16
1 DEPRESI PADA POST INFARK MIOKARDIUM Wika Hanida Lubis, Habibah Hanum Nasution, Billy Siahaan Divisi Psikosomatis, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU/ RSUP. H. Adam Malik Medan / RS PIRNGADI 1. Pendahuluan Depresi pada penyakit kardiovaskular merupakan hal yang umum , persisten , kurang dikenali dan mematikan. Selama dua dekade terakhir , peneliti menemukan bahwa tidak hanya depresi lebih sering terjadi pada pasien kardiak dibandingkan populasi umum, tetapi depresi juga merupakan faktor resiko terhadap morbiditas dan mortalitas dari pasien dengan gangguan kardiovaskular secara independen terhadap faktor resiko tradisional kardiak. Hubungan antara depresi dan morbiditas kardiak tampaknya melibatkan keduanya efek fisiologi dan perilaku dari orang dengan depresi. 1 Lebih kurang 65 % pasien dengan infark miokard akut ( IMA) melaporkan pengalaman gejala depresi . Kebanyakan depresi terjadi pada 15 22 % dari pasien pasien ini. Depresi merupakan faktor resiko independen terhadap perkembangan dan mortalitas sehubungan dengan penyakit kardiovaskular dalam keadaan lain pada orang sehat . Orang yang mengalami depresi dan yang memiliki penyakit kardiovaskular sebelumnya memiliki resiko kematian 3.5 kali lebih besar dibandingkan pasien yang tidak depresi dan memiliki penyakit kardiovaskular . 2 Meskipun begitu tampaknya gangguan depresi sering tidak terdiagnosa dan diobati pada pasien pasien dengan penyakit kardiovaskular. Diperkirakan bahwa hanya 25 % atau kurang dari pasien- - pasien kardiovaskular dengan depresi mayor didiagnosa dengan depresi, dan hanya sekitar 50 % dari pasien pasien ini mendapatkan pengobatan untuk depresi. 3 Untuk itu tulisan ini mencoba memberikan pengenalan terutama mengenai pendekatan diagnostik serta penanganan depresi pada pasien pasien dengan kejadian infark miokardium sebelumnya. 2. Prevalensi Depresi memiliki prevalensi tinggi pada pasien dengan gangguan kardiovaskular. Sekitar 31 45 % pasien dengan penyakit jantung koroner (CAD) , termasuk CAD stabil ,

DEPRESI PADA POST INFARK MIOKARDIUM Wika Hanida Lubis

  • Upload
    lamminh

  • View
    224

  • Download
    2

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: DEPRESI PADA POST INFARK MIOKARDIUM Wika Hanida Lubis

1

DEPRESI PADA POST INFARK MIOKARDIUM

Wika Hanida Lubis, Habibah Hanum Nasution, Billy Siahaan

Divisi Psikosomatis, Departemen Ilmu Penyakit Dalam

FK – USU/ RSUP. H. Adam Malik Medan / RS PIRNGADI

1. Pendahuluan

Depresi pada penyakit kardiovaskular merupakan hal yang umum , persisten , kurang

dikenali dan mematikan. Selama dua dekade terakhir , peneliti menemukan bahwa tidak

hanya depresi lebih sering terjadi pada pasien kardiak dibandingkan populasi umum, tetapi

depresi juga merupakan faktor resiko terhadap morbiditas dan mortalitas dari pasien dengan

gangguan kardiovaskular secara independen terhadap faktor resiko tradisional kardiak.

Hubungan antara depresi dan morbiditas kardiak tampaknya melibatkan keduanya efek

fisiologi dan perilaku dari orang dengan depresi.1

Lebih kurang 65 % pasien dengan infark miokard akut ( IMA) melaporkan

pengalaman gejala depresi . Kebanyakan depresi terjadi pada 15 – 22 % dari pasien – pasien

ini. Depresi merupakan faktor resiko independen terhadap perkembangan dan mortalitas

sehubungan dengan penyakit kardiovaskular dalam keadaan lain pada orang sehat . Orang

yang mengalami depresi dan yang memiliki penyakit kardiovaskular sebelumnya memiliki

resiko kematian 3.5 kali lebih besar dibandingkan pasien yang tidak depresi dan memiliki

penyakit kardiovaskular .2

Meskipun begitu tampaknya gangguan depresi sering tidak terdiagnosa dan diobati

pada pasien – pasien dengan penyakit kardiovaskular. Diperkirakan bahwa hanya 25 % atau

kurang dari pasien- - pasien kardiovaskular dengan depresi mayor didiagnosa dengan depresi,

dan hanya sekitar 50 % dari pasien – pasien ini mendapatkan pengobatan untuk depresi.3

Untuk itu tulisan ini mencoba memberikan pengenalan terutama mengenai pendekatan

diagnostik serta penanganan depresi pada pasien pasien dengan kejadian infark miokardium

sebelumnya.

2. Prevalensi

Depresi memiliki prevalensi tinggi pada pasien dengan gangguan kardiovaskular.

Sekitar 31 – 45 % pasien dengan penyakit jantung koroner (CAD) , termasuk CAD stabil ,

Page 2: DEPRESI PADA POST INFARK MIOKARDIUM Wika Hanida Lubis

2

angina tidak stabil atau infark miokardium mengalami gejala depresi klinis yang signifikan .

Lebih jauh , 15 -20 % pasien – pasien dengan infark miokardium memiliki kriteria

gangguan depresi mayor ( MDD) dimana nilai rerata MDD ini mencapai 3 kali lebih tinggi

dibandingkan populasi umum dan hal ini sama seperti yang terjadi pada pasien – pasien

dengan gagal ginjal kronis dan kanker.4 Sementara itu dari literatur keilmuwan mengatakan

bahwa persentase berkisar 14 – 47 % pasien – pasien dengan penyakit jantung iskemik

menderita gejala depresi , dimana populasi umum berkisar 4 – 7 %.5

3. Faktor Resiko

Terdapat beberapa inkonsistensi di literatur , dimana beberapa faktor resiko untuk

terjadinya depresi pada pasien – pasien kardiak. Kebanyakan studi menemukan pasien

dengan usia muda, wanita , dan pasien dengan riwayat depresi sebelumnya tampak lebih

memungkinkan memiliki depresi dalam konteks penyakit kardiovaskular. Pada pasien

dengan sindrom koroner akut ( ACS) , sebagai tambahan faktor sebelumnya diantaranya

isolasi sosial dan dalam beberapa kasus adanya komorbid diabetes juga meningkatkan resiko

depresi. Pada pasien dengan coronary arterial bypass graft (CABG) , depresi pre – CABG

diprediksi oleh gender wanita, usia muda , tinggal sendiri , dan edukasi yang kurang dan

depresi post – CABG tampaknya menjadi prediktor terbaik untuk terjadinya gejala depresi.6,7

4. Hubungan Depresi dan infark miokardium

Hubungan antara depresi dan infark miokardium telah diketahui, tetapi mekanisme

yang menjelaskan kejadian depresi setelah kejadian infark miokardium masih belum jelas.

Reaksi psikologis pasien setelah kejadian infark miokard akut dapat menyebabkan terjadinya

post miokardial infark depresi (PMID). Pasien dengan pemikiran repetitif mengenai aspek

negatif dari pengalaman IMA memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan mereka

dengan pemikiran positif. Telah diketahui bahwa kerusakan neuron membawa pada gejala

depresi dan diperlihatkan bahwa pada IMA protein S100B, penanda dari kerusakan cerebral ,

meningkat setelah kejadian IMA yang mensugestikan bahwa IMA menyebabkan kerusakan

cerebral. Pengeluran sitokin – sitokin inflamasi seperti Tumor Necrosis factor – alfa ( TNF

– alfa) juga dapat menyebabkan terjadinya PMID. TNF-alfa tampaknya meningkatkan

permeabilitas vaskular pada daerah korteks prefrontal dan lebih berat lagi pada daerah

korteks Cingulate anterior setelah kejadian IMA. Inflamasi dapat membawa pada kerusakan

jaringan neuron melalui aktifasi jalur ekstrinsik proses apoptosis. Inhibisi dari TNF – alfa

membawa pada pelemahan proses apoptosis. Adanya tingkah laku depresi pada infark

Page 3: DEPRESI PADA POST INFARK MIOKARDIUM Wika Hanida Lubis

3

miokard pada tikus berhubungan dengan peningkatan protein apoptosis dan mengindikasikan

kerentanan untuk terjadinya kematian neuron pada korteks prefrontal dan hipotalamus.8

Gambar 1. Infark miokardium menginduksi peningkatan sitokin proinflamasi di sirkulasi dan

sistem limbik.9

Beberapa mekanisme lain yang juga sempat dikemukakan diantaranya mekanisme

hipotalamus pituitary axis , dan neurotropik faktor tampaknya juga berperan dalam kejadian

depresi pada pasien – pasien dengan infark miokardium.9

5. Proses Pro Inflamasi dan Infark Miokardium

Iskemia terjadi ketika aliran darah arteri koroner terganggu, dimana mengarah pada

perubahan reversible pada level selular ( pembengkakan matrix mitokondria, akumulasi

cairan intraselular , dsb) . Jika Iskemia persisten, akan terjadi kerusakan ireversibel dan

berafek pada integrasi membran dan substansi intraseluler dilepaskan, hal ini berakibat

Page 4: DEPRESI PADA POST INFARK MIOKARDIUM Wika Hanida Lubis

4

terjadinya reaksi inflamasi yang berhubungan dengan influx signifikan dari neutrophil pada

miokardial iskemik dan akhirnya akan diganti oleh makrofag. Setelah periode iskemia yang

lebih lama, hampir seluruh sel memperlihatkan daerah iskemi akan mati yang akan

menyebabkan gagal jantung jika kerusakan miokardial meluas. MI akut berhubungan dengan

tingginya produksi sitokin proinflamasi seperti TNF –α , IL-1β , IL-6 dan IL-6 dimana

nantinya sitokin –sitokin ini berperan dalam gejala – gejala depresi.10

6. Depresi post infark miokardium dan apoptosis

Otak post mortem pada pasien depresi menunjukkan fragmentasi DNA dan apoptosis

neuronal , mensugestikan peningkatan kerentanan neuronal pada depresi. Hilangnya neuron

dan penurunan neurogenesis juga telah diobservasi pada model hewan dengan gangguan

mood. Penurunan volume hippocampus , amygdala dan korteks prefrontal merupakan salah

satu tanda neuropatologi yang dideskripsikan pada depresi dimana apoptosis memainkan

peranan . Kematian sel neuronal mungkin terjadi via 2 mekanisme : 1. Bentuk akut , atau

nekrosis yang cepat dan 2. Melalui apoptosis.

Sel – sel apoptosis berkarakteristik dengan reduksi volume , pengkerutan sitoplasmik,

fragmentasi DNA , pembulatan sel. Sel apoptotik pada akhirnya akan pecah kedalam

membran yang terdiri dari badan apoptotik , dimana dapat difagositik oleh sel fagosit.10

7. Apoptosis pada sistem limbik setelah infark miokardium

Apoptosis telah diobservasi pada sistem limbic setelah infark miokardium. Dimana

apoptosis sel didapatkan terutama di daerah amyglada yang ditandai dengan peningkatan

caspase -3 , suatu efektor yang berhubungan dengan regulasi protein – protein inhibitor

apoptosis. Setelah 3 hari post MI, caspase – 3 dan 8 teraktivasi pada hippocampus dan regio

amyglyda. 10

8. Sitokin , depresi dan Post Infark Miokardium

Dikatakan bahwa sitokin pro inflamasi terlibat dalam patofisiologi depresi pada post

infark miokardium. Sitokin memiliki efek pielotropik tidak hanya pada sistem imun tetapi

juga pada sistem saraf pusat. Mereka berkontribusi terhadap respon imun tubuh dan

Page 5: DEPRESI PADA POST INFARK MIOKARDIUM Wika Hanida Lubis

5

membantu meregulasi homeostasis dan mediasi inflamasi. Sitokin berikatan dengan reseptor

pada konsentrasi pikomolar sampai nanomolar untuk mengaktifasi dan memodulasi fungsi

selular dan jaringan. Reseptor sitokin memiliki struktur berbeda pada sistem limbic. Sebagai

contoh, reseptor IL-1 ditemukan di hipotalamus dan hipokampus; IL-6 berlokasi di

hipokampus , hipotalamus , girus dentate dan korteks piriform ; TNF berlokasi di

hipokampis, kortex , amyglada , ganglia basalis dan mengekspresi oligodendrocytes.10

Pada tikus , sitokin proinflamasi menginduksi perilaku sickness menyangkut aspek

depresi seperti penurunan nafsu makan , penurunan berat badan , fatik , hilangnya libido ,

gangguan tidur dan penurunan kontak sosial. Pada manusia pemberian langsung sitokin

proinflamasi seperti TNF – alfa , INF – gamma , IL-1β , membawa pada gejala depresi

seperti fatik , letargi , hilangnya nafsu makan , retardasi psikomotor dan gangguan tidur. Aksi

potensial lain dari sitokin proinflamasi adalah aksi dari indoleamine 2,3-dioxygenase ( IDO)

; suatu enzim yang diinduksi oleh sitokin proinflamasi ( IL-1 , IFN - ɤ , TNF –α) dan terkait

dengan katabolisme triptofan , suatu precursor serotonin, sehingga menurunkan sintesis dan

ketersediaan serotonin diotak.10

9. Mekanisme terkait axis hipotalamus – pituitari – adrenal

Regulasi Hipotalamus – pituitary adrenal (HPA) axis memiliki peranan mayor dalam

homeostasis metabolik dan overaktifasi oleh stress terkait dengan efek yang merusak pada

otak. Disregulasi axis HPA merupakan bagian dari patofisiologi depresi. Deskripsi klasik axis

HPA menyangkut 3 komponen utama :

1. Hipotalamus , yang mengsekresi corticotropin-releasing hormone (CRH) pada situasi stres

2. Kelenjar pituitary yang bereaksi pada CRH melalui produksi growth hormone , prolactin

dan ACTH

3. Kelenjar adrenal yang bereaksi pada ACTH melalui produksi dan pelepasan

glukokortikoid, terutama kortisol pada manusia dan kortikosteron, epinefrin dan norepinefrin.

Mekanisme umpan balik membuat hipotalamus mampu memonitor level kortisol

darah dan menginhibisi pengeluaran CRH ketika level kortisol terlalu tinggi, pada depresi ,

mekanisme umpan balik ini dapat terganggu sehingga CRH tetap dilepaskan meskipun

sejumlah besar kortisol di sirkulasi. Hiperaktifitas dari HPA axis akan menyebabkan depresi

oleh karena disregulasi glukokortikoid dapat berafek pada region otak melibatkan

Page 6: DEPRESI PADA POST INFARK MIOKARDIUM Wika Hanida Lubis

6

patofisologi depresi. Aktifasi reseptor glukokortikoid oleh agonis dexametason menginduksi

apoptosis pada neuron, sedangkan aktifasi reseptor mineralokortikoid akan cenderung

menginduksi pertahanan neuronal. Hipotesis yang menjelaskan efek antidepresan pada HPA

bahwa pengobatan dapat meningkatkan ekspresi dan fungsi reseptor glukokortikoid dan

mempromosikan translokasi nuklear. Sedangkan pada reseptor mineralokortikoid tidak

berpengaruh. Pemberian SSRI akan menyebabkan peningkatan mRNA pada reseptor

glukokortikoid pada berbagai jaringan dan neuron. Depresi terkait dengan peningkatan

sekresi IL-1β, TNF –α dan IFN –α. Hiperaktifitas axis HPA akan sejalan dengan fenomena

ini dan selanjutnya sitokin – sitokin ini akan mengaktifasi axis HPA.10

10. Pendekatan Diagnostik

Meskipun tersedia pengobatan yang efektif dan aman untuk depresi pada pasien –

pasien kardiak, depresi masih sering tidak dikenali dan diterapi . Satu studi pasien – pasien

dengan post infark miokard, kurang dari 15 % pasien depresi yang diidentifikasi akurat dan

hanya 11 % mendapatkan pengobatan antidepresan. Oleh karena peningkatan morbiditas dan

mortalitas sehubungan dengan depresi maka menjadi penting bagi klinisi untuk secara

konsisten mengidentifikasi depresi pada pasien- pasien dengan IMA.11

11. Penyaringan

Penyaringan rutin pada pasien – pasien kardiak terhadap depresi menjadi salah satu

cara yang potensial memperbaiki deteksi depresi pada populasi ini. American Heart

Association ( AHA) merekomendasikan penyaringan menggunakan 2 dan 9 item Patient

Health Questionnaires ( PHQ -2 dan PHQ 9 ). Dimana PHQ-2 memberi keterangan terhadap

adanya dan frekuensi mood depresi dan anhedonia, sedangkan PHQ-9 mencakup pertanyaan

tentang 9 kriteria diagnostic untuk MDD ( 2 dari pertanyaan ertama pada PHQ 9 adalah

PHQ2). Kedua alat penyaringan ini memberi efisiensi waktu dan memiliki potensial integrasi

pada evaluasi standar pasien rawat jalan dan rawat inap.11

Lebih jauh , peningkatan skor dalam skala ini memiliki nilai prognostik ; sebagai

contoh , penyaringan positif mengunakan 2 langkah metode ini secara bebas berhubungan

dengan kejadian kardiak subsekuen pada pasien rawat jalan dengan penyakit jantung koroner

( CAD) , dan PHQ-2 yang positif berhubungan dengan mortalitas subsekuen pada pasien

dengan gagal jantung.11

Page 7: DEPRESI PADA POST INFARK MIOKARDIUM Wika Hanida Lubis

7

Minimal PHQ – 2 memiliki 2 pertanyaan yang direkomendasikan untuk

mengidentifikasi pasien – pasien depresi (Tabel 1). Jika jawabannya “YA” untuk salah satu

atau kedua pertanyaan , direkomendasikan untuk menanyakan seluruh item pada PHQ-9.

Kebanyakan pasien dapat menyelesaikan kuesioner ini tanpa bantuan sekitar 5 menit atau

kurang.12,13 Keduanya menghasilkan diagnosis depresi sementara dan skor keparahan yang

dapat digunakan untuk seleksi dan monitoring pengobatan.Pada pasien dengan gejala ringan ,

follow up selama subsekuen kunjungan dianjurkan. 12,13

Tabel 1. Patient Health Questionnaire – 2 ( PHQ-2) 12

Tabel 2. Patient Health Questionnaire 9 ( PHQ-9) 12

Page 8: DEPRESI PADA POST INFARK MIOKARDIUM Wika Hanida Lubis

8

Gambar 2. Penyaringan Depresi pada pasien dengan Penyakit Jantung Koroner 13

12. Diagnosis

Page 9: DEPRESI PADA POST INFARK MIOKARDIUM Wika Hanida Lubis

9

Pada pasien dengan hasil positif dilanjutkan dengan penegakan diagnosa depresi pada

pasien kardiak. Kontroversi signifikan tampaknya masih ada terkait hal ini. Hal ini terutama

pada pasien dengan kejadian kardiak akut. Pasien ini kemungkinan memiliki ansietas yang

signifikan dan mood depresi transient yang segera mengikuti kejadian kardiak tetapi mungkin

tidak berkembang menjadi MDD. Lebih jauh gejala terkait kejadian kardiak ( fatik ,

konsentrasi yang buruk, penurunan nafsu makan) mungkin tumpang tindih secara signifikan

dengan gejala klinis depresi . Sebagai hasilnya, beberapa berpendapat untuk memperlama

jumlah waktu yang dibutuhkan untuk episode depresi untuk mengidentifikasi pasien dengan

kejadian kardiak akut , atau untuk mengeksklusikan gejala somatik yang mungkin akibat dari

penyakit kardiak.14

Meskipun begitu studi pada umumnya tetap merekomendasikan penggunaan kriteria

DSM IV ( termasuk kriteria durasi 2 minggu) untuk diagnosis depresi, meskipun pada pasien

yang memiliki kejadian kardiak. Diagnosis gangguan depresi mayor membutuhkan adanya 5

atau lebih gejala seperti yang direkomendasikan oleh DSM IV : 15

1. Mood depresi

2. Berkuranganya minat yang nyata atau kesenangan pada hampir seluruh aktivitas

3. Penurunan berat badan yang signifikan atau penurunan atau peningkatan nafsu makan

4. Insomnia atau hiperinsomnia

5. Agitasi psikomotor atau retardasi

6. Fatik atau hilangnya energi

7. Perasaan tidak berharga atau berlebihan atau rasa bersalah yang tidak tepat

8. Hilangnya kemampuan untuk berpikir atau konsentrasi atau keraguan

9. Pemikiran untuk mati yang rekuren, ide bunuh diri atau usaha bunuh diri

Gejala ini harus ada hampir setiap hari selama 2 minggu dan salah satu gejala mood

depresi atau hilangnya ketertarikan atau kesenangan dalam aktifitas. Gejala ini harus

merepresentasikan perubahan dari fungsional sebelumnya yang menyebabkan gangguan

sosial , pekerjaan , atau gangguan hidup lainnya , dan hal ini tidak boleh secara langsung

sebagai hasil penggunaan narkoba , kondisi medis atau kematian. Untuk membantu ingatan

dapat dilihat SIG E CAPS + mood (Tabel 3) dapat digunakan untuk mengingat kriteria ini.15

Tabel 3. Singkatan untuk kriteria depresi15

Page 10: DEPRESI PADA POST INFARK MIOKARDIUM Wika Hanida Lubis

10

13. Tatalaksana

Pilihan pengobatan untuk tatalaksana depresi pada umumnya termasuk obat – obat

anti depresan, terapi perilaku kognitif dan aktifitas fisik seperti latihan aerobic dan

rehabilitasi kardiak masih menjadi pilihan.16

13.1 Obat anti depresan

Meskipun penggunaan anti depresan berhubungan dengan keduanya peningkatan dan

penurunan resiko kardiak pada beberapa studi epidemiologi. Suatu uji coba klinis acak

mendemonstrasikan bahwa 2 anti depresan selective serotonin reuptake inhibitor ( SSRI) ,

sertraline dan citalopram , aman pada pasien dengan penyakit jantung coroner dan efektif

untuk moderat – berat atau depresi rekuren. Suatu non randomisasi post hoc analisa studi

Enhancing Recovery in Coronary Heart Disease Patients ( ENRICHD) mendapatkan bahwa

pasien yang diterapi dengan SSRI , apakah diberikan terapi perilaku kognitif atau layanan

biasa , memperoleh penurunan 42 % kematian atau rekurensi MI dibandingkan dengan pasien

– pasien depresi yang tidak mendapatkan anti depresan. Pengobatan dengan SSRI segera

setelah IMA tampak aman dan relatif tidak mahal dan mungkin efektif pada depresi post MI.

Tampaknya tepat untuk menyaring dan mengobati depresi. Tidak hanya pengobatan

memperbaiki mood dan kualitas hidup , tetapi studi –studi menunjukkan bahwa depresi

mempengaruhi kepatuhan dan pengobatan gejala depresi dapat memperbaiki kepatuhan

pengobatan pada pasien setelah IMA.16

Sertraline dan citalopram merupakan anti depresan lini pertama untuk pasien dengan

penyakit jantung koroner. Pasien dengan depresi rekuren yang sebelumnya toleransi dan

berespon baik terhadap anti depresan lain mungkin dapat melanjutkan dengan obat itu kecuali

Page 11: DEPRESI PADA POST INFARK MIOKARDIUM Wika Hanida Lubis

11

dikontraindikasikan. Sebagai contoh , anti depresan trisiklik dan monoamine oxidase

inhibitor dikontradindikasikan pada pasien dengan penyakit jantung karena efek samping

kardiotoksiknya. Bila pengobatan farmakologi diinisiasi, pasien harus diobservasi secara

ketat dalam 2 bulan pertama dan secara regular sesudahnya untuk memantau resiko bunuh

diri, memastikan kepatuhan pengobatan dan mendeteksi dan menatalaksana efek merugikan.

Sekitar 15 -25 % pasien – pasien memberhentikan antidepresannya selama 6 bulan pertama

pengobatan oleh karena efek samping atau kurangnya efikasi. Oleh karena itu interaksi obat

yang potensial atau efek samping harus dimonitoring secara ketat.16

Pengobatan antidepresan dipertimbangkan pada kondisi : 17

1. Depresi berat

2. Depresi kronis atau rekuren

3. Adanya gejala psikotik

4. Respon sebelumnya terhadap medikasi positif

5. Adanya riwayat keluarga depresi

6. Pasien tidak dapat melakukan aktifitas yang dibutuhkan untuk psikoterapi

Ketika memilih antidepresan pertimbangkan point STEPS , Keamanan ( Safety),

kemampuan toleransi ( Tolerability) , Efikasi , Biaya ( Payment) , dan Sederhana (

Simplicity). Kombinasi terapi perilaku kognitif dan medikasi mungkin yang paling tepat

ketika gejala depresi berat, kronis , gagal membak dengan salah satu terapi sendiri , dan jika

adanya masalah psikososial signifikan.17

13.2 Terapi perilaku kognitif

Terapi psikosial paling efektif untuk pasien depresi pada infark miokardium adalah

terapi perilaku kognitif. Terapi ini menerima pasien yang berpartisipasi aktif pada pengobatan

dan interaksi resiprokal terjadi melalui 5 elemen kunci terapi yaitu lingkungan , pikiran ,

emosi , perilaku dan fisiologi.17

Terapi perilaku kognitif dapat menguntungkan bagi pasien kardiak dengan depresi.

Terapi ini dapat menjadi alternatif pada pasien yang tidak dapat mentoleransi antidepresan

atau lebih menyukai terapi non farmakologi atau pendekatan konseling. Juga, banyak pasien

Page 12: DEPRESI PADA POST INFARK MIOKARDIUM Wika Hanida Lubis

12

dengan depresi sedang sampai berat berespon lebih baik terhadap kombinasi antidepresan dan

psikoterapi daripada salah satu terapi sendirian. Rujukan kepada psikoterapis yang

berkualifikasi dibutuhkan. ENRICHD , uji kontrol acak pada setidaknya 12 – 16 sesi terapi

perilaku kognitif selama 12 minggu didapatkan remisi untuk depresi sedang dan berat. Pada

praktis klinis , durasi dan frekuensi dapat disesuaikan dengan memperlakukan terapis untuk

bertemu dengan kebutuhan individual pasien dimana beberapa pasien lebih memilih dan

dapat melakukan dengan baik dengan regimen intensif yang lebih sedikit.17-19

Penggunaan terapi perilaku kognitif harus dipertimbangkan pada kondisi : 17

1. Depresi yang tidak berat

2. Depresi tidak kronis

3. Gejala psikotik tidak dijumpai

4. Respon sebelumnya terhadap terapi perilaku kognitif cukup positif

5. Tersedianya pelayanan terapi perilaku kognitif

6. Kontraindikasi terhadap pengobatan

7. Perbaikan tidak diperoleh dengan obat-obatan sendiri

8. Adanya keadaan psikososial kompleks

13.3 Latihan / aktifitas fisik

Latihan aerobik dan rehabilitasi kardiak dapat menurunkan gejala depresi sebagai

tambahan perbaikan kebugaran kardiovaskular. Meskipun depresi dapat menjadi penghambat

partisipasi dari rehabilitasi kardiak dan program latihan, kita dapat membantu pasien depresi

yang datang dengan barrier dengan menyediakan encouragement dan kontak untuk follow-

up. Mereka harus mendapat pertolongan pasangan , teman atau keluarga untuk memperbaiki

kepatuhan. Kegiatan latihan membutuhkan penilaian individu berbasis status kardiak dan

kapasitas latihan dari individu.20

Panduan depresi untuk populasi pelayanan primer mendapatkan bahwa pengobatan

agen farmakologi yang tepat vs intervensi perilaku sama efektifnya. Kombinasi keduanya

memiliki keuntungan menurunkan rerata relaps. Tidak ada bukti bahwa pengobatan untuk

depresi berbeda efektifitasnya pada pasien kardiak vs pasien lain. Tidak ada bukti langsung

Page 13: DEPRESI PADA POST INFARK MIOKARDIUM Wika Hanida Lubis

13

menunjukkan bahwa pengobatan depresi memperbaiki keluaran kardiak ; pasien masih

memiliki resiko kejadian kardiak mayor dan mortalitas meskipun telah diterapi untuk depresi.

Bukti mensugesti bahwa pasien depresi yang tidak respon terhadap pengobatan untuk depresi

memiliki resiko lebih untuk kejadian kardiak yang merugikan. Pasien depresi juga

membutuhkan tatalaksana klinis tambahan untuk memastikan kepatuhan dengan regimen

pengobatan kardiak dan untuk promosi perubahan perilaku gaya hidup.20

Tabel 4. Efek obat – obat Anti Depresi terhadap Jantung 18

Tabel 5. Interaksi Obat 18

14. Prognosis

Page 14: DEPRESI PADA POST INFARK MIOKARDIUM Wika Hanida Lubis

14

Studi Meta-analisa mendapatkan bahwa pasien dengan depresi post infark

miokardium berhubungan dengan 2 – 2.5 kali resiko peningkatan keluaran yang buruk

gangguan kardiovaskular. Studi di India menemukan keduanya penurunan rerata depresi dan

kejadian kardiak pada pasien depresi pada post infark miokardium yang mendapatkan

pengobatan antidepresan. Studi ENRICHD menemukan penurunan 43 % pada kematian , MI

tidak fatal dan seluruh penyebab mortalitas pada pasien yang mendapatkan SSRI.20

15. Kesimpulan

Depresi pada penyakit kardiovaskular merupakan hal yang umum , persisten , kurang

dikenali dan mematikan. Tetapi gangguan depresi sering tidak terdiagnosa dan diobati pada

pasien – pasien dengan penyakit kardiovaskular. Penyaringan rutin pada pasien – pasien

kardiak terhadap depresi menjadi salah satu cara yang potensial memperbaiki deteksi depresi

ini . Inflamasi dan produknya menjadi komponen penting terjadinya depresi pada post infark

miokardium. SSRI merupakan pengobatan lini pertama pada pasien depresi dengan Infark

miokardium . Pasien depresi juga membutuhkan tatalaksana klinis tambahan untuk

memastikan kepatuhan dengan regimen pengobatan kardiak dan untuk promosi perubahan

perilaku gaya hidup.

Page 15: DEPRESI PADA POST INFARK MIOKARDIUM Wika Hanida Lubis

15

Daftar Pustaka

1. Huffman JC, Celano CM, Beach SR . Depression and Cardiac Disease: Epidemiology,

Mechanisms, and Diagnosis. Cardiovascular Psychiatry and Neurology.2013 ;13 123-28

2. Musselman DL, Evans DL, Nemeroff CB. The relationship of depression to cardiovascular

disease: epidemiology, biology, and treatment. Arch Gen Psychiatry 1998;55:580-92.

3. Rojo. Pathogenesis of depression after myocardial infarction: rationale, state of the art and

perspectives.

4. P. J. Tully , R. A. Baker, “Depression, anxiety, and cardiac morbidity outcomes after

coronary artery bypass surgery: a contemporary and practical review,” Journal of Geriatric

Cardiology, vol. 9, no. 2, pp. 197–208, 2012.

5. Van Melle JP, de Jong P, Spijkerman TA, et al. Prognostic association of depression

following myocardial infarction with mortality and cardiovascular events: a meta-analysis.

Psychosom Med 2004;66:814–22.

6. G. Magyar-Russell, B. D. Thombs, J. X. Cai et al., “The prevalence of anxiety and

depression in adults with implantable cardioverter defibrillators: a systematic review,”

Journal of Psychosomatic Research, vol. 71, no. 4, pp. 223–231, 2011

7. V. Freedenberg, SA. Thomas, and E. Friedmann, “Anxiety and depression in implanted

cardioverter-defibrillator recipients and heart failure: a review,” Heart Failure Clinics, vol. 7,

no. 1, pp. 59–68, 2011.

8. Kaloustian S, Bah TM, Rondeau I, Mathieu S, Lada -Moldovan L, Ryvlin P, Godbout R,

Rousseau G . Tumor necrosis factor –alpha participates in apoptosis in the limbic system

after myocardial infarction. Apoptosis. 2009 29; 14(1):1308 -16.

9. Guy R, Bah TM, Godbout R.Post-Myocardial Infarction Depression. Intech .2012. Dapat

Diunduh dii www.intechopen.com

10. Guy R ,Thierno Madjou Bah TM Roger Godbout R. Post-Myocardial Infarction

Depression in : Novel Strategies in Ischemic Heart Disease.2012. tersedia di

www.intechopen.com

11. B. L. Rollman, B. H. Belnap, S. Mazumdar et al., “A positive 2-item patient health

questionnaire depression screen among hospitalized heart failure patients is associated with

elevated 12-month mortality,” Journal of Cardiac Failure, vol. 18, no. 3, pp. 238–245, 2012.

12. Gilbody S, Richards D, Brealey S, Hewitt C. Screening for depression in medical settings

with the Patient Health Questionnaire (PHQ): a diagnostic meta-analysis. J Gen Intern Med.

2007;22:1596 –1602.

Page 16: DEPRESI PADA POST INFARK MIOKARDIUM Wika Hanida Lubis

16

13. McManus D, Pipkin SS, Whooley MA. Screening for depression in patients with

coronary heart disease (data from the Heart and Soul Study). Am J Cardiol. 2005;96:1076 –

1081

14. Y. W. Leung, D. B. Flora, S. Gravely, J. Irvine, R. M. Carney, and S. L. Grace, “The

impact of premorbid and postmorbid depression onset on mortality and cardiac morbidity

among patients with coronary heart disease: meta-analysis,” Psychosomatic Medicine, vol.

74, no. 8, pp. 786–801, 201

15. American Psychiatric Association. Task Force on DSM-IV. Diagnostic and statistical

manual of mental disorders. 4th ed. Washington, D.C.: American Psychiatric Association,

1994.

16. Lespérance F, Frasure-Smith N. Depression in patients with cardiac disease: a practical

review. J Psychosom Res. 2000;48:379 –391.

17. United States Department of Health and Human Services, Public Health Service, Agency

for Health Care Policy and Research. Depression in primary care. Vol 2. Detection and

diagnosis. Rockville, Md.: Government Printing Office, 1993: AHCPR publication no. 93-

0550.

18. Roose SP, Laghrissi-Thode F, Kennedy JS, Nelsen JC, Bigger JT Jr., Pollock BG, et al.

Comparison of paroxetine and nortriptyline in depressed patients with ischemic heart disease.

JAMA 1998;279:287-91

19.Thase ME, Friedman ES, Biggs MM, Wisniewski SR, Trivedi MH, Luther JF, Fava M,

Nierenberg AA, McGrath PJ, Warden D, Niederehe G, Hollon SD, Rush AJ. Cognitive

therapy versus medication in augmentation and switch strategies as second-step treatments: a

STAR report. Am J Psychiatry. 2007;164:739 –752.

20. Carney RM, Blumenthal JA, Freedland KE, Youngblood M, Veith RC, Burg MM,

Cornell C, Saab PG, Kaufmann PG, Czajkowski SM, Jaffe AS; ENRICHD Investigators.

Depression and late mortality after myocardial infarction in the Enhancing Recovery in

Coronary Heart Disease (ENRICHD) study. Psychosom Med. 2004;66:466–474.