Upload
uliuliaulia
View
104
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
Pemodelan Wabah Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Jawa Timur Berdasarkan Faktor Iklim dan
Sosio-ekonomi Dengan Pendekatan Regresi Panel Semiparametrik
Nurma Yussanti1 , Mutiah Salamah
2, Heri Kuswanto
3
Mahasiswa S1 Jurusan Statistika FMIPA ITS1
Dosen Jurusan Statistika FMIPA ITS2,3
[email protected], [email protected]
3
ABSTRAK Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) Sering menyebabkan Kejadian Luar Biasa
(KLB) dengan angka kematian yang cukup besar. Kejadian DBD di Jawa Timur masih berfluktuasi
dari tahun ke tahun, hal ini mengindikasikan bahwa pencegahan penyebaran DBD belum maksimal
sehingga perlu dilakukan pemodelan mengenai jumlah kasus DBD dengan faktor yang diduga
mempengaruhinya, dalam hal ini yaitu faktor sosio ekonomi dan faktor iklim. Pemodelan dilakukan
dengan metode panel semiparametrik. Variabel sosio-ekonomi diperlakukan secara parametrik karena
diduga hubungannya linier dan diestimasi secara panel, sedangkan variabel iklim diperlakukan secara
nonparametrik karena memiliki hubungan yang tidak diketahui bentuknya dengan kejadian DBD.
Hasil Analisis pada model semiparametrik menghasilkan kesimpulan bahwa terdapat dua variabel
sosioekonomi yang signifikan yaitu pendapatan perkapita yang memberikan efek positif terhadap
jumlah kejadian DBD dan jumlah penduduk berusia 15 tahun kebawah yang memberikan efek
negatif. Variabel curah hujan memberikan efek positif terhadap kejadian DBD bila intensitas curah
hujan antar 1500mm hingga 3670mm. Suhu udara memberikan efek yang besar terhadap perubahan
kejadian DBD pada suhu antara 220C hingga 27
0C, sedangkan kelembaban memberikan efek positif
terhadap perubahan kejadian DBD ketika kelembaban berada pada interval 82% hingga 87%. Nilai
elatisitas menunjukkan bahwa kejadian DBD responsif bila terjadi perubahan suhu dan kelembaban.
Kota Surabaya merupakan kota yang paling responsif terhadap perubahan variabel iklim, sedangkan
Kabupaten Sumenep adalah kabupaten yang paling tidak responsif terhadap perubahan variabel
iklim.
Kata Kunci: DBD, Regresi Panel Semiparametrik, Elastisitas
1. Pendahuluan
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus
dengue. Virus ini dapat sampai pada tubuh manusia melalui gigitan nyamuk aides aegepty. Penyebaran
DBD yang tinggi di Indonesia tidak terlepas dari kondisi geografis Indonesia yang berada pada daerah
beriklim tropis yang kaya hujan sepanjang tahun sehingga vektor DBD dapat berkembang biak dengan
baik. Penyakit DBD sering muncul sebagai kejadian luar biasa (KLB) dengan angka kematian relatif tinggi.
Pada tahun 2010 jumlah kematian akibat kasus demam berdarah dengue (DBD) di Indonesia sekitar 1.317
orang, hal ini menyebabkan Indonesia menduduki urutan tertinggi kasus demam berdarah dengue di
ASEAN (Anna,2011). Di Jawa Timur saja, pada tahun 2004 jumlah kasus DBD sebesar 8.287, jumlah
kasus DBD mencapai puncaknya pada tahun 2007 dengan jumlah kasus DBD sebesar 25.950 dan pada
tahun 2009 jumlah kasus DBD di Jawa Timur sebanyak 18.631 (Depkes.RI, 2009). Fakta ini menunjukkan
bahwa penyebaran DBD di Jawa Timur termasuk kategori tinggi dan butuh penanganan serius.
Penelitian mengenai penyebab tingginya kejadian DBD disuatu wilayah telah banyak dilakukan.
Penelitian mengenai pengaruh keadaan sosio-ekonomi terhadap jumlah kasus kejadian DBD telah
dilakukan oleh Khormi dan Kumar (2011) di Saudi Arabia dan Ma dkk. (2008) di Singapura. Penelitian
mengenai jumlah kasus DBD dengan faktor iklim juga telah banyak dilakukan. Beberapa diantaranya
adalah dilakukan oleh Hidayati (2008), Yuniarti (2009) Maslukha (2010) dan Arrowiyah (2011). Penelitian
yang ada tidak menggabungkan secara bersama-sama antara faktor sosio-ekonomi dan faktor iklim.
Analisis yang dilakukan masih terbatas pada analisis data cross-section maupun data time series, sehingga
hasil dari model-model tersebut tidak bisa menjelaskan secara bersama-sama efek tahun dan wilayah.
Penelitian terbaru dilakukan oleh Mondzozo dkk. (2011) melakukan pemodelan menggunakan model
regresi panel semiparametrik kejadian malaria di Afrika dengan mempertimbangkan variabel sosio-
ekonomi dan iklim.
Dalam Penelitian ini diaplikasikan metode regresi semiparametrik panel untuk menganalisis
dampak iklim dan kondisi sosial ekonomi terhadap tingkat penyebaran jumlah kasus DBD di Jawa Timur.
Setelah mengetahui penyebaran DBD maka akan diestimasi tingkat elastisitas kejadian DBD daerah
tertentu jika berada pada suatu kondisi yang mewakili kondisi iklim tertentu. Elastisitas bertujuan
mengukur seberapa besar perubahan suatu variabel bila terjadi perubahan variabel lain, dalam hal ini
adalah perubahan variabel iklim terhadap jumlah kasus DBD.
2
2. Landasa Teori
2.1 Regresi Panel
Regresi panel merupakan regresi yang dilakukan dengan menggabungkan dua buah data yaitu data
cross-section dengan data time-series. Secara umum model panel ditunjukkan oleh persamaan (2.1).
𝑦𝑖𝑡 = 𝛼 + 𝛽𝑋𝑖𝑡 + 𝑢𝑖𝑡 ; 𝑡 = 1, … , 𝑇 ; 𝑖 = 1, … , 𝑁
dimana 𝑦𝑖𝑡 adalah variabel respon di kabupaten/kota i pada waktu t, 𝑋𝑖𝑡 adalah variabel respon, 𝛼
merupakan efek tidak teramati dari setiap kabupaten/kota, sedangkan 𝑢𝑖𝑡 adalah komponen error. Sebelum
melakukan pemodelan secara panel perlu dilakukan beberapa pengujian yaitu pengujian efek panel serta
pengujian untuk menentukan efek fix ataukah efek random.
Pengujian efek panel dilakukan dengan Lagrange Multiplier Test -Breusch-Pagan, hipotesis yang
digunakan adalah sebagai berikut :
𝐻0: 𝜎𝜇2 = 𝜎𝜆
2 = 0 (tidak ada efek panel)
𝐻1: 𝜎𝜇2 ≠ 𝜎𝜆
2 ≠ 0 (ada efek panel)
Statistik uji:
𝐿𝑀= 𝐿𝑀1+ 𝐿𝑀2
dimana,
𝐿𝑀1 =𝑁𝑇
2 𝑇−1 1 −
𝑢 ′ 𝐼𝑁 ⨂𝐽𝑇 𝑢
𝑢 ′ 𝑢
2
dan 𝐿𝑀2 =𝑁𝑇
2 𝑁−1 1 −
𝑢 ′ 𝐼𝑁 ⨂𝐽𝑇 𝑢
𝑢 ′ 𝑢
2
dimana 𝑁 adalah jumlah wilayah, 𝑇 adalah lama waktu, 𝐼𝑁 adalah matrik identitas dari 𝑁, 𝐽𝑇 adalah matrik
dari 𝑇 yang berdimensi satu dan 𝑢 adalah error dari model OLS. Tolak 𝐻0apabila LM ≥ 𝜒22. Selain itu
pengujian efek panel dapat dilakukan dengan uji F dengan hipotesis sebagai berikut:
𝐻0: 𝜇𝑖 = 0 (tidak ada efek individu/wilayah)
𝐻1: 𝜇𝑖 ≠ 0 (ada efek individu/wilayah)
Statistik uji:
𝐹 =(𝑅𝑅𝑆𝑆 − 𝑈𝑅𝑆𝑆/(𝑁 − 1)
𝑈𝑅𝑆𝑆(𝑁𝑇 − 𝑁 − 𝐾)
Dimana 𝑅𝑅𝑆𝑆 adalah sum square residual model OLS dan 𝑈𝑅𝑆𝑆 adalah sum square residual model Fix.
Diputuskan tolak 𝐻0 apabila 𝐹 > 𝐹𝑁−1,𝑁𝑇−𝑁−𝐾.
Pengujian untuk menentukan efek fix ataukah efek random dilakukan dengan Hausman-test,
dengan hipotesis sebagai berikut:
𝐻0: 𝐸(𝛼𝑖|𝑋𝑖𝑡 ) = 0 (efek random)
𝐻1: 𝐸(𝛼𝑖|𝑋𝑖𝑡 ) ≠ 0 (efek fix)
Statistik uji:
𝜒ℎ𝑖𝑡2 = 𝑏 − 𝛽 ′𝑉𝑎𝑟(𝑏 − 𝛽)−1(𝑏 − 𝛽)
Dimana 𝑏 adalah koefisien random efek sedangkan 𝛽 adalah koefisien fix efek. Keputusan tolak 𝐻0 apabila
𝜒ℎ𝑖𝑡2 > 𝜒(𝑘 ,𝛼)
2 , dimana 𝑘 adalah jumlah dari koefisien 𝛽. (Baltagi, 2005)
2.2 Regresi Panel Semiparametrik
Pemodelan semiparametrik adalah gabungan dari model parametrik dan model nonparametrik. Model
regresi panel semiparametrik dapat dituliskan sebagai berikut (Tseng dkk. (2009), Li dan Racine (2007)):
𝑦𝑖𝑡 = 𝑓 𝑋𝑖𝑡 + 𝛽𝑍𝑖𝑡 + 𝛼𝑖 + 𝑢𝑖𝑡 ; 𝑡 = 1, … , 𝑇 ; 𝑖 = 1, … , 𝑁
dimana 𝑦𝑖𝑡 adalah variabel respon di wilayah i pada waktu t, 𝑋𝑖𝑡 adalah vektor dari variabel nonparametrik
dan 𝑍𝑖𝑡 adalah vektor dari variabel parametrik. 𝛼𝑖 merupakan efek tidak teramati dari setiap wilayah
sedangkan 𝑢𝑖𝑡 adalah komponen error. Parameter-parameter yang diestimasi Dalam regresi di atas adalah
𝑓, 𝛽, 𝛼𝑖 , dimana 𝑓 merupakan suatu fungsi yang diasumsikan tidak diketahui bentuknya sedangkan variabel
parametrik diduga berpengaruh secara linier terhadap penyebaran DBD. Metode estimasi dilakukan dengan
dua tahap mengikuti Robinson (1988).
Tahap Pertama
Dibentuk suatu ekspektasi bersyarat dari variabel respon (y) terhadap variabel iklim (𝑋𝑖𝑡 ) sebagai
berikut:
𝐸 𝑦𝑖𝑡 𝑋𝑖𝑡 = 𝑓 𝑋𝑖𝑡 + 𝛽 𝐸 𝑍𝑖𝑡 𝑋𝑖𝑡
Dimana variabel nonlinier 𝑋𝑖𝑡 diasumsikan tidak berkorelasi dengan efek individu wilayah dan juga error.
Dengan mengurangkan (2.2) dari (2.3) didapatkan:
𝑦𝑖𝑡 − 𝐸 𝑦𝑖𝑡 𝑋𝑖𝑡 = 𝛽 𝑍𝑖𝑡 − 𝐸 𝑍𝑖𝑡 𝑋𝑖𝑡 + 𝛼𝑖 + 𝑢𝑖𝑡
(2.2)
(2.3)
(2.4)
(2.1)
3
Ekspektasi bersyarat diestimasi dengan menggunakan metode nonparametrik kernel sehingga 𝑦 𝑖𝑡 = 𝑦𝑖𝑡 −
𝐸 𝑦𝑖𝑡 𝑋𝑖𝑡 , 𝑍 𝑖𝑡 = 𝑍𝑖𝑡 − 𝐸 𝑍𝑖𝑡 𝑋𝑖𝑡 dan 𝐸 . . merupakan estimator kernel. Persamaan (2.4) kemudian
ditransformasi ke dalam sebuah persamaan linier
𝑦 𝑖𝑡 = 𝛽𝑍 𝑖𝑡 + 𝛼𝑖 + 𝑢𝑖𝑡
Parameter 𝛽 diperoleh dengan estimasi seperti pada model panel standard.
Tahap kedua
Tahap kedua bertujuan untuk mengestimasi fungsi f. Setelah diketahui nilai estimasi 𝛽 , maka estimasi
fungsi f dilakukan dengan memasukkan 𝛽 melalui hubungan
𝑦𝑖𝑡 − 𝛽 𝑍𝑖𝑡 = 𝑓 𝑋𝑖𝑡 + 𝛼𝑖 + 𝑢𝑖𝑡
Dengan menuliskan 𝑦𝑖𝑡 − 𝛽 𝑍𝑖𝑡 = 𝑦 𝑖𝑡 , didapatkan bentuk nonparametrik:
𝑦 𝑖𝑡 = 𝑓 𝑋𝑖𝑡 + 𝛼𝑖 + 𝑢𝑖𝑡
Dan f diestimasi secara lokal dengan meminimumkan 𝑦 𝑖𝑡 = 𝑓 𝑋𝑖𝑡 + 𝛼𝑖 + 𝑢𝑖𝑡 2𝐾 𝑋𝑖𝑡 −𝑥
ℎ 𝑡𝑖 dengan
𝐾(. ) adalah fungsi densitas kernel. Ullah dan Mudra (2002) menunjukkan fungsi f dapat diekspresikan
sebagai 𝑓 𝑋𝑖𝑡 = 𝑉𝑖𝑡′ 𝜃(𝑋𝑖𝑡 ) dimana 𝑉𝑖𝑡 = (1, 𝑋𝑖𝑡 ) dan 𝜃 (𝑋𝑖𝑡 ) dapat diestimasi dengan
𝜃 𝑋𝑖𝑡 = 𝑉𝑖𝑡∗𝑉𝑖𝑡
∗′𝐾 𝑋𝑖𝑡 − 𝑥
ℎ
𝑡𝑖 −1
𝑉𝑖𝑡∗𝑦 𝑖𝑡
∗ 𝐾 𝑋𝑖𝑡 − 𝑥
ℎ
𝑡𝑖
Spesifikasi ini mempertimbangkan fakta bahwa climate change dapat menyebabkan lompatan yang cukup
signifikan terhadap kejadian DBD di suatu daerah tertentu.
Secara umum elastisitas merupakan perubahan prosentase variabel respon yang diakibatkan karena
satu persen perubahan variabel yang mempengaruhinya. Elastisitas dihitung berdasarkan persamaan 2.6.
𝑒𝑥𝑦 = 𝜕𝑦
𝜕𝑥.𝑥
𝑦 = 𝑓 , 𝑥 .
𝑥
𝑦
Dimana 𝑒𝑥𝑦 adalah elastisitas variabel 𝑦 terhadap perubahan variabel 𝑥. Rumus yang digunakan untuk
menghitung proyeksi DBD didasarkan pada definisi elastisitas.
2.3 Hubungan antara DBD dengan Iklim dan Sosio-ekonomi
Secara garis besar faktor yang menyebabkan penularan DBD adalah tiga yakni virus dengue,
keberadaan vektor (sebagai perantara) dan faktor manusia. Virus dengue bisa sampai pada tubuh manusia
melalui gigitan vektor pembawanya yaitu nyamuk aedes aegepti. Keberadaan nyamuk aedes aegepti
bergantung pada ada tidaknya sarana perkembang biakan (habitat) yaitu genangan air. Keberadaan habitat
nyamuk bergantung pada pola iklim. Cahyati (2006) menerangkan bahwa Iklim adalah salah satu
komponen pokok dalam lingkungan fisik yang terdiri dari suhu udara, kelembaban udara dan curah hujan.
Suhu optimum untuk pertumbuhan nyamuk berkisar antara 25- 27ºC. Suhu udara mempengaruhi
perkembangan virus dalam tubuh nyamuk. Pada saat kelembaban rendah menyebabkan penguapan air dari
dalam tubuh sehingga menyebabkan keringnya cairan tubuh. Salah satu musuh nyamuk adalah penguapan.
Kelembaban mempengaruhi umur nyamuk, jarak terbang, kecepatan berkembangbiak, kebiasaan
menggigit, dan istirahat. Hujan dapat mempengaruhi kehidupan nyamuk dengan 2 cara, yaitu :
menyebabkan naiknya kelembaban udara dan menambah tempat dan perindukan. Setiap 1 mm curah hujan
menambah kepadatan nyamuk 1 ekor, akan tetapi apabila curah hujan dalam seminggu sebesar 140 mm,
maka larva akan hanyut dan mati.
Selain faktor iklim keadaan sosial ekonomi juga berpengaruh terhadap kerentanan suatu kelompok
masyarakat terhadap penyakit yang ditularkan melalui vektor. Depkes RI. (2002) menyebutkan bahwa
pengetahuan, status ekonomi dan pendidikan berpengaruh terhadap penyebaran DBD. Selain itu, Patz
dkk.(2003) menyebutkan penyebaran penyakit DBD dipengaruhi oleh sarana kesehatan, pertumbuhan
penduduk yang tidak terencana dan tidak terkendalinya urbanisasi. Mondzozo dkk.(2011) dalam
penelitiannya melibatkan temperatur dan curah hujan sebagai faktor iklim sedangkan sebagai faktor sosio-
ekonominya adalah populasi penduduk, kepadatan penduduk, gross domestic product (GDP) per kapita,
indeks gini dan pengeluaran untuk kesehatan. Kemen.Kes.RI (2010) menyebutkan bahwa DBD sebagian
besar menyerang anak berumur kurang dari 15 tahun. Namun DBD dapat menyerang seluruh umur,
walaupun sampai saat ini DBD lebih banyak menyerang anak-anak, tetapi dalam dekade terakir ini DBD
terlihat cenderung kenaikan proporsinya pada usia dewasa. Kerena pada kelompok ini mempunyai
mobilitas tinggi dan sejalan dengan perkembangan transportasi yang lancar, sehingga memungkinkan
untuk tertularnya virus dengue lebih besar (Roose 2008).
(2.5)
(2.6)
4
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Sumber Data
Data yang digunakan merupakan data skunder mulai tahun 2003 hingga tahun 2010. Data
mengenai iklim diperoleh dari Dinas Pekerjaan Umum dan Pengairan serta dari Stasiun Klimatologi Klas II
Karang Ploso Malang, data mengenai variabel sosio-ekonomi diperoleh dari Badan Pusat Statistik Propinsi
Jawa Timur, sedangkan data mengenai jumlah penyakit DBD dan kesehatan diperoleh dari Dinas
Kesehatan Propinsi Jawa Timur.
3.2 Variabel Penelitian
Secara garis besar variabel penelitian dibagi menjadi tiga kelompok yaitu variabel iklim, sosio
ekonomi dan jumlah kasus DBD/100.000 penduduk sebagai variabel respon. Tabel 3.1 menunjukkan
variabel yang digunakan pada penelitian ini. Tabel 3.1 Variabel Prediktor Penelitian
Variabel Sosio-ekonomi
Z1 Kepadatan penduduk (km2)
Z2 Pendapatan per kapita (Rp)
Z3 Jumlah penduduk umur < 15 tahun per 100.000
penduduk
Z4 Jumlah penduduk miskin per 100.000 penduduk
Variabel Iklim
X1 Suhu (0C)
X2 Kelembaban (%)
X3 Curah hujan (mm)
Data yang digunakan merupakan data tahunan, hal ini dikarenakan variabel sosio ekonomi yang
tersedia adalah data tahunan, sehingga ketiga variabel iklim diagregat menjadi tahunan pula.
3.3 Metode Analisis
Penelitian ini melibatkan 13 Kabupaten /kota yang berada di Propinsi Jawa Timur mulai tahun
2003-2010. Hal ini dikarenakan data iklim untuk suhu dan kelembaban hanya tersedia pada 13
kabupaten/kota. Ke-13 kabupaten kota tersebut adalah Kabupaten Blitar, Kabupaten Kediri, Kabupaten
Malang, Kabupaten Jember, Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Sidoarjo,
Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Magetan, Kabupaten Gresik, Kabupaten Sumenep, Kota Surabaya dan
Kota Batu.
Metode analisis pada penelitian ini dibagi menjadi 2 tahapan. Tahap pertama digunakan untuk
mendapatkan jawaban dari permasalahan pertama yaitu membentuk model regresi panel semiparametrik.
Tahapan pertama memiliki langkah-langkah sebagai berikut:
1. Data yang diperoleh dari masing-masing instansi dianalisis dengan menggunakan statistika deskriptif
dengan tujuan untuk mengetahui karakteristik dari setiap variabel, berupa mean, varians, nilai
minimum dan nilai maksimum. Selain itu dilakukan dengan pembuatan peta tematik untuk analisis
penyebaran DBD di Jawa Timur.
2. Melakukan regresi panel antara jumlah kasus DBD dengan variabel sosio-ekonomi dan iklim.
3. Estimasi parameter pada regresi panel semiparametrik dimulai dengan mengestimasi parameter β pada
model parametrik dengan langkah sebagai berikut:
a. Mencari nilai 𝐸 𝑦𝑖𝑡 𝑋𝑖𝑡 dan 𝐸 𝑍𝑖𝑡 𝑋𝑖𝑡 dengan menggunakan regresi kernel nonparametrik.
b. Mencari nilai 𝑦 𝑖𝑡 = 𝑦𝑖𝑡 − 𝐸 𝑦𝑖𝑡 𝑋𝑖𝑡 dan 𝑍 𝑖𝑡 = 𝑍𝑖𝑡 − 𝐸 𝑍𝑖𝑡 𝑋𝑖𝑡 .
c. Meregresikan secara panel 𝑦 𝑖𝑡 dengan 𝑍 𝑖𝑡
4. Estimasi nonparametrik untuk 𝑓
Setelah estimasi β diperoleh maka dilakukan estimasi nonparametrik untuk 𝑓 dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
a. Mencari nilai 𝛽 𝑍𝑖𝑡 dengan memasukkan koefisien β dari tahap pertama.
b. Mencari nilai 𝑦 𝑖𝑡 dengan cara mengurangi 𝑦𝑖𝑡 dengan 𝛽 𝑍𝑖𝑡 .
c. Meregresikan 𝑦 𝑖𝑡 dengan 𝑋𝑖𝑡 (variabel iklim) dengan menggunakan regresi nonparametrik kernel.
Tahap Kedua digunakan untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan kedua yaitu mengenai
elastisitas kejadian DBD daerah tertentu jika berada pada suatu kondisi yang mewakili perubahan iklim
tertentu. Nilai elastisitas dihitung berdasarkan smooth coefisien dari hasil regresi nonparametrik.
5
90 0 90 180 Miles
Jatim_.shp
0 - 10
10 - 30
30 - 50
50 - 70
70 - 100
100 - 130
130 - 150
150 - 200
200 - 400
N
EW
S
View1
4. Analisis dan Pembahasan
4.1 Deskripsi kejadian DBD di Jawa Timur
Analisis mengenai deskriptif statistik diawali dengan melihat persebaran kejadian DBD per
100.000 penduduk dari tahun 2003 hingga 2010 yang ditunjukkan oleh gambar 4.1.
Gambar 4.1 Peta Persebaran DBD di Jawa Timur Tahun 2003-2010
Peta persebaran DBD dibuat berdasarkan jumlah kejadian DBD per 100.000 penduduk dan
ditunjukkan oleh Gambar 4.1. Gradasi warna menunjukkan tingkat kejadian DBD, warna semakin gelap
menunjukkan kejadian yang semakin tinggi .Warna biru menunjukkan kejadian DBD masih dibawah 100
90 0 90 180 Miles
Jatim_.shp
0 - 10
10 - 30
30 - 50
50 - 70
70 - 100
100 - 130
130 - 150
150 - 200
200 - 400
N
EW
S
View1
90 0 90 180 Miles
Jatim_.shp
0 - 10
10 - 30
30 - 50
59 - 70
70 - 100
100 - 130
130 - 150
150 - 200
200 - 400
N
EW
S
View1
90 0 90 180 Miles
Jatim_.shp
0 - 10
10 - 30
30 - 50
50 - 70
70 - 100
100 - 130
130 - 150
150 - 200
200 - 400
N
EW
S
View1
90 0 90 180 Miles
Jatim_.shp
0 - 10
10 - 30
30 - 50
50 - 70
70 - 100
100 - 130
130 - 150
150 - 200
200 - 400
N
EW
S
View1
90 0 90 180 Miles
Jatim_.shp
0 - 10
10 - 30
30 - 50
50 - 70
70 - 100
100 - 130
130 - 150
150 - 200
200 - 400
N
EW
S
View1
90 0 90 180 Miles
Jatim_.shp
0 - 10
10 - 30
30 - 50
50 - 70
70 - 100
100 - 130
130 - 150
150 - 200
200 - 400
N
EW
S
View1
90 0 90 180 Miles
Jatim_.shp
0 - 10
10 - 30
30 - 50
50 - 70
70 - 100
100 - 130
130 - 150
150 - 200
200 - 400
N
EW
S
View1
90 0 90 180 Miles
Jatim_.shp
0 - 10
10 - 30
30 - 50
50 - 70
70 - 100
100 - 130
130 - 150
150 - 200
200 - 400
N
EW
S
View1
90 0 90 180 Miles
Jatim_.shp
0 - 10
10 - 30
30 - 50
50 - 70
70 - 100
100 - 130
130 - 150
150 - 200
200 - 400
N
EW
S
View1
90 0 90 180 Miles
Jatim_.shp
0 - 10
10 - 30
30 - 50
50 - 70
70 - 100
100 - 130
130 - 150
150 - 200
200 - 400
N
EW
S
View1
90 0 90 180 Miles
Jatim_.shp
0 - 10
10 - 30
30 - 50
50 - 70
70 - 100
100 - 130
130 - 150
150 - 200
200 - 400
N
EW
S
View1
90 0 90 180 Miles
Jatim_.shp
0 - 10
10 - 30
30 - 50
50 - 70
70 - 100
100 - 130
130 - 150
150 - 200
200 - 400
N
EW
S
View1
90 0 90 180 Miles
Jatim_.shp
0 - 10
10 - 30
30 - 50
50 - 70
70 - 100
100 - 130
130 - 150
150 - 200
200 - 400
N
EW
S
View1
90 0 90 180 Miles
Jatim_.shp
0 - 10
10 - 30
30 - 50
50 - 70
70 - 100
100 - 130
130 - 150
150 - 200
200 - 400
N
EW
S
View1
90 0 90 180 Miles
Jatim_.shp
0 - 10
10 - 30
30 - 50
50 - 70
70 - 100
100 - 130
130 - 150
150 - 200
200 - 400
N
EW
S
View1
90 0 90 180 Miles
Jatim_.shp
0 - 10
10 - 30
30 - 50
50 - 70
70 - 100
100 - 130
130 - 150
150 - 200
200 - 400
N
EW
S
View1
90 0 90 180 Miles
Jatim_.shp
0 - 10
10 - 30
30 - 50
50 - 70
70 - 100
100 - 130
130 - 150
150 - 200
200 - 400
N
EW
S
View1
(a) Tahun 2003 (b) Tahun 2004
(c) Tahun 2005 (d) Tahun 2006
(e) Tahun 2007 (f) Tahun 2008
1.Kab.Pacitan 2.Kab.Ponorogo 3.Kab.Trenggalek 4.Kab.Tulungagung 5. Kab.Blitar 6.Kab.Kediri 7.Kab.Malang 8.Kab.Lumajang 9.Kab.Jember 10.Kab.Banyuwangi 11.Kab.Bondowoso 12.Kab.Situbondo 13.Kab.Probolinggo 14.Kab.Pasuruan 15.Kab.Sidoarjo
16.Kab.Mojokerto 17.Kab.Jombang 18.Kab.Nganjuk 19.Kab.Madiun 20.Kab.Magetan 21.Kab.Ngawi 22.Kab.Bojonegoro
23.Kab.Tuban 24.Kab.Lamongan 25.Kab.Gresik 26.Kab.Bangkalan 27.Kab.Sampang 28.Kab.Pamekasan 29.Kab.Sumenep 30.Kota Kediri 31.Kota Blitar 32.Kota Malang 33.Kota Probolinggo 34.Kota Pasuruan 35.Kota Mojokerto 36.Kota Madiun
37.Kota Surabaya 38.Kota Batu
(g) Tahun 2009 (h) Tahun 2010
1
2
3 4
5
6
7 8
9 10
12 11
13
15 16 17 18 19
20
21
22
23
24 25
26 27 28 29
30
31 32
33
34
35
36
37
38
1
2
3 4
5
6
7 8
9 10
12 11
13
15 16 17 18 19
20
21
22
23
24 25
26 27 28 29
30
31 32
33
34
35
36
37
38
1
2
3 4
5
6
7 8
9 10
12 11
13
15 16 17 18 19
20
21
22
23
24 25
26 27 28 29
30
31 32
33
34
35
36
37
38
1
2
3 4
5
6
7 8
9 10
12 11
13
15 16 17 18 19
20
21
22
23
24 25
26 27 28 29
30
31 32
33
34
35
36
37
38
1
2
3 4
5
6
7 8
9 10
12 11
13
15 16 17 18 19
20
21
22
23
24 25
26 27 28 29
30
31 32
33
34
35
36
37
38
1
2
3 4
5
6
7 8
9 10
12 11
13
15 16 17 18 19
20
21
22
23
24 25
26 27 28 29
30
31 32
33
34
35
36
37
38
1
2
3 4
5
6
7 8
9 10
12 11
13
15 16 17 18 19
20
21
22
23
24 25
26 27 28 29
30
31 32
33
34
35
36
37
38
1
2
3 4
5
6
7 8
9 10
12 11
13
15 16 17 18 19
20
21
22
23
24 25
26 27 28 29
30
31 32
33
34
35
36
37
38
14 14 14 14 14
14
14 14
6
kejadian DBD per 100.000 penduduk sedangkan warna merah menunjukkan kejadian DBD per 100.000
penduduk telah melebihi 100 kejadian per 100.000 penduduk. Pola persebaran DBD dari tahun ketahun
menunjukkan pola yang semakin beragam dengan tingkat kejadian yang semakin tinggi. Pada tahun 2003
persebaran DBD masih tergolong rendah dengan kejadian di bawah 50 per 100.000 penduduk. Pada tahun
2004 mulai terlihat bahwa kejadian DBD di daerah kota selalu lebih besar bila dibandingkan dengan
kejadian dikabupaten. Memasuki tahun 2005 mulai banyak kabupaten yang angka kejadian DBD melebihi
100 kejadian per 100.000 penduduk. Pada tahun 2007 dan tahun 2010 terlihat bahwa kejadian DBD di
seluruh kabupaten/kota sedang mengalami kenaikan.
Analisis selanjutnya difokuskan pada 13 Kabupaten/kota yang memiliki kelengkapan data untuk
semua variabel. Ringkasan Statistik variabel sosio ekonomi ditunjukkan oleh Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Ringkasan Statistik Variabel Sosio-ekonomi dan Variabel Iklim di 13
Kabupaten/Kota Tahun 2003-2010
Variabel Rata-
rata StDev Minimum Maximum
Y : Kasus DBD per 100.000 penduduk 43.85 31.11 3 167
Z1 : Kepadatan Penduduk (km2) 1469 2007 423 8355
Z2 : Pendapatan/Kapita (Ribu Rupiah) 7.748 6.411 3.314 32.377
Z3 : Jumlah penduduk kurang dari 15 tahun per
100.000 penduduk 24.257 2.844 15.390 35.985
Z4 : Jumlah penduduk miskin per 100.000 penduduk 15.208 5.745 4.293 30.461
X1 :Curah hujan rata-rata (mm)
1686.3 565.5 512 3670
X2 :Suhu rata-rata (0C) 26,112 2,112 20,929 29,125
X3 : Kelembaban rata-rata (%) 79,439 5,361 68,139 99,908
Rata-rata jumlah kasus DBD per 100.000 penduduk adalah sebesar 43.85, dengan nilai minimum
sebesar 3 yaitu kejadian DBD di kabupaten sidoarjo pada tahun 2003 dan pada tahun 2010, sedangkan nilai
maksimum sebesar 167 adalah kejadian DBD di kota batu pada tahun 2010. Hal ini mengindikasikan
bahwa telah terjadi lompatan yang cukup tinggi angka kejadian DBD seiring dengan pembangunan yang
dilakukan di Kota Batu. Perlu diketahui pula pendapatan per kapita untuk kota batu pada tahun 2003 (awal
terbentuk Kota Batu) adalah sebesar Rp 5.200.000 dan dalam kurun waktu 7 tahun pendapatan perkapita
naik menjadi Rp 7.800.000. Rata-rata PDRB pada ke 13 kabupaten/kota adalah sebesar Rp 7.748.000
dengan standart deviasi sebesar Rp 6.411.000, nilai minimum adalah sebesar Rp3.314.000 dan nilai
maksimum sebesar Rp37.377.000 .Nilai rata-rata jumlah penduduk kurang dari 15 tahun per 100.000
penduduk adalah sebesar 24.257. Artinya bila ada 100.000 penduduk di 13 kabupaten kota di Jawa Timur
maka 24.257 diantaranya masih berumur 15 tahun. Nilai minimum sebesar 15.390 dipegang oleh
kabupaten Sumenep pada tahun 2007 dan maksimum sebesar 35.985 dipegang oleh Kabupaten blitar pada
tahun 2005.
Rata-rata curah hujan mulai tahun 2003 hingga 2010 adalah sebesar 1686.3 mm per tahun. Nilai
minimum sebesar 512 terjadi di kabupaten Sumenep pada tahun 2009 dengan angka kejadian DBD sebesar
61 kejadian per 100.000 penduduk dan nilai maksimum sebesar 3670 terjadi dikota Blitar pada tahun 2010
dengan angka kejadian DBD 80 kejadian per 100.000. Rata-rata suhu di 13 kabupaten/kota di Jawa Timur
adalah 26,112 0C dengan nilai minimum sebesar 20,929
0C terjadi di kota Batu pada tahun 2005 dengan
angka kejadian DBD sebesar 40 per 100.000 penduduk , nilai maksimum terjadi di kota Surabaya pada
tahun 2009 dengan angka kejadian DBD sebesar 78 Kejadian per 100.000 penduduk. Kelembaban rata-rata
mulai tahun 2003 hingga 2010 adalah sebesar 79,439 %, Kelembaban tertinggi terjadi di Kabupaten
Magetan pada tahun 2005 kelembaban minimum terjadi dikota Pasuruan pada tahun 2006.
4.2 Regresi Panel
Analisis regresi panel dilakukan dengan meregresikan secara panel jumlah kasus DBD per 100.000
dengan variabel sosio-ekonomi (Z1 sampai Z4) dan variabel iklim (X1 sampai X4). Pemodelan ini
menganggap bahwa kedua kelompok variabel tersebut mempengaruhi DBD secara linier. Berikut ini
adalah Tabel 4.2 yang menunjukkan nilai koefisien dari regresi panel.
7
Tabel 4.2 Nilai koefisien dari Regresi Panel
Variabel Estimate Std.Error Stat.
Uji-t
Z1 -1.54 x 10-2
6.08 x 10-2
-2.5337*
Z2 1.40 x 10-5
2.55 x 10-6
5.4892**
Z3 -1.3 x 10-3
1.086 x 10-3
-1.1972
Z4 3.48 x 10-4
7.487 x 10-4
0.4646
X1 9.74 x 10-3
4.968 x 10-3
1.9605.
X2 -4.6303 4.5836 -1.0102
X3 6.41 x 10-1
7.04 x 10-1
0.9107
R2= 42,698%
* Signifikan pada taraf α=0.05, ** Signifikan pada taraf α=0.01, ***Signifikan pada taraf α=0.001, . Signifikan pada taraf=α 0.1
Tabel 4.2 menunjukkan nilai koefisien (estimate), standar error, dan statistik uji dari regresi panel.
Nilai R2 sebesar 42.698% memiliki arti bahwa variabilitas kejadian DBD dapat dijelaskan oleh varaibel
sosio-ekonomi dan variabel iklim sebesar 42, 69%.
Berdasarkan nilai statistik uji t diketahui bahwa terdapat dua variabel sosio ekonomi yang memiliki
nilai 𝛽 signifikan yaitu kepadatan penduduk dan pendapatan perkapita. Kepadatan penduduk
mempengaruhi kejadian DBD dengan nilai negatif artinya semakin padat suatu wilayah maka kejadian
DBDnya akan semakin turun dengan asumsi semua varaibel selain kepadatan penduduk konstan. Jika
kepadatan penduduk memiliki pengaruh negatif maka lain halnya dengan pendapatan per kapita yang
memiliki hubungan positif yang artinya penambahan pendapatan per kapita akan manaikkan pula jumlah
kejadian DBD per 100.000 penduduk.
Nilai koefisien 𝛽 pada variabel sosio-ekonomi menunjukkan bahwa tidak satupun variabel yang
signifikan pada taraf α 0.05. Ketidak signifikanan pada koefisien 𝛽 bisa terjadi karena ketidak mampuan
model menangkap ke nonlinieran dari variabel iklim.
4.3 Regresi Panel Semiparametrik
Model Semiparametrik yang akan dibentuk memiliki model sebagai berikut:
𝑦𝑖𝑡 = 𝑓 𝑋𝑖𝑡 + 𝛽𝑍𝑖𝑡 + 𝛼𝑖 + 𝑢𝑖𝑡 ; 𝑡 = 1, … , 𝑇 ; 𝑖 = 1, … , 𝑁
dimana 𝑦𝑖𝑡 adalah variabel kejadian DBD per 100.000 penduduk di kabupaten/kota 𝑖 pada waktu 𝑡, 𝑋𝑖𝑡
adalah vektor dari variabel iklim dan 𝑍𝑖𝑡 adalah vektor dari variabel sosio ekonomi.
Hasil regresi panel semiparametrik menghasilkan dua buah model yaitu model nonparametrik
menghasilkan fungsi yang tidak diketahui bentuknya dan model hanya parametrik yang menghasilkan
parameter koefisian 𝛽. Berikut ini adalah tabel 4.3 yang menyatakan nilai koefisien dari parameter 𝛽 untuk
komponen parametrik. Tabel 4.3 Nilai koefisien dari Model Linier
Variabel koefisien Std.Error t-Stat Stat. Lainnya
Z1 -0.0011747 0.0065805 -0.1785
Z2 0.0000078 0.0000017 4.637***
Z3 -0.0023216 0.0008494 -2.7333**
Z4 -0.0004667 0.0007123 -0.6551
LM test 60,5553*
F test 2.8494***
Hausman test 13.2434*
R2
34,47%
* Signifikan pada taraf α 0.05, ** Signifikan pada taraf α 0.01, ***Signifikan pada taraf α 0.001
Tabel 4.3 menunjukkan koefisien dari parameter 𝛽, nilai statistik uji t dari masing-masing variabel
sosial ekonomi dan nilai statistik uji 𝐿𝑀 untuk pengujian efek panel dan penentuan efek fix ataupun efek
random. Nilai 𝐿𝑀 test signifikan pada taraf 0,01, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat efek panel.
Setelah uji asumsi efek panel terpenuhi maka selanjutnya adalah pengujian adanya efek wilayah dengan uji
F dan diketahui bahwa efek wilayah signifikan pada alpha 0,001. Pengujian dilanjutkan dengan uji untuk
pemilihan model efek fix ataukah model efek random. Nilai Statistik uji untuk Hausman test juga
signifikan pada taraf 0.01 sehingga model dengan efek fix yang digunakan.
8
Berdasarkan nilai dari t-statistik pada masing-masing koefisien dapat diketahui bahwa terdapat dua
variabel yang signifikan, yaitu pendapatan per kapita dan jumlah penduduk yang kurang dari 15 tahun per
100.000 jumlah penduduk. Pendapatan perkapita penduduk memiliki nilai koefisien yang positif, artinya
penambahan pendapatan perkapita akan menambah jumlah kejadian DBD per 100.000 penduduk. Hal ini
mengindikasikan bahwa kabupaten/kota yang memiliki pendapatan perkapita tinggi memiliki kemungkinan
yang lebih besar memiliki jumlah kejadian DBD per 100.000 yang lebih besar. Berkebalikan dengan
pendapatan perkapita, jumlah penduduk yang berumur kurang dari 15 tahun memiliki koefisien yang
negatif. Artinya apabila penduduk dalam kabupaten/kota lebih banyak yang berusia 15 tahun kebawah
maka memiliki kemungkinan angka kejadian DBD per 100.000 penduduk akan lebih kecil. Variabel sosio-
ekonomi dapat menjelaskan variabilitas kejadian DBD per 100.000 penduduk sebesar 34.45. Model efek
fix akan menyebabkan nilai 𝛼𝑖 untuk tiap kabupaten/kota berbeda yang ditunjukkan oleh Tabel 4.4.
Tabel 4.4 Nilai koefisien 𝛼𝑖 untuk Masing-masing Kota
Kota nilai 𝛼
Kab.Blitar 14.1803
Kab.Kediri 1.1435
Kab.Malang -13.9697
Kab.Jember 6.8523
Kab.Banyuwangi 0.2661
Kab.Pasuruan -12.3661
Kab.Sidoarjo -32.3548
Kab.Nganjuk 8.6728
Kab.Magetan 11.0369
Kab.Gresik -7.0100
Kab.Sumenep 21.8680
Kota Surabaya 8.9313
Kota Batu 3.1174
Nilai koefisien 𝛼 menunjukkan nilai intersep dari model panel dengan efek fix, sehingga nilai ini
dapat digunakan untuk menunjukkan tingkat kerentanan kabupaten/kota apabila semua wilayah berada
pada kondis sosial ekonomi yang sama. Semakin negatif nilainya maka semakin tidak rentan terhadap
DBD, demikian pula sebaliknya semakin positif nilainya maka daerah tersebut akan semakin rentan.
Kabupaten yang memiliki tingkat kerentanan rendah terhadap DBD bila terjadi perubahan kondisi sosio-
ekonomi adalah Kabupaten Malang, Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Sidoarjo. Sedangkan kabupaten
yang sangat rentan terhadap perubahan kondisi sosial ekonomi adalah Kabupaten Blitar, Kabupaten
Nganjuk, Kabupaten Magetan, Kabupaten Sumenep dan Kota Surabaya. Sedangkan kota lainnya dalam
kondisi sedang.
Koefisien-koefisien dari variabel sosio-ekonomi telah diketahui, maka tahapan selanjutnya adalah
melakukan pemodelan nonparametrik untuk komponen variabel iklim. Komponen nonparametrik yang
terdiri dari tiga buah variabel yaitu curah hujan, suhu dan kelembaban diestimasi fungsi kernelnya untuk
masing-masing variabel dan menghasilkan plot yang menunjukkan garis regresi, seperti yang terdapat
dalam Gambar 4.2. Pemodelan Non parametrik ini dapat menjelaskan variabilitas dari jumlah kasus DBD
per 100.000 sebesar 80,54%, nilai ini diperoleh dari nilai R2.
Gambar 4.2 Efek Curah Hujan (a) , efek suhu (b) dann efek kelembaban(c) Terhadap Kejadian DBD per 100.000
Penduduk dengan Selang Kepercayaan 95%.
500 1500 2500 3500
-50
050
100
x1
y
22 24 26 28
-50
050
100
x2
y
70 75 80 85 90 95
-50
050
100
x3
y
500 1500 2500 3500
-50
050
100
x1
y
22 24 26 28
-50
050
100
x2
y
70 75 80 85 90 95
-50
050
100
x3
y
500 1500 2500 3500
-50
050
100
x1
y
22 24 26 28-5
00
50
100
x2
y
70 75 80 85 90 95
-50
050
100
x3
y
(a) (b) (c)
9
Gambar 4.2 merupakan plot yang dihasilkan melalui regresi nonparametrik kernel dengan
menggunakan selang kepercayaan 95%. Gambar 4.2(a) menunjukkan bahwa kejadian DBD cenderung
tidak mengalami perubahan antara intensitas curah hujan 500mm hingga 1500 mm pertahun, namun bila
curah hujan berada pada interval 1500mm hingga 3500 maka akan cenderung meningkatkan kasus DBD.
Gambar 4.2 (b) menunjukkan hubungan antara suhu dengan kejadian DBD tidak linier, hal ini ditunjukkan
dengan plot yang berfluktuasi. Secara umum pada suhu berkisar antara 220C hingga 27
0C akan
meningkatkan jumlah kasus DBD per 100.00 penduduk. Pada suhu diatas 270C maka Kejadian DBD akan
menurun. Gambar 4.2(c) menunjukkan bahwa kelembaban mempengaruhi DBD dengan pola yang
nonlinier. Bila dilihat dari garis regresi maka pada kelembapan antara 70% hingga 75% angka kejadian
DBD per 100.000 penduduk akan cenderung menurun. Angka kejadian DBD per 100.000 penduduk
cenderung mengalami peningkatan pada kelembaban antara 82 %hingga 87 %. Namun bila dilihat dari
taksiran selang maka kelembaban kurang dari 70% dapat pula meningkatkan jumlah kasus DBD.
Pemodelan semiparametrik menghasilkan model yang lebih fleksibel, karena efek dari setiap
Kabupaten/kota dapat dijelaskan sendiri-sendiri. Selain itu, interpretasi yang dihasilkan juga lebih luas,
karean interpreatasi model parametrik dan non parametrik dapat dilakukan secara terpisah.
4.4 Elastisitas Kejadian DBD Berdasarkan Variabel Iklim
Nilai elastisitas diperoleh dari Smooth Coefisien pada regresi non parametrik yang menunjukkan
elastisitas kejadian DBD terhadap kondisi iklim. Berikut ini adalah Tabel 4.5 yang menunjukkan nilai
elastisitas dari tiap kabupaten/kota.
Tabel 4.5 Nilai Elastisitas Masing-masing Kabupaten
Kabupaten/Kota Curah Hujan Suhu Kelembaban
Kab.Blitar 0.090 30.087 12.084
Kab.Kediri -0.027 -98.953 8.023
Kab.Malang 0.035 3.911 -11.008
Kab.Jember -0.065 2.558 -1.727
Kab.Banyuwangi -0.113 -34.117 1.146
Kab.Pasuruan 0.003 0.122 0.540
Kab.Sidoarjo -0.058 5.071 3.698
Kab.Nganjuk 0.157 -20.650 -1.032
Kab.Magetan 0.002 -0.869 -3.649
Kab.Gresik 0.002 -0.869 -3.649
Kab.Sumenep -0.017 0.058 0.174
Kota Surabaya -0.319 136.825 50.185
Kota Batu 0.035 18.418 1.386
Nilai elastisitas pada Tabel 4.5 menunjukkan fluktuasi perubahan kejadian DBD bila terjadi
perubahan curah hujan, suhu dan kelembaban. Kejadian DBD disetiap kota responsif terhadap perubahan
suhu dan kelembapan. Berbeda dengan curah hujan, angka kejadian DBD tidak begitu responsif terhadap
perubahan intensitas curah hujan. Kota Surabaya merupakan kota yang paling responsif terhadap
perubahan variabel suhu dan kelembaban, sedangkan kabupaten Sumenep adalah kabupaten yang paling
tidak responsif terhadap perubahan variabel suhu dan kelembaban. Responsif dalam hal ini memiliki arti
kepekaan kejadian terjadi DBD bila terjadi perubahan pada variabel yang iklim.
Dua Wilayah yang angka kejadian DBDnya yang paling responsif terhadap perubahan suhu bila
dibandingkan dengan kabupaten lainnya adalah angka kejadian DBD di Kota Surabaya dan Kabupaten
Kediri. Kondisi ini menandakan bahwa bila suhu di Surabaya dan kabupaten Kediri berubah maka kejadian
DBD akan dengan cepat berubah pula, hal ini bisa menjadi sinyal awal untuk langkah antisipasi DBD di
Surabaya dan kebupaten Kediri. Beberapa wilayah lain yang responsif terhadap suhu adalah Kabupaten
Blitar, Kabupaten Kediri, Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Banyuwangi dan Kota Batu. Adapun kabupaten
yang kejadian DBDnya responsif terhadap perubahan kelembaban adalah Kabupaten Malang, Kabupaten
Blitar dan Kabupaten Kediri.
10
5. Kesimpulan dan Saran
5.1 Kesimpulan
Hasil Analisis dan pembahasan menghasilkan kesimpulan sebagai berikut:
1. Model semiparametrik panel yang diperoleh menunjukkan bahwa terdapat dua variabel respon yang
signifikan dari variabel sosio-ekonomi yaitu pendapatan perkapita dan jumlah penduduk dengan usia
kurang dari 15 tahun. Pendapatan perkapita memberikan efek positif terhadap jumlah kejadian DBD,
sedangkan jumlah penduduk yang berusia 15 tahun kebawah memberikan efek negatif. Variabel curah
hujan memberikan efek positif ketika intensitas curah hujan dalam satu tahun berada antara 1500 mm
hingga 3670mm, suhu udara memberikan efek yang besar terhadap perubahan kejadian DBD pada
suhu antara 220C hingga 27
0C, sedangkan kelembaban memberikan efek yang besar terhadap
perubahan kejadian DBD ketika kelembaban berada pada interval 82% hingga 87%.
2. Nilai elastisitas menunjukkan bahwa kejadian DBD responsif terhadap perubahan suhu dan
kelembaban. Kota Surabaya merupakan kota yang paling responsif terhadap perubahan variabel suhu
(𝑒𝑠𝑢ℎ𝑢 = 136.825) dan kelembaban (𝑒𝑘𝑒𝑙𝑒𝑚𝑏𝑎𝑏𝑎𝑛 = 50.185), sedangkan Kabupaten Sumenep adalah
kabupaten yang paling tidak responsif terhadap perubahan variabel suhu (𝑒𝑠𝑢ℎ𝑢 = 0.058) dan
kelembaban (𝑒𝑘𝑒𝑙𝑒𝑚𝑏𝑎𝑏𝑎𝑛 = 0.174). Selanjutnya, kabupaten/kota yang responsif terhadap perubahan
suhu adalah Kabupaten Blitar, Kabupaten Kediri, Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Banyuwangi dan
Kota Batu. Adapun kabupaten yang responsif terhadap perubahan kelembaban adalah Kabupaten
Kediri, Malang dan Blitar.
5.2 Saran
Pada penelitian berikutnya dapat dilakukan pemodelan tanpa melakukan agregat variabel iklim
secara tahunan, karena kemungkinan curah hujan tidak memberikan efek elastisitas secara langsung pada
kejadian DBD karena agregat tahunan.
6. Daftar Pustaka
Anna, L. K. 2011. kompas health. diunduh 29 September, 2011, from kompas:
http://health.kompas.com/read/2011/02/1907163187/Kasus.DBD.di.Indonesia.Tertinggi.di.ASEAN
Arrowiyah. 2011. Spatial Pattern Analysis kejadian Penyakit Demam Berdarah Untuk Informasi Early
Warning Bencana di Kota Surabaya. Tugas Akhir, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS),
Surabaya.
Cahyati, W H., Suharyo. 2006. Dinamika Aedes Aegypti Sebagai Vektor Penyakit. Kesmas-Volume 2.
Baltagi, B. H. 2005. Econometric Analysis of Panel Data Third Edition. England: Jonh Wiley & Sons Ltd.
Depkes.RI. 2009. Database Kesehatan per Propinsi. diunduh September 2011, from Bankdata Depkes RI:
file://localhost/D:/semester%207/TA/Profil%20Kesehatan %20Indonesia.mht.
Depkes.RI. 2002. Pedoman Survey Entomologi. Jakarta: Depkes RI.
Dini, A. M., Fitriany, R. N., dan Wulansari, R. A. 2010. Faktor Iklim dan Angka Insiden Demam
Berdarah Dengue di Kabupaten Serang. MAKARA: Kesehatan vol 14 , 31-38.
Githeko, A.K., Woodward, A. 2003. International Consensus on the Science of Climate and Health: The
IPCC third Assessment Report. In Handbook of Climate Change and Human Health. Genewa:
WHO.
Gumanti, D N.2010. Penerapan metode GSTAR dengan pendekatan Spatio-Temporal untuk memodelkan
kejadian demam berdarah, Tugas Akhir, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS),Surabaya.
Hales, S., Edwards, S.J., Kovats, R.S. 2003. Impact on Health of climate extremes. In Handbook of
Climate Change and Human Health. Genewa: WHO
Hidayati, R. 2008. Model Peringatan Dini Penyakit Demam Berdarah dengan Informasi Unsur
Iklim.[Desertasi]. Sekolah Pascasarjana IPB Bogor.
Jaenisch, T., Patz, J. 2002. Assesment Of Associaton Between climate and infection deseases.Global
Change Hum. Helth.
Kemen.Kes.RI. 2010. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2009. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia.
Khormi, M. H., dan Kumar, L. 2011. Modeling Dengue Fever risk Based on SocioEconomic Parameters,
Nationality and Age Groups: GIS and remote sensing based case study. The Science of the total
environment.
Li, Q. dan Racine, J.S. 2007. Nonparametric Econometrics: Theory and Practice; Princeton University
Press: Princeton, NJ, USA, 221-348.
11
Ma, S., Ooi, E. E., dan Goh, K. T. 2008. Socioeconomic Determinants of Dengue Incidence in Singapore.
Dengue Bulletin - vol 32.
Maslukha, Siti. 2010. Hubungan Perubahan Parameter Iklim Akibat Global Warming dengan Kasus
Demam Berdarah Dengue Di Kabupaten Sidoarjo. Tugas AKhir, Universitas Airlangga, Surabaya.
McMichael, A.J. 2003. Global climate Change and Health: an Old Story Wirt Large. In Handbook of
Climate Change and Human Health. Genewa: WHO.
Mondzozo, A.E., Musumba, M., McCarl, B.A., dan Ximing Wu 2011. Climate Change and Vektor Borne
Diseases: An Economic Impact Analysis of Malaria in Afrika . Internasional Journal of
Environmental Research and Public Health , 913-930.
Patz, J.A., Githeko, A.K., McCarty, J.P., Hussein, S., Confalonieri, U., dan de Wed.,N. 2003. Climate
Change and Infectious disease; In Handbook of Climate Change and Human Health. Genewa:
WHO.
Racine Jeffrey S.2008. Nonparametric Econometric : A Primer. USA: Now Publisher Inc.
Roose Awida. 2008. Hubungan Sosiodemografi dan Lingkungan dengan Kejadian Demam Berdarah
Dengue (DBD) di Kecamatan Bukit Raya Kota Pekanbaru. Tesis,Universitas Sumatra Utara.
Tseng, W.C., Chen, C.C., Chang, C.C., dan Ju, Y.H. 2009. Estimating the economic impacts of climate
change on infectious disease: A case study on dengue fever in Taiwan. Climatic Change, 92, 123-
140.
Ullah, A dan Mudra, K. 2002. Semiparametrik Panel Data Estimation: An Aplication to Immigrants
Homelink Effect on US Producer Trade Flows. In Handbook of Applied Econometrics and
Statistika Inference. New York, NY , USA.
[WHO] World Health Organization 2003. Climate Change and Human Health: Risks and Responses.
Genewa: World Health Organization.
Yuniarti, A. 2009. Hubungan Iklim ( curah hujan, kelembapan dan suhu udara) dengan Kejadian
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Kota Administrasi Jakarta Timur Tahun 2004-2008.
Jakarta: FKM UI.
Zhou, G., Noboru, M., Githeko, A., Yan, G.2003. Assosiation between Climate variability and Malaria
epidemic in the east African highlands. Proc. Natl. Acad. Sci. USA