Upload
dian-sya
View
384
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
PENGIMPLEMENTASIAN DESENTRALISASI FISKAL DI INDONESIA DAN
BEBERAPA MASALAH YANG MENGIRINGINYA
KRISTIN ROSALINA (0820215096)
Mahasiswa Pascasarjana Magister Sains Akuntansi Universitas Brawijaya
Abstrak
Desentralisasi fiskal mulai diimplementasikan di Indonesia sejak tanggal 1 Januari 2001. Sejak tahun ini pula sistem pengelolaan keuangan negara yang dulunya cenderung tersentralisasi kemudian berubah menjadi sistem pengelolaan yang terdesentralisasi. Pengimplementasian dari kebijakan desentralisasi fiskal ini merupakan efek multiplier dari peristiwa reformasi dan dan pengimplementasian otonomi dareah di Indonesia. Dengan adanya desentralisasi fiskal diharapkan akan semakin menggerakkan perekonomian di daerah karena dalam hal ini Pemerintah Daerah mendapatkan keleluasaan untuk mengelola sendiri APDBnya. Namun, pengimplementasian desentralisasi fiskal juga tidak bisa lepas dari berbagai permasalahan yang muncul. Diantara permasalahan yang muncul tersebut adalah terkait dengan ketimpangan pendapatan antar daerah, stabilisasi ekonomi makro negara, hingga masalah yang terkait dengan aktivitas belanja oleh Pemerintah Daerah. Untuk mengatasi permasalahan-permasalahn tersebut selanjutnya dimunculkan kebijakan pengalokasian berbagai macam dana perimbangan dari pusat ke daerah. Selain itu, untuk tetap menjaga stabilisasi ekonomi negara secara keseluruhan, desentralisasi fiskal hendaknya juga dimaknai sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia secara menyeluruh dengan jalan menselaraskan tujuan antara pemerintah pusat dan daerah.
Kata Kunci: Desentralisasi Fiskal, Pengelolaan Keuangan Negara, Pemerintah Pusat, dan Pemerintah Daerah
PENDAHULUAN
Tahun 2001 merupakan tahun penting bagi perubahan arah kebijakan
ekonomi Indonesia, khususnya dalam kebijakan yang mengatur tentang
pendapatan dan belanja pemerintah. Di tahun ini, salah satu kebijakan ekonomi
yaitu yang terkait dengan kebijakan fiskal berubah haluan. Perubahan haluan
Ujian Tengah SemesterMata Kuliah Akuntansi dan Audit Sektor Publik Page 1
yang dimaksud adalah yang dahulunya kebijakan fiskal di Indonesia
tersentralisasi, semenjak tahun 2001 berubah menjadi kebijakan yang
terdesentralisasi. Tahun penting dalam tatanan perekonomian Indonesia ini
kemudian dikenal dengan tahun dimulainya penerapan kebijakan desentralisasi
fiskal di Indonesia. Adapun kebijakan desentralisasi fiskal ini dapat dikatakan
sebagai efek multiplier dari peristiwa reformasi yang selanjutnya menelurkan
pengimplementasian otonomi daerah diseluruh Indonesia.
Sebelum tahun 2001, walaupun sebenarnya kebijakan desentralisasi fiskal
bukan merupakan hal yang asing karena esensinya telah terkandung dalam
Undang-Undang No. 5 Tahun 1975 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah,
namun dalam kenyataannya selama periode orde baru Indonesia masih
didominasi dengan berbagai macam bentuk kebijakan pengelolaan ekonomi
yang mengarah pada sistem yang tersentralisasi. Melalui UU RI No. 25 tahun
1999 yang pada kelanjutannya disempurnakan dengan UU RI No. 33 tahun 2004
tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah, terhitung mulai tanggal 1 Januari 2001 Pemerintah baru mengambil
langkah nyata terkait dengan pengimplementasian kebijakan fiskal di seluruh
daerah Indonesia.
Dengan diimplementasikannya desentralisasi fiskal secara otomatis akan
berimbas pada semakin luasnya wewenang yang dimiliki oleh pemerintah daerah
untuk melakukan pengelolaan terhadap kegiatan ekonomi di daerahnya. Menurut
Waluyo (2007) hal tersebut terjadi dikarenakan prinsip dasar pelaksanaan
desentralisasi fiskal di Indonesia adalah “money follows functions”, yang berarti
bahwa fungsi pokok pelayanan publik didaerahkan, dengan dukungan
pembiayaan pusat melalui penyerahan sumber-sumber penerimaan kepada
daerah.
Ujian Tengah SemesterMata Kuliah Akuntansi dan Audit Sektor Publik Page 2
Dengan adanya peningkatan wewenang pemerintah daerah dalam
kegiatan pengelolaan ekonominya kemudian diharapkan akan memicu
berkinerjanya program pembangunan daerah. Menurut Usman et.al. (200X),
melalui pemberlakuan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah kini memiliki
kewenangan yang besar untuk merencanakan, merumuskan, dan melaksanakan
kebijakan serta program pembangunan yang bisa disesuaikan dengan
kebutuhan setempat.
Isu terkait dengan desentralisasi fiskal sendiri tidak bisa dilepaskan dengan
permasalahan kemiskinan di suatu negara, terlebih lagi pada negara
berkembang semacam Indonesia. Sudah menjadi suatu kenyataan bahwa
masalah besar yang selalu menjadi beban bagi negara berkembang adalah
masalah yang berhubungan dengan kemiskinan. Hal ini senada dengan yang
diungkapkan oleh Suyanto dan Khususiyah (2006) yang menyatakan bahwa
kemiskinan merupakan masalah besar dan mendasar yang banyak dihadapi oleh
begara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Selanjutnya, dengan spirit
untuk meminimalkan tingkat kemiskinan di daerah, maka sejak tahun 2001
dumulailah pengimplementasian kebijakan fiskal di Indonesia.
Menurut Usman et.al. (200X), dengan diimplementasikannya kebijakan
desentralisasi fiskal di Indosia selanjutnya diharapkan akan membuat pemerintah
daerah untuk mampu menciptakan kebijakan-kebijakan yang lebih responsif
terhadap kebutuhan penduduk miskin di daerahnya. Namun, yang menjadi
pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana praktik yang selanjutnya terjadi di
lapangan terkait dengan pengimplementasian kebijakan ini serta apa sajakah
permasalahan-permasalahan yang mengiringi pengimplementasian dari
kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia.
Ujian Tengah SemesterMata Kuliah Akuntansi dan Audit Sektor Publik Page 3
SEKILAS KONDISI INDONESIA SEBELUM DAN DI ERA DESENTRALISASI
Era desentralisasi yang berlaku di Indonesia tidak bisa terlepas dari
peristiwa reformasi yang terjadi mulai tahun 1997 dimana peristiwa ini menjadi
tanda dari berakhirnya dominasi kekuasaan orde baru. Seperti yang telah
dijabarkan sebelumnya, pada masa orde baru yang berlangsung dari tahun 1968
dan berakhir tahun 1997 segala macam bentuk pengelolaan keuangan negara
lebih banyak diselenggarakan secara tersentralisasi, dikelola secara dominan
oleh pemerintah pusat, dan tidak memberikan keleluasaan bagi pemerintah
daerah untuk secara mandiri mengelola keuangan daerahnya. Hal ini senada
dengan apa yang dinyatakan oleh Devas dalam Supratikno (2009) yang
menyatakan bahwa Orde Baru mengatur pemerintahan lokal secara detail dan
diseragamkan secara nasional. Organ-organ supra-struktur politik lokal diatur
secara terpusat dan seragam tanpa mengindahkan heterogenitas sistem politik
lokal yang telah eksis jauh sebelum terbentuknya konsep kebangsaan Indonesia.
Melalui strategi korporatisme negara, pemerintah Orde Baru melakukan
penunggalan kelompok kepentingan yang dikontrol secara terpusat.
Setelah kemunculan gelombang reformasi dan didengung-dengungkannya
demokrasi di Indonesia, masyarakat seakan-akan mendapatkan angin segar
untuk dengan leluasa menyampaikan segala macam bentuk aspirasinya.
Kebebasan mengutarakan pendapat di depan umum menjadi suatu trend yang
populer di Indonesia sejak pemerintahan orde baru dilengserkan. Bahkan
kemudian, tidak jarang kebebasan untuk menyampaikan segala macam bentuk
aspirasi dimaknai secara berlebihan bagi beberapa kelompok masyarakat seperti
halnya keinginan untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yang diajukan oleh masyarakat Aceh dan Papua. Dan salah
satu produk reformasi dan demokrasi yang benar-benar menjadi fakta adalah
ketika Timor-Timur lepas dari NKRI.
Ujian Tengah SemesterMata Kuliah Akuntansi dan Audit Sektor Publik Page 4
Salah satu dampak dari arus reformasi dan demokratiasi yang
dimaksudkan untuk mencegah rongrongan yang lebih mendalam lagi terhadap
keutuhan NKRI adalah munculnya berbagai macam produk-produk hukum yang
menganut asas desentralisasi. Menurut Supratikno (2009) kebebasan dan
keterbukaan politik yang terjadi pasca Orde Baru membawa konsekuensi logis
pada pemerintahan untuk segera mengubah diri. Segala macam kebijakan dan
regulasi yang berbau orde baru yang sentralistis diubah sedemikian besarnya
menjadi sangat terdesentralisasi. Kebijakan radikal (big bang) desentralisasi
diperkenalkan pada tahun 1999 melalui UU No.22/1999 dan UU 25/1999.
Dua undang-undang tersebut dibuat oleh pemerintah dengan maksud
untuk mengakomodasi dan mengatasi kondisi sosial-politik Indonesia yang
tercermin pada semakin meluasnya tuntutan daerah untuk memperoleh otonomi
untuk menyelenggarakan pemerintahan daerahnya seleluasa mungkin. Menurut
Supratikno (2009), dengan setting sosial politik ini maka UU No. 22/1999 dan UU
25/1999 hadir dengan dua misi utama. Pertama, untuk memuaskan semua
daerah dengan memberikan ruang partisipasi politik yang tinggi melalui
desentralisasi politik dari pusat kepada daerah, dan memberikan kesempatan
dan kepuasan politik kepada masyarakat dengan memberikan kesempatan untuk
menikmati simbol-simbol utama demokrasi lokal (misal pemilihan Kepala
Daerah). Kedua, untuk memuaskan daerah-daerah kaya sumberdaya alam yang
‘memberontak’ dengan memberikan akses yang lebih besar untuk menikmati
sumberdaya alam yang ada di daerah mereka masing-masing.
Area yang juga tidak luput dari proses desentralisasi di Indonesia adalah
area pengelolaan keuangan negara. Diawali dengan kemunculan arus reformasi
dan aktivitas desentralisasi di berbagai bidang, selanjutnya aktivitas pengelolaan
keuangan negara juga memberikan responnya dengan kemunculan UU No.25
tahun 1999 yang kemudian diperbaiki dengan UU No. 33 tahun 2004 tentang
Ujian Tengah SemesterMata Kuliah Akuntansi dan Audit Sektor Publik Page 5
Perimbangan Keuangan antar Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Kemunculan Undang-Undang terkait dengan pengelolaan keuangan negara
tersebut kemudian ditindaklanjuti secara nyata oleh pemerintah dengan
memunculkan kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia yang mulai
diimplementasikan secara resmi tanggal 1 Januari 2001.
Dengan diimplementasikannya kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia
sejak tahun 2001 kemudian secara otomatis merombak ulang sistem
pengelolaan keuangan di Indonesia yang tersentralisasi, dimana sebelumnya
sistem pengelolaan keuangan semacam ini telah menemukan bentuk
kemapanannya di masa pemerintahan orde baru. Hal tersebut senada dengan
apa yang dinyatakan oleh Bastian (2005: 49), yaitu kebijakan desentralisasi telah
mengubah sifat hubungan antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah,
antara BUMN dengan Pemerintah Pusat, antar Pemerintah dengan masyarakat,
dan berbagai entitas lain dalam pemerintahan. Peran pelaporan keuangan juga
telah berubah dari posisi administrasi semata menjadi posisi akuntabilitas di
tahun 2000.
Menurut Supratikno (2009), dengan kemunculan UU No.25 tahun 1999
yang kemudian diperbaiki dengan UU No. 33 tahun 2004 dan
pengimplementasian kebijakan fiskal, secara makro sumber-sumber keuangan
daerah diperbesar, sejalan dengan dikembangkannya prinsip perimbangan.
Jumlah alokasi transfer keuangan ke daerah terus mengalami peningkatan dari
tahun ke tahun. Jumlah ini juga semakin terasa untuk dua provinsi yang
memperoleh otonomi khusus, yaitu Papua dan Aceh (Nanggroe Aceh
Darussalam) melalui dana otonomi khusus dan penyesuaian. Semua ini
dilakukan untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah,
meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah, serta meningkatkan sinergi
perencanaan pembangunan pusat dan daerah.
Ujian Tengah SemesterMata Kuliah Akuntansi dan Audit Sektor Publik Page 6
PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA DI ERA DESENTRALISASI
Dalam pasal 1 Undang-Undang No. 17 tahun 2003 disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan keuangan negara semua hak dan kewajiban negara yang
dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun
berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Sedangkan pengertian pengelolaan
keuangan negara adalah keseluruhan kegiatan pejabat pengelola keuangan
negara sesuai dengan kedudukan dan kewenangannya, yang meliputi
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pertanggungjawabab (BPKRI,
2009).
Ketika membicarakan pergerakan desentralisasi yang terjadi di Indonesia
semenjak runtuhnya periode Orde Baru, area pengelolaan keuangan negara
tidak bisa lepas dari hal tersebut. Kebijakan pengelolaan keuangan negara,
khususnya pengelolaan keuangan negara di daerah, yang dahulunya cenderung
tersentralisasi kemudian secara berangsur-angsur berubah menjadi semakin
terdesentralisasi. Dan hal tersebut diwujudkan dengan munculnya kebijakan
desentralisasi fiskal di Indonesia.
Menurut Syahrudin (2006), yang dimaksud dengan desentralisasi fiskal
disini adalah merupakan kewenangan (authority) dan tanggung jawab
(responsibility) dalam penyusunan, pelaksanaan, dan pengawasan anggaran
daerah (APBD) oleh pemerintah daerah. Sedangkan menurut Waluyo (2007),
Desentralisasi fiskal adalah suatu proses distribusi anggaran dari tingkat
pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah untuk
mendukung fungsi atau tugas pemerintahan yang dilimpahkan. Dari uraian
tentang apa itu desentralisasi fiskal yang telah dijabarkan, maka kemudian dapat
diambil suatu benang merah bahwa dalam kebijakan desentralisasi fiskal,
terdapat pendistribusian wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah
Ujian Tengah SemesterMata Kuliah Akuntansi dan Audit Sektor Publik Page 7
daerah untuk secara mandiri mengelola APBDnya sehingga dengan adanya
pelimpahan wewenang tersebut mampu mendukung setiap fungsi pemerintahan
yang juga mengalami desentralisasi.
Ketika mengaitkan antara pengelolaan keuangan negara dengan kebijakan
otonomi daerah yang merupakan embrio dari keberadaan kebijakan
desentralisasi fiskal, menurut Bastian (2005: 338), salah satu asas dari otonomi
daerah adalah asas perimbangan keuangan antar pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah adalah suatu sistem
pembiayaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan, yang mencakup
pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta
pemerataan antardaerah secara proporsional , demokratis, adil, dan transparan
dengan memperhatikan potensi, kondisi, serta kebutuhan daerah, sejalan
dengan kewajiban dan pengelolaan dan pengawasan keuangannya. Asas ini
merupakan refleksi ideal dari bagaimana seharusnya kebijakan desentralisasi
fiskal diimplementasikan dalam kaitannya untuk memaksimalkan nilai-nilai
keadilan menyeluruh bagi segenap rakyat Indonesia.
Terkait dengan pengelolaan keuangan negara di daerah di era
desentralisasi, sesuai dengan Undang-Undang No. 33 tahun 2004 di pasal 5
disebutkan bahwa sumber-sumber penerimaan daerah terdiri dari dua sumber
utama, yaitu dari pendapatan daerah dan pembiayaan. Adapun sumber
penerimaan yang berasal daro pendapatan daerah terdiri dari Pendapatan Asli
Daerah (PAD), dana perimbangan dan lain-lain dari pendapatan. Sedangkan
sumber penerimaan kedua, yaitu dana pembiayaan daerah berasal dari Sisa
Lebih Anggaran daerah (SAL), pinjaman daerah, dana cadangan daerah dan
privatisasi kekayaan daerah yang dipisahkan.
Ujian Tengah SemesterMata Kuliah Akuntansi dan Audit Sektor Publik Page 8
Menurut Waluyo (2006), Dana Perimbangan keuangan Pusat-Daerah
(PKPD) merupakan mekanisme transfer pemerintah pusat-daerah terdiri dari
Dana Bagi Hasil Pajak dan Sumber Daya Alam (DBHP dan SDA), Dana Alokasi
Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Berdasarkan pasal 3 Undang-
Undang no. 33 tahun 2004, adanya dana perimbangan bertujuan mengurangi
kesenjangan fiskal antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah dan antar-
Pemerintah Daerah.
Munculnya dana perimbangan seperti halnya DBHP dan SDA, DAU,
hingga DAK dilatarbelakangi oleh adanya suatu fakta bahwa walaupun secara
ideal PAD diharapkan mampu untuk menutupi semua kebutuhan dari APBD,
namun pada praktik tidak menunjukkan demikian adanya. Dari tahun ke tahun,
semenjak diberlakukannya desentralisasi fiskal di Indonesia, pergerakan dari
DPHP dan SDA, DAU, serta DHK selalu menunjukkan trend yang positif, yaitu
selalu meningkat jumlahnya dari tahun ke tahun. Salah satu contoh penyebab
dari semakin meningkatnya penyaluran dana perimbangan dari pusat dan daerah
dikarenakan setelah era desentralisasi, maka pemerintah daerah harus
menanggung pengeluaran untuk belanja pegawai yang mana sebelumnya
pengeluaran ini menjadi tanggungan dari pemerintah pusat. Beralihnya tanggung
jawab terhadap belanja pegawai dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah ini tidak lepas dari adanya desentralisasi dalam struktur pemerintahan,
dimana dalam hal ini terdapat peralihan status dari pegawai yang dahulunya
berstatus sebagai pegawai pemerintah pusat setelah era desentralisasi berubah
status menjadi pegawai pemerintah daerah (Isdijoso dan Wibowo: 2002). Terkait
dengan pergerakan positif dari penyaluran dana perimbangan ke daerah dari
tahun ke tahun dapat dilihat dari grafik berikut:
Ujian Tengah SemesterMata Kuliah Akuntansi dan Audit Sektor Publik Page 9
Sumber: Pratikno (2009)
Menurut Waluyo (2007), Kebijakan Dana Alokasi Umum (DAU) mempunyai
tujuan utama untuk memperkuat kondisi fiskal daerah dan mengurangi
ketimpangan antar daerah (horizontal imbalance). Melalui kebijakan bagi hasil
SDA diharapkan masyarakat daerah dapat merasakan hasil dari sumber daya
alam yang dimilikinya. Kebijakan ini dimunculkan oleh pemerintah pusat dengan
tujuan untuk sebisa mungkin meratakan penyebaran penerimaan negara yang
diperoleh dari aktivitas eksplorasi sumber daya alam di daerah. Hal ini tentunya
juga untuk memenuhi nilai-nilai keadilan bagi keseluruhan masyarakat Indonesia.
Seperti diketahui bersama bahwa Indonesia merupakan salah satu negara
di dunia yang kaya akan sumber daya alam. Namun sayangnya kekayaan alam
yang dimiliki oleh Indonesia hanya terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu,
seperti halnya Gas Alam di daerah Sumatra, tambang minyak bumi di daerah
Kalimantan, serta tambang emas di daerah Papua. Persebaran kekayaan alam
tidak merata di seluruh daerah Indonesia. Ketika penerimaan dari eksplorasi
Ujian Tengah SemesterMata Kuliah Akuntansi dan Audit Sektor Publik Page 10
20,0
60,3
0,7
24,9
69,2
0,6
31,4
77,0
2,7
36,7
82,1
4,0
50,4
88,8
4,0
64,9
145,7
11,6
62,8
164,8
17,1
66,1
179,5
21,2
0,0
40,0
80,0
120,0
160,0
200,0
240,0
280,0Tr
iliun
Rp
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
REALISASI APBN APBN-P APBN
TREN DANA PERIMBANGAN (DBH, DAU dan DAK)TAHUN 2001-2008
DBH DAU DAKKeterangan : - Realisasi 2001 s.d 2003 berdasarkan PAN, 2004, 2005, dan 2006 berdasarkan LKPP (audited). - Tahun 2007 menggunakan angka APBN-P 2007 ; - Tahun 2008 angka APBN 2008
2001 2002 2003 2004 2005 2006
DAPER 81,1 94,7 111,1 122,9 143,2 222,1 244,7 266,8
% dari thn sebelumnya - 16,8% 17,3% 10,6% 16,5% 55,2% 10,2% 9,0%
APBN 2008
REALISASI APBN APBN-P 2007
kekayaan alam ini tidak didistribusikan secara dan proporsional ke seluruh
daerah, maka hal tersebut akan berdampak pada ketimpangan pendapatan
antara daerah penghasil sumber daya alam dengan daerah yang bukan
penghasil sumber daya alam.
Ketimpangan fiskal selanjutnya juga akan terjadi ketika pendapatan negara
dari sektor perpajakan juga tidak didistribusikan secara merata ke seluruh daerah
di Indonesia. Seperti diketahui bahwa daerah yang merupakan lokasi industri dan
pusat ekonomi serta perdagangan seperti halnya daerah-daerah di Pulau Jawa
berpotensi menghasilkan pendapatan di sektor pajak lebih besar jika
dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya. Ketika tidak ada kebijakan
penyaluran dana perimbangan, maka selanjutnya pendapatan dari sektor
perpajakan hanya akan terkonsentrasi di daerah-daerah yang menjadi sentra
kegiatan ekonomi dan perdagangan saja. Da tentunya hal ini tidak memenuhi
nilai keadilan yang pada dasarnya merupakan salah satu landasan dari negara
ini.
PERMASALAHAN TERKAIT DENGAN DESENTRALISASI FISKAL
Permasalahan seputar implementasi desentralisasi fiskal di Indonesia
nampaknya sudah mulai muncul semenjak wacana terkait dengan desentralisasi
fiskal masih hanya sebatas gagasan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh
Ahmad and Mansoor (2002) yang menyatakan bahwa dorongan pelaksanaan
desentralisasi di Indonesia agak berbeda dengan apa yang menjadi spirit dari
negara-negara lain untuk mengimplementasikan kebijakan desentralisasi fiskal.
Menurut Ahmad and Mansoor (2002) dorongan yang ada di Indonesia lebih
karena keinginan masyarakat untuk mendapatkan otonomi atas sumber daya
alam, politik, dan hukum di wilayahnya masing-masing. Hal ini seperti yang
diungkapkan dalam pembahasan sebelumnya dimana salah satu ekses dari era
Ujian Tengah SemesterMata Kuliah Akuntansi dan Audit Sektor Publik Page 11
reformasi dan demokratisasi di Indonesia setiap orang diberikan kebebasan
seluas-luasnya untuk besuara. Dan yang disayangkan adalah bahwa kebebasan
yang diberikan tersebut kemudian lebih cenderung berlebihan sehingga berujung
pada munculnya keinginan-keinginan yang bersifat egoistis seperti halnya
keinginan untuk memisahkan diri dari NKRI. Berawal dari sini, yaitu untuk tetap
menjaga keutuhan dari NKRI, kemudian pemerintah mengambil suatu kebijakan
untuk memberikan otonomi dalam pengelolaan pemerintahan kepada masing-
masing daerah yang kemudian berujung pada pengimplementasian dari
kebijakan desentralisasi fiskal. Dorongan ini nampaknya berbeda dengan apa
yang terjadi di banyak negara lainnya, khususnya negara maju. Implementasi
desentralisasi fiskal di negara maju lebih cenderung difokuskan pada suatu cita-
cita untuk memenuhi kebutuhan masyarakat memperoleh pelayanan umum yang
lebih baik dari pemerintah, bukan suatu tuntutan yang hanya dilatarbelakangi
oleh keinginan yang egoistis semata.
Didasari dari kenyataan yang ada seperti telah diungkapkan pada paragraf
sebelumnya, maka sudah menjadi suatu hal yang sepantasnya dilakukan adalah
bahwa setiap komponen yang terkait dengan pengimplementasian kebijakan
desentralisasi fiskal di Indonesia benar-benar menyadari apa yang sebenarnya
menjadi tujuan ideal dari pengimplementasian kebijakan ini. Hendaknya masing-
masing komponen mempunyai orientasi bahwa kebijakan desentralisasi fiskal
harus berujung pada upaya pemaksimalan kesejahteraan masyarakat Indonesia
secara menyeluruh, tidak hanya kesejarteraan yang terdistribusi untuk segelintir
kelompok masyarakat saja. Dengan adanya orientasi semacam ini, maka
kesesuaian tujuan (goal congruence) antara pemerintah pusat dan daerah dapat
terealisasi sehingga kesejahteraan bangsa secara menyeluruh bisa terpenuhi
Selanjutnya, permasalahan lain yang muncul seputar pengimplementasian
desentralisasi fiskal di Indonesia adalah terkait dengan kebijakan makro ekonomi
Ujian Tengah SemesterMata Kuliah Akuntansi dan Audit Sektor Publik Page 12
negara. Menurut Rafinus (2001), secara umum perubahan kewenangan
pengeluaran maupun penerimaan anggaran, sebagai akibat dari pelaksanaan
desentralisasi fiskal, akan mempengaruhi kemampuan pemerintah pusat
melakukan kebijakan ekonomi makro melalui anggaran negara. Dalam hal ini,
selanjutnya ruang gerak dari pemerintah pusat akan semakin terbatasi karena
sebagian pengelolaan dari belanja dan pendapatan baik itu dari sektor eksplorasi
sumber daya alam maupun dari sektor perpajakan akan diserahkan kepada
pemerintah daerah.
Semakin terbatasinya ruang gerak dari pemerintah pusat disini dalam
artian bahwa terdapat sebagian jenis pungutan pajak yang mana dalam sistem
pemungutannya (contohnya adalah dalam penentuan besaran tarif) tidak lagi
bisa dengan sepenuhnya diinterfensi oleh pemerintah pusat karena
pengelolaannya sudah diserahkan kepada pemerintah daerah. Selanjutnya hal
lain yang juga tidak bisa diintervensi secara penuh adalah yang terkait dengan
aktivitas eksplorasi sumber daya alam di daerah. Tahapan-tahapan mulai dari
negosiasi, pelaksanaan, hingga proses renegosiasi kontrak eksplorasi saat ini
lebih dominan diperankan oleh pemerintah daerah. Hal ini akan berdampak pada
pergeseran peran manajemen untuk mengelola sumber-sumber pendapatan dan
belanja oleh pemerintah daerah yang kemudian akan memiliki efek ekonomi
makro yang penting.
Menurut Rafinus (2001), aktivitas desentralisasi semacam ini jika tidak
diikuti dengan adanya sistem koordinasi yang tepat akan dapat berdampak pada
terjadinya efek yang berlawanan dengan upaya pemerintah pusat untuk menjaga
stabilisasi ekonomi negara. Anggaran belanja Pemda yang meningkat dapat
mendorong permintaan domestik, dan mempengaruhi keseimbangan anggaran
bila efek multiplier dari pengeluaran daerah jauh melebihi multiplier rata-rata
pendapatannya. Sebagai contoh bila anggaran belanja Pemda terbatas
Ujian Tengah SemesterMata Kuliah Akuntansi dan Audit Sektor Publik Page 13
jumlahnya karena sempitnya kewenangan yang dimilikinya untuk mengenakan
pajak dan memperoleh pinjaman, maka perubahan komposisi belanja yang lebih
banyak kepada pekerjaan umum dan subsidi akan mendorong permintaan total
naik meskipun pemerintah pusat mencoba menahannya.
Untuk menanggulanginya, tentunya dibutuhkan suatu bentuk koordinasi
yang tepat antara pemerintah pusat dan juga pemerintah daerah, terutama
koordinasi yang berfokus pada mekanisme penyaluran dana-dana perimbangan
dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dengan adanya sistem
pengaluran dana perimbangan yang tepat diharapkan akan terjadi keseimbangan
horizontal antar satu daerah dengan daerah yang lainnya. Selain itu, sudah
menjadi suatu keharusan bagi pemerintah pusat untuk tetap menguasai sumber-
sumber pendapatan yang berasal dari pos-pos pajak yang dominan menguasai
keseluruhan pendapatan dari sektor perpajakan seperti halnya pos pendapatan
dari PPh, PPN, dan juga bea masuk dan impor. Dengan kebijakan semacam ini,
maka selanjutnya keseimbangan vertikal antar pemerintah pusat dan pemerintah
daerah akan terwujud.
Selanjutnya, hal lain yang juga harus ikut dicermati adalah alokasi belanja
yang dilakukan opeh pemerintah daerah di masa desentralisasi. Pemerintah
pusat hendaknya senantiasa ikut memonitor terkait dengan aktivitas pengelolaan
APBD yang dilakukan. Segala macam aktivitas belanja hendaknya difokuskan
untuk mencapai peningkatan kesejahteraan penduduk di daerah yang pada
akhirnya akan menjadi penggerak peningkatatan kesejahteraan negara secara
keseluruhan. Salah satu contohnya adalah alokasi belanja yang dikeluarkan
untuk kepentingan umum haruslah menjadi prioritas dari setiap aktivitas belanja
yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
Hal semacam ini patut menjadi suatu perhatian karena adanya kondisi
nyata yang terjadi di daerah dimasa-masa awal terjadinya desentralisasi. Usman
Ujian Tengah SemesterMata Kuliah Akuntansi dan Audit Sektor Publik Page 14
(200X) menyatakan bahwa akses masyarakat terhadap penggunaan listrik
meskipun datanya meningkat namun rasionya masih sangat rendah, di Pulau
Jawa-Bali masih di bawah 80 persen, di luar Jawa-Bali masih sekitar 50 persen.
Bangunan sekolah SD di Pulau Jawa dan Kalimantan ada penurunan di tahun
1999 ke tahun 2002. Di atas 80 persen desa memiliki bangunan SD, namun data
ini tidak melihat kualitas bangunannya. Dari laporan berbagi media banyak
bangunan SD yang kondisinya sangat memprihatinkan dan bahkan di sebagian
daerah bangunan sekolah roboh ketika proses belajar-mengajar sedang
berlangsung.
Data lain yang ditunjukkan oleh Usman (200X) adalah terkait dengan
kualitas jalan sebagai sarana utama transportasi. Di Pulau Jawa-Bali yang
memiliki panjang jalan terpanjang dibandingkan pulau-pulau lain di Indonesia,
kondisinya sangat memprihatinkan. Sejak tahun 1996 rasio jumlah desa yang
memiliki jalan beraspal terus berkurang. Di tahun 1996 rasionya masih 77
persen, di tahun 1999 menurun menjadi 75 persen, dan di tahun 2002 menjadi
73 persen. Di Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua selain rasionya yang masih
rendah juga rasionya menurun sejak tahun 1996 hingga 2002 yaitu dari 44
persen menjadi 41 persen. Pulau-pulau lain seperti Sumatera, Kalimantan, dan
Sulawesi rasionya masih di bawah 60 persen bahkan di Pulau Kalimantan
rasionya hanya 32 persen.
Dengan tersedianya sarana pendidikan, adanya pembangunan jalan dan
jembatan, serta dipermudahnya akses masyarakat terhadap sumber-sumber
yang menguasai hajad hidup orang banyak (seperti listrik dan air) maka akan
berdampak pada semakin mudahnya masyarakat untuk mendapatkan akses
ekonomi. Dengan adanya pembangunan jalan maka aktivitas ekonomi daerah
akan semakin berkembang yang pada kelanjutannya akan ikut mendorong
Ujian Tengah SemesterMata Kuliah Akuntansi dan Audit Sektor Publik Page 15
peningkatan taraf hidup masyarakat serta memberikan kontribusi pada posisi
ekonomi negara.
KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah diuraikan maka selanjutnya dapat diambil
suatu kesimpulan bahwa munculnya kebijakan desentralisasi fiskal tidak bisa
dilepaskan dari peristiwa reformasi yang berujung pada diimplementasikannya
otonomi daerah di seluruh wilayah Indonesia. Dengan adanya desentralisasi
fiskal ini, maka selanjutnya pemerintah daerah diberikan keleluasaan untuk
mengelola sumber-sumber pendapatan dan belanjanya yang ada dalam APBD.
Selanjutnya, untuk mencegah ketimpangan pendapatan antara dareah
yang kaya akan sumber daya alam dan juga daerah yang tinggi pendapatan
pajaknya dengan daerah yang bukan merupakan penghasil sumber daya alam
serta daerah yang rendah penertimaan pajaknya, maka selanjutnya dibutuhkan
suatu mekanisme pengalokasian dana perimbangan oleh pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah yang diwujudkan dengan adanya DPHP dan SDA,
DAU, serta DHK. Mekanisme dana perimbangan ini juga harus
diimplementasikan secara tepat untuk menjada stabilitas ekonomi makro
Indonesia.
Hal lain terkait desentralisasi fiskal yang perlu menjadi catatan adalah
terkait dengan monitoring yang senantiasa harus dilakukan terhadap kegiatan
belanja yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Hal ini dilakukan untuk
menciptakan suatu kesesuaian tujuan antara pemerintah pusat dan juga
pemerintah dareah yang pada akhirnya akan berujung pada peningkatan taraf
hidup dan kesejahteraan Bangsa Indonesia secara menyeluruh.
Ujian Tengah SemesterMata Kuliah Akuntansi dan Audit Sektor Publik Page 16
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Ehtisham. Ali Mansoor. 2000. Indonesia: Managing Decentralization. Conference on Fiscal Decentralization. http://www.imf.org/external/pubs/ft/seminar/2000/fiscal/mansoor.pdf. (Diakses Tanggal 16 Mei 2010)
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. 2009. Sistem Pengelolaan Keuangan Pemerintah. Modul Pendidikan Calon Pemeriksa Untuk dan Atas nama BPKRI
Bastian, Indra. 2005. Akuntansi Sektor Publik: Suatu Pengantar. Penerbit Erlangga: Jakarta
Isdijoso, Brahmantio. Tri Wibowo. 2002. Analisis Kebijakan Fiskal Pada Era Otonomi Daerah (Studi Kasus: Sektor Pendidikan di Kota Surakarta). Kajian Ekonomi Keuangan Vol. 6 No. 1. http://www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf/kajian%5CBramtri-1.pdf. (Diakses Tanggal 16 Mei 2010)
Rafinus, Bobby Hamzar. 2001. Desentralisasi Fiskal dan Manajemen Ekonomi Makro. Majalah Perencanaan Pembangunan Edisi 23 Tahun 2001.
Supratikno. 2009. Nasionalisme dan Kebangsaan di Era Desentralisasi. www.psp.ugm.ac.id. (Diakses Tanggal 22 Mei 2010)
Suyanto, S. dan N Khususiyah. 2006. Imbalan Jasa Lingkungan untuk Pengentasan Kemiskinan. Jurnal Agro Ekonomi (JAE) Vol 24: 1. http://www.worldagroforestrycentre.org/Sea/Publications/files/journal/JA0244-07.PDF. (Diakses Tanggal 19 Mei 2010)
Syahrudin, H. 2006. Desentralisasi Fiskal: Perlu Penyempurnaan Kebijakan dan Implementasi yang Konsisten. http://www.unand.ac.id/docs/FISKAL.pdf. (Diakses Tanggal 19 Mei 2010)
Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara
Undang-Undang No. 33 tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antar Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
Usman. Bonar M, Sinaga. Hermanto Siregar. 200X. Analisis Determinan Kemiskinan Sebelum dan Sesudah Desentralisasi Fiskal. http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/(4)%20%20soca-bm=-anal%20determinant(1).pdf. (Diakses Tanggal 16 Mei 2010)
Waluyo, Joko. 2007. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Dan Ketimpangan Pendapatan Antardaerah Di Indonesia. Parallel Session IA : Fiscal Decentralization 12 Desember 2007.
Ujian Tengah SemesterMata Kuliah Akuntansi dan Audit Sektor Publik Page 17