40
FRANCIS FUKUYAMA The End of History and The Last Man Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal Penyaji : HENDRA PRIJATNA I. Pendahuluan Melalui bukunya, “The End of History and The Last Man”, Fukuyama (1999) hendak mengatakan bahwa paska perang dingin, tidak akan ada lagi pertarungan antar ideologi besar, karena sejarah telah berakhir dengan kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal. Meskipun menyadari evolusi sejarah, Fukuyama beranggapan bahwa demokrasi liberal merupakan titik akhir dari evolusi ideologis umat manusia sekaligus bentuk final pemerintahan manusia. Runtuhnya Soviet dan ambruknya tembok Berlin menjadi pertanda kalahnya sosialisme, dan sebagai gantinya adalah perayaan dan kemenangan kapitalisme tanpa ada kompetitornya. Tulisan berikut hendak menjelaskan alur logika Fukuyama determinisme historis Fukuyama yang meyakini apa yang ia sebut dengan sejarah direksional, keterarahan sejarah pada tujuan akhir tertentu. Inilah yang kemudian mengantarkan Fukuyama pada kesimpulan akhir sejarah. 1

Determinisme Historis a la Fukuyama - HENDRA … · Web viewSelain itu, sebagai respons ketidakpuasan pada sistem itu, Negara-negara tersebut mulai melakukan revolusi di bidang ekonomi

  • Upload
    dangtu

  • View
    214

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Determinisme Historis a la Fukuyama - HENDRA … · Web viewSelain itu, sebagai respons ketidakpuasan pada sistem itu, Negara-negara tersebut mulai melakukan revolusi di bidang ekonomi

FRANCIS FUKUYAMA

The End of History and The Last ManKemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal

Penyaji :HENDRA PRIJATNA

I. Pendahuluan

Melalui bukunya, “The End of History and The Last Man”, Fukuyama

(1999) hendak mengatakan bahwa paska perang dingin, tidak akan ada lagi

pertarungan antar ideologi besar, karena sejarah telah berakhir dengan

kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal. Meskipun menyadari evolusi

sejarah, Fukuyama beranggapan bahwa demokrasi liberal merupakan titik akhir

dari evolusi ideologis umat manusia sekaligus bentuk final pemerintahan manusia.

Runtuhnya Soviet dan ambruknya tembok Berlin menjadi pertanda kalahnya

sosialisme, dan sebagai gantinya adalah perayaan dan kemenangan kapitalisme

tanpa ada kompetitornya.

Tulisan berikut hendak menjelaskan alur logika Fukuyama determinisme

historis Fukuyama yang meyakini apa yang ia sebut dengan sejarah direksional,

keterarahan sejarah pada tujuan akhir tertentu. Inilah yang kemudian

mengantarkan Fukuyama pada kesimpulan akhir sejarah.

Dari pandangan Fukuyama yang demikian, muncul pertanyaan baru;

bagaimana berakhirnya sejarah dengan ekesistensi negara-bangsa? dan bagaimana

pula posisi negara-bangsa dalam menghadapi persaingan idiologis di antara

bangsa-bangsa di dunia dan diikuti pula dengan pengaruh globalisasi modernitas

saat ini? Dan Untuk menjawab sejumlah pertanyaan di atas, maka kita perlu

mengkaji tesis yang diajukan Fukuyama dalam bukunya “The End of History and

The Last Man”.

II. Pemikiran Fukuyama

1. Pesimisme dan Reaksinya

1

Page 2: Determinisme Historis a la Fukuyama - HENDRA … · Web viewSelain itu, sebagai respons ketidakpuasan pada sistem itu, Negara-negara tersebut mulai melakukan revolusi di bidang ekonomi

Fukuyama mengawali penjabaran panjangnya mengenai tesis akhir sejarah

ini dengan kegelisahan dan pesimisme yang terjadi di kalangan masyarakat dunia

mengenai kepastian tesisnya tentang kemajuan sejarah yang berujung pada

kejayaan demokrasi liberal. Pesimisme ini terjadi karena dua faktor yang saling

berkaitan: krisis politik pada abad ke-20 dan krisis intelektual dari rasionalisme

Barat.

Krisis politik yang terjadi akibat dua perang dunia itu telah menelan

korban puluhan juta orang dan memaksa ratusan juta lainnya hidup di bawah

bentuk-bentuk perbudakan baru yang lebih brutal. Pada saat yang sama,

demokrasi liberal dibiarkan tanpa sumberdaya intelektual yang sejatinya

digunakan sebagai alat untuk mempertahankan dirinya [h. 32]. Padahal, pada abad

sebelumnya, abad ke-19, mayoritas Negara Eropa berpikir bahwa kemajuan yang

dimaksud adalah kemajuan menuju demokrasi (liberal) [h. 26]. Tapi tidak

kenyataannya pada abad ke-20. Pada abad itu, beragam peristiwa traumatik akibat

tragedi dua perang dunia menjadi krisis kepercayaan bagi mayoritas orang Eropa

saat itu. Pada abad ini, demokrasi (liberal) telah ditantang oleh dua kompetitornya,

fasisme dan komunisme, yang mengusulkan visi yang sangat berbeda mengenai

masyakarat yang baik.

Pada abad ini, bayangan manis tentang demokrasi itu sirna. Pesimisme

akibat faktor di atas itu akhirnya memicu keyakinan baru di kalangan masyarakat

dunia akan hadirnya alternatif baru, yaitu alternatif komunis-totalitarian sebagai

ganti dari demokrasi liberal (h. 27). Namun sayangnya, lagi-lagi alternatif ini

tidak melahirkan apa yang diimpikan, alih-alih melahirkan krisis baru.

Di satu sisi, pemerintahan otoritarian sayap kanan di Eropa Selatan satu-

persatu runtuh menjadi bukti rapuhnya legitimasi ideologi yang dianutnya.

Jatuhnya serangkaian pemerintahan otoritarian sayap Kanan di Eropa Selatan

inilah yang oleh Fukuyama dianggap sebagai krisis otoritarianisme (h. 35).

Krisis itulah yang mendesakkan serangkaian upaya transisi menuju

demokrasi di berbagai belahan dunia. Negara-negara di Eropa Selatan, misalnya,

terjadi proses transisi menuju demokrasi dan berhasil cukup stabil. Begitu juga di

2

Page 3: Determinisme Historis a la Fukuyama - HENDRA … · Web viewSelain itu, sebagai respons ketidakpuasan pada sistem itu, Negara-negara tersebut mulai melakukan revolusi di bidang ekonomi

Amerika Latin pada tahun 1980-an. Di Peru misalnya berhasil melakukan

restorasi pemerintahan yang terpilih secara demokratis setelah 12 tahun di bawah

cengkraman kekuasaan militer. Di Argentina, perang Falkland/Malvinas pada

tahun 1982 memuluskan runtuhnya junta militer dengan terbentuknya

pemerintahan Alfosin yang terpilih secara demokratis. Proses transisi di Argentina

ini pun diikuti beberapa negara lain di Amerika Latin semisal Uruguai pada tahun

1983 dan Brazil pada tahun 1984 yang berhasil meruntuhkan rezim militer. Begitu

juga rezim Stroessner di Paraguai dan Pinochet di Chile pun memberi jalan bagi

pemerintahan yang terpilih secara popular dan demokratis (h. 36)

Fenomena serupa juga terjadi di wilayah Asia Timur. Pada tahun 1986,

pemerintahan diktator Marcos berhasil digulingkan di Filipina dan digantikan oleh

Corazon Aquino; Jenderal Chun, pada tahun berikutnya, menyerahkan jabatan di

Korea Selatan dan memberikan peluang bagi terpilihnya Roh Tae Woo. Dan

banyak kasus lagi yang menjadi fenomena runtuhnya negara-negara kuat di

berbagai belahan dunia akibat krisis otoritarianisme. Dan sebagai gantinya adalah

apa yang disebut pemerintahan demokratis.

Di pihak yang lain, totalitarianisme yang berkembang paska PD II di

Soviet dengan komunismenya dan Jerman dengan Nazinya pun tidak kuasa

bertahan. Tantangan-tangan eksternal dan kerapuhan internal menjadi faktor

pemicunya. Seiring dengan berakhirnya Perang Dingin dan runtuhnya tembok

Berlin, pertarungan ideologi besar tidak lagi terjadi. Adalah Soviet (Komunis)

yang menjadi kompetitor Amerika (Kapitalis) telah ambruk. Ini terjadi karena

krisis legitimasi totalitarianisme sebagai sebuah sistem secara keseluruhan. (h.

57). Tidak saja karena faktor ekonomi, tetapi lebih dari itu adalah faktor supervisi

pikiran. Inilah fenomena yang menonjol dalam paham totalitarianisme.

Oleh karena itu, baik komunisme kiri maupun otoritarianisme kanan sama-

sama gagal mempertahankan ideologinya. Kelemahan Negara-negara otoritarian

kanan terletak pada kegagalan mereka untuk mengontrol masyarakat sipil.

Sementara totalitarianisme kiri menghindari persoalan tersebut dengan

3

Page 4: Determinisme Historis a la Fukuyama - HENDRA … · Web viewSelain itu, sebagai respons ketidakpuasan pada sistem itu, Negara-negara tersebut mulai melakukan revolusi di bidang ekonomi

mensubordinasikan seluruh elemen masyarakat sipil di bawah control mereka,

termasuk apakah para wartawan Negara itu boleh berpikir (h. 70).

Karena kelemahan-kelemahan ‘negara kuat’ (kominisme kiri dan

otoritarianisme kanan) itulah, maka banyak negara-negara yang menerapkan

sistem itu mulai membuka jalan untuk demokrasi. Ini secara politis. Selain itu,

sebagai respons ketidakpuasan pada sistem itu, Negara-negara tersebut mulai

melakukan revolusi di bidang ekonomi. Ini misalnya terlihat dari perkembangan

ekonomi yang fenomenal di Asia Timur sejak PD II. Kisah sukses ini tidak saja

terjadi pada Negara-negara modern awal semisal Jepang, tetapi juga semua

Negara Asia yang bersedia mengadopsi prinsi-prinsip pasar dan mereka

sepenuhnya mengintegrasikan dengan sistem ekonomi global-kapitalis (h. 71-72).

Sejak itu, slogan privatisasi dan perdagangan bebas menggantikan slogan

nasionalisasi dan substitusi impor (h. 73). Di sinilah tampak bahwa krisis yang

terjadi pada otoritarianisme dan sosialisme hanya menyisakan satu pesaing

tangguhnya, yaitu demokrasi liberal.

Liberalisme dan demokrasi sebenarnya merupakan konsep-konsep yang

berbeda meskipun antara keduanya ada keterkaitan yang erat. Liberalisme politik

secara sederhana dapat didefinisikan sebagai suatu aturan hukum yang mengakui

hak-hak tertentu individu atau kebebasan dari kontrol pemerintah.Sedangkan

demokrasi, sebagai mana dalam definisi Lord Bryce menyebutkan setidaknya tiga

elemen mendasar dalam demokrasi, yaitu: hak-hak sipil hak-hak beragam, dan

hak-hak politik (h. 74). Dengan demikian, untuk menilai Negara manakah yang

layak disebut demokratis, yaitu ketika Negara memberikan kepada rakyatnya hak

untuk memilih pemerintah sendiri melalui pemelihan secara periodic, bebas, dan

rahasia, menggunakan system multi partai, atas dasar hak pilih orang dewasa yang

sederajat (h. 74).

Dalam manifestasi ekonominya, liberalisme adalah pengakuan terhadap

hak-hak untuk melakukan aktivitas ekonomi bebas dan pertukaran ekonomi

berdasarkan kepemilikan pribadi dan pasar. Singkatnya adalah ekonomi pasar

4

Page 5: Determinisme Historis a la Fukuyama - HENDRA … · Web viewSelain itu, sebagai respons ketidakpuasan pada sistem itu, Negara-negara tersebut mulai melakukan revolusi di bidang ekonomi

bebas, sebagai istilah lain dari kapitalisme yang belakangan istilah ini

dikonotasikan secara pejorative (h. 75)

Meskipun keduanya (demokrasi dan liberalisme) terkait erat, namun

mungkin saja sebuah Negara itu menjadi liberal tanpa secara parikular menjadi

demokratis. Dalam konteks ini, Inggris pada abad ke-18 dapat dijadikan contoh.Di

Inggris saat itu, hak-hak warga Negara, termasuk hak suara sepenuhnya dilindungi

untuk kepentingan sempit para elit. Begitu pula sebaliknya, mungkin saja Negara

menjadi demokratis tanpa harus menjadi liberal. Negara Republik Islam Iran dapat

dikategorikan dalam jenis ini. Republik Islam Iran ini benar-benar telah

menyelenggarakan pemilihan-pemilihan regular yang benar-benar fair dan

membentuk Negara yang demokratis. Namun Negara ini jauh dari kesan liberal

karena di sana tidak ada jaminan terhadap kebebasan berbicara, pertemuan,

apalagi kebebasan beragama (h. 75).

Adalah Islam, sebagaimana liberalisme dan komunisme, yang juga

memiliki ideologi yang sistematik dan koheren. Dan di sebagian besar dunia

Islam, Islam benar-benar telah berhasil mengalahkan demokrasi liberal dan

memposisikan dirinya sebagai ancaman terhadap prakti-praktik liberal bahkan di

Negara di mana Islam tidak memiliki kekuasaan politik secara langsung. Paska

berakhirnya perang dingin, Islam tampil sebagai tantangan terhadap Barat, sebuah

tesis yang kemudian dikukuhkan oleh Huntington dalam clash of civilization-nya

(h. 77). Meskipun demikian, dunia Islam akan tampak lebih mudah diserang ide-

ide liberal dalam jangka panjang ketimbang sebaliknya. Karena tampaknya ide-

ide liberal lebih memikat para pengikut Islam sepanjang satu setengah abad yang

lalu. Sebagai reaksinya adalah lahirnya apa yang kemudian disebut

fundamentalisme (h. 78).

Dari pengalaman rezim-rezim pemerintahan dalam perjalanan sejarah

manusia, dari pemerintahan monarki dan aristokrasi, teokrasi religius, hingga

pemerintahan diktator fasis dan komunis abad ini, tampaknya demokrasi liberal

merupakan satu-satunya rezim pemerintahan yang paling bertahan hingga akhir

abad ke-20 (h. 77). Kenyataan inilah yang mengukuhkan tesis Fukuyama

5

Page 6: Determinisme Historis a la Fukuyama - HENDRA … · Web viewSelain itu, sebagai respons ketidakpuasan pada sistem itu, Negara-negara tersebut mulai melakukan revolusi di bidang ekonomi

mengenai apa yang ia sebut sebagai ‘akhir sejarah’. Dan sejarah dalam

perjalanannya benar-benar tunggal, tanpa kompetitor dengan kemenangan

demokrasi liberal. Keyakinan inilah yang mengantarkan Fukuyama untuk

mengurai apa yang ia sebut sebagai sejarah universal.

2. Kemungkinan Sejarah Universal

Fukuyama mendasarkan uraiannya kepada Immanuel Kant (di samping

pada tokoh ilmu alam semisal Galilio dan Bacon), yang mengatakan bahwa

sejarah akan sampai pada titik akhir. Titik akhir itu adalah realisasi kebebasan

manusia (h. 99). Postulat ini juga ditegaskan Hegel yang mengatakan adanya titik

akhir sejarah yang dituju, yaitu perkembangan kesadaran kemerdekaan. Bagi

Hegel, wujud kebebasan manusia adalah Negara konstitusional modern yang

disebut demokrasi liberal. Dan sejarah universal manusia adalah memuka

perkembangan menuju rasionalitas yang penuh, dan untuk kesadaran diri terhadap

rasionalitas yang mengeksposisikan diri dalam pemerintahan yang rasional (h.

102).

Hegel menampik bahwa sejarah bergerak tanpa batas, melainkan selalu

akan menuju pada suatu akhir, yaitu suatu prestasi masyarakat yang bebas di

dalam dunia yang nyata (h. 106). Adalah Karl Marx yang juga mengapresiasi

model historisisme Hegel, dan dia bersepakat dengan teori dialektika Hegel

mengenai kontradiksi-kontradiksi internal sistem politik yang kemudian

dimenangkan oleh sistem yang lebih tinggi, yang dalam hal ini adalah demokrasi

liberal. Marx percaya bahwa negara liberal telah berhasil memutuskan suatu

kontradiksi yang fundamental yang merupakan konflik kelas, yaitu perjuagan

kelas borjuis dan proletar. Namun bagi Marx, negara liberal itu tidak

merepresentasikan universalisasi kebebasan, tetapi hanya kemenangan kebebasan

suatu kelas tertentu, yaitu borjuis.

Sebaliknya, kalangan Marxis berkeyakinan bahwa akhir sejarah akan

datang hanya dengan kemenangan kelas universal yang benar, yaitu kaum proletar

(h. 108). Berbeda dengan Marx, Lenin berpendapat bahwa kontradiksi final yang

akan menjatuhkan kapitalisme bukanlah perjuangan kelas dalam Negara yang

6

Page 7: Determinisme Historis a la Fukuyama - HENDRA … · Web viewSelain itu, sebagai respons ketidakpuasan pada sistem itu, Negara-negara tersebut mulai melakukan revolusi di bidang ekonomi

berkembang, tetapi antara utara yang berkembang dan proletariat global di

Negara-negara terbelakang (h. 151). Di sini tampak bahwa Marx hendak

membalik historisme Hegel, dari kemenangan borjuis menjadi kemenangan

proletar. Sayangnya, kritik kalangan Marxis tidak lagi bergema saat ini, karena

impian itu tidak pernah terbukti (h. 108). Karl Marx adalah salah satu penafsir

Hegel yang tampaknya gagal membuktikan tafsirannya.

Selain itu, ada penafsir Hegel yang lain, yang tampaknya diikuti oleh Fukuyama.

Ia adalah Alexander Kojeve, seorang filsuf Prancis-Rusia. Kalau Marx adalah

penafsir Hegel pada abad ke-19, Kojeve adalah penafsir Hegel abad ke-20. Bagi

Kojeve, prinsip-prinsip persamaan dan kebebasa yang muncul dari Revolusi

Perancis terwujud dalam apa yang ia sebut sebagai Negara yang universal dan

homogen yang merepresentasikan melebihi titik akhir dari evolusi ekologi

manusia yang tidak mungkin untuk berkembang lebih lanjut (h. 109). Ini artinya

bahwa komunis tidak menghadapi kembali suatu tingkat yang lebih tinggi dari

demokrasi liberal. Akhirnya Kojeve percaya bahwa akhir sejarah tidak hanya

dalam arti akhir dari konflik-konflik dan perjuangan politik yang luas, tetapi juga

akhir filsafat. Dan komunitas Eropa merupakan suatu perwujudan institusi yang

tepat untuk akhir sejarah (h. 110).

Fukuyama juga menjelaskan mengapa sistem dunia kapitalis tidak begitu

tumbuh di Amerika Latin (tidak seperti Asia) dan sejumlah dunia ketiga lainnya.

Setidaknya ada dua alasan, pertama, alasan kultural bahwa kebiasan-kebiasaan,

adat istiadat, agama-agama dan struktur masyarakat di wilayah seperti Amerika

Latin sedikit banyak berperan dalam menghambat pencapaian tingkat

pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang berbeda dengan budaya yang dihadapi

oleh masyarakat Asia dan Eropa. Kedua, kapitalisme tidak pernah dilakukan

secara serius. Ini terlihat bahwa kebanyakan ekonomi-ekonomi kapitalis di

Amerika Latin dilumpuhkan oleh tradisi-tradisi merkantilis mereka dan seluruh

sektor negara yang bersifat all pervasive ditegakkkan atas dalih keadilan ekonomi

(h. 156)

7

Page 8: Determinisme Historis a la Fukuyama - HENDRA … · Web viewSelain itu, sebagai respons ketidakpuasan pada sistem itu, Negara-negara tersebut mulai melakukan revolusi di bidang ekonomi

Secara umum, kemajuan industrial berbanding lurus dengan tingkat

keberhasilan demokrasi. Setidaknya ada tiga alasan untuk menjelaskan hal ini.

Pertama, argument fungsional. Ini artinya fungsi industrialiasi hanya untuk

mempengaruhi demokrasi yang mampu menengahi jaringan yang kompleks dari

konflik kepentingan yang diciptakan oleh ekonomi modern. Kedua, pengaruh

perkembangan ekonomi yang harus dilakukan untuk menghasilkan demokrasi

untuk tujuan para diktator. Rezim diktator ini mungkin saja akan memerintah

secara efektif di awal-awal pemerintahannya, namun begitu pendiri rezim ini tiada

maka tidak ada jaminan bagi penggantinya untuk mencapai kekuasaan sepertin

pendahalunya. Ketiga, keberhasilan industrialisasi akan melahirkan kelas

menengah yang kuat. Kelas menengah ini muncul akibat pendidikan yang

universal (h. 167-171). Faktor pendidikan inilah yang jika tidak disebut sebagai

prakondisi demokrasi, setidaknya ia menjadi nilai plus yang bernilai tinggi dari

yang diinginkan untuk menuju demokrasi. Karena sangat sulit membayangkan

kerja demokrasi dalam lingkungan masyarakat yang buta huruf (h. 179).

3. Akhir Sejarah

Sebagaimana dikatakan Hegel dan Kojeve, bahwa akhir sejarah terjadi jika

telah tidak ada kontradiksi-kontradiksi. Jika pernyataan ini benar maka kita harus

mengatakan bahwa sejarah akan berlanjut (h. 442). Mungkin saja ini selaras

dengan teori dialektika Hegel yang bermula dari kontradiksi tesis dan antitesis dan

berakhir dengan sintesis. Dan begitu sintesis dihasilkan (atau dalam bahasa

Kojeve, tidak ada ‘kontradiksi-kontradiksi’) maka ia akan menjadi tesis baru.

Demikian seterusnya.

Klaim akhir sejarah Kojeve ini didasarkan pada pandangannya bahwa

hasrat untuk diakui adalah kerinduan manusia yang paling fundamental.

Perjuangan untuk pengakuan ini mengarahkan sejarah dari pertempuran berdarah

pertama, dan sejarah telah berakhir karena kondisi universal dan homogen telah

membentuk pengakuan resiprokal yang sepenuhnya memuaskan kerinduan ini.

Atas dasar ini, apakah demokrasi liberal telah benar-benar memenuhi hasrat untuk

diakui?

8

Page 9: Determinisme Historis a la Fukuyama - HENDRA … · Web viewSelain itu, sebagai respons ketidakpuasan pada sistem itu, Negara-negara tersebut mulai melakukan revolusi di bidang ekonomi

Kojeve akhirnya percaya bahwa sejarah sendiri pada akhirnya akan

membenarkan rasionalitasnya sendiri, yaitu gerbong-gerbong yang cukup akan

menuju kota sehingga orang-orang rasional yang melihat situasi itu terpaksa

menyetujui bahwa hanya ada sebuah perjalanan dan sebuah penentuan takdir.

Takdir itu mungkin saja bernama demokrasi liberal, dan inilah yang dibayangkan

Fukuyama sebagai akhir sejarah.

III. Komentar dan Kritik1. Menanggapi berakhirnya sejarah

Pandangan Fukuyama tentang berakhirnya sejarah diinspirasi oleh filsafat

sejarah Hegel. Fukuyama menginterpretasikan perkembangan masyarakat dunia

dalam kurun waktu sekarang. Zaman kita, itu adalah suatu proses globalisasi yang

didorang oleh dua faktor yang sesungguhnya bertentangan. Faktor pertama

bersifat material dalam bentuk perkembangan ekonomi yang pada gilirannya

didorong oleh ilmu pengetahuan alam, dan kedua bersifat spiritual yang dalam

falsafah Plato dinamakan “thymos”, yaitu keinginan untuk diakui, dihargai,

persamaan hak.Tujuan sejarah, atau akhir sejarah, adalah masyarakat kapitalis

dengan sistem politik demokrasi liberal.

Menurut Karl Marx (Fukuyama, 1999) tentang akhir sejarah adalah arah

perkembangan sejarah mempunyai tujuan tertentu yang ditetapkan oleh jalinan

kekuatan-kekuatan materiil, dan akan berkahir pada tercapainya utopia komunis

yang akhirnya akan menyelesaikan semua kontradiksi yang ada sebelumnya.

Kemudian, Kojeve (Robert D.Kaplan el, 2005) membangkitkan pemikiran

Hegel dalam Phenomenology of Mind, di mana Hegel menyatakan bahwa sejarah

akan berkahir pada 1806. Karena pada saat itu Hegel melihat dalam kekalahan

Napoleon dari kerjaaan Prussia pada Pertempuran Jena kemenangan cita-cita

Revolusi Prancis, dan makin universalnya negara-negara yang mengakui prinsip-

prinsip kebebasan dan kesetaraan. Pertempuran Jena menandai akhir sejarah

karena pada titik itulah garda depan kemanusiaan mengaktualisasikan prinsip-

prinsip Revolusi Prancis. Sementara ada banyak persoalan yang mesti

diselesaikan setelah 1806, yaitu menghapus perbudakan dan perdagangan budak,

9

Page 10: Determinisme Historis a la Fukuyama - HENDRA … · Web viewSelain itu, sebagai respons ketidakpuasan pada sistem itu, Negara-negara tersebut mulai melakukan revolusi di bidang ekonomi

meluaskan hak suara kepada pekerja, wanita, kulit hitam, dan ras-ras minoritas

lainnya, dan sebagainya. Prinsip-prinsip dasar dari negara demokratis liberal

sudah tak bisa lebih sempurna lagi. Dalam hal ini pendapat Kojeve sangat kontras

dengan penafsir Hegel dari Jerman seperti Herbert Marcuce, yang karena lebih

bersimpati kepada Marx, menganggap Hegel terbatas secara sejarah.

Negara yang muncul pada akhir sejarah adalah liberal, sejauh ia mengakui

dan melindungi hak universal manusia akan kemerdekaan melalui sistem hukum,

dan demokratis sejauh ia hadir hanya dengan persetujuan mereka yang diperintah.

Bagi Kojeve, apa yang disebut “negara homogen universal” ini menemukan

pengejawatahannya yang nyata di negara-negara Eropa Barat pascaperang

menciptakan negara-negara damai, makmur, berpuas diri, berorientasi ke dalam,

dan berkehendak kuat. Sebagai kemungkinan lain, Kojeve mengindetifikasi akhir

sejarah dengan “gaya hidup Amerika” pascaperang yang menurutnya juga hal ini

ditiru oleh Uni Soviet.

Pemikiran Fukuyama dalam menguraikan konsep sejarah bersifat

deterministik karena menempatkan nasib manusia dalam suatu kerangka umum

yang telah ditentukan sebelumnya dan tidak dapat ditiadakan harus berkembang

menuju satu titik akhir yang juga telah dipatok sebelum. Akan tetapi R.Z. Leirissa

(2005:xii) menyatakan bahwa interpretasi Fukuyama tentang sejarah

sesungguhnya sudah banyak ditinggalkan oleh para ahli sejarah profesional.

Pemikiran Fukuyama lebih didasarkan atas falsafah sejarah Hegel yang muncul

sejak abad ke-18 dan 19 yang disesuaikan dengan kondisi Jerman pad saat itu.

Dari sinilah Fukuyama mengajukan tesis berakhirnya sejarah yang ditandai

dengan kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal.

Pandangan Fukuyama ini bertentangan dengan ilmu sejarah di masa kini.

Di mana ilmu sejarah justuru mengambil titik-tolak yang lain, bahkan bertolak

belakang. R.Z.Leirissa (2005:xiii) menyatakan bahwa dalam pengertian ilmu

sejarah, proses bukanlah “objektivitas yang utuh” dengan teologi yang sudah pasti

dan telah ditentukan sebelumnya seperti dikemukakan Hegel. Tetapi sejarah

adalah suatu proses terbuka dengan berbagai kemungkinan di masa yang akan

10

Page 11: Determinisme Historis a la Fukuyama - HENDRA … · Web viewSelain itu, sebagai respons ketidakpuasan pada sistem itu, Negara-negara tersebut mulai melakukan revolusi di bidang ekonomi

datang. Selain itu, dalam ilmu sejarah manusia bukan sekedar alat bagi

perwujudan suatu gagasan, tetapi sejarah justuru berawal dan berakhir pada

manusia yang memiliki kebebasan dan kemampuan untuk mengatur massa

depannya. Sejarah diartikan sebagai perjuangan yang terus-menerus untuk

mewujudkan kebebasan.

Kemudian Christopher Lloyd yang diilhami oleh Anthony Goddens,

Sejarah adalah hasil interaksi antara individu atau kelompok sosial dengan

struktur sosial. Perkebangan sejarah tidak ditentukan struktur sosial. Perubahan

sosial, atau sejarah, adalah upaya manusia ataupun suatu kelompok sosial

(peristiwa) yang berhasil mengubah struktur sosialnya.

Dari uraian di atas dapat disimak maknanya bahwa kemenangan

kapitalisme dan demokrasi liberal sebagaimana disampaikan oleh Fukuyama

dengan tesisnya berkhirnya sejarah tidak terbukti. Pemikiran Fukuyama ini

diinspirasi oleh konsep filsafat Hegel dengan titik tolak atau tesis dari pemikiran

dialektika “idée an sich, kesatuan antara Ada dan pemikiran yang belum

dibedakan (Bambang Q.Anees, 2005:378-379). Dengan demikian pemikiran

Fukuyama ini baru pada tataran ide belum pada tataran praktis. Pandangan ini

juga dapat dilihat dari pernyataan Hegel,“sejarah dunia tidak lain adalah

perkembangan ide kebebasan”, yang hal itu dicapai melalui serangkaian

perjuangan dialektika menuju realisasi diri (S.Avenry,1968:162).

Teori Marx ide perkebangan speritualitas absolut Hegel diterjemahkan

menjadi sejarah perkembangan produksi material di mana di bawah

perkembangan kapitalisme karakter progresif sejarah perkembangan masyarakat

bergulir. Bagi Marx perkembangan kapitalisme dan perjuangan kelas pekerja

adalah merupakan dua kekuatan yang mendorong sejarah yang tidak bisa

dielakkan dalam perkembangan masyarakat manusia (Ibid).

Dari paparan di atas, bahwa berakhirnya sejarah sebagaimana digagas

Fukuyama menunjukkan adanya korelasi antara gagasan atau ide Hegel dengan

tesis Fukuyama tentang berakhirnya sejarah tsersebut. Memang demikian, karena

Fukuyama memberikan prediksi-predikasi sesuai perkembangan masyarakat

11

Page 12: Determinisme Historis a la Fukuyama - HENDRA … · Web viewSelain itu, sebagai respons ketidakpuasan pada sistem itu, Negara-negara tersebut mulai melakukan revolusi di bidang ekonomi

Eropa pasca Perang Dingin. Apa yang dilontarkan Fukuyama tentang kemenangan

kapitalisme dan demokrasi liberal ini hanya sebuah pesimisme terhadap

perkembangan masyarakat dunia, agar negara di dunia mau tidak mau akan

mengikuti sistem politik tersebut.

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pandangan Fukuyama tidak

semestinya harus diterima secara totalitas tetapi perlu adanya selektif dalam

memahami substansi pemikirannya. Pemikiran Fukuyama perlu dikaji dari sisi

konteks, bagaimana setuasi dan kondisi politik dan perkembangan masyarakat

saat itu, latar belakang kehidupan, sikap dan komitmennya dalam memperjuangan

hak-hak sipil di berbagai negara di dunia.

2. Globalisasi budaya modernitas

Dalam konteks global saat ini, tampaknya persoalan globalisasi

modernitas lebih penting daripada globalisasi ekonomi dan politik. Leslei Skalair

(1991:51) menyatakan globalisasi ekonomi dan politik adalah phenomena yang

ditunjukkan oleh semakin meluasnya cakupan pengaruh penetrasi sistem

organisasi korporasi ekonomi dan politik modern seperti terdapat dalam

perusahaan multinasional dan transnasional dan pengaruh kelas kapitalis

transnasional terhadap sistem ekonomi negara-negara sedang berkembang.

Sementara globaliasi budaya modernitas merupakan globalisasi dalam level

budaya yang mengacu pada prinsip hidup modern sebagaimana tercermin dalam

idiologi kultural konsumerisme.

Dalam banyak pembahasan tentang pengaruh globalisasi terhadap

perubahan-perubahan budaya lokal si negara sedang berkembang dikemukakan

bahwa globalisasi ekonomi dan politik ternyata diakui memiliki kekuatan terbatas

dalam mengubah masyarakat lokal disbanding globalisasi budaya modernitas.

Scott Lash & John Urry (1994: 160-167) menyatakan globalisasi ekonomi dan

politik tidak dapat secara bebas menembus masyarakat lokal karena dibatasi oleh

lingkup negara bangsa. salah unsure penting dari pengaruh globalisasi ekonomi

dan politik yaitu sistem kapitalisme, misalnya, ternyata tidak begitu saja mudah

berkembang dan diterima begitu saja kapitalisme sebagaimana yang berkembang

12

Page 13: Determinisme Historis a la Fukuyama - HENDRA … · Web viewSelain itu, sebagai respons ketidakpuasan pada sistem itu, Negara-negara tersebut mulai melakukan revolusi di bidang ekonomi

di negara industri maju, tetapi diterima secara berbeda sesuai dengan kepentingan

kekuasaan yang ada. Karena misalnya muncul banyak phenomena kapitalimse ala

Jepang, kapitalisme ala Asia Tenggara, yang berbeda dengan kapitalisme Jerman

atau Amerika Serikat.

Menanggapi apa yang dikemukakan Fukuyama tentang globalisasi

modernitas ini ia berusaha untuk memberikan keyakinan terhadap masyarakat

dunia bahwa kapitalisme merupakan sebuah idiologi terkuat di dunia, melalui

penyeragaman idiologi dan tidak mengakui idiologi lainnya. Penulis menanggapi

bahwa apa yang diungkapkan Fukuyama terlalu tergesa-gesa, jika dilihat dari

konteks glabalisasi maka alur logika fukuyama sangat keliru dalam memahami

keragaman idiologi. Dalam konteks posmodernisme seyogianya kita harus

mengakui keragaman yang integrated pluralisme bukan penyeragaman. Hal ini

dapat diperkuat dengan pendapat Pauline Marle (1992: 8) menyatakan bahwa teori

postmodern pada gilirannya menolak adanya proyek global “ perbedaan”,

“keunikan dari bagian-bagian”, daripada kesatuan teori sosial secara keseluruhan.

Kenyataan menunjukkan pada kita bahwa pengaruh globalisasi modernitas

telah mengaburkan batas-batas negara-bangsa. Dalam lingkungan budaya dewasa

ini kita telah memasuki suatu situasi di mana batas-batas negara-bangsa menjadi

semakin sulit dikenali. Hal itu disebabkan karena pengaruh globalisasi budaya

sulit dikontrol oleh suatu sistem politik negara-bangsa.

Mengkaji apa yang disampaikan oleh Fukuyama tentang kemenangan

kapitalisme dan demikrasi liberal. Dalam hubungan ini Anthony Giddens (1981)

dalam pemikirannya tentang nation-state ia memberikan satu kerangka pikir yang

mengkaitkan negara dan masyarakat dalam satu kesatuan yang mengandaikan.

Pemikirannya tentang nation-state sendiri menempatkan modernitas sebagai titik

tolak pemahaman. Bagi Giddens modernitas ditopang oleh empat dimensi yang

sifatnya institusional yaitu monopoli sarana-sarana kekerasan, kapitalisme,

industrialisme Surveillance atau pengawasan.

Modernitas merupakan satu fenomena yang sangat khas Eropa. Secara

umum istilah modernitas merujuk pada bentuk masyarakat yang mulai muncul di

13

Page 14: Determinisme Historis a la Fukuyama - HENDRA … · Web viewSelain itu, sebagai respons ketidakpuasan pada sistem itu, Negara-negara tersebut mulai melakukan revolusi di bidang ekonomi

Eropa Barat dalam abad ke tujuh belas dan delapan belas yang tercermin di

Amerika Utara dan sejak itu telah menyebar atau mengenai bagian-bagian dunia

lainnya. Reindhard Bendix, misalnya menyatakan bahwa semua konsepsi

mengenai proses modernisasi harus dimulai dari pengalaman Eropa Barat karena

dari sanalah asal mula berkembangnya komersialisasi industri dan revolusi.

Proses pergulatan ideologi telah mencapai kepada kemenangan

kapitalisme dan demokrasi liberal, mengalahkan ideologi sosialisme dan fasisme.

Semua negara akan berjalan dengan tuntutan kapitalisme dan demokrasi liberal,

sehingga pada akhirnya tercipta sebuah pemerintahan tunggal dunia yang menyatu

di bawah pimpinan AS sebagai aktor utama dunia. Anthony Gidden (1990)

menyatakan bahwa kapitalisme global telah merombak tatanan kehidupan

masyarakat.

Melihat fenomena-fenomena yang tragis tersebut, maka tidak

mengherankan apabila sejumlah pakar politik dan ekonomi terkemuka, mengkritik

dan mencemaskan kekuatan idiologis kapitalisme dalam mewujudkan

kemakmuran masyarakat dunia di muka bumi ini. Bahkan cukup banyak klaim

yang menyebutkan bahwa kapitalisme telah gagal  sebagai sistem sosial dan

model idiologi ekonomi dunia.

Namun demikian, berakhirnya ketegangan idiologis tersebut ternyata tidak

lantas menjadikan dunia lebih aman karena hal tersebut hanya mengurangi

ketegangan di tingkat global, tidak menyelesaikan konflik-konflik di kawasan

yang telah memiliki bibit konflik secara tradisonal. Hal ini terbukti ketika dunia

memasuki dekade 1990-an muncul berbagai konflik bersenjata di dunia. Mulai

dari konflik tradisional yang kembali muncul ke permukaan-Burundi, Rwanda-

sampai dengan konflik baru, seperti konflik bersenjata antar-etnis dibekas negara

Yugoslavia. Ternyata, perubahan yang lebih cepat telah menciptakan social-

political shock, sehingga hal ini membenarkan tesis yang dikemukakan oleh

Rosenau bahwa” semakin cepat tingkat perubahan sosial terjadi, semakin

memungkinkan terjadinya bentuk-bentuk kekerasan intra-sosietal.

14

Page 15: Determinisme Historis a la Fukuyama - HENDRA … · Web viewSelain itu, sebagai respons ketidakpuasan pada sistem itu, Negara-negara tersebut mulai melakukan revolusi di bidang ekonomi

Atas dasar ini, maka dapat dikatakan bahwa Fukuyama telah memberikan

kesimpulan yang terlalu tergesa-gesa, bila kita mencermati kondisi masyarakat

masa kini, kapitalisme telah tervindikasi, karena  krisis ekonomi masa kini masih

tetap terasa mendalam dan mengkhawatirkan serta telah menimbulkan

penderitaan-penderitaan yang memilukan bagi umat manusia. Dengan demikian

sangat keliru apa yang dilakukan Fukuyama yang mendeklarasikan kemenangan

kapitalisme liberal sebagai representasi akhir zaman “ The end of history”.

Bertolak sejumlah tanggapan atas tesis Fukuyama tentang kemenangan

kapitalisme dan demokrasi liberal dengan logika Fukuyama tentang akhir sejarah.

Bagi Fukuyama ini semua sebagai dampak daripada perkembangan dan kemajuan

industri di satu pihak dan sistem politik dipihak lain yang dikembangkan oleh

negara-negara Eropa dan Amerika Serikat.

Dari pararan di atas, penulis menyatakan bahwa perkembangan kehidupan

manusia, baik di negara-negara Eropa, Amerika Seikat maupun di negara-negara

Asia belakangan ini telah beranjak ke erah globalisasi. Apa yang sebenarnya

terjadi adalah faktor-faktor kemajuan teknologi komunikasi dan infofrmasi yang

hebat maka sekarang batas-batas nasional dari lingkungan kehidupan manusia

makin mengabur. Bahkan seperti diargumentasikan oleh Kenichi Ohmae (I. Gde

Widja, 2002:18) batas-batas negara-bangsa telah berakhir (Berakhirnya Negara

Bangsa, lihat lebih lanjut pada Analisis CSIS, 1996). Sebagai gantinya mulai

lebih menonjol munculnya “negara-negara wilayah” yang arahnya sudah jelas

menuju ke lingkungan yang makin menglobal dan dunia seperti tampa batas lagi

(borderless word). Memang yang dimaksud Ohmae lebih terkait dengan aspek

kehidupan ekonomi, namun dalam kenyataannya ternyata berdampak pada hampir

keseluruhan dimensi kehidupan manusia.

Hal ini bisa dikaitkan dengan kenyataan bahwa dalam kecenderungan

mengglobal ini memang batas-batas kesadaran nasional seperti di Indonesia saat

ini melemah, tetapi di lain pihak kita saksikan pula kenyataan bahwa justuru

kesadaran subnasional (kesadaran daerah dan keadaran etnisitas) makin menguat.

Keadaan ini bisa terjadi karena melalui perkembangan teknologi

15

Page 16: Determinisme Historis a la Fukuyama - HENDRA … · Web viewSelain itu, sebagai respons ketidakpuasan pada sistem itu, Negara-negara tersebut mulai melakukan revolusi di bidang ekonomi

komunikasi/informasi maka basis-basis sasaran pengaruh global tidak lagi hanya

setingkat batas/satuan nasional, tetapi sudah menerobos sampai ke tingkat lokal.

Setuasi seperti ini digambarkan kemudian sebagai fenomena “globalisasi”,

khususnya dalam bidang sosial budaya, dimana unsure-unsur budaya global dan

lokal saling bertukar dan berbaur menjadi satu. Hal ini sejalan pula dengan istilah-

istilah seperti “global village” yang merefleksikan suasana “time space

compression” (perapatan batas-batas waktu dan ruang).

Keadaan ini semua mendorong munculnya fenomena baru, yaitu di satu

pihak meningkatkan kesadaran global (menembus kesadaran nasional) pada

masyarakat-masyarakat lokal, tetapi di lain pihak sekaligus pula meningkatkan

kesadaran lokal, dalam arti meningkatnya kesadaran untuk lebih berorientasi dan

memperhatikan kepentingan-kepentingan lokal, baik dalam satuan wilayah

kelompok etnisnya. Menurut pendapat penulis bahwa dalam setuasi begini

kelompok-kelompok masyarakat lokal sekarang menjadi makin sadar akan jati

dirinya serta haknya, dan selanjutnya makin merasakan ketidak adilan yang

kemudian bermuara pada timbulnya pergolakan-pergolakan di berbagai daerah

baik yang berdimensi sosio-kultural maupun politik dalam berbagai tingkat

kegewatannya.

Dari perspektif sejarah, ini tidak lain berarti makin derasnya dinamika

sejarah di daerah-daerah. Sebagai konsekuensinya kita dituntut un tuk lebih

mencurahkan perhatian yang lebih besar pada studi sejarah yang berdimensi

mikro, baik untuk lebih memahami akar-akar dinamika tersebut, maupun

selanjutnya untuk bisa menyumbangkan pemikiran bagi jalan keluar penyelesaian

pergolakan-pergolakan di berbagai wliayah Indonesia.

Apa yang dikemukakan di atas, jelas bagi kita karena ketika terjadi

perubahan paradigma pembangunan dari sistem desentralisasi ke sistem

dersentralisasi ini membawa pengaruh terhadap segemen kehidupan pengelolaan

negara. Di mana di setiap daerah bisa melakukan kerjasama antar negara tanpa

harus mendapat legitimasi dari pemerintah pusat. Dari kecendurungan seperti ini

bisa membawa konsekuensi terhadap terjadinya keretakan integrasi bangsa. Oleh

16

Page 17: Determinisme Historis a la Fukuyama - HENDRA … · Web viewSelain itu, sebagai respons ketidakpuasan pada sistem itu, Negara-negara tersebut mulai melakukan revolusi di bidang ekonomi

karena itu upaya yang dilakukan adalah harus adanya peningkatan kesadaran

nasionalisme warga negara melalui pendidikan berbasis idiologi yang

integralistik. Dan untuk menyembut perkembangan Indonesia di masa depan

hendaknya dicanangkan penyedaran nasionalisme bangsa yang berbasis subsektor

perkenomian seperti pertanian dan lain-lain.

17

Page 18: Determinisme Historis a la Fukuyama - HENDRA … · Web viewSelain itu, sebagai respons ketidakpuasan pada sistem itu, Negara-negara tersebut mulai melakukan revolusi di bidang ekonomi

DAFTAR PUSTAKA

Bambang Q. Anees, 2003. Filsafat untuk Umum. Jakarta: Kencana.

Bendict Anderson, 2002. Image Communities (terjemahan, 2002). Omi Intan. Yogyakarta: Pustaka Fajar.

Francis Fukuyama,1999. The End of History and The Last Man (terjemahan) Amrullah. Yogyakarta: Qalam.

-------------, 2002. The Greet Disruption: Human Nature and the Reconstitution of Social Oeder (terjemahan,2004) Ruslani. Jakarta: Triarga Utama.

Francis Fukuyama & Samuel P. Huntington, 2003. The Future of Word Order: Masa Depan Peradaban dalam Cedngkraman Demokrasi Liberal versus Pluralisme (terjemahan) Ahmad Faridl Ma’ruf. Yogyakarta: Ircisod.

Giddens, Anthony, 1981. Power Property and The State. Volume I of A Contemporary Critique of Historical Materialisme, University of California Press Barkeley dan Los Angles.

I.Gde Widja, 2002. Menuju wajah Baru Pendidikan sejarah.Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama.

---------, 1990. The Conequences of Modernity, Polity Press, Cambridge.Jurnal, Analisis CSIS.Tahun XXV, No.2. Maret-April 1996.Nasionalisme dan

Berakhirnya Negara-bangsa. Leslei Skalair, 1991. Sociology of the Global System, Social Change in Global

Perpektive. Baltimore: The John Hopkins University Press.Lasth, Scott & John Urry. 1994. Economies of Signs and Space. London: sage

Publications.Pauline Marie Rosenau, 1992. Postmodernisme and the Social Science, Insights,

Inroads, and intrusion. Princenton: University Press.Robert D. Kaplan, et.a.l, 2005. Ameican and Word, Debating New Shape of

International Politics (terjemahan) Yusi A. Pareanom. Jakarta: Obor Indonesia.

Samuel P. Huntington, 1996. The Clash of Civilzatations and the Remarking of Word Order (Terjemahan, 2005) M. Sadat Ismail. Yogyakarta: Qalam.

S.Avenri, 1968. The Social and Political Thought of Karl Marx. Cambridge University Press.

18

Page 19: Determinisme Historis a la Fukuyama - HENDRA … · Web viewSelain itu, sebagai respons ketidakpuasan pada sistem itu, Negara-negara tersebut mulai melakukan revolusi di bidang ekonomi

Kajian Buku

The End of History and The Last Man Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal

Bahan Kajian Matakuliah:

Etnisitas dan Nasionalisme

Dosen : Prof.Dr Rochiati Wiriatmadja,MA

IDENTITAS BUKUThe End of History and The Last Man

Published in Penguin Book 1999Penulis:

Francis Fukuyama

Penyaji:

SYAHRIL MUHAMMDNIM: 0603167

SEKOLAH PASCASARJANA PROGRAM S3 PIPSUNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG 2007

19

Page 20: Determinisme Historis a la Fukuyama - HENDRA … · Web viewSelain itu, sebagai respons ketidakpuasan pada sistem itu, Negara-negara tersebut mulai melakukan revolusi di bidang ekonomi

20

Page 21: Determinisme Historis a la Fukuyama - HENDRA … · Web viewSelain itu, sebagai respons ketidakpuasan pada sistem itu, Negara-negara tersebut mulai melakukan revolusi di bidang ekonomi

Berdasarkan kegagalan kapitalisme tersebut mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan, maka menjadi keniscayaan bagi umat manusia zaman sekarang untuk mendekonstruksi ekonomi kapitalisme dan merekonstruksi ekonomi berkeadilan dan berketuhanan yang disebut dengan ekonomi syariah. Dekonstruksi artinya meruntuhkan paradigma, sistem  dan konstruksi materialisme kapitalisme, lalu  menggantinya dengan sistem dan paradigma syari’ah. Capaian-capaian positif  di bidang sains dan teknologi tetap ada yang bisa kita manfaatkan, Artinya puing-puing keruntuhan tersebut ada  yang bisa digunakan, seperti alat-alat analisis matamatis dan ekonometrik,.dsb. Sedangkan nilai-nilai negatif, paradigma destrutktif filosofi materalisme, pengabaian moral dan banyak lagi konsep kapitalisme di bidang moneter dan ekonomi pembangunan yang harus didekonstruksi. Karena tanpa upaya dekonstruksi, maka ketidakadilan ekonomi di dunia akan semakin merajalela, kesenjangan ekonomi makin menganga, kezaliman melalui sistem riba dan mata uang kertas semakin hegemonis. Sekarang tergantung kepada para akademisi dan praktisi ekonomi syari’ah untuk menyuguhkan konstruksi

21

Page 22: Determinisme Historis a la Fukuyama - HENDRA … · Web viewSelain itu, sebagai respons ketidakpuasan pada sistem itu, Negara-negara tersebut mulai melakukan revolusi di bidang ekonomi

ekonomi syariah yang benar-benar adil, maslahah, dan dapat mewujudkan kesejahteraan umat manusia, tanpa penindasan, kezaliman dan penghisapan, baik antar individu dan perusahaan, negara terhadap perusahaan, maupun  negara kaya terhadap  negara miskin.

                        Berdasarkan kegagalan kapitalisme tersebut mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan, maka menjadi keniscayaan bagi umat manusia zaman sekarang untuk mendekonstruksi ekonomi kapitalisme dan merekonstruksi ekonomi berkeadilan dan berketuhanan yang disebut dengan ekonomi syariah. Dekonstruksi artinya meruntuhkan paradigma, sistem  dan konstruksi materialisme kapitalisme, lalu menggantinya dengan sistem dan paradigma syari’ah. Capaian-capaian positif  di bidang sains dan teknologi tetap ada yang bisa kita manfaatkan, Artinya puing-puing keruntuhan tersebut ada  yang bisa digunakan, seperti alat-alat analisis matamatis dan ekonometrik,.dsb. Sedangkan nilai-nilai negatif, paradigma destrutktif,.filosofi materalisme, pengabaian moral dan banyak lagi konsep kapitalisme di bidang moneter dan ekonomi pembangunan yang harus didekonstruksi. Karena tanpa upaya dekonstruksi, maka ketidakadilan ekonomi di dunia akan semakin merajalela, kesenjangan ekonomi makin menganga, kezaliman melalui sistem riba dan mata uang kertas semakin hegemonis. Sekarang tergantung kepada para akademisi dan praktisi ekonomi syari’ah untuk menyuguhkan konstruksi ekonomi syariah yang benar-benar adil, maslahah, dan dapat mewujudkan kesejahteraan umat manusia, tanpa penindasan, kezaliman dan penghisapan, baik antar individu dan perusahaan, negara terhadap perusahaan, maupun  negara kaya terhadap  negara miskin.

 

22

Page 23: Determinisme Historis a la Fukuyama - HENDRA … · Web viewSelain itu, sebagai respons ketidakpuasan pada sistem itu, Negara-negara tersebut mulai melakukan revolusi di bidang ekonomi

23

Page 24: Determinisme Historis a la Fukuyama - HENDRA … · Web viewSelain itu, sebagai respons ketidakpuasan pada sistem itu, Negara-negara tersebut mulai melakukan revolusi di bidang ekonomi

Dampaknya tentu saja kehancuran sendi-sendi perekonomian negara-negara berkembang, proyek-proyek raksasa terpaksa mengalami penjadwalan ulang, ratusan pengusaha gulung tikar, harga-harga barang dan jasa termasuk barang-barang kebutuhan pokok mengalami kenaikan tak terkendali.

24

Page 25: Determinisme Historis a la Fukuyama - HENDRA … · Web viewSelain itu, sebagai respons ketidakpuasan pada sistem itu, Negara-negara tersebut mulai melakukan revolusi di bidang ekonomi

Meskipun proses penanggulangan dan penyembuhan dari penyakit-penyakit itu kini sedang berlangsung, namun berbagai ketidakpastian masih saja membayang-bayangi. Tingkat suku bunga semakin tinggi dan diduga akan terus membumbung, memperkuat kekhawatiran akan gagalnya proses penyembuhan di atas. Krisis tersebut semakin memprihatinkan karena adanya kemiskinan ekstrim di banyak negara, berbagai bentuk ketidakadilan sosio-ekonomi, besarnya defisit neraca pembayaran, dan ketidakmampuan beberapa negara berkembang untuk membayar kembali hutang mereka. Henry Kissinger mengatakan, kebanyakan ekonom sepakat dengan pandangan yang mengatakan bahwa "Tidak satupun diantara teori atau konsep ekonomi sebelum ini yang tampak mampu menjelaskan krisis ekonomi dunia tersebut" (News Week, "Saving the World Economy").

            Melihat fenomena-fenomena yang tragis tersebut, maka tidak mengherankan apabila sejumlah pakar ekonomi terkemuka, mengkritik dan mencemaskan kemampuan ekonomi kapitalisme dalam mewujudkan kemakmuran ekonomi di muka bumi ini. Bahkan cukup banyak klaim yang menyebutkan bahwa kapitalisme telah gagal  sebagai sistem dan model ekonomi.

Sebenarnya, sejak awal tahun 1940-an, para ahli ekonomi Barat, telah menyadari indikasi kegagalan tersebut. Adalah Joseph Schumpeter dengan bukunya Capitalism, Socialism and Democracy  menyebutkan bahwa teori ekonomi modern telah memasuki masa-masa krisis. Pandangan yang sama dikemukakan juga oleh ekonom generasi 1950-an dan 60-an, seperti  Daniel Bell dan Irving Kristol dalam buku The Crisis in Economic Theory. Demikian pula  Gunnar Myrdal dalam buku Institusional Economics, Journal of Economic Issues, juga Hla Mynt, dalam buku Economic Theory and the Underdeveloped Countries serta Mahbubul Haq dalam buku The Poverty  Curtain : Choices for the Third World.

Pandangan miring kepada kapitalisme tersebut semakin keras pada era 1990-an di mana berbagai ahli ekonomi Barat generasi dekade ini dan para ahli ekonomi Islam pada generasi yang sama  menyatakan secara tegas bahwa teori ekonomi telah mati, di antaranya yang paling menonjol adalah Paul Ormerod. Dia  menulis buku (1994) berjudul The Death of Economics (Matinya Ilmu Ekonomi). Dalam buku ini ia

25

Page 26: Determinisme Historis a la Fukuyama - HENDRA … · Web viewSelain itu, sebagai respons ketidakpuasan pada sistem itu, Negara-negara tersebut mulai melakukan revolusi di bidang ekonomi

menyatakan bahwa dunia saat ini dilanda suatu kecemasan yang maha dahsyat dengan kurang dapat beroperasinya sistem ekonomi yang memiliki ketahanan untuk menghadapi setiap gejolak ekonomi maupun moneter. Indikasi yang dapat disebutkan di sini adalah  pada akhir abad 19 dunia mengalami krisis dengan jumlah tingkat pengangguran yang tidak hanya terjadi di belahan diunia negara-negara berkembang akan tetapi juga melanda negara-negara maju.

Selanjutnya Omerrod menandaskan bahwa ahli ekonomi terjebak pada ideologi kapitalisme yang mekanistik yang ternyata tidak memiliki kekuatan dalam membantu dan mengatasi resesi ekonomi yang melanda dunia.  Mekanisme pasar yang merupakan bentuk dari sistem  yang diterapkan kapitalis cenderung pada pemusatan kekayaan pada kelompok orang tertentu.

Karena itu, kini telah mencul gelombang kesadaran untuk menemukan dan menggunakan sistem ekonomi ”baru” yang membawa implikasi keadilan, pemerataan, kemakmuran secara komprehensif serta pencapaian tujuan-tujuan efisiensi. Konsep ekonomi baru tersebut dipandang sangat mendesak diwujudkan. Konstruksi  ekonomi tersebut dilakukan dengan analisis objektif terhadap keseluruhan format ekonomi kontemporer dengan pandangan yang jernih dan pendekatan  yang segar dan komprehensif.

Kehadiran konsep ekonomi baru tersebut, bukanlah gagasan awam, tetapi mendapat dukungan dari ekonom terkemuka di dunia yang mendapat hadiah Nobel 1999, yaitu Joseph E.Stiglitz. Dia   dan Bruce Greenwald menulis buku “Toward a New Paradigm in Monetary Economics”. Mereka menawarkan paradigma baru dalam ekonomi moneter. Dalam buku tersebut mereka mengkritik teori ekonomi kapitalis (konvensional) dengan mengemukakan pendekatan moneter baru yang entah disadari atau tidak, merupakan sudut pandang ekonomi Islam di bidang moneter, seperti peranan uang, bunga, dan kredit perbankan (kaitan sektor riil dan moneter).

Penutup            Berdasarkan kegagalan kapitalisme tersebut mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan, maka menjadi keniscayaan bagi umat manusia zaman sekarang untuk

26

Page 27: Determinisme Historis a la Fukuyama - HENDRA … · Web viewSelain itu, sebagai respons ketidakpuasan pada sistem itu, Negara-negara tersebut mulai melakukan revolusi di bidang ekonomi

mendekonstruksi ekonomi kapitalisme dan merekonstruksi ekonomi berkeadilan dan berketuhanan yang disebut dengan ekonomi syariah. Dekonstruksi artinya meruntuhkan paradigma, sistem  dan konstruksi materialisme kapitalisme, lalu  menggantinya dengan sistem dan paradigma syari’ah. Capaian-capaian positif  di bidang sains dan teknologi tetap ada yang bisa kita manfaatkan, Artinya puing-puing keruntuhan tersebut ada  yang bisa digunakan, seperti alat-alat analisis matamatis dan ekonometrik,.dsb. Sedangkan nilai-nilai negatif, paradigma destrutktif,.filosofi materalisme, pengabaian moral dan banyak lagi konsep kapitalisme di bidang moneter dan ekonomi pembangunan yang harus didekonstruksi. Karena tanpa upaya dekonstruksi, maka ketidakadilan ekonomi di dunia akan semakin merajalela, kesenjangan ekonomi makin menganga, kezaliman melalui sistem riba dan mata uang kertas semakin hegemonis. Sekarang tergantung kepada para akademisi dan praktisi ekonomi syari’ah untuk menyuguhkan konstruksi ekonomi syariah yang benar-benar adil, maslahah, dan dapat mewujudkan kesejahteraan umat manusia, tanpa penindasan, kezaliman dan penghisapan, baik antar individu dan perusahaan, negara terhadap perusahaan, maupun  negara kaya terhadap  negara miskin.

 

Fukuyama menyebutkan bahwayang meyakini apa yang ia sebut dengan sejarah direksional, keterarahan sejarah pada tujuan akhir tertentu. Inilah yang kemudian mengantarkan Fukuyama pada kesimpulan akhir sejarah.

Melalui bukunya, The End of History and The Last Man, Fukuyama hendak mengatakan bahwa paska perang dingin, tidak akan ada lagi pertarungan antar ideologi besar, karena sejarah telah berakhir dengan kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal. Meskipun menyadari evolusi sejarah, Fukuyama beranggapan bahwa demokrasi liberal merupakan titik akhir dari evolusi ideologis umat manusia sekaligus bentuk final pemerintahan manusia. Runtuhnya Soviet dan ambruknya tembok Berlin menjadi pertanda kalahnya sosialisme, dan sebagai gantinya adalah pera

27