8
SISTEM POLITIK MASYARAKAT SUKU BUGIS Masyarakat dibagi menjadi tiga kelas besar yaitu aristokrasi, orang merdeka, dan budak. Orang-orang merdeka merupakan bagian terbesar penduduk, Sembilan puluh persen lebih. Adapun budak, baik secara turun temurun maupun orang-orang yang terikat utang, merupakan satu kelompok kecil di bagian masyarakat paling bawah, sedangkan bangsawan merupakan lapisan masyarakat sangat tipis di atas. Namun, golongan bangsawanlah yang menguasai tanah dan memegang posisi monopoli atas kekuasaan. Golongan ini memisahkan diri dari golongan masyarakat lainnya lewat diberlakukannya peraturan pengeluaran yang ketat, penggunaan sebutan-sebutan khusus seperti Andi, Karaeng, Arung, Datu dan sebagainya, dan larangan keras terhadap para putri bangsawan untuk kawin dengan pria dari lapisan bawahannya. Larangan ini, bersama-sama dengan peraturan bahwa semua anak dari pria bangsawan termasuk kelas itu, memastikan bahwa keturunan yang diakui dari kaum bangsawan adalah orang bangsawan juga. Pekerjaan utama bangsawan adalah bidang pemerintahan, khususnya mengatur penggunaan tanah dan menyelesaikan persengketaan. Baik kedudukan politik maupun kekuasaan ekonomi berkaitan erat dengan status kelas, karena pada umumnya diterima bahwa tidak ada orang yang dapat memaksakan kekuasaan atas orang lain yang berpangkatlebihtinggidaripadiasendiri. Dilihat dari bawah, para anggota bangsawan semuanya dianggap sebagai ana’ karaeng (anak raja), tetapi di kalangan bangsawan sendiri dilakukan pembedaan yang sangat teliti. Unsur patrilinier dan matrilinier kedua- duanya berlaku. Setiap anak yang ayahnya bangsawan adalah bangsawan juga, apapun kelas ibunya, akan tetapi, di kalangan bangsawan tinggi tingkatan ditentukan oleh kelas sang ibu. Tingkatan tertinggi, ana’ matola atau anak patola, adalah anak-anak perempuan keturunan bangsawan asli. Tingkatan terendah di kalangan bangsawan adalah anak-anak yang ibunya adalah orang bebas, atau budak, mereka dikenal sebagai ana’ cera’. Di antara kedua tingkatan itu, dalam keanekaragaman peringkat yang hamper tidak terhitung, adalah anak-anak yang kedua orangtuanya dari kalangan bangsawan akan tetapi salah seorang, atau kedua-duanya bukan ana’ matola. Raja dan kepala-kepala yang penting lainnya dapat saja laki-laki atau perempuan, tetapi haruslah ana’ matola. Para pemimpin utama kerajaan seringkali adalah sanak keluarga dekat raja, yang tingkatannya sama tinggi atau hamper sama tinggi dengan sang penguasa sendiri. Dalam beberapa hal mereka ini adalah penguasan bagian wilayah kerajaan atau kerajaan bawahan, dalam hal lain mereka tampak mempunyai fungsi riil sebagai bagian dari kelompok kerajaan. Para pemimpin senior ini merupakan hadat, yaitu dewan yang fungsi utamanya ialah member nasehat kepada raja dan membantunya dalam memecahkan persengketaan, tetapi juga mempunyai kekuasaan besar dalam pemilihan dan penurunanraja.

dewi pr

Embed Size (px)

DESCRIPTION

d

Citation preview

SISTEM POLITIK MASYARAKAT SUKU BUGISMasyarakat dibagi menjadi tiga kelas besar yaitu aristokrasi, orang merdeka, dan budak. Orang-orang merdeka merupakan bagian terbesar penduduk, Sembilan puluh persen lebih. Adapun budak, baik secara turun temurun maupun orang-orang yang terikat utang, merupakan satu kelompok kecil di bagian masyarakat paling bawah, sedangkan bangsawan merupakan lapisan masyarakat sangat tipis di atas. Namun, golongan bangsawanlah yang menguasai tanah dan memegang posisi monopoli atas kekuasaan. Golongan ini memisahkan diri dari golongan masyarakat lainnya lewat diberlakukannya peraturan pengeluaran yang ketat, penggunaan sebutan-sebutan khusus seperti Andi, Karaeng, Arung, Datu dan sebagainya, dan larangan keras terhadap para putri bangsawan untuk kawin dengan pria dari lapisan bawahannya. Larangan ini, bersama-sama dengan peraturan bahwa semua anak dari pria bangsawan termasuk kelas itu, memastikan bahwa keturunan yang diakui dari kaum bangsawan adalah orang bangsawan juga. Pekerjaan utama bangsawan adalah bidang pemerintahan, khususnya mengatur penggunaan tanah dan menyelesaikan persengketaan. Baik kedudukan politik maupun kekuasaan ekonomi berkaitan erat dengan status kelas, karena pada umumnya diterima bahwa tidak ada orang yang dapat memaksakan kekuasaan atas orang lain yang berpangkatlebihtinggidaripadiasendiri. Dilihat dari bawah, para anggota bangsawan semuanya dianggap sebagai ana karaeng (anak raja), tetapi di kalangan bangsawan sendiri dilakukan pembedaan yang sangat teliti. Unsur patrilinier dan matrilinier kedua-duanya berlaku. Setiap anak yang ayahnya bangsawan adalah bangsawan juga, apapun kelas ibunya, akan tetapi, di kalangan bangsawan tinggi tingkatan ditentukan oleh kelas sang ibu. Tingkatan tertinggi, ana matola atau anak patola, adalah anak-anak perempuan keturunan bangsawan asli. Tingkatan terendah di kalangan bangsawan adalah anak-anak yang ibunya adalah orang bebas, atau budak, mereka dikenal sebagai ana cera. Di antara kedua tingkatan itu, dalam keanekaragaman peringkat yang hamper tidak terhitung, adalah anak-anak yang kedua orangtuanya dari kalangan bangsawan akan tetapi salah seorang, atau kedua-duanya bukan ana matola. Raja dan kepala-kepala yang penting lainnya dapat saja laki-laki atau perempuan, tetapi haruslah ana matola. Para pemimpin utama kerajaan seringkali adalah sanak keluarga dekat raja, yang tingkatannya sama tinggi atau hamper sama tinggi dengan sang penguasa sendiri. Dalam beberapa hal mereka ini adalah penguasan bagian wilayah kerajaan atau kerajaan bawahan, dalam hal lain mereka tampak mempunyai fungsi riil sebagai bagian dari kelompok kerajaan. Para pemimpin senior ini merupakan hadat, yaitu dewan yang fungsi utamanya ialah member nasehat kepada raja dan membantunya dalam memecahkan persengketaan, tetapi juga mempunyai kekuasaan besar dalam pemilihan dan penurunanraja.Sekalipun raja yang sedang memerintah mempunyai pengaruh besar dalam menetapkan seorang pengganti, hadat inilah yang secara formal menegaskan pilihan tersebut. Menurut tradisi, sifat-sifat seorang raja yang dikehendaki adalah bahwa ia (laki-laki atau perempuan) haruslah jujur, mampu, murah hati dan berani. Ada kepercayaan umum bahwa sifat-sifat semacam itu diwarisi, dan dengan demikian didapati terutama sekali di kalangan kaum bangsawan tertinggi, golongan ana matola, sekalipun hadat mengakui bahwa ada raja kemungkinan determinisme genetika mereka salah dalam menilai kualitas kepemimpinan. Tentulah seorang calon dari keturunan murni akan mendapat perhatian utama, karena kewibawaan orang semacam itu akan kurang dipertanyakan jika dibanding dengan kewibawaan seseorang yang berderajat lebih rendah, betapapun bijaksana.Seseorang yang berhak menjadi raja karena keturunan, yang ditunjuk demikian oleh penguasa sebelumnya, dan yang memperlihatkan sifat-sifat kepemimpinan yang diharapkan, dapat memusatkan perhatian pada pengembangan kekayaan, wilayah, dan kekuasaan kerajaan. Seseorang yang kekurangan satu di antara persyaratan ini mungkin sekali harus memusatkan diri pada usaha mempertahankan kedudukannya terhadap orang lain yang berdarah lebih murni, atau lebih bersemangat, yang juga menyatakan berhak atas tahta. Bagaimanapun, keberhasilan akan bergantung untuk sebagian besar pada hubungan penguasa dengan para pemimpin bawahan atau pada kemampuannya menghimpun jumlah pengikut yang cukup besar, yang kesetiaannya dapat diandalkan oleh penguasa tersebut. Dalam beberapa kejadian kelompok keluarga penguasa merupakan inti dari pengikut. Akan tetapi karena ada persaingan untuk kedudukan dalam kelompok keluarga tersebut, para anggota yang dipandang berstatus hampir sama dan karena perluasan kekuatan memerlukan jumlah pengikut yang lebih besar, maka seorang penguasa karena kebutuhan akan berpaling ke luar lingkungan keluarga. Salah satu cara untuk mendapatkan pengikuti yang setia adalah memberi tanah kedudukan.Teknik-teknik kepemimpinan tradisional lain yang dikenal, yang dapat digunakan baik untuk menghimpun pengikut maupun dalam proses memerintah yang sebenarnya, digambarkan sebagai: bujuk, justai, dan pukul. Bujuk atau pujian, harus yang pertama-tama dicoba, kalau ini gagal, berikan janji, mungkin kedudukan tinggi boleh ditawarkan tetapi tidak perlu dipenuhi. Dan akhirnya, bagi mereka yang menolak bujukan, kekerasan dapat diterapkan untk mendatangkan hasil yang diingini. Kaum bangsawan dari tingkatan lebih rendah memerintah satuan-satuan bawahan kerajaan, atau menjadi anggota pengikut pribadi penguasa. Ada keluwesan yang cukup besar dalam komposisi wilayah kerajaan. Sekalipun batas-batas satuan tertentu, atau wilayah inti, mungkin ditetapkan cukup tepat, para pemimpin wilayah bawahan ini, terutama yang terletak di perbatasan antara kerajaan-kerajaan besar, mungkin saja mengalihkan kesetiaan mereka kepada penguasa lainnya yang menurut anggapan mereka lebih mampu memberikan kedamaian bahkan perlindungan, atau kesempatan untuk mengumpulkan kekayaan dan petualangan. Karena kekeluargaan diperhitungkan secara bilateral, dan karena terjadi banyak hubungan perkawinan di kalangan bangsawan Sulawesi Selatan, kebanyakan pemimpin sedikit banyak bersaudara satu sama lain, dan juga dengan para pemimpin yang lebih tinggi dan yang lebih rendah. Hubungan dengan kerajaan-kerajaan lain, dengan pemimpin bawahan atau dengan para pengikut, seringkali diperkuat dengan perkawinan, dan perkawinan itu sendiri merupakan ungkapan formal dari hubungan yang sederajat atau lebih rendah dari pihak-pihak yang terlibat. Hierarki para pemimpin dan kerajaan ini berada di atas masyarakat desa, dan dianggap telah berkembang daripadanya. Desa-desa tampaknya mula-mula dihuni oleh para anggota dari satu kelompok keluarga, yang bersama memuja suatu hiasan, atau barang, yang dipandang mengandung kekuatan gaib dan diwarisi dari para leluhur yang mula-mula memilikinya. Kepercayaan pada kekuatan gaib pusaka keluarga itu merupakan suatu pusat pemersatu untuk kelompok keluarga itu. Dan kepercayaan pada kekuatan gaib tempat-tempat tertentu seperti gua, pegunungan, puncak gunung, pohon, telaga memberikan kohesi spiritual kepada masyarakat desa itu ketika orang-orang yang bukan keluarga pindah ke daerah tersebut. Tampaknya, telah terjadi migrasi intern yang cukup besar dalam daerah Bugis dan Makassar, dan tidak hanya orang-orang asing masuk ke dalam desa yang sudah ada, melainkan kelompok-kelompok penduduk desa akan memisahkan diri dari permukiman induk dan mendirikan desa bawahan di dekatnya. Setiap masyarakat desa memilih pemimpinnya sendiri, biasanya dari keturunan pendiri desa. Hubungan dipertahankan antara permukiman asal dan permukiman yang kemudian timbul daripadanya, secara keseluruhan hal ini kelak mungkin merupakan inti suatu kerajaan kecil. Mungkin mula-mula sebagai sarana untuk menyelesaikan persengketaan antara satuan-satuan yang berdekatan, atau sebagai pertahanan terhadap gangguan dari kelompok-kelompok yang lebih jauh dan lebih kuat, maka para pemimpin satuan lalu membentuk suatu dewan yang berkuasa, yaitu hadat dan selanjutnya para pemimpin ini memilih di antara mereka seorang penguasa konfederasi. Tiap satuan tetap mempunyai otonomi cukup besar dalam mengatur urusan mereka sendiri, dan kekuasaan kepala federasi itu sangat bergantung pada hubungannya dengan para pemimpin bawahan dan pada kewibawaan pribadinya.Hubungan berdasar perjanjian antara penguasa dan rakyat ditandai dengan sumpah yang diambil dalam upacara penobatan, atau dalam upacara-upacara yang lebih sering untuk masa tanam dan masa panen. Dalam upacara penobatan, hadat biasanya bertindak sebagai wakil rakyat. Pada pokoknya, penguasa berjanji untuk memberikan keadilan dan perlindungan terhadap lawan dan kelaparan, yakni sebagai imbalan bagi kesetiaan rakyat dan atas kesediaan mereka membajak dan memanen tanahnya. Diposkan oleh Rahmat Hidayat

Orang Bugis-Makassar lebih banyak mendiami Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkajene. Desa-desa di kabupaten tersebut merupakan kesatuan-kesatuan administratif, gabungan sejumlah kampung lama, yang disebut desa-desa gaya baru. Sebuah kampung biasanya terdiri atas sejumlah keluarga yang mendiami antara 10 sampai 20 buah rumah. Rumah-rumah itu biasanya terletak berderet menghadap ke selatan atau barat. Apabila ada sungai, diusahakan membangun rumah membelakangi sungai.Pusat kampung lama ditandai dengan sebuah pohon beringin besar yang dianggap sebagai tempat keramat (possi tana).Sebuah kampung lama dipimpin oleh seorang kepala kampung (matowa, jannang, lompo, toddo). Kepala kampung dibantu oleh sariang dan parennung. Gabungan kampung dalam struktur asli disebut wanua, parasangan atau bori. Pemimpin wanua oleh orang Bugis dinamakan arung palili atau sullewatang, orang Makassar menyebutnya gallarang atau karaeng. Dalam struktur pemerintahan sekarang wanua sama dengan kecamatan.Lapisan masyarakat Bugis-Makassar dari zaman sebelum kolonial Belanda terdiri atas:a. Anakarung atau anakkareang, yaitu lapisan kaum kerabat raja-raja.b. To-maradeka, yaitu lapisan orang merdeka.c. Ata, yaitu lapisan budak.Pada permulaan abad ke-20 lapisan ata mulai hilang karena desakan agama, begitu juga anakkarung atau to-maradeka. Gelar anakarung seperti Karaenta, Puatta, Andi, dan Daeng, walau masih dipakai, tidak mempunyai arti lagi, sudah digantikan oleh tinggi rendahnya pangkat dalam sistem birokrasi kepegawaian.Suku Bugis merupakan suku yang menganut sistem patron klien atau sistem kelompok kesetiakawanan antara pemimpin dan pengikutnya yang bersifat menyeluruh. Salah satu sistem hierarki yang sangat kaku dan rumit. Namun, mereka mempunyai mobilitas yang sangat tinggi, buktinya dimana kita berada tak sulit berjumpa dengan manusia Bugis. Mereka terkenal berkarakter keras dan sangat menjunjung tinggi kehormatan, pekerja keras demi kehormatan nama keluarga. Sistem organisasi sosial yang terdapat di suku Bugis cukup menarik untuk diketahui. Yaitu, kedudukan kaum perempuan yang tidak selalu di bawah kekuasaan kaum laki-laki, bahkan di organisasi sosial yang berbadan hukum sekalipun. Karena Suku Bugis adalah salah satu suku di Nusantara yang menjunjung tinggi hak-hak Perempuan. Sejak zaman dahulu, perempuan di suku Bugis sudah banyak yang berkecimpung di bidang politik setempat. Salah satu bentuk organisasi kemasyarakatan yang dianut oleh orang bugis adalah tudang sipulung (Tudang = Duduk, Sipulung = Berkumpul atau dapat diterjemahkan sebagai suatu Musyawarah Besar). Musyawarah ini biasanya dihadiri oleh para Pallontara (ahli mengenai buku Lontara) dan tokoh-tokoh masyarakat adat untuk membahas tentang kegiatan bercocok tanam, mulai dari dari turun ke sawah, membajak, sampai tiba waktunya panen raya. Tapi itu dulu. Ketika tanah dan padi masih menjadi sumber kehidupan yang mesti dihormati dan diagungkan. Sebelum akhirnya bertani menjadi sarana bisnis dan proyek peningkatan surplus produksi ekonomi nasional.

Sumber : http://yrahayu077.blogspot.com/2013/11/kebudayaan-masyarakat-bugis.http://perpustakaancyber.blogspot.com/2013/02/suku-bugis-makasar-kebudayaan-sistem-kepercayaan-bangsa-kekerabatan.htmlhttp://anaogitolitoli.blogspot.com/2012/03/sistem-pemerintahan-tradisional.html

Dampak Globalisasi Terhadap Kelestarian Bahasa Bugis di Kalangan Pelajar di Kota SengkangGenerasi muda khususnya pelajar yang merupakan ujung tombak suatu bangsa seakan akan sangat muda terinfeksi oleh perkembangan zaman. Pada usia mereka yang masih rentan, terlalu sulit untuk memilah trend yang dapat dipedomani dan tidak dapat dipedomani. Sebagai bangsa yang menganut budaya timur, tentu saja kita diikat oleh norma norma yang kental dan menjunjung tinggi adat istiadat kita khususnya bagi masyarakat Bugis. Penggunaan bahasa daerah pun seakan tak lagi dilirik oleh para generasi muda.Bahasa Bugis yang menjadi bahasa ibu, perlahan lahan kini sudah mulai dilupakan akibat pengaruh globalisasi yang sangat cepat penyebarannya di kalangan generasi muda.Bahkan tidak sedikit dari pelajar yang ada di Wajo tidak mengetahui lagi bahasa ibu mereka.Jangankan menggunakan, mengetahui bahasa Bugis saja mereka seakan malu dan ada rasa gengsi.Bahkan yang lebih parahnya mereka beranggapan bahwa orang orang yang menggunakan bahasa Bugis adalah orang orang yang ketinggalan zaman.Tentu saja ini sangat memprihatinkan bagi kelangsungan sebuah bangsa.Pelajar pelajar pada umumnya menggunakan bahasa gaul yang asal usulnya dari negara Barat yang seakan menjadi trendsetter dalam kehidupan. Tentu saja dengan ketidakadaannya minat para generasi muda untuk mempelajari bahasa Bugis akan membuat bahasa Bugis secara perlahan lahan hilang dan terlupakan.

Upaya yang Dapat Ditempuh untuk Mengatasi Pudarnya Bahasa Bugis Akibat GlobalisasiBahasa bugis adalah bahasa kita bersama yakni kebudayaan yang mempunyai makna bagi kita masyarakat Bugis. Kalau bukan kita lalu siapa lagi yang akan menjaga dan meletarikannya. Seharusnya sebagai masyarakat Bugis kita patut bangga dengan mempunyai kekayaan budaya. Hal ini sebenarnya akan menimbulkan rasa tanggung jawab untuk melestarikan kebudayaan tersebut. Sebagai warga negara kita hendaknya menanggapi dengan arif pengaruh nilai-nilai budaya barat untuk mengembangkan dan memperkaya, serta meningkatkan kebudayaan nasional dengan cara menyaring kebudayaan itu. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengambil nilai yang baik dan meninggalkan nilai yang tidak sesuai dengan kebudayaan kita.Begitu juga halnya dengan pemerintah, pemerintah harus tegas dalam menjaga dan melestarikan kebudayaan indonesia dengan cara membuat peraturan perundangan yang bertujuan untuk melindungi budaya bangsa. Dan jika perlu pemerintah harus mematenkan budaya-budaya yang ada di Indonesia agar budaya-budaya bangsa tidak jatuh ke tangan bangsa lain. Pemerintah harus membangun sumber daya manusia dan meningkatkanan daya saing bangsa dapat dilakukan dengan menanamkan norma dan nilai luhur budaya Indonesia sejak dini, dengan cara sosialisasi nilai budaya yang ditanamkan kepada anak sejak usia prasekolah. Hal ini ditujukan untuk mengangkat kembali identitas bangsa Indonesia.Hal yang tak kalah pentingnya adalah dengan memasukkan bahasa Bugis menjadi mata pelajaran di sekolah baik tingkat SD sampai tingkat SMA agar para pelajar tak lagi melupakan bahasa Bugis.

http://palontjongi.blogspot.com/2013/08/pengaruh-era-globalisasi-terhadap.html