48
REFERAT PENGENALAN DINI PENYAKIT JANTUNG BAWAAN ASIANOTIK PEMBIMBING : dr. Alfred Siahaan, SpA DISUSUN OLEH : Dieter Alyona, Sked. 0961050054

Dieter PJB Asianotik

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kk

Citation preview

REFERAT

PENGENALAN DINI

PENYAKIT JANTUNG BAWAAN ASIANOTIK

PEMBIMBING : dr. Alfred Siahaan, SpADISUSUN OLEH :Dieter Alyona, Sked.0961050054

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAKRUMAH SAKIT UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIAFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA PERIODE 2 MARET 9 MEI 2015BAB I

PENDAHULUAN1.1 Latar BelakangDi antara berbagai kelainan bawaan (congenital anomaly) yang ada, penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan kelainan yang paling sering ditemukan. Di Amerika Serikat, prevalensi penyakit jantung bawaan sekitar 8-10 dari 1000 kelahiran hidup, dengan sepertiga di antaranya bermanifestasi dalam kondisi kritis pada tahun pertama kehidupan dan 50% dari kegawatan pada bulan pertama kehidupan berakhir dengan kematian. Di Indonesia, dengan populasi 200 juta penduduk dan angka kelahiran hidup 2%, diperkirakan terdapat sekitar 30.000 penderita PJB.1Penyakit jantung bawaan adalah penyakit jantung yang dibawa sejak lahir, dimana kelainan pada struktur jantung atau fungsi sirkulasi jantung terjadi akibat gangguan atau kegagalan perkembangan struktur jantung pada fase awal perkembangan janin. Penyebab PJB sendiri sebagian besar tidak diketahui, namun beberapa kelainan genetik seperti sindroma Down dan infeksi Rubella (campak Jerman) pada trimester pertama kehamilan ibu berhubungan dengan kejadian PJB tertentu.1Secara umum terdapat 2 kelompok besar PJB yaitu PJB sianotik dan PJB asianotik. PJB sianotik biasanya memiliki kelainan struktur jantung yang lebih kompleks dan hanya dapat ditangani dengan tindakan bedah. Sementara PJB asianotik umumnya memiliki lesi (kelainan) yang sederhana dan tunggal, namun tetap saja lebih dari 90% diantaranya memerlukan tindakan bedah jantung terbuka untuk pengobatannya. Sepuluh persen lainnya adalah kelainan seperti kebocoran sekat bilik jantung yang masih mungkin untuk menutup sendiri seiring dengan pertambahan usia anak.1,2Penyakit jantung bawaan asianotik meliputi 75% dari seluruh prevalensi kelainan jantung bawaan. Secara garis besar dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu PJB asianotik dengan pirai kiri ke kanan, dan tanpa pirai (obstruktif). Kelompok dengan pirai meliputi defek septum ventrikel (VSD), defek septum atrium (ASD), duktus arteriosus persisten (PDA), dan endocardial cushion defect (ECD). Kelompok tanpa pirai meliputi stenosis pulmonar, stenosis aorta, dan koarktasio aorta. Masing-masing kelainan memiliki ciri tersendiri, termasuk dalam teknik diagnosis dan tatalaksana.2Mengingat pentingnya penegakan diagnosis dan tatalaksana yang cepat dan tepat pada PJB asianotik, maka perlu adanya pemahaman yang lebih baik mengenai kelainan ini, karena sebagian gejala yang terdapat pada kelainan ini tidak khas dan deteksi dininya cukup sulit.11.2 Tujuan

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mempelajari dan mengetahui definisi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, penatalaksanaan umum dari penyakit jantung bawaan asianotik.BAB II

ISI2.1 Pengertian dan Epidemiologi Penyakit Jantung Bawaan (PJB) AsianotikPenyakit Jantung Bawaan (PJB) asianotik adalah penyakit jantung bawaan dengan kelainan struktural dan atau fungsi sirkulasi jantung akibat gangguan atau kegagalan perkembangan struktur jantung pada fase awal perkembangan janin, tanpa disertai gejala sianosis. Penyakit jantung bawaan asianotik meliputi 75% dari seluruh prevalensi kelainan jantung bawaan. Terdiri atas defek jantung dengan efek struktural, dengan atau tanpa pirai dari kiri ke kanan (Left to Right Shunt = LTRS).2,52.2 Pembagian PJB AsianotikPJB asianotik dapat diklasifikasikan berdasarkan fisiologi beban pengisian (load) jantung predominan. Sebagian besar kelainan akan meningkatkan beban volum (volume load), yaitu dari kelompok PJB asianotik dengan pirai kiri ke kanan (LTRS) (misalnya VSD, ASD, AVSD, dan PDA). Kelompok kedua adalah penyakit jantung bawaan dengan peningkatan beban tekanan (pressure load), yang sebagian besar merupakan bentuk kelainan obstruktif sekunder dari sirkulasi ventrikular (misalnya stenosis pulmonal dan stenosis aorta) atau penyempitan salah satu arteri besar (misalnya koarktasio aorta).52.3 PJB Asianotik dengan Peningkatan Volume LoadHampir sebagian besar lesi pada kelompok ini disebabkan oleh left-to-right shunt (LTRS), yang meliputi defek septum atrial (ASD), defek septum ventrikel (VSD), defek septum atrioventrikular (ECD), dan duktus arteriosus persisten (PDA). Patofisiologi umum untuk kelompok ini adalah adanya hubungan antara sirkulasi sistemik dan sirkulasi pulmonal, yang menyebabkan pirai darah yang teroksigenasi masuk kembali ke paru. Pirai tersebut secara kuantitatif dapat dihitung berdasarkan rasio aliran darah pulmonar dan sistemik, atau Qp:Qs.5Besar dan derajat pirai bergantung dari ukuran defek, tekanan relatif pulmonal dan sistemik, serta resistensi vaskular. Faktor-faktor tersebut sangat dinamik dan dapat berubah secara dramatis mengikuti usia. Defek intrakardiak cenderung berkurang atau bahkan menutup seiring berjalannya waktu. Resistensi vaskular pulmonal yang tinggi selama periode awal neonatus akan menurun ke level normal pada beberapa minggu kehidupan. Namun, apabila keadaan tersebut menetap maka dapat menyebabkan peningkatan resistensi pulmonal yang meningkat secara bertahap atau disebut sindrom Eisenmenger (Gambar 1).5

Peningkatan volum darah di paru akan menurunkan daya kembang (compliance) paru dan meningkatkan usaha bernapas. Kebocoran cairan ke ruang interstisial dan alveoli, dapat menyebabkan edema pulmonal. Pada keadaan seperti ini, bayi atau anak akan menunjukkan gejala gagal jantung, seperti takipnea, retraksi dinding dada, pernapasan cuping hidung, dan wheezing. Sebenarnya, istilah gagal jantung pada keadaan ini kurang tepat, karena total output ventrikel kiri beberapa kali lipat lebih besar dibanding normal, meskipun besarnya output ini tidak efektif akibat sebagian darah kembali lagi ke paru.2,5

Gambar 1. Gambaran Sindrom Eisenmenger, dengan RTLS melalui VSD(Marcdante KJ, et all. Bab 134 Penyakit Jantung Bawaan Asianotik. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esential. 2010 (6) : 572-77)Untuk mempertahankan besarnya output ini, heart rate dan stroke volume akan meningkat, yang dimediasi oleh aktivitas sistem saraf simpatis. Peningkatan katekolamin sirkulasi, ditambah dengan peningkatan usaha bernapas, akan meningkatkan total konsumsi oksigen tubuh, umumnya di luar kemampuan transpor oksigen di sirkulasi. Hal ini akan memberikan gejala tambahan berupa berkeringat, iritabel, dan gagal tumbuh (failure to thrive). Remodeling jantung dapat terjadi, dengan dilatasi jantung dan hipertrofi otot jantung dalam skala ringan. Bila keadaan ini tetap tidak ditangani, maka resistensi pulmonal akan terus meningkat, dan pada suatu waktu pirai akan berbalik dari kanan ke kiri (Right-to-left shunt) atau disebut pula sindrom Eisenmenger. Pada sindrom Eisenmenger, kelainan jantung akan disertai sianosis akibat right-to-left shunt, resistensi pulmonal yang meningkat bersifat irreversibel, cenderung progresif, sukar dikoreksi, dan memiliki prognosis yang buruk.52.3.1 Ventricular Septal Defect (VSD)

VSD merupakan malformasi jantung kongenital dengan prevalensi tersering, yaitu sekitar 25-30% dari total kelainan jantung kongenital. Defek dapat terjadi di seluruh bagian septum ventrikel, namun tipe yang paling sering adalah tipe membranosa. Septum ventrikel dapat dibagi menjadi porsi kecil membranosa dan porsi besar muskularis. Septum muskular dibagi lagi menjadi tiga komponen, yaitu septum inlet, trabekular, dan outlet (infundibular). Septum trabekular terdiri atas bagian tengah, tepi, dan apikal. Sesuai dengan pembagian ini, maka VSD dapat diklasifikasikan menjadi VSD perimembranosa, inlet, infundibular (supracrista), muskular (trabekular), dan apikal (Gambar 2).2,3,5,6

Gambar 2. Berbagai tipe VSD (Ramaswamy P, Anbumani P, Srinivasan K, Natesan V, Srinivasan S. Ventricular Septal Defect. Editor: Towbin J, Windle ML, Allen HD, Herzberg G, Berger S. April 2013 (Available at www.eMedicine.com, diakses tanggal 12 Maret 2015)Septum membranosa merupakan area yang relatif kecil, berada tepat di bawah katup aorta. Defek membranosa mencakup semua variasi jaringan muskular di sekitar septum membranosa, sehingga disebut VSD perimembranosa. Defek outlet meliputi 5-7% total VSD di negara barat, dan 30% di Timur Jauh. Defek terletak di outlet septum dan dibentuk oleh anulus aortic dan pulmonal. Defek outlet disebut juga defek suprakristal. Defek inlet mencakup 5-8% total VSD dan berlokasi di posterior dan inferior defek perimembranosa, dibawah dau katup trikuspid, dan di bawah muskulus papillaris. Defek trabekular (muskular) mencakup 5-20% dari seluruh VSD. Dapat bersifat multipel. Defek apikal merupakan bagian dari defek muskular yang terjadi di daerah apex kordis.2,3,5,6

VSD memiliki variasi bentuk dan ukuran, dari yang kecil tanpa gangguan hemodinamik bermakna, hingga defek yang besar dengan perjalanan penyakit ke arah gagal jantung kongestif dan hipertensi pulmonal. Kelainan konduksi jantung dapat terjadi pada VSD tipe perimembranosa dan defek muskular inlet di kuadran superoanterior, karena pada daerah tersebut terdapat berkas His yang penting dalam elektrofisiologi jantung.2,3,5,6Diagnosis VSD relatif sulit karena sering tidak memberikan gejala yang khas. Dari anamnesis, beberapa hal dapat ditemukan bergantung luas defek VSD. Pada VSD yang kecil, pasien bahkan tidak memberikan gejala apapun dan status tumbuh-kembang anak umumnya tidak terganggu. Pada VSD sedang hingga besar, sering didapatkan tumbuh kembang yang terhambat, penurunan toleransi latihan, infeksi paru berulang, dan gagal jantung kongestif yang sering terjadi pada masa bayi. Pada VSD dengan hipertensi pulmonal yang persisten, akan didapatkan riwayat sianosis dan penurunan toleransi latihan.2,3,5,6Dari pemeriksaan fisik pasien VSD dapat ditemukan:2,3,5,61. Pasien dengan VSD kecil dapat tumbuh dengan baik dan asianotik. Sebelum 2 atau 3 bulan pertama, bayi dengan VSD besar akan sulit untuk meningkatkan berat badan dan dapat menunjukkan gejala CHF. Sianosis dan clubbing dapat ditemukan pada VSD dengan sindrom Eisenmenger.

2. Thrill sistolik dapat ditemukan pada LLSB (Lower Left Sternal Border = pertemuan ICS IV kiri dengan linea parasternal kiri). Tonjolan prekordial dan hiperaktivitas ditemukan pada VSD dengan shunt besar.

3. Suara jantung II dapat terdengar keras dan tunggal pada penyakit obstruktif vaskular paru. Bising sistolik dengan derajat 2-5/6 dapat didengar pada LLSB, berupa sistolik awal atau holosistolik. Rumbling diastolik apikal dapat didengar pada VSD sedang hingga besar.

4. Pada VSD infundibular, bising dekresendo diastolik awal dengan derajat 1-3/6 dapat didengar. Bising ini terjadi akibat herniasi katup aorta.

Dari elektrokardiografi dapat ditemukan:2,3,4,5,61. EKG normal pada VSD kecil

2. VSD moderat, dapat terlihat hipertrofi ventrikel kiri dan atrial kiri.

3. Pada defek yang besar, EKG menunjukkan kombinasi hipertrofi kedua ventrikel dengan atau tanpa hipertrofi atrial kiri.

4. Bila terjadi penyakit vaskular paru obstruktif, EKG menunjukkan hipertrofi ventrikel kanan saja.

Dari pemeriksaan radiologi dapat ditemukan kardiomegali dengan berbagai derajat, termasuk pada atrial kiri, ventrikel kiri, dan kadang ventrikel kanan. Vaskular paru terlihat bertambah. Derajat kardiomegali dan peningkatan vaskular paru menunjukkan besarnya pirai LTRS. Ekokardiografi 2 dimensi dan Doppler dapat menunjukkan secara pasti jumlah, ukuran, dan lokasi defek, serta memperkirakan tekanan arteri pulmonalis melalui persamaan Bernoulli, menentukan adanya defek tambahan yang berhubungan, serta memprediksi besarnya shunt.2,3,4,5,6

VSD secara spontan dapat menutup pada 30-45% penderita, terutama dengan tipe membranosa dan muskular, selama 6 bulan pertama kehidupan. Semakin kecil defek, maka semakin besar kemungkinan untuk menutup spontan. Pada defek inlet dan infundibular, defek tidak berkurang dalam ukuran dan tidak pernah menutup spontan. CHF dapat berkembang pada bayi dengan VSD besar, biasanya terjadi sebelum usia 6-8 minggu pertama. Penyakit obstruksi vaskular paru mulai berkembang pada awal minggu ke-6 hingga minggu ke-12 pada pasien dengan VSD besar, namun kejadian RTLS (sindrom Eisenmenger) umumnya baru terjadi pada anak usia sekolah dan remaja. Stenosis infundibular dapat terjadi pada beberapa anak dengan VSD besar dan menyebabkan penurunan LTRS untuk kemudian berkembang menjadi RTLS. Pada VSD, endokarditis infektif jarang terjadi.2,3,5,62.3.2 Atrial Septal Defect (ASD)ASD adalah penyakit jantung bawaan berupa lubang (defek) pada septum interatrial (sekat antar serambi) yang terjadi karena kegagalan fusi septum interatrial semasa janin.2,3,5,7Berdasarkan lokasi defek, ASD diklasifikasikan dalam 3 tipe (Gambar 3), yaitu (1) ASD sekundum, bila lubang terletak pada daerah fosa ovalis, (2) ASD primum, bila lubang terletak di daerah ostium primum, yang mana ini termasuk salah satu bentuk Atrio-Ventricular Septal Defect (AVSD), dan (3) Sinus Venosus Defect (SVD) bila lubang terletak di daerah sinus venosus dekat muara vena (pembuluh darah balik) kava superior atau inferior.2,3,5,7

Gambar 3. Berbagai tipe ASDCarr MR, King BR. Pediatric Atrial Septal Defect, Clinical Presentation. Editor: Seib PM, Windle ML, Chin AJ, Herzberg G, Neish SR. January 2014 (Available at www.eMedicine.com, diakses tanggal 12 Maret 2015)Defek ostium sekundum merupakan tipe ASD tersering, sekitar 50-70% dari total keseluruhan ASD. Defek ini terjadi di daerah fossa ovalis, yang menyebabkan pirai LTRS dari atrium kiri ke atrium kanan. Pada 10% kasus, terjadi kelainan aliran arah balik dari paru ke atrium kiri. Defek ostium primum terjadi sekitar 30% kasus ASD, dan merupakan bagian dari kelainan ECD (Endocardial Cushion Defects) totalis. Defek sinus venosus terjadi pada 10% kasus ASD, dan paling sering berlokasi di tempat masuk vena cava superior ke atrium kanan dan sangat jarang terjadi di tempat masuk vena kava inferior.2,3,5,7Sebagian besar penderita ASD tidak menampakkan gejala (asimptomatik) pada masa kecilnya, kecuali pada ASD besar yang dapat menyebabkan kondisi gagal jantung di tahun pertama kehidupan pada sekitar 5% penderita. Kejadian gagal jantung meningkat pada dekade ke-4 dan ke-5, dengan disertai adanya gangguan aktivitas listrik jantung (aritmia). Gejala yang muncul pada masa bayi dan anak-anak adalah adanya infeksi saluran nafas bagian bawah berulang, yang ditandai dengan keluhan batuk dan panas hilang timbul (tanpa pilek). Selain itu gejala gagal jantung (pada ASD besar) dapat berupa sesak napas, kesulitan menyusu, gagal tumbuh kembang pada bayi atau cepat capai saat aktivitas fisik pada anak yang lebih besar. Selanjutnya dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti elektro-kardiografi (EKG), rontgent dada dan echo-cardiografi, diagnosis ASD dapat ditegakkan.2,3,5,7Pada pemeriksaan radiologis, dapat ditemukan kardiomegli dengan pembesaran atrium kanan dan ventrikel kanan. Peningkatan aliran darah ke paru juga dapat terlihat. Untuk melihat defek secara dua dimensi dapat digunakan teknik ekokardiografi.2,3,5,7

Penutupan defek secara spontan terjadi pada 40% kasus dalam 4 tahun pertama kehidupan, terutama tipe sekundum. Ukuran defek dapat mengecil pada sebagian pasien. Namun, beberapa laporan terkini menunjukkan penutupan defek ASD secara spontan terjadi hingga 87% kasus. Pada pasien dengan ASD < 3 mm yang ditegakkan pada usia 3 bulan, akan menutup spontan 100% kasus pada usia 1,5 tahun. Penutupan spontan terjadi 80% kasus pada pasien dengan defek antara 3-8 mm sebelum usia 1,5 tahun. ASD dengan defek > 8 mm jarang menutap secara spontan.2,3,5,7Sebagian besar anak dengan ASD umumnya asimptomatik dan jarang berkembang menjadi CHF selama masa bayi. Pada defek besar yang tak ditangani, CHF dan hipertensi pulmonal dapat terjadi pada usia dewasa, yaitu pada dekade ke-3 dan ke-4. Dengan atau tanpa pembedahan, aritmia atrial dapat terjadi setelah pasien dewasa. Endokarditis infektif tidak terjadi pada pasien dengan ASD terisolasi.2,3,4,5,72.3.3 Patent Ductus Arteriosus (PDA)PDA terjadi pada 5-10% dari seluruh kelainan jantung kongenital, termasuk bayi prematur. Lebih sering terjadi pada perempuan dibanding laki-laki dengan perbandingan 3:1. PDA merupakan masalah yang umum didapatkan pada bayi prematur.2

Gambar 4. Irisan melintang jantung dengan PDAMarcdante KJ, et all. Bab 134 Penyakit Jantung Bawaan Asianotik. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esential. 2010 (6) : 572-77Pada PDA terdapat patensi struktur anatomi normal fetal, yaitu duktus arteriosus yang menghubungkan arteri pulmonalis kiri dengan aorta descenden, sekitar 5 10 mm ke arah distal dari arteri subklavia kiri. Duktus umumnya berbentuk corong dengan orificium yang lebih kecil yang bermuara pada arteri pulmonalis. Duktus dapat panjang atau pendek, lurus atau berlekuk (Gambar 6).2,3,5,8Pada pasien dengan PDA, dapat asimptomatik bila duktus kecil. Namun pada shunt yang besar, PDA dapat menyebabkan infeksi saluran napas bawah, atelektasis, dan CHF. Dari pemeriksaan fisik, dapat ditemukan:2,3,5,81. Takikardi dan dispnea pada anak-anak dengan shunt yang lebar. Bila disertai penyakit obstruktif vaskular paru, RTLS melalui duktal dapat terjadi, memberikan keadaan sianosis hanya pada bagian bawah tubuh (differential cyanosis).

2. Hiperaktif prekordial. Thrill sistolik dapat ditemukan pada LUSB (left upper Sternal border = pertemuan antara ICS II kiri dan linea parasternal kiri). Terjadi peningkatan tekanan sistolik, sedangkan tekanan diastolik cenderung rendah.

3. Dapat ditemukan murmur kontinu (machinery murmur) dengan derajat 1-4/6 di daerah LUSB atau bagian kiri infraklavikular. Pada bayi yang kecil atau dengan hipertensi pulmonal, dapat ditemukan bising sistolik kresendo di LUSB. Rumbling diastolik apikal ditemukan pada PDA dengan shunt yang lebar. Pemeriksaan EKG pada PDA serupa dengan VSD. EKG yang normal atau dengan LVH dapat terlihat pada PDA moderat. Perbesaran kedua ventrikel dapat terlihat pada PDA yang besar. Bila telah terjadi hipertensi pulmonal, maka dapat ditemukan hipertrofi ventrikel kanan.2,3,5,8Dari pemeriksaan radiologis dapat ditemukan gambaran yang normal pada PDA dengan shunt kecil. Kardiomegali dengan berbagai derajat dapat ditemukan dengan perbesaran atrial kiri, ventrikel kiri, dan aorta ascenden. Vaskularisasi paru terlihat bertambah. Pada pemeriksaan ekokardiografi, PDA dapat terlihat secara 2 dimensi di daerah parasternal atas. Dimensi atrial kiri dan ventrikel kiri juga dapat diprediksi, untuk menentukan besar kecilnya shunt. Semakin besar shunt, maka semakin besar pula derajat dilatasi kedua ruang jantung tersebut.2,3,5,8Berbeda dengan bayi prematur, penutupan PDA secara spontan jarang terjadi pada bayi aterm. Hal ini karena PDA pada bayi aterm merupakan struktur anatomi yang abnormal pada otot polos duktal, dan hal ini berbeda dengan bayi prematur. CHF dan atau pneumonia dapat berkembang bila shunt lebar. Penyakit obstruktif vaskular paru dapat berkembang pada PDA yang besar dan disertai dengan hipertensi pulmonal. Komplikasi lainnya yang jarang adalah aneurisma pada PDA yang dapat ruptur.2,3,5,82.3.4 Endocardial Cushion Defect (ECD)Endocardial cushion defects (ECD) atau disebut juga atrioventricular septal defects (AVSD) merupakan kelainan jantung bawaan yang mencakup kelainan septum atrial, septum ventrikel, dan satu atau kedua kelainan katup atrioventrikular. Endocardial cushion merupakan istilah yang menunjukkan area yang berada di bagian tengah jantung, yang dapat terjadi defek akibat perkembangan jaringan yang tidak semestinya selama masa kehamilan.2Pada dasarnya, lempeng tengah dari endokardial yang menyusun sekat antar ruang jantung dapat dibagi menjadi 4 bagian, yaitu superior (interatrial), inferior (interventrikel), lateral kiri (AV sinister), dan lateral kanan (AV dexter). ECD totalis ditandai kegagalan fusi antara lempeng endokardial superior dan inferior, dan kemudian diikuti terbentuknya celah antara daun katup mitral bagian anterior dan daun katup trikuspid bagian anterior dan septal. Dengan demikian, akan terjadi 4 kelainan utama pada ECD totalis, yaitu defek septum atrial, defek septum ventrikel, insufisiensi katup mitral, dan trikuspid (Gambar 5).2

Gambar 5. Endocardial Cushion DefectsMancini MC, Hanley HG. Endocadial Cushion Defects. Editor: Wilis PW, Talavera F, Sheridan FM, Suleman A, Zevitz ME. September 2014 (Available at www.eMedicine.com, diakses tanggal 12 Maret 2015)Endocardial Cushion defects dapat diklasifikasikan menurut derajat beratringannya defek, yaitu total dan parsial.16 ECD totalis lebih banyak terjadi sebagai bentuk kelainan penyerta dari sejumlah kelainan genetik, misalnya sindrom Down (hingga 17% kasus). ECD tipe ini tidak selalu memberikan gejala setelah anak lahir. Hal ini akibat ringannya regurgitasi mitral dan trikuspid yang terjadi, serta resistensi vaskular paru yang masih tinggi di awal kehidupan Pada ECD parsial, terdapat hubungan antara kedua atrial melalui defek primum, namun defek interventrikel relatif kecil. Pada katup atrioventrikular, kelainan tiap katup cenderung berdiri sendiri. Jadi, pada ECD parsial, terdapat defek septum atrial primum, defek septum ventrikel minor, celah pada daun katup mitral anterior, dan komisura daun katup trikuspid bagian anteroseptal. Bila kedua katup mengalami fusi, maka disebut ECD intermediet.2,3,5,9Pasien ECD juga dapat mengalami overload pulmonal, yang memicu terjadinya penyakit vaskular pulmonal. Keadaan ini akan berkembang ke arah gagal jantung kongestif. Indikator prognostik pada ECD adalah seberapa luas defek yang ada dan bentuk komplikasi yang terjadi selama penyakit berkembang secara progresif. Pada penyakit vaskular paru yang irreversibel, akan terjadi peningkatan tekanan vaskular paru yang menyebabkan terjadinya pirai dari kanan ke kiri (right-to-left shunt). 2,3,5,9Dari anamnesis, ECD dapat terjadi tanpa gejala. Pada kasus yang ekstrim, pasien ECD dapat menunjukkan poor feeding, infeksi saluran napas atas yang kronis, pneumonia, dan kegagalan pertumbuhan. Mungkin pula dapat diperoleh keterangan dari ibu mengenai anak yang sering menangis, sering berhenti saat makan, dan adanya pernapasan cuping hidung. Pada anak yang lebih besar, manifestasi ECD sudah lebih mengarah ke keadaan gagal jantung kongestif, dengan berkurangnya aktivitas dan bermain, cepat lelah, sesak, dan edema.2,3,5,9Pada pemeriksaan ECD tipe parsial dengan atrial septal defects, dapat ditemukan:14,161. Spliting luas pada suara jantung II tanpa variasi pernapasan

2. Murmur ejeksi sistolik pada LUSB (Left Upper Sternal Border)

3. Rumbling diastolik awal yang terdengar pada LLSB (Left Lower Sternal Border) dan berkenaan dengan peningkatan aliran sirkulasi melalui katup trikuspid.

4. Bising akibat insufisiensi mitral dapat ditemukan, namun tidak selalu ada.

Temuan klinis pada ECD tipe totalis berhubungan dengan defek septum ventrikel dan insufisiensi katup, yaitu:2,3,5,91. Perkembangan fisik yang terhambat, hiperinflasi toraks, prekordium menonjol, Harrison grooves, sianosis ringan atau hilang timbul, dan stigmata sindroma Down (misalnya fisura palpebra obliqua, simian crease, lipatan epikantus dalam, protuberansia lidah yang membesar)

2. Pulsus arteri dan vena jugularis water hammer pulse, dominan gelombang V pada pulsus vena jugularis

3. Palpitasi dan thrill prekordial (thrill sistolik), yaitu terabanya impuls pada ICS II dan III yang menunjukkan pelebaran aretri pulmonalis

4. Pada auskultasi dapat ditemukan :

a) Suara jantung I yang terdengar keras, yang disertai spliting menetap pada suara jantung II.

b) Bising sistolik pada defek septum ventrikel yang terdengar bersama bising sistolik pada insufisiensi mitral.

c) Hipertensi pulmonal berkenaan dengan suara jantung II yang keras.

Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding. Pemeriksaan penunjang untuk ECD dilakukan pemeriksaan laboratorium, radiologi, dan sejumlah prosedur lainnya seperti EKG dan ekokardiografi. Pemeriksaan hitung jumlah sel darah dapat dilakukan untuk mengetahui adanya polisitemia pada ECD yang berpotensi menimbulkan sianosis. Pada gambaran radiologi, sering didapatkan perbesaran atrium dan ventrikel kanan. Arteri pulmonal utama biasanya tampak jelas dengan gambaran vaskularisasi yang meningkat. Gambaran EKG yang spesifik untuk ECD dengan defek AV parsial adalah gambaran blok AV derajat I dan left axis deviation (LAD) yang terjadi akibat keterlambatan depolarisasi fasikular. kelainan letak anatomis dari katup atrioventrikular kiri dan kanan dapat diketahui melalui ekokardiografi.2,3,5,92.4 PJB Asianotik dengan Peningkatan Pressure LoadBentuk umum kelainan jantung kongenital dengan peningkatan pressure load adalah akibat lesi yang bersifat obstruktif terhadap aliran darah normal. Kelainan obstruktif tersering berhubungan dengan outflow ventrikular, yaitu stenosis pulmonal, stenosis aorta, dan koarktasio aorta. Sebagian kecil kasus dan sangat jarang berkenaan dengan inflow ventrikular, yaitu stenosis mitral, stenosis trikuspid, dan cor triatriatum. Obstruksi outflow ventrikel dapat terjadi di katup, di bawah katup, atau di atas katup. Selama obstruksi tidak berat, cardiac output tetap terpelihara baik dan gejala klinis gagal jantung sangat minimal atau bahkan tidak ada. Kompensasi untuk keadaan semacam ini biasanya berupa peningkatan ketebalan dinding jantung (hipertrofi), namun pada keadaan lanjut juga disertai dilatasi.2Gambaran klinis sangat bervariasi bergantung derajat obstruksi. Pada kasus berat, gejala klinis sudah tampak sejak periode neonatus. Bayi dapat mengalami situasi kritis beberapa jam setelah lahir. Stenosis pulmonal berat pada periode neonatus (critical PS) akan memperlihatkan gejala gagal jantung kanan (hepatomegali, edem perifer) dan dapat terjadi right-to-left shunt melalui foramen ovale yang belum menutup, sehingga sianosis dapat terjadi kemudian. Stenosis aorta berat pada periode neonatus (Critical AS) akan menunjukkan gejala gagal jantung kiri (edem pulmonal, poor perfusion), dan dapat disertai kolaps sirkulasi total secara progresif. Pada anak yang lebih besar, stenosis pulmonal menunjukkan gejala gagal jantung kanan, namun tidak disertai sianosis karena tidak adanya defek yang menungkinkan terjadinya right-to-left shunt.1.2,3,5Koarktasio aorta biasanya tampak pada anak yang lebih besar dan dewasa dengan hipertensi pada bagian atas tubuh dan denyut nadi yang berkurang pada ekstremitas bawah. Pada periode neonatal, gejala koarktasio dapat terlambat karena masih terdapatnya duktus arteriosus. Pada pasien ini, terbukanya duktus arteriosus akan memungkinkan aliran darah yang melewati obstruksi secara parsial. Namun, bila duktus arteriosus menutup, maka seluruh aliran darah dari ventrikel kiri akan melalui bagian obstruksi, dan hal ini akan menimbulkan gejala klinis obstruktif.1,2,3,52.4.1 Stenosis Pulmonal (PS)Stenosis katup pulmonal kongenital merupakan kelainan jantung bawaan yang terjadi akibat obstruksi pada level katup pulmonal, sehingga aliran darah outflow dari ventrikel kanan terhambat. Prevalensi kelainan ini adalah 8-12% dari seluruh kelainan jantung kongenital (Gambar 6). Stenosis pulmonal (PS) dapat terjadi di valvular, subvalvular (infundibular), atau supravalvular. Obstruksi yang terjadi melibatkan ruang ventrikel kanan dengan abnormalitas muskular.2,3,5,10

Gambar 6. Stenosis katup pulmonal dibandingkan dengan jantung normalRao PS, Pflieger K. Pulmonary Stenosis, Valvar. Editor: Towbin J, Windle ML, Moore JW, Herzberg G, Berger S. Juni 2014 (Available at www.eMedicine.com, diakses tanggal 12 Maret 2015)

Pada PS valvular, katup pulmonal mengalami penebalan, dengan atau tanpa fusi komisura, dan orificium yang menyempit. Meskipun ventrikel kanan biasanya berukuran normal, hipoplastik pada bayi dengan PS kritis (mendekati atresia pulmonal) dapat terjadi. Displasia katup yang mencakup penebalan, iregularitas, jaringan immobile, dan anulus katup pulmonal yang kecil, dapat terlihat pada sindrom Noonan. PS infundibular terisolasi sangat jarang, biasanya berhubungan dengan VSD yang lebar pada tetralogy of Fallot. PS supravalvular, disebut juga stenosis arteri pulmonal, biasanya terjadi pada sindrom rubella dan sindrom Williams.2,3,5,10Dari anamnesis, anak dengan PS ringan sering tidak menunjukkan gejala sama sekali. Dispnea dan mudah lelah dapat ditemukan pada pasien dengan kasus moderat dan berat. Gagal jantung dengan nyeri dada dapat berkembang kemudian. Pada bayi dengan PS kritis, umumnya menunjukkan gejala poor feeding, takipnea, dan dapat terjadi sianosis.2,3,5,10Dari pemeriksaan fisik, dapat ditemukan:21. Sebagian besar pasien tidak menunjukkan sianosis dan perkembangan umumnya baik. Sianosis dan takipnea hanya ditemukan pada bayi dengan PS kritis.

2. Denyutan ventrikel kanan dan thrill sistolik dapat dirasakan pada LUSB atau suprasternal.

3. Klik ejeksi sistolik terjadi pada stenosis valvular, dapat ditemukan pada LUSB. Spliting suara jantung II dapat lebar. Murmur sistolik tipe ejeksi dengan derajat 2-5/6 paling jelas didengar di LUSB, yang dapat menjalar hingga ke punggung atas. Semakin keras dan panjang murmur, menunjukkan semakin berat stenosis.

4. Hepatomegali terjadi bila kelainan berkembang ke arah gagal jantung kongestif.235. Pada bayi dengan PS kritis, sianosis dapat terjadi (akibat RTLS), dan tanda CHF seperti hepatomegali dan vasokonstriksi perifer dapat ditemukan. Pada pemeriksaan EKG, dapat ditemukan tanpa kelainan, terutama pada kasus yang ringan. Gambaran deviasi aksis ke kanan (RAD) dan hipertrofi ventrikel kanan (RVH) dapat ditemukan pada PS moderat. Derajat RVH pada EKG berhubungan dengan derajat keparahan PS. Hipertrofi atrial kanan dan ventrikel kanan terjadi pada PS berat. Neonatus dengan PS kritis menunjukkan gambaran hipertrofi ventrikel kiri akibat hipoplasia ventrikel kanan dan dilatasi ventrikel kiri.2,3,5,10Dari gambaran rntgen, ukuran jantung dapat normal, namun arteri pulmonal tampak menonjol. Kardiomegali terjadi bila CHF berkembang. Vaskularisasi paru dapat normal, namun dapat pula menurun pada PS yang berat. Gambaran ekokardiografi 2 dimensi pada aksis parasternal dapat menunjukkan katup pulmonal yang menebal dengan restriksi sistolik. Ukuran anulus katup pulmonal dapat diperkirakan. Conus arteriosus biasanya berdilatasi.2Pada PS ringan, derajat stenosis tidak bertambah, namun pada PS moderat dan berat, stenosis cenderung bertambah progresif seiring bertambahnya usia. Pada pasien ini, CHF dan endokarditis infektif dapat terjadi. Kematian mendadak pada kasus yang berat dapat terjadi bila melakukan aktivitas fisik berat. Sebagian besar bayi dengan PS berat akan meninggal bila tidak ditangani sesuai prosedur.2,3,5,102.4.2 Stenosis Aorta (AS)Stenosis katup aorta adalah suatu penyempitan atau kekakuan pada katup aorta. Katup aorta adalah katup pada ventrikel kiri jantung yang akan membuka ketika darah akan masuk ke dalam aorta lalu diedarkan ke seluruh tubuh. Stenosis aorta terjadi pada 3-6% dari seluruh pasien dengan kelainan jantung kongenital, dan terjadi lebih banyak pada laki-laki dengan perbandingan laki-laki:perempuan 4:1.2Stenosis dapat terjadi di area valvular (71%), subvalvular (23%), atau supravalvular (6%). Stenosis aorta valvular dapat terjadi pada katup bikuspid, katup unikuspid, atau stenosis trikuspid. Katup bikuspid dengan fusi komisura dan orificium yang eksentrik merupakan kasus terbanyak dari stenosis katup aorta Stenosis aorta supravalvular terjadi akibat konstriksi anulus di atas level katup aorta pada batas sinus Valsava. Seringkali, aorta ascenden mengalami hipoplasia, terutama berkaitan dengan sindrom William. Pada stenosis aorta subvalvular terjadi penyempitan di bagian outflow ventrikel kiri.2,3,5,11Pada anak dengan stenosis aorta ringan hingga moderat, keluhan khas sering kali tidak ditemukan, namun intoleransi terhadap latihan fisik mungkin dapat terjadi. Pada kasus dengan stenosis berat, dapat disertai adanya nyeri dada, mudah lelah, atau sinkop. Bayi dengan stenosis kritis akan berkembang menjadi CHF pada beberapa minggu hingga bulan pertama kehidupan.1,2,3,4,5,11Dari pemeriksaan fisik, dapat ditemukan:

1. Seringkali pasien tidak didapatkan sianosis dan perkembangan relatif normal

2. Tekanan darah normal pada sebagian besar pasien, namun denyut nadi yang mengecil dapat ditemukan pada stenosis aorta berat. Pasien dengan stenosis aorta supravalvular memiliki tekanan sistolik yang lebih tinggi di lengan kanan daripada lengan kiri.

3. Thrill sistolik dapat dipalpasi di LUSB, suprasternal, atau di area arteri karotis.

4. Klik ejeksi dapat didengar pada stenosis aorta valvular. Spliting suara jantung II dapat menyempit atau paradoksal dengan derajat keparahan stenosis. Murmur sistolik ejeksi dapat didengar di ICS II parasternal kanan atau kiri dengan derajat 2-4/6, dengan penjalaran ke apeks dan leher. Pada stenosis aorta bikuspidal dan stenosis subvalvular, bising dekresendo diastolik awal dapat didengar.

5. Wajah yang aneh (wajah elvin) dengan retardasi mental dapat berhubungan dengan stenosis aorta supravalvular (misalnya pada sindrom Williams).

6. Bayi dengan stenosis aorta kritis dapat berkembang ke arah gagal jantung kongestif akibat konstriksi. Gambaran klinis berupa sepsis berat dengan penurunan cardiac output. Bising jantug dapat hilang atau melemah, dan denyut nadi perifer lemah.

Pada kasus yang ringan, gambaran EKG dapat normal, namun pada kasus yang lebih berat, dapat ditemukan gambaran LVH. Hubungan antara derajat keparahan stenosis aorta dan abnormalitas EKG tidak absolut. Pada pemeriksaan radiologis, ukuran jantung umumnya normal pada anak-anak, namun dilatasi aorta ascenden atau knob aorta dapat terlihat pada stenosis aorta valvular. Kardiomegali yang bermakna jarang didapatkan hingga terjadi CHF. Pada bayi dengan stenosis aorta kritis, dapat terlihat gambaran kardiomegali dengan kongesti vena pulmonal. Dari pemeriksaan ekokardiografi, dapat ditentukan ukuran dan tipe letak stenosis aorta, serta kompensasi yang terjadi berupa hipertrofi dan dilatasi.2,3,5,112.4.3 Koarktasio AortaKoarktasio aorta adalah kelainan aorta kongenital dengan penyempitan aorta pada level insersi duktus arteriosus atau ligamentum arteriosum setelah regresi. Prevalensi koarktasio aorta adalah 8-10% dari seluruh kejadian kelainan jantung kongenital. Perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 2:1, dan 30% kasus koarktasio aorta berhubungan dengan sindrom Turner.2Beberapa klasifikasi koarktasio aorta seperti preduktal, duktal, dan postduktal, atau tipe infantil dan tipe dewasa, kurang tepat. Pada kenyataannya koarktasio aorta hampir selalu terjadi pada posisi jukstaduktal (bukan preduktal maupun postduktal) (Gambar 7). Pada koarktasio aorta, aorta descenden menyuplai darah dari jantung kanan melalui duktus arteriosus selama kehidupan fetal. Beberapa defek kongenital jantung lainnya seperti hipoplasia aorta, VSD, PDA, dan anomali katup dapat menyertai koarktasio aorta. Semua defek tersebut menyebabkan penurunan aliran darah melalui aorta. Apabila defek penyerta ini tidak ada, maka akan terjadi gagal jantung kiri akibat pressure load yang diterima jantung kiri cukup besar, dan akan segera memberikan gejala pada awal-awal kehidupan.2,3,5,12

Gambar 7. Koarktasio aortaBernstein D. Section 3 Congenital Heart Disease. Nelson Textbook of Pediatrics. Mei 2013 (17) : 1499-1521Pada pasien dengan koarktasio aorta, dapat ditemukan poor feeding, dispnea, dan berat badan yang rendah, yang menunjukkan telah terjadinya syok sirkulasi akut yang berkembang selama 6 minggu pertama kehidupan. Dari pemeriksaan fisik dapat ditemukan:2,3,5,121. Pasien dengan koarktasio aorta dapat disertai pucat dan distress respirasi dalam berbagai derajat. Oliguria atau anuria, syok sirkulasi umum, dan asidemia berat juga dapat terjadi. Sianosis dapat terjadi hanya pada setengah bawah tubuh akibat RTLS via duktal.

2. Pulsus nadi perifer dapat melemah dan menunjukkan tanda CHF. Tekanan darah menunjukkan perbedaan antara ekstremitas atas dan bawah.

3. Suara jantung II terdengar tunggal dan keras. Gallop S 3 dapat terjadi. Tidak terdapat bising jantung pada 50% kasus, yang merupakan bentuk koarktasio aorta terisolasi. Namun, dapat pula disertai bising jantung di daerah prekordial, terutama bila terdapat defek penyerta.

Dari gambaran EKG, dapat ditemukan aksis QRS yang normal atau mengalami deviasi ke kanan, dengan RVH atau right bundle branch block (RBBB). LVH jarang ditemukan, kecuali pada anak yang lebih besar. Dari gambaran radiologi, tampak adanya kardiomegali dan edem pulmonal atau kongesti vena pulmonal. Dari ekokardiografi dan Doppler, dapat ditentukan derajat penyempitan aorta beserta kompensasi jantung terhadap perjalanan penyakit. Dapat pula ditemukan defek kongenital penyerta lainnya. Sekitar 20-30% dari seluruh pasien dengan koarktasio aorta mengalami CHF pada 3 bulan pertama kehidupan. Pada kasus yang terlambat dideteksi atau ditangani, kematian lebih sering akibat CHF dan gagal ginjal.22.5 Penatalaksanaan PJB AsianotikPenatalaksanaan PJB asianotik secara garis besar adalah penanganan umum, medikamentosa, dan koreksi bedah. Bayi yang telah dilakukan pemeriksaan foto toraks, ekokardiografi, dan katetrisasi jantung (yang dilakukan dengan memasukan pipa kecil ke dalam pembuluh darah dan jantung untuk melihat anatomi dan tekanan jantung) dapat ditentukan tindakan yang tepat. Medikasi dilakukan untuk mengatasi kegagalan jantung kongestif dan hipertensi pulmonal, serta pencegahan infeksi. Digoksin, misalnya, diberikan untuk memperkuat fungsi pompa jantung, dan diuretik diberikan untuk menurunkan kelebihan cairan dalam sirkulasi, sehingga akan menurunkan beban tekanan jantung. Namun, pada beberapa kasus obstruktif aorta (misalnya stenosis katup aorta dan koarktasio aorta), pemberian diuretik masih kontroversial karena dapat semakin menurunkan tekanan darah yang rendah pada bagian tubuh bawah.2,3,5Bayi dengan PJB asianotik tidak perlu dilakukan pembedahan, selama gejala yang ada minimal dan tidak progresif ke arah kegagalan jantung. Selain itu, terapi bedah juga sukar dilakukan karena masalah anatomi dan fungsional jantung-paru yang masih belum matur. Beberapa cara bedah yang lazim dilakukan pada PJB asianotik dengan shunt LTRS adalah dengan menutup lubang defek pada dinding atrial dan ventrikel. Pada PDA dilakukan dengan ligasi duktus arteriosus. Pada kelainan obstruktif katup pulmonal dan aorta, koreksi bedah dilakukan dengan valvuloplasti atau valvotomi. Pada koarktasio aorta, koreksi dapat dilakukan dengan angioplasti atau reseksi dan reanastomosis aorta. Beberapa kasus dengan komplikasi yang sangat berat, transplantasi jantung-paru merupakan pilihan terakhir yang paling baik.2,3,5Individu dengan ECD akan memerlukan pemberian antibiotik bila mendapat perawatan gigi, karena bakteri yang ada dimulut akan masuk ke sirkulasi dan mudah untuk menginfeksi struktur jantung yang mengalami defek, sehingga terjadi endokarditis. Perlu pengamatan secara cermat dan rutin oleh kardiolog untuk memonitoring secara kontinyu dan mendeteksi secara cepat bila terjadi komplikasi atau sejumlah kondisi penting lain.2,3,52.5.1 Penanganan UmumPada PJB asianotik sedang hingga berat, anak akan menjadi mudah lelah bila makan, sehingga akan menyebabkan kurangnya asupan makanan. Selanjutnya, pertumbuhan fisik juga terganggu. Langkah-langkah yang perlu dipertimbangkan pada keadaan demikian, yang dapat menjamin agar anak mendapat nutrisi yang adekuat adalah pemberian susu ASI atau susu formula tinggi kalori. Suplementasi nutrisi dengan cara ini bertujuan menambah asupan kalori untuk mencukup kebutuhan kalori anak, dan dengan demikian akan menambah berat badan anak.2,3,5Pemberian makanan dengan pipa NGT (Nasogastric tube) atau OGT (Orogastric tube) dilakukan bila asupan dengan cara umum tidak dapat atau sukar dilakukan. Hal ini penting, mengingat sebagian besar pasien dengan kelainan jantung kongenital memiliki masalah dalam makan. Makanan yang telah halus dimasukkan melalui pipa, ke dalam lambung. Pada kasus PJB dengan gagal jantung, asupan makanan harus rendah air dan garam. Aktivitas anak harus dikurangi dan pemberian makanan dapat dilakukan selama istirahat.2,3,5Mengingat anak dengan PJB asianotik rentan terjadi endokardirditis bakterial, maka pencegahan infeksi harus dilakukan sebaik-baiknya. Endokarditis bakterial seringkali bersumber dari mulut, sehingga pemberian antibiotik profilaksis sebelum melakukan berbagai prosedur dental dapat dibenarkan untuk mencegah endokarditis bakterial yang cenderung fatal.2,3,52.5.2 Terapi Konservatif (Medikamentosa)Penanganan konservatif umumnya dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan gejala gagal jantung kongestif hingga koreksi bedah memungkinkan untuk dilakukan. Tujuan terapi medikamentosa juga untuk menghindari berkembangnya penyakit obstruksi vaskular paru atau semakin berkembangnya gagal jantung kongestif. Bila ternyata gagal jantung dan keadaan yang berkaitan dengan masalah paru tetap terjadi, pemberian diuretik dan digoksin merupakan indikasi.2,3,5Digitalis dan diuretik diberikan untuk mengatur overload cairan yang sering menyertai CHF, hingga terapi bedah paliatif atau koreksi dilakukan. Diuretik yang dapat diberikan adalah furosemid. Furosemid berfungsi meningkatkan ekskresi cairan melalui sistem chloride-binding co-transport, yang menghambat reabsorbsi natrium dan klorida pada ansa Henle bagian distal dan tubulus renalis distal. Dosis yang dianjurkan untuk neonatus adalah 0,5 1 mg/KgBB/hari secara oral atau intravena, diberikan dalam 1 hingga 3 kali sehari. Dosis harian tidak boleh melebihi 6 mg/KgBB per oral atau 2 mg/KgBB intravena. Pada bayi dan anak-anak, dosis yang diberikan adalah 0,5 2 mg/KgBB/hari, diberikan per oral atau intravena dalam 2 4 kali pemberian. Pemberian tidak boleh melebihi 6 mg/KgBB/hari. Pemberian secara infus dapat dilakukan dengan dosis 0,05 mg/KgBB/hari yang dititrasi hingga mencapai efek optimal.2,3,5Selain diuretik, pasien dengan PJB asianotik yang berat dengan progresivitas penyakit ke arah gagal jantung, dapat diberikan agen inotropik, seperti digitalis, yang bertujuan memperkuat kontraksi miokardial. Digitalis memiliki kerja pada otot jantung dengan cara meningkatkan kontraksi sistolik miokardial. Aksi ini secara tidak langsung akan memberikan mekanisme umpan balik terhadap sistem simpatis yang selanjutnya akan meningkatkan tekanan rata-rata arterial. Dosis yang dianjurkan pada anak adalah 0,25 mg/KgBB/ hari diberikan dalam 4 dosis setiap 6 jam. Pada bayi prematur, dosis maksimum adalah 20 g/KgBB/hari peroral. Pada anak-anak, dosis pemeliharaan yang dianjurkan adalah 8 12 g/KgBB/hari dibagi dua dosis.2,3,5Pemberian angiotensin-converting enzyme inhibitor (ACEI), seperti kaptopril, dapat dipertimbangkan untuk menurunkan preload dan afterload. Kaptopril menghambat konversi angiotensin I menjadi angiotensin II yang berpotensi sebagai agen vasokonstriktor. Dosis kaptopril untuk neonatus adalah 0,05-0,1 mg/KgBB/dosis, diberikan 1-4 kali per hari. Dosis dapat dititrasi hingga 0,5mg/KgBB/dosis bila perlu. Untuk bayi, dosis yang dianjurkan adalah 0,15-0,3 mg/KgBB/dosis tiap 6-24 jam. Dosis maksimum 6 mg/KgBB/hari dibagi 2-4 dosis. Untuk anak yang lebih besar, dosis kaptopril adalah 0,3-0,5 mg/KgBB/dosis dalam 1-4 kali pemberian. Dosis maksimum 6 mg/KgBB/hari dibagi 2-4 dosis.2,3,5Pada kasus PDA, terdapat keterkaitan antara produksi prostaglandin yang kontinu, sehingga duktus arteriosus terlambat atau tidak menutup. Pada sebagian besar pasien, pemberian inhibitor prostaglandin cukup bermakna dalam mengatasi PDA, terutama pada pasien prematur. Inhibitor prostaglandin yang dapat diberikan adalah indometasin, dengan dosis 0,1 mg/Kg IV setiap 12 jam dalam 3 dosis untuk bayi < 48 jam. Pada bayi usia 2-7 hari dosisnya 0,2 mg/Kg iv/12 jam dibagi 3 dosis. Untuk bayi > 7 hari diberikan dosis 0,25 mg/Kg iv/12 jam dalam 3 dosis.2,3,5Berbeda dengan PDA, pada koarktasio aorta yang disertai defek kongenital lain, pemberian prostaglandin-E justru direkomendasikan untuk mempertahankan defek penyerta. Dengan adanya defek penyerta ini (paling banyak adalah duktus arteriosus), maka akan menekan laju progresivitas gagal jantung, sebelum dilakukan bedah koreksi. Dosis prostaglandin-E yang diberikan adalah 0,05-0,15 mcg/Kg/min intravena untuk membuka duktus, kemudian dosis diturunkan secara bertahap sampai 0,02-0,05 mcg/Kg/min.2,3,52.5.3 Terapi Bedah dan penanganan paska-bedahAnak dengan kelainan jantung bawaan asianotik tidak diindikasikan untuk dilakukan bedah koreksi selama tidak terdapat gejala atau tidak mengganggu tumbuh kembang anak. Koreksi bedah dilakukan terutama pada kelainan sedang hingga berat, yang tidak mungkin mengalami perbaikan klinis hanya dengan penanganan konservatif. Selain PJB asianotik yang kritis, seluruh prosedur pembedahan dilakukan elektif dengan memperbaiki keadaan umum penderita terlebih dahulu, dengan tujuan outcome yang dihasilkan paska-operasi tidak menimbulkan risiko yang lebih besar. Pada keadaan yang kritis, yang merupakan keadaan emergensi untuk perbaikan segera, maka tindakan bedah harus dilakukan sedini mungkin.2,3,5Mengingat prosedur atau teknik pembedahan untuk tiap kelainan memiliki perbedaan, yang meliputi indikasi, waktu, teknik prosedur, mortalitas, komplikasi, dan penanganan paska bedah, maka akan dibahas satu persatu sebagai berikut:a. VSD 2,3,5,6Bayi kecil dengan defek VSD yang besar dan mengarah ke gagal jantung kongestif dan retardasi mental, maka ditangani terlebih dahulu dengan pemberian digoksin dan diuretik. Bila kegagalan pertumbuhan tidak membaik dengan terapi medis, VSD harus ditutup pada 6 bulan pertama kehidupan. Pembedahan harus ditunda pada bayi yang memberikan respons terhadap pengobatan medik.

Setelah berusia 1 tahun, LTRS yang signifikan dengan perbandingan pulmonal:sistemik 2:1 merupakan indikasi pembedahan, tanpa melihat seberapa besar tekanan di arteri pulmonal. Bayi dengan tanda-tanda hipertensi pulmonal, namun tidak terdapat CHF atau gagal tumbuh, maka harus dikateterisasi jantung pada usia 6 hingga 12 bulan. Pembedahan dilakukan setelah kateterisasi jantung dilakukan. Pada bayi dengan VSD yang besar dan terdapat tanda-tanda peningkatan resistensi vaskular paru harus dioperasi sesegera mungkin.

Bayi dengan VSD yang kecil dan selama 6 bulan pertama tidak menunjukkan tanda CHF atau hipertensi pulmonal tidak indikasi untuk bedah, atau pada keadaan LTRS dengan perbandingan P:S < 1,5:1. Kontraindikasi pembedahan untuk VSD adalah bila terdapat penyakit obstruksi vaskular pulmonal dengan rasio resistensi 0,5 atau dengan RTLS (sindrom Eisenmenger). Prosedur pembedahan dilakukan dengan menutup langsung defek dengan bypass kardiopulmonar. Dilakukan pendekatan atrial untuk melakukan ventrikulotomi kanan.

Teknik ini dilakukan dengan minimal invasif dan insisi kulit yang kecil, untuk kepentingan kosmetik. Angka mortalitas pembedahan adalah 2-5% pada umur 6 bulan. Mortalitas yang lebih tinggi didapatkan pada anak yang berusia kurang dari 2 bulan, atau dengan defek penyerta lain, atau dengan VSD multipel. Komplikasi paska bedah RBBB (Right bundle branch block), terutama pada pasien yang dilakukan perbaikan dengan ventrikulotomi kanan. RBBB dan LAH (left anterior hemiblock), yang terjadi pada < 10% kasus, masih merupakan kontroversial penyebab kematian mendadak. Blok jantung komplit terjadi pada < 5% pasien. Sisa Shunt residual didapatkan pada 20% pasien. Pemantauan paskaoperatif meliputi pemeriksaan rutin yang terjadwal setiap 1-2 tahun. Aktivitas harus dikurangi untuk menekan risiko komplikasi operasi. Pemberian profilaksis endokarditis bakterial harus dihentikan 6 bulan setelah pembedahan dilakukan, kecuali bila ternyata masih terdapat shunt residual. Pasien dengan riwayat blok jantung sepintas paska-operasi, dengan atau tanpa pacemaker harus melakukan pemeriksaan rutin jangka panjang.b. ASD 2,3,5,7Indikasi penutupan defek, yaitu bila LTRS dengan rasio p/s 1,5:1. Beberapa ahli mempertimbangkan defek dengan pirai yang kecil merupakan indikasi untuk dilakukan penutupan defek, karena risiko paradoksikal embolisasi dan kejadian serebrovaskular. Resistensi vaskular paru yang tinggi (>10 unit/m2 atau > 7 unit/m2 dengan vasodilator) merupakan kontraindikasi pembedahan. Koreksi bedah umumnya dilakukan hingga pasien berusia 3-4 tahun, karena kemungkinan penutupan spontan masih terjadi hingga usia tersebut. Namun, pembedahan dilakukan selama masa bayi bila CHF tidak merespon terhadap pengobatan konvensional atau bila oksigen dan terapi medis lain diperlukan untuk bayi dengan displasia bronkopulmonar. Prosedur bedah untuk ASD dengan insisi midsternal dengan bypass kardiopulmonar. Saat ini, dilakukan teknik bedah minimal invasif dengan insisi kulit yang lebih kecil, terutama pada pasien perempuan. Untuk ASD, salah satu teknik atau modifikasinya yang sering digunakan adalah: insisi pendek transxiphoid midline dengan

thorakotomi posterior kanan, insisi transversal inframammari dengan sternotomi transversal atau vertikal, atau dengan insisi midline bawah minimal dengan sternotomi median. Keuntungan teknik-teknik tersebut adalah menekan risiko nyeri paskaoperasi, memperpendek masa rawat inap, menurunkan stress operatif, dan untuk kosmetik.

Risiko kematian operasi koreksi ASD kurang dari 1%, dan risiko lebih besar didapatkan pada bayi yang lebih kecil dan dengan resistensi vaskular paru yang meningkat. Kejadian serebrovaskular dan aritmia paska-operasi dapat terjadi segera setelah operasi dilakukan. Beberapa hal yang harus dipantau paska-operatif adalah dengan foto rontgen atau ekokardiografi untuk melihat kardiomegali dan pembesaran ventrikel kanan, selain melihat luasnya splitting S2, yang seringkali masih didapatkan hingga 1 atau 2 tahun paskaoperasi. Aritmia atrial atau nodal terjadi 7-20% pasien ASD paskaoperasi. Sindrom sinus sakit dapat ditemukan pada postoperasi ASD dengan defek sinus venosus, sehingga perlu dipertimbangkan terapi pacemaker.c. PDA 2,3,5,8Setelah diagnosis PDA ditegakkan, tanpa melihat ukuran PDA, bedah merupakan indikasi. Bila terdapat penyakit obstruktif vaskular paru, maka kontraindikasi untuk dilakukan koreksi bedah. Prosedur bedah pada PDA umumnya dilakukan antara 6 bulan hingga 2 tahun atau bila diagnosis ditegakkan pada anak yang lebih besar. Pada bayi PDA dengan CHF, hipertensi pulmonal, atau pneumonia berulang, koreksi bedah dilakukan sebagai pilihan utama. Penanganan PDA pada bayi prematur lebih bersifat konsvensional dengan pemberian inhibitor prostaglandin.

Prosedur bedah untuk PDA adalah dengan ligasi dan pemisahan melalui torakotomi posterolateral kiri tanpa bypass kardiopulmonar. Akhir-akhir ini, dilaporkan perbaikan PDA dengan insisi yang minimal dan menggunakan guide video thorakoskopi. Kematian terkait bedah koreksi < 1%. Komplikasi paskaoperasi sangat jarang. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain cedera nervus laringeal rekuren, nervus frenikus kiri, atau duktus thoracic. Rekanalisasi atau reopening duktus dapat terjadi, meskipun jarang, yaitu bila dilakukan ligasi tanpa pemisahan.

Pemantauan paskaoperasi tidak perlu dilakukan secara rutin selama komplikasi bedah tidak ditemukan. Aktivitas fisik tidak perlu dikurangi bila tidak terdapat hipertensi pulmonal yang persisten. Pemberian antibiotik profilaksis untuk pencegahan endokarditis bakterial harus dihentikan 6 bulan paskaoperasi.d. ECD 2,3,5,9Anak dengan ECD parsial yang disertai dengan sejumlah gejala yang mengarah ke gagal jantung dapat dilakukan koreksi bedah. Tindakan ini termasuk valvuloplasti mitral dan penutupan defek septal. Pasien ECD yang asimptomatik dengan defek ostium primum dapat dilakukan bedah elektif hingga setelah masa kanak-kanak. Pasien dengan ECD totalis yang tidak memiliki hubungan sirkulasi ventrikel kanan, umumnya memiliki tekanan arteri pulmonal yang mendekati tekanan arteri sistemik. Pasien ini akan mengalami kelainan vaskular paru setelah satu tahun pertama kehidupan dan biasanya memerlukan tindakan koreksi bedah pada masa anak-anak. Sebelumnya, penderita ECD yang dirawat dengan cara pengikatan arteri pulmonal selama masa anak-anak bertujuan melindungi pembuluh darah pulmonal dari aliran darah yang berlebihan dan mengurangi risiko berkembangnya penyakit vaskular pulmonal di kemudian hari. Pasien ini memerlukan koreksi bedah setidaknya pada usia 3 hingga 4 tahun. Bila pada kasus ECD disertai adanya kelainan vaskular pulmonal yang berat, maka koreksi bedah merupakan kontraindikasi, dan penderita tersebut lebih diutamakan untuk dilakukan transplantasi jantung-paru.

Proses penyembuhan paska-bedah memerlukan 5 hingga 10 hari rawat inap, yang bergantung pada kondisi awal pembedahan dan sifat tindakan operasi (bedah paliatif atau bedah koreksi). Pada bedah paliatif, misalnya pengikatan arteri pulmonal, kondisi prabedah haru tetap tetap dijaga, agar kondisi paska-bedah tidak menimbulkan masalah. Pada ECD dengan koreksi total jantung, proses perbaikan klinis mungkin tidak dapat dikembalikan sebagaimana keadaan normal.

Observasi secara kontinu oleh seorang kardiolog anak diperlukan pada pasien ECD paska-bedah, misalnya dengan melakukan pemeriksaan ekokardiografi dalam rangka menilai integritas katup atrioventrikular setelah rekonstruksi. Hal ini penting karena katup atrioventrikular rentan mengalami insufisiensi selama anak tumbuh dewasa. Pengamatan yang rutin bertujuan untuk menentukan tindakan lanjutan segera, bila ternyata komplikasi paska-bedah atau insufisiensi katup terjadi.e. Stenosis Pulmonal (PS) 2,3,5,10Indikasi koreksi bedah pada stenosis pulmonal kongenital, yaitu:

1. Anak dengan PS valvular dan tekanan ventrikel kanan = 80 mmHg dan tidak berhasil dengan valvuloplasti balon memerlukan pembedahan elektif

2. Tipe obstruktif lain (misalnya stenosis infundibular, anomali serat otot ventrikel kanan) dengan perbedaan tekanan bermakna juga memerlukan pembedahan elektif

3. Bila valvuloplasti balon tidak berhasil atau tidak tersedia, anak dengan PS kritis dan CHF harus dilakukan cito operasi.

Prosedur pembedahan pada PS, yaitu:

1. Melalui insisi midsternal, valvotomi pulmonal dilakukan untuk mengatasi stenosis katup pulmonal dengan bypass kardiopulmonal. Naonatus dengan PS kritis memerlukan valvotomi transventrikular dan atau insersi transanular disertai infus prostaglandin E1. Bila terdapat hipoplasia infundibular berat, dilakukan shunt Gore-Tex kiri (Systemic-to-PA shunt). Bedah invasif minimal dengan torakotomi posterior kanan telah dilaporkan pada stenosis katup pulmonal.

2. Displasia katup biasanya memerlukan eksisi katup secara komplit

3. Anomali serabut otot memerlukan reseksi pembedahan

4. Stenosis PA memerlukan pelebaran porsio yang menyempit

5. Stenosis infundibular memerlukan reseksi otot infundibulum dan perluasan traktus outflow ventrikel kanan. Mortalitas operasi PA adalah 30 mmHg), karena secara alamiah kelainan akan berjalan progresif.

Prosedur pembedahan untuk stenosis aorta, antara lain:

1. Valvotomi aorta tertutup, menggunakan dilator terkalibrasi atau kateterisasi balon tanpa bypass kardiopulmonar, dilakukan pada bayi sakit. Prosedur ini memiliki tingkat mortalitas surgikal yang rendah.

2. Neonatus dengan anulus aorta kecil (dan aorta ascenden kecil) anulus mitral yang kecil, ruang ventrikel kiri yang kecil, dan regurgitasi mitral akibat infark otot papillaris memiliki prognosis yang buruk.

3. Prosedur operasi umumnya dilakukan dengan bypass kardiopulmonar dengan penghentian sirkulasi total dan deep hypothermia:

- Komisurotomi katup aorta. Komisura yang berfusi dipisahkan dengan pisau sejauh 1 mm dari dinding aorta.

- Penggantian katup aorta diperlukan pada kasus unikuspid atau displasia katup berat, misalnya dengan prosthetik katup, allograft katup, atau autograft katup pulmonal (Ross procedure)

- Bila kelainan disertai obstruksi traktus outflow ventrikel kiri, maka dilakukan pelebaran anulus atau aortoventriculoplasty (operasi Konno).

Angka mortalitas pembedahan pada bayi dan anak yang masih kecil pada stenosis aorta valvular adalah 15-20%. Neonatus sakit dengan status umum yang jelek preoperatif memiliki mortalitas yang tinggi, yaitu 40%. Kematian pada anak yang lebih besar adalah 1-2%. Kematian pada stenosis subvalvular dan supravalvular terpisah < 1% kasus. Komplikasi yang tersering paska valvotomi aorta adalah regurgitasi aorta.

Pemantauan paskaoperasi adalah dengan pemeriksaan EKG dan foto toraks bila perlu. Gradien tekanan dapat bertambah kembali setelah 5-10 tahun setelah valvotomi, terutama pada anak yang dilakukan valvotomi selama periode neonatal atau infant. Sekitar 25% pasien memerlukan katup buatan setelah 15-20 tahun setelah pembedahan katup AS. Pada 10-30% pasien, regurgitasi aorta dapat terjadi setelah valvotomi atau prosedur balloning. Profilaksis endokarditis bakterial diberikan setelah operasi dilakukan. Insidensi endokarditis tidak berkurang dengan operasi katup. Antikoagulan dapat diberikan setelah pemasangan katup prosthetik.g. Koarktasio Aorta 2,3,5,12Terapi koreksi bedah pada koarktasio aorta bergantung pada klinis simptomatik atau asimptomatik penyakit. Pada dasarnya kelainan ini dikoreksi setelah diagnosis ditegakkan. Indikasi dan timing operasi pada kelainan ini, yaitu:

- Pada koarktasio asimptomatik dengan hipertensi pada ekstremitas atas atau gradien sistolik lebih besar dari 20 mmHg antara lengan dan tungkai. Dilakukan pada usia 2-4 tahun. Pada anak yang lebih besar, operasi dilakukan segera. Bila terdapat hipertensi yang berat, CHF, atau kardiomegali, pembedahan dilakukan pada usia yang lebih awal. Anak dengan kelainan ringan dilakukan pembedahan bila gradien bertambah dengan latihan fisik.

- Pada Koarktasio aorta simptomatik dengan CHF atau syok sirkulasi pada awal kehidupan, pembedahan dilakukan sesegera mungkin. Pemberian terapi medik dengan periode singkat sebelum pembedahan dilakukan memberikan outcome yang baik. Bila koarktasio aorta disertai VSD yang lebar, maka kedua defek dapat diperbaiki bersamaan, atau hanya koarktasio saja yang diperbaiki sementara VSD ditangani secara medis bila tidak terdapat CHF, atau VSD diperbaiki beberapa hari atau minggu setelah operasi koarktasio dilakukan. Prosedur pembedahan pada koarktasio asimptomatik adalah dengan reseksi segmen dan reanastomosis end-to-end. Aortoplasti arteri subklavia atau graft sirkular dapat pula dilakukan. Pada koarktasio simptomatik, selain kedua teknik tersebut, dapat pula dilakukan tambalan aortoplasti menggunakan Dakron yang diinsersikan di sepanjang diameter lumen. Pada kasus berat, dapat dilakukan insersi antara aorta ascenden dan descenden. Mortalitas pembedahan koarktasio aorta asimptomatik adalah < 1%, sedangkan koarktasio simptomatik < 5%, dan bila operasi dilakukan bersamaan dengan penutupan defek VSD, maka mortalitas dapat mencapai 10%. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain gagal ginjal postoperatif, obstruktif residual atau rekoarktasio yang terjadi 6-33% kasus. Dapat pula terjadi iskemia khorda spinalis yang menyebabkan paraplegia. Pemantauan paskaoperasi dilakukan secara rutin setiap 6-12 bulan. Profilaksis bakterial endokarditis dapat dilanjutkan karena berhubungan dengan koarktasio residual. Angioplasti balon dapat dilakukan bila terjadi rekoarktasio. Perlu pula dilakukan pengawasan kemungkinan terjadinya hipertensi pada pasien.BAB III

KESIMPULAN

Penyakit jantung bawaan merupakan kelainan bawaan yang sering ditemukan, yaitu 10% dari seluruh kelainan bawaan dan sebagai penyebab utama kematian pada masa neonatus. Perkembangan di bidang diagnostik, tatalaksana medikamentosa dan tehnik intervensi non bedah maupun bedah jantung memberikan harapan hidup sangat besar pada neonatus dengan PJB yang kritis. Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan kelainan jantung yang secara umum disebabkan oleh gangguanperkembangan sistem CV (cardiovascular) pada masa embrio. secara umum disebabkan oleh 2 faktor yaitu faktor endogen (hereditas) dan faktor eksogen (lingkungan). Kelainan herediter dapat disebabkan oleh abberasi kromosom dan mutasi gen, sedangkan penyebab lingkungan terutama dikarenakan oleh virus rubella atau lainnya pada ibu saat kehamilan, obat obatan seperti talidomid dan obat obat lainnya jga bisa disebabkan oleh radiasi.DAFTAR PUSTAKA1. Winaya AIB. Tumbuh Kembang Anak Pada Penyakit Jantung Bawaan. Tumbuh Kembang Anak. 2013 (2) : 485-89.

2. Bernstein D. Section 3 Congenital Heart Disease. Nelson Textbook of Pediatrics. Mei 2004 (17) : 1499-1521.

3. Hassan R, et all. Kelainan Jantung Anak. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. 1985 (2) : 705-25.

4. Sastroasmoro S, Madiyono B. Penyakit Jantung Bawaan Non-Sianotik. Buku Ajar Kardiologi Anak. 1994 : 191-233.

5. Marcdante KJ, et all. Bab 134 Penyakit Jantung Bawaan Asianotik. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esential. 2014 (6) : 572-77.

6. Ramaswamy P, Anbumani P, Srinivasan K, Natesan V, Srinivasan S. Ventricular Septal Defect. Editor: Towbin J, Windle ML, Allen HD, Herzberg G, Berger S. April 2013 (Available at www.eMedicine.com, diakses tanggal 12 Maret 2015)

7. Carr MR, King BR. Pediatric Atrial Septal Defect, Clinical Presentation. Editor: Seib PM, Windle ML, Chin AJ, Herzberg G, Neish SR. January 2014 (Available at www.eMedicine.com, diakses tanggal 12 Maret 2015)

8. Kim LK. Patent Ductus Arteriosus. Editor: Allen HD. September 2014 (Available at www.eMedicine.com, diakses tanggal 12 Maret 2015)

9. Mancini MC, Hanley HG. Endocadial Cushion Defects. Editor: Wilis PW, Talavera F, Sheridan FM, Suleman A, Zevitz ME. September 2014 (Available at www.eMedicine.com, diakses tanggal 12 Maret 2015)

10. Rao PS, Pflieger K. Pulmonary Stenosis, Valvar. Editor: Towbin J, Windle ML, Moore JW, Herzberg G, Berger S. Juni 2014 (Available at www.eMedicine.com, diakses tanggal 12 Maret 2015)

11. Ren X. Aortic Stenosis. Editor: Lange RA, Balentine J. November 2014 (Available at www.eMedicine.com, diakses tanggal 12 Maret 2015)

12. Rao PS, Seib PM. Coarctation of the Aorta. Editor:Alejos JC, Windle ML, Stewart JM, Herzberg G, Neish SR. September 2014 (Available at www.eMedicine.com, diakses tanggal 12 Maret 2015)