31
BAB I PENDAHULUAN Disseminated Intravascular Coagulation memiliki karakteristik dengan meningkatnya aktivasi dari sistem koagulasi, yang memberikan pengaruh pada formasi fibrin di dalam intravaskular yang pada akhirnya menyebabkan penyumbatan dari trombosit pada pembuluh darah kecil maupun sedang. Koagulasi intravaskular dapat mempengaruhi suplai darah ke organ, dan berhubungan dengan hemodinamik dan kekacauan metabolik, dan memiliki kontribusi terhadap kerusakan dari berbagai organ. Pada saat yang sama, penggunaan dan pengurangan trombosit yang terjadi sesudah itu dan juga koagulasi protein dari koagulasi yang berlangsung dapat menyebabkan perdarahan yang hebat. Perdarahan dapat melukiskan gejala pada pasien dengan Disseminated Intravascular Coagulation, sebuah faktor yang dapat menyulitkan pengambilan keputusan mengenai terapi yang akan diberikan. 1 Aktivasi sistemik dari koagulasi menyebabkan perubahan deposisi intravascular dari fibrin dan penipisan jumlah trombosit dan juga factor koagulasi. Sebagai hasilnya, terjadi trombosis pada pembuluh darah 1

Dic

Embed Size (px)

DESCRIPTION

dic

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

Disseminated Intravascular Coagulation memiliki karakteristik dengan meningkatnya aktivasi dari sistem koagulasi, yang memberikan pengaruh pada formasi fibrin di dalam intravaskular yang pada akhirnya menyebabkan penyumbatan dari trombosit pada pembuluh darah kecil maupun sedang. Koagulasi intravaskular dapat mempengaruhi suplai darah ke organ, dan berhubungan dengan hemodinamik dan kekacauan metabolik, dan memiliki kontribusi terhadap kerusakan dari berbagai organ. Pada saat yang sama, penggunaan dan pengurangan trombosit yang terjadi sesudah itu dan juga koagulasi protein dari koagulasi yang berlangsung dapat menyebabkan perdarahan yang hebat. Perdarahan dapat melukiskan gejala pada pasien dengan Disseminated Intravascular Coagulation, sebuah faktor yang dapat menyulitkan pengambilan keputusan mengenai terapi yang akan diberikan. 1

Aktivasi sistemik dari koagulasi menyebabkan perubahan deposisi intravascular dari fibrin dan penipisan jumlah trombosit dan juga factor koagulasi. Sebagai hasilnya, terjadi trombosis pada pembuluh darah sedang dan kecil, yang berpengaruh pada kerusakan organ, dan dapat menyebabkan perdarahan hebat. 1

DIC terjadi pada pasien dengan kondisi buruk yang bermanifestasi sebagai perdarahan yang terjadi pada kulit (purpura) dan jaringan lainnya. Hal tersebut timbul sebagai komplikasi dari berbagai penyakit serius yang bahkan mengancam nyawa. Merupakan kelajutan dari peristiwa yang terjadi pada jalur koagulasi. Pada permulaannya terdapat aktivasi yang tidak terkontrol dari faktor pembekuan pada pembuluh darah, yang menyebabkan pembekuan darah pada seluruh tubuh. Penurunan jumlah trombosit tubuh dan faktor koagulasi meningkatkan terjadinya resiko perdarahan. DIC bukan merupakan suatu diagnosa yang spesifik, tapi biasanya merupakan indikasi adanya penyakit yang mendasari. 2

BAB II

PEMBAHASAN

1. DEFINISI

DIC adalah sindrom multifaset, sindrom kompleks dimana homeostatik normal dan sistem fisiologik yang mempertahankan darah agar tetap cair berubah menjadi sistem yang patologik sehingga terjadi trombi fibrin yang menyumbat mikrovaskular dari tubuh. System fibrinolitik yang teraktivasi ini mengakibatkan terjadinya perdarahan yang difus. DIC bukanlah penyakit, tapi merupakan akibat dari hal lain yang mendasarinya. 3

2. EPIDEMIOLOGI

Kondisi ini lebih terjadi sebagai respon terhadap factor lain dibandingkan sebagai kondisi primer. Tidak ditemukan factor predisposisi yang berhubungan dengan umur, jenis kelamin, ataupun ras. 3

3. KLASIFIKASI

Ada sumber yang mengatakan bahwa DIC diklasifikasikan menjadi dua yaitu DIC akut dan kronik:

DIC akut adalah kelainan perdarahan yang memiliki karakteristik timbulnya memar atau lebam (ekimosis), perdarahan dari mukosa (seperti pada mukosa bibir atau genital), dan penurunan jumlah trombosit dan factor pembekuan di dalam darah. Purpura Fulminan adalah bentuk fatal yang terjadi cepat dan berbahaya dari DIC akut.

DIC kronik mempengaruhi formasi bekuan darah di pembuluh darah (tromboembolism). Faktor pembekuan dan trombosit dapat berada pada nilai normal, meningkat, atau bahkan sedikit menurun pada DIC kronik. 2

4. ETIOLOGI

Penyebab DIC dapat dibedakan menjadi penyebab akut atau kronik, penyebab sistemik atau local. DIC dapat merupakan suatu hasil dari satu atau lebih kondisi yang terjadi.4,5

Tabel 1. Klasifikasi DIC. 4,5

DIC akut

Infeksi

Bakteri (contohnya sepsis akibat bakteri gram negative, infeksi bakteri gram positif, rikettsia)

Viral (contohnya HIV, citomegalovirus, varicella, hepatitis)

Fungi (contohnya hitoplasma)

Parasit (contohnya malaria)

Keganasan

Hematologi (contohnya akut mielositik leukemia)

Metastase (contohnya

mucin-secreting adenocarsinoma)

Obstetrik

Solution plasenta

Emboli cairan amnion

Acute fatty liver pada kehamilan

Eklamsia

Trauma

Terbakar

Kecelakaan Lalu Lintas

Terkena racun ular

Tranfusi

Reaksi hemolitik

Transfusi Masif

Penyakit hepar (acute hepatic failure)

Alat Bantu prostate

Shunt (Denver, LeVeen)

Alat Bantu ventrikel

Insufisiensi renal

DIC kronik

Keganasan

Tumor solid

Leukemia

Obstetrik

Intra Uterine Fetal Death yang lama

Penahan produk konsepsi yang lama dalam rahim

Hematologik

Myeloproliveratif syndrome

Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria

Giant cavernous haemangioma (Kasabach-Merritt syndrome)

Vaskular

Rheumatoid arthritis

Raynaud Disease

Trombosis vena atau emboli paru

Cardiovaskular myocardial infarction

Penyakit jaringan yang berat

Penyakit ginjal kronik

Inflamasi

Colitis ulseratif

Crohn disease

Sarcoidosis

5. PATOFISIOLOGI

Hemostasis dan pembekuan adalah serangkaian kompleks reaksi yang engakibatkan pengendalian perdarahan melalui pembentukan bekuan trombosit dan fibrin pada tempat cedera. Pembekuan disusul oleh resolusi atau lisis bekuan dan regenerasi endotel. Pada keadaan homeostasis, homeostasis dan pembekuan melindungi individu dari perdarahan masif sekunder akibat trauma. Dalam keadaan abnormal, dapat terjadi perdarahan atau trombosis, dan penyumbatan cabang-abang vaskuler, yang dapat mengancam nyawa.

Pada saat cedera, ada tiga proses utama yang bertanggung jawab atas hemostasis dan pembekuan :

1. vasokonstriksi sementara

2. reaksi trombosit yang terdiri dari adhesi, reaksi pelepasan dan agregasi trombosit, dan

3. pengaktifan faktor-faktor pembekuan

langkah-langkah permulaan terjadi pada permukaan jaringan yang cedera, dan reaksi-reaksi selanjutnya terjadi pada permukaan fosfolipid trombosit yang mengalami agregasi. 3

Patofisiologi dari DIC meliputi dimulainya proses koagulasi melalui perlukaan pada endotel atau karena perlukaan jaringan yang kemudian menghasilkan materi prokoagulan dalam bentuk sitokin dan faktor jaringan. Interleukin 6 dan faktor nekrosis tumor merupakan hal yang paling mempengaruhi masuknya sitokin ke dalam proses koagulasi dengan melalui faktor jaringan, dan merupakan faktor yang paling bertanggung jawab dalam hal kerusakan end organ yang mungkin terjadi. Lebih jauh lagi, pada sepsis, neutrofil dan produk yang dikeluarkan dapat menaikkan media trombosit pada formasi fibrin. 4

Dua enzim proteolitik, yakni trombin dan plasmin, bereaksi aktif secara sistemik. Keseimbangannya menentukan terjadinya perdarahan atau kecenderungan terjadi trombosis. Trombin memecah fibrinogen menjadi fibrin monomer. Trombin akhirnya memungkinkan aliran koagulasi dan menyebabkan trombosis pada pembuluh darah kecil dan sedang, yang hasilnya menyebabkan iskemik organ atau bahkan kerusakan organ. Mekanisme pengatur dari aliran koagulasi antara lain tissue factor pathway inhibitor (TFPI), antithrombin III, dan protein C aktif menyebabkan kerusakan yang luas. Plasmin, salah satu komponen sistem fibrinolitik, mampu menurunkan fibrin dalam produk degradasi yang terukur. Plasmin juga merupakan komplemen aktivasi. Plasmin dan trombin mempengaruhi secara kualitatif dan kuantitatif abnormalitas trombosit. 4

DIC akut memiliki karakteristik adanya perdarahan secara menyeluruh, yang dapat berupa petekiae hingga perdarahan eksangunasi atau trombosis mikrosirkulasi dan makrosirkulasi. Hal ini memacu terjadinya hipoperfusi, infark, dan kerusakan end organ. Pada kasus yang berat, pasien dapat mengalami demam dan memiliki gejala seperti syok yang ditandai dengan takikardi, takipneu, dan hipotensi. DIC kronik memiliki karakteristik adanya perdarahan subakut dan trombosis yang difus. DIC lokal dicirikan dengan perdarahan atau trombosis yang membatasi suatu lokasi anatomis spesifik. Ini berhubungan dengan adanya aneurisma aorta, giant hemangioma, dan hiperakut renal allograft rejection. 4

Defisiensi factor plasma didapat dikaitkan dengan menurunnya pembentukan factor-faktor pembekuan, seperti yang ditemukan pada penyakit hati atau defisiensi vitamin K, atau peningkatan penggunaan pada DIC atau fibrinolisis. 3

Karena hati merupakan tempat utama sintesis factor-faktor II, V, VII, IX, dan X, maka kerusakan hati yang berat yaitu sirosis akan merubah respon hemostasis. Terdapat juga penurunan pembersihan hati dari faktor-faktor pembekuan yang sudah diaktifkan. Selain itu, terdapat gangguan sintesis faktor-faktor koagulasi yang bergantung pada vitamin K. Hipertensi portal pada penyakit hati mengakibatkan splenomegali kongestif yang disertai trombositopenia dan varises esofagus. Keadaan ini, bersama-sama dengan gangguan pembekuan dapat mengakibatkan perdarahan masif. PT, PTT, dan masa perdarahan semuanya memanjang. 3

Vitamin K yang diperoleh dari diet dan sintesis bakterial, diperlukan untuk sintesis faktor-faktor II, VII, IX, dan X. Pada kasus malnutrisi, malabsorpsi, atau sterilisasi saluran cerna oleh antibiotika, vitamin K berkurang secara nyata dengan akibat penurunan aktivitas biologis faktor-faktor pembekuan. Terapi perdarahan berat memerlukan penggantian faktor-faktor pembekuan dengan plasma beku segar (yang memberikan faktor-faktor II, VII, IX, dan X), vitamin K parenteral, dan penyembuhan proses penyakit yang mendasarinya. 3

Gambar 1: patofisiologi DIC

6. PATOGENESIS

Sindrom ini diawali dari masuknya materi atau aktivitas prokoagulan ke dalam sirkulasi darah. Ini dapat ditemukan pada setiap keadaan dimana tromboplastin jaringan dibebaskan karena terjadi perusakan jaringan, yang mengawali jalan pembekuan ekstrinsik. Karena plasenta banyak mengandung tromboplastin jaringan, maka salah satu penyebab DIC yang paling sering adalah solsio plasenta (pelepasan plasenta yang prematur). Keadaan ini menyebabkan tertahannya hasil-hasil konsepsi (plasenta, fetus) yang mengakibatkan nekrosis dan kerusakan jaringan lebih lanjut. Produk-produk tumor, luka bakar, cedera remuk, dan leukemia promielositik semuanya menyebabkan pelepasan tromboplastin. Awal jaras intrinsik juga terjadi bila prokoagulan intrinsik kontak dengan endotel pembuluh yang rusak seperti pada vaskulitis, sepsis, dan syok. Selama proses pembekuan, trombosit akan beragregasi dan bersama-sama dengan faktor-faktor pembekuan akan dipakai, sehingga jumlahnya berkurang. Hasil trombi fibrin dapat atau juga tidak menyumbat mikrovaskular. Bersamaan dengan ini sistem fibrinolisis diaktifkan untuk mencairkan trombi fibrin, menghasilkan banyak fibrin, dan dan produk degradasi fibrinogen, yang mengganggu polimerisasi fibrin dan fungsi trombosit. Akibatnya terjadi perdarahan difus yang merupakan ciri khas dari DIC. 3

Nekrosis jaringan, inflamasi, kerusakan trombosit dan sel darah merah, ataupun kerusakan endothelial yang dipengaruhi oleh antigen-antibodi atau endotoksin memicu proses koagulasi yang mana pada akhirnya menyebabkan terbentuknya suatu bekuan. secara simultan, system fibrinolitik juga turut terpengaruh. Plasmin, protease aktif pada proses fibrinolisis, menurunkan fibrinogen dan fibrin, memproduksi produk penghancur fibrin yang mencegah pertukaran polimerisasi fibrin. Plasmin juga dapat menurunkan factor koagulasi. Bagaimanapun, kecenderungan perdarahan pada pasien DIC adalah konsekuensi dari penurunan factor koagulasi dan trombosit dan juga sifat antikoagulan dari produk penghancur fibrin. 6

Pada kebanyakan respon dari inflamasi sistemik, kekacauan dari koagulasi dan fibrinolisis pada DIC diperantarai oleh beberapa sitokin pendukung terjadinya inflamasi. Mediator terkuat dari aktivasi koagulasi muncul untuk akhirnya menjadi interleukin-6. factor nekrosis factor secara tidak langsung mempengaruhi aktivasi koagulasi karena efeknya terhadap interleukin-6, dan itu merupakan mediator paling penting dari disregulasi jalur antikoagulasi fisiologi dan penurunan fibrinolitik. 1

DIC terjadi saat monosit dan sel endothelial teraktivasi atau rusak oleh karena substansi racun yang rumit pada bagian dari penyakit yang sedang berlangsung. Respon dari monosit dan sel endothelial terhadap trauma adalah untuk menghasilkan factor jaringan pada permukaan sel, mengaktifkan aliran koagulasi . Pada DIC akut, suatu generasi eksplosif dari trombin menurunkan factor pembekuan dan trombosit, dan juga mengaktifkan system fibrinolisis. Perdarahan pada jaringan subkutan, kulit, dan membrane mukosa terjadi, bersamaan dengan oklusi dari pembuluh darah disebabkan karena fibrin dalam mikrosirkulasi. 7

Pada DIC kronis, prosesnya sama, tapi terjadi eksplosif yang lebih sedikit. Biasanya ada waktu untuk respon kompensasi untuk terjadi, yang dapat mengurangi kemungkinan dari perdarahan, tapi memberikan kenaikan pada bagian hiperkoagulasi. Perubahan yang terjadi pada darah ini dapat terdeteksi dengan melakukan tes terhadap system koagulasi. 1-4 tromboembolisme terjadi pada keadaan ini, dan saat antikoagulan oral diberikan mengikuti terapi heparin, ada kecenderungan untuk berulang. Terapi jangka panjang dengan heparin yang memiliki berat molekul rendah mungkin dapat menjadi solusi terhadap masalah ini sampai kasus yang mendasari dapat diatasi. 7

7. GAMBARAN KLINIS

Manifestasi klinisnya tergantung dari luas dan lamanya pembentukan trombi fibrin, organ-organ yang terlibat, dan nekrosis serta perdarahan yang ditimbulkan. Organ-organ yang paling sering terlibat adalah ginjal, otak, hipofise, paru-paru, dan adrenal, dan mukosa saluran cerna. Bisa timbul perdarahan pada membran mukosa dan jaringa-jaringan bagian dalam, serta perdarahan sekitar tempat cedera, vena pungsi, penyuntikan, dan pada setiap lubang. Petechiae dan ekimosis sangat sering terjadi. Manifestasi lain berupa hipotensi (syok), oligouria atau anuria, kejang dan koma, mual dan muntah, diare, nyeri abdomen, nyeri punggung, dispneu dan sianosis. 3

Sirkulasi

Tanda dari perdarahan spontan dan perdarahan yang mengancam nyawa. Tanda dari perdarahan subakut.

Tanda dari trombosis yang difus atau bersifat lokal.

Susunan syaraf pusat

Perubahan kesadaran yang tidak spesifik/stupor.

Defisit fokal biasanya tidak ditemukan.

Sistem kardiovaskular

Hipotensi

Takikardi

Kolaps sirkulasi

Sistem respirasi

Pergeseran pleura.

Tanda dari distress sindrom pernapasan pada orang dewasa.

Sistem gastrointestinal

Hematemesis

Hematochezia

Sistem Genitourinaria

Tanda dari azotemia dan gagal ginjal.

Acidosis

Hematuria

Oliguria

Metrorrhagia

Perdarahan uterus

Sistem Dermatologi

Petechiae

Purpura

Bulla hemorrhagic

Sianosis akral

Nekrosis kulit pada organ bawah (purpura fulminan)

Infark lokal dan gangren

Perdarahan luka dan hematom subkutan

Trombosis. 4,5

8. DIAGNOSIS

Diagnosis yang biasa ditemukan pada DIC dapat dilihat pada tabel berikut ini. Hasil pemeriksaan klinis dan laboratoris pada DIC akut berbeda dengan yang ditemukan pada DIC kronis. Hal tersebut merupakan suatu aturan umum, bagaimanapun, pada DIC kronik yang disebabkan oleh sindrom kematian janin dalam rahim dan kelainan vaskular tertentu, contohnya aneurisma aorta, dapat menunjukkan suatu koagulasi yang abnormal yang biasanya ditemukan pada DIC akut.

Tabel 2: temuan klinis dan laboratorium pada klasifikasi DIC

DIC akut

Penemuan Klinis

Perdarahan multipel

Ekimosis pada kulit dan membran mukosa

Hemoragia visceral

Iskemia jaringan

Abnormalitas hasil laboratorium

Abnormalitas koagulasi : Pemanjangan waktu protombin, aktivasi waktu tromboplastin partial, waktu trombin, penurunan angka fibrinogen, peningkatan angka Fibrin Degradasi Produk/FDP (pada saat dilakukannya tes untuk FDP, D dimer)

Angka trombosit menurun secara perlahan atau bisa juga secara mendadak dari angka yang tinggi atau normal.

Schistosit pada apusan periperal

DIC kronik

Penemuan klinis

Tanda dari trombosis atau emboli pada arteri atau vena profunda

Trombosis vena superfisial, biasanya tanpa varises vena

Trombosis multipel pada berbagai tempat dalam waktu yang bersamaan

Episode trombosis secara seri

Abnormalitas laboratorium

Peningkatan waktu protombin secara sederhana pada beberapa pasien

Pemendekan atau pemanjangan waktu tromboplastin parsial

Waktu trombin normal pada kebanyakan pasien

Angka fibrinogen bisa tinggi, rendah, atau bahkan normal

Peningkatan angka fibrin Degradation Product (FDP)

Fakta dari ditemukannya penanda molekular* (contohnya komplek trombin-antitrombin, penanda aktivasi dari membran trombosit, fragmen protombin F1+2)

Diagnosis dari DIC akut dapat ditegakkan tanpa harus disertai semua hasil dari tes laboratorium yang kita ketahui memiliki nilai abnormal yang biasa ditemukan pada kebanyakan kasus. Hal ini terutama benar apabila kriteria klinis yang didapatkan sesuai dengan DIC dan juga tes rutin (contohnya, angka trombosit, waktu protombin, waktu tromboplastin parsial, level fibrinogen) ditemukan abnormal. Kelainan seperti insuficiensi hepar, hekrosis hepar, dosis berlebihan antikoagulan, dan kehadiran dari beberapa antikoagulan dalam sirkulasi dapat juga menjadi pertimbangan pada diagnosa banding, terutama saat dimana tidak ada penyakit yang jelas mendasari untuk terjadinya DIC. 7

Beberapa tes laboratorium yang lain juga berhubungan dengan DIC, termasuk pemanjangan waktu trombin, dan penurunan antitrombin III, protein C, plasminogen, dan alfa2-antiplasmin. Bagaimanapun juga, kesamaan dari abnormalitas ini dapat terlihat pada penyakit hati yang berat, dan juga pada perdarahan hebat yang dikarenakan kehilangan plasma. Salah satu tes sistem koagulasi yang dapat membantu membedakan antara DIC dan penyakit hati adalah D dimer. Ters ini biasanya negatif pada penyakit hati kecuali bila terjadi nekrosis secara masif, yang mana dapat menyebabkan DIC. 7

Tes laboratorium yang lain yang dapat menjadi petunjuk DIC kronis adalah pemendekan wakru tromboplastin parsial teraktivasi. Angka trombosit dapat normal, tinggi, atau bahkan rendah. Ada kalanya, angka trombosit dapat naik dengan adanya terapi heparin, dan menjadi turun saat hepatin dihentikan pada saat munculnya hiperkoagulasi atau DIC kronis. 7

Bila hanya ada satu hasil tes laboratorium, maka tidak dapat ditegakkan diagnosis dari DIC. Bagaimanapun, suatu kombinasi dari hasil tes pada pasien dengan kondisi klinis yang ada kaitannya dengan DIC dapat digunakan untuk mendiagnosa kelainan ini dengan alasan yang tepat pada kebanyakan kasus. Pada penerapannya, adanya kelainan dapat didiagnosa sebagai dasar dari kelainan yang ditemukan ; penyakit yang mendasari diketahui berhubungan dengan DIC; angka trombosit yang kurang dari 100.000 per mm3 atau penurunan yang tidak beraturan pada perhitungan angka trombosit; pemanjangan waktu penjendalan, contohnya waktu protombin dan waktu tromboplastin parsial teraktivasi; ditemukannya fibrin degradation product dalam plasma, dan level plasma yang rendah dari penghambat koagulasi contohnya antitrombin III. 1

Angka trombosit yang rendah, dan terutama sekali, penurunan secara progresif terhadap angka trombosit sangat sensitif, walaupun tidak spesifik, tanda dari DIC dan dapat merupakan indikasi terjadinya aktivasi yang mepengaruhi thrombin atau penggunaan trombosit. Pemanjangan waktu pembekuan dapat mencerminkan penurunan faktor koagulasi, suatu kemungkinan yang dapat diperkuat dengan ukuran dari satu atau dua faktor koagulasi terpilih. Ukuran dari faktor koagulasi plasma dapat menyatakan abnormalitas koagulasi, contohnya defisiensi dari vitamin K. 1

Ukuran dari plasma fibrinogen hampir selalu diajurkan, tapi tingkat plasma fibrinogen biasanya berada pada kisaran normal meskipun terjadi aktivitas koagulasi yang amat sangat, karena protein ini pada fase akut beraksi. Faktanya, beberapa penelitian menunjukkan bahwa penemuan dari hipofibrinogemia secara diagnostik sangat bermanfaat pada kasus DIC yang sangan berat. Ukuran dari ihibitor koagulasi terpilih, termasuk antitrombin III atau protein C, dapat memberikan informasi prognosis yang berguna. Tes untuk fibrin degradation product atau D dimer dapat membantu untuk membedakan DIC dengan kondisi lain yang berhubungan dengan rendahnya angka trombosit atau pemanjangan waktu pembekuan. 1

Sangatlah sulit untuk membedakan antara penyakit hati berat dengan DIC, sejak kedua kondisi tersebut memiliki karakteristik abnormalitas laboratorium yang sama. Penemuan yang tidak langsung seperti adanya hipertensi portal, yang merupakan indikasi pada penyakit hati, atau kondisi yang mendasari yang diketahui berhubungan dengan DIC dapat membantu dalam membedakan dua kelainan tersebut. Begitu juga, hasil koagulasi abnormal dari penyakit hati tanpa komplikasi biasanya akan berangsur stabil daripada menjadi lebih buruk secara progresif. Pada pasien dengan DIC, apusan darah dapat mengandung sistosit, dan hasil analisis histologi dari biopsi jaringan organ dapat menyatakan deposisi fibrin pada pembuluh darah kecil atau sedang. 1

Lebih khusus lagi, tapi tidak tersedia secara umum, terlaboratorium yang sangat berguna dalam menegakkan diagnosis DIC termasuk ukuran dari fibrin yang dapat dilarutkan dan pengujian kadar logam yang sensitif yang dapat mengukur generasi dari trombin, seperti pengujian kadar logam untuk mendeteksi fragmen aktivasi protombin F1+2 atau komplek trombin-antitrombin. Sensitifitas dan spesifisitas dari pengujian kadar logam ini untuk menegakkan diagnosa DIC mencapai 80-90%, tapi walaupun hal tersebut sangat membantu dalam situasi klinis yang cukup sulit, namun hal tersebut tidak biasa diterapkan dalam praktek klinis. 1

9. PENATALAKSANAAN

Landasan dari manajemen DIC adalah terapi penyakit yang mendasarinya. Terapi terhadap DIC tanpa terapi terhadap penyakit yang mendasari akan mengarah pada kegagalan. Pengukuran suportif dapat berguna, walaupun dasar yang kuat yang mana merupakan manajemen dasar sangatlah langka, dan tidak ada penelitian yang menyampaikan terapi optimal atau strategi suportif. Pasien dengan DIC yang mengalami perdarahan difus dari berbagai tempat pada saat yang hampir bersamaan akan memerlukan terapi suportif yang berbeda dari apa yang diperuntukkan pada pasien dengan sumbatan trombotik pada pembuluh darah dan kerusakan multiorgan yang terjadi sesudah itu. 1

Perawatan ditujukan pada mekanisme yang mendasari. Perawatan mungkin memerlukan penggunaan antibiotika, agen-agen kemoterapeutik, dukungan kardiovaskular, dan pada peristiwa retensio plasenta, isi uterus dikeluarkan. Penggantian faktor plasma dengan plasma kriopresipitat, serta transfusi trombosit dan sel darah merah mungkin diperlukan. Bila terjadi perdarahan yang hebat, peranan heparin, suatu antitrombin yang kuat, masih sangat kontroversial. Heparin menetralkan aktivitas trombin dan dengan demikian menghambat penggunaan faktor-faktor pembekuan dan pengendapan fibrin. Meningkatkan konsentrasi faktor-faktor pembekuan dan trombosit dengan memberikan infus plasma dan trombosit akan menghambat diatesis perdarahan. Heparin merupakan indikasi jika terapi penggantian tidak dapat meningkatkan faktor-faktor pembekuan dan perdarahan masih terus berlangsung. Heparin juga diindikasikan pada keadaan dimana terjadi pengendapan fibrin akibat nekrosis dermal. Heparin dosis rendah sudah digunakan dengan sukses bersama-sama dengan agen kemoterapeutik pada pengobatan leukemia promielositik, untuk mencegah DIC sekunder akibat pelepasan tromboplastin oleh granula leukosit. 3

Antikoagulan

Secara teori, interupsi dari koagulasi dapat merupakan suatu keuntungan pada pasien dengan DIC. Tentu saja, studi eksperimental sudah menunjukkan bahwa heparin dapat menghambat secara parsial aktivasi dari koagulasi yang mana berkaitan dengan sepsis atau penyebab lainnya. Profilaksi yang adekuat juga dibutuhkan untuk mengurangi faktor resiko dari tromboemboli vena. Heparin juga sudah dibuktikan memiliki efek yang menguntungkan pada studi tanpa kontrol yang dilakukan pada pasien DIC, namun tidak pada studi yang dilakukan secara clinical controlled trials. Walaupun keamanan heparin pada pasien dengan DIC masih diperdebatkan, studi klinis tidak menunjukkan bahwa terapi dengan heparin meningkatkan terjadinya komplikasi perdarahan secara signifikan. Diberikan secara bersamaan, penemuan ini menunjukkan bahwa heparin sangat mungkin berguna pada pasien dengan DIC, terutama sekali pada mereka yang secara klinis jelas mengalami tromboembolisme atau endapan fibrin yang luas yang ditunjukkan dengan adanya purpura fulminan atau iskemia pada akral. Pasien dengan DIC biasanya diberikan dosis heparin yang relatif rendah (300-500 U tiap jam) sebagai pemasukan yang berkala. Heparin dengan berat molekul rendah juga dapat digunakan sebagai alternatif dari heparin yang belum terpecah. 1

Novel, antitrombin III-inhibitor independen dari trombin, seperti desirudin dan komponen senyawa yang terkait, mungkin lebih efektif daripada heparin, dan studi eksperimentalnya memiliki hasil yang menjanjikan. Bagimanapun, belum ada controlled clinical trial dari obat ini pada pasien dengan DIC, dan resiko perdarahan yang relatif tinggi yang berhubungan dengan penggunaan senyawa ini masih merupakan faktor pembatas. 1

Trombosit dan Plasma

Angka yang rendah dari trombosit dan juga faktor koagulasi dapat menyebabkan perdarahan serius atau meningkatkan resiko perdarahan pada pasien yang memerlukan prosedur invasif. Pada beberapa pasien, kemanjuran terapi dengan menggunakan konsentrat trombosit dan plasma ditunjukkan secara jelas. Tidak ada bukti yang mendukung penggunaan dari penggunaan profilaksi dari trombosit atau plasma pada pasien dengan DIC yang tidak mengalami perdarahan atau tidak memiliki resiko perdarahan yang tinggi. Hal ini dapat memungkinkan bagi penatalaksana volume yang cukup besar dari plasma (lebih dari 6 unit tiap 24 jam), untuk memperbaiki defek atau kerusakan dari koagulasi. Terapi dengan menggunakan konsentrat faktor koagulasi dapat mengatasi kebutuhan pemasukan yang banyak akan plasma, tapi penggunaannya pada pasien dengan DIC secara umum tidak dianjurkan karena konsentrat tersebut dapat saja terkontaminasi oleh sedikit faktor koagulasi teraktivasi, yang dapat mengeksaserbasi kelainan koagulasi. Selain itu, konsentrat ini hanya terdiri dari faktor koagulasi yang sudah terpisah, dimana pasien dengan DIC biasanya memiliki kekurangan dari semua faktor koagulasi. 1

Konsentrasi dari inhibitor koagulasi

Pemulihan jalur fisiologis dari antikoagulasi merupakan tujuan yang tepat dari terapi. Antitrombin III adalah salah satu inhibitor alami yang paling penting untuk koagulasi, dan pasien dengan DIC hampir tanpa kecuali memiliki defisiensi antitrombin yang didapat. Penatalaksanaan dari inhibitor ini pada consentrasi suprafisiologi mengurangi angka kematian yang berkaitan dengan sepsis pada hewan. Beberapa clinical controlled trial, hampir semua pasien dengan sepsis atau syok sepsis, menunjukkan efk yang menguntungkan dalam masa perbaikan dari DIC dan terkadang turut memperbaiki fungsi organ. Pada penelitian yang lebih baru, dosis tinggi dari konsentrat antitrombin III (lebih dari 150% dari normal), dan efek yang menguntungkan dari penelitian ini semakin jelas terlihat. Beberapa penelitian menunjukkan penurunan yang sederhana dalam kematian pada pasien yang diterapi dengan antitrombin III, tapi efek ini tidak mencapai angka statistik yang signifikan. 1

Suatu penelitian meta analisis dengan metode studi adekuat menunjukkan suatu penurunan dari kematian dari 56 persen menjadi 44 persen. Saat ini, randomisasi yang luas, penelitian multicenter terkontrol singan dosis suprafisiologis dari antitrombin III pada pasien dengan sepsis sudah mulai dilaksanakan, dan hasil dari penelitian ini akan membantu untuk memutuskan tempat dari terapi antitrombin III pada sepsis dan DIC. Pada waktu yang dimaksudkan, terapi dengan antitrombin III dapat digunakan sebagai pilihan terapi suportif pada pasien dengan DIC berat, meskipun harga substansi dari terapi ini akan menjadi faktor yang menghambat. 1

Agen Antifibrinolitik

Terapi antifibrinolitik efektif pada pasien dengan perdarahan, tapi penggunaan sedian ini pada pasien dengan DIC tidak direkomendasikan. Sejak terjadi deposisi fibrin terlihat sebagai bagian dari insufisiensi fibrinolisis, penghambatan yang lebih jauh dari sistem fibrinolisis bukanlah solusi yang tepat. Pengecualian dapat dilakukan pada kasus dimana pasien mengalami hiperfibrinolisis primer atau sekunder, contohnya pada mereka yang mengalami koagulopati yang berhubungan dengan leukemia promielositik dan beberapa pasien dengan DIC yang berhubungan dengan kanker. Pada beberapa pasien, terapi antifibrinolitik dapat mengontrol koagulopati. 1

Terapi harus mendekati cara-cara yang logis dan sistematis. Uluran yang paling penting melibatkan pemusnahan dari faktor pendorongnya. Saat hal tersebut tidak mungkin dilakukan, terapi yang spesifik dapat merupakan indikasi. Terapi cairan digunakan untuk memperbaiki hipovolemia, mencegah atau mengurangi stasis vaskular dan dilusi dari trombin, FDP dan aktivator fibrinolisis. Obat untuk menghambat koagulasi merupakan indikasi jika pasien tersebut mengalami manivestasi perdarahan secara langsung, trombosis atau disfungsi organ. Heparin menguatkan aksi dari plasma antitrombin III. Bila terjadi perdarahan pada pasien DIC, penggantian dari beberapa atau semua komponen darah merupakan indikasi untuk melengkapi lagi faktor koagulasi yang berkurang dan juga trombosit. Transfusi plasma merupakan pilihan, tapi darah lengkap dapat diberikan jika dibutuhkan juga penambahan jumlah sel darah merah. Transfusi sel darah merah membawa resiko terjadinya hemolisis dan eksaserbasi dari DIC.

Kembalinya normal dari koagulogram screening (PT, APTT, dan FDP) biasanya menunjukkan kesuksesan terapi. Kembali normalnya konsentrasi fibrinogen merupakan indikator yang dapat dipercaya pada terapi heparin jangka panjang. 6

Terapi harus berdasarkan pada etiologi dan keuntungannya dalam menyingkirkan penyakit yang mendasari. Terapi harus disesuaikan dengan umur pasien, penyakit, dan keparahan serta lokasi dari perdarahan atau trombosis. Terapi untuk DIC akut meliputi antikoagulan, komponen darah, dan antifibrinolitik. 1

Hemostatik dan parameter koagulasi harus dimonitor secara berkala selama terapi dilakukan. Dasar keputusan terapi yakni dari evaluasi klinis dan laboratoris dari hemostasis. Pada kasus DIC ringan, terapi lain selain terapi suportif tidak diperlukan atau biasanya menyertakan agen antitrombosit atau heparin subkutan. Keputusan terapi harus berdasarkan pada evaluasi klinis dan laboratoris dari hemostasis. Protein C manusia teraktivasi ditunjukkan untuk mengurangi angka kematian pada kasus sepsis yang berat untuk pasien dengan resiko kematian tinggi, dimana harus digunakan secara tepat dan bekesinambungan, mengikuti prosedur penggunaan yang berlaku. 1

Kategori Obat: Antikoagulan Preparat ini digunakan sebagai terapi bila terdapat kejadian klinis trombosis intravaskular dimana asien berdarah terus menerus atau baru terjadi bekuan darah setelah 4-6 jam setelah pemberian terapi primer dan suportif. Trombosis dapat berupa purpura fulminan atau iskemia pada akral. Lakukan tindakan pencegahan khusus pada gawat darurat obstetrik atau kegagalan hati yang masif. Anti inflamasi dari antitrombin III dapat digunakan pada DIC sekunder karena sepsis.

10. PROGNOSIS

Prognosis dari DIC sangat dipengaruhi oleh kondisi yang mendasari yang menyebabkan DIC dan juga dipengaruhi seberapa beratnya DIC yang terjadi. 4

DAFTAR PUSTAKA

1. Levi, Marcel., ten Cate, Hugo., 1999, Disseminated Intravascular Coagulation, the New England Journal of Medicine, http://www.content.nejm.org

2. Ngan, Vanessa., 2005, Dissemninated Intravascular Coagulation, DermNet NZ, http://www.dermnetdz.org

3. Price, Sylvia Anderson., Wilson, Lorraine McCarty, 1995, Patofisiologi; konsep klinis proses-proses penyakit, Penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta

4. Furlong, Mary A., 2005, Disseminated Intravascular Coagulation, WebMD, http://www.emedicine.com.htm

5. Kellicker, Patricia Griffin., 2005, Dissemniated Intravascular Coagulation (DIC, Consumption Coagulopathy, Defibrination Syndrome), http://www.healthlibrary.epnet.com

6. Newman, Arthur., 1999, Disseminated Intravascular Coagulation, http://www.addl.perdue.edu.htm

7. Messmore, Harry L., Wehrmacher, William H., 2002, Disseminated Intravascular Coagulation; A primer for primary care physicians, http://www.postgradmed.com.htm

1