45
I. PENDAHULUAN Serat pangan, dikenal juga sebagai serat diet atau dietary fiber, merupakan bagian dari tumbuhan yang dapat dikonsumsi dan tersusun dari karbohidrat yang memiliki sifat resistan terhadap proses pencernaan dan penyerapan di usus halus manusia serta mengalami fermentasi sebagian atau keseluruhan di usus besar (AACC, 2000). Jadi serat pangan merupakan bagian dari bahan pangan yang tidak dapat dihirolisis oleh enzim-enzim pencernaan. Sayur- sayuran dan buah-buahan merupakan sumber serat pangan yang sangat mudah ditemukan dalam bahan makanan. Akhir- akhir ini adanya perubahan pola konsumsi pangan di Indonesia menyebabkan berkurangnya konsumsi sayuran dan buah-buahan hasil penelitian dan kajian diikuti juga terjadinya pergeseran atau perubahan pola penyakit penyebab mortalitas dan morbiditas di kalangan masyarakat, ditandai dengan dengan perubahan pola penyakit-penyakit infeksi menjadi penyakit-penyakit degeneratif dan metabolik. Secara nyata dialami masyarakat perkotaan yang sebagian masyarakatnya begitu mobil dan sibuk cenderung mengkonsumsi makanan siap saji, dan terjadi pergeseran pola makan dari tinggi karbohidrat, tinggi serat dan rendah lemak ke pola konsumsi rendah karbohidrat dan rendah serat, tinggi lemak dan tinggi protein. Hal inilah yang menyebabkan 1

Dietary Fiber

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Dietary Fiber

I. PENDAHULUAN

Serat pangan, dikenal juga sebagai serat diet atau dietary fiber, merupakan

bagian dari tumbuhan yang dapat dikonsumsi dan tersusun dari karbohidrat yang

memiliki sifat resistan terhadap proses pencernaan dan penyerapan di usus halus

manusia serta mengalami fermentasi sebagian atau keseluruhan di usus besar (AACC,

2000). Jadi serat pangan merupakan bagian dari bahan pangan yang tidak dapat

dihirolisis oleh enzim-enzim pencernaan. Sayur-sayuran dan buah-buahan merupakan

sumber serat pangan yang sangat mudah ditemukan dalam bahan makanan. Akhir-

akhir ini adanya perubahan pola konsumsi pangan di Indonesia menyebabkan

berkurangnya konsumsi sayuran dan buah-buahan hasil penelitian dan kajian diikuti

juga terjadinya pergeseran atau perubahan pola penyakit penyebab mortalitas dan

morbiditas di kalangan masyarakat, ditandai dengan dengan perubahan pola penyakit-

penyakit infeksi menjadi penyakit-penyakit degeneratif dan metabolik. Secara nyata

dialami masyarakat perkotaan yang sebagian masyarakatnya begitu mobil dan sibuk

cenderung mengkonsumsi makanan siap saji, dan terjadi pergeseran pola makan dari

tinggi karbohidrat, tinggi serat dan rendah lemak ke pola konsumsi rendah

karbohidrat dan rendah serat, tinggi lemak dan tinggi protein. Hal inilah yang

menyebabkan tingginya kasus penyakit-penyakit seperti jantung koroner, kanker

kolon (usus besar), dan penyakit degeneratif lainnya di Indonesia. (Anonim,2001)

Meskipun tidak mengandung zat gizi, serat pangan menguntungkan bagi

kesehatan yaitu berfungsi mengontrol berat badan atau kegemukan (obesitas),

penanggulangan penyakit diabetes, mencegah gangguan gastrointestinal, kanker

kolon, serta mengurangi tingkat kolesterol darah dan penyakit kardiovaskuler.

Meskipun serat pangan memberikan efek positif terhadap kesehatan, namun juga

memberikan efek negatif, sehingga serat pangan tidak boleh dikonsumsi secara

berlebihan, sebagai acuan kebutuhan serat yang dianjurkan yaitu 30 gram/hari.

1

Page 2: Dietary Fiber

Sayur-sayuran dan buah-buahan merupakan sumber serat pangan yang

sangat mudah ditemukan dalam bahan makanan. Sayuran merupakan menu yang

hampir selalu terdapat dalam hidangan seharihari masyarakat Indonesia, baik dalam

keadaan mentah (lalapan segar) atau setelah diolah menjadi berbagai macam bentuk

masakan. (Herminingsih, 2010)

Di masyarakat perkotaan yang sebagian masyarakatnya begitu sibuk

cenderung mengkonsumsi makanan siap saji, masyarakat menengah keatas telah

terjadi pergeseran pola makan dari tinggi karbohidrat, tinggi serat dan rendah lemak

ke pola konsumsi rendah karbohidrat dan serat, tinggi lemak dan protein (Sujono,

1993 dalam Olwin Nainggolan dan Cornelis Adimunca, 2005). Hal inilah yang

menyebabkan tingginya kasus penyakit-penyakit seperti jantung koroner, kanker

kolon, dan penyakit degeneratif lainnya di Indonesia. Untuk itu perlu pemahaman

masyarakat akan pentingnya serat pangan dalam pola konsumsi makanan.

2

Page 3: Dietary Fiber

II. PENGERTIAN SERAT PANGAN

Dietary fiber atau serat pangan adalah bagian dari tanaman yang dapat

dimakan atau karbohidrat analog yang tahan (resisten) terhadap pencernaan atau

absorpsi dalam usus halus manusia, dan sebagian atau seluruhnya dapat mengalami

fermentasi dalam usus besar. (American Association of Cereal Chemists, June 2000)

Komposisi kimia serat pangan bervariasi tergantung dari komposisi

dinding sel tanaman penghasilnya. Pada dasarnya komponen-komponen dinding sel

tanaman terdiri dari selulosa, hemiselulosa, pektin, lignin, yang kesemuanya termasuk

dalam serat pangan. Serat pangan terbagi menjadi dua kelompok, yaitu : Serat pangan

larut (soluble dietary fiber), termasuk dalam serat ini adalah pektin dan gum

merupakan bagian dalam dari sel pangan nabati. Serat ini banyak terdapat pada buah

dan sayur, dan serat tidak larut (insoluble dietary fiber), termasuk dalam serat ini

adalah selulosa, hemiselulosa dan lignin, yang banyak ditemukan pada seralia,

kacang-kacangan dan sayuran. Secara skematis komponen serat pangan dalam

berbagai bahan pangan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komponen Serat Pangan dalam Berbagai Bahan Pangan

Jenis Bahan Pangan Jenis Jaringan Komponen Serat Pangan yangTerkandung

Buah-buahan dan Sayuran Terutama Jaringan Parenkim

Selulosa, Substansi pektat,hemiselulosa dan beberapaglikoprotein

Beberapa jaringan terlignifikasi

Selulosa, lignin, hemiselulosa danbeberapa jenis glikoprotein

Serealia dan HasilOlahannya

Jaringan Parenkim Hemiselulosa, selulosa, ester – ester fenolik dan glikoprotein.

Jaringan terlignifikasi Selulosa, hemiselulosa, substansipektat dan glikoprotein.

Biji - bijian selain serealia Jaringan Parenkim Selulosa, hemiselulosa, substansipektat dan glikoprotein.

Jaringan dg penebalan dinding endosperma

Galaktomanan, sejumlah sesulosa

Aditif pangan Gum guar, gum arabik, gum alginat, karagenan, selulosa

3

Page 4: Dietary Fiber

termodifikasi, pati termodifikasi.

Sayuran dan buah-buahan merupakan sumber serat pangan yang paling

mudah dijumpai dalam menu masyarakat. Sebagai sumber serat sayuran dapat

dikonsumsi dalam bentuk mentah atau telah diproses melalui perebusan. Sedangkan

Indonesia merupakan negara yang kaya akan aneka macam buh-buahan. Akan tetapi

dari hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi serat masyarakat

Indonesia masih jauh dari kebutuhan serat yang dianjurkan yaitu 30 gram/hari,

konsumsi serat rata-rata antara 9,9 – 10,7 gram/hari (Jahari dan Sumarno, 2002 dalam

Olwin Nainggolan dan Cornelis Adimunca 2005).

Tabel 2. Kadar Serat Pangan dalam Sayuran, Buah-buahan, Kacang-

kacangan dan Produk Olahannya.

Jenis sayuran,

buah – buahan,

kacang - kacangan

Jumlah serat /100

gram

Jenis sayuran,

buah – buahan,

kacang - kacangan

Jumlah serat /

100 gram

a. Sayuran

Wortel rebus

Kangkung

Brokoli rebus

Labu

Jagung manis

Kol kembang

Daun bayam

Kentang rebus

Kubis rebus

Tomat

3,3

3,1

2,9

2,7

2,8

2,2

2,2

1,8

1,7

1,1

Daun pepaya

Daun singkong

Asparagus

Jamur

Terong

Buncis

Nangka muda

Sawi

Brokoli

2,1

1,2

0,6

1,2

0,1

3,2

1,4

2,0

0,5

b. Buah - Buahan

Alpukat

Anggur

Apel

Belimbing

1,4

1,7

0,7

0,9

Nenas

Pepaya

Pisang

Semangka

0,4

0,7

0,6

0,5

4

Page 5: Dietary Fiber

Jambu biji

Jeruk bali

Jeruk sitrun

Mangga

Melon

5,6

0,4

2,0

0,4

0,3

Sirsat

Srikaya

Strawberi

Pear

2,0

0,7

6,5

3,0

c. Kacang - kacangan dan Produk olahannya

Kacang kedelai

Kacang tanah

Kacang hijau

Kacang panjang

Tauge

4,9

2,0

4,3

3,2

0,7

Kedelai bubuk

Kecap kental

Tahu

Susu kedelai

Tempe kedelai

2,5

0,6

0,1

0,1

1,4

Sumber : 1) Food Facts Asia (1999);

2) Berbagai sumber dalam Olwin Nainggolan dan Cornelis Adimunca (2005)

Mechanisms of action of dietary fibre on colonic transit time

5

Page 6: Dietary Fiber

III. KLASIFIKASI SERAT PANGAN

Berdasarkan sifat kelarutannya serat pangan dibedakan menjadi serat larut

(soluble fibre) dan serat tidak larut (insoluble fibre) yang ternyata juga memiliki

perbedaan dalam sifat fisiologisnya. Secara kimiawi serat tidak larut terutama terdiri

dari selulosa, hemiselulosa dan lignin, sedang serat larut terdiri dari pektin dan

polisakarida lain misalnya gum (BNF, 1990). Kedua jenis serat ini memiliki sifat

yang berbeda serta memberikan efek fisiologis yang berbeda pula (Marsono, 1995).

1. Serat larut (soluble fibre)

a. Pektin

Pectins ditemukan di dinding sel dan jaringan intraseluler banyak

terdapat pada buah dan berry, terdiri dari unit asam galacturonic dengan

rhamnose diselingi dalam rantai linier. Pectins sering memiliki sisi rantai gula

netral, dan unit galaktosa dengan gugus metil. Sementara buah-buahan dan

sayuran mengandung 5 sampai 10 persen alami pectin.

Pektin merupakan segolongan polimer heterosakarida yang

diperoleh dari dinding sel tumbuhan darat. Pertama kali diisolasi oleh Henri

Braconnot tahun 1825. Wujud pektin yang diekstrak adalah bubuk putih

hingga coklat terang. Pektin banyak dimanfaatkan pada industri pangan

sebagai bahan perekat dan stabilizer (agar tidak terbentuk endapan).

Struktur Pektin

Penggunaan pektin yang paling umum adalah sebagai bahan

perekat/pengental (gelling agent) pada selai dan jelly. Pemanfaatannya

sekarang meluas sebagai bahan pengisi, komponen permen, serta sebagai

6

Page 7: Dietary Fiber

stabilizer untuk jus buah dan minuman dari susu, juga sebagai sumber serat

dalam makanan.

b. Gum

Gum merupakan polisakarida yang dihasilkan dari getah atau

eksudat tanaman seperti gum arab, gum tragacanth, gum karaya, gum ghatti.

Ada pula gum yang diekstrak dari biji atau cabang tanaman berbatang lunak

dan gum yang berasal dari mikroorganisme seperti gum xhantan. Gum kecuali

gum arab umumnya membentuk gel atau larutan yang kental bila ditambahkan

air. Molekul gum ada yang polisakarida berantai lurus dan ada yang

bercabang. Polisakarida berantai lurus lebih banyak terdapat dan membentuk

larutan yang lebih kental dibandingkan dengan molekul bercabang pada berat

yang sama. Beberapa tipe gum yaitu galaktan, glukoromanan, galaktomanan,

dan xilan .

Komposisi Gum lebih sedikit dibandingkan dengan jenis serat

yang lain. Namun, kegunaannya amat penting, yaitu sebagai penutup dan

pelindung bagian tanaman yang terluka. Oleh karena memiliki molekul

hidrofilik yang berkombinasi dengan air, menyebabkan gum mampu

membentuk gel.

Guar gum dapat membantu mengentalkan, mengikat, dan

menstabilkan bahan dalam makanan. Dalam makanan, tepung guargum dapat

menarik dan mengikat air sehingga terjadi proses pengentalan makanan dan

menguraikan serat pada waktu yang bersamaan.

Guar gum membantu untuk menurunkan kolesterol pada orang yang

memiliki kadar kolesterol tinggi. Guar gum muncul untuk memblokir

penyerapan kolesterol dan juga mempromosikan ekskresi cairan empedu,

yang merupakan zat yang membantu memecah dan menghilangkan asam

lemak kolesterol dan lainnya dalam tubuh. Beberapa studi telah menemukan

bahwa 12 sampai 15gram guar gum sehari dapat membantu menurunkan

kadar kolesterol total serta lipoprotein densitas rendah, atau kadar kolesterol

7

Page 8: Dietary Fiber

LDL. (Margaret McWilliams, dalam bukunya, "Foods: Perspektif

Eksperimental,")

Struktur gum

c. Polisakarida Rumput Laut

Polisakarida rumput lain yang umum digunakan adalah agar-agar,

alginat dan karagenan yang diekstrak dari ganggang merah (agar-agar dan

karagenan) dan ganggang cokelat (alginat) Penyusun alginat adalah asam

manuronat dan asam guluronat dan dapat membentuk gel bila terdapat ion

kalsium Sementara itu karagenan dan agar-agar merupakan polimer dari

galaktosa dan dapat membentuk gel yang kuat.

d. β- Glukan

Merupakan polimer campuran (1 - 3) , (1 - 4) β – D- glukosa.

Senyawa ini ditemukan pada oat dan barley.

2. Serat tidak larut (insoluble fibre)

a. Selulosa

Selulosa merupakan serat-serat panjang yang terbentuk dari

homopolimer glukosa rantai linier. Rantai molekul pembentuk selulosa akan

semakin panjang seiring dengan meningkatnya umur tanaman.

8

Page 9: Dietary Fiber

Struktur selulosa

Selulosa merupakan polisakarida yang banyak dijumpai dalam

dinding sel pelindung seperti batang, dahan, daun dari tumbuh-tumbuhan.

Selulosa merupakan polimer yang berantai panjang dan tidak bercabang.

Suatu molekul tunggal selulosa merupakan polimer rantai lurus dari 1,4’-β-D-

glukosa. Hidrolisis selulosa dalam HCl 4% dalam air menghasilkan D-

glukosa.

Di dalam tanaman, fungsi selulosa adalah memperkuat dinding sel

tanaman sedangkan di dalam pencernaan, berperan sebagai pengikat air,

namun jenis serat ini tidak larut dalam air.

b. Hemiselulosa

Hemicelluloses adalah sekelompok polisakarida ditemukan dalam

tanaman dinding sel yang mengelilingi selulosa. Polimer ini dapat linear atau

bercabang dan terdiri dari glukosa, arabinose, mannose, xilosa, dan

galacturonic asam.

Hemiselulosa berfungsi memperkuat dinding sel tanaman dan

sebagai cadangan makanan bagi tanaman. Sifatnya sama dengan selulosa,

yaitu mampu berikatan dengan air. Jenis ini banyak ditemukan pada bahan

makanan serealia, sayur-sayuran, dan buah-buahan.

Perbedaan hemiselulosa dengan selulosa yaitu hemiselulosa mudah

larut dalam alkali tapi sukar larut dalam asam, sedang selulosa adalah

9

Page 10: Dietary Fiber

sebaliknya. Hasil hidrolisis selulosa akan menghasilkan D-glukosa, sedangkan

hasil hidrolisis hemiselulosa akan menghasilkan D-xilosa dan monosakarida

lainnya. Hemiselulosa tersusun dari gabungan gula – gula sederhana dengan

lima atau enam karbon. Degradasi hemiselulosa dalam asam lebih tinggi

dibandingkan dengan delignifikasi, dan hidrolisis dalam suasana basa tidak

semudah dalam suasana asam menyatakan bahwa adanya hemiselulosa

mengurangi waktu dan tenaga yang diperlukan untuk melunakkan serat dalam

proses mekanis dalam air.

Hemiselulosa memiliki sifat non-kristalin dan bukan serat, mudah

mengembang, larut dalam air, sangat hidrofolik, serta mudah larut dalam

alkali. Kandungan hemiselulosa yang tinggi memberikan kontribusi pada

ikatan antar serat, karena hemiselulsa bertindak sebagai perekat dalam setiap

serat tunggal. Pada saat proses pemasakan berlangsung, hemiselulosa akan

melunak, dan pada saat hemiselulosa melunak, serat yang sudah terpisah akan

lebih mudah menjadi berserabut (Sungai,2009).

10

Page 11: Dietary Fiber

c. Lignin

Lignin termasuk senyawa aromatik yang tersusun dari polimer

fenil propan. Lignin bersama-sama holoselulosa (merupakan gabungan antara

selulosa dan hemiselulosa) berfungsi membentuk jaringan tanaman, terutama

memperkuat sel-sel kayu. Kandungan lignin tidak sama, tergantung jenis dan

umur tanaman. Serelia dan kacang-kacangan merupakan bahan makanan

sumber serat lignin.

3. Resisten Starch

Pati tinggi amilosa berpotensi untuk menjadi pati resisten. Resisten

Starch (RS) didefinisikan sebagai molekul pati dan hasil pencernaan pati yang

tidak diserap di dalam usus halus individu yang sehat. ( et.al, 2006).

Pati resisten dikelompokkan menjadi 4 golongan yaitu :

- Tipe 1 (RS1): yaitu pati resisten secara fisik karena enkapsulasi dalam

matriks alaminya, terdiri dari granula pati dikelilingi oleh matriks sel-sel

tanaman dan matriks bahan pangan. Contoh nya biji-bijian dan kacang-

kacangan seperti padi yang digiling kasar.

11

Page 12: Dietary Fiber

- Tipe 2 (RS2): yaitu pati yang resisten terhadap enzim pencernaan seperti

enzim α amilaseRS 2 ditemukan pada pisang biasa yang belum matang,

pati kentang mentah dan pati jagung tinggi amilosa. Pati jagung tinggi

amilosa atau high-amylose maize starch (HAMS) secara komersial

dimasukkan atau digunakan sebagai bahan baku pembuatan produk

pangan. Bila HAMS ini dicampurkan dalam formulasi bahan pangan maka

produk pangan yang dihasilkan juga dapat menjadi pangan yang bersifat

seperti pati resisten.

- Tipe 3 (RS3): merupakan fraksi pati yang lebih resisten, terutama berupa

amilosa yang terretrogradasi yang terbentuk selama pendinginan pati

tergelatinisasi. RS 3 adalah pati yang termodifikasi secara fisik dan

enzimatis ( misalnya dengan pendinginan atau HMT (heat moisture

treatment). RS 3 dapat mempertahankan sifatnya selama proses

pengolahan pangan.

- Tipe 4 (RS4): RS 4 benar-benar resisten terhadap pencernaan oleh

amylase pankreas. RS 4 adalah pati resisten yang memiliki reaksi kimia

baru selain α (1,4 ) dan α (1,6) akibat perlakuan kimia seperti dengan garam

trimetafosfat yang membentuk jembatan ester fosfat diantara dua molekul

pati (Sajilata,dkk.2006). RS 4 adalah pati yang termodifikasi secara kimia

misalnya dimodifikasi secara esterifikasi, atau ikatan silang

(transglycosylation).

Pati resisten dapat digunakan sebagai makanan penderita diabetes

tipe 2 ( tak tergantung insulin ). Hal ini karena serat dalam proses pencernaan

akan memperlambat absorbs glukosa di usus halus (Alamtsier,2009).

Keuntungan mengkonsumsi serat pangan secara tepat dan seimbang mampu

mengurangi kelebihan glukosa darah dan insulin terutama pada penderita

diabetes, mampu meningkatkan frekuensi buang air besar secara teratur,

mampu menekan bakteri patogen dan meningkatkan metabolisme lemak

12

Page 13: Dietary Fiber

menjadi asam lemak rantai pendek dalam usus besar, sehingga mencegah

akumulasi lemak yang berlebihan dalam organ dalam (Dewanti,2006).

a. Pengaruh RS terhadap kesehatan saluran pencernaan

Karena sifatnya yang tahan terhadap enzim mamalia, RS dapat

diklasifikasikan sebagai komponen serat berdasar definisi serat pangan

yang diberikan oleh the American Association of Ceral Chemists (2000)

dan the National Academic of Science (2002). Meskipun bukan komponen

dinding sel tanaman tetapi kandungan gizi yang dimiliki RS mirip

polisakarida bukan pati (non starch polysaccharide) dibandingkan dengan

pati tercerna, sehingga efek fisiologisnya mirip serat. Seperti halnya serat

pangan, RS dapat meningkatkan status kesehatan GIT (gastrointestinal

tract) karena mempunyai sifat meruah (fecal bulking), berpotensi

mengencerkan toksin dan meningkatkan produksi SCFA. RS juga dapat

digunakan sebagai prebiotik untuk untuk menstimulasi pertumbuhan

beberapa mikrobia menguntungkan seperti Bifidobacterium karena RS

dapat digunakan sebagai substrat untuk organisme probiotik.

Secara analitis RS bersifat sebagai serat tak larut, tetapi

mempunyai efek fisiologis seperti serat larut. Selain itu, RS tercerna

lambat dan dapat sebagai sarana untuk memperlambat pelepasan glukosa.

Serat larut mempunyai dampak menyehatkan kolon dengan meningkatkan

kecepatan produksi sel crypt, menurunkan atropi epitelial kolon dibanding

makanan yang tidak berserat.

RS dapat digunakan sebagai komponen serat pangan yang dapat

mencegah kanker kolon. Pati yang tidak tercerna di dalam usus halus akan

difermentasi oleh mikrobiota usus besar. Konsumsi RS menghasilkan

jumlah kadar propionat dan butirat yang tinggi dalam digesta. Butirat

digunakan sebagai energi oleh colonocyte dan berperan sebagai growth

factor bagi sel epithel yang sehat dalam usus besar dan menghambat

pembentukan malignant (Bird et al., 2000). Serat pangan seperti

oligosakarida dan RS secara signifikan dapat memodulasi flora usus,

13

Page 14: Dietary Fiber

menghasilkan SCFA terutama propionat dan butirat yang berpotensi untuk

menurunkan risiko berkembangnya kanker kolon. Beberapa penelitian

menunjukkan adanya korelasi negatif antara konsumsi pati dengan RS

dengan timbulnya penyakit kanker kolon (Brouns et al., 2002).

Ternyata tidak hanya jumlah RS yang penting, tetapi terutama

komposisi molekuler dan struktur fisik nampaknya yang memberikan efek

prebiotik dan sifat butirogenik dari RS. Beberapa penelitian mendukung

pendapat bahwa RS yang ter-retrogradasi adalah substrat yang paling

berperan dalam produksi butirat. Dewasa ini beberapa publikasi banyak

menyorot sifat fisiologis RS terhadap kesehatan saluran pencernaan,

efeknya terhadap mikrobiota usus dan produk fermentasinya. Potensi RS

pada hewan coba dan manusia adalah sebagai berikut:

Efek pada mikrobia usus dan metabolismenya (Brouns et al., 2002)

• Terfermentasi sempurna.

• Tingkat pembentukan gas yang rendah saat terfermentasi.

• Tingkat pembentukan butirat yang tinggi pada kolon.

• Menurunkan pH.

• Secara selektif digunakan oleh lactobacilli dan bifidobacteria.

• Menstimulasi kolonisasi lactobacilli and bifidobacteria.

• Menurunkan tingkat bakteri pathogen dalam usus.

• Menurunkan asam empedu sekunder.

• Menurunkan toksisitas air fekal.

Efek pada kesehatan dan fungsi fisiologis intestine (Brouns et al.,

2002)

• Menurunkan gejala diare.

• Meningkatkan berat stool.

• Efek laksatif ringan dengan asupan yang tinggi.

• Menurunkan intake energy bila digunakan untuk mengganti pati normal

pada makanan.

• Menurunkan respon insulin bila dibandingkan dengan pati normal.

14

Page 15: Dietary Fiber

• Meningkatkan absorbsi Ca dan Mg.

• Menstimulasi sistem imun.

• Menurunkan faktor risiko kanker usus besar.

Efek fisiologis secara umum (Sajilata et al., 2006):

• RS berperan sebagai komponen serat pangan.

• Mencegah kanker kolon.

• Mempunyai efek hipoglikemik.

• Sebagai prebiotik.

• Mengurangi pembentukan batu empedu.

• Mempunyai efek hipokolesterolemik.

• Menghambat akumulasi lemak.

• Meningkatkan absorpsi mineral.

Meskipun berbagai keuntungan telah banyak diteliti dan

dibuktikan, efek RS yang kurang menguntungkan juga dilaporkan. Studi

menunjukkan adanya pembesaran cecal pada tikus, namun pada manusia

dikatakan mempunyai relevansi yang kecil karena ukuran dan berat cecum

manusia yang kecil.

b. RS dan aplikasinya dalam industri pangan

Jumlah RS pada kebanyakan produk mentah umumnya sangat

rendah, tetapi pengolahan dan penyimpanan dapat meningkatkan

jumlahnya seperti data yang dilaporkan oleh Marsono dan Topping

(1993). Kandungan RS beras mentah sebesar 0,6%, sedang nasi yang

ditanak dengan rice cooker (RC), nasi RC yang disimpan dalam

refrigerator 24 jam dan nasi RC yang disimpan dalam freezer 7 hari

mengandung pati resisten berturut-turut 2,4%, 5,6% dan 3,9%. Sementara

itu, nasi yang ditanak dengan oven microwave (MW) memiliki kandungan

pati resisten 2%, sedang nasi MW yang disimpan dalam refrigerator 24

jam dan nasi MW yang disimpan dalam freezer 7 hari kandungan pati

resistennya tidak berbeda yaitu 3,8%.

RS dapat ditingkatkan jumlahnya dengan berbagai proses

pengolahan bahan pangan melalui proses tertentu seperti pemanggangan,

15

Page 16: Dietary Fiber

perebusan dengan suhu tinggi, pendinginan dan pemanasan kembali

sehingga terjadi proses retrogradasi berulang. Teknik pengolahan

berpengaruh pada gelatinisasi dan proses retrogradasi, yang

mempengaruhi pembentukan RS. Pemanggangan, proses ekstrusi, proses

autoclaving, berpengaruh pada hasil RS dalam makanan. Pemanggangan

(baking) meningkatkan kandungan RS. Suhu rendah dan pemanggangan

yang lama memberikan kandungan RS yang lebih tinggi daripada kondisi

panggang biasa (Sajilata et al., 2006).

RS mempunyai sifat fisiko kimia yang dikehendaki seperti

penggelembungan (sweeling), peningkatan viskositas, pembentukan gel,

dan kemampuan mengikat air (WHC), sehingga dapat diaplikasikan untuk

berbagai macam produk pangan. RS dapat digunakan pada pembuatan roti

tawar untuk fortifikasi serat pangan. Fortifikasi dengan RS dapat

memperbaiki sifat yang kurang menguntungkan dari roti dengan

kandungan serat tinggi seperti warna yang gelap, penurunan tingkat

pengembangan, mouthfeel yang kurang enak, RS juga dapat ditambahkan

untuk memodifikasi tekstur pada pembuatan cake, muffins atau brownies.

Selain itu, RS dapat digunakan untuk meningkatkan kerenyahan

(crispness) permukaan produk pangan yang diolah menggunakan suhu

tinggi seperti waffles dan toasts. Selain perbaikan tekstur, RS dilaporkan

dapat meningkatkan ekspansi produk pangan ekstrusi seperti snack dan

sereal (Sajilata et al., 2006).

Bahan yang kaya RS atau RS yang sudah diisolasi dapat dijadikan

sebagai ingridien untuk memperbaiki sifat fisikokimia dan meningkatkan

nilai gizi produk-produk pangan. Bahan pangan yang kaya akan RS

diperlukan untuk memberikan karakter fisik yang baik pada makanan

seperti tekstur, kapasitas penyerapan air, dan lain-lain. RS3 mempunyai

sifat yang sangat menarik karena RS3 stabil terhadap panas. RS3 juga

stabil pada proses pengolahan pangan yang biasa dilakukan sehingga

memungkinkan digunakan sebagai bahan (ingridien) pada bermacam

makanan konvensional. Karena ketahan cernaannya terhadap enzim

16

Page 17: Dietary Fiber

pencernaan pati maka bahan pangan yang kaya RS dan RS murni dapat

digunakan sebagai bahan prebiotik untuk memperkaya gizi dan sifat

fungsional suatu produk pangan maupun minuman.

RS banyak dilirik oleh industri pangan dan konsumen karena

mempunyai efek yang menguntungkan secara fisiologis bagi kesehatan

maupun secara fungsional pada produk pangan. RS merupakan faktor

penting dalam kesehatan saluran cerna terutama melalui interaksinya

dengan mikrobiota intestine secara fisik maupun hasil metabolismenya.

Penambahan RS dapat memperbaiki kualitas produk pangan seperti

pengembangan, kerenyahan, warna, flavor dan mouthfeel dibandingkan

dengan serat tak larut konvensional sehingga meningkatkan penerimaan

konsumen. Sifat RS sebagai serat pangan serta prebiotik mempunyai

manfaat fisiologis yang menguntungkan bagi kesehatan saluran cerna,

serta manfaat fisiologis terkait lainnya. Berbagai teknik pengolahan

memungkinkan dikembangkan untuk meningkatkan RS pada produk

pangan yang dapat diterima oleh konsumen.

IV. SIFAT FISIK DAN KIMIA SERTA EFEK FISIOLOGIS SERAT PANGAN

Pengetahuan serat pangan menjadi menarik karena efek fisiologis yang

ditimbulkan, maka sebagian besar penelitian mengenai serat pangan diarahkan

untuk menggali efek fisiologisnya. Efek fisiologis berkaitan dengan sifat fisik dan

kimia serat pangan dan fraksi-fraksinya. Sifat-sifat spesifik serat pangan yang

berkaitan dengan efek fisiologisnya meliputi: fermentabilitas, kapasitas

pengikatan air, absorpsi molekul organik, viskositas dan sifat penukar ion.

a. Fermentabilitas

Seperti sudah tersurat dalam definisi, serat pangan tidak dapat dicerna

di dalam usus halus, tetapi akan mengalami degradasi mikrobiologis

(fermentasi) di dalam kolon sebagian atau seluruhnya. Fermentasi tersebut

menghasilkan asam lemak rantai pendek (Short- Chain Fatty Acids = SCFA)

17

Page 18: Dietary Fiber

terutama asam asetat, propionat dan butirat serta asam valerat, iso valerat, iso

butirat dalam jumlah yang lebih kecil. Di samping itu juga dihasilkan gas

methane (CH4), karbon dioksida (CO2) dan hydrogen (H2).

Fermentabilitas serat pangan mempengaruhi "keruahan feses" karena

jumlah masa bakteri dalam feses tersebut. Dengan kata lain sifat meruah feses

merupakan gabungan dari sifat serat sendiri yang tidak tercerna dan masa

bakteri yang tumbuh pada substrat serat tersebut. Efektivitas fermentasi

tergantung dari jenis serat pangan dan berpengaruh pada sifat laksative yang

ditimbulkan. Polisakarida bukan selulolasa lebih mudah terdegradasi oleh

bakteri dan memberi andil asam lemak rantai pendek yang dipercayai dapat

menyehatkan kolon. Pektin hampir terfermentasi secara komplit dan tidak

mempunyai efek laksative. Sifat fermentabilitas ini sekarang banyak

dimanfaatkan dalam penyediaan makanan prebiotik. Pada prinsipnya makanan

prebiotik adalah makanan yang justru tidak dapat dicerna di dalam usus halus

sehingga lolos ke dalam kolon dan merupakan substrat bagi mikroflora. Agar

efek prebiotik bisa maksimum konsumsi prebiotik sebaiknya juga disertai

dengan konsumsi probiotik yang merupakan mikroflora yang dapat

memfermentasi prebiotik di samping menjaga keseimbangan mikroflora di

dalam kolon.( Marsono, Y., 1995 )

b. Kapasitas pengikatan air

Serat pangan terutama serat tidak larut memiliki sifat mampu menahan

air (water holding capacity =WHC). Sifat ini berkaitan dengan residu gula

dengan gugus polar bebas (Schneeman, 1986). Pektin, gum, mucilages dan

sebagian hemiselulose mempunyai WHC yang tinggi. Hidrasi dari serat akan

menghasilkan pembentukan matrik gel. Hal ini dalam usus halus dapat

menghasilkan viskositas digesta yang tinggi dan dapat memberikan efek

memperlambat pengo10 songan usus, difusi dan absorpsi zat gizi. Pada

umumnya serat yang WHC-nya tinggi lebih mudah difermentasi dari pada

yang WHC-nya rendah.

18

Page 19: Dietary Fiber

Kapasitas pengikatan air juga dipengaruhi oleh ukuran partikel serat

(Marsono et al., 1993) dan mempunyai pengaruh yang besar pada sifat

laksative serat (Slavin, 1990). Serat dengan ukuran partikel halus mempunyai

WHC yang rendah serta menghasilkan berat feses yang lebih kecil (Marsono &

Topping, 1999, Bird et al., 2000). Kapasitas pengikatan air yang tinggi

dimanifestasikan dengan tingginya kadar air feses pada individu yang asupan

seratnya tinggi, seperti sudah banyak dilaporkan baik pada hewan coba

maupun manusia. Sifat ini penting sebab dapat mengurangi waktu transit di

dalam kolon dan menaikkan berat feses.

c. Absorpsi molekul organik

Serat pangan mempunyai kemampuan mengikat molekul organic

misalnya asam empedu, kolesterol dan toksin. Studi in vitro menunjukkan

bahwa lignin sangat potensial untuk mengabsorpsi asam empedu tetapi

sebaliknya selulosa hanya mimiliki kemampuan yang kecil. Kemampuan

mengikat molekul asam empedu secara in vivo dapat ditelusuri dengan

mengukur ekskresi asam empedu dan steroid di dalam feses. Kemampuan ini

juga dipercaya sebagai salah satu mekanisme penurunan kolesterol oleh serat

pangan. Masih sangat sedikit penelitian yang mengungkap kemampuan serat

pangan mengikat toksin, tetapi telah diketahui bahwa dengan asupan serat yang

tinggi, karsinogen di dalam kolon dan rektum “diencerkan” dan dengan

demikian juga mempunyai waktu kontak dengan mukosa yang lebih pendek.

(Blackburn et al., 1984).

d. Viskositas

Komponen utama serat pangan adalah polisakarida bukan pati (non

starch polysaccharide) yang bersifat kental atau viskus. Sifat tersebut

ditentukan oleh struktur kimianya yaitu kandungan gugus methoxy, rantai

cabang polimer dan sifat hidrofilik atau hidrophobiknya (BNF, 1990). Gum

dan pektin termasuk dalam kelompok serat larut air. Banyak penelitian

menunjukkan bahwa gum dan pectin menaikkan viskositas isi usus sehingga

19

Page 20: Dietary Fiber

menunda pengosongan perut, memperpanjang waktu transit (dari mulut sampai

caecum) dan mengurangi kecepatan absorpsi di dalam usus halus, sebagian

antara lain disebabkan oleh kenaikan ketebalan lapisan air dipermukaan usus

halus dan sebagian lagi karena perintangan gerakan zat gizi di dalam lumen.

Sedangkan serat tidak larut (misalnya dalam bekatul) tidak memiliki sifat

tersebut, tetapi serat ini mempercepat pengosongan usus dan transit sepanjang

usus. Serat tidak larut menaikkan jumlah feses sebab tahan terhadap degradasi

bakteri, serat larut lebih mudah difermentasi oleh bakteri sehingga

mengakibatkan kenaikan masa bakteri. Penambahan polisakarida murni dalam

makanan atau minuman dapat menurunkan kecepatan absorpsi gula dan

menurunkan glukosa plasma post prandial (Blackburn et al., 1984).

Serat pangan dapat memodulasi dan mengurangi kecepatan

pencernaan dan absorpsi lewat 3 mekanisme yaitu (i) mengurangi kecepatan

pengisian dan pengosongan usus, (ii) penghambatan aktivitas ensim oleh serat

pangan dan (iii) penghambatan difusi dan absorpsi zat gizi, ensim dan substrat

di dalam usus halus.

e. Potensi sebagai penukar ion

Sifat fisik serat pangan yang tidak kalah pentingnya adalah

kemampuannya sebagai penukar ion. Sifat ini dapat merupakan sifat negatif

serat pangan karena dapat mengurangi availabilitas mineral serta absorpsi

elektrolit. Jumlah gugus karboksil bebas pada residu gula serta kandungan

asam uronat polisakarida mempunyai kaitan yang erat dengan sifat ini.

Polisakarida asam dengan gugus COOH bebas seperti pektin dan lignin dapat

mengikat logam misalnya Fe, dan dapat menghambat absorpsi. Fitat yang

keberadaannya di dalam pangan sering diasosiasikan dengan serat memegang

peran yang penting pada pengikatan mineral. (Schneeman, 1986)

20

Page 21: Dietary Fiber

V. SERAT PANGAN BAGI KESEHATAN TUBUH

1. Serat Pangan dan Diabetes Mellitus

Salah satu tujuan terapi diet bagi penderita diabetes tipe II atau Non

Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) adalah untuk mempertahankan

level glukosa dan lipid darah sedekat mungkin dengan level normal sehingga

mengurangi risiko komplikasi mikro maupun makrovaskuler. Banyak penelitian

menunjukkan bahwa suplementasi serat pangan dalam diet tinggi karbohidrat

dapat menurunkan kadar glukosa darah pada penderita NIDDM. Diet yang tinggi

karbohidrat tetapi tidak tinggi serat pangan ternyata tidak menghasilkan efek

serupa, meyakinkan bahwa serat pangan mempunyai peranan yang penting

dalam menghasilkan efek tersebut. Tiap jenis makanan dapat memberikan respon

glukosa yang spesifik dan berbeda satu dengan yang lain. Penambahan serat larut

(soluble fibre) pada makanan telah banyak dilaporkan dapat menyebabkan

penurunan postpandrial glukosa darah dan respon insulin. Akan tetapi gejala

serupa tidak dijumpai pada penambahan serat tidak larut (insoluble fibre) seperti

bekatul gandum atau selulosa. Hal itu disebabkan oleh perbedaan sifat fisiologis

dari kedua serat tersebut. Beberapa mekanisme telah diusulkan oleh para peneliti

antara lain serat pangan larut (soluble fibre) dapat membentuk gel yang viskus

sehingga menghambat absorpsi glukosa (Pastors et al., 1991, Smith et al., 1996),

dan meningkatkan sensitivitas insulin (Anderson et al. 1991, Smith et al., 1996).

Keuntungan yang diharapkan dengan kenaikan asupan serat pangan untuk

individu yang menderita diabetes meliputi: mengurangi postprandial glisemia,

mengurangi konsentrasi glukose basal, menaikkan sensitivitas pada insulin dan

mengurangi konsentrasi kolesterol.

Terkait dengan terapi diet untuk penderita diabetes, pada tahun 80-an

Jenkins mengusulkan bahwa pemilihan makanan untuk penderita diabetes

sebaiknya tidak hanya didasarkan pada jumlah dan kadar karbohidrat makanan,

tetapi juga harus diperhatikan indeks glisemiknya (Jenkins et al., 1981). Indeks

Glisemik (IG) dapat didefinisikan sebagai perbandingan antara luas kurva

glukosa darah makanan yang diuji yang mengandung karbohidrat total setara 50

21

Page 22: Dietary Fiber

gram gula, terhadap luas kurva glukosa darah setelah makan 50 gram glukosa,

pada hari yang berbeda dan pada orang yang sama (Truswell, 1992). Jadi nilai

Indeks Glisemik makanan sangat ditentukan oleh respon glukosa makanan yang

bersangkutan. Secara umum respon glukosa makanan dipengaruhi oleh banyak

faktor yaitu; (1) ukuran partikel, (2) kerusakan integritas dinding sel, (3)

ketersediaan pati dan proses pengolahan yang dilakukan (gelatinisasi,

retrogradasi), (4) rasio amilosa dan amilopektin, (5) adanya lemak dan protein

(6) adanya polisakarida (terutama yang bersifat viskus) dan adanya zat antigizi

(inhibitor amilase, fitat, lektin, tannin dan sebagainya) (BNF, 1990).

2. Serat Pangan dan Hiperlipidemia

Salah satu komplikasi metabolik penderita diabetes adalah timbulnya

hiperkolesterolemia, yang dipercayai merupakan salah satu faktor risiko penyakit

jantung koroner. Oleh karena itu kontrol lipida darah merupakan tindakan penting

yang harus dilakukan oleh penderita diabetes. Pengendalian lipida darah dapat

dilakukan dengan mengurangi asupan, mengurangi sintesis atau menaikkan

ekskresi lipida. Diet tinggi serat telah diyakini dapat membantu menurunkan

kolesterol, meskipun tidak semua serat memiliki efektivitas yang sama. Serat larut

air (soluble fiber) telah terbukti dapat menurunkan plasma kolesterol darah

penderita diabetes baik pada orang dengan level kolesterol normal atau pada

orang hiperlipidemia, tetapi efek tersebut tidak dijumpai pada serat tidak larut lair

(insoluble fiber).

Pengaruh serat pangan yang lebih penting dan relevan dengan

hiperlipidemia adalah kemampuan serat pangan untuk mengikat asam empedu.

Serat pangan larut telah terbukti baik dalam penelitian in vitro maupun in vivo,

mempunyai kemampuan untuk mengikat asam empedu. Hal tersebut dapat

memacu ekskresi sterol dan secara tidak langsung dapat menurunkan kolesterol

yang disirkulasi (Malkki,2001). Dukungan dari teori ini telah datang dari studi

yang dilakukan pada pasien ileostomi. Pada pasien tersebut, diet tinggi serat

menaikkan ekskresi sterol secara signifikan dan diikuti dengan penurunan total

dan LDL (Low Density Lipoprotein) kolesterol. Cholestyramine, obat penurun

22

Page 23: Dietary Fiber

kolersterol pada penderita hiperkolesterolaema bekerja dengan prinsip ini dan

telah menunjukkan dapat menurunkan insiden sakit jantung koroner. Serat pangan

yang bersifat viskus yaitu serat larut (soluble fiber) juga dapat menghambat

absorpsi kolesterol didalam usus halus sehingga menurunkan availabilitas

kolesterol bagi tubuh. Pada saat yang sama sintesis kolesterol di dalam liver juga

dihambat sebagian disebabkan oleh pengurangan sekresi insulin yang

mengaktifkan enzim untuk sintesis kolesterol dan sebagian lain disebabkan oleh

penyimpangan komposisi asam empedu terutama konsentrasi asam deoksi kolik

yang tinggi dapat mencegah sintesis kolesterol (Marlett, 1997). Hal yang tidak

kalah menarik ialah bahwa produk dari fermentasi yaitu asam lemak rantai

pendek atau Short Chain Fatty Acid (SCFA) terutama asam propionat dapat juga

memberikan kontribusi pada efek penurunan kolesterol dari serat. (Hara et

al.1999) melaporkan bahwa pada tikus, SCFA dapat menekan sintesis kolesterol

baik di liver maupun di usus.

Ada lima mekanisme untuk menjelaskan mengapa serat pangan dapat

menurunkan kolesterol yaitu:

1. Serat pangan dapat meningkatkan ekskresi empedu,

2. Serat pangan menghambat absorpsi kolesterol,

3. Serat pangan menurunkan availabilitas kolesterol karena kemampuannya

untuk mengikat senyawa organik,

4. Asam lemak rantai pendek (SCFA) yang dihasilkan dalam fermentasi serat

dapat mencegah sintesis kolesterol, dan

5. Serat pangan dapat menurunkan densitas enersi makanan sehingga

mengurangi sintesis kolesterol.

3. Serat Pangan dan Penyakit Saluran Pencernaan

Beberapa penyakit saluran pencernaan makanan misalnya konstipasi,

divertikulosis, hemoroid dan kanker kolon, berkaitan erat dengan asupan serat

pangan. Kecurigaan bahwa konstipasi merupakan penyakit karena kekurangan

serat pangan, mulai muncul pada tahun tujuh puluhan. Burkitt dan koleganya

mendapati bahwa orang-orang Eropa yang tinggal di Afrika Selatan ternyata lebih

23

Page 24: Dietary Fiber

banyak menderita konstipasi daripada penduduk asli yang tinggal ditempat yang

sama. Studi mereka akhirnya membuka pemahaman yang sangat berarti dalam

bidang ilmu gizi. Berkat publikasi mereka serat pangan kemudian banyak diteliti

di berbagai belahan dunia. Sifat meruah (bulky) serat pangan merupakan jawaban

mengapa bahan ini dipercayai dapat mencegah konstipasi. Sifat meruah sangat

erat kaitannya dengan sifat laksative, yaitu memudahkan buang air besar. Rasa

sakit atau ketidak nyamanan akibat konstipasi bukanlah akibat akhir dari

kekurangan serat pangan. Bila sakit ini tidak segera diatasi, risiko timbulnya

penyakit lain seperti divertikulosis, hemoroid dan kanker kolon semakin besar.

Banyak penelitian telah membuktikan bahwa serat pangan tidak larut air

(insoluble fiber) mempunyai sifat mudah menahan air sehingga menyebabkan

feses meruah (bulky) dan mudah dikeluarkan. Sifat meruah juga disebabkan oleh

bertambahnya masa bakteri dalam feses yang kaya akan serat, sebab serat pangan

merupakan substrat yang sangat baik untuk pertumbuhan mikroflora di dalam

kolon. Akan tetapi sifat laksative tersebut lebih terlihat pada serat tidak larut air

dibanding dengan serat larut air.

Prevalensi kanker kolon dan rektum sangat tinggi di beberapa negara

Eropa, Amerika Utara dan Australia, tetapi relatip rendah di negara-negara

Afrika, Asia dan Amerika Tengah. Banyak studi menyimpulkan bahwa kanker

kolon dan rektum tidak disebabkan oleh faktor genetik, tetapi karena faktor

lingkungan yaitu budaya atau kebiasaan yang berkaitan dengan diet. Studi

mengenai pengaruh serat pangan terhadap kanker kolon dan rektum memberikan

hasil yang tidak seragam, ada yang menunjukkan pengaruh positip tapi juga ada

yang negatip. Beberapa mekanisme yang diusulkan untuk menjelaskan bagaimana

serat pangan dapat mencegah kanker kolon dan rectum telah disampaikan oleh

Kelompok Kerja “The British Nutrition Foundation” yaitu:

(i) sifat meruah feses yang kaya serat pangan menyebabkan pengenceran isi

kolon, mempercepat transit sehingga mengurangi aksi karsinogenik dan

mengurangi substrat untuk produksi karsinogen oleh bakteri,

24

Page 25: Dietary Fiber

(ii) Asam lemak rantai pendek (SCFA) hasil fermentasi serat memberikan

suasana asam dan dapat menetralkan ammonia, sehingga memberikan

kondisi yang tidak cocok untuk pertumbuhan sel tumor,

(iii) Asam butirat salah satu SCFA dapat menekan pertumbuhan sel kanker (BNF,

1990). Hubungan yang berlawanan antara konsumsi serat pangan dan risiko

terhadap kanker kolon telah banyak dibuktikan pada beberapa penelitian

meskipun juga ada penelitian yang memberikan hasil yang tidak sama

(Jacobs, 1989; Young & Gibson, 1991). Di samping efek-efek kesehatan

tersebut di atas banyak publikasi juga menyatakan bahwa serat pangan dapat

membantu mencegah kegemukan, mencegah batu empedu dan karies gigi

(BNF, 1990).

25

Page 26: Dietary Fiber

(insufisiensi pankreatik) konsumsi berlebihan

Konsumsi karbohidrat murni tinggi makanan berkalori tinggi Konsumsi lemak tinggi

Dalam usus besar Penurunan kekambaan stimulus Pengurangan Motilitas

Fermentasi lama Transit lambat

Konsentrasi metabolit tinggi Penurunan kadar bahan organic Massa berkurang Penyerapan air max

Kontak dg usus mukosa lama Fesas kental & kering Sulit BAB

Tekanan pada usus meningkat

Garnbar 2. Skema timbulnya berbagai penyakit akibat kurangnya konsumsi serat pangan (Johnson

dan Southgate, 1994)

26

Diabetes Obesitas

Konsumsi serat pangan

rendah

Penyakit

Jantung

Koloner

Kanker Usus

Divertikular Konstipasi

Page 27: Dietary Fiber

VI. PENUTUP

Uraian secara ringkas ini memberikan gambaran betapa serat pangan

sebagai salah satu zat gizi telah mengalami perkembangan pemahaman. Faktor yang

mendukung kenaikan daya tarik serat pangan adalah sifat-sifat serat, efek fisiologis

serta manfaatnya bagi kesehatan. Begitu besarnya pengaruh serat pangan dalam

kesehatan, sehingga pada awal popularitasnya, serat pangan pernah disebut sebagai

zat gizi ajaib (Flath, 1975). Sifat-sifat fisik serat pangan memberikan efek fisiologis

yang spesifik dengan demikian juga mempunyai pengaruh kesehatan yang spesifik

pula. Sebagai negara yang padat penduduk dengan asupan zat gizi yang sangat

variatip kemungkinan efek negatip karena rendahnya asupan serat pangan mungkin

tidak begitu terasa. Akan tetapi bukan berarti kita harus melupakan atau

mengabaikan. Rekomendasi mengenai kecukupan asupan serat pangan yang

diusulkan oleh WNPG VIII perlu disosialisasikan kepada masyarakat sebagai bahan

pertimbangan perancangan dan pengelolaan diet untuk berbagai keperluan. Sosialisasi

mengenai manfaat dan sumber-sumber serat pangan kepada seluruh lapisan

masyarakat juga perlu di berikan agar masyarakat yang selama ini menerima

informasi serat pangan lewat iklan produk di TV atau radio juga mendapat informasi

yang imbang dari sumber lain yang lebih kompeten. Bagi Institusi Pendidikan yang

mempelajari pangan sudah waktunya tidak hanya mengajarkan serat kasar (crude

fibre) kepada para mahasiswanya, tetapi juga serat pangan (dietary fibre). Sedangkan

bagi awam pengetahuan serat pangan juga sangat diperlukan agar bisa menjaga diri

dan memiliki referensi dalam memilih makanan untuk menu hariannya. Semoga

informasi singkat ini bermanfaat bagi kita semua.

27

Page 28: Dietary Fiber

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2000. AACC report, 2000. The definition of dietary fibre.Cereal Foods World 46: 112-126.

Anonim, 2001. The Definition of Dietary Fibre. Cereal Foods World 46:pp. 89-148.

http://www.aaccnet.org/Dietary Fiber/pdfs/dietfiber.pdf

Anik Herminingsih, 2010. Manfaat Serat dalam Menu Makanan.Universitas Mercu Buana,

Jakarta.

Anderson, J.W., Zeigle, J.A., Deakin, D.A., Floore, T.L., Dillon, D.W., Wood, C.L., Oelgent,

P.R. and Whitley, R.J., 1991. Metabolic effects of high carbohydrate, high fiber

diets for Insuline Dependent Diabetic Individuals. Am. J. Clin. Nutr. 54: 936-943.

Bird, A.R., Brown, I.L., and Topping, D.L. 2000. Starches, Resistant Starches, the Gut

Microflora and Human Health. Curr. Issues Intesty. Microbiol. 2000 1(1):25-37

Blackburn, N.A., Redfern, J.S., Jarjis, M. (1984). The mechanism of action of guar gum in

improving glucose tolerance in man. Clin. Sci., 66: 329-326.

British Nutrition Foundation (BNF), 1990. Complex carbohydrates in foods. The report of the

British Nutrition Foundation's Task Force, Chapman and Hall, London.

Brouns, F., Kettlitz, B. and Arrigoni, E. 2002. Resistant starch and “the butyrate revolution”.

Trends in Food Science & Technology 13: 251–261.

Englyst, H.N., Trowell, H., Southgate, D.A.T. and Cumming, J.H. 1987. Dietary fiber and

resistant starch. Am. J. Clin. Nutr. 46: 873-876.

Jenkins, D.J.A., Wolever, T.M.S., Taylor R., Barker H.M, Fielder H., Baldwin J.M., Bowling

A.C., Newman H.C., Jenkins A.L. and Goff D.F., 1981. Glycemic Index of Foods:

28

Page 29: Dietary Fiber

Malkki, Y., 2001. Physical Properties of Dietary Fiber as Keys to Physiological Functions.

Cereal Foods World (5) 46: 196-199.a physiological basis for carbohydrate

exchange. Am. J. Clin. Nutr. 34: 362-366.

Marsono, Y. and Topping, D.L., 1993. Complex carbohydrates in Australian rice products-

influence of microwave cooking and food processing. Food Science and

Technology, LWT 26: 364-370.

Marsono, Y., 1995. Fermentation of Dietary Fibre in thew Human Large Intestine: A review.

Indonesian Food and Nutr. Progress, 2: 48-53.

Sajilata, MG, Rekha S. S. and Kulkarni, P.R. 2006. Resistant Starch – A Review.

Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety. Vol. 5

Schneeman, B.O., 1986. Dietary fiber: Physical and Chemical Properties, Methods of Analysis,

and Physiological Effects. Food Tech. : 104-110.

Slavin, J.L., 1990. Dietary Fiber: Mechanisms or Magic on Disease Prevention?. Nutr. Today

Nov/Dec: 6-10.

Olwin Nainggolan dan Cornelis Adimunca, 2005. Diet Sehat Dengan Serat. Cermin Dunia

Kedokteran No. 147, 2005 Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Pastors, J.G., Blaisdell, P.W., Balm, T.K., Asplin C.M. and Pohl, S.L., 1991. Psyllium fiber

reduces rise in postprandial glucose and insulin concentration in patients with Non-

Insullin-Dependent Diabetes. Am. J. Clin. Nutr., 53: 1431-1435.

Truswell, A.S. (1992) Glycaemic index of foods. Eur. J. Clin. Nutr. 46 (Suppl;. 2): S91-S101.

29