Upload
sisilia-rindi-kurniasari
View
96
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
DASAR HUKUM IMUNISASI BAYI, BALITA DAN IMUNISASI TT
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Kesehatan Semester Enam
(VI)
Disusun oleh :
SISILIA RINDI KURNIASARI
25010111130189
BAGIAN ADMINISTRASI DAN KEBIJAKAN KESEHATAN
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2014
DASAR HUKUM IMUNISASI BAYI, BALITA DAN IMUNISASI TT
A. DASAR HUKUM PENGATURAN IMUNISASI
Imunisasi merupakan upaya pencegahan yang telah berhasil
menurunkan morbiditas (angka kesakitan) dan mortalitas (angka kematian)
penyakit infeksi pada bayi dan anak. (Hidayat, 2005)
Imunisasi adalah memberikan kekebalan pada bayi dan anak dengan
memasukkan vaksin kedalam tubuh agar tubuh membuat zat anti untuk
mencegah terhadap suatu penyakit tertentu. Sedangkan vaksin adalah bahan
yang dipakai untuk merangsang pembentukan zat anti yang dimasukkan
kedalam tubuh melalui suntikan, seperti vaksin, BCG, DPT, campak dan
melalui mulut seperti vaksin polio.(IGN Ranuh,2008).
Tujuan diberikannya imunisasi adalah diharapkan anak menjadi kebal
terhadap penyakit sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan
mortalitas serta dapat mengurangi kecacatan akibat penyakit tertentu. (A.
Azis, 2005)
Manfaat imunisasi tidak hanya dirasakan oleh pemerintah dengan
menurunnya angka kesakitan dan kematian akibat penyakit yang dapat
dicegah dengan imunisasi, tetapi juga dirasakan oleh :
a. Untuk Anak
Usia anak-anak rawan merupakan masa rawan terserang
penyakit karena daya tahan tubuhnya belum kuat. Den gan pemberian
imunisasi dasar secara lengkap, terjadinya penyakit terhadap bayi
dapat dihindari.
b. Untuk Keluarga
Menghilangkan kecemasan dan psikologi pengobatan bila anak
sakit. Mendorong pembentukan keluarga sejahtera apabila orang tua
yakin bahwa anaknya akan menjalani masa kanak-kanak yang
nyaman.Hal ini mendorong penyiapan keluarga yang terencana, agar
sehat dan berkualitas.
c. Untuk Negara
Memperbaiki tingkat kesehatan, menciptakan bangsa yang kuat
dan berakal untuk melanjutkan pembangunan Negara. (Proverati
2010).
Indonesia terdapat jenis imunisasi yang diwajibkan oleh pemerintah
dan ada juga yang hanya dianjurkan. Imunisasi wajib di Indonesia
sebagaimana yang diwajibkan oleh WHO yaitu BCG, DPT, Polio, Campak,
dan Hepatitis B.(Hidayat,2005,hal 46). Imunisasi dasar adalah imunisasi
pertama yang diberikan pada semua orang, terutama bayi dan balita sejak
lahir untuk melindungi tubuhnya dari penyakit- penyakit yang berbahaya.
Lima jenis imunisasi dasar yang diwajibkan pemerintah adalah imunisasi
terhadap tujuh penyakit yaitu TBC, difteri, pertusis, tetanus, poliomyelitis,
campak dan hepatitis B.Ke-lima jenis imunisasi dasar yang wajib diperoleh
adalah:
a. Imunisasi BCG adalah imunisasi yang diberikan untuk menimbulkan
kekebalan aktif terhadap penyakit tuberculosis (TBC), yaitu penyakit
paru-paru yang sangat menular yang dilakukan sekali pada bayi sekali
pada bayi usia 0-11 bulan
b. Imunisasi DPT yaitu merupakan imunisasi dengan memberikan vaksin
mengandung racun kuman yang telah dihilangkan racunnya akan tetapi
masih dapat merangsang pembentukan zat anti(toxoid) untuk
mencegah terjadinya penyakit difteri,pertusis,dan tetanus,yang
diberikan 3 kali pada bayi usia 2-11 bulan dengan interval minimal 4
minggu.
c. Imunisasi polio adalah imunisasi yang di berikan untuk menimbulkan
kekebalan terhadap penyakit poliomyelitis yang dapat menyebabkan
kelumpuhan pada kaki, yang diberikan 4 kali pada bayi 0-11 bulan
dengan interval minimal 4 minggu
d. Imunisasi campak adalah imunisasi yang diberikan untuk
menimbulkan kekebalan kekebalan aktif terhadap penyakit campak
karena penyakit ini sangat menular,yang diberikan 1 kali pada bayi
usia 9-11 bulan
e. Imunisasi hepatis B, adalah imunisasi yang diberikan untuk
menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit hepatitis B yaitu
penyakit yang dapat merusak hati, yang diberikan 3 kali pada bayi usia
1 -11 bulan, dengan interval minimal 4 minggu cakupan imunisasi
lengkap pada anak, yang merupakan gabungan dari tiap jenis imunisasi
yang didapatkan oleh seorang anak. Sejak tahun 2004 hepatitis-B
disatukan dengan pemberian DPT menjadi DPT-HB. (Proverati 2010)
Dasar hukum penyelenggaraan program imunisasi :
1. Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
Keberadaannya
Hak pemerintah mengatur bidang kesehatan tercantum pada
pasal 6, 7 dan 8 yo pasal 30 dan pasal 31 yo pasal 4 ayat 1 UUD 1945
yakni adanya kekuasaan pengaturan secara umum (algemene regeling)
yang merupakan bagian dari kekuasaan pemerintahan negara
(staatsregering) yang berada di tangan Presiden. Pasal 30
Pemberantasan penyakit menular dilaksanakan dengan upaya
penyuluhan, penyelidikan, pengebalan, menghilangkan sumber dan
perantara penyakit, tindakan karantina dan upaya lain yang
diperlukan. Pasal 31 Untuk penyakit karantina dan wabah,tunduk pada
ketentuan UU terkait.
Kaitan dengan pembinaan
Pembinaan oleh pemerintah terhadap semua upaya kesehatan (pasal
73)
Kaitan dengan perlindungan masyarakat
Imunisasi merupakan upaya melindungi masyarakat terhadap
kemungkinan kejadian gangguan dan atau bahaya kesehatan (pasal 74 butir 3)
dan PP terkait
2. Undang-undang No. 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular.
3. Undang-undang No. 1 tahun 1962 tentang Karantina Laut.
4. Undang-undang No. 2 tahun 1962 tentang Karantina Udara.
5. Keputusan Menkes No. 1611/Menkes/SK/XI/2005 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Imunisasi.
6. Keputusan Menkes No. 1626/ Menkes/SK/XII/2005 tentang Pedoman
Pemantauan dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Paska Imunisasi (KIPI).
7. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2013 tentang
Penyelenggaraan Imunisasi
Pada bab II tentang jenis imunisasi pasal 3 ayat 2 Imunisasi wajib
merupakan imunisasi yang diwajibkan oleh pemerintah untuk seseorang
sesuai dengan kebutuhannya dalam rangka melindungi yang
bersangkutan dan masyarakat sekitarnya dari penyakit menular tertentu.
Pada bagian kedua tentang imunisasi wajib pasal 6 ayat 1 : Imunisasi
dasar sebagaimana dimaksud dalam diberikan pada bayi sebelum
berusia 1 (satu) tahun. Sedangkan pada ayat 2 disebutkan imunisasi
wajib yang dimaksud adalah BCG,DPT,Hepatitis B,polio dan campak
Pada bagian kedua pasal 7 ayat 2 disebutkan imunisasi lanjutan salah satunya
diberikan kepada anak dibawah 3 tahun (batita) . Pada pasal 7 ayat 3
disebutkan imunisasi lanjutan yang diberikan untuk batita adalah DPT-HB dan
campak
Pada bab II tentang jenis imunisasi pasal 3 ayat 2 Imunisasi wajib
merupakan imunisasi yang diwajibkan oleh pemerintah untuk
seseorang sesuai dengan kebutuhannya dalam rangka melindungi
yang bersangkutan dan masyarakat sekitarnya dari penyakit
menular tertentu.
Pada bagian kedua tentang imunisasi wajib pasal 7 ayat 6 Jenis
imunisasi lanjutan yang diberikan pada wanita usia subur berupa
Tetanus Toxoid (TT).
B. PERMASALAHAN HUKUM TERKAIT IMUNISASI
1. Malpraktek ,Negligence, adverse event
a. Malpraktek
Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan
“praktik” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga
malpraktik berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Definisi
malpraktik profesi kesehatan adalah kelalaian dari seseorang dokter
atau perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu
pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim
dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran
dilingkungan yang sama
b. Negligence
Negligence lebih berintikan ketidaksengajaan ,kurang teliti, kurang
hati-hati, acuh, sembrono, sembarangan, tak peduli terhadap
kepentingan orang lain. Namun akibatnya yang timbul memang
bukanlah menjadi tujuannya. Negligence dalam imunisasi seperti
kurang hati-hati dalam melakukan proses imunisasi
c. Adverse event
Adverse Event atau Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) merupakan
suatu kejadian yang mengakibatkan cedera yang tidak diharapkan
pada pasien karena suatu tindakan (commission) atau tidak mengambil
tindakan yang seharusnya diambil (omission), dan bukan karena
“underlying disease” atau kondisi pasien.
2. Medical Eror
Menurut Institute of Medicine (1999), medical error didefinisikan
sebagai: The failure of a planned action to be completed as intended (i.e.,
error of execusion) or the use of a wrong plan to achieve an aim (i.e., error
of planning). kesalahan medis didefinisikan sebagai: suatu Kegagalan
tindakan medis yang telah direncanakan untuk diselesaikan tidak seperti
yang diharapkan ( yaitu., kesalahan tindakan) atau perencanaan yang salah
untuk mencapai suatu tujuan (yaitu., kesalahan perencanaan).
Definisi tersebut menggambarkan bahwa setiap tindakan medik
yang dilaksanakan tetapi tidak sesuai dengan rencana atau prosedur sudah
dianggap sebagai medical error. Di sisi lain melakukan upaya medik
melalui prosedur yang keliru juga dianggap sebagai medical error.
Sedangkan menurut Bhasale et al (1998) medical error didefinisikan
sebagai “an unintended event . . . that could have harmed or did harm a
patient.” Contoh medical error dalam imunusasi
C. PENYELESAIAN DAN PENANGANAN KASUS
Dalam perspektif hukum, risiko medic yang dapat dikualifikasikan
sebagai malpraktik medic atau medical negligence adalah yang disebabkan
medical violation (timbul akibat penyimpangan standar prosedur tindakan
medic) dan medical recklessness (timbul akibat kecerobohan dalam
melakukan tindakan medic). (AHP)
Dalam perspektif medis, para dokter tidak dapat disalahkan jika terjadi
medical error , preventable medical error, medical accident, atau medical
mishap. Hal-hal ini terjadi diluar kemampuan dan pengetahuan dokter. Dokter
sudah melakukan segala sesuatunya dengan benar dan adequate sesuai standar
pelayanan (SOP) yang disesuaikan juga dengan kondisi dan situasi fasilitas
pelayanan. Prinsip pelayanan kedokteran ditekankan kepada upaya
(inspannings verbintenissen) bukan pada hasilnya (resultans verbintenissen).
Sehingga dalam sumpah dokter dilafazkan “Saya akan berikhtiar dengan
sungguh sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan
keagamaan, kebangsaan, kesukuan, gender, politik, kedudukan sosial dan
jenis penyakit dalam menunaikan kewajiban terhadap pasien”. Ikhtiar berarti
upaya yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dan dengan mengutamakan
kepentingan pasien.
Sisi lain yang menjadi pertimbangan dalam penetapan ada tidaknya
tindakan pidana dalam malpraktik medic adalah harus adanya unsur niat
melakukan kejahatan (mens rea). Sedangkan dalam menjalankan profesinya
setiap dokter terikat sumpah dokter yang mewajibkan setiap yang
melafazkannya untuk menjalankan profesi luhur tersebut dan
mempertanggungjawabkannya di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Sehingga dalam perjalanannya sangat sulit membuktikan ada unsur pidana
dalam akibat tindakan kedokteran.
Namun dalam pertimbangan hukum ada yang disebut dengan doktrin Res
Ipsa Loquitur, dalam bahasa Inggris berarti “the thing speaks for itself”, yang
dalam bahasa Indonesia terjemahan harfiahnya adalah “benda tersebut yang
berbicara”. Walaupun doktrin ini lebih banyak dipakai dalam perkara perdata,
namun untuk kasus-kasus tertentu terkadang dipakai dalam perkara pidana.
Seperti contoh kasus pembuatan surat kematian palsu yang langsung
dibuktikan dengan tidak adanya jenazah yang diterangkan dalam surat,
kesalahan mengamputasi, dan lain sebagainya.
Persidangan yang dapat dikenakan kepada dokter
Setiap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh dokter akan membuka
pintu terhadap pelanggaran etik dan disiplin. Sedangkan pelanggaran etik dan
disiplin tidak serta merta membuka pintu bagi pelanggaran hukum”. Hal ini
memberi arti bahwa antar etik, disiplin, dan hukum adalah tiga proses yang
berjalan sendiri-sendiri. Namun tidak mustahil jika dalam prosesnya masing-
masing akan ditemukan pelanggaran lainnya.
Dalam setiap dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh dokter harus
dibuktikan dan dijatuhkan sanksinya oleh stake holder yang berbeda, yaitu :
1. Pelanggaran etik diperiksa dan dijatuhi sanksi oleh organisasi profesi
melalui persidangan Majelis Kehormatan dan Etik Kedokteran (MKEK)
2. Pelanggaran disiplin diperiksa dan dijatuhi sanksi melalui persidangan
Majelis Kehormatan dan Disiplin Kedokteran (MKDKI) yang merupakan
badan di bawah Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).
3. Pelanggaran hukum diperiksa dan dijatuhi sanksi oleh aparat hukum
terkait.
Keputusan sanksi dari masing-masing proses seharusnya tidak dapat
dijadikan sebagai bukti bagi proses yang lain. Misalnya, keputusan terhadap
pelanggaran disiplin tidak dapat dijadikan sebagai bukti dalam proses
hukum, begitupun sebaliknya. Namun jika dalam proses disiplin ditemukan
dugaan adanya pelanggaran etik, maka berdasarkan undang-undang, MKDKI
diharuskan memberikan tembusan kepada organisasi profesi untuk dilakukan
pula persidangan etik.
Untuk ketiga proses persidangan di atas hingga saat ini masih
merupakan delik aduan, artinya stakeholder akan melakukan pemeriksaan
dan persidangan jika mendapat laporan. Laporan baik dari yang mengalami
langsung akibat dari pelayanan atau mengetahui dengan pasti terhadap akibat
dari pelayanan tersebut, tentunya dengan bukti-bukti yang dapat
dipertanggungjawabkan.
D. CONTOH KASUS
Di Bekasi, Dua Balita Meninggal Setelah Imunisasi
Setelah mengikuti pekan imunikasi, dua balita di Bekasi diberitakan
meninggal dunia. Berita yang sampaikan oleh harian Pikiran Rakyat pada
Kamis 3 Nopember 2011, menjelaskan bahwa kedua balita tersebut
meninggal dunia setelah divaksinasi campak dan polio di posyandu kediaman
masing-masing. Namun demikian, kedua orang tua masing-masing balita
tersebut hingga kini belum mendapat kejelasan, apakah buah hatinya
meninggal dunia karena imunisasi atau penyebab lainnya.
Menurut kedua orang tua balita tersebut, anaknya pada saat dibawa ke
posyandu dalam keadaan segar bugar. Dan, pada saat akan divaksinasi dirinya
sempat menolak karena sejak awal ia hanya ingin anaknya divaksinasi folio
saja. Namun, bidan yang yang ada di posyandu memaksa untuk divaksinasi
campak juga, karena katanya mumpung ada program dari pemerintah.
Namun, ketika petangnya anaknya mengalami muntah-muntah disertai buang
air besar tiada henti. Keesokan harinya, anak tersebut terserang demam tinggi
hingga suhunya mencapai 42 derajat celcius. Karena bidan di posyandu tidak
memberikan obat pasca imunisasi, sang ibu memberikan obat panas yang
biasa digunakan anak tersebut.
Karena panasnya tidak kunjung reda, akhirnya orang tua anak tersebut
membawanya ke rumah sakit, namun demamnya semakin tinggi bahkan
hingga kejang-kejang, dan akhirnya menghembuskan nafas terakhir.
Menyikapi hal tersebut, Kepala Dinas Kesehatan Kota Bekasi Anne nur
Chandrani Handayani mengaku belum dapat memastikan penyebab kematian
kedua balita tersebut. Saat ini, timnya masih bergerak di lapangan untuk
menjaring informasi yang akurat.
Kasus kematian balita setelah imunisasi beberapa tahun yang lalu juga pernah
terjadi. Kalau saat ini kembali terjadi, tentunya menjadi PR besar bagi
Kementeriam Kesehatan untuk menyelidiki kenapa kasus tersebut bisa
kembali terjadi. Selain itu, peran sosialisasi kepada masyarakat juga sangat
penting, untuk menambah pengetahuan masyarakat akan waktu yang tetap
untuk memberikan imunisasi kepada buah hatinya.
Jangan sampai, masyarakat hanya tahu buah hatinya harus diimunisasi tanpa
memeriksakan dahulu kesehatan balita tersebut. Karena dalam keadaan tidak
sehat seorang balita tidak boleh mendapat imunisasi. Dan imunisasi hanya
dapat diberikan pada saat kondisi balita sehat.
Menunda imunisasi hingga anak sehat tentunya akan lebih baik, dari pada
memaksakan anak sakit diimunisasi. Pemahaman tersebut kini masih minim
dimiliki masyarakat khususnya bagi mereka yang tinggal di pedesaan. Kini
kita menunggu peran aktif dari pemerintah untuk mensosialisasikan
pentingnya iminisasi dan kapan imunisasi dapat diberikan.
Diakses dari http://www.gentongmas.com/berita/881-di-bekasi-dua-balita-
meninggal-setelah-imunisasi.html pada 25 Juni 2014
Analisis
Kasus tersebut termasuk kasus malpraktek dalam imunisasi. Karena
petugas kesehatan lalai dalam mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu
pengetahuan dalam imunisasi anak. Dalam kasus tersebut disebutkan bahwa
petugas kesehatan memberikan dua imunisasi (campak dan polio) sekaligus.
Dan setelah di imunisasi anaknya mengalami muntah-muntah disertai buang
air besar tiada henti. Keesokan harinya, anak tersebut terserang demam tinggi
hingga suhunya mencapai 42 derajat celcius Karena bidan di posyandu tidak
memberikan obat pasca imunisasi, sang ibu memberikan obat panas yang
biasa digunakan anak tersebut. Karena panasnya tidak kunjung reda, akhirnya
orang tua anak tersebut membawanya ke rumah sakit, namun demamnya
semakin tinggi bahkan hingga kejang-kejang, dan akhirnya menghembuskan
nafas terakhir.
Imunisasi secara medis merupakan tindakan yang aman dan diberikan
untuk memberi kekebalan terhadap penyakit tertentu. Jika setelah diimunisasi
terdapat kejadian yang tidak diinginkan berati ada yang salah dalam
pemberian imunisasi seperti pada kasus tersebut.
REFERENSI
Alimul Hidayat,A.Aziz.(2005). Pengantar ilmu keperawatan anak 1., Jakarta:
Salemba Medika.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2004
Guwandi. Dokter dan rumah sakit, FKUI, Jakarta 1993;hlm. 39-40.
Ranuh,I.G.N.2008.Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi ketiga.Jakarta: Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia
Soerjono Soekanto. Hukum kesehatan, Kursus dasar Ilmu hukum kesehatan,
Perhuki, Jakarta, 1989.
Di Bekasi, Dua Balita Meninggal Setelah Imunisasi (Diakses dari
http://www.gentongmas.com/berita/881-di-bekasi-dua-balita-
meninggal-setelah-imunisasi.html pada 25 Juni 2014
Makalah Malpraktik.2013 (diakses dari
http://kumpulanse.blogspot.com/2013/01/makalah-malpraktik.html
pada 25 juni 2014)