48
BAB II PEMBAHASAN

Desentralisasi korupsi pasca regulasi Otonomi Daerah

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Desentralisasi korupsi pasca regulasi Otonomi Daerah

Citation preview

Korupsi yang Terdesentralisasi Pasca Regulasi Otonomi Daerah

BAB IIPEMBAHASAN

Indonesia di Bawah Bayang-Bayang Korupsi Demokrasi setelah 14 tahun itu tidak kunjung membawa perubahan dalam dunia kehidupan rakyat karena perubahan dari orde baru ke reformasi tidak melakukan transformasi dalam watak kekuasaan.Yudi Latief, Pengamat Politik Reform InstituteKorupsi dalam bahasa Latin disebut Corruptio corruptus, dalam bahasa Belanda disebut corruptie, dalam Bahasa Inggris disebut corruption, dalam bahasa Sansekerta didalam Naskah Kuno Negara Kertagama tersebut corrupt arti harfiahnya menunjukkan kepada perbuatan yang rusak, busuk, bejat, tidak jujur yang disangkutpautkan dengan keuangan.[footnoteRef:1] Korupsi menurut Henry Campbell Black dalam Blacks Law Dictionary adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak-pihak lain, secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain, bersamaan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.[footnoteRef:2] [1: Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1996), hal 115. ] [2: Henry Campbell Black, Blacks Law Dictionary, Edisi VI, West Publishing, St. Paul, 1990. ]

Pengertian lain diungkapkan oleh Daud Rasyid bahwa korupsi adalah menyalahgunakan atau menggelapkan uang/harta kekayaan umum (negara, rakyat atau orang banyak) untuk kepentingan pribadi. Praktik korupsi biasanya dilakukan oleh pejabat yang memegang suatu jabatan pemerintah. Dalam istilah politik bahasa Arab, korupsi sering disebut al-fasad atau risywah. Tetapi yang lebih spesifik ialah ikhtilas atau nahb al-amwal al-ammah.[footnoteRef:3] [3: Lihat: Daud Rasyid, Islam dan Reformasi, Jakarta: Usama Press, 2001, hlm. 65]

Berdasarkan beberapa pengertian diatas penulis menyimpulkan bahwa korupsi adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud memperkaya atau untuk kepentingan pribadi dengan mengambil hak-hak yang bukan miliknya sehingga merugikan orang lain. Korupsi juga dapat diartikan sebagai penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan sehingga korupsi menjadi salah satu tindak pidana yang sangat membahayakan Negara karena dapat menghambat perkembangan Negara dalam segala bidang.Korupsi merupakan salah satu isu paling krusial yang dihadapi oleh banyak bangsa dan Negara termasuk Indonesia. Ketika orde baru tumbang di tahun 1998 dari 85 negara yang disurvei, Indonesia berada di rangking 80. Itu berarti Indonesia berada di rangking 5 sebagai Negara terkorup di dunia. Skor korupsi kita adalah 2.0. sebagai perbandingan skor korupsi Singapura adalah 9.1 dan termasuk sangat tinggi. Semakin kecil skor korupsi maka semakin buruk korupsi di Negara itu. Yang mengagetkan adalah posisi korupsi kita di tahun 2002, 4 tahun setelah reformasi. Dari 102 negara yang disurvei Indonesia berada di urutan ke 96. Itu berarti Indonesia berada di urutan ke enam terburuk di dunia. Namun jika dibandingkan dengan tahun 1998, skor korupsi kita ternyata bertambah merosot dengan nilai hanya 1.9.[footnoteRef:4] [4: Denny J. A., Manuver Elit, Konflik dan Konservatif Politik. LKIS.Yogyakarta.2006. hlm.54-55]

Hasil survey lembaga konsultan PERC yang berbasis di Hong Kong, menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang paling korup di antara 12 negara Asia. Predikat negara terkorup diberikan karena nilai Indonesia hampir menyentuh angka mutlak 10 dengan skor 9,25 (nilai 10 merupakan nilai tertinggi atau terkorup). Pada tahun 2005, Indonesia masih termasuk dalam tiga teratas Negara terkorup di Asia. Peringkat negara terkorup setelah Indonesia, berdasarkan hasil survei yang dilakukan PERC, yaitu India (8,9), Vietnam (8,67), Thailand, Malaysia dan China berada pada posisi sejajar di peringkat keempat yang terbersih. Sebaliknya, negara yang terbersih tingkat korupsinya adalah Singapura (0,5) disusul Jepang (3,5), Hong Kong, Taiwan dan Korea Selatan.[footnoteRef:5] [5: Yogi Suwarno dan Denny Yunanto, Strategi Pemberantasan Korupsi, Pusat Kajian Administrasi Internasional LAN RI, Jakarta, hlm. 95]

Gambar 1: Peringkat Korupsi Beberapa Negara Asia Tahun 2006[footnoteRef:6] [6: PERC, Corruption in Asia, 2006]

Bahkan menurut survey yang dilakukan Political and Economy Risk Consultancy (PERC) pada tahun 2010 yang menyebutkan bahwa dari 16 negara yang berada di Asia Pasifik, Indonesia masih menjadi negara yang memiliki tingkat korupsi tertinggi. Di antara tujuh negara ASEAN, Singapura dan Malaysia berada pada urutan pertama negara yang tingkat korupsinya terendah, yakni hanya sekitar 1.07 %. Selanjutnya disusul oleh Filipina dengan tingkat korupsi sekitar 7 %, Vietnam sekitar 7.11 %, dan Kamboja sekitar 7.25 %. Indonesia berada di urutan terakhir dengan skor 8.32 %.[footnoteRef:7] [7: Sahat Sinurat, https://www.academia.edu/7060623/ (diakses tanggal 15 Mei 2015) ]

Rentang skor dari nol sampai 10, di mana skor nol adalah mewakili posisi terbaik, sedangkan skor 10 merupakan posisi skor terburuk. Ini merupakan survei tahunan yang dilakukan oleh PERC untuk menilai kecenderungan korupsi di Asia dari tahun ke tahun. Dalam hal ini PERC bertanya kepada responden untuk menilai kondisi di mana mereka bekerja sekaligus juga untuk menilai kondisi negara asalnya masing-masing. Metode ini digunakan agar dapat menghasilkan data perbandingan antar negara (cross-country comparison), sehingga survei ini dapat dimanfaatkan untuk mengevaluasi bagaimana persepsi terhadap suatu negara berubah seiring waktu.[footnoteRef:8] [8: Yogi Suwarno dan Denny Yunanto, Op.cit]

Demikian pula dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2006 adalah 2,4 dan menempati urutan ke-130 dari 163 negara. Sebelumnya, pada tahun 2005 IPK Indonesia adalah 2,2, tahun 2004 (2,0) serta tahun 2003 (1,9). Hal ini menunjukkan bahwa penanganan kasus korupsi di Indonesia masih sangat lambat dan belum mampu membuat jera para koruptor. Gambar 2. Peta Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di Seluruh Dunia[footnoteRef:9] [9: Transparancy International (2006)]

Gambar 2 merupakan pemetaan IPK seluruh negara yang dibedakan dalam warna. Biru adalah Negara-negara yang tingkat korupsinya paling kecil (9-10). Merah tua merupakan negara dengan tingkat korupsi terparah (1-1,9). Sedangkan, warna-warna lain berada di antaranya (2-8,9) Namun sebagian besar negara-negara berkembang berada pada tingkat korupsi sedang sampai dengan parah (2-2,9), termasuk Indonesia (warna merah). Dari gambar di atas juga dapat diketahui bahwa gejala umum menunjukkan bahwa tingkat korupsi cenderung berbanding lurus dengan tingkat kemakmuran suatu negara.[footnoteRef:10] [10: Yogi Suwarno dan Denny Yunanto, Loc.cit. hlm. 96]

Lahirnya Undang-Undang Otonomi DaerahPentingnya desentralisasi kekuasaan birokrasi pemerintah, selain untuk mengembalikan kekuasaan (empowerment) kepada rakyat, juga karena didorong oleh adanya keterbatasan yang dialami oleh birokrasi pemerintah sendiri. Tidak semua perkara bisa dikerjakan oleh negara atau birokrasi pemerintah. Semua urusan yang selama ini selalu bersarwa negara itu sudah tidak pada tempatnya lagi.Pengakuan terhadap keterbatasan inilah yang menentukan terhadap upaya-upaya desentralisasi kekuasaan.Prof.Miftah Thoha, 2002 Hegemoni Orde Baru yang mengekang kebebasan masyarakat dalam partisipasi berpolitik dan berpendapat, memunculkan gagasan tentang desentralisasi sebagai reaksi peran Negara yang terlalu dominan dan sentralistik. Gagasan ini pula yang kemudian menjadi dasar dan tuntutan masyarakat ketika peristiwa penggulingan Soeharto dari tampuk kepemimpinannya pada Mei 1998 lalu. Sentralisasi pengelolaan ekonomi dan politik yang menjadi karakter utama sistem politik Orde Baru telah menjadi sasaran kemarahan masyarakat daerah di seluruh Indonesia. Hal ini mengakibatkan ketegangan hubungan antara pusat dan daerah. Ketegangan hubungan tersebut ditandai dengan beberapa tuntutan: pertama, kebangkitan identitas kedaerahan yang seringkali didasarkan pada solidaritas etnis yang menjadi institusi sosial dan ideologis untuk berhadapan dengan pemerintah pusat. Hal ini terjadi di sejumlah daerah yang sensitif secara politik dan signifikan secara ekonomi terutama, Aceh, Irian Jaya, Riau, dan Kalimantan Timur. Kedua, meluasnya tuntutan daerah untuk mendapatkan otonomi yang lebih luas, bahkan muncul dalam tuntutan perubahan format pengaturan politik dari negara kesatuan ke bentuk negara federal. Ketiga, mengerasnya diskursus publik mengenai keharusan bagi desentralisasi[footnoteRef:11], dan bahkan federalisme[footnoteRef:12], sebagai solusi terbaik bagi kelangsungan negara kesatuan. [11: Dalam UU No. 22 Tahun 1999 disebutkan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenag pemerintah oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik.] [12: Memberikan definisi terhadap federalisme bukanlah merupakan hal yang mudah untuk dilakukan. Daniel J. Elazar (dalam Seymour Martin Lipset, 1995, p. 474-5) menyatakan dengan singkat bahwa federalisme "merupakan satu bentuk asosiasi politik dan organisasi yang menyatukan unit-unit politik yang terpisah ke dalam suatu sistem politik yang lebih komprehensif, dan mengijinkan masing-masing unit politik tersebut untuk tetap memiliki atau menjaga integritas politiknya secara fundamental."]

Gelombang tuntutan yang semakin bergejolak ditengah merosotnya kapasitas negara memaksa pemerintah melakukan langkah-langkah politik penting untuk mengakomodasinya dengan dikeluarkannya kebijakan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah untuk membuat kebijakan dan mengurus keuangannya sendiri. Terlepas dari sejumlah kritik, Undang-Undang tersebut secara prinsip melakukan perubahan mendasar, terutama karena ia memangkas kekuasaan pusat dan sebaliknya memberi ruang politik yang sangat besar bagi daerah untuk mengatur diri. Undang-Undang ini menggeser focus politik dari Jakarta ke daerah-daerah, terutama ke kabupaten/kotamadya.Pemberlakuan sistem otonomi daerah merupakan amanat yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) Amandemen Kedua tahun 2000 untuk dilaksanakan berdasarkan undang-undang yang dibentuk khusus untuk mengatur pemerintahan daerah. UUD 1945 pasca-amandemen itu mencantumkan permasalahan pemerintahan daerah dalam Bab VI, yaitu Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B. Sistem otonomi daerah sendiri tertulis secara umum dalam Pasal 18 untuk diatur lebih lanjut oleh undang-undang.[footnoteRef:13] [13: Pasal 18 ayat (2) menyebutkan, Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Selanjutnya, pada ayat (5) tertulis, Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. Dan ayat (6) pasal yang sama menyatakan, Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan (Indonesia (a), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ps. 18).]

Namun secara khusus Secara khusus, pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, karena dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, maka aturan baru pun dibentuk untuk menggantikannya. Pada 15 Oktober 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri mengesahkan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.[footnoteRef:14] [14: Rizky Argama. Pemberlakuan Otonomi Daerah dan Fenomena Pemekaran Wilayah di Indonesia. Universitas Indonesia, Jakarta, 2005. Hlm.3]

Meskipun UUD 1945 yang menjadi acuan konstitusi telah menetapkan konsep dasar tentang kebijakan otonomi kepada daerah-daerah, tetapi dalam perkembangan sejarah ide otonomi daerah itu mengalami berbagai perubahan bentuk kebijakan yang disebabkan oleh kuatnya tarik-menarik kalangan elit politik pada masanya. Apabila perkembangan otonomi daerah dianalisis sejak tahun 1945, akan terlihat bahwa perubahan-perubahan konsepsi otonomi banyak ditentukan oleh para elit politik yang berkuasa pada saat itu. Hal itu terlihat jelas dalam aturan-aturan mengenai pemerintahan daerah sebagaimana yang terdapat dalam UU berikut ini:[footnoteRef:15] [15: Nur Rohim Yunus. Dampak Ekonomi Akibat Kejahatan Korupsi Pasca Regulasi Otonomi Daerah. Salam:Jurnal Filsafat dan Budaya Hukum, Vol.1 No. 1, 2014. Hlm. 129]

Pertama; UU No. 1 tahun 1945. Kebijakan Otonomi daerah pada masa ini lebih menitikberatkan pada dekonsentrasi. Kepala daerah hanyalah kepanjangan tangan pemerintahan pusat.Kedua; UU No. 22 tahun 1948. Mulai tahun 1948, kebijakan otonomi daerah lebih menitikberatkan pada desentralisasi. Walaupun dalam pelaksanaannya masih ada dualisme peran di kepala daerah, di satu sisi berperan besar untuk daerah, di sisi lain menjadi alat pemerintah pusat.Ketiga; UU No. 1 tahun 1957. Kebijakan otonomi daerah pada masa ini masih bersifat dualisme, di mana kepala daerah bertanggung jawab penuh pada DPRD, tetapi juga masih alat pemerintah pusat.Keempat; Penetapan Presiden No.6 tahun 1959. Pada masa ini kebijakan otonomi daerah lebih menekankan dekonsentrasi. Melalui penpres ini kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat terutama dari kalangan pamong praja.Kelima; UU No. 18 tahun 1965. Pada masa ini kebijakan otonomi daerah menitikberatkan pada desentralisasi dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya bagi daerah, sedangkan dekonsentrasi diterapkan hanya sebagai pelengkap saja.Keenam; UU No. 5 tahun 1974. Setelah terjadinya G.30.S PKI pada dasarnya telah terjadi kevakuman dalam pengaturan penyelenggaraan pemerintahan di daerah sampai dengan dikeluarkanya UU NO. 5 tahun 1974 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas perbantuan. Sejalan dengan kebijakan ekonomi pada awal Ode Baru, maka pada masa berlakunya UU No. 5 tahun 1974 pembangunan menjadi isu sentral dibanding dengan politik. Pada penerapannya, terasa seolah-olah telah terjadi proses depolitisasi peran pemerintah daerah dan menggantikannya dengan peran pembangunan yang menjadi isu nasional.Ketujuh; UU No. 22 tahun 1999[footnoteRef:16] tentang Pemerintahan Daerah. Pada masa ini terjadi lagi perubahan yang menjadikan pemerintah daerah sebagai titik sentral dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan mengedapankan otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab. [16: Undang-undang Nomor: 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah jo. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor: 3 Tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Undang undang Nomor: 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, jo. Undang-undang Nomor: 8 Tahun 2005 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor: 3 Tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor: 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-undang, jo. Undang-undang Nomor: 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor: 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.]

Perubahan yang paling penting dengan adanya UU 22 tahun 1999 ini menggantikan UU 15 tahun 1974 adalah pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada daerah menyangkut sektor pelayanan publik. Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan Pemerintah Kabupaten/ Kota meliputi: pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, koperasi dan tenaga kerja.Tabel 1. Perubahan Setelah Desentralisasi[footnoteRef:17] [17: Yayasan Habibie Centre, 2003, Otonomi Daerah; Proyeksi dan Evaluasi, YHB, Jakarta, hal. 194 - 195]

No.Item PerubahanUU No. 5/1974UU No 22/1999

1Struktur PemdaDPRD bagian dari EksekutifDPRD berdiri sendiri

2Pemilihan Kepala DaerahHak prerogratif pemerintah pusatHak prerogratif DPRD

3PengawasanEksekutif mengawasi DPRDHak DPRD sekaligus adalah hak anggota DPRD

4Hak DPRDHak DPRD dibedakan dari Hak anggota DPRDHak DPRD sekaligus adalah hak anggota DPRD

5Anggaran DPRDDitentukan dan dikelola eksekutifDitentukan dan dikelola DPRD

6Panggilan DPRD kepada pejabat atau masyarakatDiwakilkan pada bawahan atau ditolakDPRD dapat mengenakan sanksi bagi yang menolak

7Eksplorasi Sumber Daya Alam daerahDPRD tidak tahu menahu tentang perjanjian menyangkut eksploitasi SDA daerahDPRD diberi kewenangan untuk memberi pendapat dan pertimbangan

8Hak Penyelidikan DPRDTidak pernah digunakan karna tidak pernah ada UU yang mengaturnyaHak tersebut diatur sendiri oleh DPRD dalam Tata Tertib DPRD

9Pelaksanaan aspirasi masyarakatDPRD hanya menampung dan menyampaikan kepada eksekutifDPRD mendapat tugas menampung dan menindaklanjuti asirasi masyarakat

10Fraksi DPRDHanya ada 3 fraksiBisa terdapat lebih dari 5 fraksi

UU ini menggeser locus politik dari Jakarta ke daerah-daerah, terutama ke kabupaten/kotamadya. Dengannya, desentralisasi akan mungkin dicapai melalui pemberlakuan ini. Akan tetapi, dalam perjalananya pengalihan kekuasaan secara besar-besaran ke daerah punya konsekwensii serius yang belum banyak mendapat perhatian yaitu: Pertama, desentralisasi korupsi juga secara besar-besaran ke daerah. Kedua, bisa berakibat pada kebangkitan kembali aristokrasi atau feodalisme lokal dengan segala akibatnya (hal ini dimungkinkan terjadi karena struktur sosial aristokratis dan feodalistik masih bisa ditemukan dalam interaksi sosial di masyarakat lokal). Ketiga, bekerjanya struktur politik yang bersifat otoritarian, akan berakibat pada pengalihan otoritarianisme, negara dari Jakarta ke daerah-daerah. Keempat, keterbatasan pengalaman daerah dalam mengelola birokrasi pelayanan beresiko pada terjadinya inefisiensi dan inefektivitas dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik (signifikansinya mengandung resiko terjadinya politisasi semua aspek kehidupan lokal, termasuk birokrasi local). Kelima, persoalan keterbatasan sarana dan prasarana komunikasi dan transportasi akan melahirkan pertanyaan serius disekitar pelayanan public (implikasi serius pada persoalan pemerataan di daerah-daerah).[footnoteRef:18] [18: I Wayan Sudana, Otonomi, Korupsi, dan Pelayanan Publik. http://ilmupemerintahan. wordpress. com/. (Diakses tanggal 15 mei 2015).]

Pelaksanaan otonomi daerah yang dicanangkan sejak Januari 2001 telah membawa perubahan politik di tingkat lokal (daerah). Salah satunya adalah menguatnya peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Jika di masa sebelumnya DPRD hanya sebagai stempel karet dan kedudukannya di bawah legislatif, setelah otonomi daerah, peran legislatif menjadi lebih besar, bahkan dapat memberhentikan kepala daerah.[footnoteRef:19] [19: Budi Agustono, 2005, Otonomi Daerah dan Dinamika Politik Lokal: Studi Kasus di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara dalam Desentralisasi Globalisasi dan Demokrasi Lokal, editor Jamil Gunawan, Jakarta: LP3ES, hlm.164.]

Pemberlakuan otonomi daerah beserta akibatnya memang amat perlu dicermati. Tidak saja memindahkan potensi korupsi dari Jakarta ke daerah, otonomi daerah juga memunculkan raja-raja kecil yang mempersubur korupsi, kolusi, dan nepotisme. Di samping itu, dengan adanya otonomi daerah, arogansi DPRD semakin tidak terkendali karena mereka merupakan representasi elite lokal yang berpengaruh. Karena perannya itu, di tengah suasana demokrasi yang belum terbangun di tingkat lokal, DPRD akan menjadi kekuatan politik baru yang sangat rentan terhadap korupsi.[footnoteRef:20] [20: Budi Agustono, Ibid.]

Sebagaimana diamanatkan UU Nomor 32 Tahun 2004, public seharusnya dilibatkan dalam pembuatan kebijakan. Namun, di beberapa daerah yang sudah mengadopsi sistem otonomi daerah, kenyataan yang terjadi masih jauh dari harapan. Pengambilan keputusan belum melibatkan publik dan masih berada di lingkaran elite lokal provinsi dan kabupaten/kota. Belum terlibatnya publik dalam pembuatan kebijakan itu tercermin dari pembuatan peraturan daerah (perda).Sebagai contoh dari kenyataan tersebut, sejak pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Deli Serdang, Sumatera Utara, telah membuat 43 perda. Dari 43 perda itu, sebagian berkaitan dengan peningkatan pendapatan daerah, yaitu perda tentang retribusi dan pajak. Pembuatan perda semuanya berasal dari eksekutif, kemudian dibawa untuk dibahas di DPRD. Biasanya, DPRD tinggal mengesahkannya saja. Setelah dilakukan pengesahan, perda-perda itu baru disosialisasikan ke publik. Meskipun Pemkab Deli Serdang cukup produktif dalam mengeluarkan peraturan, tidak demikian dengan pelayanan publik yang mereka berikan.[footnoteRef:21] [21: Budi Agustono, Ibid. hlm.169]

Otonomi daerah, di lain pihak, memperkenalkan kecenderungan baru, yaitu banyaknya lembaga sosial masyarakat baru yang bertujuan untuk mengatasi konflik, perbedaan etnis, dan masalah sosial-ekonomi dengan bantuan minimal dari pemerintah lokal. Pemerintah lokal juga mencoba mengadopsikan peran aktif mengasimilasi kepentingan golongan minoritas. Untuk mengatasi masalah asimilasi, pada awal 1970-an, Presiden Soeharto membentuk Badan Kesatuan Bangsa dan Pembaruan Masyarakat (BKBPM), dan setelah reformasi, mengubah namanya menjadi Badan Kesatuan Bangsa (BKB). Badan ini memberikan dana kepada lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bertujuan untuk menjalankan program asimilasi dan membangkitkan sensitif suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dan saling pengertian antarkelompok minoritas. Program BKB juga menggunakan LSM dan aparat pemerintah dalam membangun program asimilasi kebudayaan dan kelompok etnis plural.[footnoteRef:22] [22: Kendra Clegg, 2005, Dari Nasionalisasi ke Lokalisasi: Otonomi Daerah di Lombok dalam Desentralisasi Globalisasi dan Demokrasi Lokal, editor Jamil Gunawan, Jakarta: LP3ES, hlm. 193.]

Dampak positif otonomi daerah adalah memunculkan kesempatan identitas lokal yang ada di masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali pemerintah pusat mendapatkan respon tinggi dari pemerintah daerah dalam menghadapi masalah yang berada di daerahnya sendiri. Bahkan dana yang diperoleh lebih banyak daripada yang didapatkan melalui jalur birokrasi dari pemerintah pusat. Dana tersebut memungkinkan pemerintah lokal mendorong pembangunan daerah serta membangun program promosi kebudayaan dan juga pariwisata.[footnoteRef:23] [23: Kendra Clegg, Ibid. hlm 194.]

Otonomi Daerah dan Kaitannya Terhadap Praktik Korupsi yang TerdesentralisasiSejumlah studi yang dilakukan terhadap negara maju dan berkembang menunjukkan bahwa penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah di satu sisi telah mendorong terciptanya akuntabilitas anggaran, namun di sisi lain juga membuka peluang yang sangat besar bagi terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme serta memungkinkan terjadinya kontrol yang kuat dari para elit politik di tingkat lokal (daerah).Prof. Wihana Kirana Jaya, Msoc.Sc., Ph.D, 2010Otonomi daerah diharapkan dapat mendorong terciptanya proses demokrasi di Indonesia, yang ditunjukkan dengan meningkatnya peran masyarakat dalam proses pembangunan. Selain itu, otonomi daerah juga diharapkan meningkatkan efektifitas dan efisiensi dalam pelayanan publik, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan mewujudkan kemajuan pembangunan yang merata di setiap daerah. Namun fakta yang berjalan menunjukkan bahwa Otonomi daerah membawa sisi lain selain terciptanya akuntabilitas anggaran yaitu membuka lebar peluang terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme serta memungkinkan terjadinya kontrol yang kuat dari para elit politik di tingkat lokal (daerah) seperti yang dikatakan Prof. Wihana Kirana Jaya, Msoc.Sc., Ph.D dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar dalam Ilmu Ekonomi di Universitas Gajah Mada tahun 2010. Pernyataan tersebut bukan tanpa alasan, melihat kondisi Indonesia dalam kurung waktu 14 tahun sejak regulasi undang-undang otonomi daerah telah banyak kasus korupsi yang terungkap dan sebagian besar terjadi pada kalangan pejabat lokal (daerah).Hasil laporanIndonesianCorruption Watch (ICW), sejak Januari hingga Desember 2004, terdapat 432 kasus korupsi yang terjadi di seluruh Indonesia dengan berbagai macam aktor, modus, dan tingkat kerugian yang dialami negara. Dari sekian kasus itu, kata dia, 124 kasus korupsi melibatkan anggota DPRD dan 83 kasus melibatkan kepala daerah. Kemudian Berdasarkan data Pusat Studi Anti (PuKAt) Korupsi Fakultas Hukum UGM, aktor terbanyak tahun 2008 adalah Anggota/Mantan DPRD. Pelaku korupsi ini terdiri dari Anggota/ Mantan DPRD: 89 orang, Pejabat/mantan Pemda: 65 orang, Swasta/rekanan: 40 orang, Bupati/walikota/mantan: 16 orang, Pejabat BUMN: 13 orang, Mantan Duta Besar/Konsulat Jenderal: 13 orang, Mantan Anggota DPR: 9 orang, Gubernur/ mantan: 7 orang,Mantan Pejabat BI: 7 orang, Pejabat/mantan pejabat desa: 6 orang, Pejabat departemen: 5 orang, dan selebihnya adalah Mantan kepala Rumah sakit, Mantan Sekda, Pimpro, Mantan GM, Komisioner lembaga independen, bendahara, jaksa, kepala sekolah, dosen.[footnoteRef:24] [24: Syafrin Azuari, Memberantas Penyakit Korupsi di Era Otonomi Daerah. http://politik. kompasiana.com. (diakses tanggal 15 mei 2015)]

Bahkan di awal tahun 2013, sekitar Februari, Mendagri Gamawan Fauzi telah melansir sebuah data yang memprihatinkan. Selama sembilan tahun terakhir, 2004 2012, terdapat 290 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Artinya, setiap tahun terdapat 32 kepala daerah yang bermasalah dengan hukum. Dari jumlah itu, sekitar 86,2 % telah dipidana. 290 kepala daerah itu terdiri dari: 20 orang menjabat sebagai gubernur, 7 orang wakil gubernur, 156 orang bupati, 46 orang wakil bupati, 41 orang walikota, dan 20 orang wakil walikota.[footnoteRef:25] [25: Iskandar Saharuddin, 2013, Hambatan Pemberantasan Korupsi dalam RUU Pemda, Pattiro, Jakarta.]

Melengkapi laporan Mendagri diatas, KPK, dalam Laporan Tahunan 2012 mengungkapkan, sejak 2007 hingga akhir tahun 2012, telah berhasil disidik dan dipidanakan 138 kasus korupsi ditingkat daerah. Dari 138 perkara korupsi tersebut, sebanyak 38 kasus terjadi ditingkat provinsi dan 60 kasus lainnya ditingkat kabupaten/kota. Delapan gubernur ditetapkan sebagai tersangka/terdakwa. Dan ditingkat kabupaten/kota, dari 60 perkara korupsi, 32 bupati/walikota terjerat pula didalamnya. Kejadian ini semua terjadi dibawah rezim hukum pemerintahan daerah, UU 32/2004.[footnoteRef:26] [26: Iskandar Saharuddin, Ibid]

Hasil survey tersebut menjadi pukulan telak bagi Indonesia apalagi banyak pihak yang menyatakan problem korupsi di Indonesia sebagian besar berasal dari sector public seperti misalnya DPR dan kepala daerah. Berdasarkan perbandingan skor korupsi pada tahun 1998 dan 2002 terlihat pula nilai korupsi Indonesia semakin buruk walaupun pada awalnya memang sudah buruk. Ini dinilai terjadi setelah adanya regulasi UU Otonomi daerah oleh beberapa pihak sehingga muncul guyonan pesimis yang berkata Dulu waktu Orde Baru, raja korupsinya hanya satu, kalau sekarang raja dan ratu korupsinya sudah banyak dan membangun dinasti. Penerapan Undang-undang Otonomi daerah dinilai terlalu terburu-buru dan terkesan hanya untuk memenuhi tuntunan rakyat agar tidak dicap sebagai penghianat reformasi. Walaupun pada dasarnya penerapan desentralisasi ini sangat dibutuhkan Indonesia namun perlu dipersiapkan sematang mungkin. Untuk ukuran Indonesia yang baru saja melalui gejolak perpolitikan yang begitu dramatis pada tahun 1998 dan penerbitan undang-undang Otonomi daerah setahun kemudian terlihat tanpa persiapan dan memberikan banyak sisi negative dalam penerapannya. Dampak dari pemberlakuan sistem otonomi daerah yang memberi wewenang pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri, termasuk di dalamnya menentukan sendiri APBD. APBD sendiri disusun dan dirumuskan oleh DPRD bersama kepala daerah, hal inilah yang diindikasikan menjadi sasaran empuk untuk memperkaya diri sendiri, APBD merupakan pundi-pundi kekayaan negara yang enak untuk dinikmati sendiri dan dinikmati beramai-ramai, penyusunan APBD oleh DPRD dan kepala daerah seringkali melahirkan proyek dengan pembengkakan dana, tanpa melihat kebutuhan masyarakat luas, nilai kegunaan dari proyek dinilai kurang bahkan terkesan menghamburkan uang rakyat.[footnoteRef:27] [27: Syafrin Azuari, Ibid.]

Hal ini karena rakyat sendiri sebagai subjek demokrasi nyatanya belum siap untuk berdemokrasi. Otonomi daerah menuntut peran aktif dari masyarakat untuk memilih wakil rakyat dan kepala daerahnya. Namun, kondisi masyarakat, kemiskinan dan rendahnya pendidikan, membuat mereka mudah diperalat dan diarahkan oleh oknum-oknum yang berkepentingan. Suara masyarakat diarahkan untuk memilih calon yang tidak memiliki kapasitas. Sayangnya, masyarakat tidak mampu mengkritisinya karena faktor perut (kemiskinan) dan rendahnya tingkat pendidikan mereka.[footnoteRef:28] [28: Sahat Sinurat, Loc.cit.]

Selain itu kuatnya kedudukan lembaga eksekutif daripada lembaga legislatif akan berdampak pada hubungan antara lembaga pemerintah di tingkat lokal. Penguatan DPRD yang memiliki posisi sebagai lembaga eksekutif akan berimplikasi pada pergeseran relasi kekuasaan di tingkat local dimana seseorang untuk dapat menjadi kepala daerah dan mempertahankan posisinya harus dapat bekerjasama dengan DPRD. Pergeseran relasi kekuasaan ini diduga mendorong terjadinya locus korupsi di tingkat local dimana transaksi politik banyak terjadi di gedung dewan.[footnoteRef:29] Praktik korupsi di daerah bahkan sudah mulai sebelum seseorang duduk dalam jabatan kepala daerah; untuk bisa mendapat dukungan suara dari anggota DPRD, calon kepala daerah melakukan suap kepada anggota DPRD praktik yang lebih dikenal sebagai money politic. Dalam penelitiannya di wilayah Poso, Aditjondro mengungkapkan nilai suara yang harus dibayarkan oleh seorang calon bupati kepada setiap anggota DPRD senilai Rp 20 juta. Penting untuk dicatat, bahwa seorang anggota DPRD tidak hanya menerima dari kandidat yang akhirnya menang melainkan juga menerima dari kandidat yang kalah.[footnoteRef:30] [29: Ervyn Kaffah, 2007, Pergeseran Relasi Kuasa di Daerah, , tidak dipublikasikan] [30: George J. Aditjondro, April 2007 Review Local Government Corruption Study Report, tidak dipublikasikan.]

Pola ini tak bisa lagi dipandang sebatas kacamata lokal. Untuk memenuhi pembiayaan politik dalam proses pemilihan, seorang calon kepla daerah perlu mencari dukungan pembiayaan dari kelompok kepentingan dan pelaku politik di tingkat nasional. Pelaku di tingkat nasional memiliki kepentingan khusus dengan apa yang terjadi di tingkat local. Kemudian pelaku bisnis di tingkat provinsi dan nasional memiliki kepentingan tersendiri untuk mendukung calon yang pada gilirannya harus dibayar ketika kelak ia menduduki posisi tersebut. Hal ini mengingat berdasarkan Undang-Undang Pemerintahan Daerah, seorang kepala daerah memiliki otoritas untuk menyetujui rencana investasi pelaku bisnis di daerahnya.[footnoteRef:31] [31: George J. Aditjondro, Ibid.]

Menarik apa yang ditulis oleh Andrinof A. Chaniago, anggota DPRD yang seharusnya berperan mengontrol tindakan eksekutif justru berkembang kearah pemerasan Negara oleh politisi. Para politisi lembaga legislatif daerah cenderung menggunakan kesempatan untuk menekan eksekutif agar mau melakukan penggerogotan keuangan Negara lewat proses pengajuan Rancangan Anggaran Pembangunan Daerah dan lewat mekanisme laporan pertanggungjawaban kepala daerah.[footnoteRef:32] [32: Andrinof A. Chaniago, 2002, Rintangan-rintangan Demokrasi di Indonesia, dalam Maruto MD dan Anwari MWK(Ed), Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat, Kendala dan peluang menuju Demokrasi, LP3ES, Jakarta. ]

Gejala Penyebab Korupsi di DaerahMari kita renungkan betapa bahayanya korupsi, tidak ada lagi tempat yang bebas dari korupsi. Kita harus patuh dan menyadari bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa.Abraham Samad, Hari Antikorupsi Sedunia 9 Desember 2012Merujuk pada pemberlakuan UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999 kondisi empirik keuangan daerah memang menunjukkan gejala-gejala yang memungkinkan untuk melakukan korupsi di daerah. Seorang Direktur Fasilitasi Kebijakan dan Pelaporan Otda sekaligus Direktur Jenderal Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri, Made Suwandi[footnoteRef:33] menyatakan bahwa gejala-gejala tersebut adalah:[footnoteRef:34] [33: Menjabat pada masa pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid tahun 2002] [34: Made Suwandi, Konsepsi Dasar Otonomi Daerah Indonesia, Jakarta, 2002, hlm. 19-21.]

Pertama; Konflik penguasaan kewenangan yang menghasilkan penerimaan. Permasalahan aktual yang dihadapi dalam aspek keuangan dalam masa transisi adalah timbulnya kecenderungan rebutan kewenangan antar tingkatan pemerintahan untuk memperoleh sumber-sumber keuangan yang berasal dari wewenang tersebut. Kewenangan-kewenangan yang menghasilkan sumber penerimaan cenderung bermasalah, sedangkan kewenangan yang kurang menghasilkan penerimaan cenderung untuk dihindari. Sebagai contoh, pelayanan rumah sakit jiwa cenderung untuk saling lempar tanggungjawab dalam penanganannya.[footnoteRef:35] [35: Made Suwardi, Ibid. hlm. 19-21]

Menurut penulis sendiri melihat bahwa kewenangan merupakan masalah klasik dalam sistem kekuasaan. Apalagi berkaitan dengan bidang produktif sehingga kadangkala pemegang kekuasaan dalam hal ini pemerintah daerah yang telah diberikan keleluasaan dalam membuat kewenangan akan lebih cenderung kepada sector-sektor yang dapat menghasilkan pendapatan sementara sector yang kurang produktif diabaikan. Hal ini tentu dapat dijadikan peluang korupsi dengan membuat peraturan yang menguntungkan pemerintah.Kedua; Keuangan daerah yang kurang mencukupi (Financial Insufficiency). Luasnya kewenangan otonomi daerah dijadikan alasan utama untuk meningkatkan sumber-sumber penerimaan daerah. Akibatnya muncul berbagai pungutan daerah yang tidak jelas hubungan dengan pelayanan yang diberikan daerah. Pungutan tersebut menyebabkan economic inefficiency yang dibebankan ke konsumen ataupun menyebabkan kurang kompetitifnya ekonomi daerah dan nasional. Tidak adanya Standar Pelayanan Minimum (SPM) juga menjadi pemicu ketidakmampuan daerah untuk menghitung kebutuhan fiscal daerah dan ketidakmampuan menghitung agregat biaya yang dibutuhkan daerah. Akibatnya daerah selalu merasa kekurangan dana dan memicu kecenderungan untuk mencari sumber-sumber kewenangan baru yang dapat menghasilkan penerimaan daerah.[footnoteRef:36] [36: Made Suwardi, Ibid. hlm. 19-21]

Ketiga; Kurangnya kepatuhan pada peraturan dan lemahnya penegakan hukum. Walaupun PP No 109 tahun 2000 dan PP No 110 tahun 2000 mengatur kedudukan keuangan dari kepada daerah dan DPRD. Sebagian besar dari mereka tidak mengikuti pembiayaan yang ditetapkan oleh PP tersebut karena menganggap bahwa otonomi berarti daerah dapat melakukan apa saja yang sesuai dengan keinginan mereka. Beberapa daerah bahkan menolak kehadiran aparat pengawasan pusat dengan alasan otonomi daerah memberi kewenangan sepenuhnya pada daerah dalam memanfaatan keuangan daerah. Kurangnya kontrol dan supervisi adalah sebagai penyebab lemahnya penegakan hukum.[footnoteRef:37] [37: Made Suwardi, Ibid. hlm.19-21]

Keempat; Kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunan APBD. Rencana-rencana alokasi dana dalam APBD yang mencerminkan kebijakan daerah sering disusun secara kurang transparan dan kurang melibatkan partisipasi masyarakat, sehingga sering menimbulkan protes masyarakat. Hal ini disebabkan belum adanya sistem akuntansi daerah dan belum disusunnya APBD berdasarkan anggaran kinerja sebagaimana diatur dalam PP No 105 tahun 2000. Bila hal ini terus berlanjut, maka kemungkinan adanya peluang untuk melakukan korupsi di setiap lini keuangan menjadi lebih besar.[footnoteRef:38] Hal ini menurut penulis dapat menjadi pemicu utama perilaku korupsi, karena dengan adanya capability melakukan sistem akuntansi daerah yang baik akan berakibat kerancuan dalam sistem pembukuan daerah. [38: Nur Rahim, Op. cit. hlm. 138]

Kelima; Kurangnya manajemen Aset. Manajemen dan pemanfaatan aset daerah masih sangat rendah. Sangat diperlukan adanya peningkatan kapasitas daerah dan pengaturan mengenai pengelolaan aset daerah. Bila aset daerah kurang termanajemen dengan baik, akan cenderung terjadi prilaku penyalahgunaan aset daerah oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab.[footnoteRef:39] [39: Nur Rahim, Ibid. hlm.138]

Keenam; kebijakan investasi di daerah. Belum ada kejelasan mengenai pengaturan mekanisme investasi di daerah, selain hubungan antara peran pusat dan daerah dalam hal pengelolaan investasi di daerah. Menurut penulis, walau setiap daerah mendapat kebebasan dalam menentukan nasib daerahnya setidaknya harus jelas adanya pengaturan mekanisme investasi, sehingga tidak memberi peluang bagi pihak yang tidak bertanggungjawab untuk ikut mengatur investasi tersebut. Selain itu, harus ada kejelasan peran antara pusat dan daerah dalam pengelolaannya, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan, dan pendapatan dan pemasukan yang dihasilkan dapat terdata dengan jelas.[footnoteRef:40] [40: Nur Rahim, Ibid. hlm.138]

Ketujuh; Pemisahan keuangan eksekutif dengan legislatif. Adanya ketentuan dalam UU No 22 tahun 1999 yang memisahkan anggaran eksekutif dengan legislatif telah menimbulkan penafsiran bahwa masing-masing berhak untuk mendapatkan alokasi anggaran. Sering muncul tuntutan persamaan jumlah alokasi anggaran. Akibatnya dana daerah banyak habis untuk overhead cost birokrasi baik politik maupun karir yang ada di lingkungan Pemda.[footnoteRef:41] [41: Made Suwardi, loc.cit. hlm.19-21]

Kasus dan Modus Korupsi di DaerahKorupsi (C) terjadi karena monopoli (M) ditambah dengan adanya diskresi oleh pejabat yang berwenang (D). Di mana, monopoli dan diskresi dilakukan tanpa akuntabilitas (A). Pandangan ini diformulasikan menjadi C = (M + D) A.Robert Kiltgaard, 1988Berbagai macam persoalan yang dihadapi masyarakat hari ini selalu dikaitkan dengan otonomi daerah. Persoalan mendasar sebenarnya adalah implementasi yang tidak teratur dan ketidakteraturan ini memang dibiarkan seperti itu. Pemberian otonomi kepada daerah-daerah adalah sebagai konsekuensi penyelenggaraan asas desentralisasi, dimana dalam hal ini adanya pelimpahan kekuasaan/ kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan yang berlaku. Namun pemberian otonomi kepada daerah tidak hanya kekuasaan yang terdesentralisasi namun juga diikuti oleh praktik korupsi yang terdesentralisasi.Data dari Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM tahun 2010 menyatakan bahwa para pejabat yang paling rajin melakukan korupsi di Indonesia. Dari total 103 orang pelaku korupsi, 43 diantaranya adalah pejabat daerah dan menutup tahun triwulan IV (Oktober-Desember), pejabat daerah kembali bercokol diurutan teratas actor korupsi. Di bawahnya diikuti oleh para legislator dan kalangan swasta. Berturut-turut jumlahnya adalah 124 orang, 118 orang dan 33 orang.[footnoteRef:42] [42: http://tribunnews.com]

Kemudian pada tahun yang sama oleh KPK mengatakan 73 persen perkara yang ditangani adalah korupsi di daerah. Dari sisi modus korupsi, yang paling banyak dilakukan adalah penyalahgunaan anggaran APBD sebanyak 87 kasus, sementara untuk kasus mark up dan suap, berturut-turut 16 kasus dan 13 kasus. Sementara kerugian yang diderita Negara ditemukan paling banyak Rp. 1-10 miliar sebanyak 50 kasus, sedangkan kasus dengan kerugian diatas Rp. 100 miliar hanya sebanyak lima kasus.[footnoteRef:43] [43: http://korupsi.vivanews.com/news]

Tim peneliti Justice for The Poor Program, Taufik Rinaldi, Marini Purnomo dan Dewi Damayanti dalam penelitiannya Local Government Corruption Study (LGCS) tahun 2007 menyatakan bahwa dari 10 kasus yang diteliti terdapat 2 kasus korupsi DPRD di tingkat propinsi yaitu korupsi DPRD Propinsi Sumatera Barat dan Nusa Tenggara Barat; 4 kasus korupsi DPRD di tingkat kabupaten yaitu korupsi DPRD Kabupaten Madiun, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Toli-Toli dan Kabupaten Donggala; 4 kasus korupsi lembaga eksekutif di tingkat kabupaten yaitu: korupsi Sekretaris Daerah Kabupaten Mentawai, korupsi Bupati Kapuas Hulu, korupsi Bupati Blitar dan korupsi Panitia Pengadaan Tanah di Lombok Tengah.[footnoteRef:44] [44: Taufik Rinaldi dkk, 2007. Memerangi Korupsi yang Terdesentarlisasi:Studi Kasus Penanganan Korupsi Pemerintahan Daerah. Justice for The Poor Project. Hlm.8]

Kasus-kasus tersebut dinilai peneliti The Habibie Center, Andrinof A.Chaniago merupakan salah satu akibat meningkatnya kekuasaan legislative maupun eksekutif di daerah. Hal itu dimungkinkan karena dalam UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah, anggaran dewan memiliki hak besar untuk mengatur anggaran. Tapi, undang-undang tersebut tidak mengatur mekanisme pertanggungjawaban yang transparan kepada publik. Tidak heran jika wewenang yang besar itu justru melahirkan penyimpangan, yaitu mengalirkan dana negara ke kantong pribadi. Lebih parahnya, upaya memperkaya diri itu dilakukan secara massal, sehingga berat di hak, lemah di kewajiban.[footnoteRef:45] [45: The Habibie Center, http://www.tempointeraktif.com/hg/narasi/2004/11/04/nrs,20041 104-01 ,id.html ]

Menurut data yang bersumber dari The Habibie Center ada beberapa modus korupsi di daerah. Sebagaimana berikut:[footnoteRef:46] [46: The Habibie Centre, Ibid.]

Tabel 2. Kasus dan modus korupsiNo.KasusModus

1Korupsi Pengadaan Baranga. Penggelembungan (mark up) nilai barang dan jasa dari harga pasar.b. Kolusi dengan kontraktor dalam proses tender

2Penghapusan barang inventaris dan asset Negara (tanah)a. Memboyong invertaris kantor untuk kepentingan pribadib. Menjual inventaris kantor untuk kepentingan pribadi

3Pungli penerimaan pegawai, pembayaran gaji, kenaikan pangkat, pengurursan pension dan sebagainya.Memungut biaya tambahan di luar ketentuan resmi

4Pemotongan uang bantuan social dan subsidi (sekolah, rumah ibadah, panti asuhan dan jompo)a. Pemotongan dana bantuan socialb. Biasanya dilakukan secara bertingkat (setiap meja).

5Bantuan fiktifMembuat surat permohonan fiktif seolah-olah ada bantuan dari pemerintah ke pihak luar

6Penyelewengan dana proyeka. Mengambil dana proyek pemerintah di luar ketentuan resmib. Memotong dana proyek tanpa sepengetahuan orang lain

7Proyek fiktif fisikDana dialokasikan dalam laporan resmi, tetapi secara fisik proyek ini nihil

8Manipulasi hasil penerimaan penjualan, penerimaan pajak, retribusi dan iurana. Jumlah riil penerimaan penjualan, pajak tidak dilaporkanb. Penetapan target penerimaan pajak lebih rendah dari penerimaan riil

9Manipulasi proyek-proyek fisik (jalan, jembatan, bangunan, kantor, sekolah, asrama)a. Mark up nilai proyekb. Pungutan komisi tidak resmi terhadap kontraktor

10Daftar Gaji atau honor fiktifPembuatan pekerjaan fiktif

11Manipulasi dana pemeliharaan dan renovasi fisika. Pemotongan dana pemeliharaanb. Mark up dana pemeliharaan dan renovasi fisik

12Pemotongan dana bantuan (inpres, banpres)Pemotongan langsung atau tidak langsung oleh pegawai atau pejabat berwenang

13Proyek pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) secara fiktif (tidak ada proyek atau intensitas)Tidak ada proyek atau intensitas yang sesuai laporan. Misalnya kegiatan dua hari dilaporkan empat hari

14Manipulasi ganti rugi tanah dan bangunanPegawai atau pejabat pemerintah yang berwenang tidak memberikan harga ganti rugi secara wajar atau yang disediakan

15Manipulasi biaya sewa fasilitas dan transportasiManipulasi biaya penyewaan fasilitas pemerintah kepada pihak luar

16Pembayaran fiktif uang lauk pauk Pegawai Negeri Sipil, prajurit, tahanan dan lain-laina. Alokasi fiktif uang lauk pauk Pegawai Negeri Sipil, prajurit tahanan dalam catatan resmi seperti APBDb. Menggunakan kuitansi fiktif

17Pungli Perizinan, IMB, sertifikat SIUPP, besuk tahanan, ijin tinggal, ijin TKI, ijin frekuensi, impor ekspor, pendirian apotik, RS, Klinik, Delivery Order pembelian Sembilan bahan pokok agen dan distribusia. Memungut biaya tak resmi kepada anggota masyarakat yang mengurus perijinanb. Mark up biaya pengurusan ijinc. Kolusi dengan pengusahan yang mengurus ijin

18Pungli kependudukan dan Imigrasia. Memungut biaya tak resmi kepada anggota masyarakat yang mengurus perijinanb. Mark up biaya pengurusan ijinc. Kolusi dengan pengusahan yang mengurus ijin

19Manipulasi Proyek Pengembangan Ekonomi RakyatPenyerahan dalam bentuk uang

20Korupsi waktu kerjaa. Meninggalkan pekerjaanb. Melayani calon yang memberi uang tambahanc. Menunda pelayanan umum

Hampir serupa dengan data yang diberikan The Habibie Center, tim peneliti Justice For the Poor Program membagi kasus korupsi daerah yang dilakukan oleh lembaga eksekutif dan legislative sebagai berikut:1. Korupsi DPRDPeluang korupsi lembaga DPRD salah satunya terjadi pada saat penyusunan anggaran APBD. Dalam penyusunan anggaran akan dibentuk panitia anggaran (panggar) yang unsurnya terdiri dari anggota DPRD dan pemerintah daerah. Modus operandi yang ditemukan dalam studi kasus antara lain sebagai berikut:[footnoteRef:47] [47: Taufik Rinaldi dkk. Op.cit.hlm.19]

Panggar memperbanyak atau memperbesar mata anggaran untuk tunjangan dan fasilitas bagi pimpinan dan anggota DPRD.Contoh kasus DPRD propinsi Sumatera Barat. DPRD tidak hanya memakai PP 110/2000 melainkan menambah mata anggaran dewan dengan memakai PeraturanTata Tertib DPRD sehingga dalam APBD terdapat total 27 mata anggaran bagi kepentingan dewan. Korupsi terjadi dengan cara: i) satu mata anggaran dipecah menjadi beberapa mata anggaran seperti tunjangan kesehatan dipecah menjadi tunjangan pemeliharaan kesehatan, premi asuransi kesehatan dan biaya check up, ii) melakukan duplikasi anggaran seperti menetapkan biaya pemeliharaan kesehatan namun juga menetapkan adanya anggaran untuk premi asuransi kesehatan, iii) membuat jenis penghasilan lain seperti: dana tunjangan kehormatan (Rp 600 juta), tunjangan beras (Rp 62,8 juta), biaya tunjangan pembinaan daerah asal pemilihan (Rp 137,5 juta), paket studi banding (Rp 797,5 juta) dan lain-lain. Menyalurkan dana APBD bagi anggota DPRD melalui yayasan fiktif.Contoh kasus Yayasan Bestari (YB). Yayasan ini dibentuk memang dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan anggota dewan pada tahun 1998. Belakangan diketahui bahwa YB tidak memiliki perangkat yayasan seperti stempel, sekretariat, program kerja serta tidak pernah melakukan rapat pengurus yayasan. Sumber dana satu-satunya bagi YB adalah dana APBD dari pos bantuan organisasi. Pada kasus di kab. Pontianak, sebelumnya terjadi 2 kali pertemuan informal antara anggota DPRD (yang juga menjabat sebagai pengurus YB) dan bupati serta bawahannya. Tujuan pertemuan tersebut adalah untuk menegosiasikan besarnya dana APBD dari pos bantuan organisasi bagi YB. Hasilnya, ketika APBD disahkan, YB mendapat bantuan pertama sebesar Rp 1,1 miliar yang langsung diperintahkan oleh pimpinan dewan untuk dibagi-bagikan kepada 45 orang anggota dewan masing-masing: ketua mendapat Rp 30 juta, wakil ketua mendapat Rp 27,5 juta dan anggota mendapat Rp 25 juta. Melakukan perjalanan dinas fiktif.Sebagaimana diungkapkan oleh salah seorang anggota DPRD Sumbar yang kemudian mengundurkan diri, di lembaganya sering terjadi praktek adanya Surat Pertanggungjawaban Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif, Ada anggaran 14 juta setahun bagi tiap anggota dewan untuk perjalanan dinas ke Jakarta. Namun kenyataannya, tidak ada yang pergi, hanya kuitansi.2. Korupsi EksekutifModus operandi[footnoteRef:48] korupsi DPRD sebagaimana diuraikan di atas selalu melibatkan pihak eksekutif seperti panitia anggaran dan kepala daerah yang menyetujui RAPBD yang memuat beragam mata anggaran bagi tunjangan dan pembiayaan anggota dewan. Oleh karena itu, pada hampir setiap laporan dugaan korupsi selalu mencantumkan pihak pemerintah daerah sebagai salah satu tersangka. Modus operandi korupsi pihak eksekutif yang diperoleh dalam studi kasus antara lain:[footnoteRef:49] [48: Modus Operandi adalah cara operasi orang perorang atau kelompok penjahat dalam menjalankan rencana kejahatannya. ] [49: Taufik Rinaldi dkk. Op.cit.hlm.20]

Penggunaan sisa dana untuk dipertanggungjawabkan (UUDP) untuk kepentingan pribadi atau untuk kepentingan lain namun tanpa bisa dipertanggungjawabkan.Contoh dalam kasus korupsi Pemkab Mentawai terjadi beberapa praktek penyimpangan UUDP seperti: i) mengeluarkan memo dan kuitansi fiktif untuk keperluan membeli furniture rumah dinas Bupati dan stafnya sebesar Rp 412 juta, ii) memakai dana UUDP untuk kepentingan mensukseskan Laporan Pertanggungjawaban Bupati, iii) Bupati meminta bendahara untuk mengeluarkan dana sebesar Rp 270 juta untuk kepentingan operasional, perjalanan dinas dan menjamu tamu tanpa disertai surat dan kuitansi resmi. Penyimpangan terhadap mekanisme pengeluaran dan pemakaian dana kas daerahContoh kasus Blitar dimana Bupati sering mengajukan permintaan dana untuk kegiatannya secara pribadi kepada bendahara kas daerah (total dana yang diminta sebesar Rp 68 miliar). Karena permintaan tersebut diluar pos APBD, maka staf keuangan mensiasati dengan mengeluarkan nota pengeluaran kode D dimana dana yang dikeluarkan bukan dari pos pasal pengeluaran melainkan dari ayat penerimaan berupa penerimaan atas Dana Alokasi Umum (DAU) yang seharunya diganti dengan pemasukan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pemindahbukuan dana kas daerah ke rekening pribadi kepala daerah Modus ini terjadi dalam kasus dugaan kasus korusi Bupati Kapuas Hulu.

Manipulasi terhadap jumlah sisa APBDMasih dengan contoh kasus Blitar, Bupati bekerja sama dengan bagian keuangan untuk memanipulasi sisa APBD 2002 sebesar Rp 24 miliar dengan cara Bupati meminta bagian keuangan untuk mengatur agar sisa APBD hanya sebesar Rp 4 miliar saja untuk kemudian dibuatkan pos pengeluaran fiktif yang dititipkan pada pengeluaran dinas-dinas. Manipulasi dalam proses pengadaanContoh kasus korupsi Panitia Pengadaan Tanah Pemkab Lombok Tengah di mana Sekretaris panitia ikut terlibat dalam melakukan negosiasi dan transaksi harga tanah tanpa melibatkan panitia secara keseluruhan.

Solusi Penanggulangan Praktik Korupsi di DaerahKorupsi lebih buruk dari prostitusi. Prostitusi membahayakan moral individu, tetapi korupsi akan membahayakan moral seluruh negeri.Austria Karl Kraus, Jurnalis sekaligus penulisPengungkapan modus yang telah dibahas pada sub bab sebelumnya hanyalah awal dari gelombang masif korupsi di daerah yang hampir merata di seluruh wilayah Indonesia. Bahkan pihak bank dunia menyebutkan bahwa kecenderungan korupsi di daerah meningkat tajam terutama yang dilakukan oleh pihak eksekutif. Kondisi tersebut tentu menjadi kabar buruk bagi otonomi daerah karena munculnya asumsi-asumsi bahwa otonomi daerah akan diikuti desentralisasi korupsi. Konsekuensinya, pusat begitu reaktif menyikapi situasi tersebut. Oleh karena itu perlunya solusi penanggulangan, kebijakan dan penegakan hukum yang baik dalam menyikapi permasalahan tersebut.Untuk mengatasi korupsi yang terjadi di daerah, ada beberapa solusi yang diajukan, diantaranya adalah:Pertama; Perlunya Pembinaan akhlaqul karimah bagi aparat pemerintahan. Untuk menghindari penyakit korupsi, maka pemda setempat perlu mengadakan kegiatan rutin berupa siraman rohani selama beberapa menit setiap hari, khusus kalangan pegawai Pemerintahan Daerah. Sehingga dengan hal tersebut dapat menghindari berkembangnya penyakit hati dalam jiwa-jiwa para staf daerah setempat.[footnoteRef:50] [50: Nur Rohim, Op.cit.hlm. 140]

Dalam hal ini menurut penulis perlunya pembinaan akhlaqul karimah di lakukan sejak dini terutama bagi generasi penerus. Pendidikan moral lebih ditekankan pada sistem pendidikan jangan hanya focus pada akademik karena dengan pendidikan moral sejak dini yang ditanamkan akan memiliki presentase yang tinggi melakukan kecurangan ketika dewasa kelak. Selain itu sistem pendidikan saat ini yang masih dirasuki unsur-unsur KKN perlu dibenahi. Bayangkan untuk memasuki bangku sekolah atau sebuah perguruan tinggi kadang harus menyodorkan sejumlah uang. Hal semacam ini justru akan berdampak perilaku pelaku di masa akan datang.Kedua; Perlunya membentuk Badan Pemeriksa Keuangan Daerah yang lebih intensif. Dengan adanya badan pemeriksa keuangan daerah, maka keuangan yang dikeluarkan oleh daerah dapat terpantau dengan baik. Tetapi hendaknya badan ini tidak dibawah koordinasi pemerintah daerah setempat, tetapi berada dibawah langsung pemerintahan diatasnya. Misalnya, Badan Pemeriksa Keuangan Daerah Kabupaten berada secara struktural dibawah Gubernur. Dan Badan pemeriksa keuangan daerah Propinsi berada dibawah menteri dalam negeri.[footnoteRef:51] Menurut penulis pembentukan BPKD perlu diadakan mengingat setelah regulasi otonomi daerah keuangan secara penuh dikelola oleh daerah. Hal ini menjadikan peluang terjadinya korupsi terbuka lebar, untuk itu perlu adanya pengawasan keuangan daerah oleh lembaga seperti Badan Pemeriksa Keuangan Daerah. [51: Nur Rohim, loc.cit.]

Ketiga; Penegakan hukuman tambahan terhadap pejabat Pemda yang koruptif. Saat ini Indonesia mengalami krisis ketidakpercayaan terhadap hukum yang berlaku, sehingga terlihat pelaku korupsi selalu dapat berkelit dari jeratan hukuman. Selama ada uang dan aparat peradilan negeri dapat disuap, maka pelaku dapat lepas bebas. Akibatnya, kejahatan korupsi semakin merajalela. Karenanya perlu ada hukuman tambahan bagi penjabat pemda yang melakukan perbuatan korupsi, seperti pemecatan secara tidak terhormat, larangan tinggal di daerah tempat perbuatan dilakukan.[footnoteRef:52] Masalah sebenarnya menurut penulis mengapa tindak korupsi saat ini begitu subur adalah penegakan hukum yang belum tegas dan aparat penegak hukum yang belum bersih dari KKN. Akibatnya pelaku korupsi masih leluasa bertindak asalkan punya uang untuk menyuap. Belum lagi hukuman yang diberikan tidak memberi efek jera terhadap pelaku. [52: Nur Rohim, loc.cit.]

Keempat; Adanya intervensi Pemerintah Pusat dalam bentuk Koreksi dan Revisi UU yang ada. Dalam rangka menjamin terlaksananya undang-undang tentang Pemerintahan Daerah, maka hendaklah undang-undang tersebut diposisikan sebagai penjuru bagi segala peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Untuk itu, pemerintah pusat perlu mengambil langkah-langkah, seperti melakukan koreksi dan revisi terhadap semua peraturan perundang-undangan yang substansinya tidak sesuai dengan undang-undang tentang pemerintahan daerah dan semangat demokratisasi. Pemerintah pusat juga harus melengkapi semua peraturan pelaksanaan yang diperlukan bagi implementasi kebijakan otonomi daerah.[footnoteRef:53] [53: Nur Rohim, loc.cit.]

Kelima; membentuk Peraturan Pemerintah tentang Dekonsentrasi[footnoteRef:54] Kewenangan Pusat di daerah. Sebagai konsekuensi dari fungsi pemerintah provinsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, maka perlu segera diterbitkan PP tentang dekonsentrasi kewenangan pusat kepada provinsi yang dirinci secara jelas dan spesifik, seraya mengoptimalkan fungsi provinsi sebagai koordinator dan pengawas penyelenggaraan pemerintahan daerah di wilayahnya. Intinya, otonomi daerah yang merupakan bagian dari kebijakan pemerintah pusat untuk mensejahterakan rakyat dalam koridor pengaturan rumah tangga sendiri harus tetap berlandaskan pada pemberdayaan bagi sumber daya manusia di daerah, mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat, mandiri dalam pengurusan rumah dan isi rumah nya, otonomi tidak hanya memindahkan praktek KKN dari pusat ke daerah, tetapi akan menciptakan sentral-sentral kekuasaan kecil di tiap-tiap daerah, otonomi dapat meredam keinginan beberapa daerah untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.[footnoteRef:55] [54: Pengertian dekonsentrasi dalam UU No. 32 Tahun 2004 terdapat pada Pasal 1 angka 8 yang berbunyi Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.] [55: Nur Rohim, loc.cit.]

Kebijakan dan Penegakan Hukum Praktik Korupsi yang TerdesentralisasiKorupsi tidak berdiri sendiri...ada organisasinya dan dilakukan oleh orang-orang yang punya jabatan di mana saja; di lembaga pemerintahan atau swasta juga sepanjang mereka punya kuasa untuk menentukan bagaimana bisa dapat uang sebesar-besarnya lewat kekuasaanyaAktor Pendorong, PontianakReformasi ditandai pula dengan munculnya inisiatif pencegahan dan penanganan korupsi di tingkat pusat. Selama periode 1998 hingga 2006 terdapat sedikitnya 13 regulasi yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi.[footnoteRef:56] Dari berbagai peraturan kebijakan anti korupsi tersebut, yang memiliki kaitan dengan penanganan hukum terhadap kejahatan korupsi antara lain:[footnoteRef:57] [56: Soren Davidsen, Vishnu Juwono, David G.Timberman, 2006, Curbing Corruption in Indonesia 2004 2006, Jakarta, USINDO CSIS.] [57: Taufik Rinaldi dkk, Op.cit. hlm.16-17]

UU No 31 tahun 1999, yang diubah dengan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK merupakan institusi penting dalam upaya pemberantasan korupsi. Lembaga ini bertugas untuk menyelidiki kasus korupsi dengan kerugian di atas 1 milyar rupiah dan menarik perhatian publik, melakukan koordinasi supervisi penegak hokum dalam penanganan kasus korupsi, memonitor para penyelenggara negara, melakukan penyelidikan dan penuntutan kasus korupsi serta berbagai upaya pencegahan terhadap korupsi. Instruksi Presiden No 5 tahun 2004 tentang Percepatan Upaya Pemberantasan Korupsi. Surat Edaran Jaksa Agung No 007/A/JA/11/2004 tentang Percepatan Penanganan Korupsi se-Indonesia. Dalam peraturan ini disebutkan secara jelas agar perkara korupsi yang masih ada di seluruh Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri dituntaskan dalam waktu 3 bulan. Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN PK) 2004 2009 yang merumuskan rencana-rencana aksi pemerintah dalam pemberantasan korupsi dikelola oleh Bappenas berkoordinasi dengan Menteri/Lembaga non Departemen terkait, unsur masyarakat dan KPK. Surat Edaran Dirtipikor Kabareskrim Mabes Polri No.Pol.:B/345/III/2005 tentang Pengutamaan Penanganan Kasus Korupsi. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 tahun 2012 tentang strategi nasional pencegahan dan pemberantasan korupsi.[footnoteRef:58] [58: Lihat UU No. 55 tahun 2012 tentang strategi nasional pencegahan dan pemberantasan korupsi jangka panjang tahun 2012-2025 dan jangka menengah tahun 2012-2014.]

Inisiatif tersebut diatas kemudian diikuti oleh sebagian daerah dengan terbitnya berbagai Peraturan Daerah yang memperkuat jaminan atas keterbukaan dan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Misalnya, jaminan hak kepada public untuk mengetahui informasi-informasi yang berkaitan dengan masalah anggaran sejak perencanaan, penetapan, pemanfaatan hingga pertanggungjawabannya, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah, Proses Pengawasan mulai dari perencanaan objek yang diawasi, pelaksanaan sampai hasil audit, proses tender dan sebagainya. Juga memberi jaminan kepada publik untuk berpartisipasi dalam perumusan/penyusunan kebijakan publik, termasuk partisipasi dalam penyusunan APBD. Sampai saat ini, paling tidak sudah dikeluarkan Perda Transparansi dan Partisipasi di 19 propinsi seperti halnya di Kabupaten Solok, Sumatera Barat dengan Perda No.5/2004 Tentang Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan.[footnoteRef:59] [59: Taufik Rinaldi, Op.cit. hlm 17-18]

Selain hal legal formal diatas, di tingkat masyarakat sendiri sebenarnya sudah dikembangkan beberapa inisiatif, sebagai gerakan alternatif pencegahan korupsi, seperti yang digalakkan oleh Gerakan Bersama Anti Korupsi NU-Muhammadiyah yang dikembangkan sejak tahun 2003, Pakta Integritas yang diinisiasi oleh Transparency Internasional Indonesia sejak tahun 2002 dan kemudian dikembangkan oleh Tiga Pilar (dalam koalisi bersama KADIN, Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara, dan MTI). Saat ini tercatat paling tidak sudah lebih dari 30 kabupaten/kota, 4 kementerian, 5 BUMN, 5 Perusahaan Swasta, dan MPR/ DPR-RI yang sudah menandatangani komitmen Pakta Integritas, baik yang diinisiasi oleh Transparency International-Indonesia maupun oleh Tiga Pilar. Tentunya diluar itu, secara informal masih banyak lagi gerakan-gerakan yang diinisiasi oleh masyarakat dalam upaya pencegahan/pemberantasan korupsi.[footnoteRef:60] [60: Taufik Rinaldi, loc.cit.]

Khusus untuk penggalakan gerakan anti korupsi di DPR/DPRD, muncul inisiatif pembentukan Kaukus Parlemen yang diprakarsai oleh Partnership for Governance Reform in Indonesia (Kemitraan). Kaukus ini merupakan upaya membangun komitmen bersama untuk membangun gerakan anti korupsi diantara anggota legislatif di tingkat pusat maupun daerah, dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance). Saat ini paling tidak ada anggota DPRD di 7 Kabupaten/Kota/Propinsi di Indonesia yang sudah membuat komitmen dalam Kaukus Parlemen.[footnoteRef:61] [61: Taufik Rinaldi. loc.cit.]

Adapun kedua strategi mendasar yang dilakukan oleh kejaksaan dalam penegakan hukum, khususnya penanggulangan dan pemberantasan korupsi, yaitu: Tindakan Represif Pendekatan represif berupa penindakan dan penanganan terhadap terjadinya tindak pidana korupsi dilakukan secara profesional dan proporsional. Dalam melakukan penindakan hukum terhadap tindak pidana korupsi tersebut, Kejaksaan menerapkan prinsip optimalisasi dan berkualitas serta memprioritaskan kasus-kasus korupsi yang big fish dan still going on yaitu dengan mendahulukan penindakan untuk perkara besar dan perbuatan pidana yang dilakukan secara terus menerus serta mengusahakan semaksimal mungkin pengembalian atau penyelamatan keuangan negara. Upaya represif yang dilakukan Kejaksaan tersebut, setelah melalui serangkaian kegiatan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan eksekusi sesuai standar operasional prosedur (SOP) yang berlaku serta peraturan perundang-undangan yang ada.[footnoteRef:62] [62: Samuel Mangapul Tampubolon, 2014. Peran Pemerintah Dalam Upaya Pemberantasan Korupsi Kaitannya dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2004. Lex et Societatis. Vol. II no.6.hlm. 143-144.]

Upaya Preventif Dalam tataran teoritis, penggunaan sarana penal berupa sanksi pidana terhadap pelaku kejahatan juga telah mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Konsepsi pemikiran yang pada awalnya lebih banyak menekankan pada fungsi represif sebagaimana yang dianut oleh penganut aliran hukum pidana klasik, telah bergeser ke arah fungsi-fungsi restoratif yang mengedepankan pada aspek keseimbangan kepentingan dan pemulihan keadaan yang diakibatkan adanya pelanggaran hukum.[footnoteRef:63] [63: Samuel Mangapul Tampubolon, Ibid. hlm. 144]

Tindakan preventif lain yang cukup strategis dalam rangka pencegahan terjadinya tindak pidana korupsi di Indonesia antara lain:[footnoteRef:64] [64: Lampiran Peraturan MENPAN Nomor: PER/is/M.PAN/7/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi. ]

1. Meningkatkan efektivitas kebijakan dan kelembagaan, terutama terkait dengan pelayanan publik termasuk juga antara lain kebijakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) terintegrasi dalam program Single Identification Number (SIN). 2. Meningkatkan pengawasan terhadap pelayanan pemerintah, sehingga dapat diakses oleh publik yang transparan dan akuntabel. 3. Memperbaiki manajemen keuangan daerah termasuk manajemen pengadaan barang/jasa pemerintah. 4. Memperkuat komitmen anti korupsi, (termasuk melalui lembaga-lembaga pendidikan secara edukatif) terkait dengan integritas nasional bagi anggota masyarakat, pelaku usaha dan aparatur pemerintahan/negara. 5. Reformasi Birokrasi, merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek kelembagaan, ketatalaksanaan dan sumber daya manusia aparatur. 6. Melaksanakan WASKAT secara efektif bagi setiap pimpinan pada semua tingkatan/satuan kerja dan memberikan tauladan yang baik serta mentaati semua peraturan hukum yang ada.

Pembahasan | 50