21
1.1 Defenisi Maturity (Pematangan) Maturity atau pametangan adalah proses perubahan zat-zat organic menjadi hidrokarbon. Pengertian pematangan atau pendewasaan minyak bumi (oil maturation) erat hubungannya dengan masalah waktu pembentukan dan pengertian batuan induk. Banyak ahli geologi minyak bumi salah satunya yaitu Dott dan Reynold, 1969 berpendapat bahwa “langkah dalam sejarah pembentukan minyak bumi terjadi dalam atau dekat reservior pada waktu atau setelah migrasi primer selesai, dan terdiri dari suatu urutan perubahan purna-diagenesa yang menghasilkan hidrokarbon dari senyawa yang lebih berat dengan molekul rendah”, proses ini disebut pematangan atau pendewasaan (maturation) dan hasilnya adalah minyak bumi yang sebenarnya. Maturity atau pematangan di bagi atas 3 yaitu : a. Immature adalah sourcerock yang belum mengalami perubahan menjadi hidrokarbon. b. Mature adalah source rock yang sedang mengalami perubahan menjadi hidrokarbon.

Defenisi Maturity

  • Upload
    m-ahmad

  • View
    147

  • Download
    12

Embed Size (px)

Citation preview

1.1 Defenisi Maturity (Pematangan)

Maturity atau pametangan adalah proses perubahan zat-zat organic

menjadi hidrokarbon.

Pengertian pematangan atau pendewasaan minyak bumi (oil maturation)

erat hubungannya dengan masalah waktu pembentukan dan pengertian batuan

induk. Banyak ahli geologi minyak bumi salah satunya yaitu Dott dan Reynold,

1969 berpendapat bahwa “langkah dalam sejarah pembentukan minyak bumi

terjadi dalam atau dekat reservior pada waktu atau setelah migrasi primer

selesai, dan terdiri dari suatu urutan perubahan purna-diagenesa yang

menghasilkan hidrokarbon dari senyawa yang lebih berat dengan molekul

rendah”, proses ini disebut pematangan atau pendewasaan (maturation) dan

hasilnya adalah minyak bumi yang sebenarnya.

Maturity atau pematangan di bagi atas 3 yaitu :

a. Immature adalah sourcerock yang belum mengalami perubahan menjadi

hidrokarbon.

b. Mature adalah source rock yang sedang mengalami perubahan menjadi

hidrokarbon.

c. Overmature adalah source rock yang telah mengalami pematangan

menjadi hidrokarbon.

1.2 Proses Maturity (Pematangan)

Proses maturasi berawal sejak endapan sedimen yang kaya bahan organik

terendapkan. Pada tahapan ini, terjadi reaksi pada temperatur rendah yang

melibatkan bakteri anaerobik yang mereduksi oksigen, nitrogen dan belerang

sehingga menghasilkan konsentrasi hidrokarbon.

Proses pematangan di akibatkan kenaikan suhu di dalam permukaan bumi.

Proses ini terus berlangsung sampai suhu batuan mencapai 50 derajat celcius.

Selanjutnya, efek peningkatan temperatur menjadi sangat berpengaruh sejalan

dengan tingkat reaksi dari bahan-bahan organik kerogen. Karena temperatur terus

mengingkat sejalan dengan bertambahnya kedalaman, efek pemanasan secara

alamiah ditentukan oleh seberapa dalam batuan sumber tertimbun (gradien

geothermal).

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa proses pemasakantergantung suhunya

dan karena suhu ini tergantung dari besarnya gradien geothermalnya maka setiap

daerah tidak sama tingkat kematangannya.

Dalam gambar diatas ini terlihat bahwa minyak terbentuk pada suhu antara

50-180 derajat Celsius. Tetapi puncak atau kematangan terbagus akan tercapai

bila suhunya mencapai 100 derajat Celsius. Ketika suhu terus bertambah karena

cekungan itu semakin turun dalam yang juga diikuti penambahan batuan

penimbun, maka suhu tinggi ini akan memasak karbon yang ada menjadi gas.

Ada 5 tahapan zonasi pematangan minyak bumi menurut Bissada (1986)

adalah :

a. Zona I : dimana gas dapat terbentuk sebagai akibat bakteri tidak ada

minyak yang dapat dideteksi kecuali minyak bumi tersebut merupakan zat

pengotor atau hasil suatu migrasi.

b. Zona II : merupakan awal pembentukan minyak bumi. Hasil utama yang

terbentuk pada zona ini adalah gas kering basah dan sedikit kondesat.

Adanya pertambahan konsentrasi minyak akan menyebabkan minyak

bumi terus mangalami pengenceran, tetapi belum dapat terbebaskan dari

batuan induknya. Begitu titik kritis kemampuan menyimpan terlampaui,

proses perlepasan minyak bumi sebagai senyawa yang telah matang

dimulai.

c. Zona III : merupakan zona puncak pembentukan dan pelepasan minyak

bumi dari batuan induk. Bentuk utama yang dihasilkan berupa gas dan

minyak bumi. Dengan bertambahnya tingkat pematangan maka minyak

yang berjenis ringan akan terbentuk.

d. Zona IV : merupakan zona peningkatan pembentukan kondesat gas basah.

e. Zona V : merupakan zona teraksir, dicirikan dengan suhu yang tinggi

sehingga zat organik akan terurai menjadi gas kering (metana) sebagai

akibat karbonisasi. Perubahan yang terjadi sebagai akibat penambahan

panas dan lamanya pemanasan pada kerogen atau batu bara dapat bersifat

kimia dan fisika, seperti yang diuraikan oleh Bissada (1980) sebagai ber

ikut :

Daya pantul cahaya daari partikel vitrinit akan meningkat secara

eksponensial.

Warna kerogen akan berubah menjadi lebih gelap.

Adanya peningkatan mutu batu bara, dengan kandungan volatile

akan berkurang.

1.3 Hipotesa Proses Pematangan

Untuk proses pematangan ini diajukan berbagai macam hipotesa. 

1. Teori Perbandingan Karbon ('carbon - ratio'). 

White (1915) menghubungkan terjadinya perubahan minyak bumi dengan

metamorfisme regional, sebagaiman diperlihatkan pada perubahan batubara.

Berdasarkan penelitiannya di pegunungan Appalachia disimpulkannya bahwa

minyak bumi yang bertingkat paling rendah ditemukan di daerah dengan formasi

yang mengandung endapan karbonan yang paling sedikit terubah. Minyak bumi

yang lebih tinggi tingkatannya ditemukan di daerah dengan perubahan zat

organik yang lebih lanjut, seperti misalnya, batubara sub-bitumina. Di daerah

batubara - bitumina tingkatan minyak buminya akan lebih tinggi lagi. Jika

perubahan residu karbon melampui 65 persen atau mungkin 75 persen dari

karbon tetap dalam batubara murni, maka distilat minyak bumi terdapat berbagai

gas pada temperatur batuan. Teori ini kembali lagi diungkapkan oleh Landes

(1967) yang mengkorelasikan langsung antara cara terdapatnya jenis minyak

serta gas bumi dengan tingkatan batubara (coal ranks) dan menyebutnya sebagai

proses eometamorfisma.

  2. Fraksi Minyak Dalam Batuan

 

Day, 1916,  Teori ini mengemukakan bahwa pendewasaan disebabkan

karena fraksinasi minyak bumi dalam serpih lempung/batuan induknya. pada

waktu migrasi, hidrokarbon yang tidak jenuh (naften, aromat) akan melekat pada

lempung karena kapilaritas. dengan demikian minyak bumi yang bermigrasi akan

lebih matang. 

3. Hubungan Berat Jenis Minyak Bumi Terhadap Umur Dan Kedalaman. 

Barton (1934) menemukan dari beberapa penelitiannya di daerah

Gulfcoast, bahwa untuk umur yang sama, maka dalam terdapatnya minyak bumi

makin meningkat kadar fraksi ringan dan derajat API-nya. Demikian pula untuk

kedalaman yang sama, makin tua umurnya makin ringan minyak buminya. Hal

yang sama ditemukan oleh McNab, Smith, dan Betts (1952). 

Kesimpulan Yang Dapat Diambil :

Makin dalam terdapatnya minyak bumi dan makin tua umurnya minyak

bumi makin meningkatlah perbandingan hidrogen/karbon. Namun dalam hal gas,

maka ditemukan keadaan sebaliknya, makin dalam dan makin tua gas tersebut,

perbandingan hidrogen/karbon makin menurun.

Berbagai proses pendewasaan karena kedalaman dan umur yang telah

diusulkan, yaitu :

a. Hidrogenasi dan Metilisasi

Dalam proses ini hidrokarbon yang tidak jenuh dijenuhi dengan

hidrogen atau metil, dan merubah hidrokarbon siklis menjadi alifat.

sebagai kemungkinan sumber hidrogen bebas diusulkan oleh Whitehead

dan Breger (1960) cara iradiasi partikel alpa, sebagaimana tersirat dalam

teorinya mengenai transformasi zat organik minyak bumi. Sumber lain

adalah hasil aktivitas bakteri seperti dikemukakan oleh Zobell (1947).

b. Reaksi Katalitis dan 'Cracking'.

Peninggian temperatur dan pengaktifan katalisator akan

mematahkan hidrokarbon berat menjadi hidrokarbon ringan/parafin.

c. Aromatisasi.

Erdman (1965) mengajukan proses konversi yang terjadi karena

penurunan progresif dalam daya larut minyak bumi dari zat aspal, yang

khas merupakan penyusunan minyak muda atau minyak primitif. Hal ini

merupakan suatu polimerisasi senyawa aromatik menjadi kompleks aspal.

Dengan demikian zat naften dan aromat akan ketinggalan, dan minyak

yang bermigrasi akan menjadi lebih bersifat parafin. Pada proses ini atom

hidrogen akan dilepaskan.

d. Migrasi Pemisahan Dari Fasa

Silverman, 1965, Konsepsi ini meliputi pemisahan secara fisik

satu fasa dari sistem reservoir minyak bumi berfasa dua, yang kemudian

yang diikuti oleh migrasi dari fasa yang telah dipisahkan dari reservoir

asalnya. Hal ini meliputi pula penurunan tekanan untuk mendapatkan dua

fasa (cairan dan uap).

1.3.1 Konsepsi Pematangan Phillipi (1965)

 Phillipi (1965) berdasarkan pekerjaannya di Sumatera Selatan,

Venezuela (1957) dan cekungan Ventura dan Los Angeles, menunjukkan

bahwa pematangan (matiration) minyak bumi yang berhubungan dengan

pembentukannya sendiri terjadi dalam batuan induk.

Pendewasaan minyak bumi merupakan hasil degradasi termal zat

organik, sehingga merupakan fungsi gradien geotemal. Hasil analisa

hidrokarbon batuan induk pada batuan sedimen miosen dalam cekungan

yang sama, menunjukkan terdapatnya peningkatan progresif daripada

jumlah dan perubahan susunan kimia hidrokarbon minyak bumi dalam

reservoir. Makin dalam letak batuan dan makin tua umur batuan tersebut,

maka kesamaan susunan kimianya dengan minyak bumi tercapai. Hal ini

menurut Phillipi (1965) adalah proses pematangan.

1. Dalam analisanya dari jenis hidrokarbon dalam batuan induk terhadap

kedalaman didapatkan: Kadar hidrokarbon bersama dengan

perbandingannya hidrokarbon/karbon non karbonat meningkat kuat.

2. Peningkatan ini lambat pada permulaan, tetapi sangat menyolok dalam

serpih Miosen Atas (15 juta tahun).

3. Susunan secara keseluruhan daripada hidrokarbon dengan titik didih di

atas 325 derajat celcius tidak kelihatan berubah dalam proses

pembentukan minyak bumi, tetapi sangat menyolok dan bersistem

dalam susunan detailnya, antara lain lelebihan nomor atom karbon

ganjil dalam kisaran C27 - C33 makin menghilang, dan parafin normal

dalam kisaran C18 - C22 terbentuk.

4. Konsentrasi total hidrokarbon dengan titik didih diatas 325 derajat

celcius meningkat dengan kedalaman dan umur, disertai pula

peningkatan parafin normal dalam batuan serpih. Pada permulaan,

jumlah hidrokarbon yang terbentuk jauh lebih sedikit daripada daya

penyerapan zat organik non hidrokarbon, sehingga minyak (yang

belum dewasa) yang mula-mula terbentuk akan tinggal ditempat

terbentuknya (dalam zat organik) sampai stadium proses pembentukan

minyak berikutnya. Jika jumlah minyak yang terbentuk melebihi daya

penyerapan zat organik, barulah minyak bumi akan dikeluarkan, dan

minyak yang dikeluarkan telah matang.

Pendapat Phillipi (1965) ini menerangkan mengapa dalam lapisan semuda

pliosen muda seperti minyak yang didapatkan di California telah matang.

Keberatan terhadap teori ini adalah, bahwa minyak harus bermigrasi secara

vertikal melalui serpih tebal yang rapat.

1.4 Analisa Kematangan Minyak Bumi

Perubahan thermal zat organik mungkin akan dimulai pada kondisi

temperatur sebesara 1000 C. perubahan temperatur yang terjadi dapat

menyebabkan terjadinya proses metamorfasa dan ini akan sangat berpengaruh

pada kondisi zat organik yang terkandung dalam sedimen. Sehingga saat ini

berkembang suatu cara pengidentifikasian pematangan berdasarkan data geokimia

organik yaitu dengan cara:

1. Analisa Pantulan Vitrinit

Analisa ini berdasarkan pada kemampuan daya pantul cahaya vitrinit.

Besarnya pantulan vitrinit merupakan petunjuk langsung untuk tingkat

kematangan zat organic, terutama humus yang cenderung membentuk gas dan

merupakan petunjuk tidak langsung untuk sapronel kerogen yang cenderung

membentuk minyak (Cooper, 1977). Kemampuan daya pantul ini merupakan

fungsi temperature artinya dengan perubahan waktu pemanasan dan

temperature akan menyebabkanwarna vitrinit berubah dibawah sinar pantul.

Cara penganalisaan pantul vitrinit ini yaitu dengan mengambil

contoh batuan dari kedalaman tertentu diletakkan diatas kaca preparat dan

direkatkan dengan epoxyresin. Kemudian digosokkan dengan kertas

korondum kasar sampaihalus dan terakhir dengan menggunakan alumina.

Selanjutnya contoh batuantersebut diuji dalam minyak immerse (indeks bias =

1,516) dengan menggunakan mikroskop dan suatu micro photomultiplier dan

digital voltmeter attachment. Kemudian dilakukan kalibrasi terhadap vitrinit

berdasarkan suatu standart yang terbuat dari gelas.

Table 1. Hubungan Antara Nilai Pantulan Vitrinit Dengan Tingkat Kematangan

Hidrokarbon (Tissot And Welte 1978).

2. Analisa Indeks Warna Spora

Analisa ini untuk mengetahui tingkat kematangan zat organik

denganmenggunakan mikro fosil dari sekelompok spora dengan serbuk sari.

Analisa inidilakukan dengan cara contoh kerogen yang diperlukan dari keratin

bor diuraikan dengan cairan asam kemudian contoh spora atau tepung sari ini

diletakkan pada kaca preparat dan diamati tingkat warnanya dengan suatu

skalawaena melalui mikroskop.

Kesulitan dalam analisa indeks warna spora ini terkadang timbul

dalam haldalam membanfingkan tingkat warna dari suatu contoh spora atau

tepung saridengan warna stndart tertentu. Keterbatasan lainnya adalah

bahwasanya tingkat warna spora akan sangat tergantung pada ketebalan

dindingnya, pada beberapa jenis sporaefek panas yang mengenainya terkadang

tidak selalu tercermin dari  perubahan warnanya.

Tabel 2. Hubungan Antara Warna I Spora Atau Tepung Sari Dengan Tingkat Kematangannya

3. Indeks Pengubahan Thermal 

Metode ini menggunakan penentuan warna secara visual dari pollen

(sebuk kepala putik) dari zat organik lainnya, dari warna kuning, coklat

sampai hitam.Klasifikasi ini dihubungkan langsung dengan pembentukan atau

pematangan minyak dan gas bumi

1.4.1 Identifikasi Kematangan Berdasarkan Pyrolisis

1. Metode Analisis

Alat yang dipergunakan untuk ini adalah rock – eval.

Didalam pyrolisis, sejumlah kecil bubuk sample (biasanya sekitar 5 – 100 mg)

dipanasi secara perlahan tanpa adanya oksigen dari suatu temperatur awal

2500C ke temperatur maksimum 5500C. Selama pemanasan berlangsung dua

jenis hidrokarbon dikeluarkan dari batuan. Hidrokarbon pertama, yang keluar

sekitar 2500C, merupakan hidrokarbon yang sudah ada dalam batuan.

Hidrokarbon ini setara dengan bitumen yang dapat diekstraksi dengan

mempergunakan pelarut. Detector pada rock – eval  akan merekam hal ini dan

dapat menggambarkannya dalam bentuk S1 pada kertas pencatat. Dengan

menerusnya pemanasan, aliran hidrokarbon yang sudah ada didalam batuan

mulai berkurang. Pada temperature 3500C jenis hidrokarbon jenis kedua mulai

muncul. Aliran kedua ini mencapai 4200C dan 4600C, yang kemudian

menurun sampai akhir pyrolisis. Hidrokarbon kedua ini disebut S2,

merupakan hidrokarbon yang terbentuk dari kerogen didalam rock – eval

karena penguraian bahan kerogen. S2 dianggap sebagai indikator penting

tentang kemampuan kerogen memproduksi hidrokarbon saat ini.

Selama  pyrolisis, karbon dioksida juga dikeluarkan dari kerogen.

Karbondioksida ini ditangkap oleh suatu perangkap selama pyrolisis

berlangsung dan kemudian dilepas pada detector kedua (direkam sebagai S3)

setelah semua pengukuran hidrokarbon selesai. Jumlah karbon dioksida yang

didapat darikerogen yang dikorelasaikan dengan jumlah oksigen yang tinggi

berkaitan dengan material yang berasal dari kayu selulosa atau oksida tinggi

selama diagenesis, maka kandungan oksigen tinggi didalam kerogen

merupakan indicator negative potensial sumber hidrokarbon.

Pyrolisis Tmax 

Parameter Tmax adalah temperatur puncak S2 mencapai maksimum.

Temperatur pyrolisis dibunakan sebagai indicator kematangan, sebab

jikakemtangan kerogen meningkat, temperature yang menunjukkan laju

maksimum pyrolisis terjadi juga meningkat atau dengan kata lain jika Tmax

makin tinggi batuan semakin matang. Demikin pula halnya dengan ratio S1 / (S2

+ S3) yang disebut juga transportation ratio atau OPI (Oil Production Index) dan

juga parameter Tmax. Untuk hubunagn antara transportation ratio dan Tmax

dengan kematangan dapat dilihat pada table dibawah ini.

Tabel Hubungan antara Tmax dengan kematangan (Espilatie etal 77 Vide Tissot

&Welte 1978)