Upload
others
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT UREPUBLIK INDONESIA
R I S A L A H
RAPAT PANITIA KHUSUS RUU TENTANG PROTOKOL
Tahun Sidang
:
2009 - 2010
Masa Sidang : III
Jenis Rapat : Rapat Dengar Pendapat
Rapat ke : 3
Dengan : Sekjen MPR RI, Sekjen MK RI, Sekjen KY RI dan Sekretaris MA RI
Hari, Tanggal : Rabu, 12 Mei 2010
Waktu : Pukul 13.35 – 15.10 WIB
A c a r a : 1. Menerima masukan terhadap RUU tentang Protokol,
2. Lain - lain
T e m p a t : Ruang Rapat Pansus C
Gedung Nusantara II, Lt.3
Jl.Jend. Gatot Subroto-Jakarta
Pimpinan Rapat : H. TRITAMTOMO, SH
Sekretaris Rapat : Drs. Budi Kuntaryo
Hadir : …. orang Anggota dari 30 Anggota
A. PIMPINAN :
1. H. TRI TAMTOMO, SH ( KETUA ) ( F - PDI PERJUANGAN )
2. DR. H. SUBYAKTO, SH., MH ( WAKIL KETUA ) ( F - PD )
3. DRS. TAUFIQ HIDAYAT, M.Si ( WAKIL KETUA ) ( F - PG )
4. H. Tb. SOENMANDJAJA, SD ( WAKIL KETUA ) ( F- PKS )
B. ANGGOTA PANSUS RUU TENTANG PROTOKOL :
I. FRAKSI PARTAI DEMOKRAT :
1. H. HARRY WITJAKSONO, SH
2. DRS. H. GUNTUR SASONO, M.Si
3. DRS. UMAR ARSAL
4. RUSMINIATI, SH
ARSIP D
PR RI
2
5. RUHUT SITOMPUL, SH
6. HJ. HIMMATULLAH ALYAH SETIAWATY, SH., MH
7. DIDI IRAWADI SYAMSUDDIN, SH.,LL.M
II. FRAKSI PARTAI GOLKAR :
1. IR. BASUKI TJAHAYA PURNAMA, M.M
2. DRS. AGUN GUNANDJAR SUDARSA
3. H. ANDI RIO IDRIS PADJALANGI, SH., M.Kn
4. DRS. H. MURAD U. NASIR, M.S.i
5. ADITYA ANUGRAH MOHA, S.Ked
0BIII. FRAKSI PARTAI DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGAN :
1. 1BHELMY FAUZI
2. ARIF WIBOWO
3. 2BBUDIMAN SUDJATMIKO
4. DRS. H. SETIA PERMANA
IV. 3BFRAKSI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA :
1. 4BDRS. AL MUZZAMMIL YUSUF
2. 5BKH. BUKHORI YUSUF, Lc., MA
V. FRAKSI PARTAI AMANAT NASIONAL :
1. DRS. H. ACH RUBAI’E, SH., MH
2. DRS. H. RUSLI RIDWAN, M.Si
VI. FRAKSI PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN
1. H.A. DIMYATI NATAKUSUMA, SH., MH., M.Si
2. DRS. H. ZAINUT TAUHID SA’ADI, M.Si
VII. FRAKSI PARTAI KEBANGKITAN BANGSA :
1. DRS. H. IBNU MULTAZAM
2. DRS. H. OTONG ABDURAHMAN
VIII. FRAKSI PARTAI GERINDRA :
1. DRS. H. HARUN AL – RASYID, M.Si
IX. FRAKSI PARTAI HANURA :
1. H. SARIFUDDIN SUDDING, SH., MH
ARSIP D
PR RI
3
RAPAT DIBUKA PUKUL 13.35 WIB
H. TRITAMTOMO,SH (KETUA RAPAT / F- PDI PERJUANGAN)
Pimpinan dan Anggota Pansus yang kami hormati,
Yang kami muliakan Saudara Sekjen MPR RI atau yang mewakili,
Saudara Sekretaris Mahkamah Agung RI atau yang mewakili,
Saudara Sekjen Mahkamah Konstitusi RI atau yang mewakili,
Saudara Sekjen Komisi Yudisial atau yang mewakili, serta
Hadirin sekalian yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu.
Assalaamu'alaikum Warrahmatullaahi Wabarakatuh.
Selamat siang, dan Salam sejahtera buat kita sekalian,
Saat ini kita sedang membahas tentang RUU Protokol, olehnya kami perlu untuk
mengundang berbagai pihak agar apa yang kita inginkan. Apa yang kita lakukan hasilnya
komprehensif dan integral dan dapat mewadahi dengan baik. Olehnya mari kita lihat beberapa hal,
yang pertama mari kita lihat pada kondisi yang baru lalu dimana Undang-Undang RI Nomor. 8 Tahun
1987 yang terdiri dari 5 Bab dan 9 Pasal beserta penjelasannya yang telah berumur 23 tahun, kalau
kita lihat ini singkat, jelas tetapi tidak mengikat, isiannya seperti itu. Kemudian kita melihat pada
kondisi yang sedang berlaku dimana kita melihat dan kita mendengar pendapat dari umum yaitu
kegiatan atau pengaturan protokol untuk pejabat dirasakan ada yang berlebihan. Kemudian kedua,
etika penggunaan di jalan raya banyak masyarakat yang mencibir karena itu, kecuali yang digunakan
oleh RI 1 maupun RI 2. Kemudian di sini tanda kutip “perlukah sanksi di dalam rangka kegiatan ini
semua”, karena kita melihat adanya situasi yang sifatnya transisional. Kemudian ketiga mari kita
melihat pada kondisi saat ini, Undang-Undang Dasar 1945 telah diamandemen beberapa kali
tentunya di sini ada konsekuensi logis yang harus kita sikapi dan kita hadapi dimana antara lain
lembaga-lembaga baru ke pusat timbul, kemudian pejabat tinggi negara juga tidak ada, kemudian
ketokohan tentang tokoh-tokoh di daerah dan masyarakat juga perlu untuk diatur.
Oleh karena itu yang kita harapkan perlu adanya RUU Protokol yang jelas dan tegas, isiannya
mengakomodir semua kegiatan yang melibatkan yang terkait di dalam hal ini. Dan coba kita melihat
kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 27 Tahun 2009 antara lain mengenai MD3 yang
mengkait dengan hak dan kewajiban anggota yang kita soroti dalam hal ini adalah hak yang
termaktub di dalam Pasal 78 tentang protokoler untuk Anggota Dewan. Ada tetapi tidak bisa
dirasakan. Nah sehubungan dengan itu kita melihat apa yang diinstruksikan oleh Presiden Republik
Indonesia bahwa beliau menginginkan bahwa RUU Protokol ini tidak boleh diremehkan karena di situ
mengandung isian untuk mencegah, menghindari kesimpangsiuran terhadap jalannya satu kegiatan
agar berjalan tertib, lancar, aman, terkendali dan nyaman. Ini yang menurut Bapak Presiden harus kita
sikapi kemudian kita tindak lanjuti. Oleh karena itu kita sepakat, kita sepaham untuk membicarakan
hal ini untuk kesempurnaannya, oleh karena itu pada sore hari yang berbahagia ini kami mohon
kepada Saudara-saudara, hadirin yang kami sebutkan tadi di depan untuk memberikan masukan,
saran, pandangan, pendapat demi apa yang kita sampaikan di depan dapat berjalan dengan baik.
ARSIP D
PR RI
4
Oleh karena itu dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim perkenankanlah saya selaku
Ketua Rapat membuka Rapat Dengar Pendapat pada hari ini yang saya nyatakan terbuka untuk
umum.
Selanjutnya kami persilahkan kepada rekan-rekan yang telah hadir dihadapan kami untuk
memberikan masukan, pandangan, pendapat yang diawali dari Saudara MPR RI, kemudian berturut-
turut ke kiri yaitu Komisi Yudisial, kemudian Mahkamah Agung dan terakhir adalah Mahkamah
Konstitusi, waktu dan tempat kami persilahkan.
EDY SIREGAR (WAKIL SEKJEN MPR RI):
Terima kasih.
Assalaamu'alaikum Warrahmatullaahi Wabarakatuh.
Selamat siang, Salam sejahtera buat kita semua,
Izinkan kami memperkenalkan diri, nama saya Edy Siregar mewakili Sekretaris Jenderal
MPR, kebetulan Sekjennya sedang keluar, tugas di luar. Dan kami kemarin sudah mendapatkan
undangan dari Pansus ini untuk hadir pukul 10.00 WIB tadi dan kami mohon supaya kami diikutkan
dalam jadwal yang 13.00 WIB.
Terima kasih.
Kami dari Lembaga Sekretariat non departemen atau lembaga negara sudah mengkaji juga
ini masalah keprotokolan ini, dan kami sudah baca konsep-konsepnya, mungkin ada satu yang
dilupakan upacara yang sangat krusial atau kritis ketika terjadi di Istana Negara pada saat-saat detik-
detik Proklamasi Kemerdekaan karena memang tempatnya seperti itu dan tidak cukup memadai untuk
mengatur semua sehingga yang dikedepankan adalah pimpinan atau hanya ketua-ketua. Dan satu
lagi kalau kita lihat pada saat lazimnya di negara-negara lain ada kehadiran mantan ataupun Pak
Presiden dan Wakil Presiden sebelumnya yang tidak pernah kita lihat di Indonesia ini adalah
ketidakhadiran Presiden dan Wakil Presiden sebelumnya, katakanlah dalam upacara tanggal 17 itu
Pak Habibie juga tidak pernah hadir, kemudian Gus Dur, Pak Gus Dur pernah hadir sekali, lalu Ibu
Mega tidak pernah hadir, ini mungkin perlu juga bagaimana supaya mungkin juga dari segi
protokolernya kehadiran beliau itu ada di situ.
Kemudian menyangkut kami bicara secara global dulu, Pak, nanti bisa dari teknisnya, kalau
kita bicara soal kewenangan yang dimiliki dalam Undang-Undang Dasar 1945 atau mungkin lembaga
yang disebutkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 ada Komisi Yudisial, kebetulan di sini ada teman
kami dari Komisi Yudisial, yang tidak disejajarkan dengan pimpinan-pimpinan lembaga negara yang
ada, dia menempati posisi di bawah mantan, disetarakan dengan para wakil lembaga-lembaga
negara, tidak disetarakan dengan ketua lembaga negara. Kemudian mungkin ini kalau kita lihat
berdasarkan ada beberapa bisa karena kelahirannya, bisa disebut duluan dalam Undang-Undang
Dasar 1945, bisa karena fungsinya, mungkin Komisi Yudisial itu ada setelah Mahkamah Agung atau
kalau dilihat dari fungsinya berdasarkan kelahirannya dia ada di bawah Badan Pemeriksa Keuangan,
sehingga menempati posisi huruf i.
ARSIP D
PR RI
5
Kemudian ada tadi pesan dari Pimpinan, masalah kemungkinan MPR, DPR, dan DPD itu
adalah kolektif kolegial, jadi ada pesan supaya disetarakan. Tetapi sempat saya menjawab sambil
guyon “tunjangan Bapak dengan Ketua kan beda berarti memang ada perbedaan status”, jadi tidak
setuju kalau harus disetarakan, jadi kolektif kolegial itu harus duduk bersama-sama, padahal yang
mewakili adalah Ketua kalau dalam satu event tertentu walaupun kemudian wakilnya bisa ditugaskan
oleh Ketua untuk menggantikan.
Maka berikutnya dalam hal kehadiran protokoler itu mestinya tidak hanya dalam upacara
tetapi juga dalam hal kehadiran ke daerah atau kunjungan kerja ke daerah, jadi tidak hanya protokoler
semata-mata dalam upacara kenegaraan atau upacara di daerah, tetapi ketika kunjungan kerja juga
ke daerah mereka harus dapat perlakuan protokoler, misalnya dengan penyediaan jemputan atau
kendaraan sehingga dalam beberapa hal kejadian Pimpinan MPR ke daerah itu harus sewa mobil
sendiri, tidak disediakan oleh Pemda sebagai cost di sana, sebagai tuan rumah, tetapi Pimpinan MPR
melalui Sekretariat harus mencari mobil dan menyewa mobil sendiri, sehingga dengan demikian
mestinya protokol itu tidak hanya semata-mata ada di dalam upacara baik itu di Jakarta, di pusat
maupun di provinsi atau kabupaten.
Untuk sementara demikian,Pak, dari kami, nanti kami berikan tertulisnya.
Terima kasih.
KETUA RAPAT:
Baik, secara berurutan kami berikan waktu untuk Saudara dari Mahkamah Agung,
disampaikan.
SUBAGIO (KEPALA BADAN URUSAN ADM. MAHKAMAH AGUNG):
Terima kasih.
Assalaamu'alaikum Warrahmatullaahi Wabarakatuh.
Selamat siang, Salam sejahtera bagi kita semua.
Pimpinan dan Anggota Dewan yang kami hormati,
Kami perkenalkan nama saya Subagio di Mahkamah Agung sebagai Kepala Badan Urusan
Administrasi. Khusus mengenai rancangan ini kami pernah diundang dari pemrakarsa atau dari
Sekneg sudah pernah dibahas dan beberapa masukan-masukan sudah kami sampaikan di sana.
Namun masih ada beberapa yang perlu menjadi pemikiran atau penyempurnaan dalam kata saja.
Salah satu yang kami perlu sampaikan yaitu di Mahkamah Agung ini pimpinan kita ada Ketua
Mahkamah Agung, ada Wakil Ketua Mahkamah Agung ada dua orang dan Ketua Muda ada 8 orang,
jadi kolegial juga. Yang tersebut dalam konsep ini baru Ketua dan Wakil Ketua, Pak. Sehingga untuk
Pasal 9 mungkin di huruf o itu perlu ditambah dengan Ketua Muda Mahkamah Agung, jadi itu
Pimpinan Mahkamah Agung.
Kemudian untuk Pasal 10, kami hanya ingin meluruskan saja di huruf d itu Ketua Pengadilan
Tinggi semua badan peradilan ini istilahnya saja, kami mohon diubah menjadi Ketua Pengadilan
Tingkat Banding dari semua lingkungan peradilan. Jadi kalau tingkat banding di pengadilan itu ada
Pengadilan Tinggi, ada Pengadilan Tinggi Agama, ada Pengadilan Tinggi Militer serta barangkali nanti
ARSIP D
PR RI
6
PTUN, ada empat lingkungan di provinsi itu. Jadi istilahnya menjadi Ketua Pengadilan Tingkat
Banding dari semua lingkungan peradilan.
Kemudian di Pasal 10 juga belum tercantum di tingkat provinsi, ini tidak dicantumkan yaitu
Wakil Ketua tadi Pengadilan Tingkat Banding, mohon juga setelah huruf e, antara huruf e dan huruf f
itu ada tambahan “Wakil Ketua Pengadilan Tingkat Banding” dari empat lingkungan peradilan.
Kemudian untuk Pasal 11 demikian juga di huruf e disebutkan “Ketua Pengadilan Semua
Badan Peradilan”, itu mohon jadi diganti menjadi “Ketua Pengadilan Tingkat Pertama dari semua
lingkungan peradilan”. Jadi istilahnya saja, kalau pengadilan tingkat pertama ada Pengadilan Negeri,
ada Pengadilan Agama, ada Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Militer. Demikian juga
setelah huruf e ada Wakil Ketua belum tercantum mohon menjadi tambahan juga “Wakil Ketua
Pengadilan Tingkat Pertama dari semua lingkungan peradilan”.
Kemudian ada catatan juga bagi kami yaitu di Pasal 23 ayat (2) “dari kelengkapan upacara
sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi …”, khusus untuk huruf c ini kadangkala di lapangan ini ada
beberapa penafsiran, di sini disebutkan penanggung jawab upacara. Jadi konotasinya kalau
penanggung jawab ini ada penanggung jawab secara keseluruhan, padahal yang dimaksud ini adalah
prawira lapangan mungkin, setingkat itu, sehingga perlu ada ditambah “penanggung jawab
pelaksanaan upacara”. Ini kalimat saja.
Yang perlu juga menjadi catatan kami selama ini untuk instansi sipil setiap upacara bendara
selalu ada Pembina dan Pemimpin Upacara, tetapi di dalam ini di semua Inspektur Upacara dan
Komandan Upacara. Ini menjadi catatan mana yang akan dibakukan karena kalau Inspektur Upacara.
Komandan Upacara ini adalah konotasinya di militer, sedangkan di sipil biasanya Pembina dan
Pemimpin Upacara. Ini apakah akan dibedakan atau akan disamakan, disatukan, mohon menjadi
catatan dari yang terhormat para Anggota Dewan.
Saya rasa itu yang sementara kami sampaikan, sedangkan tadi yang disampaikan rekan dari
MPR dalam masukan dalam rapat-rapat sebelumnya memang menggunakan pendekatannya adalah
pendekatan kekuasaan, trias politica, eksekutif, yudikatif dan legislatif. Nah inilah yang menjadi forum
utama dalam rangka penyebutan atau tata urutan nantinya di dalam protokolernya, sehingga yang
menjadi perhatian adalah pendekatan tiga kekuasaan tadi.
Terima kasih. Untuk sementara kami sampaikan.
Wassalaamu'alaikum Warrahmatullaahi Wabarakatuh.
KETUA RAPAT:
Dari Bapak Mahkamah Agung masukan, saran tadi kami mohon nanti diserahkan kepada
Sekretariat sehingga menjadi masukan buat kita karena kita nangkap agak susah karena begitu
cepat, nanti disampaikan kepada kami.
Terima kasih banyak, Pak, masukannya, kami persilahkan untuk rekan-rekan dari Mahkamah
Konstitusi, disampaikan Pak.
ARSIP D
PR RI
7
NUR SIDARTA (KARO UMUM/PLT KARO HUMAS DAN PROTOKOL MAHKAMAH
KONSTITUSI):
Terima kasih.
Assalaamu'alaikum Warrahmatullaahi Wabarakatuh.
Selamat siang, dan Salam sejahtera untuk kita semua.
Yang kami muliakan Pimpinan Panitia Khusus RUU tentang Protokol DPR RI,
Yang kami muliakan Anggota Panitia Khusus RUU tentang Protokol DPR RI, dan
Ibu/Bapak dari lembaga negara yang kami hormati, serta tamu undangan.
Pertama-tama kami ingin memperkenalkan diri, nama saya Nur Sidharta, saya Kepala Biro
Umum merangkap PLT Kepala Biro Humas dan Protokol dari Mahkamah Konstitusi, dan karena
Sekjen kami sedang ditugaskan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi sesuai dengan surat yang telah
kami sampaikan kepada Pimpinan, mohon maaf belum bisa menghadiri pertemuan pada siang hari
ini.
Kami ingin menyampaikan beberapa pertanyaan sebetulnya Bapak, pada prinsipnya RUU
yang telah kami terima draftnya ini tidak ada sesuatu yang menurut kami terlalu krusial, jadi kami pada
prinsipnya setuju, hanya ada dua pertanyaan mungkin yang ingin kami sampaikan. Yang pertama itu
senada dengan apa yang telah disampaikan oleh Wakil Sekjen dari MPR tadi, ini mengenai tata letak
Ketua Lembaga Negara pada waktu upacara Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang
dilaksanakan pada tanggal 17 Agustus mengenai tata letak, karena sejak tahun 2006 itu telah ada
semacam konvensi penempatan di dalam, mohon maaf itu kalau boleh kami katakan, di dalam kotak
yang sudah disediakan di Sekretariat Negara itu, itu adalah Presiden, Wakil Presiden beserta Ibu,
kemudian dibelakangnya itu adalah Ketua MPR, Ketua DPR, Ketua DPD, Ketua Mahkamah Agung,
Ketua Mahkamah Konstitusi dan Ketua BPK beserta Ibu, itu di dalam satu kotak yang telah
disediakan, dan itu mungkin seperti apa yang disampaikan Bapak dari Mahkamah Agung tadi
mungkin yang sesuai dengan pembagian kekuasaan berdasarkan Trias Politica tadi. Jadi mengenai
konvensi itu kami melihat belum tercantum di dalam rancangan undang-undang yang telah disusun.
Itu yang pertama. Mungkin kami ingin menyampaikan kalau itu dianggap penting mungkin bisa
dicantumkan di dalam rancangan undang-undang ini, itu yang pertama.
Yang kedua kami ingin bertanya juga sifatnya, rancangan undang-undang di halaman 12 Bab
VII mengenai Tamu Negara itu Pasal 32. Di sini disebutkan di ayat (2) “tamu negara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi tamu yang berkunjung secara resmi ke negara Indonesia yang
dilakukan oleh kepala/wakil kepala negara, kepala/wakil kepala pemerintah dan/atau menteri atau
pejabat setingkat menteri” atau bagaimana dengan tamu lembaga negara, misalnya tamu DPR atau
tamu MPR yang mempunyai posisi setingkat. Nah ini mungkin belum diatur di sini, mungkin kalau bisa
usulan kami bila diperkenankan mohon juga bisa dicantumkan mengenai lembaga negara dan
kebetulan kami pada bulan Juli nanti akan mengundang Ketua-ketua MK se-Asia dan beberapa Ketua
MK dunia untuk berkunjung ke kita ada suatu konferensi internasional. Kami juga memerlukan
ARSIP D
PR RI
8
pedoman sementara bagaimana pengakuan terhadap kepala-kepala lembaga negara yang sejenis
dari negara lain.
Itu mungkin dua pertanyaan dari kami. Atas perhatian dari Bapak/Ibu sekalian kami ucapkan
terima kasih.
Wassalaamu'alaikum Warrahmatullaahi Wabarakatuh.
KETUA RAPAT:
Baik, selanjutnya kami sampaikan kepada rekan dari Komisi Yudisial, disampaikan, Pak.
MUZAYYIN MAHBUB (SEKJEN KOMISI YUDISIAL):
Terima kasih.
Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamu'alaikum Warrahmatullaahi Wabarakatuh.
Selamat siang dan Salam sejahtera buat kita semua.
Pertama saya ingin memberikan ucapan terima kasih atas kesempatan yang diberikan
kepada kami. Perkenankan saya memperkenalkan diri nama saya Muzayyin Mahbub, saya Sekjen
Komisi Yudisial.
Pimpinan dan anggota yang kami hormati,
Saya yang pertama kali ingin menggarisbawahi apa yang disampaikan oleh Wakil Sekjen
MPR tentang tata urutan, tata tempat dan acara dimana dalam draft yang disampaikan kepada kami,
Ketua Komisi Yudisial ditempatkan bersama-sama dengan wakil ketua lembaga negara yang lain
sementara usulan dari Wakil Sekjen dari MPR kalau Ketua Komisi Yudisial selayaknya ditempatkan
diurutan sebelum mantan presiden apakah itu di huruf i ataukah mungkin di huruf yang lain tetapi
intinya adalah sejajar dengan lembaga-lembaga negara yang lain.
Kami telah membuat sebuah kajian dan oleh karena terus terang saya memang bukan ahli
hukum tata negara saya hanya ingin menyampaikan kutipan-kutipan pendapat yang menunjukan
bahwa sebenarnya Komisi Yudisial adalah merupakan lembaga negara yang juga strip/setara dengan
lembaga-lembaga negara yang lainnya. Yang pertama saya mengutip dari panduan pemasyarakatan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang dibuat oleh MPR tahun 2007
yang intinya pada panduan pemasyarakatan Undang-Undang Dasar ini disampaikan bahwa
pembentukan lembaga-lembaga baru seperti Mahkamah Konstitusi, Dewan Perwakilan Daerah,
Komisi Yudisial dan Badan Pemeriksa Keuangan yang diatur menjadi bab tersendiri dalam Undang-
Undang Dasar itu adalah merupakan wujud dari perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai cita-
cita Negara Republik Indonesia sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
Tahun 1945. Yang kedua bahwa Undang-Undang Dasar 1945, perubahan Undang-Undang Dasar
1945 perubahan Undang-Undang 1945 itu melahirkan dua lembaga baru dalam kekuasaan
kehakiman yaitu Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Saya tidak akan membacakan seluruhnya
tapi intinya bahwa dari sumber panduan pemasyarakatan yang dibuat oleh MPR ini menempatkan
Komisi Yudisial sebagai lembaga Negara yang baru hasil dari perubahan Undang-Undang Dasar
1945.
ARSIP D
PR RI
9
Yang kedua, saya ingin mengutip pendapat dari Prof. dr. Farida Indarti, beliau adalah Hakim
Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia bahwa yang pertama sebelum perubahan
Undang-undang Dasar 1945 lembaga-lembaga Negara itu terdiri dari MPR, Presiden, DPA, DPR, BPK
dan Mahkamah Agung. Sedangkan lembaga Negara setelah perubahan Undang-undang Dasar 1945
adalah yagn pertama adalah MPR, ini Pasal 2 Ayat (1), kemudian Presiden Pasal 4 Ayat (1), DPR
Pasal 19 Ayat (2), DPD Pasal 22c Ayat (3), BPK Pasal 23g Ayat (2), Mahkamah Agung Pasal 24a
Ayat (5) Komisi Yudisial. Pasal 24 Ayat (4) dan Mahkamah Konstitusi Pasal 24c Ayat (6).
Prof. Maria juga menyebutkan beberapa lembaga lainnya yang ditunjuk oleh Undang-undang
Dasar 1945 berdasarkan perubahan itu yaitu Dewan Pertimbangan Presiden Pasal 16, Menteri
Negara Pasal 27, DPRD Pasal 18 Ayat (3), gubernur bupati walikota Pasal 18 Ayat (4), KPU Pasal
22e Ayat (5) dan Bank Central Ayat (3). Tetapi beliau menegaskan bahwa ini adalah lembaga lainnya,
tapi yang disebut Lembaga Negara adalah yang 8 tadi yang kami sampaikan.
Kemudian kami juga ingin mengutip pendapat dari Prof. Mahfud MD Hakim Konstitusi yang
sekarang adalah Ketua Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimuat dalam News Letter KHN 2008,
beliau menyatakan bahwa pandangan MK bahwa KY hanyalah Supporting Institution, seperti itu dapat
diterima dalam kaitannya dengan kekuasaan kehakiman dalam arti bahwa KY bukanlah lembaga
pemegang kekuasaan kehakiman seperti MA dan MK. Tetapi dapatlah ditegaskan bahwa sebagai
lembaga pengawas eksternal kedudukan KY bukan supporting melainkan juga disebut sebagai Main
Institution. Oleh sebab itu sebagai lembaga Negara kedudukan KY tidak berada dibawah MK maupun
MA.
Kemudian Beliau juga menegaskan dalam bunga rampai Komisi Yudisial dan Reformasi
Peradilan, beliau menyampaikan bahwa dari perspektif tadi tertentu misalnya bisa benar ketika MK
mengatakan bahwa KY adalah akselari agent atau lembaga negara penunjang, karena dia merupakan
lembaga negara yang bukan pemegang kekuasaan kehakiman tetapi memiliki tugas yang berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman dan karenanya KY tidak bisa dijadikan bandul check and balances
dengan MK maupun MA. Tapi dari sisi lain bisa ditegaskan bahwa tak ada satupun ketentuan
Undang-Undang Dasar kita maupun dalam sejarah pembahasan ketika membentuk KY, bahwa KY
adalah lembaga penunjang, pendapatnya Prof. Mahfud.
Kemudian pendapatnya Prof. Abdul Gani Abdullah adalah Hakim Agung juga beliau
mengatakan bahwa kedudukan KY dalam konstitusi sudah tepat intinya seperti itu. Kemudian
pendapat Prof. DR. Gayus Lumbuun, beliau adalah Anggota DPR yang dimuat dalam buletin KY.
Beliau mengatakan bahwa pada sisi kekuasaan yudikatif Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan 3
lembaga yang terkait pelaksanaan kekuasaan ini yudikatif yaitu MA, MK dan KY. Ketika lembaga
negara dalam kamar kekuasaan yudikatif tersebut, kekuasaan dan wewenangnya diatur dalam
Undang-Undang tersendiri.
Kemudian yang penting lagi adalah pendapat Prof. DR. Taufik Sri Sumantri, SH, ini dimuat
dalam bunga rampai refleksi satu tahun KY. Beliau mengatakan bahwa lembaga negara adalah badan
yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
ARSIP D
PR RI
10
Dasar. Badan apa saja yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar adalah lembaga
negara. Beliau mengacu pada pasal 24 c Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur tentang
Mahkamah Konstitusi yang mengatakan bahwa lembaga negara adalah saya kutip langsung
pasalnya, Pasal 24 c disini disebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan tingkat terakhir yang putusannya bersifat final dan menguji Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar, mohon maaf 24 c ya. Memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai
politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Berdasarkan Pasal 24 c ini Prof.
Sumantri mengatakan bahwa oleh karena itu maka lembaga-lembaga negara yang disebut
berdasarkan Pasal 24 c itu adalah MPR, DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, MA, MK, KY dan
BPK. Badan-badan tersebut merupakan badan negara didasarkan Pasal 24 c ayat (1) tentang
Mahkamah Konstitusi.
Beliau juga menyatakan bahwa setelah perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945
tidak ada lagi lembaga tertinggi dan lembaga tinggi. Kedudukan lembaga-lembaga negara
berdasarkan tugas dan wewenangnya. Dengan demikian KY dan ketujuh lembaga lainnya kedudukan
sederajat, ini pendapat dari Prof. DR. Sri Sumantri.
Kemudian ada pendapatnya Bapak Tri juga senada, kemudian bahkan ada pendapat dari DR.
Bunyamin Alamsyah dalam disertasinya tentang kedudukan dan struktur dalam disertasinya yang
berjudul kedudukan Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraan Indonesia yang menyatakan
beliau membuat bagan dimana semua lembaga negara ini adalah sejajar dan beliau juga menyitir
pendapatnya dari Prof. Mahfud bahwa KY tidak ada alasan KY diletakan sebagai lembaga penunjang.
Saya juga ingin menyampaikan pendapat dari Majelis Pakar ICM ketika mengekseminasi
putusan MK yang menyatakan bahwa kedudukan MK. MK dan KY adalah sama sebagai lembaga
negara karena memiliki kewenangan atribusi menurut Undang-Undang Dasar 1945. Disamping
pendapat-pendapat tersebut saya ingin menyampaikan hal-hal yang bersifat faktual. Seperti Bapak
Ibu ketahui bahwa akhir-akhir ini sering diadakan forum komunikasi antar lembaga negara, dalam
forum komunikasi itu Komisi Yudisial selalu diundang sehingga ketika forum itu berlangsung yang
hadir pasti adalah Ketua DPR, Ketua DPD, Ketua MA, Ketua MK, Ketua KY dan Ketua BPK serta
Presiden. Terakhir pertemuan diselenggarakan beberapa hari yang lalu di hotel Dharmawangsa.
Kemudian saya ingin menyampaikan tentang beberapa ketentuan hukum, yang pertama
adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Pasal 2 disebutkan bahwa
KY merupakan lembaga negara bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan kewenangannya bebas dari
campur tangan atau pengaruh ke pasal. Pasal 6 Ayat (2) dikatakan bahwa Anggota KY adalah
Pejabat Negara, kemudian Pasal 8 nya dikatakan bahwa kedudukan protokoler dan hak keuangan
Ketua dan Wakil Ketua dan Anggota Komisi Yudisial diberlakukan Peraturan Perundang-Undangan
bagi pejabat negara.
ARSIP D
PR RI
11
Kemudian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dimana mengisyaratkan bahwa dalam
beberapa pasal disitu mengisyaratkan bahwa MA dan KY posisinya adalah sejajar.
Kemudian yang terakhir yang lebih penting lagi adalah perlu kami sampaikan adalah
Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2009 tentang hak keuangan administratif bagi Ketua, Wakil
Ketua, dan Anggota Komisi Yudisial serta mantan Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Komisi Yudisial
beserta janda dan dudanya antara lain diputuskan bahwa hak keuangan administratif Ketua, Wakil
Ketua dan Anggota Komisi Yudisial adalah sama dengan hak keuangan atau administratif bagi Ketua,
Wakil Ketua dan Hakim Anggota pada Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 12 tahun 1980. Jadi hak-hak keuangan yang selama ini diterima oleh Ketua Anggota Komisi
Yudisial adalah sama dengan hak-hak keuangan yang diterimakan kepada Ketua MA dan Hakim
Agung.
Saya kira itu beberapa hal yang ingin kami sampaikan untuk mendukung apa yang
disampaikan oleh Wakil Sekjen MPR. Terima kasih.
Wassalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh.
KETUA RAPAT:
Baik, terima kasih penjelasan dari Bapak Muzayyin Mahmud, Bapak Sidharta, kemudian
Bapak Subagyo, maupun Bapak Siregar cukup memberikan gambaran kepada kita sekalian. Oleh
karena itu saya garis bawahi apa yang disampaikan oleh Bapak Mahmud, yang pertama beliau
menginginkan bahwa hakim ditempatkan sejajar dengan lembaga tinggi Negara yang lain. Ini
diperkuat dengan pendapat pandangan dari para pakar. Kemudian dari Pak Sidharta beliau ingin
menanyakan tentang tata tempat bagi ketua lembaga dalam menghadiri kegiatan HUT Republik
Indonesia sesuai dengan konvensi yang berlaku. Kemudian yang mengkait dengan perlakuan
terhadap tamu lembaga Negara yang datang ke Republik Indonesia ini. Kemudian yang disampaikan
oleh Bapak Subagio yaitu beliau pada prinsipnya sependapat, setuju dan perlu ini diundangkan, beliau
hanya mengkoreksi dari redaksional yaitu tentang penempatan Ketua Muda yang jumlahnya 8 orang
kemudian perubahan-perubahan sedikit di pasal-pasal mulai Pasal 10 berturut-turut sampai dengan
ke Pasal 11 berturut ke bawah. Wakil Ketua ditingkat I disemua unit peradilan, ini yang kedua.
Kemudian yang ketiga, supaya tidak terkooptasi bahwa upacara hanya Irup dengan Danhup,
apakah Pembina dan Pimpinan perlu dimasukan karena di draft yang ada belum dicantumkan hal
tersebut.
Kemudian dari Bapak Siregar beliau menyampaikan tentang yang terundang mantan-mantan
pejabat Negara apakah Presiden, Wakil Presiden beliau minta ini perlakuannya sebagaimana. Oleh
karena itu untuk mempersingkat waktu karena kita dibatasi sampai pukul 15.00 WIB tentunya kita
perlu tanggapan dari rekan-rekan sekalian.
Kami lemparkan kepada floor, kepada rekan-rekan sekalian untuk menanggapi hal ini. waktu
tolong dibatasi karena kita pukul 15.00 harus jeda.
ARSIP D
PR RI
12
F-PD (RUSMINIATI, SH):
Terima kasih.
Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh.
Terima kasih Bapak Pimpinan serta teman-teman dari Pansus RUU Protokol
Dan para tamu yang saya hormati,
Disini saya ingin menanyakan kepada beberapa lembaga mungkin bisa dijawab untuk ada
selama ini yang terjadi di masing-masing di MPR, KY, MA dan Mahkamah Konstitusi, apakah dalam
acara kenegaraan atau resmi yang merupakan, yang misalnya MPR menjadi tuan rumah itu tata
urutannya bagaimana apakah Presiden dan Wakil Presiden, mantan Presiden atau mantan Wakil
Presiden hadir dan semua Lembaga Negara itu hadir, dan tempat kedudukannya dimana dan
biayanya itu dari mana. Apakah ada pos tersendiri untuk menyelenggarakan upacara resmi
kenegaraan atau upacara resmi kenegaraan itu apakah ada pos tersendiri untuk pembiayaan
tersebut.
Terima kasih.
Wassalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh.
F-PD (DRS. GUNTUR SASONO, MSi):
Langsung ini Pak Ketua, terima kasih Bapak Pimpinan.
Teman-teman Anggota Pansus yang saya hormati,
Dan Bapak-Bapak narasumber yang saya hormati,
Yang pertama kami ingin mendapatkan penjelasan dari Mahkamah Konstitusi, Bapak ini yang
bisa menggagalkan undang-undang supaya nanti undang-undang ini kalau sudah kita selesaikan
tidak Bapak patahkan, mumpung hadir saya akan bertanya Pak. Di dalam tata tempat ini memang
Mahkamah Agung pada posisi yang diatas, kemudian Mahkamah Konstitusi berada di bawahnya. Jadi
kalau urutan kursinya bisa diatur dari depan ke belakang mungkin Mahkamah Konstitusi di
belakangnya Mahkamah Agung, begitu kalau dari depan ke belakang. Tetapi sekali lagi mengenai
urutan kursi saya kira tidak terlalu harus rigit karena ini pengaruh situasi lapangan. Namun satu sisi
kita mengetahui secara histori Mahkamah Agung ini di beberapa Negara memang lebih senior namun
secara kewenangan, maaf Mahkamah Agung lebih senior maka Mahkamah Konstitusi ini secara
kewenangan mengadili daripada institusi-insitusi.
Perdebatan kemarin memang cukup sengit mana yang lebih didahulukan antara Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi ini, mumpung Bapak ada dan dihadapan Mahkamah Agung kira-kira
apakah draft seperti ini sudah bisa diterima oleh Mahkamah Konstitusi supaya nanti tidak digagalkan
di sana.
Yang kedua, draft RUU ini memang semangatnya adalah pada penguatan demokrasi, saya
hanya ingin pendapat Bapak dari sisi hukumnya saja. Ada masalah-masalah misalnya penempatan
ketua partai, itu harus lebih didahulukan daripada Anggota DPR atau bagaimana karena sesuai
dengan amanat presiden kemarin titipannya itu ada tiga, satu kita tidak meninggalkan adat, etika,
sopan santun. Yang kedua, protokoler secara nasional maupun internasional, dan yang ketiga adalah
ARSIP D
PR RI
13
tidak melupakan masalah-masalah penghormatan. Keberadaan Anggota Dewan adalah merupakan
output daripada ketua partai politik. Disini terjadi suatu diskusi kemarin yang cukup menajam. Ini saya
mohon kiranya dari sisi hukum yang kami mohonkan dari Bapak. Terima kasih.
F-PG (MURAD U. NASIR, MSi):
Terima kasih Pimpinan.
Para Anggota Pansus yang saya hormati,
Dan para narasumber yang saya banggakan,
Ini kepada semua saja baik MPR RI, Komisi Yudisial, MA dan MK, dari pengalaman Bapak-
Bapak di dalam melaksanakan berbagai hal yang berkaitan dengan protokol kira-kira menurut
pemahaman dan pengalaman tersebut apa yang paling prinsip yang harus masuk ke dalam RUU ini
selain hal tadi yang diungkapkan yang selama ini agak terabaikan, yang selama ini mungkin agak
tidak dihargai. Ini berkaitan dengan upaya tadi disampaikan oleh anggota lain bagaimana kita
mendapatkan semacam kepastian protokoler dan tentu juga ingin memperkuat hal-hal yang berkaitan
melalui anggaran terdahulu yang berkaitan jika ada suatu yang diadakan berkaitan dengan aturan-
aturan protokoler ini terus dia bersinggungan dengan masalah anggaran misalnya, apakah ada
terbersit terpikir bahwa anggaran tersebut harus secara khusus disitu atau dia nebeng di tempat yang
lain. Karena kita berpikir bagaimana Undang-undang Protokol ini kita bakukan punya aturan-aturan
yang baik secara standar nasional maupun internasional tapi kemudian kalau tidak ditunjang secara
otonom anggarannya mungkin akan kesulitan dalam hal-hal tertentu. Ini mohon pendapat
pertimbangan dan mendapatkan pandangan dari Bapak-Bapak yang sudah melaksanakan kegiatan
keprotokolan. Terima kasih.
KETUA RAPAT:
Lanjutkan.
F- PDI PERJUANGAN (HELMI FAUZI):
Baik, terima kasih Pimpinan.
Saya mohon penjelasan atau saran pertimbangan dari narasumber yang berkaitan masalah
tempat duduk. Persoalannya seperti ringan tapi kadang-kadang bermasalah, itu yang namanya
tempat duduk itu di tempat upacara lay out itu kadang-kadang bisa satu blok, dua blok, kadang tiga
blok. Masalah tempat duduk yang ideal apakah bersaff atau berbanjar ke belakang. Karena disini
berurutan, ini pertimbangannya seperti apa, mohon saran ini. disini berurutan, urutan ke samping atau
ke belakang karena blok tadi.
Kemudian ini menyangkut tata hubungan, yang kadang-kadang ini bisa berkelahi antara
protokoler jika penyelenggaraannya di daerah. Penyelenggara protocol di daerah kabupaten/kota
ataupun di tingkat provinsi itu sudah merencanakan sedemikian rupa, tapi kemudian datang
penyelenggara protokoler dari tingkat pusat. Ini kadang-kadang berubah semuanya, ini apakah perlu
diatur dalam pasal tata hubungan penyelenggara protokoler tingkat pusat dan daerah, apakah perlu
diatur dalam sebuah pasal.
ARSIP D
PR RI
14
Kemudian yang berkaitan dengan masalah anggaran, anggaran itu kadang-kadang kalau dari
pusat itu inginnya ini sekian orang datang sekian hari sebelumnya macam-macam sehingga ini
merupakan beban-beban APBD. Apakah tidak perlu juga diatur, tentang masalah anggaran ini.
kadang-kadang itu misalkan dari pusat datang 50 orang, 30 orang minta hotel ini, sementara daerah
juga APBDnya dari mana anggarannya, apakah juga perlu diatur disini bahkan jangan-jangan
bermasalah berhadapan dengan BPK dengan pemeriksa, ini tamu apa dan sebagainya. Ini barangkali
ada pintu masuk untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tadi mulai tata hubungan penyelenggaran
protocol pusat dan daerah sampai kepada anggaran. Ini barangkali pandangan-pandangan yang perlu
dimasukan disini atau barangkali saran, pendapat dan sebagainya.
Terima kasih.
KETUA RAPAT:
Lanjut.
F- PDI PERJUANGAN (BUDIMAN SUDJATMIKO, M.Sc.,M.Phil):
Terima kasih Pimpinan.
Saya sedikit saja, pada dasarnya dalam memperlakukan Pejabat Negara tentu ada aturan-
aturan tersendiri, kita tidak perlu berbicara dalam soal upacara resmi kenegaraan yang memang pasti
akan kita atur lebih mudah tanpa ada kontroversi. Tapi bagaimana misalnya ada sebuah forum yang
kita anggap itu sebenarnya tidak diatur atau cukup ganjil dari perspektif tata Negara, contoh pada
waktu Presiden memanggil pimpinan-pimpinan lembaga Negara di Istana Bogor yang dengan
temanya…(Tidak jelas)….ada pertemuan seperti itu. Itu dari aspek dan perspektif ketata negaraan itu
ganjil. Bagaimana protokol akan mengatur kearah sana, apakah itu harus diperlakukan sebagai
pertemuan antara pimpinan lembaga tinggi Negara ataukah misalnya contoh kehadiran Ketua DPR
yang itu tidak representing lembaga, bahwa misalnya Marzuki misalnya tentu saja orang terhormat,
bagaimana tata aturannya seperti itu. Jadi aspek politis dari segi protokolnya, kalau dia
memperlakukan Pak Marzuki sebagai Pimpinan DPR misalnya. Padahal prosedur misalnya itu masih
jadi kontroversial, prosedur kehadiran beliau misalnya seperti itu, bagaimana soal protokoler ini
menurut Bapak-bapak mengaturnya terhadap problem-problem politis dibalik itu.
Terima kasih.
F- PD (HJ. HIMMATULLAH ALYAH SETIAWATY, SH., MH):
Terima kasih Pimpinan.
Saya mungkin mempertegas dan menambahkan sedikit dari rekan-rekan yang pada
prinsipnya tujuan dari protokol itu adalah seperti tata tempat atau upacara tapi dalam pelaksanaannya
mungkin saya mohon masukan dari yang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, artinya begini
kalau untuk upacara kenegaraan dan ada juga upacara resmi selama ini adalah yang bakunya dan itu
sampai kepada provinsi karena contohnya saya baru saja menghadiri acara yang dihadiri oleh Ibu
Negara kemudian dari DPR mendapatkan undangan. Karena saya dari mengikuti undang-undang ini
kami pikir undangan itu resmi karena ada namanya, ada judulnya tentunya tata letak seperti yang
diatur di dalam undang-undang ini berlaku. Tapi yang terjadi adalah seperti yang disampaikan Bapak
ARSIP D
PR RI
15
tadi hampir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan karena baik tata letak yang disampaikan dalam
undang-undang ini sebagai hasil yang baik itu tidak terlihat dimana letaknya misalkan di provinsi,
gubernur dimana karena Ibu Negara tentunya walikota yang mempunyai acara itu harusnya ada
disebelahnya, artinya bukan untuk penghormatan saja tapi paling tidak Ibu Negara bisa
berkomunikasi. Jadi saya lebih kepada implementasinya ternyata Undang-Undang Protokol ini sudah
ada dari tahun 1987 tapi hal-hal yang kecil itu terjadi kesalahan yang berkali-kali dan itupun dilakukan
oleh protokoler provinsi, artinya walikota atau gubernur. Jadi mungkin kalau ini nanti digulirkan yang
baru jadi perlu sosialisasi atau pembakuan yang undang-undangnya tidak terlalu menjelimet tapi tidak
dilaksanakan, terima kasih.
Wabillahit Taufiq Wal Hidayah
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
KETUA RAPAT:
Baik, kami merujuk ke sebelah kanan.
F- PG (DRS. H. MURAD U. NASIR, M.Si):
Terima kasih Pimpinan.
Para tamu yang kami hormati narasumber,
Undang-Undang yang mengatur tentang tata tempat, tata upacara maupun tata
penghormatan adalah satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan. Substansi materi ini saling
komplementer tapi ada hal yang dalam perdebatan sering terjadi perlu penguatan yuridisnya, contoh
begini kalau ada upacara di daerah siapa yang mesti mendampangi Presiden misalnya ada upayakan
dilaksanakan secara nasional di daerah misalnya hari keluarga nasional tapi tempatnya di sebuah
daerah kabupaten. Pada waktu Presiden ada biasanya di daerah yang mestinya mendampingi itu
Kepala Daerah Kabupaten setempat sebab apabila ada hal-hal yang diinginkan oleh Presiden yang
langsung mengetahui daerah setempat adalah Bupati Kepala Daerah, ternyata yang mendampingi
adalah Gubernur. Kira-kira bagaimana yang sebaiknya menurut kacamata hukum supaya pengaturan
dalam undang-undang ini tidak akan terjadi suatu hal yang rancu. Saya kira itu Pak, terima kasih.
KETUA RAPAT:
Sampaikan berturut-turut kanan.
F.PG (ADITYA ANUGRAH MOHA, S.Ked):
Terima kasih Pimpinan.
Narasumber yang kami hormati,
Saya terutama melihat dari acuan dan tentunya dari kompare dengan negara-negara lain
dimana tata keprotokolerannya diatur juga tata tempat, tata upacara yang dimana disitu dihargai
tempat-tempat mantan-mantan daripada lembaga-lembaga yang ada misalnya di Australia itu mantan
Mahkamah Agungnya diberikan satu kursi, disini saya tanyakan kepada Mahkamah Konstitusi,
Mahkamah Agung, Komisi Yudisial apakah itu pernah atau akan diatur, ini pertama.
Yang kedua, ini adalah menyangkut konsekuensi daripada pembiayaan dimana ketika aturan
maupun tata pelaksanaan daripada acara keprotokoleran ini dilaksanakan ini menyangkut tentang
ARSIP D
PR RI
16
sanksi apakah menurut Bapak-Bapak ini penting untuk diperhatikan menyangkut dnegan konsekuensi
pembiayaan tadi. Dan yang ketiga saya melihat dari aspek landasan sosiologis kita dimana ada
daerah-daerah otonom khusus seperti Aceh yang sangat-sangat signifikan diatur dalam gerakan pola
dari hal-hal yang menyangkut budaya sampai kepada adat istiadat. Disini apakah menurut Bapak
tidak adakah suatu ganjalan baik itu secara frame undang-undang dengan otonomi daerah itu sendiri
ketika ini diatur dalam protokolerannya dan mereka daerah mempunyai keutamaan dan keistimewaan
tersendiri, mungkin seperti itu. Terima kasih Pimpinan.
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
F - PPP (DRS. H. ZAINUT TAUHID SA’ADI, M.Si):
Terima kasih Pimpinan.
Bapak dan Ibu Anggota Pansus yang saya hormati,
Para tamu undangan yang sangat saya muliakan.
Terima kasih yang setinggi-tingginya kami sampaikan kepada Bapak-Bapak yang pada hari
ini memberikan masukan-masukan untuk pendalaman Pansus protokoler ini. Ada beberapa halyang
mungkin akan saya dalami, yang pertama memang rancangan yang disusun oleh Baleg tentang
Undang-Undang Protokol ini, itu hanya melingkupi tata tempat, tata upacara, dan tata penghormatan.
Kalau tadi misalnya ada dari Bapak yang mengatakan bagaimana kalau misalnya itu juga menyangkut
hal-hal yang lain seperti tadi dari MPR mengatakan tentang penjemputan pimpinan misalnya. Memang
disini tidak diatur, apa mungkin belum diatur, tapi menurut saya memang tidak diatur untuk hal-hal
seperti itu, mungkin barangkali nanti ada usulan-usulan yang sekiranya bisa kami akomodasikan di
dalam draft ini, kami ingin mendapatkan bagaimana bentuk rumusannya.
Yang kedua tentang kepemimpinan lembaga itu kolektif kolegial, saya kira didalam urutan tata
tempat yang coba dirumuskan oleh Baleg ini sudah mencerminkan tentang semangat draft politika.
Hanya tadi persoalannya ada bagaimana posisi Wakil-wakil Ketua yang dia merupakan satu kesatuan
dari pimpinan. Memang disini dipisahkan posisi Wakil Ketua, Wkil-wakil Ketua kalau didalam tata
tempat untuk acara kenegaraan pada tingkat pusat itu pada butir m misalnya itu semua Wakil-wakil
Ketua diakomodasikan disitu. Persoalannya ada yang menanyakan kenapa dibawahnya mantan
presiden dan juga perintis kemerdekaan, saya kira hal itu menurut saya kita sudah mencoba mengkaji
di beberapa ketentuan protokol di beberapa negara yang lain, ketentuannya kelihatannya seperti itu.
Kemudian tentang kolektif kolegialnya itu juga diakomodasikan didalam Pasal 17. Ketika
pejabat negara itu berhalangan hadir otomatis pejabat yang dia mendapatkan mandat dari pimpinan
itu dia akan menempati tempat yang seharusnya ditempati oleh ketua itu. Jadi disinilah sesungguhnya
semangat kolektif kolegial itu muncul di situ.
Kemudian ada pertanyaan bagaimana tentang kalau misalnya lembaga-lembaga negara itu
menyelenggarakan kegiatannya misalnya mengundang tamu undangan, itu juga sudah
diakomodasikan di Pasal 19. Pasal 19 itu sepenuhnya diserahkan oleh masing-masing lembaga
negara yang bersangkutan tentunya mengacu ketentuan undang-undang yang akan kita rumuskan ini.
untuk itulah kami berharap dari Bapak-Bapak semua yang ada disini untuk memberikan masukan-
ARSIP D
PR RI
17
masukan yang kami sangat perlukan itu. Posisi MA terhadap MK, kemudian MK terhadap KY ini kami
diskusikan luar biasa Pak dan memang cukup alot. Bahwa cukup tegang juga, Bang Ruhut bisa
menjadi saksi disitu bagaimana Beliau berdebat keras dengan ketua misalnya, bahkan beliau
mendukung dan saya kira ini memang tapi kalau misalnya ada masukan-masukan yang lebih menarik
barangkali juga akan diakomodasikan. Saya kira begitu, terima kasih Pimpinan.
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
KETUA RAPAT:
Mengingat waktu yang sangat terbatas, dengan waktu 30 menit.
F- PD (HJ. HIMMATULLAH ALYAH SETIAWATY, SH., MH):
Ijin meninggalkan ruangan ketua karena saya harus berangkat ke Riau.
KETUA RAPAT:
Mungkin masih ada lagi dari rekan-rekan yang baru datang yang pada posisi belakang,
sampaikan silakan Pak singkat.
F- PARTAI GERINDRA (DRS. H. HARUN AL-RASYID, M.Si):
Terima kasih.
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Ada titipan ini, kalau kita masuk di bandara airport tanda-tanda kita itu tidak berlaku walaupun
dikatakan DPR, MPR, tapi kalau tidak Angkasapura tidak laku. Tapi kalau yang bangsa tahok ini
keturunannya itu cepat dilayani, mungkin dikasih duit duluan barangkali, ini sekedar ilustrasi.
Yang kedua, kalau seumpamanya para Anggota itu selain dari Ketua dan Wakil Ketua dan
datang per Anggota lain dalam undangan itu sedangkan deretan yang pertama itu ketua-ketua atau
wakil, duduknya dimana, apa deret belakang sedang kursinya sudah terbatas. Ini juga perlu
dipertimbangkan kalau pada saat datang itu sudah ditambah atau bagaimana, atau konfirmasi dulu
kehadirannya, ini juga yang melihat daripada kenyataan mereka itu kadang-kadang lebih penting
Ketua dan Wakil Ketua, yang lainnya ya termasuk juga anggota DPR itu barangkali perlu diatur
didalam pelaksanaan protokol.
Terima kasih.
KETUA RAPAT:
Lanjut.
F- PD (RUHUT SITOMPUL, SH):
Terima kasih Pimpinan.
Saya rasa karena apapun narasumber equal sama, saya rasa permintaan daripada Komisi
Yudisial perlu kita perhatikan Pak, apalagi memang dasar hukumnya sangat kuat tadi dengan
literaturnya. Saya rasa posisinya sama dengan ketiga mahkamah karena apapun Komisi Yudisialnya
ini bentuknya juga kita tahu pengawasan. Jadi saya mendukung apa yang disampaikan oleh Sekjen
Komisi Yudisial, terima kasih.
KETUA RAPAT:
Baik, forum selanjutnya kami mintakan kepada, ada terakhir satu menit Pak.
ARSIP D
PR RI
18
F- PDI PERJUANGAN (HELMY FAUZI):
Terima kasih Pimpinan.
Helmy Fauzi Fraksi PDI Perjuangan.
Tadi telah dibahas menyangkut soal tata tempat, tata upacara dan tata penghormatan. Ini
barangkali perlu juga kita menyinggung sedikit soal tata iring-iringan Pak, karena seringkali dalam
persaoalan itu penempatan dalam iring-iringan ini praktek pengalaman berkali-kali ketika kemudian
ada upacara penyambutan di airport kemudian menuju suatu tempat lokasi, ini rangkaian ini perlu
dipertegas protokol ini seperti apa. Seringkali mungkin Anggota Dewan menjadi tidak jelas harus
berada di tempat dimana di rangkaian ini. Ini saya pikir yang perlu juga kita singgung juga disini dalam
tata iring-iringan, terima kasih.
F- PG (H. ANDI RIO IDRIS PADJALANGI, SH., M.Kn):
Terima kasih Pimpinan.
Ini mungkin pengalaman saja mungkin Pimpinan masalah tata tempat duduk. Jadi mungkin
perlu sosialisasi karena sampai di daerah juga Kabupaten saya mengalami kemarin waktu saya ke
kampung, ini protokolnya Pemda dengan protokolnya Kabupaten berantem gara-gara tempat duduk
saya. Tapi saya tidak, saya tidak minta tempat duduk, tidak pernah sama sekali untuk duduk di depan.
Jadi protokolnya Pemda ini memberikan tempat duduk saya di belakang sekali dan di depan itu
Gubernur, Anggota DPRD tingkat I, terus Ketua DPRD Tingkat I, Sekda Tingkat I, saya duduk
dibarisan ketiga, itu keinginan daripada Pemda Tingkat II, akhirnya Tingkat I marah-marah
protokolnya, ini tidak boleh, ini karena dibilang ini mengatakan ini pejabat negara. Saya juga tidak lihat
waktu itu, tapi setelah acara baru diberitahu bahwa ada kejadian begini, akhirnya tempat duduk saya,
saya tahu bahwa ini tempat duduk saya, saya memang tidak mau duduk didepan situ, terus terang
saja karena apa, karena yang duduk di depan sini adalah orangtua saya semua. Saya kalau ada
acara yang sifatnya silahturahmi saya tidak mau duduk di depan, karena saya berpikir ini adalah
orangtua saya. Saya mengatakan bahwa saya adalah anak, tapi kalau hal kenegaraan hal-hal yang
berbau protokol saya tetap minta didepan. Ini tapi disini dua karena ini peresmian mesjid, jadi ini
sedikit curhat saya dalam arti ini perlu disosialisasikan sampai ke bawah. Mungkin itu yang pertama.
Yang kedua adalah apa yang disampaikan oleh teman-teman, contoh lagi yang kedua dalam
hal mobil. Lambang negara, lambang DPR yang didalam yang ada di mobil Anggota DPR RI yang
dipasang, ini saya tidak tahu keistimewaan apa ini kita dikasih lambang itu. saya terus terang saja
bingung, saya maunya lambang itu ada fungsinya, kalau ada lahan three in one. Yang kedua mungkin
kalau lajur ambil kiri kita bebas macet, ini nanti ditangkap juga kita. Apa gunanya lambang itu, itulah
yang mungkin sedikit. Sekian, terima kasih.
H. TB. SOENMANDJAJA, SD ( WAKIL KETUA / F.PKS)
Baik, Pimpinan dan Anggota Pansus yang terhormat.
Dan Para undangan yang kami muliakan,
Para narasumber dari lembaga-lembaga negara lainnya,
ARSIP D
PR RI
19
Yang pertama tadi sudah kita simak bersama adanya pandangan usul, saran juga pertanyaan
dari Anggota Pansus kepada para narasumber. Yang kedua juga kita melihat tampaknya ada
penggunaan naskah yang berbeda pasti tampaknya begitu. Tapi mengingatkan dari meja pimpinan
sesungguhnya naskah yang kita pergunakan sebagaimana Supres adalah yang lembar ini, tapi
memang juga beredar lembar yang seperti kita itu pendampingan seperti tim ini, jadi yang benar
adalah inikan kajian awal-awal ya Pak jadi yang resmi ini. ini Pak Budiman, sudah dapat ini. inikan
lampiran Supres ya Pak, Surat Presiden disertakan jadi wajar saja dari Mahkamah Agung tadi Bapak
menyampaikan berbeda mungkin disimak dari yang disini begitu ya Pak, tapi Bapak menggunakan
sumber yang sama kalau para tamu diantara anggota maksud saya ada yang menggunakan sumber
yang lainnya. Ini kadang-kadang kedapatan begitu Pak, ada sumber resmi dan sumber tidak resmi.
Kemudian sesungguhnya sampai saat inikan Undang-Undang Nomor 8 yang menjadi acuan
protokol kita tahun 1987 itu masih digunakan sebagaimana mestinya. Namun demikian kami menginfo
juga kepada Bapak-Bapak yang terhormat dari lembaga negara lainnya yang memang apabila ada
komunikasi dengan lembaga asing lainnya Pak itu perlu kita tanyakan juga kepada beliau-beliau
apakah mereka memiliki tata protokoler itu di luar negeri. kalau itu punya tentu harus disesuaikan.
Biasanya lazimnya protokol itu adalah menggunakan tata krama yang digunakan oleh tamu selama
tidak mengacaukan kegiatan protokol dalam negeri saya kira, itu yang pertama.
Demikian juga seperti Pak Siregar contohkan tadi ketika MPR mempunyai protokol sendiri
untuk digunakan diseluruh wilayah Republik Indonesia ini, ini juga tentu kan harus dikomunikasikan
dengan teman-teman dimana Bapak Pimpinan MPR berkunjung ke sana. Diharapkan dengan adanya
Undang-Undang Protokol yang baru ini Pak bisa kita integrasikan, barangkali bahwa peristiwa
pembahasan tentang integritas sistem Pak itu bisa menjadi inspirasi katakan dengan adanya
perubahan Undang-Undang Dasar sehingga kedudukan lembaga-lembaga negara itu dalam konteks
protokoler bisa kita satu padukan dengan Undang-Undang yang akan datang ini.
Oleh karena itu kami menghimbau khususnya kepada para tamu, dapat kiranya seandainya
ada usulan menyusul atau pandangan-pandangan yang berkembang hendak direspon kami mohon
disampaikan secara tertulis dan nanti akan menjadi bahan penyempurna untuk kami melaksanakan
rapat selanjutnya dengan pihak Pemerintah.
Saya kira pandangan-pandangan kami Ketua, berkaitan dengan diskusi kita sore hari ini bisa
dicukupkan sekian dan saya kembalikan kepada Ketua.
Terima kasih.
DRS. TAUFIQ HIDAYAT, M.Si ( WAKIL KETUA / F.PG )
Terima kasih.
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Salam sejahtera bagi kita semua
Memang kesan pertama ketika mau membahas undang-undang ini adalah undang-undang
yang sangat teknis dan lebih berat pada persoalan manner menempatkan pejabat, menempatkan
aturan hubungan antara yang dilayani dan yang dilayani. Sebenarnya bagi kita sebagian barangkali
ARSIP D
PR RI
20
mungkin pengaturan yang terlalu menjelimet itu juga sebuah persoalan, bagi kita juga sebagian akan
mengatakan iya kita tidak akan mati tanpa protokoler seperti ini. Apalagi Pak Budiman ini harus tiap
hari, ketika misalnya ke daerah harus didampingi protokol ke sana ke mari gitu, apalagi kalau malam
hari apa didampingi protokol semua. Tidak, ini saya kira sesuatu yang menurut saya juga kalau over
regulated itu juga tidak baik dan bagi kita misalnya sebagai Anggota DPR adalah seringkali menjadi
pihak yang dilayani mungkin tidak terasa berat, tetapi yang melayani tentu akan merasa berat gitu,
oleh karena itu satu hal yang perlu dipegang dalam membuat regulasi ini adalah bagaimana aturan ini
tidak terlalu memberatkan orang yang terkena kewajiban untuk melaksanakan aturan ini, itu suatu
prinsip saya kira yang perlu kita pegang. Walaupun juga kita sering menyaksikan, kalau tadi Saudara
Rio menyatakan seringkali menjadi perselisihan antar protokol, kadang-kadang juga menjadi suatu
perselisihan juga antara orang yang harus dilayani dengan yang melayani ini ketika memang aturan
ini belum ada gitu loh, misalnya Anggota DPR ke daerah merasa dirinya sebagai pejabat tinggi ada
harapan-harapan atau standar-standar yang secara sepihak ditetapkan mesti begini gitu loh,
sementara pejabat Pemda atau Pemerintah Provinsi tidak merasa bahwa itu sebuah aturan, yang
begini ini terus akhirnya menjadi percekcokan memang gitu. Ke bandara tidak didampingi saja terus
jadi pertanyaan gitu atau ketika memasuki airport walaupun sudah menggunakan lambang garuda
tetap diperiksa juga jadi persoalan gitu, “kenapa saya diperiksa tidak lihat ini?”, katanya. Begitu-begitu
yang juga terjadi, Pak, di dalam keseharian di Dewan ini. Jadi walaupun ini sangat teknis saya kira
penting untuk bisa dijadikan pegangan bersama baik itu pejabat tinggi yang bersangkutan maupun
aparat yang menjalankan tugas itu sehingga menjadi standar dan tidak menimbulkan suatu
percekcokan.
Nah selain itu mungkin dimensinya harus kita perluas supaya tidak ini terkesan hanya sebagai
suatu bentuk pejabat tinggi mengatur dirinya sendiri, ini sesuatu yang juga harus kesan ini kita tepis.
Bagus sekali tadi ditanya soal misalnya iring-iringan. Ya iring-iringan ini kan bukan misalnya sekedar
mempertanyakan lantas di DPR itu posisi mobil ke berapa, kan tidak hanya itu. Iring-iringan itu juga
punya suatu resiko di tengah jalan yang bisa menimbulkan kecelakaan. Ini juga mesti diatur dan itu
sudah terjadi saya kira di pintu tol Cibubur ketika itu pernah terjadi seperti itu. Jadi misalnya
maksimum iring-iringan itu standar undang-undang itu berapa kendaraan, maksimum gitu loh untuk
tidak bisa menimbulkan resiko yang besar buat masyarakat. Ini sesuatu yang juga perlu kita pikirkan,
karena memang masyarakat sudah berkorban ketika dia harus di-stop, harus dialihkan jalannya,
apalagi kalau jadwal kerja sudah mendesak ketika tiba-tiba dialihkan. Ini juga problem. Ada hal yang
terkurangi di masyakat itu, sehingga kita merasa perlu untuk memberikan suatu bentuk kompensasi
dalam aturan ini yaitu mengenai misalnya jumlah kendaraan yang tidak terlalu besar, terus berapa jam
masyarakat itu diberi tahu ketika ada pengalihan-pengalihan lalu lintas ini gitu. Kita mengalami betul
sebelum jadi Anggota DPR, mengalami betul itu, beberapa teman yang sudah menjadi Anggota DPR,
dalam hati saya ini mereka mau rapat saja korbannya harus saya ketika saya sebagai rakyat waktu
itu. Jadi ini pengalaman-pengalaman seperti itu akhirnya saya buka kembali dalam ingatan saya
ARSIP D
PR RI
21
sehingga dalam pengaturan melalui regulasi inilah saya pikir bentuk keramahan negara atau bentuk
keramahan pejabat itu tetap terjaga melalui protokol atau tata cara pengaturan hubungan.
Dan satu hal lagi saya kira juga kita bisa mengerti kenapa protokol ini harus diatur berkaitan
dengan pejabat-pejabat yang sangat tinggi. Taruhlah misalnya Presiden, perlu ada pengaturan yang
kuat di situ. Di negara yang demokrasinya sudah maju seperti Amerika sekalipun protokol ini juga
sangat ketat kepada kehidupan Presiden, karena memang nilai pentingnya itu bukan pada tingginya
jabatan, tidak saya kira, tetapi nilai penting adalah orang yang dalam posisi itu adalah memiliki
keputusan yang itu berkaitan langsung dengan nasib orang banyak. Filosofi itulah yang membuat
pejabat tinggi itu perlu dilindungi, dijaga dengan protokol itu. Kita pernah mengalami Presiden kita
akhirnya terjatuh secara politik oleh hal-hal yang barangkali protokol yang sangat longgar. Gus Dur
ketika itu misalnya jatuh dengan masalah Bulog Gate II. Orang seperti Suwondo itu bisa mengakses
informasi kenegaraan yang sangat tinggi …(tidak jelas)… dan dikomersialisasikan di luar dan muncul
kasus Bulog Gate II itu. Nah itu pengalaman historis yang menurut saya memang penting protokol ini
diatur gitu sehingga Presiden itu berkomunikasi, berinteraksi itu dengan orang-orang yang memang
perlu gitu bukan tidak perlu, tetapi yang perlu di dalam konteks kenegaraan itu. Ini suatu dimensi juga
yang mungkin saya perlu ingatkan mungkin saya tidak atau belum menukik pada rumusan pasal-pasal
apa yang perlu kita angkat tetapi berbagai hal yang menjadi pengalaman kita ini juga merefleksikan
suatu kebutuhan tentang Undang-Undang Keprotokoleran. Tetapi sekali lagi protokol jangan sampai
membunuh diri kita sendiri.
Terima kasih Pimpinan.
KETUA RAPAT:
Baik, sebelum kita masuk pada acara tutup karena dibatasi oleh ruang dan waktu yang
sangat mepet, kami minta dari apa yang disampaikan oleh rekan-rekan Pansus kami minta masukan
dari masing-masing bagian dua menit, dua menit, dua menit, dua menit sebelum clossing statement.
Disampaikan, kita mulai dari Bapak Nursidharta. Disampaikan Pak.
NUR SIDHARTA (KARO UMUM/PLT KARO HUMAS DAN PROTOKOL MAHKAMAH
KONSTITUSI):
Terima kasih Bapak.
Mungkin ini pertanyaannya mungkin cukup banyak, Bapak, jadi saya mohon izin kepada
Bapak-bapak dari lembaga negara yang lain, dan kami hanya yang mungkin yang bisa kami jawab,
kami mencoba menyampaikan. Pertama mengenai tadi ada pertanyaan mengenai bagaimana
penyusunan-penyusunan penempatan maksud saya, penempatan Kepala Lembaga Negara dalam
satu upacara. Jadi biasanya kami di dalam konteks protokol itu biasanya itu nomor satu itu katakanlah
Presiden, nomor satu itu berada di taruh di tengah, yang kedua misalnya Wakil Presiden, itu
ditempatkan di sebelah kanan, itu nomor dua. Nomor tiganya di sebelah kirinya, nomor empat di
sebelah kanan dari yang sebelah kanan tadi. Jadi sifatnya dari tengah itu nomor dua, nomor tiga,
nomor empat, nomor lima dan seterusnya. Jadi basical seat biasanya ganjil itu dibentuk seperti itu.
ARSIP D
PR RI
22
Jadi mungkin itu bicara bukan seperti dari depan ke belakang, itu setahu kami memang cara
pengaturannya itu adalah seperti itu.
Kemudian mengenai pembiayaan, ini pembiayaan ini mungkin kami juga mempunyai masalah
yang sama terutama kita tidak bisa memberikan pembiayaan itu secara detail, secara khusus untuk
protokol, tetapi itu adalah perkomponen. Jadi karena itu perkomponen sehingga tidak masuk
katakanlah pengadaan kendaraan, misalnya kendaraan yang disewakan, itu kami bentuknya itu
adalah dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh Kementerian Keuangan yang mempunyai standar
biaya umum, jadi memang tidak boleh melebihi dari harga-harga yang telah ditentukan. Itu sering di
lapangan kami menemukan kendala memang.
Untuk di daerah mohon maaf Bapak/Ibu sekalian, di daerah itu memang kami mengalami
masalah yang sama yang disampaikan oleh Bapak Wakil Sekjen MPR tadi, bahwa pada waktu di
daerah ternyata kita tidak disambut atau tidak mendapat perlakukan khusus sehingga untuk menjaga
dari Pimpinan kami, kami itu harus menyediakan biaya tersendiri. Jadi kami lebih mudah akhirnya
mengelola biaya sendiri. Sedangkan dari daerah misalnya dari provinsi ataupun dari kabupaten/kota
itu mereka memberikan bantuan dalam akses ataupun SDM, sedangkan pembiayaan misalnya biaya
mobil, biaya itu kami kan biaya sendiri karena itu bisa dipertanggungjawabkan secara mudah karena
bentuknya adalah add cost, jadi itu bisa.
Mungkin itu Bapak Pimpinan dan Bapak-bapak Anggota RUU Protokol, mungkin sedikit yang
bisa kami sampaikan, dan mungkin ada dari Bapak/Ibu dari kelembagaan lain bisa memberikan
tambahan.
Terima kasih.
KETUA RAPAT:
Selanjutnya kami mohon kepada Bapak Subagio, disampaikan Pak.
F- PD (DRS. H. GUNTUR SASONO, M.Si.):
Interupsi Pimpinan.
Ada pertanyaan kami yang belum dijawab tentang tata tempat tadi Mahkamah Konstitusi
bagaimana posisi seperti itu.
Terima kasih.
NUR SIDHARTA (KARO UMUM/PLT KARO HUMAS DAN PROTOKOL MAHKAMAH
KONSTITUSI):
Apa yang disampaikan oleh draft yang ada di sini kami tidak keberatan Bapak, ini sudah
seperti yang sudah disampaikan. Oleh tetapi ini kami merasa nyaman jadi kami tidak memberikan
pendapat yang berlawanan dan kami pikir penempatan ini sudah sesuai dengan yang seharusnya.
Karena, mohon maaf, Mahkamah Konstitusi ini memang di beberapa negara itu tidak ada, jadi kita
merupakan biasanya bagian dari supreme court atau dari Mahkamah Agung tugas-tugas yang
dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi seperti Mahkamah Konstitusi di Indonesia, hanya ada sekitar
90 negara saja yang mempunya Mahkamah Konstitusi dari 200 negara yang ada.
Terima kasih.
ARSIP D
PR RI
23
KETUA RAPAT:
Silahkan, Pak Subagio.
SUBAGIO (KEPALA BADAN URUSAN ADMINISTRASI MAHKAMAH AGUNG):
Terima kasih Bapak Pimpinan.
Jadi pada intinya kami hampir sama dengan rekan dari MK karena semuanya mengacu pada
undang-undang yang lama seperti itu dan adat kebiasaannya sudah sama kita menggunakan …(tidak
jelas).. atau tata tempatnya.
Untuk yang lainnya seperti tadi yang sama disampaikan oleh salah satu anggota mengenai
tata hubungan pusat dan daerah ini memang perlu, itu yang diperlukan, walaupun tidak terlalu detail
itu. Yang kebetulan khusus di Mahkamah Agung ini mempunyai aparat atau mempunyai lembaga
juga di daerah dengan pengadilan-pengadilan di bawah tetapi rekan-rekan yang tidak ada di situ
memang agak kesulitan dalam protokoler itu. Kalau Mahkamah Agung sendiri juga tidak mengikuti
otonomi daerah, kalau pengadilan itu masih jiwa pusat ke daerah, sentralisasi, sehingga tidak menjadi
masalah apa yang menjadi tamu yang sifatnya instansional itu tidak ada masalah, sehingga kita
mengatur sendiri dengan standar operasional prosedur untuk keprotokolan kita untuk khusus di
lingkungan Mahkamah Agung dan pengadilan di daerah.
Kemudian mengenai yang diatur di dalam RUU ini hampir sepenuhnya memang kami pahami
masalah tata tempat, upacara, dan penghormatan saja sehingga tidak sedetail seperti apa yang
disampaikan tadi mengenai iring-iringan, itu semua itu mungkin perlu ada pendelegasian wewenang
dari undang-undang ini ke masing-masing instansi atau ke peraturan pemerintah yang lebih detail lagi.
Kami juga sependapat kalau di dalam RUU ini nanti mengatur over regulated ada di sini malah
menyulitkan dalam pelaksanaannya karena adat dan kebiasaan masing-masing instansional berbeda,
sehingga kita di instansional ini mempunyai suatu standar operasional prosedur sendiri yang mana
dipayungi oleh undang-undang ini nanti. Kami mengharapkan undang-undang ini adalah payung yang
dapat kami jadikan sebagai standar operasinal di masing-masing instansi kita. Sedangkan yang
secara umum yang kenegaraan secara umum memang undang-undang inilah nanti mudah-mudahan
dari Sekneg juga akan mengatur sendiri itu, ya kami mengharapkan begitu, Pak.
Untuk yang satu mengenai di dalam undang-undang in disebutkan ada penganggaran ini
yang kami tunggu-tunggu, karena selama ini kalau kita mengadakan suatu upacara atau dalam
kegiatan-kegiatan rapat-rapat yang sifatnya besar ngambil anggarannya darimana itu pun agak sedikit
kewalahan. Oleh karena itu apabila ini nanti sudah dicantumkan adanya APBN di sini, itu yang sangat
membantu dari instansi masing-masing untuk kegiatan protokoler ini.
Kemudian yang kedua mengenai sanksi, Pak, di Pasal 35 saya hanya berpikir ini sanksi ini
bagi pelaksana atau instansional atau apa? Dan bagaimana bentuknya sanksi administrasi ini? Ini
agak sedikit mengganjal bagi kami, mungkin karena ini tidak perlu ada suatu pemaksaan undang-
undang ini. Karena untuk menetapkan sanksinya ini sanksi pelaksananya protokol itu sendiri atau
instansionalnya atau unitnya. Itu yang agak nanti saya khawatir dicantumkan ada sanksi tetapi tidak
ARSIP D
PR RI
24
bisa dijalankan, ini mubazir juga. Mohon menjadi pertimbangan nantinya di dalam penetapannya
adanya sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku ini.
Sementara itu, Pak. Terima kasih.
KETUA RAPAT:
Baik, kami serahkan kepada Pak Siregar, disampaikan, Pak.
EDY SIREGAR (WAKIL SEKJEN MPR RI):
Terima kasih Pak.
Pertanyaan tadi soal anggaran saya kira memang itu ada dianggarkan di dalam seperti ada
anggarannya untuk itu. Kemudian tata tempat ketika di MPR kegiatannya kami ambil perbandingan
ketika dulu masih ada Sidang Tahunan itu Presiden dan Wakil Presiden duduk di depan, kalau isteri
Presiden dan Wakil Presiden hadir, mereka duduk di ujung sebelah sini, karena kanan itu adalah,
fakta yang tertinggi, karena itu semestinya kursi Presiden tetapi kursi Presiden itu melekat dengan
isteri, sehingga isteri ada di sebelah situ, kemudian Ketua Mahkamah Agung, Ketua Mahkamah
Konstitusi kemarin, lalu BPK, lalu Komisi Yudisial baru mantan Presiden, baru menteri atau mantan-
mantan Ketua MPR baru menteri, itu yang kami lakukan, sehingga itulah posisinya. Kami berikan
penghargaan kepada mantan Presiden dan Wakil Presiden. Sementara Komisi Yudisial sudah kami
perlakukan sama dengan lembaga negara lainnya.
Lalu pertanyaan tadi mengapa di daerah itu sering berbeda pelaksanaannya, sebenarnya
tidak berbeda tetapi mungkin karena interfensi, misalnya ketika Presiden datang ke sini saja interfensi
dari protokol istana pun cukup besar kecuali kalau kita tidak bisa mengendalikan sehinga untuk
menghindari hal-hal seperti itu kami koordinasi dulu dengan Protokol Kepresidenan untuk mengatur
supaya yang berlaku adalah seperti ini standar operasionalnya gitu.
Lalu ini tadi, Pak, soal Pak Rio tadi itu yang soal apa pentingnya…(tidak jelas)… juga dimobil
itu, memang itu tidak jadi ukuran itu karena itu hanya untuk aksesoris saja, Pak. Jadi kalau Bapak
melanggar lalu lintas ya tetap saja melanggar lalu lintas namanya, Pak.
Lalu soal tadi, Pak, kami setuju/sependapat itu kami sudah memberikan alasan tertulis di sini
soal sanksi, mestinya itu pasal itu dihapuskan saja karena akan memberikan peluang karena sifat
pelayanan teknis protokoler secara taktis dan situasional membuka ruang bagi terlaksananya
pelayanan keprotokolan yang kadang-kadang harus diputuskan secara tepat berdasarkan konvensi
atau kebiasaan protokoler yang tidak ada rujukan hukumnya, misalnya dalam hal tata tempat bagi
pejabat yang kehadiran bersifat tentatif, terlambat hadir pada hal acara sudah berlanjut/berjalan baru
datang atau pengaturan tata tempat bagi pejabat negara yang kehadirannya diwakili oleh
bawahannya yang kedudukannya beberapa tingkat di bawah pejabat yang bersangkutan sehingga ini
banyak masalah yang timbul dengan adanya sanksi itu.
Demikian, Pak. Terima kasih.
KETUA RAPAT:
Baik Pak Mahbub silahkan.
ARSIP D
PR RI
25
MUZAYYIN MAHBUB (SEKJEN KOMISI YUDISIAL):
Terima kasih Bapak Pimpinan.
Yang pertama saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat Pak
Ruhut yang sudah memberikan dukungan terhadap apa yang kami sampaikan dan juga terima kasih
kepada MPR yang sudah selama ini menempatkan Ketua KY sebagai Pimpinan lembaga negara
setara dengan lembaga MPR lain, dan di beberapa tempat DPR juga seperti itu, mudah-mudahan ini
menjadi konvensi. Itu yang pertama.
Yang kedua kalau saya melihat dari rancangan undang-undang ini yang diatur di sini adalah
semua pejabat negara dan mantan pejabat negara, ada satu yang mungkin malah berdasarkan
pengalaman kami kerumitan kami itu menempatkan tokoh masyarakat, misalnya ada dalam satu
acara di daerah atau di tempat kami juga katakanlah misalnya ada Ketua PP Muhamadiyah atau Rois
NU datang gitu, Pak, kalau berdasarkan tata urutan draft undang-undang ini, ini kan pasti di
tempatkan tidak ada aturannya sehingga cenderung di tempatkan di tempat yang agak-agak
kebelakanglah itu. Nah barangkali juga usulan-usulan kami, kalau memungkinkan untuk tokoh-tokoh
masyarakat yang bersifat nasional barangkali juga dapat dipertimbangkan untuk dipertimbangkan
masuk dalam tata urutan tempat ini. Itu yang kedua.
Yang ketiga, terkait dengan anggaran, ini pengalaman dengan penyelenggaraan kegiatan-
kegiatan di daerah, misalnya yang paling besar itu adalah tidak hanya di daerah tetapi kami di pusat
juga adalah kalau menghadirkan Presiden, kalau menghadirkan Presiden itu anggarannya luar biasa,
Pak, karena banyak sekali yang harus untuk pengamanan dan lain sebagainya. Oleh karena itu
mungkin kalau ingin diusulkan misalnya khusus untuk kegiatan kepresidenan baik di daerah maupun
di instansi lain gitu mungkin bagaimana kalau anggaran kehadirannyanya itu dibebankan pada
lembaga kepresidenan itu. Barangkali kalau itu mungkin bisa agak terpecahkan, karena terus terang
paling besar itu kalau menghadirkan Presiden itu anggarannya, dan itu pasti juga saya yakin itu
mencari-cari itu anggarannya nanti dari tempat-tempat yang mungkin tidak seharusnya. Itu usulan
kami, terima kasih.
KETUA RAPAT:
Baik, terima kasih dari saran, masukan, pendapat dari narasumber. Perlu kami sampaikan
dari Pak Siregar tadi kalau dibilang asesoris semata, mari kita merujuk pada Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang MD3, kemudian kita lihat juga pada Pasal 10 huruf
n dari Pak Mahbub, Tomas, Toda dan lain sebagainya sudah diwadahi, tinggal nanti aplikasinya di
lapangan kita atur.
Yang saya hormati Saudara-saudara Sekretaris Lembaga Negara,
Pimpinan dan Anggota Pansus yang kami hormati, serta Hadirin sekalian yang
berbahagia,
Rapat pada hari ini yang cukup melelahkan Saudara-saudara sekalian dalam memberikan
seluruh pandangan dan pendapat dari apa yang disampaikan tentunya dalalm hal ini, ini akan
memperkuat rancangan undang-undang yang ada ini untuk lebih baik. Akhirnya, kami selaku
ARSIP D
PR RI
26
Pimpinan Rapat perkenankan sekali lagi untuk menyampaikan ucapan terima kasih kepada Saudara
Sekjen MPR RI atau yang mewakili, Sekretaris Mahkamah Agung atau yang mewakili, Sekjen
Mahkamah Konstitusi atau yang mewakili dan Sekjen Komisi Yudisial atau yang mewakili atas
pendapat dan pandangan yang telah disampaikan. Dan terima kasih pula kami sampaikan kepada
rekan-rekan Anggota Pansus atas kebersamaan, kesabaran serta ketekunannya di dalam mengikuti
rapat pada sore hari ini.
F- PDI PERJUANGAN (DRS. H. SETIA PERMANA):
Pak Ketua, boleh saya kelola sedikit?
Menyambung soal pernyataan dari Wakil Sekjen MPR tadi …(tidak jelas)… tersebut, bikin
saja dalam surat edaran dari Sekjen MPR kepada Anggota DPR/MPR bahwa itu adalah asesoris dan
tidak ada manfaatnya apa-apa.
Terima kasih.
KETUA RAPAT:
Baik, ini sebagai catatan saja, Pak. Sekali lagi dengan mengucapkan
Alhamdulillahirrabilalamin rapat pada sore hari ini kita nyatakan ditutup.
(RAPAT DITUTUP PADA PUKUL : 15.10 WIB)
( KETOK PALU 3 X )
Jakarta, 12 Mei 2010
a.n. KETUA RAPAT
SEKRETARIS RAPAT,
ttd
UDRS. BUDI KUNTARYO.
NIP. 19630122 199103 1 001
ARSIP D
PR RI