Upload
others
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
DAMPAK PENOLAKAN ITSBAT NIKAH
TERHADAP HAK ANAK (STUDI PUTUSAN PENGADILAN
AGAMA SALATIGA NOMOR : 0077/Pdt.P/2014/PA. SAL)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh
Lilik Setyawan
NIM : 21211003
JURUSAN AHWALAL- SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2015
ii
iii
iv
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
رواه البخا ر ى.خير كم مه تعلم القر ان و علمه
Sebaik-baiknya orang diantara kamu adalah orang yang mempelajari
Al-qur’an dan mengajarkannya.
PERSEMBAHAN
Untuk orang tuaku, para dosenku, saudara saudaraku,
sahabat-sahabatku seperjuangan.
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin,
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala nikmat-
Nya, kesabaran, ketelitian dan ilmunya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul: ” Dampak Penolakan Itsbat Nikah Terhadap Hak Anak (Studi Putusan
Pengadilan Agama Salatiga Nomor : 0077/Pdt.P/2014/PA. SAL)”, untuk memenuhi
salah satu persyaratan dalam menyelesaikan program S-1 Fakultas Syari’ah Jurusan
Ahwal al-Syakhshiyyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
Penulisan skripsi ini tidak akan selesai apabila tanpa ada bantuan dari
berbagai pihak yang telah berkenan meluangkan tenaga, fikiran dan waktunya guna
memberikan bimbingan dan petunjuk yang berharga demi terselesaikannya
pembuatan skripsi ini. Sehingga pada kesempatan ini penulis ingin mengahturkan
terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. Rahmat Heriyadi, M. Pd., Selaku Rektor IAIN Saltiga, yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk dapat melakukan penelitian dan
penyusunan skripsi ini.
2. Ibu Dra. Siti Zumrotun selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga yang telah
memberikan izin kepada penulis untuk menyusun skripsi ini.
vii
3. Bapak Syukron Makmun, M. Si., selaku Ketua Jurusan Ahwal al-Syakhshiyyah
(AS) IAIN Salatiga yang telah memberikan izin kepada penulis untuk menyusun
skripsi ini.
4. Bapak Drs.Machfudz, M. Ag. Selaku dosen pembimbing yang telah memberikan
pengarahan dan bimbingannya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan dengan baik.
5. Bapak Drs. H. Umar Muchlis selaku Ketua Pengadilan Agama Salatiga yang telah
berkenan memberikan izin penulis untuk melakukan penelitiaan di Pengadilan
Agama Salatiga
6. Bapak Drs. Jaenuri, M.H sebagai hakim Pengadilan agama Salatiga yang telah
membantu memberikan informasi dan data-data yang penulis butuhkan.
7. Para Dosen Syari’ah yang banyak memberikan ilmu, arahan serta do’a selama
penulis menuntut ilmu di IAIN Salatiga.
8. Semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu.
Semoga atas bantuan semua pihak yang telah berkontribusi dalam skripsi ini
sebagaimana disebutkan di atas mendapat limpahan berkah dan imbalan yang
setimpal dari Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan Skripsi
ini, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kasempurnaan
tulisan ini serta bertambahnya pengetahuan dan wawasan penulis. Akhir kata penulis
viii
ix
ABSTRAK
Setyawan, Lilik. 2015. Dampak Penolakan Itsbat Nikah Terhadap Hak Anak (Studi
Putusan Pengadilan Agama Salatiga Nomor : 0077/Pdt.P/2014/PA. SAL)
Skripsi. Jurusan Ahwal Al-Shakhshiyyah. Fakultas syari’ah. Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing Drs. Machfudz M, Ag.
Kata kunci : Dampak Penolakan Itsbat Nikah Terhadap Hak Anak
Perkawinan yang tidak dicatatkan adalah perkawinan yang dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya tetapi tidak di catatkan atau
didaftarkan pada kantor urusan agama (KUA) dan kantor catatan sipil. Perkawinan
yang tidak dicatatkan tentunya akan mempunyai akibat hukum. Tujuan yang hendak
dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim
dalam menolak permohonan itsbat nikah nomor : 0077/Pdt.P/2014/PA.SAL dan
dampak penolakan itsbat nikah terhadap hak anak. Dalam penelitian ini penulis
menggunakan metode yuridis normatif yaitu suatu pendekatan untuk menemukan
apakah suatu perbuatan hukum itu sesuai dengan perundangan-undangan yang
berlaku atau tidak. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif yaitu
penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur
analisis stastistik atau cara kuantifikasi lainnya. Teknik pengumpulan data dengan
menggunakan metode observasi,wawancara, dokumentasi dan studi pustaka, sehingga
menghasilkan data deskriptif analisis dari data yang diperoleh dari data tertulis.
Peneliti ini menggunakan data primer penetapan pengadilan agama Salatiga
no. 0077/Pdt.P/2014/PA.SAL dan data sekunder UUP no.1 tahun 1974, Kompilasi
Hukum Islam (KHI), UU no.23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan data
yang bersumber dari buku-buku, peraturan perundang-undangan. Dasar pertimbangan
hakim dalam memutuskan perkara Nomor : 0077/Pdt.P/2014/PA.SAL adalah :
undang-undang perkawinan no.1 tahun 1974 pasal 7 ayat (1) dan (2) yang
menyatakan bahwa perkawinan hanya di izinkan jika pihak pria sudah mencukupi
umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Dalam hal
penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada
pengadilan atau pejabat lain. Sedangkan dampak penolakan itsbat nikah terhadap hak
anak, jika kedua orang tuanya bercerai anak sulit mendapatkan harta gono gini karena
secara hukum pernikahannya dianggap belum pernah terjadi menurut Negara, Istri
dan anak juga tidak berhak atas nafkah dan warisan jika suami meninggal dunia,
Anak kesulitan mendapatkan akta kelahiran sebab orang tuanya tidak mempunyai
akta nikah.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
NOTA PEMBIMBING .................................................................................. ii
PENGESAHAN ............................................................................................. iii
PERNYATAAN KEASLIAN ..................................................................... iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN................................................................ v
KATA PENGANTAR ................................................................................... vi
ABSTRAK ...................................................................................................... ix
DAFTAR ISI ................................................................................................... x
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah....................................................
B. Rumusan Masalah..............................................................
C. Tujuan Penelitian ...............................................................
D. Kegunaan Penelitian ..........................................................
E. Penegasan Istilah ................................................................
F. Kajian Pustaka ...................................................................
G. Metodologi Penelitian ........................................................
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian…………....….…..........
2. Kehadiran Peneliti……………...………………….........
3. Lokasi Penelitian…………..…………………...….........
4. Sumber Data……………...………………….….............
5. Teknik Pengumpulan Data………...………………........
6. Analisis Data……………………..…………..................
7. Pengesahan Keabsahan Data……..…..............................
8. Tahap-Tahap Penelitian…………..……..........................
H. Sistimatika Penulisan ....................................................
1
4
4
4
4
5
10
10
10
11
11
12
13
13
14
14
BAB II : KAJIAN PUSTAKA
A. Gambaran Umum Tentang Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan …………………….................
2. Rukun dan Syarat Perkawinan…………..…….............
3. Hukum Perkawinan……………..…………..................
4. Tujuan Perkawinan……………...………….................
B. Pencatatan Perkawinan
1. Dasar Hukum Pencatatan Perkawinan….......................
2. Instansi Pencatat Perkawinan…………….....................
3. Tujuan Pencatatan Perkawinan…………......................
4. Akibat Hukum Perkawinan Tidak Dicatatkan ..............
16
16
23
24
25
28
28
29
xi
C. Itsbat Nikah
1. Pengertian Itsbat Nikah ................................................
2. Dasar Hukum Itsbat Nikah……………...….................
3. Sebab-Sebab Diajukannya Permohonan Isbat
Nikah…........................................................................
4. Akibat Hukum Itsbat Nikah……….............................
D. Pengertian Anak dan Hak-Hak Anak
1. Pengertian Anak Menurut Islam..................................
2. Hak Anak dalam Hukum Islam...................................
3. Pengertian Anak Menurut Perundang-Undangan.......
4. Hak-Hak Anak Menurut Perundang-Undangan……..
30
30
31
33
33
34
36
37
BAB III : PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A. Profil Pengadilan Agama Salatiga
1. Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Agama
Salatiga………...............................................................
2. Batas Wilayah……………………………....................
3. Tugas Pokok dan Fungsi Pengadilan Agama.…….......
4. Wilayah Yuridiksi Pengadilan Agama Salatiga…..…..
5. Visi dan Misi ……………............................................
6. Struktur Organisasi
B. Prosedur Itsbat Nikah
1. Proses Pengajuan Perkara .………………….…..........
2. Menghadiri Persidangan…………………….…...........
3. Putusan/Penetapan Pengadilan…………………….....
C. Gambaran Perkara Nomor : 0077/Pdt.P/2014/PA.SAL
1. Tentang Duduk Perkaranya…………….….…............
2. Tentang Pertimbangan Hukum…………………….....
39
39
40
41
43
44
44
46
47
47
49
BAB IV : PEMBAHASAN
A. Analisis Penetapan Nomor : 0077/Pdt.P/2014/PA.SAL...…
B. Dampak Yuridis Penolakan Itsbat Nikah
No :0077/Pdt.P/2014/PA.SAL.. ......................................
51
55
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan .........................................................................
B. Saran ...................................................................................
57
59
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………..
LAMPIRAN-LAMPIRAN
60
xii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, perseorangan
maupun kelompok dengan jalan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan
terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai mahkluk yang
berkehormatan. Pergaulan hidup berumah tangga dibina dalam suasana damai,
tentram dan rasa kasih sayang antara suami istri. Anak keturunan dari hasil
perkawinan yang sah menghiasi kehidupan keluarga dan sekaligus merupakan
kelangsungan hidup manusia secara bersih dan berkehormatan (Basyir, 1996:1).
Menurut undang-undang RI nomor 1 tahun 1974 pengertian dan tujuan
perkawinan terdapat dalam satu pasal, yaitu bab 1, pasal 1 menetapkan bahwa
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga(rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Sedangkan perkawinan
menurut hukum islam adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan
hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan
kebahagian hidup keluarga, yang meliputi rasa ketentraman serta kasih sayang
dengan cara yang di ridhai Allah (Basyir, 1996:11). Dalam perkawinan tidak
terlepas dari hak dan kewajiban suami istri, karena perkawinan adalah suatu
lembaga yang luhur di dalam rumah tangga, perkawinan menjadi sarana
2
terbentuknnya keluarga besar yang asalnnya terdiri dari dua keluarga yang tidak
saling mengenal,yakni kelompok keluarga suami dengan kelompok keluarga istri
(Nasution, 2004:19). Perkawinan dalam Islam di pandang sebagai perjanjian,
karena di dasari oleh saling persetujuan antara laki-laki dan perempuan. oleh
karena itu, bisa bubar ketika hak dan kewajiban yang di tetapkan oleh hukum,
tidak di penuhi (Ghazali, 1984:16). Perkawinan adalah salah satu asas pokok
hidup, terutama dalam pergaulan atau bermasyarakat yang sempurna, selain itu
perkawinan juga merupakan suatu pokok utama untuk menyusun masyarakat
kecil, yang nantinya akan menjadi anggota dalam masyarakat yang besar.
Dalam Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1 tentang
perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam
penjelasan pasal 2 disebutkan bahwa dengan perumusan pada pasal 2 ayat (1) ini,
tidak ada perkawinan diluar hukum rnasing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu, sesuai dengan undang-undang perkawinan. Pasal 7 ayat 1
perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan
belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. Ayat 2
dalam hal penyimpangan dalam ayat (1), pasal ini dapat minta dispensasi kepada
pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria atau
pihak wanita.
3
Berdasarkan ketentuan pasal 7 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI)
dan pasal 100 KUH perdata tersebut, adanya suatu perkawinan hanya bisa
dibuktikan dengan akta perkawinan atau akta nikah yang dicatat dalam register.
Bahkan ditegaskan, akta perkawinan atau akta nikah merupakan satu-satunya alat
bukti perkawinan. Dengan perkataan lain, perkawinan yang dicatatkan pada
pegawai pencatat nikah (PPN) kantor urusan agama kecamatan akan diterbitkan
akta nikah atau buku nikah merupakan unsur konstitutif (yang melahirkan)
perkawinan. tanpa akta perkawinan yang dicatat, secara hukum tidak ada atau
belum ada perkawinan. sedangkan menurut undang-undang nomor 1 tahun 1974
tentang perkawinan, akta nikah dan pencatatan perkawinan bukan satu-satunya
alat bukti keberadaan atau keabsahan perkawinan, karena itu walaupun sebagai
alat bukti tetapi bukan sebagai alat bukti yang menentukan sahnya perkawinan,
karena hukum perkawinan agamalah yang menentukan keberadaan dan
keabsahan perkawinan.
Terkait dengan dampak negatif dari maraknya praktek pernikahan siri
terutama perempuan dan anak dengan adanya beberapa kasus, termasuk
diantaranya tentang penolakan itsbat nikah yang diajukan ke pengadilan agama,
maka penulis tertarik untuk mengangkat sebuah penelitian dengan judul
“Dampak Penolakan Itsbat Nikah Terhadap Hak Anak”.
4
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah :
1. Apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam penolakan permohonan
itsbat nikah nomor : 0077/Pdt.P/2014/PA.SAL?
2. Bagaimana dampak penolakan itsbat nikah terhadap hak anak?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam penolakan permohonan
itsbat nikah nomor : 0077/Pdt.P/2014/PA.SAL.
2. Untuk mengetahui dampak penolakan itsbat nikah terhadap hak anak.
3. Untuk Mengetahui kedudukan perkawinan yang itsbat nikahnya di tolak
pengadilan agama.
D. Kegunaan Penelitian
1. Secara akademis untuk memberikan kontribusi keilmuwan dalam bidang
hukum, terutama dalam bidang pernikahan.
2. Secara praktis, skripsi ini diharapkan menjadi sumbangan pemikiran bagi
mahasiswa dan masyarakat umum yang ingin mengetahui masalah hukum
perkawinan khususnya dalam masalah itsbat nikah.
E. Penegasan Istilah
Penulis perlu memperjelas beberapa istilah yang di pakai dalam penelitian
ini. Hal ini penulis maksudkan untuk menghindari terjadinnya kesalah pahaman
terhadap istilah-istilah yang perlu di jelaskan sebagai berikut :
5
1. Itsbat nikah adalah : Pengesahan atas Perkawinan yang telah di langsungkan
menurut syariat agama islam, akan tetapi tidak di catat oleh KUA atau PPN
yang berwenang.
2. Itsbat nikah adalah : Penetapan atau Pengesahan Nikah oleh Pengadilan
Agama (Summa, 2005:287).
3. Dampak : Pengaruh kuat yang mendatangkan akibat.
F. Kajian Pustaka
Untuk mendukung penelitian ini, maka peneliti kemukakan beberapa
penelitian tentang itsbat nikah : Skripsi Maman badruzzaman yang berjudul
Efektivitas itsbat nikah masal dalam meminimalisir terjadinnya pernikahan tanpa
akta nikah (studi kasus di KUA kecamatan karang gampel kecamatan Indramayu
tahun 2008-2012). Rumusan masalah : Apa yang menjadi dasar pertimbangan
hakim dalam penetapan itsbat nikah di kecamatan Indramayu? Bagaimana
keberhasilan itsbat nikah masal dalam mengurangi terjadinya pernikahan tanpa
akta nikah? Hasil penelitian : dasar hukum yang digunakan para hakim
pengadilan agama Indramayu dalam penetapan itsbat nikah adalah kompilasi
hukum islam pasal 7 (3). Program itsbat nikah masal di kabupaten Indramayu
sangat efektif karena dapat membantu pasangan suami istri yang belum
mempunyai akta nikah, dapat mengitsbatkan nikahnya tanpa dipungut biasa.
6
Skripsi Ayuhan yang berjudul : Legalisasi hukum pernikahan siri dengan
itsbat nikah dipengadilan Jakarta pusat. Rumusan masalah : Bagaimana ketentuan
itsbat nikah yang diatur dalam hukum islam dan perundang-undangan?
Bagaimana hasil penetapan majlis hakim pengadilan agama Jakarta pusat dalam
menetapkan itsbat nikah pernikahan siri? Apa yang menjadi dasar dan
pertimbangan hukum pengadilan Jakarta pusat dalam menetapkan perkara itsbat
tersebut?
Hasil penelitian : Adapun ketentuan itsbat nikah yang diatur dalam hukum
islam adalah : pernikahan yang telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat
pernikahan itu sendiri, karena pada hakekatnya rukun dan syarat pernikahan
adalah hal yang penting dalam sebuah pernikahan, sedangkan dalam perundang-
undangan adalah telah sesuai dalam pasal 2 (1-2) undang –undang nomor 1 tahun
1974 tentang perkawinan dan juga pada kompilasi hukum islam pasal 7 ayat (1-
4). Pada kasus ini, hasil penetapan majlis hakim pengadilan agama Jakarta pusat
menetapkan bahwa perkawinan yang di lakukan antara pemohon I dan pemohon
II dapat di itsbatkan dan juga perkawinannya sah karena telah sesuai dengan
rukun dan syarat sahnya pernikahan, maka tidak adanya alasan lagi majlis hakim
pengadilan agama Jakarta pusat untuk tidak menetapkan itsbat nikah tersebut.
Adapun yang menjadi dasar dan pertimbangan hakim pengadilan agama Jakarta
pusat dalam memutuskan perkara itsbat nikah ini adalah sesuai dengan penjelasan
dan ketentuan pasal 49 ayat (2) undang-undang nomor 7 tahun 1989 sebagaimana
telah diubah dengan undang-undang nomor 3 tahun 2006 tentang peradilan
7
agama dan dalam kompilasi hukum islam pasal 7 ayat (3) dan pasal 14 sampai 38
tentang rukun dan syarat perkawinan, oleh karena pertimbangan hukum diatas
maka sudah jelas bagi hakim mengabulkan permohonan itsbat nikah tersebut.
Skripsi Dian Syafrianto yang berjudul : Pelaksanaan Itsbat Nikah
DiPengadilan Agama Semarang Setelah Berlakunnya Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974. Rumusan masalah : Bagaimana prosedur pengajuan itsbat nikah di
pengadilan agama semarang setelah berlakunnya undang-undang nomor 1 tahun
1974? Dasar pertimbangan hakim dalam memberikan putusan atau penetapan
itsbat nikah di pengadilan Semarang? Hasil penelitian : Prosedur pengajuan itsbat
nikah dipengadilan agama Semarang serta dengan menganalisis perkara itsbat
nikah yang masuk disana bahwa secara keseluruhan tahap dan prosedurnya sudah
sesuai dengan hukum acara peradilan agama sebagaimana yang ada di HIR/R.Bg.
dan peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Dasar pertimbangan
pengadilan agama semarang dalam memberikan penetapan itsbat nikah yaitu
dengan melihat dan memeriksa legal standing (kedudukan hukum) pemohon
untuk mengajukan perkara itsbat nikah di pengadilan agama dan fundamentum
petendi (posita) adalah dasar atau dalil gugatan yang berisi tentang peristiwa dan
hubungan hukum itsbat nikah dan alasan atau tujuan dalam pengajuan itsbat
nikah.
Kajian pustaka berfungsi untuk mengetahui sejarah penelitian, membantu
prosedur penyelesaian masalah, memahami latar belakang teori masalah,
8
mengetahui manfaat sebelumnya, menghindari terjadinya duplikat penelitian,
memberikan pembenaran alasan pemilihan masalah penelitian.
Perbedaan skripsi yang terdahulu dengan skripsi ini, skripsi Maman
badruzzaman yang berjudul Efektivitas itsbat nikah masal dalam meminimalisir
terjadinnya pernikahan tanpa akta nikah (studi kasus di KUA kecamatan karang
gampel kecamatan Indramayu tahun 2008-2012). Hasil penelitian : dasar hukum
yang digunakan para hakim pengadilan agama Indramayu dalam penetapan itsbat
nikah adalah kompilasi hukum islam pasal 7 (3). Program itsbat nikah masal di
kabupaten Indramayu sangat efektif karena dapat membantu pasangan suami istri
yang belum mempunyai akta nikah, dapat mengitsbatkan nikahnya tanpa
dipungut biasa.
Skripsi Ayuhan yang berjudul : Legalisasi hukum pernikahan siri dengan
itsbat nikah dipengadilan Jakarta pusat. Hasil penelitian : Adapun ketentuan itsbat
nikah yang diatur dalam hukum islam adalah : pernikahan yang telah memenuhi
rukun-rukun dan syarat-syarat pernikahan itu sendiri, karena pada hakekatnya
rukun dan syarat pernikahan adalah hal yang penting dalam sebuah pernikahan,
sedangkan dalam perundang-undangan adalah telah sesuai dalam pasal 2 (1-2)
undang –undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan juga pada
kompilasi hukum islam pasal 7 ayat (1-4). Pada kasus ini, hasil penetapan majlis
hakim pengadilan agama Jakarta pusat menetapkan bahwa perkawinan yang di
lakukan antara pemohon I dan pemohon II dapat di itsbatkan dan juga
perkawinannya sah karena telah sesuai dengan rukun dan syarat sahnya
9
pernikahan, maka tidak adanya alasan lagi majlis hakim pengadilan agama
Jakarta pusat untuk tidak menetapkan itsbat nikah tersebut. Adapun yang menjadi
dasar dan pertimbangan hakim pengadilan agama Jakarta pusat dalam
memutuskan perkara itsbat nikah ini adalah sesuai dengan penjelasan dan
ketentuan pasal 49 ayat (2) undang-undang nomor 7 tahun 1989 sebagaimana
telah diubah dengan undang-undang nomor 3 tahun 2006 tentang peradilan
agama dan dalam kompilasi hukum islam pasal 7 ayat (3) dan pasal 14 sampai 38
tentang rukun dan syarat perkawinan, oleh karena pertimbangan hukum diatas
maka sudah jelas bagi hakim mengabulkan permohonan itsbat nikah tersebut.
Skripsi Dian Syafrianto yang berjudul : Pelaksanaan Itsbat Nikah
DiPengadilan Agama Semarang Setelah Berlakunnya Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974.Hasil penelitian : Prosedur pengajuan itsbat nikah dipengadilan
agama Semarang serta dengan menganalisis perkara itsbat nikah yang masuk
disana bahwa secara keseluruhan tahap dan prosedurnya sudah sesuai dengan
hukum acara peradilan agama sebagaimana yang ada di HIR/R.Bg. dan peraturan
perundangan-undangan yang berlaku. Dasar pertimbangan pengadilan agama
semarang dalam memberikan penetapan itsbat nikah yaitu dengan melihat dan
memeriksa legal standing (kedudukan hukum) pemohon untuk mengajukan
perkara itsbat nikah di pengadilan agama dan fundamentum petendi (posita)
adalah dasar atau dalil gugatan yang berisi tentang peristiwa dan hubungan
hukum itsbat nikah dan alasan atau tujuan dalam pengajuan itsbat nikah.
10
Dengan demikian skripsi yang saya angkat berbeda dengan skripsi-skripsi
yang dibahas terdahulu, karena skripsi penulis akan membahas tentang Dampak
Penolakan Itsbat Nikah Terhadap Hak Anak (Studi Putusan Pengadilan Agama
Salatiga Nomor : 0077/Pdt.P/2014/PA.SAL).
G. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan yang digunakan penulis adalah pendekatan yuridis
normatif. yaitu suatu pendekatan untuk menemukan apakah suatu perbuatan
hukum itu sesuai dengan perundangan-undangan yang berlaku atau tidak.
Karena dengan pendekatan ini bisa mengetahui semua hal tentang
pelaksanaan isbat nikah di pengadilan agama.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif yaitu
penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan
prosedur analisis stastistik atau cara kuantifikasi lainnya (Maleong, 2008:6).
2. Kehadiran Peneliti
Dalam penelitian ini, penulis bertindak sebagai instrumen sekaligus
menjadi pengumpul data. Instrumen lain yang digunakan perlengkapan tulis
(pensil, bolpoin, penggaris dan buku catatan) serta alat dokumentasi (kamera
dan alat perekam). Kehadiran penulis dilapangan sangat diperlukan, data
lapangan yang diperlukan yaitu penetapan itsbat nikah nomor :
0077/Pdt.P/2014/PA.SAL dan masalah yang berkaitan dengan itsbat nikah.
11
Penulis berperan sebagai partisipan penuh membaur dengan subjek atau
informan. Kehadiran penulis sebagai peneliti diketahui statusnya sebagai
peneliti oleh subjek atau informan.
3. Lokasi Penelitian
Pengadilan agama Salatiga karena masyarakat Salatiga dan sekitarnya
yang beragama Islam mengajukan itsbat nikah di pengadilan tersebut.
4. Sumber Data
a. Data Primer
1) Penetapan pengadilan agama Salatiga No. 0077/Pdt.P/2014/PA.SAL
dan wawancara terhadap hakim, kemudian data itu di analisis dengan
cara menguraikan dan menghubungkan dengan masalah yang dikaji.
b. Data Sekunder
1) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan
2) Kompilasi Hukum Islam (KHI)
3) Undang-undang nomor 23 tahun 2006 tentang administrasi
kependudukan.
4) Data yang diperoleh dari studi kepustakaan (library risearsch) dari
buku-buku literatur dan karangan ilmiah.
12
5. Teknik Pengumpulan Data
a. Observasi
Metode pengumpulan data dengan jalan pengamatan, peninjauan
secara cermat dan penulisan secara langsung untuk melihat dari dekat
kegiatan yang dilakukan (Riduwan, 2004:104).
b. Wawancara
Wawancara ini digunakan untuk memperoleh beberapa jenis data
dengan komunikasi secara langsung mengenai pokok-pokok masalah
tentang itsbat nikah, sasaran wawancara adalah para hakim di Pengadilan
Agama Salatiga.
c. Dokementasi
Mencari data mengenai beberapa hal yang berkaitan dengan itsbat
nikah dari pengadilan agama Salatiga. Metode ini digunakan sebagai
pelengkap dalam memperoleh data.
d. Studi Pustaka
Studi pustaka diperlukan untuk mengkaji beberapa literatur yang
berhubungan dengan masalah yang akan diteliti. Literatur-literatur yang
dimaksud di antaranya bersumber dari al-qur’an, peraturan perundang-
undangan, buku-buku dan literatur lain.
13
6. Analisis Data
Penyusun akan menyusun data yang telah terkumpul secarakualitatif
yang bersifat induktif, yaitu suatu analisis berdasarkan data yang diperoleh,
selanjutnya dikembangkan pola hubungan tertentu atau menjadi hipotesis.
Berdasarkan hepotesis yang dirumuskan berdasarkan data tersebut,
selanjutnya dicarikan data lagi secara berulang-ulang sehingga dapat
disimpulkan apakah hipotesis tersebut diterima atau ditolak berdasrkan data
yang terkumpul. Bila berdasarkan data yang dapat dikumpulkan secara
berulang-ulang dengan teknik triangulasi, teryata hipotesis diterima, maka
hipotesis tersebut berkembang menjadi teori (Sugiyono, 2010:335).
7. Pengecekan Keabsahan Data
Peneliti menggunakan triangulasi sebagai teknik untuk mengecek
keabsahan data, sedangkan pengertian triangulasi adalah teknik pemeriksaan
keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan
hasil wawancara terhadap objek penelitian (Maleong, 2004:330). Untuk
pengecekan keabsahan data, penulis menggunakan cara teknik-teknik
perpanjangan kehadiran peneliti di lapangan, observasi, yang diperdalam,
triangulasi (menggunakan beberapa sumber, metode, peneliti, teori),
pembahasan sejawat, analisis kasus negatif, pelacakan kesesuaian hasil, dan
pengecekan anggota. Selanjutnya perlu dilakukan pengecekan dapat-tidaknya
ditransfer ke latar lain (transferability), ketergantungan pada konteksnya
14
(dependability), dan dapat-tidaknya dikonfirmasikan kepada sumbernya
(confirmability).
8. Tahap-Tahap Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini penulis melakukan penelitian
pendahuluan ke pengadilan agama Salatiga untuk mencari data awal
mengenai kasus itsbat nikah, kemudian penulis melakukan pengembangan
dari data awal tadi, kemudian penulis melakukan penelitian yang sebenarnya
dan menulis hasil laporan tersebut.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika ini terdiri dari lima bab yang saling berkaitan yang dapat
dijelaskan sebagai berikut :
Bab Kesatu :Merupakan Bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan
istilah, kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab Kedua : Dalam bab ini berisi tentang kajian pustaka yang menjelaskan
tentang gambaran umum perkawinan,itsbat nikah,pencatatan perkawinan dan hak-
hak anak dalam perkawinan menurut perundang-undangan.
Bab Ketiga : Dalam bab ini berisi tentang gambaran pengadilan agama
salatiga, gambaran perkara nomor : 0077/Pdt.P/2014/PA.SAL dan dasar
pertimbangan hakim dalam penetapan perkara nomor : 0077/Pdt.P/2014/PA.SAL.
Bab Keempat : Dalam bab ini berisi tentang analisis penetapan
hakimnomor : 0077/Pdt.P/2014/PA.SAL dan dampak yuridis terhadap hak anak.
15
Bab Kelima : Dalam bab ini merupakan penutup yang berisi kesimpulan
dan saran-saran.
Bagian akhir terdiri dari daftar pustaka dan lampiran-lampiran.
16
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Gambaran Umum Tentang Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Perkawinan menurut undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974
ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa (Basyir, 1996:11).
Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 2, perkawinan
menurut hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau
mitssaqan gholidhzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakanya
merupakan ibadah (Summa, 2004:286). Perkawinan dalam literatur fiqih
berbahasa arab disebut dengan dua kata yaitu nikah ( كحن ) dan zawaj ( زواج ).
Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam Al-qur’an dengan arti kawin, seperti
dalam surat annisa ayat (3) :
...
Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap anak yatim, maka
kawinilah perempuan-perempuan lain yang kamu senangi, dua, tiga
atau empat orang, dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil, cukup
satu orang…(Bafadal, Al-qur’an dan Terjemahannya, 2006:99).
17
Demikian pula banyak terdapat kata za-wa-jadalam Al-qur’an dalam
arti kawin, seperti dalam surat al ahzab ayat 37 :
Maka tatkala zaid telah mengakhiri keperluan (menceraikan) istrinnya,
kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi
orang mukmin untuk (mengawini) mantan istri-istri anak angkat
mereka…(Bafadal, Al-qur’an dan Terjemahannya, 2006:598).
Secara arti kata nikah atau zawaj berarti bergabung, hubungan
kelamin, dan juga berarti akad. dalam arti terminologis dalam kitab-kitab fiqih
banyak diartikan akad atau perjanjian yang mengandung maksud
memperbolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafaz na-ka-ha
atau za-wa-ja (Syarifuddin, 2003:74). Perkawinan atau pernikahan dalam
Islam dilakukan atas dasar hubungan yang halal, Sebagaimana dinyatakan
dalam Al-qur’an, merupakan bukti dari kemaha bijaksanaan Allah. dalam
mengatur mahkluknya, firman Allah : (An najm : 45).
Dan bahwasanya dialah yang menciptakan berpasang-pasang pria dan
wanita (Bafadal, Al-qur’an dan Terjemahannya, 2006:766).
Dan diantara tanda-tanda kekuasaannya ialah dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadannya, dan dijadikannya diantaramu rasa kasih
18
dan sayang, sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (ar rum : 21) (Bafadal,
Al-qur’an dan Terjemahannya, 2006:766).
Kedua ayat diatas menyatakan kepada kita bahwa Islam merupakan
ajaran yang menghendaki adannya keseimbangan hidup antara jasmani dan
rohani, antara duniawi dan ukhrawi, antara materiil dan spiritual. oleh sebab
itu selain merupakan sunnatullah yang bersifat kodrati, perkawinan dalam
Islam juga merupakan sunnah Rasul (Saleh, 2008:296).
2. Rukun dan Syarat Perkawinan
Rukun dan syarat adalah hal yang penting dan bila ditinggalkan akan
menyebabkan sesuatu itu tidak sah, demikian halnnya dalam perkawinan.
Perkawinan yang syarat nilai dan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan
rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Rukun adalah unsur
yang melekat pada peristiwa hukum atau perbuatan hukum (misalnya akad
perkawinan), baik dari segi para subjek hukum maupun objek hukum yang
merupakan bagian dari perbuatan hukum atau peristiwa hukum (akad nikah)
ketika peristiwa hukum tersebut berlangung (Djubaidah, 2010:90). Syarat
adalah hal-hal yang melekat pada masing-masing unsur yang menjadi bagian
dari suatu perbuatan hukum atau peristiwa hukum akibat tidak terpenuhinya
syarat adalah tidak dengan sendirinya membatalkan perbuatan hukum atau
peristiwa hukum, namun perbuatan hukum atau peristiwa hukum tersebut
dapat dibatalkan (Djubaidah, 2010:92).
a. Syarat perkawinan menurut UU no 1 tahun 1974 pasal (6) yaitu :
19
1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua mempelai
2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai
umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua
3) Dalam hal salah satu orang dari kedua orang telah meninggal dunia
atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka
izin yang di maksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua
yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan
kehendaknnya
4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu untuk menyatakan kehendaknnya, maka izin diperoleh
dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai
hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka
masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknnya
5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut
dalam ayat (2), (3) dan 4 pasal ini, atau salah seorang atau lebih
diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan
dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan
perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin
setelah lebih dahulu mendengar orang- orang tersebut dalam ayat (2),
(3) dan (4) pasal ini
20
6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu
dari yang bersangkutan tidak menentukan lain (Sudarsono, 2005:3).
b. Menurut KHI pasal 14 rukun dalam perkawinan adalah sebagai berikut :
1) Calon suami
2) Calon istri
3) Wali nikah
4) Dua orang saksi
5) Ijab dan qobul (Summa, 2004:289).
c. Menurut agama Islam
1) Akad nikah
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua
pihak yang berakad dalam bentuk ijab dan qobul. Ijab penyerahan dari
pihak pertama sedangkan qobul adalah penerimaan dari pihak kedua.
Adapun syarat-syarat akad adalah :
a) Akad harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan qobul
b) Materi ijab dan qobul tidak boleh berbeda, seperti nama
perempuan secara lengkap dan bentuk mahar
c) Ijab dan qobul harus diucapkan secara bersambung tanpa terputus-
putus walaupun sesaat,jelas dan terus terang
d) Ijab dan qobul tidak boleh menggunakan lafaz yang mengandung
maksud membatasi perkawinan untuk masa tertentu
21
2) Laki-laki dan perempuan yang kawin
Islam hanya mengakui perkawinan antara laki-laki dan
perempuan dan tidak boleh lain dari itu, seperti sesama laki-laki atau
sesama perempuan, karena ini yang tersebut dalam al-qur’an. Adapun
syarat-syarat yang dipenuhi laki-laki dan perempuan yang akan kawin
ini adalah sebagai berikut :
a) Keduannya jelas keberadaannya, identitasnnya dan beragama
Islam
b) Antara keduanya tidak terlarang melangsungkan perkawinan
c) Keduannya telah mencapai usia yang layak untuk perkawinan
3) Wali
Wali dalam perkawinan adalah seseorang yang bertindak atas
nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. Keberadaan
seorang wali dalam akad nikah suatu yang mesti dan tidak sah akad
perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali. ini adalah pendapat
jumhur ulama. adapun syarat-syarat menjadi wali adalah :
a) Telah dewasa dan berakal sehat dalam arti anak kecil atau orang
gila tidak berhak menjadi wali
b) Laki-laki, muslim, merdeka,adil, tidak dalam pengampuan dan
tidak sedang dalam ihram
22
4) Kerelaan perempuan untuk dinikahkan
Meskipun perempuan waktu akad nikah tidak dapat melakukan
sendiri pernikahannya tetapi dilakukan oleh wali, namun kerelaan
perempuan untuk dinikahkan merupakan suatu keharusan, wali mesti
meminta izin dan kerelaan perempuan yang dinikahkan bila
perempuan itu masih perawan, Sedangkan bila perempuan itu sudah
janda tidak cukup minta izin, tetapi perempuan itu sendiri untuk minta
dinikahkan.
5) Saksi
Akad pernikahan mesti disaksikan oleh dua orang saksi supaya
ada kepastian hukum dan untuk menghindari timbulnnya sanggahan
dari pihak-pihak yang berakad di belakang hari. adapun syarat-syarat
saksi dalam pernikahan adalah sebagai berikut :
a) Saksi itu berjumlah paling kurang dua orang, beragama islam,
merdeka, laki-laki dan dapat mendengar dan melihat
b) Kedua saksi bersifat adil dan tidak pernah melakukan dosa
6) Mahar
Mahar ialah pemberian khusus laki-laki kepada perempuan
yang melangsungkan perkawinan pada waktu akad nikah. Hukum
pemberian mahar itu adalah wajib dengan arti laki-laki yang
23
mengawini seorang perempuan mesti menyerahkan mahar kepada
istrinnya itu (Syarifuddin, 2003:97).
3. Hukum Perkawinan :
a. Wajib
Hukum nikah menjadi wajib bagi seseorang yang memiliki
kemampuan biaya nikah, mampu menegakkan keadilan dalam pergaulan
yang baik dengan istri yang dinikahinya, dan ia mempunyai dugaan kuat
akan melakukan perzinaan apabila tidak menikah (Azzam, 2009:45).
b. Sunnat
Perkawinan hukumnya sunnat bagi orang yang telah berkeinginan
kuat untuk kawin dan telah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan
dan memikul kewajiban-kewajiban dalam perkawinan, tetapi apabila
tidak kawin juga tidak ada kekhawatiran akan berbuat zina (Basyir,
1996:12).
c. Haram
Hukum nikah haram bagi seseorang yang tidak memiliki
kemampuan nafkah nikah dan yakin akan terjadi penganiayaan jika
menikah.
24
d. Makruh
Nikah makruh bagi seseorang yang dalam kondisi campuran,
seseorang mempunyai kemampuan harta biaya nikah dan tidak
dikhawatirkan terjadi maksiat zina, tetapi di khawatirkan terjadi
penganiayaan istri yang tidak sampai ke tingkat yakin (Azzam, 2009:46).
e. Mubah
Perkawinan yang hukumnya mubah bagi orang yang mempunyai
harta, tetapi apabila tidak kawin tidak merasa khawatir akan berbuat zina
dan andaikata kawinpun tidak merasa khawatir akan menyia-nyiakan
kewajibannya terhadap istri. perkawinan dilakukan sekadar untuk
memenuhi syahwat dan kesenangan dan bukan dengan tujuan membina
keluarga dan menjaga keselamatan hidup beragama (Basyir, 1996:14).
4. Tujuan Perkawinan
Tujuan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi petunjuk agama
dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia.
Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga,
sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir batin di sebabkan terpenuhinya
keperluan hidup lahir dan batinnya, sehingga timbullah kebahagiaan, yakni
kasih sayang antar anggota keluarga. Ada beberapa tujuan dari
disyari’atkannya perkawinan atas umat Islam, diantaranya adalah :
a. Untuk mendapatkan anak keturunan bagi melanjutkan generasi yang akan
datang. hal ini terlihat dari surat an nisa ayat (1) :
25
Wahaisekalian manusia bertaqwalah kepada Tuhanmu yang
menjadikanmu kamu dari diri yang satu dari padannya Allah
menjadikan istri-istri dan dari keduannya Allah menjadikan anak
keturunan yang banyak, laki-laki dan perempuan (Bafadal, Al-
qur’an dan Terjemahannya, 2006:99).
b. Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup dan
rasa kasih sayang. Hal ini terlihat dari surat ar rum ayat ( 21) :
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu
rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir
(Bafadal, Al-qur’an dan Terjemahannya, 2006:572).
B. Pencatatan Perkawinan
1. Dasar hukum pencatatan perkawinan
a. Menurutundang-undang nomor 1 tahun 1974:
Pencatatan perkawinan menurut undang-undang nomor 1
tahun 1974 adalah sebagai pencatatan peristiwa penting bukan
sebagai peristiwa hukum. Hal itu dapat dilihat lebih jelas lagi
dalam penjelasan umum pada angka 4 huruf b undang-undang
nomor 1 tahun 1974, seperti kutipan langsung berikut ini : Dalam
26
undang-undang ini di nyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah
bilamana di lakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu, dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus
di catat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku
(Djubaidah, 2010: 215).
b. Menurut UU no. 22 th1946 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk:
Nikah yang dilakukan menurut agama islam, selanjutnya disebut
nikah diawasi oleh pegawai pencatat nikah yang diangkat oleh menteri
agama atau pegawai yang ditunjuk olehnya. Talak dan rujuk yang
dilakukan menurut agama islam selanjutnya disebut talak dan rujuk,
diberitahukan kepada pegawai pencatat nikah. Pasal ini berarti bahwa
nikah, talak dan rujuk menurut agama islam harus dicatat agar mendapat
kepastian hukum dalam negara yang teratur segala sesuatu yang
menyangkut kependudukan seperti kelahiran,kematian dan perkawinan
perlu dicatat agar tidak menjadi kekacauan.
c. Menurut (KHI) : Pencatatan diatur dalam pasal 5 KHI :
1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam setiap
perkawinan harus di catat.
2) Pencatatan perkawinan sebagaimana ayat (1) dilakukan oleh pegawai
pencatat nikah sebagaimana di atur dalam undang undang nomor 22
tahun 1946 jo. Undang-undang nomor 32 nomor 1954.Pasal 5 KHI
27
yang memuat tujuan pencatatan perkawinan adalah agar terjaminnya
ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam, oleh karena itu
perkawinan harus dicatat, merupakan ketentuan lanjutan dari pasal 2
ayat (2) undang-undang nomor 1 tahun 1974 yang pelaksanaannya
dimuat dalam peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975 bab II tentang
pencatatan perkawinan. Pasal 6 KHI merumuskan bahwa :
a) Untuk memenuhi ketentuan pasal 5, setiap perkawinan harus
dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan pegawai
pencatat nikah
b) Perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan pegawai pencatat
nikah tidak mempunyai kekuatan hukum (Djubaidah, 2010:220).
d. Pencatat perkawinan dalam perspektif PP nomor 9 tahun 1975 pasal 3 :
1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan
kehendaknya itu kepada pegawai pencatat ditempat perkawinan akan
dilangsungkan.
2) Pemberian tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnnya 10
(sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
3) Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2)
disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh camat atas
nama bupati kepala daerah.
e. Pencatatan perkawinan dalam undang-undang nomor 23 tahun 2006
tentang administrasi kependudukan :
28
1) Perkawinan yang sah menurut peraturan perundang-undangan wajib di
laporkan oleh penduduk kepada instansi pelaksana dimana tempat
terjadinnya perkawinan yang paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak
tanggal perkawinan.
2) Berdasarkan laporan sebagaimana di maksud pada ayat (1) pejabat
pencatat sipil mencatat pada register akta perkawinan dan menerbitkan
kutipan akta perkawinan.
3) Kutipan akta perkawinan sebagaimana yang di maksud pada ayat (2)
masing-masing diberikan kepada suami dan istri.
4) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi penduduk yang
beragama islam dilakukan olehKUA kecamatan.
5) Data hasil pencatatan peristiwa sebagaimana di maksud pada ayat (4)
dan dalam pasal 8 ayat (2) wajib di sampaikan oleh KUA kecamatan
kepada instansi pelaksana dalam waktu paling lambat 10 (sepuluh
hari) setelah pencatatan perkawinan dilaksanakan.
6) Hasil pencatatan data sebagaimana di maksud pada ayat (5) tidak
memerlukan penerbitan kutipan akta pencatatan sipil.
7) Pada tingkat kecamatan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan pada instansi pelaksana (Djubaidah, 2010: 225).
2. Instansi pencatat perkawinan :
a. Kantor urusan agama kecamatan untuk nikah, talak dan rujuk bagi orang
yang beragama islam.
29
b. Kantor catatan sipil (begerlijk stand) untuk perkawinan non muslim
(Manan, 2006:14).
3. Tujuan pencatatan perkawinan
Pencatatan perkawinan akan memberikan kepastian hukum terkait
dengan hak-hak suami atau istri, kemaslahatan anak maupun dampak lain dari
perkawinan itu sendiri seperti masalah harta, hak-hak anak dalam perkawinan.
Perkawinan yang dilakukan dibawah pengawasan atau dihadapan pegawai
pencatat nikah akan mendapatkan akta nikah sebagai bukti outentik telah
dilangsungkan sebuah perkawinan, jadi akta perkawinan syarat wajib yang
ditetapkan oleh Negara (Nuruddin, 2006:137).
4. Akibat hukum perkawinan tidak dicatatkan :
a. Perkawinan dianggap tidak sah, meskipun perkawinan dilakukan menurut
agama dan kepercayaan, namun dimata Negara perkawinan itu tidak sah,
jika belum dicatatkan di kantor urusan agama dan kantor catatan sipil.
b. Anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu.
Anak yang dilahirkan diluar perkawinan atau perkawinan yang tidak
dicatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibu atau keluarga ibu (pasal 42 dan 43 undang-undang
perkawinan) sedangan hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada.
c. anak dan ibu tidak berhak atas nafkah dan warisan, akibat lebih jauh dari
perkawinan yang tidak dicatat.
30
C. Itsbat Nikah
1. Pengertian Itsbat Nikah
Menurut bahasa itsbat nikah terdiri dari dua kata yaitu kata itsbat yang
merupakan masdar atau asal kata dari atsbata yang memiliki arti menetapkan,
dan kata nikah yang berasal dari kata nakaha yang memiliki arti saling
menikah, dengan demikian kata itsbat nikah memiliki arti yaitu penetapan
pernikahan.Itsbat nikah sebenarnya sudah menjadi istilah dalam Bahasa
Indonesia dengan sedikit revisi yaitu dengan sebutan isbat nikah. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, isbat nikah adalah penetapan tentang
kebenaran (keabsahan) nikah. Itsbat nikah adalah pengesahan atas perkawinan
yang telah dilangsungkan menurut syariat agama Islam, akan tetapi tidak
dicatat oleh KUA atau PPN yang berwenang (Keputusan Ketua Mahkamah
Agung RI Nomor KMA/032/SK/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas
dan Administrasi Pengadilan).
2. Dasar Hukum dari Itsbat Nikah
Pada bab XIII pasal 64 ketentuan peralihan undang-undang
perkawinan yaitu untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubugan
dengan perkawinan yang terjadi sebelum undang-undang ini berlaku yang
dijalankan menurut peraturan lama adalah sah sedangkan dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) buku I, pasal 7, yang terkandung pasal 64 undang-
undang perkawinan no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan tersebut
31
dikualifikasikan sebagai upaya hukum yang disebut itsbat nikah.Seperti
dalam kompilasi hukum islam (KHI) pasal 7 ayat 1 dan 2 menyebutkan :
a. Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh
pegawai pencatat nikah.
b. Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah dapat
diajukan itsbat nikahnya ke pengadilan agama (Summa, 2004:287).
3. Sebab-Sebab diajukannya Permohonan Isbat Nikah
Itsbat nikah yang dilaksanakan oleh pengadilan agama karena
pertimbangan mashlahah bagi umat islam. Itsbat nikah sangat bermanfaat bagi
umat islam untuk mengurus dan mendapatkan hak-haknya yang berupa surat-
surat atau dokumen pribadi yang dibutuhkan dari instansi yang berwenang
serta memberikan jaminan perlindungan kepastian hukum terhadap masing-
masing pasangan suami istri. Adapun sebab-sebab yang melatar belakangi
adanya permohonan itsbat nikah ke PA itu sendiri, dalam praktek, khususnya
di PA pihak-pihak yang mengajukan permohonan itsbat nikah dapat
ditemukan kebanyakannya :
a. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU no 1 th 1974.
Untuk hal ini biasanya dilatar belakangi:
1) Guna untuk mencairkan dana pensiun pada PT. Taspen
2) Untuk penetapan ahli waris dan pembagian harta waris
b. Adanya perkawinan yang terjadi sesudah berlakunya UU no 1 tahun 1974.
Ini biasanya dilatar belakangi (Karena akta nikah hilang) :
32
1) Bisa karena untuk pembuatan akta kelahiran anak
2) Bisa juga digunakan untuk gugat cerai
3) Bisa juga untuk gugat pembagian harta gono-gini
Untuk kasus akta nikah hilang seperti ini, biasanya pihak
pemohon dianjurkan untuk memintakan duplikat kutipan akta nikah
dimana tempat nikahnya itu dilaksanakan, tapi kadangkala ditemukan
juga pihak KUA nya menerangkan perkawinannya tidak terdaftar di
KUA yang bersangkutan tersebut, atau ada juga arsip di KUA nya
telah tidak ditemukan, hal terakhir ini biasanya itsbat nikah yang
dikumulasi dengan gugat cerai. Sedangkan tidak punya akta nikah,
Dalam hal ini kebanyakan diajukan itsbat nikah:
a) Karena sudah nikah dibawah tangan dengan alasan sudah hamil
duluan dan nikah dilangsungkan karena menutupi malu.
b) Karena nikah dibawah tangan sebagai isteri kedua dan belum
dicatatkan
c) Ada juga itsbat nikah yang semata-mata diajukan untuk
memperoleh kepastian hukum dalam status sebagai isteri, yang
pernikahannya dilakukan dibawah tangan, dan ternyata dibalik itu
semua terkandung maksud upaya melegalkan poligami.
33
4. Akibat Hukum Itsbat Nikah
Setelah dikabulkan itsbat nikah, maka yang berkepentingan akan
mendapatkan bukti outentik tentang pernikahannya yang bisa dijadikan
sebagai dasar untuk persoalan di pengadilan agama nantinya. dengan
demikian pencatatan pernikahan merupakan persyaratan formil sahnya
perkawinan, persyaratan formil ini bersifat prosedural dan administratif. Itsbat
nikah punya implikasi memberi jaminan lebih kongkrit secara hukum atas hak
anak jika pasangan suami istri bercerai. Dengan adanya pencatatan
perkawinanmaka eksestensi perkawinan dianggap sah apabila telah memenuhi
dua syarat:
a. Telah memenuhi ketentuan hukum materiil, yaitu telah dilakukan
memenuhi syarat dan rukun menurut hukum Islam.
b. Telah memenuhi ketentuan hukum formil, yaitu telah dicatatkan pada
pegawai pencatat nikah yang berwenang.
D. Pengertian Anak dan Hak-Hak Anak
1. Pengertian Anak Menurut Islam
Menurut ajaran islam, anak adalah amanah allah SWT dan tidak bisa
dianggap sebagai harta benda yang bisa diperlakukan sekehendak hati oleh
orang tuannya. Sebagai amanah anak harus dijaga sebaik mungkin oleh orang
tua yang mengasuhnya. Anak adalah manusia yang memiliki nilai
kemanusiaan yang tidak bisa dihilangkan dengan alasan apapun (Shihab,
2004:614).Salah satu tujuan yang hendak dicapai oleh agama Islam dengan
34
mensyariatkan perkawinan, ialah lahirnya seorang anak sebagai pelanjut
keturunan, bersih keturunannya, jelas bapaknya dengan perkawinan ibunya.
2. Hak Anak dalam Hukum Islam
a. Hak atas suatu nama
Anak berhak mendapatkan nama dan identitas diri dalam islam.
Untuk nama anak, allah telah mengisyaratkan dalam al-qur’an bahwa anak
harus diberi nama allah berfirman dalam(QS. Maryam: 7).
Hai zakaria, sesungguhnya kami memberi kabar gembira
kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya yahya, yang
sebelumnya kami belum pernah menciptakan orang yang serupa
dengan dia(Bafadal, Al-qur’an dan Terjemahannya, 2006:419).
b. Anak berhak atas status dan mengetahui orang tuanya. Allah berfirman
dalam (QS. Al-Ahzab:5)
... ( ه: سورة الأحساب)
Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama
bapak-bapak mereka…” (Bafadal, Al-qur’an dan Terjemahannya,
2006:591).
Bagi anak yang terlahir dalam ikatan perkawinan yang sah tidak
ada ikhtilaf dalam nasab, sedangkan bagi anak yang dilahirkan di luar
ikatan pernikahan terdapat perbedaan di kalangan fuqoha. Perbedaan
tersebut dikarenakan adanya ikhtilaf dalam memahami arti nikah sehingga
berujung terhadap perbedaan memahami teks al-Qur’an dan teks hadis.
35
c. Hak mendapatkan perlindungan
Hak anak yang paling utama adalah pelindungi , pelindungan
disini terutama dari segala situasi dan kondisi yang tidak menguntungkan
yang dapat membuat anak menjadi terlantar atau menjadi manusia yang di
murkai tuhan. Allah berfirman :
Di sanalah Zakaria berdoa kepada tuhan-nya. Dia berkata, Ya
Tuhanku, berilah aku keturunan yang baik dari sisi-mu,
sesungguhnya engkau maha mendengar doa (Q.S. ali imran ayat
38) (Bafadal, Al-qur’an dan Terjemahannya, 2006:68).
d. Hak mendapatkan pendidikan
Setelah masa penyusuan lewat, mulailah tugas orang tua (ayah dan
ibu) untuk mendidik anak , terutama pendidikan agama dan pendidikan
budi pekerti.
e. Hak untuk mendapatkan nafkah dan harta waris
Sesuai dengan aturan yang digariskan Allah. hak nafkah bagi
seorang anak wajib dipenuhi oleh ayahnya ketika ayah dan ibunya
bercerai. Dalam sebuah hadis : Kewajiban orang tua terhadap anaknya
adalah memberi nama yang baik, mengajarkan sopan santun, mengajari
menulis, berenang dan memanah, memberikan nafkah yang baik dan halal
dan mengawinkan bila saatnya tiba (H.R hakim). Hak anak dalam
pandangan Islam memberikan gambaran bahwa tujuan dasar kehidupan
36
umat Islam adalah membangun umat manusia yang memegang teguh
ajaran Islam dengan demikian, hak anak dalam pandangan Islam meliputi
aspek hukum dalam lingkungan hidup seseorang untuk Islam (Juhari,
2003:87).
3. Pengertian Anak Menurut Perundang-Undangan :
Pengertian anak menurut undang-undang nomor 23 tahun 2002
tentang perlindungan anak, Anak adalah : amanah dan karunia tuhan yang
maha esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia
seutuhnnya.Menurut undang-undang nomor 4 tahun 1979 tentang
kesejahteran anak, Anak adalah : potensi serta penerus cita-cita bangsa yang
dasar-dasarnya telah diletakkan oleh generasi sebelumnnya.Menurut UUP
nomor 1 tahun 1974 tentang kedudukan anak yaitu :Pasal 42 ayat (1) Anak
yang sah adalah : anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan
yang sah. Sedangkan pasal 43 ayat (1): anak yang dilahirkan diluar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluar
ibunya (Summa, 2004:240).
Ketentuan dalam undang-undang perkawinan, kelahiran anak tanpa
disertai dengan adanya perkawinan yang sah (anak luar kawin) maka anak
hanya akan memiliki ibu sebagai orang tuannya, sedangkan KUHperdata
menganut prisip yang lebih ekstrim bahwa tanpa pengakuan dari kedua orang
tuannya, maka si anak dapat dipastikan tidak akan memiliki ayah maupun ibu
37
secara yuridis. Seorang anak dilahirkan didunia melalui proses yang panjang
mulai dari adanya pertemuan biologis antara benih dari seorang laki-laki dan
sel telur seorang perempuan sampai terjadinnya proses kehamilan sampai bayi
lahir di dunia, tahapan tersebut akan menentukan status dan kedudukan anak
di hadapan hukum, menurut sudut pandang hukum tahapan proses yang
dilalui sampai terjadinnya kelahiran dapat digolongkan menjadi :
a. jika proses yang dilalui sah (legal), baik menurut hukum agama maupun
hukum negara, maka ketika lahir anak akan menyandang predikat sebagai
anak yang sah
b. jika proses yang dilalui tidak sah (ellegal), baik menurut hukum agama
maupun negara, maka ketika lahir anak akan menyandang predikat
sebagai anak yang tidak sah
4. Hak-Hak Anak Menurut Perundang-Undangan :
a. Menurut undang-undang no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak :
Pasal 4 : Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh,
berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dan diskriminasi.
Hak ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 28B ayat (2) undang-undang
dasar 1945 dan prinsip-prinsip pokok yang dicantumkan dalam konvensi
hak -hak anak.Pasal 5 : Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai
identitas diri dan sebagai status kewarganegaraan sedangkan Pasal 27 :
38
1) Identitas diri anak harus diberikan sejak kelahirannya.
2) Identitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dituangkan dalam
akta kelahiran.
b. Dalam konvensi anak :
Konvensi hak anak terdiri atas 54 pasal (lima puluh empat) pasal
yang berdasarkan materi hukumnya mengatur mengenai hak-hak anak dan
mekanisme implementasi hak anak oleh Negara peserta yang meratifikasi
konvensi hak anak. Materi hukum mengenai hak- hak anak dalam
konvensi hak anak tersebut, dapat dikelompokkan dalam 4 (empat)
kategori hak-hak anak yaitu :
1) hak terdapat kelangsungan hidup : hak-hak anak dalam konvensi hak
anak yang meliputi hak-hak untuk melestarikan dan mempertahankan
hidup dan hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan
perawatan yang sebaik-baiknya.
2) hak terhadap perlindungan yaitu : hak-hak anak dalam konvensi hak
anak yang meliputi hak perlindungan dari diskriminasi, tindak
kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga
bagi anak-anak pengungsi
3) hak untuk tumbuh kembang yaitu hak-hak anak dalam konvensi hak
anak yang meliputi segala bentuk pendidikan (formal dan non formal)
dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan
fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak. (Joni, 1999:35).
39
BAB III
PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A. Profil Pengadilan Agama Salatiga
Jl. Raya lingkar selatan, dusun. Jagalan kelurahan. Cebongan, kecamatan
argomulyo kota salatiga, propinsi jawa tengah 50736. TELP : (0298) 322853
FAX :(0298) 325243 Email : [email protected]
: [email protected] : www.pa-salatiga.go.id
1. Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Agama Salatiga :
a. Staatsblaad tahun 1882 Nomor 152 tentang pembentukan Pengadilan
Agama di Jawa dan Madura.
b. Berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI KMA Nomor 76 tahun 1983
Tanggal 10 Nopember 1983 tentang penetapan perubahan wilayah Hukum
Pengadilan Agama / Mahkamah Syariah Propinsi dan Pengadilan Agama
serta Pengadilan Agama / Mahkamah Syariah
2. Batas Wilayah :
a. Utara : Kecamatan Kedungjati Kab. Grobogan, Kecamatan Bawen
Kab.Semarang
b. Timur : Kecamatan Kedungjati Kab. Grobogan, Kecamatan Karanggede
Kab. Boyolali
40
c. Selatan : Kecamatan Ampel Kab. Boyolali, Kecamatan Ngablak Kab.
Magelang
d. Barat : Kecamatan Banyubiru Kab. Semarang, Kecamatan Ngablak Kab.
Magelang
3. Tugas Pokok dan Fungsi Pengadilan Agama
Pengadilan Agama merupakan salah satu penyelenggara kekuasaan
kehakiman yang memberikan layanan hukum bagi rakyat pencari keadilan
yang beragama islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam
Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 dan Undang-undang
Nomor 50 Tahun 2009. Kekuasaan kehakiman dilingkungan Peradilan Agama
dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang
berpuncak pada Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai Pengadilan
Negara tertinggi. Seluruh pembinaan baik pembinaan teknis peradilan maupun
pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan dilakukan oleh Mahkamah
Agung Republik Indonesia. Pengadilan Agama merupakan Pengadilan
Tingkat Pertama yang bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili
dan memutus perkara-perkara di tingkat pertama di bidang perkawinan,
kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum islam serta
waqaf, zakat, infaq dan shadaqah serta ekonomi Syari’ah sebagaimana di atur
dalam Pasal 49 UU Nomor 50 Tahun 2009. Tugas Pokok Pengadilan Agama
41
a. Menerima, memeriksa, mengadili, menyelesaikan/memutus setiap perkara
yang diajukan kepadanya sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 14
tahun 1970
b. Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
adalah Kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
Peradilan guna menegakkan Hukum dan Keadilan berdasarkan Pancasila,
demi tersenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia
c. Pasal 49 UU Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama diubah
dengan UU Nomor 3 tahun 2006 dan Perubahan kedua Nomor 50 tahun
2009 yang menyebutkan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus dan menyelesaikan Perkara di tingkat Pertama
antara orang-orang yang beragama Islam di bidang Perkawinan, Waris,
Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Infaq, dan Ekonomi Syari’ah serta
Pengangkatan Anak
d. Pasal 52 a menyebutkan Pengadilan Agama memberikan Itsbat Kesaksian
Rukyatul Hilal dan Penentuan Awal bulan pada tahun Hijriyah.
4. Wilayah Yuridiksi Pengadilan Agama Salatiga
Berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI KMA Nomor 76 tahun 1983
Tanggal 10 Nopember 1983 tentang penetapan perubahan wilayah Hukum
Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah Syariah Propinsi serta Pengadilan
42
Agama/Mahkamah Syariah, maka Pengadilan Agama Salatiga memiliki wilayah
yuridiksi sebagai berikut :
a. Kecamatan Sidorejo, terdiri dari 6 kelurahan :
1) Kelurahan Pulutan
2) Kelurahan Blotongan
3) Kelurahan Bugel
4) Kelurahan Salatiga
5) Kelurahan Kauman Kidul
6) Kelurahan Sidorejo Lor
b. Kecamatan Argomulyo, terdiri dari 6 Kelurahan :
1) Kelurahan Cebongan
2) Kelurahan Ledok
3) Kelurahan Tegalrejo
4) Kelurahan Noborejo
5) Kelurahan Kumpulrejo
6) Kelurahan Randuacir
c. Kecamatan Tingkir, terdiri dari 5 Kelurahan :
1) Kelurahan Tingkir Tengah
2) Kelurahan Tingkir Lor
3) Kelurahan Sidorejo Kidul
4) Kelurahan Kutowinangun
43
5) Kelurahan Gendongan
d. Kelurahan Sidomukti, terdiri dari 4 Kelurahan :
1) Kelurahan Dukuh
2) Kelurahan Mangunsari
3) Kelurahan Kalicacing
4) Kelurahan Kecandran
5. Visi dan misi
a. Visi : terwujudnya pengadilan agama Salatigayang agung
b. Misi : meningkatkan kualitas pelayanan di bidanghukum yang prima berbasis
teknologi informasi, meningkatkan kualitas aparatur peradilanagama yang
professional. Meningkatnya martabat dan wibawapengadilan agama Salatiga
44
6. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Salatiga
www.pa-salatiga.go.id
B. Prosedur Itsbat Nikah
1. Proses Pengajuan Perkara
Aturan pengesahan nikah/itsbat nikah, dibuat atas dasar adanya sebuah
peristiwa perkawinan yang dilangsungkan berdasarkan aturan yang ditentukan
oleh agama akan tetapi tidak memenuhi persyaratan yang diatur oleh negara yaitu
45
tidak dicatat oleh PPN yang berwenang.Adapun prosedur dalam permohonan
pengesahan nikah/Itsbat nikah samahalnya dengan prosedur-prosedur pengajuan
perkara perdata yang lain, tata cara berperkara di pengadilan agama yaitu :
a. Daftar dan datang ke kantor pengadilan
b. Mendatangi kantor pengadilan agama di wilayah tempat tinggal yang terdekat
bahwa dirinya ingin mengajukan gugatan atau permohonan gugatan dapat di
ajukan dalam bentuk surat atau secara lisan.
c. Membuat surat permohonan itsbat nikah, mengisi formulir, melampirkan
surat-surat yang diperlukan antara lain keterangan dari KUA bahwa
pernikahannya tidak dicatat
d. Penggugat wajib membayar panjar perkara
e. Panitera mendaftarkan perkara menyampaikan gugatan kepada bagian
berperkara sehingga gugatan secara resmi dapat siterima dan didaftarkan
dalam buku register
f. Setelah didaftarkan gugatan diteruskan kepada ketua pengadilan agama dan
diberi catatan mengenai nomor, tanggal perkara dan di tentukan kapan hari
sidangnnya.
g. Ketua pengadilan agama menentukan majelis hakim yang akan mengadili
dan menentukan hari siding
46
2. Menghadiri Persidangan
Datang ke pengadilan sesuai dengan tanggal dan waktu yang tertera dalam
surat panggilan. untuk datang tepat waktu dan jangan terlambat.Hakim ketua atau
anggota majelis hakim (yang akan memeriksa perkara) memeriksa kelengkapan
surat gugatan, panitera memanggil penggugat dan tergugat dengan membawa
surat panggilan sidang secara patut, semua proses pemeriksaan perkara dicatat
dalam berita acara persidangan (BAP), untuk sidang pertama, bawa serta
dokumen seperti surat panggilan persidangan, fotokopi formulir permohonan
yang telah diisi. Dalam sidang pertama ini hakim akan menanyakan identitas para
pihak misalnya KTP atau kartu identitas lainnya yang asli. Dalam kondisi tertentu
hakim kemungkinan akan melakukan pemeriksaan isi permohonan, untuk sidang
selanjutnya, hakim akan memberitahukan kepada pemohon/termohon yang hadir
dalam sidang kapan tanggal dan waktu sidang berikutnya. Bagi
pemohon/termohon yang tidak hadir dalam sidang,untuk persidangan berikutnya
akan dilakukan pemanggilan ulang kepada yang bersangkutan melalui surat,
untuk sidang kedua dan seterusnya, ada kemungkinan harus mempersiapkan
dokumen dan bukti sesuai dengan permintaan hakim. dalam kondisi tertentu,
hakim akan meminta menghadirkan saksi-saksi yaitu orang yang mengetahui
pernikahan tersebut diantaranya wali nikah dan saksi nikah, atau orang-orang
terdekat yang mengetahui pernikahannya.
47
3. Putusan/Penetapan Pengadilan
Permohonan jika dikabulkan pengadilan akan mengeluarkan putusan atau
penetapan itsbat nikah. Salinan putusan atau penetapan itsbat nikah akan siap
diambil dalam jangka waktu setelah 14 hari dari sidang terakhir. Salinan putusan
atau penetapan itsbat nikah dapat diambil sendiri dikantor pengadilan atau
mewakilkan kepada orang lain dengan surat kuasa. Setelah mendapatkan salinan
putusan atau penetapan tersebut, bisa meminta KUA setempat untuk mencatatkan
pernikahan dengan menunjukkan bukti salinan putusan atau penetapan pengadilan
tersebut.
C. Gambaran Perkara Nomor : 0077/Pdt.P/2014/PA.SAL
1. Tentang Duduk Perkaranya
Pengadilan agama Salatiga yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada
tingkat pertama dalam persidangan Majelis telah menjatuhkan penetapan dalam
perkara itsbat nikah yang di ajukan oleh : Pemohon dengan surat permohonannya
tertanggal 27 oktober 2014 yang terdaftar di kepaniteraan pengadilan agama
Salatiga nomor 0077/Pdt.P/2014/PA.SAL. Pemohon I (laki-laki) umur 17 tahun,
agama islam, pekerjaan buruh harian lepas bertempat tinggal di kota Salatiga dan
pemohon II (perempuan) umur 17 tahun, agama Islam bertempat tinggal di
kabupaten Semarang.
Mereka telah mengajukan hal-hal sebagai berikut : Bahwa mereka telah
melangsungkan pernikahan menurut agama Islam pada tanggal 10 Februari 2014
48
dikabupaten Semarang, dengan wali nikah ayah kandung perempuan tersebut
dengan mahar berupa seperangkat alat sholat dibayar tunai dan yang menjadi
munakih (yang menikahkan/penghulu) dan saksikan 2 orang saksi.
Pernikahan mereka tidak tercatat pada kantor urusan agama kecamatan
Argomulyo, namun saat ini registernya tidak ada/rusak, sewaktu akan menikah
pemohon I (laki-laki) berstatus jejaka, dalam usia 16 tahun sementara pemohon II
(perempuan) berstatus perawan dalam usia 16 tahun. Setelah menikah hingga
permohonan ini diajukan mereka tidak/belum pernah mendapat atau mengurus
akta nikah tersebut, dari perkawinan mereka telah dikaruniai anak.Mereka sangat
membutuhkan bukti pernikahan tersebut untuk kepastian hukum dan untuk
pengurusan akta kelahiran anak mereka, di antara mereka tidak ada hubungan
mahram maupun susuan dan sejak melangsungkan perkawinan sampai sekarang
tidak pernah bercerai maupun pindah agama.
Untuk kepastian hukum dan tertib administrasi kependudukan sebagaimana
yang dimaksud pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) undang-undang no.3 tahun 2006
tentang adminstrasi kependudukan maka para pemohon akan melaporkan
penetapan pengadilan atas perkara ini kepada KUA kecamatan Argomulyo untuk
dicatat dalam dahtar yang disediakan untuk itu pemohon sanggup membayar
seluruh biaya yang timbul akibat perkara ini, berdasarkan hal-hal tersebut diatas
pemohon memohon agar ketua pengadilan agama Salatiga dan majelis hakim
dapat menerima, memeriksa dan mengadili perkara ini, selanjutnya menjatuhkan
49
penetapan yang amarnya berbunyi sebagai berikut :
Primer Mengabulkan permohonan para pemohon, menetapkan sah
perkawinan mereka yang dilangsungkan pada tanggal 10 Februari 2014 di
kabupaten semarang dan membebankan perkara kepada para pemohon. Subsider :
Apabila majelis hakim berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya,
bahwa pada hari dan tanggal sidang yang ditetapkan mereka datang sendiri
dipersidangan. Selanjutnya dibacakan permohonan para pemohon yang isinnya
tetap dipertahankan oleh para pemohon. tentang jalannya sidang pemeriksaan
perkara ini, semuannya telah tercatat didalam berita acara persidangan sehingga
untuk mempersingkat uraian putusan ini, cukuplah menunjukkan berita acara
tersebut.
2. Tentang Pertimbangan Hukum
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan mereka adalah
sebagaimana tersebut diatas. Mereka bertempat tinggal diwilayah hukum
pengadilan agama Salatiga menurut Undang-Undang no. 3 tahun 2006 dan
Undang-Undang no.50 tahun 2009 tentang peradilan agama , maka pengadilan
agama Salatiga baik relatif maupun absolut berwenang untuk mengadili dan
menyelesaikan perkara ini, Dalam posita permohonan mereka menyatakan bahwa
sewaktu akan menikah mereka berumur 16 tahun. Berdasarkan pasal 7 (1) dan (2)
undang-undang no.1 tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan bahwa
perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencukupi umur 19 tahun dan
50
pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Dalam penyimpangan terhadap ayat
(1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain.
Pemohon I pada saat dilangsungkan perkawinan belum mencapai usia 19
tahun dan tidak mendapatkan dispensasi dari pengadilan maka majelis hakim
berpendapat bahwa permohonnan mereka untuk pengesahan nikah (itsbat nikah)
harus dinyatakan ditolak. Oleh karena permohonan pengesahan nikah (itsbat
nikah) ini termasuk bidang perkawinan, maka sesuai pasal 89 (1) undang-undang
no.7 tahun 1989 yang telah diubah dengan undang-undang no.3 tahun 2006 dan
diubah dengan undang-undang nomor 50 tahun 2009 maka biaya perkara
dibebankan kepada pemohon. Mengingat segala peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan hukum syara’ yang berkaitan dengan perkara ini.
Menurut Drs. Jaenuri, MH hakim pengadilan agama Salatiga pengesahan
itsbat nikah dinyatakan ditolak oleh pengadilan agama Salatiga karena waktu
melaksanakan pernikahan umur mereka tidak memenuhi persyaratan yang di
tetapkan dalam UUP no.1 tahun 1974 pasal 7 ayat (1) yaitu perkawinan hanya di
izinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak
wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
Mereka tidak melakukan upaya atau langkah-langkah hukum selanjutnya
(kasasi) maka status perkawinan mereka sah menurut islam karena sudah terpenuhi
rukun dan syaratnya, sedangkan menurut negara belum sah karena syarat waktu
melaksanakan perkawinan belum terpenuhi.
51
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Analisis Penetapan Nomor : 0077/Pdt.P/2014/PA.SAL
Itsbat nikah yang diajukan oleh pihak yang berkepentingan ke pengadilan
agama adalah penetapan tentang pernikahan yang telah dilakukan oleh seorang pria
dan wanita sebagai suami istri. Pernikahan yang terjadi sudah sesuai dengan ketentuan
yang terdapat dalam hukum islam sah secara agama yaitu telah terpenuhinnya syarat
dan rukun pernikahan (Arto, 1996:94). Melakukan pernikahan sesuai dengan prosedur
administrasi pernikahan yang sah berguna untuk menjamin terpeliharannya hak-hak
suami, istri maupun anak. Melalui pencatatan pernikahan suami atau istri akan lebih
bertanggung jawab menjalankan kewajiban dalam berumah tangga.
Dalam agama islam pencatatan perkawinan tidak berakibat pada legalitas
perkawinan sepanjang perkawinan itu memenuhi syarat dan rukun yang telah di
tentukan agama islam, sedangkan akibat hukum pencatatan dalam hukum positif
berakibat pada legalitas perkawinan di mata hukum. Dalam pandangan hukum positif
perkawinan yang tidak dicatat dan tidak mendapatkan pengakuan hukum di anggap
perkawinan itu tidak pernah terjadi di mata hukum. Seorang hakim dalam
memutuskan perkara haruslah mempunyai sebuah landasan agar putusan atau
penetapan yang dihasilkan dapat dipertanggung jawabkan, baik kepada pihak yang
berperkara, masyarakat maupun Allah. Seorang hakim dalam memutuskan sesuatu
perkara yang diajukan ke pengadilan haruslah mempunyai landasan hukum materil
52
maupun formil. Landasan hukum materiil adalah hukum yang memuat peraturan yang
mengatur kepentingan-kepentingan dan hubungan-hubungan yang berwujud perintah
dan larangan. Sedangkan hukum formil disebut juga hukum acara. Hakim dalam
mengambil keputusan suatu perkara akan melihat dan memperhatikan posita (duduk
perkara) dan haruslah sesuai dengan prosedur yang telah ada antara lain
menghadirkan para saksi dalam persidangan dan menunjukkan bukti-bukti yang ada
sebagai bahan pertimbangan (Arto, 1996:271). Karena di satu sisi harus tunduk
peraturan perundang-undangan, namun disatu sisi pula seorang hakim harus
mempertimbangkan kemaslahatan umat serta menggali hukum yang berlaku di
masyarakat.
Dalam perkara itsbat nikah yang merupakan kompetensi absolut peradilan
agama, kirannya merupakan perkara yang cukup krusial, karena didalamnya terdapat
akibat hukum yang berantai di antaranya kewarisan, akta kelahiran, pengakuan nasab
dan lain-lain. Menurut hakim pengadilan salatiga Drs.Jaenuri .MH itsbat nikah yang
dapat di ajukan ke pengadilan agama terbatas mengenai :
1. Adanya perkawinan dalam rangka menyelesaikan perceraian
2. Hilangnya akta nikah
3. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan
4. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU no.1 tahun 1974
5. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan.
53
Itsbat nikah diistilahkan berlaku surut yaitu sejak perkawinan itu dilakukan,
penolakan itsbat nikah kebanyakan alasanya masih terikat perkawinan dengan
orang lain (dalam proses perceraian), belum cukup umur waktu melakukan
perkawinan, dalam perkara itsbat nikah dikabulkan pernikahan sudah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan, itsbat nikah di tolak karena ketika
perkawinan dilakukan tidak memenuhi syarat dalam UUP dan KHI. Dasar yang
digunakan oleh majelis hakim dalam penetapan nomor : 0077/Pdt.P/2014/PA.SAL
adalah undang-undang perkawinan no.1 tahun 1974 pasal 7 (1) dan (2) yang
menyatakan bahwa perkawinan hanya di izinkan jika pihak pria sudah mencukupi
umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Dalam hal
penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada
pengadilan atau pejabat lain.
Dalam perkara ini, salah satu pihak belum memenuhi persyaratan
perkawinan karena belum cukup umur dan tanpa mendapatkan despensasi dari
pengadilan agama, maka dalam pasal 22 undang-undang no.1 tahun 1974 tentang
perkawinan menegaskan bahwa pernikahan dapat dibatalkan, apabila para pihak
tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan pernikahan. Jadi dapat di
simpulkan bahwa dispensasi dari pengadilan agama bagi yang belum cukup umur
harus ada dan apabila hal tersebut tidak ada. Maka pernikahannya dapat
dibatalkan. Karena dispensasi merupakan persyaratan dalam undang-undang
perkawinan, apabila belum terpenuhi syarat tentang batas minimal melangsungkan
54
pernikahan. Akan berakibat hukum lain.
Menurut perundang-undangan, hakim pengadilan agama Salatiga dalam
menolak permohonan itsbat nikah sudah sesuai dengan undang-undang
perkawinan no.1 tahun 1974 pasal 7 (1) dan (2) yang menyatakan bahwa
perkawinan hanya di izinkan jika pihak pria sudah mencukupi umur 19 tahun dan
pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Dalam hal penyimpangan terhadap
ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain.
Penulis mengambil kesimpulan sepanjang perkawinan itu telah memenuhi
syarat dan rukun menurut agama Islam sah, sedangkan perkawinan yang belum di
catatkan di KUA atau kantor catatan sipil menurut negara tidak sah.Dalam
pandangan hukum positif perkawinan yang tidak dicatat dan tidak mendapatkan
pengakuan hukum di anggap perkawinan itu tidak pernah terjadi dimata hukum.
Apabila akan melakukan perkawinan tetapi belum cukup umur dapat minta
dispensasi dari pengadilan agama, dalam perkara Nomor :
0077/Pdt.P/2014/PA.SAL untuk pengesahan nikah dinyatakan ditolak karena salah
satu pihak belum mencukupi umur sewaktu melaksanakan perkawinannya, untuk
pengesahan harus melakuakan nikah ulang dan harus dicatatkan dikantor KUA.
Karena isbat nikahnya ditolak jadi belum mempunyai kekuatan hukum dan
kepastian hukum.
55
B. Dampak Yuridis Penolakan Itsbat Nikah Nomor :
0077/Pdt.P/2014/PA.SAL
1. Dampak terhadap suami
Hampir tidak ada dampak yang merugikan bagi suami yang menikah di
bawah tangan,suami bebas untuk menikah lagi, karena perkawinan dianggap tidak
sah di mata negara, suami tidak ada tanggungan kewajiban menafkahiistri
maupun anaknya dan tidak ada pembagian harta seperti warisan dan harta gono
gini. Dalam pandangan hukum positif perkawinan yang tidak dicatatkan tidak
mendapatkan pengakuan hukum, perkawinan itu dianggap tidak pernah terjadi
dimata hukum, walaupun perkawinan itu sudah dilakukan berdasarkan ketentuan
agama atau kepercayaannya.
2. Dampak terhadap istri
Secara hukum tidak dianggap sebagai istri sah, tidak berhak atas nafkah
dan warisan dari suami jika suaminnya meninggal dunia, tidak berhak atas harta
gono gini jika terjadi perceraian karena secara hukum perkawinan tidak pernah
terjadi. Meski secara agama dianggap sah, namun pernikahan yang dilakukan di
luar pengetahuan dan pengawasan pegawai pencatat nikah tidak memiliki
kekuatan hukum dan di anngap tidak sah dimata hukum.
56
3. Dampak terhadap anak
Status anak : dianggap anak yang tidak sah, anak hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu, dalam UUP pasal 42 anak yang
sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah,
pasal 43 ayat (1) anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya dan KHI pasal 100 anak
yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya
dan keluarga ibunya, dalam status kelahiran anak di anggap sebagai anak luar
nikah hanya mencantumkan nama ibu.
Ketidak jelasan status anak di mata hukum mengakibatkan hubungan
antara ayah dan anak tidak kuat, suatu waktu ayahnya menyangkal bahwa anak
tersebut adalah bukan anak kandungnya, hal ini jelas merugikan anak tersebut
karena tidak berhak atas biaya kehidupan, pendidikan dan warisan dari ayahnya
57
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini maka penulis
menyimpulkan sebagai berikut :
1. Dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara Nomor :
0077/Pdt.P/2014/PA.SAL adalah Undang-Undang perkawinan No.1 tahun 1974
pasal 7 ayat (1) dan (2) yang menyatakan bahwa perkawinan hanya di izinkan jika
pihak pria sudah mencukupi umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai
umur 16 tahun. Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat
meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain.
2. Apabila terjadi penolakan itsbat nikah maka perkawinan itu belum mempunyai
kekuatan hukum, karena perkawinannya belum dicatatkan di KUA atau kantor
catatan sipil maka dampak penolakan itsbat nikah terhadap hak anak :
a. jika kedua orang tuanya bercerai anak sulit mendapatkan harta gono gini
karena secara hukum pernikahannya dianggap belum pernah terjadi menurut
Negara. Hubungannya anak dengan harta gono gini, karena bapak atau ibu
tetap memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata berdasarkan
kepentingan anak, bapak yang bertanggung jawab atas semua pemeliharaan
dan pendidikan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat
58
memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut
memikul biaya tersebut.
b. Istri dan anak juga tidak berhak atas nafkah dan warisan jika suami
meninggal dunia.
c. Anak kesulitan mendapatkan akta kelahiran sebab orang tuanya tidak
mempunyai akta nikah. Hubungan akta kelahiran dengan ayah tidak punya
akta nikah. Karena dengan tidak adanya akta nikah orang tua, maka akta
kelahiran anak tersebut tidak menyantumkan nama ayah biologisnya dan
hanya menyantumkan nama ibu yang melahirkan. Status anak tersebut
dianggap anak luar kawin sehingga tidak bisa melakukan hubungan hukum
keperdataan dengan ayah biologisnya, anak hanya memiliki hubungan
keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya.
59
B. Saran
Adapun saran yang dapat penulis berikan :
1. Kepada penegak keadilan atau hakim, KUA dan kantor catatan sipil di
sarankan untuk perlu mensosialisasikan tentang pentingnya pencatatan
perkawinan
2. Bagi pasangan yang ingin melakukan perkawinan hendaknya mencatatkan
perkawinan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat dan
melindungi hak-hak suami,istri dan anak.
60
DAFTAR PUSTAKA
Arto, Mukti. 1996. Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan
Agama.Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Ayuhan. 2011. Legalisasi Hukum Pernikahan Siri dengan Itsbat Nikah di Pengadilan
Agama Jakarta Pusat. Jakarta.
Bafadal, Fadhal. 2006. Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Pustaka Agung Harapan.
Badruzzaman, maman. 2013. Efektivitas Itsbat Nikah Masal dalam Meminimalisir
Terjadinnya Pernikahan Tanpa Akta Nikah (Studi Kasus di KUA Kecamatan
Karang Gampel Kecamatan Indramayu Tahun 2008-2012).Yogyakarta.
Bazhir, Ahmad Azhar. 1996. Hukum Perkawinan Islam. Yogakarta: Pustaka Pelajar
Omset.
Djubaidah, Neng. 2010. Pencatatan Perkawinan & Perkawinan tidak dicatat Menurut
Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Ghazali, Imam. 2004. Rumahku Surgaku Panduan Perkawinan dalam Ihya. Yogyakarta:
Mitra Pustaka.
Joni, Muhammad. 1999. Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi
Hak-Hak Anak. Bandung:Citra Aditya Bhakti.
Juhari, Imam. 2003. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Keluarga Poligami.
Jakarta:Pustaka Bansa Press.
Nasution, Choiruddin.2004. Hukum Perkawinan I. Yogyakarta: Akademia Tazzafa.
Nurudin, Amiur. 2006. Hukum Perdata di Indonesia. Jakarta:Kencana.
Meleong, Lexy. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja RosdaKarya.
Muhammad Azzam, Abdul Aziz. 2009. Fiqih Munakahat Khitbah, Nikah dan Talak.
Jakarta: Sinar Grafika Offset.
Manan, Abdul. 2006. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta:
Prenada Media Group.
Riduwan. 2004. Metode Riset. Jakarta: Reneka Cipta.
61
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Sudarsono. 2005. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: Asdi Mahasatya.
Syarifuddin, Amir. 2003. Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta:Prenada Media
Saleh, Hasan.2008. Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer. Jakarta: RajaGrafindo
Persada.
Summa, Muhammad Amin. 2004. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Shihab, Quraish. 2004. Tafsir Al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an.
Jakarta: Lentera Hati.
Syafrianto, Dian. 2013. Pelaksanaan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama Semarang
Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Semarang.
http://www.pa-salatiga.go.id/index.php/news/struktur-dan-organisasi.html, diakses 29
September 2015
http://www.pa-salatiga.go.id/index.php/news/visi-a-misi.html, diakses 29 September 2015
http://www.pa-salatiga.go.id/index.php/news/tupoksi.html, diakses 29 September 2015
http://www.pa-salatiga.go.id/index.php/news/yurisdiksi.html, diakses 29 September 2015
62
LAMPIRAN-LAMPIRAN
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74