19
Batasan Suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae dengan ditandai pembentukan pseudo- membran pada kulit dan atau mukosa. Etiologi Corynebacterium diphtheriae merupakan kuman batang gram gram positif, tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada pemanasan 60°C, tahan dalam keadaan beku dan kering. Dengan pewarnaan, kuman bisa tampak dalam susunan palisade, bentuk L atau V, atau merupakan kelompok dengan formasi mirip huruf cina. Kuman tumbuh secara aerob, bisa dalam media sederhana, tetapi lebih baik dalam media yang mengandung K-tellurit atau media Loeffler. Pada membrane mukosa manusia Corynebacterium diphtheriae dapat hidup bersama-sama dengan kuman diphtheroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa., sehingga untuk membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji, glukosa, maltose dan sukrosa. Secara umum dikenal 3 tipe utama Corynebacterium diphtheriae yaitu gravis, intermedius dan mitis, namun dipandang dari sudut antigenisitas sebenarnya basil ini merupakan spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe serologic. Hal ini mungkin bisa menerangkan mengapa pada seorang pasien bisa terdapat kolonisasi lebih dari satu jenis Corynebacterium diphtheriae. Ciri khas Corynebacterium diphtheriae adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in vivo maupun in vitro.

DIFTERI

Embed Size (px)

DESCRIPTION

PENYAKIT

Citation preview

Page 1: DIFTERI

Batasan

Suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh Corynebacterium

diphtheriae dengan ditandai pembentukan pseudo-membran pada kulit dan atau mukosa.

Etiologi

Corynebacterium diphtheriae merupakan kuman batang gram gram positif, tidak bergerak,

pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada pemanasan 60°C, tahan dalam

keadaan beku dan kering. Dengan pewarnaan, kuman bisa tampak dalam susunan palisade,

bentuk L atau V, atau merupakan kelompok dengan formasi mirip huruf cina. Kuman tumbuh

secara aerob, bisa dalam media sederhana, tetapi lebih baik dalam media yang mengandung

K-tellurit atau media Loeffler. Pada membrane mukosa manusia Corynebacterium diphtheriae

dapat hidup bersama-sama dengan kuman diphtheroid saprofit yang mempunyai morfologi

serupa., sehingga untuk membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan

cara fermentasi glikogen, kanji, glukosa, maltose dan sukrosa.

Secara umum dikenal 3 tipe utama Corynebacterium diphtheriae yaitu gravis, intermedius

dan mitis, namun dipandang dari sudut antigenisitas sebenarnya basil ini merupakan spesies

yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe serologic. Hal ini mungkin bisa

menerangkan mengapa pada seorang pasien bisa terdapat kolonisasi lebih dari satu jenis

Corynebacterium diphtheriae. Ciri khas Corynebacterium diphtheriae adalah kemampuannya

memproduksi eksotoksin baik in vivo maupun in vitro. Eksotoksin ini merupakan suatu

protein dengan berat molekul 62000 dalton, tidak tahan panas/cahaya, mempunyai 2 fragmen

yaitu fragmen A (amino-terminal) dan fragmen B (karboksi-terminal). Kemampuan suatu

strain untuk membentuk/memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin

hanya bisa diproduksi oleh Corynebacterium diphtheriae yang terinfeksi bakteriofag

mengandung toxigene.

Epidemiologi

Difteria tersebar luas di seluruh dunia angka kejadian menurun secara nyata setelah perang

dunia 2, setelah penggunaan toksoid difteri. Demikian pula terdapat penurunan mortalitas

yang berkisar antara 5-10%. Di ruang perawatan penyakit menular bagian Ilmu Kesehatan

Anak RSUD Dr. Soetomo dalam tahun 1982-1986 rata-rata dirawat 200-400 kasus difteria

Page 2: DIFTERI

setiap tahun dengan angka kematian sekitar 4-7%, akan tetapi dari tahun ke tahun tampak

penurunan jumlah pasien dan pada tahun 1989 terdapat 130 kasus dengan angka kematian

3,08%. Delapan puluh persen kasus terjadi dibawah usia 15 tahun, meskipun demikian dalam

suatu keadaan wabah, angka kejadian menurut umur tergantung situasi imunitas populasi

setempat. Factor social ekonomi, pemukiman yang padat, nutrisi yang jelek, terbatasnya

fasilitas kesehatan, merupakan factor penting terjadinya penyakit ini. Angka kesakitan dan

kematian tahun 1992-1996 di rumah sakit propinsi di Jakarta, Semarang, Bandung,

Palembang dan Ujung Pandang ternyata masih tetap tinggi. Difteria ditularkan dengan cara

kontak dengan pasien atau karier melalui droplet (infeksi tetesan) ketika batuk, bersin atau

berbicara. Muntahan/debu bisa merupakan wahan penularan. Difteri kulit, meskipun jarang

dibahas, memegang peran yang cukup penting secara epidemiologic. Pada suatu saat ketika

angka kejadian difteria faucial di beberapa negara mulai memudar, difteria kulit dilaporkan

meningkat. Hal yang penting bahwa dalam suatu populasi tertentu dengan karier kulit dalam

proporsi yang cukup tinggi terdapat kekebalan terhadap difteria faucial, namun sebaliknya

berperan pula dalam terjadinya wabah difteria faucial.

Patogenesis dan Patofisiologis

Kuman Corynebacterium diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang

biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang

merembes ke sekeliling, selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan

pembuluh darah. Efek toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan

protein dalam sel. Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino

yang diikat 2 transfer RNA yang mendapati kedudukan P dan A dalam ribosom. Bila

rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk

polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi ini

merupakan pindahnya gabungan transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P.

proses translokasi ini memerlukan enzim translokase (elongation factor 2) yang aktif.

Toksin difteria mula-mula menempel pada membrane sel dengan bantuan fragmen B dan

selanjutnya fragmen A akan masuk, mengakibatkan inaktivasi enzim translokase melalui

proses : NAD+EF2 (aktif) toksin ADP ribosil EF2 (inaktif) + H2 + nikotinamid ADP ribosil

EF2 yang inaktif ini menyebabkan proses translokasi tidak berjalan sehingga tidak

membentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, akibatnya sel akan mati, nekrosis tampak

jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai respons, terjadi inflamasi local bersama-sama

Page 3: DIFTERI

dengan jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas. Produksi

toksin semakin banyak daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin.

Terbentuklah suatu membrane yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman , tergantung dari

jumlah darah yang terkandung. selain  fibrin, membran juga terdiri dari sel-sel radang,

eritrosit dan  sel-sel epitel. Bila dipaksa melepas membran akan terjadi perdarahan.

Selanjutnya membran akan terlepas sendiri dalam  periode penyembuhan.

Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder dengan bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes).

Membran dan jaringan edematous dapat menyumbat jalan nafas. gangguan 

pernafasan/suffokasi bisa terjadi dengan  perluasan penyakit ke dalam laring atau cabang-

cabang  tracheobronchial. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bisa mengakibatkan kerusakan

pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal.

Antitoksin  diphtheria  hanya berpengaruh  pada  toksin  yang bebas atau yang terabsorbsi

pada sel, tetapi tidak bila telah terjadi  penetrasi  ke dalam sel.  Setelah  toksin  terfiksasi

dalam  sel,  terdapat periode laten yang  bervariasi  sebelum timbulnya manifestasi klinik.

Miokardiopati  toksik biasanya  terjadi dalam  10-14  hari, manifestasi saraf  pada  umumnya 

terjadi setelah  3-7 minggu. Kelainan patologi yang menonjol  adalah nekrosis  toksis  dan

degenerasi hialin  pada  bermacam-macam organ  dan  jaringan. Pada jantung  tampak 

edema, kongesti, infiltrasi sel mononuklear pada serat otot dan sistem konduksi.  Bila

penderita tetap hidup terjadi regenerasi  otot  dan fibrosis  interstisial.  pada saraf  tampak 

neuritis  toksik dengan  degenerasi lemak pada selaput mielin.  Nekrosis  hati bisa  disertai 

gejala  hipoglikemia,  kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubuler akut

pada ginjal.

Manifestasi Klinik

Tergantung  pada berbagai faktor, maka  manifestasi  penyakit ini   bisa   bervariasi  dari 

tanpa  gejala   sampai   suatu keadaan/penyakit yang hipertoksik serta fatal. Sebagai faktor

primer adalah imunitas penderita terhadap toksin  diphtheria, virulensi serta toksinogenesitas

(kemampuan membentuk toksin) C. diphtheriae, dan lokasi penyakit secara anatomis.  Faktor-

faktor  lain  termasuk umur, penyakit sistemik  penyerta  dan penyakit-penyakit  pada  daerah 

nasifaring  yang  sudah  ada sebelumnya.  Masa  tunas  2-6 hari.  Penderita  pada  umumnya

datang untuk berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam  jarang

melebihi 38,9o C dan keluhan serta gejala  lain tergantung pada lokalisasi penyakit diphtheria.

Page 4: DIFTERI

 

Diphtheria Hidung

Pada permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan  tanpa atau disertai gejala sistemik

ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinous dan kemudian mukopurulen 

mengadakan lecet  pada  nares dan bibir atas.  Pada  pemeriksaan  tampak membran putih

pada daerah septum nasi. Absorpsi toksin sangat lambat  dan gejala sistemik yang timbul

tidak nyata  sehingga diagnosis lambat dibuat.

Diphtheria Tonsil-Faring

Gejala anoroksia, malaise, demam ringan, nyeri menelan. dalam 1-2  hari timbul membran

yang melekat, berwarna  putih-kelabu dapat  menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke

uvula  dan palatum molle atau ke distal ke laring dan trachea.

Usaha melepas membran akan mengakibatkan perdarahan. Dapat terjadi  lymphadenitis 

servikalis dan  submandibularis  bila bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas 

timbul bullneck.  Selanjutnya tergantung derajat elaborasi  toksin dan  luas  embran. Bila

kasus berat, bisa  terjadi  kegagalan pernafasan  atau  sirkulasi. Dapat terjadi  paralisis 

palatum molle  baik uni maupun bilateral, disertai kesukaran  menelan dan regurgitasi. Stupor,

koma, kematian bisa terjadi dalam satu minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang,

penyembuhan terjadi secara berangsur-angsur dan bisa disertai penyulit  miokarditis atau

neuritis. Pada kasus ringan membran  terlepas dalam 7-10 hari; biasanya terjadi penyembuhan

sempurna.

Diphtheria Laring

Biasanya merupakan perluasan diphtheria faring, pada diphtheria laring primer gejala toksik

kurang nyata, tetapi lebih berupa gejala obstruksi saluran nafas atas.  Gejala  sukar dibedakan 

dari  tipe infectious croup  yang   lain  seperti nafas berbunyi, stridor progresif, suara parau,

batuk  kering dan  pada obstruksi laring yang berat terdapat  retraksi  suprasternal,  subcostal 

dan  supraclavicular.  Bila   terjadi pelepasan  membran  yang  menutup jalan  nafas  bisa 

terjadi kematian mendadak. pada kasus berat, membran meluas ke percabangan

tracheobronchial. Dalam hal diphtheria laring  sebagai perluasan daripada diphtheria faring,

gejala merupakan campuran gejala obstruksi dan toksemia.

Page 5: DIFTERI

Diphtheria Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva, Telinga

Diphtheria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada dasarnya.

Kelainan cenderung menahun. Diphtheria pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa

kemerahan,  edema   dan  membran pada  konjungtiva  palpebra.  Pada telinga  berupa  otitis

eksterna dengan  sekret  purulen  dan berbau.

 

Diagnosis

Harus dibuat atas dasar pemeriksaan klinis oleh karena penundaan pengobatan akan

membahayakan jiwa penderita. Penentuan kuman diphtheria dengan sediaan langsung kurang

dapat dipercaya.  Cara  yang  lebih akurat  adalah  dengan  identifikasi secara fluorescent

antibody technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi

C, diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan dengan tes 

toksinogenesitas secara vivo (marmut) dan vitro (tes Elek). Cara Polymerase Chain Reaction

(PCR) dapat membantu menegakkan diagnosis difteri dengan cepat, namun pemeriksaan ini

mahal dan masih memerlukan penjajagan lebih lanjut untuk penggunaan secara luas.

Diagnosis Banding

 

Diphtheria Hidung :

1. Rhinorrhea (common cold, sinusitis, adenoiditis)

2. Benda asing dalam hidung

3. Snuffles (lues congenita).

 

Diphtheria Faring :

1. Tonsilitis membranosa akuta oleh karena streptokokus (tonsillitis akuta/septic sore  throat)

2. Mononucleosis infectiosa

3. Tonsilitis membranosa non bakterial

4. Tonsillitis herpetika primer

5. Moniliasis

6. Blood dyscrasia

7. Pasca tonsilektomi

 

Page 6: DIFTERI

Diphtheria Laring :

1. Infectious croup yang lain

2. Spasmodic croup

3. Angioneurotic edema pada laring

4. Benda asing dalam laring

 

Diphtheria Kulit :

1. Impetigo

2. Infeksi o.k. streptokokus/stafilokokus

Penyulit

1.   Obstruksi jalan nafas :

      Disebabkan oleh karena tertutup jalan nafas oleh membran diphtheria atau oleh karena edema

pada tonsil, faring, daerah sub mandibular dan cervical.

2.   Efek toksin.

      Penyulit pada jantung berupa miokardioopati toksik bisa terjadi pada minggu ke dua, tetapi

bisa lebih dini (minggu pertama) atau  lebih  lambat (minggu ke enam).  Manifestasinya  bisa

berupa  takhikardi, suara jantung redup, bising jantung,  atau aritmia. Bisa pula terjadi  gagal 

jantung. Penyulit  pada  saraf (neuropati) biasanya  terjadi  lambat,  bersifat bilateral, 

terutama  mengenai saraf  motorik  dan  sembuh sempurna. Kelumpuhan pada palatum molle

pada minggu ke-3, suara menjadi sengau, terjadi  regurgitasi nasal, kesukaran menelan.

Paralisis otot mata biasanya pada minggu ke-5, meskipun dapat terjadi antara minggu ke-5 

dan  ke-7. Paralisa ekstremitas bersifat bilateral  dan simetris  disertai hilangnya deep tendon

reflexes,  peningkatan  kadar  protein dalam liquor  cerebrospinalis.  Bila terjadi 

kelumpuhan  pada pusat  vasomotor  dapat  terjadi hipotensi dan gagal jantung.

3. Infeksi sekunder dengan bakteri lain :

      Setelah  penggunaan antibiotika secara luas, penyulit  ini sudah sangat jarang.

 

Tatalaksana

Page 7: DIFTERI

1. Isolasi dan Karantina :

Penderita diisolasi sampai biakan negatif 3 kali berturut-turut setelah masa akut terlampaui.

Kontak penderita diisolasi sampai tindakan-tindakan  berikut terlaksana :

a. biakan hidung dan tenggorok

b. seyogyanya dilakukan tes  Schick (tes kerentanan terhadap diphtheria)

c. diikuti  gejala  klinis  setiap hari sampai masa tunas terlewati.

Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster dengan toksoid diphtheria.

Bila kultur (-)/Schick test (-) : bebas isolasi

Bila kultur (+)/Schick test (-) :pengobatan carrier

Bila  kultur (+)/Schick test (+)/gejala (-) : anti  toksin diphtheria + penisilin

Bila kultur (-)/Shick test (+) : toksoid (imunisasi aktif)

 

2. Pengobatan :

Tujuan mengobati penderita diphtheria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat

secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi

C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati  infeksi penyerta dan penyulit

diphtheria.

2.1. U m u m :

Istirahat  mutlak  selama kurang lebih  2  minggu,  pemberian cairan serta diit yang adekwat.

Khusus pada diphtheria laring dijaga  agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban  udara

dengan menggunakan nebulizer.

Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif hal-hal tersebut

merupakan indikasi tindakan trakeostomi.

2.2. K h u s u s :

2.2.1. Antitoksin : serum anti diphtheria (ADS)

Antitoksin  harus  diberikan segera setelah  dibuat  diagnosis diphtheria.

Sebelumnya harus dilakukan tes kulit atau tes konjungtiva dahulu.  Oleh karena pada

pemberian ADS terdapat  kemungkinan  terjadinya  reaksi anafilaktik, maka harus tersedia

larutan Adrenalin 1 : 1000 dalam semprit.

Page 8: DIFTERI

Tes kulit dilakukan  dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis  1 : 1000

secara intrakutan. Tes positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm.

Tes  konjungtiva dilakukan dengan meneteskan 1 tetes  larutan serum  1 : 10 dalam garam

faali. Pada  mata  yang  lain diteteskan garam faali. Tes positif bila dalam 20  menit tampak

gejala konjungtivitis dan lakrimasi.

Bila tes kulit/konjungtiva positif, ADS  diberikan  dengan cara desensitisasi (Besredka). Bila

tes hipersensitivitas tersebut di atas negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara tetesan

intravena.

Dosis serum anti diphtheria ditentukan secara empiris  berdasarkan  berat  penyakit, tidak

tergantung  pada  berat  badan penderita, dan berkisar antara 20.000-120.000 KI.

Dosis ADS di ruang Menular Anak RSUD Dr. Soetomo disesuaikan menurut derajat berat

penyakit sebagai berikut :

·        20.000 KI i.m. untuk diphtheria ringan (hidung, kulit,  konjungtiva).

·        40.000 KI i.v. untuk diphtheria  sedang (pseudomembran terbatas pada tonsil, diphtheria

laring).

·        100.000 KI i.v. untuk diphtheria berat (pseudomembran  meluas ke luar tonsil, keadaan

anak yang toksik; disertai "bullneck", disertai penyulit akibat efek toksin).

Pemberian ADS secara intravena dilakukan secara tetesan dalam larutan 200 ml dalam waktu

kira-kira 4-8 jam. Pengamatan terhadap  kemungkinan  efek samping  obat/reaksi  sakal 

dilakukan selama  pemberian  antitoksin dan selama  2  jam  berikutnya. Demikian pula perlu

dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).

2.2.2. Antimikrobial

Bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk  menghentikan  produksi  toksin.

Penisilin prokain 50.000-100.000 KI/BB/hari  selama  7-10  hari, bila  alergi  bisa  diberikan

eritromisin 40 mg/kg/hari.

2.2.3. Kortikosteroid

Page 9: DIFTERI

Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat  ini pada  diphtheria.  Di

Ruang Menular Anak  RSUD Dr.  Soetomo kortikosteroid  diberikan  kepada  penderita 

dengan   gejala obstruksi saluran nafas bagian atas dan bila terdapat  penyulit miokardiopati

toksik.

2.2.4. Pengobatan penyulit

Pengobatan terutama ditujukan terhadap menjaga agar hemodinamika penderita tetap baik

oleh karena penyulit yang  disebabkan oleh toksin pada umumnya reversibel.

2.2.5. Pengobatan Carrier

Carrier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai reaksi Schick negatif

tetapi mengandung basil  diphtheria dalam nasofaringnya.

Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin oral  atau suntikan, atau eritromisin selama

satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/adenoidektomi.

 

3. Pencegahan :

3.1. Umum

Kebersihan dan pengetahuan tentang bahaya penyakit  ini  bagi anak-anak. Pada umumnya

setelah menderita  penyakit  diphtheria  kekebalan penderita terhadap penyakit ini sangat 

rendah sehingga perlu imunisasi.

3.2. Khusus

Terdiri dari imunisasi DPT dan pengobatan carrier.

Imunitas

Test kekebalan :

Page 10: DIFTERI

Schick  test  :  menentukan  kerentanan (suseptibilitas) terhadap diphtheria. Test dilakukan

dengan menyuntikan toksin diphtheria (dilemahkan) secara intrakutan. Bila tidak terdapat 

kekebalan  antitoksik akan terjadi nekrosis jaringan  sehingga test positif.

Moloney test  : menentukan sensitivitas  terhadap  produk kuman diphtheria. Tes  dilakukan 

dengan memberikan  0,1 ml larutan fluid diphtheria toxoid  secara suntikan  intradermal.

Reaksi positif bila dalam   24  jam   timbul  eritema > 10 mm. Ini berarti bahwa :

-         pernah terpapar pada  basil diphtheria sebelumnya sehingga terjadi reaksi hipersensitivitas.

-         pemberian toksoid  diphtheria bisa mengakibatkan timbulnya  reaksi yang berbahaya.

Kekebalan pasif : diperoleh  secara  transplasental dari  ibu  yang  kebal  terhadap diphtheria

(sampai 6 bulan) dan suntikan  antitoksin (sampai 2-3 minggu).

Kekebalan aktif : diperoleh dengan cara menderita  sakit atau inapparent infection dan

imunisasi dengan toksoid  diphtheria.

 

Page 11: DIFTERI

Gambar

Page 12: DIFTERI
Page 13: DIFTERI

Daftar Pustaka

1. Christie AB, ed.  Infectious Diseases : Epidemiology   and clinical  practice. Edinburgh

London New York :  Churchill  Livingstone,  1987; 1183-209.

2. Halsey  NA, Smith MHD. Diphtheria. In: Warren  KS, Mahmoud AAF,  eds.  Tropical and

Geographical  Medicine.  International  Student  Edition. New York : Mc  Graw-Hill, 1990,

860-6.

3. Hodes  HL. Diphtheria. Ped. Clin.North America 1979;  26 :  445.

4. Wharton M. In : Gershon AA, Hotez PJ, Katz SL, eds.  Krugman’s Infectious Diseases of

Children. 11th ed  St. Louis : The Mosby Co, 2004 : 85-96

5. Long SL. Diphtheria (Corynebacterium diphtheriae) in : Behrman  RE,  Kliegman  RM, Jelson

HB, eds. Nelson Textbook of Pediatrics. 16th ed Philadelphia London New York St. Louis

Sydney Toronto : WB Saunders, 2000; 817-20

6. McCloskey  RV. Corynebacterium  diphtheriae  (Diphtheria). In :  Mandel GL, Douglas RG,

Bennett JE,  eds.  Principles   and  practice  of Infectious Diseases.  Churchill  Living stone :

John Wiley & Sons inc. 1985; 1171-4.

7. Top FH,  Wehrle  PF, eds.  Diphtheria. Communicable and Infectious Disease. St. Louis. The

CV Mosby Co. 1976 : 223 - 38.