Upload
matthew-blankenship
View
13
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
PENYAKIT
Citation preview
Batasan
Suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh Corynebacterium
diphtheriae dengan ditandai pembentukan pseudo-membran pada kulit dan atau mukosa.
Etiologi
Corynebacterium diphtheriae merupakan kuman batang gram gram positif, tidak bergerak,
pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada pemanasan 60°C, tahan dalam
keadaan beku dan kering. Dengan pewarnaan, kuman bisa tampak dalam susunan palisade,
bentuk L atau V, atau merupakan kelompok dengan formasi mirip huruf cina. Kuman tumbuh
secara aerob, bisa dalam media sederhana, tetapi lebih baik dalam media yang mengandung
K-tellurit atau media Loeffler. Pada membrane mukosa manusia Corynebacterium diphtheriae
dapat hidup bersama-sama dengan kuman diphtheroid saprofit yang mempunyai morfologi
serupa., sehingga untuk membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan
cara fermentasi glikogen, kanji, glukosa, maltose dan sukrosa.
Secara umum dikenal 3 tipe utama Corynebacterium diphtheriae yaitu gravis, intermedius
dan mitis, namun dipandang dari sudut antigenisitas sebenarnya basil ini merupakan spesies
yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe serologic. Hal ini mungkin bisa
menerangkan mengapa pada seorang pasien bisa terdapat kolonisasi lebih dari satu jenis
Corynebacterium diphtheriae. Ciri khas Corynebacterium diphtheriae adalah kemampuannya
memproduksi eksotoksin baik in vivo maupun in vitro. Eksotoksin ini merupakan suatu
protein dengan berat molekul 62000 dalton, tidak tahan panas/cahaya, mempunyai 2 fragmen
yaitu fragmen A (amino-terminal) dan fragmen B (karboksi-terminal). Kemampuan suatu
strain untuk membentuk/memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin
hanya bisa diproduksi oleh Corynebacterium diphtheriae yang terinfeksi bakteriofag
mengandung toxigene.
Epidemiologi
Difteria tersebar luas di seluruh dunia angka kejadian menurun secara nyata setelah perang
dunia 2, setelah penggunaan toksoid difteri. Demikian pula terdapat penurunan mortalitas
yang berkisar antara 5-10%. Di ruang perawatan penyakit menular bagian Ilmu Kesehatan
Anak RSUD Dr. Soetomo dalam tahun 1982-1986 rata-rata dirawat 200-400 kasus difteria
setiap tahun dengan angka kematian sekitar 4-7%, akan tetapi dari tahun ke tahun tampak
penurunan jumlah pasien dan pada tahun 1989 terdapat 130 kasus dengan angka kematian
3,08%. Delapan puluh persen kasus terjadi dibawah usia 15 tahun, meskipun demikian dalam
suatu keadaan wabah, angka kejadian menurut umur tergantung situasi imunitas populasi
setempat. Factor social ekonomi, pemukiman yang padat, nutrisi yang jelek, terbatasnya
fasilitas kesehatan, merupakan factor penting terjadinya penyakit ini. Angka kesakitan dan
kematian tahun 1992-1996 di rumah sakit propinsi di Jakarta, Semarang, Bandung,
Palembang dan Ujung Pandang ternyata masih tetap tinggi. Difteria ditularkan dengan cara
kontak dengan pasien atau karier melalui droplet (infeksi tetesan) ketika batuk, bersin atau
berbicara. Muntahan/debu bisa merupakan wahan penularan. Difteri kulit, meskipun jarang
dibahas, memegang peran yang cukup penting secara epidemiologic. Pada suatu saat ketika
angka kejadian difteria faucial di beberapa negara mulai memudar, difteria kulit dilaporkan
meningkat. Hal yang penting bahwa dalam suatu populasi tertentu dengan karier kulit dalam
proporsi yang cukup tinggi terdapat kekebalan terhadap difteria faucial, namun sebaliknya
berperan pula dalam terjadinya wabah difteria faucial.
Patogenesis dan Patofisiologis
Kuman Corynebacterium diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang
biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang
merembes ke sekeliling, selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan
pembuluh darah. Efek toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan
protein dalam sel. Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino
yang diikat 2 transfer RNA yang mendapati kedudukan P dan A dalam ribosom. Bila
rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk
polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi ini
merupakan pindahnya gabungan transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P.
proses translokasi ini memerlukan enzim translokase (elongation factor 2) yang aktif.
Toksin difteria mula-mula menempel pada membrane sel dengan bantuan fragmen B dan
selanjutnya fragmen A akan masuk, mengakibatkan inaktivasi enzim translokase melalui
proses : NAD+EF2 (aktif) toksin ADP ribosil EF2 (inaktif) + H2 + nikotinamid ADP ribosil
EF2 yang inaktif ini menyebabkan proses translokasi tidak berjalan sehingga tidak
membentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, akibatnya sel akan mati, nekrosis tampak
jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai respons, terjadi inflamasi local bersama-sama
dengan jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas. Produksi
toksin semakin banyak daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin.
Terbentuklah suatu membrane yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman , tergantung dari
jumlah darah yang terkandung. selain fibrin, membran juga terdiri dari sel-sel radang,
eritrosit dan sel-sel epitel. Bila dipaksa melepas membran akan terjadi perdarahan.
Selanjutnya membran akan terlepas sendiri dalam periode penyembuhan.
Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder dengan bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes).
Membran dan jaringan edematous dapat menyumbat jalan nafas. gangguan
pernafasan/suffokasi bisa terjadi dengan perluasan penyakit ke dalam laring atau cabang-
cabang tracheobronchial. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bisa mengakibatkan kerusakan
pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal.
Antitoksin diphtheria hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorbsi
pada sel, tetapi tidak bila telah terjadi penetrasi ke dalam sel. Setelah toksin terfiksasi
dalam sel, terdapat periode laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinik.
Miokardiopati toksik biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya
terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologi yang menonjol adalah nekrosis toksis dan
degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak
edema, kongesti, infiltrasi sel mononuklear pada serat otot dan sistem konduksi. Bila
penderita tetap hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial. pada saraf tampak
neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput mielin. Nekrosis hati bisa disertai
gejala hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubuler akut
pada ginjal.
Manifestasi Klinik
Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bisa bervariasi dari
tanpa gejala sampai suatu keadaan/penyakit yang hipertoksik serta fatal. Sebagai faktor
primer adalah imunitas penderita terhadap toksin diphtheria, virulensi serta toksinogenesitas
(kemampuan membentuk toksin) C. diphtheriae, dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor-
faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit-penyakit pada daerah
nasifaring yang sudah ada sebelumnya. Masa tunas 2-6 hari. Penderita pada umumnya
datang untuk berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang
melebihi 38,9o C dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokalisasi penyakit diphtheria.
Diphtheria Hidung
Pada permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik
ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinous dan kemudian mukopurulen
mengadakan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membran putih
pada daerah septum nasi. Absorpsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul
tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat.
Diphtheria Tonsil-Faring
Gejala anoroksia, malaise, demam ringan, nyeri menelan. dalam 1-2 hari timbul membran
yang melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke
uvula dan palatum molle atau ke distal ke laring dan trachea.
Usaha melepas membran akan mengakibatkan perdarahan. Dapat terjadi lymphadenitis
servikalis dan submandibularis bila bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas
timbul bullneck. Selanjutnya tergantung derajat elaborasi toksin dan luas embran. Bila
kasus berat, bisa terjadi kegagalan pernafasan atau sirkulasi. Dapat terjadi paralisis
palatum molle baik uni maupun bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor,
koma, kematian bisa terjadi dalam satu minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang,
penyembuhan terjadi secara berangsur-angsur dan bisa disertai penyulit miokarditis atau
neuritis. Pada kasus ringan membran terlepas dalam 7-10 hari; biasanya terjadi penyembuhan
sempurna.
Diphtheria Laring
Biasanya merupakan perluasan diphtheria faring, pada diphtheria laring primer gejala toksik
kurang nyata, tetapi lebih berupa gejala obstruksi saluran nafas atas. Gejala sukar dibedakan
dari tipe infectious croup yang lain seperti nafas berbunyi, stridor progresif, suara parau,
batuk kering dan pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal, subcostal
dan supraclavicular. Bila terjadi pelepasan membran yang menutup jalan nafas bisa
terjadi kematian mendadak. pada kasus berat, membran meluas ke percabangan
tracheobronchial. Dalam hal diphtheria laring sebagai perluasan daripada diphtheria faring,
gejala merupakan campuran gejala obstruksi dan toksemia.
Diphtheria Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva, Telinga
Diphtheria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada dasarnya.
Kelainan cenderung menahun. Diphtheria pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa
kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis
eksterna dengan sekret purulen dan berbau.
Diagnosis
Harus dibuat atas dasar pemeriksaan klinis oleh karena penundaan pengobatan akan
membahayakan jiwa penderita. Penentuan kuman diphtheria dengan sediaan langsung kurang
dapat dipercaya. Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara fluorescent
antibody technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi
C, diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan dengan tes
toksinogenesitas secara vivo (marmut) dan vitro (tes Elek). Cara Polymerase Chain Reaction
(PCR) dapat membantu menegakkan diagnosis difteri dengan cepat, namun pemeriksaan ini
mahal dan masih memerlukan penjajagan lebih lanjut untuk penggunaan secara luas.
Diagnosis Banding
Diphtheria Hidung :
1. Rhinorrhea (common cold, sinusitis, adenoiditis)
2. Benda asing dalam hidung
3. Snuffles (lues congenita).
Diphtheria Faring :
1. Tonsilitis membranosa akuta oleh karena streptokokus (tonsillitis akuta/septic sore throat)
2. Mononucleosis infectiosa
3. Tonsilitis membranosa non bakterial
4. Tonsillitis herpetika primer
5. Moniliasis
6. Blood dyscrasia
7. Pasca tonsilektomi
Diphtheria Laring :
1. Infectious croup yang lain
2. Spasmodic croup
3. Angioneurotic edema pada laring
4. Benda asing dalam laring
Diphtheria Kulit :
1. Impetigo
2. Infeksi o.k. streptokokus/stafilokokus
Penyulit
1. Obstruksi jalan nafas :
Disebabkan oleh karena tertutup jalan nafas oleh membran diphtheria atau oleh karena edema
pada tonsil, faring, daerah sub mandibular dan cervical.
2. Efek toksin.
Penyulit pada jantung berupa miokardioopati toksik bisa terjadi pada minggu ke dua, tetapi
bisa lebih dini (minggu pertama) atau lebih lambat (minggu ke enam). Manifestasinya bisa
berupa takhikardi, suara jantung redup, bising jantung, atau aritmia. Bisa pula terjadi gagal
jantung. Penyulit pada saraf (neuropati) biasanya terjadi lambat, bersifat bilateral,
terutama mengenai saraf motorik dan sembuh sempurna. Kelumpuhan pada palatum molle
pada minggu ke-3, suara menjadi sengau, terjadi regurgitasi nasal, kesukaran menelan.
Paralisis otot mata biasanya pada minggu ke-5, meskipun dapat terjadi antara minggu ke-5
dan ke-7. Paralisa ekstremitas bersifat bilateral dan simetris disertai hilangnya deep tendon
reflexes, peningkatan kadar protein dalam liquor cerebrospinalis. Bila terjadi
kelumpuhan pada pusat vasomotor dapat terjadi hipotensi dan gagal jantung.
3. Infeksi sekunder dengan bakteri lain :
Setelah penggunaan antibiotika secara luas, penyulit ini sudah sangat jarang.
Tatalaksana
1. Isolasi dan Karantina :
Penderita diisolasi sampai biakan negatif 3 kali berturut-turut setelah masa akut terlampaui.
Kontak penderita diisolasi sampai tindakan-tindakan berikut terlaksana :
a. biakan hidung dan tenggorok
b. seyogyanya dilakukan tes Schick (tes kerentanan terhadap diphtheria)
c. diikuti gejala klinis setiap hari sampai masa tunas terlewati.
Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster dengan toksoid diphtheria.
Bila kultur (-)/Schick test (-) : bebas isolasi
Bila kultur (+)/Schick test (-) :pengobatan carrier
Bila kultur (+)/Schick test (+)/gejala (-) : anti toksin diphtheria + penisilin
Bila kultur (-)/Shick test (+) : toksoid (imunisasi aktif)
2. Pengobatan :
Tujuan mengobati penderita diphtheria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat
secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi
C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit
diphtheria.
2.1. U m u m :
Istirahat mutlak selama kurang lebih 2 minggu, pemberian cairan serta diit yang adekwat.
Khusus pada diphtheria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara
dengan menggunakan nebulizer.
Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif hal-hal tersebut
merupakan indikasi tindakan trakeostomi.
2.2. K h u s u s :
2.2.1. Antitoksin : serum anti diphtheria (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis diphtheria.
Sebelumnya harus dilakukan tes kulit atau tes konjungtiva dahulu. Oleh karena pada
pemberian ADS terdapat kemungkinan terjadinya reaksi anafilaktik, maka harus tersedia
larutan Adrenalin 1 : 1000 dalam semprit.
Tes kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1 : 1000
secara intrakutan. Tes positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm.
Tes konjungtiva dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1 : 10 dalam garam
faali. Pada mata yang lain diteteskan garam faali. Tes positif bila dalam 20 menit tampak
gejala konjungtivitis dan lakrimasi.
Bila tes kulit/konjungtiva positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi (Besredka). Bila
tes hipersensitivitas tersebut di atas negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara tetesan
intravena.
Dosis serum anti diphtheria ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit, tidak
tergantung pada berat badan penderita, dan berkisar antara 20.000-120.000 KI.
Dosis ADS di ruang Menular Anak RSUD Dr. Soetomo disesuaikan menurut derajat berat
penyakit sebagai berikut :
· 20.000 KI i.m. untuk diphtheria ringan (hidung, kulit, konjungtiva).
· 40.000 KI i.v. untuk diphtheria sedang (pseudomembran terbatas pada tonsil, diphtheria
laring).
· 100.000 KI i.v. untuk diphtheria berat (pseudomembran meluas ke luar tonsil, keadaan
anak yang toksik; disertai "bullneck", disertai penyulit akibat efek toksin).
Pemberian ADS secara intravena dilakukan secara tetesan dalam larutan 200 ml dalam waktu
kira-kira 4-8 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat/reaksi sakal
dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu
dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).
2.2.2. Antimikrobial
Bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk menghentikan produksi toksin.
Penisilin prokain 50.000-100.000 KI/BB/hari selama 7-10 hari, bila alergi bisa diberikan
eritromisin 40 mg/kg/hari.
2.2.3. Kortikosteroid
Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada diphtheria. Di
Ruang Menular Anak RSUD Dr. Soetomo kortikosteroid diberikan kepada penderita
dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian atas dan bila terdapat penyulit miokardiopati
toksik.
2.2.4. Pengobatan penyulit
Pengobatan terutama ditujukan terhadap menjaga agar hemodinamika penderita tetap baik
oleh karena penyulit yang disebabkan oleh toksin pada umumnya reversibel.
2.2.5. Pengobatan Carrier
Carrier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai reaksi Schick negatif
tetapi mengandung basil diphtheria dalam nasofaringnya.
Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin oral atau suntikan, atau eritromisin selama
satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/adenoidektomi.
3. Pencegahan :
3.1. Umum
Kebersihan dan pengetahuan tentang bahaya penyakit ini bagi anak-anak. Pada umumnya
setelah menderita penyakit diphtheria kekebalan penderita terhadap penyakit ini sangat
rendah sehingga perlu imunisasi.
3.2. Khusus
Terdiri dari imunisasi DPT dan pengobatan carrier.
Imunitas
Test kekebalan :
Schick test : menentukan kerentanan (suseptibilitas) terhadap diphtheria. Test dilakukan
dengan menyuntikan toksin diphtheria (dilemahkan) secara intrakutan. Bila tidak terdapat
kekebalan antitoksik akan terjadi nekrosis jaringan sehingga test positif.
Moloney test : menentukan sensitivitas terhadap produk kuman diphtheria. Tes dilakukan
dengan memberikan 0,1 ml larutan fluid diphtheria toxoid secara suntikan intradermal.
Reaksi positif bila dalam 24 jam timbul eritema > 10 mm. Ini berarti bahwa :
- pernah terpapar pada basil diphtheria sebelumnya sehingga terjadi reaksi hipersensitivitas.
- pemberian toksoid diphtheria bisa mengakibatkan timbulnya reaksi yang berbahaya.
Kekebalan pasif : diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal terhadap diphtheria
(sampai 6 bulan) dan suntikan antitoksin (sampai 2-3 minggu).
Kekebalan aktif : diperoleh dengan cara menderita sakit atau inapparent infection dan
imunisasi dengan toksoid diphtheria.
Gambar
Daftar Pustaka
1. Christie AB, ed. Infectious Diseases : Epidemiology and clinical practice. Edinburgh
London New York : Churchill Livingstone, 1987; 1183-209.
2. Halsey NA, Smith MHD. Diphtheria. In: Warren KS, Mahmoud AAF, eds. Tropical and
Geographical Medicine. International Student Edition. New York : Mc Graw-Hill, 1990,
860-6.
3. Hodes HL. Diphtheria. Ped. Clin.North America 1979; 26 : 445.
4. Wharton M. In : Gershon AA, Hotez PJ, Katz SL, eds. Krugman’s Infectious Diseases of
Children. 11th ed St. Louis : The Mosby Co, 2004 : 85-96
5. Long SL. Diphtheria (Corynebacterium diphtheriae) in : Behrman RE, Kliegman RM, Jelson
HB, eds. Nelson Textbook of Pediatrics. 16th ed Philadelphia London New York St. Louis
Sydney Toronto : WB Saunders, 2000; 817-20
6. McCloskey RV. Corynebacterium diphtheriae (Diphtheria). In : Mandel GL, Douglas RG,
Bennett JE, eds. Principles and practice of Infectious Diseases. Churchill Living stone :
John Wiley & Sons inc. 1985; 1171-4.
7. Top FH, Wehrle PF, eds. Diphtheria. Communicable and Infectious Disease. St. Louis. The
CV Mosby Co. 1976 : 223 - 38.