4
Dewi Tanjung Sari Dewi Tanjung Sari, 33 tahun, sebagai anak yatim sejak kecil. Anak semata wayang ini telah terlatih hidup mandiri sejak masa kanak-kanak. Ibunya yang saat itu bekerja sebagai pembantu rumah tangga, menguatkan keinginannya agar kelak mampu menjadi anak yang dapat mensejahterakan ibunya. Ia telah memulai usaha sejak awal kuliah di Program Diploma III, Universitas Brawijaya Malang, kemudian mengembangkan usahanya dengan berbagai kendala dan hambatan, melanjutkan kuliah lagi di jurusan yang sama di IKIP Budi Utomo. Semua berawal dari keinginannya untuk mencari uang, membantu ibunya yang saat itu mulai membuka warung, dan berjualan kecil-kecilan untuk biaya hidup dan kuliahnya. Dewi sering sepulang kuliah mencari daun-daun kering, limbah yang banyak berserakan di kampusnya untuk digunakan berbagai produk kerajinan.Daun-daun kering tersebut dibersihkan, kemudian dikeringkan dan dibentuk menjadi pigura foto, kotak pensil, undangan, dan bentuk kerajinan lainnya. Modal untuk membuat kerajinan tersebut juga tidak banyak, hanya Rp. 50 ribu. Hasil kerajinan tersebut ia jual kepada teman-teman di kampusnya. Bahkan dalam sebuah pameran produk kerajinan yang diadakan dikampusnya, kerajinan milik Dewi yang dijual seorang teman ternyata habis terjual. Suatu hari di tahun 2005, ia bertemu dengan seseorang yang menjadi eksportir produk-produk kerajinan yang terbuat dari berbagai limbah. Ia kemudian memperoleh pesanan pembuatan kerajinan dari daun kering berbagai bentuk cukup banyak. Dari sinilah awal usahanya berkembang. Semula semua kegiatan ia lakukan sendiri, namun karena permintaannya cukup banyak ia

Dewi Tanjung Sari

Embed Size (px)

DESCRIPTION

biografi dewi tanjung sari, pengusaha muda asal malang yang mengolah sampah menjadi sofenir

Citation preview

Dewi Tanjung Sari

Dewi Tanjung Sari, 33 tahun, sebagai anak yatim sejak kecil. Anak semata wayang ini telah terlatih hidup mandiri sejak masa kanak-kanak. Ibunya yang saat itu bekerja sebagai pembantu rumah tangga, menguatkan keinginannya agar kelak mampu menjadi anak yang dapat mensejahterakan ibunya.Ia telah memulai usaha sejak awal kuliah di Program Diploma III, Universitas Brawijaya Malang, kemudian mengembangkan usahanya dengan berbagai kendala dan hambatan, melanjutkan kuliah lagi di jurusan yang sama di IKIP Budi Utomo.Semua berawal dari keinginannya untuk mencari uang, membantu ibunya yang saat itu mulai membuka warung, dan berjualan kecil-kecilan untuk biaya hidup dan kuliahnya. Dewi sering sepulang kuliah mencari daun-daun kering, limbah yang banyak berserakan di kampusnya untuk digunakan berbagai produk kerajinan.Daun-daun kering tersebut dibersihkan, kemudian dikeringkan dan dibentuk menjadi pigura foto, kotak pensil, undangan, dan bentuk kerajinan lainnya. Modal untuk membuat kerajinan tersebut juga tidak banyak, hanya Rp. 50 ribu. Hasil kerajinan tersebut ia jual kepada teman-teman di kampusnya. Bahkan dalam sebuah pameran produk kerajinan yang diadakan dikampusnya, kerajinan milik Dewi yang dijual seorang teman ternyata habis terjual.Suatu hari di tahun 2005, ia bertemu dengan seseorang yang menjadi eksportir produk-produk kerajinan yang terbuat dari berbagai limbah. Ia kemudian memperoleh pesanan pembuatan kerajinan dari daun kering berbagai bentuk cukup banyak. Dari sinilah awal usahanya berkembang. Semula semua kegiatan ia lakukan sendiri, namun karena permintaannya cukup banyak ia kemudian melibatkan 16 orang karyawan lepas yang sebagian besar adalah para tetangganya untuk membuat produk kerajinan pesanan untuk ekspor tersebut.Namun diluar dugaan, tahun 2007 perusahaan eksportir yang biasa memesan hasil kerajinan kepadanya ternyata bangkrut. Dewi bingung bagaimana harus mengelola orang dan produk yang sudah dibuat. Ia juga berfikir bagaimana melanjutkan usahanya.Untuk sementara ia menghentikan kegiatan produksi dan mencoba memasarkan sendiri produknya ke berbagai teman. Ia juga memajang produk di warung ibunya, yang berhadapan dengan sebuah kantor. Saat ada orang yang belanja di warung ibunya dan tertarik dengan salah satu produk hasil kerajinan produk Dewi. Tamu tersebut kemudian memesan sebanyak 750 pcs dengan harga Rp1500/pcs yang akan digunakan untuk merchandise perkawinannya. Bukan main senangnya.Saat itulah ia menyiapkan produk merchandise dan memberinya label sendiri dengan label De Tanjung. Pada label tersebut tercantum telepon, alamat, serta website yang dibuatnya secara sederhana. Selain itu ia juga menitipkan produk-produknya ke Gramedia, pusat-pusat kerajinan dengan cara penjualan konsinyasi, hasilnya cukup laku di pasaran.Ia juga rajin menghadiri event fashion show serta wedding expo yang diadakan di berbagai kota untuk mengetahui tren serta perkembangan terbaru dalam industri yang berkaitan dengan wedding. Bahkan secara periodik Dewi juga bekerjasama peragawati untuk melakukan pameran souvenir dan kartu undangan perkawinan. Hal ini ia lakukan karena pernak-pernik, souvenir dan kartu undangan perkawinan sudah menjadi lifestyle, khususnya untuk kalangan menengah atas. Untuk memberikan layanan sesuai anggaran pelanggan, anak tunggal pasangan alhamrhum Adi dan Suharti ini menyediakan aneka produk dari harga Rp3ribu hingga Rp50 ribu per pcsnya.Omzet usahanya juga kian meningkat dari Rp. 650 juta pada tahun 2008 meningkat menjadi Rp. 935juta pada tahun 2009, dan tahun 2010 lalu omzetnya tembus mencapai Rp. 1,1 miliar dengan keuntungan bersih mencapai Rp. 273juta.Sebuah kebanggaan bagi Dewi, kini ia mampu memberikan lapangan pekerjaan bagi 52 orang yang bekerja dari usahanya. Sebagian besar keryawannya adalah anak-anak muda yang berada di sekitar tempat tinggalnya.Bagi saya karyawan-karyawan inilah yang membantu usaha saya berkembang lebih besar, ujarnya.Bangkit dari Krisis EksporPasang surut perjalanan bisnis De Tanjung setelah menghentikan kegiatan ekspornya ke beberapa Negara tetangga, memang sempat membuat Dewi patah semangat dalam mengembangkan usahanya. Namun dengan kekuatan tekad yang masih tersisa, Dewi mulai berputar arah mencari strategi bisnis baru agar bisa tetap bertahan di tengah badai krisis yang Iahadapi. Dengan modal yang masih tersisa, Ia ingin mengembangkan bisnisnya dengan cepat dan pesat melalui jalur kemitraan atau franchise.Dengan mematok harga lisensi sebesar Rp.60 juta dan Rp.90 juta, para mitra bisa mendapatkan kontrak selama tiga tahun dan setiap bulannya akan ada desain baru untuk wedding card,souvenir serta pernak-pernik pernikahan lainnya yang tentunya cukup beragam. Uniknya sistem franchise yang ditawarkan, membuat masyarakat mulai tertarik untuk menjalin kemitraan dengan De Tanjung. Sekarang ini bahkan Dewi telah memiliki enam outlet di Malang, JawaTimur, sedangkan mitranya sudah tersebar di luar kota Malang, seperti misalnya di daerah Bekasi, Palu, Makassar, sampai ke ujung daerah seperti Papua.Kesuksesan yang berhasil diraih Dewi sekarang ini, tidak terlepas dari besarnya tekad yang Ia miliki dan keberaniannya untuk segera mencoba segala usaha. Semoga informasi kisah sukses pengusaha yang berhasil mengembangkan ide kreatif, sukses mengolah limbah jadi rupiah ini bisa memberikan manfaat bagi para pembaca dan menginspirasi seluruh masyarakat Indonesia untuk segera memulai usaha. Maju terus industry kreatif Indonesia dan salam sukses.Inspirasi yang kami dapatkan dari Dewi Tanjung Sari ini adalah untuk memulai usaha diperlukan kerja keras, mandiri, semangat, ketekunan, dan tekad yang kuat. Tidak perlu modal yang besar untuk merintis usaha, spserti yang dilakukan oleh DewiTanjung Sari yang hanya bermodal uang 50 ribu rupiah untuk memulai usahanya. Bila kita mempunyai mimpi kita harus berusaha untuk mewujudkannya, bila usaha yang telah kita lakukan belum berhasil, kita harus mencari cara lain agar mimpi kita tetap dapat terwujud.