bagi

negara terbelakang.55 Kedua, persyaratan yang tidak konsisten dengan Agreement dan tidak

dinotifikasikan, maka persyaratan yang bersangkutan dianggap sebagai pelanggaran,

meskipun kewajiban penghapusan seluruh persyaratan belum melewati masa yang

ditentukan. Sebagai konsekuensinya, negara anggota lainnya memiliki hak untuk melakukan

tuntutan hukum atas pelanggaran Agreement on TRIMs. Sebagai contoh dapat dilihat dalam

kasus Mobil Nasional Indonesia. Kebijakan mobil nasionl ini mengandung persyaratan yang

bertentangan dengan Article III.4 GATT 1994 Jo. Paragraf 1 (a) illustrative list dari

Agreement on

54 Article 5 (1) Agreement on TRIM's. 55 Masa penghapusan seluruh TRIM's adalah dua tahun bagi Negara maju, lima tahun bagi Negara

berkembang dan tujuh tahun bagi Negara terbelakang terhitung sejak Perjanjian Pembentukan W'ITO berlaku

secara efektif (Januari 1995).

36

Page 40: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

TRIMs yakni mengenai larangan local content reguirement.56. Sebagai negara berkembang

batas waktu penghapusan TRIM's yang tidak konsisten bagi Indonesia adalah pada akhir

tahun 2000. Artinya sampai 1 Januari tahun 2000 masih diperkenankan menerapkan

persyaratan. Akan tetapi oleh karena kebijakan mobil nasional tersebut tidak dinotifikasi ke

WTO, maka pada tahun 1998 Jepang dan Amerika Serikat mengajukan tuntutan keberatan

kepada Panel Penyelesaian Sengketa WTO atas penerapan kebijakan Mobil Nasional

tersebut. Akhirnya pada tahun 1998 Panel memerintahan Pemerintah Indonesia untuk

mencabut peraturan-peraturan yang terkait dengan kebijakan Mobil Nasional.

Agreement on TRIMs memberikan pengecualian khusus kepada negara berkembang

dan negara terbelakang khusus mengenai perpanjangan masa transisi penghapusan

persyaratan. Dewan Perdagangan Barang setelah memperhatikan kesulitan-kesulitan negara

berkembang dalam melaksanakan ketentuan Agreement on TRIM.s serta mempertimbangkan

kebutuhan pembangunan, keuangan dan perdagangan dari negara berkembang, dapat

memberikan perpanjangan masa transisi penghapusan TRIMs. 57

Berkaitan dengan masa transisi penghapusan TRIM's dan perpanjangannya perlu

diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

a. perpanjangan masa transisi hanya dibenarkan terhadap TRIM's yang telah

dinofikasikan kepada Dewan Perdagangan Barang ;

56 Perhatikan Inpres No. 2 Tahun 1996, Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No

31/MPP/SK/2/1996 dan Keputusan Menteri Keuangan No. 82/KMK.0l tahun 1996.

57 Article 5 (3) Agreement on TRIM's.

37

Page 41: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

b. TRIM's yang diberlakukan dalam waktu kurang dari 180 hari sebelum berlaku

efektifnya Persetujuan Pembentukan WTO tidak dapat diberikan masa transisi58

c. Selama masa peralihan tidak dibenarkan mengubah ketentuan dari TRIM's yang telah

dinotifikasi59

d. selama masa transisi TRIMs yang sudah dinotifikasi dapat dikenakan kepada

penanaman modal baru hanya apabila barang yang dihasilkan oleh perusahaan

penanaman modal baru tersebut sejenis degan barang yang dihasilkan oleh perusahaan

penanaman modal yang sudah berdiri dan terkena TRIMs. Tujuannya adalah untuk

menghindari persaingan yang tidak sehat antara perusahaan penanaman modal baru

dengan yang sudah ada.60

Dewan Perdagangan Barang dapat mempertimbangkan perpanjangan masa transisi

penghapusan TRIM's akan tetapi tidak jelas bagaimana mekanisme pengambilan keputusan

dalam pemberian masa perpanjangan transisi. Oleh karena itu terdapat perbedaan pandangan

yang tajam antara kelompok negara maju dan kelompok negara berkembang. Disatu sisi

kelompok Negara-negara berkembang menghendaki agar negosiasi masa perpanjangan

dilakukan dalam bentuk negosiasi multilateral yang melibatkan kelompok-kelompok negara.

Sementara negara-negara maju justru menghendaki agar perpanjangan, masa transisi

dilakukan kasus per kasus dan harus dikonsultasikan secara bilateral dengan negara-negara

yang memiliki kepentingan. Ini artinya sama dengan setiap

58 Article 5 (4) Agreement om TRIMs 59 Ibid 5 (5) 60 Article 5 (5) Agreement on TRIMs.

38

Page 42: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

permohonan perpanjangan masa transisi harus mendapat persetujuan dari negara mitra

utama, yakni USA, EC, Jepang dan Kanada.

Greenfield menyatakan bahwa ketidak jelasan ini selalu dimanfaatkan oleh negara

mitra utama untuk tujuan tertentu. Beliau mencontohkan kasus Filipina, meskipun Filipina

sudah mengajukan perpanjangan masa transisi penghapusan TRIM's disektor industri

otomotif sampai Desember 2004, namun Pemerintah USA tetap menargetkan bahwa waktu

bagi Filipina hanya sampai 1 Januari 2000 karena USA tidak pernah turut dalam negosiasi

bilateral sehubungan perpanjangan masa transisi bagi Filipina. Dengan menekan masalah ini,

USA bisa melakukan penekanan terhadap Filipina untuk memberikan konsesi di bidang lain

yang tidak memiliki kaitan dengan.industri otomotif 61

Keberhasilan pelaksanaan Agreement on TRIMs akan sangat didukung oleh

keterbukaan dari tiap-tiap anggota. Keterbukaan informasi mengenai hambatan-hambatan

penanaman modal merupakan salah satu faktor yang dapat menarik minat investor untuk

menamankan modalnya, karena keterbukaan informasi membantu investor dalam

menentukan keputusan bisnis.62 Dengan transparansi, maka hukum menjadi lebih dapat

dipergunakan sebagai media prediksi, dan hal ini akan lebih menunjang pembangunan

ekonomi63 karena terciptanya kepercayaan investor. Oleh karena itu, Article 6 (2) Agreement

on TRIMs mewajibkan negara-negara anggota GATT memberitahukan kepada Sekretariat

WTO publikasi-publikasi yang memuat ketentuan-ketentuan TRIM's

61 Gerard Greenfield. Op..cit., Ha1.4 62 George Anders, Merchants of Debt, KKR and the Mortagaging of American Business, BasicBook,

New York, 1993, Hal.36 63 JD. N. Hart, The Role a Law in Fconomic Development, dalam Erman Rajagukguk. Peranan Hukum

dalam Pembangunan Ekonomi, Jilid 2, Universitas Indonesia, Jakarta, 1995, Hal.365-367.

39

Page 43: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

termasuk TRIM's yang diterapkan oleh pemerintah daerah. Keterbukaan informasi mengenai

TRIM's juga harus diberikan pada setiap anggota yang meminta layanan informasi serta pada

saat konsultasi bilateral. 64 Namun keterbukaan informasi tidak mengharuskan negara

anggota memberikan informasi-informasi yang dapat menghalangi penegakan hukum,

bertentangan dengan kepentingan umum dan informasi yang dapat merugikan kepentingan

perusahaan perdagangan tertentu.

Jika ditelusuri dengan seksama sistim perdagangan multilateral, pelaksanaan

keterbukaan seperti yang dituntut oleh Agreement on TRIMs sebenarnya bukanlah hal yang

baru. GATT 1947 sudah menghasilkan ketentuan yang demikian. Hanya saja transparansi

dalam GATT ditujukan untuk seluruh publikasi-publikasi yang mengandung

hambatan-hambatan perdagangan.65 Dengan demikian ketentuan transparansi dalam

Agreement on TRIMs hanya mempersempit atau menjadikan lebih spesifik ketentuan

transparansi dalam GATT 1947.

64 Agreement on TRIM's, Article 6 (3). 65 Article X GATT 1947

40

Page 44: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

BAB III

INDONESIA DAN AGREEMENT ON TRADE-RELATED

INVESTMENT MEASURES

Pada dasarnya pertimbangan-pertimbangan yang mendasari Pemerintah Indonesia,

demikian juga negara berkembang lainnya, untuk menerima Agreement on TRIMs adalah

keuntungan akses pasar dan perbedaan tingkat tariff yang dijanjikan dalam

kesepakatan-kesepakatan WTO lainnya. Jadi, tidak secara spesific terhadap keuntungan

ekonomis dari pelaksanaan Agreement on TRIMs. Bagaimanapun juga substansi dari

Agreement on TRIM's membatasi ruang bagi pemerintah untuk mengenakan syarat-syarat

tertentu dari kegiatan penanaman modal asing. meskipun persyaratan tersebut didalilkan

sebagai kebutuhan pembangunan

Bab ini akan membahas tentang pertimbangan-pertimbangan strategis Pemerintah

menerima Agreement on TRIMs dan penyesuian-penyesuian yang kemudian dilakukan

sebagai pemenuhan kewajiban berdasarkan Kesepakatan tersebut.

3.1. Pertimbangan Strategis Menerima Agreement on TRIM's

Sistim ratifkasi single undertaking yang diterapkan dalam Perundingan Uruguay tidak

memberikan kemungkinan bagi pemerintah negara-negara peserta perundingan untuk

melakukan ratifikasi secara parsial atas hasil-hasil perundingan. Menerima atau menolak

sebagian hasil perundingan seperti yang umum berlaku pada perundingan sebelum Putaran

Uruguay telah ditinggalkan untuk lebih menjamin terciptanya liberalisasi perdagangan dunia

yang agresif. Oleh karena itu, pertimbangan untuk mengikuti dan selanjutnya menerima suatu

41

Page 45: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

hasil negosiasi dalam bidang-bidang tertentu sangat dipengaruhi oleh pertimbangan

komprehensif tentang manfaat secara umum yang dijanjikan oleh berjalannnya mekanisme

perdagangan bebas secara umum. Mungkin terjadi suatu keadaaan dimana suatu negara tidak

diuntungkan dalam perundingan bidang TRIM's. akan tetapi negara tersebut bisa memperoleh

manfaat yang lebih dengan berlakunya sistim perdagangan bebas (GATT) sccara umum.

Oleh karena itu analisis terhadap hash negosiasi perbidang perundingan tidak mungkin

mengabaikan dampak GATT secara umum bagi perekonomian suatu negara termasuk

Indonesia.

3.1.1. Penurunan Tariff dan Perluasan Akses Pasar Dunia

Sistim perdagangan bebas dengan perlindungan tariff dalam kalkulasi ekonomis akan

sangat menguntungkan bagi Indonesia. Pemyataan ini jelas menjadi asumsi yang sangat

berpengaruh dalam pandangan Pemerintah Republik Indonesia sebagaimana dijelaskan oleh

Pemerintah, dalam hal ini Menteri Perdagangan, dalam Rapat Kerja antara DPR RI dengan

Pemerintah pada tanggal 30 September 1994 sehubungan dengan pembahasan RUU

Ratifikasi Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia sebagai berikut :

“... bahwa negara-negara industri maju berdasarkan kesepakatan GATT harus menurunkan tingkat tariff mereka pada kisaran 0 - 5 %, sedangkan kita di sektor industri tidak perlu melakukan hal yang demikian. Bahkan kita mendapatkan komitmen apabila diperlukan untuk meningkatkan lagi bea masuk kita sampai sebesar 40 %. Jadi, komitmen dan ,hasil yang kita capai adalah bahwa kita dalam sektor industri tidak boleh mengenakan perlindungan melalui tariff sampai sebesar 40 %, padahal dalam sektor industri tariff yang kita kenakan jauh lebih rendah dari itu. Hal ini berarti bahwa kita tidak perlu menurunkan proteksi tariff terhadap industri dalam negeri, atau dengan kata lain proteksi tariff sektor industri tetap berlangsung sebagaimana adanya saat ini. Apabila kita menurunkan bea masuk terhadap barang-barang hasil produksi industri, maka akan kita lakukan sendiri berdasarkan kebutuhan kita sendiri untuk meningkatkan daya saing industri hilir, tapi tidak ada kewajiban bagi kita untuk menurunkan tariff, sebaliknya kita bisa untung karena masih bisa menaikkan tariff sampai 40 %.66

66 Pendapat Pemerintah Rl, dalam hal ini Menteri Perdagangan RI dalam Rapat Kerja dengan DPR RI

schubungan dengan Pembahasan RUU Ratifikasi pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia, pada tanggal 30

September 1994 dikutip dalam “Catatan Rapat Kerja Komisi I DPR RI dengan Menteri Luar Negeri, Menteri

Perdagangan dan Menteri Kehakiman” tanggal 30 September 1994, Hal, 26.

42

Page 46: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

Dengan batas penurunan tariff sampai 40% berarti Indonesia sangat diuntungkan,

karena beberapa alasan, antara lain Indonesia masih dimungkinkan untuk meningkatkan tariff

sampai 40 %, sementara tariff yang dikenanakan oleh Pemerintah atas barang impor hasil

industri hanya berkisar 13 - 20 %. Dengan demikian jika dibutuhkan negara masih

dimungkinkan memperoleh masukan dari pos tariff dengan cara peningkatan tariff sampai

maksimum 40%. Keuntungan lainnya adalah dengan kesepakatan Putaran Uruguay Indonesia

tidak memiliki kewajiban untuk melakukan penurunan tariff sektor industri karena tingkat

tariff yang diterapkan jauh lebih rendah dari ketentuan yang dibenarkan GATT. Ini berarti

bahwa proteksi terhadap industri dalam negeri melalui kebijakan tariff tetap berjalan seperti

biasa tanpa ada perubahan yang signifikan.

Bagi pelaku usaha dalam negeri tatanan yang demikian merupakan keuntungan yang

terbuka dengan sangat lebar untuk memperkuat daya saing di pasar internasional. mengingat

bahwa pasar internasional, terutama di negara-negara mitra utama akan semakin terbuka dan

dengan tingkat tariff yang sangat rendah. Sementara itu di dalam negeri sendiri tetap bisa

dilindungi dari desakan produk impor dengan tariff yang relatif lebih tinggi.

Nada-nada optimis dan kalkulasi keuntungan ekonomis kurang terdengar ketika

pembicaraan menyangkut masalah perdagangan jasa dan perlindungan hak atas kekayaan

intelektual. Pemerintah hanya menjelaskan bahwa bangsa Indonesia harus menyadan

konsekuensi dari perdagangan jasa dan perlindungan hak atas intelektual yang juga diatur

dalam GATT 1994 antara lain harus adanya imbangan yang diberikan berupa pelaksanaan

kewajiban-kewajiban lain yang harus kita laksanakan. Hal ini tersirat dalam jawaban

Pemerintah sebagai berikut :

43

Page 47: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

“sebaiknya kita menyadari bahwa kita tidak bisa lepas dari tatanan perdagangan dunia yang semakin menuju pada perdagangan bukan barang tetapi perdagangan jasa yang berbasis pada keahlian sumber daya manusia dan teknologi. Maka dari itu, kita tidak bisa terlepas dari kewajiban kita untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangan kita di bidang perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual. Ini merupakan suatu konsekuensi bagi kita untuk maju . ... Supaya film kita, audio visual kita bisa masuk ke pasar negara-negara lain, maka kita harus mengimbangkan dengan perlindungan yang kita berikan terhadap kekayaan intelektual dari negara lain sesuai kewajiban yang kita telah tandatangani.”67

Dalam pembicaraan RUU Ratifikasi Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia

dalam parlemen Indonesia tidak ditemukan pembahasan yang intensif tentang

persetujuan-persetujuan perdagangan yang terkait dengan penanaman modal. Sama halnya

dengan bidang perdagangan jasa, maka bidang ini pun dikatakan sebagai konsekuensi dari

kewajiban yang harus dipenuhi, sebagaimana dijelaskan Pemerintah sebagai berikut :

"Ada satu yang perlu kita sesuaikan yaitu di bidang kewajiban investasi, dimana kita mengikatkan diri untuk menyesuaikan ketentuan penanaman modal yang tidak lagi membolehkan diwajibkannya penggunaan komponen-komponen dalam negeri dalam berbagai hak industri dan ini dengan radar kita telah ikut menandatangani demi kemajuan industri kita di dalam negeri. Akibatnya, misalnya adalah di bidang industri otomotif tidak lagi akan menggunakan komponen dalam negeri kecuali harga buatan dalam negeri Indonesia itu sendiri sudah cukup murah untuk dipakai dalam kegiatan investasi asing. Namun sebaliknya dengan menggunakan komitmen itu kita masih ada jaga-jaga, dalam arti bahwa di bidang akses pasar mengenai barang industri kita masih bisa memberikan perlindungan tariff kepada komponen dalam negeri. Dengan demikian, maka dalam jangka panjang perjanjian ini akan memberikan keuntungan dalam akses pasar dan dalam jangka panjang akan memberikan keuntungan bahwa kita akan tergerak menjadikan suatu kekuatan ekonomi yang lebih berdaya saing.68

67 Ibid., Hal. 25. 68 Jawaban Pemerinlah atas pertanyaan fraksi-fraksi DPR RI pada Rapat Pleno Komisi I DPR RI

tanggal 7 Oktoher 1994, ibid.. Hal. 26.

44

Page 48: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

Berdasarkan pen jelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa harapan dari persetujuan

perdagangan yang terkait dengan penanaman modal adalah bahwa

perjanjian ini bisa menstimulasi kompetisi yang sehat yang dapat mendorong industri di

dalam negeri dalam Jangka panjang untuk melakukan usaha-usaha meningkatkan daya saing.

Dengan dihapuskannya kewajiban local content requirement misalnya, maka industri di

dalam negeri harus mampu memperbaiki daya saingnya agar produk yang mereka hasilkan

menarik untuk diserap oleh pasar. Penjelasan Pemerintah tersebut cukup menggambarkan

suatu pandangan bahwa potensi keuntungan yang mungkin diperoleh bagi perekonomian

nasional dari terbukanya akses pasar, terutama pasar negara-negara mitra dagang utama serta

pengikatan tariff maksimum sampai 40 % adalah jauh lebih penting dari sekedar

mempertahankan kebijakan local content requirement. Hal ini terlihat dari penjelasan

pemerintah yang memberi sinyal bahwa Pemerintah masih bisa melindungi industri nasional

meskipun mungkin akan kehilangan keuntungan dari kewajiban local content, yakni dengan

mengenakan tariff maksimum, jika diperlukan, terhadap komponen impor. Dengan

perlindungan tariff seperti ini, komponen buatan industri dalam negeri yang sebelumnya

diwajibkan untuk digunakan atau dibeli dalam proses produksi, masih mampu bersaing dan

menjadi pilihan untuk digunakan dalam proses produksi, karena dengan bantuan proteksi

tariff harganya relatif lebih murah daripada komponen impor yang dikenakan tariff tinggi.

3.1.2. Tatatanan Multilateral Lebih Efektif Menghindari Tekanan Unilateral

Mohammad Hatta mengatakan bahwa politik luar negeri suatu negara senantiasa

dijalankan sesuai dengan kepentingannya. Oleh karena tidak ada suatu negara yang dalam

keadan serba cukup, maka politik luar negeri ditujukan pula untuk memperoleh dari negeri

lain barang-barang yang diperlukan untuk memajukan kemakmuran rakyat. Politik luar

negeri suatu negara tidak selalu sama dari masa-masa. dan akan sangat tergantung pada

keadaan hubungan internasional yang terjadi pada masa itu. Adakalanya suatu negara

menjalankan politik isolasionisme. Ada pula masanya suatu negara melakukan politik aliansi

untuk menjamin kepentingannya, dan kemudian muncul pula kembali politik imperialisme

sebagai dasar politik tertentu bagi politik luar negeri. Bagaimana politik luar negeri

Indonesia menghadapi hal ini, sudah sejak lama ditegaskan bahwa sikap politik luar negeri

Indonesia adalah bahwa Indonesia tidak akan bersedia menjadi objek pertarungan politik

45

Page 49: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

internasional, melainkan ia harus menjadi subjek yang berhak menentukan sikap sendiri.

Politik luar negeri Indonesia harus ditentukan oleh kepentingannya sendiri dan dijalankan

menurut keadaan dan kenyataan yang kita hadapi. Pandangan ini merupakan penjabaran dari

dasar politik bebas yang dianut dalam kebijakan politik luar negeri Indonesia.69

Disamping itu, politik luar negeri Indonesia juga menganut politik aktif, dalam arti

turut serta secara aktif dalam menciptaan tatanan dunia yang berdasarkan pada kemerdekaan.

perdamaian, dan keadilan sosial. Paham ini menuntut kesigapan bangsa Indonesia untuk

tidak saja mengamati perkembangan internasional, akan tetapi turut mengambil peranan guna

memanfaatkan perkembangan yang terjadi untuk kepentingan nasional dan internasional.

Peran penting dart garis politik yang bebas aktif ini sangat terasa untuk menghadapi

globalisasi yang terjadi dewasa ini. Globalisasi yang ditandai dengan hubungan saling

terpengaruh antara berbagai belahan bumi dan internasionalisasi kegiatan ekonomi, tidak

bisa disikapi secara pasif cdan apriori. Bangsa Indonesia harus turun bermain dalam

menciptakan tatanan dunia baru yang dicita-citakan oleh banyak bangsa dewasa ini.

69 Mohammad Hatta. Dasar Politik luar Ncgeri Republik Indonesia, Tinta Mas, Djakarta, 1953, Hal.

3-5

46

Page 50: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

Persetujuan perdagangan yang terkait dengan peraturan penanaman modal yang

disepakati dalam Putaran Uruguay, jika diperhatikan sepintas mungkin hanya akan

menimbulkan kerugian bagi Indonesia. Agreement on TRIMs telah menghilangkan

kesempatan bagi Indonesia untuk mempromosikan industri dalam negeri melalui persyaratan

kandungan lokal dalam penanaman modal asing. GATS telah memaksa Indonesia untuk

meliberalisasikan pasar investasi di sektor jasa. Persetujuan ini telah mempersempit ruang

bagi pemerintah untuk melindungi pelaku usaha jasa domestik. Pemerintah menyetujui hal

tersebut tentu didasarkan pada pertimbangan tertentu.

Partisipasi Indonesia dalam Perundingan Putaran Uruguay adalah dalam rangka upaya

merumuskan tatanan perdagangan multilateral yang lebih komprehensif dan yang

penegakannya berkepastian karena dilaksanakan oleh organisasi permanen yang khusus

dibentuk untuk itu. Tanpa adanya tata aturan perdagangan multilateral yang komprehensif

dan mengikat serta penegakannya dilakukan oleh suatu lembaga permanen (WTO), maka

tatanan perdagangan internasional akan lebih banyak dilakukan dalam bentuk

hubungan-hubungan bilateral. Dalam keadaan yang demikian, negara berkembang adalah

pihak yang lemah dan selalu mendapatkan tekanan dalam bentuk tindakan unilateral dari

mitra dagang yang berasal dari negara industri maju tanpa adanya dasar pengaturan yang

tegas. Negara berkembang, seperti Indonesia sering didikte oleh negara maju dan negara

berkembang hanya dapat menerima karena posisinya yang lemah.

47

Page 51: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

Terutama karena negara berkembang membutuhkan pinjaman dari negara maju, khususnya

mitra dagang utama.70 Dengan kata lain, bahwa negara berkembang ditekan untuk membuka

akses pasar mereka, sementara disisi lain negara-negara maju tetap membangun

tembok-tembok yang sukar ditembus untuk melindungi pasar mereka.

Seperti diingatkan oleh Derry Salim, anggota Textile Advisory Committee

“Dalam era perdagangan bebas saat ini, Pemerintah RI agar lebih berhati-hati menjalin hubungan dagang dengan negara-negara besar, apalagi hal itu ditempuh melalui hubungan bilateral. Kondisi tersebut justru membahayakan posisi Indonesia yang sedang berorientasi ekspor.

Kita tidak mungkin menghadapi masalah hubungan perdagangan dengan negara-negara besar seperti Amerika Serikat atas dasar perjanjian bilateral. Jelas posisi kita lemah, soalnya mereka bisa bertindak unilateral. Sebaiknya pemerintah tetap berpegang pada prinsip multilateral sesuai kesepakatan GATT.” 71

Keadaan seperti ini sulit diatasi dengan sistim GATT sebelum Putaran Uruguay.

Mungkin proteksi yang diterapkan negara ma.ju tidak tercakup dalam

kesepakatan-kesepakatan yang ada saat itu. Bisa juga terjadi karena suatu negara tidak

meratifikasi suatu kesepakatan bidang tertentu sehingga tidak terikat dengan ketentuan

perdagangan yang mengatur bidang tersebut, mengingat sistim ratifikasi sebelum Putaran

Uruguay adalah bersifat a la carte. Dengan semakin komprehensifnya ketentuan

perdagangan multilateral versi Putaran Uruguay, maka negara-negara berkembang dapat

menuntut ke WTO setiap tindakan negara maju yang bertentangan dengan kesepakatan

Putaran Uruguay.72

70 “Pengantar Musyawarah Fraksi Partai Demokrasi Indonesia dalam Rapat Kerja DPR RI tanggal 30

September 1994”, Catatan Rapat Kerja DPR RI dengan Menteri Luar Negeri, Menteri Perdagangan dan Menteri

Kehakiman, jumat, 30 September 1994, Hal. 18-19. 71 “Ambivalensi RI dalam Membuka Pasar Merugikan Swasta”, Harian Bisnis Indonesia, 15 Juli 1994. 72 Keterangan Pemerinlah pada Rapat Pleno Komisi I DPR RI, Catatan Rapat Komisi I DPR RI tanggal

7 Oktober 1994, Hal.24.

48

Page 52: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

Upaya yang diperlihatkan oleh Pemerintah Indonesia dalam partisipasinya dalam

perundingan perdagangan internasional guna memperbaiki tatanan ekonomi dunia yang lebih

menguntungkan sebenarnya merupakan pandangan yang umum dalam politik perdagangan

luar negeri di negara-negara berkembang. Negara-negara berkembang menyadari bahwa

sistim hubungan ekonomi internasional yang terjadi saat sekarang ini ternyata lebih banyak

memberikan keuntungan kepada negara maju dan telah menyebabkan ketergantungan

ekonomi negara berkembang sehingga menciptakan kesenjangan yang semakin lebar.

Usaha-usaha untuk memperbaiki tatanan perekonomian internasional, termasuk di dalamnva

tatanan perdagangan dan investasi sudah sejak lama dilakukan oleh negara-negara

berkembang dengan dukungan PBB dalam bentuk persetujuan PBB untuk membentuk Tata

Ekonomi Dunia Baru. Tujuannya adalah untuk merombak ketidak adilan dalam sistim

perekonomian internasional.73

Namun pengalaman menunjukkan bahwa usaha tersebut sulit dilakukan, terutama

dikarenakan kemauan politik negara maju yang memang tidak menghendakinya. Perbedaan

persepsi yang tajam antara negara maju dan negara berkembang dalam memandang Tata

Ekonomi Dunia Baru sulit dipertemukan. 74 Secara politis Putaran Uruguay merupakan

upaya untuk melanjutkan pembentukan Tata Ekonomi Dunia Baru, meskipun dalam wilayah

kegiatan ekonomi yang relatif kecil, yakni perdagangan.

73 Hasim Djalil, Politik Luar Negeri Indonesia dalam Dasa Warsa 1990, CSIS, Jakarta. 1997. Hal.45

74 Ibid., Hal. 45 .

49

Page 53: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

3.2. Penyesuian Peraturan di Indonesia

Sebagai negara anggota WTO yang terikat dengan Agreement on TRIMs, sebenarnya

Pemerintah Indonesia telah memperlihatkan komitmennya sesuai Agreement on TRIMs

dengan menyerahkan daftar peraturan-peraturan nasionalnya yang mengandung persyaratan

penanaman modal yang potensial melanggar Agreement on TRIMs kepada Komite TRIM's

WTO pada tanggal 23 Mei 1995.

Secara garis besar peraturan yang dinotifikasi tersebut antara lain seperti diuraikan pada

Tabel I berikut ini :

Tabel - 1

Pemberitahuan TRIM's oleh Pemerintah Indonesia

sumber : Pemberitahuan Pemerintah Indonesia mengenai TRIM's, 23 Mei 1995 (dikutip dalam Departemen Luar Negeri

Indonesia, Pembentukan Wilayah Penanaman modal ASEAN

dan Implikasinya Bagi Indonesia, Jakarta, 1996. hlm. 96)

50

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

Page 54: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

Dengan komitmen tersebut Indonesia memiliki kewajiban untuk menghapuskan,

persyaratan-persyaratan tersebut secara bertahap sampai tahun 2000 sesuai ketentuan Article

5.(1) dan (2) Agreement on TRIMs. Dengan dilaksanakannya notifikasi tersebut, maka

penerapan pembatasan-pembatasan yang demikian akan terhindar dari legal action yang

dapat diajukan oleh negara anggota lainnya, sepanjang tidak dilakukan perubahan

persyaratan tersebut selama masa peralihan.75

Persyaratan pemakaian komponen tertentu buatan dalam negeri di Indonesia

dltempatkan dalam deregulasi investasi tahun 1993. Persyaratan kandungan lokal tidak saja

pada bidang otomotif, tapi juga pada sektor utility boilers. Instruksi Presiden No. 54 Tahun

1993 tanggal 10 Juni 1993 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup Bagi Penanaman

Modal menetapkan persyaratan penggunaan kandungan lokal pada dua sektor usaha tersebut

sebagai syarat yang harus dipenuhi untuk dapat menanamkan modal. Khusus untuk sektor

otomotif kebijakan kandungan lokal dikombinasikan dengan penurunan tariff bea masuk.

Untuk menunjang program tersebut Pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan

RI No. 645/KMK.01/1993 tentang Keringanan Bea Masuk terhadap Impor Bagian Tertentu

Kenderaan Bermotor untuk Tujuan Perakitan dan atau Pembuatan Kenderaan Bermotor.

Besarnya tarif bea masuk komponen impor sangat bervariasi, ditentukan oleh besarnya

persentase kandungan lokal yang dipergunakan oleh perusahaan dalam proses produksi.

Semakin besar jumlah kandungan lokal yang dipergunakan. maka akan semakin kecil tariff

bea masuk yang dikenakan.

75 Article 5.4 Agreement on TRIM's

51

Page 55: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Ketentuan pengenaan tariff yang dikaitkan dengan komponen lokal sesuai Keputusan

Menteri Keuangan RI No. 645/KMK.01/1993 dapat digambarkan pada Tabel 2 berikut :

Tabel - 2

Pengenaan Tariff Bea Masuk Komponen Impor Otomotif Berdasarkan Persentasi

Penggunaan Kandungan Lokal Tahun 1993

52

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

Page 56: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Sumber : Pasal 2 dan 3 Keputusan Menteri Keuangan Rl No. 645/KMK.01/1993 tentang

Keringanan Bea Masuk terhadap Impor Bagian Tertentu Kenderaan Bermotor untuk Tujuan

Perakitan dan atau Pembuatan Kenderaan Bermotor.

Kebijaksanaan ini dikeluarkan pada saat menjelang rampungnya Putaran Uruguay,

pada saat dimana Agreement on TRIM's, termasuk di dalamnya pelarangan kebijakan local

content, sedang diperdebatkan oleh kelompok negara maju dan negara sedang berkembang.

Kelihatannya bahwa Pemerintah memainkan safety measures dengan memperbaiki

kebijakan kandungan lokal. Jika perundingan yang diperjuangkan oleh negara sedang

berkembang untuk menolak local content requirement berhasil, maka kebijakan kandungan

lokal tersebut di atas ini tidak akan menjadi persoalan. Namun, apabila seandainya

perundingan tetap mencantumkan larangan local content requirement, maka kebijaksanaan

kandungan lokal tersebut masih dapat menikmati masa transisi selama lima tahun setelah

dilakukan notifikasi.76 Dapat dikatakan bahwa Paket Deregulasi Investasi 1993 ini

merupakan langkah antisipasi terhadap hasil perundingan di bidang perdagangan yang

terkait dengan peraturan penanaman modal (TRIMs).

Di luar sektor otomotif, langkah antisipatif lain dilakukan dalam sektor industri

produksi kue kacang kedelai dan susu segar. Melalui Keputusan Menteri Perdagangan No.

126/KP/VI/1994 dikeluarkan persyaratan rasio 7 : 3 antara

76 Article 5.2 Agreement on Trade Related Investment Measures menetapkan bahwa negara anggota

yang tergolong negara berkembang harus menghapuskan semua TRIMs yang telah dinotifikasi dalam waktu

lima tahun terhitung sejak Persetujuan Pembentukan WTO berlaku secara efektif (1 Januari 1995)

53

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

Page 57: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

kacang kedelai impor dengan produksi domestik dalam pembuatan kue kacang kedelai dan

melalui Kepmendag No. 58/KP/IV/1995 diberlakukan persyaratan rasio 1 : 2,25 antara

produksi domestik dengan impor susu segar. 77

Setelah rampungnya perundingan Agreement on TRIMs yang kemudian melarang

persyaratan kandungan lokal pemerintah RI melakukan notifikasi terhadap TRIMs yang

terkandung dalam peraturan perundang-undangannya, antara lain Inpres No. 54 Tahun 1993,

Keputusan Menteri Keuangan No.645/KMK.01 /1993, Keputusan Menteri Perdagangan No.

126/KP/VI/1994 dan Keputusan Menteri Perdagangan No. 58/KP/IV/1995 tersebut di atas.

Dengan demikian berdasarkan Article 5.2 Agreement on TRIMs (Persetujuan tentang

Perdagangan yang Terkait dengan Peraturan Penanaman Modal) kebijaksanaan kandungan

lokal yang terkandung dalam semua peraturan tersebut harus sudah dihapuskan pada akhir

tahun 2000.

Penyesuian peraturan sebagai pelaksanaan kewajiban Indonesia berdasarkan

Agreement TRIM.s dilakukan pasca Putusan Panel Penyelesaian Sengketa WTO atas kasus

Mobil Nasional, yang memutuskan kebijakan mobnas tidak konsisten dengan Article III

GATT tentang national treatment.

Sebagai respon Indonesia terhadap keputusan Panel, maka pada 21 Januari 1998

dikeluarkan Keppres No. 20 Tahun 1998 tentang Pencabutan Keppres No. 42 Tahun 1996

tentang Pembangunan Mobil Nasional. Maka sejak saat itu, tidak adalagi persyaratan

investasi sektor otomotif khususnya yang dikaitkan dengan penggunaan kandungan lokal.

77 Kebijaksanaan susu segar, Kepmendag No. 58/KP/IV/1995 diterbitkan bulan April 1995 dan

notifikasi dilakukan pada tanggai 23 Mei 1995.

54

Page 58: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

Sebagai pengganti kebijakan otomotif nasional, Pemerintah mengeluarkan Paket

Kebijaksanaan Pemerintah tentang Otomotif Tahun 1999. Jika sebelumnya perubahan

kebijakan lebih dikarenakan untuk memanfaatkan peluang terbukanya pasar, maka perubahan

kebijakan otomotif pada tahun 1999 lebih dikarenakan desakan internasional. Dalam Siaran

Pers Pemerintah pada bulan Juni 1999 dicantumkan beberapa faktor eksternal sebagai latar

belakang perubahan kebijakan, antara lain Letter if Intent antara RI dan IMF yang

mengharuskan dihapuskannya program-program subsidi tertentu, termasuk di dalamnya

subsidi untuk program mobil nasional (kebijakan otomotif 1996) dan subsidi pajak yang

dikaitkan dengan tingkat kandungan lokal (kebijakan otomotif tahun 1993) ; putusan DSB

WTO tentang kebijakan otomotif nasional tahun 1996 (mobil nasional) yang mewajibkan

dihapuskannya persyaratan kandungan lokal ; dan desakan liberalisasi regional yang

menuntut secara mutlak dilakukannya efesiensi dan daya saing industri otomotif nasional.78

Paket kebijaksanaan otomotif 1999 ini terdiri dari satu peraturan pemerintah79 dua

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangang80 dan enam Surat Keputusan Menteri

Keuangan RI.81. Jika dilihat secara keseluruhan paket

78 Siaran Pers Paket Kebijaksanaan Industri Otomotif 1999, Departemen Perindustrian dan

Pardagangan, 24 Juni 1999, Hal. 1-2 79 PP No. 59 Tahun 1999 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 11 Tahun 1994,

80 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 275/MPP/Kep/6/1999 tentang lndustri Kenderaan Bermotor, dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 276/MPP/Kep/6/1999 tentang Pendaftaran Tipe dan Varian Kenderaan Bermotor.

81 Keputusan Menteri Keuangan RI No. 344/KMK.01/1999 tentang Ketentuan Umum Menginterpretasi pada Harmonized System, Keputusan Menteri Keuangan RI No. 345/KMK.01/1999 tentang Pembebasan Bea Masuk atas Impor Bahan Baku untuk Pembuatan Komponen Kenderaan Bermotor, Keputusan Menteri Keuangan R1 No. 345/KMK.01/1999 tentang Pembebasan Bea Masuk atas Impor Barang dan Bahan untuk Pembuatan Komponen, Peralatan, dan Karoseri Kenderaan Bermotor Khusus, Keputusan Menteri Keuangan RI No. 347/KMK.01/1999 tentang Pembebasan Bea Masuk atas Impor Barang dan atau Bahan dari Gudang Berikat untuk Diolah, Dirakit atau Dipasang pada Barang Lain untuk Pembuatan Kenderaan Bermotor dengan Tujuan Ekspor, Keputusan Menteri Keuangan RI No. 348/KMK.01/1999 tentang Macam dan Jenis Kenderaan Bermotor yang Dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Keputusan Menteri Keuangan RI No. 349/KMK.01/1999 tentang Perubahan Keputusan Menteri Keuangan No. 291/KMK.05/1997 tentang Kawasan Berikat sebagaimana Telah Diubah Terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 292/KMK.01 / 1998.

55

Page 59: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

ini, maka strategi yang dipilih untuk meningkatkan industri otomotif di dalam negeri adalah

memberikan kernudahan impor komponen dan bahan baku dengan cara menurunkan dan

membebaskan tariff bea masuk dan relaksasi tata niaga serta penurunan PPn BM. Secara

teoritis penurunan bea masuk dan PPn BM akan mengurangi beban industri dalam negeri

baik dari segi faktor ongkos produksi dan kemudahan memperoleh bahan baku dalam

pembuatan komponen. Dengan demikian daya saing komponen dalam negeri akan

meningkat, karena harga yang relatif turun. Hanya dengan cara demikianlah komponen

dalarn negeri memungkinkan untuk dipakai pembuatan kenderaan bermotor, karena

persyaratan penggunaan kandungan lokal sudah tidak dimungkinkan.

Yang patut diperhatikan dan yang selalu menjadi masalah klasik adalah konsistensi

dalam pelaksanaan peraturan, karena apabila tidak, maka akan sangat rentan terjadinya

perilaku administrator yang menyimpang dan birokrasi yang terlalu rumit. Pada akhirnya,

memang biaya produksi menjadi lebih murah karena harga bahan baku yang turun akibat

pembebasan bea masuk, akan tetapi persyaratan-persyaratan administratif yang tidak

transparan mengakibatkan pungutan-pungutan tidak resmi menjadi besar. Pasar akan tetap

terbebani, karena produsen akan tetap akan menghitung pungutan-pungutan tersebut menjadi

biaya produksi.

Penyesuaian juga dilakukan terhadap daftar negatif investasi. Keputusan Presiden No.

96 Tahun 2000 yang disempumakan dengan Keputusan Presiden No. 118 Tahun 2000 telah

menghapuskan persyaratan kandungan lokal dalam memperoleh persetujuan investasi.

56

Page 60: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pemerintah telah melakukan

penyesuaian peraturan-peraturan yang mengandung TRIMs.Tampaknya pemerintah telah

melakukan langkah antisipasi lebih awal, mengingat bahwa perundingan lebih lanjut tentang

kebijakan investasi di WTO da.pat mengarah pada dilarangnya kebijakan yang menghambat

masuk modalnya asing, termasuk persyaratan ekspor dan divestasi. Meskipun di sisi lain

Pemerintah menyatakan menolak adanya perundingan tentang kebijakan investasi secara

komprehensif, karena hal ini merupakan urusan dalam negeri suatu negara dan menyangkut

masalah kedaulatan negara. Ketergantungan negara ini terhadap modal asinglah yang

terutama menyebabkan pergesaran kebijakan tersebut.

3.3. Belum Ada Kewajiban Hukum untuk Menyesuaikan Semua Bentuk Persyaratan

Penanaman Modal

Performance requirement yang dikenakan terhadap pemodal asing dalam rejim

hukum pemanaman modal asing di Indonesia sebenamya tidak saja terbatas pada persyaratan

local content requirement dan trade balancing policy, akan tetapi masih terdapat beberapa

bentuk lain dari performance requirement, seperti pembatasan bidang usaha, pembatasan

pemilikan saham oleh pihak asing, persyaratan alih teknologi, kewajiban rnengutamakan

tenaga kerja domestik atau pembatasan penggunaan tenaga kerja asing, kewajiban divestasi

dan lain sebagainya. Namun meskipun demikian sampai saat ini belum ada kewajiban yang

mengikat secara hukum untuk menghapuskan pembatasan-pembatasan yang demikian dalam

forum WTO, kecuali yang sudah ditetapkan dalamAgreement on TRIMs.

Oleh karena Agreement on TRIMs tersebut lingkup berlakunya hanya terbatas pada

persyaratan-persyaratan tertentu saja, sebagaimana dijelaskan di atas, maka terhadap

performance requirement lainnya masih dibenarkan untuk diterapkan oleh negara-negara

host country.

57

Page 61: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

General Agreement on Trade in Services (GATS), mengandung sejumlah larangan

dalam persyaratan investasi asing yang terkait dengan bentuk investasi commercial presence,

akan tetapi keberlakuan Kesepakatan ini tidak otomatis menyebabkan negara-negara

menghapuskan kebijakan investasi yang tidak konsisten dengan GATS karena keberlakuan

GATS dibatasi oleh specific of commitment yang diberikan oleh negara-negara peratifikasi.

Jadi, sejauh suatu negara belum memberikan komitmen khusus untuk menghapuskan

performance requirement, maka negara yang bersangkutan masih dibenarkan untuk

menerapkan kebijakan/ persyaratan pembatasan yang demikian. Sistim specific of

commitment dalam kesepakatan investasi asing secara komprehensif juga diterapkan dalam

Asia Pacific Economic Cooperation (APEC).

Dalam lingkup bilateral (ASEAN Free Trade Area), dikenal pula ASEAN Investment

Agreement yang juga menuntut adanya perlakuan sama dan penghapusan performance

requirement yang lebih luas dari Agreement on TRIMs, namun meskipun demikian

kesepakatan ini terbatas pada negara-negara sekawasan, Jadi, performance requirement (di

luar ketentuan ,Agreement on TRIMs), masih dapat dikenakan pada negara-negara

non-AFTA.

Saat ini telah ada upaya secara multilateral untuk menciptakan sebuah rejim hukum

investasi multilateral yang komperehensif. Pengaturan investasi tidak saja akan meliputi

ketentuan performance requirement, tetapi juga masalah-masalah lainnya dalam kebijakan

investasi asing suatu negara. Perundingan ini kemungkinan dapat menertibkan semua bentuk

persyaratan penanaman modal, akan tetapi sampai saat ini perundingan tersebut belum

mencapai kesepakatan karena perbedaan pandangan dan kepentingan yang sangat dalam

antara negara-negara home country atau negara donor ( umumnya adalah negara-negara

maju dengan negara-negara host country atau negara recipient (umumnya adalah negara

sedang berkembang).

58

Page 62: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan uraian-uraian pada bab-bab terdahulu, selanjutnya dapat dirumuskan

kesimpulan sebagai berikut :

1. Kesepakatan Perdagangan yang Terkait dengan Peraturan Penanaman Modal

(Agreement on TRIMs), memperlihatkan bahwa hukum tentang investasi (asing) memiliki

kaitan erat dengan hukum perdagangan internasional. Dengan demikian hak untuk

menentukan sendiri kebijakan investasi asing yang selama ini dipandang sebagai

kedaulatan absolut suatu negara akan mengalami pergeseran, karena adanya sejumlah

pembatasan terhadap kedaulatan negara untuk menentukan pilihan dalam kebijakan

investasi asing.

Keterkaitan antara dua disiplin hukum tersebut di atas, didasarkan pada pertimbangan

bahwa adakalanya pelaksanaan kedaulatan negara host country untuk menerapkan

kebijakan investasi asing melalui persyaratan-persyaratan penanaman modal, adakalanya

menghambat arus perdagangan bebas barang dan jasa yang telah disepakati dalam

sejumlah kesepakatan internasional di bawah rejim WTO. Parameter yang dipergunakan

dalam menghubungkan kedua disiplin hukum tersebut di atas dalam Agreement on

TRIMs adalah sejauh mana persyaratan penanaman modal yang diterapkan suatu negara

mengakibatkan dampak diskriminatif terhadap barang-barang impor atau memberikan

perlakuan khusus yang lebih baik terhadap barang domestik dan sejauh mana persyaratan

investasi tersebut oleh negara host country diperpunakan sebagai bentuk hambatan

quantitative terhadap barang impor. Sehingga dihasilkan bentuk-bentuk performance

requirement yang dipandang tidak konsisten dengan Article III.4 dan IX.1 GATT seperti

local content requirement, trade balancing policy ,foreign exchange limitation, dan

export restriction.

Dengan demikian, sasaran dari pendisiplinan performance requirement yang

dicantumkan dalam Agreement on TRIMs adalah untuk mencapai iklim perdagangan

dan investasi internasional yang terprediksi, tidak terdistorsi, dan transparan.

59

Page 63: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

2. Pada dasarnya perguangan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, pada saat

berlangsungnya perundingan Agreement on TRIMs telah mencapai kemajuan yang cukup

signifikan. Dengan kerjasama yang semakin kuat, negara-negara berkembang dapat

mengatasi keinginan negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada dan Jepang yang lebih

menginginkan agar perundingan tentang TRIMs ditujukan untuk mengatur semua bentuk

performance requirement.

Namun meskipun demikian, ratifikasi dengan single undertaking tidak

memungkinkan bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia untuk menolak hasil

perundingan yang menghasilkan Agreement on TRIMs. Negara-negara berkembang dapat

dikatakan telah memanfaatkan sistim single undertaking secara lebih baik. Alasannya,

karena penolakan terhadap Agreement on TRIMs sebagai salah satu paket dalam final act

of Uruguay Round memiliki konsekuensi tertundanya implementasi hasil perundingan

perdagangan lainnya yang justru negara-negara berkembang memiliki kepentingan yang

lebih besar. Oleh karena itu, pertimbangan tentang keuntungan dari perluasan akses pasar

dan perbedaan tingkat pengenaan tariff serta upaya melindungi diri dari tindakan

unilateral negara-negara maju untuk menerima Agreement on TRIMs adalah sejumlah

pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan.

3. Terkait dengan kewajiban hukum berdasarkan Agreement on TRlMs, Pemerintah

Indonesia telah melakukan penyesuian peraturan perundang-undangan nasional.

khususnya kebijakan penanaman modal yang mengandung performance requirement

dalam bentuk local content requirement dan trade balancing policy. Diharapkan

dengan penyesuian tersebut, iklim investasi di Indonesia dapat lebih menarik minat

investor asing untuk mengisi kekurangan dana investasi pembangunan nasional.

60

Page 64: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

Namun meskipun demikian, penyesuian lebih lanjut terhadap performance

requirement lainnya di luar kewajiban berdasarkan Agreement on TRIMs, seperti

pembatasan bidang usaha, pembatasan penguasaan saham, kewajiban alih teknologi,

pembatasan penggunaan tenaga asing, dan persyaratan lainnya, harus benar-benar

dipertimbangkan berdasarkan kepentingan pencapaian sasaran pembangunan nasional.

Apalagi mengingat sampai saat ini belum ada piranti hukum investasi maupun

perdagangan internasional yang melarang kebijakan yang demikian.

Berdasarkan uraian-uraian terdahulu dan memperhatikan sejumlah kesimpulan diatas,

perlu dirumuskan saran-saran sebagai berikut :

1. Negara-negara berkembang harus lebih mempererat kerjasama dalam menghadapi

perundingan perdagangan multilateral, khususnya menyangkut masalah kebijakan

investasi. Mengingat bahwa Agreement on TRIMs masih dimungkinkan untuk ditinjau

kembali dan dilengkapi dengan Persetujuan di Bidang Penanaman Modal (Multilateral

Agreement on Investment). Negara sedang berkembang secara individual akan lebih sulit

menghadapi tekanan negara-negara maju dalam setiap perundingan. Berbeda halnya jika

negara-negara berkembang yang jumlahnya mayoritas bersatu memperjuangkan

kepentingannya.

Di sisi lain, WTO juga sebaiknya harus memperhatikan secara proporsional

pencapaian tujuan liberalisasi perdagangan dan investasi dengan kepentingan negara

berkembang dan terbelakang dalam upaya mereka mencapai sasaran-sasaran

pembangunan yang sesuai dengan kondisi ekonomi negara-negara tesebut.

Kecenderungan WTO sebagai alat bagi negara maju untuk memaksakan kepentingan

mereka harus dihindarkan, karena jika tidak maka WTO akan mengalami kesulitan

melaksanakan program-programnya disebabkan akan terjadinya krisis kepercayaan dari

negara-negara berkembang yang justru jumlahnya mayoritas. Keadaan seperti lambat laun

dapat mengakibatkan terjadinya krisis legitimasi terhadap WTO.

61

Page 65: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

2. Kajian-kajian yang lebih mendalam terhadap WTO dan semua sektor perundingannya

harus lebih ditingkatkan, agar Pemerintah, mendapatkan masukan yang lebih luas dalam

menentukan sikap pada setiap perundingan. Perkembangan-perkembangan perundingan

perdagangan multilateral harus terus diikuti agar dapat diantisipasi secara lebih dini

berbagai kemungkinan dan dapat diidentifikasi sejumlah peluang-peluang ekonomis yang

dapat dimanfaatkan untuk mendukung percepatan pencapaian sasaran pembangunan

nasional. Dalam melaksanakan langkah tersebut, kepentingan nasional Negara Kesatuan

Republik Indonesia haruslah tetap menjadi kerangka acuan utama.

3. Dalam menghadapi perundingan lebih lanjut yang kemungkinan akan mengarah pada

pembentukan rejim tunggal investasi internasional, maka kepada negara-negara

berkembang, termasuk Indonesia, harus tetap memperjuangkan terbukanya ruang bagi

pemerintah host country untuk menentukan pilihan kebijakan penanaman modal asing

yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan pembangunan dan kondisi ekonomi

negara-negara berkembang dan terbelakang. Hal ini penting mengingat bahwa masalah

investasi asing tidak saja berdimensi perdagangan internasional semata, tetapi lebih luas

lagi menyangkut masalah kebijakan politik, ekonomi secara lebih luas, budaya, dan

dimensi pembangunan. oleh karena itu, menjadikan keterkaitan investasi dan liberalisasi

perdagangan semata sebagai alasan pembentukan rejim investasi multilateral tanpa

mempertimbangkan secara proporsional dimensi pembangunan suatu negara, bukanlah

sebuah pertirnbangan yang tepat bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia.

62

Page 66: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

DAFTAR PUSTAKA

Anders, George, Merchants of Debt, KKR and the Mortagaging of Amerikan Business.

BasicBook, New York. 1993.

Bisnis Indonesia, “Ambivalensi RI dalam Membuka Pasar Merugikan

Swasta”, Harian Bisnis Indonesia, 15 Juli 1994.

Civello, Paul “The TRIM's Agreement : A Filed Attempt at Investment Liberalization”,

Minnesota Journal of Global Trade, 1999.

Canada Administration of the Foreign Investment Review Act, FIRA Panel

Report, Februari 7th 1984.

Curtiss, Catherine and Cameroon, Kathryn, “The United State-Latin American TradeLaws ",

Newyork Journal of International Law, 1995.

Djalil, Hasim, Politik Luar Negeri Indonesia dalam Dasa Warsa 1990, CSIS, Jakarta, 1997.

Ebenstein, William and Fogelman, Edwin, Isme-Isme Dewasa Ini (terjemahan), Edisi

Sembilan, Erlangga, Jakarta, 1990.

Edward, H, Robert, Jr. and Lester- N.Simon, “Toward A More Comprehensif World Trade

Organization ; Agreement on Trade-Related Investment Measures”. Stanford

Journal of International Law. 1997.

EEC, Regulation on Imports of Part and Components, BISD 37S/132, 197,

dikutip dari http://www.wto.org/english/tratop e/dispu e/88scrdvr.wpf

63

Page 67: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

EEC - Regulation on Import of Parts and Component : Report by the Panel

adopted on 16th May 1990, Document L/6657 -37S/132.

Fontheim, G. B., Claude and Gadbaw, R.Micheal, “Trade Related Performance Requirement

under the GATT-MTN System and US Law”, Law and Policy International

Bussiness, 1985.

Hata, Aspek-Aspek Hukum dan Non HukumPerdagangan Internasional dalam Sistem GATT

dan WTO, Bandung, STBH Press, 1998.

Hatta, Mohammad, Dasar Politik Luar Negeri Republik Indonesia, Tinta Mas, Djakarta.

1953.

Jackson, H. John, The World Trading System ; Law and Policy of International Economic

Relations, The MIT Press, Cambridge, Massachusetts, London, England,

1989.

Klenfeld, George and Wengel, Deborah, Foreign Investment, International Law Journal,

Summer, 1996.

Krugman R, Paul dan Obstfeld , Maurice , International Economics ; Theory and Policy

Second edition, 1991.

Long. Oliver, !',ow and Its /,imitation in the (;A77'Ahd1da1era1 Trade ~vs/cin, Martinus

Nijhofl' Publisher, 1987.

Morrisey, et.all, The GATT Agreement on Trade Related Investment Measures: Implications

for Developing Countries and Their Relationship with Transnational

Corporations, The Journal of Development Studies, London, June, 1995, Vol.

31, Iss No. 5.

64

Page 68: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

Mosler, Herman, The International Society as a Legal Community, Sijtihoff & Nordhoff,

USA, 1980.

Pangestu, Marie, “Perjanjian lnternasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan

APEC”, Pertamina - Komite Nasional Indonesia - World Energy Council,

Jakarta, 1996.

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 1999 tentarng

Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah No.50 Tahun 1994 tentang

Pelaksanaan UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang

dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah

Republik Indonesia. Instruksi Presiden No. 2 Tahun 1996

Republik Indonesia, Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.

31/MP/SK/2/ 1996

Republik Indonesia, Keputusan Menteri Perindustnan dan Perdagangan RI

No. 275/MPP/Kep/6/1999 tentang Industri Kenderaan Bermotor.

Republik Indonesia, Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI

No. 276/MPP/Kep/6/1999 tentang Pendaftaran Tipe dan Varian Kenderaan

Bermotor.

Republik Indonesia, Keputusan Menteri Keuangan RI No. 344/KMK.01/1999

tentang Ketentuan Umum Menginterpretasi pada Harmonized System.

Republik Indonesia, Keputusan Menteri Keuangan RI No. 345/KMK.01/l999

tentang Pembebasan Bea Masuk atas Impor Bahan Baku untuk pembuatan

Komponen Kenderaan Bermotor.

65

Page 69: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

Republik Indonesia, Keputusan Menteri Keuangan R1 No. 345/KMK.01/1999

tenting Pembebasan Bea Masuk atas Impor Barang dan Bahan untuk

Pembuatan Komponen, Peralatan, dan Karoseri Kenderaan Bermotor Khusus.

Republik Indonesia, Keputusan Menteri Keuangan RI No. 347/KMK.01/1999

tentang Pembebasan Bea Masuk atas Impor Barang dan atau Bahan dari

Gudang Berikat untuk Diolah, Dirakit atau Dipasang pada Barang Lain untuk

Pembuatan Kenderaan Bermotor dengan Tujuan Ekspor.

Republik Indonesia, Keputusan Menteri Keuangan RI No. 34R/KMK.01/1999

tentang Macam dan Jenis Kenderaan Bermotor yang Dikenakan Pajak

Penjualan atas Barang Mewah.

Republik Indonesia, Keputusan Menteri Keuangan RI No. 349/KMK.01/1999

tentang Perubahan Keputusan Menteri Keuangan No. 291/KMK.05/1997

tentang Kawasan Berikat sebagaimana Telah Diubah Terakhir dengan

Keputusan Menteri Keuangan No. 292/KMK.01/1998.

Rajagukguk, Erman, Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Jilid 2, Universitas

Indonesia, Jakarta, 1995.

Russin et.ll, “Trade Related Investment Measures and Vietnams Law”, US-Vietnam Trade

Council, Education Forum, 2002.

'etnam Tr,

United Nations. The Impact of Trade Related Investment Measures; Theory,

Evidency and Policy Implication; United Nations, New York, 1991.

66

Page 70: DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,

Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006

WT0 Dispute Resolution Panel Report on Indonesia – Certain Measures

Affecting the Automobile Industry, Doc. WT/DS54R,WT/DS55/R,

WT/DS59/R, WT/DS64/R, Dokumen dapat diakses padaWebsite WTO

Http://www.wto.org/english/tratop_e/disput_ e

67