1
Pramono Edhie Penuhi Syarat Demokrasi Massa bagai Bom Waktu 2 | Politik & HAM SABTU, 2 OKTOBER 2010 | MEDIA INDONESIA Ada tujuh macam konflik yang berkembang sejak era reformasi. Ini dipicu oleh rendahnya pluralisme dan solidaritas. Dwi Tupani menjadi manfaat dan anugerah, tetapi malapetaka. Karena kita merusak sistem demokrasi de- ngan membuatnya menjadi tu- juan. Kita di bawah demokrasi, bukan mengatur demokrasi.” Salah satu kekacauan yang terjadi adalah hasil amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengenai persetujuan pejabat negara. Semua pejabat negara yang seharusnya domain presiden, sekarang harus mela- lui persetujuan DPR. “Seperti sistem presidensial yang menjurus ke parlementer. Selanjutnya pemerintah mem- buat banyak komisi perhantuan, dan komisi persetanan, dan memboroskan anggaran.” Ditambah lagi perilaku DPR yang mengklaim dirinya wa- kil rakyat karena sudah dipi- lih langsung. Padahal, mereka tidak sepenuhnya bekerja untuk kepentingan rakyat. Masyarakat pun tidak punya suri teladan. “Kalau saja demokrasi di negeri ini dibantu dengan kepemimpinan yang kuat bu- kan dengan faktor pencitraan. Berani mengambil risiko bukan hanya untuk kelanjutan masa jabatan, mungkin kita akan ter- bantu,” sahut Surya Paloh. Nasional Demokrat sebagai organisasi masyarakat menya- dari keadaan itu. Untuk itu diperlukan perubahan cara ber- pikir di berbagai bidang. “Bagaimana kita mengurangi sikap kepura-puraan kita, ke- hipokritan kita sebagai suatu bangsa. Melakukan otokritik.” Pembiaran Terkait dengan banyaknya tindak kekerasan dan bentrok antarkelompok berlatar bela- kang agama belakangan ini, Hendrik Sirait, Ketua Perhim- punan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) me- nilai semua terjadi karena ada gejala mulai melunturnya ke- bangsaan. “Arah pengurusan negara ini, seperti ada pembiaran. Awalnya hanya ribut biasa jadi besar karena negara tidak langsung melakukan tindakan preventif,” Menurut Surya Paloh, masalah kerukunan umat ber- agama tidak bisa disikapi de- ngan hanya melihat perspektif legal dan formal. Sekjen Nasional Demokrat Syamsul Muarif mencatat ada tujuh macam konik yang ber- kembang sejak era reformasi. Ketujuh konik itu adalah ben- trok pelajar, bentrok antarwarga, konik politik, konik agama, konik antarsuku, kriminalisasi, dan terorisme. “Ini dipicu rendahnya plural- isme dan solidaritas sehingga masyarakat menjadi mudah panas karena tekanan publik,” bebernya. (P-4) tupani @mediaindonesia.com MI/PANCA SYURKANI Saya akan kembali datang dengan membawa dokumen- dokumen yang dibutuhkan. Catatan ini sudah terjadi 10 tahun yang lalu.” Yusril Ihza Mahendra Mantan Menkeh dan HAM ANCAMAN BANGSA: Ketua Umum Nasional Demokrat Surya Paloh beramah-tamah dengan Ketua Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Adien Jauharudin (kiri), Perwakilan Forum Solidaritas Kebebasan Beragama Sereida Tambunan (kedua dari kiri), dan Pendeta Roy Simanjuntak (kanan) seusai berdialog dengan tema Ancaman disintegrasi bangsa, di Jakarta, kemarin. PANGDAM III/Siliwangi Mayjen Pramono Edhie Wi- bowo memenuhi syarat ke- tentaraan untuk menempati posisi Panglima Komando Cadangan Strategis TNI-AD (Pangkostrad). “Pengangkatan Pramono Edhie Wibowo sebagai Pang- kostrad saya kira wajar. Tidak ada yang direkayasa,” ujar Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro di Jakarta, ke- marin. Ia juga menampik ada re- kayasa politis menghadapi PENGANTAR Sadarlah sebelum Bencana Menerpa MI/M IRFAN INTERUPSI Selengkapnya di www.mediaindonesia.com KEBERADAAN vila di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), Kabupaten Bogor, Jawa Barat, tidak dibenarkan secara hukum. Oleh karena itu, Kementerian Kehutanan jangan memberikan toleransi. Terlebih vila yang berjumlah 143 unit itu bodong alias tidak memiliki surat-surat. Pada akhirnya, tindakan tersebut telah mengubah bentang alam yang ada. Pertanyaan- nya kemudian, mengapa hal itu terjadi dalam rentang waktu yang lama tanpa ada upaya perbaikan yang signifikan? Berikut petikan pendapat masyarakat mengenai hal ini yang disampaikan melalui Mediaindonesia.com, Facebook Harian Umum Media Indonesia, dan [email protected]. Siapa Berani? SIAPA yang berani membongkarnya? Karena pemilik vila bukanlah warga ‘biasa’!? Arya Restu Panditha Perambah Berdasi AKHIRNYA terungkap, sejumlah undang-undang di- terabas oleh mereka yang berkantong tebal, apakah ia pengusaha, jenderal, intelektual bergelar doktor, semua mengangkangi Halimun, memamerkan kekayaan tanpa memedulikan keseimbangan ekosistem lingkungan. Dampaknya, mereka menikmati kesejukan, masyarakat menderita kebanjiran dengan segala kandungan ku- man penyakit yang dibawanya. Maka tak ada jalan lain, kecuali membersihkannya dari tangan kapitalis guna kesejahteraan rakyat dan kelestarian lingkungan. Sadar- lah para perambah berdasi di Halimun, sebelum laknat menerpa semuanya! Muhammad Hasir Sonda Ngomong Doang YANG diperlukan, tindakan bukan ngomong doang. Efendi Spain Shi Taw Belum Juga? BELUM dibongkar juga? Hendro Kisworo Babat Habis BABAT habis vila di puncak mana pun. Dheni Rusmawan Mana Berani... SIAPA yang mau bongkar, Satpol PP? Kalau kaki lima iya, beringas. Lho ini vila yang punya Satpol PP, mana berani ama juragannya sendiri! Dede Kurniawan Baru Kedengaran lagi Nih BARU terdengar lagi berita ini setelah ‘ribuan’ tahun silam menjadi topik. Apa sih yang bisa mengubah uang?? Tidak bisa! Biar alam yang menjawab. Itu pasti. Rahmad Yoruwanemuriasaomatsu Beraninya sama Orang Kecil HALAH mau bongkar gimana? Yang punya kan pengusa- ha. Sama penguasa semua pasti aparat di sono takut lah.... Aparat kita kan beraninya ama orang kecil.... Yulianto Gp Bandit Kelapa Sawit JANGAN cuma ulas para vilais itu. Bagaimana dengan para bandit kelapa sawit yang merusak hutan dan me- manaskan suhu bumi ini?? Rodrigo Pasaribu S ISTEM demokrasi di Indonesia saat ini ber- masalah dan mengun- dang malapetaka besar bagi sejarah bangsa ini. Ironisnya, kalangan eksekutif dan legislatif enggan mengakui hal ini. Demikian dikatakan Ketua Umum Nasional Demokrat Surya Paloh saat berdialog dalam Forum Solidaritas Kebebasan Beragama di Jakarta, kemarin. “Negara diklaim demokrasi, tetapi sikap hidup masyarakat belum menjalankan peran demokrasi. Semua menjalank- an demokrasi dengan pikiran masing-masing,” cetusnya. Ia menuturkan, sejak bergu- lirnya era reformasi 12 tahun silam, demokrasi diartikan sama dengan penuntutan hak- hak. Padahal, demokrasi tidak berhenti di situ saja. Harus ada yang menjalankan kewajiban. “Akhirnya demokrasi bukan Pemilu 2014 dalam pengangkat- an Pramono yang juga adik ipar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Apalagi, lanjutnya, Pramono Edhie telah dua kali menempati posisi strategis selama menjabat bintang dua, yaitu sebagai Dan- jen Komando Pasukan Khusus (Kopassus) dan Pangdam III/Si- liwangi. “Dia memenuhi syarat teritorial karena pernah menjadi Panglima Kodam.’’ Selain itu, sambungnya, Pra- mono Edhie juga pernah men- jadi ajudan sehingga memahami urusan protokoler. “Jadi tidak ada yang aneh di sini. Tidak ada kaitannya dengan menjadi saudara Presiden. Dalam TNI aturannya jelas.” Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal George Toisut- ta juga menilai Pramono Edhie pantas menjabat Pangkostrad. “Dari penilaian, Pak Pramono yang paling pantas jadi Pangko- strad. Bukan dari hubungan,” ujar Toisutta seusai bersilatu- rahim dengan purnawirawan TNI-AD di Jakarta. George mengemukakan, Pra- mono Edhie merupakan salah satu prajurit terbaik TNI-AD. “Selain itu, jika dibandingkan dengan beberapa perwira Kostrad, Pramono merupa- kan anggota terbaik, jadi bu- kan karena faktor hubungan kekerabatan. Tentara enggak ada hubungan-hubungan,” katanya. Ia mengemukakan, Pra- mono Edhie menjabat Pang- kostrad pada November 2010 menggantikan Letjen Burhanuddin Amin. (NJ/Ant/P-1) Yusril Dicecar 25 Pertanyaan UNTUK pertama kalinya man- tan Menteri Kehakiman (Men- keh) dan HAM Yusril Ihza Mahendra bersedia menjawab pertanyaan penyidik Kejak- saan Agung (Kejagung) dalam kasus dugaan korupsi Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum). Diperiksa selama lebih dari sepuluh jam, Yusril mengaku dicecar 25 pertanyaan. “Tadi diperiksa cukup lama, ada 25 pertanyaan dan saya jawab semua. Pertanyaan itu dulu tidak saya jawab karena menunggu putusan Mahkamah Konstitusi,” ujar Yusril seusai menjalani pemeriksaan sebagai tersangka yang berlangsung secara maraton itu. Meski diperiksa sejak pukul 09.30 hingga 21.30 WIB yang diselingi sekali istirahat, Keja- gung memutuskan untuk tidak menahan politikus dari Partai Bulan Bintang itu. Kejagung memutuskan untuk kembali memeriksa Yusril pada Rabu (6/10). “Saya akan kembali datang dengan membawa dokumen- dokumen yang dibutuhkan. Catatan ini sudah terjadi 10 tahun yang lalu. Saksinya juga sudah ada yang berusia lebih dari 70 tahun. Datanya ada, tapi saya masih konrmasi ulang,” papar Yusril. Ia juga berharap sejumlah saksi tambahan dapat dihadir- kan oleh kejaksaan, yaitu man- tan Presiden Megawati Soekar- noputri, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. “Saya sudah sampaikan agar Kejaksaan Agung memanggil Presiden SBY, Jusuf Kalla, dan Megawati,” terangnya. Atas permintaannya itu, Ke- jagung menolak untuk meng- hadirkan Presiden Susilo Bam- bang Yudhoyono sebagai saksi. Menurut Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM- Pidsus) M Amari, seseorang untuk menjadi saksi harus orang yang mengalami sendiri kasusnya. “Yang namanya saksi adalah orang yang melihat sendiri, orang yang mendengar sendiri, atau yang mengalami sendiri. Kalau orang tak mengalami, tidak tahu sama sekali, ba- gaimana bisa jadi saksi?” kata Amari. Amari menegaskan sudah ada ketentuan seseorang untuk menjadi saksi. “Tidak bisa sem- barangan orang bisa dipang- gil,” katanya. Sementara itu, Komisaris PT Bhakti Investama Harry Tanoesoedibjo tidak memenuhi panggilan ketiga dari Kejagung sebagai saksi terhadap Yusril. (Ant/*/P-2) MI/SUSANTO

Demokrasi Massa bagai Bom Waktu Berdasi AKHIRNYA terungkap, sejumlah undang-undang di-terabas oleh mereka yang berkantong tebal, apakah ia pengusaha, jenderal, intelektual bergelar

Embed Size (px)

Citation preview

Pramono Edhie Penuhi Syarat

Demokrasi Massabagai Bom Waktu

2 | Politik & HAM SABTU, 2 OKTOBER 2010 | MEDIA INDONESIA

Ada tujuh macam konflik yang berkembang sejak era reformasi. Ini dipicu oleh rendahnya pluralisme dan solidaritas.

Dwi Tupani

menjadi manfaat dan anugerah, tetapi malapetaka. Karena kita merusak sistem demokrasi de-ngan membuatnya menjadi tu-juan. Kita di bawah demokrasi, bukan mengatur demokrasi.”

Salah satu kekacauan yang terjadi adalah hasil amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengenai persetujuan pejabat negara. Semua pejabat negara yang seharusnya domain presiden, sekarang harus mela-lui persetujuan DPR.

“Seperti sistem presidensial yang menjurus ke parlementer. Selanjutnya pemerintah mem-buat banyak komisi perhantuan, dan komisi persetanan, dan memboroskan anggaran.”

Ditambah lagi perilaku DPR yang mengklaim dirinya wa-kil rakyat karena sudah dipi-lih langsung. Padahal, mereka tidak sepenuhnya bekerja untuk kepentingan rakyat. Masyarakat pun tidak punya suri teladan.

“Kalau saja demokrasi di negeri ini dibantu dengan kepemimpinan yang kuat bu-kan dengan faktor pencitraan. Berani mengambil risiko bukan hanya untuk kelanjutan masa jabatan, mungkin kita akan ter-bantu,” sahut Surya Paloh.

Nasional Demokrat sebagai organisasi masyarakat menya-dari keadaan itu. Untuk itu diperlukan perubahan cara ber-pikir di berbagai bidang.

“Bagaimana kita mengurangi sikap kepura-puraan kita, ke-

hipokritan kita sebagai suatu bangsa. Melakukan otokritik.”

PembiaranTerkait dengan banyaknya

tindak kekerasan dan bentrok antarkelompok berlatar bela-kang agama belakangan ini, Hendrik Sirait, Ketua Perhim-punan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) me-nilai semua terjadi karena ada gejala mulai melunturnya ke-bangsaan.

“Arah pengurusan negara ini, seperti ada pembiaran. Awalnya hanya ribut biasa jadi besar karena negara tidak langsung melakukan tindakan preventif,”

Menurut Surya Pa loh , masalah kerukunan umat ber-agama tidak bisa disikapi de-ngan hanya melihat perspektif legal dan formal.

Sekjen Nasional Demokrat Syamsul Muarif mencatat ada tujuh macam konfl ik yang ber-kembang sejak era reformasi. Ketujuh konfl ik itu adalah ben-trok pelajar, bentrok antarwarga, konfl ik politik, konfl ik agama, konfl ik antarsuku, kriminalisasi, dan terorisme.

“Ini dipicu rendahnya plural-isme dan solidaritas sehingga masyarakat menjadi mudah panas karena tekanan publik,” bebernya. (P-4)

[email protected]

MI/PANCA SYURKANI

Saya akan kembali datang dengan membawa dokumen-dokumen yang dibutuhkan. Catatan ini sudah terjadi 10 tahun yang lalu.”

Yusril Ihza MahendraMantan Menkeh dan HAM

ANCAMAN BANGSA: Ketua Umum Nasional Demokrat Surya Paloh beramah-tamah dengan Ketua Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Adien Jauharudin (kiri), Perwakilan Forum Solidaritas Kebebasan Beragama Sereida Tambunan (kedua dari kiri), dan Pendeta Roy Simanjuntak (kanan) seusai berdialog dengan tema Ancaman disintegrasi bangsa, di Jakarta, kemarin.

PANGDAM III/Siliwangi Mayjen Pramono Edhie Wi-bowo memenuhi syarat ke-tentaraan untuk menempati posisi Panglima Komando Cadangan Strategis TNI-AD (Pangkostrad).

“Pengangkatan Pramono Edhie Wibowo sebagai Pang-kostrad saya kira wajar. Tidak ada yang direkayasa,” ujar Menteri Pertahanan Purnomo Yusgian toro di Jakarta, ke-marin.

Ia juga menampik ada re-ka yasa politis menghadapi

PENGANTAR

Sadarlah sebelum Bencana Menerpa

MI/M IRFAN

INTERUPSI

Selengkapnya di www.mediaindonesia.com

KEBERADAAN vila di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), Kabupaten Bogor, Jawa Barat, tidak dibenarkan secara hukum. Oleh karena itu, Kementerian Kehutanan jangan memberikan toleransi. Terlebih vila yang berjumlah 143 unit itu bodong alias tidak memiliki surat-surat. Pada akhirnya, tindakan tersebut telah mengubah bentang alam yang ada. Pertanyaan-nya kemudian, mengapa hal itu terjadi dalam rentang waktu

yang lama tanpa ada upaya perbaikan yang signifikan?Berikut petikan pendapat masyarakat mengenai hal ini yang

disampaikan melalui Mediaindonesia.com, Facebook Harian Umum Media Indonesia, dan [email protected].

Siapa Berani?SIAPA yang berani membongkarnya? Karena pemilik vila bukanlah warga ‘biasa’!?

Arya Restu Panditha

Perambah BerdasiAKHIRNYA terungkap, sejumlah undang-undang di-terabas oleh mereka yang berkantong tebal, apakah ia pengusaha, jenderal, intelektual bergelar doktor, semua mengangkangi Halimun, memamerkan kekayaan tanpa memedulikan keseimbangan ekosistem lingkungan. Dampaknya, mereka menikmati kesejukan, masyarakat menderita kebanjiran dengan segala kandungan ku-man penyakit yang dibawanya. Maka tak ada jalan lain, kecuali membersihkannya dari tangan kapitalis guna kesejahteraan rakyat dan kelestarian lingkungan. Sadar-

lah para perambah berdasi di Halimun, sebelum laknat menerpa semuanya!

Muhammad Hasir Sonda

Ngomong DoangYANG diperlukan, tindakan bukan ngomong doang.

Efendi Spain Shi Taw

Belum Juga?BELUM dibongkar juga?

Hendro Kisworo

Babat HabisBABAT habis vila di puncak mana pun.

Dheni Rusmawan

Mana Berani...SIAPA yang mau bongkar, Satpol PP? Kalau kaki lima iya, beringas. Lho ini vila yang punya Satpol PP, mana

berani ama juragannya sendiri!Dede Kurniawan

Baru Kedengaran lagi NihBARU terdengar lagi berita ini setelah ‘ribuan’ tahun silam menjadi topik. Apa sih yang bisa mengubah uang?? Tidak bisa! Biar alam yang menjawab. Itu pasti.

Rahmad Yoruwanemuriasaomatsu

Beraninya sama Orang KecilHALAH mau bongkar gimana? Yang punya kan pengusa-ha. Sama penguasa semua pasti aparat di sono takut lah.... Aparat kita kan beraninya ama orang kecil....

Yulianto Gp

Bandit Kelapa SawitJANGAN cuma ulas para vilais itu. Bagaimana dengan para bandit kelapa sawit yang merusak hutan dan me-manaskan suhu bumi ini??

Rodrigo Pasaribu

SISTEM demokrasi di Indonesia saat ini ber-masalah dan mengun-dang malapetaka besar

bagi sejarah bangsa ini. Ironisnya, kalangan eksekutif dan legislatif enggan mengakui hal ini.

Demikian dikatakan Ketua Umum Nasional Demokrat Surya Paloh saat berdialog dalam Forum Solidaritas Kebebasan Ber agama di Jakarta, kemarin.

“Negara diklaim demokrasi, tetapi sikap hidup masyarakat belum menjalankan peran demokrasi. Semua menjalank-an demokrasi dengan pikiran masing-masing,” cetusnya.

Ia menuturkan, sejak bergu-lirnya era reformasi 12 tahun silam, demokrasi diartikan sama dengan penuntutan hak-hak. Padahal, demokrasi tidak berhenti di situ saja. Harus ada yang menjalankan kewajiban. “Akhirnya demokrasi bukan

Pemilu 2014 dalam pengangkat-an Pramono yang juga adik ipar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Apalagi, lanjutnya, Pramono Edhie telah dua kali menempati posisi strategis selama menjabat bintang dua, yaitu sebagai Dan-jen Komando Pasukan Khusus (Kopassus) dan Pangdam III/Si-liwangi. “Dia memenuhi syarat teritorial karena pernah menjadi Panglima Kodam.’’

Selain itu, sambungnya, Pra-mono Edhie juga pernah men-jadi ajudan sehingga memahami

urusan protokoler. “Jadi tidak ada yang aneh di sini. Ti dak ada kaitannya dengan menjadi saudara Presiden. Dalam TNI aturannya jelas.”

Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal George Toisut-ta juga menilai Pramono Edhie pantas menjabat Pangkostrad.

“Dari penilaian, Pak Pramono yang paling pantas jadi Pangko-strad. Bukan dari hubungan,” ujar Toisutta seusai bersilatu-rahim dengan purnawirawan TNI-AD di Jakarta.

George mengemukakan, Pra-

mono Edhie merupakan salah satu prajurit terbaik TNI-AD. “Selain itu, jika dibandingkan dengan beberapa perwira Kostrad, Pramono merupa-kan anggota terbaik, jadi bu-kan karena faktor hubungan kekerabatan. Tentara enggak ada hubungan-hubungan,” katanya.

Ia mengemukakan, Pra-mono Edhie menjabat Pang-kostrad pada November 2010 menggantikan Letjen Burhanuddin Amin.(NJ/Ant/P-1)

Yusril Dicecar25 Pertanyaan

UNTUK pertama kalinya man-tan Menteri Kehakiman (Men-keh) dan HAM Yusril Ihza Mahendra bersedia menjawab pertanyaan penyidik Kejak-saan Agung (Kejagung) dalam kasus dugaan korupsi Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum).

Diperiksa selama lebih dari sepuluh jam, Yusril mengaku dicecar 25 pertanyaan.

“Tadi diperiksa cukup lama, ada 25 pertanyaan dan saya jawab semua. Pertanyaan itu dulu tidak saya jawab karena menunggu putusan Mahkamah Konstitusi,” ujar Yusril seusai menjalani pemeriksaan sebagai tersangka yang berlangsung secara maraton itu.

Meski diperiksa sejak pukul 09.30 hingga 21.30 WIB yang diselingi sekali istirahat, Keja-gung memutuskan untuk tidak menahan politikus dari Partai Bulan Bintang itu. Kejagung memutuskan untuk kembali memeriksa Yusril pada Rabu (6/10).

“Saya akan kembali datang dengan membawa dokumen-dokumen yang dibutuhkan. Catatan ini sudah terjadi 10 tahun yang lalu. Saksinya juga sudah ada yang berusia lebih

dari 70 tahun. Datanya ada, tapi saya masih konfi rmasi ulang,” papar Yusril.

Ia juga berharap sejumlah saksi tambahan dapat dihadir-kan oleh kejaksaan, yaitu man-tan Presiden Megawati Soekar-

noputri, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

“Saya sudah sampaikan agar Kejaksaan Agung memanggil Presiden SBY, Jusuf Kalla, dan Megawati,” terangnya.

Atas permintaannya itu, Ke-jagung menolak untuk meng-hadirkan Presiden Susilo Bam-bang Yudhoyono sebagai saksi. Menurut Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM-Pidsus) M Amari, seseorang untuk menjadi saksi harus orang yang mengalami sendiri kasusnya.

“Yang namanya saksi adalah orang yang melihat sendiri, orang yang mendengar sendiri, atau yang mengalami sendiri. Kalau orang tak mengalami, tidak tahu sama sekali, ba-gaimana bisa jadi saksi?” kata Amari.

Amari menegaskan sudah ada ketentuan seseorang untuk menjadi saksi. “Tidak bisa sem-barangan orang bisa dipang-gil,” katanya.

Sementara itu, Komisaris PT Bhakti Investama Harry Tanoesoedibjo tidak memenuhi panggilan ketiga dari Kejagung sebagai saksi terhadap Yusril.

(Ant/*/P-2)

MI/SUSANTO