20

Click here to load reader

Dekonstruksi Arkeologi Konsep Dakwah

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Dekonstruksi Arkeologi Konsep Dakwah

Dekonstruksi Arkeologi Konsep Dakwah

Dalil Aqli Menjawab Pergeseran Tatanan Sosioantropologis

Makalah ini disajikan untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah Filsafat Dakwah

Yang diampu oleh Drs. Z. Sukawi, MA

Disusun Oleh:

Abaz Zahrotien

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASIUNIVERSITAS SAINS AL QUR’AN (UNSIQ)

JAWA TENGAH DI WONOSOBO2008

Page 2: Dekonstruksi Arkeologi Konsep Dakwah

Dekonstruksi Arkeologi Konsep Dakwah

Dalil Aqli Menjawab Pergeseran Tatanan Sosioantropologi

A. Pendahuluan

Muhammad ketika dalam usia muda merenungi tentang

masyarakat suku Qurays yang begitu kejam dengan mengubur hidup-

hidup bayi perempuan yang baru lahir, dengan pembesar suku Qurays

yang cenderung bersikap eksploitatif terhadap orang-orang yang level

sosialnya jauh dibawahnya atau yang memiliki klan keluarga dari kalangan

menengah kebawah. Disamping itu, Muhammad juga sangat

menyesalkan perilaku masyarakat Qurays yang gemar sekali menghabur-

hamburkan harta yang mereka miliki untuk mendapatkan kesenangan

sementara, judi, mabuk, kejahatan seksual dan varian patologi sosial

lainnya. Muhammad mengalami kebimbangan, tentang apa yang harus

dia lakukan, tentang apa yang bisa ia lakukan ketika kejahatan semacam

itu terus menggerogoti masyarakat Qurays tanpa henti. Meskipun dia dari

kalangan klan tertinggi di suku Qurays (Bani Hasyim), namun ia resah

melihat keluarganya yang berlaku kurang santun terhadap sesama.

Setengah abad kemudian, Muhammad telah berhasil melepaskan

belenggu yang membuatnya resah lima puluh tahun sebelumnya,

sebelum Allah mengangkatnya menjadi wakil-Nya di dunia. Dia tidak lagi

meresahkan tentang perilaku saudaranya yang dulu bertindak kurang

santun terhadap sesama.

Lepas dari kehidupan Muhammad dengan kisah eksotiknya itu,

dalam catatan sejarah, penulis China bernama It Sing menyebutkan

bahwa pada abad ke-7, dia melihat di salah satu tempat di nusantara

dengan berpakaian ala orang Timur Tengah melakukan gerakan-gerakan

aneh. Analisis penulis, dia adalah ‘musafir’ yang mencoba menyebarkan

Islam di Nusantara yang datang dari Arab Saudi, entah di zaman khulafaur

Page 3: Dekonstruksi Arkeologi Konsep Dakwah

rasyidin atau diera Dinasti Ummayyah. Namun karena dalam catatan

sejarah, saat itu, ternyata tidak ada bukti orang lokal beragama Islam,

maka dapat dikatakan misi ‘musafir’ tersebut gagal.

Beberapa abad kemudian, tepatnya saat Islam Global dibawah

kendali Ottoman Empire yang berpusat di Turki, Khalifah dari Ottoman

Dynasti ini mengutus beberapa ulama besar di eranya untuk

menyebarkan Islam diseluruh belahan dunia. Salah satu yang datang ke

Indonesia adalah ulama besar bernama Jalaludin Arraniri, yang kemudian

di kenal dengan nama Ar Raniri. Missionaris ini pertama kali tiba di Aceh

dan melakukan penyebaran agama Islam disana, hasilnya, Ar Raniri

dengan perjuangan panjangnya bahkan mampu mendirikan kerajaan

Islam pertama di nusantara, Samudera Pasai.

Juga ada sedikit cerita yang banyak terjadi di Nusantara jauh

sebelum Indonesia menjadi sebuah negara kesatuan. Disebutkan konon

pada zaman kerajaan-kerajaan dahulu kala, terutama kerajaan besar di

era Hindu ataupun Budha, Sriwijaya, Malaka, Majapahit, ataupun

Pajajaran, telah terjadi perdagangan internasional, ekspor dan impor

antara kerajaan yang satu dengan kerajaan yang lain adalah hal yang

biasa terjadi, dan bahkan menjadi penopang ekonomi dalam negeri

kerajaan. Konon kabarnya, tidak hanya dari utara hingga china yang

beradgang di nusantara, tetapi juga para pedagang dari timur tengah ikut

serta berdagang di Nusantara. Baik dari Gujarat, India, Persia dan lainnya.

Para pedagang, khusunya yang beragama Islam, ikut serta

menyebarkan agama dengan relasi bisnis mereka di Nusantara, namun

tidak dapat maksimal. Contoh misalnya, di zaman pasca era runtuhnya

Majapahit, Kadipaten Tuban di bawah Adipati Wilwatikta menjadi

‘kerajaan kecil’ dengan bandar perdagangan internasional yang luas.

Relasinya tidak hanya pedagang Tiongkok yang banyak bertempat di Lao

Sam (Lasem, Pati) dan Sam Poo Toa Lang (Semarang), namun juga

3

Page 4: Dekonstruksi Arkeologi Konsep Dakwah

pedagang dari Gujarat dan tanah Timur Tengah lainnya. Di zaman

Pemerintahan Adipati Wilwatikta ini, memiliki seorang juru bicara

kerajaan (penerjemah bahasa) dari Benggala, India yang fasih berbahasa

melayu, Arab dan Urdu. Dia bernama Syaikh Habibullah Al masawa,

seorang Islam.

Sebagai seorang salah satu pembesar kerajaan, posisi Syaikh

Habibullah Al Masawa sangat strategis, setara dengan Patih, setingkat

dibawah raja. Namun dengan jabatan yang tingginya itu, ternyata orang

sebesar ini tidak mampu menyebarkan Islam di kerajaan yang

masyarakatnya beragama Hindu, tak satupun pengikut dia dapatkan,

kecuali Harun, seorang pedagang minuman yang datang bersamanya dari

Malaka.

Ini sangat kontras dengan apa yang dilakukan Kanjeng Gusti Sunan

Kalijogo, hanya berbekal seperangkat alat wayang, mengarang-ngarang

cerita pewayangan semaunya sendiri, menciptakan pakem baru, dengan

hanya bernyanyi-nyanyi menciptakan lagu-lagu yang tidak begitu

menarik, berpakaian ala orang desa, tidak bergaya ningrat, bahkan tak

sepeserpun dia pernah membawa uang untuk memenuhi kebutuhan

pribadinya, ternyata dia mampu menyebarkan Islam hingga pelosok

tanah Jawa dengan kebudayaannya yang beragam.

Sengja penulis awali tulisan ini dengan prolog cerita-cerita yang

demikian, yang penulis anggap ini adalah model-model dakwah, dan

untuk kemudian membandingkan satu model dakwah dengan model yang

lainnya. Dan pada prolog ini adalah pijakan dasar sebagai bahan analisis

pada pembahasan selanjutnya agar lebih ‘merakyat’ pembahasannya,

mudah dipahami dan tidak terikat dengan dalil ilmiah yang begitu

membingungkan, namun outputnya adalah itu-itu saja.

Dengan cerita itu pula, meskipun referensi dari buku-buku tidak

disebutkan mengenai ceritanya, karena dalam cerita tersebut didapatkan

Page 5: Dekonstruksi Arkeologi Konsep Dakwah

dari kisah tutur tinular ketika penulis masih di madrasah diniyah serta

sedikit referensi yang diambil dari Arus Balik-nya pak Pram, penulis tidak

akan menjustifikasi keabsahan satu model untuk kemudian mengkafirkan

model dakwah lainnya yang tidak memiliki sifat adaptif.

Tentang judul makalah ini, sengaja penulis mengambil sedikit

konsepsi pemikiran Michael Foucault, salah satu pengkaji mengenai

postmodernisme. Arkeologi dan geneologi adalah, menurut Foucault, hal

yang digunakan sebagai sebuah alat perkara terhadap berkembangnya

fenomena pengetahuan.

Dengan melacak bagaimana pengetahuan itu telah beroperasi dan

mengembangkan diri selama ini Kategori-kategon konseptual macam "kegilaan",

"seksualitas", "manusia", dan sebagainya yang biasanya dianggap "natural" itu

sebetulnya adalah situs-situs produksi pengetahuan, yang membawa

mekanisme-mekanisme dan aparatus kekuasaan; kekuasaan untuk

"mendefinisikan" siapa kita. Ilmu-ilmu sosial dan ilmu kemanusiaan adalah agen-

agen kekuasaan1 itu. Dan kendati kekuasaan itu tidak selalu negatif-repressif

melainkan juga positif-produktif (menciptakan kemampuan dan peluang baru),

toh secara umum ia memaksa kita memahami kemodernan bukan lagi sebagai

pembebasan, melainkan sebagai proses kian intensif dan ekstensifnya

pengawasan (surveillance), lewat "penormalan", regulasi dan disiplin (I, Pierre

Riviere...; Discipline and Punish; Power/ Knowledge).2

Berangkat dari teori menggugat pengetahuan gaya

postmodernisme Foucault ini, penulis menempatkan dakwah sebagai

1 Kekuasaan adalah soal praktik-praktik konkrit yang lantas menciptakan realitas dan pola-pola perilaku, memproduksi wilayah objek-objek pengetahuan dan ritual-ritual kebenaran yang khas. Praktik-praktik itu menciptakan norma-norma yang lalu direproduksi dan dilegitimasi melalui para guru, pekerja sosial, dokter, hakim, polisi dan administrator, misalnya. Kekuasaan mewujudkan diri dalam pengetahuan, tetapi pengetahuan pun lantas melahirkan kekuasaan.

2 I. Bambang Sugiharto, Foucault dan Postmodernisme, Makalah mengajar mata kuliah Filsafat di Universitas Parahyangan, Bandung.

5

Page 6: Dekonstruksi Arkeologi Konsep Dakwah

salah satu objek pengetahuan yang akan ‘digugat’ melalui berbagai

metodologi pada nantinya. Penggunaan dekonstruksi lebih mengarah

pada konsepsi dakwah konvensional yang hari ini cenderung kurang

begitu efektif. Ada dekonstruksi, kemudian mengalami rekonstruksi untuk

mencapai ketepatan penggunaan dan kecerdasan bersikap. Demikian

dialektika dakwah harus berjalan.

B. Tentang Sosiologi dan Antropologi

Suatu organisme akan bertambah sempurna apabila bertambah

kompleks dan dengan adanya diferensiasi antara bagian-bagiannya. Hal

ini berarti adanya fungsi yang lebih matang antar bagian-bagiannya. Hal

ini berarti adanya organisasi fungsi yang lebih matang antara bagian-

bagian organisme tersebut, dan integrasi yang lebih sempurna pula.

Secara Evolusioner, maka tahap organisme tersebut akan semakin

sempurna sifatnya. Dengan demikian maka organisme tersebut ada

kriterianya yakni kompleksitas, diferensiasi, dan integrasi. Kriteria mana

akan dapat diterapkan dalam masyarakat. Evaluasi sosial dan

perkembangan sosial pada dasarnya berarti bertambahnya diferensiasi

dan integrasi, peningkatan pembagian kerja, dan suatu transisi dari

keadaan homogen ke keadaan yang heterogen. Demikian kurang lebih

Herbert Spencer (1820-1903) memberikan ulasan mengenai sosiologi.

Sedikit memberikan gambaran mengenai sosiologi, sedikit pula

mengutip apa yang pernah penulis baca di salah satu karya terbaiknya

bapak sosiologi, Auguste Comte (1798-1857), bahwa menurutnya

setidaknya ada dua hal mendasar ketika mendefinisikan mengenai

sosiologi, yakni sosiologi sebagai social statistics sosiologi merupakan

sebuah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara lembaga-

lembaga kemasyarakatan dan sosiologi sebagai Social dynamics

meneropong bagaimana lembaga-lembaga tersebut berkembang dan

mengalami perkembangan sepanjang masa.

Page 7: Dekonstruksi Arkeologi Konsep Dakwah

Pertama, sosiologi sebagai social statistic memberikan gambaran

jelas bahwa sosiologi merupakan satu pisau analisis untuk mengetahui

pola relasi serta efek relasi antar lembaga-lembaga sosial. Ada beberapa

catatan penting dalam hal ini, bahwa relasi antar lembaga sosial

merupakan titik tekan utama dalam upaya membedah mengenai

sosiologi. Tentang bagaimana masing-masing lembaga sosial ini

berkomunikasi hingga membangun pola sosial tertentu. Koneksi lembaga

sosial akan menjadi penting mengingat melalui koneksi, dengan model

apapun, dapat diketahui tentang fungsi kedua sosiologi, sebagai social

dynamics untuk membedah perjalanan lembaga sosial dalam pasang

surutnya menghadapi pola sosial yang terbangun.

Inti dasarnya demikian mengenai sosiologi, dalam hal ini, penulis

tidak ingin membedah secara lebih alam mengenai sosiologi, karena

penulis yakin, membedah secara panjang tentang sosiologi berarti akan

pula terlibat dalam konflik teori sosiologi yang terkadang berbenturan.

Penulis hanya mengambil sedikit teori sebagai pisau analisis untuk

membedah grand theme yang akan dibedah nantinya.

Kemudian, ada sedikit tambahan mengenai sosiologi, tentang

bidang apa saja yang menjadi lahan dalam kajian sosiologi, pada wilayah

mana sosiologi menancapkan taringnya untuk ambisinya membedah

koneksi lembaga sosial dan analisis perkembangan lembaga sosial.

Catatan Emile Durkheim (penulis The Elementary Form of Religion Life

dari Prancis), yang juga diklaim sebagai bapak sosiologi, membagi wilayah

garap sosiologi dalam tujuh kategori, yakni sosiologi umum yang

mencakup kepribadian individu dan kelompok manusia, sosiologi agama,

sosiologi hukum dan moral yang mencakup organisasi politik, organisasi

sosial, perkawinan dan keluarga, Sosiologi tentang kejahatan, Sosiologi

ekonomi, demografi yang mencakup masyarakat perkotaan dan

pedesaan, dan sosiologi estetika.

7

Page 8: Dekonstruksi Arkeologi Konsep Dakwah

Kemudian, dalam hal ini, dari sekian banyak para sosiolog, penulis

akan mengambil teori Auguste Comte tentang tiga tahapan

perkembangan pemikiran manusia sebagai pisau analisis sosial yang akan

digunakan sebagai alat bedah grand theme makalah ini, sedikit

penjelasan mengenai tahapan perkembangan pemikiran manusia, bahwa

Comtee memandang pikiran manusia sebagai titik tolak awal pergeseran

tatanan sosial, berangkat dari pemikiran manusia, perkembangan sosial

dan budaya masyarakat terbentuk.

Dari kerangka dasar ini, kemudian ia membagi pemikiran manusia

kedalam tiga tahapan pemikiran. Yang pertama adalah tahapan pemikiran

teologis, pada tahapan ini, masyarakat (atau individu dalam masyarakat)

beranggapan meletakan setiap benda yang ada bersifat sama dengan

manusia, memiliki esensi, eksistensi jiwa dan kekuatan. Manusia

beranggapan benda-benda tersebut, dengan masing-masing eksistensi

serta unsur yang berbeda, digerakan oleh kekuatan besar yang posisinya

berada beberapa tingkat diatas kemampuan kekuatan manusia, kekuatan

ini bergerak sebagai unsur penyebab tergeraknya alam semesta.

Kedua, Comte memberikan penjelasan mengenai tahapan

pemikiran yang ia sebut sebagai tahapan metafisis, pada tahapan ini

manusia masih percaya adanya gejala-gejala alam yang disetting oleh

kekuatan besar yang berada diatas manusia, meskipun pada beberapa sisi

sosial, tahapan pemikiran genre kedua ini telah terjadi pergeseran kearah

lebih maju.

Ketiga, adalah tahapan sosial yang membawa manusia menuju

zaman pencerahan, yakni tahapan rasional/positif, dimana disini,

menurut Comtee, merupakan awal mula terbentuk dan berkembanganya

ilmu pengetahuan sebagai awal pencerahan menuju kemerdekaan

berfikir.

Setelah tercipta tatanan sosial di masyarakat, sebagai tolak ukur

Page 9: Dekonstruksi Arkeologi Konsep Dakwah

dari maju mundurnya tatanan tersebut dapat dilihat dari peradabannya,

lebih spesifiknya lagi, budayanya. Sehingga dalam hal ini, akan menjadi

hal yang tidak terpisahkan ketika berbicara mengenai sosiologi akan

berkaitan erat dengan antropologi, sebagai representasi ilmu budaya,

yang sederhananya dapat dikatakan sebagai konsekuensi logis atas relasi

lembaga-lembaga sosial. Antropologi, meskipun didalamnya juga

mengkaji tentang unsur lain, menempatkan budaya pada bahasan utama

yang paling strategis untuk diperbincangkan.

Tentang kajian lainnya secara luas, baik sosiologi ataupun

antropologi, dalam makalah ini tidak akan dijelaskan luas mengenai hal

ini, karena kedua konsentrasi pengetahuan ini hanya akan digunakan

sebagai pisau analisis yang akan digunakan sebagai media mengupas

persoalan dakwah ditengah pergeseran tatanan masyarakat dari berbagai

sisi. Pembatasan dalam makalah ini, pergeseran lebih ditekankan dalam

wilayah sosial dan antropologis, khususnya budaya dan agama.

C. Multikulturalisme di Indonesia

Indonesia consisted of many islands, tribes, customs and

traditions, cultures, and several kinds of religion. Their diversity, like

“zamrud of khatulistiwa” and “mutu manikam” decorated Indonesian

Archipelago, and God has granted to be given to Indonesian people.

Indonesia as a nation which is daily life relied on divinity and humanity

always strove for the attainment of implementing and understanding of

religion tenet according to their belief and faith without any threat and

compulsion from others. Since Indonesia has existed and liberated,

Bhinneka Tunggal Ika is a symbolization of Indonesian’s integrity and it is

brought on unity to them. Most of Indonesians are moslems, then it is

natural if their life can not be separated from Islamic values which

pervaded and covered every part of life. This is kind of materialization

9

Page 10: Dekonstruksi Arkeologi Konsep Dakwah

that should be perpetuated. (Picktchall, 1993: 26-29).

Di negara-negara dengan penduduk yang besar dan kompleks,

seperti Indonesia dan Amerika Serikat, kenyataan multikultural adalah

suatu keniscayaan yang tidak bisa ditolak keberadaannya, perbedaan

dalam tatanan sosial adalah keniscayaan. Perbedaan dalam keyakinan,

adat-istiadat, ras hingga perbedaan pada hal yang sifatnya prinsipil

mengarahkan tatanan sosial pada kenyataan multikulturalisme. Sehingga

ada sedikit problem apabila ada analisis yang mendalam mengenai

berbagai hal, yakni tidak berlakunya konsep universalitas atau genarilisir

persoalan sebagai pengejawantahan kebersamaan dalam perbedaan.

Terlepas dari itu, bahwa dengan anugerah multikuturalisme di

Indonesia khususnya, penyikapan sosial terhadap ini memerlukan

rumusan baru yang berdasarkan atas kenyataan seperti ini, dimana

rumusan ini harus dapat mewakili kepentingan berbagai lembaga sosial

yang ada di masyarakat tanpa mengalienasi satu dan mendominasikan

yang lain. Teori tirani minoritas dan dominasi mayor akan lebih bijak

apabila tidak diterapkan.

Kenyataan munculnya perbedaan didalam sistem sosial, membuat

komunikasi lembaga-lembaga sosial yang ada harus menemukan bentuk

koneksi yang tepat, karena biasanya perbedaan yang ada adalah hal yang

prinsipil dalam lembaga sosial tersebut. Misalnya perbedaan dalam

beragama dan berkeyakinan, perbedaan adat istiadat atau bahkan

perbedaan warna kulit (rasdikriminasi/apartheid). Hal-hal yang prinsipil

semacam ini, adalah sangat rawan konflik, apalagi biasanya, perbedaan

pandangan dalam hal prinsip, individu dalam komunitas akan lebih

militan dalam mempertahankan keyakinannya serta menyatakan vonis

salah terhadap keyakinan yang lain. Kondisi ini apabila disulut, akan

membuat konflik besar, dan unintendid consequence yang muncul

selanjutnya adalah perpecahan.

Page 11: Dekonstruksi Arkeologi Konsep Dakwah

Untuk menjaga perpecahan, solusi atas setiap problem sosial yang

muncul harus mendapatkan perhatian khusus yang ditimbang dari

kepentingan umum yang mewakili semua lembaga sosial yang ada tanpa

memberatkan yang satu dan mempermudah yang lain. Semua golongan

harus terayomi secara penuh.

Akar kata multkulturalisme adalah kebudayaan.3 Secara

etimologis, multikultiuralisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur

(budaya), isme (lairan atau paham). Secara hakiki, dalam kata itu

terkandung penagkuan akan martabat manusia yang hibup dalam

komunitasnya dengan kebudayaannya yang unik.

Dengan demikian, setiap individu merasa dihargai sekaligus

merasa bertanggung jawab untuk hidup bersama komunitasnya.

Pengingkaran suatu masyarakat terhadap kebutuhan untuk diakui

(Politics of Reccognition) merupakan akar dari segala ketimpangan dalam

berbagai bidang kehidupan.

Penegertian para ahli tentang kebudayaan harus di

persamamakan atau, setidak-tidaknya, tidak dipertentangkan antara satu

konsep yang dipunyai oleh oleh lainnya. Karena multikulturalisme itu

adalah sebuah idiologi dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan

derajat manusia dan kemanusiaanya, maka kebudayaan harus dilihat

dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia.

Kenyataan multikulturalisme di Indonesia memang sangat rawan

konflik, dapat disaksikan mengenai persetruan panjang antara Suku

Madura dengan Suku Dayak di Sampit, Kalimantan, perang antar agama

di Ploso, Perang desintegrasi di Maluku, Aceh dan Papua serta sederet

konflik lainnya atas nama multikulturalisme.

Dampak nyatanya, sebagaimana pernah terjadi di tahun 1999,

desintegrasi bangsa menjadi jawaban yang paling tepat dalam hal ini.

3Lihat dalam makalah Parsudi Suparlan.”Menuju Masayrakat Multikultural”, dalam symposium international bali ke-3, Jurnal Antropologi Indonesia, Denpasar Bali, 16-21 Juli 2002

11

Page 12: Dekonstruksi Arkeologi Konsep Dakwah

Timor Timur (ketika masih bergabung dengan Indonesia) memisahkan diri

dan membentuk sistem pemerintahan sendiri. Demikian pula yang

sedang menyerukan kemerekaan atas diri mereka di Papua ataupun

Maluku.

Perbedaan lain, di negara bangsa Indonesia terkait dengan tema

ini, adalah ketika memperbincangkan mengenai agama dan kepercayaan

yang sangat berragam. Kenyataan banyaknya agama memungkinkan

runcingnya hubungan antar beragama. Sehingga dalam jauh waktu

kedepan, agresi antar agama kemungkinan menjadi kenyataan yang tidak

dapat dielakkan karena pada dasarnya, apabila melihat sejarah

antropologis, peran agama menjadi hal yang paling prinsipil dan paling

sensitif untuk disentuh.

D. Kritik Atas Konsep Dakwah Konvensional

Setidaknya ada beberapa konsep dakwah konvensional yang

sering kali dapat disaksikan dalam kenyataan riil dilingkungan masyarakat

Indonesia, misalnya dialogis, pengajian, pendidikan dan dakwah dengan

tinakan. Namun, sebagaimana digambarkan pada pendahuluan diatas,

berbagai cara dapat dilakukan dalam upaya dakwah di masyarakat,

namun ketidakberhasilan terkadang menjadi hal yang biasa terjadi,

kekuarangefektifan model dakwah, berpengaruh kuat terhadap sistem

sosial yang terjadi, sehingga seiring dengan pergeseran tatanan sosial,

maka seharusnya bergeser pula model dakwah sesuai dengan konteks

zaman yang sedang berjalan.

Karena, lagi-lagi jabatan tinggi dalam sistem sosial bukan

merupakan jaminan, kecerasan tinggipun bukan berarti berbanding lurus

dengan keberhasilan dakwah, kealiman yang khusu’ juga bukan berarti

menjadi penyokong utama keberhasilan upaya penyebaran agama serta

mungkin kekayaan yang banyak tidak dapat diartikan menjadi hal yang

Page 13: Dekonstruksi Arkeologi Konsep Dakwah

paling mungkin masyarakat dapat dicerdaskan.

Oleh sebab itulah, perlu ada semacam internal correct dari dalam

diri masing-masing pihak yang terkait dengan aktivitas dakwah, tidak

semua yang dilakukan atau yang dimiliki menjai jawaban riil atas

kebutuhan spiritual publik. Apa yang sekiranya masih kurang, apa yang

masih dapat disempurnakan, pada sisi mana yang kurang dan pada

ruangan mana suatu konsep ditempatkan. Pada wilayah eksternal,

kekejaman antar dai juga sering kali muncul, misalnya telah tersebar

berita akhir-akhir ini, bahwa banyak di antara para ahli ilmu dan para

praktisi dakwah yang melakukan cercaan terhadap saudara-saudara

mereka sendiri, para dai terkemuka, mereka berbicara tentang

kepribadian para ahli ilmu, para dai dan para guru besar. Mereka lakukan

itu dengan sembunyi-sembunyi di majlis-majlis mereka. Adakalanya itu

direkam lalu disebarkan ke masyarakat. Ada juga yang melakukan dengan

terang-terangan pada saat kajian-kajian umum di masjid. Cara ini bertolak

belakang dengan apa yang telah diperintahkan oleh Allah dan RasulNya.

Ini merupakan pelanggaran terhadap hak privasi sesama muslim,

bahkan ini terhadap golongan khusus, yaitu para penuntut ilmu dan para

dai yang telah mengerahkan daya upaya mereka membimbing dan

membina masyarakat, meluruskan aqidah dan manhaj mereka,

bersungguh-sungguh dalam mengisi sebagian kajian dan ceramah, serta

menulis buku-buku yang bermanfaat.

Bahwa perbuatan ini bisa merusak hati masyarakat awam dan

golongan khusus, bisa menyebarkan dan menyuburkan kebohongan dan

isu-isu sesat, bisa menjadi penyebab banyaknya menggunjing dan

menghasud serta membukakan pintu-pintu keburukan bagi jiwa-jiwa

yang cenderung menebar keraguan dan bencana serta berambisi

mencelakakan kaum mukminin secara tidak langsung.

Bahwa banyak pernyataan dalam hal ini yang ternyata tidak ada

13

Page 14: Dekonstruksi Arkeologi Konsep Dakwah

hakikatnya, tapi hanya merupakan asumsi-asumsi yang dibisikkan setan

kepada para pengungkapnya.

Hasil ijtihad sebagian ulama dan penuntut ilmu dalam perkara-

perkara yang menuntut ijitihad, maka pencetusnya tidak dihukum dengan

pendapatnya jika ia memang berkompeten untuk berijtihad. Jika ternyata

itu bertentangan dengan yang lainnya, maka seharusnya dibantah dengan

cara yang lebih baik, demi mencapai kebenaran dengan cara yang paling

cepat dan demi mejaga diri dari godaan setan dan reka perdayanya yang

dihembuskan di antara sesama mukmin. Jika itu tidak bisa dilakukan, lalu

seseorang merasa perlu untuk menjelaskan perbedaan tersebut, maka

hendaknya disampaikan dengan ungkapan yang paling baik dan isyarat

yang sangat halus. Tidak perlu menghujat atau menjelek-jelekkan, karena

hal ini bisa menyebabkan ditolak atau dihindarinya kebenaran. Disamping

itu, tidak perlu menghujat pribadi-pribadi tertentu atau melontarkan

tuduhan-tuduhan dengan maksud tertentu, atau dengan menambah-

nambah perkataan yang tidak terkait.4

Kutipan diatas, menurut referensi itu tidak akan gunakan sebagai

kritik, namun penulis menggunakan kritik yang dilontarkan oleh Syaikh

Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz sebagai alat kritik, atau meminjam

istilahnya Ibn Rusyd (Avverous) sebagai Kritik atas Kritik.

Adalah kurang begitu efektif hari ini apabila model dakwah yang

digunakan hari ini masih sama seperti apa yang dilakukan Nabi, Sahabat,

thabi’in, tabi’in tabi’in atau dizaman pasca itu. Tatanan masyarakat hari

ini telah bergeser, dari yang pada awalnya masih primitif hingga sekarang

yang masyarakat telah tidak hanya mengenal peradaban, tetapi bahkan

menciptakan peradaban baru, sehingga akan lebih tepat dan efektif

apabila model yang selama ini digunakan sebagai media dakwah akan

lebih baik ketika diadakan penelitian ulang (evaluation) agar benar-benar

4 Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Metode Koreksi Antar Dai, http://www.almanhaj.co.id, Senin, 12 April 2004 10:36:29 WIB

Page 15: Dekonstruksi Arkeologi Konsep Dakwah

efektif dalam penerapannya.

E. Dalil Aqli dan Point of View

Auguste Comtee, pada keterangan diatas memberikan penjelasan

ringkas mengenai perkembangan pemikiran manusia, yakni teologis,

mistisism dan positivism. Ini mungkin akan tepat apabila digunakan

sebagai pisau analisis penjelasan dalam catatan ini.

Pertama masyarakat teologis, zaman ini dalam asumsi penulis

berada pada kurun waktu jauh sebelum peradaban manusia menyentuh

sebagai kekuatan pergeseran sosial. Masa ini, pendeknya, dapat

dikatakan masa prehistory dimana masyarakat pada saat itu meletakan

alam memiliki kekuatan yang tersembunyi dan digerakan oleh satu

kekuatan yang lebih besar.

Dalam catatan sejarah, animisme dan dinamisme pernah menjadi

ajaran kepercayaan dan agama resmi yang menguasai belahan dunia,

aliran kepercayaan terhadap kekuatan benda-benda alam yang dinilai

sakral dan ajaran kepercayaan kelanggengan hidup dan penghormatan

terhadap arwah leluhur menjadi agama yang berlaku dimana-mana,

meskipun ketika berbicara mengenai ritus, masing-masing komunitas

akan berbeda satu dengan yang lainnya, namun pada dasarnya tetap

sama, yakni animisme dan dinamisme.

Animisme dan dinamisme menjadi contoh terpenting gaya

masyarakat teologis. Hal yang membuatnya adalah bahwa dinamisme

cenderung menempatkan benda-benda sakral memiliki kekuatan yang

tinggi yang mampu memberikan kekuatan tertentu kepada manusia,

apabila tidak mendapatkan penghormatan, maka akan berbalik

mencelakakan manusia.

Pada era ini, apabila diterapkan di Indonesia, adalah zaman ketika

agama Kapitayan menguasai nusantara di zaman suku Negrito menjadi

15

Page 16: Dekonstruksi Arkeologi Konsep Dakwah

penduduk pertama nusantara jauh sebelum kedatangan imigran dari

provinsi Yunan, Tiongkok Selatan. Logikanya, menghadapi masyarakat

semacam ini, maka perlu trik khusus untuk memberikan masukan

(dakwah) kepada mereka.

Strateginya adalah, karena Islam adalah agama yang kompleks,

maka tinggal bagaimana mengemas, sisi ritus Islam yang cenderung

teologis mistis digunakan sebagai media agar mereka dapat masuk dalam

ruangan Islam. Misalnya, disini konsep ijtihad tidak masuk, tetapi yang

‘laku’ di mereka adalah cerita-cerita tentang malaikat, jin dan syaitan,

kisah Iblis dan berbagai perangkat gaib yang lain.

Pada tingkatan pemikiran manusia yang kedua, yakni di zaman

manusia mencapai tahapan pemikiran mistisisme, maka penerapan

dakwahnya juga harus dikemas sedemikian rupa hingga dapat diterapkan

di tengah-tengah komunitas yang dituju dengan mudah.

Penulis, lagi-lagi akan mengasumsikan periode ini seperti zaman

permulaan sejarah, dimana manusia telah mulai mengenal tulisan,

mengenal peradaban, mengenal sistem sosial, menetap dan berhubungan

satu dengan yang lain, namun mistisisme dan magician tetap masih ada

dalam pemikiran alam sadar dan alam bawah sadar mereka.

Contoh misalnya, mereka hampir sama dengan peradaban di

zaman kerajaan-kerajaan kuno di nusantara, yang mereka telah

beragama, namun ekspresi ritus keagamaan masih kental dengan suasana

gaib. Kasusnya, seperti yang dapat disaksikan hari ini adalah Kristen Jawa

dan Islam Jawa. Mereka telah memiliki agama, keyakinan kebenaran

spiritual atas pencarian mereka, namun tradisi gaib masih mengikat

mereka dalam tatanan sosialnya. Kepercayaan terhadap benda-benda

bertuah, kepercayaan terhadap kekuatan gunung, kekuatan laut, batu

besar dan pohon tua masih ada.

Sedekah laut, dalam tradisi masyarakat Jogja di bulan Sya’ban

Page 17: Dekonstruksi Arkeologi Konsep Dakwah

dapat dijadikan contoh. Nyadran yang kental dengan suasana mistis

menjadi bagian yang tidak terelakan dari fenomena beragama. Satu sisi

mereka telah beragama, namun pada sisi yang lain, kepercayaan

terhadap jimat, keris, batu bertuah, tombak, batu besar, laut, gunung dan

pohon besar masih diekspresikan melalui Sedekah Laut, Sedekah Gunung,

Nyepuh dan lainnya masih menjai ritus yang sakral untuk mereka.

Strategi dakwah yang digunakan kepada mereka adalah melalui

pengenalan adanya kekuatan makhluk gaib yang berada di dunia, tentang

kehidupan Jin, Iblis dan Malaikat, tentang masing-masing tugas mereka

dan tentang bagaimana memberikan pernyataan sikap kepada makhluk

halus. Ini jauh akan lebih bisa mereka terima dibandingkan apabila

memperbincangkan mengenai kajian tafsir kitab suci.

Terakhir, dalam pandangan Comtee, adalah Positivisme, dimana

inilah tatanan pemikiran masyarakat yang paling dia idealkan. Disini

perkembangan pengetahuan adalah waktu yang paling tepat.

Penggunaan logika sadar atas alam bawah sadar merupakan poin

penting.

Apabila dikaitkan dengan Indonesia, maka posisi ini adalah posisi

para pengkaji, mahasiswa ataupun kaum cendekiawan. Dimana mereka

akan lebih tertarik untuk memperdebatkan wacana keislaman

dibaningkan harus bercerita mengenai makhluk halus dan teman-

temannya. Strategi dakwahnya adalah dengan menggulirkan wacana

ijtihad, pemikiran keagamaan dan pengembangan fiqh sosial.

Itu sedikit penjelasan apabila menggunakan pisau analisis seperti

yang dikenalkan oleh Comtee. Inti dari semua itu adalah, berdakwah

harus melihat konteks masyarakat, siapa masyarakatnya, apa habitual

action-nya, dari golongan mana, arah minatnya kemana hingga pada latar

belakang keluarganya.

Disamping hal itu, dalam teknisnya, penulis lebih menawarkan

17

Page 18: Dekonstruksi Arkeologi Konsep Dakwah

model dakwah yang esensial (substansial) dibanding dengan konseptual

formalis. Artinya, lebih dapat bermanfaat menggunakan media yang

sedang up to date untuk berdakwah dengan konsep dakwah yang

substansi dakwahnya terkemas dalam bingkai lain (implisit) dibanding

secara terbuka.

Sederhananya, dalam study kasus di masyarakat, apabila dakwah

menggunakan media televisi, maka dakwah akan lebih mengena melalui

cerita film yang dikemas dengan sarat pengetahuan keagamaan dan laku

religius dibandingkan dengan hanya menonton tayangan ceramah live di

televisi.

F. Penutup

Penulis harap ini mampu menjadi referensi, penulis sangat yakin

bahwa ketidaksempuranan pada sisi penulisan ataupun konsep pemikiran

menjadi bagian panjang makalah ini. Mohon maaf apabila ada kesalahan,

semoga bermanfaat dan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu kami dalam study ini.

Page 19: Dekonstruksi Arkeologi Konsep Dakwah

Referensi

19

Page 20: Dekonstruksi Arkeologi Konsep Dakwah

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Metode Koreksi Antar Dai, http://www.almanhaj.co.id, Senin, 12 April 2004 10:36:29 WIB

Parsudi Suparlan.”Menuju Masayrakat Multikultural”, makalah dalam symposium international bali ke-3, Jurnal Antropologi Indonesia, Denpasar Bali, 16-21 Juli 2002

I. Bambang Sugiharto, Foucault dan Postmodernisme, Makalah mengajar mata kuliah Filsafat di Universitas Parahyangan, Bandung.