11
Nervus fasialis merupakan saraf kranial terpanjang yang berjalan didalam tulang, sehingga sebagian besar kelainan nervus fasialis terletak dalam tulang temporal. Nervus fasialis terdiri dari 3 komponen yaitu komponen motoris, sensoris, dan parasimpatis. Komponen motoris mempersyarafi otot wajah, kecuali m.levator palpebra superior. Selain otot wajah nervus fasialis juga memsarafi m.stapedius dan venter posterior m.digastrikus. Komponen sensoris mempersarafi dua pertiga anterior lidah untul mengecap melalui nervus korda timpani. Komponen parasimpatis memberikan persarafan pada glandula lakrimalis, glandula submandibula dan glandula lingualis. Nervus fasialis mempunyai dua inti yaitu inti superior dan inti inferior. Inti superior mendapat mendapat persarafan dari korteks motor secara bilateral, sedangkan inti inferior hanya mendapat persrafan dari satu sisi. Serabut dari kedua inti berjalan mengililingi inti (nukleus) nervus abdusen (N.VI) kemudian meninggalkan pons bersama sama dengan nervus VIII (nervus koklea) dan nervus intermedius (whrisberg), masuk kedalam tulang temporal melalui porus akustikus interus. Setelah masuk kedalam lubang temporal, nervus VII (n.fasialis) akan berjalan dalam suatu saluran tulang yang disebut kanal fallopi. Dalam perjalanan didalam tulang temporal nervus VII dibagi dalam 3 segmen yaitu segmen labirin segmen timpani dan segmen mastoid

Dev

  • Upload
    devid

  • View
    219

  • Download
    3

Embed Size (px)

Citation preview

Nervus fasialis merupakan saraf kranial terpanjang yang berjalan didalam tulang, sehingga sebagian besar kelainan nervus fasialis terletak dalam tulang temporal.Nervus fasialis terdiri dari 3 komponen yaitu komponen motoris, sensoris, dan parasimpatis.Komponen motoris mempersyarafi otot wajah, kecuali m.levator palpebra superior. Selain otot wajah nervus fasialis juga memsarafi m.stapedius dan venter posterior m.digastrikus.Komponen sensoris mempersarafi dua pertiga anterior lidah untul mengecap melalui nervus korda timpani.Komponen parasimpatis memberikan persarafan pada glandula lakrimalis, glandula submandibula dan glandula lingualis.Nervus fasialis mempunyai dua inti yaitu inti superior dan inti inferior. Inti superior mendapat mendapat persarafan dari korteks motor secara bilateral, sedangkan inti inferior hanya mendapat persrafan dari satu sisi. Serabut dari kedua inti berjalan mengililingi inti (nukleus) nervus abdusen (N.VI) kemudian meninggalkan pons bersama sama dengan nervus VIII (nervus koklea) dan nervus intermedius (whrisberg), masuk kedalam tulang temporal melalui porus akustikus interus. Setelah masuk kedalam lubang temporal, nervus VII (n.fasialis) akan berjalan dalam suatu saluran tulang yang disebut kanal fallopi.Dalam perjalanan didalam tulang temporal nervus VII dibagi dalam 3 segmen yaitu segmen labirin segmen timpani dan segmen mastoidSegmen labirin terletak antara akhir kanal akustik internus dan ganglion genikulatum panjang segmen ini 2-4 milimeterSegmen timpani (segmen vertikal) terletak diantara bagian distal ganglion genikulatum dan berjalan kearah posterior telinga tengah, kemudian naik kearah tingkap lonjong (fenestra ovalis) dan stapes, lalu turun dan kemudian terletak sejajar dengan kanal semisirkularis horisontal. Panjang segmen ini kira-kira 12 mililiterSegmen mastoid (segmen vertikal ) mulai dari dindig medial dan superior kavum timpani. Perubahan posisi dari segmen timpani menjadi segmen mastoid disebut segmen piramidal atau genue eksterna. Bagian ini merupakan bagian paling posterior dari nervus VII shingga mudah terkena trauma pada saat operasi. Selanjutnya segemen ini berjalan ke arah kaudal menuju foramen stilomastoid. Panjang segmen ini 15-2 mililiterSetelah keluar dari tlang mastoid nervus VII keluar dari glandula parotis dan membagi diri untuk mempersarafi otot-otot wajah.Didalam tulang temporal nervus VII memberikan 3 cabang penting nervus petrosus superior mayor, nervus stapedius dan korda timpani.Nervus petrosus superior mayor yang keluar dari ganglion genikulatum. Saraf memberikan rangsang untuk sekresi pada kelenjar lakrimalisNervus stapedius yang mensarafi muskulus stapedius dan berfungsi sebagai peredam suaraKorda timpani yang memberikan serabut perasa pada dua pertiga lidah bagian depan.Pemeriksaan fungsi nervus fasilaisTujuan pemeriksaan fungsi nervus fasialis ialah untuk menentukan letak lesi dan menentukan derajat kelumpuhan nyaDerajat kelumpuhan ditetapkan berdsarkan hasil pemeriksaan funsgi motorik yang dihitung dalam persen1. Pemeriksaan fumgsi saraf motorikTerdapat 10 otot-otot utama wajah yang bertanggung jawab utuk terciptanya mimik dan ekspresi wajah seseorang. Adapun urutan ke sepuluh otot-otot tersebut secara berurutan dari sisi superior adalah sebagai berikut:1. M.frontalis: diperiksa dengan mengangkat alis keatas2. M.sourciller: diperiksa dengan cara mengerutkan alis3. M.Piramidalis: diperiksa dengan cara mengangkat dan mengerutkan hidung keatas4. M.orbicularis oculi: dieriksa dengan cara memejamkan kedua mata kuat-kuat5. M.zigomatikus; diperiksa dengan cara tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi.6. M.reveler komunis : diperiksa dengan cara memoncongkan mulut kedepan sambil memperlihatkan gigi7. M.Businator: Diperiksa dengan cara menggembungkan pipi8. M.orbicularis oris: menyerus pendeita bersiul9. M.Triangularis: diperiksa dengan cara menarik kedua sedut ke bibir bawah10. M.mentalis : diperiksa dengan cara memoncongkan mulut yang tertutup rapat kedepan

Pada tiap gerakan dari kesepuluh otot tersebut kita bandingkan antara kanan dan kiria. Untuk gerakan yang normal dan simetris dinilai dengan angka tiga b. Sedikit ada gerakan dinilai dengan angka satuc. Diantarnya dinilai dengan angka dua d. Tidak ada gerakan sama sekali dengan niilai 0

Seluruh otot ekspresi tiap sisi muka dalam keadaan normal akan mempunyai nilai tiga puluh (30)

2. TonusPada keadaan istirahat tanpa kontraksi maka tonus otot menentukan terhadap kesempurnaan mimik muka. Freyes menggangap penting akan fungsi tonus sehingga mengadakan penelitian pada setiap tingkatan kelompok otot muka, bukan pada setiap otot. Cawthorne mengemukakan bahwa tonus yang jelek memberikan prognosis yang jelek. Penilaian tonus seluruhnya berjumlah lima belas yaitu seluruhnya terdapat lima angkatan dikalikan tiga untuk setiap tingkatan, apabila terdapat hipotonus maka nilai tersebut dikrangi satu sampai minus dua pada setiap tingkatan tergantung dari gradasinya.3. SinkenesisSikenesis menetukan suatu komlikasi dari paresis fasialis yang sering kita jumpai. Cara mengetahui ada tidaknya sinkenesis sebagai berikut:a. Penderita diminta untuk memejamkan mata kuat-kuat kemudian kita melihat pergerakan otot-otot pada daerah sudut bibir atas. Kalau pergerakan normal pada pada kedua sisi dinilai dengan angka (2). Kalau pergerakan pada sisi paresis lebih (hiper) dibandingkan dengan sisi normal nilainya dikurangi satu (-1) atau (-2), tergantung dari gradasinya.b. Penderita diminta untuk tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi, kemudian kita melihat pergerakan otot-otot pada sudut mata bawah. Penilaian seperti pada (a).c. Sinkinesis juga dapat dilihat pada waktu penderita berbicara (gerakan emosi) dengan memperhatikan pergerakan otot-otot disekitar mulut. Nilai satu (1) kalau pergerakan normal. Nilai nol (0) kalau pergerakan tidak simtetris.

4. HemispasmeHemispasme merupakan suatu komplikasi yang sering dijumpai pada penyembuhan paresis fasialis yang berat. Diperiksa dengan cara penderita diminta untuk melakukan gerakan-gerakan bersahaya seperti mengedipkan mata berulang ulang maka akan jelas tampak gerakan otot-otot pada sudut bibir bawah atau sudut mata bawah. Pada penderita yang berat kadang-kadang otot-otot platisma didaerah leher juga ikut bergerak. Untuk setiap gerakan hemispasme dinilai dengan angka minus satu (-1). Fungsi motorik otot-otot tiap sisi wajah orang normal seluruhnya berjumlah lima puluh atau 100%. Gradasi paresis fasialis dibandingkan dengan nilai tersebut, dikalikan dua untuk prosentasinya.

5. GustometriSistem pengecapan pada 2/3 anterior lidah diparsarafi oleh nervus korda timpani, salah satu cabang nervus fasialis. Pada pemeriksaan fungsi nervus korda timpani adalah perbedaan ambang antara kanan dan kiri. Freyss menetapkan bahwa beda 50% antara kedua sisi adalah patologis.6. Schirmer test atau Naso-Lacrymal ReflexDianggap Sebagai pemeriksaan terbaik untuk mengetahui fungsi serabut serabut pada simpatis dari nervus fasialis yang disalurkan melalui nervus petrosus superfisialis mayor setinggi ganglion genikulatum. Cara pemeriksaan dengan meletakkan kertas hisap atau lakmus lebar 0,5 cm, panjang 5-10 cm pada dasar konjuntiva. Freyss menyatakan bahwa kalau ada beda kanan dan kiri lebih atau sama dengan 50% dianggap patologis.7. Refleks StapediusUntuk menilai reflek stapedius digunakan elektroakustik impedens meter yaitu dengan cara memberikan rangsang pada m. Stapedius cabang N.VII

Pemeriksaan lain ialah dengan alat gustomer. Dengan pemeriksaan gustomer ini dapat ditentukan ambang kecap dari pasien. Pemeriksaan tes schirmer dilakukan dengan meletakkan kertas lakmus pada bagian inferior kongjungtiva. Cara ini dapat dihitung berapa banyak sekresi kelenjar lakrimalis. Untuk mengetahui ambang rangsang permukaan nervus VII yang keluar dari foramen stillomastoid, dilakukan pemeriksaan NET (nerve exitability test) dengan membedakan kiri dan kanan. Perbedaan yang lebih dari 3,5 mA menandakan fungsi nervus VII dalam keadaan serius. Selain itu dilakukan pemeriksaan refleks otot stapedius dengan menggunkan impedans audiometer. Pada lesi yang terletak diatas ganglion genikulatum hampir selalu diikuti oleh kelainan audiovestibuler, oleh karena itu perlu diperiksa audiovestibuler. Pemeriksaan radiologi dan elektromiografi, dilakukan untuk melengkapi pemeriksaan . Penetapan penurunan fungsi nervus VII juga dapat dilakukan dengan metode pemeriksaan menurut House-Brackman (UI).

Therapy, particularly of bells palsy, is controversial due to the lack of large, prospective, randomized and controlled trials. Main goals of treatment are to speed recovery, to make recovery more complete, to prevent corneal complication and other sequalae, and to inhibit viral replication. Psychological support is also essential. Patients require reguler follow-ups. Therapy of secondary facial nerve palsy aims to omit the particular cause of the palsy. Patients with bells palsy should be reffered to a specialist and treatment should start as soon after onset as possible. Treatment may be subdevided into acute measures and measures to treat moderate or severe sequale

Facial nerve palsy can improve up to 1 year later. Patients with incomplete palsy have better prognosis than patients with complete palsy and the younger the patients the better the prognosis. In patients with incomplete palsy up to 94% make a full recovery. For elderly patients and those with severe weakness the outcome is less favorable. Without treatment the prognosis of complete Bells palsy is generally fair, but about 20-30% of the cases are left with varying degress of permanent disability. About 80-85% of the patients recover spontaneously and complately within 3 months, whereas 15-20% experience some kind of permanents nerve damage. About 5% may reamin with severe sequelae. In a study on 496 patients with bells palsy recovery after 9 months was achieved in 94% of the patients receiving corticosteroid either alone or in combinations with acyclovir. In a retrospective study on 334 patients with bells palsy treated with 250 mg prednisolone in addition to dextrane and pentoxyfyllin, the functional outcome was independents of age, arterial hypertensions, or diabetes. In this study, the outcome was better if therapy had started within 3 days after onset of symptoms. The general outcome was regarded superior to patients without receiving any therapy at all. Prognosis of bells palsy may be assessed clinically, by nerve conduction studies, transcranial magnetic stimulation, or quantitative analysis of MRI. About 10% of the patients with Bells palsy experience one or more recurrences after a mean latency of 10 years. Long term sequelae of facial nerve may be persisting weakness, contractures, facial spasms, synkinesis, decreased tearing, crocodile tears, or psychosocial effect. In patients who recover without treatment, major improvement occurs within 3 weeks. A new wave of recovery of function starts 3 months after onset. If it does not occur within this time then it is unlikely to be seen by 6 months. By 6 months it becomes clear who will have moderate of severe`sequele. Indicators for poor prognosis are listed in table 4. In case of incomplete recovery facial nerve palsy may go along with facial synkinesis.

ConclusionPatients developing Bells palsy should be seen by a neurologist, oto-rhino-laryngologist, and opthalmologist with the least possible latency after onset of the palsy. All patients in whom secondary facial nerve palsy is suspected a diagnostic work up for the presence or abcence of possible causes should be promptly initiated. If any of these causes is detected, it should be asessed if there is a causal relation between the palsy and the detected cause or not. Though a final decision on the optimal therapy of acutely developing bells palsy cannot be actually proposed, patients should be provided with all measures to avoid secondary affection of the eyes if the lid closure is insufficient or in case of impaired tearing. According toa recent double-blind, placbo-controlled trial on 496 patients early administration of corticosteroids resulted in a significantly better outcome than placebo. In case steroids are used in diabetic patients, serum glucose should be frequently followed.

Kelumpuhan nervus facialis dapat meningkatkan hingga 1 tahun kemudian. Pasien dengan incomplete palsy memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan pasien dengan complete palsy dan lebih muda pasien semakin baik prognosisnya. Pada pasien dengan incomplete hingga 94% membuat pemulihan penuh. Untuk pasien lansia dan orang-orang dengan kelemahan yang parah hasilnya kurang menguntungkan. Tanpa pengobatan prognosis lengkap Bell palsy umumnya adil, tapi sekitar 20-30% dari kasus yang tersisa dengan berbagai degress dari cacat tetap. Sekitar 80-85% dari pasien sembuh secara spontan dan complately dalam waktu 3 bulan, sedangkan pengalaman 15-20% beberapa jenis kerusakan saraf permanents. Sekitar 5% dapat reamin dengan gejala sisa berat. Dalam sebuah studi pada 496 pasien dengan pemulihan palsy bell setelah 9 bulan dicapai pada 94% dari pasien yang menerima kortikosteroid baik sendiri atau dalam kombinasi dengan asiklovir. Dalam sebuah penelitian retrospektif pada 334 pasien dengan bell palsy diobati dengan 250 mg prednisolon selain dextrane dan pentoxyfyllin, hasil fungsional adalah independen usia, hypertensions arteri, atau diabetes. Dalam penelitian ini, hasilnya lebih baik jika terapi telah dimulai dalam waktu 3 hari setelah timbulnya gejala. Hasil umum dianggap unggul pasien tanpa menerima terapi sama sekali. Prognosis Bells palsy itu dapat dinilai secara klinis, dengan studi konduksi saraf, stimulasi magnetik transkranial, atau analisis kuantitatif MRI. Sekitar 10% dari pasien dengan riwayat Bell palsy kambuh setelah laten 10 tahun. Gejala sisa jangka panjang saraf wajah dapat kelemahan, kontraktur, kejang wajah, synkinesis, penurunan merobek, crocodile tears, atau efek psikososial. Pada pasien yang sembuh tanpa pengobatan, perbaikan besar terjadi dalam waktu 3 minggu. Sebuah gelombang baru pemulihan fungsi dimulai 3 bulan setelah onset. Jika tidak terjadi dalam waktu ini maka tidak mungkin dilihat oleh 6 bulan. Pada 6 bulan menjadi jelas siapa yang akan memiliki moderat gejala sisa berat. Indikator untuk prognosis buruk tercantum dalam tabel. Dalam hal pemulihan yang tidak baik pada kelumpuhan saraf wajah bisa disertai dengan synkinesis wajah.

Pasien dengan paralysis nerve fasialis harus dilihat oleh seorang ahli saraf, THT, dan opthalmologist dengan kemungkinan infeksi laten setidaknya setelah onset lumpuh. Semua pasien dengan paralysis nerve fasialis sekunder diduga bekerja sampai diagnostik untuk ada atau tidaknya kemungkinan penyebab harus segera dilakukan. Jika salah satu penyebab ini terdeteksi, itu harus dinilai apakah ada hubungan sebab akibat antara palsy dan penyebab terdeteksi atau tidak. Meskipun keputusan akhir tentang terapi optimal paralysis nerve fasialis akut berkembang yang tidak dapat benar-benar diajukan, pasien harus disediakan dengan semua langkah-langkah untuk menghindari sayang sekunder mata jika penutupan tutup tidak cukup atau dalam kasus gangguan robek. Menurut double-blind, percobaan placbo dikendalikan toa baru pada 496 pasien administrasi awal kortikosteroid menghasilkan hasil yang signifikan lebih baik daripada plasebo. Dalam kasus steroid digunakan pada pasien diabetes, glukosa serum harus sering diikuti secara.