27
 1 KRITIK TERHADAP METODOLOGI TAFSIR AL-QUR’AN HASSAN HANAFI Oleh: Devi Muharrom Sholahuddin Lc. 1  A. PENDAHULUAN Belakangan ini, diskursus seputar Al-Qur’an ramai diperbincangkan. Teori  penafsiran yang telah mapan selama berabad-abad diragukan dan dipermasalahkan oleh sebagian kalangan pemikir muslim kontemporer. 2  Tafsir klasik dianggap sudah tidak relevan lagi dengan zaman dan ke butuhan umat islam saat ini.  3  Maka dibutuhkan sebuah metode penafsiran baru yang sesuai dengan zaman. 4  Teori tersebut adalah hermeneutika. 5 Salah satu pemikir muslim kontemporer yang menggunakan metode hermeneutika dalam teori penafsiran Al-Qur’an adalah Hassan Hanafi. Ia adalah doktor 1  Peserta Program Kaderisasi Ulama ISID Gontor Angkatan Ke -III, Utusan Pondok Pesantren Darussalam Sindang Sari kersamanah Garut Jawa Barat Indonesia . 2  Diantara pemikir muslim kontemporer itu adalah: Hassan Hanafi, Fazlurrahman, Mohamed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zaid, Amina Wadud Muhsin, Asghar Ali Engine er, Farid Esack dll. (Lihat, Adnin Armas MA, Tafsir Al-Qur'an atau "Hermeneutika Al- Qur'an" dalam  Jurnal Pemikiran dan  Peradaban Islam ISLA MIA, Thn. I No. 1/Muharram 1425.  Hal. 38) 3  Sebagai contoh, Amin Abdullah, Rektor UIN Yogyakart a menulis kata pengantar un tuk sebuah  buku Hermeneutika Al -Qur'an, sebagai berikut:  Metode penafsiran A l-Qur'an selama ini senantiasa hanya memperhatikan hubungan penafsir dan teks Al -Qur'an tanpa pernah mengeksplisitkan kepentin gan audiens terhadap teks. Hal ini mungkin dapat d imaklumi sebab para mufassir klasik lebih menganggap tafsir Al-Qur'an sebagai hasil kerja-kerja kesalehan yang dengan demikianharus bersih dari kepentingan mufassirnya. Atau barangkali juga karena trauma me reka pada penafsiran-penafsiran teologis yang  pernah melahirkan pertarungan polit ik yang maha dashat pada masa -masa awal Islam. Terlepas dari alasan-alasan tersebut, tafsir-tafsir klasik Al-Qur'an tidak lagi memberi makna dan fungsi yang jelas dalam kehidupan umat Islam." (Lihat, Ilham B. Saenong,  Hermeneutika Pembeb asan, Metodologi Tafsir  Al-Qur’an menurut Hassan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002)  4  Para pemikir muslim kontemporer beranggapan, bahwasannya saat ini ada sebuah metodologi  penafsiran yang bisa dijadikan alternatif untuk menafsirkan Al -Qur'an agar bisa sesuai dengan r ealita yang terjadi pada zaman sekarang ini. Sebuah metodologi penafsiran yang telah dilakukan oleh pe mikir Bara t  pada Bible. Metode it u adalah Hermeneutika. 5  Istilah “hermeneutics” berasal dari bahasa Yunani kuno (Greek) “ τα έρμενευτικα (dibaca: ta hermeneutika), yaitu bentuk jamak dari p erkataan: τα έρμενευτικον (to hermeneutikon)” yang be rmakna: ‘perkara-perkar a yang berkenaan dengan pemahaman atau p enerjema han suatu pesan. Diambil dari infinitif: έρμενεύειν, Kedua kata ini merupakan derivat dari kata “Hermes” ( ‘Eρμες ). Mulai abad ke-17 istilah ‘hermeneutics’ dipakai untuk menunjuk suatu ilmu, metode dan teknik memahami su atu pesan, karya atau teks. Sejak itu, istilah ‘hermeneutics’  dikontraskan dengan ‘exegesis’ (εξεγησις ), sebagaimana ‘ilmu tafsir’ dibedakan den gan ‘tafsir’. Lebih tepatnya, he rmeneutika adalah ilmu menafsirkan Bibel.

Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi

5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha

1

KRITIK TERHADAP

METODOLOGI TAFSIR AL-QUR’AN HASSAN HANAFI

Oleh: Devi Muharrom Sholahuddin Lc.1 

A. PENDAHULUAN 

Belakangan ini, diskursus seputar Al-Qur’an ramai diperbincangkan. Teori

 penafsiran yang telah mapan selama berabad-abad diragukan dan dipermasalahkan oleh

sebagian kalangan pemikir muslim kontemporer.2

Tafsir klasik dianggap sudah tidak 

relevan lagi dengan zaman dan kebutuhan umat islam saat ini.3

Maka dibutuhkan sebuah

metode penafsiran baru yang sesuai dengan zaman.4

Teori tersebut adalah

hermeneutika.5 

Salah satu pemikir muslim kontemporer yang menggunakan metode

hermeneutika dalam teori penafsiran Al-Qur’an adalah Hassan Hanafi. Ia adalah doktor 

1Peserta Program Kaderisasi Ulama ISID Gontor Angkatan Ke-III, Utusan Pondok Pesantren

Darussalam Sindang Sari kersamanah Garut Jawa Barat Indonesia.2

Diantara pemikir muslim kontemporer itu adalah: Hassan Hanafi, Fazlurrahman, MohamedArkoun, Nasr Hamid Abu Zaid, Amina Wadud Muhsin, Asghar Ali Engineer, Farid Esack dll. (Lihat,

Adnin Armas MA, Tafsir Al-Qur'an atau "Hermeneutika Al-Qur'an" dalam  Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, Thn. I No. 1/Muharram 1425. Hal. 38)

3Sebagai contoh, Amin Abdullah, Rektor UIN Yogyakarta menulis kata pengantar untuk sebuah

 buku Hermeneutika Al-Qur'an, sebagai berikut: ”Metode penafsiran Al-Qur'an selama ini senantiasa

hanya memperhatikan hubungan penafsir dan teks Al-Qur'an tanpa pernah mengeksplisitkan kepentinganaudiens terhadap teks. Hal ini mungkin dapat dimaklumi sebab para mufassir klasik lebih menganggap

tafsir Al-Qur'an sebagai hasil kerja-kerja kesalehan yang dengan demikianharus bersih dari kepentinganmufassirnya. Atau barangkali juga karena trauma mereka pada penafsiran-penafsiran teologis yang 

 pernah melahirkan pertarungan politik yang maha dashat pada masa-masa awal Islam. Terlepas darialasan-alasan tersebut, tafsir-tafsir klasik Al-Qur'an tidak lagi memberi makna dan fungsi yang jelas

dalam kehidupan umat Islam." (Lihat, Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir  Al-Qur’an menurut Hassan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002) 

4 Para pemikir muslim kontemporer beranggapan, bahwasannya saat ini ada sebuah metodologi penafsiran yang bisa dijadikan alternatif untuk menafsirkan Al-Qur'an agar bisa sesuai dengan realita yang

terjadi pada zaman sekarang ini. Sebuah metodologi penafsiran yang telah dilakukan oleh pemikir Barat pada Bible. Metode itu adalah Hermeneutika.

5Istilah “hermeneutics” berasal dari bahasa Yunani kuno (Greek) “τα έρμενευτικα (dibaca: ta

hermeneutika), yaitu bentuk jamak dari perkataan: τα έρμενευτικον (to hermeneutikon)” yang bermakna:

‘perkara-perkara yang berkenaan dengan pemahaman atau penerjemahan suatu pesan. Diambil dariinfinitif: έρμενεύειν, Kedua kata ini merupakan derivat dari kata “Hermes” (‘Eρμες ). Mulai abad ke-17

istilah ‘hermeneutics’ dipakai untuk menunjuk suatu ilmu, metode dan teknik memahami suatu pesan,karya atau teks. Sejak itu, istilah ‘hermeneutics’ dikontraskan dengan ‘exegesis’ (εξεγησις ), sebagaimana

‘ilmu tafsir’ dibedakan dengan ‘tafsir’. Lebih tepatnya, hermeneutika adalah ilmu menafsirkan Bibel.

Page 2: Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi

5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha

2

 bidang filsafat di Universitas Kairo Republik Arab Mesir yang menyelesaikan studi dan

mendapatkan gelar Doktoralnya dari universitas Sorbon Paris. Dalam pemikirannya

mengenai konsep hermeneutika Al-Qur’an, Hassan Hanafi dapat disejajarkan dengan

tokoh pemikir Islam yang lain seperti Mohammed Arkoun, Abid Al-Jabiry, Nasr Hamid

Abu Zaid, Fazlurrahman dan lain-lain.

Hanafi menawarkan pendekatan sosial dalam menafsirkan Al-Qur’an (al-manhaj

al-ijtimā’ī fī at-tafsīr). dengan metode tafsir Al-Qur’an seperti ini, menurut Hanafi,

seorang mufassir yang ingin mendekati makna Al-Qur’an tidak saja mendeduksi makna

dari teks, tapi sebaliknya, dapat juga menginduksi makna dari realitas kedalam teks.

Seorang mufassir  bukan hanya menerima, tapi memberi makna. Ia menerima makna dan

meletakannya dalam struktur rasional dan nyata.6 

Teori penafsiran seperti ini bertentangan dengan konsep penafsiran yang telah

mapan dan disepakati para ulama terdahulu. Yaitu, realita mendeduksi makna dari teks.7 

Lebih lanjut, Hanafi mengembangkan teori hermeneutikanya melalui

  pendekatan fenomenologi yang ia adopsi dari teori fenomenologi Edmund Husserl.

Menurutnya, ada lima tahapan yang harus dilakukan seorang mufassir dalam melakukan

  penafsiran Al-Qur’an. Langkah-langkah tersebut adalah: pertama, wahyu diletakan

dalam ”tanda kurung” (epoche),8 tidak diafirmasi, tidak pula ditolak. Penafsir tidak perlu

lagi mempertanyakan keabsahan dan keaslian Al-Qur’an, apakah ia dari Tuhan atau dari

  pandangan Muhammad Saw. Penafsiran dimulai dari teks apa adanya tanpa

mempertanyakan keasliannya terlebih dahulu.9  Kedua, Al-Qur’an diterima sebagaimana

layaknya teks-teks lain, seperti karya sastra, teks filosofis, dokumen sejarah dan

sebagainya. Al-Qur’an tidak memiliki kedudukan istimewa secara metodologis, semua

6Hasan Hanafi dalam Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-

Qur’an menurut Hassan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002) hal. 1467

Dr. Fathi Muhammad Gharib, Raudhatul bāhitsīn fī manāhij al-mufassirīn. (Kairo: Al-Azhar University, 2007) Hal. 109-111

8Kata epoche berasal dari bahas Yunani, yang berarti: “menunda putusan” atau ”mengosongkan

diri dari keyakinan tertentu”.9

Hasan Hanafi dalam Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-Qur’an menurut Hassan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002) hal. 147-148

Page 3: Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi

5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha

3

teks ditafsirkan berdasarkan aturan yang sama.10

  Ketiga, Tidak ada penafsiran palsu atau

 benar, pemahaman benar atau salah. Yang ada hanyalah perbedaan pendekatan terhadapteks yang ditentukan oleh perbedaan kepentingan dan motivasi.  Keempat, Tidak ada

  penafsiran tunggal terhadap teks, tapi pluralitas penafsiran yang disebabkan oleh

 perbedaan pemahaman penafsir. teks hanyalah alat kepentingan, bahkan ambisi manusia.

Penafsirlah yang memberinya isi sesuai ruang dan waktu dalam masa mereka. Terakhir,

Konflik penafsiran merefleksikan konflik sosio politik dan bukan konflik teoritis. Setiap

 penafsiran mengungkapkan sosio-politik penafsir.11

 

Langkah-langkah penafsiran yang dikemukakan oleh Hanafi merupakan

implikasi dari teori reduksi dalam Fenomenologi Husserl. Yang mana menurut Husserl,

untuk mencari hakikat yang esensial dari suatu realitas adalah dengan membiarkan

fenomena itu berbicara sendiri tanpa dibarengi dengan prasangka

(presuppositionlessness).12

  menurut Husserl, Supaya dapat menangkap hakekat obyek-

obyek, maka dibutuhkan tiga reduksi. Reduksi-reduksi ini yang menyingkirkan semua

hal yang mengganggu. Reduksi pertama: menyingkirkan segala sesuatu yang subyektif.

Sikap kita harus obyektif, terbuka untuk gejala-gejala yang harus “diajak bicara”. kedua:menyingkirkan seluruh pengetahuan tentang obyek yang diselidiki dan diperoleh dari

sumber lain. ketiga: menyingkirkan seluruh reduksi pengetahuan. Segala sesuatu yang

sudah dikatakan oleh orang lain untuk sementara harus dilupakan. Apabila reduksi-

reduksi ini berhasil, gejala sendiri dapat memperlihatkan diri.13

 

Dari pemaparan diatas, ada dua tema besar mengenai teori penafsiran Al-Qur’an

yang diusung oleh Hassan Hanafi akan penulis ungkap dalam tulisan ini.  Pertama, teori

tafsir adalah teori yang menghubungkan antara wahyu dan realitas, yang mana menurut

Hanafi, makna teks Al-Qur’an tidak saja mendeduksi makna dari teks, tapi sebaliknya,

dapat juga menginduksi makna dari realitas kedalam teks.  Kedua,  penggunaan

10Hasan hanafi, Humūm al-Fikr al-Wathan: at-Turats wa al-’Ashr wa al-Hadātsah (kairo: Dār 

Qubā, 1997) Hal. 23-3011

Hasan Hanafi, ad-Dīn wa at-Tsaurah fi Miṣr1952-1981, al-Yamīn wa al-Yasār fī fikri ad-Dīnī Vol. 7 (Kairo: Maktabah Madbuli, 1989) Hal. 102-111

12Muhammad Muslih,  Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Belukar, 2008) hal. 144-146

13Herry Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern (Jakarta: Gramedia, 1983) Hal. 117

Page 4: Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi

5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha

4

fenomenologi dalam penafsiran Al-Qur’an. Pemahaman fenomenologi menurut Hanafi

 bertujuan untuk mencapai makna yang objectif dari sebuah teks, tanpa ada otoritas dari

 pemilik pendapat.14

 

B. BIOGRAFI DAN LATAR BELAKANG PEMIKIRAN HANAFI

Hassan Hanafi lahir di Kairo pada tanggal 13 Februari 1935, di dekat Benteng

Salahuddin, daerah perkampungan Al-Azhar. Kota ini merupakan tempat bertemunya

 para mahasiswa muslim dari seluruh dunia yang ingin belajar, terutama di Universitas

Al-Azhar. Meskipun lingkungan sosialnya dapat dikatakan tidak terlalu mendukung,

tradisi keilmuan berkembang di sana sejak lama. Secara historis dan kultural, kota Mesir 

memang telah dipengaruhi peradaban-peradaban besar sejak masa Fir’aun, Romawi,

Bizantium, Arab, Mamluk dan Turki, bahkan sampai dengan Eropa modern.

Ia merupakan filusuf hukum Islam dan guru besar pada fakultas Filsafat Universitas

Kairo.

Pendidikannya diawali di pendidikan dasar, tamat tahun 1948, kemudian

Madrasah Tsanawiyah ”Khalil Agha”, Kairo, selesai pada tahun 1952. Selama di

Tsanawiyah ini, Hanafi sudah aktif mengikuti diskusi-diskusi al-Ikhwān al-Muslimūn,15 

dari kegiatannya inilah pemikiran Hanafi berkembang, selain itu, ia juga mempelajari

 pemikiran Sayyid Qutb tentang keadilan sosial dan keislaman.

Setamat Tsanawiyah, Hanafi melanjutkan studi di Departemen Filsafat

Universitas kairo, selesai pada tahun 1956 dengan menyandang gelar sarjana muda,

14Hasan Hanafi, Hermeneutika Al-Qur’an? (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009) Hal.

1715

  Al-Ikhwān Al-Muslimūn berdiri di kota Ismailiyah, Mesir pada Maret 1928 dengan pendiri

Hassan al-Banna, bersama keenam tokoh lainnya, yaitu Hafiz Abdul Hamid, Ahmad al-Khusairi, FuadIbrahim, Abdurrahman Hasbullah, Ismail Izz dan Zaki al-Maghribi. Al-Ikhwān Al-Muslimūn merupakan

sebuah organisasi Islam berlandaskan ajaran Islam. Ia merupakan salah satu jamaah dari beberapa jamaahyang ada pada umat Islam, yang memandang bahwa Islam adalah dien yang universal dan menyeluruh,

 bukan hanya sekedar agama yang mengurusi ibadah ritual (shalat, puasa, haji, zakat, dll) saja. Tujuan Al- Ikhwān Al-Muslimūn adalah mewujudkan terbentuknya sosok individu muslim, rumah tangga Islami,

 bangsa yang Islami, pemerintahan yang Islami, negara yang dipimpin oleh negara-negara Islam,menyatukan perpecahan kaum muslimin dan negara mereka yang terampas, kemudian membawa bendera

 jihad dan da’wah kepada Allah sehingga dunia mendapatkan ketentraman dengan ajaran-ajaran Islam. Al- Ikhwān Al-Muslimūn menolak segala bentuk penjajahan dan monarki yang pro-Barat.

Page 5: Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi

5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha

5

kemudian melanjutkan studi di Universitas Sorbonne Prancis, dengan mengambil

konsentrasi pada kajian pemikiran Barat pra-modern dan modern.16

Hanafi

menyelesaikan program master dan doktornya pada tahun 1966, dengan tesis berjudul

  Les Methodes d’Exegeses: Essei sur La Science des Fondament de La Conprehension

 Ilmu Ushul Fiqh dan desertasi berjudul  L’Exegese de La Phenomenologie, L’etat actuel 

de la Methode Phenomenologie et son application au Phenomene Religiux.17 

 

Karir akademiknya dimulai pada tahun 1967 ketika diangkat sebagai lektor,

kemudian lektor kepala pada tahun 1973, kemudian profesor filsafat pada tahun 1980 di

Jurusan Filsafat Universitas kairo. Selain itu Hanafi juga aktif memberi kuliah di

 beberapa negara, seperti Prancis, Belgia, Amerika Serikat, Kuwait, Maroko dan Jepang.

Pada tahun 1984-1985 ia diangkat sebagai guru besar tamu di Universitas Tokyo, dan

menjadi penasihat program di Universitas PBB di Jepang pada tahun 1985-1987.

Disamping dunia akademik, Hanafi juga aktif dalam organisasi ilmiyah dan

kemasyarakatan. Dia aktif sebagai Sekretaris Umum Persatuan Masyarakat Filsafat

Mesir, anggota Ikatan Penulis Asia-Afrika, anggota Gerakan Solidaritas Asia-Afrika dan

menjadi wakil presiden Persatuan Masyarakat Filsafat Arab.18 

Selama di Prancis, Hanafi mendalami berbagai disiplin ilmu. Ia belajar metode

 berpikir, pembaharuan dan sejarah filsafat dari Jean Gitton, belajar analisis kesadaran

  pada Pauk Ricouer, belajar bidang pembaharuan pada Massignon yang sekaligus

 bertindak sebagai pembimbing penulisan desertasinya, serta belajar fenomenologi dari

Husserl. Sampai saat ini, fenomenologi Husserl sangat kental mewarnai pemikiran

Hanafi dalam membaca teks-teks keagamaan. Fenomenologi Edmund Husserl inilah

yang mendasari karya-karya akademisnya   L’Exegese de La Phenomenologie, L’etat 

actuel de la Methode Phenomenologie et son application au Phenomene Religiux, Les

Methodes d’Exegeses: Essei sur La Science des Fondament de La Conprehension Ilmu

16Hasan Hanafi, ad-Dīn wa at-Tsaurah fi Mishr1952-1981, al-Yamīn wa al-Yasār fī fikri ad-Dīnī 

Vol. 7 (Kairo: Maktabah Madbuli, 1989) Hal. 331-33217

Ahmad Khudori Sholeh dalam, Pemikiran Islam Kontemporer, Hasan Hanafi: Hermeneutika

 Humanistik (Yogyakarta: Jendela. 2003) Hal. 15718

Ibid, Hal. 158

Page 6: Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi

5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha

6

Ushul Fiqh, dan La Phenomenologie d L’Exegese: essai d’une hermeneutique

existentielle a parti du nouvea Testanment.19

 

Persentuhannya dengan berbagai metodologi diatas, mendorong Hanafi untuk 

mempersiapkan sebuah proyek pembaharuan pemikiran Islam yang menyeluruh (al-

manāhij al-islāmī al-’Amm. Hanafi memulai proyeknya ini sekembalinya ke Mesir 

dengan mulai menggarap at-Turāts wa at-Tajdīd (tradisi dan modernisasi).

Hanafi merumuskan proyek  at-Turāts wa at-Tajdīd    berdasarkan tiga agenda

yang saling berhubungan.  Pertama, rekonstruksi tradisi Islam dengan melakukan

interpretasi kritis dan kritik historis yang mencerminkan ”apresiasi terhadap khazanah

klasik” (mawqifunā min al-qadīm).  Kedua, rekonstruksi ulang terhadap batas-batas

kultural Barat melalui pendekatan kritis yang tercermin dalam ”sikap kita terhadap

Barat” (mawqifunā minal-gharb). kemudian yang terakhir adalah, upaya membangun

sebuah teori interpretasi Al-Qur’an yang membebaskan yang mencakup dimensi

kebudayaan dari agama dalam skala global, yang memposisikan Islam sebagai fondasi

ideologis bagi kemanusiaan. Agenda ketiga ini mencerminkan ”sikap kita terhadap

realitas” (mawqifunā minal-wāqī).20 

Dari hasil penelusuran penulis terhadap literatur Hanafi, penulis tidak 

menemukan satupun karya tafsir yang dihasilkan oleh Hanafi. Hanafi hanya meletakan

  premis-premis, metodologi penafsiran serta karakteristik penafsiran yang harus

dihasilkan dari proses penafsiran.

C. AL-QUR’AN DALAM PANDANGAN HANAFI 

Berbeda dengan pemikir kontemporer yang lain, Hanafi tidak 

mempermasalahkan keabsahan dan keaslian teks Al-Qur’an. Menurut Hanafi, dari

sekian banyak kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT, hanya Al-Qur’an yang bisa

dijamin keasliannya saat ini. Dalam hal ini Hanafi sepakat dengan para ulama terdahulu.

19 ofcit 332

20Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-Qur’an menurut Hassan

 Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002) hal. 71-75

Page 7: Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi

5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha

7

Hanafi menyatakan bahwasannya, Allah Swt menurunkan Al-Qur’an secara

vertikal kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril. Dalam proses vertikal ini,Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad bertindak sebagai   passive transmitters. Keduanya

 bertindak sebagai recorders sepenuhnya, sehingga wahyu Allah bersifat verbatim.

Sebagai   passive transmitters, Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad

menyampaikan apa adanya wahyu yang mereka terima dari Allah. Sebagai contoh, ada

  beberapa surat Al-Qur’an yang dimulai dengan huruf-huruf muqaṭṭa’ah seperti  Nūn,

Qāf, Yāsīn dan lain sebagainya, kemudian terdapat pula ayat yang mengkritik Nabi

Muhammad seperti yang terdapat pada awal surat Abbasa. Keberadaan ayat-ayat

semacam ini merupakan bukti internal bahwa Al-Qur’an otentik, terbebas dari campur 

tangan Nabi Muhammad.21

 

Menurut Hanafi, Al-Qur'an sebagai "wahyu" memiliki tiga keistimewaan yang

tidak dimiliki oleh kitab-kitab lain selain Al-Qur'an.  Pertama, ia merupakan fase akhir 

  perkembangan wahyu dalam sejarah sejak Nabi Adam AS. hingga Nabi Muhammad

SAW. Dengan demikian Al-Qur'an merupakan wahyu yang tersempurnakan dalam

  bentuknya yang terakhir, yang dapat diambil sebagai syari'at tanpa menunggu

 perubahan, penggantian dan penghapusan.  Kedua, ia terjaga, sehingga bebas dari bahaya

  perubahan yang telah menimpa Kitab-kitab suci lain. Ketiga, Al-Qur'an sebagai kitab

suci yang tidak diturunkan sekaligus, tetapi secara bertahap. Wahyu yang diturunkan

sesuai dengan tuntutan kondisi dan kebutuhan manusia. Setiap turun sebagai

  penyelesaian atas situasi, ayat-ayat itu kemudian terakumulasi selama 23 tahun dan

menjadi Al-Qur'an seperti yang ada sekarang ini.22

 

1. Konsep teks dan Membaca teks

Dalam pandangan Hanafi, membaca teks pada dasarnya sinonim dengan proses

memahaminya, adapun yang menjadi objek pemahamannya adalah teks. Dalam hal ini

Hanafi mensejajarkan antara membaca teks dengan teori pengetahuan dalam filsafat

21Yudian Wahyudi dalam pengantar  Hermeneutika Al-Qur’an? Dr. Hassan Hanafi (Yogyakarta,

Pesantren Nawesea Press, 2009) Hal. vi-viii22

Hassan Hanafi, Hermeneutika Al-Qur'an?, (Yogyakarta: Pesantren Nawesea, 2010) Hal. 3-4

Page 8: Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi

5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha

8

skolastik yang ditandai dengan relasi subjek-objek. Maka, jika pembaca adalah subjek,

yang menjadi objeknya adalah teks.23

 

Menurut Hanafi, membaca yang berarti memahami dengan sendirinya juga

 berarti menafsirkan dan menakwilkannya. Tafsir   berada pada level kedua dalam proses

 pembacaan ketika pemahaman dengan persepsi langsung tidak dimungkinkan. Instrumen

 pemahaman dalam tafsir  adalah logika bahasa dan orientasi teks (tawjīh an-nash) atau

konteks sosial dan spirit zaman. Jika penafsiran dengan logika bahasa menemui jalan

 buntu, sementara signifikansi teks, kebutuhan sosial dan spirit zaman semakin menguat,

maka yang terjadi adalah proses ta'wil. Sementara syarh mencakup tiga hal sebelumnya

yakni: qirā’ah,   penafsiran dan ta’wīl. Dalam kedudukannya sebagai bangunan

  pengetahuan yang komprehensip, syarh mencakup hubungan antara proses membaca

dan teks dalam relasi subjek-objek.24

 

Lebih lanjut Hanafi menjelaskan, pembacaan suatu teks dapat menjadi kegiatan

yang bercorak pribadi dan dapat pula mencerminkan dialektika sosial. Bentuk yang

 pertama terjadi ketika seseorang membaca teks orang lain yang berasal dari kebudayaan

yang sama, sementara yang kedua adalah apabila seseorang melakukan pembacaan teks

 pada kebudayaan yang berbeda. Pembacaan teks yang dilakukan dalam dua bentuk ini,

tidak dapat dianggap sebagai tafsir  , ta'wil  dan syarh belaka terhadap objeknya.

Melainkan harus dianggap juga sebagai proses rekonstruksi makna teks menurut

 persepsi pembaca. Didalamnya tercakup pembacaan, analisis, kritik dan "rekonstruksi"

untuk menyempurnakan struktrur dan penyingkapan aturan-aturan teks. Pada sisi lain,

  pembacaan teks bukanlah seni, tapi ilmu praktis yang bersifat kumulatif guna

menyingkap struktur dasar suatu teks, baik yang terbentuk dalam rentang waktu yang panjang atau dalam periode yang singkat.

25 

23Hassan Hanafi, Dirāsāt Falsafiyyāt (Kairo: Maktabah Anglo Mishriyyah, 1988) Hal. 526

24Ibid, Hal 527

25Ibid, Hal 528-529

Page 9: Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi

5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha

9

2. Hakikat teks 

Secara sederhana, teks adalah perubahan kehendak dari oral menuju tulis.

Menurut Hanafi, teks bukanlah dokumen yang lebih dekat kepada timbunan atau catatan

kuno, tetapi adalah realitas yang hidup dalam keadaan diam, yang akan terbangkit

melalui pembacaan sehingga hidup kembali dalam berbagai bentuk.

Teks adalah koodifikasi semangat zaman melalui pengalaman pribadi dan

kolektif dalam berbagai situasi tertentu. Tujuan mengkoodifikasi sejarah adalah untuk 

mewariskan pengalaman setiap generasi kepada generasi selanjutnya, demi membimbing

dan mengorientasikannya menuju masa depan. Sasaran daripada teks menurut hanafi

adalah untuk mendokumentasi situasi dan menkodifikasikannya demi transformasi dari

diversitas menuju kesatuan, dari perbedaan menuju kesepakatan. Dalam pengertian ini

teks berarti menghilangkan keberagaman dimasa kini dan mendahulukan kesatuan masa

depan, mempersempit masakini dan membentang kedalam masa depan, sehingga

semangat tetap dalam sejarah.26

 

Dalam pandangan Hanafi, teks bukan hanya semata-mata pendokumentasian

untuk melestarikan dan mencatat, melainkan mencerminkan otoritas pengorentasian,

koodifikasi dan penetapan hukum.27

 

Lebih lanjut Hanafi menyatakan bahwasannya teks merupakan mayat hidup yang

lebih menyerupai nenek moyang. Hal ini terjadi dalam setiap peradabanketika terjadi

 perpindahan dari zaman lisan ke zaman penulisan. Jadi menurut Hanafi, teks bukanlah

semata-mata pendokumentasian untuk melestarikan dan mencatat, tetapi mencerminkan

otoritas pengorientasian, kodifikasi dan penempatan hukum.

28

 

D. Kritik Terhadap Tafsir Klasik 

Berangkat dari ketidakpuasan Hanafi terhadap hasil interpretasi dari Tafsir 

Klasik, maka Hanafi melakukan kritik terhadaf teori tafsir klasik yang telah dibangun

26Hassan Hanafi, Hermeneutika Al-Qur'an?, (Yogyakarta: Pesantren Nawesea, 2010) Hal. 80-81

27Ibid Hal 83

28Ibid Hal 81-82

Page 10: Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi

5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha

10

oleh ulama Tafsir. Menurut Hanafi, tafsir klasik tidak memiliki teori solid yang memiliki

  prinsip-prinsip yang teruji dan terseleksi, sebab tafsir klasik tidak melampaui fase syarah (komentar), tafsīl (detailisasi), tikrār  (pengulangan) dan penjelasan tentang apa

yang sedikit banyak tidak dibutuhkannya. Disisi lain ia mengabaikan kehidupan,

  problem, beban dan kebutuhan manusia. Sebagai akibatnya, teks keagamaan berkutat

 pada dirinya sendiri, karena berlandaskan pada makna-maknanya dari jangkauan dalam

makna awal ayat.29

Hanafi menjelaskan, ada dua kelemahan dalam tafsir klasik yang

dianggap krisis dan sangat berpengaruh besar, dua krisis kelemahan yang menjadi

sasaran kritik Hanafi adalah krisis orientasi dan krisis epistemologis.

a. Krisis Orientasi

Upaya memahami wahyu adalah upaya yang melibatkan pembacaan sekaligus

 pemahaman terhadapnya. Sementara pemahaman terhadap Al-Qur’an, menurut Hanafi,

adalah perbincangan mengenai teori penafsiran (naẓariyyah at-tafsīr) yang mampu

mengungkapkan kepentingan masyarakat, kebutuhan muslim dan isi-isu kontemporer.30

 

Hanafi menginginkan teoretisasi penafsiran yang meletakan kembali Al-Qur’an

sebagai sumber dan objek pengetahuan secara simultan dihadapan rasionalitas sebelum

melakukan kegiatan keilmuan lainnya, atau sebelum membangun ilmu-ilmu keislaman

apa pun, baik usul fiqih, tasawwuf, fiqih, filsafat dan lain sebagainya.31

 

Dalam pandangan Hanafi, tafsir Al-Qur’an klasik tidak pernah melakukan

 perbincangan teoritis semacam ini secara tuntas. Akibatnya, tafsir klasik tidak otonom,

namun terjebak pada orientasi metodologis dari disiplin keilmuan klasik Islam. Al-

Qur’an lebih banyak digunakan sebagai sumber justifikasi dalam menguatkan posisikeilmuan lain daripada memahaminya secara sungguh-sungguh. Al-Qur’an lebih banyak 

digunakan untuk memapankan disiplin lain, setelah itu baru digunakan kembali untuk 

menafsirkan Al-Qur’an. Sedangkan bagi Hanafi, Al-Qur’an bukan sama sekali buku

29Ibid Hal. 5

30Hasan hanafi, Qadhāya Mu’āshirah Fī Fikrinā al-Mu’ashir Vol. 2 (Beirut: Dār at-Tanwīr,

1983) Hal. 175 , ad-Dīn wa at-Tsaurah fi Mishr1952-1981, al-Yamīn wa al-Yasār fī fikri ad-Dīnī Vol. 7 

(Kairo: Maktabah Madbuli, 1989) Hal. 78 31

Opcit, Hal. 176

Page 11: Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi

5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha

11

 panduan bahasa, hukum, sejarah, kitab teologi, mistik, buku pengetahuan, atau panduan

sosial-politik atau buku tentang metafor.32

 

Menurut Hanafi, Tafsir klasik terjebak dalam corak penafsiran disipliner diatas,

kemudian bentuk dan sistematikanya lebih banyak merupakan tafsir analitik (at-tafsīr at-

tahlīlī) dalam konsep hanapi, tafsir ini disebut dengan at-tafsīr at-tūlā, suatu kegiatan

  penafsiran yang bertele-tele. Tafsir yang menguraikan teks-teks Al-Qur’an dari mulai

surah al-fātihah sampai surah an-nās di akhir al-Qur’an. Metode penafsiran semacam

ini, menurut Hanafi, hanya akan melahirkan penafsiran yang parsial, bercampur baur 

antara satu tema dengan yang lainnya. Bahkan hanya akan mengulan-ngulang tema yang

diperbincangkan. Tafsir seperti ini tidak memiliki struktur tema yang rasional dan riil

yang bisa menyajikan argumennya dari dalam dan bukan dari luar. Dengan kata lain

Hanafi menyatakan, metode tafsir ini kehilangan ideologi yang koheren, pandangan

dunia yang bersifat global dan tercerabut dari kebutuhan jiwa dan kepentingan

masyarakat kontemporer.33

 

Kritik Hanafi lebih dalam ketika melihat hasil tafsir Al-Quran dari para ulama

tafsir saat ini, Hanapi melihat adanya dualisme antara teks keagamaan (ilmu-ilmu Al-

Qur’an dan Hadits) dan dunia nyata (realitas kekinian). Untuk menjembatani dualisme

antara teks dan realitas model ini maka diperlukanlah sebuah methode penafsiran baru.

Metode itu adalah hermeneutika.34

 

Orientasi tafsir klasik, menurut Hanafi, mempunyai tiga kelemahan.  Pertama,

teori tafsir klasik lebih bersifat teosentris daripada antroposentris. Artinya, teori ini

diarahkan untuk menegaskan wujud Allah dengan membahas esensi, sifat dan

  perbuatannya, sekaligus mempertegas bahwa alam adalah ciptaan dan manusia akan

diminta pertanggungjawaban. Tafsir ini juga merupakan tafsir dogmatis teologis,

32Hasan Hanafi, ad-Dīn wa at-Tsaurah fi Mishr1952-1981, al-Yamīn wa al-Yasār fī fikri ad-Dīnī 

Vol. 7 (Kairo: Maktabah Madbuli, 1989) Hal. 79-10133

Hasan Hanafi dalam Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-Qur’an menurut Hassan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002) hal. 139-140

34Hasan Hanafi, Hermeneutika Al-Qur’an? (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009) Hal.

7-8

Page 12: Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi

5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha

12

  padahal tafsir yang diinginkan oleh Hanafi adalah, setelah menegaskan wujud Allah,

keterciptaan alam dan kebertanggungjawaban manusia dan keyakinan lainya, mufassir 

harus menegakan teori tentang wujudmanusia individu dan sosial dengan menjelaskan

 berbagai situasi yang berkaitan dengan orang lain dan alam. Kedua, selalu terikat dengan

kondisi lokal Islam tempat dulu Islam lahir, khususnya dari segi sosial dan ekonomi.

Tafsir klasik juga tidak menggunakan nilai spiritual sebagai sarana untuk memenangkan

manusia. Ketiga, tidak pernah memulai dengan mengkritik, menyerukan perbaikan dan

  perubahan radikal atas kondisi yang bertentangan dengan agama. Sebaliknya selalu

mengekor dan mengukuhkan setiap perbaikan dan perubahan yang dimulai dari luar teks

keagamaan.35

 

b. Krisis Epistemologi

Menurut Hanafi, khazanah pemikiran klasik tidak pernah memiliki suatu teori

  penafsiran yang otoritatif dengan prinsip-prinsip ilmiah yang mengarah pada

kepentingan tertentu. Sebaliknya, mayoritas tafsir-tafsir klasik menurut Hanafi, hanya

menjelaskan masalah-masalah yang sama sekali bertentangan dengan kepentingan

masyarakat. Adapun ciri-cirinya adalah mengulang-ngulang pendapat klasik dalam

mempormulasikan berbagai argumen.36

 

Penafsiran diatas, dianggap Hanafi terlalu membatasi pada aspek tekstualitas Al-

Qur’an, yakni linguistik (lughawy) dan sejarah turunnya ayat-ayat al-Qur’an (asbāb an-

nuzūl). Padahal menurut hanafi, keduanya reduktif terhadap makna.

Metode Linguistik hanya membatasi penentuan makna teks Al-Qur’an

 berdasarkan pada prinsip linguistik yang spesifik, seperti hakekat dan majaz, muhkamdan mutasyabih, mujmal dan mubayyan, zahir dan muawwal, muqayyad dan mutlak,

’am dan khas yang dilakukan untuk menjamin kebenaran makna. Padahal menurut

Hanafi, metode linguistik ini menghipotesakan bahwa makna teks itu haruslah tidak 

  jelas, sehingga dibutuhkan keseriusan ekstra untuk memahami maknanya. Lagi pula,

35Ibid, Hal. 8-10

36Hasan Hanafi dalam Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-

Qur’an menurut Hassan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002) hal. 140-141

Page 13: Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi

5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha

13

metode ini melupakan pengalaman hidup yang dijelaskan oleh teks, yang semestinya

dirasakan oleh mufassir sebagai bagian dari umat secara keseluruhan.37

 

Adapun penafsiran klasik yang dilakukan melalui pendekatan sebab-sebab

turunnya ayat Al-Qur’an, menurut Hanafi, hanya membatasi sekedar pada kasus-kasus

spesipik yang menjadi sebab-sebab turunnya ayat. Meskipun pendekatan seperti ini

dapat mengungkap peristiwa pertama dari teks, namun Hanafi memandang peristiwa

  pertama ini merupakanpengalaman hidup orang-orangdimana ayat itu diturunkan,

sekaligus merupakan pengalaman hidup yang terulang-ulang dalam kehidupan orang

lain. Sebagai akibatnya, pemahaman ayat dilakukan dengan cara menunjukannya pada

 pengalamannya, yang hidup dalam kesadaran mufassir dalam kehidupan pribadi maupun

sosial. Asbāb an-nuzūl klasik berubah menjadi situasi kemanusiaan yang hadir, dimana

 pemahaman ayat dilakukan secara langsung dengan melihat kejadian yang ditunjuk oleh

ayat itu sendiri.38

 

E. METODE HERMENEUTIKA HANAFI

Didalam berbagai artikel, makalah bahkan yang lebih spesifik adalah didalam

  pengantar buku Tradisi dan Modernisasi (at-Turats wa at-Tajdid) Hanafi menyatakan

  bahwa mega proyek daripada Tradisi dan Modernisasi adalah upaya rekonstruksi

  peradaban dengan menunjukan pada sumber-sumbernya dalam wahyu, atau

reinterpretasi wahyu itu sendiri, disamping pendasaran kepada realitas kontemporer dan

tradisi klasik. Tujuan akhirnya adalah transformasi wahyu kedalam disiplin kemanusiaan

yang komprehensif.39

Untuk kepentingan diatas, Hanafi merencanakan sebuah

hermeneutika yang mencakup berbagai teori interpretasi, baik atas teks maupun terhadap

realitas.

Hanafi menggunakan hermeneutika sebagai alternatif metode interpretasi teks

atas kritiknya pada metode tafsir klasik. Hanafi juga memperluas cakupan hermeneutika,

37Hasan Hanafi, Hermeneutika Al-Qur’an? (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009) Hal. 6

38Ibid. Hal. 7

39Hasan Hanafi, At-Turāts wa at-Tajdīd: Mauqifunā min Al-Turāts Al-Qadīm, (Kairo: Al-

Markaz Al-‘Arabī, 1980) Hal. 213

Page 14: Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi

5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha

14

dari sekedar ilmu interpretasi atau teori pemahaman, menjadi ilmu yang menjelaskan

tentang penerimaan wahyu sejak tingkat perkataan hingga tingkat dunia. Hermeneutikaadalah ilmu tentang proses wahyu dari huruf sampai kenyataan, dari logos sampai

 praksis, dan juga transformasi wahyu dari pikiran Tuhan kepada kehidupan manusia.40

 

Melihat berbagai kekurangan dan kelemahan didalam tafsir klasik, Hanafi

menawarkan teori penafsiran yang baru dalam menafsirkan Al-Qur’an yang ia rumuskan

melalui pendekatan sosial, Hanafi menyebut teori penafsiran ini dengan ”hermeneutika

sosial” (al-manhaj al-ijtimā’ī fī at-tafsīr) atau lebih tepatnya metode tafsir tematik  (at-

tafsīr al-maudhū’ī). Dengan hermeneutika Al-Qur’an seperti ini, menurut hanafi,

seorang mufassir yang ingin mendekati makna Al-Qur’an tidak saja mendeduksi makna

dari teks, tapi sebaliknya, dapat juga menginduksi makna dari realitas kedalam teks.

Bukan sekedar menjelaskan, tapi juga memahami. Bukan hanya mengetahui, tapi

sekaligus menyadari. Seorang mufassir  bukan hanya menerima, tapi memberi makna. Ia

menerima makna dan meletakannya dalam struktur rasional dan nyata. Karena tafsir 

tematis berusaha menemukan identitas sejati antara wahyu, kesadaran dan alam.41

 

Menafsirkan dalam pandangan Hanafi berarti mencari sesuatu, fokus dari objek.

menafsirkan adalah menemukan sesuatu yang baru antara bahasa teks. Menafsirkan

menurut Hanafi, serupa dengan menulis teks baru, mengungkap isi terdalam dari teks

yang berhubungan dengan kesadaran yang paling dalam.42

 

Berhubungan dengan metodologi hermeneutika sosial yang dibangun ini, Hanafi

meletakan premis-premis dan landasan filosofis dalam mencari makna dari teks Al-

Qur’an. Premis-premis itu adalah:

40Ahmad Khudori Sholeh dalam, Pemikiran Islam Kontemporer, Hasan Hanafi: Hermeneutika

 Humanistik (Yogyakarta: Jendela. 2003) Hal. 160-16141

Hasan Hanafi dalam Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-

Qur’an menurut Hassan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002) hal. 14642

Ibid Hal. 147

Page 15: Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi

5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha

15

 Pertama, wahyu diletakan dalam ”tanda kurung” (epoche),43

  tidak diafirmasi,

tidak pula ditolak. Penafsir tidak perlu lagi mempertanyakan keabsahan dan keaslian Al-

Qur’an yang banyak diperdebatkan oleh kalangan orientalis, bahkan sebagian

cendikiawan muslim kontemporer seperti Nashr Hamid Abu Zaid dan Muhammad

Arkoun,44

apakah ia dari Tuhan atau dari pandangan Muhammad Saw. Penafsiran

dimulai dari teks apa adanya tanpa mempertanyakan keasliannya terlebih dahulu.

Menurut Hanafi, dalam tahap interpretasi pertanyaan tentang asal-usul teks tidak lagi

relevan, karena teks adalah teks, tidak ada permasalahan apakah ia bersifat Ilahiah atau

manusiawi, sakral atau profan, elegius atau sekular. Pertanyaan tentang asal-usul teks

merupakan permasalahan kejadian teks, sedangkan penafsiran berkaitan dengan isi teks

tersebut.45

 

 Kedua, Al-Qur’an diterima sebagaimana layaknya teks-teks lain, seperti karya

sastra, teks filosofis, dokumen sejarah dan sebagainya. Al-Qur’an tidak memiliki

kedudukan istimewa secara metodologis, semua teks ditafsirkan berdasarkan aturan

yang sama. Baik itu yang sakral atau profan, termasuk Al-ur’an.Al-Qur’an menurut

Hanafi, hanyalah merupakan transfigurasi bahasa manusia, sebagaimana halnya juga

hadits Nabi.46

 

 Ketiga, Tidak ada penafsiran palsu atau benar, pemahaman benar atau salah.

Yang ada hanyalah perbedaan pendekatan terhadap teks yang ditentukan oleh perbedaan

kepentingan dan motivasi. Konflik interpretasi mencerminkkan pertentangan

43Kata epoche berasal dari bahas Yunani, yang berarti: “menunda putusan” atau ”mengosongkan

diri dari keyakinan tertentu”.44 Dalam pandangan Nashr hamid Abu Zaid, keabsolutan AL-Qur'an yang sakral sebatas dalam

 bentuknya yang metafisis atau saat berada di lawh mahfudz yang tidak diketahui hakekatnya dan tidak 

dapat dibuktikan melainkan hanya sekedar cerita dari Al-Qur'an saja. Kemudian Al-Qur'an yang absolutdan sakral tersebut menjadi pudar, relatif dan nisbi saat diwahyukan kepada Nabi dan dipahami oleh

ummat Islam. Hal ini karena keabsolutan dan kesakralan Al-Qur'an telah hilang saat berada dalam akal pembacaan manusia yang bercampur dengan pewarnaan dan kepentingan masing-masing penafsir. Maka

kesimpulannya, menurut Abu Zaid, Al-Qur'an yang absolut dan sakral sudah tidak ada lagi di dunia ini.Sumber: Henri Shalahuddin M.A. Al-Qur'an Dihujat (Jakarta: Al-Qalam, 2007)

45Hasan Hanafi dalam Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-

Qur’an menurut Hassan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002) hal. 147-14846

Hasan hanafi, Humūm al-Fikr al-Wathan: at-Turats wa al-’Ashr wa al-Hadātsah Vol. II (kairo:Dār Qubā, 1997) Hal. 23-30

Page 16: Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi

5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha

16

kepentingan, dalam interpretasi yang bersifat linguistik bahasa selalu berubah-ubah.

Kesamaan antara makna teks yang sedang dijelaskan dengan makna penafsiran terhadap

teks hanyalah preposisi formal yang sifatnya hipotesis berdasarkan pada hukum

keserupaan. Menurut Hanafi, kesenjangan waktu yang lebih dari 14 abad yang

menyebabkan teori keserupaan teks dan penafsiran jadi mustahil.

 Keempat, Tidak ada penafsiran tunggal terhadap teks, tapi pluralitas penafsiran

yang disebabkan oleh perbedaan pemahaman penafsir, teks hanyalah alat kepentingan,

 bahkan ambisi manusia. Penafsirlah yang memberinya isi sesuai ruang dan waktu dalam

masa mereka.

Terakhir, Konflik penafsiran merefleksikan konflik sosio-politik dan bukan

konflik teoritis. Teori sebenarnya hanyalah merupakan kedok epistemologis. Setiap

  penafsiran mengungkapkan sosio-politik penafsir. Penafsiran menurut Hanafi,

merupakan senjata ideologis yang banyak digunakan oleh kekuatan sosio-politik, baik 

dalam rangka mempertahankan keuasaan atau merubahnya.47

 

Dari lima premis diatas, Hanafi bertujuan untuk menghindarkan dari penafsiran

yang bertele-tele, maka dari itu Hanafi merumuskan beberapa karakteristik dalam

 penafsiran Al-Qur'an.

 Pertama, Harus mampu menghasilkan tafsir yang sifatnya spesifik  (at-tafsir al-

 juz'i) yaitu menafsirkan ayat-ayat tertentu Al-Qur'an bukannya menafsirkan seluruh

ayat-ayat Al-Qur'an.

 Kedua, tafsir semacam ini disebut juga tafsir tematik  (at-tafsir al-maudhu'i)

karena hanya menafsirkan tema-tema tertentu yang dibutuhkan.

 Ketiga,   bersifat temporal, (at-tafsir az-zamani). Penafsiran tidak diarahkan

kepada pencarian makna universal, melainkan diarahkan untuk menelusuri makna sesuai

yang diinginkan Al-Qur'an untuk generasi tertentu. Tafsir semacam ini tidak berurusan

47Hassan Hanafi, Islam In The Modern World: Religion, Ideology, and Development, vol. I 

(Kairo: Anglo-Egyptian Bookshop, 1995) Hal. 417-418

Page 17: Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi

5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha

17

dengan masa lalu atau masa yang akan datang, melainkan dikaitkan dengan realitas

kontemporer dimana ia muncul.

 Keempat,  berkarakter realistik  (at-tafsir al-waqi'i). Yaitu memulai penafsiran

dari realitas kaum muslimin, kehidupan dengan segala problematikanyakrisis dank 

kesengsaraan yang mereka hadapi.

 Kelima,   beroeientasi pada makna tertentu dan bukan merupakan perbincangan

teoritik tentang huruf dan kata. Karena menurut Hanafi, wahyu pada dasarnya memiliki

tujuan, orientasi dan kepentingan. Yaitu kepentingan masyarakat dan hal-hal yang

menurut akal bersifat manusiwi, rasional dan natural.

 Keenam,   bersifat experimental, karena ia merupakan tafsir yang sesuai dengan

kehidupan dan pengalaman hidup mufassir. 

 Ketujuh,  perhatian terhadap problem kontemporer. Bagi Hanafi, Mufassir  tidak 

dapat memulai penafsirannya tanpa didahului oleh perhatian dan penelitian yang

mendalam atas masalah-masalah kehidupan.

Terakhir,  posisi sosial mufassir  ditentukan secara sosial sekaligus menentukan

corak penafsiran yang dilakukannya. Penafsiran merupakan bagian dari struktur sosial,

 baik itu bagian dari golongan atas, menengah atau bawah.48

 

Setelah meletakan berbagai premis dan karakteristik penafsiran, kemudian

Hanafi merumuskan beberapa aturan metodis untuk mendukung hermeneutika Al-Qur'an

yang ia bangun. Aturan-aturan ini berfungsi sebagai petunjuk teknis ketika menafsirkan

Al-Qur'an.

 Pertama: merumuskan komitmen sosial politik. Mufassir  bukanlah seorang yang

netral, sebab ia berada dalam drama negeri tertentu dan dalam krisis dalam masanya. Ia

48Hasan Hanafi, ad-Dīn wa at-Tsaurah fi Mishr1952-1981, al-Yamīn wa al-Yasār fī fikri ad-Dīnī 

Vol. 7 (Kairo: Maktabah Madbuli, 1989) Hal. 102-111

Page 18: Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi

5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha

18

terobsesi pada perubahan sosial. Tidak ada mufassir  tanpa komitmen tertentu, sebab

hilangnya komitmen berarti tidak memiliki komitmen apa-apa.

 Kedua, mencari sesuatu. Seorang mufassir  tidak memulai penafsiran dengan

tangan kosong atau tanpa mengetahui apa yang ingin ia ketahui terlebih dahulu. Menurut

Hanafi, kesadaran adalah kepentingan itu sendiri. Sementara hikmah yang dikandung

asbab an-nuzul merupakan gambaran dari prioritas realitas atas teks.

 Ketiga, seorang mufassir  berusaha mensinopsis ayat-ayat yang berkaitan dengan

tema-tema tertentu. Setiap ayat yang berhubungan satu sama lain dalam tema-tema

tertentu dikumpulkan, kemudian dibaca dan dipahami berulang-ulang secara seksama

dan simultan sehingga orientasi umum dari ayat-ayat tersebut dapat ditemukan.

 Keempat, klasifikasi bentuk-bentuk linguistik. Bagi Hanafi, bahasa merupakan

 bentuk pemikiran yang membawa mufassir kedalam makna.

 Kelima, membangun struktur. Setelah bentuk-bentuk linguistik memberi

orientasi makna, mufassir    berusaha membangun suatu strukturberangkat dari suatu

makna menuju suatu objek. Makna dan objek adalah sisi koin yang sama. Keduanya

adalah kolerasi yang sama dalam keasadaran.

 Keenam, analisis situasi faktual. Setelah membangun suatu tema sebagai struktur 

ideal, mufassir  menggabungkandan menghubungkannya dengan situasi nyata, untuk 

mengetahui status kuantitatif masalah. Menurut Hanafi, diagnosa sosial adalah cara lain

untuk memahami makna sebagai dinamika teks dalam dunia nyata.

 Ketujuh, membandingkan yang ideal dengan yang riil. setelah proses

membangun struktur memberikan tema kualitatif dan analisis fakta sosial memberi

status kuantitatif sebagai fenomena sosio-historis, mufassir  membandingkan struktur 

ideal yang dideduksi dari analisis isi teks dan situasi faktual yang diinduksi olek statistik 

dalam ilmu-ilmu sosial.

Page 19: Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi

5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha

19

Terakhir , deskripsi model-model aksi. Apabila ditemukan adanya kesenjangan

antara dunia ideal dengan dunia riil, maka aksi sosial merupakan langkah berikutnya dari  proses interpretasi. Mufassir  mentransformasikan diri dari teks ke aksi, dari teori ke

 praktek dan dari pemahaman ke perubahan.49

 

F. TANGGAPAN ATAS TEORI HERM ENEUTIKA HANAFI

Teori penafsiran yang dibangun Hanafi diatas, bercorak hermeneutika sosial

yang lebih mengedepankan realitas kontemporer yang terjadi saat Al-Quran itu

ditafsirkan. Hal ini terkait dengan latar belakang turunnya (asbāb an-nuzūl) ayat atau

surat Al-Qur'an. Menurut Hanafi, tidak ada ayat atau surat yang tanpa didahului latar 

  belakang pewahyuan (asbāb an-nuzūl). Latar belakang ini menurut Hanafi, harus

dipahami dalam pengertian yang luas, asbāb an-nuzūl dapat berupa kondisi, peristiwa,

atau lingkungan yang didalamnya sebuah ayat atau surat diturunkan. Setiap latar 

  belakang tercermin dalam kuantitas surat. Surat yang panjang menggambarkan suatu

 peristiwa yang besar adapun surat pendek menggambarkan sebaliknya.50

 

Dengan pendapat seperti ini, Hanafi membangun teori Hermeneutika sosial yang

  bersifat antroposentris karena berbasis realitas yang terjadi pada manusia dan alam

sekitar manusia serta menghilangkan unsur-unsur teosentris (ilāhiah) yang tidak 

memihak manusia seperti yang telah dipaparkan diatas. menurut Hanafi, seorang

mufassir  yang ingin mendekati makna Al-Qur’an tidak saja mendeduksi makna dari

teks, tapi sebaliknya, dapat juga menginduksi makna dari realitas kedalam teks. Bukan

sekedar menjelaskan, tapi juga memahami. Bukan hanya mengetahui, tapi sekaligus

menyadari. Seorang mufassir  bukan hanya menerima, tapi memberi makna. Ia menerima

makna dan meletakannya dalam struktur rasional dan nyata.51 

49Hasan Hanafi dalam Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-

Qur’an menurut Hassan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002) hal. 151-15350

Hassan Hanafi, Al-Wahyu wa al-Waqi': Dirasat fi asbab an-nuzul, (Nadwah mauqif al-Islam

wa al-hadatsah, Dar as-saqa) Hal. 135-136 sevagaimana dikutip oleh Dr. M. Salim Abu Ashi, Maqalatani fi at-Ta'wil Ma'alim fi al-manhaj wa rosd li al-inhiraf (kairo: Daar al-Bashair, 2003) Hal. 64

51Hasan Hanafi dalam Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-

Qur’an menurut Hassan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002) hal. 146

Page 20: Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi

5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha

20

Pendapat Hanafi bahwa semua ayat dan surat Al-Qur'an ada asbab an-nuzul nya

sangat bertentangan dengan teori asbāb an-nuzūl  yang telah dikoodifikasikan denganmapan oleh ulama-ulama 'ulūm Al-Qur'an terdahulu yang sangat menguasai 'ulūm Al-

Qur'an seperti as-Suyuti dan al-Wahidi. 

Dalam pandangan as-Suyuti dan Al-Wahidi, teks Al-Qur'an ayang diturunkan

oleh Allah SWT terbagi kedalam dua bagian.  Pertama , ayat-ayat yang Allah turunkan

  berkenaan dengan kejadian dan sebab-sebab tertentu.  Kedua, Ayat-ayat yang Allah

turunkan langsung tanpa ada kejadian dan sebab-sebab tertentu. Bagian kedua adalah

 bagian yang terbanyak. Menurut Al-Wahidi dari sekitar 6236 ayat Al-Qur'an yang ada

latar belakang turunnya berjumlah 472 ayat, sedangkan menurut as-Suyuti berjumlah

888 ayat. Dari penelitian inilah mereka berdua menyimpulkan bahwa teks Al-Qur'an

lebih dahulu ada dari realitas itu sendiri. Jadi dalam penafsiran Al-Qur'an Realitas

tunduk terhadap Teks Al-Qur'an.52

 

Dalam konteks ini hanafi mengikuti teori yang dikembangkan oleh golongan

Mu’tazilah yang membangun teori penafsiran Al-Qur’an diatas pokok yang lima (al-

ushūl al-khams),53 maka dari itu, teori penafsiran yang mereka bangun adalah,

menjadikan teks mengikuti apa yang mereka kehendaki sesuai dengan pokok-pokok 

yang lima diatas. Begitupula teori yang dikembangkan Hanafi, dengan dalih untuk lebih

membumikan Teks Al-Qur'an supaya lebih humanis (antroposentris), Maka Hanafi

mengedepankan realitas, lalu mencari ayat-ayat Al-Qur'an yang sesuai dengan realitas

itu. Teori penafsiran seperti ini bertentangan dengan konsep penafsiran yang telah

disepakati para ulama terdahulu. Yang mana, dalam konsep teori penafsiran ulama

tedahulu adalah, realita mendeduksi makna dari teks, bukan sebaliknya.

54

 

52Dr. M. Salim Abu Ashi, Maqalatani fi at-Ta'wil Ma'alim fi al-manhaj wa rosd li al-inhiraf 

(kairo: Daar al-Bashair, 2003) Hal. 6853

Pokok-pokok yang lima itu adalah: at-tauhīd, al-’adl, al-wa’du wa al-wa’īd, al-manzilah bainaal-manzilatain, dan al-amr bi al-ma’rūf wa an-nahy ’an al-munkar  

54Dr. Fathi Muhammad Gharib, Raudhatul bāhitsīn fī manāhij al-mufassirīn. (Kairo: Al-Azhar 

University, 2007) Hal. 109-111

Page 21: Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi

5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha

21

Lebih lanjut Hanafi, mengembangkan teori hermeneutikanya melalui

  pendekatan fenomenologi yang ia adopsi dari teori fenomenologi Edmund Husserl.Menurutnya, ada lima tahapan yang harus dilakukan seorang mufassir dalam melakukan

  penafsiran Al-Qur’an. Langkah-langkah tersebut adalah: pertama, wahyu diletakan

dalam ”tanda kurung” (epoche),55

  tidak diafirmasi, tidak pula ditolak. Penafsir tidak 

  perlu lagi mempertanyakan keabsahan dan keaslian Al-Qur’an, apakah ia dari Tuhan

atau dari pandangan Muhammad Saw. Penafsiran dimulai dari teks apa adanya tanpa

mempertanyakan keasliannya terlebih dahulu.56

Langkah penafsiran Al-Qur'an yang

dilakukan oleh Hanafi jelas sekali merupakan implikasi dari teori fenomenologi Husserl

yaitu dengan melakukan epoche atau dikenal juga dengan teori reduksi. Yang mana bagi

Husserl metode yang benar-benar ilmiah adalah metode yang sanggup membuat

fenomena menampakkan diri sesuai dengan realitas yang sesungguhnya tanpa

memanipulasinya. Berangkat dari proses pemikiran yang demikian, maka lahirlah

metode fenomenologis.57

 

Untuk merealisasikan pandangannya, menurut Husserl reduksi pertama-tama di

 perlukan, oleh sebab dalam sikap alamiah orang beranggapan bahwa apa yang kita alami

adalah suatu dunia yang berdiri pada diri sendiri. Padahal bagi orang yang berfikir 

  jelaslah bahwa dunia sebagaimana dimengerti manusia adalah hasil kegiatan subyek.

Dapat dikatakan bahwa dunia dikonstituir artinya oleh subyek. Lagipula reduksi

diperlukan oleh sebab dunia asli yang kita cari artinya sudah tidak ada lagi. Dunia selalu

sudah diubah artinya karena pengaruh ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Arti ilmiah

dan kultural yang kita berikan kepada dunia harus lepas.58

 

55 Kata epoche berasal dari bahas Yunani, yang berarti: “menunda putusan” atau ”mengosongkandiri dari keyakinan tertentu”.

56Hasan Hanafi dalam Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-

Qur’an menurut Hassan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002) hal. 147-14857

Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1996) Hal. 118 – 119. Menurutfilusuf pengikut fenomenologi, suatu fenomen tidak perlu harus diamati dengan indra, sebab fenomen

dapat juga dilihat atau ditilik secara rohani, tanpa melewati indera. Juga fenomen tidak perlu suatu  peristiwa. Menurut para pengikut filsafat fenomenologi, fenomen adalah apa yang menampakkan diri

dalam dirinya, apa yang menampakkan diri seperti apa adanya, apa yang jelas dihadapan kita, lihat HarunHadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Jogjakarta: Kanisius, cetakan ke 24, 1980) Hal. 140.

58Teo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintas Sejarah, ( Jogjakarta: Pustaka Filsafat Kanisius,

cetakan ke delapan belas, 1982) Hal. 228.

Page 22: Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi

5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha

22

Dalam usaha melihat hakekat intuisi, Husserl memperkenalkan pendekatan

reduksi. Yang dimaksud dengan reduksi dalam hal ini adalah penundaan segala

 pengetahuan yang ada tentang objek sebelum pengamatan intusi dilakukan. Reduksi juga

dapat diartikan penyaringan atau pengecilan. Istilah lain yang digunakan oleh Husserl

adalah epoche, yang artinya sebagai penempatan sesuatu di antara dua kurung.59

 

Reduksi ini adalah salah satu prinsip yang mendasari sikap fenomenologis.

Untuk mengetahui sesuatu, seorang fenomenologis harus bersifat netral. Tidak 

menggunakan teori-teori atau pengertian-pengertian yang ada dalam hal ini diberi

kesempatan “berbicara tentang dirinya sendiri”.60

Agar mencapai hakekat obyek,

diperlukan tiga tahap reduksi yang fungsinya adalah menyingkirkan semua hal

 pengganggu. Reduksi Fenomenologis, reduksi kedua Reduksi Eidetis dan reduksi ketiga

Transendental.61

 

Reduksi Fenomenologis  merupakan tahap penyaringan terhadap semua

  pengalaman-pengalaman kita, dengan maksud agar mendapatkan fenomena yang

semurni-murninya.62

Singkatnya ini merupakan reduksi dari pengalaman sehari-hari

tentang dunia yang dicampuri pengertian ilmiah dan kultural, guna memandang kembali

dunia dalam arti aslinya.63 Atau dengan kata lain, reduksi ini adalah “pembersihan diri”

dari segala subyektivitas yang dapat mengganggu perjalanan mencapai realitas itu.64

 

Sedangkan reduksi eidetis merupakan penyaringan atau penempatan dalam tanda

kurung segala hal yang bukan eidos (intisari/hakekat gejala/fenomena), inti sari atau

realitas fenomena. Dengan reduksi eidetis, semua segi, aspek dan profil penomena yang

hanya kebetulan dikesampingkan. Karena aspek dan profil tidak pernah

59Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsaat dan Etika, (Jakarta: Penerbit Kencana, cetakan ke dua,

2005) Hal. 180.60

  Ibid 61

Harry Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, (Jakarta: Gramedia, 1983) Hal. 11762

Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993) Hal. 34063

Teo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintas Sejarah, ( Jogjakarta: Pustaka Filsafat Kanisius,cetakan ke delapan belas, 1982) Hal. 228 – 229.

64Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsaat dan Etika, (Jakarta: Penerbit Kencana, cetakan ke dua,

2005) Hal. 181

Page 23: Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi

5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha

23

mennggambarkan objek secara utuh. Setiap objek adalah kompleks mengandung aspek 

dan profil yang tiada terhingga.65

 

Terakhir adalah reduksi transendental, Dalam reduksi transendental yang harus

ditempatkan di antara tanda kurung ialah eksistensi dan segala sesuatu yang tidak ada

hubungan timbal balik dengan kesadaran murni, agar dari obyek itu akhirnya orang

sampai kepada apa yang ada pada subyek sendiri, dengan lain kata, metode

fenomenologi itu diterapkan pada subyeknya sendiri dan kepada perbuatannya, kepada

kesadaran yang murni.66

Reduksi ini dengan sendirinya bukan lagi mengenai objek, atau

fenomena bukan mengenai hal-hal yang menampakkan diri pada kesadaran. Reduksi ini

merupakan pengarahan ke subjek dan mengenai hal-hal yang menampakkan diri dalam

kesadaran. Dengan demikian yang tinggal sebagai hasil reduksi adalah aktus kesadaran

sendiri. Kesadaran disini bukan pula kesafadan empiris lagi, bukan kesadaran bukan

 berarti menyadarkan diri berdasarkan penemuan dengan fenomena tertentu. Kesadaran

yang ditemukan adalah kesadaran yang bersifat murni atau transendental, yaitu yang ada

 bagi diriku dalam aktrus-aktrus. Dengan singkat dapat disebut aku “transendental”67

 

Tujuan dari reduksi-reduksi diatas, menurut Husserl adalah menemukan

  bagaimana objek dikonstitusi sebagaimana fenomena asli dalam kesadaran manusia.

Husserl ingin dengan metode ini memberikan landasan yang kuat dan netral bagi filsafat

dan ilmu pengetahuan umum. Akan tetapi, didalam sistem filsafatnya, Husserl akhirnya

terjerumus pada idealisme transendental seperti digambarkan diatas. Dan diceritakan

 bahwa hal ini bertentangan dengan tujuan semula.

Tujuan fenomenologi untuk mendapatkan pengetahuan yang murni objektif 

tanpa ada pengaruh berbagai pandangan sebelumnya, baik dari adat, agama, ataupun

ilmu pengetahuan, merupakan sesuatu yang absurd. Sebab fenomenologi sendiri

mengakui bahwa ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai, tetapi bermuatan

nilai. Hal ini dipertegas oleh Derrida, yang menyatakan bahwa tidak ada penelitian yang

65  Ibid hal. 182

66Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993) Hal. 340

67 Ofcit, Hal. 183

Page 24: Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi

5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha

24

tidak mempertimbangkan implikasi filosofis status pengetahuan. Kita tidak dapat lagi

menegaskan objektivitas atau penelitian bebas nilai, tetapi harus sepenuhnya mengaku

sebagai hal yang ditafsirkan secara subjektif dan oleh karenanya status seluruh

  pengetahuan adalah sementara dan relatif. Sebagai akibatnya, tujuan penelitian

fenomenologis tidak pernah dapat terwujud.68

 

 Kedua, Al-Qur’an diterima sebagaimana layaknya teks-teks lain, seperti karya sastra,

teks filosofis, dokumen sejarah dan sebagainya. Al-Qur’an tidak memiliki kedudukan

istimewa secara metodologis, semua teks ditafsirkan berdasarkan aturan yang sama.69

 

 Ketiga, Tidak ada penafsiran palsu atau benar, pemahaman benar atau salah. Yang ada

hanyalah perbedaan pendekatan terhadap teks yang ditentukan oleh perbedaan

kepentingan dan motivasi.  Keempat, Tidak ada penafsiran tunggal terhadap teks, tapi

  pluralaritas penafsiran yang disebabkan oleh perbedaan pemahaman penafsir, teks

hanyalah alat kepentingan, bahkan ambisi manusia. Penafsirlah yang memberinya isi

sesuai ruang dan waktu dalam masa mereka. Terakhir, Konflik penafsiran merefleksikan

konflik sosio politik dan bukan konflik teoritis. Setiap penafsiran mengungkapkan sosio-

 politik penafsir.70

 

Langkah-langkah penafsiran yang dikemukakan oleh Hanafi merupakan

implikasi dari teori reduksi dalam Fenomenologi Husserl. Yang mana menurut Husserl,

untuk mencari hakikat yang esensial dari suatu realitas adalah dengan membiarkan

68Gadamer menyatakan bahwa walaupun penafsir memiliki jarak terhadap fenomena budaya

tertentu, penafsir tersebut sebenarnya tidak bekerja dengn “tangan kosong:, penafsir tersebut “telahmembawa sesuatu” yang oleh Heidegger disebut vorhabe (apa yang ia miliki), vorsicht (apa yang ia liat)

dan vorgriff (apa yang digagas kemudian). Dalam memberi pemaknaan seorang penafsir terikat aspek, pertama tidak ada titik nol yang absolut sebagai awal penafsiran. Kedua tidak ada pandangan yang bersifat

total untuk memahami suatu objek dalam sekejap, ketiga tidak ada penafsiran secara total sehinga tidak ada pula situasi yang mutlak membatasi, keempat peluang memadukan antara fenomena, karena fenomena

yang diamati manusia pada hakekatnya tidak bersifat tertutup. Lihat Agus Sachari,   Budaya Visual  Indonesia dan Permasalahannya, (Jakarta: Erlangga, 200

 

7) Hal. 4069

Hasan hanafi, Humūm al-Fikr al-Wathan: at-Turats wa al-’Ashr wa al-Hadātsah (kairo: Dār Qubā, 1997) Hal. 23-30

70Hasan Hanafi, ad-Dīn wa at-Tsaurah fi Mishr1952-1981, al-Yamīn wa al-Yasār fī fikri ad-Dīnī 

Vol. 7 (Kairo: Maktabah Madbuli, 1989) Hal. 102-111

Page 25: Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi

5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha

25

fenomena itu berbicara sendiri tanpa dibarengi dengan prasangka

(presuppositionlessness).71

 

Menurut Husserl, Supaya dapat menangkap hakekat obyek-obyek, maka

dibutuhkan tiga reduksi. Reduksi-reduksi ini yang menyingkirkan semua hal yang

mengganggu. Reduksi  pertama: menyingkirkan segala sesuatu yang subyektif. Sikap

kita harus obyektif, terbuka untuk gejala-gejala yang harus “diajak bicara”. kedua:

menyingkirkan seluruh pengetahuan tentang obyek yang diselidiki dan diperoleh dari

sumber lain. ketiga: menyingkirkan seluruh reduksi pengetahuan. Segala sesuatu yang

sudah dikatakan oleh orang lain untuk sementara harus dilupakan. Apabila reduksi-

reduksi ini berhasil, gejala sendiri dapat memperlihatkan diri.72

 

F. KESIMPULAN

Teori hermeneutika yang dibangun Hanafi sebagaimana penulis paparkan diatas,

  bukanlah hal baru. Jauh sebelum Hanafi, para orientalis telah memasarkan teori-teori

Hermeneutika sebagai metodologi study Al-Qur'an.

Hanafi menyusun metodologi penafsiran Al-Qur'an bukan dengan teori 'ulūm Al-

Qur'ān yang selama ini telah mapan dan banyak dipergunakan oleh ulama-ulama Islam

dalam menafsirkan Al-Qur'an, melainkan dengan pendekatan filsafat. Sehingga lahirlah

Hermeneutika sosial yang lebih mengutamakan realitas daripada wahyu itu sendiri.

Ayat-ayat Al-Qur'an menginduksi makna dari realitas yang ada dan berkembang saat

 penafsiran Al-Qur'an.

Hanafi juga mencoba untuk menghilangkan otoritas para ulama yang telah

 berjasa mengkoodifikasikan aturan-aturan bagi seorang mufassir. Hal ini Hanafi lakukan

dengan mengadopsi teori fenomenologi Husserl. Sehingga penafsiran dapat dilakukan

oleh semua orang.

71Muhammad Muslih,  Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Belukar, 2008) hal. 144-146

72Herry Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern (Jakarta: Gramedia, 1983) Hal. 117

Page 26: Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi

5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha

26

DAFTAR PUSTAKA

Abu Ashi, M. Salim, Maqalatani fi at-Ta'wil Ma'alim fi al-manhaj wa rosd li al-inhiraf 

(kairo: Daar al-Bashair, 2003)

Armas, Adnin MA, Tafsir Al-Qur'an atau "Hermeneutika Al-Qur'an" dalam  Jurnal 

 Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, Thn. I No. 1/Muharram 1425.

Gharib, Fathi Muhammad, Raudhatul bāhitsīn fī manāhij al-mufassirīn. (Kairo: Al-

Azhar University, 2007)

Hamersma, Herry, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern (Jakarta: Gramedia, 1983)

Hadiwijoyo, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Jogjakarta: Kanisius, cetakan ke 24,

1980)

Hanafi, Hasan, ad-Dīn wa at-Tsaurah fi Mishr1952-1981, al-Yamīn wa al-Yasār fī fikri

ad-Dīnī Vol. 7 (Kairo: Maktabah Madbuli, 1989)

 _________,  At-Turāts wa at-Tajdīd: Mauqifunā min Al-Turāts Al-Qadīm, (Kairo: Al-

Markaz Al-‘Arabī, 1980)

 _________,  Dirasat Falsafiyyah. (Kairo: Maktabah Anglo Mishriyyah, 1988)

 _________,  Hermeneutika Al-Qur’an? (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009)

 _________,  Humūm al-Fikr al-Wathan: at-Turats wa al-’Ashr wa al-Hadātsah (kairo:

Dār Qubā, 1997)

 _________,  Islam In The Modern World: Religion, Ideology, and Development, vol. I 

(Kairo: Anglo-Egyptian Bookshop, 1995)

 _________, Qadhāya Mu’āshirah Fī Fikrinā al-Mu’ashir Vol. 2 (Beirut: Dār at-Tanwīr,

1983) 

Huijbers, Teo, Filsafat Hukum dalam Lintas Sejarah, ( Jogjakarta: Pustaka Filsafat

Kanisius, cetakan ke delapan belas, 1982) Hal. 228.

Muslih, Muhammad , Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan

 Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan,  (Yogyakarta: Belukar, cetakan kelima, 2008)

Praja, Juhaya S, Aliran-Aliran Filsaat dan Etika, (Jakarta: Penerbit Kencana, cetakan ke

dua, 2005) 

Rapar, Jan Hendrik, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1996) 

Page 27: Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi

5/11/2018 Devi Muharrom s - Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Hassan Hanafi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/devi-muharrom-s-kritik-terhadap-metodologi-tafsir-hassan-ha

27

Sachari, Agus, Budaya Visual Indonesia dan Permasalahannya, (Jakarta: Erlangga,

2007) 

Saenong, Ilham B, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-Qur’an menurut 

 Hassan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002)

Shalahuddin, Henri,  Al-Qur'an Dihujat (Jakarta: Al-Qalam, 2007)

Sholeh, Ahmad Khudori,  Pemikiran Islam Kontemporer, Hasan Hanafi: Hermeneutika

 Humanistik (Yogyakarta: Jendela. 2003)

Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993)