Upload
rahmat
View
14
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
diare
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diare masih menjadi masalah kesehatan dunia dan merupakan salah satu penyebab
utama kematian balita di Negara berkembang. Angka kejadian diare pada anak tiap tahun
diperkirakan 2,5 milyar, dan lebih dari setengahnya terdapat di Afrika dan Asia Selatan dan
akibat dari penyakit ini lebih berat serta mematikan. Secara global setiap tahun penyakit ini
menyebabkan kematian balita sebesar 1,6 juta. Sebanyak 6 juta anak meninggal dunia karena
diare dan mayoritas terjadi di negara berkembang. Indonesia merupakan salah satu dari tujuh
penyebab kematian balita di dunia (Juffrie, 2008).
Diare akut merupakan kondisi buang air besar lebih dari 3 kali sehari pada anak dengan
konsistensi tinja cair atau lunak dengan atau tanpa lendir atau darah yang terjadi selama
kurang dari satu minggu (Bambang, 2010). WHO 2011 mendefinisikan diare akut sebagai
keadaan pengeluaran feses 3 kali atau lebih, atau kondisi pengeluaran feses yang lebih
banyak dari kondisi normal biasanya pada seseorang.
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2002 menyebutkan bahwa di Indonesia
55% kejadian diare terjadi pada balita dengan kisaran 2,5 balita per 1000 balita
(Sinthamurniwaty, 2006). Berdasarkan data Riskesdas tahun 2007, diare menjadi penyebab
kematian tertinggi bayi dan balita di Indonesia diikuti oleh pneumonia di urutan kedua
dengan angka 42% (bayi), 25,2% (balita) oleh diare dan 24% (bayi), 15,5% (balita) oleh
pneumonia.
Di Propinsi Jawa Tengah, angka kejadian diare pada anak masih cukup besar. Pada
tahun 2003, terdapat laporan sebanyak 191.107 balita menderita diare. Data tersebut
menunjukkan cakupan penemuan diare pada balita masih cukup besar yaitu berkisar pada
angka 45,4%. Angka kejadian terbesar terdapat di Kabupaten Batang ( 77,2 % ) dan terkecil
di Kabupaten Grobogan ( 32,5 % ) (DINKES JATENG, 2009).
Diare dapat disebabkan oleh berbagai faktor, baik infeksi maupun noninfeksi. Infeksi
Rotavirus merupakan penyebab terbanyak pada kasus-kasus diare baik di negara maju
maupun negara berkembang. Pada tahun 2008, Health Sentinels System melaporkan bahwa
1
pada tahun 2008, virus ini menjadi penyebab 40% kejadian diare yang menjalani rawat inap
dan 50% kasus meninggal karena diare pada anak di Bolivia (Grandy et al., 2010).
Penatalaksanaan pada anak yang mengalami diare dapat dilakukan dengan pemberian
terapi rehidrasi, suplementasi zinc, dukungan nutrisi, pemberian antibiotik secara selektif,
dan edukasi kepada keluarga tentang kondisi diare pada anak (Juffrie, 2009). Terapi rehidrasi
menjadi bagian utama pada penatalaksanaan diare karena dapat mengurangi risiko kematian
akibat dehidrasi yang dialami pasien (Titik, 2009). WHO 2011 telah menentukan formula
baru dalam terapi rehidrasi pada anak diare yang berupa formula rehidrasi oral berbasis
glukosa (FROBG/oralit standar WHO-selanjutnya akan disebut oralit WHO). Formula ini
merupakan campuran dari komposisi Natrium Klorida 2,6 g/L, Glukosa Anhidrat 13,5 g/L,
Kalium Klorida 1,5 g/L, dan Trisodium sitrat dihidrat 2,9 g/L dengan osmolaritas sebesar 245
mmol/L.
B. Tujuan
Tujuan penulisan referat ini adalah mengetahui tentang definisi, etiologi, patogenesis,
diagnosis, penatalaksanaan, pencegahan, komplikasi, dan prognosis pada diare akut di bidang
ilmu kesehatan anak.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Diare
Diare akut merupakan kondisi buang air besar lebih dari 3 kali sehari pada anak dengan
konsistensi tinja cair atau lunak dengan atau tanpa lendir atau darah yang terjadi selama
kurang dari satu minggu (Bambang, 2010). WHO mendefinisikan diare akut sebagai keadaan
pengeluaran feses 3 kali atau lebih, atau kondisi pengeluaran feses yang lebih banyak dari
kondisi normal biasanya pada seseorang (WHO, 2011). Soegijanto (2002) menyebutkan
bahwa batasan diare akut adalah tidak lebih dari satu minggu.
B. Epidemiologi
Diare masih menjadi masalah kesehatan dunia dan Indonesia. Menurut WHO, diare
merupakan satu dari tujuh penyebab kematian balita di dunia, sebanyak 6 juta anak
meninggal dunia karena diare dan mayoritas terjadi di negara berkembang (Juffrie, 2009).
Soebagyo (2008) menyebutkan di Negara ASEAN, setiap balita mengalami diare 3-4 kali
dalam setahun. Sedangkan di Indonesia, Soebagyo juga menjelaskan bahwa kematian yang
terjadi pada balita pada tahun 2008 berkisar pada angka 200.000-400.000 balita (Febrika,
2010). Berdasarkan data Riskesdas tahun 2007, diare menjadi penyebab kematian tertinggi
bayi dan balita di Indonesia diikuti oleh pneumonia di urutan kedua dengan angka 42%
(bayi), 25,2% (balita) oleh diare dan 24% (bayi), 15,5% (balita) oleh pneumonia
(RISKESDAS, 2008). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) menyebutkan
bahwa di Indonesia kejadian diare menurun secara signifikan dibandingkan tahun 2011 dari
3.003 kasus menjadi 1.585 kasus pada tahun 2012. Berdasarkan data Depkes tahun 2007,
terdapat 100.000 balita meninggal di Indonesia karena diare. Itu berarti ada sekitar 273 balita
meninggal setiap harinya dan 11 balita meninggal setiap jamnya (Nasili, 2010).
Di Propinsi Jawa Tengah, angka kejadian diare pada masih cukup besar. Pada tahun
2003 terdapat laporan sebanyak 191.107 balita menderita diare. Data tersebut menunjukkan
cakupan penemuan diare pada balita masih cukup besar yaitu berkisar pada angka 45,4%.
3
Angka kejadian terbesar terdapat di Kabupaten Batang (77,2%) dan terkecil di Kabupaten
Grobogan (32,5%) (DINKES JATENG, 2009).
C. Etiologi
Diare dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, parasit, dan jamur (Zulfiqar, 2008).
Tabel berikut merupakan agen-agen etiologi penyebab diare yang terjadi pada anak :
Tabel 1. Agen etiologi diare anak
Etiologi ContohVirus Hepatitis A, Noroviruses (dan golongan calcivirus lainnya), Rotavirus,
golongan virus lainnya (astroviruses, adenoviruses, parvoviruses)Bakteri Bacillus anthracis, B. cereus, Brucella abortus, B. melitensis, B. suis,
Campylobacter jejuni, Clostridium botulinum, C. prefingens, enterohemorrhagic E. coli (EHEC) and other Shiga toxin–producing E. coli (STEC), Enterotoxigenic E. coli (ETEC), Listeria monocytogenes, Salmonella spp, Shigella spp, Staphylococcus aureus, Vibrio cholera, V. parahaemolyticus, V. vulnificus, Yersinia enterocolytica and Y. Pseudotuberculosis
Parasit Angiostrongylus cantonensis, Cryptosporidium, Cyclospora cayetanensis, Entamoeba histolytica
jamur Candida spp, zygomycosis
Pada diare dengan etiologi noninfeksi, dapat disebabkan oleh:
a) Malabsorbsi: karbohidrat, lemak, protein.
b) Makanan: makanan basi, makanan belum layak waktu pemberian.
c) Keracunan: makanan terkontaminasi toksin bakteri/tercampur bahan kimia toksik.
d) Kondisi malnutrisi: marasmus, kwashiorkor.
e) Alergi: susu, makanan laut.
f) Imunodefisiensi.
g) Faktor psikis.
D. Faktor Risiko Diare
Diare dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut ini :
a. Faktor internal
Faktor-faktor dari diri pasien sendiri yang berisiko mengakibatkan terjadinya diare, yaitu:
1) Usia
4
Kelompok usia 6-24 bulan merupakan kelompok usia anak yang sering terkena diare.
Makin besar usia anak, kemungkinan terkena daire menjadi lebih kecil.
2) Status gizi buruk/ malnutrisi
Pada kondisi malnutrisi, asupan makanan dan absorpsi makanan berkurang sehingga
nutrisi yang masuk ketubuh berkurang. Hal ini berpengaruh terhadap daya tahan
tubuh anak yang dapat meningkatkan risiko diare (Aisyah, 2009).
b. Faktor eksternal
Faktor-faktor dari orang tua pasien yang berisiko mengakibatkan terjadinya diare, yaitu :
1) Kurangnya kebiasaan cuci tangan ibu ketika memasak dan menyiapkan makanan
untuk anak dapat meningkatkan risiko terkena diare pada anak.
2) Tidak memberikan ASI eksklusif 6 bulan pertama kehidupan.
ASI merupakan makanan utama bayi pada 6 bulan pertama kehidupannya. Antibodi
yang terbawa dengan ASI dapat disalurkan kepada anak saat anak mengkonsumsi
ASI sehingga daya tahan tubuh anak menjadi lebih baik. Hal ini tidak terjadi pada
anak yang tidak mengkonsumsi ASI sehingga meningkatkan risiko terkena diare dan
penyakit lainnya.
3) Persediaan air bersih, jamban keluarga dan jenis lantai rumah.
Masyarakat yang menjadikan sumur/sumber air tak terlindung sebagai sumber air
bersih memperbesar risiko terjadinya diare pada anak dari pada masyarakat dengan
sumber air bersih dari sumber air terlindung seperti PAM. Masyarakat dengan kondisi
jamban tanpa tangki septik atau jamban cemplung memiliki risiko terkena diare pada
anak lebih besar dari pada masyarakat dengan kondisi jamban leher angsa dengan
tangki septik. Masyarakat yang memiliki lantai rumah tidak kedap air/ yang masih
berlantai tanah memiliki risiko terkena diare pada anak lebih besar daripada
masyarakat yang memiliki lantai rumah yang kedap air/terbuat dari semen dan ubin
atau porselen.
4) Rendahnya pendidikan dan pengetahuan orang tua
Makin rendah pengetahuan orang tua mengenai hidup bersih dan sehat, makin besar
risiko terkena diare pada anak. Makin rendah tingkat pendidikan orang tua, makin
5
rendah pula kesadaran akan pentingnya menjaga kesehatan sehingga meningkatkan
risiko terkena diare (Srimurni, 2011).
E. Klasifikasi Diare
Berdasarkan waktu terjadinya diare, diare dapat dibagi menjadi (Bambang, 2010):
Table 2. Klasifikasi diare menurut lama waktu
Jenis Diare Diare Akut Diare Kronik Diare PersistenWaktu Kurang dari 14 hari Lebih dari 14 hari
dengan etiologi non infeksi
Lebih dari 14 hari dengan etiologi infeksi
F. Mekanisme Diare
Diare yang terjadi pada anak memiliki mekanisme sebagai berikut:
Tabel 3. Mekanisme diare berdasarkan kondisi intraluminal
Jenis Diare Diare Osmotik Diare SekretorikEtiologi Konsentrasi masa intralumen >
konsentrasi masa ekstra lumenSekresi cairan berlebih kedalam
ususMekanisme Diare
Bahan sulit diserap↓
Intraluminal hipertonis, hiperosmolaritas
↓Air dan Na terkumpul dilumen usus
↓Kadar air melebihi batas kemampuan
absorpsi usus↓
Cairan berlebih di usus↓
diare
Bahan laksania↓
Stimulasi usus untuk mensekresikan cairan lebih
banyak↓
Cairan berlebih di usus↓
diare
6
G. Penilaian Klinis Diare
Penilaian klinis diare pada anak dikategorikan sesuai dengan UKK Gastrohepatologi Ikatan
Dokter Anak Indonesia (IDAI) sebagai berikut:
Tabel 4. Kriteria penentuan derajat dehidrasi
Kategori Tanpa Dehidrasi Dehidrasi Tidak Berat Dehidrasi Berat
Tanda dan Gejala Dua atau lebih dari
tanda berikut ini:
Tidak ada tanda gejala
yang cukup untuk
mengelompokkan
dalam dehidrasi berar
atau tak berat
dari tanda berikut ini:
Gelisah
Mata cowong
Kehausan atau sangat
haus
Cubitan kulit kembali
dengan lambat
Dua atau lebih
dari tanda berikut
ini: Letargi atau
penurunan
kesadaran
Mata cowong
Tidak bisa minum
atau malas minum
Cubitan kulit
perut kembali
dengan sangat
lambat (≥ 2 detik)
Rencana Terapi Rencana Terapi A Rencana Terapi B Rencana Terapi C
H. Komplikasi Diare
Diare menyebabkan beberapa kondisi yang merugikan, di antaranya (Sudaryat, 2007) :
a. Dehidrasi
Kondisi dehidrasi merupakan kondisi utama yang harus segera diatasi karena dapat
mengakibatkan beberapa komplikasi seperti: demam, muntah, penyakit ginjal akut,
bahkan kematian.
b. Gangguan keseimbangan asam-basa
c. Hipoglikemi
Keadaan ini dapat terjadi karena kadar glukosa darah menurun dan karena persediaan
glikogen dalam hati berkurang.
d. Kejang, terutama pada dehidrasi hipertonik.
7
e. Gangguan gizi
Kondisi buang air besar yang sering pada pasien diare mengakibatkan asupan nutrisi
berkurang. Hal ini dapat mengakibatkan penurunan berat badan dalam waktu yang cepat
dan dapat berpengaruh pada status gizi pasien.
f. Gangguan sirkulasi
I. Penatalaksanaan Diare
Protokol penanganan diare yang ditetapkan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia
(IDAI) dilakukan berdasarkan kategori/tipe diare yang menyerang pasien (Bambang,
2010). Pada pasien diare akut tanpa tanda dehidrasi, penanganan yang dilakukan
adalah penanganan dengan rencana terapi A:
RENCANA TERAPI A
Menggunakan cara ini untuk mengajari ibu:
a. Meneruskan mengobati anak diare di rumah
b. Memberikan terapi awal bila terkena diare
Menerangkan empat cara terapi diare dirumah :
1. Memberi cairan lebih banyak dari biasanya untuk mencegah dehidrasi
a. Menggunakan cairan rumah tangga yang dianjurkan, seperti oralit, makanan yang
cair (seperti sup, air tajin) dan kalau tidak ada air matang gunakan larutan oralit untuk
anak, seperti dijelaskan di bawah (catatan: jika anak berusia kurang dari 6 bulan dan
belum makan makanan padat lebih baik diberi oralit dan air matang daripada
makanan cair)
b. Memberikan larutan ini sebanyak anak mau, memberikan jumlah larutan oralit seperti
di bawah
c. Meneruskan pemberian larutan ini hingga diare berhenti
2. Memberi suplementasi zinc
Memberi suplementasi zinc selama 10-14 hari berturut-turut walaupun anak telah
sembuh dari diare. Dapat diberikan dengan cara dikunyah untuk anak yang lebih besar
atau dilarutkan dalam air matang, oralit, atau ASI untuk bayi:
a. Umur < 6 bulan diberi 10 mg (1/2 tablet) perhari
8
b. Umur > 6 bulan diberi 20 mg (1 tablet) perhari
3. Memberi anak makanan untuk mencegah kurang gizi
a. Meneruskan ASI
b. Bila anak tidak mendapatkan ASI berikan susu yang biasa diberikan. Untuk anak
kurang dari 6 bulan dan tidak mendapatkan ASI dapat diberikan susu
c. Bila anak 6 bulan atau lebih atau telah mendapatkan makanan padat :
1) Memberikan bubur, bila mungkin campur dengan kacang-kacangan, sayur,
daging, atau ikan. Menambahkan 1 atau 2 sendok teh minyak sayur tiap porsi
2) Memberikan sari buah atau pisang halus untuk menambahkan kalium
3) Memberikan makanan yang segar. Masak dan haluskan atau tumbuk makanan
dengan baik
4) Membujuk anak untuk makan, memberikan makanan sedikitnya 6 kali sehari
5) Memberikan makanan yang sama setelah diare berhenti, dan berikan porsi
makanan tambahan setiap hari selama 2 minggu
d. Membawa anak kepada petugas kesehatan bila anak tidak membaik dalam 3 hari atau
menderita sebagai berikut:
1) BAB cair lebih sering
2) Muntah terus menerus
3) Rasa haus yang nyata
4) Makan atau minum sangat sedikit
5) Timbul demam
6) BAB disertai darah
e. Anak harus diberi oralit di rumah apabila:
1) Setelah mendapat Rencana Terapi B atau C
2) Tidak dapat kembali lagi kepada petugas kesehatan bila diare memburuk
3) Memberikan oralit kepada semua anak dengan diare yang datang ke petugas
kesehatan merupakan kebijakan pemerintah
9
Formula oralit baru standar WHO:
Tabel 5. Oralit formula baru WHO
ORS osmolaritas terkurang Komposisi (dalam gram/ liter)
Glukosa anhidrat 13.5
Natrium klorida 2.6
Kalium klorida 1.5
Trisodium sitrat dihidtrat 2.9
Berat total 12.5
Ketentuan memberikan oralit:
1) Memberikan ibu 2 bungkus oralit formula baru.
2) Melarutkan 1 bungkus oralit frmula baru dalam 1 liter air matang untuk persediaan 24 jam.
3) Memberikan larutan oralit pada anak setiap kali buang air besar, dengan ketentuan sebagai
berikut:
a) Anak < 2 tahun: memberikan 50-100 ml tiap kali buang air besar
b) Anak > 2 tahun: memberikan 100-200 ml tiap kali buang air besar
c) Jika dalam waktu 24 jam persediaan larutan oralit masih tersisa, maka sisa larutan itu
harus dibuang
Menunjukkan pada ibu cara memberikan oralit:
a) Memberikan satu sendok teh tiap 1-2 menit untuk anak < 2 tahun
b) Memberikan beberapa teguk dari gelas untuk anak yang lebih besar
c) Apabila anak muntah, menunggu 10 menit, kemudian memberikan cairan lebih lama
(misalkan satu sendok tiap 2-3 menit)
d) Apabila diare berlanjut setelah oralit habis, beritahu ibu untuk memberikan cairan lain
seperti dijelaskan pada cara pertama atau kembali kepada petugas kesehatan untuk
mendapatkan tambahan oralit.
10
Pada diare dengan dehidrasi tidak berat, penatalaksanaan diare dilakukan dengan
Rencana Terapi B :
RENCANA TERAPI B
Pada dehidrasi tidak berat, cairan rehidrasi oral diberikan dengan pemantauan yang
dilakukan di Pojok Upaya Rehidrasi Oral selama 4-6 jam. Mengukur jumlah rehidrasi oral yang
akan diberikan selama 4 jam pertama :
Tabel 6. Jumlah cairan rehidrasi oral 4-6 jam pertama
Umur > 4 bulan 4-12 bulan 12 bulan-2 tahun 2-5 tahun
Berat Badan
Dalam ml
< 6 kg 6 - < 10 kg 10 - < 12 kg 12 – 19 kg
200 – 400 400 – 700 700 – 900 900 - 1400
Jika anak minta minum lagi, berikan.
1. Menunjukkan kepada orang tua bagaimana cara memberikan rehidrasi oral
a. Memberikan minum sedikit demi sedikit
b. Jika anak muntah, menunggu 10 menit lalu melanjutkan kembali rehidrasi oral pelan-
pelan
c. Melanjutkan ASI kapanpun anak meminta
2. Setelah 4 jam:
a. Menilai ulang derajat dehidrasi anak
b. Menentukan tatalaksana yang tepat untuk melanjutkan terapi
c. Mulai memberi makan anak di klinik
3. Bila ibu harus pulang sebelum selesai rencana terapi B :
a. Menunjukkan jumlah oralit yang harus dihabiskan dalam terapi 3 jam di rumah
b. Memberikan oralit untuk rehidrasi selama 2 hari lagi seperti dijelaskan dalam Rencana
Terapi A
c. Menjelaskan 4 cara dalam Rencana Terapi A untuk mengobati anak di rumah :
i. Memberikan anak lebih banyak cairan daripada biasanya
ii. Memberi tablet zinc
iii. Memberi anak makanan untuk mencegah kurang gizi
iv. Memberi tahu kapan anak harus dibawa kembali kepada petugas kesehatan
11
Pada diare dengan dehidrasi berat, penatalaksanaan diare dilakukan dengan Rencana
Terapi C : (mengikuti tanda panah pada gambar)
12
13
J. Pencegahan
Pada dasarnya ada tiga tingkatan pencegahan penyakit secara umum yakni:
pencegahan tingkat pertama (Primary Prevention) yang meliputi promosi kesehatan dan
pencegahan khusus, pencegahan tingkat kedua (Secondary Prevention) yang meliputi
diagnosis dini serta pengobatan yang tepat, dan pencegahan tingkat ketiga (tertiary
prevention) yang meliputi pencegahan terhadap cacat dan rehabilitasi (Soewondo, 2012).
1. Pencegahan Primer
Penyakit diare dapat ditujukan pada faktor penyebab, lingkungan dan faktor
pejamu. Untuk faktor penyebab dilakukan berbagai upaya agar mikroorganisme
penyebab diare dihilangkan. Peningkatan air bersih dan sanitasi lingkungan, perbaikan
lingkungan biologis dilakukan untuk memodifikasi lingkungan. Untuk meningkatkan
daya tahan tubuh dari pejamu maka dapat dilakukan peningkatan status gizi dan
pemberian imunisasi.
a. Penyediaan air bersih
Air adalah salah satu kebutuhan pokok hidup manusia, bahkan hampir 70%
tubuh manusia mengandung air. Air dipakai untuk keperluan makan, minum,
mandi, dan pemenuhan kebutuhan yang lain, maka untuk keperluan tersebut WHO
menetapkan kebutuhan per orang per hari untuk hidup sehat 60 liter. Selain dari
peranan air sebagai kebutuhan pokok manusia, juga dapat berperan besar dalam
penularan beberapa penyakit menular termasuk diare.
Untuk mencegah terjadinya diare maka air bersih harus diambil dari sumber
yang terlindungi atau tidak terkontaminasi. Sumber air bersih harus jauh dari
kandang ternak dan kakus paling sedikit sepuluh meter dari sumber air. Air harus
ditampung dalam wadah yang bersih dan pengambilan air dalam wadah dengan
menggunakan gayung yang bersih, dan untuk minum air harus di masak.
Masyarakat yang terjangkau oleh penyediaan air bersih mempunyai resiko
menderita diare lebih kecil bila dibandingkan dengan masyarakat yang tidak
mendapatkan air besih.
14
b. Tempat pembuangan tinja
Pembuangan tinja merupakan bagian yang penting dari kesehatan lingkungan.
Pembuangan tinja yang tidak tepat dapat berpengaruh langsung terhadap insiden
penyakit tertentu yang penularannya melalui tinja antara lain penyakit diare.
Tempat pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat sanitasi akan
meningkatkan risiko terjadinya diare berdarah pada anak balita sebesar dua kali lipat
dibandingkan keluarga yang mempunyai kebiasaan membuang tinjanya yang
memenuhi syarat sanitasi. Menurut hasil penelitian Irwanto (2012), bahwa anak balita
berasal dari keluarga yang menggunakan jamban (kakus) yang dilengkapi dengan
tangki septik, prevalensi diare 7,4% terjadi di kota dan 7,2% di desa. Sedangkan
keluarga yang menggunakan kakus tanpa tangki septik 12,1% diare terjadi di kota dan
8,9 % di desa. Kejadian diare tertinggi terdapat pada keluaga yang mempergunakan
sungai sebagi tempat pembuangan tinja, yaitu, 17,0% di kota dan 12,7% di desa.
c. Status gizi
Makin buruk gizi seorang anak, ternyata makin banyak episode diare yang
dialami. Mortalitas bayi dinegara yang jarang terdapat malnutrisi protein energi (KEP)
umumnya kecil. Pada anak dengan malnutrisi, kelenjar timusnya akan mengecil dan
kekebalan sel-sel menjadi terbatas sekali sehingga kemampuan untuk mengadakan
kekebalan nonspesifik terhadap kelompok organisme berkurang.
d. Pemberian air susu ibu (ASI)
ASI adalah makanan yang paling baik untuk bayi komponen zat makanan
tersedia dalam bentuk yang ideal dan seimbang untuk dicerna dan diserap secara
optimal oleh bayi. ASI saja sudah cukup untuk menjaga pertumbuhan sampai umur 4-
6 bulan. Untuk menyusui dengan aman dan nyaman ibu jangan memberikan cairan
tambahan seperti air, air gula atau susu formula terutama pada awal kehidupan anak.
Memberikan ASI segera setelah bayi lahir, serta berikan ASI sesuai kebutuhan. ASI
mempunyai khasiat preventif secara imunologik dengan adanya antibodi dan zat-zat
lain yang dikandungnya. ASI turut memberikan perlindungan terhadap diare,
pemberian ASI kepada bayi yang baru lahir secara penuh mempunyai daya lindung
empat kali lebih besar terhadap diare dari pada pemberian ASI yang disertai dengan
15
susu botol. Pada bayi yang tidak diberi ASI pada enam bulan pertama kehidupannya,
risiko mendapatkan diare adalah 30 kali lebih besar dibanding dengan bayi yang tidak
diberi ASI.
e. Kebiasaan mencuci tangan
Diare merupakan salah satu penyakit yang penularannya berkaitan dengan
penerapan perilaku hidup sehat. Sebahagian besar kuman infeksius penyebab diare
ditularkan melalui jalur oral. Kuman-kuman tersebut ditularkan dengan perantara air
atau bahan yang tercemar tinja yang mengandung mikroorganisme patogen dengan
melalui air minum. Pada penularan seperti ini, tangan memegang peranan penting,
karena lewat tangan yang tidak bersih makanan atau minuman tercemar kuman
penyakit masuk ke tubuh manusia.
Hubungan kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian diare pada orang tua
yang tidak mempunyai kebiasaan mencuci tangan sebelum merawat anak, anak
mempunyai risiko lebih besar terkena diare.
f. Imunisasi
Diare sering timbul menyertai penyakit campak, sehingga pemberian
imunisasi campak dapat mencegah terjadinya diare. Anak harus diimunisasi terhadap
penyakit campak secepat mungkin setelah usia sembilan bulan.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan tingkat kedua ini ditujukan kepada anak yang telah menderita diare
atau yang terancam akan menderita yaitu dengan menentukan diagnosa dini dan
pengobatan yang cepat dan tepat, serta untuk mencegah terjadinya akibat samping dan
komplikasi. Prinsip pengobatan diare adalah mencegah dehidrasi dengan pemberian
oralit (rehidrasi) dan mengatasi penyebab diare. Diare dapat disebabkan oleh banyak
faktor seperti salah makan, bakteri, parasit, sampai radang. Pengobatan yang diberikan
harus disesuaikan dengan klinis pasien. Obat diare dibagi menjadi tiga, pertama
kemoterapeutika yang memberantas penyebab diare seperti bakteri atau parasit,
obstipansia untuk menghilangkan gejala diare dan spasmolitik yang membantu
menghilangkan kejang perut yang tidak menyenangkan. Sebaiknya jangan
mengkonsumsi golongan kemoterapeutika tanpa resep dokter. Dokter akan menentukan
16
obat yang disesuaikan dengan penyebab diarenya misal bakteri, parasit. Pemberian
kemoterapeutika memiliki efek samping dan sebaiknya diminum sesuai petunjuk dokter
(Soewondo, 2012).
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tingkat ketiga adalah penderita diare jangan sampai mengalami
kecatatan dan kematian akibat dehidrasi. Jadi pada tahap ini penderita diare diusahakan
pengembalian fungsi fisik, psikologis semaksimal mungkin. Pada tingkat ini juga
dilakukan usaha rehabilitasi untuk mencegah terjadinya akibat samping dari penyakit
diare. Usaha yang dapat dilakukan yaitu dengan terus mengkonsumsi makanan bergizi
dan menjaga keseimbangan cairan. Rehabilitasi juga dilakukan terhadap mental
penderita dengan tetap memberikan kesempatan dan ikut memberikan dukungan secara
mental kepada anak. Anak yang menderita diare selain diperhatikan kebutuhan fisik juga
kebutuhan psikologis harus dipenuhi dan kebutuhan sosial dalam berinteraksi atau
bermain dalam pergaulan dengan teman sepermainan (Soewondo, 2012).
K. Prognosa
Secara umum prognosis untuk diare akut pada anak bergantung pada
penyakit penyerta/ komplikasi yang terjadi. Jika diarenya segera di tangani sesuai dengan
kondisi umum pasien maka kemungkinan pasien dapat sembuh.Yang paling penting adalah
mencegah terjadinya dehidrasi dan syok karena dapat berakibat fatal. Jika terdapat penyakit
penyerta yang memberatkan keadaan pasien maka perlu di lakukan pengobatan terhadap
penyakitnya selain penanganan terhadap diare. Oleh karna itu perlu di lakukan diagnosa
pasti berdasarkan pemeriksaan penunjang lain yang membantu, sehingga dapat di
lakukan penanganan yang tepat sesuai Penyebab/kausal dari diare yang di alaminya (Titik,
2009).
17
BAB IIIKESIMPULAN
1. Diare akut merupakan kondisi buang air besar lebih dari 3 kali sehari pada anak dengan
konsistensi tinja cair atau lunak dengan atau tanpa lendir atau darah yang terjadi selama
kurang dari satu minggu.
2. Diare dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, parasit, dan jamur.
3. Diare dapat dipengaruhi faktor-faktor seperti usia, status gizi buruk, kebiasaan yang
buruk, persediaan air bersih, jamban sehat, dan rendahnya pendidikan.
4. Berdasarkan waktunya diare dibagi menjadi diare akut, diare kronik, dan diare persisten.
5. Komplikasi diare seperti dehidrasi, ganggaun keseimbangan asam-basa, hipoglikemi,
kejang, gangguan gizi, gangguan sirkulasi.
6. Secara umum prognosis untuk diare akut pada anak bergantung pada penyakit penyerta/
komplikasi yang terjadi.
18
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah F. 2009. Hubungan Antara Pengetahuan dan Tindakan Ibu dalam Pencegahan Diare
dengan Kejadian Diare pada Anak Taman Kanak-kanak di Wilayah Kerja Puskesmas
Medokan Ayu Surabaya. Surabaya: Universitas Airlangga.
Andrianto, P., (2011), Penatalaksanaan dan Pencegahan Diare Akut, EGC, Jakarta.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) Nasional, hal.109.
Bambang S, Nurtjahjo BS. 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid 1: Diare Akut. Jakarta:
Ikatan Dokter Anak Indonesia; h.87-118.
Department of Health Statistics and Informatics World Health Organization. Causes of Death
2008: Data Sources and Methods. Geneva;2011; pp.6.
Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah. Profil Kesehatan Propinsi Jawa Tengah Tahun 2009.
Febrika N. 2010. Hubungan Pemberian Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI) pada Anak
Usia 0-24 Bulan dengan Kejadian Diare di Wilayah Kerja Puskesmas Purwodadi
Kecamatan Purwodadi Kabupaten Grobogan Surakarta (Indonesia): Universitas
Muhammadiyah.
Grandy et al. 2010. Probiotics in the treatment of acute rotavirus diarrhoea. A randomized,
double-blind, controlled trial using two different probiotic preparations in Bolivian
children. BMC Infectious Diseases; 10:253.
Irwanto, R.A., Sudarmo, S.M., 2012, Diare Akut Anak, dalam Ilmu Penyakit Anak Diagnosa dan
Penatalaksanaan, Edisi Pertama, 73-103, Salemba Medika, Jakarta.
Juffrie M, Nenny SM. 2009. editor. Modul Pelatihan Diare Edisi Pertama. Jogjakarta: UKK
Gastrohepatologi.
Nasili, Ridwan MT, Arifin S. 2010. Perilaku Pencegahan Diare Anak Balita di Wilayah Bantaran
Kali Kelurahan Bataraguru Kecamatan Wolio Kota Bau-Bau. Makassar: Pascasarjana
Universitas Hasanuddin.
Sinthamurniwaty. 2006. Faktor-faktor Risiko Kejadian Diare Akut pada Balita. Semarang
(Indonesia): Universitas Diponegoro.
19
Srimurni BRG. Hubungan antara Kejadian Diare pada Balita dengan Sikap dan Pengetahuan Ibu
Tentang PHBS di Puskesmas Siantan Hulu Pontianak Kalimantan Barat. Surabaya:
Universitas Airlangga;2011
Sudaryat S, editor. 2007. Kapita Selekta Gastrohepatologi Anak. Jakarta: Sagung Seto.
Soewondo ES. 2012. Penatalaksanaan diare akut akibat infeksi (Infectious Diarrhoea). Dalam :
Suharto, Hadi U, Nasronudin, editor. Seri Penyakit Tropik Infeksi Perkembangan Terkini
Dalam Pengelolaan Beberapa penyakit Tropik Infeksi. Surabaya : Airlangga University
Soegijanto, Soegeng. 2002. Ilmu Penyakit Anak Diagnosa dan Penatalaksanaan. Jakarta :
Salemba Medika.
Titik K. Rehidrasi, 2009. Tindakan Penting Atasi Diare.
Zulfiqar AB. 2008. Acute gastroenteritis in children. Dalam: Nelson Textbook of Pediatrics
Eighteenth Edition. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, editor.
20