Upload
buidien
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Nomor: RISALAHDPD/KMT.I-RDPU/II/2018
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
REPUBLIK INDONESIA
-----------
RISALAH
RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM KOMITE I
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
MASA SIDANG III TAHUN SIDANG 2017-2018
I. KETERANGAN
1. Hari : Selasa
2. Tanggal : 13 Februari 2018
3. Waktu : 10.37 WIB - 11.53 WIB
4. Tempat : R.Sidang 2A
5. Pimpinan Rapat : 1. Drs. H. Akhmad Muqowam (Ketua)
2. Drs. H. A. Hudarni Rani, S.H. (Wakil Ketua)
6. Sekretaris Rapat :
7. Acara : RDPU membahas evaluasi Undang-Undang No. 6 Tahun
2014 tentang Desa dengan narasumber Prof. Dr. Bagir
Manan, SH, MCL.
8. Hadir : Orang
9. Tidak hadir : Orang
RDPU KOMITE I DPD RI MS I TS 2017-2018
(SELASA, 13 FEBRUARI 2018) (PAGI)
1
II. JALANNYA RAPAT:
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. AKHMAD MUQOWAM (KETUA KOMITE I DPD RI)
Baik.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Bismillah. Alhamdulilah.
Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua.
Yang sama-sama kita hormati Prof. Bagir Manan, yang saya hormat teman-teman,
Pimpinan dan Anggota Komite I Dewan Perwakilan Daerah.
Pertama-tama mari kita bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa Allah Subhanahu
Wa Ta'ala, Alhamdulilah. Pagi hari ini yang hadir masih diberi kesehatan, kewarasan,
kesadaran, yang tidak hadir tentu tidak waras dan tidak sadar. Sehingga yang hadir ini bisa
melaksanakan tugas konstitusional kita secara bertanggungjawab kepada negara dan rakyat,
yang tidak hadir tidak bertanggungjawab kepada rakyat dan kepada negara. Sehingga
ujungnya adalah, apakah uang yang diterima kehormatan saban bulan itu, halal atau tidak ini?
Iya kan, iya karena itu Prof. Saya kira ketidak beranian bicara profesor ini, perlu dihilangkan
Prof. Berani bicara untuk NKRI itu Prof. Ibu dan sekalian, yang hadir ini Prof. Alhamdulilah,
sudah korum dari segi kewilayahan, dari barat ada, tengah ada, timur ada itu DPD
kewilayahan Prof. Dari Timur ada Pak Jacob Komigi, dari Papua Barat Prof. Kemudian
Guston dari Jawa Timur, itu jadi dari wilayah timur 1 orang cukup, walaupun anggota
sebenarnya paling banyak, karena 14 Provinsi pak, 14 orang di ruangan ini mestinya, yang
datang artinya baru 1/14 dari 100% berapa itu? Nah luar biasa, 100:14 berarti yah kurang
dari, 7% saya kira. Guston dari Jawa Timur, mewakili tengah, kemudian Pak Hudarni ini
Prof. Ini dari mewakili Barat Sumatera, 10 orang hadir, 10 orang hadir 2 orang, 20%
lumayan, kalau dari timur itu 2 dari 14 karena Pak Khaly dari Gorontalo, dari timur,
kemudian Pak Rizal ini dari barat, 1 dari 10 orang, jadi 10% dari barat yang hadir ya. Saya
sendiri dari tengah Prof. Jadi tengah itu 2 orang juga Prof. Alhamdulilah Prof. 2 dari 40
orang, 2 dari ya 40 orang, 2 dari 10 orang ya 10 orang, jadi artinya 20%, sama ini antara
Sumatera, Barat dan Tengah.
Prof. Bagir dan bapak sekalian, perjalanan Undang-Undang Desa ini luar biasa Prof.
Jadi undang-undang ini merupakan upaya sistemik dari pembentuk undang-undang, untuk
melawan ketiadaan penghormatan kepada desa, menjadi penghormatan kepada desa Prof.
Karena itu paradigmanya dirubah, dari Undang-Undang 23, 32 itu ada paradigma baru yang
kemudian menjadi Undang-Undang 6 ini. Sayang Prof. paradigma tidak ditangkap baik oleh
pemerintah, sehingga kalau kemarin di HPN saya katakan, saya Prof. Di HPN saya katakan
apa itu definisi? Saya sampai sampaikan itu, di dalam paparan saya. Sebab definisi desa di
dalam Undang-Undang 6 berbeda dengan di 32, berbeda dengan di 22, berbeda dengan di 5
79, berbeda dengan Undang-Undang di 1968, dan sampai kemudian Undang-Undang 1 tahun
45. Berbeda semua ini definisinya itu, nah karena itu aksentuasinya adalah, perbedaan itu
karena political will pembuat undang-undang berbeda, mungkin perubahan filosofinya
berubah, sosialnya berubah, dan lain-lain, dan lain-lain. Nah di dalam, coba ini Prof. Bagir
sudah diberi belum? Ini Prof. Ini yang ditampilkan itu terlalu kecil sih ya. Nah di dalam
Undang-Undang 6 itu definisinya itu adalah, kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan,
RAPAT DIBUKA PUKUL 10.37 WIB
RDPU KOMITE I DPD RI MS I TS 2017-2018
(SELASA, 13 FEBRUARI 2018) (PAGI)
2
kepercayaan setempat berdasarkan, prakarsa masyarakat. Ini hal yang baru dibanding yang
lama. Hak asal usul dan hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Nah ruang lingkupnya itu Prof. Ada 4 Prof. 1. Adalah Pemerintahan Daerah. yang ke
2. Adalah Pemerintahan Desa. Yang ke 3. Pembinaan Kemasyarakatan Desa dan
Pemberdayaan Masyarakat Desa. Ini ruang lingkup Undang-Undang Desa Prof. Nah
berkaitan dengan paradigma baru Prof. Saya kira di halaman 2 paparan dari yang disiapkan
Tenaga Ahli, Kabag Set. Itu memang barangkali Prof. Bagir juga agak kaget, ketika misalnya
kok ada asas rekognisi ini apa gitu kan, kemudian subsideril apa? Saya kira di dalam berbagai
undang-undang rekognisi itu, ya mohon maaf, tidak banyak, bahkan hanya 1 undang-undang
yang menggunakan ini. Tadi saya sampaikan bahwa, rekognisi itu adalah pengakuan desa vis
a vis melawan negara, berhadapan dengan negara. Nah ini rekognisi pengakuan, dia tidak
dilahirkan, dia bukan sebuah ordinasi, dia bukan anak buah. Yang kemudian asas subsideritas
ini penting sekali Prof. Karena itu di dalam diantara sekian asas ya, subsideritas itu adalah
kesempatan hak masyarakat desa untuk mengurus dan mengatur rumah tangga sendiri
berdasar pada skala desa Prof. Jadi inilah yang membedakan bahwa skalanya bagaimana?
Skala itu memastikan bahwa dia punya urusan sendiri, dia punya hak mengatur sendiri tadi
itu sebagai tindak lanjut dari definisi. Nah tujuannya itu adalah desa yang kuat, maju, mandiri
dan demokratis. Nah kalau menggunakan idem politiknya Soekarno barangkali adalah,
Trisakti itu ada di sini ini, tidak pakai Trisakti tapi bahwa sebetulnya secara budaya, secara
ekonomi, secara sosial itu ada di Undang-Undang Desa. Nah ini Prof. Ini kemudian di dalam
regulasi lebih lanjut, pelembagaan, ini terjadi kemudian biasnya mulai dari situ Prof. Pertama
dalam kemunculan Perpres 11 Prof. Tentang Tupoksi Kementerian Dalam Negeri. Yang
Kedua Tupoksi Kemendes 12 Tahun 2015. Nah 4 sekawan tadi itu Prof. Itu di belah jadi dua,
Pemerintahan Desa di Kemendagri, selebihnya itu di Kemendes. Secara teori manajemen
bahwa tidak framentasi di pusat saja, potensi framentasi di bawah terjadi. Nah framentasi di
pusat, pasti terjadi framentasi di daerah. Jadi peluang framentasi, itu bukan peluang,
framentasi itu diciptakan pemerintah dengan Perpres 11 12 itu. Padahal kalau kita ngeliat
BAB I Poin 16 Prof. Menteri adalah menteri yang mengenai urusan desa itu titik. Hari ini
logika umum, logika akademik, logika masyarakat ya, yang menangani orang desa ya
Menteri Kementerian, Menteri Desa gitu. Nah resiko dari tadi Prof. Resiko dari 11 12 tadi, ke
atasnya berbeda Prof. Mendagri kepada Menteri Wiranto, kemudian Pak Eko itu ke atasnya
kepada Bu Puan. Jadi, Jaka Sembung naik ojek itu disitu Prof. Enggak nyambung gitu loh.
Lah ke bawahnya Prof. Jadi pada tataran regulasi yang dibuat, baik itu, apa Peraturan Menteri
utamanya, itu saling berantem begitu Prof. Jadi inilah Jaka Sembung naik ojek pak, niatnya
baik, kemudian pemerintah di dalam peregulasi dan pelembagaannya itu enggak karu-karuan
ini. Jadi kalau ini desa di periode sekarang ini berhasil (tidak jelas 10:02) Prof. Jadi karena
memang dari sisi regulasi sudah diciptakan seperti itu. Nah belum lagi Prof. Di DPR Prof.
Desa ini sekarang menjadi ruangnya Komisi V, bukan Komisi II, padahal baik filosofinya, itu
ada di Komisi II, filosofi pemerintahan, filosofi desa itu di Komisi II. Ya ini mohon maaf,
karena mungkin pengalaman Menteri yang dulu, di DPR itu tidak pernah di Komisi II, tapi
hanya di Komisi V Prof. Sehingga menumpang dengan SKP 3 Menteri pada waktu itu, bahwa
untuk tingkatan pertama infrastruktur, ya ini, ujungnya infrastruktur tetap di Komisi V, jadi
yang namanya tadi itu, rekognisi subsider itu, itu diembat langsung di situ Prof. Jadi dalam
bahasa Komite I itu NKRI, Negara Kok Republik Indonesia itu di situ Prof.
Nah itu baru satu di dalam Perpres 11 Tahun 2015 dan Perpres 12, bah suatu kali Prof.
Saya sampaikan kepada seorang Menteri, “Mas” saya bilang, “apa dulu waktu membuat
Perpres 11 12 itu tidak sampean cermati?” saya bilang, “Kenapa Mas Muqowam?”, “ini kok
sampean belah ini bagaimana?” saya bilang “4 kewenangan kok di belah (tidak jelas 11:20)
RDPU KOMITE I DPD RI MS I TS 2017-2018
(SELASA, 13 FEBRUARI 2018) (PAGI)
3
bagaimana?” saya bilang, “masa iya?” “piye? kan Presiden tanda tangan kan mesti ada paraf
dari jenengan” tadi saya katakan, jadi nah ini itu baru Perpres. Nah kemudian pak, di dalam
PP, PP selanjutnya itu misalnya di dalam PP 8, juntonya PP 22 15, kemudian junto PP 60
tahun 2014 tentang Dana Desa Yang Bersumber Dari APBN ya. Itu ada 2 hal, di dalam Pasal
7 Undang-Undang Desa itu Prof. Bahwa dalam hal Dana Desa itu 4 kriteria dipakai, luas
wilayah, jumlah penduduk, tingkat kemiskinan, dan urusan geografis, ini diembat semua
sama pemerintah, model PKI yang dimunculkan, mau besar mau kecil, mau miskin mau
enggak miskin, mau jauh dari infrastruktur atau tidak, sama pokoknya jumlahnya sekian. Ini
Bu Sri Mulyani waktu di Komite IV saya katakan, “ Bu TAP 25 belum di cabut” kaget bu
Menteri, tapi menjadi Menteri terbaik di dunia, tolak ukurnya pun enggak jelas, ya kaya
Anton Sihombing menjadi Presiden satu-satunya di dunia, Pak Jokowi kalah, Anton
Sihombing itu Presiden Sihombing sedunia, Effendy Simbolon Presiden Simbolon sedunia,
kan gitukan, Pak Jokowi Presiden Indonesia, tapi Effendy Simbolon itukan Presiden
Simbolon sedunia, ini Pak Rizal Sirait Presiden Sirait sedunia bisa aja gitukan.
Jadi Prof. Di dalam itu, 4 ini enggak di samain pemerintah, bahkan temu di awalnya
itu 100% kita kritik 90 10, kita kritik terus 80 20 sekarang ini Prof. Tapi kembali bahwa tidak
menemukan tempatnya, desa besar, desa kecil dan (13:13 tidak jelas) tempatnya, jadi saya
kepada Bu Sri Mulyani saya katakan bahwa, “Bu TAP 25 belum di cabut loh, kenapa Dana
Desa model PKI?” saya katakan, jadi enggak menemukan kesejahteraan masyarakat, enggak
akan ketemu ini Prof. Lalu yang kedua ada soal pentahapan, Dana Desa itu perdefinisi aturan,
kan sama dengan dana-dana pusat, dana-dana daerah Prof. Sehingga yang dipakai pun juga
ya Undang-Undang APBN, ya Undang-Undang 33, kan gitukan, ya Undang-Undang 23,
tetapi dalam hal ini kemudian ada pentahapan itu Prof. Ya atas namanya macam-macam, tapi
bahwa seorang Kepala Desa saya kira kita menemukan di lapangan, mereka mendapatkan
honorarium itu, berkala, kolo-kolo Prof. Jadi 3 bulan sekali, ada yang 4 bulan sekali gitu,
tergantung banyak hal yang membuat mereka kemudian, tidak on time dalam menerima
bulanan itu, padahal itu namanya hasil tetap, penghasilan tetap itukan namanya tetap ya tetap
waktunya, tetap jumlahnya dan lain-lain. Kemudian ada PP 47 Prof. Ini tentang Pelaksanaan
Undang-Undang 6, ya Pasal 1 (tidak jelas 14:37-14:38) kepastian hukum terhadap lembaga
berwenang mengenai desa. Ini soal tadi saya sampaikan mengenai definisi mengenai,
Menteri. Nah yang menarik Prof. MK Prof. MK itu mengabulkan atas gugatan organisasi
Apkasi tingkat kecamatan, tentang bahwa kepala desa yang tadinya berbunyi calon Kepala
Desa minimal berdomisili di desa tersebut itu 1 tahun, itu dikabulkan tuntutannya dengan,
bahwa siapapun Warga Negara Indonesia boleh menjadi Kepala Desa dimanapun. Jadi ini
yang, jadi atas nama HAM, atas nama NKRI, jadi orang Babel pas main ke Madiun, ini
karena Pak Hudarni suka ke Madiun enggak tau ada apa di sana, lewat di Ngawi, ada
pendaftaran Pilkada, boleh pak. Saya sudah sampaikan ke Pak Arif, ke Pak Wahid, dan
Patrialis pada waktu itu, “ini kenapa jadi begini keputusan?” saya bilang, “ini atas namanya
mengalir dari Undang-Undang Pemda”, “salah besar” saya katakan begitu pak. Ini kok
kemudian menjadi kelas bebas, tapikan hari inikan luar biasa, itu penjaga ideologi bangsa,
wah bebas sekali itu kampanye untuk mempertahankan jabatan itu gitu pak. Terus kemudian
Prof.
Misalnya lagi adalah, adanya Permendes 19 2017, ini tentang Penetapan Prioritas
penggunaan. Okelah kalau prioritas tapi ada suplemen Prof. Kalau kamu bikin bendungan,
kalau kamu bikin olahraga, kalau kamu bikin Kudes, kalau kamu bikin Bumdes, ini nanti
akan dapat ini, padahal di subsideritas itu enggak boleh itu Prof. Jadi malahan ini yang terjadi
negara, pemerintah mengeluarkan undang-undang pak. Kemudian lagi misalnya adalah ada
Permendes 4 2015 tentang Bumdes, tidak mengedepankan semangat gotong royong dan
kekeluargaan sebagaimana terjadi (tidak jelas 16:54) desa.
RDPU KOMITE I DPD RI MS I TS 2017-2018
(SELASA, 13 FEBRUARI 2018) (PAGI)
4
Jadi banyak sekali Prof. yang di situ, nah kami Prof. Udah kalau dengan pemerintah,
saya kira sudah gas poll rem blong Prof. Mereka satu aja orang dia bilang bungun tuo, blubu
tengen nutu kiwo udah, jadi kita gas poll rem blong, mereka ngedelewer kaga, jadi luar biasa
ini Prof. laki-laki menemukan tempatnya ketika misalnya ada guyon ini, Pak Eko Menteri ini
suatu hari ke desa, dan dia nanya ke desa “ini beras ini pabriknya di mana ya?” katanya
begitu pak, bukan di tanam di mana, tapi pabriknya di mana beras itu Prof. Di Thailand ya?
Jadi bukan di tanam di mana, ini industrinya di mana beras ini katanya, jadi Prof. Karena itu
kemudian ada beberapa pendapat, yang kemudian, ya kalau gitu coba semangat aktifis desa
ini ya makanya hari ini kita diskusi, ada narasumber Prof. Bagir Manan, kira-kira bagaimana
ini langkah-langkah teman-teman itu kalau men JR itu pak? Bisa JR, dilaksanakan tertutup,
Ini Prof. Bagir kan sudah sangat memahami di situ, jadi di sana itu mau di suntik sehat kita
enggak ngerti, di suntik mati pun kita enggak ngerti Prof. Itu yang, suasana kebatinan kita
bahwa, nah itu pingin tanya kepada Prof. Bagir ini, jadi peluang untuk secara logika, secara
keilmuan, secara prosedur, secara substansi, ini apakah memungkinkan untuk mendapatkan
kemenangan sudah barang pasti Prof. Kalau proses dilakukan iya-iya saja, tapi kalau enggak
menangkan percuma saja, walaupun itu sebetulnya memang sekali lagi, ya kita pun tidak tahu
apa yang akan terjadi, ketika kita melakukan JR sendiri itu Prof. Tapi paling tidak,
pemahaman kita di Komite I Prof. Itu bisa mendapatkan tempat, bahwa di dalam rangka
melakukan (tidak jelas 19:05) republik, salah satu yang harus dilakukan dan memang itu
dibuka, adalah melalui jalur Judicial Review Prof. Saya kira demikian sebagai pengantar, ini
hadir juga Pak Badri pak dari Banten.
Salam.
Demikian Prof. Sebagai pengantar monggo, terima kasih.
PEMBICARA: Prof. Dr. BAGIR MANAN, S.H., MCL. (NARASUMBER)
Bapak Ketua, Bapak Wakil Ketua dan yang terhormat semua Anggota, saya ucapkan
terima kasih, ini kedua kalinya saya di Komite I sebetulnya di bagian lain saya pernah juga di
undang untuk diskusi dan lain-lain.
Diskusi yang lalu itu saya menyampaikan catatan-catatan, dan kemudian catatan itu
sudah saya tulis tadi sudah saya serahkan. Sebelumnya juga melalui, Sekretaris saya di
Bandung, saya kirimkan ke sini makalah saya tentang Peradilan Desa atau apa waktu itu,
Peradilan Desa. Nah hari ini juga, karena juga ini mendadak juga diberi tahu saya belum
menyiapkan tertulis, mudah-mudahan nanti ada tulisannya. Saya ingin bicara dulu tentang
tren umum perjalanan pemerintahan negara kita ini, antara hubungan antara pusat dan daerah
atau pusat dan desa itu, pernah ada tren sentralistik gitu ya, jadi semua ingin di Jakarta,
menyesuaikan diri dengan Jakarta, sampai-sampai misalnya Undang-Undang 5 79 tentang
Desa itu, seluruh yang, apa, pemerintahan asli ini diberi nama sama desa, sehingga misalnya
Marga di Sumatera Selatan berubah jadi desa gitu, Nagari di Sumatera Barat berubah jadi
desa, Gampung di Aceh Merubah jadi desa, dan kemudian reformasi kita kembalikan gitu ya,
itu tadi sudah sesuaikan Bapak Ketua, reformasi kita kembalikan, sehingga boleh
menggunakan itu nama-nama kembali, terutama dimulai dengan Undang-Undang 32 2004 itu
ketika reformasi itu.
Nah, desa, saya kembalikan desa, desa dalam bentuk sugepranata asli itu kan
sebetulnya, suatu pranata, institusi yang sudah ada sejak dulu kala, gitu ya, baik pada masa
Hindia Belanda apalagi zaman republik itu eksistensinya tetap dipelihara gitu, tetap dijaga,
bahkan Undang-Undang Dasar Pasal 18 memberi, memberi peluang eksistensi itu. Sekarang
kita akan, atau, berkali-kali ada undang-undang yang berkaitan dengan desa. Pertanyaan saya
adalah, apakah kita akan membuat Undang-Undang tentang Desa, ataukah kita membuat
RDPU KOMITE I DPD RI MS I TS 2017-2018
(SELASA, 13 FEBRUARI 2018) (PAGI)
5
Undang-Undang tentang Pemerintahan Desa? Itu satu gitu ya, nanti saya uraikan. Yang kedua
apakah desa itu merupakan substruktur dari susunan pemerintahan Indonesia ini, khususnya
merupakan substruktur dari pemerintahan daerah atau di daerah? Ataukah dia di luar itu? Dia
merupakan lembaga yang unik yang kita atur tersendiri gitu ya, bahwa, bahwa harus ada
hubungan gerak kesatuan iya betul, tapi, tapi penempatannya gitu di mana gitu. Yang
pertama, pertanyaan pertama, apakah kita akan mengatur tentang desa atau pemerintahan
desa? Tadi sudah saya sampaikan bahwa desa itu merupakan pranata asli yang sudah ada
sejak dulu kala dan pengertian desa, itu disepakati oleh ahli-ahli merupakan satu kesatuan
masyarakat hukum ya. Disebut sebagai satu kesatuan masyarakat hukum, itu seolah-olah
merupakan satuan kenegaraan sebetulnyaa desa itu, karena itu karena itu mempunyai
“kelengkapan-kelengkapan kenegaraan”, selain mempunyai pemerintahan, dia mempunyai
lembaga-lembaga penyelenggara yang lain, sampai Peradilan Desa ada gitu, membuat
peraturan ada gitu, mempunyai kekayaan desa dan mempunyai warga desa gitu, itu, itu ininya
itu, kalau kita akan mengatur tentang desa dalam pengertian historical itu, bahwa itu
mengatur hal itu, kalau kita mengatur hal yang sudah eksis itu, fungsi pengaturannya apa?
Apakah fungsi pengaturannya itu ingin melakukan penyesuaian-penyesuaian pengertian desa
itu, sehingga dia mempunyai fungsi modern. Itu satu kemudian yang kedua bagaimana
hubungannya dengan struktur penyelenggaraan negara, organisasi negara kita yang ada,
misalnya, bagaimana hubungannya dengan satuan pemerintah daerah lain dan yang lainnya
dan kemudian dengan pusat? Ya dan lain-lain gitu ya. Termasuk tadi kalau kita seperti
dikatakan Pak Ketua, bahwa bagaimana kita menempatkan fungsi pemerintahan desa?
Apakah dia, apa pengertiannya mengatur dan mengurus rumah tangga atau pemerintahannya
sendiri itu apakah sama dengan pengertian misalnya kabupaten mempunyai hak mengatur
dan mengurus rumah tangga kabupaten gitu ya. Darimana dia mempunyai urusan itu?
Apakah urusan-urusan itu urusan desa itu ada sebetulnya urusan yang memang secara
tradisional sudah merupakan urusan rumah tangganya ya, ataukah mereka artinya negara
hanya tinggal, hanya, hanya mengakui saja yang sudah ada itu ? Gitu ya. Yang kedua apakah
negara dapat menambahkan urusan-urusan baru dalam bentuk penyerahan urusan, bentuk
tugas pembantuan dan sebagainya ataukah dapat melakukan, memberikan penugasan pada
desa? Nah ini menurut saya, menurut saya itu harus jelas, yang ingin kita atur tentang desa itu
harus jelas, yang ingin kita atur tentang desa itu apakah sekadar fungsi pemerintahan desa
sebagai substruktur di pemerintahan dari pusat sampai ke daerah, provinsi, kabupaten, kota
sampai ke bawah itu? Ataukah memang ini merupakan suatu, satu-satuan pemerintahan
sendiri dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia? Sebagaimana kita mempunyai Daerah
Istimewa Yogyakarta misalnya, dia, dia mempunyai keunikan tersendiri yang negara
mengakui keunikannya itu, sehingga hubungannya bersifat khusus.
Nah kalau itu yang diatur maka, hal-hal yang berkaitan dengan hak desa, hak asli
desa, hak tanah desa itu bisa diatur, tapi kalau hanya mengatur pemerintahan desa, berarti dia
hanya mengatur aspek pemerintahan, aspek administrasi dari penyelenggaraan pemerintahan
dapat merupakan substruktur meskipun otonom terhadap pemerintah pusat. Nah ini, ini yang
barang kali menimbulkan kerancuan-kerancuan itu. Kemudian sebagai konsekuensinya itu
kalau kita mengatur desa dalam arti mengukuhkan dalam rangka, memelihara keaslian itu
dalam bentuk proses, dalam bentuk tentu dengan disertai perubahan-perubahan diperlukan
sehingga dia dapat medern, itu konsekunsinya adalah bagaimana bentuk hubungannya
dengan pemerintah, misalnya kabupaten dengan kecamatan, dengan provinsi dengan
pemerintah pusat, sehingga mereka bisa mengaturnya bagaimana? Misalnya begini kita
bicara tentang bantuan desa ya, apakah bantuan desa itu sebagai satu bentuk, apa, penyerahan
uang yang sepenuhnya diserahkan kepada daerah untuk mengaturnya ataukah dia merupakan
bagian dari sistem anggaran negara kita gitu ya, ya tentu meskipun diserahkan dalam bentuk
RDPU KOMITE I DPD RI MS I TS 2017-2018
(SELASA, 13 FEBRUARI 2018) (PAGI)
6
sebagai penyerahan sepenuhnya kepada daerah, tetap harus ada fungsi kendali, supaya
berhasil dengan baik gitu ya. Ini, ini masalah ya.
Kemudian yang ketiga, bagaimana pengorganisasian dari hubungan antara desa
dengan satuan lebih atas? Saya takut seperti tadi jelaskan Pak Ketua, bahwa seolah-olah
semua fungsi pemerintahan di pusat merasa boleh ikut mengatur urusan itu, kesehatan boleh,
pemerintahan dalam negeri boleh, sosial boleh, desa boleh gitu ya, ini karena tadi, tidak ada
kesatuan konsepsinya desa itu apa, sebetulnya ya, sebab kita bisa menempatkan kalau desa
itu suatu satuan yang di luar struktur pemerintahan, itu dapat dikatakan ini segala sesuatu di
bawah presiden misalnya. Saya punya pengalaman begini bapak-bapak, ketika saya masih di
Dewan Pers itu mengenai 2 hal uang ke desa itu, yaitu pertama mengenai, apa, dana sekolah,
bantuan kepada sekolah dan yang kedua yang kaitan dana desa yang ada sekarang ini. Harus
diakui bahwa, tidak, hampir semua kepala desa, perangkat desa sebetulnya mereka tidak siap
untuk mempergunakan itu sebagaimana mestinya. Pengalaman kami di Pers itu mengenai
bantuan sekolah, wartawan pun bisa menjadikannya sebagai suatu objek untuk, untuk, untuk
diperas, untuk didapatkan itu.
Satu cerita begini Bapak Ketua, sampai-sampai Kepala Sekolah tidak berani ngantor
di kantor sekolahnya, karena dia dikejar-kejar wartawan untuk mendapat bagian itu, ya, itu
yang kami terima laporannya, kemudian kalau, kalau wartawan abal-abal itu tidak
menemukan kesalahannya suatu ketika pernah terjadi begini. Mereka membangun ruangan,
oleh wartawan itu diukur lebar kayunya gitu, kayu tiang-tiang, menurut spesifikasinya 10cm,
ini kok cuman 9cm gitu ya, anda berarti ada sesuatu yang tidak beres kalau ada ini kami akan
laporkan, dalam bentuk begitu jadi hal itu. Begitu pula bantuan desa yang dulu gitu ya, itu,
itu, loh ini kita dikasih uang untuk apa? Sebab rasanya kita enggak punya kebutuhan apa,
termasuk di sekolah, akhirnya mereka belikan motor gitu ya, itu terjadi. Suatu ketika saya di
Jawa Barat, itu dipertemukan dengan seluruh Anggota DPRD dari satu kabupaten, (menit
32:48 tidak jelas, red.) kita mendiskusikan dengan Pers mengenai persoalan-persoalan
bantuan desa ini, mereka merasa banyak sekali seperti cerita tadi hambatan macam-macam.
Banyak sekali desa itu tidak, tidak, tidak siap benar dengan uangnya akan dipakai untuk apa,
direncanakan untuk apa, dan, dan, dan berpikirnya hanyak untuk desanya saja, bukan satu
sistem gitu ya. Contohnya begini bapak-bapak, dalam diskusi itu ada kebutuhan jalan desa,
khususnya desa di Jawa inikan antara desa yang satu dengan desa yang lainkan berbatasan
langsung saja sebetulnya, kalau kita di Sumatera atau Kalimantan barangkali dibatas hutan
kosong macam-macam, itu pun, sehingga diskusi kita mengatakan, misalnya akan membuat
jalan, mestinya jalan itu harus merupakan sistem antar desa itu, bukan hanya memikirkan
jalan di desanya sendiri, shingga mestinya perencanaan membuat jalan desa itu kalau seperti
itu dia harus bersama-sama, saya kebetulan ini tidak untuk di inikan, saya minggu yang lalu
ketemu Menteri Sosial, yang sangat mudah dekat sebagai teman, saya ceritakan, salah satu
persoalannya itu pak menteri adalah, bukan hanya sekadar mengawasi pelaksanaannya, tapi
merecanakan penggunaan uang desa itu untuk apa, program pembangunan itu harus sudah
awalnya seperti itu, pengertian bimbingan itu bukan bimbingan penggunaannya tapi
bimbingan mulai perencanaannya, sehingga, sehingga betul-betul berguna, pakai untuk
pengairan atau apa, apakah pengairan untuk desa itu bagaimana konsekuensi dengan desa
lain?
Itu mestinya ada seperti itu, itu, itu pengalaman, lagi-lagi kembali kepada tatanan
yang ini, bagaimana sebetulnya bentuk hubungan antara desa ini dengan, dengan struktur
pemerintah yang lebih atas, mudah kita ngomongkan pengawasan apa-apa, sebab, apa, kita
bisa membagi 3 sumber wewenang desa itu, 3 ada beberapa sumber wewenang desa itu.
Pertama tadi adalah, mereka berhak mengatur mengurus sesuatu yang memang sudah secara
tradisional adalah hak desa itu, hak desa itu. Ada penyakitnya Pak Ketua pengalaman saya
RDPU KOMITE I DPD RI MS I TS 2017-2018
(SELASA, 13 FEBRUARI 2018) (PAGI)
7
ketika di Birokrasi, sesuatu kehidupan tradisional yang sudah berjalan dengan baik itu
kadang-kadang masih mau dicampuri, akan diatur gitu ya. Suatu ketika, ketika saya masih di
Birokrasi di Departemen Kehakiman, datanglah ingin mengatur misalnya subak di, di, di
Bali, saya katakan “subak sudah berjalan ribuan tahun, kenapa kita harus atur lagi?” gitu ya.
Nah itu contoh, hal-hal seperti itu, mengapa kita masih harus, harus, harus campur, paling-
paling kalau dia ada perlu peningkatan, fasilitas apa yang harus kita berikan agar dia
mempunyai peningkatan yang lebih besar. Hal-hal yang seperti itu, sehingga betapa penting
kita mempunyai identifikasi tentang urusan asli daerah itu, desa itu, dan tentu tidak sama
antara daerah satu dengan daerah lain. Termasuk juga sumber pendapatan yang kita sebut asli
ya. Saya punya pengalaman di Sumatera Selatan, artinya waktu mempelajari ini, bagi mereka
yang berasal dari Sumatera Selatan, salah satu sumber pendapatan Marga Sumatera Selatan
itu adalah, mereka punya lubuk-lubuk marga, saya tidak tahu, mengerti lubuk, lubuk itu, apa,
semacam, air gitu ya, dan di sana ikan, waktu-waktu tertentu maka mereka mengambil ikan
dan itu untuk desa, ketika keluar Undang-Undang 5 79, semua itu di, di, diambil menjadi
urusan pemerintahan semuanya, sehingga desa menjadi tidak punya sumber pendapatan. Hal-
hal seperti itu mengapa harus dicampur lagi? Paling-paling harus dikontrol ada
manajemennya mustinya. Nah kerelaan-kerelaan seperti ini penting untuk membangunnya
itu, bahwa pengertian mengatur itu bisa mengatur, sekadar untuk mengarahkan sesuatu yang
asli.
Yang kedua sumber urusan desa itu, adalah yang memang diberikan oleh pusat
kepada atau oleh undang-undang kepada desa, sesuatu yang di, di, diserahkan urusan tertentu
yang dipertimbangkan oleh undang-undang lebih efisien kalau ini diselenggarakan, begitu
pula dari kabupaten atau dari provinsi itu, tetapi, kalau ada penyerahan urusan yang seperti
itu, bukan hanya sekadar menyerahkannya, tetapi jangan sampai itu malahan jadi
memberatkan desa itu, dia harus disertai dengan bantuan-bantuan perangkat, bantuan-bantuan
keuangan, bantuan-bantuan manajemennya gitu. Yang ketiga, yang kita kenal adalah
pembantuan, zaman Belanda dulu biasa sekali, itu pemerintah pusat itu misalnya membantu
pemerintah pusat untuk memungut pajak misalnya itu zaman Belanda dulu, membantu
pemerintah pusat untuk menjaga keamanan ya, mereka orang mencuri kerbau apa-apa maka
yang dicari itu kepala desa dulu, untuk mencarinya. Zaman Hindia Belanda dulu seperti itu
pembantuan itu, tapi dapat juga sebagai konsekuensi negara kesatuan itu daerah itu, desa itu
hanya ditugasi saja ya, sebagai suatu fungsi, fungsi penugasan itu. Nah barang kali yang
begini lagi-lagi ini tergantung kepada, yang ingin kita atur apa? Mengatur desanya atau
mengatur pemerintahannya saja, sebab kalau kita mengatur pemerintahannya, maka kita ada
soal di mana tempat hak ulayat? Gitu, kalau itu pemerintahan desa, karena dia di luar itu, gitu
ya, tapi kalau kita mengatur tentang desa, itu dimungkinkan itu hal-hal seperti diatur dalam
Undang-Undang 6 14 itu macam-macam gitu ya. Jadi kita harus pisahkan antara fungsi
manajemen ya, fungsi-fungsi manajemen, fungsi untuk menata pemerintahan itu dan fungsi-
fungsi kewenangannya gitu, kewenangan-kewenangan daerah itu dan fungsi
keorganisasiannya gitu ya, itu, itu harus, harus dipisahkan dengan baik, termasuk semacam
undang-undang lalu itu bicara tentang lembaga-lembaga, lembaga-lembaga desa itu ya,
lembaga desa itu bisa sesuatu hal yang memang merupakan tradisi yang baik.
Ketika saya masih di birokrasi bapak-bapak dan ibu-ibu, suatu ketika saya keliling
Sumatera Barat, karena waktu itu saya termasuk menggagaskan penyelesaian sengketa-
sengketa kecil melalui mediasi, saya keliling Sumatera Barat, betapa banyak di lingkungan-
lingkungan Nagari itu yang tidak pernah ada perkara-perkara kecil itu yang sampai ke
pengadilan, saya bilang “kenapa?”, ya ini lembaga kerabatan adat ala Minang Kabau di
daerah itu yang menanganinya itu, jadi, jadi itu pelembagaan-pelembagaan seperti itu, itu
ada, tapi lagi-lagi tergantung apakah ini hanya mengatur tentang pemerintahan atau mengatur
RDPU KOMITE I DPD RI MS I TS 2017-2018
(SELASA, 13 FEBRUARI 2018) (PAGI)
8
tentang keseluruhan desa sebagai sistem, gitu. Itu, yang, yang, yang bagian, yang, yang
mampu kita perhatikan, dan saya sependapat dengan Bapak Ketua, terlalu banyak lembaga
yang mencampuri desa itu malah menimbulkan masalah ya, kementerian masing-masing
merasa berwenang ya. Sampai kembali tadi kepada ketika Bapak Menteri Sosial tadi ketemu,
saya gunakan kesempatan, inikan paling tidak desa itu yang saya ketahui, Departemen Sosial
punya urusannya dengan desa, Departemen Dalam Negeri ada urusan, Kementerian Desa
urusannya desa dengan masing-masing tupoksinya itu, saya katakan, “paling tidak Pak
Menteri ini harus disatukan, tidak bisa masing-masing, meskipun niatnya baik, tetapi kalau
masing-masing kan tentu”, sebab kita harus membedakan antara istilah sama-sama bekerja
dengan bekerjasama, kita butuhkan kerjasama, bukan sekadar sama-sama bekerja. Itu yang
sedang kita, saya menghayati, saya dapat merasakan apa keluhan-keluhan yang disampaikan
Bapak Ketua dan itu sangat dirasakan oleh teman-teman di tingkat desa itu kalau kita turun
ke desa.
Itulah dulu problematik yang ingin saya sampaikan, yang perlu kita, kita letakan sejak
awal kita, apakah yang akan menjadi basis pengaturan tentang desa ini? Tentu saja bapak,
kok, kok Pak Bagir hanya bicara tentang desa yang asli saja ya, sedangkan ada kemungkinan
desa baru misalnya daerah transmigrasi gitu ya, tapi kalau kita bicara tentang bahwa yang
ngatur desa, satu kali dia dibentuk sebagai desa, dia harus diperlakukan sama gitu mestinya
gitu ya, walaupun dia suatu, suatu hal yang, yang dibentuk kemudian, sebab desa yang
tradisional juga, sebetulnya bentuknya juga hanya kita tidak tahu, kapan dibentuknya gitu ya,
mengapa harus dibedakan itu antara desa adat dengan desa, desa hanya dia belum mempunyai
adat istiadatnya, ini sudah punya adat istiadat. Ini, berarti dia tidak akan mempunyai misalnya
pranata-pranata asli, tetapi dia mempunyai hak-hak tertentu yang dapat diuruskan.
Kira-kira itu dulu pak pengantar dari saya, terima kasih.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. AKHMAD MUQOWAM (KETUA KOMITE I DPD RI)
Baik, Prof. Saya barangkali perlu berpendapat ini, Undang-Undang Desa ini
memberikan ruang yang sama Prof. Antara desa dan desa adat, sehingga dalam definisinya
itu, memang sudah sedemikian rupa, antara isi dengan drafting-nya adalah desa dan desa
adat, atau yang disebut dengan nama lain selanjutnya disebut desa adalah, ini udah sehati-hati
mungkin perumusan definisi itu. Sehati-hati begini pun, di lapangan masih ada diametral, di
Bali misalnya antara desa adat dengan desa Denas, Makraman dengan desa, itu di undang-
undang ini enggak ada, bahkan kemudian mau mengkonversi menjadi apa boleh, lah
pemahaman ini Prof. Yang tidak dimiliki pemerintah, bahkan kelurahan menjadi desa pun
boleh, desa menjadi desa adat boleh, desa adat menjadi desa boleh, Jadi oprasi itu boleh
apapun disitu.
Nah ini sekali lagi pak, ini kalau bicara dari badan, makanya kalau, mohon maaf, sakit
kanker kalau udah di otak, itu paling parah Prof. Tapi kalau sakit kanker masih di kaki,
otaknya masih waras Prof. Tapi kalau yang kena sakit itu kepalanya pusat, ke bawah pasti
jelek, pasti enggak benar Prof. Jadi udah sedemikian hati-hati Prof. Rumusan ini dilakukan,
sehingga ruang konversi itu sangat dimungkinkan hanya pemerintah lambat, lelet, tidak tahu
bahkan pak. Dalam undang-undang sudah ada itu Prof. Jadi kontak Binwasnya,
pembinaannya, “nih hak pemerintah pusat membina itu ini kewenangannya, provinsi ini,
kabupaten ini”, sudah ada semua Prof. Bahkan kemudian, kok ada undang-undang? Iya biar
paham itu pemerintah, kenapa pemerintah? Prof. Sekali lagi, itu adalah sebagai stakeholder
utama, masyarakat stakeholder berikutnya.
Nah karena itu Binwas, hari ini wasnya Prof. Yang dikencangin Prof. Jadi kalau saya
dan kita punya anak, maka, kan beda itu, “nak, kamu jangan pergi ke sana diskotik”, kan
RDPU KOMITE I DPD RI MS I TS 2017-2018
(SELASA, 13 FEBRUARI 2018) (PAGI)
9
beda kemudian “hei kamu jangan ke sana loh ya” beda, nah ini pemerintah pakai yang kedua
ini Prof. Enggak dikasih tahu, itu diskotik ini, adalah tempat ini, orangnya ini, nanti akan ada
begini, enggak, “hey jangan ke sana loh kamu loh ya” ini pemerintah hari ini, jadi terlalu
kasar secara karcis pemerintah ini Prof. Sehingga di ruangan ini, ruang yang kedap dari
hukum, ini ruang rapat, kedap hukum ini Prof. Enggak bisa dilaporkan ngomong apapun di
ruangan ini, kecuali kalau saya ngomong di luar. Yang namanya Satgas Desa, itu unorgenized
Prof. Yang dipimpin oleh Pak Bibit Samad, ya mohon maaf, saya hormat kepada beliau, saya
kenal dengan beliau, tapi pada aspek KPK dan Polisinya dipake oleh Kemendes Prof.
Menakut-nakuti, inikan, jadi itu Satgas Dana Desa, itu unorgenized, itu liar bahkan karena
enggak ada dalam struktur pemerintahan enggak ada, liar itu Prof. Apa LSM? Kalo LSM
bolehlah, tapi nempelnya di pemerintah ini Prof. Satgas Dana Desa ini, kemudian lagi
misalnya, kehadiran di Kejaksaan ini Prof. Namanya TP4D Tim Pemantau Pembangunan
Program Pembangunan Desa, pak nama sama Jaksa pak, Prof. Jaksa lewat saja takut Prof.
Apa lagi kalau kemudian datang pak, ini mohon maaf di Jawa Tengah ini, bukannya tidak
terjadi, kalau ada TP4D turun, kasih duit atau tidak Prof. Enggak dikasih takut kalau
diperkarakan, enggak dikasih ini Prof. Kalau dikasih duit dari mana? Akhirnya kemudian
udunan Kepala Desa sekecamatan itu, saya tanya “Berapa kasih?”, “17juta mas”, “Hah, dari
mana kamu dapat duit?”, “Kita udunan”, “Kenapa kamu kasih?”, “Loh, daripada kita nanti
dirangket pak” katanya. Jadi alternatif bagi desa itu enggak ada hal lain pak, itu terjajah betul
dengan kebijakan seperti itu pak. Kemarin di HPN saya katakan, ya ada wartawan sontoloyo
itu, iya, yang dia datang ke desa, “Pak, bapak melanggar ini ya?”, Padahal enggak ada bukti,
jadi dicari-cari ini terus Prof. LSM sama, jadi nasib Prof. Jadi orang desa itu Prof.
Jadi kalau hari ini ada Prof. Bagir yang orang desa jadi Profesor itu saya kira eksepsi
Prof. Ke depan saya kira enggak ada lagi itu orang desa jadi profesor karena tekanan seperti
itu Prof. Jadi saya mengandaikan ini Prof. Dalam desa ini samain orang nikah Prof. Nama
sama dengan orang nikah, mempelai itu loh pada dasarnya orang masih lemah, dari hukum
dia lemah, statusnya lemah, tanpa orang tua yang me itu, ga akan dia proses terjadi itu, itulah
desa kita Prof. semestinya, tapi hari ini bisa dianggap sebagai keluarga yang sudah mapan
Prof. Mestinya ini loh nak, ini Samawa, Sakinah Mawadah Warohmah itu adalah ideal type
sebuah keluarga gitukan. Jangan kemudian, “awas yo kamu nanti kedepan harus begitu”,
enggak begitu, hari ini kasihan Prof. Jadi karena itu apa yang kita lakukan ini kita dengar dari
teman-teman APSI, APDESI. Kami sudah mentok Prof. Terus terang saja, dalam hal desa
Komite I sudah mentok Prof. Menteri sudah datang kesini, tapi tadi itu bunghentuo blubu
tengen huntu kiwo tadi itu. Saya kira itu, saya merespon.
Oh, Silakan-silakan Prof.
PEMBICARA: Prof. Dr. BAGIR MANAN, S.H., MCL. (NARASUMBER)
Kalau dari state belum tentu dari yang lain pak ketua, sebetulnya bukan lagi persoalan
undang-undang tentang desanya sebetulnya yang ini ya, memang tidak ada undang-undang
yang sempurna itu sudah, sudah logis gitu, itu, itu ya, berbagai inikan, kalau ada revisi itu,
tapi dari segi prinsip, prinsip sudah diatur. Inikan berkaitan dengan, apa, policy melaksanakan
undang-undang itu, policy melaksanakan undang-undang itu satu. Kemudian kedua berkait
dengan tatanan birokrasi kita gitu ya, terus terang di depan bapak-bapak, saya diberbagai
sebagai orang universitas kalau kami berbicara, saya katakan ada, paling tidak ada dua
sumber persoalan besar dari segi korupsi misalnya, pertama ada tatatan birokrasi kita, kedua
tatanan politik kita gitu ya, sehingga saya katakan memerangi korupsi di Indonesia kalau kita
nyimpang sedikit, kalau dua hal ini tidak pernah kita benahi secara mendasar, apapun
kekuatan KPK itu sulit sekali. Coba bayangkan di tengah-tengah, apa, gencarnya kita
RDPU KOMITE I DPD RI MS I TS 2017-2018
(SELASA, 13 FEBRUARI 2018) (PAGI)
10
mempersoal korupsi, ada saja yang tertangkap tangan dan itu pejabat, kan aneh gitu ya, ini,
ini, jadi, jadi inikan soal, soal policy melaksanakan undang-undang ini dan soal manajemen
tatanan birokrasi dari, dari ini, semacam bagaimana, bagaimana orang, setiap orang data ke
desa untuk ya, mencari-cari kesalahan gitu, ya tentu saja manusia tidak sempurna. Jadi
menurut saya apakah tidak itu yang kita inginkan, dan untuk menemukan persoalan secara
jelas, DPD mesti melibatkan lembaga-lembaga netral lain, misalnya universitas itu untuk
melakukan penelitian betul gitu ya, misalnya Sumatera Barat dengan Andalas, sehingga kita
tahu benar, apa sih persoalannya, yang dihadapi desa sekarang ini, apakah memang mereka
tahu ataukah memang mereka dalam penindasan dan sebagainya. Kira-kira itu.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. AKHMAD MUQOWAM (KETUA KOMITE I DPD RI)
Baik ada yang mau merespon, silakan Pak Badri.
PEMBICARA: H. AHMAD SUBADRI, S.Pd.I. (PROVINSI BANTEN)
Terima kasih, bapak-bapak pimpinan, dan bapak-bapak para anggota, serta yang saya
hormati Pak Profesor Bagir Manan sebagai narasumber. Di forum RDPU saat ini, ini banyak
sekali ilmu yang bisa kami dapat dari paparan singkat Pak Profesor Bagir tadi, antara lain
melihat ya, persoalan, apa namanya, undang-undang ini terkait dengan desa atau
pemerintahan desa gitu, ini kalau saya lihat dari namanya Undang-Undang 6 Tahun 2014 ini
kan tentang desa, kemudian dari definisinya juga sangat luas tadi, ya, mengakomodir
pengertian desa, kemudian desa adat, dan atau nama lain di situ didefinisikan bahwa,
masyarakat, apa, kesatuan masyarakat hukum, kemudian tadi batas wilayah, ada wewenang,
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan ini. Lalu dalam undang-undang itu juga ada
ruang lingkup, ruang lingkup penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan
pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa.
Di undang-undang itu juga terdapat asas, asas pengaturan undang-undang desa, ini
asas-asasnya, ya ini menurut saya sempurna ini Prof. Ya, soal rekognisi, subsidaritas,
keberagaman, kebersamaan, kegotong-royongan dan seterusnya, termasuk kemandirian
partisipasi sampai kemudian tujuannya adalah bagaimana menciptakan desa yang kuat maju,
mandiri dan demokratis. Kalau dari tema-teman yang dibuat dalam undang-undang itu, itu
saya pikir sudah sangat baik dari sisi konsepsi, hanya memang tadi dalam sisi policy,
pelaksanaan ini yang kemudian banyak menimbulkan permasalahan, tanpa dilakukan
penelitian oleh perguruan tinggi sekalipun, dalam praktiknya Pak Prof. Ya, kita baik secara
individu karena kebetulan saya juga lahir dan sampai saat ini masih di desa, gitu, di Banten,
dan kita juga sering melakukan pengawasan, kemudian kunjungan atau juga merapat dengan
para pemangku kepentingan di desa, jadi dari situ saja sudah banyak persoalan itu, sejak awal
persoalan itu, bermula dari elite sendiri ya, misalnya soal Dagri dan Kemendes, itu, itukan
berebut, apa, kewenangan di situ, lalu dari sisi tadi perspektif hukumkan juga banyak pasal-
pasal di dalam undang-undang itu yang belum diterbitkan PP-nya misalnya, itu juga dari awal
sudah muncul menjadi sebuah persoalan, belum lagi soal adanya dana desa, ada Bumdes gitu.
Nah ini, ini semua menimbulkan banyak persoalan, sebenarnya kalau dari sisi
konsepsinya tadi bahwa, desa itu memunculkan kegotong-royongan, kebersamaan,
kemandirian, harusnya pemerintah pusat itu jangan terlalu jauh mengatur, gitu, karena justru
kalau terlalu jauh mengatur itu menghilangkan kemandirian tadi, gitu, bahkan dengan adanya
dana itu, bukannya melapangkan mereka, malah menyusahkan, ya, menyusahkan dari sisi,
tadi perencanaannya dibatasi, enggak boleh ini, enggak boleh itu, bahkan sesuatu yang
dibutuhkan oleh desa itu, misalnya pak ketua, apa, di desa-desa inikan masih banyak, ya,
RDPU KOMITE I DPD RI MS I TS 2017-2018
(SELASA, 13 FEBRUARI 2018) (PAGI)
11
belum punya kantor, ya, jangankan kantor permanen gitu, kantor yang, yang, seadanya juga,
ini sering kali kantor desa itu berpindah-pindah, tergantung siapa pemenang kepala desanya,
jadi kalau saya jadi kepala desa ya berkantor di rumah saya, gitu, kalau besok Pak Bagir yang
kepala desa di kantornya Pak Bagir, gitukan, belum lagi nanti alat tulis kantornya hilang,
segala macam itu, ya, dokumen-dokumen penting juga hilang karena yang kalah enggak
terima, gitu, jadi ini problem-problem dalam praktik yang sangat banyak, itu, termasuk
sekarang malah muncul lagi, ya, tuntutan dari kepala desa, karena mereka merasa dipasung
hak politiknya misalnya, ya, Bupati, Gubernur, Walikota, Menteri sampai Presiden boleh, ya,
berpartai, desa tidak boleh, ya, padahal sama-sama penjabat yang dipilih, itu.
Lalu soal persyaratan orang nyalon kepala desa, misalnya, ya, kalau dulukan ada
batasan siapa yang berwenang nyalon atau berhak nyalon itu, sekarang orang luar desa itu,
jalan-jalan lewat di desa ada pengumuman pembukaan, apa, pendaftaran calon kepala desa,
ya, saya bisa daftar gitu, seketika, gitu, walaupun kita bukan orang desa tersebut. Jadi dalam
perspektif hukum saya kira memang ini menyisakan banyak persoalan, gitu, kalau kita
bicaranya dari segi, apa, asas-asas, kemudian juga soal adat yang sudah berlaku, ya, itu-itu
tentu, yang disampaikan Prof. Bagir saya kira sangat komprehensif ya, memandang desa ini
sebagai suatu kesatuan, “seperti sebuah negara”, gitu, karena ada lembaga-lembaga yang
mengatur lainnya, dan fakta Pak Prof. Ya, ini di desa ini, sebenarnyakan Undang-Undang
Desa terutama menyangkut dana desa ini, ini lahir karena desakan, bukan karena kesadaran
dari atas, bahwa memang desa itu harus diperkuat, gitu, tapi karena tuntutan yang sangat kuat
dari desa, dari bawah, sehingga dibuatlah undang-undang ini untuk mengakomodir aspirasi
itu, tetapi ini mengakomodirnya tidak secara utuh, ya, hanya, hanya serpihan-serpihan yang
di, yang diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014.
Termasuk tadi soal, soal dana desa, padahal bagaimana mungkin sebuah
pemerintahan, kalau kita baca undang-undang sebelumnya, 5 79 dan seterusnya itu Prof.
Desa itu, itu diberi tugas untuk, bagaimana mereka, aparat desa ini melayani masyarakat, ya,
dari mulai soal, apa, bikin KTP, Kartu Keluarga, Surat Kematian, kemudian numpang nikah
dan seterusnya, sampai ke masalah-masalah sosial kemasyarakatan, jadi desa, kepala desa,
atau perangkat desa yang bagus, menurut masyarakat, itu bukan karena dia bisa mampu
menciptakan clean goverment, misalnya, tapi kepala desa yang rajin, kalau ada orang yang
meninggal dia turun, ya, sampai ikut nguburin, ikut tahlil, ya, kalau ada isra mi’rar, ada
Maulid dia nyumbang, bahkan orang nikahan pun, pesta di kampung itu, itu turut
mengundang itu pasti nomor 1 kepala desa Prof. Saya Anggota DPD RI ini, yang katanya
pejabat negara, itu mungkin bisa nomor 2 setelah Sekdes, karena, nomor 3 setelah Sekdes,
karena menurut masyarakat desa itu, kepala desa itu sangat tinggi kedudukannya, ya, sampai
istilahnya, urusan tikus beranak saja harus diurus sama kepala desa itu. Nah sementara, dan
dia juga punya tugas untuk membangun, tapi waktu itu kan tidak ada dana, dan desa tidak
boleh, hanya dia, hanya bisa mendapatkan dana bantuan desa misalnya, dari kabupaten paling
jumlahnya, ya, berapa juta gitu, ada juga Banprov, ini sekarang kita dengan adanya dana desa
yang sudah mencapai 1 miliar lebih seolah-olah itu bisa menjawab persoalan, padahal
enggak, karena uang 1 miliar itu kalau diucapkan memang besar pak, 1 miliar misalnya, tapi
ketika dipraktikan untuk belanja pembangunan, itu enggak ada apa-apanya, itu, kita bikin
rumah 1 unit saja, uang 1 miliar untuk ukuran tertentu sangat sederhana itu, sangat kecil gitu.
Jadi saya kira kembali lagi bahwa kita ingin melihat dari sisi perspektif hukum, kalau saya
lihat undang-undang produk reformasi ini, ya, tidak sekuat produk orde baru, ya, kita lihat
saja enggak, seperti enggak konsisten dari ketentuan umum, dari asas-asas, sampai kemudian
pasal-pasalnya itu, ada melompat-lompat gitu, disatu sisi asasnya begitu sangat ideal, gitukan,
ada ketentuan umum juga baik, tapi pasal-pasalnya enggak menjawab, enggak, enggak
relevan dengan, yang sangat fundamental tadi. Itu Prof. Yang saya ingin sampaikan sebagai
RDPU KOMITE I DPD RI MS I TS 2017-2018
(SELASA, 13 FEBRUARI 2018) (PAGI)
12
sebuah komentar itu, nah kemudian saran dari Prof. Ini bagaimana kita dari DPD, ya, karena
tumpuan masyarakat juga, termasuk para kepala desa, ya, untuk tadi, saya kalau enggak salah
pimpinan mengatakan, apakah ada celah kita untuk melakukan uji materi, misalnya, ya
terkait, apa, pasal-pasal tertentu yang itu bisa mengembalikan pada, kebutuhan yang
diperlukan oleh, oleh desa gitu. Saya kira itu, terima kasih.
PEMBICARA: Drs. H. ACHMAD HUDARNI RANI, S.H. (WAKIL KETUA KOMITE
I DPD RI)
Terima kasih, Pak Subadri, ada yang lain? Pak, tidak ada? Ada tambah? Tidak ada ya,
jadi itu Pak Prof. satu hanya, jadi memang ada hal lagi yang perlu disampaikan bahwa, inikan
dimensinya undang-undang ini, ada yang mengatakan bagus tinggal pelaksanaan saja ya, jadi
apa yang disampaikan tadi untuk bahan-bahan itu, silakan Prof.
PEMBICARA: Prof. Dr. BAGIR MANAN, SH, MCL. (NARASUMBER)
Itu, ini, pengalaman saya hampir tiap hari dulu di DPR karena saya sebagai birokrasi
di Departemen antara lain ada keluhan Anggota Dewan pada waktu itu Bapak-bapak kadang-
kadang aturan pelaksanaan itu seperti kita pembentuk Undang-Undang hanya memesankan
agar buat celana saja, tapi pelaksanaanya jas dan celana lengkap jadi jauh melampaui apa
yang diarahkan membentuk Undang-Undang begitu. Apalagi ditambah tadi soal kaitan
diskresi yang terlalu luas begitu. Saya ingin inikan Bapak-bapak, saya mulai dengan bantuan
pusat kepada daerah khususnya desa bagaimana menjamin agar ini terlaksana dengan baik.
Di negeri Belanda itu ada kaidah tentang yang namanya subsidi bebas di bantu jadi
Pemerintah atau APBN tidak menentukan ini akan dipakai untuk apa, misalnya bantuan
kepada museum begitu ya, sudah tahu tentu museum. Ukurannya pada outputnya nanti,
outputnya itu akan menentukan apakah dia pada anggaran yang akan datang dapat lagi atau
tidak begitu ya, jadi tidak dikendalikan dari awal disini bahwa hanya boleh ini, sedangkan
kenyataan dilapangan kan tidak selalu sama, seluruh Indonesia pasti tidak sama maka itu
silakan pakai tapi nanti kalau ternyata menurut penilaian dari Pemerintah dan DPR, parlemen
bahwa anda tidak menggunakan sebagaimana mestinya maka anda tahun ini kami tidak kasih
atau kami kurangi nah itu,d an itu berkaitan dengan fungsi lebih luas dalam sistem demokrasi
itu pelajaran dulu yang saya temukan mereka makin mengarahkan kepada fungsi pengawasan
yang sifatnya represif, tidak preventif daerah otonomi itu. Jadi Bapak yang terhormat
menyebutkan bahwa kalau terlalu banyak dicampuri unsur kemandiriannya tidak ada lagi
berkurang ... (menit 67.45 kurang jelas, red.) menjadi kurang pengawasan preventif itu
termaksud cara mengkrakeng sebetulnya kebebasan ini, itu diberbagai negara mereka lebih
menekankan kepada pengawasan. Represif kalau salah baru kita inikan begitu, kalau tidak ya
tidak, nah saya tidak tahu stelse kita yang mana, yang ingin dijadikan apa, dijadikan model di
ini kita, urusan hal-hal seperti itu.
Kemudian yang kedua terlepas dari berbagai Undang-Undang, tapi pada dasarnya
konsep umum Undang-Undang inikan sudah benar sebetulnya ingin membuat Pemerintahan
desa itu hanya tinggal kita memperbaiki bagian-bagian misalnya tidak ada konsistensi dan
sebagainya kalau itu dapat diterima saya kembali kepada persoalan apakah kita, sebab begini
Undang-Undang yang tidak sempurna itu dapat disempurnakan dalam praktik artinya praktik
yang menterjemahkannya sehingga mission besarnya dapat tercapai. Banyak sekali itu yang
seperti itu ya, yang ditangkap misalnya apakah apa yang diinginkan oleh pembentuk Undang-
Undang sebetulnya walaupun rumusan normatifnya tidak bagus, tidak banyak dan
sebagainya. Bisa dirumuskan tapi tentu ini sangat tentukan oleh sikap kita dalam
RDPU KOMITE I DPD RI MS I TS 2017-2018
(SELASA, 13 FEBRUARI 2018) (PAGI)
13
menjalankan pemerintahan apakah kita ingin memenuhi fungsi missionnya apakah sekadar
bunyi Undang-Undangnya itu bisa juga seperti itu. Nah seandainya itu bisa kita dorong. Tadi
Bapak Ketua mengatakan kita sudah, sepertinya sudah capai untuk mendorong kalau itu bisa
kita dorong bisa mencek hal-hal yang sifatnya dilapangan misalnya tadi kok semua orang
mengawasi dan semua yang mengawasi minta-minta bagiannya berartikan sebab memang
penyakit pengawasan kan begitu makin banyak yang mengawasi makin malah itu tidak jalan,
itu malah makin. Jadi kalau itu benar maka sebetulnya yang harus dipersoalkan ada pada
tingkat polisnya, pada tingkat manajemennya. Pada tingkat organisasian dari polis itu apakah
perlu semua pihak begitu jaksa segala macam ikut mengawasi ya, jaksa kok sampai ikut-ikut
mengawasan preventif itu bagaimana, jaksa itu turun tangan kalau ada dugaan tindak pidana
begitu ya. Sekarang saya lihat di Pilkada semua ingin mengawasi, KPK ingin mengawasi,
semua ingin mengawasi begitu ya, ini sebetulnya bertentangan dengan prinsip-prinsip
manajemen, bertentangan dengan prinsip apa, administrasi pemerintahan yang baik bahwa
buat semua mengawasi sebab semakin banyak mengawasi menimbulkan kebinggungan
malah makin menimbulkan pelanggaran-pelanggaran tapi kok tidak ada yang mengingatkan
begitu ya, iya itulah konsekuensinya kemarin mana nah ini, sedangkan organisasi modern
itukan makin sederhana mekanismenya sehingga mudah di kontrol. Saya setuju dengan ini
tapi kita harus menemukan sebetulnya penyakit intinya ada dimana begitu apakah polysi
ataukan pada administrasi penyelenggaraanya, unsur-unsur manajemennya bisa begitu
banyak campur tangan pengawasannya, bentuk pengawasannya yang tidak jelas ya tadi
seperti jaksa pun ikut mengawasi uang desa apa, dia kalau ada laporan tindak pidana baru
mestinya, polisi juga begitu ini semua mengawasi ya itu nah ini harus berani kita persoalkan
begitu ya, harus berani kita persoalkan kalau tidak desa itu korban saja. Saya pernah
membebaskan Kepala Desa di Jawa Barat karena soal-soal dulu uang pembangunan
namanya, uang pembangunan desa macam-macam itu ya karena dia korban saja begitu ya,
korban saja. Di suatu daerah saya juga pernah bebaskan seorang terdakwa karena dia
dianggap apa, melakukan korupsi dia uangnya katakan memang kami pakai uangnya pak, tapi
kalau ada tamu ya kita pakai begitu bukan karena, jadi saya bebaskan saja kira-kira begitu.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. ACHMAD HUDARNI RANI, S.H. (WAKIL KETUA
KOMITE I DPD RI)
Masih ada yang lain? Cukup, terima kasih. Jadi yang kita tangkap itu memang kalau
kita bicara tentang Undang-Undang yang sempurna kan sulit juga ya, tapi bagaimana kita
memanfaatkan Undang-Undang ini untuk bagaimana bermanfaat bagi desa itu, tapi yang
kemarin itu kita sudah ketemu dengan semua apalah, hukum pada tingkat tertinggi termaksud
persoalan TP4D itu maksud mereka baik, tapi sebenarnya dalam praktik dilapangan sampai
desa-desa itu apa disampaikan Pak Subandri, sama Pak itu juga kejadian bagaimana nanti kita
upayakan supaya ini benar-benar terdapat ini dan penyakit intinya.
Kami kembalikan lagi kepada Pak Ketua.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. AKHMAD MUQOWAM (KETUA KOMITE I DPD RI)
Iya Prof. saya kira tambah ini harus mempersoalkan tadi jaksa, polisi karena ini bukan
karena mencari perkara, tidak proposional disitu Prof. ini sama dengan, ini kan diluar itu beda
pendapat biasa. Suami, istri, anak biasa berbeda pendapat tapi kalau kemudian sang suami itu
kemudian lagi ada begitu menghadirkan polisi, ini Pak Polisi saya lagi berdebat dengan istri
saya dan anak saya, Polisi dihadirkan itu tidak benar, ini seperti itu jadi rumah tangga kok
dimasuki Polisi, Jaksa inikan over bodoh ini. Baik jadi saya kira langkah kita untuk secara
RDPU KOMITE I DPD RI MS I TS 2017-2018
(SELASA, 13 FEBRUARI 2018) (PAGI)
14
pengetahuan ini kalau ada pihak yang me-JR saya kira logic Prof. dan saya kira Komite I
dalam posisi, dalam konteks amar ma'ruf nahi munkar ini Prof. bukan amar ma'ruf nahi
mangkur bukan. Dalam amar ma'ruf nahi munkar saya kira bisa kita lakukan itu jangan di
macam-macam ini karena saya bicara yang benar dan yang salah.
Demikian Prof. Terima kasih. Baik.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
RAPAT DITUTUP PUKUL 11.53 WIB