Dekrit Presiden

Embed Size (px)

DESCRIPTION

sata

Citation preview

Isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959- Badan Konstituante yang dibentuk melalui pemilihan umum tahun 1955 dipersiapkan untuk merumuskan undang-undang dasar konstitusi yang baru sebagai pengganti UUDS 1950. Pada tanggal 20 November 1956 Dewan Konstituante memulai persidangannya dengan pidato pembukaan dari Presiden Soekarno. Sidang yang akan dilaksanakan oleh anggota-anogota Dewan Konstituante adalah untuk menyusun dan menetapkan Republik Indonesia tanpa adanya pembatasan kedaulatan. Sampai tahun 1959, Konstituante tidak pemah berhasil merumuskan undang-undang dasar baru.

Keadaan seperti itu semakin mengguncangkan situasi Indonesia. Bahkan masing-masing partai politik selalu berusaha untuk mengehalalkan segala cara agar tujuan partainya tercapai. Sementara sejak tahun 1956 situasi politik negara Indonesia semakin buruk dan kacau. Hal ini disebabkan karena daerah-daerah mulai bengolak, serta memperlihatkan gejala-gejala separatisme. Seperti pembentukan Dewan Banteng, Dewan Gajah, Dewan Manguni, Dewan Garuda. Dewan Lambung- Mangkurat dan lain sebagainya. Daerah-daerah yang bergeolak tidak mengakui pemerintah pusat, bahkan mereka membentuk pemerintahan sendiri.

Seperti Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia PRRI di Sumatra dan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di Sulawesi Utara. Keadaan yang semakin bertambah kacau ini dapat membahayakan dan mengancam keutuhan negara dan bangsa Indonesia. Suasana semakin bertambah panas sementara itu, rakyat sudah tidak sabar lagi dan menginginkan agar pemerintah mengambil tindakan-tindakan yang bijaksana untuk mengatasi kemacetan sidang Konstituante. Namun Konstituante ternyata tidak dapat diharapkan lagi.

Kegagalan Konstituante dalam membuat undang-undang dasar baru, menyebabkan negara Indonesia dilanda kekalutaan konstitusional. Undang-undang dasar yang menjadi dasar hukum pelaksanaan pemerintahan negara belum berhasil dibuat, sedangkan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 dengan sistem pemerintahan demokrasi liberal dianggap tidak sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia. Untuk mengatasi situasi yang tidak menentu itu, pada bulan Februari 1957 Presiden Soekarno mengajukan suatu konsepsi.

Konsepsi Presiden menginginkan terbentuknya kabinet berkaki empat (yang terdiri dari empat partai terbesar seperti PNI, Masyumi NU, dan PKI) dan Dewan Nasional yang terdiri dari golongan fungsional yang berfungsi sebagai penasihat pemerintah. Ketua dewan dijabat oleh presiden sendiri. Konsepsi yang diajukan oleh Presiden Soekarno itu ternyata menimbulkan perdebatan. Berbagai argumen antara pro dan kontra muncul. Pihak yang menolak konsepsi itu menyatakan, perubahan yang mendasar dalam sistem kenegaraan hanya bisa dilaksakanakan oleh Konstituante.

Sebaliknya yang menerima konsepsi itu beranggapan bahwa krisis politik hanya bisa diatasi jika konsepsi itu dilaksanakan. Pada tanggal 22 April 1959, di depan sidang Konstituante Presiden Soekarno menganjurkan untuk kembali kepada UUD 1945 sebagai undang-undang dasar negara Republik Indonesia. Menanggapi pemyataan itu, pada tanggal 30 Mei 1959, Konstituante mengadakan sidang pemungutan suara. Hasil pemungutan suara itu menunjukkan bahwa mayoritas anggota Konstituante menginginkan berlakunya kembali UUD 1945 sebagai undang-undang dasar Republik Indonesia.

Namun jumlah anggota yang hadir tidak mencapai dua pertiga dari jumlah anggota Konstituante, seperti yang dipersyaratkan pada Pasal 137 UUDS 1950. Pemungutan suara diulang sampai dua kali. Pemungutan suara yang terakhir diselenggarakan pada tanggal 2 Juni 1959, tetapi juga mengalami kegagalan dan tidak dapat memenuhi dua pertiga dari jumlah suara yang dibutuhkan. Dengan demikian, sejak tanggal 3 Juni 1959 Konstituante mengadakan reses (istirahat). Untuk menghindari terjadinya bahaya yang disebabkan oleh kegiatan partai-partai politik maka pengumuman istirahat Konstituante diikuti dengan larangan dari Penguasa Perang Pusat untuk melakukan segala bentuk kegiatan politik.

Dalam situasi dan kondisi seperti itu, beberapa tokoh partai politik mengajukan usul kepada Presiden Soekarno agar mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945 dan pembubaran Konstituante. Pemberlakuan kembali Undang-Undang Dasar 1945 merupakan langkah terbaik untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional. Oleh karena itu, pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkanIsi Dekrit Presiden 5 Juli 1959yang berisi sebagai berikut. Pembubaran Konstituante. Beriakunya Kembali UUD 1945. Tidak berlakunya UUDS 1950. Pembentukan MPRS dan DPAS.Dekrit Presiden mendapat dukungan penuh dari masyarakat Indone-sia, sedangkan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Kolonel A.H. Nasution mengeluarkan perintah harian kepada seluruh anggota TNI-AD untuk mengamankanDekrit Presiden.

Gayanya energik dan tetap lincah meski usianya tak lagi muda. Jika berbicara masalah kesehatan masyarakat terutama HIV AIDS, semangatnya masih menggebu-gebu. Dialah Nafsiah Mboi yang baru saja diangkat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Menteri Kesehatan.Posisi menteri kesehatan saya percayakan kepada dr. Nafsiah Mboi, DSpA, MPH. Saya melihat kemampuan, pengalaman dan pengabdian beliau di waktu lalu yang berkomitmen kerja nyata untuk memajukan kesehatan masyarakat, kata Presiden SBY dalam pengumumannya di Istana Bogor, Rabu (13/6/2012) seperti dilansir detik.com.Alasan Presiden SBY memilih Nafsiyah Mboi karena pengalamannya sebagai aktivis HAM, aktivis AIDS, dan juga aktif dalam perlindungan anak dan perempuan.Saya melihat kemampuan, pengalaman, dan pengabdian beliau di masa laludan sekarang, termasuk komitmen kerja nyata, jelas Presiden SBY.Kepedulian Nafsiah pada kesehatan masyarakat sudah dilakukannya sejak lama, mulai dari lulus Fakultas Kedokteran UI kemudian menjadi dokter sukarelawan dwikora sampai kini menjadi sebagai Sekretaris Eksekutif Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional.Perempuan 3 anak ini juga namanya sangat erat di hati masyarakat Nusa Tenggara Timur. Ini karena suaminya Benedictus Mboi yang akrab disapa Ben Mboi, pernah menjadi Gubernur Nusa Tenggara Timur selama 1 dekade pada 1978-1988.Nafsiah diangkat menjadi Menteri Kesehatan setelah menteri sebelumnya Endang Rahayu Sedyaningish meninggal pada 2 Mei 2012 karena sakit kanker paru.Dengan ditunjuknya Nafsiah sebagai Menkes baru, kementerian ini berturut-turut diisi terus oleh menteri perempuan yaitu Siti Fadilah Supari dan Endang Rahayu Sedyaningsih. Ketiga perempuan ini semuanya berprofesi dokter, Siti adalah dokter spesialis jantung, Endang dokter di spesialisasi kesehatan masyarakat dan Nafsiah di spesialisasi anak.Nafsiah sendiri memang sudah berkali-kali menjadi kandidat Menteri Kesehatan, namun baru kali ini saat usianya sudah senja kesempatan itu datang.Kemampuan dokter anak ini sudah tidak diragukan lagi. Ilmu dan prestasinya sangat mumpuni untuk menjabat sebagai Menteri Kesehatan. Apalagi ia sangat concern dengan target Millenium Development Goals (MDGs) yang harus dicapai pemerintah Indonesia pada 2015.Profil PribadiTerlahir dari 6 bersaudara, Nafsiah Mboi merupakan putri sulung dari pasangan Andi Walinono dan Rahmatiah Sonda Daeng Badji. Ayah Nafsiah adalah hakim yang pernah bertugas di Ujungpandang, Surabaya, Jayapura, dan Jakarta serta merupakan tokoh masyarakat dan intelektual di Sulawesi Selatan.Nafsiah memiliki saudara kandung bernama Prof Dr Andi Hasan Walinono, direktur jenderal dan sekjen Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada era 1980-an, dan Dr Erna Witoelar, aktivis lingkungan yang juga mantan menteri era Presiden Abdurrahman Wahid.Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2006, Nafsiah Mboi dipercaya untuk menjabat sebagai Sekretaris Eksekutif Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional. Posisi ini menggantikan pejabat sebelumnya, Sukawati Abubakar.Dalam profil yang dikeluarkan KPA, Nafsiah pernah menjadi PNS karier di Kemenkes selama 35 tahun sebelum akhirnya menjadi anggota MPR RI periode 1982-1987.Pendidikan dan KarirNafsiah menyelesaikan pendidikannya tahun 1958-1964 studi di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Suaminya, Ben Mboi sempat menjabat sebagai Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) periode 1978-1988. Keduanya bertemu di kampus FK UI. Ben adalah kakak kelas Nafsiah.Ben sendiri lulus pada 1961 dan sempat terjun bersama Benny Moerdani saat operasi Trikora di belantara Papua Barat pada 1962. Persis setelah Nafsiah lulus pada 1964, mereka menikah. Keduanya kemudian bergabung sebagai dokter sukarelawan Dwikora.Selama sepuluh tahun mendampingi suaminya sebagai gubernur di NTT, Nafsiah memberi perhatian besar pada masalah perempuan dan kesehatan anak. Kiprahnya itu membuat suaminya memperoleh penghargaan bergengsi dari Pemerintah Filipina yakni Ramon Magsaysay.Jabatan terakhir yang disandang Ben Mboi adalah Anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dibawah kepemimpinan mendiang Sudomo.Nafsiah mendalami ilmu kesehatan anak di Amsterdam, Belanda pada tahun 1971-1972. Ia kemudian mendalami ilmu kesehatan masyarakat di Royal Tropical Institute, Antwerpen, Belgia dan meraih gelar master of public health (MPH) pada tahun 1990-1991.Pada 1997-1999, Nafsiah dipercaya sebagai ketua Komite Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan merupakan satu-satunya orang Asia yang pernah mendapat posisi itu.Selepas berkarier di Komite Anak PBB, Nafsiah dipercaya lagi menjadi direktur bidang gender dan kesehatan perempuan World Health Organisation (WHO) di Jenewa, 1997-2002. Setelah itu, Nafsiah kembali ke Indonesia dan menjabat sebagai wakil ketua Komnas Perempuan.Nafsiah kemudian meneruskan pendidikannya di Harvard University, Amerika Serikat, untuk mendalami HIV/AIDS. Ia melihat HIV/AIDS bakal menjadi ancaman global karena bisa menyebar dengan cepat.Di sana, ia bertemu Jonathan Mann, mantan DirekturGlobal Program on AIDSdari WHO yang menjadi pengajar di Harvard School of Public Health. Jonathan Mann ini adalah orang yang gencar menyuarakan bahaya AIDS. Nafsiah banyak mengikuti kelas Mann dan dilanjutkan aktif dalam kegiatan pencegahan AIDS di jalur hotline dan support group.Pada 2005-2006 Nafsiah dipercaya sebagai konsultanFamily Health Internationalalias Aksi Stop AIDS. Pada Agustus 2006 Nafsiah akhirnya menjabat sebagai Sekretaris KPA Nasional. Sejak itulah dia berkeliling Indonesia untuk mengingatkan masyarakat akan bahaya HIV/AIDS.

Siti Fadilah Supari tokoh indonesia pendobrak konspirasi jahat AS danWHO Meninggalkan komentarMenguak Konspirasi Jahat AS Terhadap Mantan Menteri Kesehatan Indonesia,Tentang Virus Flu Burung (H5N1) Pemerintah AS dikabarkan menjanjikan imbalan peralatan militer berupa senjata berat atau tank jika Pemerintah RI bersedia menarik buku Siti Fadilah Supari setebal 182 halaman itu. Majalah The Economist London menempatkan Fadilah sebagai tokoh pendobrak yang memulai revolusi dalam menyelamatkan dunia dari dampak flu burung.

Pada tahun 2005-2009 lalu, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari (59) membuat gerah World Health Organization (WHO) dan Pemerintah Amerika Serikat (AS). Fadilah berhasil menguak konspirasi AS dan badan kesehatan dunia itu dalam mengembangkan senjata biologi dari virus flu burung, Avian influenza (H5N1).

Setelah virus itu menyebar dan menghantui dunia, perusahaan-perusahaan dari negara maju memproduksi vaksin lalu dijual ke pasaran dengan harga mahal di negara berkembang, termasuk Indonesia.Fadilah menuangkannya dalam bukunya berjudul Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung. Selain dalam edisi Bahasa Indonesia, Siti juga meluncurkan buku yang sama dalam versi Bahasa Inggris dengan judul Its Time for the World to Change. Konspirasi tersebut, kata Fadilah, dilakukan negara adikuasa dengan cara mencari kesempatan dalam kesempitan pada penyebaran virus flu burung. Saya mengira mereka mencari keuntungan dari penyebaran flu burung dengan menjual vaksin ke negara kita, ujar Fadilah kepada Persda Network di Jakarta. Situs berita Australia, The Age, mengutip buku Fadilah dengan mengatakan, Pemerintah AS dan WHO berkonpirasi mengembangkan senjata biologi dari penyebaran virus avian H5N1 atau flu burung dengan memproduksi senjata biologi. Karena itu pula, bukunya dalam versi bahasa Inggris menuai protes dari petinggi WHO. Kegerahan itu saya tidak tanggapi, betul apa nggak, mari kita buktikan. Kita bukan saja dibikin gerah, tetapi juga kelaparan dan kemiskinan. Negara-negara maju menidas kita, lewat WTO, lewat Freeport, dan lain-lain. Coba kalau tidak ada, kita sudah kaya, ujarnya. Fadilah mengatakan, edisi perdana bukunya dicetak masing-masing 1.000 eksemplar untuk cetakan bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Total sebanyak 2.000 buku. Saat ini banyak yang meminta, jadi dalam waktu dekat saya akan mencetak cetakan kedua dalam jumlah besar. Kalau cetakan pertama dicetak penerbitan kecil, tapi untuk rencana ini saya sedang mencari dan membicarakan dengan penerbitan besar, katanya. Selain mencetak ulang bukunya, perempuan kelahiran Solo, 6 November 1950, mengatakan telah menyiapkan buku jilid kedua. Saya sedang menulis jilid kedua.Di dalam buku itu akan saya beberkan semua bagaimana pengalaman saya. Bagaimana saya mengirimkan 58 virus, tetapi saya dikirimkan virus yang sudah berubah dalam bentuk kelontongan, ujarnya. Virus yang saya kirimkan dari Indonesia diubah-ubah Pemerintahan George Bush, ujar menteri kesehatan pertama Indonesia dari kalangan perempuan ini. Siti enggan berkomentar tentang permintaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memintanya menarik buku dari peredaran. Bukunya sudah habis. Yang versi bahasa Indonesia, sebagian, sekitar 500 buku saya bagi-bagikan gratis, sebagian lagi dijual ditoko buku. Yang bahasa Inggris dijual, katanya sembari mengatakan, tidak mungkin lagi menarik buku dari peredaran.Pemerintah AS dikabarkan menjanjikan imbalan peralatan militer berupa senjata berat atau tank jika Pemerintah RI bersedia menarik buku setebal 182 halaman itu. Mengubah Kebijakan apapun komentar pemerintah AS dan WHO, Fadilah sudah membikin sejarah dunia. Gara-gara protesnya terhadap perlakuan diskriminatif soal flu burung, AS dan WHO sampai-sampai mengubah kebijakan fundamentalnya yang sudah dipakai selama 50 tahun.Perlawanan Fadilah dimulai sejak korban tewas flu burung mulai terjadi di Indonesia pada 2005. Majalah The Economist London menempatkan Fadilah sebagai tokoh pendobrak yang memulai revolusi dalam menyelamatkan dunia dari dampak flu burung. Menteri Kesehatan Indonesia itu telah memilih senjata yang terbukti lebih berguna daripada vaksin terbaik dunia saat ini dalam menanggulangi ancaman virus flu burung, yaitu transparansi, tulis The Economist. The Economist, seperti ditulis Asro Kamal Rokan di Republika edisi Maret 2008 lalu, mengurai, Fadilah mulai curiga saat Indonesia juga terkena endemik flu burung 2005 silam. Ia kelabakan. Obat tamiflu harus ada. Namun aneh, obat tersebut justru diborong negara-negara kaya yang tak terkena kasus flu burung. Di tengah upayanya mencari obat flu burung, dengan alasan penentuan diagnosis, WHO melalui WHO Collaborating Center (WHO CC) di Hongkong memerintahkannya untuk menyerahkan sampel spesimen. Mulanya, perintah itu diikuti Fadilah. Namun, ia juga meminta laboratorium litbangkes melakukan penelitian. Hasilnya ternyata sama. Tapi, mengapa WHO meminta sampel dikirim ke Hongkong? Fadilah merasa ada suatu yang aneh.Ia terbayang korban flu burung di Vietnam. Sampel virus orang Vietnam yang telah meninggal itu diambil dan dikirim ke WHO untuk dilakukan risk assessment, diagnosis, dan kemudian dibuat bibit virus. Dari bibit virus inilah dibuat vaksin. Dari sinilah, ia menemukan fakta, pembuat vaksin itu adalah perusahaan-perusahaan besar dari negara maju, negara kaya, yang tak terkena flu burung. Mereka mengambilnya dari Vietnam, negara korban, kemudian menjualnya ke seluruh dunia tanpa izin. Tanpa kompensasi. Fadilah marah. Ia merasa kedaulatan, harga diri, hak, dan martabat negara-negara tak mampu telah dipermainkan atas dalih Global Influenza Surveilance Network (GISN) WHO. Badan ini sangat berkuasa dan telah menjalani praktik selama 50 tahun. Mereka telah memerintahkan lebih dari 110 negara untuk mengirim spesimen virus flu ke GISN tanpa bisa menolak. Virus itu menjadi milik mereka, dan mereka berhak memprosesnya menjadi vaksin! Di saat keraguan atas WHO, Fadilah kembali menemukan fakta bahwa para ilmuwan tidak dapat mengakses data sequencing DNA H5N1 yang disimpan WHO. Data itu, uniknya, disimpan di Los Alamos National Laboratoty di New Mexico, AS. Di sini, dari 15 grup peneliti hanya ada empat orang dari WHO, selebihnya tak diketahui. Ternyata ini berada di bawah Kementerian Energi AS. Di lab inilah duhulu dirancang bom atom Hiroshima. Lalu untuk apa data itu? Untuk vaksin atau senjata kimia? Fadilah tak membiarkan situasi ini. Ia minta WHO membuka data itu. Data DNA virus H5N1 harus dibuka, tidak boleh hanya dikuasai kelompok tertentu. Ia berusaha keras. Dan, berhasil. Pada 8 Agustus 2006, WHO mengirim data itu. Ilmuwan dunia yang selama ini gagal mendobrak ketertutupan Los Alamos, telah memujinya! Majalah The Economist menyebut peristiwa ini sebagai revolusi bagi transparansi.Tidak berhenti di situ. Siti Fadilah terus mengejar WHO agar mengembalikan 58 virus asal Indonesia, yang konon telah ditempatkan di Bio Health Security, lembaga penelitian senjata biologi Pentagon. Ini jelas tak mudah. Tapi, ia terus berjuang hingga tercipta pertukaran virus yang adil, transparan, dan setara. Ia juga terus melawan dengan cara tidak lagi mau mengirim spesimen virus yang diminta WHO, selama mekanisme itu mengikuti GISN, yang imperialistik dan membahayakan dunia.Dan, perlawanan itu tidak sia-sia. Meski Fadilah dikecam WHO dan dianggap menghambat penelitian, namun pada akhirnya dalam sidang Pertemuan Kesehatan Sedunia di Jenewa Mei 2007, International Government Meeting (IGM) WHO akhirnya menyetujui segala tuntutan Fadilah, yaitu sharing virus disetujui dan GISN dihapuskan. Jejak Chemtrail di langit Jakarta Jejak-jejak kimia berupa asap tak alamiah dari kondensasi pesawat berupa awan memanjang (chemical trails/chemtrails) yang disemprotkan pesawat asing kadang juga berisi aerosol bermuatan virus maut yang sengaja disemprotkan. Chemtrails sering disemprotkan di atas langit Jakarta untuk mempersiapkan warga Jakarta dan sekitarnya menerima virus flu burung (H5N1) yang telah dimodifikasi.Bagaimana kelanjutannya? Silahkan baca: Depopulasi Dunia: Pesawat Semprot Zat Kimia Berupa Chemtrails di Angkasa (The Economist/icc.wp.com) Video 1: (Avian Flu Exposed )http://www.youtube.com/watch?feature=player_embedded&v=-eAjC2IGeeQandhttp://www.youtube.com/watch?feature=player_embedded&v=9GW1aSqCRNAVideo 2: (How Flu Viruses Attack National Geographic )http://www.youtube.com/watch?feature=player_embedded&v=TVLo2CtB3GAVideo 3: (Flu Attack! How A Virus Invades Your Body )http://www.youtube.com/watch?feature=player_embedded&v=Rpj0emEGShQEksternal Link:http://fluburung.org[IndoCropCircles] Admind 02Semoga bermanfaatAyah Jadi Nama Rumah Sakit, Anak Jadi Menteri Kesehatan dan DosenNila Djuwita Anfasa Moeloeknyaris menjadi menteri kesehatan pada Kabinet Indonesia Bersatu II. Munculnya Nila mengingatkan orang pada nama menteri kesehatan sepuluh tahun lalu,Farid Anfasa Moeloek, dan tokoh kedokteran Abdul Moeloek. Ada hubungan ketiganya?

Farid Anfasa MoeloekNamaAbdul Moeloekdan dunia kesehatan Indonesia tak bisa dipisahkan. Itu karena sebagian besar anggota keluarga trah Moeloek mendedikasikan hidupnya di bidang tersebut. Rumah Sakit dr H Abdul Moeloek di Bandar Lampung adalah salah satu buktinya.Nama RS tersebut diambil dari nama dr H Abdul Moeloek, yang tak lain ayahanda dr Farid Anfasa Moeloek atau mertua Nila Djuwita Anfasa Moeloek.Dr h Abdul Moeloek, lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat, pada 1909.Farid sendiri pernah mencurahkan hidup sebagai menteri kesehatan RI pada 1998-1999. Sedangkan sang adik, Prof Dr Nukman Moeloek SpAnd, hingga kini masih tercatat sebagai guru besar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Bukan hanya mereka.Paman saya,Sutan Assin,adalah ahli bedah. Juga ipar, sepupu, dan mertua laki-laki saya, terang Farid, November 2009.Jodoh Farid juga tak jauh-jauh dari profesi keluarganya. Istrinya, Nila Djuwita Anfasa Moeloek, juga seorang dokter. Bahkan Nila nyaris menduduki kursi Menkes. Sayang, di pengujung penyusunan Kabinet Indonesia Bersatu II, Nila kandas dan digantikan Endang Rahayu Sedyaningsih.Farid menuturkan, sejarah panjang keluarganya sebagai trah dokter memang dimulai dari ayahnya,dr Abdul Moeloek. Ayahnya lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat, pada 1909.Pada usia 12 tahun, Moeloek merantau ke Batavia (Jakarta). Sempat kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan Bogor, setahun kemudian Moeloek memutuskan pindah ke Stovia, sekolah kedokteran yang didirikan Belanda. Gedung Stovia sekarang menjadi gedung Perintis Kemerdekaan di Jalan Abdur Rahman Saleh.Kiprah Abdul Moelek di dunia kedokteran dimulai saat lulus kuliah pada masa pendudukan Jepang. Ketika itu tentara Jepang memiliki misi membunuh para intelektual Indonesia. Beberapa dokter menjadi korban. Moeloek pun tak ingin mati sia-sia. Dia lantas memutuskan hijrah ke Semarang. Di kota itu dia menjadi seorang tenaga medis di RS Dokter Karyadi. Moeloek hanya beberapa tahun menetap di Semarang. Setelah itu, dia memutuskan mengasingkan diri di Desa Winong, Kota Liwa, Lampung Barat.Di kota kecil itulahFarid lahir pada 1944. Selama bersembunyi di kota itu, Moeloek mengabdikan diri menjadi dokter bagi rakyat kecil. Sedangkan istrinya menjadi guru dan mengajari masyarakat sekitar. Tak urung, keluarga Moeloek amat disegani dan dituakan di kota tersebut.Ayah saya memiliki banyak anak angkat. Lama tinggal di Lampung, sampai sekarang saya pun merasa sebagai orang Lampung, ungkap Farid.Ketika Indonesia merdeka, keluarga Moeloek memutuskan hijrah lagi ke Tanjung Karang, Lampung. Di kota itu Moeloek mengambil alih pengelolaan RS Tanjung Karang dari tentara Jepang. Kemudian Moeloek ditunjuk sebagai kepala rumah sakit itu.Setelah wafat pada 1973, DPRD Lampung sepakat menamai RS Tanjung Karang dengan nama RS dr H Abdul Moeloek. Hal itu dilakukan untuk menghormati dedikasi dan jasa Moeloek bagi masyarakat Lampung.Dedikasi dan ajaran Moeloek kini masih mengalir di dalam darah anak-anaknya. Farid adalah salah satunya. Setelah lulus SMA di Tanjung Karang, Farid masuk Fakultas Teknik Sipil, ITB. Namun studi itu ditempuhnya hanya beberapa saat, sebab hati kecilnya seolah memanggil untuk mengambil jurusan kedokteran, mengikuti jejak ayahnya. Farid pun banting setir. Dia ikut ujian di FK UI dan lulus. Setelah lulus sebagai dokter umum, Moeloek mengambil spesialis obgyn dan gynecology (kandungan dan kebidanan).Setelah itu, Farid memutuskan mengambil gelar doktor (PhD) di Johns Hopkins University (AS). Kebetulan, kata dia, ketika itu ada kerja sama antara UI dan universitas di negeri Paman Sam tersebut. Farid berhasil lulus cum laude. Sebuah prestasi yang membanggakan bagi dirinya.Kariernya di bidang kedokteran berawal saat dia menjadi staf pengajar di FK UI. Dia mengajarkan ilmu kebidanan dan ilmu lingkungan. Hingga kini dia masih mengajar di sana. Farid juga sempat dipercaya menjadi direktur Pascasarjana UI pada 1991-1998. Dalam kurun waktu itu, dia juga aktif di sejumlah organisasi. Salah satunya memimpin asosiasi internasional kesehatan reproductive and health. Dia juga sebagai anggota MPR.Karena itu, pada 1998, saatSoehartoterpilih kembali menjadi presiden RI,Farid dipercaya menduduki jabatan Menkes.Sayang, puncak kariernya tak berlangsung lama. Ketika Soeharto lengser, kabinetnya juga turut bubar. Namun saat Soeharto digantikan BJ Habibie, Moeloek kembali mendapat kepercayaan menduduki kursi tersebut. Dia pun resmi menjadiMenkes periode 1998-1999.Kini, setelah tak menjadi pejabat, Farid kembali ke habitat aslinya: praktik sebagai dokter. Dia tidak ingin pengabdiannya terhadap negeri berhenti sampai di situ. Apalagi, dalam frame otaknya, masih tersimpan konsep tentang penanganan kesehatan masyarakatyang dia amat yakin konsep itu bisa memutus rantai kemiskinan dan kebodohan di Indonesia.Menurut dia, dua akar persoalan tersebut yang membuat bangsa ini terseok-seok. Kedokteran dan kesehatan, lanjutnya, bagai dua sisi mata uang. Kedokteran hanya arti kata sempit, sedangkan kesehatan merujuk pada persoalan yang lebih luas.Moeloek menjelaskan, konotasi kesehatan saat ini seolah-seolah hanya fokus terhadap pelayanan dasar, seperti puskesmas dan rumah sakit. Padahal, katanya, di dalam konsep kesehatan, sejatinya ada problem kesehatan keluarga, air bersih, rumah sehat, lingkungan sehat, gizi, maupun olahraga. Ada korelasi yang erat antara kesehatan dan individu, keluarga, masyarakat, dan perilaku bangsa, tuturnya.Dia mengilustrasikan, merokok dinilai amat merugikan bangsa ini. Betapa tidak, separo pendapatan masyarakat kerap dihabiskan untuk mengisap zat adiktif yang beracun tersebut. Dampaknya, kata dia, tak hanya terhadap kesehatan, tapi juga problem sosial. Bisa mengurangi jatah untuk anak-anaknya, merusak IQ anak, dan ujung-ujungnya terhadap kemiskinan. Jadi, kalau hukum merokok itu makruh, bagi saya itu haram, ujarnya.Hal itu, kata dia, menjadi tanggung jawab dokter. Menurut dia, seorang dokter sejati adalah mereka yang bisa menjadi agent of change (agen perubahan). Bukan hanya menunggu orang sakit di poliklinik, tapi bagaimana bisa menyehatkan masyarakat. Kalau hanya menunggu orang sakit, berarti belum menjalankan fungsi dokter, jelasnya.Indonesia, kata dia, membutuhkan konsep sehat yang holistik. Konsep tersebut pernah dia implementasikan saat menjabat Menkes. Sayang, impian dan angan-angannya untuk menyehatkan masyarakat Indonesia belum tuntas. Dalam mimpinya, Farid amat berharap agar setiap orang memiliki dokter pribadi. Tak peduli dia abang becak, tukang parkir, guru, atau kuli bangunan. Mereka layak mendapatkan pelayanan kesehatan terbaik, ujarnya. Hal itu, kata dia, bukanlah sebuah keniscayaan.Dia menggambarkan, satu dokter bisa mengontrol kesehatan 2.500 penduduk. Nah, jika penduduk Indonesia berjumlah sekitar 200 juta jiwa, dibutuhkan sekitar 80 ribu dokter untuk memantau kesehatan masyarakat secara berkala. Dokter tersebut, kata dia, harus memiliki database rekam medis setiap pasien yang berada di bawah tanggung jawabnya. Untuk itu, pemerintah bisa menggelontorkan sejumlah dana terhadap dokter tersebut. Anggaran itu untuk biaya asuransi, misalnya dokter diberi Rp 40 juta untuk menangani sekian pasien. Tugas dokter itu adalah menyehatkan mereka. Jika masyarakat sehat, saya yakin biaya kesehatan dapat ditekan, ungkapnya.Saat ini konsep Indonesia sehat mungkin masih di awang-awang. Alih-alih konsep itu ada yang meneruskan, yang terjadi justru para dokter berlomba agar pasiennya terus bertambah. Mindset inilah yang harus diubah. Dokter itu harus berperan sebagai agent of change. Bagaimana semua orang bisa memiliki dokter pribadi jika dokter sekarang hanya berorientasi materi, cetusnya dengan mata berkaca-kaca. Karena itu, Farid bertekad terus mengabdikan diri untuk masyarakat. Selama bisa, saya dan istri akan terus berupaya untuk masyarakat, ucapnya.Sang istri sendiri, setelah batal menjadi menteri, juga kembali ke dunianya sebagai dokter di RS Mata Aini Jakarta. Farid dan Nila kebetulan sama-sama berprofesi sebagai dokter. Dan, itu bukan pilih-pilih. Bu Nila dulu adik kelas saya di UI. Hubungan kami ya berawal dari situ, kata Farid.Selain praktik di RS Mata Aini, Nila aktif sebagai ketua umum Dharma Wanita Persatuan Pusat untuk masa bakti 2004-2009. Dia aktif di situ sudah sepuluh tahun, terang Farid. Tak hanya itu, Nila juga konsens di Perhimpunan Dokter Mata Indonesia. Memang istri saya masih suka aktif di luar, ucapnya.Farid-Nila boleh dibilang pasangan yang amat serasi. Tak hanya sebagai pasangan, tapi juga minat dan ketertarikan mereka terhadap bidang kesehatan. Hal itu mereka sadari betul saat pertama berkenalan.Sayang, dinasti dokter di keluarga Moeleok akan terputus. Anak-anak pasangan Farid-Nila tak satu pun yang tertarik melanjutkannya. Anak pertama mereka, Muh Reiza, sekarang tinggal di Inggris. Adiknya, Puti Alifah, juga memutuskan menjadi arsitek dan seniman di Prancis. Sedangkan anak bungsunya, Puti Annisa, lebih memilih bekerja di swasta. Kami memberikan kebebasan kepada anak-anak mau jadi apa saja, asal bermanfaat buat diri sendiri dan orang lain, ucapnya.Soal kegagalan Nila menjadi Menkes, Farid sudah tak mau membahas. Meskipun seandainya Nila berhasil jadi Menkes, dia yakin konsep yang pernah dia terapkan itu bisa dilanjutkan istrinya. Tapi kami sudah tutup buku tentang masalah itu, ucap Farid. ***http://www.jambi-independent.co.id/jio/index.php?option=com_content&view=article&id=5093:keluarga-moeloek-salah-satu-dinasti-dokter-sukses-di-indonesia&catid=25:nasional&Itemid=29http://id.wikipedia.org/wiki/Farid_Anfasa_Moeloek

Nila Djuwita Farid Moeloek

Menteri kesehatan Nila F Moeloek (Foto:Arief/Okezone)

Renny SundayaniJurnalis Share on Facebook Share on Twitter Share on GoogleAAA

Prof. Dr. dr. Nila Djuwita Farid Moeloek, SpM (K) yang akrab dipanggil Nila, adalah seorang guru besar (pakar) dan aktivis kesehatan. Guru Besar dan Ketua Medical Research Unit Fakultas Kedokteran UI, ini pernah gagal menjabat Menteri Kesehatan era pemerintahan SBY untuk menggantikan Siti Fadilah Supari.Namun ia malah ditunjuk oleh mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Utusan Khusus Presiden Republik Indonesia, untuk Millennium Development Goals. Tugasnya ialah menurunkan kasus HIV-AIDS dan angka kematian ibu dan anak.Perjuangan Nila untuk menyehatkan bangsa Indonesia tiada yang sia-sia, akhirnya Presiden Joko Widodo kemudian merangkul Nila, untuk menempatkan posisi sebagai Menteri Kesehatan menggantikan Nafsiah Mboi.Nila Djuwita Moeloek, dokter ahli bedah mata asal Sumatra Selatan berdarah Minang itu, mengikuti jejak suaminya di kursi Menteri Kesehatan. Suaminya Prof Dr dr H Farid Anfasa Moeloek, Sp.OG, adalah mantan Menteri Kesehatan Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988) Kabinet Pembangunan VII (Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988), (Presiden Soeharto) dan Kabinet Reformasi Pembangunan (Presiden Republik Indonesia Ketiga (1998-1999) BJ Habibie.Sebagai seorang dokter, Nila menorehkan sejumlah prestasi di bidangnya dengan nilai cumlaude. Putri pasangan perantau Minangkabau ini, menyelesaikan pendidikan sarjananya di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Kemudian ia melanjutkan pendidikan spesialis mata, serta mengikuti program sub-spesialis di International Fellowship di Orbita Centre, University of Amsterdam, Belanda dan di Kobe University, Jepang. Setelah itu ia melanjutkan pendidikan konsultan Onkologi Mata dan Program Doktor Pasca-Sarjana di FKUI.Selain menjadi dokter di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Kirana, ia juga menjadi ketua umum Dharma Wanita Persatuan Pusat (2004-2009), Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Mata (Perdami), dan Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesia (YKI) periode 2011-2016. Nila bersama Faried Anfasa Moeloek, dikaruniai tiga orang anak, yakni Muhammad Reiza Moeloek, Puti Alifa Moeloek, dan Puti Annisa Moeloek.PROFILNama Lengkap: Nila Djuwita Farid MoeloekNama Panggilan: NilaTTL: Jakarta, 11 April 1949Prestasi:Ketua Umum Dharma Wanita Persatuan (DWP)Ketua Umum Asosiasi Dokter Spesialis Mata IndonesiaKetua Bank MataBest Writer of Indonesian Medical Journal (1984)Activist Doctor of Sekar Melati Organization (1987)APHA Special Award 8th International Cataract Implant Micosurgerical and Refractive Keroplasty (1995)Indonesian Citra Kartini Award (2003)ASEAN Moeslim Award (2004)Sudjono Djuned Pusponegoro Award for Best Research (2005)Indonesian Ophthalmologists Association Award (2006)Satyalancana Karya Satya Award 30 years (2006)Charter Planting Ten Million Trees Award (2007).Karier:Guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) di bidang Kesehatan Mata dan aktivis kesehatan.Utusan mantan presiden SBY untuk Millennium Development GoalKetua Medical Research Unit FKUI sejak 2007 2011(ren)

Farid Anfasa Moeloek (1944-...): Pionir Indonesia Sehat 2010

PERHATIANNYA pada dunia kesehatan begitu tinggi. Meski tidak lagi menjabat menteri kesehatan, ia terus berusaha mewujudkan tercapainya Indonesia Sehat 2010. Untuk mewujudkan program yang dirintisnya itu, Prof. Dr. dr. H. Farid Anfasa Moeloek, Sp.O.GMDNM. ketika menjabat menteri kesehatan (1999) membentuk Yayasan Koalisi Indonesia Sehat 2010.

Farid menjabat menteri kesehatan era pemerintahan Presiden Soeharto (Kabinet Pembangunan VII). Saat era reformasi bergulir, ia tetap dipertahankan Presiden B.J. Habibie untuk menjabat menteri kesehatan dalam Kabinet Reformasi (23 Mei 1998--23 Oktober 1999).

Bagi dia, jabatan bukan satu-satunya jalan untuk mewujudkan Indonesia Sehat 2010 karena pada dasarnya setiap warga negara Indonesia wajib meningkatkan derajat kesehatan, baik individu maupun lingkungan.

Pria kelahiran Liwa, Lampung Barat, 28 Juni 1944 ini dibesarkan keluarga dokter yang kukuh memperjuangkan nasib masyarakat kecil. Farid adalah putra dokter Abdoel Moeloek yang namanya diabadikan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Abdul Moeloek, Bandar Lampung.

Sejak kecil Farid Anfasa Moeloek tidak pernah bercita-cita menjadi menteri atau pejabat negara. Tapi, pengetahuannya tentang kesehatan dan integritasnya mendukungnya dipercaya menduduki posisi nomor satu di Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Pendidikan dokter diraih Farid tahun 1970 dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dan memperoleh spesialis obstetri dan ginekologi dari FKUI tahun 1983. Tahun 1995 ia dikukuhkan menjadi guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hampir seluruh hidupnya diabdikan pada kampus yang telah mencetaknya menjadi seorang dokter, terutama untuk pembinaan sumber daya manusia.

Berbagai jabatan struktural di kampus Universitas Indonesia pernah ia sandang, di antaranya direktur proyek Course in Reproductive Health for Paramedics dan Course in Fertility Management for Hospitals in Indonesia, kepala Klinik Raden Saleh, Bagian Obgin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dan terakhir direktur program pascasarjana Universitas Indonesia.

Pengalaman dan perhatiannya begitu besar terhadap pembinaan sumber daya manusia (SDM) dan pola hidup sehat untuk mencapai Indonesia Sehat 2010. Itu sebabnya, Himpunan Pandu dan Pramuka Wreda (Hipprada) meminta Farid sebagai penasihat dalam bidang penanganan masalah musibah, pelembagaan pola hidup sehat, serta pengembangan generasi muda.

Mendidik Anak

Kisah cinta Farid dan Nila bersemi di kampus Universitas Indonesia, almamater yang mencetak mereka menjadi dokter. Nila saat itu mahasiswa baru Fakultas Kedokteran, sedangkan Farid terlibat di panitia pelonco. Cinta pun terjalin antara senior dan junior. "Sampai akhirnya pada tahun 1972 Farid mempersunting saya menjadi istrinya," kenang Nila.

Dalam membina rumah tangga, keduanya memegang prinsip bahwa suami adalah sumber keuangan dan istri menjadi menteri keuangan. "Segala sesuatu yang menyangkut keuangan di rumah tangga, mulai bayar rekening listrik, biaya sekolah anak-anak, sampai segala keperluan adalah bapak. Keluar-masuknya keuangan melalui istri. Tapi, kalau urusan pendidikan anak menjadi tanggung jawab berdua," kata Farid.

Farid Anfasa Moeloek sejak awal berumah tangga dengan Nila Juwita telah bersepakat mendidik anak-anak mereka secara demokratis. Segala persoalan dibicarakan dan dipecahkan bersama-sama dalam keluarga."Untuk hal-hal tertentu anak saya lebih senang bicara dengan ibunya karena ibunya selalu menempatkan diri sebagai seorang teman, terutama ketika mereka pada usia remaja. Di usia ini seorang ibu menganggap seorang anak sangat rentan terhadap pengaruh buruk lingkungan sehingga segala persoalan yang dihadapi anak-anak di luar bisa mereka bicarakan dengan saya tanpa sungkan-sungkan," kata dia.

Dalam pendidikan, anak-anak diberi kebebasan menentukan pendidikan yang diinginkan setelah tamat SMA. Bisa dimaklumi jika kemudian tiga anak Farid-Nila tidak ada yang mengikuti jejak mereka sebagai dokter.Ketiga anak-anak Farid lebih memilih bidang eksakta lain, yakni teknik. Tidak heran jika rumah yang mereka tempati adalah buah karya ketiga anak-anaknya: Mulai desain, isi rumah, dan barang-barang di dalamnya. "Kami hanya bisa mendorong," ucap Farid.

Alasan ketiga anaknya tidak memilih profesi dokter cukup sederhana: Tidak mau terlalu sibuk. Profesi dokter memang tidak mengenal waktu. Jam berapa saja ada pasien yang hendak dirawat, harus segera ditolong."Mengingat kesibukan kami berdua, maka kami memanfaatkan waktu yang hanya sedikit itu untuk memperhatikan anak-anak. Kami katakan pada anak-anak bahwa kualitas pertemuan dengan orang tua lebih bermakna daripada kuantitasnya."

Kepada anak-anaknya sejak kecil telah ditanamkan nilai-nilai agama, terutama menghadapi pengaruh negatif era globalisasi terhadap pola kehidupan anak-anak. Uniknya anak-anak Farid, dari kecil hingga dewasa, banyak aktivitas keluarga dilakukan di kamar tidur. "Kami, baik belajar,nontontelevisi, maupun kegiatan lain, termasuk segala diskusi, juga dilakukan di kamar tidur untuk dicarikan pemecahan masalahnya," kata Farid.

Entah kenapa anak-anaknya betah berlama-lama di kamar tidur orang tuanya. "Hal ini sebenarnya cukup positif, karena selain menambah kedekatan kami dengan anak-anak, juga kegiatan mereka dapat kita pantau dengan baik. Mereka pun tidak sungkan-sungkan bercerita bila menghadapi suatu persoalan di luar rumah."Setelah Farid Anfasa Moeloek tidak lagi menjabat menteri kesehatan dan ia berniat mendirikan Yayasan Koalisi Indonesia Sehat 2010, istri dan anak-anaknya terlibat dalam kegiatan yayasan. Keterampilan yang dimiliki anak-anaknya terserap dalam yayasan ini. Seperti Puti Alifa Moeloek yang piawai mendesain poster,leaflet, dan sebagainya. Begitu pun kedua saudaranya, Puti Annisa dan Muhammad Reiza. n

BIODATA

Nama:Prof. Dr. dr. H. Farid Anfasa Moeloek, Sp.O.G.Lahir: Liwa, Lampung Barat, 28 Juni 1944Agama: IslamIstri: Dr. Hj. Nila DjuwitaAnak :1. Ir Muhamad Reiza Moeloek2. Puti Alifa Moeloek3. Puti Annisa Moeloek

Pendidikan:- Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (1970)- Spesialis Obsgyn FKUI (1976)- Doktor (Cum Laude) dari Universitas Indonesia (1983)- Guru Besar FKUI (1995)

Karier:- Direktur Program Pascasarjana Universitas Indonesia (1996)- Staf Pengajar dan Penguji Mahasiswa FKUI.- Menteri Kesehatan (16 Maret 1998--23 Oktober 1999)

Organisasi:- Yayasan Koalisi Indonesia Sehat 2010- Penasihat Bidang Penanganan Masalah Musibah, Pelembagaan Pola Hidup Sehat, dan Pengembangan Generasi Muda Hipprada (Himpunan Pandu dan Pramuka Wreda)