6
DEKLARASI DJUANDA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEWILAYAHAN INDONESIA Indonesia merupakan kawasan kepulauan terbesar di dunia yang terdiri atas sekitar 18.000 pulau besar dan kecil. Pulau-pulau itu terbentang dari timur ke barat sejauh 6.400 km atau sepadan dengan jarak London dan Siberia dan sekitar 2.500 km jarak antara utara dan selatan. Garis terluar yang mengelilingi wilayah Indonesia adalah sepanjang kurang lebih 81.000 kilometer dan sekitar 80% dari wilayah ini adalah laut. Dengan bentang geografis itu, Indonesia memiliki wilayah yang sangat luas yaitu 1,937 juta kilometer persegi daratan, dan 3,1 juta kilometer teritorial laut, serta luas laut ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) 2,7 juta kilometer persegi. Republik Indonesia merupakan negara kepulauan dengan beragam suku, bahasa, dan budayanya. Secara fisik antar satu budaya dan budaya lain dipisahkan oleh laut, namun dari sisi kemaritiman pemisahan itu tidak pernah ada karena seluruh perairan yang ada di Nusantara adalah pemersatu yang mengintegrasikan ribuan pulau yang terpisah-pisah. Dalam proses perkembangannya tingkat integrasi dapat berbeda-beda baik secara geografis maupun secara politis, ekonomis, sosial dan kultural. Laut, bagi kebanyakan suku di wilayah kepulauan kita, merupakan ajang untuk mencari kehidupan. Dari laut dapat dieksploitasi sumberdaya biota dan abiota, serta banyak kegiatan kemaritiman yang menjanjikan dan mempesona. Pada mulanya bertujuan mencari hidup dan mempertahankan hidup, pada akhirnya bertujuan mengembangkan kesejahteraan, atau dengan kata lain

DEKLARASI DJUANDA

Embed Size (px)

DESCRIPTION

dekrasi djuanda

Citation preview

Page 1: DEKLARASI DJUANDA

DEKLARASI DJUANDA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEWILAYAHAN INDONESIA

Indonesia merupakan kawasan kepulauan terbesar di dunia yang terdiri atas sekitar

18.000 pulau besar dan kecil. Pulau-pulau itu terbentang dari timur ke barat sejauh 6.400 km atau

sepadan dengan jarak London dan Siberia dan sekitar 2.500 km jarak antara utara dan selatan.

Garis terluar yang mengelilingi wilayah Indonesia adalah sepanjang kurang lebih 81.000

kilometer dan sekitar 80% dari wilayah ini adalah laut. Dengan bentang geografis itu, Indonesia

memiliki wilayah yang sangat luas yaitu 1,937 juta kilometer persegi daratan, dan 3,1 juta

kilometer teritorial laut, serta luas laut ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) 2,7 juta kilometer persegi.

Republik Indonesia merupakan negara kepulauan dengan beragam suku, bahasa, dan

budayanya. Secara fisik antar satu budaya dan budaya lain dipisahkan oleh laut, namun dari sisi

kemaritiman pemisahan itu tidak pernah ada karena seluruh perairan yang ada di Nusantara

adalah pemersatu yang mengintegrasikan ribuan pulau yang terpisah-pisah. Dalam proses

perkembangannya tingkat integrasi dapat berbeda-beda baik secara geografis maupun secara

politis, ekonomis, sosial dan kultural.

Laut, bagi kebanyakan suku di wilayah kepulauan kita, merupakan ajang untuk mencari

kehidupan. Dari laut dapat dieksploitasi sumberdaya biota dan abiota, serta banyak kegiatan

kemaritiman yang menjanjikan dan mempesona. Pada mulanya bertujuan mencari hidup dan

mempertahankan hidup, pada akhirnya bertujuan mengembangkan kesejahteraan, atau dengan

kata lain membangun kejayaan dan kekayaan dari kegiatan kemaritiman. Fenomena ini pada

akhirnya membentuk karakter bangsa pelaut, seperti lahirnya Kadātuan Śrīwijaya, Kerajaan

Mālayu, Kerajaan Majapahit, Orang Laut dari Bone, dll. Melalui laut orang dari berbagai bangsa

menjalankan aktivitas perekonomian melalui “jasa” pelayaran antar benua atau antar pulau.

Sejak awal tarikh Masehi, laut Nusantara telah diramaikan oleh kapal-kapal dari berbagai

penjuru dunia. Jaringan pelayaran di Nusantara terbentuk karena perdagangan rempah-rempah

yang mempunyai daerah pemasaran luas. Berdasarkan sumber-sumber naskah Eropa, rempah-

rempah yang diperdagangkan di Eropa berasal dari Nusantara. Komoditi ini tampaknya hanya

dihasilkan di Nusantara, sehingga banyak saudagar yang datang jauh-jauh menempuh perjalanan

melalui laut untuk mencarinya.

Selama masa pendudukan bangsa Eropa di wilayah Nusantara, prinsip kebebasan lautan

yang diajarkan Hugo de Groot (Grotius), seorang ilmuwan dari Belanda telah mengakibatkan

Page 2: DEKLARASI DJUANDA

datangnya pedagang-pedagang Belanda ke negeri Nusantara melalui lautan, yang kemudian

berlanjut dengan penjajahan. Pada tahun 1608, Hugo de Groot menuliskan dalam bukunya

bahwa Belanda, seperti halnya bangsa Eropa yang lainnya, memiliki hak yang sama untuk

berlayar ke Timur. Dengan demikian, prinsip hak milik negara atas lautan juga telah

menyebabkan penguasaan Nusantara beserta lautnya oleh berbagai kekuatan luar seperti

Portugal, Spanyol, Inggris dan lain-lain. Selama kurang lebih tiga abad selanjutnya, laut

Nusantara lebih banyak berfungsi sebagai alat pemisah dan pemecah belah kesatuan dan

persatuan Indonesia.

Baru pada abad ke-20, melalui Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie1939

(Staatsblad 1939 No. 422) atau yang biasa disingkat dengan Ordonantie 1939, wilayah laut

dalam suatu pulau di Nusantara memiliki ketetapan hukum yang diakui secara internasional.

Ordonantie 1939 menetapkan bahwa jarak laut teritorial bagi tiap-tiap pulau sejauh tiga mil.

Peraturan ini, memunculkan ’kantong-kantong’ lautan bebas di tengah-tengah wilayah negara

yang membuat kapal-kapal asing dapat berlayar secara bebas. Ordonansi itu juga berlaku bagi

kapal-kapal perang Belanda yang tidak mungkin dilarang oleh Indonesia. Kapal-kapal Belanda

dapat dengan bebas menjelajahi perairan laut di antara pulau-pulau di Indonesia karena memang

hukum laut internasional yang berlaku saat itu masih memungkinkannya. Indonesia tidak

memiliki hak untuk melarangnya apalagi kekuatan Angkatan Laut Indonesia masih jauh

ketinggalan dengan Belanda.

Keberadaan laut bebas di antara pulau-pulau di wilayah Negara Republik Indonesia jelas

sangatlah janggal. Bagaimana pun penduduk antara satu pulau dengan pulau lainnya masih satu

bangsa, sehingga tidak mungkin sebuah negara yang berdaulat dipisah-pisahkan oleh laut bebas

sebagai pembatasnya. Oleh sebab itu, mulai muncul gagasan untuk merombak sistem hukum laut

Indonesia.

Pemikiran untuk mengubah Ordinantie 1939 dimulai pada 1956. Pada waktu itu,

pimpinan Departemen Pertahanan Keamanan RI mendesak kepada pemerintah untuk segera

merombak hukum laut warisan kolonial yang secara nyata tidak dapat menjamin keamanan

wilayah Indonesia. Desakan itu juga didukung oleh departemen lain seperti Departemen Dalam

Negeri, Pertanian, Pelayaran, Keuangan, Luar Negeri, dan Kepolisian Negara. Akhirnya, pada 17

Oktober 1956 Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo memutuskan membentuk suatu panitia

interdepartemental yang ditugaskan untuk merancang RUU (Rencana Undang-Undang) Wilayah

Page 3: DEKLARASI DJUANDA

Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim berdasarkan Keputusan Perdana Menteri RI No.

400/P.M./1956. Panitia itu di bawah pimpinan Kolonel Laut R. M. S. Pirngadi.

Setelah bekerja selama 14 bulan akhirnya ’Panitia Pirngadi’ berhasil menyelesaikan

konsep RUU Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim. Pada prinsipnya, RUU itu

masih mengikuti konsep Ordonansi 1939; perbedaannya adalah bahwa laut teritorial Indonesia

ditetapkan dari tiga mil menjadi 12 mil. Panitia belum berani mengambil berbagai kemungkinan

risiko untuk menetapkan asas straight base line atau asas from point to point mengingat kekuatan

Angkatan Laut Indonesia masih belum memadai. Sebelum RUU disetujui, Kabinet Ali bubar dan

digantikan oleh Kabinet Djuanda. Sejalan dengan ketegangan yang terjadi antara Belanda dan

RI, pemerintahan Djuanda lebih banyak mencurahkan perhatian untuk menemukan sarana yang

dapat memperkuat posisi RI dalam melawan Belanda yang lebih unggul dalam pengalaman

perang dan persenjataan. Untuk itu, sejak 1 Agustus 1957, Ir. Djuanda mengangkat Mr. Mochtar

Kusumaatmadja untuk mencari dasar hukum guna mengamankan keutuhan wilayah RI.

Akhirnya, ia memberikan gambaran ’asas archipelago’ yang telah ditetapkan oleh Mahkamah

Internasional pada 1951 seperti yang telah dipertimbangkan oleh RUU sebelumnya namun tidak

berani untuk menerapkannya dalam hukum laut Indonesia. Sebagai alternatif terhadap RUU itu,

disusun konsep ’asas negara kepulauan’.

Dengan menggunakan ’asas archipelago’ sebagai dasar hukum laut Indonesia, maka

Indonesia akan menjadi negara kepulauan atau ’ archipelagic state ’ yang merupakan suatu

eksperimen radikal dalam sejarah hukum laut dan hukum tata negara di dunia. Dalam sidang 13

Desember 1957, Dewan Menteri akhirnya memutuskan penggunaan ’Archipelagic State

Principle’ dalam tata hukum di Indonesia, yaitu dengan dikeluarkannya ’Pengumuman

Pemerintah mengenai Perairan Negara Republik Indonesia’. Dalam pengumuman itu, pemerintah

menyatakan bahwa semua perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau

atau bagian pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang

luas atau lebarnya adalah bagian dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan

demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak

Negara Republik Indonesia. Isinya adalah:

”segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian

pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak

memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah

Page 4: DEKLARASI DJUANDA

daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian daripada

perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak daripada Negara Republik

Indonesia. Lalu-lintas yang damai diperairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing

dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan/mengganggu kedaulatan dan

keselamatan negara Indonesia”.

Dalam peraturan, yang akhirnya dikenal dengan sebutan Deklarasi Djuanda, disebutkan

juga bahwa batas laut teritorial Indonesia yang sebelumnya tiga mil diperlebar menjadi 12 mil

diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung terluar pada pulau-pulau dari wilayah

negara Indonesia pada saat air laut surut. Dengan keluarnya pengumuman tersebut, secara

otomatis Ordonantie 1939 tidak berlaku lagi dan wilayah Indonesia menjadi suatu kesatuan

antara pulau-pulau serta laut yang menghubungkan antara pulau-pulau tersebut. Dalam

Deklarasi Djuanda terkandung suatu konsepsi negara maritim “Nusantara”, yang melahirkan

konsekuensi bagi pemerintah dan bangsa Indonesia untuk memperjuangkan serta

mempertahankannya hingga mendapat pengakuan internasional. Deklarasi Djuanda merupakan

landasan struktural dan legalitas bagi proses integrasi nasional Indonesia sebagai negara maritim.