56
BAB III PERJANJIAN PERKAWINAN ADAT DAYAK NGAJU Perjanjian kawin merupakan salah satu bagian dari pelaksanaan perkawinan menurut adat Dayak Ngaju, yang dalam pelaksanaanya tidak lepas dari organisasi kemasyarakatan yaitu Lembaga Kedamangan. Sebab itu, untuk mendapat gambaran yang lebih jelas, maka bagian ini terlebih dahulu akan membahas tentang gambaran umum kehidupan Suku Dayak Ngaju di kota Palangka Raya, Kelembagaan Adat Dayak Ngaju sebagai lembaga yang terkait, Perkawinan dan Perjanjian Perkawinan menurut adat Dayak Ngaju. Penelitian ini dilakukan di kota Palangka Raya. 1. Gambaran Umum Kota Palangka Raya 1.1. Kondisi Geografis Palangka Raya adalah ibukota Provinsi Kalimantan Tengah. Provinsi ini secara geografis berbatasan di bagian utara, yaitu Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur, Sebelah Selatan dengan Laut Jawa, Provinsi Kalimantan Selatan dan Provinsi Kalimantan Timur di sebelah Timur. 87 Luas Provinsi Kalimantan Tengah secara keseluruhan sekitar 153.828 km2, 88 terdiri dari hutan belantara, rawa-rawa, sungai, danau, sawah dan ladang. Dari Kekayaan hutan belantara itu, Kalimantan Tengah menghasilkan kayu meranti, kayu agatis, rotan, damar dan kayu hutan lainnya. Sedangkan dibidang pertambangan menghasilkan: 87 Tjilik Riwut, Kalimantan Membangun; Alam dan Kebudayaan, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya,1993), 60 88 Ibid., 55

Dayak Ngaju

Embed Size (px)

Citation preview

  • BAB III

    PERJANJIAN PERKAWINAN ADAT DAYAK NGAJU

    Perjanjian kawin merupakan salah satu bagian dari pelaksanaan perkawinan

    menurut adat Dayak Ngaju, yang dalam pelaksanaanya tidak lepas dari organisasi

    kemasyarakatan yaitu Lembaga Kedamangan. Sebab itu, untuk mendapat gambaran

    yang lebih jelas, maka bagian ini terlebih dahulu akan membahas tentang

    gambaran umum kehidupan Suku Dayak Ngaju di kota Palangka Raya,

    Kelembagaan Adat Dayak Ngaju sebagai lembaga yang terkait, Perkawinan dan

    Perjanjian Perkawinan menurut adat Dayak Ngaju. Penelitian ini dilakukan di kota

    Palangka Raya.

    1. Gambaran Umum Kota Palangka Raya

    1.1. Kondisi Geografis

    Palangka Raya adalah ibukota Provinsi Kalimantan Tengah. Provinsi ini

    secara geografis berbatasan di bagian utara, yaitu Provinsi Kalimantan Barat dan

    Kalimantan Timur, Sebelah Selatan dengan Laut Jawa, Provinsi Kalimantan

    Selatan dan Provinsi Kalimantan Timur di sebelah Timur.87

    Luas Provinsi

    Kalimantan Tengah secara keseluruhan sekitar 153.828 km2,88

    terdiri dari hutan

    belantara, rawa-rawa, sungai, danau, sawah dan ladang. Dari Kekayaan hutan

    belantara itu, Kalimantan Tengah menghasilkan kayu meranti, kayu agatis, rotan,

    damar dan kayu hutan lainnya. Sedangkan dibidang pertambangan menghasilkan:

    87

    Tjilik Riwut, Kalimantan Membangun; Alam dan Kebudayaan, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana

    Yogya,1993), 60 88

    Ibid., 55

  • minyak bumi, emas, tembaga, kecubung dan intan. Kesemuanya ini merupakan

    sumber pendapatan bagi daerah maupun sumber pemasukan devisa bagi negara.89

    Palangka Raya ditetapkan sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Tengah

    dengan Undang-undang no. 27 tahun 1959 L.N. No. 72 tahun 1959, dan diresmikan

    sebagai Kotamadya Otonom pada tanggal 17 Juni 1965 oleh Menteri Dalam Negeri

    berdasarkan Undang-undang No. 5 tahun 1959.90

    Palangka Raya artinya tempat

    yang Suci, yang Mulia dan Besar.91

    Secara administratif kota Palangka Raya terdiri dari lima daerah kecamatan

    yaitu: Kecamatan Pahandut, Kecamatan Sebangau, Kecamatan Jekan Raya,

    Kecamatan Bukit Batu dan Kecamatan Rakumpit.92

    Selanjutnya, kota Palangka

    Raya berbatasan sebelah utara dengan Kabupaten Gunung Mas, sebelah Timur

    dengan Kabupaten Pulang Pisau, sebelah selatan dengan Kabupaten Pulang Pisau

    dan sebelah Barat Kabupaten Katingan.

    Penduduk asli kota Palangka Raya adalah suku Dayak yang menggunakan

    bahasa Dayak Ngaju. Namun, selain suku Dayak ada pula suku -suku lain yang

    mendiami kota Palangka Raya, seperti suku Jawa, suku Batak, suku Banjar, suku

    Bugis dan suku-suku lainnya. Suku Dayak Ngaju umumnya peramah, mau bergaul

    dengan siapa saja. Mereka saling percaya satu sama lain. Orang Dayak selalu

    bersikap apa adanya dan sulit untuk berpura-pura. Sikap yang selalu waspada,

    tegas, spontan, cekatan dan tidak mudah terpengaruh tercermin dalam gaya hidup

    masyarakat Dayak. Karakter ini turut dipengaruhi oleh situasi alam yang harus

    dihadapi oleh orang Dayak sehari-hari. Hidup di sungai-sungai yang besar dan

    89

    Tjilik Riwut, Kalimantan Membangun..., 57-62 90

    Tjilik Riwut, Maneser Panatau Tatu Hiang, Menyelami Kekayaan Leluhur, penyunting Nila

    Riwut, (Palangka Raya: PUSAKALIMA, 2003), 36 91

    Ibid., 37 92

    Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah dalam buku Seksi Desiminasi dan Pelayanan

    Statistik, Kalimantan Tengah Dalam Angka 2008 (BPS Provinsi Kalimantan Tengah), 5

  • berarus deras, serta riam-riam yang tersebar di sana-sini, menuntut mereka untuk

    bertindak gesit dan cekatan menghadapinya. Belum lagi ketika harus berjalan di

    hutan belantara yang dihuni oleh binatang-binatang buas, mereka harus waspada

    dan harus berusaha melawan serangan dari binatang buas bila ingin bertahan hidup.

    Dalam berinteraksi dengan orang lain, masyarakat Dayak tetap memegang teguh

    kebiasaan dan hukum yang berlaku di lingkungannya. Mereka sulit menyimpang

    dari keadaan dan hukum yang berlaku dalam masyarakat adatnya. Hal ini

    dikarenakan adanya peranan dan pengaruh dari Kepala Adat.93

    1.2. Sistem Kepercayaan

    Pada umumnya, orang Dayak percaya bahwa manusia memiliki hubungan yang

    erat dengan kosmos. Setiap perubahan yang terjadi dalam kosmos, menunjukkan

    suatu tanda bahwa telah terjadi ketidakseimbangan kosmos. Terganggunya

    keseimbangan kosmos disebabkan adanya pelanggaran-pelanggaran terhadap adat

    istiadat. Sebagai contoh, ketika orang Dayak yang tinggal di daerah pedalaman masuk

    hutan rimba yang lebat dan berbahaya, ada perasaan takut kepada sesuatu yang

    dianggap sebagai pemilik atau penjaga hutan tersebut. Sejalan dengan kepercayaan

    tersebut, maka ada hutan yang dianggap angker, yang tidak boleh dijadikan tempat

    untuk berladang atau ditebang. Jika pohon-pohon di daerah tersebut ditebang atau

    dirusak, maka orang yang melakukannya akan mendapat malapetaka. Kepercayaan

    akan adanya penjaga atau penunggu suatu tempat, membuat manusia tidak

    sembarangan menebang pohon. Dan jika mereka membutuhkan pohon tertentu dari

    hutan itu, maka biasanya mereka memberikan sesaji sebagai tanda permisi. Sikap

    orang Dayak ini sering dianggap oleh orang luar sebagai sikap menyembah kepada

    pohon atau mahluk tertentu, padahal sebenarnya sikap ini merupakan wujud dari

    93

    Wawancara dengan Bajik R. Simpei, Basir dan Tokoh Masyarakat Adat Dayak di Kota Palangka

    Raya, 21 Mei 2011

  • belom bahadat, yaitu norma kesopanan dan saling menghargai sebagai sesama ciptaan.

    Karena bagi orang Dayak hanya Raying Hatalla Langit yang patut disembah.

    Begitu pula dengan hewan-hewan di hutan tertentu tidak boleh diburu atau

    dibunuh sekehendak hati. Hewan-hewan tersebut dianggap ada yang memiliki. Kalau

    mau diambil atau diburu harus meminta ijin dahulu kepada yang punya dengan cara

    memberikan sesajian kepadanya dan harus mengutarakan hewan apa yang ingin diburu,

    dan berapa banyak yang diinginkan. Sistem kepercayaan yang demikian telah

    memungkinkan daerah hutan di Kalimantan tetap utuh/lestari. Alam maupun hewan-

    hewan terlindungi dari kemusnahan dan keseimbangan ekologis tidak terganggu.94

    Dalam kehidupan masyarakat Dayak sehari-hari, ada juga larangan-larangan

    tertentu yang harus ditaati yang disebut pali (tabu). Peranan pali atau tabu sangat

    penting, karena pali membatasi keinginan dan kepentingan pribadi seseorang. Pali

    sebenarnya larangan yang ditaati oleh setiap orang, karena jika dilanggar akan

    membuat diri sendiri, keluarga bahkan masyarakat celaka. Pelanggaran terhadap pali

    hanya dapat diperbaiki atau dinetralisir dengan cara-cara tertentu sesuai dengan

    petunjuk/ketentuan dan keputusan para orang tua yang ahli dalam kepercayaan asli

    suku Dayak. Dalam kehidupan sehari-hari, penerapan pengertian pali terdapat pada

    pantang memakan jenis hewan, ikan dan tumbuh-tumbuhan tertentu. Biasanya jenis

    pali semacam ini kalau dilanggar hanya berakibat pada pribadi yang bersangkutan.

    Jenis pali yang berat adalah jenis pali yang kalau dilanggar mengakibatkan malapetaka

    bagi banyak orang. Malapetaka yang dimaksud adalah banjir besar yang

    mengakibatkan panen gagal, penyakit menular yang menyebabkan banyak kematian.

    Sebab itu pali harus ditaati untuk menjaga keseimbangan dan keserasian kosmos.

    94

    Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Sejarah

    Kebangkitan Nasional Daerah Kalimantan Tengah, (Palangka Raya: Proyek Penelitian dan

    Pencatatan Kebudayaan Daerah Depatemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978/1979), 14-15

  • Adat istiadat maupun sistem kepercayaan orang Dayak ini, sangat

    dipengaruhi oleh kepercayaan agama helo (agama jaman dulu) atau yang kemudian

    disebut agama Kaharingan. Sebagaimana agama asli yang terdapat pada daerah-

    daerah lain yang ada di Indonesia, demikian juga kaharingan merupakan salah satu

    agama asli nusantara yang sampai sekarang masih bertahan dan dipelihara oleh

    pemeluk-pemeluknya. Kepercayaan Kaharingan disebut agama asli suku Dayak,

    karena memang sebelum masuknya agama-agama dunia, kepercayaan ini sudah ada

    terlebih dahulu di Kalimantan. Ia lahir dan tumbuh dari tempat atau daerahnya

    sendiri di pulau Kalimantan.

    Menurut Hermogenes Ugang, secara etimologi istilah Kaharingan berasal dari

    bahasa Sangen (Dayak Kuno), yaitu dari akar kata haringyang artinya ada dari diri

    sendiri, tanpa ada orang yang mengadakannya, hidup dengan sendirinya tanpa ditanam

    dan dipelihara.95

    Agama Kaharingan percaya kepada Raying Hattala Langit, Raja Tuntung

    Matan Andau, Tuhan Tambing Kabunteran Bulan, Jatha Balawang Bulau Kanaruhan

    Bapager Hintan, artinya: Tuhan yang berkuasa di Langit, yang menciptakan matahari,

    bulan (alam semesta), Zat yang Maha Suci di tempat yang Maha Mulia.96 Raying

    diyakini mempunyai otoritas tertinggi karena Dialah yang menciptakan alam semesta,

    yang memiliki kewenangan dan kekuasaan dalam kehidupan manusia.

    Dalam perjalanannya, agama Kaharingan terus bertahan ditengah-tengah

    keberadaan agama-agama resmi yang ada di Indonesia. Keberadaannya yang tidak

    diakui sebagai agama resmi pada masa orde baru ini terpaksa bernaung di salah satu

    agama besar di Indonesia yaitu agama Hindu Dharma. Setelah berintegrasi dengan

    Hindu Dharma, maka dikeluarkanlah Surat Keputusan Menteri Agama Republik

    95

    Hermogenes Ugang, Menelusuri Jalur-jalur Keluhuran, 10 96

    Wawancara dengan Parada L. KDR (Bp. Ria), Basir di kota Palangka Raya, tanggal 01 Juli 2011

  • Indonesia Nomor H/37/SK/1990 tertanggal 19 April 1980.97 Dengan integrasi tersebut

    maka, agama Kaharingan menjadi Hindu Kaharingan.

    Walau pun Kaharingan telah berintegrasi dengan Hindu dharma, namun dalam

    pelaksanaanya Kaharingan tetap menjalankan apa yang sudah menjadi kepercayaan

    yang telah berakar dalam suku Dayak Ngaju. Hindu Dharma merupakan payung bagi

    Kaharingan, 98 sehingga sesuai dengan arti namanya (haring=hidup dengan

    sendirinya), Kaharingan betul-betul tetap hidup dan berkembang ditengah-tengah arus

    globalisasi yang terus melanda kota Palangka Raya.

    Selain agama asli suku Dayak, di kota Palangka Raya terdapat juga agama-

    agama dunia, antara lain: agama Islam yang masuk di Kalimantan melalui para

    pedagang Melayu pada abad 17. Sambil berdagang mereka menyebarkan agama

    Islam. Sebagian suku Dayak yang menerima ajaran Islam, memeluk agama Islam.

    Orang Dayak yang telah memeluk agama Islam disebut orang Melayu atau orang

    Banjar. Tempat-tempat dimana agama Islam berkembang sekarang adalah

    Kotawaringin di Kalimantan Tengah, pesisir sungai Barito (suku Bakumpai) dan

    wilayah Kalimantan Selatan.

    Sementara itu, Agama Kristen pertama kali masuk di Banjarmasin sekitar

    tahun 1835 oleh misionaris/zending. Mulanya keberadaan mereka tidak diterima

    dengan baik, bahkan banyak para pendeta dan misionaris yang dibunuh, karena

    mereka diidentikkan dengan pemerintah kolonial Belanda sebelumnya, yang sama-

    sama berkulit putih. Namun kemudian para misionaris dapat meyakinkan orang

    Dayak bahwa mereka tidak sama dengan orang-orang Belanda yang menjajah

    97

    Y. Nathan Ilon, Ilustrasi dan Perwujudan Lambang Batang Garing dan Dandang Tingang: Sebuah Konsepsi Memanusiakan Manusia dalam Filsafat Suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah, (Palangka Raya: PBP DATI I Kalimantan Tengah, 1991), 7 98

    Wawancara dengan Parada L. KDR., KDR (Bp. Ria), Basir di kota Palangka Raya, tanggal 01 Juli

    2011

  • mereka dulu. Mereka mendekati orang Dayak dengan menghargai adat istiadat

    mereka. Para zending mendirikan sekolah guru (seminari) di Banjarmasin, balai-

    balai pengobatan dan mendidik pendeta-pendeta Dayak untuk mengadakan

    penyebaran Injil. Tahun 1926 berdirilah Pakat Guru Kristen Dayak, yang

    merupakan salah satu faktor pendorong lahirnya Gereja Dayak. Dalam

    perkembangan selanjutnya, nama Gereja Dayak berubah menjadi Gereja

    Kalimantan Evangelis (GKE) yang pengelolaannya dilakukan oleh orang Dayak

    sendiri.99

    Pada masa sekarang, masyarakat Dayak Ngaju memeluk berbagai agama. Baik

    Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu maupun Katolik. Adanya kemudahan dalam

    hal sarana dan prasarana dibidang transportasi maupun komunikasi menyebabkan

    masyarakat kota Palangka Raya semakin heterogen.

    Sekalipun masyarakat Dayak telah memeluk berbagai agama, bukan berarti

    pengaruh tradisi lama dari kepercayaan agama helo sudah hilang. Kepercayaan itu

    tetap mempengaruhi perilaku orang Dayak secara umum di Kalimantan Tengah. 100

    1.3. Sistem Sosial kemasyarakatan

    Nilai-nilai kehidupan masyarakat Dayak Ngaju yang hingga saat ini masih

    nampak dan tetap dipertahankan dalam kehidupan sehari-hari adalah solidaritas

    sosial dalam kelompok. Hal ini dapat dilihat dari berbagai aktivitas sosial seperti:

    mendirikan rumah (mampendeng huma), menanam padi (manugal), menuai padi

    99

    Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Sejarah Daerah, 137-141 100

    Lihat Tjilik Riwut, Kalimantan Membangun...133-135; Fridolin Ukur, Tantang Djawab Suku

    Dayak, ( Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987), 52.

  • (manggetem parei), pesta perkawinan atau peristiwa kematian. Semua dilakukan

    secara bergotong royong (sama hakadohop, handep).101

    Bentuk kerjasama yang diberikan bervarisai, sesuai dengan kemampuan masing-

    masing. Ada yang memberikan bantuan berupa tenaga, material maupun perhatian

    dalam bentuk lainnya. Kesemuanya dilakukan secara bersama-sama berdasarkan

    falsafah budaya betang (rumah besar, yang dapat ditempati oleh 100-200 orang).

    Hal yang mendasar dalam budaya betang adalah norma kehidupan masyarakat

    berdasarkan prinsip kebersamaan, kekeluargaan, kesetaraan dalam masyarakat.

    1.4. Stratifikasi Sosial

    Stratifikasi sosial masyarakat Dayak Ngaju sudah tidak seketat jaman dulu,

    dan sudah mengalami banyak perubahan di dalamnya. Budaya jipen hajipen

    (perbudakan) dan hajual hapili jipen (jual-beli budak) mulai dihapuskan sejak

    Rapat Besar Perdamaian di Tumbang Anoi tahun 1894.102

    Semua pihak yang hadir

    dalam pertemuan ini sepakat untuk berdamai dan menempatkan sesama manusia

    sebagai mahluk Tuhan yang memiliki kesamaan hak dan kedudukan.

    Secara umum, masyarakat Dayak mengenal sistem stratifikasi sosial antara lain:103

    1. Golongan atas (utus gantung) adalah kelompok masyarakat yang memiliki

    kemampuan finansial yang baik (oloh tatau). Kelebihan yang mereka miliki

    dibandingkan kelompok yang lain adalah harta pusaka dan barang-barang

    berharga berupa mandau, tombak, gong, kangkanong, guci dan sebagainya.

    Kelompok ini menempati posisi yang paling tinggi dalam kehidupan

    masyarakat, dan mempunyai pengaruh yang cukup besar bahkan menentukan

    101

    Wawancara dengan Marli G. Matan (Bapa Erni), Mantir Adat Kereng Bangkirai Kota Palangka

    Raya, 16 Juni 2011 102

    Y. Nathan Ilon, Ilustrasi dan Perwujudan Lambang Batang Garing...54 103

    Tim Peneliti dan Pencatat Kebudayaan Daerah Kalimantan Tengah, Adat Istiadat Kalimantan

    Tengah. (Palangka Raya: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen

    Pendidikan dan Kebudayaan, 1977/1978), 196-198

  • dalam berbagai aktivitas sosial. Dari segi keturunan, yang termasuk dalam

    golongan ini adalah keturunan langsung dari Tamanggung,104

    Dambung

    (orang yang dihormati dalam masyarakat), Pangkalima (Panglima),

    Damang105

    , dan Mantir Adat (membantu Damang dalam menyelesaikan

    tugasnya).

    2. Golongan bawah (utus randah) adalah orang-orang biasa yang hidup

    sederhana, mencukupi kebutuhan sehari-hari dari usahanya sendiri. Ukuran

    untuk menyatakan bahwa seseorang itu termasuk utus randah adalah terletak

    pada harta benda yang dimiliki. Mereka tidak memiliki barang-barang

    berharga seperti yang dimiliki oleh utus gantung.

    3. Golongan budak (utus jipen). Para jipen, sama sekali tidak memiliki harta

    benda. Mereka dipelihara oleh majikannya dan wajib bekerja untuk

    kepentingan majikannya itu. Biasanya yang menjadi jipen adalah orang-orang

    yang kalah dalam peperangan atau perkelahian dan tidak sanggup membayar

    utang, bisa juga karena melanggar hukum adat dan tidak mampu membayar

    denda (sanksi). Mereka akan menjadi orang bebas, jika mereka mampu

    melunasi hutang. Tetapi jika mereka tidak dapat melunasi hutang, maka

    seumur hidup anak keturunannya akan tetap menjadi jipen dan dikenal

    sebagai utus jipen. Yang juga termasuk dalam golongan ini adalah: jipen

    kabalik yaitu budak tawanan perang. Mereka dipandang lebih hina dan

    dianggap dia barega atau tidak memiliki nilai sama sekali dibanding jipen

    104

    Orang yang memiliki kekayaan, karisma sebagai pemimpin sehingga sangat dihormati oleh

    masyarakat. 105

    Kepala adat yang mempunyai fungsi elit lokal yang menentukan hukum-hukum adat dan

    peraturan-peraturan lain yang berhubungan dengan hidup bermasyarakat.

  • karena utang. Mereka juga tidak memiliki kesempatan untuk hidup bebas,

    bahkan bisa dibunuh kapan saja oleh majikannya.106

    1.5. Sistem Kekerabatan

    Suku Dayak yang tinggal di pulau Kalimantan umumnya menganut sistem

    kekerabatan bilateral yaitu, sistem keturunan atau kekeluargaan yang menarik garis

    keturunan dari dua sisi, yaitu dari pihak ayah dan pihak ibu.107

    Setelah

    perkawinan, si suami dianggap sebagai anggota keluarga istri, sebaliknya si istri

    dianggap sebagai anggota keluarga suaminya. Sebab itu, biasanya setelah

    perkawinan si istri maupun suami bebas untuk memilih bertempat tinggal di

    lingkungan keluarga suami atau di lingkungan keluarga istri, sampai mereka

    memiliki tempat tinggal sendiri.

    Dalam hal hak dan kedudukan, suami dan istri dalam masyarakat Dayak

    Ngaju memiliki derajat yang seimbang. Tidak ada yang lebih tinggi maupun lebih

    rendah, masing-masing saling mengisi dan saling bekerja sama. Istri menghormati

    suami, demikian juga suami menghargai istri. Anak laki-laki maupun anak

    perempuan juga memiliki kedudukan yang sama dan sejajar dalam keluarga

    maupun masyarakat. Masing-masing mempunyai hak untuk mewarisi warisan dari

    orang tua mereka.

    Dalam sistem kekerabatan pada suku Dayak Ngaju, yang masih dianggap

    sebagai keluarga dekat adalah sampai kepada keturunan ketiga (hanjenan), sepupu

    dua kali. Sedangkan keturunan keempat sudah dikatakan diluar keluarga inti.

    Itulah sebabnya, para orang tua umumnya cenderung menganjurkan anaknya untuk

    106

    Wawancara dengan Bajik R. Simpei, Basir danTokoh Masyarakat Adat Dayak di kota Palangka

    Raya, 21 Mei 2011 107

    Lihat, Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: Dian Rakyat, 1980), 125

  • menikah dengan keturunan keempat agar hubungan keluarga kembali dekat.108

    Selain itu, diharapkan warisan keluarga berupa tanah, kebun rotan, kebun karet

    maupun benda-benda pusaka yang berharga dapat dipertahankan. Perkawinan yang

    demikian dianggap sebagai perkawinan yang ideal.

    2. Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah

    Perkawinan memiliki kedudukan yang sedemikian penting dalam kehidupan

    masyarakat Dayak Ngaju. Karena itu, adat perkawinan tersebut diatur dengan baik

    agar nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tetap terpelihara. Sehubungan dengan

    itu maka pemerintah daerah menetapkan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan

    Tengah Nomor: 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan

    Tengah. Peraturan Daerah ini merupakan penyempurnaan dari Peraturan Daerah

    Provinsi Tingkat I Kalimantan Tengah Nomor: 14 tahun 1998 tentang

    Kedamangan di Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah yang dinilai sudah

    tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan tuntutan kebutuhan Otonomi Daerah.109

    Kelembagaan Adat Dayak adalah organisasi kemasyarakatan yang tumbuh

    dan berkembang bersamaan dengan sejarah Masyarakat Adat Dayak dengan

    wilayah hukum adatnya. Lembaga ini memiliki hak dan wewenang untuk

    mengatur, mengurus dan menyelesaikan masalah yang terjadi dalam masyarakat

    dengan mengacu kepada adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan hukum adat

    Dayak.110

    Pengaturan Kelembagaan Adat Dayak merupakan upaya pemerintah

    agar lembaga ini dapat diberdayakan sebagai wadah untuk membentuk karakter

    108

    Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Sejarah Daerah

    Kalimantan Tengah, (Palangka Raya: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah

    Depatemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977/1978), 85-86 109

    Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat

    Dayak di Kalimantan Tengah, Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, Sekretariat Daerah Biro

    Hukum, 2008, 1 110

    Ibid, 4

  • masyarakat adat Dayak melalui pelestarian, pengembangan, pemberdayaan adat

    istiadat dan penegakkan hukum dalam masyarakat, demi peningkatan

    kesejahteraan masyarakat setempat serta menunjang kelancaran penyelenggaraan

    pemerintahan.111

    2.1. Hirarki Kelembangaan Adat Dayak Kalimantan Tengah

    Hirarki Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah, sesuai Peraturan

    Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor: 16 Tahun 2008 Pasal 4, sebagai

    berikut:112

    - Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) adalah Lembaga Adat tingkat

    Nasional yang bertugas sebagai lembaga koordinasi, sinkronisasi,

    komunikasi, pelayanan, pengkajian, wadah menampung dan menindaklanjuti

    aspirasi masyarakat dan semua tingkat Lembaga Adat Dayak;

    - Dewan Adat Dayak (DAD) Provinsi Kalimantan Tengah merupakan

    Lembaga Adat Dayak tingkat Provinsi, bertugas melaksanakan program kerja

    dari MADN, menjalankan fungsi koordinasi dan supervisi terhadap seluruh

    Dewan Adat Dayak tingkat Kabupaten/Kota di wilayah Kalimantan Tengah;

    - Dewan Adat Dayak (DAD) Kabupaten/Kota adalah Lembaga Adat Dayak

    tingkat Kabupaten/Kota, bertugas melaksanakan program kerja dari Dewan

    Adat Dayak Provinsi, menjalankan fungsi koordinasi dan supervisi terhadap

    seluruh Dewan Adat Dayak tingkat Kecamatan dam Lembaga Kedamangan

    di wilayahnya.

    - Dewan Adat Dayak (DAD) Kecamatan adalah Lembaga Adat Dayak tingkat

    kecamatan, bertugas melaksanakan program kerja Dewan Adat Dayak

    111

    Ibid, 6 112

    Ibid, 7-8

  • Kabupaten/Kota , menjalankan fungsi koordinasi dan supervisi terhadap

    seluruh Dewan Adat Dayak tingkat Desa/Kelurahan; Kedamangan dipimpin

    oleh Damang Kepala Adat sekaligus sebagai Ketua Kerapatan Mantir/Let

    Pwerdamaian Adat tingkat Kecamatan.

    - Dewan Adat Dayak (DAD) Desa/Kelurahan adalah Lembaga Adat Dayak

    tingkat Desa/Kelurahan, bertugas melaksanakan program kerja DAD tingkat

    Kecamatan; Kerapatan Mantir/Let Perdamaian Adat Desa/Kelurahan.

    Berikut ini merupakan Hubungan hirarki dan Bagan Kelembagaan Adat

    Dayak Kalimantan Tengah:

    PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

    NOMOR 16 TAHUN 2008, TANGGAL 18 DESEMBER 2008

    BAGAN KELEMBAGAAN ADAT DAYAK DI KALIMANTAN TENGAH

    MAJELIS ADAT DAYAK NASIONAL (MADN)

    DEWAN ADAT DAYAK (DAD)

    Povinsi Kalimantan Tengah

    DEWAN ADAT DAYAK (DAD)

    Kabupaten/Kota

    Kedamangan dan Kerapatan

    Mantir Perdamaian Adat

    Kecamatan

    DEWAN ADAT DAYAK (DAD)

    Kecamatan

    Kerapatan Mantir Perdamaian

    Adat Desa/Kelurahan

    DEWAN ADAT DAYAK (DAD)

    Desa/Kelurahan

  • Keterangan:

    Hubungan Hirarki

    Hubungan Koordinasi

    2.2. Lembaga Kedamangan

    Salah satu Lembaga Adat Dayak yang diberdayakan oleh pemerintah adalah

    Lembaga Kedamangan yang dipimpin oleh seorang Damang Kepala Adat yang

    berkedudukan di tingkat kecamatan. Damang merupakan mitra Camat dan mitra

    DAD Kecamatan yang bertugas dalam bidang pelestarian, pengembangan dan

    pemberdayaan, adat istiadat dan berfungsi sebagai penegak hukum adat Dayak

    dalam wilayah Kedamangan bersangkutan. Dalam menjalankan tugasnya, Damang

    Kepala Adat dibantu oleh Mantir Adat selaku DAD tingkat Desa/Kelurahan.113

    Sebelum adanya rapat besar Perdamaian Tumbang Anoi114

    , peranan Damang

    Kepala Adat sangat penting dalam masyarakat. Ia berkewajiban untuk memberikan

    petunjuk serta pemecahannya jika terjadi masalah dalam kehidupan masyarakat

    sehari-hari. Dalam pelaksanaan penyelesaian suatu perkara selalu mengedepankan

    cara-cara damai. Keputusan-keputusan yang diambil oleh Damang sangat dihargai

    113

    Ibid, 8-9 114

    Rapat Besar Perdamaian Tumbang Anoi dilaksanakan selama 60 hari, pada tanggal 22 Mei-24

    Juli 1894. Rapat besar ini dilaksanakan di Tumbang Anoi yang terletak di Kahayan Hulu Utara

    Kalimantan Tengah. Para utusan yang hadir berasal dari seluruh suku Dayak di Kalimantan, para

    pejabat pemerintahan Hindia Belanda, dan tokoh-tokoh pribumi. Peristiwa ini sebagai suatu prestasi

    dari generasi pendahulu dalam merintis semangat persatuan dan kesatuan, maupun pembaharuan

    dibidang politik, sosial, ekonomi, budaya dan keamanan. Butir-butir kesepakatan Rapat Besar

    Perdamaian ini antara lain: pengakuan pemerintah atas lembaga kedemangan (istilah waktu itu),

    penyempurnaan dan penyeragaman 96 pasal Hukum Adat warisan leluhur, penghapusan sistem

    perbudakan, menghentikan kegiatan asang maasang (perang antar suku) dan bunu habunu (bunuh

    membunuh sebagai balas dendam) serta kayau mengayau (kebiasaan berburu kepala manusia), dan

    penyelesaian sengketa antar perorangan maupun kelompok melalui pengadilan yang tuntas, sampai

    pada perdamaian. Peristiwa ini merupakan tonggak sejarah bagi Kalimantan dan persiapan mendasar

    untuk tahap perjuangan selanjutnya. Lihat: Y. Nathan Ilon, Sekitar Perdamaian Tumbang Anoi, dalam Ilustrasi dan Perwujudan Lambang Batang Garing... (Palangka Raya: PBP DATI I

    Kalimantan Tengah, 1991), 50-56.

  • dan dihormati oleh masyarakat adat, karena tiap keputusannya dianggap sebagai

    keputusan yang mencerminkan kehendak masyarakat serta menunjukkan keadilan

    bagi semua.115

    Demikian juga, sebelum adanya pasal-pasal tertulis tentang hukum Adat

    Dayak, secara alami Damang Kepala Adat telah menjalankan hukum-hukum itu.

    Keputusan yang diambil sangat bijaksana dan hati-hati sekali, mempertimbangkan

    kebenaran berdasarkan fakta yang terjadi, dan juga berdasarkan pengalaman-

    pengalaman sebelumnya. Semua masalah dibahas dalam kerapatan adat Dayak,

    yang dihadiri oleh tua-tua adat dan para mantir adat.116

    Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa lembaga adat atau lembaga

    kedamangan yang ada di Kalimantan Tengah maupun yang ada di seluruh

    Kalimantan merupakan lembaga warisan asli daerah. Artinya, lembaga ini tidak

    hanya sebagai lembaga adat biasa, melainkan sebagai persekutuan masyarakat

    hukum adat Dayak, yang sudah ada jauh sebelum kehadiran pemerintah kolonial

    Belanda ada di daerah ini.117

    2.3. Tugas Damang Kepala Adat

    Seorang Damang Kepala Adat yang bertugas di Lembaga Kedamangan

    memiliki tugas antara lain: menegakkan hukum adat dan menjaga wibawa lembaga

    adat kedamangan, menyelesaikan perselisihan atau pelanggaran adat, membantu

    pemerintah daerah dalam mengusahakan kelancaran pelaksanaan pembangunan di

    115

    Wawancara dengan Bajik R. Simpei, Basir dan Tokoh Masyarakat Adat Dayak di Kota Palangka

    Raya, 03 Agustus 2011 116

    Ibid. 117

    Sejak meletusnya perang Banjar tahun 1859, semangat melawan penjajah berkobar di mana-mana,

    termasuk di Kalimantan Tengah. Suasana perang Belanda dengan Barandar (pasukan prajurit yang

    didukung oleh para Damang, Pahlawan Banjar dan tokoh-tokoh masyarakat) menjadi keprihatinan

    para tokoh tua, sehingga mereka memutuskan untuk menandaskan gagasan damai yang diajukan pihak Belanda, dengan syarat Lembaga Kademangan tetap tegak, lembaga adat harus tetap dihargai.

    Lihat Y. Nathan Ilon, Ilustrasi dan Perwujudan Lambang Batang Garing dan Dandang

    Tingang,...52, 108

  • segala bidang, terutama bidang adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan hukum adat,

    menetapkan besarnya uang sidang, uang meja, uang komisi, uang jalan, dan lap

    tunggal dalam rangka pelayanan /penyelesaian kasus dan atau sengketa oleh

    Kerapatan Mantir Perdamaian Adat, baik tingkat kecamatan maupun tingkat

    desa/kelurahan.118

    Dalam menyelesaikan suatu perkara, khususnya di kota Palangkaraya terdapat

    suatu mekanisme tertentu untuk mencegah timbulnya konflik-konflik terbuka yang

    diketahui publik. Suatu perkara yang diajukan kepada Kerapatan Mantir/Let

    Perdamaian Adat,119

    baik tingkat Desa/Kelurahan maupun pada tingkat Kecamatan,

    wajib diterima, diproses sesuai dengan asas kerukunan, kepatutan dan keselarasan

    yang berlaku dalam masyarakat. Tata cara penyelesaian perkara dan tata cara

    menjatuhkan sanksi adat oleh Damang Kepala Adat melalui Kerapatan Mantir/Let

    Perdamaian Adat, dilakukan sesuai dengan hukum adat Dayak yang berlaku di

    wilayah kedamangan masing-masing.

    Sehubungan dengan perkawinan, seorang Damang Kepala Adat ataupun

    Mantir adat berperan sebagai mediator atau pemandu dalam melaksanakan

    perkawinan secara adat, membantu untuk merumuskan perjanjian-perjanjian

    menurut adat, menerbitkan dan mengesahkan surat keterangan perkawinan secara

    adat, mengeluarkan surat keterangan perceraian secara adat dan surat-surat lainnya

    118

    Perda No. 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah, pasal 8 119

    Istilah Let berarti wadah, tempat atau forum. Yang dimaksud Let Perdamaian Adat adalah suatu

    wadah bagi tetua adat, mantir adat yang biasanya diikut sertakan oleh Damang Kepala Adat dalam

    persidangan-persidangan adat, guna menegakan norma-norma adat dalam menyelesaikan suatu

    perkara. Mereka ini disebut sebagai Let Adat, karena mereka adalah tokoh masyarakat yang

    dianggap banyak mengetahui soal adat dan hukum adat yang berlaku dalam masyarakat. Peranan

    lain dari Let adat adalah sebagai pembantu Damang Kepala Adat dalam bidang penegakan,

    penuntutan, dan peradilan adat. Lihat Arma Diansyah, Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat pada Masyakarat Suku Dayak di Palangka Raya. (Tesis, Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar, 2011); lihat Perda, 4.

  • yang berkaitan dengan hukum adat sepanjang diminta oleh pihak-pihak yang

    berkepentingan.120

    3. Perkawinan Adat Dayak Ngaju

    Sistem perkawinan yang berlaku pada masyarakat Dayak Ngaju adalah

    sistem perkawinan Eleutherogami,121

    yaitu sistem perkawinan yang memberikan

    kebebasan kepada seorang laki-laki maupun seorang perempuan untuk memilih

    pasangan hidupnya, baik dari dalam suku sendiri atau di luar suku.

    Bagi masyarakat Dayak Ngaju, perkawinan adalah sesuatu yang luhur dan

    suci, yang mempunyai arti, makna serta kedudukan yang sama pentingnya dengan

    peristiwa kelahiran dan kematian. Perkawinan merupakan salah satu bagian hidup

    masyarakat Dayak Ngaju yang dianggap sakral karena berhubungan dengan

    kepercayaan mereka terhadap leluhur, yaitu Raja Bunu.122

    Perkawinan juga merupakan suatu peristiwa yang berlangsung seumur hidup,

    sampai maut yang memisahkan. Hal ini terlihat jelas dalam ungkapan

    hakambelom sampai hentang tulang artinya: hidup bersama sampai

    menggendong tulang.123 Dari ungkapan ini terlihat jelas bahwa bagi orang Dayak

    Ngaju perkawinan harus dihormati, dan harus tetap dipertahankan sampai salah satu

    pihak meninggal. Penghormatan dan kesetiaaan terhadap perkawinan merupakan

    sesuatu yang harus selalu dijunjung tinggi oleh orang Dayak. Jika salah satu

    suami/istri meninggal terlebih dahulu, maka kewajiban bagi pasangan yang

    ditinggal itu adalah menggendong tulang yang meninggal untuk dibawa masuk ke

    120

    Lihat Perda Pasal 10 ayat 1e. 121

    Bdk. Abdurrahman, Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia,..., 70 122

    Wawancara dengan Bajik R. Simpei Bajik R. Simpei, Basir dan Tokoh Masyarakat Adat Dayak di

    Kota Palangka Raya, 21 Mei 2011 123

    Ibid.

  • sandung,124

    pada waktu upacara tiwah125

    . Karena itu, jika terjadi pencemaran

    terhadap hakekat perkawinan, berarti telah mengotori keluhuran dan kesuciannya,

    maka adat akan memberikan sanksi atau hukuman tertentu bagi yang telah

    mencemarkannya.126

    3.1. Tujuan perkawinan dalam Masyarakat Dayak Ngaju.

    Dalam masyarakat Dayak Ngaju, istilah perkawinan adalah mangarangka

    pambelom artinya merencanakan kehidupan atau mendirikan rumah tangga

    sendiri. Perkawinan secara adat bertujuan untuk mengatur hidup dan perilaku

    belom bahadat, mengatur hubungan manusia berlainan jenis kelamin guna

    terpeliharanya ketertiban masyarakat agar melakukan perbuatan-perbuatan yang

    baik dan tidak tercela. Hubungan seks di luar pernikahan merupakan sikap yang

    tidak terpuji karena dapat mengganggu keseimbangan kosmos. Jika hal itu terjadi,

    maka yang bersangkutan dikenakan sanksi adat.

    Perkawinan juga bertujuan untuk mendapatkan keturunan, anak-anak yang

    dilahirkan dari perkawinan itu. Tujuan ini terlihat sejak upacara Hakumbang auh

    (penjajakan), maja misek (meminang) sampai pelaksanaan perkawinan adat, selalu

    dikatakan: ikei toh dumah handak manggau petak ayun keton hetoh dan amun

    aton angat ikei tau mimbul hong hete. Artinya, kami datang hendak mencari

    tanah kepunyaan kalian dan kalau ada supaya kami boleh menanam disitu. Dari

    ungkapan ini tersirat bahwa laki-laki diibaratkan bibit tanaman yang mencari tanah

    tempat menanam. Sedangkan wanita diibaratkan tanah tempat menanam bibit itu.

    Diharapkan bibit yang ditanam itu dapat tumbuh dan menghasilkan buah. Buah

    124

    Sandung adalah sebuah bangunan kecil, khusus dibangun sebagai tempat menyimpan tulang

    mereka yang telah ditiwah. 125

    Tiwah adalah upacara mengantar arwah ke Lewu Tataw yaitu dunia yang penuh dengan

    kesenangan, kekayaan dan kemakmuran. 126

    Wawancara dengan Basel Abangkan, Kepala Adat Kedamangan Sabangau di kota Palangka Raya,

    06 Juni 2011.

  • dari perkawinan adalah anak-anak. Jadi, salah tujuan perkawinan adalah

    mendapatkan keturunan yang sehat jasmani dan rohani serta menata garis

    keturunan yang teratur guna menjamin kelangsungan hidup suku.

    Seseorang yang telah kawin biasanya memiliki hak dan kesempatan untuk

    jabatan-jabatan tertentu dalam masyarakat, dibandingkan mereka yang belum

    kawin. Dengan demikian perkawinan juga mempunyai tujuan untuk mendapatkan

    status sosial dalam masyarakat.127

    3.2. Bentuk-bentuk Perkawinan dalam Masyarakat Dayak Ngaju

    3.2.1. Perkawinan yang tidak lazim

    Bentuk perkawinan ini merupakan bentuk yang dilakukan dengan cara yang

    tidak sesuai dengan tatanan Adat Dayak. Umumnya bentuk perkawinan ini sangat

    dihindari oleh masyarakat Dayak Ngaju, karena sangat memalukan bagi keluarga,

    kerabat dan juga masyarakat setempat. Dan akibat perkawinan ini, pihak yang

    bersalah akan mendapatkan sanksi adat (singer tekap bau mata = denda penutup

    muka dan mata), sebagai penutup malu atau penutup aib pihak keluarga korban.

    - Kawin hatamput128 Kawin Hatamput artinya kawin lari. Perkawinan ini terjadi atas

    kesepakatan bersama antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk

    melarikan diri dan hidup bersama sebagai suami isteri. Perkawinan ini

    dilakukan tanpa sepengetahuan orangtua mereka. Biasanya hal ini terjadi karena

    orangtua salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak menyetujui rencana

    perkawinan mereka. Bisa juga karena pihak laki-laki tidak mampu memenuhi

    tuntutan adat terutama palaku (mas kawin) yang diminta oleh orangtua

    perempuan atau pihak laki-laki tidak mampu membiayai pelaksanaan upacara

    perkawinan yang terlalu mahal.

    127

    Ibid. 128

    Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Bagian Proyek

    Pengajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Kalimantan Tengah, Adat dan Upacara Perkawinan

    Daerah Kalimantan Tengah, 1994/1995, 61-62

  • - Kawin Pahinje Arep129 Pahinje Arep artinya menyatukan diri, dalam hal ini pihak laki-laki maupun

    pihak perempuan bersatu/hidup bersama atas kemauan sendiri. Perkawinan ini

    biasanya terjadi karena pihak laki-laki tidak mampu memenuhi syarat-syarat

    adat dan membiayai pesta perkawinan. Cara ini juga sering dilakukan untuk

    memaksa orangtua agar merestui perkawinan mereka.

    - Kawin Manyakei130 Kata Manyakei berarti memanjat; menaiki, dalam hal ini pihak laki-laki

    atau perempuan nekat pergi dari rumah orang tuanya, ke rumah pemuda atau

    gadis yang dicintainya, dan tidak akan pulang ke rumah orangtuanya sampai

    mereka dinikahkan secara resmi menurut adat. Kawin manyakei umumnya

    terjadi karena beberapa faktor antara lain: orangtua tidak menyetujui pilihan hati

    anaknya, janji yang pernah diucapkan kepada orang yang manyakei tetapi tidak

    segera ditepati.

    3.2.2. Perkawinan Tulah: Mandai Balai Sumbang

    Pelaksanaan upacara perkawinan ini dilakukan jika telah terjadi pelanggaran

    terhadap norma-norma yang lazim berlaku di dalam masyarakat. Bentuk

    pelanggaran ini berupa kesalahan dalam silsilah keluarga (sala hurui), misalnya

    antara paman dengan keponakan atau bibi dengan keponakan dan juga antara kakek

    dengan cucu atau nenek dengan cucu, walaupun dari segi usia mereka dari generasi

    yang sama. Hal ini merupakan aib bagi seluruh keluarga.

    Menurut adat, pasangan yang telah melakukan pelanggaran tersebut harus

    dikawinkan dengan upacara Mandai Balai Sumbang atau kawin tulah dimana

    mereka harus makan di tempat dulang bawui (tempat makanan babi). Perkawinan

    ini sangat memalukan karena martabat keduanya direndahkan menjadi setingkat

    dengan binatang.131

    Upacara kawin tulah dilakukan untuk menghindari

    ketidakseimbangan kosmos yang dapat mengakibatkan malapetaka bagi manusia,

    binatang juga alam sekitar.

    129

    Adat Istiadat Dayak Ngaju, (Kalimantan Tengah: LSM Pusat Budaya Betang, 2003), 48 130

    Ibid. 131 Pranata, Sarana dan Pelaksanaan Upacara Ritual Perkawinan Agama Hindu Kaharibgan di Kabupaten Barito Selatan, Jurnal Agama Hindu Tampung Penyang Vol. III, No. 2, (Agustus 2006), 22-23.

  • 3.2.3. Perkawinan yang lazim:kawin hisek

    Perkawinan yang sesuai dengan ketentuan adat Dayak Ngaju adalah kawin

    Hisek. Perkawinan ini memiliki tahap-tahap sebagai berikut:

    1.) Pra Perkawinan

    Tahap ini merupakan tahap awal menuju kepada perkawinan. Beberapa

    tahap yang harus dilalui adalah:

    a. Bisik kurik, Hakumbang Auh (Penjajakan)

    Bisik kurik (bisikan kecil) merupakan bisikan yang ada dalam hati

    seorang laki-laki untuk melamar perempuan yang menjadi kekasih hatinya.

    Maksud hati itu disampaikan kepada orang tuanya untuk kemudian ditindak

    lanjuti. Untuk menyampaikan bisikan hati itu kepada pihak perempuan, maka

    pihak laki-laki meminta bantuan salah seorang kerabat dekat, yang dalam

    tatanan adat dayak disebut Luang, artinya juru runding atau kurir.

    Melalui kurir inilah pihak laki-laki menyerahkan selembar uang sebagai tanda

    kesungguhan hati.132

    Penyerahan selembar uang ini dinamakan Hakumbang

    auh. Besarnya jumlah uang yang disampaikan dalam rangka Hakumbang Auh

    tidak ditentukan. Biasanya uang yang disampaikan hanya selembar, misalnya

    Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah), Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah), Rp.

    20.000,- (dua puluh ribu rupiah), Rp. 50.000,0 (lima puluh ribu rupiah) atau

    Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah).

    Uang yang telah diberikan tersebut menjadi pegangan bagi pihak

    perempuan untuk mengadakan perundingan dengan sanak keluarga. Dalam

    perundingan itu, diperhatikan pula tentang larangan-larangan perkawinan,

    132

    Wawancara dengan Basel Abangkan, Damang Kepala Adat Kecamatan Sabangau di Kota

    Palangka Raya, tanggal 06 Juni 2011

  • jangan sampai diantara mereka terjadi sala hurui atau kekerabatan yang tidak

    sederajat menurut adat.133

    Apabila ada keluarga yang keberatan, maka uang

    itu akan dikembalikan melalui luang yang menyampaikan duit kumbang

    tersebut. Namun, jika tidak ada yang berkeberatan, maka duit kumbang

    diterima. Dan melalui luang pula disampaikan pesan kepada pihak laki-laki

    bahwa maksud hati mereka telah diterima. Selanjutnya orang tua pihak laki-

    laki diminta datang ke tempat keluarga perempuan untuk membicarakan

    tentang pelaksanaan acara Mamanggul.

    b. Meminang: Mamanggul (Kajan Hatue)

    Tahap ini merupakan kelanjutan dari Hakumbang Auh yaitu cara

    meminta si gadis secara resmi setelah pihak keluarga laki-laki mengetahui

    bahwa keinginan hati mereka diterima oleh pihak perempuan. Acara

    Mamanggul merupakan pertemuan yang tidak hanya melibatkan keluarga

    kedua belah pihak, namun juga masyarakat sekitar. Acara ini dilakukan jika

    waktu pelaksanaan perkawinan lebih dari setahun. Dalam acara ini, pihak

    laki-laki memberikan Tanda Panggul kepada sang gadis berupa kain,

    seperangkat alat mandi, minyak wangi dan sejumlah uang. Dan sebagai

    pengikat janji, kedua belah pihak memberikan duit turus berupa duit receh

    yang dibagi-bagikan kepada orang-orang yang hadir. Duit receh ini

    dinamakan Turus Panggul maksudnya orang-orang yang telah menerima duit

    receh tersebut sebagi saksi dari ikatan itu.134

    133

    Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Bagian Proyek

    Pengajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Kalimantan Tengah, Adat dan Upacara Perkawinan,

    68 134

    Wawancara dengan Basel Abangkan, Kepala Adat Kedamangan Sabangau di kota Palangka Raya,

    06 Juni 2011.

  • Hal-hal yang dibahas dalam acara Mamanggul adalah Jalan Hadat,

    yaitu barang-barang adat yang harus diberikan oleh pihak laki-laki pada saat

    pelaksanaan perkawinan kepada pihak perempuan sesuai dengan ketentuan

    adat perkawinan. Adapun barang-barang adat tersebut adalah:135

    Palaku,

    Saput, Pakaian Sinde Mendeng, Garantung Kolok Pelek, Lamiang Turus

    Pelek, Bulau Singah Pelek, Lapik Luang, Sinjang Entang, Tutup Uwan, Lapik

    Ruji, Timbuk Tangga, Pinggan Pananan Pahinjean Kuman, Rapin Tuak,

    Bulau Ngandung/Panginan Jandau, Jangkut Amak, Turus Kawin dan Batu

    Kaja.

    Selanjutnya dibicarakan pula masalah besarnya denda yang harus

    dibayar oleh pihak yang melanggar perjanjian mamanggul tersebut. Semua

    perjanjian yang telah disepakati bersama, dituang dalam Surat Perjanjian

    Mamanggul yang ditanda tangani oleh keluarga dekat dan saksi-saksi dari

    kedua belah pihak. Acara ini diakhiri dengan makan bersama.

    c. Pertunangan: Maja Misek (Kajan Bawi)136

    Acara Maja Misek tidak jauh berbeda dengan Mamanggul.

    Berdasarkan kesepakatan bersama, kedua belah pihak menetapkan hari, bulan

    dan tanggal Maja Misek (pertunangan). Disebarlah undangan kepada seluruh

    kerabat dan masyarakat sekitar untuk bersama-sama menyaksikan peresmian

    pertunangan anak-anak mereka.

    Maja dalam bahasa Dayak Ngaju adalah bertamu atau bertandang,

    sedangkan Misek artinya bertanya. Jadi, dalam tatanan adat perkawinan

    135

    Mengenai barang-barang hadat ini, terdapat dalam Surat Perjanjian Perkawinan Menurut Adat

    dayak Ngaju, dan makna dari barang-barang tersebut akan dibahas dalam Perjanjian Perkawinan

    Adat Dayak Ngaju. 136

    Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Bagian Proyek

    Pengajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Kalimantan Tengah, Adat dan Upacara Perkawinan,

    69

  • Dayak Ngaju, acara Maja Misek berarti suatu tahap dimana pihak laki-laki

    bertamu untuk menanyakan kepada pihak perempuan tentang kelanjutan dari

    perjanjian yang telah dibuat bersama pada acara Mamanggul.

    Pada acara Maja Misek ini, rombongan keluarga pihak laki-laki datang

    dengan membawa Ramun Paisek (barang-barang syarat pertunangan) berupa

    Pakaian Sinde Mendeng (satu stel pakaian lengkap), seperangkat alat untuk

    mandi dan seperangkat barang untuk merias diri serta dua buah cincin

    pertunangan. Barang-barang ini dibawa dalam Sangku yang digendong

    dengan menggunakan bahalai (kain panjang) oleh bibi atau nenek calon

    mempelai laki-laki.

    Acara dimulai dengan dialog tentang maksud kunjungan rombongan

    dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan, dilanjutkan pembahasan

    mengenai penetapan hari, bulan dan tahun pelaksanaan perkawinan. Dalam

    menentukan waktu pelaksanaan perkawinan, biasanya sedapat mungkin

    dihindari: bulan tapas (bulan yang tidak genap 30 hari), bulan mahutus (saat-

    saat pergantian bulan), bulan kakalah (kira-kira satu minggu setelah

    purnama), bulan awan (gerhana bulan). Waktu pelaksanaan yang dianggap

    baik adalah bulan lembut (bulan baru timbul) atau sering disebut juga bulan

    belum (bulan hidup) sampai bulan bunter (bulan penuh, bulat).137

    Masyarakat Dayak Ngaju memahami bahwa waktu pelaksanaan perkawinan

    yang baik akan mempengaruhi perkawinan, antara lain: membawa

    kebahagiaan, kelanggengan, kemakmuran dalam hidup, jauh dari segala sakit

    penyakit dan kesialan. Sebaliknya jika waktu pelaksanaan dianggap tidak

    137

    Wawancara dengan Helmina, salah satu masyarakat di kota Palangka Raya yang sering

    mengikuti acara perkawinan Adat Dayak Ngaju, tanggal 20 Juni 2011.

  • baik, maka perkawinan itu akan dirundung kesedihan, kekecewaan, kesialan

    dan hal-hal negatif lainnya.138

    Hal-hal lain yang tidak kalah penting untuk dimusyawarahkan dalam

    acara ini adalah: syarat-syarat perkawinan atau Jalan Hadat yang harus

    dipenuhi oleh pihak laki-laki sesuai dengan ketentuan yang berlaku menurut

    adat maupun tradisi yang berlaku dalam keluarga pihak perempuan; besarnya

    pembayaran Palaku yang harus diserahkan, Bulau Ngandung/Panginan

    Jandau (biaya pesta perkawinan) dan Danda Adat (sanksi adat) apabila

    terjadi pelanggaran perjanjian pertunangan yang menyebabkan batalnya

    perkawinan. Semua hal yang telah dimusyawarahkan dan disepakati tersebut,

    ditulis dalam Surat Janji Hisek (Surat Perjanjian Pertunangan), yang ditanda

    tangani oleh orang tua kedua belah pihak, dua orang saksi masing-masing

    pihak dan juga oleh Damang Kepala Adat setempat,139

    untuk menguatkan

    ikatan janji pertunangan tersebut. Selanjutnya penyerahan Ramun Paisek

    kepada pihak perempuan.

    Acara dilanjutkan dengan Meteng Manas.140

    Pelaksanaan acara ini

    dilakukan sesuai dengan agama yang dianut oleh kedua calon mempelai.

    Pada agama Kaharingan, acara ini dipimpin oleh Basir atau tokoh adat

    Kaharingan (tua-tua adat), dimana yang memimpin acara ini memasang

    gelang manik kepada pasangan yang bertunangan, kemudian dilanjutkan

    dengan Tampung Tawar (memercikan air yang diisi bunga segar dan harum,

    atau bisa juga air diberi bunga dan parfum) oleh orang tua, kerabat dekat juga

    138

    Ibid 139

    Format Surat Janji Hisek hampir sama dengan Surat Perjanjian Mamanggul, yang berbeda

    hanyalah kop suratnya, Wawancara dengan Bajik R. Simpei, 21 Mei 2011 140

    Acara Meteng Manas adalah acara mengikat tali kayu yang terbuat dari serat kayu Tengang, yang

    telah dipasang Manas (manik) oleh Basir atau tokoh adat Kaharingan.

  • tokoh masyarakat yang hadir. Sedangkan dalam agama Kristen, setelah

    penyerahan ramun pisek, acara dilanjutkan dengan ibadah yang dipimpin oleh

    Pendeta. Dalam acara ini dilaksanakan acara tukar cincin pertunangan.

    Kemudian, acara diakhiri dengan makan bersama.

    Pada masa sekarang, acara mamanggul bisa langsung menjadi acara

    maja misek, jika jarak pelaksanaan perkawinan tidak lebih dari satu tahun.

    Mengingat waktu dan juga biaya yang dikeluarkan tidak sedikit untuk kedua

    acara tersebut.

    Manas

    2.) Pelaksanaan Perkawinan

    Sesuai dengan kesepakatan waktu yang telah ditetapkan, maka

    dilaksanakanlah upacara perkawinan, yang dimulai dengan acara:

    a. Panganten Haguet/Mandai

    Acara Panganten Haguet/Mandai adalah acara dimana pihak calon

    pengantin laki-laki beserta seluruh keluarga haguet (berangkat) menuju ke

    rumah calon pengantin perempuan. Biasanya dirumah calon pengantin laki-

  • laki diadakan jamuan sederhana dan juga telah disiapkan sangku yang berisi

    beras, ramun pisek berupa handuk, sabun, bedak dan sebagainya.

    Keberangkatan rombongan calon pengantin laki-laki diiringi dengan

    bunyi-bunyian dari gendang dan gong. Setiba di halaman rumah calon

    pengantin perempuan, rombongan tidak dapat masuk karena dihalangi oleh

    Pantar Lawai141

    atau Lawang Sakepeng142

    yaitu semacam pintu gerbang yang

    dibuat dari pelepah kelapa yang dihiasi dengan benang bersusun tiga yang

    dibentangkan menghalangi jalan masuk. Agar rombongan dapat masuk maka

    benang yang merintangi tersebut harus diputuskan. Untuk itu masing-masing

    pesilat dari kedua belah pihak saling berhadapan dan saling berjabat tangan

    sebagai suatu bentuk pernyataan bahwa mereka hanya melakukan

    pertunjukkan, untuk memeriahkan kedatangan calon pengantin laki-laki.

    Kedua pemain itu akan mempertunjukkan kebolehannya. Pesilat dari pihak

    pengantin perempuan berusaha bertahan agar pesilat dari pihak laki-laki tidak

    dapat menerobos masuk, tetapi pesilat dari pihak laki-laki terus mendesak

    masuk, sehingga satu persatu tali perintang putus. Hal ini menunjukkan

    bahwa tidak mudah bagi seorang laki-laki untuk mendapatkan seorang wanita

    menjadi istrinya. Banyak tantangan dan rintangan yang harus dihadapi,

    namun semua itu dapat diatasi.

    141

    Tim Khusus Dewan Adat Dayak Provinsi Kalimantan Tengah, Perkawinan Menurut Adat Dayak Kalimantan Tengah ..., 6 142Adat Istiadat Dayak Ngaju, 33-34

  • Lawang Sakepeng

    b. Haluang143

    Acara haluang dilakukan oleh juru bicara dari kedua belah pihak, terdiri

    dari tiga, lima atau tujuh orang, sesuai dengan kesepakatan. Acara ini

    dipandu oleh seorang luang yang duduk diantara kedua belah pihak. Kedua

    belah pihak saling berdialog. Pihak pengantin perempuan menanyakan

    maksud dan tujuan kedatangan rombongan pengantin laki-laki, dengan

    menggunakan bahasa humor dan bahasa kiasan. Pihak pengantin laki-laki

    pun akan menjawab dengan bahasa yang sama, sehingga suasana menjadi

    ramai dan menarik. Dalam acara ini ada aturannya, yaitu: barang siapa dalam

    dialog melakukan kesalahan bicara, maka yang bersangkutan dikenakan

    "denda" yaitu minum satu seloki tuak atau sejenis minuman beralkohol yang

    khusus disediakan untuk acara tersebut, sehingga acara berlangsung hangat

    dan gembira.

    Setelah acara dialog selesai, dilanjutkan dengan penyerahan barang -

    barang perkawinan adat. Sebelumnya dilakukan persiapan-persiapan antara

    lain ibu kandung mempelai perempuan beserta seorang kerabat dekat

    143

    Wawancara dengan Marli G. Matan, Mantir Adat Kereng Bangkirai di kota Palangka Raya, 16

    Juni 2011.

  • menyiapkan sebuah sangku yang diisi dengan beras sekitar setengah dan

    diberi alas dengan lipatan kain batik panjang. Selanjutnya ibu kandung

    mempelai laki-laki dan mempelai perempuan saling memberi sedikit beras

    dari sangku masing-masing sebagai perlambang niat untuk mengikat kesatuan

    dan persatuan kedua keluarga.

    Sebelum penyerahan syarat-syarat perkawinan, pihak keluarga

    mempelai laki-laki meminta agar mempelai perempuan dihadirkan ditengah-

    tengah keluarga kedua belah pihak dan para undangan yang hadir.

    Selanjutnya, pembawa acara membacakan satu persatu persyaratan adat

    tersebut, sementara ibu kandung mempelai laki-laki menyerahkan persyaratan

    adat dimaksud kepada ibu kandung mempelai perempuan. Setelah diperiksa

    dan diperlihatkan kepada yang hadir, lalu dimasukkan didalam sangku.

    Selanjutnya, Damang Kepala Adat mengangkat sangku, mengucapkan doa

    dengan menggunakan Bahasa Dayak Ngaju, sebagai berikut144

    :

    Inggatangku ikau toh sangku uka rahian andau hagatang kea sewut saritan ewen toh, mangat mambelom arep ewen, tatau, sanang, pintar-harati tuntang baumur panjang.

    (kuangkat engkau sangku agar kelak terangkat pula nama dan kemasyhuran

    mereka, hidup senang, kaya, pandai dan bijaksana serta memperoleh umur panjang). i-ayunku ikau toh sangku akan hila pambelep, uka belep kea kare dahiang baya, nupi kampa ije papa, belep kea kare kapaut kabantah, palus lembut kapakat kabulat atei uka

    belum untung batuah.

    (kuayunkan engkau sangku kearah barat agar ikut terbenam pula firasat dan

    mimpi buruk, terbenam pula segala bentuk perselisihan dan silang sengketa

    sehingga muncullah rasa kebersamaan/kesehatian agar hidup beruntung).

    i-ayunku lnganjungku ikau toh sangku akan hila pambelum, maka kilau toh belom aseng nyaman ewen belom kea tiruk itung, pikir-akal dan belom kea isi daha.

    144

    Wawancara dengan Bajik R. Simpei, Basir dan Tokoh Masyarakat Adat Dayak di Palangka Raya,

    03 Agustus 2011

  • (kuayunkan engkau sangku kearah timur agar dengan demikian selalu sehat

    segar-bugar serta hidup pula cara berpikir mereka menuju kebahagiaan).

    Inggatangkuh ikau toh sangku akan ngambu. Uka panju-panjung kea sewut saritan ewen belom bauntung dan tuah bahambit.

    (kuangkat engkau sangku keatas agar dengan demikian masyhur pula nama

    dan perbuatan baik mereka, penuh keberuntungan dan hidup bertuah serta

    berezeki).

    Setelah itu sangku dan semua Syarat Perkawinan Adat dibawa masuk

    dan disimpan di dalam kamar pengantin.

    Acara Haluang dipimpin oleh Damang Kepala Adat

    c. Pelaksanaan Perkawinan

    Setelah serangkaian tahapan adat dilaksanakan, maka pelaksanaan

    perkawinan selanjutnya bagi yang beragama Kaharingan, diserahkan kepada

    basir untuk memimpin acara Manyaki yaitu, mengoleskan darah hewan

    korban yang telah di taruh pada sebuah piring atau mangkok kecil, ke

    beberapa bagian tubuh kedua mempelai. Jadi, istilah Penganten Hasaki

    berarti kedua mempelai dipoles dengan darah hewan. Upacara Manyaki

  • Panganten merupakan inti upacara pengukuhan perkawinan bagi agama

    Hindu Kaharingan suku Dayak Ngaju.145

    Pada acara ini kedua mempelai duduk di atas sebuah gong sambil

    memegang sebatang pohon sawang146

    (Ponjon Andong/hanjuan) yang diikat

    bersamaan dengan Dereh Uwei (sepotong rotan) dan Rabayang (tombak

    bersayap/sejenis tri sula). Jari telunjuk mereka menunjuk ke atas sebagai

    tanda bahwa mereka berdua bersaksi kepada Ranying Hatalla Langit. Kaki

    mereka menginjak jala dan batu asah sebagai tanda bahwa mereka berdua

    juga bersaksi kepada penguasa alam bawah. Basir melakukan upacara

    manyaki mamalas (mengoleskan darah hewan korban ke beberapa bagian

    tubuh kedua mempelai), serta tampung tawar. Behas hambaruan diletakkan

    di atas ubun-ubun kedua mempelai. Upacara itu bermakna bahwa kedua

    mempelai disucikan, sehingga dalam menjalani kehidupan berumah tangga

    mereka senantiasa sehat, selamat dan memperoleh rejeki. Selanjutnya, kedua

    mempelai berjalan menuju ambang pintu rumah, dan sambil memegang

    ambang pintu mereka berdua Manukie (pekikan): kuiy....kuiy..kuiy...

    sebanyak tujuh kali, diiringi dengan pukulan gong. Maksud pekikan itu

    adalah untuk membuka pintu langit dan mereka berdua berikrar dihadapan

    Tuhan bahwa mereka akan memelihara perkawinan itu untuk selama-

    lamanya sampai akhir hayat. Yang dilanjutkan dengan prosesi penanaman

    pohon Sawang (hanjuan).147

    Beberapa urutan acara tersebut, (manyaki

    145

    Wawancara dengan Marli G. Matan (Bp. Erni), Mantir Adat Kereng Bangkirai di kota Palangka

    Raya, 16 Juni 2011. 146

    Tanaman ini sangat penting dalam ritual-ritual masyarakat Dayak Ngaju. 147

    Wawancara dengan Bajik R. Simpei, Basir dan Tokoh Masyarakat Adat Dayak, tanggal 03

    Agustus 2011

  • pangenten dan penanaman pohon sawang) tidak dilakukan oleh yang

    masyarakat Dayak non Hindu Kaharingan.148

    Sementara bagi yang beragama kristen, acara selanjutnya diserahkan

    kepada pendeta untuk memimpin acara ibadah singkat sebelum rombongan

    diberangkatkan ke gereja. Setiba di gereja, barulah acara ibadah pemberkatan

    nikah dilaksanakan. Biasanya setelah acara pemberkatan ini, acara

    dilanjutkan dengan Pencatatan Perkawinan oleh petugas Kantor Pencacatan

    Sipil. Acara resepsi (pemberian ucapan selamat oleh para undangan kepada

    kedua mempelai keluarga, disertai dengan makan bersama) dilaksanakan di

    rumah mempelai wanita.

    3.) Pasca Perkawinan

    Beberapa hari setelah acara pesta perkawinan selesai, maka mempelai

    laki-laki memboyong istrinya ke rumah orang tuanya. Untuk menyambut

    kehadiran menantunya, maka pihak mempelai laki-laki mengadakan pesta

    Pakaja Manantu. Pada acara inilah orang tua mempelai laki-laki

    memberikan batu kaja bagi menantunya sebagai wujud kebahagiaannya

    menerima menantunya menjadi bagian dari keluarga.149

    Dalam pesta itu orang tua mempelai laki-laki menyerahkan pakaian

    sinde mendeng dan sebuah garantung (gong) sebagai batu kaja, atau bisa

    juga diganti dengan uang atau perhiasan berupa emas murni yang memiliki

    nilai yang sama dengan barang adat tersebut.150

    148

    Ibid. 149

    Wawancara dengan Suhardi Monong Stepanus, Damang Kepala Adat Kecamatan Pahandut Kota

    Palangka Raya, tanggal 08 Juli 2011 150

    Ibid.

  • Demikianlah tahapan adat yang telah diajarkan secara turun temurun

    oleh leluhur masyarakat Dayak Ngaju. Tahapan-tahapan adat ini masih

    dilaksanakan dan pelihara sampai sekarang. Sekalipun mungkin jumlah,

    urutan dan sebutannya tidak sama, namun pada intinya hal itu menunjukkan

    bahwa perkawinan telah memenuhi hukum adat dan mereka siap menjalani

    kehidupan bersama.

    4. Perjanjian Perkawinan menurut Adat Dayak Ngaju

    Perjanjian perkawinan dalam masyarakat Dayak Ngaju lahir dari kebiasaan,

    yaitu suatu perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang oleh masyarakat,

    dipatuhi sebagai nilai-nilai hidup yang positif. Pola kebiasaan itu diterima sebagai

    sesuatu yang mengikat dan ditaati oleh masyarakat, dan dirasakan sebagai suatu

    kewajiban yang harus dilakukan. Sehingga kebiasaan itu menjadi adat yang berlaku

    bagi masyarakat.

    Perjanjian perkawinan adat merupakan ikrar hidup bersama dihadapan Tuhan,

    keluarga dan masyarakat. Perjanjian perkawinan ini, dibuat dengan maksud agar

    ikatan perkawinan kedua belah pihak tetap kuat dan utuh.151

    Perjanjian perkawinan

    dalam masyarakat Dayak Ngaju bukanlah semata-mata memperjanjikan harta benda

    yang dimiliki, tetapi lebih kepada perjanjian untuk hidup bersama dalam hal saling

    mencintai dan tolong menolong dalam membina rumah tangga yang rukun dan

    bahagia, dan yang paling penting adalah kesetiaan masing-masing pihak.152

    Perjanjian perkawinan berfungsi sebagai pedoman bagi pasangan suami istri

    agar tidak melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan adat, dan tidak mudah

    151

    Wawancara dengan Juli Norman, Basir di kota Palangka Raya, 12 Juli 2011 152

    Wawancara dengan Bajik R. Simpei, Basir dan Tokoh Masyarakat Adat Dayak, tanggal 03

    Agustus 2011.

  • bercerai tege kikeh (ada rasa takut), karena di dalamnya memuat aturan-aturan

    yang harus ditaati beserta sanksi-sanksinya. Bagi masyarakat Dayak Ngaju,

    perjanjian perkawinan masih terus dipelihara dan dilaksanakan untuk menjaga

    keseimbangan kosmos dan mempertahankan nilai-nilai budaya yang terkandung di

    dalamnya. Perjanjian perkawinan juga merupakan lambang indentitas diri sebagai

    orang Dayak.153

    4.1. Asal Mula Perjanjian Perkawinan Adat Dayak Ngaju

    Seorang informan yang ketika peneliti temui, baru saja membantu istrinya

    mengadakan ritual manatamba oloh haban (mengobati orang sakit) menuturkan:

    Buhen itah malalus pelek rujin pangawin bara bihin sampai wayah toh, jete awi puna bara

    Tatu Hiang itah helo, muhun akan utus itah oloh Dayak. Dia itah tau malihi jete, awi jite je

    nenga Raying Hatalla langit akan itah kalunen. Palaku je hapan itah wayah toh asalah bara

    Palaku ayun indu Sanguman (Nyai Endas Bulau Lisan Tingang).154

    (Kenapa kita melaksanakan pelek rujin pangawin dari dulu sampai sekarang,

    itu karena sudah dari nenek moyang/leluhur kita dulu, turun kepada kita

    orang Dayak. Itu tidak bisa kita tinggalkan, karena hal itu diberikan oleh

    Tuhan Yang Maha Esa untuk kita manusia. Palaku yang kita pakai sekarang

    berasal dari Palaku kepunyaan Indu Sanguman (panggilan untuk Nyai Endas

    Bulau Lisan Tingang).

    Pelek rujin pangawin artinya pedoman dasar perkawinan merupakan

    tata cara dan persyaratan yang ditempuh dalam beberapa kegiatan ritual

    perkawinan, baik sebelum pelaksanaan maupun disaat pelaksanaan

    153

    Ibid, 154

    Wawancara dengan Marli G. Matan (Bp. Erni), Mantir Adat Kereng Bangkirai di kota Palangka

    Raya, 16 Juni 2011

  • perkawinan, termasuk jalan hadat yang harus dipenuhi oleh seorang calon

    mempelai laki-laki kepada calon mempelai perempuan dan keluarganya.155

    Menurut Panaturan (Kitab suci agama Hindu Kaharingan) Jalan Hadat

    perkawinan ini merupakan contoh atau teladan yang diberikan oleh Raying

    Hatalla Langit kepada manusia, sebagai berikut :

    Pelek Rujin Pangawin ije manjadi suntu awi RANYING HATALLA hajamban Raja

    Uju Hakanduang intu lewu Bukit Batu Nindan Tarung, akan uluh kalunen panakan

    Maharaja Bunu dapit jeha, tuntang jetuh kea ije manjadi tampara bukun uluh bawi

    tege Palaku tuntang Jalan Hadat.156

    Artinya :

    Pelek Rujin Pangawin ini yang menjadi contoh dari RANYING

    HATALLA, melalui Raja Uju Hakanduang di Lewu Bukit Nindan

    Tarung untuk manusia turunan raja Bunu dan ini juga yang menjadi

    awal bagi perempuan ada mas kawinnya atau Jalan Adat.

    Dari Panuturan pula dapat diketahui bahwa latar belakang munculnya Jalan

    Hadat yaitu berpedoman pada perkawinan Raja Garing Hatungku dan Nyai Endas

    Bulau Lisan Tingang, yang mana diriwayatkan bahwa: 157

    Tuhan semesta alam (Ranying Hatalla) sebelum menurunkan manusia ke

    muka bumi, di alam atas telah terjadi perkawinan antara Nyai Endas Bulau

    Lisan Tingang/Indu Sangumang dengan Raja Garing Hatungku. Namun

    setelah menikah, Nyai Endas Bulau Lisan Tingang tidak mau berkumpul

    dengan suaminya sebab dia merasa kurang persyaratan perkawinannya. Raja

    155

    Ibid, 156

    Lihat Majelis Besar Alim Ulama Kaharingan Indonesia (MBAUKI), Panaturan Tamparan Taluh

    Handiai Awal Segala Kejadian 30.33, (Palangka Raya: CV. Litho Multi Warna, 1996). 157

    Dituturkan oleh Marli G. Matan (Bp. Erni), Mantir Adat Kereng Bangkirai di kota Palangka

    Raya, 16 Juni 2011.

  • Garing Hatungku bertanya apakah yang kurang? Nyai Endas Bulau Lisan

    Tingang meminta Palaku atau Jalan Hadat sebagai bukti bahwa dia sudah

    kawin dan sebagai modal hidup yang dapat diperlihatkan kepada anak

    cucunya. Nyai Endas Bulau Lisan Tingang meminta Palaku berupa:

    1. Bukit lampayung Nyahu (Sandong/tempat tulang). Pada saat upacara

    Tiwah (upacara kematian tingkat terakhir untuk mengantarkan roh umat

    Kaharingan yang meninggal ke Lewu Tatau (alam keabadian), maka tulang

    belulang almarhum yang ditiwahkan akan disimpan dalam sebuah tempat

    berbentuk rumah yang lazim disebut dengan Sandong oleh masyarakat

    Dayak.

    2. Banama Bulau Pahalendang Tanjung Anjung Rabia Pahalingei Lunuk

    merupakan istilah dalam bahasa Sangiang yang berarti sebuah peti mati, yang

    merupakan simbol kesetiaan sehidup semati antara suami istri. Jadi maksud

    dari permintaan Nyai Endas Bulau Lisan Tingang yang terdapat dalam simbol

    peti mati ini adalah dia menginginkan sebuah kesetiaan sehidup semati dalam

    membangun rumahtangga.

    3. Bukit Tampung Karuhei adalah sebuah tempat kumpulan rejeki dan

    kekayaan. Bukit Tampung Karuhei ini menyimbolkan bahwa dalam

    membentuk sebuah rumahtangga tidak hanya bermodalkan cinta namun juga

    didukung oleh pemenuhan materi. Setelah syarat Palaku yang diminta oleh

    Nyai Endas Bulau Lisan Tingang terpenuhi barulah Nyai Endas mau

    berkumpul dengan suaminya.

    Tata cara perkawinan Nyai Endas Bulau Lisan Tingang dan Raja

    Garing Hatungku merupakan asal mula ritus perkawinan yang dilaksanakan

  • oleh suku Dayak Ngaju dan juga yang menjadi awal adanya Palaku bagi

    perempuan, seperti yang terdapat dalam Jalan Hadat perkawinan.158

    Informasi di atas menunjukkan bahwa perjanjian perkawinan pada suku

    Dayak Ngaju berawal dari mitologi yang berkembang di kalangan masyarakat

    Dayak Ngaju. Mitologi ini mengandung nilai moral menyangkut sikap dan

    tanggung jawab terhadap perkawinan. Itulah sebabnya masyarakat Dayak

    sangat menghormati perkawinan, bahkan membuat perjanjian perkawinan

    sebagai pedoman dan pengikat bagi pasangan yang menikah. 159

    4.2. Surat Perjanjian Perkawinan Adat Dayak Ngaju

    Sebelum masyarakat Dayak mengenal huruf (baca tulis), perjanjian

    perkawinan hanya dilakukan secara lisan saja. Masing-masing kedua

    mempelai berjanji sambil duduk di atas sebuah gong sambil memegang

    sebatang pohon sawang yang diikat dengan Dereh Uwei (sepotong rotan) dan

    Rabayang (tombak bersayap/sejenis tri sula). Jari telunjuk mereka menunjuk

    ke atas sebagai tanda bahwa mereka berdua bersaksi di hadapan Ranying

    Hatalla Langit, bahwa mereka akan hidup bersama dalam menjalani

    kehidupan rumah tangga. Sejak jaman dahulu masyarakat Dayak Ngaju

    memegang teguh janji yang telah diucapkan di hadapan Raying, dan berjuang

    keras untuk melaksanakannya.160

    Seorang informan menjelaskan bahwa pada jaman dahulu, hubungan

    perkawinan dalam masyarakat didasari oleh rasa saling percaya, saling setia,

    jujur, taat dan tunduk terhadap aturan-aturan adat. Namun, sekarang

    158

    Ibid. 159

    Wawancara dengan Juli Norman, Basir di kota Palangka Raya, tanggal 12 Juli 2011 160

    Wawancara dengan Basel Abangkan, Kepala Adat Kedamangan Sabangau di kota Palangka

    Raya, 06 Juni 2011.

  • perasaan-perasaan semacam itu sudah berkurang, bahkan kasus perceraian

    sering terjadi di kalangan masyarakat. Perjanjian perkawinan yang semula

    hanya diucapkan secara lisan, di hadapan Raying Hatalla Langit dan didepan

    para saksi yang hadir, ternyata sekarang janji itu sudah sering dilanggar.

    Perceraian yang dulunya dianggap sebagai sesuatu yang tabu, kini sudah

    dianggap biasa.

    Sehingga sekarang perjanjian perkawinan dibuat secara

    tertulis dalam Surat Perjanjian Perkawinan Adat Dayak Ngaju. Hal ini

    dimaksudkan agar kedua mempelai tetap mempertahankan kebenaran dan

    kejujuran dalam perkawinan serta dapat mengingat apa yang sudah

    diperjanjikan dalam perkawinan.161

    Sebab itu, biasanya setelah acara

    penyerahan jalan hadat, surat perjanjian perkawinan tersebut dibacakan

    dihadapan seluruh yang hadir bahwa semua sudah dilaksanakan secara adat,

    barulah setelah itu kedua mempelai beserta para saksi dari kedua belah pihak

    menandatangani surat perjanjian itu.

    Adapun, Surat perjanjian perkawinan menurut adat Dayak adalah bukti

    tertulis yang dikeluarkan oleh Damang Kepala Adat menjadi pegangan kedua

    belah pihak mempelai yang memiliki tujuan dan manfaat.162

    Tujuan dari surat perjanjian perkawinan tersebut adalah :

    1. Menetapkan status kedua belah pihak

    2. Melidungi mereka dari prasangka buruk pihak ketiga.

    3. Melindungi masing-masing dari hak dan kewajiban.

    4. Menetapkan status anak dan melindungi hak-hak anak bila ada.

    161

    Ibid. 162

    Ibid.

  • Manfaat surat perjanjian perkawinan adalah :

    1. Bukti otentik sebagai tanda telah memenuhi hukum adat setempat.

    2. Mengikat orang lain agar tunduk kepada hukum adat Dayak

    Kalimantan Tengah.

    3. Mengatur hak dan kewajiban serta pembagian harta milik bersama

    (harta rupa tangan).

    4. Melindungi hak dalam menghadapi permasalahan yang berhadapan

    dengan hukum formal.

    5. Tanda bukti status dalam masyarakat.

    Dengan demikian, tujuan dan maksud surat perjanjian perkawinan yang

    diurai di atas, dapat menjelaskan bahwa perkawinan menurut Adat Dayak

    Ngaju dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan yang berlaku dalam

    masyarakat, karena ikatan perkawinan beserta tatanan hukum adat yang

    menyertainya sangat dihargai dan dijunjung tinggi.

    4.3. Isi Surat Perjanjian Perkawinan

    Surat perjanjian perkawinan memuat mengenai pernyataan dari kedua

    pihak, pemenuhan jalan hadat yang menjadi tanggung jawab pihak calon

    mempelai laki-laki, serta hak dan kewajiban masing-masing. Dicantumkan

    pula sanksi hukum bagi yang melakukan kesalahan serta pengaturan

    pembagian harta rupa tangan, termasuk hak anak dan hak ahli waris yang

    akan menerima pembagian jika mereka tidak mempunyai keturunan.

    Untuk lebih memahami surat perjanjian perkawinan adat Dayak Ngaju,

    berikut ini merupakan isi dari surat perjanjian tersebut;

    4.3.1. Biodata

  • Bagian ini memuat tentang biodata atau identitas kedua calon

    mempelai. Selanjutnya, pihak laki-laki disebut sebagai pihak pertama, dan

    pihak perempuan selaku pihak kedua.

    4.3.2. Jalan Hadat163

    Bagian ini berisi tentang kesepakatan dari kedua calon mempelai dan

    persetujuan orang tua untuk melaksanakan perkawinan menurut tata cara

    Adat Dayak Ngaju, Kalimantan Tengah. Dan juga pemenuhan Jalan hadat

    perkawinan oleh pihak pertama kepada pihak kedua.

    Jalan Hadat perkawinan atau yang lazimnya dikenal oleh masyarakat

    umum sebagai jujuran, adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh calon

    mempelai laki-laki kepada calon mempelai perempuan dan keluarganya pada

    saat upacara perkawinan adat. Jalan hadat dilaksanakan berdasarkan

    ketentuan hukum Adat Dayak Ngaju yang berlaku, serta tradisi dalam

    keluarga mempelai perempuan, yang disebut: manyalurui pelek rujin

    pangawin oloh bakas.164

    Artinya, persyaratan jalan hadat yang ditempuh

    harus sesuai dengan jalan hadat yang dimiliki oleh orang tuanya dulu (palaku

    indu=mas kawin ibu), sebagai standar untuk menentukan persyaratan jalan

    hadat selanjutnya (keturunannya). Banyaknya persyaratan jalan hadat

    berlaku umum, mencakup 16-17 butir. Tetapi berat dan besarnya nilai materi

    barang masing-masing orang berbeda, sesuai dengan kesepakatan dalam acara

    hakumbang auh dan maja misek, perkembangan jaman dan kemampuan pihak

    163

    Diolah dari hasil wawancara dengan Damang Basel Abangkan, di Palangka Raya 06 Juni 20011,

    hasil wawancara dengan Damang Suhardi Monong Stepanus, di Palangka Raya 08Juli

    2011,Wawancara dengan Marli G. Matan (Bp. Erni), Mantir Adat Kereng Bangkirai di kota

    Palangka Raya 16 Juni 2011. 164

    Wawancara dengan Bajik R. Simpei, Basir dan Tokoh Masyarakat Adat Dayak, 03 Agustus 2011

  • laki-laki. Sampai saat ini, belum pernah ada keluhan mengenai jalan

    hadat.165

    Jalan Hadat sudah dikenal luas dalam masyarakat Dayak Ngaju, tetapi

    apa makna yang terkandung dibalik simbol-simbol Jalan Hadat tersebut

    secara keseluruhan belum banyak diketahui orang, sehingga pemahaman

    masyarakat terhadap Jalan Hadat hanya terfokus pada upacara saja.

    Orang Dayak tidak mempunyai aksara seperti suku-suku lain.

    Pengganti aksara bagi orang Dayak Ngaju adalah simbol-simbol yang disebut

    Totok Bakaka (sandi/kode umum yang dimengerti oleh suku Dayak Ngaju).

    Tidak mudah untuk memahami budaya Dayak, karena ada hal-hal yang tidak

    dapat dijelaskan dengan kata-kata, namun dirasakan dan dilihat pantas untuk

    dilakukan.

    Sebab itu dalam bagian ini akan menjelaskan makna yang tersirat dari

    benda-benda adat perkawinan tersebut, berdasarkan konteks kehidupan

    masyarakat Dayak Ngaju;166

    1. Palaku

    Palaku berasal dari kata laku artinya: minta, permintaan. Orang Dayak

    selalu menempatkan perempuan pada posisi utama. Hal ini dapat terlihat dari

    kehidupan masyarakat sehari-hari yang selalu mengedepankan perempuan

    misalnya dalam menyebutkan orang yang lebih tua dengan sebutan: tambi-

    bue (nenek-kakek) , indu-bapa (ibu-ayah), mina-mama (tante-om), sindah-

    165

    Wawancara dengan Marli G. Matan (Bp. Erni), Mantir Adat Kereng Bangkirai di kota Palangka Raya 16 Juni 2011. 166

    Diolah dari hasil wawancara dengan Damang Basel Abangkan, di Palangka Raya 06 Juni 20011, hasil wawancara dengan Damang Suhardi Monong Stepanus, di Palangka Raya 08 Juli

    2011,Wawancara dengan Marli G. Matan (Bp. Erni), Mantir Adat Kereng Bangkirai di kota

    Palangka Raya 16 Juni 2011.

  • ayup (ipar perempuan- ipar lelaki). Penempatan demikian bukan berarti

    perempuan lebih berharga, lebih berkuasa atau lebih dominan dibandingkan

    dengan laki-laki. Tetapi orang Dayak berbuat demikian karena menganggap

    bahwa kaum perempuan adalah kaum yang lemah, patut dijaga, dipelihara

    dan patut diperhatikan.

    Dalam mitologi Dayak Ngaju, palaku muncul dari permintaan Nyai

    Endas Bulau ketika menikah dengan Raja Garing Hatungku. Nyai Endas

    ingin membuktikan kesungguhan hati Raja Garing Hatungku dengan

    meminta jaminan kehidupan berupa tanah atau kebun. Permintaan ini cukup

    lumrah karena manusia bisa mempertahankan hidupnya dari hasil pengolahan

    tanah atau kebun. Palaku merupakan simbol dari harkat dan martabat

    perempuan Dayak. Perempuan adalah penatalaksana dalam rumah tangga,

    sebagai ibu dari anak-anak, ia patut meminta jaminan yang pasti dari calon

    suaminya sebagai awal baginya untuk mulai menata rumah tangganya.

    Palaku adalah hak mutlak seorang istri. Seorang suami tidak berhak

    menjual maupun menggadaikannya kepada pihak lain. Nilai palaku

    ditetapkan menurut nilai berat dalam satuan kilogram/pikul atau kati.

    Misalnya: 300 kg (3 pikul) gong, atau 500 kg (5 pikul) gong. Pada masa

    sekarang barang ini sudah sulit ditemukan, sebab itu biasanya Palaku dapat

    diganti dengan emas atau perhiasan lainnya. Ada juga yang memberi dalam

    bentuk sejumlah uang, dan umumnya tanah atau kebun. Biasanya, palaku

    adalah bagian dari harta kekayaan orang tua mempelai laki-laki yang di

    dalamnya terkandung nilai magis yang disebut galang pambelom atau dasar

    hidup bagi rumah tangga baru serta wujud penyertaan doa restu orang tua.

  • Pada dasarnya orang Dayak dapat menerima istilah mas kawin

    sehakekat dengan Palaku, namun jika dilihat dari makna simboliknya;

    serupa tetapi tidak sama. Sebab itu, dalam Surat Perjanjian Kawin menurut

    Adat Dayak Ngaju, istilah Palaku tetap ditulis demikian, tidak

    diterjemahkan.167

    2. Saput

    Dalam tatanan kekeluargaan suku Dayak Ngaju, lelaki adalah pelindung

    bagi keluarga. Seorang lelaki dianggap cakap dan tangkas dalam memenuhi

    kebutuhan keluarga. Ia bertanggung jawab untuk mengayomi seluruh anggota

    keluarga dan melindungi dari gangguan ataupun pelecehan dari pihak lain.

    Saput merupakan pemberian dari calon mempelai laki-laki kepada

    saudara-saudara lelaki calon mempelai perempuan. Pemberian ini

    mengandung makna penghormatan, mengikat rasa persaudaraan yang tulus

    sebagai bagian dari keluarga calon mempelai perempuan. Pemberian ini

    dapat berupa barang atau uang.

    3. Pakaian Sinde Mendeng

    Diberikan kepada ayah kandung calon mempelai perempuan, sebagai

    tanda penghormatan atas kasih sayang dan perlindungan yang diberikan.

    Bingkisan ini berupa seperangkat pakaian laki-laki.

    4. Garantung Kolok Pelek:

    Biasanya diberikan berupa sebuah gong sebagai bukti ikatan/perjanjian

    perkawinan. Pada masa sekarang barang ini sudah sulit ditemukan, sehingga

    dapat diganti dengan uang atau emas, sejumlah nilai gong itu.

    167

    Wawancara dengan Basir Bajik, tanggal 25 Mei 2011

  • Secara harafiah memang kata-kata ini berarti gong kepala patah.

    Namun dalam konteks ini, Garantung kolok pelek tidak bisa diterjemahkan

    demikian. Garantung Kolok Pelek terbentuk dari dua kata yaitu: garantung,

    alat yang mengeluarkan bunyi ketika dipukul (gong). Garantung berfungsi

    sebagai alat musik, yang oleh orang Dayak, alat ini sering digunakan sebagai

    alat komunikasi yang berfungsi sebagai tanda undangan rapat, undangan

    kawin, tanda untuk memanggil orang yang sedang tersesat di hutan.

    Kolok Pelek, merupakan tanda yang dibuat oleh seseorang ketika ia

    tersesat di hutan. Tanda itu dibuat dengan cara mamelek (mematahkan) anak

    pohon kayu. Pelekan (patahan) pertama disebut kolok pelek sebagai tanda

    seseorang memulai kegiatannya di hutan tersebut. Masyarakat Dayak Ngaju

    telah belajar dari pengalaman para pendahulu bahwa sebelum memasuki

    hutan, apalagi kalau hutan itu baru pertama kali dijelajahinya, maka ia akan

    membuat tanda dengan cara mematahkan pokok kayu kecil sebagai tanda

    arah jalan ketika memulai memasuki hutan. Sebelum ia memasuki hutan

    lebih jauh, ia akan memperhatikan pepohonan dan berusaha mengenal dan

    mengingat jenis pohon yang ada di situ. Selanjutnya ia memotong kayu dan

    menancapkannya di tanah yang sudah dibersihkan agar lebih jelas dan tidak

    keliru dengan tonggak orang lain. Barulah ia mulai masuk hutan. Dalam

    jarak tertentu ia mematahkan lagi anak pohon kecil. Apabila orang yang

    masuk ke dalam hutan itu belum pulang hingga larut malam, maka pihak

    keluarga akan membawa gong serta mencari kolok pelek di sekitar hutan itu.

    Jika sudah ditemukan, maka gong dibunyikan sebagai alat komunikasi untuk

    memanggilnya pulang.

  • Makna simbolik dari garantung kolok pelek adalah bahwa perkawinan

    dimulai dari kesepakatan bersama kedua pihak. Dan barang hadat ini

    mengingatkan mereka supaya memelihara ikatan perkawinan, jangan

    merusaknya. Mereka harus meluruskan arah hidupnya, sehingga jika ada hal

    yang dapat menyesatkan mereka harus kembali kepada kesepakatan awal,

    janji setia di hadapan Raying Hatalla Langit.168

    5. Lamiang Turus Pelek169

    Lamiang adalah perhiasan sejenis manik-manik yang terbuat dari bahan

    batu Lamiang berwarna merah. Panjangnya berkisar antara 6-10 cm, kurang

    lebih sebesar jari manis. Turus adalah kayu yang ditancapkan ke dalam

    tanah. Adapun kegunaan turus antara lain: sebagai tanda batas tanah, tonggak

    untuk mengikat binatang peliharaan (kerbau atau sapi), dan umumnya

    tonggak sering digunakan oleh masyarakat untuk mengikat tali perahu dan

    juga batang170

    agar tidak hanyut oleh derasnya arus sungai, terutama pada

    musim penghujan. Sedangkan Pelek adalah patahan kayu sebagai tanda

    untuk mengarahkan seseorang ketika berada di hutan.

    Pada zaman dahulu Lamiang ini digunakan untuk acara-acara ritual

    seperti upacara kelahiran, perkawinan maupun kematian. Lamiang diikat

    pada pergelangan tangan. Dalam perkawinan, Lamiang Turus Pelek menjadi

    tonggak peringatan awal dimulainya suatu rumah tangga yang baru. Selain

    itu, lamiang sebagai simbol kejujuran dan keteguhan ikrar kedua calon

    168

    Wawancara dengan Bajik R. Simpei, Basir dan Tokoh Masyarakat Adat Dayak, 03 Agustus 2011

    169 Ibid

    170Batang adalah kumpulan dari beberapa pohon besar yang dirakit menjadi satu,

    diletakkan di tepi sungai sebagai tempat masyarakat Dayak Ngaju melakukan aktivitas sehari-hari

    seperti mengambil air, mencuci pakaian, mandi. Untuk bisa sampai ke batang maka dibuatlah

    tangga.

  • mempelai; sebagai tonggak janji setia sejalan dengan kesepakatan yang telah

    mereka buat.

    Lamiang

    6. Bulau Singah Pelek171

    Pemberian berupa emas minimal 1 kiping (2,7 gram). Bulau artinya

    emas, terbuat dari logam mulia, cahayanya tidak akan pudar/luntur dan

    mempunyai nilai jual yang tinggi. Singah artinya penerang atau penerangan.

    Bulau Singah Pelek adalah cincin kawin yang dipasang pada jari manis calon

    suami dan calon istri. Cincin emas ini melambangkan cinta suci dan

    ketulusan hati kedua calon mempelai untuk menjalani kehidupan rumah

    tangga bersama. Cincin kawin mengingatkan mereka akan janji yang pernah

    diucapkan.

    7. Lapik Luang

    Lapik artinya alas, dasar atau tempat duduk. Luang artinya perantara,

    juru runding atau kurir. Luang dipercayakan untuk mewakili keluarga calon

    mempelai dalam membicarakan janji-janji terdahulu (persyaratan adat),

    sebelum pelaksanaan perkawinan tersebut. Lapik Luang diberikan dalam

    171

    Diolah dari hasil wawancara dengan Damang Basel Abangkan, di Palangka Raya 06 Juni 20011, Wawancara dengan Marli G. Matan (Bp. Erni), Mantir Adat Kereng Bangkirai di kota Palangka

    Raya 16 Juni 2011.

  • bentuk bahalai yaitu selembar kain panjang, sebagai perwujudan rasa terima

    kasih atas jasa luang.

    8. Sinjang Entang172

    Sinjang entang berasal dari kata Sinjang artinya kain penutup tubuh,

    dikenal dengan istilah tapih (sarung), sedangkan entang adalah kain panjang

    untuk menggendong bayi/balita (bahalai). Sinjang entang ini mengingatkan

    akan kasih sayang sang ibu dalam memelihara anak gadisnya sejak kecil

    hingga dewasa. Ada puluhan kain sinjang dan kain entang yang telah hancur

    dimakan waktu, selama mengasihi dan memelihara anak gadisnya. Sebab itu,

    adalah kepatutan bagi seorang calon menantu untuk menghargai pengorbanan

    calon ibu mertuanya dengan memberikan selembar tapih dan bahalai pada

    acara jalan hadat, sebagai lambang rasa syukur dan terima kasih serta

    permohonan doa restu dari calon ibu mertua.

    9. Tutup Uwan

    Tutup Uwan secara harafiah berarti penutup uban; merupakan bingkisan

    penghormatan berupa 2 meter kain hitam yang diberikan kepada tambi

    (nenek) sebagai tanda terimakasih karena telah turut menjaga dan

    membesarkan cucunya (calon mempelai perempuan). Dalam masyarakat

    Dayak Ngaju, peranan orang-orang tua sangat diperlukan dalam pembinaan

    rumah tangga yang baru. Rambut boleh memutih tetapi nasehat, petunjuk,

    saran serta doanya sangat diperlukan oleh anak cucunya.

    10. Lapik Ruji

    Lapik Ruji atau lapik panatau diberikan dalam bentuk uang logam

    perak Belanda senilai satu ringgit, maksudnya bahwa dalam membangun

    172

    Ibid

  • rumah tangga di perlukan modal dasar. Uang Lapik Ruji tidak dibelanjakan

    karena uang itu dianggap sebagai alas kehidupan.

    Uang Ringgit Tampak Belakang Uang Ringgit Tampak Depan

    11. Timbuk Tangga

    Secara harafiah berarti timbun tangga. Pekerjaan ini tidak bisa

    dikerjakan sendiri, tetapi membutuhkan bantuan dari orang lain. Menjelang

    hari perkawinan, biasanya sanak saudara dari berbagai tempat akan datang

    membantu (mandep). Ada yang menyediakan kayu untuk memasak,

    menyiapkan laladan