Upload
muhammad-ikbar
View
36
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
dermatitits atopik merupakansalah satu penyakit yang paling sering dijumpain
Citation preview
PENDAHULUAN
Dermatitis atopik (DA) merupakan inflamasi pada kulit yang bersifat kronik
berulang yang disertai dengan rasa gatal dan sering terjadi pada anak-anak dan
dewasa. Dermatitis atopik sering dikaitkan dengan peningkatan Imunoglobulin E
(IgE) dan penyakit atopi lainnya seperti rhinitis alergik dan asma. Dermatitis
atopik disebut juga dengan ekzema atopik.1
Dermatitis atopik merupakan salah satu penyakit kulit yang paling umum
yang mempengaruhi hingga 20% pada anak-anak dan 1-3% pada orang dewasa di
sebagian besar negara dari dunia. DA sering merupakan dampak utama dalam
perkembangan penyakit atopik lain seperti rhinitis dan/atau asma.2 Angka
prevalensinya meningkat pesat pada dekade terakhir. Di Indonesia tahun 2012
terdapat 1,1 % pasien dermatitis atopik berusia 13-14 tahun. Sedangkan tahun
2013 dari laporan 5 rumah sakit yang melayani dermatologi anak yaitu Dr. Hasan
Sadikin Bandung, RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, RS Adam Malik Medan,
RS Dr. Kandou Manado, RSU Palembang dan RSUD Sjaiful Anwar malang
tercatat sejumlah 261 kasus diantara 2356 pasien baru (11,8%). 3
Penyebab terjadinya DA merupakan hasil interaksi kompleks antara
kelainan genetik yang menyebabkan terjadinya gangguan sawar kulit, gangguan
pada sistem imun bawaan dan respon imunologik yang meningkat terhadap
alergen. Terdapat dua jenis bentuk DA, yakni bentuk ekstrinsik (Ig-E associated)
dan bentuk intrinsik (non Ig-E associated). Pada bentuk ekstrinsik terjadi
sensitisasi terhadap alergen lingkungan yang disertai dengan peningkatan serum
IgE, sedangkan bentuk intrinsik terjadi sensitisasi terhadap alergen lingkungan
disertai dengan serum IgE yang rendah.2
Terapi DA membutuhkan pendekatan sistematis dan multifaktorial yang
merupakan kombinasi hidrasi kulit, terapi farmakologis, identifikasi dan eliminasi
faktor penyebab seperti iritan, alergen, agen infeksi, dan stres emosional yang
bersifat individual. Agen topikal digunakan untuk terapi penyakit yang
terlokalisasi dan ringan, sedangkan fototerapi dan agen sistemik digunakan untuk
yang lebih luas dan berat 4
1
Dermatitis atopik dapat dimasukkan dalam kelompok kelainan yang
responsif terhadap steroid. Steroid adalah senyawa antiinflamasi kuat yang
merupakan hormon endogen yang dihasilkan oleh korteks adrenal. Pembuatan
bahan sintetik analog steroid telah berkembang dengan pesat dan merupakan
terapi utama pada dermatitis. Dalam pemberian kortikosteroid ini, sangat penting
diperhatikan indikasi dan kontraindikasi, serta pemilihan jenis kortikosteroid.
Dalam hal potensi disesuaikan dengan lokasi kelainan, kondisi klinis dan usia
pasien. Umumnya, karena penggunaan steroid yang tepat akan segera memberikan
perbaikan klinis, maka pasien sering mengulang terapi sendiri. Bagi pasien
dermatitis dengan hipertensi, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan,
terutama penggunaan kortikosteroid sistemik. Sebagian besar pasien dengan
hipertensi memiliki gangguan pada korteks adrenal, sehingga terapi kortikosteroid
juga akan mempengaruhi kondisi hipertensi yang telah ada, meskipun hal ini masih
menimbulkan kontroversi. 6 Untuk itu, mengingat berbagai efek samping yang
dapat terjadi, diharapkan para dokter bersedia meluangkan waktu untuk
memberikan penjelasan bagi pasien atau keluarga dengan sebaik-baiknya.5,6
2
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Dernatitis atopik merupakan penyakit inflamasi pada kulit yang bersifat
kronik berulang yang disertai dengan rasa gatal dan dapat terjadi pada anak-anak
dan dewasa. Dermatitis atopik sering dikaitkan dengan peningkatan
imunoglobulin E (IgE) dan penyakit atopi lainnya seperti rhinitis alergik dan
asma.1
Etiologi
Etiologi pasti DA belum sepenuhnya diketahui. Dalam etiopatofisiologi
dari DA beberapa aspek harus dipertimbangkan. Selain pengaruh faktor genetik
yang berperan, ada karakteristik lain yang berperan dalam terjadinya DA yaitu:
1. Fungsi sawar kulit (seperti kulit kering) yang abnormal akibat metabolisme
lipid dan/atau epidermis yang abnornal pada kulit, seperti defisiensi
inhibitor protease.
2. Kolonisasi mikroba abnormal dengan organisme patogen seperti
Staphylococcus aureus atau Malassezia furfur dan selanjutnya
meningkatkan kecenderungan menjadi infeksi kulit.
3. Pengaruh psikosomatis yang kuat dengan ketidakseimbangan dalam sistem
saraf otonom yang mengakibatkan peningkatan produksi mediator dari
berbagai sel inflamasi.2
Epidemiologi
Dermatitis atopik merupakan penyakit kulit yang paling umum pada
penyaki alergi, yang mempengaruhi 1- 20% dari populasi. Prevalensinya
mencapai 80% kasus pada anak di bawah 2 tahun. Tidak ada perbedaan antara
jenis kelamin di tahun-tahun pertama kehidupan, tetapi yang paling sering pada
wanita (60%) dibandingkan pada laki-laki (40%) setelah berusia 6 tahun.
Dermatitis atopik ini biasanya cenderung untuk mengalami kekambuhan sebelum
usia 5 tahun pada 40-80 % kasus dan 60- 90% pada usia 15 tahun.7
3
Adanya perbedaan prevalensi dan insidensi dermatitis atopik mungkin
karena berbagai alasan, termasuk kriteria diagnostik yang dipilih di masing-
masing negara. Namun, beberapa badan internasional menggunakan alat
diagnostik yang sama ternyata memiliki perbedaan signifikan, dikarenakan faktor
genetika dan faktor lingkungan.7 Di Indonesia tahun 2012 terdapat 1,1 % pasien
DA berusia 13-14 tahun. Sedangkan tahun 2013 dari laporan 5 rumah sakit yang
melayani dermatologi anak yaitu Dr. Hasan Sadikin Bandung, RS Dr. Cipto
Mangunkusumo Jakarta, RS Adam Malik Medan, RS Dr. Kandou Manado, RSU
Palembang dan RSUD Sjaiful Anwar malang tercatat sejumlah 261 kasus diantara
2356 pasien baru (11,8%). 3
Patofisiologi
Interaksi yang kompleks dari barier kulit, genetik, lingkungan,
farmakologi, dan faktor imunologi. Reaksi hipersensitivitas tipe I (IgE-mediated)
terjadi sebagai akibat dari pelepasan zat vasoaktif dari sel mast dan basofil yang
telah peka oleh interaksi antigen dengan IgE. Peran IgE dalam DA masih belum
sepenuhnya diketahui, namun sel langerhans memiliki afinitas tinggi terhadap
reseptor IgE melalui reaksi yang dimediasi. TH1 dan TH2 berkontribusi pada
peradangan kulit dermatitis atopik. Infiltrasi sel T pada DA dikaitkan dengan
interleukin (IL) 4 dan IL-13, dan peradangan kronis pada DA ditandai dengan
peningkatan IL-5, granulosit-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF),
IL-12 dan interferon (IFN). Dengan demikian, peradangan kulit pada DA
menunjukkan pola bifasik aktivasi sel T.8
Dermatitis atopik adalah penyakit kulit inflamatori dengan gejala gatal yang
terjadi akibat interaksi komplek yang mengakibatkan tidak efektifnya sawar kulit,
kerusakan sistem imun, dan meningkatnya respon imunologik terhadap alergen
dan antigen mikrobial. Menurunnya fungsi sawar kulit akibat penurunan regulasi
gen cornified envelope (filaggrin dan loricrin), penurunan level ceramid,
peningkatan level enzim proteolitik endogen, dan peningkatan kehilangan cairan
trans-epidermal.4
Penggunaan sabun dan detergen ke kulit akan meningkatkan pH, yang
berakibat meningkatkan aktivitas protease endogen, yang selanjutnya menambah
4
kerusakan fungsi sawar kulit. Sawar epidermis dapat pula dirusak oleh pajanan
protease eksogen S aureus. Perubahan epidermis tersebut berpengaruh dalam
meningkatkan absorpsi alergen dan kolonisasi mikrobial ke dalam kulit.4
Sitokin dan Kemokin
Dermatitis atopik akut disertai dengan produksi sitokin dari sel Th2, IL-4
dan IL-13, yang memediasi pergeseran isotip imunoglobulin ke sintesis IgE, dan
upregulasi ekspresi molekul adesi pada sel endotel. Sebaliknya, IL-5 berperan
dalam perkembangan dan kelangsungan hidup eosinofil, dan hal ini dominan pada
DA kronik. Produksi GM-CSF yang meningkat akan menghambat apoptosis
monosit, sehingga berkontribusi dalam persistensi DA. Bertahannya DA kronik
melibatkan pula sitokin sel Th1-like, IL-12 dan IL-18, IL-11, dan TGF-β1. 4
Gambar 1. Patofisiologi Dermatitis Atopik 9
Dermatitis atopik berhubungan erat dengan faktor genetik. DA adalah
penyakit yang diturunkan secara familial dengan pengaruh kuat ibu. Terdapat
peran potensial dari gen barier kulit dan gen respon imun. Hilangnya fungsi akibat
mutasi protein sawar epidermal, terbukti merupakan faktor predisposisi utama
DA. Gen filaggrin terdapat pada kromosom 1q21, yang mengandung gene (loricrin
dan S100 calcium binding proteins) dalam kompleks diferensiasi epidermal, yang
diketahui diekspresikan selama diferensiasi terminal epidermis. Analisis DNA
5
microarray membuktikan adanya upregulasi calcium binding proteins dan
downregulasi loricrin dan filaggrin pada DA. Variasi dalam gen SPINK5 (yang
diekspresikan dalam epidermis teratas) yang menghasilkan LEK1, menghambat 2
serine proteases yang terlibat dalam skuamasi dan inflamasi (tryptic dan chymotryptic
enzymes), mengakibatkan gangguan keseimbangan antara protease dan inhibitor
protease. Ketidakseimbangan tersebut berkontribusi dalam inflamasi kulit pasien DA. 4
Selain respons imun pada kulit di atas, terjadi juga perubahan respons imun
sistemik pada DA, sebagai berikut:10
1. Sintesis IgE meningkat
2. IgE spesifik terhadap alergen ganda meningkat, termasuk terhadap
makanan, aeroalergen, mikroorganisme, toksin bakteri, dan autoalergen
3. Ekspresi CD23 (reseptor IgE berafi nitas rendah) pada sel B dan monosit
meningkat
4. Pelepasan histamin dari basofi l meningkat
5. Respons hipersinsitivitas lambat terganggu
6. Eosinofilia
7. Sekresi IL-1, IL-5, dan IL-3 oleh sel Th2 meningkat
8. Sekresi IFN-γ oleh sel Th1 menurun
9. Kadar reseptor IL-2 yang dapat larut meningkat
10. Kadar CAMP-fosfodiesterase monosit meningkat, disertai peningkatan IL-
10 dan PGE2.
Gejala Klinis
Keluhan gatal adalah gambaran menonjol dari DA, dimanifestasikan
sebagai hiperreaktivitas kulit dan garukan setelah pajanan alergen, perubahan
kelembaban, keringat berlebihan, dan iritan konsentrasi rendah.4
Keluhan gatal dapat intermiten sepanjang hari dan lebih parah menjelang
senja dan malam. Sebagai konsekuensi keluhan gatal adalah garukan, prurigo
papules, likenifikasi, dan lesi kulit eksematosa. Lesi akut ditandai keluhan gatal
intens, papul eritem disertai ekskoriasi, vesikel di atas kulit eritem, dan eksudat
serosa. Lesi subakut ditandai papul eritem, ekskoriasi, skuamasi. DA kronik
6
ditandai oleh plakat kulit tebal, likenifikasi (accentuated skin markings), dan
papul fibrotik (prurigo nodularis). 4
Distribusi dan pola reaksi kulit bervariasi menurut usia pasien dan
aktivitas penyakit. Pada bayi, DA umumnya lebih akut dan terutama mengenai
wajah, scalp, dan bagian ekstensor ekstremitas. Daerah diaper (popok) biasanya
tidak terkena. Pada anak yang lebih tua, dan pada yang telah menderita dalam
waktu lama, stadium penyakit menjadi kronik dengan likenifikasi dan lokalisasi
berpindah ke lipatan fleksura ekstremitas. 4
Gambar 2. Gambaran klinis DA pada infantil8
Gambar 3. Gambaran klinis DA pada remaja8
7
Gambar 4. Gambaran klinis DA pada dewasa8
Dermatitis atopik sering mereda dengan pertambahan usia, dan individu dewasa
tersebut mempunyai kulit yang peka terhadap gatal dan peradangan bila terpajan iritan
eksogen. Eksema tangan kronik mungkin merupakan manifestasi primer dari banyak
orang dewasa dengan DA. 4
Penegakan Diagnosis
Diagnosis DA ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Tidak ada gambaran klinis tunggal pembeda atau tes laboratorium diagnostik
untuk DA, sehingga diagnosis didasarkan pada temuan klinis oleh Hanifin &
Rajka (Tabel 1.1).
Tabel 1. Kriteria mayor dan minor dermatitis atopik4
Kriteria Mayor ( ≥ 3)
Kriteria Minor (≥ 3)
1. Gatal2. Morfologi dan
distribusi lesi khas: likenifikasi fleksural atau hiperlinearis pada dewasa. Mengenai wajah dan ekstensor pada bayi dan anak.
3. Dermatitis kronik atau kronik berulang.
1. Kulit kering2. Iktiosis/
hiperlineas palmar/keratosis pilaris
3. Peningkatan kadar IgE serum
4. Usia awitan dini5. Kecenderungan
mendapat infeksi kulit akibat gangguan imunitas seluler
6. Kecenderungan mendapat
11. Keratokonus12. Katarak subkapsuler
anterior13. Hiperpigmentasi daerah
orbita14. Kemerahan/kepucatan di
pipi15. Pitiriasis alba16. Dermatitis di lipatan
leher anterior17. Gatal bila berkeringat18. Intoleransi terhadap wol
dan pelarut lemak19. Aksentuasi perifolikuler20. Intoleransi makanan
8
4. Riwayat atopi pada pasien atau keluarga.
dermatitis non spesifik pada tangan dan kaki
7. Eksema pada putting susu
8. Kelitis9. Konjungtivitis
berulang10. Lipatan orbita
Dennie-Morgan
21. Perjalanan penyakit dipengaruhi lingkungan/emosi
22. Dermografisme putih/delayed blanch
Diagnosis Banding
Dalam diagnosis banding, terdapat sejumlah penyakit kulit inflamasi,
imunodefisiensi, penyakit genetik, penyakit infeksi, dan infestasi yang mempunyai
gejala dan tanda yang sama dengan DA, yaitu: 4
1. Dermatitis kontak (alergik dan iritan)
2. Dermatitis seboroik
3. Skabies
4. Psoriasis
5. Iktiosis vulgaris
6. Dermatofitosis
7. Eczema asteatotik
8. Liken simplek kronikus
9. Dermatitis numularis
9
Penatalaksanaan
Gambar 6. Skema Pendekatan Pada Pasien DA4
10
Pasien dengan riwayat dermatitic pruritis
Gejala pada pasien dimasukkan dalam kriteria Hanifin-Rajka
Langkah-langkah perawatan kulit secara umum :
1. Edukasi2. Hidrasi kulit dan pemakaian emolien/ pelindung sawar kulit3. Menghindari iritan4. Identifikasi dan hindari alergen pencetus5. Penggunaan terapi antiinflamasi (topikal steroid, oenghambat
calcineurin topikal)6. Pemberian obat antipruritus (antihistamin sedatif)7. Identifikasi dan pengobatan terhadap infeksi sekunder seperti
bakteri, virus atau jamur.8. Pengobatan terhadap aspek psikososial penyakit.
+ -
Pikirkan diagnosa lainnya.
Keberhasilan terapi+
Titrasi terapi topikal, hanya menggunakan emolien/ pelindung sawar kulit. Untuk steroid topikal dan calceneurin topikal diberikan jika perlu saja
-
Tinjau kembali diagnosa DAMempertimbangkan peran agen infeksius yang tidak dikenal, alergen dan lain-lain.Memepertimbangkan keterbatasan pasien dalam memahami rencana terapi
Keberhasilan terapi
+
Konsultasi dengan spesialis DAPertimbangkan untuk biopsi kulit Pertimbangkan untuk rawat inapPertimbangkan untuk mendapat terapi siklosporin A, terapi ultraviolet dan lain-lain.
-
Prinsip terapi :
1. Hindari paparan antigen
2. Cegah timbulnya ikatan antigen dengan IgE
3. Hambat sekresi mediator radang yang disekresi mastosit dan eosinofil
4. Cegah infeksi berarti mencegah kekambuhan 4
A. Non Medikamentosa
Untuk memperoleh keberhasilan terapi DA, diperlukan pendekatan
sistematik meliputi hidrasi kulit dan identifikasi serta eliminasi faktor pencetus
seperti iritan, alergen, infeksi, dan stressor emosional (gambar 2.Selain itu,
rencana terapi harus individualistik sesuai dengan pola reaksi penyakit, termasuk
stadium penyakit dan faktor pencetus unik dari masing-masing pasien.4
B. Medikamentosa
Hidrasi kulit
Pasien DA menunjukkan penurunan fungsi sawar kulit dan xerosis yang
mempengaruhi terjadinya fisura mikro kulit yang dapat menjadi jalan masuk patogen,
iritan dan alergen. Problem tersebut akan dipengaruhi oleh musim dan lingkungan kerja
tertentu. Mandi dengan sabun berpelembab minimal 20 menit dilanjutkan dengan
pemberian emollient (untuk menahan kelembaban) dapat meringankan gejala. Terapi
hidrasi bersama dengan emolien dapat mengembalikan dan memperbaiki sawar lapisan
kulit, dan dapat mengurangi pemakaian steroid topikal. 4
Steroid topical
Karena steroid memiliki efek samping, maka pemakaian steroid topikal hanya
diberikan pada DA eksaserbasi akut. Setelah fase akut DA berakhir, maka pemberian
steroid jangka panjang dapat dipertahankan pada sebagian pasien dengan pemakaian
fluticasone 0.05% 2 x/minggu pada area yang telah sembuh. Steroid poten harus
dihindari pada wajah, genitalia dan daerah lipatan. Steroid dioleskan pada lesi dan
emolien diberikan pada kulit yang tidak terkena. Steroid ultra-poten hanya boleh
dipakai dalam waktu singkat dan pada area likenifikasi (tetapi tidak pada wajah
atau lipatan). Steroid mid-poten dapat diberikan lebih lama untuk DA kronik pada
badan dan ekstremitas. Efek samping local meliputi stria, atrofi kulit, dermatitis
perioral, dan akne rosasea.4
11
Inhibitor kalsineurin topical
Takrolimus dan pimekrolimus topikal telah dikembangkan sebagai
imunomodulator nonsteroid. Salap takrolimus 0.03% telah disepakati sebagai terapi
intermiten DA derajat sedang-berat pada anak ≥ 2 tahun dan takrolimus 0.1%
untuk dewasa. Krim pimekrolinus 1% untuk anak ≥ 2 tahun dengan DA derajat
ringan-sedang. Kedua obat ini efektif dan aman dipakai sebagai terapi sampai 4 tahun
(untuk pemakaian takrolimus) dan 2 tahun (untuk pimekrolimus). Kedua bahan
tersebut tidak menyebabkan atrofi kulit, sehingga aman untuk wajah dan lipatan, dan
tidak menyebabkan peningkatan kecenderungan mendapat superinfeksi virus. 4
Antibiotik topical
Sefalosporin dan golongan penicillins (dikloksasilin, oksasilin, kloksasilin)
diberikan untuk pasien yang tidak resisten terhadap strain S. aureus. Stafilokokus
yang resisten golongan tersebut memerlukan kultur dan uji sensitivitas untuk
menentukan obat yang cocok. 4
Mupirosin topikal dapat berguna untuk lesi yang mengalami infeksi sekunder.
Terapi antivirus juga dapat diberikan apabila terdapat infeksi herpes simplek kulit.
Infeksi dermatofit dapat menyebabkan eksaserbasi DA, sehingga harus diterapi
dengan anti-jamur topikal atau sistemik.4
Preparat ter
Preparat ter mempunyai efek antipruritus dan anti-inflamasi pada kulit tetapi
tidak sekuat steroid topikal. Preparat ter dapat mengurangi potensi steroid topikal
yang diperlukan pada terapi pemeliharaan DA kronis. Preparat ter tidak boleh
diberikan pada lesi kulit radang akut, karena dapat terjadi iritasi kulit. Efek
samping ter di antaranya folikulitis dan fotosensitif.4
Anti-pruritus sistemik
Steroid topikal dan hidrasi kulit sering mengurangi keluhan gatal. Namun
pemberian antihistamin sistemik dapat memblok reseptor H1 dalam dermis,
sehingga dapat menghilangkan pruritus akibat pelepasan histamin. Karena pruritus
biasanya lebih parah pada malam hari, maka dianjurkan pemberian antihistamin
sedatif, hidroksizin, doksepin atau difenhidramin, yang mempunyai efek samping
mengantuk bila diberikan pada waktu tidur. Doksepin memiliki efek antidepresan dan
efek blok terhadap reseptor H1 dan H2. Obat ini dapat diberikan dengan dosis 10-
12
75 mg oral malam hari atau sampai 2 x 75 mg pada pasien dewasa. Pemberian
doksepin 5% topikal jangka pendek (1 minggu) dapat mengurangi pruritus tanpa
menimbulkan sensitisasi. Walaupun demikian, dapat terjadi efek sedasi pada
pemberian topical area yang luas dan dermatitis kontak alergik. 4
Pemberian antihistamin non-sedatif akan menunjukkan hasil yang bervariasi,
dan akan berguna bila DA disertai dengan urtikaria atau rhinitis alergika.4
Steroid sistemik
Pemberian steroid sistemik sering dipilih karena terapi topikal dan hidrasi
kulit memberikan hasil yang lambat. Pemakaian kortikosteroid oral diberikan
pada kasus DA fase akut dan jarang pada DA fase kronik. Jenis kortikosteroid
yang diberikan untuk mempercepat hilangnya gejala pada fase akut biasanya
adalah golongan kortikosteroid potensi sedang sampai tinggi dengan pemberian
jangka pendek. Outcome pasien setelah pemberian steroid sistemik sering disertai
rebound flare berat setelah pemakaian steroid dihentikan. Bila ini diberikan, perlu
dilakukan tappering off dosis. 1, 4
Siklosporin sistemik
Siklosporin adalah obat imunosupresif poten yang bekerja terutama terhadap
sel T dengan cara menekan transkripsi sitokin. Pasien DA dewasa dan anak yang
refrakter terhadap terapi konvensional, dapat berhasil dengan siklosporin jangka
pendek. Dosis 5 mg/kg umumnya dipakai dalam pemakaian jangka pendek dan
panjang (1 tahun). Penghentian terapi dapat menyebabkan kekambuhan. Selain itu
siklosporin dapat meningkatkan kreatinin serum, gangguan ginjal dan hipertensi.4
Fototerapi
Saat ini, sinar ultraviolet telah digunakan sebagai terapi pada dermatitis
atopik. Kombinasi UVA dan UVB dapat berguna sebagai terapi penyerta DA.
Target UVA dengan/tanpa psoralen adalah sel LC dan eosinofil, sedangkan UVB
berfungsi imunosupresif melalui penghambatan fungsi sel penyaji antigen, LC dan
merubah produksi sitokin oleh keratinosit. Efek samping jangka pendek berupa
eritema, nyeri kulit, gatal, dan pigmentasi, sedangkan efek samping jangka
panjang adalah penuaan kulit dan keganasan. 4, 11
13
Penggunaan Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah derivat dari hormon kortikosteroid yang dihasilkan
oleh kelenjar adrenal. Ada 2 jenis hormon adrenokortikal yang utama, yaitu
mineralokortikoid dan glukokortikoid. Selain hormone ini, korteks adrenal juga
mensekresi sedikit hormone kelamin, terutama androgen yang fungsinya mirip
dengan hormone testosterone pada pria. Hormone mineralokortikoid
mempengaruhi elektrolit cairan ekstrasel terutama natrium dan kalium, sedangkan
hormone glukokortikoid dapat meningkatkan glukosa darah dan berefek pada
metabolisme protein dan lemak. 12,13
Farmakokinetik
Terdapat lebih dari 30 jenis steroid dari korteks adrenal, namun hanya 2
yang berguna sebagai fungsi endokrin pada manusia, yaitu aldosteron
(mineralokortikoid utama) dan kortisol (glukokortikoid utama). 12
Glukokortikoid di sintesis dari kolesterololeh zona fasikulata dan zona
retikularis dan dilepaskan ke dalam sirkulasi dibawah pengaruh ACTH. Waktu
paruh kortisol dalam sirkulasi normalnya kira- kira 60-90 menit, dan dapat
meningkat bila diberikan (sintetik) dalam jumlah besar atau bila stress,
hipotiroidisme atau adanya penyakit hati. 12
Tabel 2. Potensi relatif glukokortikoid 10
Macam
Kortikosteroid
Potensi
glukokortikoid
Dosis Ekuivalen
(mg)
Potensi
mineralokortikoid
Kerja singkat
Hidrokortison
Kortison
1
0,8
20,0
25,0
2+
2+
14
Kerja sedang
meprednison
Metilprednisolon
Prednisolon
Prednison
Triamsinolon
4-5
5
4
4
5
4,0
4,0
5,0
5,0
5,0
0
0
1+
1+
0
Kerja lama
Betametason
Deksametason
Parametason
20-30
20-30
10
0,6
0,75
2,0
0
0
0
Farmakodinamik
Pada waktu memasuki jaringan, glukokortikoid berdifusi atau ditransport
menembus sel membrane dan terikat pada kompleks reseptor sitoplasmik
glukokortikoid heat shock protein.14
Kortikosteroid sistemik golongan glukokortikoid banyak digunakan dalam
bidang dermatologi karena obat tersebut mempunyai efek imunosupresan dan
anti-inflamasi. Kortikosteroid dapat menurunkan permeabilitas kapiler karena
obat ini menurunkan efek enzim proteolitik sehingga mencegah kehilangan
plasma ke dalam jaringan. Selain itu kortikosteroid menghilangkan pembentukan
prostaglandin dan leukotrien yang meningkatkan vasodilatasi sehingga
menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah jika dioleskan langsung ke pembuluh
darah dan mengurangi mobilitas sel darah putih. Hormone ini juga menekan
system imun dengan menurunkan reproduksi limfosit T, sehingga akan
mengurangi proses inflamasi pada jaringan tersebut.12,13
15
Kortikosteroid merupakan obat yang mempunyai khasiat dan indikasi klinis
yang sangat luas. Kortikosteroid sering disebut sebagai life saving drug. Manfaat
dari preparat ini cukup besar tetapi karena efek samping yang tidak diharapkan
cukup banyak, maka dalam penggunaannya dibatasi termasuk sebagai
dermatoterapi. 12
Steroid sistemik dapat dipertimbangkan untuk jangka pendek digunakan
dalam kasus-kasus tertentu, dikarenakan efek sampingnya yang juga perlu
diperhatikan bila digunakaan jangka panjang.
Tabel 3. Efek Samping Kortikosteroid Sistemik 10
Tempat Efek Samping
Saluran cerna Hipersekresi asam lambung, mengubah proteksi
gaster, ulkus peptikum/perforasi, pancreatitis,
ilieitis regional, colitis ulseratif
Otot Hipotrofi, fibrosis, miopati panggul/bahu
Sususan saraf pusat Perubahan kepribadian (euphoria, insomnia,
gelisah, psikosis, paranoid, hiperkinesis,
Tulang Osteoporosis, fraktur kompresi vertebrae, skoliosis,
fraktur tulang panjang
Kulit Hirsustisme, hipotrofi, strie atrofise, dermatoformis
akneformis, purpura, telangiektasis.
Mata Katarak subskapular posterior, glaukoma
Darah Kenaikan Hb, eritrosit, leukosit, limfosit
Pembuluh darah Kenaikan tekanan darah
Kelenjar adrenal bagian
korteks
Atrofi, tidak bisa melawan stress
16
Metabolism protein,
karbohidrat dan lemak
Kehilangan protein, hiperlipidemia, gula meninggi,
obesitas, buffalo bump, perlemakan hati
Elektrolit Retensi Na/air, kehilangan kalium
Sistem imunitas Menurun, rentan terhadap infeksi, reaksi
tuberculosis dan herpes simpleks, keganasan
Efek samping sistemik jarang terjadi, dan agar aman digunakan dosis tidak
lebih dari 30 gram tanpa oklusi. Pada kulit bayi yang masih tipis, digunakan
kortikosteroid topical yang lemah. Pada kejadian akut dipakai golongan lemah,
dan pada subakut digunakan golongan sedang. Dan jika kelainan kronis,
digunakan golongan kuat. Dan bila telah membaik, dilakukan penurunan
frekuensi pengolesan ataupun dosis pemakaian.14
Pemberian kortikosteroid topical original adalah hidrokortison. Turunan 9α-
flouro dari hidrokortison aktif secara topical, akan tetapi kurang disukai karena
terdapat sifat mineralokortikoid. Steroid 9α-flouro dari betamethason dan
dexamethason yang kemudian dikembangkan tidak lebih baik dari hidrokortison.14
Kortikosteroid topikal hanya sedikit diabsorpsi setelah pemberian kira-kira 1
% dari larutan hidrokortison. Terbatasnya penetrasi kortikosteroid topical dapat
diatasi dalam keadaan klinik tertentu, misalnya dengan suntikan kortikosteroid
intralesi.14
Penggolongan
Kortikosteroid topical dibagi menjadi 7 golongan berdasarkan potensi
klinisnya, yaitu sebagai berikut.
Tabel 4. Potensi Kortikosteroid TopikalKlasifikasi Nama Generik
Golongan 1: (super poten) 0,05% betamethason dipropionate0,05% diflorasone diacetate0,05% clobetasol propionate0,05% halobetasol propionate
Golongan II: (potensi tinggi) 0,1% amcinonide0,05% betamethasone dipropionate
17
0,01% mometasone fuorate0,05% diflorasone diacetate0,01% halcinonide0,05% fluocinonide0,05% diflorasone diacetate0,05% betamethasone dipropionate0,25% desoximetasone0,05% desoximetasone
Golongan III: (potensi tinggi) 0,1% amcinonide0,05% betamethasone dipropionate0,01% mometasone fuorate0,05% diflorasone diacetate0,01% halcinonide0,05% fluocinonide0,05% diflorasone diacetate0,05% betamethasone dipropionate0,25% desoximetasone0,05% desoximetasone
Golongan IV: (potensi medium)
0,1% triamcinolone acetonide0,05% flurandrenolide0,1% mometasone furoate0,1% triamcinolone acetonide0,025% fluocinolone acetonide0,2% hydrocortisone valerate
Golongan V: (potensi medium)
0,05% flurandrenolide0,05% fluticasone propionate0,1% prednicarbate0,05% betamethasone dipropionate0,1% triamcinolone acetonide0,1% hydrocortisone butyrate0,025% fluocinolone acetonide0,05% desonide0,1% betamethasone valerate0,2% hydrocortisone valerate
Golongan VI: (potensi medium)
0,05% aclometasone0,1% triamcinolone acetonide0,05% desonide0,025% triamcinolone acetonide0,1% hydrocortisone butyrate0,01% fluocinolone acetonide0,05% desonide0,1% betamethasone valerate
Golongan VII: (potensi lemah)
Obat topical dengan hidrokortison, dekametason, glumetalone, prednisolone, dan metilprednisolone
18
Penggunaan kortikosteroid topikal pada kulit memiliki efek samping berupa
atrofi kulit, Acneiform reaction, hipertrikosis, perubahan pigmen kulit,
mencetuskan infeksi mikroorganisme patogen dan reaksi alergi.4
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama : Ny. C
Umur : 69 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Kampung Ateuk
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Status Pernikahan : Menikah
HP/ Telp : 085270808750
Nomor CM : 1-00-47-74
Tanggal Periksa : 04 November 2014
Anamnesis
Keluhan Utama : gatal di daerah wajah dan lipat siku
Riwayat Penyakit Sekarang : pasien datang mengeluhkan gatal di daerah wajah
dan kedua siku yang dirasakan sejak 3 hari yang
lalu. Gatal muncul tiba- tiba dan terasa berkurang
sesaat setelah pasien mandi, namun tidak lama
kemudian gatal muncul kembali. Gatal juga disertai
perubahan warna kulit yang menjadi hitam di
daerah yang gatal. Warna tersebut muncul
bersamaan dengan gatal.
Pasien juga menderita hipertensi sejak 1 tahun
terakhir dan mengonsumsi 1 jenis obat oral, 1 kali
sehari, namun pasien tidak tahu nama obatnya.
Tekanan darah tertinggi mencapai 180-200 mmHg.
19
Riwayat Penyakit Dahulu : pasien pernah menderita serangan asma 1 kali saat
tahun 2003, dan diberikan obat minum oleh dokter
tapi pasien tidak tahu nama obatnya. Riwayat alergi
makanan disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga : Keluarga tidak ada yang memiliki keluhan yang
sama seperti pasien. Riwayat atopi dalam keluarga
disangkal. Alergi makanan disangkal.
Riwayat Kebiasaan Sosial : Pasien mengaku mengganti pakaian dalam rutin dua
kali sehari, mandi dua kali sehari menggunakan
sabun Asepso. Pasien sehari- hari bekerja sebagai
ibu rumah tangga, sehari- hari hanya menjaga
cucunya di rumah.
Pemeriksaan Tanda Vital
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 140/90 mmHg
Frekuensi nadi : 78 kali/menit
Frekuensi nafas : 24 kali/menit
Pemeriksaan Fisik Kulit
Status Dermatologis
Regio : fossa cubiti dextra sinistra
20
Deskripsi Lesi : tampak patch eritema ukuran nummular hingga plakat berbatas
tidak tegas, dengan likenifikasi dan terdapat skuama halus
diatasnya, distribusi simetris.
Regio : Supra et infra orbita dextra et sinistra
Deskripsi Lesi : tampak patch eritema ukuran numular hingga plak, berbatas
tidak tegas, dengan likenifikasi dan terdapat skuama halus
diatasnya, distribusi simetris.
Diagnosis Banding
Diagnosis
banding
Definisi dan
Manifestasi KlinisGambaran Lesi Keterangan
Dermatitis
Atopik
Inflamasi kulit kronis
residif yang umumnya
sering terjadi pada masa
bayi dan anak, namun
dapat juga terjadi pada
Lesi bisa makula
atau patch, papula,
bisa disertai skuama,
krusta, erosi dan
likenifikasi pada lesi
21
dewasa.
yang kronis,
polimorf, berbatas
tidak tegas, distribusi
khas simetris. Pada
dewasa biasanya
pada angggota gerak
flexor.
Dermatitis
kontak
alergika
Inflamasi pada kulit
melalui mekanisme
imunologi, akibat
paparan allergen
eksogen.
Lesi bisa papula,
vesikel, makula atau
patch, disertai
skuama, krusta,
likenifikasi,
polimorf, berbatas
tegas sesuai alergen
kontak.
v
Likhen
simpleks
kronik
Peradangan kulit
kronik dengan rasa
sangat gatal ditandai
dengan kulit menebal
dan garis kulit terlihat
lebih jelas dengan
bentuk sirkumkripta.
Gejala terdapat rasa
yang sangat gatal
Lesi berupa papul
eritem konfluens
yang dapat
berbentuk plak
hiperpigmentasi
akibat garukan,
disertai likenifikasi
dan sering terdapat
ekskoriasi dengan
skuama minimal.
22
Dermatitis
seboroik
Peradangan kulit pada
daerah yang banyak
mengandung kelenjar
sebasea. Biasa terdapat
kulit kepala, belakang
telinga, alis mata,
ketiak, dada dan daerah
suprapubis.
Lesi berupa macula
eritema yang
ditutupi oleh papul
milier berbatas tidak
tegas dan skuama
halus. Kadang
ditemukan erosi
dengan krusta yang
sudah mongering
berwarna
kekuningan.
Psoriasis
Vulgaris
Psoriasis adalah suatu
penyakit inflamasi kulit
bersifat kronis residif,
dapat mengenai semua
umur yang ditandai
dengan plak kemerahan
yang ditutupi oleh
skuama yang tebal
berwarna putih
keperakan dan berbatas
tegas.
Tampak plak
eritematous dengan
skuama tebak
berbatas tegas.
Pemeriksaan Penunjang
- Uji klinis white dermographysm
- Atopic patch test dan prick test
- Pemeriksaan darah tepi : eosinofilia
- Pemeriksaan level serum IgE
- Histopatologi
23
- Fenomena Kaarsvlek
- Tanda Auspitz
- Fenomena Koebner
Resume
Seorang perempuan, 69 tahun, datang dengan keluhan adanya rasa gatal di
daerah wajah dan kedua siku yang dirasakan sejak 3 hari yang lalu. Pasien
memiliki riwayat asma. Dari hasil pemeriksaan fisik kulit tampak patch eritema
ukuran nummular hingga plakat berbatas tidak tegas, dengan likenifikasi dan
terdapat skuama halus diatasnya, distribusi simetris di region infra orbita dekstra
sinistra dan fossa cubiti dextra sinistra.
Diagnosis Klinis
Dermatitis atopik
Tatalaksana
Farmakoterapi
Sistemik : Cetirizine 10 mg tablet 2x1 selama 7 hari
Metilprednisolon 4 mg tablet 2x1 selama 5 hari
Topikal : Hidrokortison oint oles pagi dan sore di wajah
Tyamisin 2% + desoximethasone 60 gr oles di tangan pagi, siang,
dan malam
Urea 10% dioleskan pagi dan sore setelah mandi.
Edukasi
Memakai pelembab atau minyak untuk mencegah kulit agar tidak kering.
Menghindarkan suhu yang terlalu panas.
Mandi menggunakan sabun yang tidak berparfum.
Menghindari stress.
Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
24
DISKUSI
Diagnosis pada pasien ini ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan faktor
resiko yang ada pasien. Berdasarkan kriteria Hanifin-Rajka, pasien memiliki 3
kriteria mayor serta 4 kriteria minor sehingga dapat didiagnosis dengan dermatitis
atopik. Adapun kriteria yang ada pada pasien adalah sebagai berikut.
Kriteria mayor:
1. Gatal
2. Morfologi dan distribusi khas
3. Riwayat atopi pada diri pasien (asma)
Kriteria minor:
1. Kulit kering
2. Hiperpigmentasi daerah orbita
3. Gatal saat berkeringat
4. Lesi pada tangan
Pasien dalam kasus ini merupakan wanita berusia 69 tahun. Walaupun
angka kejadian dermatitis atopik banyak terjadi pada anak- anak yaitu sekitar 10-
25
20%, akan tetapi penyakit ini masih dapat terjadi pada orang dewasa, yaitu sekitar
3%. 3
Gejala pruritus yang merupakan keluhan utama pada pasien dapat
diakibatkan oleh sel peradangan, ambang rasa gatal yang rendah akibat
kekeringan kulit, perubahan kelembaban udara, keringat berlebihan, dan juga
faktor stres. Kekeringan yang terjadi pada penderita DA diduga terjadi akibat
kadar lipid epidermis yang menurun, trans epidermal water loss meningkat, skin
capacitance (kemampuan stratum korneum mengikat air) menurun, terlebih
karena pasien berusia tua. Kekeringan kulit ini menyebabkan ambang rangsang
gatal menjadi relatif rendah dan menimbulkan sensasi untuk menggaruk, dimana
garukan ini dapat menyebabkan kerusakan sawar kulit sehingga memudahkan
mikroorganisme dan bahan iritan/alergen lain untuk masuk ke dalam kulit.4
Pasien ini diberikan terapi berupa kortikosteroid oral berupa
metilprednisolon 2x4 mg, antihistamin oral yakni cetirizine 2x10 mg, dan
kombinasi antibiotik dan kortikosteroid topical (tiamisin 2%+ desoksimethason
krim oles di tangan) dan hidrokortison 2,5% oles di wajah. Desoximethasone
adalah jenis kortikosteroid potensi tinggi (golongan II) dan dapat diberikan pada
penderita DA dewasa. Hidrokortison 2,5% merupakan kortisteroid potensi sangat
rendah (golongan VII) dan dapat dipakai di daerah wajah.10
Thiamfenikol dikombinasikan dengan desoximethasone pada pasien ini
diberikan karena terdapat tanda-tanda infeksi sekunder. Hal ini sesuai dengan
teori bahwa kombinasi kedua obat topikal ini dapat diberikan pada lesi dengan
infeksi ringan. 15
Metilprednisolon yang diberikan pada pasien merupakan golongan
glukokortikoid dengan potensi mineralokortikoid 0. Artinya obat ini tidak
mempengaruhi elektrolit cairan ekstrasel dan tidak menyebabkan retensi natrium.
Penggunaan metilprednisolon sebagai kortikosteroid sistemik diperbolehkan,
karena golongan tersebut tidak memiliki efek mineralokortikoid yang
berhubungan dengan retensi natrium dan tidak memperberat kondisi hipertensi
pada pasien. 10,13
26
Dosis yang digunakan pada pasien ini adalah 2x4 mg selama 5 hari. Hal ini
dikarenakan obat tersebut mempunyai efek imunosupresan dan anti-inflamasi dan
memberikan hasil yang lebih cepat dibandingkan topikal.4
Namun, pemberian kortikosteroid sistemik pada pasien ini harus berhati-hati
dikarenakan adanya rebound flare dan peningkatan keparahan penyakit
merupakan fenomena yang terjadi setelah penghentian steroid sistemik, sehingga
untuk mencegah hal tersebut harus di tapering off. Jadi, meskipun sementara
efektif, steroid sistemik (oral atau parenteral) umumnya harus dihindari pada
orang tua dan anak-anak dengan dermatitis atopik karena efek jangka panjang
yang merugikan, dijelaskan di BAB sebelumnya. 4
Dalam penatalaksanaan pada pasien ini, penggunaan metilprednisolon
sebagai kortikosteroid sistemik diperbolehkan, karena golongan tersebut tidak
memiliki efek mineralokortikoid yang berhubungan dengan retensi natrium dan
tidak memperberat kondisi hipertensi pada pasien. Pemberian cetirizine
dimaksudkan sebagai antihistamin yang dapat mengurangi rasa gatal pada pasien
sehingga resiko untuk timbulnya ekskoriasi karena garukan berkurang, dan resiko
infeksi juga berkurang. 4,10,13
Pada pasien ini diberikan pemahaman agar menghindari faktor pencetus
penyakit agar tidak berulang. Faktor pencetus yang perlu diidentifikasi di
antaranya sabun atau detergen, pajanan kimiawi, rokok, pakaian abrasif, pajanan
ekstrim suhu dan kelembaban. 4 Dari anamnesis, pasien mengaku menggunakan
sabun asepso saat mandi yang dapat mencetuskan terjadinya gatal, sehingga
edukasi yang diberikan adalah menghindari pemakaian sabun tersebut untuk
sementara. Pasien juga diberikan pelembab untuk mencegah kulit kering yang
dapat mencetuskan DA. 4
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Eichenfield LF, Tom WL, Berger TG, Krol A, Paller AS, Schwarzenberger K, Bergman JN, et al. Guidlines for Care Management of Atopic Dermatitis. Section 2 : Management and Treatment of Atopic Dermatitis With Topical Therapies. J AM ACAD Dermatol. July 2014. (7) : 1. 116-132.
2. Ring J, Alomar A, Bieber T, Deleuran M, Fink WA, et al. Guidelines for Treatment of Atopic Eczema (Atopic Dermatitis) Part I. JEADV. 2012. 26 : 1045-1060.
3. Diana IA, dkk. Panduan Diagnosis dan Tatalaksana Dermatitis Atopik di Indonesia. Kelompok Studi Dermatologi Anak Indonesia. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia. Jakarta. 2014. Hal.1.
4. Leung DYM, Eichenfield LF, Boguniewicz M. Atopic dermatitis (Atopic eczema). In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, editor. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 7th ed. New York: McGraw Hill; 2008. p. 146-58.
5. Ardhie, MA. Dermatitis dan Peran Steroid Dalam Penanganannya. Dexa Media. 2004. 4(17) : 157-163.
6. World Health Organisation. Guideline Set New Definitions Update Treatment For Hypertension. Bulletin of the World Health Organization, 1999, 77 (3).
28
7. Sanchez J, Paez B, Macias A, Olmos C, Falco A. Atopic Dermatitis Guideline. Position Paper from the Latin American Society of Allergy, Asthma and Immunology. Revista Alergica Mexico. 2014 (61) 3 : 178-211.
8. Wolff K, Johnson RA, Suurmond D. Fitzpatrick's Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology (5th ed). Part I: Disorders Presenting in the Skin and Mucous Membranes. Section 2. Eczema/Dermatitis. 2007. New York : The Mc Graw Hill Companies.
9. Leung DYM et al.New Insight of Atopic Dermatits. The Journal Of Clinical Investigation. 2004. 113(5) : 651-7.
10. Sularsito S, Djuanda S. Dermatitis. In: Djuanda A, eds. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007.
11. Sidbury, R, et al. Guidelines of Care for the Management of Atopic Dermatitis. Section 3: Management and Treatment With Phototherapy and Systemic Agent. J AM ACAD Dermatol. July 2014. (7) : 1. 327-349.
12. Guyton, et all. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. 2007.13. Tjay, TH Rahardja K. Obat- Obat Penting: Khasiat, Penggunaan, dan Efek-
Efek Samping Edisi V. Jakarta: Elexmedia Komputindo. 2002. 14. Katzung B, G. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi II. Jakarta: EGC. 2002.15. Natalia, Menaldi SL, Agustin A. Perkembangan Terkini Pada Terapi
Dermatitis Atopik. J Indon Med Assoc. 2011.61 (7): 299-304
29