Diktat HUKUM Pidana

Embed Size (px)

Citation preview

I. PENDAHULUAN A. Pengertian Hukum Pidana Dalam ilmu hukum pidana dikenal perbedaan antara ius punale dan ius puniend . Terjemahan istilah ius punale adalah hukum pidana, sedang ius puniend adalah hak memidana, dalam bahasa latin, ius mungkin diartikan sebagai hukum maupun hak. Perbedaan lain yaitu antara hukum pidana substantif/materiel dan hukum pidana ajektif/formel yang berintikan ius puniend . Ditinjau dari satu segi, hukum pidana substantif/materiel dapat disebut hukum delik. Kata delik asalnya dari bahasa latin delictum yang artinya falen (Belanda) atau gagal karena kesalahan dan memang ketentuan hukum pidana itu berupa perumusan sikap tindak dan salah (karena gagal mematuhi/melaksanakan yang baik atau benar). Disamping delictum dalam bahasa latin dikenal pengertian Crimen yang berarti misdaad dan dapat diterjemahkan dengan penyelewengan. Dari kata Crimen itulah kita mengenal Criminal Law dalam bahasa hukum Anglo Saxon. Dari segi lain hukum pidana substantif/materiel dapat dianggap sebagai hukum sanctie. Sanctie (Belanda) dari kata latin Sanctum yang arti asalnya ialah bevestigen bekrachtiging (Belanda) atau penegas yang bersifat positif dalam bentuk hadiah/anugrah atau bersifat negatif dan berupa hukuman termasuk pidana substantif/materiel dapat dirumuskan sebagai : Hukum mengenai delik yang diancam dengan hukuman pidana. Adapun hukum ajektif/formel atau hukum acara pidana yang berintikan ius puniend sebagai sarana realisasi hukum pidana substantif/materiel adalah : hukum yang menyangkut cara laksana penguasa menindak warga yang didakwa bertanggung jawab atas suatu delik.

B. Sejarah hukum pidana Semua hukum pidana yang berlaku bagi penduduk asli indonesia, adalah hukum pidana adat walaupun hukum pidana adat ini disana-sini sangat dipengaruhi oleh hukum islam namun sebagian besar masih bersifat asli. Pentingnya pelajaran hukum pidana adat itu rupanya akan hanya ada bagi ilmu hukum saja. Sejarah hukum tertulis dimulai dengan waktu kedatangan orang Belanda yang pertama di Indonesia, sejak dahulu. Maka hukum yang berlaku bagi orang belanda di Indonesia sebanyak mengkin disamakan dengan hukum yang berlaku di negara Belanda. Asas konkordansi itu senantiasa dipegang teguh selama orang Belanda itu menguasai perundang-undangan di Indonesia (pasal 131 ayat (2) sub a. IS). Jadi sejak permulaan hukum pidana tertulis yang berlaku bagi orang Belanda dikonkordansi dengan hukum piadna yang berlaku di negeri Belanda. Hukum yang berlaku bagi orang Belanda di pusat-pusat dagang VOC yang pertama-tama disini adalah hukum yang dijalankan di atas kapal-kapal VOC. Hukum kapal itu sendiri terdiri atas dua bagian : hukum Belanda yang kuno ditambah dengan asas-asas hukum Romawi. Bagian terbesar hukum kapal tersebut adalah disiplin. Hukum yang berlaku di daerah yang dikuasai VOC itu terdiri dari : (E. Utrecht:1965). 1. 2. 3. Hukum Statuta (yang termuat dalam Statuta van Batavia); Hukum Belanda yang kuno; Asas-asas hukum Romawi.

Sebagaimana diketahui VOC dibubarkan tahun 1798. Pemerintah atas daerah bekas VOC dilakukan oleh suatu Raad Van Aziatische Bezittingen en Establissmenten, disingkat dengan Aziatiche Raad, yang mulai dengan pekerjaan pada tanggal 1 Januari 1800. Pada tanggal 27 September 1804 Pemerintah Batafsche Republik mengesahkan suatu charter voor de aziatische bezittingen van de Bataafsche Republik. Menurut Supomo dan Jokosutono bahwa : Rancangan dari charter ini adalah buah pikiran dari panitia yang dilangsungkan pada tanggal 11 November 1802. Didalam panitia ini

terdapatlah dua aliran-aliran yang tidak suka pada perubahan dan aliran yang suka perubahan. Akibat dari pertemuan di antara dua aliran ini ialah suatu kerukunan. Perubahan penting terhadap hukum pidana, khususnya mengenai sistem hukuman, diadakan setelah Daendels diangkat menjadi gubernur jendral dan tiba di Indonesia pada tahun 1808. Daendels dikirim ke Indonesia dengan tugas antara lain mengreorganisasi pemerintah dalam arti sempit, justisi dan polisi. Pada tahun 1810 atas perintah Daendels, dibuat suatu peraturan mengenai hukum dan peradilan. Bagi golongan Eropa berlaku statuta betawi baru, sedangkan bagi golongan pribumi berlaku hukum adatnya. Tetapi, gubernur jendral berhak mengubah sistem hukuman menurut hukum adat bilamana : a. dilakukan. b. menjatuhkan hukuman : a. b. c. d. e. f. g. sebagai berikut : 1. Apabila hukum pidana adat dijalankan terhadap orang yang melakukan suatu delik, sedangkan berdasarkan keyakinan hukum positif harus diberi sanksi hukuman. 2. Apabila hukuman yang dijatuhkan menurut hukum pidana adat terlalu ringan atau terlalu berat, sehingga tidak sesuai dengan keadilan. Dibakar hidup terikat pada satu tiang. Dibunuh dengan menggunakan sebilah keris. Dicap bakar Dipukul Dipukul dengan rantai Ditahan dalam penjara Bekerja paksa pada pekerjaan-pekerjaan umum. Hukum adat tidak dapat menyelesaikan suatu perkara. Menurut plakat tanggal 22 April 1808, maka pengadilan diperkenankan Hukuman dianggap tidak sesuai dengan kejahatan yang

Akhirnya hukum pidana dapat menyimpang dari hukum pidana adat dalam hal-hal

3. Apabila alat-alat pembuktian menuntut hukum adat kurang cukup, sehingga tidak dapat meyakinkan hakim akan salah tidaknya perbuatan terdakwa. Sebagian ahli hukum berpendapat, bahwa alasannya bukan karena hukum adat itu tidak cukup baik untuk orang Eropa, akan tetapi sejak zaman VOC telah terkandung niat dalam politik hukum orang Belanda apakah tidak lebih baik apabila orang pribumi ditundukan juga pada hukum Belanda. Pada zaman pendudukan tentara inggris, yang menjadi penguasa terpenting ialah Sir Thomas Raffles. Pentingnya orang ini, ialah minatnya terhadap adat istiadat dan bahasa rakyat Indonesia. Raffles berhasil menulis buku paling pertama yang bermutu tentang kebudayaan Indonesia, yaitu khususnya kebudayaan jawa. Pemerintah Inggris mengadakan perubahan atas hukum positif. Perubahan yang besar adalah atas hukum acara dan susunan pengadilan. Hukum material bagi orang Eropa tetap hukum statuta. Berdasarkan konvensi London tertanggal 13 Agustus 1914, maka bekas koloni Belanda dikembalikan kepada pemerintah belanda. Kepada komisaris jendral diberi suatu instruksi tanggal 3 Januari 1815 Instruksi ini menjadi undang-undang Dasar Pemerintah Kolonial pada waktu itu terkenal dengan nama : Regerings Reglement van 1815 (RR 1815). Tindakan pertama dari komisaris jendral, setibanya di Indonesia, terdapat hukum di Indonesia, ialah mempertahankan untuk sementara waktu, semua peraturan-peraturan bekas pemerintah Inggris, hal ini untuk menghindari Rechts Vactum. Berdasarkan LNHB Tahun 1828 No.16 diadakan suatu sistem kerja paksa sebagai sistem hukuman. Sistem kerja paksa dengan sendirinya hanya dilakukan bagi para terhukum bagi para pribumi yang terbagi dalam dua golongan : 1. 2. Yang dihukum kerja rantai; Yang dihukum kerja paksa;

Sejak kembalinya kekuasaan Belanda di Indonesia pada tahun 1815, maka pada waktu itu tetap ada keinginan untuk mengadakan suatu kodifikasi. Tugas membuat kodifikasi tersebut baru dapat diselesaikan pada tahun 1848 oleh Scholten van Haarlem dan Wicher. Tetapi hukum pidana tidak termasuk kodifikasi tahun 1848. untuk hukum pidana tetap berlaku keadaan pada waktu sebelum tahun 1848. Selanjutnya pada tahun 1848 dibuat peraturan hukum pidana, yang terkenal dengan nama Interimaire Strafbapalingen, LNHB 1848 No.6 sampai tahun 1867 dan tahun 1873 mngenai hukum pidana tertulis berlaku : Primer Sekunder Lebih sekunder Lebih sekunder lagi : Hukum yang terdapat dalam statuta Betawi. : Hukum Belanda yang kuno. : Asas-asas Hukum Romawi. : Apa yang disebut oleh Kolonial Verslag tahun 1849.

Idema dalam bukunya membagi zaman tahun 1848 sampai dengan tahun 1934 dalam : 1848 1873 1873 1918 1918 1934 Dari zaman tata hukum pidana yang sangat beraneka warna ke zaman tata hukum pidana yang dualistis. Dari zaman tata hukum pidana yang dualistis ke zaman tata hukum idana yang terunifikasi. Ke arah manakah ? (Utrecht: 1965) Sejarah KUH Pidana Pada zaman penjajahan Belanda di Indonesia sejak semula terdapat dualisme dalam perundang-undangan. Ada peraturan-peraturan hukum tersendiri untuk orang-orang Belanda dan lain-lain orang Eropa, yang merupakan jiplakan belaka dari hukum yang berlaku di negeri Belanda, dan ada peraturan-peraturan hukum tersendiri untuk orangorang Indonesia dan orang-orang Timur asing (Cina, Arab, dan India/Pakistan). Dualisme ini mula-mula juga ada dalam hukum pidana, untuk orang-orang Eropa

berlaku suatu kitab undang-undang Hukum Pidana tersendiri, yang termuat dalam firman raja Belanda tanggal 10 Februari 1866 No.54 (Stb 1866 No.55); mulai berlaku tanggal 1 Januari 1867. Sedang untuk orang-orang Indonesia dan orang-orang Timur asing berlaku suatu Kitab Undang-undang Hukum Pidana tersendiri yang termuat dalam ordonansi tanggal 6 Mei 1872 (Stb 1872 No.85) yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1873. Kedua Kitab Undang-undang Hukum Pidana di Indonesia ini adalah jiplakan dari kode penal negara Prancis, yang oleh Kaisar Napoleon dinyatakan berlaku di negeri Belanda pada waktu negara itu ditaklukan oleh Napoleon permulaan abad XIX. Pada tahun 1881 di negeri Belanda dibentuk suatu kitab Undang-undang pidana Baru yang mulai berlaku pada tahun 1886 yang bersifat nasional serta sebagian besar mencontoh pada kitab Undang-undang Hukum Pidana di negara Jerman. Dengan firman raja Belanda tanggal 15 oktober 1915 maka di Indonesia diberlakukan KUHP baru, yang mulai efektif tanggal 1 Januari 1918; sekaligus juga menggantikan KUHP tersebut diatas untuk berlaku bagi semua penduduk di Indonesia. Dengan demikian, berakhirlah dualisme hukum pidana di Indonesia yang pada mulanya hanya untuk daerah yang langsung dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda dan akhirnya untuk seluruh Indonesia. KUHP ini pada mulai berlakunya disertai suatu Invoerings verordening berupa firman raja Belanda tanggal 4 Mei 1917 (Stb 1917 No.497), yang mengatur secara terperinci peralihan dari hukum pidana lama ke hukum pidana baru. Keadaan hukum pidana ini dilanjutkan pada zaman pendudukan Jepang dan pada prmulaan zaman kemerdekaan Indonesia, Berdasarkan atas aturan-aturan peralihan, baik dari pemerintah Jepang maupun dari Undang-undang Republik Indonesia 1945 pasal II AP yang berbunyi: Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang ini. Dengan Undang-undang No.1/146 tanggal 26 Februari 1946, yang termuat dalam berita RI II No.9 diadakan penegasan tentang hukum pidana yang berlaku di RI. Disitu disebutkan: Dengan menyimpang seperlunya dari peraturan Presiden RI Peraturan ini ada dua pasal:

Pasal 1 Segala badan negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya negara RI tanggal 17 Agustus 1945, selama belum diadakan yan baru menurut UUD, masih berlaku, asal tidak bertentangan dengan undang-undang tersebut. Pasal 2 Peraturan ini mulai berlaku tanggal 17 Agustus 1945 yang isinya hampir sama dengan pasal II AP Undang-undang Dasar 1945 ditentukan. Perbedaannya ialah: bahwa kini disebutkan dan bahwa peraturan-peraturan yang dahulu itu dianggap tidak berlaku, apabila bertentangan dengan undang-undang tersbut. Ketentuan yang belakangan ini sering dilupakan oleh mereka yang cenderung menganggap semua peraturan dari zaman penjajahan Belanda yang tidak secara tegas dicabut atau diganti, tetap berlaku tanpa terkecuali. Padahal diantara peraturanperaturan itu ada beberapa yang terang hanya layak dalam hubungan-hubungan Kolonial. Penyimpangan dari peraturan Presiden tanggal 10 Oktober 1946 No.2 oleh Undangundang No.1 Tahun 1946 ialah : Pasal I Undang-ungang No.1/46: Bahwa peraturan hukum pidana yang sekarang (26 Februari 1946) berlaku, ialah peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 19442, saat pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada balatentara Jepang, yang dengan demikian berganti berkuasa di Indonesia sampai tanggal 7 Agustus 1945. Dengan demikian, ditegaskan pertama-tama, bahwa semua peraturan-peraturan hukum pidana dikeluarkan oleh pemerintah Jepang, dianggap tidak berlaku.

Pasal II

Undang-undang No.1/46: mencabut semua peraturan-peraturan hukum pidana, yang dikeluarkan oleh panglima tertinggi balatentara Hindia Belanda dahulu. Pasal III Undang-undang No.1/46: jikalau dalam suatu peraturan hukum pidana ditulis perkataan Nederlandsch Indie atau Nederlandsch Indiesch atau Indonesisch (E)/ (EN). Pasal IV Undang-undang No.1/46: jikalau dalam suatu peraturan hukum pidana suatu hak, kewajiban kekuasaan atau perlindungan diberikan atau suatu larangan ditujukan kepada suatu pegawai, badan, jawatan, dan sebagainya, yang sekarang tidak ada lagi, maka hak, kewajiban, kekuasaan atau perlindungan itu harus dianggap diberikan dan larangan tersebut ditujukan kepada pegawai, badan, jawatan atau sebagainya, yang harus dianggap penggantinya. Pasal V Undang-undang No.1/46: Peraturan hukum pidana yang seluruh atau sebagian sekarang tidak dapat dijalankan atau bertentangan dengan kedudukan RI sebagai negara merdeka atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap seluruhnya atau sebagian sementara tidak berlaku. Pasal VI Undang-undang No.1/46: 1. 2. Nama Undang-undang Hukum Pidana wetboek van strafrecht Undang-undang tersebut dapat disebut KUHP. Pasal VII voor Nederlandsch Indie diubah menjadi Wetboek van Strafrecht.

Dengan mengurangi apa yang ditetapkan dalam pasal 3, maka semua perkataan Nederlandsch Onderdaan dalam KUHP diganti dengan WNI. Pasal VIII Beberapa pasal dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana diubah atau dicabut. Pasal IV sampai dengan pasal XVI membuat beberapa tindak pidana baru, yaitu : pasalpasal IX sampai dengan pasal XIII mengenai alat pembayaran yang sah berupa uang atau uang kertas. Pasal XIV mengenai penyiaran kabar bohong, yang sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat: pasal XV, mengenai penyiaran kabar yang tidak pasti atau kabar yang berlebihan atau kabar yang tidak lengkap. Pasal XIV mengenai penghinaan terhadap bendera kebangsaan Indonesia. Pada akhirnya ditetapkan, bahwa undang-undang ini mulai berlaku buat pulau Jawa dan Madura pada hari diumumkannya tanggal 26 Februari1946 dan buat daerah lain pada hari yang akan ditetapkan oleh Presiden. Pada tanggal 8 Agustus 1946 dengan Peraturan Pemerintahan No.8/1946. (Berita RI II 20-21 halaman 234) undang-undang ini berlaku di Sumatera. Pada waktu itu pemerintah Hindia Belanda, yang menamakan dirinya pemerintah federal sudah ada di Jakarta dan menguasai beberapa daerah, baik Jawa, Madura dan Sumatera maupun diluar daerah-daerah itu dan mengeluarkan beberapa undang-undang yang mengubah, beberapa pasal dari KUHP,yang tentunya hanya berlaku bagi daerahdaerah yang didudukinya; sehingga ada dua KUHP. Keadaan ini tetap berlangsung juga setelah pada 27 Desember 1949 kedaulatan RIS diakui oleh pemerintah Belanda. Menurut pasal 44 Konstitusi RIS: suatu negara bagian atau daerah bagian dapat menggabungkan diri. Pada negara (daerah) lainnya pada pertengahan tahun 1950 RIS hanya terdiri dari tiga negara bagian yaitu:

Negara Republik Indonesia Negara Indonesia Timur

Negara Sumatera Timur

Pada bulan Juli 1950 pemerintah dari ketiga negara bagian ini mencapai persetujuan, untuk mengubah federal dari RIS menjadi negara kesatuan RI Konstitusi RIS diganti dengan Undang-undang Dasar sementara 1950. Perpu No.1/1950 juncto No.8/50 pada pokoknya, menyatakan sebagai berikut: 1. daerah pilihan 2. undang RI. Walaupun perpu ini bernada menyatakan Undang-undang No.1/146 berlaku bagi seluruh wilayah Indonesia namun oleh kerena dalam piagam persetujuan pemerintah RIS dan pemerintah RI tanggal 19 Mei 1950 sub I a No.4 antara lain hanya ditetapkan: akan tetapi dimana mungkin diusahakan supaya perundang-undangan RI berlaku. Jadi baru akan diusahakan. Maka secara resmi Undang-undang No.1 tahun 1946 pada tahun 1950 itu belum berlaku bagi daerah Jakarta Raya, Sumatera Timur, Kalimantan dan Indonesia Timur. Pada tanggal 29 September 1958 mulai berlaku Undang-undang No.73 tahun 1958 yang berjudul: Undang-undang tentang menyatakan tentang berlakunya undangundang No.1 Tahun 1946 RI akan mengubah KUHP. Dengan demikian, pada saat itu jelas berlakulah suatu hukum pidana untuk seluruh wilayah Republik Indonesia dengan KUHP sebagai intinya. Sejarah KUHAP Pada waktu zaman penjajahan Belanda kita mengenal berbagai macam hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia (R. Soesilo: 1982). Segala peraturan dan undang-undang peralihan tidak berlaku lagi kecuali yang tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan dan UndangBahwa segala peraturan dan Undang-undang RI berlaku di

1.

Reglement

op

de

rechterlijke

organisatie

(Reglement

organisasi kehakiman) S 1848-57, yang memuat ketetapan-ketetapan mengenai organisasi dan peraturan kehakiman. 2. Reglement op de strafvordering (Reglement hukum acara pidana) S 1849-63 yang memuat hukum acara pidana bagi golongan penduduk Eropa dan yang disamakan dengan mereka. 3. Landgerechtsreglement (Reglement hakim kepolisian) s 1914317 yang memuat hukum acara di muka hakim kepolisian yang memeriksa dan memutuskan perkara-perkara kecil untuk segala golongan penduduk, dan yang terpenting. 4. disingkat IR S Inlandsch Reglement (Reglement bumi putera) yang biasa 1848-16 memuat hukum acara perdata dan hukum acara pidana di

muka pengadilan Landraad,bagi golongan penduduk Indonesia dan Timur Asing, hanya berlaku di Jawa dan Madura, untuk luar Jawa dan Madura berlaku Rechtsreglement voor de Buitengewesten S 1927-227. Inlandsch Reglement itu kemudian dengan S 1941-44 diperbaharui sehingga menjadi Herziene Inlandsch Reglement disingkat HIR yang diperbaharui atau Reglement Indonesia yang diperbaharui disingkat RIB. Pada zaman Jepang untuk semua golongan penduduk kecuali bangsa Jepang hanya ada dua pengadilan yaitu Tie Hooin dan Kaizai Hooin lanjutan dari pengadilan zaman Belanda Landraad dan Landgerecht, dan sebagai hukum acaranya dipergunakan HIR. Di zaman mereka berdasarkan aturan peralihan yang berlaku tetap HIR dan Landgerechts reglement. Kemudian setelah keluar undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan dalam susunan, kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil di Indonesia, pada pasal 6 undang-undang tersebut menetapkan bahwa untuk seluruh Indonesia hukum acara pidana pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, HIR dipakai sebagai pedoman. Untuk mencapai kekuasaan kehakiman sebagaimana yang dimaksud

dalam pasal 24 Undang-undang Dasar 1945 maka dibuatlah Undang-undang No.19 Tahun 1964 yang kemudian diganti dengan Undang-undang No.14 Tahun 1970, tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Pada pasal undang-undang tersebut menegaskan bahwa hukum acara pidana harus dibuat dalam undang-undang tersendiri. Dengan Amanat Presiden tanggal 12 September 1979 No.06/P/U/IX/1979, maka disampaikan RUU hukum acara pidana kepada DPR RI untuk dibicarakan dalam sidang DPR RI guna mendapatkan persetujuannya. Pada tanggal 9 Oktober 1979 dalam pembicaraan tingkat II menteri kehakiman menyampaikan keterangan pemerintah tentang RUU hukum acara pidana dalam suatu sidang paripurna DPR RI. Pembicara Tingkat III Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana dilakukan oleh gabungan komisi III + I DPR RI. Sidang gabungan (Sigab) Komisi III + I DPR RI bersama pemerintah mulai membicarakan Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana pada tanggal 24 November 1979 sampai dengan tanggal 22 Mei 1980 di gedung DPR RI Senayan Jakarta. Dalam jangka waktu tersebut sidang gabungan Komisi III dan Komisi I menghasilkan putusan penting yang terkenal dengan nama 13 Kesempatan Pendapat yang mengandung materi pokok yang akan dituangkan dalam pasal-pasal RUU hukum acara pidana lebih lanjut dibentuk tim sinkronisasi yang diberi mandat penuh oleh Sigab Komisi III dan Komisi I DPR RI. Setelah melakukan tugasnya pada tanggal 9 September 1981. RUU hukum acara pidana tersebut disetujui oleh Sigab Komisi I dan komisi III DPR RI. Akhirnya pada tanggal 23 September 1981, setelah penyampaian pendapat DPR RI dalam sidang paripurna, maka RUU hukum acara pidana disetujui DPR untuk disahkan oleh Presiden menjadi Undang-undang. Prediden pada tanggal 31 Desember 1981, telah mengesahkan RUU tersebut menjadi Undang-undang No.8 Tahun 1981 (LN No.76 TLN No.3209).

C. Berlakunya KUHP dan KUHAP 1. Berlakunya KUHP Didalam teori biasanya diadakan pembagian atas empat asas mengenai berlakunya KUHP. Keempat asas tersebut adalah (Satochid Kartanegara): 1. 2. 3. perlindungan 4. Ad.1. Asas teritorial atau asas wilayah Menurut asas teritorial ini berlakunya undang-undang hukum pidana dari suatu negara disandarkan pada tempat atau teritoir dimana perbuatan itu dilakukan, tempat tersebut harus terletak dalam suatu wilayah dimana undang-undang hukum pidana tadi berlaku. Dari asas ini dapat di ambil suatu kesimpulan, bahwa asas ini khusus ditujukan terhadap tempat, dimana perbuatan ini dilakukan, sedang sifat orang yang melakukan diabaikan. Asas ini diatur dalam pasal 2 dan pasal 3 KUHP. Didalam pasal ini tampaklah dengan jelas bahwa yang diutamakan adalah teritoir Indonesia yang setiap orang yang melakukan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang di dalam wilayah itu, baik orang itu seorang warga negara maupun bukan, dapat dituntut berdasarkan peraturan yang dilarang itu. Dasar hukum dari pada asas ini adalah kedaulatan negara, hal ini disebabkan oleh karena setiap negara yang berdaulat wajib menjamin ketertiban hukum diwilayahnya. Di dalam pasal 3 KUHP diterangkan bahwa Kitab Undang0undang Hukum Pidana juga dapat diperlakukan terhadap mereka yang melakukan suatu peristiwa pidana diatas kapal Republik Indonesia. Ad.2. Asas nasinalitas aktif atau asas personalitas Menurut asas ini bahwa berlakunya undang-undang hukum pidana suatu negara disadarkan kepada kewarganegaraan atau nasionalitasnya seseorang yang Asas universalitas Asas teritorial atau asas wilayah Asas nasionalitas aktif atau personalitas Asas nationalitas pasif atau asas

melakukan suatu perbuatan, bukan pada tempat perbuatan itu dilakukan. Hal ini berarti bahwa undang-undang hukum pidana hanya dapat diperlakukan terhadap seseorang warga negara yang melakukan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, dalam hal ini dimana perbuatan itu dilakukan tidaklah menjadi persoalan. Walaupun perbuatan itu dilakukan diluar negara asalnya, undang-undang hukum pidana negara itu tetap berlaku terhadap dirinya. Asas ini diatur di dalam pasal 5 KUHP, pasal 6 KUHP, dan pasal 7 KUHP. Ad.3. Asas nasionalitas pasif atau asas perlidungan Menurut asas ini berlakunya undang-undang hukum pidana suatu negara disandarkan kepada kepentingan hukum yang dilanggarnya. Dengan demikian, maka apabila kepentingan hukum dari suatu negara, yang menganut asas ini dilanggar oleh seseorang baik oleh warga negara atau orang asing dan pelanggaran tersebut dilakukan baik diluar maupun didalam negara yang menganut asas tadi, undang-undang hukum pidana negara itu dapat diperlakukan terhadap si pelanggar tadi. Adapun yang menjadi dasar hukum dari asas ini adalah tiap-tiap negara yang berdaulat pada umumnya berhak untuk melindungi kepentingan hukumnya, walaupun kepentingan hukum itu dilanggar oleh seorang yang berada diluar negara. Asas ini lebih tepat kalau disebut asas perlindungan, hal ini disebabkan karena sandaran asas ini guna melindungi kepentingan hukum negara kita. Didalam KUHP asas ini diatur dalam pasa 4 dan pasal 8 KUHP. Ad.4. Asas universalitas Menurut asas ini undang-undang hukum pidana dari sutu negara yang menganutnya dapat diperlakukan terhadap siapa pun yang melanggar kepentingan hukum dari seluruh dunia. Adapun yang mnjadi landasan hukum asas ini dianggap seolah-olah di seluruh dunia telah berlaku hukum pidana. Dalam KUHP asas ini diatur dalam pasal 4 ayat (2) dan ayat (4).

2.

Berlakunya KUHAP

Ruang lingkup berlakunya KUHAP ini dapat kita baca pada pasal 2 KUHAP yang isinya adalah sebagai berikut: Undang-undang ini berlaku untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan. Didalam penjelasan dari undang-undang RI No.8 Tahun 1981 dikatakan bahwa: a. Indonesia. b. Yang dimaksud dengan peradilan umum termasuk pengkhususannya sebagaimana tercantum dalam penjelasan pasal 10:1 alenia terakhir Undang-undang No.14 tahun 1970. Ruang lingkup undang-undang hukum acara pidana ini mengikuti asas-asas yang dianut oleh hukum pidana

D. Sumber Hukum Pidana Ilmu hukum Indinesia mengenal sumber-sumber hukum, ialah : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Undang-undang, Kebiasaan adat istiadat setelah melalui keputusan penguasa Traktat Yurisprudensi, Pendapat para ahli hukum (sumber hukum dalam arti formel)

Di Indonesia sumber utama hukum pidana terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan peraturan perundang-undangan hukum pidana lainnya. Tetapi disamping itu nasih dimungkinkan sumber dari hukum adat atau hukum rakyat yang masih hidup sebagai peristiwa pidana dengan batasan-batasan tertentu menurut Undang-undang darurat 1951 No.1 pasal 5 ayat (3) B. (Bambang Poernomo: 1978). Untuk hukum acara pidana bersumber pada KUHAP, Undang-undang Republik Indonesia No.8 tahun 1981.

E. Hukum Pidana dan Kriminologi Ilmu hukum pidana mempunyai tugas untuk menjelaskan, menguraikan dan seterusnya menyusun dengan sistematis norma hukum pidana dan sanksi pidana, agar pemakaiannya menjadi berlaku lancar. Oleh sebab itu, yang menjadi objek ilmu hukum pidana adalah hukum pidana positif. Yang dipelajari oleh ilmu pengetahuan itu adalah terutama mengenai asas-asas tadi dalam suatu sistem agar dapat dipahami apa yang menjadi maksud daripada peraturan-peraturan yang berlaku itu. Dengan demikian dapatlah diketahui makna, maksud dan tujuan dari hukum pidana yang berlaku itu. Ditinjau dari sudut sifatnya, ilmu pengetahuan hukum pidana itu adalah bersifat dogmatis. Sebagai contoh, dapat dikemukakan disini adalah bahwa peraturan-peraturan yang berlaku itu disusun dalam kata-kata. Oleh karena itu, untuk mengetahui dan menjelaskan arti kata timbullah beberapa cara macam penafsiran. Apabila diingat kembali bahwa hukum pidana itu mempunyai unsur pokok norma dan sanksi, serta mempunyai tugas menentukan agar setiap orang mentaati ketentuan dalam pergaulan hidup bermasyarakat dan menjamin ketertiban hukum, kiranya dalam mempelajari sejarah dari timbul dan berkembangnya hukum pidana tidak akan lepas latar belakang sosial serta kejiwaannya. Sehubungan dengan latar belakang sosial serta kejiwaannya itu, maka di dalam ilmu hukum pidana terdapat pandangan yang berbeda diantara para sarjana. Perbedaan pandangan itu lazimnya menimbulkan aliran hukum pidana yang sempit dan aliran hukum pidana yang luas. Sarjana-sarjana yang termasuk aliran hukum pidana yang luas misalnya, Van Hamel, Zevebergen, dan Pompe, sedangkan sarjana yang termasuk aliran hukum pidana yang sempit misalnya Simons. Ilmu hukum pidana positif memandang kejahatan sebagai pelanggaran Norm (Rechtsnorm), dan penjahat mendapatkan pidana karena ancaman sanksi pidana (Strafsanctie) memang tidak dapat disangkal, akan tetapi, apabila perkembangan hukum pidana positif telah sampai pada tujuan untuk memerhatikan masyarakat terhadap kejahatan dan penjahat (aliran hukum pidana modern), berarti tidak akan lepas dari peninjauan terhadap manusia yang melanggar hukum dengan menyelidiki sebab-

sebab dan cara tindaknya kejahatan itu (Nose and therapy). Untuk itu diperlukan bantuan bahan-bahan dan pengaruh hasil penyelidikan kriminologi. Edwin H. Sutherland dan Donald R. Cressey dalam bukunya Principles of Criminology, bertolak dari pandangan bahwa kriminologi adalah kesatuan pengetahuan mengenai kejahatan sebagai gejala sosial, mengemukaan ruang lingkup kriminologi mencakup proses-proses pembuatan hukum, pelanggaran hukum, dan reaksi atas pelanggaran hukum. Dalam hubungan ini kriminologi dapat dibagi dalam tiga bagian utama yaitu: a. b. c. kejahatan. Menurut Martin L. Haskell dan Lewis Yoblonsky, kriminologi sebagai studi ilmiah tentang kejahatan dan penjahat mencangkup analisa tentang: 1. 2. 3. pidana 4. 5. 6. 7. Ciri-ciri penjahat Pembinaan penjahat Pola-pola kriminalitas Akibat kejahatan atas perubahan sosial Sifat dan luas kejahatan Sebab-sebab kejahatan Perkembangan hukum pidana dan pelaksanaan peradilan Sosiologi hukum, sebagai analisa ilmiah atas kondisiEtiologi kejahatan, yang melakukan analisa ilmiah Penologi, yang menaruh perhatian pada pengendalian kondisi berkembangnya hukum pidana. mengenai sebab-sebab kejahatan, dan

F. Kegunaan Hukum Pidana Hukum adalah suatu wahana untuk melindungi kepentingan warga atau golongan dari gangguan warga atau golongan lain dalam masyarakat. Kepentingan itu bermacam-macam ; ada yang bila diganggu mengakibatkan penggantian kerugian oleh

yang bertanggung jawab seperti dalam hal yang disebut perkara (hukum) perdata, ada juga kemungkinan penanggung jawab itu dipecat dari jabatannya sebagaimana yang disebut dalam perkara (hukum) administrasi negara. Apabila gangguan kepentingan itu sedemikian rupa sehingga tidak memadai bila akibatnya ganti rugi saja atau pemecatan saja sebagai sanctie nya, maka tidak boleh didak diperlukan penyelesaian lain yang lebih tepat dan dianggap adil. Misalnya: Pok Ina membunuh (menguasakan kehidupan terhadap kepentigan) Bang Midi suaminya, memadai ganti rugi (kepada siapa?) atau pemecatan (dari kedudukan apa?) sebagai sanctie pembunuhan ? jelas kiranya bahwa macam sanctie tersebut tidak akan dianggap adil, maka tidak boleh tidak sanctie lainlah yang harus diberikan kepada penanggung jawab pembunuh itu, ialah hukum pidana. Tidak boleh tidak menegaskan kedaruratan ihwalnya dan itulah sebabnya orang menganggap hukum mengenai sanctie pidana (hukum pidana) sebagai noodrecht atau hukum darurat. Karena selayaknya baru berperan hanya apabila penanggulangan gangguan kepentingan dengan sanctie macam lainnya seperti ganti rugi dan pemecatan dan sebagainya, itu saja tidak dijadikan tegaknya keadilan. Hal ini menunjukkan kegunaan hukum pidana sebagai Ultimatum Remedium atau Senjata pamungkas.

II. PERISTIWA PIDANA A. Tentang Istilah dan Pengertian Istilah peristiwa pidana adalah sebagai terjemahan dari istilah bahasa Belanda Strafbaar feit atau delictt. Dalam bahasa Indonesia di samping istilah peristiwa pidana untuk terjemahan Strafbaar feit atau delictt itu (sebagaimana yang dipakai oleh Mr. R. Tresna dan E. Utrecht) dikenal pula beberapa terjemahan yang lain seperti: a. b. c. d. e. Tindak pidana (Undang-undang No.3 Tahun 1971 Perbuatan pidana (Prof. Mulyanto, pidato Dies Natalis Penyelenggaraan pidana (Mr. M. H. Tirtaamidjajas, Perbuatan yang boleh dihukum (Mr. Karni, Ringkasan Perbuatan yang dapat dihukum (undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi). Universitas Gajah Mada VI tahun 1955 di Yogyakarta). Pokok-pokok Hukum Pidana, Penerbit Fasco, Jakarta 1955). Tentang Hukum Pidana, Penerbit Balai Buku Indonesia, Jakarta 1959). No.12/Drt. Tahun 1951, pasal 3, tentang mengubah Ordonantie Tijdelijk Bijzondere strafbepalingen). Diantara beberapa istilah tersebut di atas yang paling tepat untuk dipakai adalah istilah peristiwa pidana, karena yang diancam dengan pidana bukan saja yang berbuat atau bertindak tetapi juga yang tidak berbuat (melanggar suruhan/gebod) atau tidak bertindak. Beberapa sarjana telah berusaha memberikan perumusan tentang pengartian periatiwa pidana itu. I. D. Simons Pertama kita mengenal perumusan yang diintroduksikan oleh Prof. Simons, menurut simons peristiwa pidana itu adalah Een Straf baargestelde, onrechtmatige, met schuld in verband staande handeling van een toerekeningsvatbaar persoon. Terjemahan bebasnya perbuatan salah dan melawan hukum, yang diancam pidana dan

dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Perumusan Simons tersebut menunjukkan unsur-unsur peristiwa pidana sebagai berikut: 1. Handeling: Perbuatan manusia

Dengan handeling dimaksudkan tidak saja een doen (perbuatan) akan tetapi juga een natalen atau neit doen (melainkan atau tidak berbuat); misalnya apakah melainkan atau tidak berbuat itu dapat disebut berbuat? Seseorang yang tidak berbuat atau melainkan dapat dikatakan bertanggung jawab atas suatu peristiwa pidana, apabila ia tidak berbuat atau melalaikan sesuatu, padahal kepadanya dibebankan suatu kewajiban hukum atau keharusan untuk berbuat. Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana kewajiban hukum atau keharusan hukum bagi seseorang untuk berbuat dapat diperinci dalam tiga hal: a. Undang-undang (de wet) Undang-undang mengharuskan seseorang untuk berbuat. Maka undang-undang merupakan sumber kewajiban hukum Contoh: KUHP. b. Contoh: c. Penjaga wesel jalan kereta api. Dokter dan bidan pada suatu rumah sakit. Dari perjanjian (overeenkomst) Keharusan menolong orang yang berada dalam saat-saat Dari jabatan (het ambt) membahayakan hidupnya, tersirat dalam pasal 531 KUHP. Keharusan yang melekat pada jabatan. Keharusan untuk melapor, tersirat dalam pasal 164 KUHP. Keharusan untuk menjadi saksi, tersiat dalam pasal 522

Contoh: 2. 3. 4. jawab 5. II. Van Hamel Perumusan sarjana ini sebenarnya sama dengan perumusan Simons, hanya Van Hamel menambahkan satu syarat lagi yaitu perbuatan itu harus pula patut dipidana (welke handeling een strafwaarding karakter heeft). III. Vos Menurut Vos peristiwa pidana adalah suatu peristiwa yang dinyatakan dapat dipidanakan oleh undang-undang (Een strafbaar feit is een door de wet strafbaar gesteld feit). B. Kategoris Dalam hukum pidana dikenal beberapa kategorisasi peristiwa pidana: I. Menurut Doctrine a. Dolus dan Culpa Dolus berarti sengaja; delik dolus adalah perbuatan sengaja yang dilarang dan diancam dengan pidana. Contoh, pasal 338 KUHP. Culpa berarti alpa. Culpose delicten artinya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana yang dilakukan Perbuatan itu harus terjadi karena kesalahan si pembuat. Seorang dokter swasta menolong orang sakit dapat dituntut Perjanjian poenale sanctie. Perbuatan manusia itu harus melawan hukum Perbuatan itu diancam dengan pidana oleh undang-undang Harus dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jika melalaikan kewajiban hingga orangnya meninggal.

dengan tidak sengaja, hanya karena kealpaan (ketidak hati-hatian) saja. Contoh: pasal 359 KUHP. b. Komisionis, omisionis dan komisionis per omisionim Komisionis: Delik yang terjadi karena seseorang melanggar larangan, yang dapat meliputi baik delik formel maupun delik materiel. Contoh: pasal 362 KUHP, pasal 338 KUHP. Omisionis: Delik yang terjadi karena seseorang melalaikan suruhan (tidak berbuat), biasanya delik formel. Contoh: pasal 164 KUHP, pasal 165 KUHP. Komisionis Peromisionim: Delik yang ada umumnya dilaksanakan dengan perbuatan, tetapi mungkin terjadi pula bila orang tidak berbuat (berbuat tapi yang tampak tidak berbuat). Contoh: pasal 338 KUHP; seorang ibu hendak membunuh bayinya dengan berbuat tidak memberinya susu, jadi tidak berbuat. c. Materiel dan formel

Kategorisasi ini didasarkan pada perumusan peristiwa pidana. Delik materiel yaitu delik yang perumusannya menitik beratkan pada akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh Undang-undang. Contoh: pasal 338 tentang pembunuhan, pasal 351 tentang penganiayaan. Delik formal yaitu delik yang perumusannya menitik beratkan pada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh Undang-undang. Contoh: pasal 362 tentang pencurian. Dalam praktek kadang-kadang sukar untuk dapat menentukan sesuatu delik itu bersifat materiel atau formel. Seperti pasal 378 KUHP penipuan. d. Without Victim atau With Victim

Without Victim : delik yang dilakukan dengan tidak ada koban. With Victim : delik yang dilakukan dengan ada korbannya beberapa atau seorang tertentu.

II. Menurut KUHP Dalam KUHP yang berlaku di Indonesia sebelum tahun 1918 dikenal kategorisasi tiga jenis pertistiwa pidana yaitu: 1. 2. 3. (Tresna: 1959) Menurut KUHP yang berlaku sekarang, peristiwa pidana itu ada dalam dua jenis saja misdriif (kejahatan) dan overtreding (pelanggaran). KUHP tidak memberikan ketentuan/syarat0syarat untuk membedakan kejahatan dan pelanggaran. KUHP hanya menentukan semua ketentuan yang dimuat dalam buku II adalah kejahatan sedang semua yang terdapat dalam buku III adalah pelanggaran. Kedua jenis peristiwa pidana tersebut bukan berdasarkan perbedaan prinsipil, melainkan hanya perbedaan graduel saja. Kejahatan pada umumnya diancam dengan pidana yang lebih berat dari pada pelanggaran. Selain itu terdapat bebrapa ketentuan yang termuat dalam buku I yang menbedakan antara kejahatan dan pelanggaran: a. b. c. d. Percobaan (pogging) atau membantu (medeplictingheid) untuk pelanggaran tidak dipidana pasal 54, 60, KUHP. Daluwarsa (verjaring) bagi kejahatan lebih lama dari pada bagi pelanggaran pasal 78, 84, KUHP. Pengaduan (klacht) hanya ada terdapat beberapa kejahatan dan tidak ada dalam pelanggaran. Peraturan pada perbarengan (samenloop) adalah berlainan untuk kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan (crimes) Perbuatan buruk (delits) Pelanggaran (contraventions)

III. PENANGGUNG JAWAB PERISTIWA PIDANA DAN KESALAHAN A. Pengetian Penanggung Jawab

Sebelumnya perlu dijelaskan apa yang dimaksud dengan subjek hukum pada umumnya adalah manusia pribadi atau badan hukum yang menjadi pendukung hak dan kewajiban (drager van rechten pilchten). Sedang subjek hukum pidana adalah manusia dalam kualifikasi tertentu yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Penanggung jawab peristiwa pidana Polisi yang melakukan penyidikan Jaksa yang melakukan penuntut pengacara Hakim yang mengadili Petugas lembaga permasyarakatan yang melaksanakan

eksekusi keputusan hukum. B. 1. 2. ad. 1.Penanggung jawab penuh Yang dimaksud dengan penanggung jawab penuh disini ialah tiap orang yang menyebabkan peristiwa pidana, yang diancam dengan pidana setinggi pidana pokoknya. Termasuk dalam kategori ini ialah: Dader: penanggung jawab mandiri. Mededader: penanggung jawab bersama Medepleger: penanggung jawab serta Klasifikasi Penanggung jawab penuh Penanggung jawab sebagian

Penanggung jawab peristiwa pidana dapat diklasifikasikan atas:

Dader

Doen pleger: penanggung jawab penyuruh Uitlokker: penanggung jawab pembujuk/perencana

Yaitu penanggung jawab peristiwa pidana atau dengan perkataan lain orang yang sikap tindaknya memenuhi semua unsur yang disebut dalam perumusan peristiwa pidana. Dalam delik formel terlihat apabila seseorang melakukan suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. Dalam delik materiel terlihat apabila seseorang menimbulkan suatu akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. Mededader dan Medepleger KUHP pidana tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan Mededader dan Medepleger itu, maka beberapa sarjana berusaha menjelaskankedua istilah tersebut. Noyon yang diikuti Mr. Tresna dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana menyatakan bahwa nededader itu adalah orang-orang yang menjadi kawan pelaku, sedang medepleger adalah orang-orang yang ikut serta melakukan peristiwa pidana. Perbedaannya terletak pada peranan orang-orang yang menjadi

menciptakan/menyebabkan peristiwa pidana tersebut. Mededader itu orang yang bersama orang lain menyebabkan peristiwa pidana, dengan peranan yang sama derajatnya. Dengan perkataan lain orang-orang tersebut harus memenuhi semua unsur peristiwa pidana bersangkutan. Sedang pada medepleger peranan masing-masing yang menyebabkan peristiwa pidana tidak sama derajatnya, yang satu menjadi dader yang lain hanya ikut serta (medepleger) saja. Jadi medepleger tidak memenuhi semua peristiwa pidana tersebut, walaupun demikian, sesuai pasal 55 KUHP, baik mededader dan medepleger dipidana sebagai dader. Untuk jelasnya perbedaan kedua pengertian tersebut dapat dilihat pada contoh berikut:

Mededader A dan B sama-sama melakukan kejahatan pencurian dengan jalan membongkar. A membikin lubang pada dinding rumah yang akan dimasuki itu dan B masuk dari jalan lubang itu ke dalam rumah dan mengambil barang-barang dari dalam rumah itu. Di sini A dan B masing-masing melakukan perbuatan yang menjadi unsur kejahatan pencurian dengan jalan membongkar. Masing-masing perbuatannya sama derajatnya. Oleh karena itu, kedua-duanya sebagai dader dan yang satu terhadap yang lain adalah mededader (kawan pelaku). Medepleger Menurut pasal 284 KUHP untuk dapat dikatakan berzina pelakunya haruslah orang yang sudah beristri atau bersuami. Jadi unsur perbuatan zina itu pelakunya harus sudah kawin. Bila salah satu pelakunya belum kawin, maka dia tidak dapat dikatakan melakukan perbuatan zina, tapi hanya sebagai medepleger, karena tidak memenuhi unsur peristiwa pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 284 KUHP tersebut yaitu sudah kawin. Doen pleger Doenpleger ialah seorang yang menyuruh orang lain untuk melakukan suatu peristiwa pidana. Dalam bebtuk ini, yuridis adalah merupakan suatu syarat bahwa orang yang disuruh tersebut tidak mampu bertanggung jawab, jadi tidak dapat dipidana. Orang yang disuruh seolah-olah hanya menjadi alat belaka dari orang yang menyuruh. Orang yang menyuruh dari ilmu hukum pidana disebut manus domina dan orang yang disuruh disebut manus ministra. Tanggung jawab dari orang yang menyuruh sama dengan tanggung jawab orang yang membujuk (uitlokker) yaitu: Pertama : Tanggung jawab itu tidak melebihi dari apa yang dilakukan oleh orang yang disuruh, meskipun maksud orang yang menyuruh itu lebih jauh dari itu. Kedua : Tanggung jawab itu tidak lebih dari apa yang dikehendakinya.

Adapun sebab sebab orang yang disuruh melakukan itu tidak dapat dipidana ialah : 1. 2. (pasal 48 KUHP). 3. 4. unsur delik. 5. 6. tersebut. Uitlokker Seperti halnya dengan doenpleger maka uitlokker juga memakai seorang perantara. Orang yang membujuk orang lain supaya melakukan peristiwa pidana dinamakan perencanaan atau sering disebut intellectueel dader atau uitlokker sedang orang yang dibujuk disebur uitgelokte. Antara doenpleger dan uitlokker mempunyai persamaan dan perbedaan. Persamaannya : kedua bentuk tersebut terdapat apabila seseorang menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu peristiwa pidana. Perbedaannya : doenpleger menyuruh orang yang tidak dapat dipidana. Jadi hanya orang yang menyuruh melakukan saja dan dikenakan pidana. Pada bentuk uitlokken baik orang yang membujuk (uitlokker) atau orang yang dibujuk (uitgelokte) sama-sama dapat pidana. Orang Orang yang yang disuruh disuruh menimbulkan tidak delik tidak unsur mempunyai unsur opzet sebagaimana menjadi syarat dari pada delik. memiliki hoedanigheid /kualitas yang menjadi syarat deli, sedang menyuruh memiliki unsur Orang yang disuruh melakukan onbevoegd gegeven Orang yang disuruh itu salah paham mengenai salah satu ambtelijk bevel (51 ayat 2) KUHP. Orang yang jiwanya dihinggapi penyakit atau yang Orang yang disuruh, berada dalam keadaan overmacht jiwanya tidak tumbuh dengan sempurna (pasal 44 KUHP).

Selain itu perlu diingatkan bahwa untuk dapat dikatakan uitlokker si pembujuk harus menggunakan daya dan upaya sebagaimana yang terancam dalam limitatif dalam pasal 55 ayat (1) sub 2 KUHP. Gunanya adalah untuk kepastian hukum (rechtszekerheid). Di negara Jerman penyebutan ini ditambah dengan kata-kata order durch andere mittel atau dengan lain cara. Memang kelihatannya lebih lues dibandingkan KUHP kita, tetapi barangkali kurang baik bagi kepastian hukum (Wirjino Prodjodikoro: 1969). Pada mulanya daya upaya yang tercantum dalam pasal 5 ayat 1 sub 2 secara limitatif berupa: pemberian, kesanggupan, atau penipuan. Kemudian pada tahun 1925 pembuat undang-undang menambah penyebutan secara limitatif dengan tiga daya upaya bagi berupa memberi kesempatan (gelegenheid), sarana (middelen) atau keterangan (inlichtingen) gunanya untuk mengurangi kesempatan memakai cara-cara licik yang tidak disebut dalam pasal 55 KUHP membujuk orang lain melakukan peristiwa pidana. Catatan: doepleger dan uitlokker itu orangnya, dan doenplegen dan uitlikken itu sikap tindaknya. Tanggung jawab uitlokker Tanggung jawab uitlokker diatur dalam pasal 55 ayat (2) KUHP; apabila ketentuan yang tercantum dalam pasal tersebut ditinjau dengan teliti akan terlihat bahwa tanggung jawab uitlokker tersebut pada satu pihak dibatasi artinya uitlokker hanya bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan dari pada uitgelokte yang memang dengan sengaja digerakkan oleh uitlokker. Pada lain pihah tanggung jawab dari uitlokker dapat diperluas, artinya uitlokker bertanggung jawab juga terhadap akibat yang timbul dari perbuatan uitgelokte (Satochid Kartanegara). ad. 2.Penanggung jawab sebagian

Yang dimaksud dengan penanggung jawab sebagian ialah: apabila seseorang bertanggung jawab atas bantuan, percobaan suatu kejahatan dan diancam dengan pidana sebesar 2/3 pidana kejahatan yang selesai. Termasuk dalam kategori ialah: Poging Pengertian dan syarat-syaratnya. Yang dimaksud dengan poging itu een beginvan uitvoering van het musfrijf atau pelaksanaan mula suatu kejahatan yang tidak diselesaikan. KUHP hanya menentukan syarat-syarat agar sikap tindak dapat disebut poging. Pasal 53 KUHP menyebutkan tiga syarat untuk dapat menyatakan bahwa perbuatan merupakan poging. Syarat: 1. Orangnya mempunyai kehendak (voornemen) untuk melakukan kejahatan. 2. Kehendak (voornemen) tersebut telah terwujud dalam suatu perbuatan permulaan pelaksanaan kejahatan. 3. Pelaksanaan yang telah dimulai itu tidak selesai, semata-mata disesbabkan oleh hal-hal atau masalah yang tidak tergantung pada kehendaknya diluar kehendaknya tidak selesai. Penjelasan: Syarat: 1 Kehendak atau voornemen itu dalam dpktrin ditafsirkan sebagai opzet. Timbul persoalan apakah opzet itu ditafsirkan secara sempit (opzet als oogmerk) atau opzet dalam arti luas. Contoh penafsiran sempit: A mencoba membunuh B, dengan mengirimkan kue tart yang beracun. A hanya dipersalahkan bila percobaan itu ditujukan pada B. Penafsiran luas, A tidak semata-mata dipermasalahkan terhadap B saja, tapi kepada istri dan anakanak B, yang mungkin ikut memakan kue tersebut (Satochid Kartanegara). Poger (orangnya) dan poging (kegiatannya) Medeplichtige penanggung jawab bantuan.

Vos, anrata lain berpendapat bahwa kehendak untuk melakukan kejahatan hanya dapat diartikan sebagai opzet dalam arti sempit. Sedang Jonkers mempersamakan opzet dalam segala bebtuknya, opzet in als zijn vormen. Syarat: 2 Bagaimana permulaan pelaksana (begin van uitvoering) itu harus ditafsirkan. Dalam ilmu hukum pidana maupun yurisprudensi diadakan perbedaan antara perbuatan persiapan (voorbreidingshandeling) misalnya perbuatan membeli pistol dan perbuatan pelaksana (uitvoeringshandeling) seperti mengarahkan pistol itu kepada yang dibunuh. Perbuatan persiapan itu tidak dapat dipidana sedangkan perbuatan pelaksana yang merupakan inti (wezen) dari percobaan(poging) adalah suatu perbuatan yang dapat dipidana. Jadi persoalan penting dalam hal percobaan untuk melakukan kejahatan (poging) ialah persoalan tentang perbuatan-perbuatan mana yang merupakan perbuatan persiapan (E. Utrecht: 1960). Mengenai hal tersebut terdapat dua teori: 1. Teori subjektif/subjectieve pogingstheorie Aliran ini memakai taalkundige interpretatie. Uitvoering harus dihubungkan dengan voornemen. Penganut teori ini antara lain Van Hamel. Dinamakan subjectieve pogingstheorie subjectieve pogingstheorie karena aliran ini mencari sandaran pada diri orangnya. Alam pikirannya ialah baru ada pada permulaan pelaksanaan bila telah nampak kehendak yang kuat dari poger untuk melaksanakan seatu kejahatan. Dasar hukumnya adalah, karena orangnya telah membuktikan kehendak jahatnya sehingga membahayakan kepentingan hukum (Satochid Kartanegara) 2. Teori objektif/objectieve pogimgstheorie

Aliran ini memakai systematische interpretatie. Uitvoering dihubungkan dengan syarat ke dua. Di sini uitvoering disebut dua kali dan menurut ilmu pengetahuan hukum pidana apabila satu kata dipergunakan beberapa kali dalam undang-undang, maka ia

harus ditafsirkan dalam arti yang sama; uitgeving van het misdriff. Penganut teori ini adalah Simons dan H.R (Mahkamah Agung Belanda). Disebut objectieve pogimgstheorie karena aliran ini mencari dasar pada objek diluar diri orangnya yaitu perbuatan. Alam pikirannya ialah dari sifat perbuatan yang dilakukan oleh orang itu dapat ditentukan apakah perbuatan itu termasuk permulaan pelaksanaan atau tidak. Dasar hukum poging menurut objectieve pogimgstheorie karena perbuatan itu menurut sifatnya telah membahayakan kepentingan hukum, karena poger harus dipidana. Untuk menentukan perbuatan manakah yang menentukan permulaan pelaksanaan kejahatan, teori objektif (Simons) mengadakan delik formel dan delik materiel. Dalam delik formel suatu perbuatan itu merupakan permulaan pelaksanaan bila dilakukan oleh orang yang mempunyai kehendak untuk melaksanakan kejahatan dan merupakan permulaan dari perbuatan yang dilarang dan diancam pidana. Dalam delik materiel suatu perbuatan itu merupakan perbuatan permulaan pelaksanaan, bila menurut sifatnya dapat menimbulkan akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana. H.R. yang juga menganut teori objektatif, dalam menentukan permulaan pelaksanaan, bila perbuatan itu mempunyai hubungan langsung dengan kejahatan yang dikehendaki oleh seseorang (Satochid Kartanegara). Syarat: 3 Jika melaksanakan kejahatan itu membatalkan berdasar niatnya sendiri maka ia tidak dikenakan pidana. Apa yang menjadi alasan untuk membatalkan selesainya kejahatan tidak menjadi soal buat undang-undang. Biar ia membatalkan niatnya itu karena ia takut diketahui orang atau karena ia menyesal, sama saja asal pembatalan itu keluar dari keinginannya. Ancaman pidana terhadap poger diatur dalam pasal 53 ayat (2) KUHP. Yaitu pidana yang diancam ialah pidana kejahatan yang selesai dikurangi sepertiganya. Bila kejahatan yang dilakukan itu diancam dengan pidana mati atauy seumur hidup, maka poging hanya diancam paling tinggi selama lima belas tahun (pasal 53 ayat (3) ) KUHP. Poging terhadap pelanggaran tidak diancan pidana (pasal 54 KUHP).

Catatan : Poger ialah orangnya Poging ialah sikap tindaknya. Medeplichtige Medeplichtigheid diatur dalam pasal 56 KUHP sebagai berikut (terjemahan). Dipidana sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan. 1. Barang siapa dengan sengaja membantu kejahatan 2. Barang siapa dengan sengaja memberi kesempatan, daya upaya, atau keterangan untuk melakukan kejahatan. Dari pasdal 56 tersebut dapat disimpulkan bahwa hanya membantu melakukan kejahatan, yang diancam dengan pidana dan berdasarkan penafsiran a cantrario membantu melakukan pelanggaran tidak diancam dengan pidana. Hal tersebut ditegaskan kembalidalam pasal 60 KUHP bahwa mwmbantu melaksanakan kejahatan tidak dapat dipidana. Manfaatnya ketegasan dalam pasal 60 tersebut, untuk mencegah agar pembuat undang-undang yang lebih rendah tingkatnya dari pada pembuat undangundang pusat tidak membuat ketentuan-ketentuan yang mengancam pidana terhadap bantuan mlakukan pelanggaran. Medeplichtigheid sebagaimana yang diatur dalam pasal 56 KUHP dapat dirinci: a. Membantu pelaksanaan kejahatan; b. Membantu untuk melakukan kejahatan. Van Hamel, Vos, Jonkers, dan Van Hattum merumuskan perbedaan antara kedua jenis bantuan itu sebagai berikut: a. Medeplichtigheid bij het plegen van misdriff b. Medeplichtigheid tot het plegen van misdriff Perbedaan antara kedua jnis bantuan tersebut adalah sebagai berikut: Dalam hal membantu dalam pelaksanaan kejahatan bantuan itu diberikan pada saat atau ketika kejahatan sedang dilakukan sedang dalam hal membantu untuk melakukan kejahatan maka bantuan itu diberikan sebelum kejahatan itu dilakukan (E. Utrecht: 1965). Selain dari pada itu perlu diperhatikan ketentuan yang terdapat dalam pasal 56

KUHP, yaitu dalam hal membantu untuk melakukan kejahatan diisyaratkan adanya daya upaya berupa kesempatan/gelegenheid, daya upaya/middelen, atau keterangan/inlichtingen, sedang pada membantu dalam pelaksanaan kejahatan daya upaya tersebut tidak dikenal. Pada waktu membicarakan masalah uitlokken yang diatur pasal 55 ayat (1) sub 2 KUHP disana ditemukan juga daya upaya sebagaimana yang terdapat dalam hal bantuan melakukan kejahatan. Dengan demikian, seorang peserta yang melakukan kejahatan dengan menggunakansatu dari daya upaya tadi dapat merupakan seorang uitlokker atau seorang medeplichtige. Kadang-kadang sukar untuk menentukan perbedaan, apakah suatu perkara merupakan medeplichtiheid atau sebagai uitlokking. Perbedaan dua bebtuk kesertaan tersebut penting karena menyangkut ancaman pidana. Kalau uitlokking diancam dengan pidana maksimum sedang pada medeplichtiheid diancam seberat pidana maksimum dikurangi sepertiga pidana maksimum. Untuk menentukan apakah suatu perkara itu merupakan medeplichtiheid atau uitlokking dapat dilihat dari segi opzet. Perkara itu berupa uitlokking apabila opzet dariorang yang dibujuk (uitgelokte) baru timbul setelah adanya daya upaya yang diberikan oleh uitlokker. Sedang pada medeplichtiheid opzet dari dader sudah ada sebelum atau pada saat orang lain memberikan daya upaya atau dengan perkataan lain timbulnya opzet dari dader tidak terpengaruh oleh daya upaya yang diberikan oleh medeplichtiheid. Kedua jenis bantuan tadi berupa: a. b. Membantu dengan perbuatan Membantu dengan nasehat

Membantu dengan perbuatan disebut matericele medeplichtiheid Membantu dengan nasehat disebut intellectueele medeplichtiheid (E. Utrecht: 1996). Berlainan dengan perincian menurut KUHP maka doktrin memperinci

medeplichtiheid atas:

a. medeplichtiheid aktif (active medeplichtiheid) b. medeplichtiheid pasif (passive medeplichtiheid) yang dimaksud dengan medeplichtiheid aktif ialah aktif menurut pengertian tata bahasa sehari-hari, sedang yang dimaksud dengan medeplichtiheid pasif ialah apabila seorang tidak berbuat sesuatu apa ketika melakukan kejahatan. Tanggung Jawab medeplichtige Tanggung jawab tersebut diatur dalam pasal 57 ayat (4) KUHP. Bila ditinjau pasal 54 ayat (4) maka tanggung jawab medeplichtige pada suatu pihak dibatasi, sebagaimana dapat disimpulkan dalam kalimat tentang melakukan bantuan itu hanyalah diperhatikan perbuatannya yang sengaja dipermudahkan atau dianjurkan oleh medeplichtige. Pada pihak lain diperluas seperti nampak dari anak kalimat serta dengan akibat perbuatan itu. Contoh : Medeplichtige ialah orangnya Medeplichtiheid ialah sikap tindaknya C. Kesalahan

Setiap orang dianggap mengetahui atau mengerti akan adanya undang-undang serta peraturan-peraturan yang berlaku. Oleh karena itu, maka setiap orang yang mampu memberi pertanggung jawaban pidana, tidak dapat menggunakan alasan bahwa ia tidak mengetahui akan adanya sesuatu peraturan atau perundang-undangan dengan ancaman hukuman tentang perbuatan yang telah dilakukannya. Tidak mengetahui atau tidak memahami akan adanya perundang-undangan bukanlah alasan untuk mengecualikan penuntutan atau bahkan bukan pula alasan untuk memperingan. Adalah suatu kejanggalan untuk menyebut bahwa seseorang mengerti akan adanya undang-undang padahal orang itu sendiri tidak mengerti dan bahkan hendak membuktikan bahwa buta huruf. Namun, untuk kepentingan keadilan dan kepastian hukum maka ditentukanlah suatu asas hukum, bahwa semua orang dianggap mengetahui akan adanya perundangundangan serta peraturan yang berlaku.

ignorance or mistake of law is generally no defence to a criminal charge. Akan tetapi, sebetulnya bukan hanya kejanggalan saja bahkan ketentuan dengan kebenaran untuk menentukan bahwa seseorang buta huruf sekalipun,harus mengerti akan adanya undang-undang. Namun kerugian/gangguan yang diciptakan serta kepentingan umum melalui cita-cita kepastian hukum harus lebih diutamakan. Dalam hukum pidana Inggris dikenal suatu asas disebut asas Actus Reus, asas ini tentu berguna bagi suatu studi perbandingan lengkapnya asas ini berbunyi sebagai berikut: Actus non facid reum, nisi mens sit rea Maksud dari kalimat tersebut adalah bahwa suatu perbuatan tidak dapat membuat orang bersalah kecuali bila dilakukan dengan niat jahat Dari kalimat itu diambil suatu ekspresi Actus reus ini berarti kesengajaan atau kelalaian yang dilanggar oleh hukum pidana. Actus reus itu harus dilengkapi dengan mens rea dan harus dibuktikan dalam penuntutan bahwa tersangka telah melakukan actus reus dengan disertai mens rea, yaitu niat jahat atau suatu kesengajaan untuk menimbulkan perkara yang dituduhkan kepadanya. Dua segi yang menjadi masalah penting dalam asas actus reus dan mens rea itu adalah: 1. 2. Adanya perbuatan lahiriah sebagai penjelmaan dari pada Konsisi jiwa, iktikat jahat yang melandasi perbuatan tadi. kehendak, misalnya perbuatan mengambil dalam perkara pencurian. Nens rea itu merupakan unsur mental yang bervariasi dalam bebagai jenis peristiwa pidana, misalnya dalam perkara pembunuhan, mens rea nya merupakan niat jahat untuk meniadakan nyawa orang dalam perkara pencurian mens rea nya merupakan niat jahat untuk mengambil dan memiliki benda orang lain. Tanpa bukti adanya mens rea dapat menyebabkan penuntutan pidana (Gerson W. Bewangan: 1979). Beberapa Bentuk Kesalahan A. Dolus

Dalam bahasa Belanda disebut opzet dan dalam bahasa Inggris nya disebut intention yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sengaja atau kesengajaan. Pertama-tama perlu diketahui bahwa Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri tidak merumuskan apa yang dimaksud dengan opzet. Walaupun demikian, pengertian opzet ini sangat penting, oleh karena dijadikan unsur sebagian besar peristiwa pidana disamping peristiwa pidana yang punya unsur Culpa. Sebagai contoh: Barang siapa yang mengambil dengan sengaja mengambil jiwa orang lain dan sebagainya. Dengan demikian, dolus diartikan sebagai suatu niat/itikad diwarnai sifat melawan hukum, kemudaian dimanifestasikan dalam sikap tindak, maka menjadilah suatu kesengajaan. Prof. Satochid memberikan perumusan opzet itu sebagai berikut: opzet dapat dirumuskan sebagai melaksanakan suatu perbuatan yang didorong oleh suatu keinginan untuk berbuat atau bertindak. Alasan mengartikan sengaja dalam peristiwa pidana sebagai niat/itikad yang diwarnai sifat melawan hukum dan dimanifestasikan sebagai sikap tindak, ialah karena: 1. 2. Perumusan itu hanya terbatas pada perbuatan melanggar hukum, yang langsung ditunjukan pada dasarnya. Unsur niat sebagai suatu bagian dari pada proses psikis adalah merupakan kejadian/keadaan yang tak dapat dilihat atau dipegang yang mempunyai bentuk variasi dan dapat berkembang dan menyempit tergantung pada budaya lingkungan serta kepribadian orangnya (Gerson W. Bawengan: 1979). Sebagai contoh misalnya kalau kita mencium istri teman di Prancis, hal ini merupakan manifestasi dari sopan santun, akan tetapi jangan coba-coba apabila seseorang Prancis memanifestasi niat demikian itu di tanah air kita.

Teori-teori mengenai sengaja yang tampil pada abad XX ini pernah dikenal: 1. Teori kehendak (Wilstheorie)

2.

Teori angan-angan (Voorstellings theorie)

Ad.1 Teori kehendak atau wilstheorie Penganjuran teori ini adalah Von Hippel yang mengemukakan bahwa sengaja adalah kehendak untuk melakukan sesuatu dan kehendak untuk menimbulkan akibat. Ajaran Von Hippel ini dikenal dalam tulisan: Die Grenze Von Vorsatzund Fahrlassigkeit terbitan tahun 1903. Ad.2 Teori angan-angan atau voorstellings theorie Teori ini dikemukakan oleh Frank dalam Festschifi Gieszen sekitar tahun 1907 yang menyatakan bahwa suatu akibat tidak mungkin dapat dikehendaki. Dikatakan bahwa manusia hanya memiliki kemampuan untuk menghendaki terlaksananya sesuatu perbuatan tetapi tidak berkemampuan untuk menghendaki mengingini atau membahayakan akibat perbuatannya. Dalam ilmi hukum pidana sengaja itu dibedakan atas tiga gradatie: 1. 2. 3. Sengaja sebagai tujuan/arahan hasil perbuatan sesuai dengan Sengaja dengan kesadaran yang pasti mengenai tujuan atau Sengaja dengan kesadaran akan memungkinkan terciptanya maksud orangnya (opzet als oormerk). akibat perbuatannya (opzet bij zekerheidsbewustzijn). tujuan atau akibat perbuatan (opzet bij mogelijkheidsbewustzijn). Dalam kesengajaan bentuk yang pertama si pembuat mengkehendaki sesuatu, ia bertindak dan menciptakan suatu akibat yang sesuai apa yang dikehendakinya. Utrecht dalam bukunya Hukum Pidana I menguraikan pendapat Vos sebagai berikut: Adalah sengaja sebagai maksud apabila pembuat (dader) menghendaki akibat perbuatannya. Dengan kata lain andaikata pembuat sebelumnya sudah mengetahui bahwa akibat perbuatannya tidak akan terjadi maka ia sudah tentu tidak akan

melakukan perbuatannya. Sebagai contoh yang diberikan oleh Utrecht sehubung pendapat Vos itu ialah sebagai berikut: A memecahkan jendela etalase sebuah toko buah-buahan untuk mengambil buahbuahan yang dipamerkan dibelakang kaca tersebut. Dapat dikatakan bahwa memecahkan kaca itu dilakukan dengan sengaja sebagai maksud, hal ini disebabkan karena pecahnya kaca tersebut memang dikehendaki oleh A untuk dapat mengambil buah-buahan tersebut. A juga tahu perbuatan memukul kaca itu tentu mengakibatkan kaca itu akan pecah. Selanjutnya mengambil buah-buahan itu di belakang kaca menjadi bayangan yang ditimbulkan setelah kaca dipukul pecah, yaitu setelah terjadinya akibat yang dimaksud dengan perbuatan memukul kaca tersebut. Motif A ialah mengambil buah-buahan dan bukan pecahnya kaca, jadi pecahnya kaca tersebut merupakan akibat perbuatan. Dalam kesengajaan bentuk kedua seseorang menghendaki sesuatu akan tetapi terhalang oleh keadaan, namun ia bertekad untuk memenuhi kehendaknya sambil menebus atau menyingkirkan penghalangnya. Ia sadar bahwa tujuannya hanya dapat tercapai dengan cara menyingkirkan penghalang. Menyingkirkan penghalang itupun merupakan suatu peristiwa pidana tersendiri namun si pembuat tetap melakukannya demi tercapainya tujuan utamanya. Utrecht dalam bukunya Hukum Pidana I memberikan contoh sebagai berikut: Untuk dapat mencapai tujuannya yaitu membunuh B, maka A sebelumnya harus membunuh C hal ini disebabkan karena C adalah pengawal B. Antara A dan C sebelumnya tidak punya rasa dendam apapun. Hanyalah C kebetulan pengawal B. A terpaksa tetapi sengaja terlebih dahulu membunuh C, dan kemudian membunuh B. Dengan matinya B berarti maksud A tercapai. A yakin bahwa ia hanya dapat membunuh B setelah lebih dahulu C dibunuhnya, walaupun matinya C pada mulanya tidak dimaksudkan A. A yakin andaikata ia tidak terlebih dahulu membunuh C maka tentu tidak pernah akan dapat membunuh B. Contoh-contoh yang dikemukakan di atas hanya untuk menguraikan suatu jenis kesengajaan, ini berarti bahwa satu jenis contoh

itu dipergunakan sekedar untuk kepentingan teori. Kesengajaan dalam bentuk ketiga, lazimnya disebut Dolus Evetualis, merupakan kesengajaan bersyarat. Mr. R. Tresna dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana memberi contoh mengenai Dolus Evetualis itu sebagai berikut: (Tresna: 1959). Seorang penunggang kuda melarikan kudanya dengan sangat cepat di jalan yang ramai. Di depannya ia melihat ada beberapa anak-anak yang sedang bermain-main, ia sadar akan kemungkinan bahwa anak itu akan telanggar kudanya, jika ia terus melarikan kudanya itu. Meskipun demikian, untuk memenuhi kegemarannya melarikan kuda ia tidaklah menghiraukan nasib anak-anak itu. Dan terus saja melarikan kudanya dengan tidak ada usaha untuk menyelamatkan anak-anak itu. Jika diantara anak-anak itu ada yang mati atau luka karena telanggar kudanya, maka si penunggang dapat dipersalahkan dengan sengaja menyebabkan matinya atau lukanya anak-anak itu. Dilihat dari segi lain dwaling antara Error in persona dan Error in objecto. B. Culpa Arti kata culpa ialah kesalahan pada umumnya, akan tetapi culpa didalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis yaitu : suatu macam kesalahan sebagai akibat kurang berhati-hati sehingga secara tidak sengaja sesuatu terjadi. Timbul pertanyaan, sejauh manakah orang yang kurang berhati0hati dapat dipidana. Untuk menjawab pertanyaan ini terlebih dahulu akan dikemukakan bahwasannya berhati-hati itu mempunyai sifat yang bertingkat-tingkat. Tingkat pertama adalah sangat berhati-hati Tingkat kedua adalah tidak begitu berhati-hati Tingkat ketiga adalah kurang berhati-hati Tingkat keempat adalah lebih kurang lagi berhati-hati sehingga menjadi serampangan dan ugal-ugalan. Para penulis ilmu hukum pidana berpendapat bahwa untuk terjadinya culpa maka yang harus diambil sebagai ukuran ialah bagaimanakah sebagian orang dalam masyarakat bersikap tindak dalam suatu keadaan yang nyata-nyata terjadi. Dengan

demikian seorang hakim juga tidak boleh mempergunakan sifatnya sebagai ukuran, melainkan sifat kebanyakan orang-orang dalam masyarakat. Culpa dibedakan menjadi culpa levissima dan culpa lata. Culpa levissima berarti kealpaan yang ringan sedangkan culpa lata itu adalah kealpaan besar; didalam ilmu pengetahuan dikenal kealpaan yang disadari dan kealpaan yang tidak disadari. Kealpaan yang disadari dapat digambarkan bila seseorang yang menimulkan delik tanpa sengaja dan telah berusaha menghalangi akibat yang terjadi. Akan tetapi, walaupun demikian akibatnya tetap timbul juga. Sedangkan pada kealpaan yang tidak disadari, orang bersikap tindak tanpa membahayakan akibat yang timbul, padahal ia seharusnya membayangkan. KUHP tidak menegaskan apa arti kealpaan. Sedangkan Vos menyatakan bahwa culpa mempunyai dua unsur: 1. 2. Kemungkinan pendugaan terhadap akibat Kurangnya keberhati-hatian yang diperlukan.

Van Hamel, juga mengatakan bahwa culpa juga mempunyai dua syarat: 1. 2. Kurangnya pendugaan yang diperlukan Kurangnya keberhati-hatian yang diperlukan.

Timbul suatu pertanyaan bagaimana hal ini dibedakan praktek? Praktek dapat menempuh dua jalan: 1. 2. Lebih memperhatikan syarat tidak adanya keberhati-hatian Tanpa mempertimbangkan keberhati-hatian lebih mudah guna dalam pengertian orangnya tidak berbuat secara hati-hati sebagaimana mestinya. memperhatikan adanya culpa. Untuk yang pertama si terdakwa masih dapat membuat tangkisannya, bahwa ia tidak mungkin untuk mengadakan pendugaan, sedangkan untuk yang kedua maka, bila sudah terbukti berarti implisit tidak mengadakan pendugaan di dalam hal itu karena tidak hati-hati. Dalam hukum pidana orang baru dapat diminta tanggung jawab kalau ia

mempunyai unsur kesalahan, asasnya: tiada pidana tanpa kesalahan; hanya yang salah yang dipidana. Unsur kesalahan dalam hukum pidana berupa: 1. 2. Sengaja Kelalaian

Walaupun terhadap kelalaian, hukum pidana masih memberikan upaya pemaafnya. C. Dolus Generalis Kesengajaan ini dipandang sebagai opzet yang sifatnya tidak terbatas, sebagai contoh dapat dikemukakan tidak mungkin orang membunuh orang lain semata-mata untuk membunuh saja. Ini adalah opzet dalam arti absolut dan tidak ada dalam hukum pidana, Dolus Generalis ini misalnya pembunuhan yang dilakukan terhadapbeberapa orang yang tidak tertentu. Contoh: seseorang memasukkan racun dalam pusat air minum, dengan maksud agar setiap orang minum air ledeng itu akan mati. Dari contoh ini terdapat dolus generalis dalam arti opzet tidak tertentu hal ini dalam ilmu hukum pidana disebut dengan dolus determinatus. Pada umumnya, opzet harus tertentu. Akan tetapi, jika pembunuhan dilakukan terhadap orang-orang tidak tertentu, maka dalam hal ini kita berhadapan orang-orang yang tidak tertentu, maka dalam hal ini kita berhadapan dengan dolus inditerminatus atau opzet tidak tertentu D. Aberratio Ictus (Salah Kena) Ini adalah suatu kesengajaan dengan membawa akibat diluar perhitungan yang berkehendak. Sebagai contoh misalnya mengacungkan pistolnya kearah B dan ketika itu juga C menghalanginya namun pistol sempat meledak dan mengenai D E. Dwaling/Kekeliruan Dalam bahasa Romawi dwaling dikenal dengan istilah Error yang berarti kesalahpahaman ataupun suatu kekeliruan dan biasanya dibedakan antara feitelijke dwaling rechts dwaling.

IV. PIDANA A. Istilah, Pengertian, dan Kategorisasi Istilah: Istilah pidana adalah terjemahan kata straf disamping pidana, straf juga lazim diterjemahkan dengan hukuman. Menurut Prof. Mulyatno, istilah pidana lebih tepat dari pada hukuman sebagai terjemahan kata straf. Karena, kalau straf diterjemahkan dengan hukuman, maka dalam strafrecht harus diterjemahkan dengan hukum atau hukuman. Selanjutnya menurut Prof. Mulyanto dihukum berarti di terapi hukum, baik hukum pidana maupun hukum perdata. Hukuman adalah hasil atau akibat dari penerapan hukum tadi yang maknanya lebih luas dari pidana, sebab mencangkup juga keputusan hakim dalam lapangan hukum perdata dan hukum administrasi Negara. Begitu pula Prof. Sudarto Guru Besar Hukum Pidana pada Fakultas Hukum UNDIP mengatakan bahwa penghukuman berasal dari kata dasar hukum sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukuman atau memutuskan tentang hukumannya. menetapkan hukuman untuk suatu peristiwa tidak hanya menyangkut hukum pidana saja, tetapi juga menyangkut hukum perdata maupun lainnya. Selanjutnya menurut beliau, bahwa istilah penghukuman dapat disempitkan artinya yakni penghukuman dalam perkara pidana, yang sinonim dengan pemidanaan. Akhirnya beliau berkesimpulan istilah pidana lebih baik dari pada hukuman sebagai terjemahan dari kata straf. (Muladi dan Barda Nawawi Arief: 1982). Pengertian: 1. Prof. Sudarto, S.H. penderitaan yang sengaja dibebankan Yang dimaksud dengan pidana ialah 2. Prof. Roeslan Saleh

kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan Negara pada pembuat delik itu. 3. Fitzgerald

Punishment is the authoritative infliction of suffering for an offence. 4. Ted Honderich Punishment is an authoritys infliction of penalty (something involving deprivation or distress) on an offender for an offence. 5. Sir Ruper Cross Punishment means the infliction of pain by the state on some one who has been convicted of an offence. 6. Burton M. Leiser A punishment is a harm inflicted by a person in position of authority upon another who is judged to have violated a rule or a law. 7. Punishment must: a. b. c. Involve pain or other concequences normally considered unpleasant. Be for an offence against legal rules. Be of an actual of supposed offender for his offence. (Dalam buku H. L. H. L. A. Hart

Packer, The Limits of The Criminal Sanction, halaman 21 tertulis : be imposed on an actual or supposed offender for his offence). d. e. 8. a. b. c. d. Be intentionally administrered by human being other than the offender. Be imposed and administrered by an authority consitueted by a legal Alf Ross Occurs where there is violation of a legal rule. Is imposed an carried out by authorised persons on the legal order to Involves suffering or at least other consequences normally considered Expresses disapproval of the violator.

system against whit the offence is committed. Punishment is that social response which :

which the violated rule belongs. unpleasant.

9.

Di dalam Blacks Law Dictionary dinyatakan bahwa

Punishment adalah : Any find, penalty or confinement inflicted upon a person by authority of the law and the judgement and sentence ofa court, for some crime or offence committed by him, or for his omission of a duty enjoined by law. Dari beberapa definisi diatas dapatlah disimpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut : (1) Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan. (2) Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang). (3) Pidana itu dikenakan kepada seseorang penanggung jawab peristiwa pidana menurut undang-undang. (Muladi dan Barda Nawawi Arief: 1982). Kategorisasi Menurut KUHP Menurut pasal 10 KUHP jenis pidana tersendiri: a. 1. 2. 3. 4. b. 1. 2. 3. Pidana pokok, yaitu: Pidana mati Pidana penjara Pidana kurungan Pidana denda Pidana tambahan, yaitu: Pencabutan hak yang tertentu Perampasan barang-barang tertentu Pengumuman putusan hakim

Disamping jenis sanksi yang berupa pidana, dalam hukum pidana positif dikenal juga jenis sanksi yang berupa tindakan, misalnya:

a.

Penempatan dirumah sakit jiwa bagi orang yang tidak mampu

bertanggung jawab karena jiwanya cacat pertumbuhannya atau terganggu karena penyakit (lihat pasal 44 ayat (2) KUHP). b. 1. 2. pemerintah Dalam hal yang kedua, anak tersebut dimasukkan dalam rumah pendidikan negara yang c. penyelenggaraannya diatur dalam peraturan pendidikan paksa (Dwangopvoedinggregeling, std. 1916 nomor 741). Penenpatan ditempat bekerja negara (Landswerkinrichting) bagi pengganggur dan malas bekerja dan tidak mempunyai mata pencaharian, serta menggangu ketertiban umum dengan melakukan pengemisan, bergelandangan, atau perbuatan asosial. d. 1. Tindakan tata tertib dalam hal tindak pidana ekonomi (pasal 8 UndangPenenpatan perusahaan si terhukum undang No.7 Drt. 1955) dapat berupa: dibawah pengampunan untuk selama waktu tertentu (tiga tahun untuk kejahatan TPE dan dua tahun untuk pelanggaran TPE). 2. waktu tertentu. 3. yang dilakukan. 4. dilalaikan tanpa hak, Kewajiban mengerjakan apa yang meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak, dan Pembayaran sejumlah uang sebagai pencabutan keuntungan menurut taksiran yang diperoleh dari tindak pidana Pembayaran uang jaminan selama Bagi anak yang sebelumnya umur enam belas tahun melakukan tindak Mengembalikan kepada orang tuanya, wali atau pidana, hakim dapat mengenakan tindakan berupa (lihat pasal 45 KUHP) : pemeliharaannya. Memerintahkan agar anak tersebut diserahkan kepada

melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat0akibat satu sama lain semua

atas biaya si terhukum sekedar hakim tidak menentukan lain. (Muladi dan Barda Nawawi Arief: 1982). Letak perbedaan antara pidana dan tindakan pidana dimaksukan sebagai pembalasan atau pengimbalan terhadap kesalahan si pembuat, sedang tindakan dimaksudkan untuk perlindungan masyarakat terhadap orang yang melakukan perbuatan yang membahayakan masyarakat dan untuk pembinaan dan perawatan si pembuat. Secara dogmatik pidana itu dikenakan kepada orang yang normal jiwanya/orangnya yang mampu bertanggung jawab. Sedang rindakan dikenakan kepada orang yang tidak mampu bertanggung jawab. (Prof. H. Sudarto, S.H.:1982). Menurut usul rancangan KUHP Dalam urusan rancangan KUHP baru, masih dianut sistem dua jalur yang artinya terhadap pelaku peristiwa pidana dapat dikenakan sanksi negatif berupa pidana dan atau tindakan. Dalam usul rancangan KUHP dibedakan pidana pokok, pidana tambahan dan pidana pokok yang bersifat khusus. Paket sanksi pidana tersebut adalah sebagai berikut : 1. a. b. c. d. 2. a. b. c. d. e. 3. Pidana mati Pidana pokok: Pidana pemasyarakatan Pidana tutupan Pidana pengawasan Denda Pidana tambahan: Pencabutan hak-hak tertentu Perampasan barang-barang tertentu dan tagihan Pengumuman keputusan hakim Pembayaran ganti rugi Pemenuhan kewajiban adat

Pengaturan tentang tindakan berbunyi sebagai berikut: 1. Tindakan yang dengan putusan hakim dapat dijatuhkan kepada mereka yang memenuhi ketentuan dalam pasal yang menurut ketidakmampuan bertanggung jawab. Kesatu perawatan di rumah sakit jiwa Kedua penyerahan kepada pemerintah 2. Ke-1 Ke-2 Ke-3 Tindakan yang dengan putusan hakim dapat dijatuhkan bersama: Pencabutan surat izin mengemudi : Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana : Perbaikan akibat-akibat tindak pidana sama dengan pidana adalah:

(Prof. H. Sudarto, S.H. 1982) B. Pemberantasan Pidana (Maksimum Plus sepertiga) Pasal 18 ayat (2) KUHP terjemahannya berbunyi: (1) (2) .......................... Jika ada pemberatan pidana yang disebabkan karena perbarengan

kejahatan atau pengulangan kejahatan atau karena ketentuan pasal 52 dan 52a, maka satu tahun kurungan dapat ditambah menjadi satu tahun empat (= sepertiga x 12) bulan. (3) .......................... Bertitik tolak dari ketentuan pasal 18 ayat (2) tersebut maka dalam suatu bab ini akan dibahas tiga macam alasanyang dapat memberatkan pidana yaitu: 1. Tanggung jawab majemuk (Samenloop) 2. Tanggung jawab ulang (Recidive) 3. Tanggung jawab penjabat (Ambtelijkheid) Ad.1. Tanggung jawab majemuk (samenloop)

Istilah Samenloop dapat diterjemahkan beberapa arti: Mr. R. Tresna) Apabila dihubungkan dengan pertanggung jawaban (penanggung jawab), Samenloop itu dapat disebut tanggung jawab majemuk Samenloop apabila seseorang: Bersikap tindak dan sikap tindaknya itu memenuhi perumusan beberapa peraturan pidana sekaligus. Berkali-kali sikap tindak yang masingmasing sikap tindak yang merupakan peristiwa pidana yang berdiri sendiri dan antara peristiwa itu belum ada putusan pengadilan dan kesemua peristiwa pidana itu akan diadili sekaligus. Yang menjadi pokok permasalahan dalam hal samenloop ini ialah pengenaan pidana terhadap orang yang bertanggung jawab atas pemenuhan beberapa ketentuan hukum pidana. Berhubungan dengan hal tersebut KUHP mengenal empat sistem yang terdiri dari dua stelsel pokok yaitu Absorptie Stelsel dan Zuivere Cumulatie stelsel dan dua stelsel antara yaitu: Verschrepte Absorptie Stelsel dan dua Gematigde Cumulatie Stelsel skemanya sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. Absorptie Stelsel/sistem hisapan, yang dikenakan hanya Zuivere Cumulative stelsel/sistem himpunan yang murni. Verschrepte Absorptie Stelsel/sistem hisapan yang diperkeras. Gematigde Cumulative Stelsel/sistem himpunan yang Perbarengan (Prof. Mulyanto) Gabungan (Prof. Satochid Kartanegara dan

pidana yang terberat saja. Pidana lainnya seakan-akan terhisap kedalam. Sejumlah pidana dijatuhkan dengan tidak diadakan pengangguran. Pidana yang berat ditambah dengan seperiga dari maksimum. terbatas. Beberapa pidana dijatuhkan akan tetapi jumlah semuanya tidak boleh melebihi dari pidana terberat ditambah sepertiganya. (Tresna: 1959).

Bentuk-bentuk Samenloop I. Eendaad Samenloop/Concurcus idealis/perbarengan peristiwa. II. Meerdaadse Samenloop/Concursus realis/gabungan peristiwa. III. Voortgezette Handeling/peristiwa berlanjut.

ad.I. Eendaad Samenloop/Concurcus idealis Een artinya Satu Daad artinya perbuatan Eendaad samenloop terjadi apabila seseorang melakukan satu perbuatan dan dengan melakukan satu perbuatan itu ia memenuhi beberapa perumusan ketentuan hukum pidana; untuk ini istilah perbarengan amat tepat Contoh: 1. Perkosaan terhadap seseorang perempuan di taman yang merupakan tempat bagi umum, adalah sesuai dengan perumusan pasal 285 KUHP dengan ancaman dua belas tahun dan pasal 281 KUHP dengan ancaman dua tahun delapan bulan. 2. Penipuan yang dilakukan dengan mempergunakan dokumen palsu adalah sesuai perumusan pasal 378 KUHP dengan ancaman empat tahun dan pasal 263 (2) KUHP dengan ancaman enam tahun. 3. Melawan seorang pegawai negeri dengan kekerasan, yang mengakibatkan pegawai negeri itu luka berat adalah sesuai perumusan pasal 212 KUHP debgan ancaman satu tahun empat bulan dan pasal 351 KUHP dengan ancaman lima tahun. Dari contoh diatas terlihat bahwa hanya ada satu peristiwa (perbuatan) fisik, tetapi satu peristiwa tersebut memenuhi perumusan beberapa peraturan dalam hukum pidana. Pidana apakah yang dapat dijatuhkan terhadap perbuatan yang demikian. Pasal 63 KUHP (terjemahan) menentukan:

Jika sesuatu peristiwa termasuk perumusan beberapa ketentuan pidana, maka hanyalah dikenakan satu dari ketentuan itu saja, jika pidananya berlainan, maka yang dikenakan ialah ketentuan yang terberat pidana pokoknya. Jika sesuatu peristiwa yang terancam oleh ketentuan hukum pidana umum/ketentuan hukum pidana khusus, maka ketentuan hukum pidana khusus itu saja yang akan digunakan. Menurut ketentuan pasal 63 KUHP, hanya satu pidana saja yang dijatuhkan, apabila pidana pokoknya tidak sama maka yang dijatuhkan ialah yang terberat. Ini berarti Slelsel yang digunakan ialah Absorptie Stelsel. Apa yang menjadi dasar pembuat KUHP menentukan pidana yang terberat terhadap pelaku Eendaad Samenloop. Menurut Vos ada dua alasan, mengapa KUHP menentukan demikian; (E. Utrecht: 1965). Barang siapa yang telah memberanikan diri untuk melakukan delik yang lebih berat, dia juga akan segan-segan sekaligus melakukan delik yang lebih ringan. Maksimum pidana yang ditentukan dalam ketentuan pidana ditujukan kepada penanggung jawab peristiwa pidana yang paling berarti sehingga dilakukannya suatu delik yang lebih ringan sekaligus itu tidak boleh dijadikan alasan untuk memperberat pidana maksimum tersebut. Mengingat dua alasan itu maka Vos berpendapat hanya dalam dua hal saja dapat terjadi Eendaad Samenloop/Concursus idealis. 1. Dalam hal kelihatan hanya satu peristiwa saja, dengan kelihatan hanya satu akibat saja. Tetapi sekali hal macam itu disebut Concursus idealis yaitu hanya ada gabungan in de idee (dalam pikiran). Atau seperti yang dikatakan Menteri Kehakiman Belanda Mr. Modderman, bahwa Concursus idealis ini ialah: sebagai suatu perbuatan yang oleh mata fisik deilihat sebagai perbuatan tunggal, sedangkan mata pikiran melihat beraneka ragam pelanggaran kaidah, karena itu lebih tepat lagi bila eendaadse samenloop disebut Concursus Ab Normis/Concursus normatif. Contoh: Memperkosa di pinggir jalan raya

2.

Dalam hal yang lebih meragukan (diluar kelihatan

beberapa akibat) tapi masih juga salah satu diantara peristiwa itu sebagai conditio sinequa non (kondisi yang tidak bisa tidak ada) untuk yang lain. Contoh: A menembak mati B yang duduk dibelakang kaca. Pecahnya kaca adalah conditio sine qua non untuk dapat membunuh B.

ad.II.Meerdaadse Samenloop/Concursus realis Meerdaadse Samenloop/Concursus realis terdapat apabila seseorang menimbulkan beberapa peristiwa yang masing-masing merupakan kejahatan dan atau pelanggaran dan diantara peristiwa pidana tersebut belum ada yang diadili oleh hakim maka akan diadili sekaligus untuk bentuk lebih tepat digunakan istilah gabungan. Dalam KUHP Meerdaadse Samenloop/Concursus realis itu dibedakan antara: Meerdaadse Samenloop yang berupa kejamakan kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis (pasal 64 KUHP). Meerdaadse Samenloop yang berupa kejamakan kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis (pasal 66 KUHP). Meerdaadse Samenloop yang berupa kejamakan pelanggaran (pasal 70 KUHP). ad.a. Untuk menentukan ancaman pidana terhadap kejamakan kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis diatur dalam pasal 65 KUHP, yang terjemahannya berbunyi: Bagi gabungan beberapa peristiwa, yang masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan sendiri dan masing-masing termasuk kejahatan yang terancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka dijatuhkan satu pidana saja. Maksimum pidana ini ialah jumlah pidana tertinggi yang ditentukan untuk kesemua peristiwa itu, akan tetapi tidak boleh lebih dari pidana maksimum yang paling berat ditambah dengan sepertiganya. Contoh:

A telah melakukan dua kali kejahatan yang masing-masing diancam dengan pidana penjara dsatu tahun dan sembilan tahun. Sesuai bunyi pasal 65 KUHP maka terhadap A, pidana yang dapat diancam hanya satu saja (walaupun melakukan dua kejahatan) yaitu: 1 tahun + 9 tahun = 10 tahun, bukan 9 tahun + 1/3 x 9 tahun = 12tahun, karena jumlah pidana tertinggi untuk kedua kejahatan itu (10 tahun) tidak melebihi (12 tahun) yaitu pidana maksimum yang paling berat ditambah sepertiga. B telah melakukan dua kali kejahatan yang masing-masing diancam dengan hukuman penjara selama empat tahun dan enam tahun. Berlainan dengan kasus diatas maka pidana yang dapat diancam terhadap B bukan 4 tahun + 6 tahun = 10 tahun akan tetapi, 6 tahun + 1/3 x 6 tahun = 8 tahun, karena pidana maksimum 10 tahun melebihi pidana terberat ditambah sepertiga dari yang berat yaitu delapan tahun. Dari ketentuan yang terdapat dalam pasal 6 KUHP pada satu pihak ada yang menafsirkan bahwa stelsel yang digunakan adalah Cumulatie Stelsel yang dipetik dari kalimat pertama pasal 65 ayat (2) KUHP yaitu maksimum pidana ialah jumlah pidana yang tertinggi yang ditentukan untuk kesemua peristiwa. Dipihak lain terhadap beberapa sarjana yang berpendapat bahwa stelsel yang dipergunakan ialah: Verschrepte Absorptie Stelsel yang dipetik dari kalimat terakhir pasal 65 ayat (2) yaitu tidak boleh melebihi dari pada pidana maksimum yang paling berat ditambah dengan sepertiganya. ad.b Untuk menentukan ancaman pidana terhadap kejamakan kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis diatur dalam pasal 66 KUHP yang terjemahannya berbunyi: Dalam gabungan beberapa peristiwa, yang masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan tersendiri dan masin-masing merupakan kejahatan yang terancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka tiap pidana itu dijatuhkan. Akan tetapi, jumlah pidananya tidak boleh melebihi pidana yang terlama di tambah dengan sepertiganya.

Pidana denda dalam hal ini dihitung menurut maksimum pidana kurungan pengganti denda, yang ditentukan untuk peristiwa itu. Contoh: A telah melakukan tiga kejahatan yang masing-masing diancam pidana sembilan bulan penjara, enam bulan kurungan dan denda Rp. 15.000,00 pidana apakah dan berapa besarnya ancaman pidana terhadap kasus diatas. Menurut pasal 66 ayat (1) dijatuhkan pidana itu satu persatu, berarti stelsel yang dipergunakan adalah Cumulatie Stelsel, akan tetapi dalam pasal 66 ayat (1) selanjutnya mengatakan dengan tegas bahwa jumlah pidana itu tidak boleh melebihi pidana terberat ditambah sepertiganya. Oleh karena itu stelsel yang dipergunakan adalah Gematigde Cumulatie Stelsel. Dalam contoh diatas, terdapat tiga kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, yaitu pidana penjara, kurungan dan denda. Bagaimana denda itu harus diperhitungkan. Menurut pasal 66 ayat (2) pidana denda harus diperhitungkan dengan pidana kurungan pengganti denda. Cara menghitung pidana denda menjadi pidana kurungan pengganti denda diatur dalam pasal 30 KUHP yang terjemahannya sebagai berikut: (Prof. Mulyanto: 1976) Denda paling banyak alalah dua puluh lima sen. Jika denda tidak dibayar, lalu diganti dengan kurungan. Lama kurungan pengganti paling sedikit adalah satu hari dan paling lama adalah enam bulan. Dalam putusan hakim lamanya kurungan pengganti ditetapkan demikian: jika dendanya lima puluh sen atau kurang dihitung satu hari, jika lebih dari lima puluh sen, tiaptiap lima puluh sen dihitung paling banyak satu hari demikian pula sisanya yang tidak cukup lima sen. Jika ada pemberatan denda, disebabkan karena perbarengan atau pengulangan, atau karena ketentuan pasal 52 dan 52a, maka kurungan pengganti paling lama dapat menjadi delapan bulan. Kurungan pengganti sekali-kali tidak boleh lebih dari delapan bulan.

ad.c. Meerdaadse Samenloop berupa pelanggaran Diatur dalam pasal 70 KUHP yang terjemahannya berbunyi: 1. Jika secara yang dimaksud dalam pasal 65 dan 66 ada gabungan antara pelanggaran dengan kejahatan atau antara pelanggaran satu sama lain maka dijatuhkan pidana tanpa pengurangan bagi tiap-tiap pelanggaran itu. 2. Untuk pelanggaran, maka jumlah pidana kurungan tergabung dengan pidana kurungan pengganti, tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan, gabungan pidana kurungan pengganti, tidak boleh dari delapan tahun. Pengganti hal gabungan pelanggaran dengan pelanggaran stelsel yang dipergunakan adalah zuivere cumulatie stelsel artinya masing-masing terhadap pelanggaran tersebut dikenakan pidana sendiri-sendiri, akan tetapi kumulasi itu tidak mutlak, karena tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan, termasuk pidana kurungam pengganti, sedang jumlah pidana kurungan pengganti paling lama delapan bulan. Dalam hal gabungan kejahatan dengan pelanggaran, dipergunakan salah satu stelsel: a. b. Bila pidana pokok sejenis dipergunakan Verschrepte Absorptie Stelsel (pasal 65 KUHP). Bila pidana pokoknya tidak sejenis dipergunakan Gematigde Cumulatie Stelsel (pasal 66 KUHP) ad.III.Voortgezette Handeling/peristiwa berlanjut Yang dimaksud dengan Voortgezette Handeling ialah apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan kejahatan sendiri, diantara perbuatan-perbuatan itu terdapat hubungan yang demikian eratnya sehingga rangkaian perbuatan itu diartikan sebagai perbuatan lanjutan. Bentuk ini diatur dalam pasal 64 KUHP yang terjemahannya berbunyi sebagai berikut:

Jika beberapa peristiwa yang walaupun masing-masing sebagai kejahatan atau pelanggaran, berhubungan sedemikian eratnya sehingga harus dianggap sebagai perbuatan lanjutan maka hanya satu ketentuan pidana saja yang digunakan untuk masing-masing, jika pidana berlainan, maka yang digunakan ialah peraturan yang terberat pidana pokoknya. Begitu juga hanya digunakan satu ketentuan saja, bila orang dipersalahkan memalsukan atau merusak uang dan memakai benda untuk melakukan perbuatan memalsu atau merusak uang. Akan tetapi, jika kejahatan yang dirumuskan dalam pasal 364,373,379, dan ayat pertama pasal 407, dilakukan sebagai perbuatan lanjutan dan jumlah dari kerugian atas harta orang lantaran perbuatan lanjutan itu semua lebih dari 25 rupiah (gulden), maka masing-masing pidana menurut ketentuan pidana dalam pasal 362, 372, 378, dan 406. Bila kita perhatikan bunyi pasal 64 KUHP, maka dapat diketahui bahwa pada Voortgezette Handeling, hanya satu peraturan hukum pidana yang diperlukan, dan hanya satu pidana yaitu pidana yang terberat. Dengan demikian, Stelsel yang digunakan adalah Absorptie Stelsel. Yang menjadi persoalan dalam voortgezette handeling ini ialah apakah yang dimaksud dengan berhubungan sedemikian eratnya (zodanige verband) itu. KUHP tidak menberikan satu perumusan atau kriteria tentang itu, tetapi kita menemukannya pada Memorie van toelichting (MVT). Menurut MVT hubungan itu harus memenuhi tiga syarat: Beberapa perbuatan itu harus timbul dari satu kehendak (wilbesluit) yang terlarang. Antara beberapa perbuatan yang dilakukan itu tidak boleh lampau waktu yang agak lama. Beberapa perbuatan itu harus sejenis (Satochid Kartanegara). Contoh : Seorang pembantu rumah tangga bermaksudmencuri uang majikannya sebesar Rp. 10.000,00 yang tersimpan dalam lemari. Untuk